Pencarian

Neraka Pulau Biru 3

Joko Sableng Neraka Pulau Biru Bagian 3


tubuhnya ke depan, hingga jotos an sang Ratu
hanya menghantam angin di atas kepala Iblis
Ompong yang telah menghindar. Malah karena Iblis Ompong melipat tubuhnya ke
depan, membuat pantatnya mencuat menungging. Hingga karena Ratu Pemikat
tidak menduga, maka tak ampun lagi pantat
Iblis Ompong menumbuk deras perut Ratu
Pemikat. Buukkk! Sosok Ratu Pemikat mental ke belakang.
Namun sebelum tubuhnya menjejak tanah,
Ratu Pemikat telah kerahkan tenaga dalam,
lalu melesat kem bali ke depan dengan mengambil posisi agak ke samping. Setengah
tombak lagi sampai, Ratu Pemikat putar
tubuh, lalu disertai bentakan keras
kaki kanannya membuat gerakan menendang sosok Iblis Ompong yang masih menunggingi
Tapi bersamaan dengan melesatnya kaki
Ratu Pemikat menendang, tiba-tiba
Ibiis Ompong tarik tubuhnya lalu cepat tubuhnya
bergerak rebah ke bawah rata dengan tanah.
Melihat hal ini, Ratu Pemikat cepat tarik
pulang kakinya, namun secepat itu pula
kakinya dihentakkan ke bawah menggebrak
ke arah sosok Iblis Ompong. Tapi perempuan
cantik bertubuh bahenol ini melengak kaget.
Karena bersamaan dengan itu kaki Iblis
Ompong bergerak menyapu ke arah sebelah
kaki Ratu Pemikat yang digunakan sebagai
tumpuan tubuhnya.
Desss! Tubuh Ratu Pemikat terhuyung ke depan
sebelum akhirnya jatuh telengkup di atas
tubuh Ibils Ompong!
"Sial! Seandainya aku telentang, tentu
kenikmatannya akan bertambah!" ujar Iblis Ompong.
Di seberang terdengar suara orang tertawa
mengekeh panjang.
"Hei...Kau tertawa sendirian. Ada apa"!
Katakan apa yang kau lihat!" Gendeng
Panuntun berucap saat mendengar Ratu
Maiam yang duduk mencangklong di atasnya
tertawa bergelak.
"Mau-maunya
perempuan cantik itu menindih tubuh bau Lantika! Hik... hik... hik...!
Apa dikira tubuh tua bangka itu masih
menjanjikan kehangatan?"
"Jadi..."!" ujar Gendeng Panuntun.
"Gadis bahenol berbaju biru itu saling tindih dengan saudaramu Lantika! Malah
sempat menciumi punggungnya! Hik... hik... hik...!"
"Walah, mimpi apa dia tadi malam hingga
hari Ini mendapat rezeki besar! Sampai-
sampai punggungnya diciumi gadis cantik!
Sekarang katakan padaku apa lagi yang
dilakukan gadis cantik itu!"
"Dia mengelus-elus leher Lantika! Hik...
hik.. hik...! Apa dia tidak tahu jika tua bangka itu tidak punya leher"!"
"Apa"
Mengelus lehernya"!"
ulang Gendeng Panuntun sambil geleng-geleng
kepala. "Dunia ini yang sudah gila atau
orang-orang itu yang gila-gilaan" Beraninya
mereka bermesra-mesraan
di hadapan orang...."
Ratu Pemikat menggereng marah. Dia
cepat tarik kepalanya dari punggung Iblis
Ompong. Lalu tubuhnya ditarik ke depan dan
kini menduduki pantat iblis Ompong. Kejap
lain kedua tangannya bergerak menghantam
ke arah kepaia si kakek!'
Ratu Maiam tiba-tiba putuskan tawanya,
sepasang matanya yang sipit perhatikan ke
arah Ratu Pemikat tak berkesip. Sementara
Ratu Pemikat menyeringai seraya teruskan
hantamannya. Dia yakin kali ini Iblis Ompong
tidak akan bisa lolos dari hantaman tangannya, karena tubuhnya tertindih tak bisa bergerak.
Namun saat kedua tangan Ratu Pemikat
sejengkal lagi menghantam kepala si kakek,
tiba-tiba kedua kaki Iblis Ompong bergerak
terangkat ke belakang.
Buukkk! Buukkk!
Punggung Ratu Pemikat tertumbuk kedua
kaki iblis Ompong hingga bukan
hanya membuat hantaman tangannya melenceng
menghantam tangan di samping kepala si
kakek, lebih dari itu kembali tubuhnya jatuh
telungkup di atas tubuh Iblis Ompong!
Ratu Maiam angkat tangannya menutupi
mulutnya, namun tak urung suara tawa
cekikikannya masih terdengar keluar.
Ratu Pemikat sudah tidak dapat lagi membendung marah. Tanpa menarik lagi
kepalanya dari punggung Ibiis Ompong, kedua tangannya yang berada di sebelah
kepala si kakek segera bergerak menghantam! Saat itulah mendadak sepasang kaki Iblis
Ompong menekuk ke atas. Lalu....
Wuttt! Pantat iblis Ompong bergerak mencuat ke
atas. Sosok Ratu Pemikat terpental ke depan.
Untung perempuan ini cepat dapat kuasai
tubuh, hingga walau sejenak tampak terhuyung, namun kejap lain telah tegak.
Dengan wajah merah mengelam, Ratu
Pemikat putar tubuh. Di depannya, Iblis
Ompong bergerak bangkit, namun kejap
kemudian dia berbalik dan memunggungi
Ratu Pemikat dengan mulut dibuka lebar-
lebar. Malah sesaat kemudian tangan kanannya meraba punggungnya.
"Ah, hangatnya masih terasa...," gumamnya lalu
tertawa terbahak. Dia memandang sejenak pada Gendeng Panuntun dan berujar. "Rawadan! Tidakkah kau ingin menikmatinya juga" Dadanya hangat, aromanya harum...."
"Sialan kau, Lantika! Ucapanmu membuatku jadi berdebar-debar!"
"Jahanam!" maki Ratu Pemikat dengan mata mendelik.
"Hai! Kalian ini sedang bermesraan atau
apa" Satunya mengatakan kenikmatan, tapi
satunya lagi memaki tak karuan! Heran...."
Gendeng Panuntun berujar sambil usap-usap
cerminnya. "Ah, kau juga pura-pura tak tahu! Perempuan biasanya kan begitu. Memaki-
maki tapi sebenarnya hatinya mau.... Hik...
hik... hik...i" Yang menyahut adalah Ratu Malam.
"Kalian semua Tua-tua bangka busuk!"
teriak Ratu Pemikat. Lalu angkat kedua
tangannya dan lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit'. Sinar terang biru melesat
mengembang lalu menyungkup tempat itu.
Gelombang angin deras berkiblat!
Iblis Ompong maju satu tindak ke depan.
Lalu kedua tangannya menyentak ke belakang. Wusss! Wuusss! Dari kedua tangan Iblis Ompong melesat
dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan
suara berderak-derak laksana roda kereta
melaju di atas pasir!
Saat sinar terang biru hampir
bentrok dengan dua bola asap, tiba-tiba bola asap Itu mengembang besar. Kejap lain,
laksana punya kekuatan sedot luar biasa, sinar biru
terang pukulan andalan Ratu Pemikat masuk
lenyap ke dalam dua bola asap. Pada saat
bersamaan, terdengar ledakan hebat. Bola
asap ambyar bertabur ke udara pancarkan
warna putih dan biru.
Sosok Ratu Pemikat terpelanting

Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke belakang dan jatuh berlutut dengan mata
terpejam dan mulut keluarkan darah. Wajahnya berubah pucat pasi. Di sebelah
depan Iblis Ompong terdorong ke muka
sampai tiga langkah. Terhuyung sejenak
namun saat lain dia telah memandang Ratu
Pemikat dari sela kedua kakinya dengan
tubuh melipat ke depan dan pantat menungging! Ratu Pemikat terhuyung bangkit. Kerahkan
tenaga dalam, lalu kembali melesat ke arah
iblis Ompong. Namun baru saja
kedua tangannya hendak bergerak lepaskan pukulan, tiba-tiba perempuan ini rasakan
tubuhnya terlanggar gelombang angin dahsyat, hingga sosoknya mental balik dan
terjengkang roboh di atas tanah berpasir.
Belum sempat dia bangkit, tampak dua bola
asap menggelinding deras ke arahnya.
Meski sudah terluka, namun perempuan
cantik ini tidak mau pasrah. Dia segera
gulingkan tubuhnya ke samping kanan. Meski
tubuhnya selamat dari derakan bola asap
yang keluar dari tangan Iblis Ompong, namun
tak urung kaki kirinya sempat terlonggar,
hingga sambil terus bergulingan dia menjerit
dan tarik kaki kirinya menekuk di depan dada.
Begitu gulingan tubuhnya berhenti, perempuan ini perlahan-lahan bangkit. Wajahnya sudah pucat pasi. Pakaian yang
dikenakan berubah menghitam.
"Aku bisa celaka sendiri jika meneruskan pertarungan ini!" desisnya sambil
melirik kanan kiri. Begitu dilihatnya Iblis Ompong tak juga membuat gerakan
lagi, Ratu Pemikat
cepat putar tubuh lalu berlari menuju pinggir pulau.
iblis Ompong hanya memandang dari sela
kedua kakinya lalu tertawa terkekeh-kekeh
dan terus buka mulutnya meski suara tawanya telah tidak terdengar lagi!
* * * DELAPAN AUT Mata Satu yang tidak mengenal
siapa adanya Dewi Es tampaknya
Mhanya memandang sebelah mata.
Hingga tatkala dia lepaskan tendangan ke
arah Dewi Es yang duduk bersila di hadapannya, dia hanya andalkan tenaga luar.
Namun demikian sebelum
tendangan itu sendiri menghantam sasaran kepala Dewi Es,
gelombang angin menderu keras
hingga curahan air yang tampak mengguyur dari atas
tubuh Dewi Es menyibak!
Tapi setengah jalan tendangan kaki Maut
Mata Satu yang mengarah pada kepala Dewi
Es, mendadak perempuan berjubah putih
yang tubuhnya selalu tampak diguyur air ini
angkat kepalanya dengan kelopak membuka.
Tangan kirinya diangkat sejajar bahu lalu
didorong pelan ke depan.
Udara tiba-tiba berubah dingin. Lalu Maut
Mata Satu rasakan kakinya kejang beku.
Sadar akan bahaya, cepat Maut Mata Satu
tarik pulang kakinya. Namun tak urung juga
kakek bermata satu ini terlengak kaget.
Karena saat itu juga gelombang angin dingin
menyambar hingga tubuhnya tersurut dua
langkah ke belakang! Hai ini menyadarkan
Maut Mata Satu jika lawan yang dihadapi
tidak bisa dipandang enteng.
Sambil mendelik besar, Maut Mata Satu
kembali melangkah maju. Kedua tangannya
diangkat tinggi-tinggi. