Kitab Serat Biru 3
Joko Sableng Kitab Serat Biru Bagian 3
Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat
Akankah semuanya jadi sia-sia karena kebimbangan yang menjerat
Padahal penantian ini telah lama berkarat
Hanya pada Tuhan tempat manusia memanjat
Suara nyanyian itu terdengar amat aneh di telinga murid Pendeta Sinting,
memantul jauh namun menggema laksana diperdengarkan orang dari dasar jurang yang
sangat dalam. Joko memandang jauh ke tengah laut dengan coba mengulang nyanyian yang baru
didengar lalu coba menyimak arti nyanyian.
"Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat.... Eh. Jangan-jangan ini ada
hubungannya dengan peta yang kudapat dari beberapa tokoh Ku! Padahal penantian
ini telah berkarat.... Hem.... Jangan-jangan orang ini tokoh yang dikatakan
Manusia Dewa! Tapi di mana aku harus mencarinya"
Seluruh pulau telah kutelusuri, tapi tidak ada seorang pun! Dan suara itu
sepertinya datang dari jauh tapi menggema laksana di dalam jurang.... Mungkinkah
di bawah pulau ini"!" Sekali lagi sepasang mata Joko memperhatikan berkeliling.
Saat itulah matanya menangkap gugusan batu padas yang bergetar keras dan tak
lama kemudian pecah berantakan! Anehnya, bersamaan dengan pecahnya gugusan batu
padas itu, getaran-getaran di pulau itu berhenti!
Murid Pendeta Sinting segera
berkelebat ke arah gugusan batu padas yang pecah. Sampai di situ, sepasang
matanya jadi membelalak besar. Pada bagian pecahan batu padas tampak sebuah
lobang menganga!
Baru saja Pendekar 131 gerakkan kepala melongok, satu kekuatan dahsyat menyedot
dari dalam lobang, hingga meski Joko coba menahan dengan kerahkan tenaga dalam
namun sia-sia. Tubuhnya melipat ke depan lalu melayang masuk ke dalam lobang!
Bukkk! Joko rasakan tubuhnya menghantam tanah keras. Ketika dia buka kelopak matanya
dia berada pada satu ruangan agak besar yang seluruh bagian dinding dan langit-
langitnya dari batu berwarna ke-biru-biruan.
Dengan dada dipenuhi berbagai tanya, murid Pendeta Sinting ini cepat bergerak
bangkit. Lalu edarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tapi di sini dia tak juga
melihat seseorang.
Di saat Joko masih mencari-cari dengan rasa heran, tiba-tiba terdengar lagi
nyanyian seperti yang tadi didengarnya di atas pulau! Tapi lagi-lagi suara itu
laksana datang dari tempat yang jauh di dalam jurang. Namun kali ini Joko dapat
menentukan dari mana sumber arah suara itu.
Perlahan-lahan Joko melangkah ke bagian samping kanan dinding ruangan arah mana
suara nyanyian tadi terdengar.
Sejenak murid Pendeta Sinting ini perhatikan dinding ruangan bagian kanan itu.
Lalu merabanya.
"Tak ada pintu.... Tapi jelas suara tacM bersumber dari sini!" gumam Joko
Sableng seraya gelengkan kepala. Entah karena tak tahu apa yang harus dilakukan,
akhirnya dia berteriak.
"Siapa pun adanya orang, katakan di mana kau berada!
Joko menunggu. Tapi tidak ada suara jawaban atau terdengarnya nyanyian. Murid
Pendeta Sinting kembali ulangi teriakannya. Namun tidak juga ada suara jawaban.
"Eh. Jangan-jangan telingaku yang menipu karena aku terpengaruh dengan nyanyian
di luar tadi...."
Joko lalu melangkah dan duduk bersandar pada dinding ruangan. Baru saja
punggungnya bersandar, dari bagian kanan dinding terdengar suara.
"Aku di sini, Anak muda...!"
Joko terkesiap, serentak dia bangkit lalu melompat ke dinding ruangan sebelah
kanan. Tapi kembali dia dilanda kebingungan. Dinding itu tak berpintu dan tak
ada satu celah pun!
"Aku ingin menemuimu! Bagaimana aku harus ke tempatmu"!" seru Joko pada
akhirnya. "Hantam dinding sebelah kanan!"
terdengar jawaban dari dalam.
"Jika dinding ini kuhantam, jangan-jangan orang di dalam sana itu akan terkena
juga.... Padahal kemungkinan besar dialah orang sakti yang dikatakan Manusia
Dewa!" Sesaat murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan. Antara menuruti ucapan orang
atau mencari jalan lain yang lebih aman.
Karena bukan tidak mungkin jika turuti ucapan orang maka orang yang ada di dalam
sana akan turut cedera. Padahal dari nyanyian yang didengarnya, Pendekar 131
sudah hampir merasa yakin bahwa orang itulah yang ada sangkut-pautnya dengan
Kitab Serat Biru.
"Anak muda. Apalagi yang kau tunggu"!" terdengar ucapan dari balik dinding.
"Baiklah. Aku akan menghantam dinding ini. Tapi harap kau menyingkir!" kata
Joko. Terdengar orang tertawa. Sesaat kemudian terdengar ucapan.
"Jika kau melihat sendiri, tak mungkin kau mengatakan begitu, Anak Muda!"
"Apa maksudmu"!" tanya Joko.
"Jangankan menyingkir, menggerakkan tangan pun aku tak bisa!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Joko pula.
"Sekarang bukan saat yang baik untuk tanya jawab, Anak muda! Turuti saja kata-
kataku!" Murid Pendeta Sinting masih tampak ragu-ragu. Sepasang matanya perhatikan
dinding ruangan dengan seksama.
"Sekali kuhantam aku yakin akan ambrol. Hemmm.... Orang di dalam sana itu tidak
bisa bergerak. Aku harus tahu, apakah jaraknya jauh dengan dinding ini...!" Joko
lalu kembali berteriak.
"Apakah tempatmu cukup jauh dengan dinding ini"!"
Sejenak tidak ada jawaban. Tapi tak lama kemudian terdengar suara.
"Anak muda! Tempatku berada tak lebih cuma dua langkah dari dinding!"
"Gila! Bagaimana ini" Tak mungkin orang itu selamat jika dinding ini ambrol!"
kata Joko dalam hati lalu melangkah mondar-mandir.
"Ah, bagaimana kalau yang kuhantam sebelah sini"!" ujar Joko pelan seraya
melihat dinding sebelah kanan yang agak ke tepi.
"Anak muda. Kau masih di situ"!"
terdengar ucapan dari dalam dinding.
"Hemm.... Betul. Aku akan hantam dinding ini, tani agak ke tepi! Dengan begitu
kau tidak akan terkena jebolan dinding!"
Dari dalam terdengar orang tertawa.
"Percuma Anak muda. Kalau yang kau hantam tidak yang paling tengah, kau hanya
akan buang-buang waktu dan tenaga!"
"Walah! Bagaimana ini!" Kembali Joko dilanda kebingungan. Karena tidak tahu
harus berbuat apa, akhirnya Joko bertanya lagi.
"Apakah tidak ada jalan lain selain menghantam jebol dinding ini"!"
"Anak muda! Jangan banyak tanya!
Hantam dinding atau keluarlah dari ruangan ini!" Kali ini suara dari balik
dinding agak keras.
"Baiklah. Aku hanya turuti ucapanmu!
Harap kau nanti tidak menyesal!"
"Tak ada penyesalan, Anak muda!
Penantian ini sudah terlalu lama...."
"Siapa yang menanti?" ujar Joko Sableng dengan melangkah mundur.
"Aku tidak bisa jawab tanyamu sekarang! Karena kau bukan satu-satunya anak
manusia yang datang ke tempat ini!"
"Jadi"!"
"Kau terlalu banyak tanya, Anak muda!" potong suara dari balik dinding.
"Berarti telah banyak orang yang sebelumnya datang ke tempat ini. Dan mereka tak
sanggup menjebol dinding itu!"
pikir Pendekar 131 pada akhirnya.
Setelah menarik napas dalam, murid Pendeta Sinting ini angkat kedua tangannya
dan sekaligus dihantamkan pada dinding tepat bagian paling tengah.
Beekkk! Beekkk!
Terdengar dua kali benda terhantam.
Tapi murid Pendeta Sinting jadi terkesiap sendiri. Jangankan hancur, satu
pecahan kecil pun tidak! Malah kejap itu juga Joko berseru tertahan sambil
kibas-kibas-kan kedua tangannya. Bahkan dia membelalak saat meneliti ternyata
kedua tangannya lecet dan mengembung bengkak!"
"Anak muda! Kau sudah lakukan apa yang kuucapkan"!" Dari dalam dinding terdengar
tanya. Joko tidak menjawab ucapan orang.
Sebaliknya perhatikan dinding dengan mata mendelik tak ber-kesip.
"Anak muda! Kerahkan segenap tenaga dalammu dan lepaskan pukulan andalan yang
kau miliki!"
"Edan! Aku tak percaya jika menjebol dinding begini sampai harus kerahkan tenaga
dalam penuh dan lepaskan pukulan
'Lembur Kuning'.... Akan kucoba sekali lagi!"
Murid Pendeta Sinting mundur satu langkah. Dengan kerahkan separo tenaga
dalamnya dia hantam dinding itu dengan kedua tangannya.
Untuk kedua kalinya Pendekar 131
berseru tertahan. Kedua tangannya mental balik! Bahkan tubuhnya ikut terseret
mundur sampai tiga langkah! Kedua tangannya tambah lecet dan makin bengkak
besar! "Aku hampir tak percaya!" gumam Joko seraya pentangkan matanya. Dinding itu
bergeming pun tidak! "Terpaksa aku turuti ucapan orang itu! Akan kuhantam dengan
pukulan 'Lembur Kuning'!"
Murid Pendeta Sinting segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap
kemudian kedua tangannya berubah menjadi kekuningan pertanda dia siap lepaskan
pukulan andalan 'Lembur Kuning'.
Didahului bentakan keras, Joko melompat ke depan dan serta-merta kedua tangannya
dihantamkan ke arah dinding.
Dua sinar kuning mencorong terlihat menggebrak ke depan, lalu terdengar dentuman
keras. Ruangan terbuat dari batu berwarna biru itu bergetar hebat laksana
dilanggar gempa. Hingga sosok murid Pendeta Sinting tampak terpental dan jatuh
terduduk di tengah ruangan.
Meski merasa kesakitan, Joko cepat bergerak bangkit dan serta-merta menghambur
ke depan, ke arah dinding yang baru saja dihantam. Sepasang mata Joko terpentang
besar dan dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas. Ternyata dinding itu tetap
seperti sedia kala!
"Heran. Bagaimana mungkin pukulan
'Lembur Kuning' tidak mampu menjebol!
Jangan-jangan ini satu isyarat bahwa kitab itu...."
Kata hati Joko belum selesai, dari balik dinding terdengar orang berucap.
"Aku mendengar ledakan. Berarti kau telah menghantam dinding itu. Aku tanya
padamu, Anak muda. Bagaimana hasilnya"!"
"Seperti yang kau dengar, aku memang telah menghantam dinding itu, tapi
jangankan jebol, rengkah pun tidak! Apa yang harus kulakukan sekarang"!"
Terdengar keluhan dari balik dinding.
Lalu terdengar suara.
"Kau telah berusaha, Anak muda! Dan ternyata kau sama seperti beberapa orang
yang datang sebelumnya! Itu telah menjadi jawaban apa yang harus kau ^kukan
sekarang!"
"Jadi aku harus meninggalkan tempat ini"!" ujar Joko seraya gelengkan kepala.
"Bukan harus. Tapi apa gunanya kau berada di situ"! Kukira masih banyak yang
bisa kau nikmati diluaran sana. Bukankah begitu"!"
"Tapi aku tak akan keluar dari pulau ini sebelum mendapatkan apa yang kucari!"
"Apa yang kau cari di sini, Anak muda"!"
"Aku mengemban tugas dari Eyang guruku Pendeta Sinting serta seorang tokoh rimba
persilatan bergelar Manusia Dewa untuk menyelidik Kitab Serat Biru!"
"Hemm.... Begitu" Mau turuti ucapanku, Anak muda"!"
"Harus kudengar dulu ucapanmu!"
"Tinggalkan ruangan itu! Kau tidak akan mendapat apa-apa!"
"Maaf. Kalau ini aku tidak bisa turuti ucapanmu. Aku akan tinggalkan ruangan ini
dengan kitab di tangan!"
Terdengar orang di balik dinding tertawa panjang. "Tekadmu besar. Tapi
sayang.... Kau tidak akan mendapatkan yang kau inginkan!"
"Apakah orang lain telah mendapatkan kitab itu"!"
"Beberapa orang memang datang ke tempat ini. Sama dengan dirimu, mereka juga
menginginkan kitab Itu. Tapi sama juga dengan kau, mereka akhirnya harus pulang
dengan tangan hampa!"
"Apakah kitab itu benar-benar tidak ada"!" tanya Joko.
"Aku tidak berhak menjawab! Jawaban itu bisa kau dengar jika kau berhasil
membuka dinding ini! Tapi sekaligus tidak membuatku tewas terkena bias pukulan!"
Hening sejenak. Murid Pendeta Sinting tampak duduk bersandar dengan kepala
sesekali menggeleng. "Aku telah berusaha, dan nyatanya aku gagal menjebol
dinding itu! Mungkinkah kitab itu tidak ditakdirkan untuk kumiliki"!"
"Anak muda! Kau telah menghantam dinding itu. Apakah kau tidak punya pukulan
lain?" "Astaga!" Joko bergerak bangkit.
"Bukankah aku mendapatkan pukulan 'Sukma Es' dari orang yang sebutkan diri Dewi
Es"! Hemm.... Akan kucoba!"
Tapi kembali Joko dilanda
kebimbangan. "Kalau berhasil, tapi tidak mampu menyelamatkan orang itu..." Ah,
susah!" Setelah berpikir agak lama, akhirnya Joko berkata.
"Orang di balik dinding! Aku memang punya satu pukulan. Tapi aku belum bisa
pastikan apakah pukulan itu mampu menjebol dinding ini, juga aku tak bisa jamin
apakah kau nanti bisa selamat jika pukulanku berhasil!"
"Dengar, Anak muda! Orang yang bisa menjebol dinding ini sekaligus dia pasti
bisa meredam pukulannya agar aku bisa selamat! Jika hal itu tak bisa dilakukan,
jangan harap bisa jebol dinding ini!"
"Ah, tambah sulit!" gumam Joko lalu kembali duduk bersandar. "Bisa menjebol
sekaligus bisa meredam! Hem.... Dewi Es mengatakan sesuatu yang kupegang akan
membeku jika kukerahkan tenaga dalam ke lengan...."
Mendadak Pendekar Pedang Tumpul 131
berdiri dengan mata tak berkedip memperhatikan dinding di hadapannya.
"Jika ucapan Dewi Es benar, maka bila dinding ini kuhantam dengan pukulan
'Lembur Kuning' dan berhasil jebol, maka tidak akan berantakan karena dinding
ini akan membeku jika kukerahkan pukulan Sukma Es kearah lengan!"
Berpikir sampai di situ, murid Perdeta Sinting ini lantas melangkah ke arah
dinding. Sesaat dia meraba dinding itu. Lalu mundur setengah langkah. Tenaga
dalamnya dia kerahkan pada lengan. Serta merta dia merasakan hawa dingin luar
biasa pada kedua tangannya. Ruangan itu pun perlahan-lahan dibungkus hawa dingin
hebat. Tanpa menunggu lagi, Joko tempelkan kedua tangannya pada dinding. Serta-merta
dinding itu laksana ditimbun es!
Aku merasakan hawa dingin, Apakah kau yang melakukan, Anak muda"!" tanya suara
dari balik dinding.
"Aku akan mencoba! Harap kau siap-siap!"
"Siap apa?" suara dan balik dinding kembali bertanya.
"Walah, aku lupa kalau kau tak bisa bergerak!"
"Sudah lakukan saja apa yang hendak kau lakukan!" kata suara dari balik dinding.
Setelah melihat dinding itu dilapisi gumpalan es, tangan kanan Joko ditarik ke
belakang, sementara tangan kirinya tetap menempel di dinding. Untuk kedua
kalinya murid Pendeta Sinting ini kerahkan tenaga dalam diarahkan pada tangan
kanannya. Ti-ba-tiba tangan kanan itu berubah menjadi kekuningan. Lalu dengan
pejamkan mata, tangan kanannya digerakkan menghantam dinding!
