Pencarian

Mustika Lidah Naga 4 1

Mustika Lidah Naga 4 Bagian 1


MESTIKA LIDAH NAGA 4 Karya: Panjidarma
Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA
Hak cipta pengarang dilindungi undang-undang
RANG itu kira-kira berusia 30 tahun. Tubuhnya
Otin ggi besar. Kulitnya sawo matang. Otot-otot yang menghiasi anggota badannya,
menandakan bahwa ia
seorang lelaki yang mengandalkan kekuatan luar.
Sebenarnya lelaki itu bernama Soma. Dan orang-
orang Tegalinten mengenal Soma sebagai lelaki yang jujur tapi berangasan dan
tidak bisa bersikap semu.
Walaupun Soma bukan anggota laskar kerajaan,
namun ia seorang pengagum Senapati Jugala yang fa-
natik. Siapa pun yang berani mengejek atau membu-
ruk-burukkan nama Senapati Jugala di depan Soma,
maka Soma akan menganggap orang itu sebagai la-
wannya. Dan ia akan menghadapinya, kalau perlu de-
ngan kekerasan.
Ketika Senapati Prabayani mengatakan bahwa 'se-
lama ini balatentara kerajaan dibiarkan dalam kea-
daan lemah', langsung saja Soma naik pitam. Pikir
Soma, "Senapati baru ini sombong sekali. Menganggap Kanjeng Senapati Jugala
membiarkan balatentara kerajaan dalam keadaan lemah" Huh... lantas apa yang bisa
dilakukan oleh seorang wanita seperti dia?"
Maka, dengan mengandalkan ilmu silatnya (yang
tentu saja masih tergolong kelas pasaran), Soma nekad... melompat ke atas
panggung ujian dan langsung menantang Senapati Prabayani secara halus.
Dengan melihat cara Soma melompat ke atas pang-
gung tadi, Senapati Prabayani sudah bisa menilai bahwa Soma cuma seorang 'jagoan
pasaran'. Maka dengan senyum di bibir, Senapati Prabayani menoleh ke arah Aria
Pamungkas yang masih duduk di panggung kehormatan. Lantai panggung kehormatan
itu lebih ting-gi daripada panggung ujian, karena sang Putra Mahko-ta harus
duduk lebih tinggi daripada orang-orang yang hadir di alun-alun itu.
Maka dengan agak menengadah, Senapati Prabaya-
ni berkata, "Gusti Aria, mungkin banyak lagi orang yang meragukan kemampuan
hamba sebagai Senapati
Kerajaan Tegalinten. Hamba mohon perkenan Gusti
Aria, karena hamba akan mengumpulkan mereka se-
mua dan menghadapinya sekaligus."
Aria Pamungkas memang merasa gusar atas keha-
diran lelaki bernama Soma itu, yang tampaknya seperti ingin menentang Senapati
Prabayani, dan itu berarti menentang keputusan Aria Pamungkas sendiri.
Aria Pamungkas pun masih ingat apa yang telah di-
lakukan oleh Prabayani dengan 'selendang terbang'-
nya, yang membuktikan bahwa ilmu wanita yang satu
itu sangat menakjubkan. Maka dengan keyakinan
bahwa Senapati Prabayani akan selalu ' survive', Aria Pamungkas menyahut,
"Lakukanlah apa yang terbaik
bagi kita semua!"
"Terima kasih, Gusti Aria," ujar Prabayani yang lalu menoleh kepada lelaki
bernama Soma itu.
"Mana kawan-kawanmu yang lain?" tanya Senapati
Prabayani, dengan senyum mengejek.
Soma menepuk dadanya, berkata, "Aku, si Soma
ini, selamanya bertindak sendirian! Tidak pernah menyeret siapa pun untuk
sesuatu yang..."
Belum habis Soma berkata, tiba-tiba saja ia meme-
kik "aaau!", dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu tangan yang dipakai menepuk
dadanya itu... lenyap!
Dan tahu-tahu Senapati Prabayani sudah menga-
cungkan tangan Soma yang sudah terlepas dari perge-langannya itu, sambil
berteriak lantang, "Kecuali Gusti Putra Mahkota, tak seorang pun kuizinkan
menepuk dadanya di depan mataku! Lelaki bernama Soma ini
kujadikan contoh, tentang hukuman apa yang harus
diterimanya kalau melanggar laranganku!"
Soma memekik-mekik kesakitan, dengan darah
yang menyembur dari pergelangan tangannya.
Hadirin menjadi gempar. Heran bercampur ngeri:
Bagaimana caranya sehingga tangan Soma bisa putus
begitu saja dan tahu-tahu sudah berada di tangan wanita itu"
Dan Senapati Prabayani mendramatisir peristiwa
itu, dengan melemparkan potongan tangan Soma ke
arah gong pusaka, diiringi tenaga dalam yang cukup tinggi. Maka gong pusaka itu
berdentum dibuatnya.
Guooooooong...!
Keras sekali bunyi gong pusaka itu, sehingga hadi-
rin yang duduk di dekat gong itu terperanjat dan menutup telinganya masing-
masing. Lalu terdengar suara Senapati Prabayani, "Lelaki ini tidak patut berdiri di
sini!" Disusul dengan tendangan kilat gadis berhati iblis itu. Dan... tahu-tahu
Soma yang bertubuh tinggi besar itu terpental ke udara...
tinggi sekali... lalu jatuh di atas candi, dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Para penonton yang berdiri di dekat candi pemu-
jaan, menjadi gempar dibuatnya.
Namun kegemparan itu diatasi oleh suara Senapati
Prabayani yang melengking-lengking... terdengar nyata sampai ke sekeliling
istana dan alun-alun. "Siapa pun yang meragukan kemampuanku dan ingin mengalami
nasib seperti lelaki bernama Soma itu, kupersilakan naik ke atas panggung
sekarang juga, supaya acara
berikutnya bisa segera dilaksanakan!"
Bermacam-macam reaksi muncul di antara para
hadirin. Ada yang masih menganggap peristiwa itu sebagai 'permainan sihir' yang
telah direncanakan sebe-lumnya. Ada yang beranggapan bahwa Senapati Pra-
bayani memang seorang wanita berilmu tinggi, tapi ke-
jam sekali. Ada pula yang beranggapan, memang de-
mikianlah seharusnya seorang senapati bertindak,
demi tegaknya kewibawaan dan kejayaan laskar Tega-
linten. Namun kebanyakan di antara hadirin tidak berani mengemukakan tanggapan
secara terang- terangan. Mereka hanya berbisik-bisik atau memen-
damnya dalam hati saja.
Ketika hadirin masih berbisik-bisik memperbin-
cangkan tindakan senapati baru itu, tiba-tiba dua
orang pendeta bangkit dari kursinya, kemudian me-
langkah tenang ke arah panggung ujian. Kedua pende-ta itu dikenal oleh penduduk
kotaraja sebagai Bagawan Padma Kembar. Mereka memang dua orang lelaki
kembar dan sama-sama mengabdikan dirinya untuk
kepentingan agama. Selain terkenal sebagai dua pendeta yang alim, mereka juga
terkenal sebagai dua pendeta berilmu tinggi. Berlainan dengan Resi Ekaraga yang
mengabdikan diri kepada keluarga raja, kedua
pendeta kembar itu tidak mau 'dikurung' di dalam istana. Dengan kata lain,
mereka ingin menyebarkan
agama secara bebas, tanpa mau mengikatkan diri dengan keluarga raja. Walaupun
begitu, keluarga raja
menghormati mereka. Itulah sebabnya mereka hadir di alun-alun dan ditempatkan
sejajar dengan para pembesar Tegalinten.
Sebenarnya kedua pendeta yang bergelar Bagawan
Padma Kembar itu bernama Aswabahu dan Aswakaca.
Tapi sulit membedakan mana yang Aswabahu dan ma-
na yang Aswakaca, karena dua-duanya berkepala gun-
dul, dua-duanya berjubah kuning dengan lambang bu-
nga teratai di dadanya, dua-duanya memegang tongkat yang juga berhiaskan ukiran
bunga teratai pada bagian kepalanya dan dua-duanya berkalungkan tasbih
hitam. Hanya ada tanda kecil yang bisa dijadikan pa-
tokan, yakni tahi lalat di dahi Aswabahu itu, sementara Aswakaca tidak bertahi
lalat di dahinya.
Dengan gerakan yang ringan, Bagawan Padma
Kembar melayang ke atas panggung ujian, dan menda-
rat tepat di muka Senapati Prabayani.
Melihat lompatan kedua pendeta kembar itu, cepat
saja Senapati Prabayani dapat menilai bahwa mereka berilmu tinggi. Maka dengan
sikap yang agak hati-hati, Senapati Prabayani menegur mereka.
"Dua orang pendeta suci naik ke atas panggung ini, tentu dengan maksud baik.
Apakah kalian berdua
hendak memberi restu-pastu padaku?"
Aswabahu menjawab, "Memang orang-orang seperti
kami ini hanya boleh melakukan kebaikan dan pan-
tang melakukan kejahatan."
Aswakaca menyambung, "Dan kami melihat suatu
perbuatan di luar batas perikemanusiaan, telah dilakukan oleh seorang yang baru
saja diangkat sebagai Senapati Kerajaan Tegalinten."
Disambung lagi oleh Aswabahu, "Seorang senapati
seharusnya mengayomi rakyatnya, dan bukannya de-
ngan seenaknya membunuh seperti yang terjadi tadi.
