Pencarian

Neraka Pulau Biru 1

Joko Sableng Neraka Pulau Biru Bagian 1


Episode I : RAHASIA PULAU BIRU
Episode II : MALAIKAT PENGGALI KUBUR
Episode III : KITAB SERAT BIRU
Episode IV : NERAKA PULAU BIRU
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
SATU I sela rimbun pohon bakau yang
banyak tum buh di pesisir pantai Laut
DSelatantampaksesosoktubuhtegak
berlindung dengan kepala lurus ke
arah tengah laut yang sedang bergelom bang
besar. Sesekali sosok ini terlihat menghela
napas dalam. Meski raut wajahnya tidak
membayangkan kecemasan, karena wajah
orang ini ditutup dengan kain cadar berlobang-lobang
kecil yang menyembunyikan parasnya, dari gerak-gerik
serta sikapnya jelas jika orang ini sedang
dilanda kebim bangan.
"Apakah aku harus menyusul ke pulau itu"
Ataukah sebaiknya kutunggu saja di sini"
Melihat ke mana arah yang dituju, sekarang
jelaslah bahwa pemuda itu memang sedang
memburu Kitab Serat Biru! Tapi bagaimana
pemuda berjubah putih serta Dewi Siluman
dan Kl Buyut Pagar Alam tahu juga tempat
yang hendak dituju Pendekar 131?"
Sosok bercadar yang ternyata adalah seorang perempuan yang di punggungnya
tampak punuk besar kembali menarik napas
panjang dengan kepala sedikit ditengadahkan. "Kalau aku menyusul ke pulau itu, bagaimana nanti jika Dewi Siluman dan Ki
Buyut tahu semua Ini" Tapi... Pendekar 131
pasti akan menghadapi kesulitan besar! Ah....
Bagaimana pun aku harus menyusul! Apa
pun nanti yang akan terjadi, aku tak tega
melihat Pendekar 131 menghadapi kesulitan
sendiri!" Memutuskan begitu, perempuan bercadar
dan berpunuk segera bergerak keluar dari
rimbun pohon bakau. Namun mendadak satu
bayangan berkelebat disertai memanlulnya
satu cahaya, membuat langkah perempuan
bercadar dan berpunuk tertahan. Tapi perempuan ini jadi terkesiap. Karena tahu-
tahu seorang bertubuh besar mengenakan
pakaian gom brang warna hijau telah berdiri
tegak di hadapannya!
Seraya tengadahkan sedikit kepalanya, sosok besar di hadapan perempuan bercadar
dan berpunuk mengusap-usap cermin bulat
pangkal ikat pinggangnya yang ada di depan
perutnya. Sepasang matanya bolak-balik mengerjap. Namun sepasang bola mata itu
hanya tampak putihnya saja. pertanda orang
ini buta. 'Gendeng Panuntun!"
ujar perempuan bercadar dan berpunuk begitu mengenali
siapa orang yang kini berdiri di hadapannya.
Ketegangan wajah di balik cadar sedikit
mereda. Namun karena khawatir akan keselamatan
Pendekar 131, perempuan bercadar dan
berpunuk segera hendak berkelebat tinggalkan tempat itu. Tapi gerakan perempuan ini kembali tertahan tatkala tiba-
tiba orang besar bermata buta yang di depan
perutnya tampak sebuah cermin bulat dan
bukan lain memang Gendeng Panuntun
adanya berkata.
"Hendak ke mana kau, Anak cantik"!"
Sepasang mata di balik cadar berlobang
membesar perhatikan lebih seksama pada
Gendeng Panuntun. "Dia ternyata tahu siapa diriku!
Adakah penyamaranku ini
kurang baik" Tap!.... Sepasang matanya buta! Ah.
Benar-benar orang aneh. Pertama kali jumpa
dia dapat mengetahui isi hatiku, sekarang
tahu pula siapa aku!" Diam-diam perempuan bercadar dan berpunuk membatin.
Karena perempuan berpunuk belum juga
buka mulut menjawab, Gendeng Panuntun
arahkan kepalanya menghadap pada si perempuan. Lalu terdengar dia berujar.
"Sikapmu gelisah. Adakah kau memikirkan
seseorang"!"
Seperti dituturkan sebelumnya, perempuan
bercadar dan berpunuk secara diam-diam
mengikuti ke mana Pendekar 131 membawa
Dewi Seribu Bunga. Dan begitu Pendekar
131 pergi ke puncak bukit di mana baru saja
terdengar orang lantunkan bait-bait syair, di hadapan Dewi Seribu Bunga muncul
Maut Mata Satu yang bukan lain adalah guru Dewi
Seribu Bunga sendiri. Kedua guru serta murid
ini kemudian pergi. Dan tatkala Pendekar 131
turun dari puncak bukit, perempuan berpunuk
mengatakan pada Pendekar 131 apa yang
baru saja didengarnya dari percakapan antara Maut Mata Satu dan Dewi Seribu
Bunga. Setelah itu perempuan berpunuk
berkelebat pergi. Namun secara diam-diam
dia menyelinap lalu mengikuti Pendekar 131
sampai akhirnya mencapai pesisir Laut Selatan. Dia sebenarnya hendak mengikuti
murid Pendeta Sinting yang teruskan perjalanan menyeberang laut, namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba muncul
seorang pemuda berjubah putih yang bukan
lain adalah Malaikat Penggali Kubur yang
saat itu juga telah sampai di pesisir Laut
Selatan. Perasaan perempuan berpunuk sudah tidak enak tatkala mengetahui Malaikat
Penggali Kubur ternyata juga menempuh
perjalanan menyeberang laut. Dia sudah
bertekad untuk mengikuti, tapi lagi-lagi langkahnya tertahan, malah kali Ini dia jadi
terkesiap kaget tatkala begitu Malaikat Penggali Kubur menyeberang, mendadak
muncul perempuan bercadar hitam serta
berjubah hitam besar sebatas lutut berambut
pirang dengan seorang kakek berjubah hitam
yang kedua tangannya masuk ke dalam saku
jubahnya. Kedua orang ini bukan lain adalah
Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
Merasa orang di hadapannya telah tahu
apa yang kini dilakukan perempuan berpunuk, perempuan Ini segera berkata.
"Kakek! Terus terang aku memang tengah
memikirkan seseorang. Malah aku mengkhawatirkan keselamatannya!"
Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya
yang pantulkan cahaya. "Hemm.... Kalau tak salah, bukankah yang menjadi hatimu
gerah adalah seorang pemuda"!"
"Bagaimana orang ini bisa tahu?" tanya perem puan
berpunuk dalam hati. Lalu berkata. "Aku tidak bisa mengatakan padamu siapa orang yang sedang
kukhawatlrkan!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Seraya tengadah dia berkata lagi.
"Gelombang
besar bukan penghalang. Lautan api bukanlah perintang. Kalau hati


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang gadis selalu berguncang, apalagi
yang menjadi sebab jika bukan belenggu
asmara" Ha... ha... ha...! Anak cantik! Tanpa kau katakan siapa orang yang kau
pikirkan, air muka di balik penutup wajahmu mengatakan hal Itu!"
"Kek! Kulihat matamu tidak bisa digunakan lagi. Bagaimana kau tahu aku
mengenakan penutup wajah"!" tanya perempuan berpunuk heran.
"Tidak ada gunanya memberi keterangan
yang tidak dapat dimengerti, Anak cantikl Dan satu hal lagi, bukankah ucapanku
benar"!"
Perempuan berpunuk akhirnya hanya anggukkan kepala, seolah orang di depannya
bisa melihat. Setelah agak lama terdiam, dia
bertanya. "Kek. Kau sendiri hendak ke mana"!"
Gendeng Panuntun arahkan kepalanya ke
bentangan laut di depan sana. Lalu berkata.
"Seandainya ada orang yang mau berbaik
hati padaku, aku ingin menyeberang laut...."
Ucapan Gendeng Panuntun membuat perempuan berpunuk terkejut. Sepasang bola
mata di balik cadar membesar. "Jangan-
jangan orang tua ini punya tujuan yang sama
dengan orang-orang yang telah terlebih dahulu menyeberangi Urusannya akan bertambah rumit. Kuyakln orang tua ini bukan
orang sembarangan! Pendekar 131 akan
makin dihadang kesulitan!"
Selagi perempuan berpunuk dlbuncah dengan perasaannya sendiri, Gendeng Panuntun berkata. "Anak cantik. Maukah kau berbaik hati menolongku"!"
"Maaf, Keki Aku tak bisa menolong!"
"Ah.... Sayang sekali kalau begitu! Terpaksa aku cari orang lain yang dapat
membawaku menyeberang...."
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun
beranjak hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" Tiba-tiba perempuan berpunuk
berseru menahan langkah Gendeng Panuntun. "Kalau kau bersusah payah hendak menyeberang laut, pasti ada sesuatu
yang penting. Bisa katakan padaku, apa
tujuanmu hendak menyeberang, Kek"!"
"Kau tak perlu bertanya jika mau menolongku!"
"Tapi setidaknya aku harus tahu terlebih dahulu apa tujuanmu!"
"Aku tidak bisa mengatakan padamu!"
"Jika begitu, aku pun tidak bisa membantumu!" jawab perempuan berpunuk.
Gendeng Panuntun pentangkan bola matanya yang putih. Lalu usap-usap cerminnya dan perlahan melangkah meninggalkan perempuan berpunuk yang
memandang kepergiannya dengan dada disesaki beberapa pertanyaan dan dugaan.