Bukkk! Byaarrr! Terdengar ledakan keras. Joko rasakan tubuhnya terhantam benda besar, hingga
sosoknya mencelat dan menghantam dinding di seberang. Lalu jatuh dengan kepala
berdenyut sakit. Wajahnya berubah pucat dengan kedua tangan bergetar. Tapi
karena ingin melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting tidak rasakan
denyutan di kepala dan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.
Dia cepat bergerak bangkit dengan sepasang mata memandang tak berkesip ke depan.
"Berhasil...!" seru Joko ketika dia melihat lobang menganga di dinding yang baru
saja dihantamnya. Tanpa berpikir lama dia cepat berkelebat, lalu tegak di
samping dinding yang kini telah jebol.
Murid Pendeta Sinting ini seakan tak percaya dengan pandangan matanya. Dinding
yang terkena hantamannya memang jebol dan anehnya jebolan dinding itu tidak
berhamburan! Melainkan berserakan di tempat itu dan tampak masih dilapisi
gumpalan-gumpalan es!
"Hem.... Jadi gumpalan-gumpalan es ini yang bisa meredam muncratnya hamburan
batu dinding ini! Tidak kusangka sama sekali...."
Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, ternyata kau berhasil, Anak muda!" terdengar suara pelan.
Seakan tersadar, Joko segera
pentangkan matanya ke balik jebolan lobang dinding. Saat itulah matanya
membentur sesuatu. Murid Pendeta Sinting ini tercekat dan makin belalakkan
matanya. Dari tempatnya berdiri Pendekar 131
melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah putih. Rambutnya yang
telah memutih tampak awut-awutan menutupi sebagian wajah dan bahunya. Sepasang
matanya yang samar-samar terlihat dari celah rambutnya tampak sayu. Saat Joko
melihat ke bawah, murid Pendeta Sinting jadi terkesiap. Karena ternyata tubuh
bagian bawah kakek ini berada di dalam lantai batu!
"Hem.... Betul ucapan Manusia Dewa!
Orang sakti yang dikatakannya sebagian tubuhnya di atas sedang sebagian lagi di
dalam tanah! Berarti orang ini yang dimaksud Manusia Dewa...."
Joko segera masuk ke balik dinding yang telah jebol. Lalu jongkok di samping
kakek yang tubuh bagian atasnya terlihat, namun tubuh bagian bawahnya masuk ke
dalam lantai batu.
"Kau tidak apa-apa, Kek"!"
Si orang tua angkat kepalanya.
"Dengan pergunakan pukulan 'Sukma Es' kau berhasil meredam hamburan batu. Itu
membuatku selamat tidak mengalami suatu apa!"
Diam-diam Joko jadi terkesiap mendengar si kakek tahu pukulan yang baru saja
digunakan. Sebelum Joko buka mulut, si kakek telah berucap lagi.
"Orang baru bisa menjebol dinding itu jika dia memiliki dua kekuatan. Kekuatan
dingin untuk meredam, dan kekuatan panas untuk menghantam! Dan kau berhasil
melakukannya dengan baik. Terima kasih, Anak muda...."
"Kek! Tubuhmu sebagian masih terpendam. Bagaimana aku harus menge-luarkanmu"!"
Sepasang mata sayu milik si kakek memandang dari sela rambutnya yang awut-
awutan. "Sekali lagi kuucapkan terima kasih jika kau masih ingin menolongku,
Anak muda! Lakukanlah seperti kau menjebol dinding tadi! Hanya dengan cara itu
tubuhku akan selamat...."
"Hemm.... Jika begitu, akan kulakukan!" ujar Joko. Lalu cepat kerahkan tenaga
dalam pada lengannya siapkan pukulan 'Sukma Es'. Tangan kirinya ditempelkan pada
lantai batu sekitar tubuh kakek yang terpendam, lalu tangan kanannya diangkat
siapkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Lantai batu di mana kakek terpendam mendadak ditaburi gumpalan-gumpalan es.
Serta-merta Pendekar 131 hantamkan tangan kanannya dengan kerahkan pukulan
'Lembur Kuning'.
Brakkk! Tempat itu bergetar keras. Sosok murid Pendeta Sinting terseret hingga tiga
langkah. Saat dia memandang ke depan, tampak lantai batu di mana tubuh si kakek
terpendam rengkah-rengkah dan sebagian berlobang. Namun hamburan lantai batu
tidak sampai bertabur ke atas!
Si kakek tampak tarik kedua tangannya yang ikut terpendam ke atas. Dengan
bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menekan sebagian lantai batu si kakek
bergerak. Sosoknya melesat ke atas lalu tegak dua langkah ke samping Joko.
"Anak muda. Jerih payahmu tidak akan kulupakan. Mari kita bicara di ruangan
sana!" sambil berkata si kakek mendahului melangkah menuju ruangan. Joko lalu
menyusul dari belakang.
SEPULUH SELAMA hampir seratus tahun aku menghuni pulau ini...," kata si kakek mulai buka
mulut setelah dia dan Pendekar 131 duduk berhadap-hadapan di lantai ruangan yang
dinding dan langit-langitnya terdiri dari batu berwarna biru itu.
"Entah sudah menjadi nasibku, setelah aku berguru pada seorang tokoh sakti, aku
diberi tugas untuk mendiami pulau ini. Aku tak tahu apa maksudnya dia menyuruhku
untuk diam di pulau ini. Yang Jelas dia memberikan sebuah kitab serta butiran
merah padaku dengan pesan, kelak akan datang orang yang ditakdirkan memiliki
kitab serta butiran merah itu. Dia tidak mengatakan siapa orangnya dan kapan dia
akan datang. Selain itu dia berpesan agar aku tidak sekali-kali membuka kitab
serta menelan butiran merah itu. Sebagai murid meski hal itu terasa berat, namun
kulakukan juga. Tapi hingga dua puluh tahun berlalu, orang yang dikatakan guru
tidak ada tanda-tanda akan muncul di tempat ini. Aku mulai gelisah dan khawatir.
Tapi aku tetap menjalankan pesan guruku. Hingga pada suatu malam aku
bermimpi...." Si kakek sejenak hentikan keterangannya, lalu melanjutkan.
"Seorang laki-laki berusia lanjut datang dalam mimpiku dan dia memberi pesan,
persis seperti apa yang dikatakan guruku. Tapi sepuluh tahun setelah mimpi itu,
orang yang dikatakan tidak juga muncul. Aku mulai waswas. Terutama mengingat
usiaku yang mulai menginjak tua.
Dan entah karena apa suatu hari aku tanpa sengaja melihat kitab yang diberikan
guru. Dan tiba-tiba di hatiku tergerak untuk membukanya. Tapi sadar akan pesan guru
dan orang tua dalam mimpi, akhirnya keinginanku kubatalkan. Hingga pada suatu
hari di hadapanku muncullah seorang kakek, yang setelah kuamati dengan seksama
ternyata dia adalah kakek yang muncul dalam mimpiku. Kakek itu mengatakan bahwa
sudah menjadi suratanku untuk menunggu dan memberikan kitab itu serta butiran
merah. Kakek itu juga mengatakan bahwa tidak lama lagi orang yang ditakdirkan mewarisi
kitab serta butiran merah akan datang. Untuk memastikan orang yang ditakdirkan
itu, aku diberi satu ilmu 'Penembus Pagar'. Kelak orang yang dapat melewati ilmu
'Penembus Pagar' dialah orang yang berhak mewarisi kitab serta butiran merah.
Begitu si kakek pergi, aku coba menjajal ilmu itu.
Ternyata aku bisa melewati dinding serta dapat masuk ke lantai tanpa terlihat
jebolan pada dinding serta lantai.
Anehnya, begitu tubuhku masuk ke bawah lantai aku diserang kantuk yang luar
biasa." Untuk kedua kalinya si kakek hentikan keterangannya sebelum akhirnya
melanjutkan. "Hingga aku tertidur. Aku baru bangun tatkala kurasa ada getaran-getaran keras.
Saat itulah kuketahui ada orang datang di ruangan ini. Seperti halnya dirimu
tadi, orang itu coba menjebol dinding, tapi tak berhasil. Dan begitu orang itu
pergi, aku diserang kantuk lagi, lalu tertidur. Aku baru terbangun ketika ada
getaran-getaran keras dan ada orang datang di ruangan ini.
Begitu selanjutnya. Aku baru bangun saat terasa ada getaran-getaran yang
menandakan akan datangnya seseorang. Namun hingga sejauh itu tidak satu pun yang
berhasil menjebol dinding sampai akhirnya kau datang...."
"Jadi selama ini kau tak makan tak minum"'" "Aku tertidur! Mana merasa lapar dan
haus" Aku hanya bangun sesekali. Itu kalau ada getaran pertanda orang datang.
Tapi setelah itu aku sudah tertidur lagi!"
"Luar biasa!" gumam Joko seraya pandangi kakek di hadapannya.
"Kek. Kudengar kau sempat sebutkan pukulanku. Bagaimana kau bisa tahu?"
Si kakek tengadahkan sedikit
kepalanya sebelum berucap.
"Tiga hari sebelum kedatanganmu, orang tua itu kembali muncul dalam mimpiku. Dia
mengatakan bahwa penantian tidak akan lama lagi. Dia lalu mengajarkan padaku
bait nyanyian. Dan mengatakan bahwa ilmu 'Penembus Pagar' bisa diatasi jika
orang pergunakan pukulan 'Sukma Es' yang digabung dengan pukulan yang mengandung
hawa panas!"
"Anak muda! Siapa namamu"!" tanya si kakek setelah terdiam agak lama.
"Joko Sableng, Kek.... Aku murid seorang yang dalam rimba persilatan dikenal
dengan gelar Pendeta Sinting....
Kau sendiri siapa, Kek?"
"Aku Ageng Mangir Jayalaya...."
"Hm.... Tepat ucapan Manusia Dewa!"
kata Joko dalam hati.
"Joko. Menurut pesan, maka kaulah orangnya yang berhak atas kitab dan butiran
merah yang sekarang ada padaku...!" Ki Ageng Mangir Jayalaya selinapkan kedua
tangannya ke balik jubahnya. Saat kedua tangannya ditarik kembali, tampaklah
sebuah kitab bersampul biru di tangan kanan, lalu butiran sebesar ibu jari
berwarna merah di tangan kiri.
"Ambillah...," ujar Ki Ageng Mangir Jayalaya seraya ulurkan kedua tangannya pada
Joko. Begitu benar-benar berhadapan dengan kitab yang dicari, bukannya Pendekar 131
cepat ulurkan kedua tangannya untuk mengambil. Dia seolah masih tidak percaya
bahwa kitab yang kini diulurkan si kakek adalah kitab yang dicari!
"Kitab dan butiran merah ini sudah ditakdirkan menjadi milikmu!" kata Ki Ageng
Mangir Jayalaya.
Pada akhirnya dengan kedua tangan gemetar perlahan-lahan Joko menyambuti kitab
dan butiran merah yang masih ada di tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Dan begitu
tangannya menyentuh kitab bersampul biru serta butiran merah, Joko rasakan
sekujur tubuhnya dirasuki hawa hangat.
Pada saat bersamaan sepasang matanya terasa ditusuk-tusuk, hingga cepat Joko
pejamkan sepasang matanya sambil menarik kitab dan butiran merah dari tangan Ki
Ageng Mangir Jayalaya.
Ketika kitab dan butiran merah berada di tangannya, tusukan pada matanya lenyap.
Saat dia buka lagi kelopak matanya, pandangannya terasa makin tajam!
"Ada apa, Anak muda?" tanya Ki Ageng Mangir Jayalaya tak tahu apa yang sedang
dialami murid Pendeta Sinting ini.
"Hm.... Dia tak merasakan dan tak tahu apa yang kualami!" membatin Joko lalu
gelengkan kepala dan berkata.
"Kepalaku sedikit sakit karena menghantam dinding itu tadi!"
Ki Ageng Mangir Jayalaya perhatikan Joko lebih seksama. "Aneh. Kurasa bukan
karena sakit kepala anak ini berbuat begitu! Tapi kalau dia tak hendak
mengatakan padaku, untuk apa aku memaksanya?" kata si kakek dalam hati, lalu
berkata. "Telanlah butiran merah itu!"
Sejurus Joko pandangi orang tua di hadapannya. Dia tampak bimbang. Ki Ageng
Mangir Jayalaya tersenyum.
"Itu yang dikatakan orang tua dalam mimpiku! Telanlah!"
Dengan tangan gemetar. Joko pandangi butiran merah yang ada pada tangan kirinya.
Lalu perlahan-lahan tangannya diangkat. Mulutnya bergerak membuka. Dan butiran
merah itu segera ditelan.
Tiba-tiba murid Pendeta Sinting rasanan sekujur tubuhnya laksana dipanggang dan
kejang tak bisa digerakkan hingga tak lama kemudian kitab yang ada di tangan
kanannya jatuh. Sepasang matanya terasa pedas sekali hingga keluarkan air mata
sementara tubuhnya basah oleh keringat. Namun semua itu hanya sekejap.
Di kejap lain mendadak rasa panas itu lenyap! Dan saat itu juga Pendekar 131
dapat gerakkan lagi tubuhnya.
Saat itulah, tiba-tiba ruangan di mana Pendekar 131 dan Ki Ageng Mangir Jayalaya
berada terasa bergetar. Joko dan Ki Ageng Mangir Jayaiaya sejurus saling
berpandangan. "Ada orang datang di pulau ini...,"
gumam si kakek. "Ambil dan simpan baik-baik kitab itu!"
Sejenak Joko perhatikan kitab yang ada di sampingnya. Kitab bersampul biru itu
pada sampulnya bertuliskan Serat Biru.
"Orang yang datang pasti mempunyai tujuan-yang sama denganmu! Jangan cari urusan
dengan memperlihatkan kitab itu!"
kata Ki Ageng Mangir Jayalaya.
Mendengar ucapan orang, Joko tersadar dan cepat ambil kitab lalu dimasukkan ke
balik pakaiannya.
"Kek! Kau tetap di sini! Aku akan ke atas!" kata Joko lalu menjura hormat. Ki
Ageng Mangir Jayalaya hanya anggukkan kepala sambil tersenyum.
Joko bergerak bangkit lalu putar diri dan melangkah ke arah lobang yang tadi
menyedot tubuhnya. Sejenak dia tengadah lalu kedua kakinya menjejak lantai
ruangan. Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri, karena gerak lesatan tubuhnya luar biasa
cepat! Hingga dalam kejap lain sosoknya telah tegak di luar lobang di permukaan
pulau yang ditaburi pasir dan gugusan batu berwarna biru.
Namun baru saja sepasang kakinya menginjak tanah, satu bayangan berkelebat dan
langsung tegak menghadang tujuh langkah di hadapannya!
SEBELAS UNTUK beberapa saat Joko Sableng perhatikan orang di hadapannya. Dia adalah
seorang pemuda mengenakan jubah putih.
Sepasang matanya tajam dengan dagu kokoh dan rambut panjang lebat.
Orang yang dipandang tengadahkan kepala. "Hm.... Ternyata ada anak manusia yang
mendahului langkahku! Jahanam betul!
Siapa dia"! Apakah telah berhasil mendapatkan kitab sakti itu"!" gumamnya lalu
luruskan kepala.
Sesaat dua orang ini saling bentrok pandang. Murid Pendeta Sinting buka mulut
hendak bicara. Namun sebelum ucapan keluar dari mulutnya, pemuda berjubah putih
yang bukan lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur telah angkat tangan
kanannya dan berkata dengan suara keras.
"Kau tak berhak bertanya! Aku yang berhak ajukan tanya!"
Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya, lalu garuk pantatnya seraya membatin.
"Sombong betul! Tapi siapa pun dia adanya pasti membekal ilmu, apalagi bisa
sampai ke tempat ini!"
"Katakan siapa kau!" hardik Malaikat Penggali Kubur seraya melangkah maju satu
tindak. Pendekar 131 arahkan pandangannya pada deburan ombak jauh di depan sana.
Lalu berujar. "Aku Pangeran Mendut-Mendut!
Penghuni pulau gersang ini! Boleh tahu siapa kau adanya"!"
Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Matanya mendelik angker mengawasi
pemuda di hadapannya. Namun tak lama kemudian tawanya meledak.
"Setan laut pun tidak akan percaya jika tampang macammu adalah seorang
pangeran!" kata Malaikat Penggali Kubur di sela suara tawanya. Namun mendadak
suara tawanya diputus. Seraya berpaling pada Joko dia membentak.
"Jangan berani mengumbar bicara tak karuan! Lekas katakan siapa dirimu!"
"Silakan setan laut atau hantu pulau inj tidak percaya. Yang pasti aku adalah
.Pangeran Mendut-Mendut!" ujar Joko seraya senyum-senyum. Lalu melanjutkan. "Kau
te.ah mengetahui siapa diriku. Sebagai penghuni puiau ini, aku ingin tahu siapa
kau adanya!"
Malaikat Penggali Kubur keluarkan dengusan keras sebelum menjawab.
"Aku Malaikat Penggali Kubur!"
"Ah.... Kalau seorang malaikat datang jauh-jauh ke pulau yang gersang ini pasti
punya tujuan penting!"
"Penting atau tidak bukan urusanmu!"
sentak Malaikat Penggali Kubur. "Aku tanya padamu, di mana disembunyikan Kitab
Serat Biru!"
"Apa..."!" tanya Joko sambil telengkan kepalanya.
"Kau tidak tuli! Orang tanya di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!"
"Kitab Serat Biru?" tanya Joko seraya kerutkan kening.
"Betul! Sebuah kitab yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan kalangan rimba
persilatan dan tidak sedikit pula orang yang coba mencarinya. Kitab itu menurut
kabar yang kupercaya berada di pulau ini!"
kata Malaikat Penggali Kubur memberi keterangan.
"Kau tidak kesasar ke tempat yang salah"!" tanya Joko
"Malaikat Penggali Kubur tidak akan datang ke tempat yang salah!"
"Dari mana kau tahu tempat ini"!"
"Jahanam! Kau terlalu banyak tanya!"
bentak Malaikat Penggali Kubur. Rahang pemuda murid Bayu Bajra ini mulai
mengembung. "Ah, maaf. Sejak kecil aku berada di tempat ini. Tak pernah sekali pun melihat
keadaan di luaran sana. Jadi harap dimengerti jika aku tak mengetahui bahwa
banyak c.ang rimba persilatan membicarakan kitab yang dikabarkan berada di pulau
ini!" "Hm.... Jadi kau tak mengerti"!"
tanya Malaikat Penggali Kubur dengan mata berkilat.
"Bukan hanya tidak mengerti. Namun baru pertama kali ini mendengar kau sebutkan
nama kitab itu!"
"Heran. Bagaimana mungkin" Apakah peta itu palsu" Tapi melihat gugusan batu
padas serta pasir di pulau ini, aku yakin inilah Pulau Biru! Hm.... Jangan-
jangan pemuda ini mendustaiku!"
Untuk pertama kalinv Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Tapi mana dia
percaya begitu saja akan ucapan orang. Apalagi ketika matanya m -numbuk pada
hamburan batu di dekat lobang.
"Jika mau kusarankan, lebih baik kau menuju puSau itu!" kata Joko setelah agak
lama keduanya sama diam sambil menunjuk pada pulau di sebe rang.
"Di sini kau tidak akan menemukan kitab yang kau katakan! Sebagai penghuni, aku
hafal seluk-beluk pulau ini serta apa saja yang ada d! dalamnya!
Malaikat Penggali Kubur tampak menyeringai mendengar ucapan Joko. Diam-diam ia
membatin. "Melihat pakaian yang dikenakan, mengaku mengaku seorang Pangeran, seperti nya
Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak masuk akal jika dia penghuni dan tidak pernah meninggalkan pulau ini!"
Lalu pemuda berjubah Putih berkata:
"Aku datang Jauh-jauh percuma jika tidak membuktikan sendiri semua ucapanmu!
Dan sebelum menyelidik keseluruh pulau,bagaimana aku bisa menerima jika aku
dating ke tempat yang salah!"
Tanpa memperdulikan pandangan Pendekar 131, Malaikat Penggal Kubur melangkah kea
rah lobang dari mana murid Pendeta Sinting, keluar.
"Tunggu!" seru Joko seraya tehgak menghadang. "Ini tempatku. Aku...."
Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah. Lalu mamandang lekap pada Joko dan
menukas ucapannya. "Dengar! Sekali kau bergerak dan tempatmu aku tak segan
penggal kepalamu!" Lalu Malaikat Penggali Kubur teruskan langkah.
"Meski kitab telah berada di tanganku, tapi bisa bahaya jika dia masuk ke
bawah ,kata Joko dalam hati, lalu berkata.
"Jika kau teruskan langkah, berarti kau tidak menghormati Pangeran Mendut-
Mendut!" Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Persetan dengan Pangeran!
Persetan dengan penghormatan!"
Pendekar 131 palangkan tangan kanan kirinya ke samping membuat gerakan
penghadangan. "Persetan juga dengan Malaikat Penggali Kuburi" Joko ikut-ikutan
berkata. "Kau mencari mampusl" bentak Malaikat Penggali Kubur seraya angkat tangan
kanannya. "Persetan dengan mampus!" Eh salah .... Yang kumaksudkan...
Joko tak sempat lagi teruskan ucapannya, karena saat itu juga Malaikat Penggali
Kubur telah gerakkan tangan kanannya.
Namun gerakan tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tertahan ketika tiba-tiba
mereka berdua dikejutkan dengan suara tawa bersahut-sahutan.
Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 131 serentak sama palingkan kepala ke arah
datangnya suara tawa. Namun belum sampai kepala masing-masing orang berpaling,
dua bayangan hitam telah berkelebat dan tahu-tahu tegak terjajar beberapa
langkah di samping Malaikat Penggali Kubur.
"Mereka!" desis Malaikat Penggali Kubur seraya pandangi satu persatu pada dua
orang yang baru datang. Paras wajah pemuda ini tampak berubah. Tapi kejap
kemudian dia mendongak sambil keluarkan dengusan keras.
Pendekar 131 kernyitkan kening lalu memandang pada orang yang baru datang yang
tegak di sebelah kanan. Di situ tegak seorang kakek mengenakan jubah hitam
dengan rambut disanggul ke atas. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan
rongga yang besar dan dalam. Kakek ini tegak seraya sedikit tengadah dengan
kedua tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya pada orang di sebelah si kakek.
Mendadak air muka Joko berubah.
Seraya pentangkan mata besar-besar dia perhatikan orang kedua ini baik-baik. Dia
adalah seorang perempuan berambut pirang bergerai sepanjang punggung. Mengenakan
jubah panjang sebatas lutut juga berwarna hitam. Perempuan ini tidak bisa
dikenali karena wajahnya ditutup dengan cadar berwarna hitam yang berlobang di
bagian kedua mata. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada tampak dibungkus
dengan sarung tangan dari kulit yang juga berwarna hitam.
"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan perempuan ini yang mencuri Pedang Tumpul
131! Hm.... Kebetulan sekali! Tapi aku harus berhati-hati...."
Kalau Malaikat Penggali Kubur tampak terkejut dengan kemunculan dua orang kakek
dan perempuan bercadar yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi
Siluman, demikian pula halnya dengan Dewi Siluman. Namun perempuan ini tidak
terkejut dengan adanya Malaikat Penggali Kubur, hanya dia hampir tak percaya
dengan keberadaan Pendekar 131 di tempat itu!
Yang paling tampak tenang ialah Ki Buyut Pagar Alam.
"Bagaimana anak manusia ini bisa berada di tempat ini"!" gumam Dewi Siluman
dengan menatap tajam Pendekar 131.
Seperti diketahui, waktu terjadi bentrok antara Pendekar 131 dengan Ratu Pemikat
serta Iblis Ompong, Dewi Siluman tiba-tiba menyeruak lalu menyambar murid
Pendeta Sinting yang sedang melayang hendak jatuh dan membawanya pergi. Dan pa-
da akhirnya Dewi Siluman berhasil mengambil Pedang Tumpul 131 milik Joko.
Lalu bersama dengan paman guru sekaligus pembantunya Ki Buyut Pagar Alam, Dewi
Siluman teruskan perjalanan menuju arah selatan. Pada satu tempat mereka berdua
bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur yang saat Ku juga sedang melakukan
perjalanan menuju Pulau Biru setelah mendapatkan peta asli dari tangan Dewa
Sukma. Saat itu sebenarnya Dewi Siluman hendak lancarkan satu pukulan pada
Malaikat Penggali Kubur yang hendak berkelebat pergi, namun ditahan oleh Ki
Buyut Pagar Alam. Kakek ini merasa curiga dengan Malaikat Penggali Kubur. Dia
lalu menyarankan pada Dewi Siluman untuk membiarkan Malaikat Penggali Kubur
berkelbat pergi namun dengan diam-diam mereka mengikuti dari belakang.
"Kalian berdua!" Mendadak Malaikat Penggali Kubur berteriak seraya menunjuk
kepada Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman. "Urusan kita belum usai! Jangan
berani coba-coba menambah urusan dengan ikut campur urusanku dengan pemuda ini!"
sepasang mata Dewi Siluman terpentang besar mengarah pada Malaikat Penggali
Kubur. ilmu .kepandaianmu masih sebatas telapak kaki masih juga bermulut besar!
Dengar! Kau menyingkir dulu tunggu giliran. Aku akan selesaikan urusan dengan
anak itu! "Hmm... Rupanya kau telah mengenal Pangeran keparat Ini!" desis Malaikat
Penggali Kubur, namun diam-diam dia juga masih membatin. "Ucapan perempuan
bercadar ini membuktikan bahwa pemuda yang mengaku bernama Pangeran Mendut-
Mendut ini sudah berkeliaran di luaran sana. Berarti dia juga bukan penghuni
pulau ini! Jahanam betul! Dia telah menipuku'"
Mendengar Malaikat Penggali Kubur sebutkan Pangeran pada Pendekar 131, Dewi
Siluman tertawa bergelak-gelak.
"Apa kau bilang" Pangeran" Pangeran apa"! Dasar manusia sok tahu namun dungu!
Dengar baik-baik agar kau tak penasaran jika masuk liang kubur! Pemuda yang kau
sebut Pangeran yang kini tegak di hadapanmu adalah pemuda bergelar Pendekar
Pedang Tumpul 131!"
Persetan siapa dia! Pedang Tumpul 131
atau Pangeran Mendut-Mendut! Yang jelas aku punya urusan dengan dia dan jangan
ikut campur!"
Di lain pihak, mendengar ucapan Dewi Siluman yang sebutkan siapa dirinya
sebenarnya, murid Pendeta Sinting makin yakin bahwa perempuan berjubah dan
bercadar hitam itulah orang yang membawa lari pedangnya. Namun sejauh ini dia
belum mau mulai buka mulut untuk bertanya.
"Dasar manusia baru turun gunung!
Tidak tahu siapa yang dihadapi! Buta tidak dapat menentukan mana Pendekar mana
Pangeran!" kata Dewi Siluman lalu perdengarkan tawa mengejek.
Rahang Malaikat Penggali Kubur mengatup rapat. Pelipis kiri kanannya bergerak-
gerak. Sepasang matanya mendelik angker melotot pada Dewi Siluman. Kedua
tangannya terlihat bergerak mengepal pertanda dia siap lepaskan pukulan.
"Tahan!" Tiba-tiba Ki Buyut Pagar Alam berseru demi melihat apa yang hendak
dilakukan Malaikat Penggali Kubur.
"Aku bicara terus terang saja. Kau dan kami datang ke tempat ini pasti dengan
tujuan memburu kitab sakti Serat Biru.
Betul?" "Aku tak akan katakan tujuanku!"
sahut Malaikat Penggali Kubur.
Ki Buyut Pagar Alam tak hiraukan ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia melanjutkan
kata-katanya. "Keinginan kita ternyata telah didahului orang. Dan bukan tidak
mungkin orang yang mendahului kita telah mendapatkan kitab itu! Sekaang
bagaimana kalau kita berbagi rezeki"!"
"Apa maksudmu"!" ujar Malaikat Penggali Kubur sambil memandang tajam pada Ki
Buyut Pagar Alam.
"Kita buktikan bersama-sama apakah orang itu telah mendapatkan kitab itu!
Lalu....' "Bagaimana membuktikannya"!" potong Malaikat Penggali Kubur.
"Kita tanya baik-baik. Kalau keras kepala kita cabut nyawanya bersama-sama!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu tertawa pendek. "Malaikat Penggali
Kubur tidak butuh bantuan jika cabut nyawa orang! Aku punya kekuatan untuk
melakukannya sendiri!"
Mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur, Ki Buyut ganti perdengarkan tawa
panjang. "Anak muda! Kami telah buktikan, kekuatanmu masih jauh di bawah kami!
Bagaimana mungkin kau akan hadapi seorang pendekar"!"
Rahang Malaikat Penggali Kubur makin mengembang dan terangkat. Pemuda ini hendak
keluarkan suara membentak, namun Ki Buyut Pagar Alam telah mendahului.
"Anak muda. Jika nyawanya telah kita cabut dan begitu kitab benar-benar ada.
Kita tentukan siapa yang berhak memilikinya!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai sambil gelengkan kepala. "Usulmu baik.
Tapi Malaikat Penggali Kubur masih punya tangan untuk mencabut nyawanya!"
"Hm.... Baiklah. Kuberi kesempatan padamu untuk buktikan ucapan! Kami akan
lihat!" Habis berkata begitu, Ki Buyut Pagar Alam mendekat ke arah Dewi Siluman dan
berbisik. "Aku memanas-manasi dia agar dia segera melenyapkan pemuda berbaju
putih itu. Setelah itu pekerjaan kita akan lebih ringan! Aku punya dugaan pemuda
bergelar Pendekar Pedang Tumpu! 131 itu bukan pemuda semharangan! Bahkan kalau
perlu kita cari kesempatan untuk mencabut kedua nyawa pemuda itu secara bersama-
sama!" Dewi Siluman anggukkan kepala. Kedua orang Ini lantas melangkah menjauh dan
berdiri berjajar perhatikan ke arah Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar Pedang
tumpul 131 Joko Sableng.
DUA BELAS KITA tinggalkan dulu keadaan di Pulau Biru. Kita kembali sejenak pada Ratu
Pemikat dan laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar berkepala gundul yang
mengenakan jubah toga warna putih hitam yang dalam rimba persilatan dikenal
dengan Merak Kawung.
Seperti dituturkan dalam episode:
"Rahasia Pulau Biru", begitu Ratu Pemikat dan Merak Kawung gagal membunuh
Pendekar 131. Merak Kawung mengusulkan pada Ratu Pemikat untuk menemui seseorang
yang diyakininya mengetahui seluk-beluk tentang Pulau Biru. Ratu Pemikat
akhirnya me-nyetujui. Namun sebenarnya dalam benak masing-masing orang ini punya
ulat tersembunyi.
Saat itu Ratu Pemikat dan Merak Kawung tiba pada suatu tempat yang gersang.
Pohon-pohon yang tumbuh tidak berdaun, sementara semak belukar tampak kering.
Tanahnya pun rengkah-rengkah.
"Kita sampai, Ratu...," gumam Merak Kawung seraya memandang iurus ke depan, di
mana dari tempat mereka tampak sebuah gubuk berdinding jerami kering. Sambil
bergumam tangan kanan Merak Kawung tampak tak henti-hentinya menelusuri ke balik
pakaian Ratu Pemikat. Ratu Pemikat sendiri tampak tengadah sambil mendesah
dengan mulut sedikit terbuka.
Melihat sikap Ratu Pemikat, Merak Kawung segera melangkah maju setengah tindak
lalu berballk. Kedua tangannya cepat menyusup ke balik pakaian Ratu Pemikat.
Lalu kepalanya menunduk dan men cium bibir sang Ratu. Sejenak Ratu Pemikat
membalas ciuman-ciuman Merak Kawung. Namun begitu Merak Kawung terlihat terbuai
dan nafsunya mengelegak, Ratu Pemikat cepat tarik pulang kepalanya.
Kita selesaikan dulu urusan! Setelah itu kita bersenang-senang. Bukankah waktu
kita masih banyak?" bisik Ratu Pemikat dengan dada turun naik.*
Merak Kawung sepertinya tak pedulikan ucapan Ratu Pemikat. Dia kembali rundukkan
kepalanya dan disusupkan di antara payudara sang Ratu.