Kalau memang tangan sang Senapati sudah gatal, in-
gin membunuhi orang... umumkan perang saja dengan
negara lain! Di situlah pandai atau bodohnya seorang panglima dalam ilmu perang,
akan kelihatan! Kenapa harus rakyat sendiri yang dibunuh?"
Sebenarnya Senapati Prabayani sudah ingin lang-
sung bertindak, untuk 'menghukum' kedua pendeta
kembar yang telah dengan 'lancang' mencercanya di
muka umum itu. Tapi tiba-tiba didengarnya bisikan
halus di telinganya, "Bersikaplah seluwes mungkin. Di hadapanmu banyak pembesar
kerajaan. Jangan sampai mereka membencimu."
Senapati Prabayani segera tahu bahwa yang me-
ngirimkan suara bisikan itu, adalah ayahnya sendiri.
Suara bisikan yang dikirimkan dari jarak jauh, lewat ilmu mengirim suara. Dan
suara bisikan itu hanya dapat didengar oleh Senapati Prabayani sendiri.
Senapati Prabayani mematuhi bisikan yang hanya
bisa didengar olehnya sendiri itu. Maka dengan sikap
'luwes', ia berkata kepada Bagawan Padma Kembar.
"Mungkin kalian berdua terlalu banyak menekuni ki-
tab-kitab suci, sehingga kalian lupa bahwa seorang senapati berkewajiban
menegakkan kewibawaan kera-
jaan. Bukan hanya mengayomi rakyat dan memenang-
kan setiap peperangan."
"Kewibawaan tidak harus ditegakkan dengan keke-
jaman," tukas Aswabahu. "Bahkan sebenarnya keke-
jaman hanya akan menimbulkan dendam terselubung
di hati rakyat!"
Kemudian Aswabahu menoleh, setengah menenga-
dah ke arah Aria Pamungkas, sambil berkata, "Ampun, Gusti Aria! Hamba berdua
mulai cemas terhadap kerajaan yang akan dipimpin oleh Gusti Aria ini. Tampaknya
wanita ini lebih jahat daripada perampok. Barangkali Gusti Aria masih punya
kesempatan untuk mem-
pertimbangkan kembali keputusan Gusti tentang pen-
gangkatan wanita ini sebagai senapati."
Dan Aswakaca ikut menengadah, ikut berkata kepa-
da Aria Pamungkas, "Memimpin suatu negara dengan
tangan berlumuran darah, pada akhirnya hanya akan
mendatangkan keruntuhan. Seekor semut pun kalau
diinjak, akan menggigit dulu sebelum mati. Seorang manusia akan merasa sakit
kalau dipukuli. Tapi kalau pukulan itu sudah terlalu sering, dia tidak akan
merasa sakit lagi, Gusti Aria."
Aria Pamungkas bahkan menjadi gusar. Ia berdiri di
panggung kehormatan. Ia membentak dengan suara
lantang. "Bagawan Padma Kembar! Apa maksud kalian
sebenarnya" Apakah kalian secara diam-diam sedang
melancarkan hasutan untuk memberontak terhadap
kerajaan?"
Aswabahu menyimpan kedua tangan di dadanya.
Menyahut, "Hamba berdua hanya menjalankan darma,
Gusti Aria. Adalah muskil bagi hamba berdua untuk
membiarkan kekejaman berlangsung di depan mata
hamba berdua."
Aswakaca pun menyimpan kedua tangan di da-
danya, lalu berkata, "Hamba berdua tidak pernah ikut campur dalam soal
pemerintahan. Tapi hari ini hamba berdua seperti dipaksa untuk menyaksikan
berlang-sungnya suatu kekejaman dari wanita yang baru di-
angkat sebagai senapati itu. Bagaimana mungkin
hamba berdua bisa menutup mata dan pura-pura ti-
dak melihat peristiwa mengerikan tadi?"
Aria Pamungkas berseru, "Senapati Prabayani! Sele-
saikanlah masalah ini dengan cara yang kau pandang baik. Sepenuhnya kuserahkan
pada kebijaksanaan-mu!"
Kemudian Aria Pamungkas turun dari panggung
kehormatan. Dan bergegas melangkah menuju pintu
gerbang istana, diiringi oleh para pengawalnya.
Kepergian Aria Pamungkas justru membuat dada
Senapati Prabayani lega. Pikirnya, "Sekarang akulah yang berkedudukan paling
tinggi di antara seluruh hadirin di alun-alun ini. Sekarang aku leluasa untuk
melakukan tindakan apa pun, terlebih lagi karena sang Putra Mahkota sudah
mengizinkanku untuk bertindak
dengan caraku sendiri."
Senapati Prabayani kembali memusatkan pandang-
annya pada kedua pendeta kembar itu. "Dengan me-
mandang kalian sebagai orang-orang yang berkecim-
pung di bidang keagamaan, aku masih ingin berbaik
hati. Aku tidak akan mengirim kalian ke nirwana,
asalkan kalian menyembah kakiku tiga kali, sebagai tanda penyesalan atas
kelancangan kalian tadi."
Hadirin menjadi riuh. Ada yang menganggap uca-
pan Senapati Prabayani sebagai hal yang keterlaluan dan melewati batas, karena
selama ini kedudukan
pendeta sangat dihormati di Kerajaan Tegalinten. Tapi para pendukung Senapati
Prabayani yang duduk di
sebelah utara itu, kontan bertepuk tangan dan berteriak-teriak, "Sikat saja
pendeta-pendeta keblinger itu!
Jangan dikasih ampun!"
Kedua pendeta itu sendiri tampak tenang. Tapi wa-
jah mereka yang mendadak merah padam, adalah per-
tanda bahwa mereka sedang menahan kemarahan
yang luar biasa.
Dan Aswabahu menyahut tenang, "Di dalam sejarah
Tegalinten, belum pernah terjadi seorang pendeta harus menyembah kaki seorang
senapati. Bahkan seo-
rang raja pun menghormati kedudukan seorang pende-
ta." "Kalau begitu, kalian harus menerima hukuman
atas kelancangan kalian tadi!" bentak Senapati Prabayani sambil memberi isyarat
khusus kepada Prabalaya.
Dan Prabalaya langsung mengerti apa yang diingin-
kan oleh kakaknya. Maka, dengan gerakan yang demi-
kian cepatnya, sehingga tidak terlihat oleh hadirin, Prabalaya melemparkan
sesuatu ke arah kakaknya -
seekor ular Dadali!
Rupanya dalam keadaan bagaimana pun, Prabalaya


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu punya ' stock' ular bersayap yang sangat berbahaya itu. Dan ular yang
bisanya sangat mematikan itu,
telah berada di tangan Senapati Prabayani.
Tampaknya kedua pendeta kembar itu tahu betapa
berbahayanya ular bersayap yang kini telah berada di tangan Senapati Prabayani,
karena mereka langsung
menegakkan tongkatnya masing-masing, dengan sikap
waspada. Aswakaca masih sempat berteriak lantang, "Lihat!
Pantaskah seorang senapati mempergunakan ular Da-
dali sebagai senjatanya"!"
Banyak di antara hadirin yang terperanjat, khusus-
nya mereka yang pernah mendengar cerita tentang bahaya ular bersayap itu. Bahkan
apa yang bergumam,
"Gila...! Bagaimana mungkin seorang wanita seperti dia bisa bersahabat dengan
ular jahat itu?"
Pada saat itu pula seorang lelaki muda menyelinap-
nyelinap di antara jejalan rakyat Tegalinten. Lelaki mu-da itu, adalah Rangga.
Rupanya Rangga baru tiba di kotaraja dan langsung
tertarik ketika melihat banyaknya orang yang mengeli-lingi alun-alun Tegalinten
itu. Dan ia berhasil menyelinap sampai di sebelah selatan panggung ujian itu, di
tempat yang tidak begitu jauh dari 'tempat demonstrasi' Senapati Prabayani.
"Lagi-lagi ular Dadali," pikir Rangga setelah melihat apa yang sedang terjadi di
atas panggung ujian itu.
"Entah dari mana keluarga Prabaseta mendapatkan
ular yang sangat langka dan amat jahat itu. Mungkin pada suatu saat aku harus
menggeledah sarang pemimpin golongan hitam itu. Siapa tahu dia memang
sengaja mengembangbiakkan ular yang sangat berba-
haya itu."
Sementara itu, ular Dadali di tangan Senapati Pra-
bayani sudah liuk-liuk liar, seakan tak sabar lagi, ingin segera membinasakan
calon korbannya.
Dan Senapati Prabayani memperingatkan, "Untuk
terakhir kalinya kuperingatkan... kalau kalian tidak mau menyembah kakiku tiga
kali, berarti kalian memaksa ularku menjatuhkan hukuman dengan caranya
sendiri." Kedua pendeta kembar itu tidak menyahut. Mereka
bahkan berdiri saling membelakangi, dengan pung-
gung saling merapat... kaku... mengedipkan mata pun tidak.
Melihat sikap kedua pendeta kembar itu, Senapati
Prabayani tersenyum dingin. Ia tahu bahwa kedua
pendeta itu sedang mengerahkan hawa murni di tu-
buhnya masing-masing, untuk menolak serangan ra-
cun yang mungkin terjadi setelah ular bersayap itu dilepaskan.
Ular itu benar-benar dilepaskan dan langsung mele-
sat ke arah bahu Aswabahu!