"Belum kuketahui pasti tujuan kakek itu.
Juga belum bisa kuraba dia punya niat jelek
apa baik! Heem.... Aku harus mendahului
menyeberangi" Perempuan berpunuk arahkan
pandangannya pada hamparan laut jauh di
depannya. "Aku harus menyewa perahu...."
Perempuan berpunuk palingkan lagi ke
arah mana si kakek bertubuh besar tadi
melangkah. Dia terlengak sendiri, malah
sepasang mata di balik cadarnya terpentang
besar. Gendeng Panuntun ternyata telah
lenyap! "Baru saja masih terlihat. Tapi tiba-tiba sudah
lenyap. Kalau aku tidak segera menyeberang, tidak mustahil aku akan kedahuluan!"
Perempuan berpunuk
sekali lagi putar kepalanya. Kejap lain tubuhnya melesat dari
sela rimbun pohon bakau.
*** Perahu besar yang kain layarnya tampak
dibiarkan berserakan di bagian belakang itu
melaju perlahan menerjang gelombang besar
dan tiupan angin. Mungkin karena tiupan
angin sangat kencang, membuat laki-laki
yang berdiri di bagian depan perahu hanya
menggunakan dayung untuk kemudikan perahunya, sementara kain layarnya dibiarkan berserakan di bagian belakang
perahu. Agak sedikit ke belakang laki-laki
yang mendayung tampak duduk seorang
perempuan berpunuk yang wajahnya ditutup
kain cadar. Sejauh Ini, laki-laki pemilik perahu yang
mendayung di bagian depan tidak begitu
banyak bicara, karena ketika dia berusaha
buka mulut berkata, perem puan bercadar dan
berpunuk yang menyewa perahunya seperti
enggan untuk bercakap-cakap.
Bahkan semua pertanyaan hanya dijawab pelan dan
pendek-pendek, malah sesekali terdengar
ketus, hingga akhirnya laki-laki pemilik perahu tidak lagi berani bicara.
"Tidak bisakah kau percepat sedikit perahumu ini"l"
Mendadak perempuan berpunuk berkata.
Laki-laki pemilik perahu tidak menjawab.
Perempuan berpunuk ulangi tegurannya dengan suara agak keras, membuat laki-laki
pemilik perahu berpaling.
"Angin begini kencang. Tidak mungkin aku mempercepat laju perahu. Kita bisa
celaka!" Perempuan berpunuk menarik napas panjang dan dalam sambil perdengarkan
keluhan perlahan. Kepalanya lurus menghadap satu gugusan pulau di tengah
laut. "Sebenarnya ada urusan apa sepertinya
kau terburu-buru"
Padahal selama aku melaut di sini, baru kali ini ada orang yang
menyewa perahuku menuju pulau yang kau
tunjuk Itu. Dan menurut kabar, pulau Itu
adalah pulau kosong...."
"Jangan banyak bicara!" sahut perempuan berpunuk dengan suara masih agak keras.
Entah karena apa, kali ini laki-laki pemilik
perahu tidak menghiraukan ucapan keras
perempuan berpunuk. Malah setelah mendengar ucapan si perempuan, pemilik
perahu tertawa dan berkata.
"Agaknya kau punya urusan sangat penting! Atau barangkali ada harta karun di
pulau itu"!"
Perempuan berpunuk tidak menyahut. Saat
itulah tiba-tiba terdengar suara orang.
"Bukan hanya harta karun, tapi juga sepenggal hati!"
Lakl-lak! pemilik perahu kerutkan dahi.
"Heran. Melihat tampangnya sepertinya dia seorang
perempuan. Suaranya pun tadi kudengar jelas

Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara perempuan. Tapi mengapa barusan suara jawabannya seperti
suara laki-laki" Jangan-jangan dia hantu...."
Wajahnya ditutup, lalu. - Laki-laki pemilik
perahu kuduknya merinding. Perlahan-lahan
kepalanya bergerak hendak berpaling ke
belakang. Kalau pemilik perahu merasa heran, perempuan berpunuk terlihat tersentak kaget,
malah seketika bangkit dengan kepala menoleh ke belakang, dari mana suara
jawaban tadi terdengar.
Sepasang mata di balik cadarnya membelalak besar memperhatikan bagian
belakang perahu. Namun dia tidak melihat
siapa-siapa. "Jelas telingaku menangkap suara! Dan
sepertinya aku mengenali suara itu! Jangan-
jangan dia! Tapi mana orangnya! Atau jangan-jangan telingaku yang menipu..."l"
Laki-laki pemilik perahu makin heran tatkala
dia lihat perempuan berpunuk berdiri tegak
dengan memandang ke belakang. Belum
hiiang rasa herannya, tiba-tiba kain layar di bagian
belakang perahu bergerak-gerak!
Laki-laki pemilik perahu pentangkan sepasang matanya dengan lutut goyah, sementara perempuan berpunuk perhatikan
gerakan-gerakan
pada kain layar yang berserakan dengan sepasang mata di balik
cadar terpentang besar. Dan perlahan-lahan
dia segera kerahkan tenaga dalamnya pada
kedua tangan. Begitu kain layar terbuka, pemilik perahu
tak bisa lagi menahan lututnya hingga meski
kedua tangannya tetap memegang dayung,
namun tubuhnya telah melorot jatuh. Sedangkan perempuan berpunuk mendengus
keras namun tidak palingkan kepala.
DI hadapan perempuan berpunuk kini terlihat seorang laki-laki berusia lanjut bertubuh besar dengan sepasang mata putih
mengenakan pakaian gombrong berwarna
hijau dan bukan lain adalah Gendeng Panuntun! "Bagaimana Orang tua Ini tahu-tahu berada di situ" Urusan benar-benar makin
sukar!" kata perempuan berpunuk dalam hati. Lalu
berkata dengan suara keras.
"Orang tua! Kenapa kau lancang berani
menumpang perahu sewaanku tanpa terlebih
dahulu permisi"!"
Gendeng Panuntun pasang tampang terkejut. Namun tak lama kemudian tertawa
bergelak sebelum akhirnya berkata.
"Maaf. Aku tidak tahu kalau ini perahu
sewaanmu. Aku hanya tahu jika perahu ini
akan menyeberang. Lalu aku ikut...."
"Dusta jika orang ini tidak tahu! Hem.... Aku harus tahu apa tujuan dia
sebenarnya, kalau
punya niat jelek, aku tak segan menurunkannya di tengah laut!" gumam
perempuan berpunuk lalu melangkah satu
tindak seraya berkata.
"Kek! Aku tanya sekali lagi, jika kau masih tidak mau menjawab, terpaksa kau
harus turun!" Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya ke
samping kiri kanan. Lalu gelengkan kepala.
"Ah, bagaimana ini" Sekarang pasti kita
masih berada di tengah laut. Kalau sampai
kau menurunkan aku...."
Bibir di balik cadar perempuan berpunuk
menyeringai. "Itu urusanmu, Orang tua! Kau tinggal pilih, jawab pertanyaanku
atau turun di sini!"
Mendengar percakapan antara perempuan
berpunuk dan Gendeng Panuntun, pemilik
perahu pulih kembali kesadarannya. "Untung.
Kukira hantu laut!" gumamnya laiu dengan mata meilrlk, dia bergerak bangkit.
"Nada-nadanya mereka tidak bersahabat!
Kalau sampai terjadi perkelahian, bukan saja
perahuku yang akan rusak, namun nyawaku
tidak akan selamat! Aku harus cepat-cepat
sampai ke pulau yang ditunjuk perempuan
itu!" Serentak laki-laki pemilik perahu mendayung dengan sekuat tenaga, hingga
perahu Itu meluncur dengan cepat.
"Hei! Pelankan perahumu!"
Mendadak perem puan berpunuk berteriak.
"Bukankah kau tadi menginginkan cepat
sampai ke pulau itu"!" kata pemilik perahu tanpa
mengacuhkan teriakan perempuan berpunuk. Malah dia makin kuatkan dayungannya, hingga perahu itu lebih cepat
lagi menerjang gelombang ombak.
"Keparat!"
maki perempuan berpunuk hilang kesabaran. "Kalau kau tak memperlambat perahumu, jangan menyesal
jika kau pulang tanpa perahu!"
Mendengar ancaman orang, pemilik perahu
tampak takut. Dan perlahan-lahan memperlambat dayungannya. Namun sesekali kepalanya tampak
berpaling ke belakang. "Kek! Kau mau Jawab atau turun di sini!"
Perempuan berpunuk kembali ulangi pertanyaan tatkala Gendeng Pantuntun belum juga memberi jawaban.
"Eh. Yang kau tanyakan apa. Anak cantik"!"
Meski tambah jengkel dengan perkataan
Gendeng Panuntun, akhirnya
perempuan berpunuk menyahut juga.
"Aku tanya, apa tujuanmu ke pulau itu!"
"Hemm.... Sebenarnya aku enggan menjawab. Tapi daripada tenggelam di dalam
laut, apa boleh buat...," ujar Gendeng Panuntun pelan. Namun dia masih juga
belum menjawab, sebaliknya arahkan kepalanya menghadap perempuan berpunuk
dengan mata mengerjap.
"Orang tua! Jangan mengulur waktu! Jangan pikir aku tak sanggup melempar
tubuhmu yang besar masuk ke dalam laut!"
"Baik. Baiklah.... Sebenarnya aku telah
katakan tujuanku. Namun tak apalah jika kau
minta untuk mengatakannya kembali. Seperti
kataku tadi, di sana ada harta karun juga
sepenggal hati. Nah, selain ingin mendapatkan harta karun itu, aku juga ingin
selamatkan penggalan hati itu!"