"Kekasih...Aku sebenarnya sudah tak taha.n Namun harap kau mengerti. Urusan kita
belum berhasil! Atau katu ingin aku tinggalkan tempat ini?"!" Seraya berkata,
Ratu pemikat keluarkan kedua tangan MerAk Kawung dari balik pakaiannya.
Meski dengan dada bergetar keras dan mulut perdengarkan gumaman tak jelas
akhirnya Marak Kawung putar tubuh. Lalu melangkah mendahului Ratu Pemikat menuju
gubuk. Tiga langkah di depan gubuk yang pintunya tertutup itu Merak Kawung berhenti.
Sepasang matanya liar perhatikan sekeliling gubuk Lalu dia buka mulut.
Ki Jala Sutera! Adakah kau di dalam"!"
Merak Kawung menunggu. Sementara Ratu Pemikat telah berdiri di sampingnya dengan
rapikan pakaiannya. Tidak ada jawaban dari dalam gubuk, membuat Merak Kawung
kembali berteriak. Namun untuk kali ini belum juga terdengar suara jawaban.
Merak Kawung mulai terlihat cemas. Dia kembali berteriak.
Tiba-tiba dari dalam gubuk terdengar suara orang tertawa mengekeh.
"He...he... he... Rupanya ada orang memberi rezeki. Memang sudah lama tubuh
renta ini tidak merasakan hangatnya rezeki. He... he... he.... Masuklah!"
Ratu Pemikat sejenak menatap pada Merak Kawung dengan pandangan bertanya.
Namun Merak Kawung tidak hiraukan pandangan Ratu Pemikat. Dia segera melangkah
dan tangannya mendorong pintu gubuk. Lalu memberi isyarat pada Ratu Pemikat
untuk mengikuti.
Begitu kedua orang ini masuk, dari tempat masing-masing mereka melihat sesosok
tubuh rebah di pembaringan beralaskan jerami kering. Sosok itu kurus dan
menggeletak hampir terbenam dalam alas jerami. Jika hanya dipandang sepintas
lalu, orang menyangka sosok di pembaringan dipan adalah sosok manusia yang telah
meninggal. Yang menandakan kehidupan dari sosok ini hanyalah dadanya yang
bergerak pelan turun naik. Sementara sepasang matanya terpejam rapat. Mulutnya
yang hampir memutih mengatup. Wajahnya hampir tidak tertutup daging sedikit pun.
Dan lebih-lebih dia hanya mengenakan celana pendek dekil!
"Merak.... Apakah...."
"Ratu!" tukas Merak Kawung pelan tanpa berpaling, "inilah orang yang kita cari!
Memang hanya beberapa orang saja yang mengenalnya. Tapi bagi tokoh-tokoh rimba
persilatan generasi dahulu, dia sudah tidak asing lagi! Beberapa puluh tahun
yang silam namanya pernah menjadi hantu bagi siapa saja. Dia adalah sahabat
mendiang guruku! Jadi tidak usah takut atau khawatir. Aku tahu siapa dia!"
Habis berkata begitu, Merak Kawung melangkah ke arah pembaringan.
"Ki Jala Sutera! Aku Merak Kawung...."
Terdengar deheman pelan. Lalu perlahan-lahan sepasang mata sosok di atas
pembaringan yang dipanggil Ki Jala Sutera bergerak membuka, memandang ke atas.
"Aku membaui harum seorang perempuan!
He... he... he...! Adakah kau bersama bidadari"!"
"Aku datang bersama seorang sahabat!"
Kepala Ki Jala Sutera membuat gerakan berpaling. Sejurus dia memandang pada
Merak Kawung. Lalu melebar pada Ratu Pemikat yang berada dua langkah di
belakangnya. Serta-merta sepasang mata Ki Jala Sutera membelalak besar. Lalu
dari mulutnya terdengar kekehan tawanya. Namun sejauh ini anggota tubuh lainnya
tampak tidak bergerak.
"Mendatangi gubukku di tengah tanah gersang, apalagi bersama seorang bidadari
cantik jelita, pasti kau punya urusan....
He...he...he.... Katakan terus terang, Merak Kawung...!"
Mendengar si kakek memuji dirinya, Ratu Pemikat menyumpah dalam hati. Tapi dia
coba tersenyum meski kejap kemudian alihkan pandangannya ke jurusan lain.
Merak Kawung tidak segera buka mulut lagi. Sebaliknya dia berpaling pada Ratu
Pemikat. Namun sebelum dia sempat berkata, si kakek telah berucap.
"Merak Kawung! Katakanlah terus terang!"
"Hm.... Rimba persilatan saat ini sedang ribut membicarakan sebuah kitab
sakti...," Merak Kawung mulai bicara.
"Namun tampaknya orang-orang persilatan itu kesulitan menentukan tempat di mana
kitab sakti itu tersimpan!"
"He... he... he.... Yang kau maksud tentu Kitab Serat Biru!"
"Benar, Ki! Menurut mendiang guru, kau adalah seorang yang tahu banyak tentang
seluk-beluk kitab sakti itu!"
"Bukan hanya tahu seluk-beluknya, Tapi aku sudah pernah datang ke tempat di mana
kitab itu diduga tersimpan'"
Jadi kau tahu jalan menuju tempat itu"!" tanya Merak Kawung dengan wajah cerah
dan bibir tersungging senyum.
"He... he... he.... Aku menulis jalan menuju lembah itu!"
Merak Kawung makin gembira, sementara Ratu Pemikat terlihat sunggingkan senyum
dan melangkah mendekati Merak Kawung.
"Ki...." kata Merak Kawung tapi ucapannya tidak diteruskan. Dia tampak bimbang
dan melirik pada Ratu Pemikat.
"He... he.. he...! Kau menginginkan tulisan yang menunjukkan tempat itu"!"
Merak Kawung anggukkan kepalanya.
Ratu Pemikat tanpa sadar ikut-ikutan mengangguk. Lalu memandang lekat-lekat pada
Ki Jala Sutera yang masih diam di atas dipan.
Tiba-tiba Ki Jala Sutera memberi isyarat pada Merak Kawung agar mendekat.
Merak Kawung cepat mendekat lalu condongkan kepalanya ke arah mulut Ki Jala
Sutera. Ki Jala Sutera mengekeh sebentar lalu berbisik perlahan.
Tiba-tiba wajah Merak Kawung berubah.
Dan serentak berpaling ke arah Ratu Pemikat, membuat perempuan bertubuh bahenol
dan berparas cantik ini merasa tidak enak.
"He... he... he...! Merak Kawung!"
kata Ki Jala Sutera. "Aku tidak dapat menunggu lama-lama!"
Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merak Kawung bergerak mundur mendekat kearah Ratu Pemikat. Sejurus dia pandangi
wajah perempuan itu lekat-lekat. Merasa dirinya diperhatikan demikian rupa, Ratu
Pemikat segera berkata.
"Cara memandangmu kali ini lain, Merak Kawung! Ada apa" Apa yang kalian
bicarakan tadi"!"
Sesaat Merak Kawung tidak menjawab.
Namun pada akhirnya laki-laki berkepala gundul ini berkata.
"Ratu.... Ki Jala Sutera akan memberikan tulisan menuju tempat di mana tersimpan
kitab sakti itu. Tapi dengan syarat..."
Perasaan Ratu Pemikat makin tidak enak. Dia cepat menyahut. "Apa syarat yang
diminta"!"
"Dia...." Merak Kawung masih menggantung ucapannya, membuat Ratu Pemikat tak
sabar dan segera berseru dengan suara agak keras.
"Dia kenapa"!"
"Dia menginginkan dirimu!"
Ratu Pemikat kernyitkan dahi.
"Maksudmu"!" katanya dengan dada berdebar.
"Kau diminta melayaninya bermesraan semalam!"
Paras Ratu Pemikat kontan berubah mengetam. Sepasang matanya mendelik besar
dengan mulut mengatup rapat. Tiba-tiba dia berpaling pada Merak Kawung dan
berkata. "Gila! Tak mungkin aku turuti syarat yang diminta!"
"Tapi.... Itulah satu-satunya jalan jika kita ingin mendapatkan kitab sakti
itu!" "Gila! Ini gila! Bagaimana mungkin aku harus bergelut dengan tua bangka peot
begitu rupa, he"!"
"Itu terserah bagaimana kau saja Ratu! Dan semua ini juga tergantung padamu. Kau
bersedia berarti kita mendapatkan kitab itu, jika kau tidak bersedia, untuk apa
dituruti!"
"Tidak! Aku tidak mau menuruti permintaan gila ini!" teriak Ratu Pemikat.
"Ratu...."
"Merak Kawung!" tukas Ratu Pemikat.
"Sekali aku bilang tidak, tidak! Atau kau saja yang layani dia!"
Air muka Merak Kawung berubah.
Tubuhnya tampak bergetar tanda ia menindih amarah.
Saat itulah dari arah dipan terdengar suara kekehan tawa Ki Jala Sutera.
"He... he... he...! Syarat telah kuajukan. Jika tidak setuju harap lekas
tinggalkan tempat ini!"
Merak Kawung berpaling pada Ratu Pemikat. "Ratu, Ini kesempatan paling berharga!
Orang tua itu sering berubah pikiran dalam sekejap!"
Ratu Pemikat tampak bimbang.
"Tapi.... Ah, bagaimana aku harus...."
Merak Kawung segera menyahut. "Kau bukan orang bodoh, Ratu!" bisiknya seraya
kedipkan mata sebelah.
"Baiklah! Aku terima syarat itu..."
ucap Ratu Pemikat pada akhirnya.
"He... he.... he...! Bagus! Merak Kawung! Untuk malam ini kau sementara tidur di
luar!" Merak Kawung memandang sekali lagi pada Ratu Pemikat. Ratu Pemikat anggukkan
kepalanya. Tanpa berkata lagi, Merak Kawung balikkan tubuh lalu melangkah
keluar. Bersamaan dengan keluarnya Merak Kawung, tiba-tiba Ki Jala Sutera bergerak
bangkit dan duduk dengan kedua tangan direntang-rentangkan.
He... he... he.... Apalagi yang kau tunggu, Bidadari"!"
Meski dalam hati menyumpah habis-habisan, namun perlahan-lahan Ratu Pemikat
melangkah mendekati dipan. Sementara sepasang mata Ki Jala Sutera memandang tak
berkesip dengan mulut komat-kamit.
Begitu Ratu Pemikat dekat, kedua tangan Ki Jala Sutera segera merangkul sosok
Ratu Pemikat dan kepalanya cepat pula bergerak menciumi wajah perempuan cantik
itu. Ratu Pemikat sejenak tidak membuat gerakan apa-apa, bahkan ketika kedua tangan
Ki Jala Sutera membuka kancing-kancing pakaiannya. Malah sang ratu buka sedikit
mulutnya dan perdengarkan desahan panjang.
Sepasang mata si kakek makin
terpentang besar tatkala pakaian Ratu Pemikat telah terbuka bagian atasnya dan
di hadapannya tampak dua payudara besar, putih, dan kencang.
Tak sabar, kedua tangan Ki Jala Sutera segera bergerak hendak menyentuh payudara
sang Ratu, namun Ratu Pemikat cepat menangkap dan sambil duduk di atas dipan,
sang Ratu berbisik.
"Aku tidak mau dibodohi. Tunjukkan dahulu tulisan yang kau maksud!"
Si kakek tampak kuasai dadanya yang bergerak cepat sebelum berkata.
"Aku adalah manusia yang memegang janji!"
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Janji di mulut mana bisa dipercaya! Tunjukkan
tulisan itu atau kau tidak akan rasakan semua kenikmatan ini!"
Ki Jala Sutera gerakkan tangan kanannya menyingkap jerami kering yang menjadi
alas pembaringan. Di situ tampaklah oleh Ratu Pemikat satu buku tipis.
"Buka dulu buku itu!" kata Ratu Pemikat.
"Kau percaya atau tinggalkan tempat ini!" Kini ganti Ki Jala Sutera yang
keluarkan ancaman, lalu tertawa mengekeh.
Ratu Pemikat hanya bisa diam bahkan ketika kedua tangan Ki Jala Sutera melepas
pakaiannya hingga perempuan bertubuh bahenol itu polos tanpa penutup lagi.
Namun ketika kedua tangan si kakek hendak bergerak mencekal tubuhnya yang polos,
Ratu Pemikat cepat berkelit. Dan kini sambil tertawa renyah Ratu Pemikat dorong
tubuh si kakek hingga telentang di atas dipan.
"Kek...," kata Ratu Pemikat dengan suara setengah berbisik. "Aku akan membuatmu
tidak melupakan malam ini seumur hidupmu!" sambil berkata kedua tangan Ratu
Pemikat meraba tubuh yang tinggal tulang belulang itu.
Ki Jala Sutera tampak kesenangan.
Napasnya makin memburu kencang. Malah ketika perlahan-lahan kedua tangan Ratu
Pemikat membalikkan tubuhnya hingga menelungkup, kakek ini menurut saja.
"Kek.... Tentu sudah lama kau tidak merasakan kenikmatan seperti ini!" ujar Ratu
Pemikat seraya terus gerakkan tangannya menelusuri punggung si kakek sementara
tubuh polosnya duduk di paha sang kakek.
Ki Jala Sutera menggumam pelan tak jelas karena tertindih desah napasnya yang
memburu kencang. Malah kakek ini tidak merasakan saat perempuan di atas tubuhnya
angkat kedua tangannya. Dia baru tersadar tatkala merasakan desiran angin
kencang melabrak dari samping kiri kanan kepalanya. Namun kesadarannya sudah
terlambat. Sebelum sempat kakek ini tahu apa yang terjadi, kedua tangan Ratu
Pemikat menghantam batok kepalanya bagian belakang.
"Plakkk!"
Ki Jala Sutera hanya melengkuh pelan.
Kepalanya rengkuh. Namun akibatnya begitu kedua tangan Ratu Pemikat menghantam
rengkah kepalanya, kedua kaki si kakek melipat ke atas.
Bukkk! Bukkk! Ratu Pemikat merasakan punggungmu dihantam batangan kayu besar, hingga tubuhnya
mencelat dari atas tubuh Ki Jala Sutera dan jatuh terjengkang ke bawah.
Pada saat bersamaan sosok si kakek tampak bergerak bangkit. Darah tampak
mengucur deras dari kepalanya membasahi punggung punggung dan wajahnya.
Menangkap gelagat tidak baik, Ratu Pemikat cepat bangkit dan serta-merta kedua
tangannya bergerak lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit' hingga saat itu juga
melesat dua sinar biru terang kearah si kakek.
Meski Ki Jala Sutera adalah tokoh yang pernah ditakuti pada beberapa tahun
silam, namun karena kepalanya telah rengkah membuat gerakannya lamban, hingga
ketika dua sinar biru pukulan Ratu Pemikat menggebrak, dia tidak sempat lagi
meng hindar. Brulll! Dinding gubuk jebol terhantam sosok Ki Jela Sutera yang mencelat mental terkena
pukulan Ratu Pemikat. Kakek ini hanya sempat terpekik, tapi tiba-tiba suara
pekikannya terputus laksana direnggut setan. Sosoknya menghantam sebatang pohon
di luar gubuk lalu jatuh di atas tanah dengan nyawa melayang!
Ratu Pemikat cepat berkelebat menyambar pakaiannya, dan secepat itu pula dia
menyingkap jerami di atas dipan. Buku tipis di atas jerami disambarnya lalu
berkelebat keluar gubuk.
"Ratu...!" teriak Merak Kawung. Ratu Pemikat berpaling sejenak. Dia memberi
isyarat pada laki-laki berkepala gundul itu. "Kita tinggalkan tempat ini,
cepat!" Merak Kawung sesaat meragu. Dia memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat.
Ketika dia berpaling ke belakang gubuk dan melihat sosok Ki Jala Sutera
tergeletak berlumur darah, dia segera angkat alis matanya lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu menyusui Ratu Pemikat yang telah berkelebat lebih dulu.