Secepat kilat Aswabahu mengibaskan tongkatnya,
dengan maksud untuk menangkis terjangan ular ber-
sayap itu, sekaligus memecahkan kepalanya, kalau bi-sa. Tapi rupanya ular itu
sudah sangat terlatih. Begitu melihat Aswabahu menggerakkan tongkatnya, ular itu
mengubah arah... memekik ke bawah dan melesat ke
arah perut Aswabahu yang tidak terlindung.
Aswabahu terkejut, karena tidak menduga kalau
ular itu bisa mengubah arah dalam tempo demikian
cepatnya. Tapi Aswabahu pun bukan anak kemarin
sore. Begitu melihat perubahan arah terjangan ular bersayap itu, secepat kilat
Aswabahu melompat... cukup tinggi... dan ular bersayap itu lewat di bawah
kakinya. Tapi ular itu mendapat calon korban baru: Aswaka-
ca. Dan justru Aswakaca dalam keadaan kurang was-
pada, karena tidak menyangka kalau ular itu akan me-nerjangnya pula.
Ular bersayap itu melesat ke arah punggung Aswa-
kaca, membuat pendeta itu kaget dan cepat-cepat
menjatuhkan diri... bertiarap di lantai panggung. Namun tak urung perut ular itu
sempat menyerempet jubah Aswakaca pada bagian punggungnya. Jubah kun-
ing itu langsung hangus dan robek pada bagian punggungnya!
Wajah Aswabahu terpucat-pucat menyaksikan ke-
dahsyatan ular Dadali yang sudah terlatih itu. Sentuhan perutnya saja, mampu
menghanguskan punggung
jubah Aswakaca. Apalagi 'sentuhan' gigi berbisanya!
Sementara itu, Senapati Prabayani tenang-tenang
saja, bertolak pinggang di sudut utara, sambil tersenyum-senyum menyaksikan
adegan maut itu.
Dan ular bersayap itu telah memutar arah, untuk
menerjang Aswakaca yang masih tertelungkup di lantai panggung. Ular itu terbang
rendah sekali, hanya se-jengkal jaraknya dari lantai panggung, menghambur ke
arah ubun-ubun Aswakaca.
Aswakaca sudah di ambang maut! Tapi... tiba-tiba
saja sesosok tubuh melesat dari arah selatan... langsung menghantam ular jahat
itu! Ular bersayap itu terpental ke arah utara dan jatuh di tengah-tengah kelompok
golongan hitam itu!
Terdengar pekikan-pekikan kaget dari kelompok go-
longan hitam yang duduk di sebelah utara itu.
Dan seorang lelaki muda telah berdiri di atas panggung. Menatap Senapati
Prabayani dengan pandangan
berapi-api. Terdengar seruan Prabalaya dari deretan kursi para adipati.
"Awas! Dialah orang yang bernama Rangga itu!"
*** ENAPATI Prabayani yang sudah mendengar dari
Sadi knya, tentang kehebatan lelaki muda bernama
Rangga itu, lalu bersikap hati-hati sekali. Bahkan ada sedikit kegentaran di
hatinya. Namun setelah teringat bahwa ayahnya hadir di sebelah utara panggung
ujian itu, hatinya tenang kembali.
Sementara itu, Rangga berkata kepada Bagawan
Padma Kembar, "Kuharap paman-paman turun dulu.
Biarlah perempuan ini kuhadapi sendiri."
Kedua pendeta kembar itu maklum bahwa lelaki
muda yang tiba-tiba muncul di depan mereka pastilah seorang pendekar berilmu
tinggi. Itu bisa dibuktikan dengan binasanya ular bersayap tadi, oleh tendangan
lelaki muda yang belum mereka kenal itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, anak muda," ka-
ta Aswakaca sambil melompat turun dan duduk kem-
bali di tempat semula. Diikuti oleh saudara kembarnya, yang lalu duduk pula di
sampingnya. "Siapa pemuda itu?" bisik Aswabahu kepada Aswa-
kaca. "Entahlah," Aswakaca menggeleng. "Tapi tampaknya
dia berada di pihak kita."
Sementara itu, Rangga telah maju beberapa lang-
kah, semakin mendekati Senapati Prabayani.
"Kau sudah tahu siapa aku, dari adikmu tadi," kata Rangga dingin.
"Ya," Senapati Prabayani mengangguk dengan se-
nyum genit. "Aku sudah tahu bahwa kau bernama
Rangga dan pernah mengganggu adikku di dalam hu-
tan. Lalu, apakah kau belum puas dengan kejahilan-
mu itu, sehingga sengaja naik ke atas panggung untuk
mengacaukan acara kami?"
"Aku tidak pernah mau mengacaukan acara siapa
pun, terkecuali kalau aku melihat terselipnya kejahatan dalam acara itu," sahut
Rangga tenang. "Dengan ular Dadali itu, kau hampir merenggut nyawa dua
orang pendeta yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Tegalinten. Karena itu, aku tak
bisa berpeluk tangan."
"Hmm... Rangga... Rangga. Kau merasa paling sakti
di dunia ini, sehingga dengan lancang kau campuri
urusan kami... urusan Kerajaan Tegalinten! Apakah
kau tidak tahu bahwa pada saat ini berkumpul orang-orang gagah dari segenap
penjuru kerajaan?"
"Aku tidak peduli dengan urusanmu. Aku hanya
merasa tidak tega melihat kedua pendeta itu binasa dengan cara yang begitu
kejam!" "Omong kosong! Kehadiranmu di atas panggung ini
jelas merupakan tantangan bagiku... bagi Senapati Kerajaan Tegalinten!"
"Aku tidak menantang seorang senapati. Aku hanya
ingin mencegah putra-putri Prabaseta bertindak sewenang-wenang di kotaraja ini,"
sahut Rangga dengan
suara yang disertai pengerahan tenaga dalam, supaya kata-katanya terdengar ke
seluruh alun-alun. "Aku ju-ga tahu bahwa Prabaseta yang bergelar Jalak Ruyuk
itu, hadir di sebelah utara sana," lanjut Rangga sambil menunjuk ke arah
kelompok golongan hitam itu.
Hadirin terperanjat. Tadi, waktu Rangga menye-
butkan nama Prabaseta, mereka masih diam, karena
nama Prabaseta tidak begitu dikenal oleh masyarakat.
Tapi gelar 'Jalak Ruyuk' itu, sudah banyak yang men-getahuinya, sebagai tokoh
golongan hitam yang sangat kejam.
Hadirin yang bukan dari golongan hitam, baru seka-
li itu tahu bahwa senapati yang baru diangkat itu anak
si Jalak Ruyuk. Maka tentu saja mereka jadi cemas: Bagaimana jadinya dengan
negara ini, kalau keturunan penjahat besar dijadikan panglima perang"
Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam Rang-
ga tadi, bukan hanya terdengar ke seluruh alun-alun, melainkan juga terdengar
sampai di dalam istana...
sampai di telinga Aria Pamungkas!
"Apa"! Prabayani itu anak si Jalak Ruyuk"!" seru
Aria Pamungkas di dalam hatinya. Dan bergegas sang Putra Mahkota melangkah ke
arah alun-alun kembali.
Tapi Resi Ekaraga mencegatnya di tengah jalan.
"Sebaiknya Gusti Aria jangan muncul di alun-alun.
Tampaknya akan terjadi yang... yang sebaiknya tidak dihadiri oleh Gusti Aria,
demi keselamatan Gusti sendiri."
"Tapi... oh... aku telah mengangkat anak Jalak
Ruyuk sebagai senapati... oh, oh, ooooh...! Kenapa aku jadi begini gegabah
mengangkat orang untuk kedudukan yang begitu penting"!" Aria Pamungkas memijit-
mijit dahinya sendiri.
"Tenanglah, Gusti Aria. Sebaiknya Gusti biarkan
dulu mereka menyelesaikan masalahnya masing-
masing. Nanti, kalau suasananya sudah reda, barulah Gusti Aria muncul di depan
mereka." "Yaaah," keluh Aria Pamungkas, "mungkin itulah ja-
lan terbaik bagiku."
Kemudian Resi Ekaraga memerintahkan salah seo-
rang prajurit untuk menutupkan pintu gerbang istana.
Sementara Aria Pamungkas sudah bergegas masuk
kembali ke dalam purinya, dengan kemelut merajalela di dalam benaknya.
*** Suasana di alun-alun dicengkeram ketegangan.
Pandangan hadirin terpusat ke arah panggung ujian.
Beberapa orang yang bernyali kecil, mulai meninggalkan alun-alun secara diam-
diam. Secara diam-diam pula Senapati Prabayani mulai
menanggalkan selendang yang terikat di pinggangnya, lalu merentangkannya di
depan Rangga. Dan tubuh Senapati Prabayani mulai menggigil. Wa-
jahnya menjadi pucat-pasi, namun kedua tangannya
menjadi merah sekali. Lalu... tiba-tiba saja tubuhnya berpusing, dengan tangan
tetap merentangkan selendangnya.
Makin lama pusingan tubuh Prabayani makin ce-
pat, sehingga akhirnya tubuh menggiurkan itu seolah-olah menghilang dan tinggal
bayangan seperti kaca tipis saja.
Lalu, "Eaaaaaat...!" Senapati Prabayani berseru
sambil melepaskan selendangnya. Dan seperti yang
pernah dipertunjukkan pada sang Putra Mahkota, se-
lendang itu berputar-putar dengan cepatnya... laksana senjata Cakra sang
Kresna... terbang ke arah Rangga, dengan bunyi mendengung-dengung seperti tawon.