Perempuan berpunuk tengadahkan kepala.
"Hm... jangan-jangan yang dikatakan harta karun itu adalah kitab yang kini
sedang diributkan banyak tokoh yang menuju Pulau


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biru. Dan hm.... Yang dimaksud penggalan
hati mungkin Pendekar 131...." Duga perempuan berpunuk, lalu luruskan kepalanya. "Orang tua! Kau menginginkan kitab ltu"!"
Gendeng Panuntun usap cerminnya. "Anak
cantik. Rezeki manusia telah ditetapkan. Dan
kurasa kitab Itu bukan rezekiku!
Hanya mungkin aku kebagian untuk ikut menyelamatkannya...."
"Kalau kau hanya kebagian untuk menyelamatkannya, siapa gerangan yang
kelak memiliki kitab itu"!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Lalu
gelengkan kepala sambil berujar.
"Tanda-tanda sang pewaris adalah seorang yang memiliki pedang mustika yang
dikenal dengan Pedang Tumpul 131!"
"Pendekar Pedang Tumpul 131!" tanpa sadar perempuan berpunuk bergumam.
Kembali Gendeng Panuntun tertawa. "Kau
telah mengenalnya?"
Perempuan berpunuk tersentak. Namun
untuk beberapa lama dia tak menjawab
pertanyaan Gendeng Panuntun. Orang tua
bermata buta ini mendongak, lalu berujar.
"Sudahlah, Anak cantik! Buanglah segala
duga dan prasangka. Kita harus cepat sampai
di pulau itu! Aku punya firasat akan terjadi
sesuatu! Jika kita terlambat sampai, aku
khawatir kau akan menyesal!"
"Aku?" tanya perempuan berpunuk.
"Ah, kau masih juga berpura-pura! Bukankah tujuanmu ke pulau itu karena
mengkhawatirkan pemuda sedeng Itu"!"
Wajah di balik cadar perempuan berpunuk
tampak berubah, dan seolah tak mau orang
mengetahui, dia segera palingkan kepalanya
ke jurusan lain. Diam-diam
dia berpikir. "Orang tua ini tahu banyak tentang diriku! Dia juga punya firasat akan terjadi
sesuatu di sana!" Perempuan berpunuk arahkan kepalanya
pada laki-laki pemilik perahu. Lalu berseru.
"Hai! Percepat laju perahumu!"
Lakl-laki pemilik perahu berpaling. Meski
bibirnya tersenyum namun air mukanya jelas
membayangkan tidak senang. "Dasar perempuan cerewet! Kalau perahu diperlambat minta dipercepat. Kalau dituruti
dipercepat, dia minta diperlambat! Huh.... Dia pasti seorang nenek-nenek! Hanya
karena buta saja orang yang menumpang tanpa
permisi itu memanggilnya Anak cantik! Dasar
orang buta.... Nenek-nenek pun dikiranya
gadis cantik! Kalau orang cantik betulan, apa nanti dia bilang?"
Pemilik perahu menahan tawa sendiri. Lalu
gerakkan kedua tangannya lebih cepat, hingga perahu berpenumpang tiga orang Itu
meluncur deras ke depan.
* * * DUA I sebuah kanal tidak jauh dari pesisir
Laut Selatan, tampak sebuah kereta
Dyangdibagianbelakangnyaterdapat
peti berwarna putih mengkilat terlindung rangasan semak belukar yang ada
di kanan kiri kanal. Duduk di atas bangku
kusir dua orang gadis berparas cantik. Sebelah kanan yang memegang tali kekang
kuda adalah gadis berjubah kuning, sedangkan di sebelahnya adalah gadis berjubah biru. Untuk beberapa lama kedua gadis yang
bukan lain adalah Wulandari dan Ayu Laksmi
murid-murid Dewi Siluman tidak ada yang
buka mulut bicara. Namun mata mereka tak
henti-hentinya memandang liar ke samping
kiri kanan. "Wulandari...!" Mendadak gadis berjubah biru buka mulut. "Apakah kita akan terus
menunggu"!"
SI jubah kuning Wulandarl berpaling. "Itu perintah Guru! Kita tidak bisa berbuat
apa! Hanya yang kuherankan, ke mana gerangan
Sitoresmi" Kulihat banyak perubahan pada
anak itu!"
SI jubah biru Ayu Laksmi menghela napas
dalam. "Sejak semula aku telah menangkap keanehan padanya! Kalau dia menurut apa
yang dikatakan Guru, pasti dia sudah muncul
saat kau memberi isyarat tempo hari! Aku
yakin dia menempuh perjalanan di luar
perintah Guru!"
"Tapi apa maksudnya?" tanya Wulandari.
"Kita memang sudah bertahun-tahun bersatu, tapi itu tidak menjamin bahwa di
antara kita tahu apa yang tersimpan di dalam
hati! Hem.... Jangan-jangan Sitoresmi mendapat halangan!"
Wulandari tertawa pelan mendengar ucapan Ayu Laksmi. "Itu tidak mungkin. Dia tentu tahu apa yang harus dilakukan
jika mendapat halangan! Sepertimu, aku juga
menduga Sitoresmi menempuh jalan di luar
perintah Guru! Anak tolol itu benar-benar cari perkara!"
"Lalu apakah kita harus terus menunggunya"
Sementara kita yakin Sitoresmi mencari jalan lain dan kecil kemungkinan sampai sini"!"
"Kalau tidak menunggu, kita
akan ke mana" Guru dan Ki Buyut kulihat mengikuti
pemuda yang mengaku Malaikat Penggali
Kubur entah ke mana!"
"Tapi sampai kapan kita menunggu"!" ujar Ayu Laksmi dengan kepala sedikit
berpaling ke kiri dan mata liar memperhatikan semak
belukar. Wulandari tidak menjawab. Ayu Laksmi
teruskan ucapannya. "Meski aku tidak jelas benar, namun aku masih dapat
menentukan arah yang diambil Guru dan Kl Buyut. Apa
tidak sebaiknya kita mengikuti jejak mereka
menuju arah selatan?"
"Itu hanya akan menambah urusan! Bukankah perintah Guru kita hanya sampai di
sini?" "Keadaan tampaknya telah berubah. Banyak orang berkepandaian tinggi muncul.
Malah kalau Guru dan Kl Buyut tidak datang
tempo hari, mungkin nyawa kita sudah putus.
Kita harus mencari jejak Guru. Itu satu-
satunya jalan untuk selamatkan diri!"
"Kau takut"!" tanya Wulandari dengan tertawa.
"Kita telah berikrar
untuk menjalankan
tugas Guru meski harus berkorban nyawa,
jadi mati bukanlah hal yang kutakutkan. Tapi
kita tentu tidak ingin mati sia-sia bukan"!"
Wulandari terdiam mendengar kata-kata
Ayu Laksmi. Setelah berpikir sejenak dia
bergumam. "Lalu apa yang harus kita perbuat"!"
"Kita Ikuti jejak Guru dan Kl Buyut ke arah selatan! Guru pasti mau mengerti
alasan kita! Sitoresmi juga tidak mungkin lagi muncul di
sini!" "Hem.... Baiklah. Kita menuju arah selatan!
Namun jika kita gagal menemukan Guru dan
Ki Buyut, kita kembali ke sinil"
Ayu Laksmi anggukkan kepala. Dan tak
menunggu lama, Wuiandari tarik tangannya
yang memegang tali kekang kuda kereta.
Namun gerakan tangan gadis berjubah kuning ini tertahan. Dia cepat palingkan
kepala ke arah kanan, demikian pula Ayu
Laksmi. Karena kedua gadis Ini mendengar
suara orang tertawa cekikikan dltingkah dengan suara gumaman orang tak jelas.
Pada saat bersamaan, semak belukar d!
sebelah kanan enam tombak dari tempat
kedua gadis ini tampak bergerak-gerak.
Namun begitu, kedua gadis murid Dewi
Siluman Ini tidak dapat memastikan siapa


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adanya orang. Yang tampak hanyalah bayangan kelebatan beberapa orang. Lalu
pada akhirnya mereka berdua merasakan
hawa dingin luar biasa!
Sampai bayangan beberapa orang, itu
lenyap dan hawa dingin sirna, Wulandari dan
Ayu Laksmi tetap tidak ada yang buka mulut
apalagi membuat gerakan. Dada masing-
masing gadis ini sama dibuncah perasaan
masing-masing. Namun tidak lama kemudian
Wulandari memecah keheningan dengan perdengarkan ucapan.
"Siapa pun adanya mereka, pasti mereka
orang-orang yang berkepandaian tinggi! Mereka juga menuju arah selatan. Apakah
kita akan teruskan rencana"!"
"Kalau mereka orang-orang berkepandaian
tinggi, dan arah mereka ke selatan, di sana
pasti ada sesuatu! Kita ikuti mereka!" kata Ayu Laksmi, lalu tarik tangan
Wulandari yang memegang tali kekang, hingga kuda penghela kereta itu melonjak kaget, namun
bersamaan dengan itu sang binatang angkat
kaki depannya sambil keluarkan ringkihan
keras. Lalu menghambur kencang menuju
arah selatan. *** Rimbun pohon bakau di pesisir Laut Selatan terlihat bergerak-gerak, namun bukan
karena deruan angin pantai, karena gerakan-
gerakan !tu hanya sebentar. Kejap lain telah
diam kembali. Dan bersamaan dengan Itu
tampak empat sosok tubuh berdiri tegak
dengan berjajar satu sama lain.