SELESAI Ikuti lanjutannya dala judul: NERAKA PULAU BIRU
Pedang Kiri Pedang Kanan 17 Pasangan Naga Dan Burung Hong Karya S D Liong Lembah Nirmala 15
Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat
Akankah semuanya jadi sia-sia karena kebimbangan yang menjerat
Padahal penantian ini telah lama berkarat
Hanya pada Tuhan tempat manusia memanjat
Suara nyanyian itu terdengar amat aneh di telinga murid Pendeta Sinting,
memantul jauh namun menggema laksana diperdengarkan orang dari dasar jurang yang
sangat dalam. Joko memandang jauh ke tengah laut dengan coba mengulang nyanyian yang baru
didengar lalu coba menyimak arti nyanyian.
"Jalan sudah ditempuh, petunjuk telah didapat.... Eh. Jangan-jangan ini ada
hubungannya dengan peta yang kudapat dari beberapa tokoh Ku! Padahal penantian
ini telah berkarat.... Hem.... Jangan-jangan orang ini tokoh yang dikatakan
Manusia Dewa! Tapi di mana aku harus mencarinya"
Seluruh pulau telah kutelusuri, tapi tidak ada seorang pun! Dan suara itu
sepertinya datang dari jauh tapi menggema laksana di dalam jurang.... Mungkinkah
di bawah pulau ini"!" Sekali lagi sepasang mata Joko memperhatikan berkeliling.
Saat itulah matanya menangkap gugusan batu padas yang bergetar keras dan tak
lama kemudian pecah berantakan! Anehnya, bersamaan dengan pecahnya gugusan batu
padas itu, getaran-getaran di pulau itu berhenti!
Murid Pendeta Sinting segera
berkelebat ke arah gugusan batu padas yang pecah. Sampai di situ, sepasang
matanya jadi membelalak besar. Pada bagian pecahan batu padas tampak sebuah
lobang menganga!
Baru saja Pendekar 131 gerakkan kepala melongok, satu kekuatan dahsyat menyedot
dari dalam lobang, hingga meski Joko coba menahan dengan kerahkan tenaga dalam
namun sia-sia. Tubuhnya melipat ke depan lalu melayang masuk ke dalam lobang!
Bukkk! Joko rasakan tubuhnya menghantam tanah keras. Ketika dia buka kelopak matanya
dia berada pada satu ruangan agak besar yang seluruh bagian dinding dan langit-
langitnya dari batu berwarna ke-biru-biruan.
Dengan dada dipenuhi berbagai tanya, murid Pendeta Sinting ini cepat bergerak
bangkit. Lalu edarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tapi di sini dia tak juga
melihat seseorang.
Di saat Joko masih mencari-cari dengan rasa heran, tiba-tiba terdengar lagi
nyanyian seperti yang tadi didengarnya di atas pulau! Tapi lagi-lagi suara itu
laksana datang dari tempat yang jauh di dalam jurang. Namun kali ini Joko dapat
menentukan dari mana sumber arah suara itu.
Perlahan-lahan Joko melangkah ke bagian samping kanan dinding ruangan arah mana
suara nyanyian tadi terdengar.
Sejenak murid Pendeta Sinting ini perhatikan dinding ruangan bagian kanan itu.
Lalu merabanya.
"Tak ada pintu.... Tapi jelas suara tacM bersumber dari sini!" gumam Joko
Sableng seraya gelengkan kepala. Entah karena tak tahu apa yang harus dilakukan,
akhirnya dia berteriak.
"Siapa pun adanya orang, katakan di mana kau berada!
Joko menunggu. Tapi tidak ada suara jawaban atau terdengarnya nyanyian. Murid
Pendeta Sinting kembali ulangi teriakannya. Namun tidak juga ada suara jawaban.
"Eh. Jangan-jangan telingaku yang menipu karena aku terpengaruh dengan nyanyian
di luar tadi...."
Joko lalu melangkah dan duduk bersandar pada dinding ruangan. Baru saja
punggungnya bersandar, dari bagian kanan dinding terdengar suara.
"Aku di sini, Anak muda...!"
Joko terkesiap, serentak dia bangkit lalu melompat ke dinding ruangan sebelah
kanan. Tapi kembali dia dilanda kebingungan. Dinding itu tak berpintu dan tak
ada satu celah pun!
"Aku ingin menemuimu! Bagaimana aku harus ke tempatmu"!" seru Joko pada
akhirnya. "Hantam dinding sebelah kanan!"
terdengar jawaban dari dalam.
"Jika dinding ini kuhantam, jangan-jangan orang di dalam sana itu akan terkena
juga.... Padahal kemungkinan besar dialah orang sakti yang dikatakan Manusia
Dewa!" Sesaat murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan. Antara menuruti ucapan orang
atau mencari jalan lain yang lebih aman.
Karena bukan tidak mungkin jika turuti ucapan orang maka orang yang ada di dalam
sana akan turut cedera. Padahal dari nyanyian yang didengarnya, Pendekar 131
sudah hampir merasa yakin bahwa orang itulah yang ada sangkut-pautnya dengan
Kitab Serat Biru.
"Anak muda. Apalagi yang kau tunggu"!" terdengar ucapan dari balik dinding.
"Baiklah. Aku akan menghantam dinding ini. Tapi harap kau menyingkir!" kata
Joko. Terdengar orang tertawa. Sesaat kemudian terdengar ucapan.
"Jika kau melihat sendiri, tak mungkin kau mengatakan begitu, Anak Muda!"
"Apa maksudmu"!" tanya Joko.
"Jangankan menyingkir, menggerakkan tangan pun aku tak bisa!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Joko pula.
"Sekarang bukan saat yang baik untuk tanya jawab, Anak muda! Turuti saja kata-
kataku!" Murid Pendeta Sinting masih tampak ragu-ragu. Sepasang matanya perhatikan
dinding ruangan dengan seksama.
"Sekali kuhantam aku yakin akan ambrol. Hemmm.... Orang di dalam sana itu tidak
bisa bergerak. Aku harus tahu, apakah jaraknya jauh dengan dinding ini...!" Joko
lalu kembali berteriak.
"Apakah tempatmu cukup jauh dengan dinding ini"!"
Sejenak tidak ada jawaban. Tapi tak lama kemudian terdengar suara.
"Anak muda! Tempatku berada tak lebih cuma dua langkah dari dinding!"
"Gila! Bagaimana ini" Tak mungkin orang itu selamat jika dinding ini ambrol!"
kata Joko dalam hati lalu melangkah mondar-mandir.
"Ah, bagaimana kalau yang kuhantam sebelah sini"!" ujar Joko pelan seraya
melihat dinding sebelah kanan yang agak ke tepi.
"Anak muda. Kau masih di situ"!"
terdengar ucapan dari dalam dinding.
"Hemm.... Betul. Aku akan hantam dinding ini, tani agak ke tepi! Dengan begitu
kau tidak akan terkena jebolan dinding!"
Dari dalam terdengar orang tertawa.
"Percuma Anak muda. Kalau yang kau hantam tidak yang paling tengah, kau hanya
akan buang-buang waktu dan tenaga!"
"Walah! Bagaimana ini!" Kembali Joko dilanda kebingungan. Karena tidak tahu
harus berbuat apa, akhirnya Joko bertanya lagi.
"Apakah tidak ada jalan lain selain menghantam jebol dinding ini"!"
"Anak muda! Jangan banyak tanya!
Hantam dinding atau keluarlah dari ruangan ini!" Kali ini suara dari balik
dinding agak keras.
"Baiklah. Aku hanya turuti ucapanmu!
Harap kau nanti tidak menyesal!"
"Tak ada penyesalan, Anak muda!
Penantian ini sudah terlalu lama...."
"Siapa yang menanti?" ujar Joko Sableng dengan melangkah mundur.
"Aku tidak bisa jawab tanyamu sekarang! Karena kau bukan satu-satunya anak
manusia yang datang ke tempat ini!"
"Jadi"!"
"Kau terlalu banyak tanya, Anak muda!" potong suara dari balik dinding.
"Berarti telah banyak orang yang sebelumnya datang ke tempat ini. Dan mereka tak
sanggup menjebol dinding itu!"
pikir Pendekar 131 pada akhirnya.
Setelah menarik napas dalam, murid Pendeta Sinting ini angkat kedua tangannya
dan sekaligus dihantamkan pada dinding tepat bagian paling tengah.
Beekkk! Beekkk!
Terdengar dua kali benda terhantam.
Tapi murid Pendeta Sinting jadi terkesiap sendiri. Jangankan hancur, satu
pecahan kecil pun tidak! Malah kejap itu juga Joko berseru tertahan sambil
kibas-kibas-kan kedua tangannya. Bahkan dia membelalak saat meneliti ternyata
kedua tangannya lecet dan mengembung bengkak!"
"Anak muda! Kau sudah lakukan apa yang kuucapkan"!" Dari dalam dinding terdengar
tanya. Joko tidak menjawab ucapan orang.
Sebaliknya perhatikan dinding dengan mata mendelik tak ber-kesip.
"Anak muda! Kerahkan segenap tenaga dalammu dan lepaskan pukulan andalan yang
kau miliki!"
"Edan! Aku tak percaya jika menjebol dinding begini sampai harus kerahkan tenaga
dalam penuh dan lepaskan pukulan
'Lembur Kuning'.... Akan kucoba sekali lagi!"
Murid Pendeta Sinting mundur satu langkah. Dengan kerahkan separo tenaga
dalamnya dia hantam dinding itu dengan kedua tangannya.
Untuk kedua kalinya Pendekar 131
berseru tertahan. Kedua tangannya mental balik! Bahkan tubuhnya ikut terseret
mundur sampai tiga langkah! Kedua tangannya tambah lecet dan makin bengkak
besar! "Aku hampir tak percaya!" gumam Joko seraya pentangkan matanya. Dinding itu
bergeming pun tidak! "Terpaksa aku turuti ucapan orang itu! Akan kuhantam dengan
pukulan 'Lembur Kuning'!"
Murid Pendeta Sinting segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kejap
kemudian kedua tangannya berubah menjadi kekuningan pertanda dia siap lepaskan
pukulan andalan 'Lembur Kuning'.
Didahului bentakan keras, Joko melompat ke depan dan serta-merta kedua tangannya
dihantamkan ke arah dinding.
Dua sinar kuning mencorong terlihat menggebrak ke depan, lalu terdengar dentuman
keras. Ruangan terbuat dari batu berwarna biru itu bergetar hebat laksana
dilanggar gempa. Hingga sosok murid Pendeta Sinting tampak terpental dan jatuh
terduduk di tengah ruangan.
Meski merasa kesakitan, Joko cepat bergerak bangkit dan serta-merta menghambur
ke depan, ke arah dinding yang baru saja dihantam. Sepasang mata Joko terpentang
besar dan dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas. Ternyata dinding itu tetap
seperti sedia kala!
"Heran. Bagaimana mungkin pukulan
'Lembur Kuning' tidak mampu menjebol!
Jangan-jangan ini satu isyarat bahwa kitab itu...."
Kata hati Joko belum selesai, dari balik dinding terdengar orang berucap.
"Aku mendengar ledakan. Berarti kau telah menghantam dinding itu. Aku tanya
padamu, Anak muda. Bagaimana hasilnya"!"
"Seperti yang kau dengar, aku memang telah menghantam dinding itu, tapi
jangankan jebol, rengkah pun tidak! Apa yang harus kulakukan sekarang"!"
Terdengar keluhan dari balik dinding.
Lalu terdengar suara.
"Kau telah berusaha, Anak muda! Dan ternyata kau sama seperti beberapa orang
yang datang sebelumnya! Itu telah menjadi jawaban apa yang harus kau ^kukan
sekarang!"
"Jadi aku harus meninggalkan tempat ini"!" ujar Joko seraya gelengkan kepala.
"Bukan harus. Tapi apa gunanya kau berada di situ"! Kukira masih banyak yang
bisa kau nikmati diluaran sana. Bukankah begitu"!"
"Tapi aku tak akan keluar dari pulau ini sebelum mendapatkan apa yang kucari!"
"Apa yang kau cari di sini, Anak muda"!"
"Aku mengemban tugas dari Eyang guruku Pendeta Sinting serta seorang tokoh rimba
persilatan bergelar Manusia Dewa untuk menyelidik Kitab Serat Biru!"
"Hemm.... Begitu" Mau turuti ucapanku, Anak muda"!"
"Harus kudengar dulu ucapanmu!"
"Tinggalkan ruangan itu! Kau tidak akan mendapat apa-apa!"
"Maaf. Kalau ini aku tidak bisa turuti ucapanmu. Aku akan tinggalkan ruangan ini
dengan kitab di tangan!"
Terdengar orang di balik dinding tertawa panjang. "Tekadmu besar. Tapi
sayang.... Kau tidak akan mendapatkan yang kau inginkan!"
"Apakah orang lain telah mendapatkan kitab itu"!"
"Beberapa orang memang datang ke tempat ini. Sama dengan dirimu, mereka juga
menginginkan kitab Itu. Tapi sama juga dengan kau, mereka akhirnya harus pulang
dengan tangan hampa!"
"Apakah kitab itu benar-benar tidak ada"!" tanya Joko.
"Aku tidak berhak menjawab! Jawaban itu bisa kau dengar jika kau berhasil
membuka dinding ini! Tapi sekaligus tidak membuatku tewas terkena bias pukulan!"
Hening sejenak. Murid Pendeta Sinting tampak duduk bersandar dengan kepala
sesekali menggeleng. "Aku telah berusaha, dan nyatanya aku gagal menjebol
dinding itu! Mungkinkah kitab itu tidak ditakdirkan untuk kumiliki"!"
"Anak muda! Kau telah menghantam dinding itu. Apakah kau tidak punya pukulan
lain?" "Astaga!" Joko bergerak bangkit.
"Bukankah aku mendapatkan pukulan 'Sukma Es' dari orang yang sebutkan diri Dewi
Es"! Hemm.... Akan kucoba!"
Tapi kembali Joko dilanda
kebimbangan. "Kalau berhasil, tapi tidak mampu menyelamatkan orang itu..." Ah,
susah!" Setelah berpikir agak lama, akhirnya Joko berkata.
"Orang di balik dinding! Aku memang punya satu pukulan. Tapi aku belum bisa
pastikan apakah pukulan itu mampu menjebol dinding ini, juga aku tak bisa jamin
apakah kau nanti bisa selamat jika pukulanku berhasil!"
"Dengar, Anak muda! Orang yang bisa menjebol dinding ini sekaligus dia pasti
bisa meredam pukulannya agar aku bisa selamat! Jika hal itu tak bisa dilakukan,
jangan harap bisa jebol dinding ini!"
"Ah, tambah sulit!" gumam Joko lalu kembali duduk bersandar. "Bisa menjebol
sekaligus bisa meredam! Hem.... Dewi Es mengatakan sesuatu yang kupegang akan
membeku jika kukerahkan tenaga dalam ke lengan...."
Mendadak Pendekar Pedang Tumpul 131
berdiri dengan mata tak berkedip memperhatikan dinding di hadapannya.
"Jika ucapan Dewi Es benar, maka bila dinding ini kuhantam dengan pukulan
'Lembur Kuning' dan berhasil jebol, maka tidak akan berantakan karena dinding
ini akan membeku jika kukerahkan pukulan Sukma Es kearah lengan!"
Berpikir sampai di situ, murid Perdeta Sinting ini lantas melangkah ke arah
dinding. Sesaat dia meraba dinding itu. Lalu mundur setengah langkah. Tenaga
dalamnya dia kerahkan pada lengan. Serta merta dia merasakan hawa dingin luar
biasa pada kedua tangannya. Ruangan itu pun perlahan-lahan dibungkus hawa dingin
hebat. Tanpa menunggu lagi, Joko tempelkan kedua tangannya pada dinding. Serta-merta
dinding itu laksana ditimbun es!
Aku merasakan hawa dingin, Apakah kau yang melakukan, Anak muda"!" tanya suara
dari balik dinding.
"Aku akan mencoba! Harap kau siap-siap!"
"Siap apa?" suara dan balik dinding kembali bertanya.
"Walah, aku lupa kalau kau tak bisa bergerak!"
"Sudah lakukan saja apa yang hendak kau lakukan!" kata suara dari balik dinding.
Setelah melihat dinding itu dilapisi gumpalan es, tangan kanan Joko ditarik ke
belakang, sementara tangan kirinya tetap menempel di dinding. Untuk kedua
kalinya murid Pendeta Sinting ini kerahkan tenaga dalam diarahkan pada tangan
kanannya. Ti-ba-tiba tangan kanan itu berubah menjadi kekuningan. Lalu dengan
pejamkan mata, tangan kanannya digerakkan menghantam dinding!