Rangga segera sadar bahwa 'selendang terbang' itu
digerakkan oleh ilmu hitam. Maka cepat-cepat Rangga bersemadi, dengan menutup
pancaindranya, sambil
membaca mantra pengusir ilmu hitam.
Apa yang terjadi"
Selendang terbang itu mendesing dan menyeruduk
ke arah leher Rangga. Tapi begitu hendak menyentuh sasarannya, selendang itu
ambruk ke lantai panggung dan lemas kembali seperti sediakala!
Senapati Prabayani terbelalak. Baru sekali itulah
selendangnya dibuat tak berdaya oleh lawannya.
Namun pada saat itu pula Prabalaya mendengar
suara ayahnya, lewat bisikan jarak jauh, "Prabalaya...
marilah kita bantu Prabayani. Bacakan mantra Kala-
murka." Senapati Prabayani pun mendengar bisikan jarak
jauh, "Jangan mundur. Ayah dan adikmu akan mem-
bantumu dari kejauhan. Bacakan mantra Kalamurka!"
Beberapa saat kemudian, selendang Prabayani
mendadak terbang kembali... melesat dengan ganasnya ke arah Rangga. Dan Rangga
terkejut, karena tidak
menyangka kalau selendang itu mampu terbang kem-
bali... bahkan kini menyerangnya dengan lebih ganas!
Ya, Prabaseta dan putra-putrinya bersama-sama
membacakan mantra Kalamurka, ilmu hitam yang ter-
cipta demikian dahsyatnya. Selendang itu berpusing cepat sekali... melesat ke
arah perut Rangga. Dan
Rangga kembali memusatkan pikirannya, sambil
membaca mantra penolak ilmu hitam. Mantra Indra-
suci. Tapi... selendang terbang itu seperti 'memaksa' untuk memotong perut Rangga.
Rrrrt...! Pakaian Rangga pada bagian perutnya ter-
koyak! Rangga terkejut dan cepat-cepat menggerakkan lututnya untuk menepiskan
selendang itu. Selendang itu terpental ke atas, karena tepisan lutut Rangga disertai pengerahan
tenaga dalam. Tapi
Rangga sendiri agak meringis, karena lututnya terasa kesemutan!
Tadi Rangga mengira bahwa selendang itu digerak-
kan oleh satu orang saja, sehingga pertahanan yang disediakan pun hanya untuk
melayani satu orang lawan.
Itulah sebabnya Rangga merasa lututnya seperti di-
hantam oleh tenaga yang demikian kuatnya manakala
bersentuhan dengan selendang terbang tadi, karena
selendang itu digerakkan oleh tiga orang berilmu tinggi yang mempersatukan
kekuatan ilmu hitam mereka.
"Gila," pikir Rangga. "Kenapa kekuatannya jadi begi-tu hebat" Rasanya aku
seperti menghadapi lawan lebih dari seorang!"
Dan selendang itu menukik lagi... menyerbu ke arah kepala Rangga, demikian
cepatnya, sehingga Rangga
harus membungkuk, melompat-lompat ke kanan-kiri...
sementara selendang itu malah semakin ganas mem-
burunya! Memang begitulah dahsyatnya ilmu hitam Kalamur-
ka kalau sudah dikerahkan oleh tiga orang secara se-rempak. Kalau lawannya
menghindar, selendang itu
akan semakin garang menguber si lawan. Kalau Rang-


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ga berhasil mengelak, selendang itu secepatnya mem-belok, lalu mengirimkan
serangan baru. Ya, Rangga mengelak ke kiri, selendang itu lewat di samping telinga Rangga, tapi
lalu secepatnya membe-lok dan menyeruduk perut Rangga, dan Rangga cepat-
cepat melompat ke atas, tapi ketika Rangga masih berada di udara... selendang
itu sudah memburu selang-kangan Rangga. Dan ini terpaksa harus ditepiskan
dengan tendangan yang disertai pengerahan tenaga dalam..., traak...! Selendang
itu terpental jauh.
Dan... lagi-lagi Rangga meringis. Kakinya yang di-
pakai menendang tadi, terasa kesemutan.
Ketika Rangga masih meringis, tiba-tiba pula Pra-
bayani menerjang dengan keris di tangannya! Dan keris itu langsung dihunjamkan
ke arah dada Rangga!
Walaupun belum siaga, Rangga cepat-cepat menge-
lakkan tusukan keris Senapati Prabayani, dengan
mengegos ke samping kanan, sehingga keris Senapati Prabayani lewat ke samping
kirinya. Pada saat itulah Rangga sempat menghantamkan tangan kanannya ke
bahu kiri Senapati Prabayani.
Praaak...! Pukulan itu mampu membuat tulang ba-
hu kiri Senapati Prabayani retak!
Senapati Prabayani memekik kesakitan, lalu mun-
dur tiga langkah, sambil memegangi bahunya yang sakit. Seharusnya Senapati
Prabayani sadar, bahwa kalau Rangga bermaksud mencelakakannya, pastilah pukulan
tadi bisa menghancurkan bahunya. Tapi Rangga
hanya mengeluarkan sedikit saja tenaga dalamnya, sehingga akibatnya pun 'hanya'
meretakkan tulang bahu Senapati Prabayani.
Memang pada dasarnya Rangga tidak tega menyaki-
ti seorang wanita. Itulah sebabnya, tadi ia hanya memukul 'perlahan' saja. Tapi
perlahannya pukulan murid Kudawulung, tentu tidak sama dengan perlahannya
pukulan pendekar kelas kambing. Perlahannya pukulan murid Kudawulung, sudah
cukup untuk meretak-
kan tulang bahu Senapati Kerajaan Tegalinten yang baru itu!
Dan diam-diam Rangga berpikir, "Tadi, waktu aku
memukul bahunya, terasa tolakan tenaga dalamnya tidak begitu kuat. Sekarang dia
bahkan tampak kesakit-an. Berarti dia memang tidak sehebat perkiraanku ta-di.
Lalu, kenapa dia bisa menggerakkan selendangnya demikian hebatnya?"
Dan diam-diam Rangga berhasil memecahkan suatu
teka-teki. "O, sekarang aku tahu! Pasti ada orang yang membantunya secara gelap!
Dan... ah... kenapa aku
lupa bahwa di alun-alun ini ada saudara Prabayani"
Ya... bahkan mungkin ayahnya pun ada di sekitar
panggung ini!"
Sementara itu, selendang terbang itu mulai berpu-
sing dan menyerang lagi dari arah utara. Semakin yakinlah Rangga bahwa lawannya
dibantu oleh satu atau dua orang di luar panggung.
"Seharusnya," pikir Rangga, "kalau Prabayani se-
dang kesakitan, selendangnya pun akan ikut-ikutan
lemah. Tapi selendang itu... menyerangku lagi dengan kuatnya!"
Wuuuut...! Rangga mengelakkan serangan selen-
dang terbang itu, dengan lompatan kilat ke sebelah ki-ri. Sementara Prabayani
pun mulai menyerang lagi,
walaupun bahu kirinya masih terasa sakit sekali.
Terjangan keris Senapati Prabayani hampir tidak
ada artinya bagi Rangga. Karena sambil menahan sakit pada bahu kirinya, gerakan
Senapati Prabayani jadi
'kurang meyakinkan'. Dengan mudah saja Rangga me-
nangkap pergelangan tangan kanan Senapati Prabaya-
ni, sambil berkata di dalam hatinya, "Aku harus memaksa pendukung gelapnya naik
ke atas panggung!
Karena itu, aku harus secepatnya merobohkan perem-
puan ini!"
Maka, ketika Rangga masih menggenggam perge-
langan tangan kanan Prabayani - yang membuat keris
Prabayani terjatuh ke lantai panggung - Rangga berpu-ra-pura hendak melayangkan
pukulan maut ke dada
lawannya. Pada saat itulah, terasa ada angin dingin menyam-
bar dari sebelah utara, ke arah punggung Rangga!
Secepatnya Rangga mendorong Senapati Prabayani
ke samping, lalu membalikkan tubuhnya untuk meng-
hadapi sesuatu yang menimbulkan angin dingin itu.
Ternyata seorang lelaki tua, bertubuh tinggi kurus, bermata sipit seperti mata
elang, berpakaian serba hitam, memegang tongkat aneh di tangannya... melesat ke
arah Rangga. Itulah Prabaseta, alias si Jalak Ruyuk!
Senapati Prabayani jatuh terlentang. Dan Rangga
langsung menyambut terjangan si Jalak Ruyuk dengan kedua tangan dijulurkan ke
depan. Si Jalak Ruyuk terpaksa membatalkan serangan bo-
kongannya, karena ia merasa angin yang sangat ken-
cang bertiup dari kedua telapak tangan Rangga. Ru-
panya Rangga sedang menyalurkan tenaga Tolakbayu
lewat kedua telapak tangannya!
Walaupun si Jalak Ruyuk telah mengegos ke kiri,
tak urung rambutnya berkibar-kibar, tertiup oleh
'pinggiran' angin dari kedua telapak tangan murid Kudawulung itu!
Rangga berdiri tenang. Melirik ke arah Senapati Prabayani yang sudah bangkit
kembali di sebelah kirinya, melirik ke arah si Jalak Ruyuk yang sudah memasang
kuda-kuda di sebelah kanannya, dan bertanya, "Kenapa pendukung gelap yang lain
tidak sekalian naik ke atas panggung ini?"