Orang paling kiri adalah seorang kakek
mengenakan jubah putih kusam. Rambutnya
panjang putih, demikian juga jenggot dan
kumisnya. Di sebelah kakek itu tegak seorang
nenek mengenakan jubah merah menyala.
Wajahnya keriput, sepasang kelopak matanya besar namun bola mata di dalamnya
amat sipit. Rambutnya telah putih dan hanya
sebatas tengkuk. Seraya tegak memandang
ke hamparan laut di depan sana, nenek Ini
mulutnya komat-kamit mainkan gumpalan
tembakau hitam! Di sebelah nenek ini tegak
seorang kakek berusia kira-kira tujuh puluh
tahun. Rambut putih panjang. Raut wajahnya
tirus lonjong. Seraya tegak, kakek ini gerak-
gerakkan kepalanya, anehnya bersamaan
dengan itu kedua bahu kiri kanannya ikut
bergerak-gerak, karena ternyata kakek ini
tidak punya leher! Lebih dari Itu, kakek ini
terus membuka mulutnya lebar-lebar seakan
memperlihatkan mulutnya yang tidak bergigi!
Sedangksn orang paling kanan adalah seorang perempuan mengenakan jubah putih
besar. Raut wajah perempuan ini hanya
tampak samar-samar, karena dari atas kepalanya terlihat curahan air.
Anehnya, pakaian, rambut serta tubuhnya tidak basah!
Bahkan tempat di sekitar perempuan ini
mendadak berubah menjadi luar biasa dingin.
"Eh. Kenapa kita hanya diam" Bukankah
jika kita terlambat sampai, urusan jadi berantakan tak karuan"!" Tiba-tiba nenek berjubah merah menyala yang mulutnya
selalu mainkan gumpalan tembakau hitam
dan bukan lain adalah Ratu Malam angkat
bicara. "Betul! Kita harus bergerak cepat agar
urusan tidak jadi tersendat. Bukankah tempat
Itu gugusan pulau di seberang laut itu"!" kata kakek yang kepalanya selalu
bergerak-gerak dan mulutnya terus menerus terbuka dan
bukan lain adalah dedengkot rim ba persilatan Iblis
Ompong seraya berpaling pada perempuan paling kanan
yang tubuhnya selalu dicurahi air.
Perempuan paling kanan yang bukan lain
adalah Dewi Es anggukkan kepalanya. "Meski aku belum pernah ke sana, namun
menurut penggalan peta yang ada di tanganku, pulau itulah yang harus kita tuju!"
"Hem.... Jika demikian, kita segera berangkat!" sahut kakek paling kiri dan bukan lain adalah Dewa Sukma.
"Tapi bagaimana dengan kakek gembrot
Itu"!" tanya Ratu Malam.
"Untuk apa kita pikiri orang gendeng tak punya juntrungan itu! Kita sudah
dibikin capek mencarinya. Jika kita perturutkan dia, urusan Ini tidak akan
selesai! Dan itu berarti rimba persilatan akan kiamat!" kata iblis Ompong lalu
buka mulutnya lebar-lebar.
"Benar ucapan Lantika! Kalau kita menunggu Gendeng Panuntun yang masih
tak tentu rimbanya, urusan akan tambah tak
tentu juntrungan!"
sahut Dewa Sukma dengan sebut nama asli iblis Ompong.
"Aku tahu siapa Gendeng Panuntun. Dia
pasti tidak akan tinggal diam dengan keadaan
begini. Aku punya firasat dia telah melakukan sesuatu!
Dan sebaiknya kita segera berangkat!" ujar Dewi Es. Lalu tanpa berkata-kata lagi, perempuan yang tubuhnya
laksana diguyur hujan rintik-rintik ini berkelebat ke arah laut.
"Apa yang hendak dilakukan Anak es itu"l"
tanya Ratu Malam.
"Kita lihat saja! Karena tidak mungkin kita berenang menyeberang lautl" jawab
Dewa Sukma seraya perhatikan Dewi Es.
Di depan sana, Dewi Es terus berkelebat
Saat sepasang kakinya mulai menginjak air
laut, tiba-tiba perempuan Ini membuat gerakan melayang satu tombak di atas air
laut sambi! terus berkelebat. Kira-kira dua
tombak dia melayang turun ke dalam air. Lalu
balikkan tubuh dan berlari balik dengan kedua tangan dimasukkan ke air seolah
membentuk jalur panjang. Ketika kakinya kembal! menginjak pasir
pantai, dia melambai ke arah tiga orang
berpandangan. Namun di lain kejap ketiganya
telah berkelebat ke arah Dewi Es.
Saat mereka sampai d! samping Dewi Es,
iblis Ompong terlihat tengadah sambil buka
mulut lebar-lebar. Ratu Malam percepat komat-kamitkan mulutnya sementara Dewa
Sukma hanya memandang ke arah mana tadi
Dew! Es mencebur.
"Untuk mencegah hal
yang tidak kita Inginkan, terpaksa kita menumpang itu!" kata Dewi Es sambil menunjuk ke arah
mana diatadi mencebur. Ternyata di situ terlihat
batangan air beku sepanjang dua tom bak
dengan tebal tiga jengkal! Anehnya batangan
air beku Itu tampak tidak hanyut Ikut tergulung gelom bang!
"Apa boleh buat. Apa yang ada dan bisa
digunakan itulah yang harus kita pakal!" ujar Dewa Sukma lalu berkelebat dan
tahu-tahu sosoknya telah duduk dengan kaki menggapit
di ujung batangan air beku.
"Sebenarnya
aku sayang jika jubahku terkena air. Tapi apa hendak dikata, tak ada
perahu, batangan es pun jadilah!" gumam
Ratu Malam lalu berkelebat.
"Dasar perempuan! Sudah dibuatkan tumpangan masih juga menggerutu tidak
karuanl" omel Iblis Ompong lalu Ikut berkelebat. Dewi Es pun segera Ikut meloncat. Tak berselang lama, di tengah gelombang
laut tampak melaju deras batangan es yang
sesekali terayun-ayun dan sesekali lenyap
terhalang di baiik gelombang. Di atasnya


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat Dewa Sukma duduk paling depan
dengan menggapitkan kedua kakinya, sementara kedua tangannya bersedekap di
depan dada. D! belakangnya tampak Ratu
Malam berdiri tegak dengan kedua tangan
kacak pinggang dan mulut mainkan gumpalan
tembakau. Di belakang Ratu Malam, tegak
memunggungi Iblis Ompong dengan kedua
tangan merangkap
ke perut. Sementara kepalanya mendongak dengan mulut terbuka
lebar. Di hadapan Iblis Ompong terlihat Dewi
Es duduk bersila dengan mata terpejam!
Seperti dituturkan sebelumnya, setelah Ratu Malam bertemu dengan kakak seperguruannya Dewa Sukma dan mendengar bahwa penggalan peta serta peta
asli sempurna telah berhasil dibawa kabur
orang, kedua orang Ini bersepakat untuk
mengadakan perjalanan. Dewa Sukma mencari tiga adik seperguruannya yang lain
yakni Gendeng Panuntun, Iblis Ompong, dan
Dewi Es, sementara Ratu Malam menyusur
jalan arah mana kira-kira yang diambil oleh
Pendekar Pedang Tumpul 131. Mereka memutuskan setengah purnama depan bertemu lagi. Namun sebelum hari yang
ditentukan, Dewa Sukma telah berhasil menemui Iblis Ompong dan Dewi Es. Dan
karena setelah mencari Gendeng Panuntun
ke sana kemari tidak juga ketemu, akhirnya
ketiga orang ini menemui Ratu Malam. Keempatnya lalu mengadakan perjalanan
menuju Pulau Biru. Karena Dewi Es adalah
pemegang penggalan peta yang terakhir,
maka dialah sebagai petunjuk jalan.
*** Baru saja keempat saudara seperguruan itu
bergerak menyeberang dengan menggunakan batangan es yang dibuat Dewi
Es, di pesisir pantai terdengar gemeretak
roda kereta ditingkahi derap ladam kaki kuda.
Lalu muncullah sebuah kereta yang dikusiri
dua orang gadis dan bukan lain adalah
Wulandari dan Ayu Laksmi.
Di kerapatan pohon bakau, mereka hentikan kereta, lalu laksana kilat, mereka
berkelebat dan mendekam di balik pohon
bakau dengan kepala yang masih tegak
menunggu. Dewa Sukma, Iblis Ompong dan
Ratu Malam sejenak saling berputar dan
mata mengedar tajam mengawasi sela-sela
pohon bakau. "Aku tak menangkap adanya orang!" bisik Wulandarl setelah agak lama di situ
tidak juga melihat
siapa-siapa. Ayu Laksmi hanya mengangguk tanpa keluarkan ucapan.
Saat itulah tiba-tiba Ayu Laksmi berseru
setengah berteriak seraya tunjukkan jarinya
lurus ke tengah laut.
"Lihat!"
Wulandarl memandang ke arah yang ditunjuk Ayu Laksmi. "Jangan-jangan mereka adalah
orang yang kita ikuti! Hem.... Sepertinya mereka menuju pulau itu! Siapa
mereka..."!"