Bukkk! Byaarrr! Terdengar ledakan keras. Joko rasakan tubuhnya terhantam benda besar, hingga
sosoknya mencelat dan menghantam dinding di seberang. Lalu jatuh dengan kepala
berdenyut sakit. Wajahnya berubah pucat dengan kedua tangan bergetar. Tapi
karena ingin melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting tidak rasakan
denyutan di kepala dan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.
Dia cepat bergerak bangkit dengan sepasang mata memandang tak berkesip ke depan.
"Berhasil...!" seru Joko ketika dia melihat lobang menganga di dinding yang baru
saja dihantamnya. Tanpa berpikir lama dia cepat berkelebat, lalu tegak di
samping dinding yang kini telah jebol.
Murid Pendeta Sinting ini seakan tak percaya dengan pandangan matanya. Dinding
yang terkena hantamannya memang jebol dan anehnya jebolan dinding itu tidak
berhamburan! Melainkan berserakan di tempat itu dan tampak masih dilapisi
gumpalan-gumpalan es!
"Hem.... Jadi gumpalan-gumpalan es ini yang bisa meredam muncratnya hamburan
batu dinding ini! Tidak kusangka sama sekali...."
Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, ternyata kau berhasil, Anak muda!" terdengar suara pelan.
Seakan tersadar, Joko segera
pentangkan matanya ke balik jebolan lobang dinding. Saat itulah matanya
membentur sesuatu. Murid Pendeta Sinting ini tercekat dan makin belalakkan
matanya. Dari tempatnya berdiri Pendekar 131
melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah putih. Rambutnya yang
telah memutih tampak awut-awutan menutupi sebagian wajah dan bahunya. Sepasang
matanya yang samar-samar terlihat dari celah rambutnya tampak sayu. Saat Joko
melihat ke bawah, murid Pendeta Sinting jadi terkesiap. Karena ternyata tubuh
bagian bawah kakek ini berada di dalam lantai batu!
"Hem.... Betul ucapan Manusia Dewa!
Orang sakti yang dikatakannya sebagian tubuhnya di atas sedang sebagian lagi di
dalam tanah! Berarti orang ini yang dimaksud Manusia Dewa...."
Joko segera masuk ke balik dinding yang telah jebol. Lalu jongkok di samping
kakek yang tubuh bagian atasnya terlihat, namun tubuh bagian bawahnya masuk ke
dalam lantai batu.
"Kau tidak apa-apa, Kek"!"
Si orang tua angkat kepalanya.
"Dengan pergunakan pukulan 'Sukma Es' kau berhasil meredam hamburan batu. Itu
membuatku selamat tidak mengalami suatu apa!"
Diam-diam Joko jadi terkesiap mendengar si kakek tahu pukulan yang baru saja
digunakan. Sebelum Joko buka mulut, si kakek telah berucap lagi.
"Orang baru bisa menjebol dinding itu jika dia memiliki dua kekuatan. Kekuatan
dingin untuk meredam, dan kekuatan panas untuk menghantam! Dan kau berhasil
melakukannya dengan baik. Terima kasih, Anak muda...."
"Kek! Tubuhmu sebagian masih terpendam. Bagaimana aku harus menge-luarkanmu"!"
Sepasang mata sayu milik si kakek memandang dari sela rambutnya yang awut-
awutan. "Sekali lagi kuucapkan terima kasih jika kau masih ingin menolongku,
Anak muda! Lakukanlah seperti kau menjebol dinding tadi! Hanya dengan cara itu
tubuhku akan selamat...."
"Hemm.... Jika begitu, akan kulakukan!" ujar Joko. Lalu cepat kerahkan tenaga
dalam pada lengannya siapkan pukulan 'Sukma Es'. Tangan kirinya ditempelkan pada
lantai batu sekitar tubuh kakek yang terpendam, lalu tangan kanannya diangkat
siapkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Lantai batu di mana kakek terpendam mendadak ditaburi gumpalan-gumpalan es.
Serta-merta Pendekar 131 hantamkan tangan kanannya dengan kerahkan pukulan
'Lembur Kuning'.
Brakkk! Tempat itu bergetar keras. Sosok murid Pendeta Sinting terseret hingga tiga
langkah. Saat dia memandang ke depan, tampak lantai batu di mana tubuh si kakek
terpendam rengkah-rengkah dan sebagian berlobang. Namun hamburan lantai batu
tidak sampai bertabur ke atas!
Si kakek tampak tarik kedua tangannya yang ikut terpendam ke atas. Dengan
bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menekan sebagian lantai batu si kakek
bergerak. Sosoknya melesat ke atas lalu tegak dua langkah ke samping Joko.
"Anak muda. Jerih payahmu tidak akan kulupakan. Mari kita bicara di ruangan
sana!" sambil berkata si kakek mendahului melangkah menuju ruangan. Joko lalu
menyusul dari belakang.
SEPULUH SELAMA hampir seratus tahun aku menghuni pulau ini...," kata si kakek mulai buka
mulut setelah dia dan Pendekar 131 duduk berhadap-hadapan di lantai ruangan yang
dinding dan langit-langitnya terdiri dari batu berwarna biru itu.
"Entah sudah menjadi nasibku, setelah aku berguru pada seorang tokoh sakti, aku
diberi tugas untuk mendiami pulau ini. Aku tak tahu apa maksudnya dia menyuruhku
untuk diam di pulau ini. Yang Jelas dia memberikan sebuah kitab serta butiran
merah padaku dengan pesan, kelak akan datang orang yang ditakdirkan memiliki
kitab serta butiran merah itu. Dia tidak mengatakan siapa orangnya dan kapan dia
akan datang. Selain itu dia berpesan agar aku tidak sekali-kali membuka kitab
serta menelan butiran merah itu. Sebagai murid meski hal itu terasa berat, namun
kulakukan juga. Tapi hingga dua puluh tahun berlalu, orang yang dikatakan guru
tidak ada tanda-tanda akan muncul di tempat ini. Aku mulai gelisah dan khawatir.
Tapi aku tetap menjalankan pesan guruku. Hingga pada suatu malam aku
bermimpi...." Si kakek sejenak hentikan keterangannya, lalu melanjutkan.
"Seorang laki-laki berusia lanjut datang dalam mimpiku dan dia memberi pesan,
persis seperti apa yang dikatakan guruku. Tapi sepuluh tahun setelah mimpi itu,
orang yang dikatakan tidak juga muncul. Aku mulai waswas. Terutama mengingat
usiaku yang mulai menginjak tua.
Dan entah karena apa suatu hari aku tanpa sengaja melihat kitab yang diberikan
guru. Dan tiba-tiba di hatiku tergerak untuk membukanya. Tapi sadar akan pesan guru
dan orang tua dalam mimpi, akhirnya keinginanku kubatalkan. Hingga pada suatu
hari di hadapanku muncullah seorang kakek, yang setelah kuamati dengan seksama
ternyata dia adalah kakek yang muncul dalam mimpiku. Kakek itu mengatakan bahwa
sudah menjadi suratanku untuk menunggu dan memberikan kitab itu serta butiran
merah. Kakek itu juga mengatakan bahwa tidak lama lagi orang yang ditakdirkan mewarisi
kitab serta butiran merah akan datang. Untuk memastikan orang yang ditakdirkan
itu, aku diberi satu ilmu 'Penembus Pagar'. Kelak orang yang dapat melewati ilmu
'Penembus Pagar' dialah orang yang berhak mewarisi kitab serta butiran merah.
Begitu si kakek pergi, aku coba menjajal ilmu itu.
Ternyata aku bisa melewati dinding serta dapat masuk ke lantai tanpa terlihat
jebolan pada dinding serta lantai.
Anehnya, begitu tubuhku masuk ke bawah lantai aku diserang kantuk yang luar
biasa." Untuk kedua kalinya si kakek hentikan keterangannya sebelum akhirnya
melanjutkan. "Hingga aku tertidur. Aku baru bangun tatkala kurasa ada getaran-getaran keras.
Saat itulah kuketahui ada orang datang di ruangan ini. Seperti halnya dirimu
tadi, orang itu coba menjebol dinding, tapi tak berhasil. Dan begitu orang itu
pergi, aku diserang kantuk lagi, lalu tertidur. Aku baru terbangun ketika ada
getaran-getaran keras dan ada orang datang di ruangan ini.
Begitu selanjutnya. Aku baru bangun saat terasa ada getaran-getaran yang
menandakan akan datangnya seseorang. Namun hingga sejauh itu tidak satu pun yang
berhasil menjebol dinding sampai akhirnya kau datang...."
"Jadi selama ini kau tak makan tak minum"'" "Aku tertidur! Mana merasa lapar dan
haus" Aku hanya bangun sesekali. Itu kalau ada getaran pertanda orang datang.
Tapi setelah itu aku sudah tertidur lagi!"
"Luar biasa!" gumam Joko seraya pandangi kakek di hadapannya.
"Kek. Kudengar kau sempat sebutkan pukulanku. Bagaimana kau bisa tahu?"
Si kakek tengadahkan sedikit
kepalanya sebelum berucap.
"Tiga hari sebelum kedatanganmu, orang tua itu kembali muncul dalam mimpiku. Dia
mengatakan bahwa penantian tidak akan lama lagi. Dia lalu mengajarkan padaku
bait nyanyian. Dan mengatakan bahwa ilmu 'Penembus Pagar' bisa diatasi jika
orang pergunakan pukulan 'Sukma Es' yang digabung dengan pukulan yang mengandung
hawa panas!"
"Anak muda! Siapa namamu"!" tanya si kakek setelah terdiam agak lama.
"Joko Sableng, Kek.... Aku murid seorang yang dalam rimba persilatan dikenal
dengan gelar Pendeta Sinting....
Kau sendiri siapa, Kek?"
"Aku Ageng Mangir Jayalaya...."
"Hm.... Tepat ucapan Manusia Dewa!"
kata Joko dalam hati.
"Joko. Menurut pesan, maka kaulah orangnya yang berhak atas kitab dan butiran
merah yang sekarang ada padaku...!" Ki Ageng Mangir Jayalaya selinapkan kedua
tangannya ke balik jubahnya. Saat kedua tangannya ditarik kembali, tampaklah
sebuah kitab bersampul biru di tangan kanan, lalu butiran sebesar ibu jari
berwarna merah di tangan kiri.
"Ambillah...," ujar Ki Ageng Mangir Jayalaya seraya ulurkan kedua tangannya pada
Joko. Begitu benar-benar berhadapan dengan kitab yang dicari, bukannya Pendekar 131
cepat ulurkan kedua tangannya untuk mengambil. Dia seolah masih tidak percaya
bahwa kitab yang kini diulurkan si kakek adalah kitab yang dicari!
"Kitab dan butiran merah ini sudah ditakdirkan menjadi milikmu!" kata Ki Ageng
Mangir Jayalaya.
Pada akhirnya dengan kedua tangan gemetar perlahan-lahan Joko menyambuti kitab
dan butiran merah yang masih ada di tangan Ki Ageng Mangir Jayalaya. Dan begitu
tangannya menyentuh kitab bersampul biru serta butiran merah, Joko rasakan
sekujur tubuhnya dirasuki hawa hangat.
Pada saat bersamaan sepasang matanya terasa ditusuk-tusuk, hingga cepat Joko
pejamkan sepasang matanya sambil menarik kitab dan butiran merah dari tangan Ki
Ageng Mangir Jayalaya.
Ketika kitab dan butiran merah berada di tangannya, tusukan pada matanya lenyap.
Saat dia buka lagi kelopak matanya, pandangannya terasa makin tajam!
"Ada apa, Anak muda?" tanya Ki Ageng Mangir Jayalaya tak tahu apa yang sedang
dialami murid Pendeta Sinting ini.
"Hm.... Dia tak merasakan dan tak tahu apa yang kualami!" membatin Joko lalu
gelengkan kepala dan berkata.
"Kepalaku sedikit sakit karena menghantam dinding itu tadi!"
Ki Ageng Mangir Jayalaya perhatikan Joko lebih seksama. "Aneh. Kurasa bukan
karena sakit kepala anak ini berbuat begitu! Tapi kalau dia tak hendak
mengatakan padaku, untuk apa aku memaksanya?" kata si kakek dalam hati, lalu
berkata. "Telanlah butiran merah itu!"
Sejurus Joko pandangi orang tua di hadapannya. Dia tampak bimbang. Ki Ageng
Mangir Jayalaya tersenyum.
"Itu yang dikatakan orang tua dalam mimpiku! Telanlah!"
Dengan tangan gemetar. Joko pandangi butiran merah yang ada pada tangan kirinya.
Lalu perlahan-lahan tangannya diangkat. Mulutnya bergerak membuka. Dan butiran
merah itu segera ditelan.
Tiba-tiba murid Pendeta Sinting rasanan sekujur tubuhnya laksana dipanggang dan
kejang tak bisa digerakkan hingga tak lama kemudian kitab yang ada di tangan
kanannya jatuh. Sepasang matanya terasa pedas sekali hingga keluarkan air mata
sementara tubuhnya basah oleh keringat. Namun semua itu hanya sekejap.
Di kejap lain mendadak rasa panas itu lenyap! Dan saat itu juga Pendekar 131
dapat gerakkan lagi tubuhnya.
Saat itulah, tiba-tiba ruangan di mana Pendekar 131 dan Ki Ageng Mangir Jayalaya
berada terasa bergetar. Joko dan Ki Ageng Mangir Jayaiaya sejurus saling
berpandangan. "Ada orang datang di pulau ini...,"
gumam si kakek. "Ambil dan simpan baik-baik kitab itu!"
Sejenak Joko perhatikan kitab yang ada di sampingnya. Kitab bersampul biru itu
pada sampulnya bertuliskan Serat Biru.
"Orang yang datang pasti mempunyai tujuan-yang sama denganmu! Jangan cari urusan
dengan memperlihatkan kitab itu!"
kata Ki Ageng Mangir Jayalaya.
Mendengar ucapan orang, Joko tersadar dan cepat ambil kitab lalu dimasukkan ke
balik pakaiannya.
"Kek! Kau tetap di sini! Aku akan ke atas!" kata Joko lalu menjura hormat. Ki
Ageng Mangir Jayalaya hanya anggukkan kepala sambil tersenyum.
Joko bergerak bangkit lalu putar diri dan melangkah ke arah lobang yang tadi
menyedot tubuhnya. Sejenak dia tengadah lalu kedua kakinya menjejak lantai
ruangan. Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri, karena gerak lesatan tubuhnya luar biasa
cepat! Hingga dalam kejap lain sosoknya telah tegak di luar lobang di permukaan
pulau yang ditaburi pasir dan gugusan batu berwarna biru.
Namun baru saja sepasang kakinya menginjak tanah, satu bayangan berkelebat dan
langsung tegak menghadang tujuh langkah di hadapannya!
SEBELAS UNTUK beberapa saat Joko Sableng perhatikan orang di hadapannya. Dia adalah
seorang pemuda mengenakan jubah putih.
Sepasang matanya tajam dengan dagu kokoh dan rambut panjang lebat.
Orang yang dipandang tengadahkan kepala. "Hm.... Ternyata ada anak manusia yang
mendahului langkahku! Jahanam betul!
Siapa dia"! Apakah telah berhasil mendapatkan kitab sakti itu"!" gumamnya lalu
luruskan kepala.
Sesaat dua orang ini saling bentrok pandang. Murid Pendeta Sinting buka mulut
hendak bicara. Namun sebelum ucapan keluar dari mulutnya, pemuda berjubah putih
yang bukan lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur telah angkat tangan
kanannya dan berkata dengan suara keras.
"Kau tak berhak bertanya! Aku yang berhak ajukan tanya!"
Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya, lalu garuk pantatnya seraya membatin.
"Sombong betul! Tapi siapa pun dia adanya pasti membekal ilmu, apalagi bisa
sampai ke tempat ini!"
"Katakan siapa kau!" hardik Malaikat Penggali Kubur seraya melangkah maju satu
tindak. Pendekar 131 arahkan pandangannya pada deburan ombak jauh di depan sana.
Lalu berujar. "Aku Pangeran Mendut-Mendut!
Penghuni pulau gersang ini! Boleh tahu siapa kau adanya"!"
Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Matanya mendelik angker mengawasi
pemuda di hadapannya. Namun tak lama kemudian tawanya meledak.