Sebenarnya pertanyaan Rangga itu hanya untuk
memancing-mancing saja, karena ia sendiri belum ta-hu pasti berapa orang yang
membantu Senapati Pra-
bayani tadi. Namun pertanyaan itu cukup menge-
jutkan si Jalak Ruyuk, yang mengira bahwa Rangga
demikian saktinya, sehingga perbuatan si Jalak Ruyuk dan Prabalaya tadi
diketahui secara pasti olehnya.
Maka dengan wajah merah padam, si Jalak Ruyuk
memanggil anaknya, "Prabalaya, naiklah ke sini. Kita akan bermain-main sebentar
dengan orang muda yang
hebat ini!"
Lalu melompatlah Prabalaya ke atas panggung dan
berdiri di antara kakak dengan ayahnya.
Rangga sudah mendengar dari gurunya, bahwa to-
koh golongan hitam yang bergelar Jalak Ruyuk itu bertubuh tinggi kurus, bermata
sipit seperti mata elang dan selalu membawa-bawa tongkat yang berbentuk seekor
ular dan terbuat dari baja hitam.
Maka yakinlah Rangga bahwa lelaki tua yang bera-
da di sebelah kanannya itu, adalah si Jalak Ruyuk.
"Para hadirin sekalian!" seru Rangga tiba-tiba, "Saat ini telah hadir tiga tokoh
yang sangat terkenal di seluruh wilayah Tegalinten. Mereka adalah... Prabaseta
alias Jalak Ruyuk, Prabayani alias Meong Koneng dan Prabalaya alias Ajag Hawuk!"
Tentu saja para pembesar dan rakyat Tegalinten terkejut sekali, terutama setelah
mendengar bahwa Senapati Prabayani itu adalah si Meong Koneng... wanita berhati
iblis yang sudah sangat terkenal kekejaman-nya!
Dan memang itulah yang diinginkan oleh Rangga.
Bahwa dengan sengaja ia ingin membuka kedok Pra-
bayani dan Prabalaya, supaya hadirin mulai memper-
timbangkan apakah kedua kakak beradik itu patut
menjadi pembesar kerajaan atau tidak.
Adipati Mundingrana yang sudah sejak lama tidak
setuju dengan pengangkatan Aria Pamungkas sebagai
putra mahkota, kini semakin sebal lagi setelah menge-tahui siapa sebenarnya
perempuan yang sudah telan-
jur diangkat sebagai Senapati Kerajaan Tegalinten itu.
Maka secara diam-diam Adipati Mundingrana me-
ninggalkan alun-alun, lalu pulang ke Pasirluhur.
*** Tanpa mempedulikan reaksi hadirin yang mulai
tampak resah, Prabaseta memandang wajah Rangga
dengan mata berapi-api, lalu berkata tajam, "Tampaknya kau sengaja ingin
membentangkan permusuhan
dengan keluarga Praba, sekaligus berdiri di pihak lawan kerajaan. Siapa
sebenarnya gurumu, wahai orang muda?"
Dengan santai Rangga menjawab, "Perbuatanku
adalah tanggung jawabku. Tidak ada alasan untuk
menyeret-nyeret nama guruku ke atas panggung ter-
hormat ini."
"Biasanya, seorang murid yang tidak mau menye-
butkan nama gurunya, adalah murid yang murtad,"
desis Prabaseta dingin.
"Murtad atau setianya seorang murid pada gurunya,
tergantung pada bagaimana dia mengamalkan ilmu
yang telah diterima dari gurunya. Meskipun saban hari dia menyembah kaki
gurunya, tapi kalau ilmunya digunakan untuk kejahatan, dia adalah seorang murid
yang murtad," bantah Rangga dengan senyum di bibir.
Panas kuping Prabaseta dibuatnya. Ucapan Rangga
tadi terasa sebagai sindiran. Bukankah Prabaseta tidak dianggap sebagai murid
Citralaga lagi, karena Prabaseta menggunakan ilmunya untuk kejahatan"
Walaupun penampilan Prabaseta tampak lebih
'luwes' daripada kedua anaknya, namun sebenarnya ia seorang tokoh golongan hitam
yang sangat jahat dan pantang tersinggung. Maka setelah mendengar 'sindiran'
Rangga tadi, secara diam-diam Prabaseta mene-
kan salah satu bagian tongkat baja hitam yang berbentuk ular itu...!
Sebenarnya tongkat Prabaseta bukan tongkat sem-
barangan. Benda yang dibentuk seperti ular itu sebenarnya memiliki 'kamar-kamar
dan pintu-pintu' kecil.
Bagian dalamnya, mirip sel-sel sarang lebah. Dan setiap sel berisi satu macam
racun atau alat rahasia, yang tujuannya hanya satu, yakni untuk membinasakan
musuh secara licik dan kejam. Itulah yang dimaksud dengan 'kamar-kamar' dalam
tongkat Prabaseta.
Ukiran berbentuk sisik ular pada tongkat itu, sebenarnya merupakan 'pintu-pintu'
kecil, yang dapat digeserkan oleh pemiliknya... untuk mengeluarkan salah satu
pencabut nyawa yang terdapat di dalamnya!
Hanya Prabaseta dan kedua anaknya yang tahu
persis pintu rahasia mana yang harus digeserkan, untuk mengeluarkan isi yang
dikehendaki. Dan kini Prabaseta telah menggeserkan 'pintu' yang paling berbahaya. 'Pintu' itu
akan mengeluarkan isinya... racun ciptaan Prabaseta sendiri! Racun itu terbuat
dari ramuan khusus, yang diberi nama 'Singawereng'. Racun itu sangat berbahaya,
karena selain tidak menimbulkan uap maupun asap, juga tidak menimbulkan bau apa-
apa. Tapi 'daya kerja'-nya luar biasa.
Begitu orang menghisap racun Singawereng, orang itu akan menjadi lumpuh dan tak
berdaya lagi seumur hidupnya!
Sengaja Prabaseta mengeluarkan racun yang tidak
mematikan, tapi akibat yang akan ditimbulkannya lebih jahat daripada pembunuhan.
Karena orang yang
sudah telanjur menghisapnya, akan cacat seumur hi-
dupnya. Sebelum menggerakkan tongkatnya, si Jalak Ruyuk
berdesis perlahan, "Singawereng...!"
Sebenarnya ucapan Prabaseta itu merupakan kode
bagi kedua anaknya, supaya mereka cepat-cepat
menghindar atau menahan napas dalam waktu yang
telah ditentukan. Karena kalau racun yang tidak ber-bau apa-apa itu sampai
terhisap, siapa pun akan menjadi korban, termasuk Prabayani dan Prabalaya.
Prabalaya dan Prabayani kontan mengerti apa yang
akan dilakukan oleh ayah mereka. Tapi Rangga justru salah duga. Rangga mengira
bahwa Singawereng itu
merupakan salah satu jurus ciptaan Prabaseta yang
akan dipakai untuk menyerangnya.
Maka Rangga hanya memperhatikan gerak-gerik ke-
tiga lawannya, tanpa menyadari bahwa racun jahat itu telah membersit dari dalam
tongkat Prabaseta.
Ketika Prabalaya dan Prabayani menyerangnya,
Rangga tidak tahu bahwa sebenarnya serangan itu
hanya tipuan. Sedangkan tujuan sesungguhnya, cuma
ingin menjebak Rangga... supaya mendekati tongkat
Prabaseta! Dan... wuuuut... tiba-tiba saja Prabaseta mengi-
baskan tongkatnya ke depan wajah Rangga. Memang
tongkat itu tidak menyentuh wajah Rangga, tapi ra-
cunnya... mulai menyelusup ke dalam rongga hidung
Rangga! Tak ayal lagi... Rangga kontan ambruk, karena se-
pasang kakinya mendadak lemas, seolah-olah tak ber-tulang lagi.
Kemudian meledaklah tawa Prabaseta, "Hahaha-
hahha haaaa...! Kau kira manusia macam aku ini bisa dikalahkan oleh pendekar
kemarin sore"!"
Rangga sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban
kelicikan dan kekejaman Prabaseta. Tapi kesadaran-
nya sudah terlambat. Ia hanya bisa menelentang pa-
srah, dengan anggota badan yang tak dapat digerak-
kan lagi! Dan Prabaseta menghantamkan tongkatnya ke arah
kepala Rangga, tentu dengan maksud untuk memecah-
kannya. Rangga hanya bisa memandang tongkat itu...
dengan pasrah. Tapi tiba-tiba Prabalaya berseru, "Jangan bunuh
dia!" Prabaseta membatalkan pukulan mautnya. Menoleh
kepada anaknya, sambil bertanya heran, "Kenapa?"
"Gusti Aria sangat membutuhkan beberapa kete-
rangan darinya," sahut Prabalaya.
*** LUN-ALUN Tegalinten sudah sunyi. Panggung ujian
Adan panggung kehormatan masih berdiri di ten-
gahnya. Tapi para pembesar dan rakyat Tegalinten telah pulang ke rumahnya
masing-masing. Dan hari mulai senja.
Aria Pamungkas masih berdiri di menara istana,
sambil memandang ke arah barat sana, ke arah alun-
alun yang telah lengang itu.
Ketika Resi Ekaraga muncul di atas menara istana
itu, Aria Pamungkas masih berpeluk tangan dan me-
mandang ke kejauhan sana.
"Prabalaya sudah kuberangkatkan ke Kawahsuling,"
desis Aria Pamungkas tanpa menoleh.