"Siapa mereka bukanlah hal penting yang
harus kita ketahui. Yang jelas, kalau Guru
dan Ki Buyut serta pemuda jahanam Malaikat
Penggali Kubur juga menuju arah selatan
pasti mereka juga ke pulau itu! Dan aku
menduga pulau itu mungkin Pulau Biru! Pulau
yang dikabarkan menyimpan Kitab Serat
Biru!" ujar Ayu Laksmi sambil tak berkesip memandang ke arah tengah laut di mana
terlihat empat orang sedang melaju deras
membelah gelombang ombak.
"Sebaiknya
kita juga menyeberang mengikuti mereka!" kata Wulandarl.
"Tapi kita membutuhkan perahu! Karena
tidak mungkin kita berbuat seperti orang-
orang itu!"
"Kita sewa perahu! Dan kereta itu sekalian kita bawa! Siapa tahu Guru dan Kl
Buyut memerlukannya!"
kata Wulandarl sambil berpaling ke kiri. Jauh di sana tampak
beberapa perahu nelayan sedang bersandar
ke tepi. "Kita harus sewa perahu yang agak besar, agar kereta itu bisa masuk!" Ayu Laksm!
berkata sambil ikut berpaling ke kiri. "Tapi bagaimana kalau nelayan Itu tidak
ada yang mau mengantarkan kita"!"
Wulandari menyeringai sambil tertawa pendek. "Mereka cari mampus jika tidak mau mengantar kita!"
Habis berkata begitu, Wulandari berkelebat.
Selang kemudian dia telah duduk di atas
bangku kusir dan melaju ke arah kiri di mana
tampak beberapa nelayan. Ayu Laksmi segera berkelebat lalu duduk di samping
Wulandari. *** TIGA ITA tinggalkan dulu orang-orang yang
sedang menyeberang menuju Pulau
KBiru. Kita kembali ke Pulau Biru.
Seperti dituturkan dalam episode: "Kitab Serat Biru", begitu Pendekar 131
berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru serta
butiran merah dari Kl Ageng Mangir Jayalaya,
mendadak tempat ruangan di mana Joko dan
Ki Ageng Mangir berada bergetar, pertanda
ada orang yang muncul di pulau itu. Karena
khawatir terjadi sesuatu pada Kl
Ageng Mangir Jayalaya, murid Pendeta Sinting
segera berkelebat keluar ruangan melalui
lobang dari mana dia masuk. Namun baru
saja sepasang kakinya menginjak dataran
pulau di atasnya, telah tegak menghadang
Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali
Kubur merasa curiga pada Pendekar 131
yang saat itu mengaku sebagai Pangeran
Mendut-Mendut. Tapi sebelum
tangannya sempat bergerak hendak memukul, mendadak muncul Dewi Siluman dan Kl
Buyut Pagar Alam yang secara diam-diam
menguntit Malaikat Penggali Kubur. Ki Buyut
menawarkan pada Malaikat Penggali Kubur
untuk menggempur Pendekar 131 bersama-
sama, namun karena merasa punya ilmu,
Malaikat Penggal! Kubur menolak. Apalagi
setelah mengetahui bahwa pemuda di hadapannya adalah Pendekar Pedang Tumpul 131. Mungkin karena baru saja terjun dalam
kancah rimba persilatan ditambah dengan
sifatnya yang tinggi hati, Malaikat Penggal!
Kubur hanya memandang sebelah mata pada
murid Pendeta Sinting. Malah ketika Malaikat
Penggali Kubur mula! lakukan serangan dengan tangan kosong, dia hanya kerahkan
sedikit tenaga dalamnya dan langsung menghantam ke arah batok kepala Pendekar
131! Murid Pendeta Sinting tidak mau bertindak ayal. Begitu kedua tangan Malaikat
Penggali Kubur berkelebat menghantam kepalanya, dia angkat pula kedua tangannya.
Desss! Desss! Dua pasang tangan beradu keras. Malaikat
Penggali Kubur tersentak kaget dan surutkan
langkah dua tindak. Air mukanya tampak
berubah dengan sepasang mata terpentang


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar perhatikan pada pemuda di hadapannya. Meski tangannya tidak mengalami cedera, namun dari benturan
tangan barusan dia mulai sadar jika lawannya
memiliki tenaga dalam tinggi. Namun pemuda
murid Bayu Bajra ini tidak mau dipermalukan,
apalagi di situ tegak memperhatikan Dewi
Siluman dan Kl Buyut Pagar Alam. Dia
segera tersenyum menyeringai, lalu melompat ke depan. Kaki kanannya mencuat
lepaskan tendangan bertenaga dalam tinggi.
Sementara tangan kirinya berkelebat menghantam ke arah perut.
Dua deruan keras terdengar dan melesat
mendahului berkelebatnya tangan dan mencuatnya kaki yang menendang, pertanda
serangan Malaikat Penggali Kubur tidak lagi
main-main. Murid Pendeta Sinting jerengkan sepasang
matanya sejurus. Lalu melompat ke udara
menghindar. Setelah tendangan dan hantaman tangan dapat dielakkan, dia melayang turun. Namun Malaikat Penggali
Kubur yang mulai panas merasa dipermainkan segera mengejar. Hingga belum sempat sepasang kaki Pendekar 131
menjejak tanah berpasir biru, kedua tangan
Malaikat Penggali Kubur telah kembali melesat lepaskan satu pukulan sekaligus!
Brakkk! Batu padas berwarna biru yang ada di
samping Joko hancur berantakan terkena
hantaman tangan kiri Malaikat Penggali Kubur. Joko memang berhasil mengelak dari
tangan kir! Malaikat Penggali Kubur, namun
tangan kanannya tidak bisa lagi dielakkan,
hingga mau tak mau dia harus menangkis
dengan angkat tangannya.
Melihat lawan angkat tangannya, Malaikat
Penggali Kubur cepat tarik pulang tangan
kanannya, lalu berballk sambil melompat tiga
langkah ke belakang. Sekonyong-konyong
tubuhnya berputar lalu serta-merta kedua
tangannya yang mengepal telah bergerak
memukul! Wuuttt! Wuuutttt!
Terlihat cahaya terang sekejap dari kedua
tangan Malaikat Penggali Kubur. Di lain kejap terdengar deruan hebat, lalu
menggebrak gelombang angin luar biasa dahsyat! Pertanda jika Malaikat Penggali Kubur telah
lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'! Bukan
hanya sampai di situ, begitu lepas kan pukulan 'Telaga Surya', pemuda murid Bayu
Bajra Ini segera berkelebat ke depan dengan
kedua tangan diangkat tinggi-tinggi dan siap
lepaskan pukulan lagi dari jarak dekat!
Melihat ganasnya pukulan, murid Pendeta
Sinting tidak lagi main-main. Dia segera
kerahkan tenaga dalam pada lengannya. Lalu
kedua tangannya disentakkan ke depan.
Dari kedua tangan Joko tampak muncrat
butiran air. Pada saat bersamaan suasana di
tempat itu berubah menjadi luar biasa dingin.
Lalu menghampar gelombang angin keras
laksana gelombang badai, inilah pukulan
yang telah diwarisi dari Dewi Es, yakni
pukulan sakti 'Sukma Es'!
Namun pada saat itu murid Pendeta Sinting
merasa keget. Karena begitu dia kerahkan
tenaga dalam pada lengannya, terasa ada
satu kekuatan yang luar biasa besar menjalari sekujur
tubuhnya. Malah ketika kedua tangannya lepaskan pukulan 'Sukma Es', satu
kekuatan menggebrak terlebih dahulu dan
menindih gelombang angin pukulan 'Telaga
Surya' milik Malaikat Penggali Kubur, hingga
pukulan sakti 'Sukma Es' melesat tanpa
halangan ke arah murid Bayu Bajra!
"Aneh.... Ada kekuatan lain dalam diriku!
Apakah memang ini pukulan 'Sukma Es'"
Atau jangan-jangan butiran merah yang baru
kutelan...," bisik Joko dalam hati.
Di depannya, Malaikat Penggali Kubur
tegak di atas tanah berpasir dengan sepasang mata terpentang besar. Dia seakan
tidak percaya melihat pukulan yang baru
dilepas begitu mudah bertabur lenyap di
udara! Perlahan-lahan dadanya dirasuki perasaan kecut. Diam-diam pula ia membatin.
"Jangan-jangan manusia ini yang dikatakan orang tua yang mengaku sebagal Gendeng
Panuntun! Dia berhasil menindih lenyap
pukulanku, berarti dialah yang bakal mewarisi Kitab Serat Biru! Sialan betul!
Bagaimanapun caranya aku harus dapat merobohkannya!
Peduli setan dengan ucapan orang! Tapi...."
Malaikat Penggal! Kubur tidak bisa lanjutkan
kata hatinya, karena saat itu gelombang
pukulan 'Sukma Es' yang menghamparkan
hawa luar biasa dingin telah menggebrak!
Seraya mendengus keras, Malaikat Penggali Kubur kembali angkat kedua tangannya. Lalu dipukulkan ke depan lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'.
Buummmm! Pulau bergugusan batu padas dan pasir
berwarna biru itu bergetar. Batu
padas tampak pecah berantakan dan bertabur ke
udara disusul dengan menghamburnya pasir.
Malaikat Penggali Kubur tampak terhuyung-
huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk
dengan mulut keluarkan darah. Wajahnya
pucat pasi laksana tidak berdarah. Kedua
tangan dan sosoknya bergetar! Namun mungkin karena tidak mau merasa malu,
pemuda murid Bayu Bajra ini cepat kerahkan
tenaga dalam lalu bergerak bangkit. Walau
masih terhuyung namun sejenak kemudian
telah tegak dengan sepasang kaki terpacak di
atas pasir! Di seberang, murid Pendeta Sinting terlihat
surutkan langkah satu tindak. Dia meringis
sebentar namun sesaat kemudian tersenyum-
senyum. Jauh di samping kedua pemuda ini,
Dewi Siluman dan Kl Buyut Pagar Alam
tampak perhatikan dengan mata masing-
masing tak berkesip.