"Setan laut pun tidak akan percaya jika tampang macammu adalah seorang
pangeran!" kata Malaikat Penggali Kubur di sela suara tawanya. Namun mendadak
suara tawanya diputus. Seraya berpaling pada Joko dia membentak.
"Jangan berani mengumbar bicara tak karuan! Lekas katakan siapa dirimu!"
"Silakan setan laut atau hantu pulau inj tidak percaya. Yang pasti aku adalah
.Pangeran Mendut-Mendut!" ujar Joko seraya senyum-senyum. Lalu melanjutkan. "Kau
te.ah mengetahui siapa diriku. Sebagai penghuni puiau ini, aku ingin tahu siapa
kau adanya!"
Malaikat Penggali Kubur keluarkan dengusan keras sebelum menjawab.
"Aku Malaikat Penggali Kubur!"
"Ah.... Kalau seorang malaikat datang jauh-jauh ke pulau yang gersang ini pasti
punya tujuan penting!"
"Penting atau tidak bukan urusanmu!"
sentak Malaikat Penggali Kubur. "Aku tanya padamu, di mana disembunyikan Kitab
Serat Biru!"
"Apa..."!" tanya Joko sambil telengkan kepalanya.
"Kau tidak tuli! Orang tanya di mana disembunyikan Kitab Serat Biru!"
"Kitab Serat Biru?" tanya Joko seraya kerutkan kening.
"Betul! Sebuah kitab yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan kalangan rimba
persilatan dan tidak sedikit pula orang yang coba mencarinya. Kitab itu menurut
kabar yang kupercaya berada di pulau ini!"
kata Malaikat Penggali Kubur memberi keterangan.
"Kau tidak kesasar ke tempat yang salah"!" tanya Joko
"Malaikat Penggali Kubur tidak akan datang ke tempat yang salah!"
"Dari mana kau tahu tempat ini"!"
"Jahanam! Kau terlalu banyak tanya!"
bentak Malaikat Penggali Kubur. Rahang pemuda murid Bayu Bajra ini mulai
mengembung. "Ah, maaf. Sejak kecil aku berada di tempat ini. Tak pernah sekali pun melihat
keadaan di luaran sana. Jadi harap dimengerti jika aku tak mengetahui bahwa
banyak c.ang rimba persilatan membicarakan kitab yang dikabarkan berada di pulau
ini!" "Hm.... Jadi kau tak mengerti"!"
tanya Malaikat Penggali Kubur dengan mata berkilat.
"Bukan hanya tidak mengerti. Namun baru pertama kali ini mendengar kau sebutkan
nama kitab itu!"
"Heran. Bagaimana mungkin" Apakah peta itu palsu" Tapi melihat gugusan batu
padas serta pasir di pulau ini, aku yakin inilah Pulau Biru! Hm.... Jangan-
jangan pemuda ini mendustaiku!"
Untuk pertama kalinv Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Tapi mana dia
percaya begitu saja akan ucapan orang. Apalagi ketika matanya m -numbuk pada
hamburan batu di dekat lobang.
"Jika mau kusarankan, lebih baik kau menuju puSau itu!" kata Joko setelah agak
lama keduanya sama diam sambil menunjuk pada pulau di sebe rang.
"Di sini kau tidak akan menemukan kitab yang kau katakan! Sebagai penghuni, aku
hafal seluk-beluk pulau ini serta apa saja yang ada d! dalamnya!
Malaikat Penggali Kubur tampak menyeringai mendengar ucapan Joko. Diam-diam ia
membatin. "Melihat pakaian yang dikenakan, mengaku mengaku seorang Pangeran, seperti nya
Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak masuk akal jika dia penghuni dan tidak pernah meninggalkan pulau ini!"
Lalu pemuda berjubah Putih berkata:
"Aku datang Jauh-jauh percuma jika tidak membuktikan sendiri semua ucapanmu!
Dan sebelum menyelidik keseluruh pulau,bagaimana aku bisa menerima jika aku
dating ke tempat yang salah!"
Tanpa memperdulikan pandangan Pendekar 131, Malaikat Penggal Kubur melangkah kea
rah lobang dari mana murid Pendeta Sinting, keluar.
"Tunggu!" seru Joko seraya tehgak menghadang. "Ini tempatku. Aku...."
Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah. Lalu mamandang lekap pada Joko dan
menukas ucapannya. "Dengar! Sekali kau bergerak dan tempatmu aku tak segan
penggal kepalamu!" Lalu Malaikat Penggali Kubur teruskan langkah.
"Meski kitab telah berada di tanganku, tapi bisa bahaya jika dia masuk ke
bawah ,kata Joko dalam hati, lalu berkata.
"Jika kau teruskan langkah, berarti kau tidak menghormati Pangeran Mendut-
Mendut!" Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Persetan dengan Pangeran!
Persetan dengan penghormatan!"
Pendekar 131 palangkan tangan kanan kirinya ke samping membuat gerakan
penghadangan. "Persetan juga dengan Malaikat Penggali Kuburi" Joko ikut-ikutan
berkata. "Kau mencari mampusl" bentak Malaikat Penggali Kubur seraya angkat tangan
kanannya. "Persetan dengan mampus!" Eh salah .... Yang kumaksudkan...
Joko tak sempat lagi teruskan ucapannya, karena saat itu juga Malaikat Penggali
Kubur telah gerakkan tangan kanannya.
Namun gerakan tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tertahan ketika tiba-tiba
mereka berdua dikejutkan dengan suara tawa bersahut-sahutan.
Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar 131 serentak sama palingkan kepala ke arah
datangnya suara tawa. Namun belum sampai kepala masing-masing orang berpaling,
dua bayangan hitam telah berkelebat dan tahu-tahu tegak terjajar beberapa
langkah di samping Malaikat Penggali Kubur.
"Mereka!" desis Malaikat Penggali Kubur seraya pandangi satu persatu pada dua
orang yang baru datang. Paras wajah pemuda ini tampak berubah. Tapi kejap
kemudian dia mendongak sambil keluarkan dengusan keras.
Pendekar 131 kernyitkan kening lalu memandang pada orang yang baru datang yang
tegak di sebelah kanan. Di situ tegak seorang kakek mengenakan jubah hitam
dengan rambut disanggul ke atas. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan
rongga yang besar dan dalam. Kakek ini tegak seraya sedikit tengadah dengan
kedua tangan masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya pada orang di sebelah si kakek.
Mendadak air muka Joko berubah.
Seraya pentangkan mata besar-besar dia perhatikan orang kedua ini baik-baik. Dia
adalah seorang perempuan berambut pirang bergerai sepanjang punggung. Mengenakan
jubah panjang sebatas lutut juga berwarna hitam. Perempuan ini tidak bisa
dikenali karena wajahnya ditutup dengan cadar berwarna hitam yang berlobang di
bagian kedua mata. Kedua tangannya yang merangkap di depan dada tampak dibungkus
dengan sarung tangan dari kulit yang juga berwarna hitam.
"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan perempuan ini yang mencuri Pedang Tumpul
131! Hm.... Kebetulan sekali! Tapi aku harus berhati-hati...."
Kalau Malaikat Penggali Kubur tampak terkejut dengan kemunculan dua orang kakek
dan perempuan bercadar yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi
Siluman, demikian pula halnya dengan Dewi Siluman. Namun perempuan ini tidak
terkejut dengan adanya Malaikat Penggali Kubur, hanya dia hampir tak percaya
dengan keberadaan Pendekar 131 di tempat itu!
Yang paling tampak tenang ialah Ki Buyut Pagar Alam.
"Bagaimana anak manusia ini bisa berada di tempat ini"!" gumam Dewi Siluman
dengan menatap tajam Pendekar 131.
Seperti diketahui, waktu terjadi bentrok antara Pendekar 131 dengan Ratu Pemikat
serta Iblis Ompong, Dewi Siluman tiba-tiba menyeruak lalu menyambar murid
Pendeta Sinting yang sedang melayang hendak jatuh dan membawanya pergi. Dan pa-
da akhirnya Dewi Siluman berhasil mengambil Pedang Tumpul 131 milik Joko.
Lalu bersama dengan paman guru sekaligus pembantunya Ki Buyut Pagar Alam, Dewi
Siluman teruskan perjalanan menuju arah selatan. Pada satu tempat mereka berdua
bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur yang saat Ku juga sedang melakukan
perjalanan menuju Pulau Biru setelah mendapatkan peta asli dari tangan Dewa
Sukma. Saat itu sebenarnya Dewi Siluman hendak lancarkan satu pukulan pada
Malaikat Penggali Kubur yang hendak berkelebat pergi, namun ditahan oleh Ki
Buyut Pagar Alam. Kakek ini merasa curiga dengan Malaikat Penggali Kubur. Dia
lalu menyarankan pada Dewi Siluman untuk membiarkan Malaikat Penggali Kubur
berkelbat pergi namun dengan diam-diam mereka mengikuti dari belakang.
"Kalian berdua!" Mendadak Malaikat Penggali Kubur berteriak seraya menunjuk
kepada Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman. "Urusan kita belum usai! Jangan
berani coba-coba menambah urusan dengan ikut campur urusanku dengan pemuda ini!"
sepasang mata Dewi Siluman terpentang besar mengarah pada Malaikat Penggali
Kubur. ilmu .kepandaianmu masih sebatas telapak kaki masih juga bermulut besar!
Dengar! Kau menyingkir dulu tunggu giliran. Aku akan selesaikan urusan dengan
anak itu! "Hmm... Rupanya kau telah mengenal Pangeran keparat Ini!" desis Malaikat
Penggali Kubur, namun diam-diam dia juga masih membatin. "Ucapan perempuan
bercadar ini membuktikan bahwa pemuda yang mengaku bernama Pangeran Mendut-
Mendut ini sudah berkeliaran di luaran sana. Berarti dia juga bukan penghuni
pulau ini! Jahanam betul! Dia telah menipuku'"
Mendengar Malaikat Penggali Kubur sebutkan Pangeran pada Pendekar 131, Dewi
Siluman tertawa bergelak-gelak.
"Apa kau bilang" Pangeran" Pangeran apa"! Dasar manusia sok tahu namun dungu!
Dengar baik-baik agar kau tak penasaran jika masuk liang kubur! Pemuda yang kau
sebut Pangeran yang kini tegak di hadapanmu adalah pemuda bergelar Pendekar
Pedang Tumpul 131!"
Persetan siapa dia! Pedang Tumpul 131
atau Pangeran Mendut-Mendut! Yang jelas aku punya urusan dengan dia dan jangan
ikut campur!"
Di lain pihak, mendengar ucapan Dewi Siluman yang sebutkan siapa dirinya
sebenarnya, murid Pendeta Sinting makin yakin bahwa perempuan berjubah dan
bercadar hitam itulah orang yang membawa lari pedangnya. Namun sejauh ini dia
belum mau mulai buka mulut untuk bertanya.
"Dasar manusia baru turun gunung!
Tidak tahu siapa yang dihadapi! Buta tidak dapat menentukan mana Pendekar mana
Pangeran!" kata Dewi Siluman lalu perdengarkan tawa mengejek.
Rahang Malaikat Penggali Kubur mengatup rapat. Pelipis kiri kanannya bergerak-
gerak. Sepasang matanya mendelik angker melotot pada Dewi Siluman. Kedua
tangannya terlihat bergerak mengepal pertanda dia siap lepaskan pukulan.
"Tahan!" Tiba-tiba Ki Buyut Pagar Alam berseru demi melihat apa yang hendak
dilakukan Malaikat Penggali Kubur.
"Aku bicara terus terang saja. Kau dan kami datang ke tempat ini pasti dengan
tujuan memburu kitab sakti Serat Biru.
Betul?" "Aku tak akan katakan tujuanku!"
sahut Malaikat Penggali Kubur.
Ki Buyut Pagar Alam tak hiraukan ucapan Malaikat Penggali Kubur. Dia melanjutkan
kata-katanya. "Keinginan kita ternyata telah didahului orang. Dan bukan tidak
mungkin orang yang mendahului kita telah mendapatkan kitab itu! Sekaang
bagaimana kalau kita berbagi rezeki"!"
"Apa maksudmu"!" ujar Malaikat Penggali Kubur sambil memandang tajam pada Ki
Buyut Pagar Alam.
"Kita buktikan bersama-sama apakah orang itu telah mendapatkan kitab itu!
Lalu....' "Bagaimana membuktikannya"!" potong Malaikat Penggali Kubur.
"Kita tanya baik-baik. Kalau keras kepala kita cabut nyawanya bersama-sama!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu tertawa pendek. "Malaikat Penggali
Kubur tidak butuh bantuan jika cabut nyawa orang! Aku punya kekuatan untuk
melakukannya sendiri!"
Mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur, Ki Buyut ganti perdengarkan tawa
panjang. "Anak muda! Kami telah buktikan, kekuatanmu masih jauh di bawah kami!
Bagaimana mungkin kau akan hadapi seorang pendekar"!"
Rahang Malaikat Penggali Kubur makin mengembang dan terangkat. Pemuda ini hendak
keluarkan suara membentak, namun Ki Buyut Pagar Alam telah mendahului.
"Anak muda. Jika nyawanya telah kita cabut dan begitu kitab benar-benar ada.
Kita tentukan siapa yang berhak memilikinya!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai sambil gelengkan kepala. "Usulmu baik.
Tapi Malaikat Penggali Kubur masih punya tangan untuk mencabut nyawanya!"
"Hm.... Baiklah. Kuberi kesempatan padamu untuk buktikan ucapan! Kami akan
lihat!" Habis berkata begitu, Ki Buyut Pagar Alam mendekat ke arah Dewi Siluman dan
berbisik. "Aku memanas-manasi dia agar dia segera melenyapkan pemuda berbaju
putih itu. Setelah itu pekerjaan kita akan lebih ringan! Aku punya dugaan pemuda
bergelar Pendekar Pedang Tumpu! 131 itu bukan pemuda semharangan! Bahkan kalau
perlu kita cari kesempatan untuk mencabut kedua nyawa pemuda itu secara bersama-
sama!" Dewi Siluman anggukkan kepala. Kedua orang Ini lantas melangkah menjauh dan
berdiri berjajar perhatikan ke arah Malaikat Penggali Kubur dan Pendekar Pedang
tumpul 131 Joko Sableng.
DUA BELAS KITA tinggalkan dulu keadaan di Pulau Biru. Kita kembali sejenak pada Ratu
Pemikat dan laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar berkepala gundul yang
mengenakan jubah toga warna putih hitam yang dalam rimba persilatan dikenal
dengan Merak Kawung.
Seperti dituturkan dalam episode:
"Rahasia Pulau Biru", begitu Ratu Pemikat dan Merak Kawung gagal membunuh
Pendekar 131. Merak Kawung mengusulkan pada Ratu Pemikat untuk menemui seseorang
yang diyakininya mengetahui seluk-beluk tentang Pulau Biru. Ratu Pemikat
akhirnya me-nyetujui. Namun sebenarnya dalam benak masing-masing orang ini punya
ulat tersembunyi.
Saat itu Ratu Pemikat dan Merak Kawung tiba pada suatu tempat yang gersang.
Pohon-pohon yang tumbuh tidak berdaun, sementara semak belukar tampak kering.
Tanahnya pun rengkah-rengkah.
"Kita sampai, Ratu...," gumam Merak Kawung seraya memandang iurus ke depan, di
mana dari tempat mereka tampak sebuah gubuk berdinding jerami kering. Sambil
bergumam tangan kanan Merak Kawung tampak tak henti-hentinya menelusuri ke balik
pakaian Ratu Pemikat. Ratu Pemikat sendiri tampak tengadah sambil mendesah
dengan mulut sedikit terbuka.
Melihat sikap Ratu Pemikat, Merak Kawung segera melangkah maju setengah tindak
lalu berballk. Kedua tangannya cepat menyusup ke balik pakaian Ratu Pemikat.
Lalu kepalanya menunduk dan men cium bibir sang Ratu. Sejenak Ratu Pemikat
membalas ciuman-ciuman Merak Kawung. Namun begitu Merak Kawung terlihat terbuai
dan nafsunya mengelegak, Ratu Pemikat cepat tarik pulang kepalanya.
Kita selesaikan dulu urusan! Setelah itu kita bersenang-senang. Bukankah waktu
kita masih banyak?" bisik Ratu Pemikat dengan dada turun naik.*
Merak Kawung sepertinya tak pedulikan ucapan Ratu Pemikat. Dia kembali rundukkan
kepalanya dan disusupkan di antara payudara sang Ratu.
"Kekasih...Aku sebenarnya sudah tak taha.n Namun harap kau mengerti. Urusan kita
belum berhasil! Atau katu ingin aku tinggalkan tempat ini?"!" Seraya berkata,
Ratu pemikat keluarkan kedua tangan MerAk Kawung dari balik pakaiannya.
Meski dengan dada bergetar keras dan mulut perdengarkan gumaman tak jelas
akhirnya Marak Kawung putar tubuh. Lalu melangkah mendahului Ratu Pemikat menuju
gubuk. Tiga langkah di depan gubuk yang pintunya tertutup itu Merak Kawung berhenti.
Sepasang matanya liar perhatikan sekeliling gubuk Lalu dia buka mulut.
Ki Jala Sutera! Adakah kau di dalam"!"
Merak Kawung menunggu. Sementara Ratu Pemikat telah berdiri di sampingnya dengan
rapikan pakaiannya. Tidak ada jawaban dari dalam gubuk, membuat Merak Kawung
kembali berteriak. Namun untuk kali ini belum juga terdengar suara jawaban.
Merak Kawung mulai terlihat cemas. Dia kembali berteriak.
Tiba-tiba dari dalam gubuk terdengar suara orang tertawa mengekeh.
"He...he... he... Rupanya ada orang memberi rezeki. Memang sudah lama tubuh
renta ini tidak merasakan hangatnya rezeki. He... he... he.... Masuklah!"
Ratu Pemikat sejenak menatap pada Merak Kawung dengan pandangan bertanya.
Namun Merak Kawung tidak hiraukan pandangan Ratu Pemikat. Dia segera melangkah
dan tangannya mendorong pintu gubuk. Lalu memberi isyarat pada Ratu Pemikat
untuk mengikuti.
Begitu kedua orang ini masuk, dari tempat masing-masing mereka melihat sesosok
tubuh rebah di pembaringan beralaskan jerami kering. Sosok itu kurus dan
menggeletak hampir terbenam dalam alas jerami. Jika hanya dipandang sepintas
lalu, orang menyangka sosok di pembaringan dipan adalah sosok manusia yang telah
meninggal. Yang menandakan kehidupan dari sosok ini hanyalah dadanya yang
bergerak pelan turun naik. Sementara sepasang matanya terpejam rapat. Mulutnya
yang hampir memutih mengatup. Wajahnya hampir tidak tertutup daging sedikit pun.
Dan lebih-lebih dia hanya mengenakan celana pendek dekil!
"Merak.... Apakah...."
"Ratu!" tukas Merak Kawung pelan tanpa berpaling, "inilah orang yang kita cari!
Memang hanya beberapa orang saja yang mengenalnya. Tapi bagi tokoh-tokoh rimba
persilatan generasi dahulu, dia sudah tidak asing lagi! Beberapa puluh tahun
yang silam namanya pernah menjadi hantu bagi siapa saja. Dia adalah sahabat
mendiang guruku! Jadi tidak usah takut atau khawatir. Aku tahu siapa dia!"
Habis berkata begitu, Merak Kawung melangkah ke arah pembaringan.
"Ki Jala Sutera! Aku Merak Kawung...."
Terdengar deheman pelan. Lalu perlahan-lahan sepasang mata sosok di atas
pembaringan yang dipanggil Ki Jala Sutera bergerak membuka, memandang ke atas.
"Aku membaui harum seorang perempuan!
He... he... he...! Adakah kau bersama bidadari"!"
"Aku datang bersama seorang sahabat!"
Kepala Ki Jala Sutera membuat gerakan berpaling. Sejurus dia memandang pada
Merak Kawung. Lalu melebar pada Ratu Pemikat yang berada dua langkah di
belakangnya. Serta-merta sepasang mata Ki Jala Sutera membelalak besar. Lalu
dari mulutnya terdengar kekehan tawanya. Namun sejauh ini anggota tubuh lainnya
tampak tidak bergerak.
"Mendatangi gubukku di tengah tanah gersang, apalagi bersama seorang bidadari
cantik jelita, pasti kau punya urusan....
He...he...he.... Katakan terus terang, Merak Kawung...!"
Mendengar si kakek memuji dirinya, Ratu Pemikat menyumpah dalam hati. Tapi dia
coba tersenyum meski kejap kemudian alihkan pandangannya ke jurusan lain.
Merak Kawung tidak segera buka mulut lagi. Sebaliknya dia berpaling pada Ratu
Pemikat. Namun sebelum dia sempat berkata, si kakek telah berucap.
"Merak Kawung! Katakanlah terus terang!"
"Hm.... Rimba persilatan saat ini sedang ribut membicarakan sebuah kitab
sakti...," Merak Kawung mulai bicara.
"Namun tampaknya orang-orang persilatan itu kesulitan menentukan tempat di mana
kitab sakti itu tersimpan!"
"He... he... he.... Yang kau maksud tentu Kitab Serat Biru!"
"Benar, Ki! Menurut mendiang guru, kau adalah seorang yang tahu banyak tentang
seluk-beluk kitab sakti itu!"
"Bukan hanya tahu seluk-beluknya, Tapi aku sudah pernah datang ke tempat di mana
kitab itu diduga tersimpan'"
Jadi kau tahu jalan menuju tempat itu"!" tanya Merak Kawung dengan wajah cerah
dan bibir tersungging senyum.
"He... he... he.... Aku menulis jalan menuju lembah itu!"
Merak Kawung makin gembira, sementara Ratu Pemikat terlihat sunggingkan senyum
dan melangkah mendekati Merak Kawung.
"Ki...." kata Merak Kawung tapi ucapannya tidak diteruskan. Dia tampak bimbang
dan melirik pada Ratu Pemikat.
"He... he.. he...! Kau menginginkan tulisan yang menunjukkan tempat itu"!"
Merak Kawung anggukkan kepalanya.
Ratu Pemikat tanpa sadar ikut-ikutan mengangguk. Lalu memandang lekat-lekat pada
Ki Jala Sutera yang masih diam di atas dipan.
Tiba-tiba Ki Jala Sutera memberi isyarat pada Merak Kawung agar mendekat.
Merak Kawung cepat mendekat lalu condongkan kepalanya ke arah mulut Ki Jala
Sutera. Ki Jala Sutera mengekeh sebentar lalu berbisik perlahan.
Tiba-tiba wajah Merak Kawung berubah.
Dan serentak berpaling ke arah Ratu Pemikat, membuat perempuan bertubuh bahenol
dan berparas cantik ini merasa tidak enak.
"He... he... he...! Merak Kawung!"
kata Ki Jala Sutera. "Aku tidak dapat menunggu lama-lama!"
Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merak Kawung bergerak mundur mendekat kearah Ratu Pemikat. Sejurus dia pandangi
wajah perempuan itu lekat-lekat. Merasa dirinya diperhatikan demikian rupa, Ratu
Pemikat segera berkata.
"Cara memandangmu kali ini lain, Merak Kawung! Ada apa" Apa yang kalian
bicarakan tadi"!"
Sesaat Merak Kawung tidak menjawab.
Namun pada akhirnya laki-laki berkepala gundul ini berkata.
"Ratu.... Ki Jala Sutera akan memberikan tulisan menuju tempat di mana tersimpan
kitab sakti itu. Tapi dengan syarat..."
Perasaan Ratu Pemikat makin tidak enak. Dia cepat menyahut. "Apa syarat yang
diminta"!"
"Dia...." Merak Kawung masih menggantung ucapannya, membuat Ratu Pemikat tak
sabar dan segera berseru dengan suara agak keras.
"Dia kenapa"!"
"Dia menginginkan dirimu!"
Ratu Pemikat kernyitkan dahi.
"Maksudmu"!" katanya dengan dada berdebar.
"Kau diminta melayaninya bermesraan semalam!"
Paras Ratu Pemikat kontan berubah mengetam. Sepasang matanya mendelik besar
dengan mulut mengatup rapat. Tiba-tiba dia berpaling pada Merak Kawung dan
berkata. "Gila! Tak mungkin aku turuti syarat yang diminta!"
"Tapi.... Itulah satu-satunya jalan jika kita ingin mendapatkan kitab sakti
itu!" "Gila! Ini gila! Bagaimana mungkin aku harus bergelut dengan tua bangka peot
begitu rupa, he"!"
"Itu terserah bagaimana kau saja Ratu! Dan semua ini juga tergantung padamu. Kau
bersedia berarti kita mendapatkan kitab itu, jika kau tidak bersedia, untuk apa
dituruti!"
"Tidak! Aku tidak mau menuruti permintaan gila ini!" teriak Ratu Pemikat.
"Ratu...."
"Merak Kawung!" tukas Ratu Pemikat.
"Sekali aku bilang tidak, tidak! Atau kau saja yang layani dia!"
Air muka Merak Kawung berubah.
Tubuhnya tampak bergetar tanda ia menindih amarah.
Saat itulah dari arah dipan terdengar suara kekehan tawa Ki Jala Sutera.
"He... he... he...! Syarat telah kuajukan. Jika tidak setuju harap lekas
tinggalkan tempat ini!"
Merak Kawung berpaling pada Ratu Pemikat. "Ratu, Ini kesempatan paling berharga!
Orang tua itu sering berubah pikiran dalam sekejap!"
Ratu Pemikat tampak bimbang.
"Tapi.... Ah, bagaimana aku harus...."
Merak Kawung segera menyahut. "Kau bukan orang bodoh, Ratu!" bisiknya seraya
kedipkan mata sebelah.
"Baiklah! Aku terima syarat itu..."
ucap Ratu Pemikat pada akhirnya.
"He... he.... he...! Bagus! Merak Kawung! Untuk malam ini kau sementara tidur di
luar!" Merak Kawung memandang sekali lagi pada Ratu Pemikat. Ratu Pemikat anggukkan
kepalanya. Tanpa berkata lagi, Merak Kawung balikkan tubuh lalu melangkah
keluar. Bersamaan dengan keluarnya Merak Kawung, tiba-tiba Ki Jala Sutera bergerak
bangkit dan duduk dengan kedua tangan direntang-rentangkan.
He... he... he.... Apalagi yang kau tunggu, Bidadari"!"
Meski dalam hati menyumpah habis-habisan, namun perlahan-lahan Ratu Pemikat
melangkah mendekati dipan. Sementara sepasang mata Ki Jala Sutera memandang tak
berkesip dengan mulut komat-kamit.
Begitu Ratu Pemikat dekat, kedua tangan Ki Jala Sutera segera merangkul sosok
Ratu Pemikat dan kepalanya cepat pula bergerak menciumi wajah perempuan cantik
itu. Ratu Pemikat sejenak tidak membuat gerakan apa-apa, bahkan ketika kedua tangan
Ki Jala Sutera membuka kancing-kancing pakaiannya. Malah sang ratu buka sedikit
mulutnya dan perdengarkan desahan panjang.
Sepasang mata si kakek makin
terpentang besar tatkala pakaian Ratu Pemikat telah terbuka bagian atasnya dan
di hadapannya tampak dua payudara besar, putih, dan kencang.
Tak sabar, kedua tangan Ki Jala Sutera segera bergerak hendak menyentuh payudara
sang Ratu, namun Ratu Pemikat cepat menangkap dan sambil duduk di atas dipan,
sang Ratu berbisik.
"Aku tidak mau dibodohi. Tunjukkan dahulu tulisan yang kau maksud!"
Si kakek tampak kuasai dadanya yang bergerak cepat sebelum berkata.
"Aku adalah manusia yang memegang janji!"
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Janji di mulut mana bisa dipercaya! Tunjukkan
tulisan itu atau kau tidak akan rasakan semua kenikmatan ini!"
Ki Jala Sutera gerakkan tangan kanannya menyingkap jerami kering yang menjadi
alas pembaringan. Di situ tampaklah oleh Ratu Pemikat satu buku tipis.
"Buka dulu buku itu!" kata Ratu Pemikat.
"Kau percaya atau tinggalkan tempat ini!" Kini ganti Ki Jala Sutera yang
keluarkan ancaman, lalu tertawa mengekeh.
Ratu Pemikat hanya bisa diam bahkan ketika kedua tangan Ki Jala Sutera melepas
pakaiannya hingga perempuan bertubuh bahenol itu polos tanpa penutup lagi.
Namun ketika kedua tangan si kakek hendak bergerak mencekal tubuhnya yang polos,
Ratu Pemikat cepat berkelit. Dan kini sambil tertawa renyah Ratu Pemikat dorong
tubuh si kakek hingga telentang di atas dipan.
"Kek...," kata Ratu Pemikat dengan suara setengah berbisik. "Aku akan membuatmu
tidak melupakan malam ini seumur hidupmu!" sambil berkata kedua tangan Ratu
Pemikat meraba tubuh yang tinggal tulang belulang itu.
Ki Jala Sutera tampak kesenangan.
Napasnya makin memburu kencang. Malah ketika perlahan-lahan kedua tangan Ratu
Pemikat membalikkan tubuhnya hingga menelungkup, kakek ini menurut saja.
"Kek.... Tentu sudah lama kau tidak merasakan kenikmatan seperti ini!" ujar Ratu
Pemikat seraya terus gerakkan tangannya menelusuri punggung si kakek sementara
tubuh polosnya duduk di paha sang kakek.
Ki Jala Sutera menggumam pelan tak jelas karena tertindih desah napasnya yang
memburu kencang. Malah kakek ini tidak merasakan saat perempuan di atas tubuhnya
angkat kedua tangannya. Dia baru tersadar tatkala merasakan desiran angin
kencang melabrak dari samping kiri kanan kepalanya. Namun kesadarannya sudah
terlambat. Sebelum sempat kakek ini tahu apa yang terjadi, kedua tangan Ratu
Pemikat menghantam batok kepalanya bagian belakang.
"Plakkk!"
Ki Jala Sutera hanya melengkuh pelan.
Kepalanya rengkuh. Namun akibatnya begitu kedua tangan Ratu Pemikat menghantam
rengkah kepalanya, kedua kaki si kakek melipat ke atas.
Bukkk! Bukkk! Ratu Pemikat merasakan punggungmu dihantam batangan kayu besar, hingga tubuhnya
mencelat dari atas tubuh Ki Jala Sutera dan jatuh terjengkang ke bawah.
Pada saat bersamaan sosok si kakek tampak bergerak bangkit. Darah tampak
mengucur deras dari kepalanya membasahi punggung punggung dan wajahnya.
Menangkap gelagat tidak baik, Ratu Pemikat cepat bangkit dan serta-merta kedua
tangannya bergerak lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit' hingga saat itu juga
melesat dua sinar biru terang kearah si kakek.
Meski Ki Jala Sutera adalah tokoh yang pernah ditakuti pada beberapa tahun
silam, namun karena kepalanya telah rengkah membuat gerakannya lamban, hingga
ketika dua sinar biru pukulan Ratu Pemikat menggebrak, dia tidak sempat lagi
meng hindar. Brulll! Dinding gubuk jebol terhantam sosok Ki Jela Sutera yang mencelat mental terkena
pukulan Ratu Pemikat. Kakek ini hanya sempat terpekik, tapi tiba-tiba suara
pekikannya terputus laksana direnggut setan. Sosoknya menghantam sebatang pohon
di luar gubuk lalu jatuh di atas tanah dengan nyawa melayang!
Ratu Pemikat cepat berkelebat menyambar pakaiannya, dan secepat itu pula dia
menyingkap jerami di atas dipan. Buku tipis di atas jerami disambarnya lalu
berkelebat keluar gubuk.
"Ratu...!" teriak Merak Kawung. Ratu Pemikat berpaling sejenak. Dia memberi
isyarat pada laki-laki berkepala gundul itu. "Kita tinggalkan tempat ini,
cepat!" Merak Kawung sesaat meragu. Dia memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat.
Ketika dia berpaling ke belakang gubuk dan melihat sosok Ki Jala Sutera
tergeletak berlumur darah, dia segera angkat alis matanya lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu menyusui Ratu Pemikat yang telah berkelebat lebih dulu.
SELESAI Ikuti lanjutannya dala judul: NERAKA PULAU BIRU
Pedang Kiri Pedang Kanan 17 Pasangan Naga Dan Burung Hong Karya S D Liong Lembah Nirmala 15