"Oh, itu baik sekali, Gusti. Seorang calon raja besar, harus selalu menepati
janjinya," sahut Resi Ekaraga dengan seringai di bibirnya. Seringai yang aneh.
Sea-neh seringai waktu ia diam-diam memencilkan diri tadi siang, karena ia tidak
mau bertemu muka dengan Prabaseta... saingan masa mudanya.
"Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi kelak.
Aku telah mengangkat dua orang tokoh golongan hi-
tam, sebagai pembesar-pembesar di negeri ini."
"Ah, rakyat Tegalinten hanya akan mengikuti saja
apa yang telah diputuskan oleh Gusti Aria. Hamba ra-sa tidak akan ada
pemberontakan di negeri ini. Terlebih lagi sekarang, Gusti Aria telah mempunyai
dukungan orang-orang yang sangat ditakuti oleh rakyat."
"Tapi... orang-orang yang sangat ditakuti itu justru berasal dari golongan


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam, Paman Resi. Tadinya aku ingin agar diriku dipandang baik oleh rakyat
Tegalinten. Aku tidak ingin namaku diam-diam jadi pergun-
jingan. Dan sekarang" Ah... pasti banyak yang tengah mempergunjingkanku, sebagai
calon raja yang berse-kutu dengan orang-orang jahat."
"Lupakanlah kekuatiran seperti itu, Gusti. Sebenarnya banyak hal yang
menguntungkan bagi Gusti seka-
rang." "Maksud Paman Resi?"
"Dengan dukungan dari orang-orang seperti Sena-
pati Prabayani dan Adipati Prabalaya... keamanan di negeri ini akan mantap."
"Keamanan di negeri ini akan mantap"!" tukas Aria
Pamungkas. "Benar, Gusti Aria. Para pencuri, perampok dan se-
bangsanya, tidak akan berani melakukan kejahatan
lagi. Sedikitnya mereka akan segan, karena panglima di negeri ini adalah anak
pemimpin mereka. Bukankah ini suatu keuntungan besar bagi Gusti Aria?"
Meledaklah tawa Aria Pamungkas. "Hahahahaaaa...!
Paman Resi memang benar! Keamanan di negeri ini
akan menjadi mantap... mantap sekali!"
"Ada keuntungan lain yang bisa diambil oleh Gusti
Aria," ujar Resi Ekaraga lagi. "Orang-orang dari golongan hitam itu, bisa
ditarik... sedikitnya untuk dijadikan mata-mata."
"Mata-mata"!" Aria Pamungkas serasa diingatkan
pada sesuatu yang selama ini masih dirahasiakan.
"Ya... Gusti Aria bisa memanfaatkan mereka untuk
menyelundup ke Tanjunganom, misalnya..."
"Paman Resi...," sergah Aria Pamungkas, "dari mana Paman Resi tahu bahwa aku
punya maksud tertentu
terhadap Kerajaan Tanjunganom?"
Resi Ekaraga tersenyum. Menyahut, "Orang yang
sudah tua seperti hamba ini, seringkali lebih waspada daripada orang-orang muda,
Gusti." Aria pamungkas seperti enggan membicarakan hal
itu lebih jauh. Lalu melangkah menuruni tangga, setelah berkata, "Hari sudah
malam. Aku ingin memeriksa
tahanan itu."
"Tahanan itu kelihatannya berbahaya," kata Resi
Ekaraga sambil mengikuti langkah Aria Pamungkas
menuruni tangga. "Mungkin Gusti Aria harus dikawal oleh senapati baru itu."
"Ya," Aria Pamungkas mengangguk.
*** Sementara itu, di dalam ruang tahanan yang dijaga
ketat, Rangga menelentang lemah. Telah berkali-kali ia mencoba membebaskan diri
dari pengaruh racun yang
telah melumpuhkan anggota badannya itu. Tapi hasilnya tetap nihil.
Sampai akhirnya ia berpikir, "Ah... mungkin nasib-
ku harus begini. Harus menjadi orang lumpuh dan tak berdaya. Biarlah..."
Tiba-tiba pintu besi itu terbuka. Aria Pamungkas
muncul di ambang pintu, didampingi oleh Senapati
Prabayani. Dua prajurit pembawa obor berdiri di belakang mereka.
Aria Pamungkas menyuruh salah seorang prajurit
untuk mengangkat obornya tinggi-tinggi, supaya wajah Rangga kelihatan.
"Namamu Rangga, bukan?" desis Aria Pamungkas
sambil bertolak pinggang di dekat tawanannya.
Rangga tak menyahut. Melirikkan matanya pun ti-
dak. Seolah-olah tak peduli dengan kehadiran sang Putra Mahkota di dalam ruang
tahanan itu. "Ada satu hal yang ingin kuketahui darimu," kata
Aria Pamungkas lagi, "mengenai kakakku... Aria Lu-
mayung. Engkau pasti tahu di mana dia berada seka-
rang." Rangga tetap membisu dan memandang langit-
langit ruang tahanan itu, tanpa mempedulikan perta-
nyaan sang Putra Mahkota.
"Jawaaab!" bentak Aria Pamungkas sambil menen-
dang paha Rangga sekuatnya.
Tendangan itu membuat Rangga berguling-guling di
lantai. Membuat Rangga terkejut: Oh! Hanya oleh tendangan biasa saja, aku sudah
terguling-guling! Apakah aku sudah begini lemahnya"
"Ayo jawab! Di mana dia berada sekarang?" bentak
Aria Pamungkas lagi.
Rangga tetap tidak mau menyahut.
Senapati Prabayani, yang sesekali masih memegangi
bahunya karena keretakan tulangnya masih menim-
bulkan sakit, sekalipun telah diobati oleh ayahnya, di-am-diam memperhatikan
wajah Rangga dengan pera-
saan kagum: Sebenarnya dia tampan sekali. Sean-
dainya dia bisa kutarik menjadi sekutuku, ah, alangkah menyenangkan...!
"Senapati," Aria Pamungkas menoleh kepada Sena-
pati Prabayani, "apakah dia sudah menjadi bisu" Dia sama sekali tidak mau
menjawab pertanyaanku."
"Hamba rasa, sebaiknya dia diberi tempo dulu. Nan-
ti hamba sendiri yang akan menanyainya," sahut Prabayani sambil membungkukkan
badannya. Aria Pamungkas mengerutkan dahinya. Lalu berge-
gas meninggalkan ruang tahanan, diiringi oleh Senapati Prabayani dan kedua
prajurit pembawa obor itu.
Dan Rangga meludah ke lantai, "Cuh...! Biar dibu-
nuh pun, aku tidak akan menjawab pertanyaan me-
reka!" *** IMA orang penunggang kuda memasuki hutan di
Lse belah selatan Tegalinten. Yang dua orang berada di muka, yang seorang berada
di tengah dan yang dua orang lagi berada di belakang. Mereka adalah Adipati
Mundingrana bersama empat orang pengawalnya.
Di muka pertapaan Prabu Suriadikusumah, mereka
menghentikan kudanya masing-masing. Dan Adipati
Mundingrana turun dari kudanya, lalu melangkah ke
arah pertapaan.
Prabu Suriadikusumah yang tidak lagi mengenakan
pakaian kebesaran seorang raja, dan sudah menggan-
tinya dengan pakaian seorang pertapa, menyongsong
kedatangan Adipati Mundingrana di ambang pintu pertapaan, dengan senyum di
bibir. Adipati Mundingrana bersimpuh di depan Prabu
Suriadikusumah, sebagai tanda baktinya. "Hamba
menghaturkan sembah bakti, Gusti Prabu."
Prabu Suriadikusumah mengangguk, "Kuterima sem-
bah baktimu, Adipati Pasirluhur. Tapi... angin apa yang membawamu ke mari?"
"Angin duka, Gusti Prabu. Duka bagi seluruh rakyat Tegalinten."
"Suka dan duka itu memang wajar dialami oleh ma-
nusia yang masih bernyawa," sabda sang Prabu, "Tapi, cobalah katakan, berita
duka apa yang ingin kau sam-paikan padaku?"
"Sebenarnya berat hati hamba untuk menghatur-
kannya ke hadapan Gusti Prabu, karena apa yang in-
gin hamba haturkan ini, menyangkut putra Gusti Pra-bu sendiri."
"Hmm... Adipati Pasirluhur hendak menyampaikan
soal Aria Pamungkas, bukan"!"
"Be... benar, Gusti Prabu."
"Aku sudah tahu semuanya. Tentang pengangkatan
perempuan bernama Prabayani, sebagai senapati. Tentang pengangkatan lelaki
bernama Prabalaya, sebagai Adipati Kawahsuling. Dan aku juga sudah tahu bahwa
ayah mereka, adalah Prabaseta alias Jalak Ruyuk."
Adipati Mundingrana terperangah. "Ja... jadi Gusti Prabu sudah menyetujui
semuanya itu?"
"Aku tidak bilang setuju. Aku hanya bilang bahwa
aku sudah tahu. Dan... yaaah... aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena
kekuasaan sudah kupasrahkan
kepada putraku," sabda Prabu Suriadikusumah sambil tersenyum getir.
Adipati Mundingrana menghela napas panjang. Mem-
bisu beberapa saat. Lalu katanya, "Kalau hamba tidak kasihan kepada rakyat
Tegalinten, mungkin hamba tidak akan ikut campur pada apa pun yang dilakukan
oleh Gusti Aria Pamungkas. Tapi... sekarang... rakyat dari kotaraja bahkan mulai
banyak yang mengungsi ke daerah Pasirluhur, Gusti Prabu."