"Pemuda berjubah putih jelas lepaskan
pukulan 'Telaga Surya' milik Bayu Bajra.
Kuduga dia murid tokoh itu. Sedang pemuda
bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 sepertinya lepaskan pukulan 'Sukma Es'.
Jangan-jangan dia masih ada hubungan
dengan perempuan bergelar Dewi Es! Hemm.... Pantas dia bisa sampai di tempat
ini!" gumam Kl Buyut Pagar Alam tanpa
menoleh pada Dewi Siluman.
"Maksudmu karena Dewi Es masih saudara
seperguruan Dewa Sukma hingga dia mengetahui pulau ini"!" sahut Dewi Siluman.
"Benar! Hanya yang kuherankan sepertinya pemuda Itu memilik! tenaga luar biasa!
Kau lihat tadi, sebelum pukulan 'Sukma Es' lepas, satu kekuatan aneh telah
menghantam habis
pukulan 'Telaga Surya"!
Selama malang melintang, baru kali ini aku melihatnya!"
Dewi Siluman mendengus. "Tapi itu belum
berarti dia dapat menghantam habis 'Kabut
Neraka' dan 'Sinar Setan'-ku!"
Percakapan kedua orang ini terputus tatkala tiba-tiba di depan sana Malaikat
Penggali Kubur telah angkat

Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tangannya yang mengepal. Sosoknya terlihat
bergetar dan peluh membasah! tubuhnya,
pertanda dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sambil membentak keras, serentak Malaikat Penggali Kubur melesat ke depan.
Setengah jalan di udara kedua tangannya
bergerak lepaskan pukulan!
Entah karena masih tak percaya dengan
adanya kekuatan lain dalam tubuhnya, Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua lengannya siap lepaskan pukulan
'Sukma Es'. Benar saja baru tenaga dalamnya mengalir pada lengan, ada kekuatan lain yang mendahului tenaga dalamnya. Hingga tatkala kedua tangannya
bergerak lepaskan pukulan untuk menangkis
pukulan lawan, satu kekuatan telah mendahului melesat!
Malaikat Penggali Kubur
hampir putus nyalinya tatkala melihat bagaimana pukulan
'Telaga Surya' yang dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam penuh kini ambyar
bertabur di udara! Malah kini sosoknya
laksana disapu gelombang besar, hingga
langkahnya tersurut dua tindak. Saat itulah
pukulan 'Sukma Es' datang melanggar!
Meski hampir tidak percaya pukulannya
akan mampu membendung pukulan yang kini
menggebrak ke arahnya karena dilepas dengan sisa tenaga dalam, Malaikat Penggali
Kubur angkat juga kedua tangannya untuk
menangkis. Namun belum sempat kedua
tangannya bergerak, tiba-tiba dari arah samping satu bayangan berkelebat disusul
dengan menghamparnya kabut hitam. Bukan
saja mampu selamatkan Malaikat Penggali
Kubur namun juga menimbulkan satu ledakan
keras tatkala kabut hitam Itu menghantam
pukulan 'Sukma Es'.
Malaikat Penggali Kubur terpental satu
tombak ke belakang. Namun kali ini masih
dapat kuasai tubuh, hingga meski mental dia
tidak sampai jatuh. Memandang ke depan,
dia melihat seorang kakek berjubah hitam
yang tegak dengan tengadah dan kedua
tangan masuk ke dalam saku jubahnya dan
bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam!
"Orang tua! Terima kasih kau telah menolongku!" seru Malaikat Penggali Kubur dengan suara agak bergetar dan muka
merah padam, karena dia menyadari ucapan Ki
Buyut benar adanya.
Ki Buyut Pagar Alam palingkan kepala
dengan tersenyum dingin. Sepasang matanya
sejenak perhatikan sosok Malaikat Penggali
Kubur. Lalu dia berkata.
"Simpan dulu ucapan terima kasihmu, Anak mudai Dan jangan berani bergerak dari
tempatmu kalau Ingin nyawamu masih tetap
bersemayam di tubuh!"
"Kek! Apa maksudmu"!" tanya Malaikat Penggali Kubur dengan perasaan makin tidak
enak, karena ucapan si kakek nadanya
mengancam. "Aku hanya menunda lepasnya nyawamu.
Satelah pemuda itu kuurus, kau dapat gillran!
Bukankah di antara kita masih ada urusan
yang belum selesa!"!"
Habis berucap bagitu, Kl Buyut Pagar Alam
arahkan pandangannya pada Joko Sableng.
"Pendekar 131! Aku akan mengampuni
nyawamu jika kau serahkan Kitab Serat Biru
padaku!" Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata
membeliak dan wajah berubah. Dia heran
dari mana kakek itu tahu jika dirinya telah
mendapatkan Kitab Serat Biru. Dia segera
angkat kedua tangannya bersedekap di depan dada. Dia seolah ingin memastikan
bahwa Kitab Serat Biru masih berada di balik
pakaiannya. "Orang tua!" kata Joko. "Harap jangan bicara ngaco tak karuan. Siapa punya Kitab
Serat Biru"!"
Ki Buyut Pagar Alam tertawa panjang.
"Tidak ada gunanya bersilat lidah, Anak
muda! Perubahan wajah telah memberitahukan semuanya! Lekas serahkan
padaku atau kau ingin mati muda!"
Murid Pendeta Sinting tersenyum. "Kek! Ini tawaran atau ancaman"!"
Ki Buyut tidak buka mulut menyahut.
Namun sepasang matanya berkilat memandang tak berkesip. Pendekar 131
melangkah dua tindak lalu menyam bung
ucapannya. "Sayang, aku tidak memilih satu dari kedua hal yang kau katakan! Aku
tidak memilik! kitab yang kau pinta, juga aku tidak ingin mati muda! Malah kalau boleh
aku Ingin berkenalan dengan gadismu Itu! Meski wajahnya tak mau dikenali, eku yakin dia
tentu seorang gadis berwajah cantik! Bagaimana"!"
Ki Buyut Pagar Alam masih juga tidak
menjawab. Sementara di seberang samping
sana wajah di balik cadar milik Dewi Siluman
terlihat berubah. Diam-diam Dewi Siluman
membatin. "Pemuda edan! Dalam keadaan
begini masih sempatnya bercanda! Hem....
Wajahnya mengingatkan aku pada seseorang! Ah...!"
"Kek! Tampaknya kau meragukan aku!
Ha... ha... ha...! Jangan khawatir. Aku pemuda baik-baik! Gadismu pasti akan...."
"Tutup bacotmu!" teriak Kl Buyut marah.
"Kau tidak mau serahkan kitab itu, mungkin kau ingin aku mengambilnya sendiri!"
Habis berkata begitu, kedua tangan si kakek
dlkeluarkan dari saku jubahnya. "Kuperlngatkan sekali lagi! Kau...."
Belum habis ucapan Ki Buyut, kali ini murid
Pendeta Sinting telah ganti menukas. "Bolehkan aku berkenalan dengan gadismu"!"
Kesabaran Ki Buyut Pagar Alam habis.
Seraya menggeram keras, kakek ini berkelebat ke depan. Jubah hitamnya dikibaskan ke depan sementara kedua tangannya bergerak menghantam.
Beettt! Terdengar suara jubah menderu angker
keluarkan gelombang angin keras. Pendekar
131 miringkan kepala untuk menghindar. Saat
itulah dengan kecepatan luar biasa, sosok Ki
Buyut telah menggebrak di depannya dengan
kedua tangan lepaskan jotosan.
Begitu cepatnya gerakan si kakek hingga
tak sempat lagi murid Pendeta Sinting ini
untuk angkat kedua tangannya. Terpaksa dia
selamatkan diri dengan gerakkan tubuhnya
ke samping kiri. Tangan kanan si kakek
memang berhasil dielakkan, namun tangan
kiri si kakek terus menyambar ke arah mana
Pendekar 131 bergerak.
Bukkk! Joko berseru. Sosoknya mental ke samping
saat tangan kanan KI Buyut Pagar Alam
menghantam bahu kanannya. Namun anehnya Pendekar 131

Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya sejenak merasakan sakit, kejap kemudian d!a tidak
merasakan apa-apa lag!. Hal
Ini terjadi karena sebelumnya murid Pendeta Sinting Ini
telah kerahkan tenaga dalamnya ke arah
dada. Dia ingin buktikan ucapan Dewi Es
tentang pukulan 'Sukma Es' jika disalurkan ke dada.
Di depan Joko, KI Buyut tampak terbelalak
dengan tak berkeslp. "Setan kecil ini benar-benar tak bisa dibuat sembarangan.
Pukulan tangan kiriku yang mampu memporak porandakan batu besar sepertinya tidak dirasa!" Bukan hanya Ki Buyut yang terkejut. Dewi
Siluman diam-diam juga merasa tersentak
dengan sepasang mata mendelik besar. "Ilmu apa yang dimiliki pemuda itu" Pukulan
Ki Buyut bukan pukulan sembarangan, tapi tidak
mampu membuatnya roboh muntah darah!
Hem.... Seandainya saja.... Ah, kenapa aku
berpikir ke sana" Sialan benar!"
"Jika tidak segera dihabisi sekarang, kelak dia akan muncul jadi perintang
besar! Lebih dari itu Kitab Serat Biru tidak akan berhasil jatuh ke tanganku!' bisik Ki Buyut
Pagar Alam dalam hati. Serta-merta kakek ini sentakkan
kedua tangannya ke depan.
Wuutt! Wuutttt!
Kabut hitam tampak melesat dengan keluarkan suara menggema dahsyat serta
gelombang angin dan hawa panas menyengat! Ki Buyut tampaknya telah lepaskan pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Karena saat ini yang melepaskan adalah
dedengkotnya sendiri, maka kedahsyatannya
sungguh luar biasa.
Melihat dahsyatnya pukulan lawan, murid
Pendeta Sinting tak tinggal diam. Dia cepat
kerahkan tenaga dalam pada dada untuk
melindungi diri lalu diteruskan pada kedua
tangannya. Sekejap kemudian, kedua tangan Pendekar
131 tampak berubah jadi kekuningan. Pertanda murid Pendeta Sinting ini siapkan
pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Dan begitu
kabut hitam menggebrak, dia cepat mendorong kedua tangannya. Lagi-lagi Pendekar 131 terkejut, karena gelombang
angin berhawa panas pukulan sakti 'Lembur
Kuning' baru melesat, satu kekuatan aneh
telah menggebrak mendahului!
Tempat itu bertabur sinar kuning disertai
hawa panas. Lalu terdengar ledakan hebat.
Batu padas dan pasir biru tampak bergetar.
Gelombang laut yang abadi menghantam
pinggiran pulau tertahan laksana ditahan
tembok besar! Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak surut
ke belakang dengan terhuyung-huyung.
Sepasang kaki di balik jubahnya goyah.
Namun kakek Ini cepat membuat gerakan
berkelebat ke udara. Lalu kejap lain mendarat dengan sosok tegak maski wajahnya
berubah dan dadanya bergerak turun naik dengan
keras! DI seberang depan, murid Pendeta
Sinting terseret sampai satu tombak. Walau
tubuhnya terlihat hampir melipat ke depan,
namun dia cepat sentakkan tubuhnya ke
belakang sambil melompat ke belakang. Lalu
tegak dengan meringis! Seperti halnya KI
Buyut, wajah murid Pendeta Sinting terlihat
pias dengan napas megap-megap.
Sadar lawan memiliki kepandaian tinggi, Ki
Buyut segera kerahkan tenaga dalam pada
kedua kaki dan sepasang matanya. Mendadak tanah di sekitar si kakek bergetar
keras. Kejap kemudian kedua kaki Ki Buyut
bergerak menggebrak tanah pijakannya. Pada saat bersamaan, dari sepasang matanya yang dipentangkan besar tampak
melesat sinar hitam menyusur tanah berpasir
pulau. Tanah berpasir terlihat rengkah besar dan
membentuk jalur lurus ke arah Pendekar 131!
Ki Buyut Pagar Alam telah lepaskan 'Sinar
Setan'. Karena dilepas dengan tenaga dalam
kuat, maka rengkahan tanah berpasir tampak
bergerak cepat!
Tahu akan akibat pukulan yang kini dllepas
Ki Buyut, murid Pendeta Sinting segera
melompat mundur. Lalu kedua tangannya
didorong ke depan.
Lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Namun
untuk kesekian kailnya, satu kekuatan aneh
mendahului. Pulau itu bergetar hebat tatkala rengkahan
tanah berpasir terhenti dan meledak saat
bentrok dengan kekuatan yang mendahului
pukulan 'Lembur Kuning'. Di lain pihak pukulan 'Lembur Kuning' terus melesat tidak
terbendung. Saat itulah mendadak kabut hitam menggebrak memangkas pukulan 'Lembur
Kuning' yang mengarah pada KI Buyut. Lagi-
lagi terdengar ledakan keras. Sinar kekuningan ambyar bertabur bersama kabut
hitam. Kejap lain, satu sinar hitam melesat
menghantam tanah berpasir, disusul kemudian dengan rengkahnya tanah yang
membentuk jalur ke arah Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting yang tegak terhuyung-huyung akibat
bentrok pukulan dengan KI Buyut tampak membelalak besar.
Sedangkan rengkahan tanah berpasir terus
melaju deras ke arahnya!
Di seberang, sosok Ki Buyut tampak mental
dan jatuh terduduk. Namun satu pasang
tangan cepat menahan dari belakang.
"Dia harus cepat dihabisi, Dewi!" bisik KI Buyut
dengan suara serak dan tubuh bergetar. Di sampingnya, Dewi Siluman yang baru
saja lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' dan
'Sinar Setan' dan kini menahan tubuh Ki
Buyut anggukkan kepala seraya berujar. "Kau lihat sendiri, Ki Buyut! Dia tak
mungkin lagi bisa menghindar!"
Ki Buyut Pagar Alam yang berusaha tegak
gelengkan kepala. "Dugaanmu keliru, Dewi!
Dia masih akan bisa lolos! Lekas susul
pukulan sebelum
dia sempat berkelebat
menghindari"
Dewi Siluman tampak tidak percaya dengan
ucapan KI Buyut. Namun begitu melihat Joko
hendak membuat gerakan, perempuan bercadar dan berjubah hitam ini segera turuti ucapan Ki Buyut. Bahkan bersamaan
dengan itu, Ki Buyut tak tinggal diam. Saat Dewi
Siluman lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'
kembali, Ki Buyut juga lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'! Hingga saat itu juga dua
kabut hitam melesat cepat ke arah murid
Pendeta Sinting yang hendak membuat gerakan untuk menghentikan rengkahan tanah berpasir yang mengarah padanya!
"Busyetl Tak mungkin aku menangkis dua
serangan ini! Tapi bagaimana...?"
Joko tidak sempat berpikir lama lagi, karena
rengkahan tanah berpasir akibat pukulan
'Sinar Setan' telah setengah tombak
di depannya. Tak ada jalan lain bagi murid
Pendeta Sinting selain menghentikan dengan
dorong kedua tangannya lepaskan pukulan
'Lembur Kuning'.
Bummmm! Tanah berpasir yang rengkah terhenti dengan perdengarkan suara menggelegar.


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itulah kabut hitam gabungan antara
pukulan Dewi Siluman dan Ki Buyut sampai!
Meski Pendekar 131 sempat angkat kedua
tangannya untuk lepaskan pukulan menangkis, namun sudah sangat terlambat.
Saat keadaan murid Pendeta Sinting terjepit dan nyawanya hampir tidak bisa
diselamatkan dari gabungan pukulan 'Kabut
Neraka', tiba-tiba terdengar orang tertawa,
lalu tampak pantulan cahaya berkiblat terang
memangkas kabut hitam di depan kepala
Pendekar 131! Plaaap! Plaaap!
Bumm! Bummm! Pantulan cahaya
gemerlap lenyap lalu
terdengar ledakan, membuat Pulau Biru bergetar hebat. Sosok Pendekar 131 mental
tiga tombak dan jatuh terjengkang. Namun
setelah meneliti tidak mengalami cedera, dia
cepat bangkit dan berpaling ke sam ping
kanan dari mana pantulan cahaya gemerlap
yang menghadang pukulan gabungan Dewi
Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berasal.
Lima belas langkah di seberang, sosok
Dewi Siluman dan KI Buyut terlihat tegak
tergontai-gontai. Setelah dapat kuasai tubuh
masing-masing kedua orang ini pentangkan
mata dan berpaling ke kiri.
*** EMPAT ARI tempat masing-masing, Pendekar
131, Dewi Siluman, dan Ki Buyut
DPagarAlammelihatseorangbertubuh
gemuk tegak dengan kepala sedikit
tengadah. Tangan kanannya mengusap cermin bulat di depan perutnya, sedang
tangan kirinya kucek-kucek kedua matanya
yang ternyata berwarna putih. Agak jauh ke
belakang, tepatnya di dekat lobang di mana
Joko keluar, terlihat tegak seorang kakek
berjubah putlh dengan rambut panjang berkibar-kibar ditiup angin. Sepasang matanya yang sayu memandang tak berkesip
ke arah Joko. "Gendeng Panuntun!" desis Ki Buyut begitu mengenali siapa adanya sosok gemuk.
Lalu berpaling pada Dewi Siluman. "Benar dugaanku. Pendekar 131 pasti masih ada
hubungan dengan Dewi Es. Karena Gendeng
Panuntun adalah saudara seperguruannya!
Hem.... Pekerjaan kita akan tambah berat!" Ki Buyut lalu arahkan pandangannya ke
arah kakek berjubah putih. Sepasang matanya
sejenak menyipit Iaiu membelalak.
"Orang tua itu aku tidak mengenalnya. Tapi kenapa tiba-tiba dia muncul di sini"!
Siapa dia"!" gumam KI Buyut Pagar Alam. Dewi
Siluman tidak menyahut.
Kalau Dewi Siluman dan KI Buyut terkejut
dengan munculnya Gendeng Panuntun, dan
kakek berjubah putih. Malaikat Penggali Kubur diam-diam merasa agak gembira.
Karena dengan munculnya Gendeng Panuntun apalagi dengan mudah Gendeng
Panuntun dapat memangkas gabungan pukulan yang dilepas Dewi Siluman dan KI
Buyut Pagar Alam, dia akan bisa lolos dari
ancaman Ki Buyut.