"Mengungsi ke Pasirluhur"!" tukas Prabu Suriadi-
kusumah. "Daulat, Gusti Prabu. Tampaknya mereka sudah
menganggap kotaraja sebagai neraka rakyat, yang penuh dengan siksaan dan
penderitaan. Mereka senantiasa dicengkeram ketakutan, terutama setelah anak
Prabaseta itu diangkat sebagai senapati."
"Sebaiknya katakan saja, apa yang ingin kau usul-
kan padaku?"
"Ampun Gusti Prabu... menurut pendapat hamba,
belum terlambat bagi Gusti Prabu, untuk membatal-
kan keputusan tentang pengangkatan putra mahkota."
"Inilah yang sangat sulit bagiku," keluh Prabu Su-
riadikusumah. "Sebagai seorang raja, aku tidak boleh menjilat air ludahku
sendiri. Aku telah mengangkat Aria Pamungkas sebagai putra mahkota. Bahkan pen-
gangkatan itu kulakukan secara resmi, di depan seluruh pembesar Tegalinten.
Lalu... apa kata mereka nanti, kalau aku membatalkan keputusanku sendiri?"
"Tapi... demi rakyat Tegalinten, mungkin Gusti Pra-bu masih berkenan mendampingi
Gusti Aria Pamung-
kas dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan
pengawasan dari Gusti Prabu, mungkin masih banyak
yang bisa diperbaiki dalam jiwa putra Gusti."
"Itu juga sulit kulakukan, karena aku sudah mulai
memasrahkan diri ke dalam jalan kesucian semata.
Aku bahkan sedang merencanakan untuk menobatkan
Aria Pamungkas secara resmi, sebagai Raja Tegalin-
ten." "Duh, Gusti Prabu. Hamba tidak dapat mem-
bayangkan malapetaka apa yang akan melanda negeri
ini, kalau Gusti Prabu secara resmi memasrahkan
mahkota kepada putra Gusti yang... yang masih terlalu muda itu."
Prabu Suriadikusumah hanya membelai jenggotnya
yang telah memutih, sambil memandang ke arah sang
Mangkubumi yang sedang bersemadi di sudut perta-
paan. *** Dan jauh di utara sana, di dalam istana Tegalinten,
sang Putra Mahkota sedang berbicara dengan Senapati Prabayani.
"Sudah hampir dua bulan kita menahan lelaki ber-
nama Rangga itu. Tapi sampai hari ini kita belum juga mendapat keterangan apa
pun dari mulutnya. Lalu
sampai kapan kita harus menunggu?"
"Memang dia bandel sekali, Gusti Aria. Tapi hari ini dia harus bicara. Benda ini
yang akan memaksanya
buka mulut."
Senapati Prabayani memperlihatkan sebuah cupu
perak. "Apa isi cupu itu?" Aria Pamungkas mengernyitkan
keningnya. "Serbuk Kucubung Rawa," Senapati Prabayani me-
layangkan senyum genit. Senyum yang sering mem-
buat Aria Pamungkas merinding.
"Kucubung Rawa"!"
"Benar, Gusti Aria. Serbuk ini memang keras sekali.
Memaksa seseorang membuka segala rahasia yang
masih dipendamnya. Tapi... ia sendiri tidak akan tahan lebih dari sehari."
"Maksudmu?"
"Setelah makan serbuk ini, orang itu akan menja-
wab setiap pertanyaan kita. Dan setelah mengoceh, ia akan berkelojotan...
sekarat. Dan paling lama sehari ia kuat menahannya... lalu mampus!"
Aria Pamungkas tercengang, lalu tersenyum, sekali-
pun hatinya merasa ngeri... ngeri membayangkan ba-
gaimana jahatnya perempuan cantik yang sedang be-
rada di depannya itu. Perempuan yang sudah mendu-
duki jabatan sangat penting di Kerajaan Tegalinten itu.
Pikir Aria Pamungkas, "Prabayani selalu memiliki
cara dan alat untuk mencapai maksudnya. Dan aku
tidak tahu apa yang tersimpan di dalam benaknya saat ini. Mudah-mudahan saja dia
tidak pernah bermaksud meracuniku. Tapi... bagaimana caranya supaya aku
punya jaminan bahwa dia tidak akan punya maksud
buruk terhadap diriku?"
Agak lama Aria Pamungkas terdiam. Merenung dan
sesekali melirik ke arah perempuan cantik itu.
Dan Senapati Prabayani mengira bahwa sang Putra
Mahkota meragukan kehebatan serbuk Kucubung Ra-
wa itu. Maka katanya, "Percayalah, Gusti Aria. Serbuk
Kucubung Rawa buatan ayah hamba ini, tidak pernah
gagal." "Aku tidak menyangsikan serbuk dalam cupu itu,"
sahut Aria Pamungkas. "Yang kusangsikan justru diri-mu sendiri."
"Diri hamba"!" Senapati Prabayani terheran-heran.
"Bukankah hamba telah berhasil membentuk barisan
khusus dalam waktu singkat, berhasil menciptakan
keamanan di negeri ini, berhasil...."
"Ya, kau telah berhasil dalam banyak hal," sergah
Aria Pamungkas. "Tapi kau belum berhasil meyakin-
kanku, bahwa kau tetap akan setia padaku. Bahwa
kau tidak pernah berniat mengkhianatiku."
Senapati Prabayani sedikit bingung. Entah bagai-
mana caranya untuk meyakinkan hati sang Putra
Mahkota, pikirnya.
Namun lalu Senapati Prabayani berdesis, "Percaya-
lah, Gusti Aria. Hamba berada di istana ini, semata-mata karena ingin
membaktikan diri kepada Gusti
Aria." Dan toh Aria Pamungkas masih belum yakin. "Da-
hulu, kau bicara begitu juga kepada Adipati Natajaya, bukan" Dan kemudian... kau
bunuh adipati yang ma-lang itu."
Senapati Prabayani terperangah. Tak disangkanya
bahwa sang Putra Mahkota akan mengungkit-ungkit
kembali persoalan yang tadinya sudah dianggap selesai itu. Tapi Senapati
Prabayani bukanlah anak si Jalak Ruyuk, kalau ia tidak bisa mencari jawaban
untuk suatu persoalan. Maka lalu katanya, "Hamba sudah
mengutarakan alasan utama yang membuat hamba
merasa berkewajiban untuk melenyapkan Adipati Na-
tajaya. Dan bukankah Gusti Aria sudah memaklu-
minya?" "Ya," Aria Pamungkas mengangguk. "Kau memang
punya alasan kuat untuk membunuh Adipati Natajaya.
Lalu... alasan apa pula yang membuatmu tega membu-
nuhku di kemudian hari?"
"Ah... kenapa Gusti Aria bisa punya pikiran seburuk itu?" Senapati Prabayani
mengerling dengan sikap
khusus. Sikap seorang wanita yang membutuhkan le-
laki. "Seorang calon raja besar seperti aku ini, harus selalu memperhitungkan segala
kemungkinan."


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah. Hamba mohon Gusti Aria sudi memperhi-
tungkan satu kemungkinan saja mengenai diri ham-
ba... bahwa hamba akan membuktikan kebaktian
hamba dengan... dengan cinta."
"Cinta"!"
"Benar, Gusti Aria. Kalau Gusti Aria tidak bisa
mempercayai hamba, peristrikanlah diri hamba ini.
Dan hamba siap mengandung putra-putri Gusti di da-
lam perut hamba. Dari putra-putri itulah, hamba akan selalu merasa terikat
kepada Gusti Aria... terikat secara kekal."
Aria Pamungkas agak terpanar. Seorang perempuan
diam-diam menggilai seorang pangeran bukanlah hal
yang aneh, tapi seorang perempuan secara terang-terangan menawarkan diri kepada
seorang lelaki, masih merupakan hal yang 'luar biasa' bagi zaman itu.
Tapi, bagaimanapun juga 'tawaran' Senapati Pra-
bayani itu merupakan hal cukup menarik bagi sang
Putra Mahkota. Karena, dengan memperistrikan seo-
rang wanita yang berilmu tinggi seperti Prabayani, kedudukan Aria Pamungkas akan
semakin kokoh. Aria Pamungkas lalu tercenung. Berpikir, "Adalah
sangat menguntungkan kalau aku punya pengawal
seumur hidup seperti Senapati Prabayani. Kalau dia
jadi istriku, tentu saja dia akan selalu membelaku. Ta-pi sayangnya, dia bukan
keturunan raja. Apakah
mungkin aku bisa mengawininya?"
Seperti maklum pada apa yang tengah dipikirkan
oleh Aria Pamungkas, Senapati Prabayani berkata,
"Kalau Gusti Aria tidak mungkin menerima hamba se-
bagai istri utama, tentu Gusti Aria tidak akan berkebe-ratan menerima hamba
sebagai selir."
Selir, pikir Aria Pamungkas, ya... kenapa aku tidak mengawininya saja sebagai
seorang selir"!
*** Aria Pamungkas memang seorang pangeran yang am-
bisius, licik dan kejam. Untuk mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya, demi
kedudukan tertinggi yang
diincarnya, ia tidak sayang-sayang menghamburkan
harta negara. Dan kalau dengan jalan 'halus' itu, ia belum juga berhasil
mencapai maksudnya, ia tidak se-
gan-segan mengorbankan nyawa orang lain. Katakan-
lah ia bisa menghalalkan segala macam cara, untuk
mencapai cita-citanya.