"Dewi! Terpaksa kita harus hadapi satu
persatu. Kau habisi pemuda itu, Gendeng
Panuntun serahkan padaku!" bisik Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siluman masih belum
menyahut, membuat Ki Buyut pandangi perempuan
bercadar dan berjubah hitam Itu dengan
tatapan heran. Lalu berpaling lagi memandang ke arah mana Dewi Siluman
memandang dengan tak berkesip.
"Hem.... Orang yang ini baru aku melihatnya pertama kali!" kata Ki Buyut Pagar Alam dalam hati begitu matanya
menangkap sesosok tubuh yang tegak agak jauh di
belakang Gendeng Panuntun. Dia adalah
seorang perempuan yang wajahnya ditutup
dengan cadar berlobang-lobang kecil dan di
punggungnya tampak punuk besar.
"Ki Ageng Mangir Jayalaya...," gumam
Pendekar 131 mengenali adanya kakek berjubah putih. Dia segera melangkah ke
arah si kakek yang bukan lain memang Ki
Ageng Mangir Jaya Laya. (Tentang kakek ini
baca serial "Kitab Serat Biru").
KI Ageng Mangir Jayalaya angkat tangannya lalu gelengkan kepala sambil
tersenyum. Seakan tahu isyarat yang diberikan Ki Ageng Mangir, Joko hentikan
langkah lalu memandang ke arah Gendeng
Panuntun dan perempuan berpunuk.
"Apa hubungan Gendeng Panuntun dengan
perempuan berpunuk yang pernah menolongku itu"!" kata Joko lalu melangkah ke arah Gendeng Panuntun.
"Kek! Terima kasih kau telah menyelamatkanku!"
kata Joko seraya bungkukkan tubuh menjura. Lalu memandang
ke arah perempuan berpunuk dengan anggukkan kepala dan bibir tersenyum.
"Hem.... Jahanam perempuan berpunuk Itu
ternyata kaki tangan Gendeng Panuntun! Kali
ini dia tak akan kuampuni nyawanya!" desis Dewi
Siluman. "Siapa jahanam itu sebenarnya" Kenapa bisa datang bersama-
sama Gendeng Panuntun"!" Dewi Sliuman
bertanya pada Ki Buyut.
Ki Buyut gelengkan kepala. "Aku baru kali
ini melihatnya! Kita harus lebih berhati-hati.
Bukan tidak mungkin dia juga memiliki kepandaian tinggi!"
Dewi Siluman tertawa pendek. "Ki Buyut
tidak usah khawatirkan jahanam perempuan
berpunuk Itu! Dia pernah hampir mampus di
tanganku kalau tidak diselamatkan Iblis Ompong! Hanya yang kuherankan, dia memiliki pukulan seperti kita!"
Malaikat Penggali Kubur kerutkan kening.
Sepasang matanya lebih dipentangkan mengawasi pada perempuan berpunuk seolah ingin mengetahui siapa wajah di balik
cadar berlobang.
"Selama malang melintang, tidak ada yang punya
pukulan seperti
milik kita. Kalau ucapanmu benar, jangan-jangan dia...." Ki Buyut Pagar Alam tidak teruskan
ucapannya. Namun sejenak kemudian dia tampak gelengkan kepala sambil menggumam. "Tapi apa mungkin?"
"Tak ada jawaban yang pasti sebelum kita robek kain penutup jahanam itu!" sahut
Dewi Siluman. "Ini gara-gara Iblis Ompong! Jika tidak
ditolong dia, mungkin aku telah mengetahui siapa adanya perempuan itu!"
"Sekarang tak ada gunanya mengeluh! Kita harus cepat habisi pemuda itu dan
Gendeng Panuntun! Aku punya firasat, kalau Gendeng
Panuntun sudah sampai di tempat ini, bukan
tak mungkin akan muncul pula saudara-
saudaranya!"


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis berkata begitu, Ki Buyut telah melompat ke hadapan Gendeng Panuntun.
Dewi Siluman tidak menunggu lama. Dia pun
segera berkelebat dan tahu-tahu telah tegak
tujuh langkah di depan Pendekar 131!
"Gendeng Panuntun!" ucap Ki Buyut. "Kau hanya cari mampus ikut campur urusan
ini!" "Eh, kau tahu siapa aku! Bisa katakan siapa dirimu, Orang tua"!" ujar Gendeng
Panuntun sambil usap-usap cerminnya.
Ki Buyut tertawa panjang. "Biarlah kau
mampus tanpa tahu siapa orang yang membunuhmu!"
"Ah, malang benar nasib orang yang tidak bisa
melihat. Bukan saja tidak dapat menikmati moleknya tubuh perempuan, tapi
juga tidak tahu siapa orang yang hendak
membuatku mampusl Hemm.... Bagaimana,
nanti kalau aku jadi arwah gentayangan dan
keliru cabut nyawa orang"!"
Gendeng Panuntun berpaling pada Joko, lalu berkata.
"Anak muda! Kalau kita nanti sama-sama
jadi arwah gentayangan, kau tidak keberatan
bukan tunjukkan padaku siapa adanya orang
yang membunuhku"!"
"Bukan hanya akan kutunjukkan orang
yang membunuhmu, tapi akan kukenalkan
juga pada gadisnya yang cantik jelita! Bukankah arwah gentayangan bisa melihat
tanpa bisa dilihat"!"
"Eh, kau sebut-sebut orang di depanku ini punya gadis! Bagaimana dia"! Lekas
katakan padaku!" Karena tidak ada jawaban, Gendeng Panuntun kembali bertanya.
"Hei! Kau belum jawab pertanyaanku! Katakan bagaimana gadis itu"!"
"Aku tak bisa mengatakannya, Kek! Dia
menutupi wajahnya, namun besar kemungkinan dia seorang gadis cantik! Rambutnya pirang, potongannya bagus dan....* "Walah. Kau keliru, Anak muda!" potong Gendeng
Panuntun. "Meski rambutnya pirang, potongannya bagus kalau wajahnya
disembunyikan jangan-jangan dia tidak punya
hidung! Payah.... Payah jika berhadapan
dengan perempuan tak berhidung. Dalam
gelap dia tidak dapat membedakan mana tahi
dan mana roti! Tidak bisa memilah mana bau
keringat suami dan mana bau keringat kambing!" Dewi Siluman tampak membelalak dengan
tubuh bergetar menahan marah. Joko cepat-
cepat menyahut tatkala didengarnya Dewi
Siluman mendengus hendak berkata.
"Meski kau tidak bisa melihat, namun
kadang-kala ucapanmu benar. Kek!
Dan jangan-jangan perempuan di hadapanku ini
memang tidak berhidung!"
"Keparat!" maki Dewi Siluman. Serentak perem puan bercadar dan berjubah hitam
ini lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'!
Melihat Dewi Siluman telah lepaskan pukulan, Ki Buyut segera pula maju dan
serentak lepaskan juga pukulan 'Kabut Neraka' ke arah Gendeng Panuntun.
Joko kerahkan tenaga dalam pada kedua
lengannya. Lalu kedua tangannya didorong
ke depan, lepaskan pukulan 'Sukma Es'.
Meski ada kekuatan yang melesat mendahului pukulan 'Sukma Es', namun
karena pukulan 'Kabut Neraka' dilepas oleh
Dewi Siluman yang punya tenaga dalam kuat,
maka walau sejenak tampak ambyar, namun
terus melesat ke arah Pendekar 131. Saat
Itulah pukulan 'Sukma Es' melabrak!
Kabut hitam pukulan Dewi Siluman tertahan
di udara. Lalu perlahan-lahan membeku
sebelum akhirnya cair dan muncrat ke udara!
Meski bentrok pukulan itu tidak perdengarkan
suara ledakan, namun mau tak mau tubuh
Dewi Siluman dan Joko sama-sama tersurut
masing-masing satu tombak ke belakang.
Sementara di sebelah samping, begitu
kabut hitam melesat dari kedua tangan Ki
Buyut, Gendeng Panuntun lorotkan sedikit
tubuhnya. Tiba-tiba sosoknya yang besar
membai ke udara. Di udara dia goyangkan
pantatnya ke kanan kiri. Bersamaan itu
tampak cahaya gemerlap memantul dari
cermin si kakek!
Blaappp! Blaappp!
Busss! Busss! Kabul hitam pukulan KI Buyut terlihat
membumbung ke udara seolah mengikuti ke
mana arah pantulan cahaya cermin Gendeng
Panuntun. Ki Buyut Pagar Alam menyeringai, lalu
didahului suara bentakan membahana, tubuhnya melesat ke udara lalu melabrak ke
arah sosok Gendeng Panuntun yang masih di
atas udara dengan kedua tangan berkelebat
menghantam ke arah kepala!
"Kek! Awas kepalamu!" terdengar orang berteriak, yang ternyata adalah perempuan
berpunuk. Gendeng Panuntun rentangkan kedua tangannya lalu serta-merta dipukulkan ke
depan. Terjadilah saling bentrok tangan di
udara. Kedua tangan masing-masing orang
tampak mental, namun serentak mereka
berdua cepat menghantamkannya kembali.
Demikian seterusnya, hingga saat itu juga
terdengar beberapa kali suara bentrokan
tangan. Dan suara benturan tangan baru
lenyap saat sosok keduanya sama-sama
mental ke belakang dan sama jatuh terjengkang di atas tanah berpasir!
"Gara-gara kau tak mau sebutkan nama,
lihatl Apa sekarang yang terjadi" Kedua
tanganmu tak Sumpah Palapa 7 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Petualangan Manusia Harimau 4
^