Tapi anehnya, Aria Pamungkas seperti kurang terta-
rik kepada perempuan. Padahal di usianya yang telah menanjak dewasa itu,
seharusnya ia sedang gila-gilanya mengagumi lawan jenisnya.
Itulah sebabnya, walaupun ia sudah menjadi putra
mahkota, ia belum pernah terlibat dalam percintaan dengan gadis mana pun.
Dan kini, ia berhadapan dengan 'gadis' yang sudah
begitu berpengalaman dalam meruntuhkan hati lelaki.
Ini adalah hal baru bagi sang Putra Mahkota.
Perempuan. Ya, perempuan. Apa sebenarnya yang
bisa menguntungkan dari seorang perempuan" Menga-
pa lelaki harus selalu didampingi oleh perempuan"
Demikianlah yang terpikir oleh sang Putra Mahkota, ketika Senapati Prabayani
masih menengadah dengan
penuh harap. Dan akhirnya Aria Pamungkas berkata, "Kau harus
menurunkan seluruh ilmumu padaku. Barulah kemu-
dian aku akan memperistrikanmu."
Berbinar-binar mata Senapati Prabayani dibuatnya.
"Oh, benarkah itu?"
"Ya," Aria Pamungkas mengangguk. "Seperti yang
kukatakan tadi, aku akan memperistrikanmu secara
resmi. Tapi terlebih dahulu kau harus menurunkan seluruh ilmu yang kau miliki
padaku." "Kalau boleh hamba tahu, apa yang membuat Gusti
Aria tertarik untuk memiliki ilmu hamba?"
"Karena sekarang aku sadar. Seorang pemimpin ha-
rus menguasai segala macam ilmu. Termasuk ilmu ke-
digjayan."
Senapati Prabayani juga termasuk manusia yang
menghalalkan segala macam cara, untuk mencapai tu-
juannya. Maka untuk mendapatkan apa yang diingin-
kannya dari sang Putra Mahkota, tidak segan-segan ia mencium kaki sang Putra
Mahkota, sambil berdesis,
"Hamba akan memenuhi segala kehendak Gusti Aria."
Sebenarnya ciuman di kaki Aria Pamungkas itu bu-
kan cuma ciuman bakti. Senapati Prabayani menam-
bahnya dengan gigitan lembut. Gigitan yang merang-
sang. Dan toh Aria Pamungkas tidak terangsang. Bahkan
berkata, "Marilah kita laksanakan pemeriksaan tahanan bernama Rangga itu."
"Gila," umpat Prabayani dalam hati. "Putra Mahkota ini jauh lebih mementingkan
urusan politik daripada perempuan!"
Namun Senapati Prabayani tidak memperlihatkan
kekecewaannya itu. Ia segera mengikuti langkah sang Putra Mahkota ke arah
penjara yang terletak agak jauh di sebelah timur istana.
*** Setibanya Aria Pamungkas dan Senapati Prabayani
di dalam penjara, terjadi kegemparan.
Rangga telah hilang dari ruang tahanannya!
Dan prajurit-prajurit penjaga penjara menjadi ka-
lang kabut, mencari-cari Rangga ke seluruh pelosok penjara. Tapi mereka tidak
menemukannya. Jejaknya pun tidak mereka temukan.
Tentu saja hal ini membangkitkan kemarahan Se-
napati Prabayani dan sang Putra Mahkota. Kepala penjaga penjara dipanggil.
Dihardik: "Goblok! Tolol! Bagaimana ini bisa terjadi" Bukankah tahanan itu
kalian jaga dengan ketat?"
"Be... benar," Kepala penjaga itu ketakutan sekali.
"Ham... hamba sudah mengatur penjagaan demikian
rapinya. Se... seperti Gusti lihat sendiri, pintu itu dijaga oleh sepuluh orang.
Tapi..." "Tapi buktinya dia lolos!" sergah Aria Pamungkas
sambil mendaratkan tamparannya di muka kepala
penjaga itu, plaaaar...!
Senapati Prabayani mencoba untuk menenangkan
sang Putra Mahkota. "Biarlah... nanti akan hamba cari lagi si bedebah itu."
"Tapi... bukankah kau bilang bahwa dia akan lum-
puh seumur hidupnya"! Lalu kenapa sekarang dia bisa melarikan diri?"
"Hamba rasa, ada seseorang yang menolong dia."
"Ada seseorang yang menolong dia...," gumam Aria
Pamungkas yang lalu meninggalkan penjara dengan
wajah murung. *** PA sebenarnya yang menyebabkan Rangga bisa hi-
Alan g dari penjara Tegalinten itu" Apakah dia mendadak sembuh dan bisa berjalan
lagi seperti biasa, lalu mengerahkan ilmunya untuk melarikan diri"
Sebenarnya begini kejadiannya:
Beberapa saat sebelum Aria Pamungkas dan Sena-
pati Prabayani tiba di penjara, Rangga melihat sesuatu yang mengherankan. Lantai
ruang tahanan itu men-cuat sedikit demi sedikit. Dan tiba-tiba saja menyem-
bullah kepala manusia... kepala wanita muda yang sudah dikenal oleh Rangga...
"Nyi... Tiwi"!"
"Sttt...!" Wanita muda itu menaruh telunjuk di bi-
birnya. Lalu menghampiri Rangga, sambil berkata setengah berbisik, "Aku datang
untuk menolongmu, Kang.
Ayolah... lubang buatanku ini tembus sampai ke luar kotaraja."
Rangga hampir tidak mempercayai penglihatannya
sendiri. Bahwa Nyi Tiwi membuatkan lubang rahasia dari luar kotaraja sampai
lantai ruang tahanan itu.
Dan Rangga tidak tahu bagaimana cara Nyi Tiwi men-
gerjakan lubang itu.
"Ayolah, Kang," desak Nyi Tiwi, "jangan menunggu
mereka memenggal kepalamu."
Rangga menghela napas. "Ah... percuma kau bua-
tkan lubang untukku, karena aku... aku sudah lum-
puh, Nyi."
"Lumpuh"!" Nyi Tiwi terheran-heran.
"Ya. Aku telah menjadi korban racun Prabaseta..."
Tiba-tiba saja Nyi Tiwi memeluk Rangga dan me-
mangkunya, membawanya ke dalam lubang rahasia
itu, dalam gerakan yang sangat cepat. Membuat Rang-ga terkejut dan segera sadar,
bahwa Nyi Tiwi memiliki ilmu yang sangat tinggi. Itu bisa Rangga ketahui dari
gerakan Nyi Tiwi.
"Kau... kau hebat sekali, Nyi," desis Rangga ketika Nyi Tiwi menutupkan kembali
lantai ruang tahanan itu (supaya tidak terlihat bahwa di bawahnya ada lubang
rahasia). Nyi Tiwi tidak menyahut, melainkan melorot ke da-
lam lubang yang gelap itu, sambil memeluk Rangga.
Setelah berada di bawah sekali, Rangga melihat lu-
bang rahasia itu jadi cukup besar, sehingga ia semakin tidak percaya pada
penglihatannya sendiri: Mungkinkah Nyi Tiwi dapat membuat terowongan yang begini
besarnya dalam waktu singkat"
"Terowongan ini bukan aku yang membuat," kata
Nyi Tiwi sambil menggendong Rangga dan melesat berlari di dalam terowongan yang
cukup tinggi itu, tanpa harus membungkukkan badan.
"Lantas siapa yang membuat terowongan ini?"
"Entahlah. Mungkin pihak kerajaan yang mem-
buatnya. Tapi kalau lubang kecil yang tembus ke
ruang tahananmu tadi, memang aku sendiri yang
membuatnya."
"Tapi... dari mana kau tahu bahwa aku tertangkap
oleh kerajaan?"
"Aku mendengar dari percakapan prajurit-prajurit
Adipati Prabalaya. Mereka sering menceritakan peristiwa pertarunganmu dengan
keluarga Prabaseta di alun-alun Tegalinten. Selama ini aku selalu menyembunyikan
kepandaianku. Tapi setelah mendengar kau di-
tangkap oleh pihak kerajaan, aku tidak bisa menahan diri lagi, Kang...!"
"Aku tidak menyangka bahwa kau seorang wanita
berilmu tinggi."
Nyi Tiwi tidak menyahutnya, karena mereka telah
tiba di mulut terowongan itu.
Ternyata mulut terowongan itu terletak di dinding
jurang terjal. Jauh di bawah sana, tampak sungai
mengalir dari selatan ke utara. Sedangkan di atas sa-na, tampak bibir jurang
itu, sama jauhnya dengan jarak dari mulut terowongan ke dasar jurang.
Dengan kata lain, mulut terowongan itu berada di
tengah-tengah dinding jurang. Ke bawah jauh, ke atas pun jauh. Mulut terowongan
itu sendiri terlindung oleh tumbuh-tumbuhan liar, sehingga dari kejauhan tidak
terlihat bahwa di dinding jurang itu ada mulut terowongan rahasia.
Hal itu membuat Rangga heran: Bagaimana caranya
sehingga Nyi Tiwi bisa tahu bahwa di sini ada mulut terowongan"
Dan yang membuat Rangga lebih heran lagi, Nyi Ti-
wi dapat merayap ke atas, sambil menggendong Rang-
ga, tak ubahnya seekor cecak yang sedang merayap di dinding. Memang Rangga tahu
bahwa ilmu merayap di
Bara Naga 4 Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Lauw Pang Vs Hang Ie 2
^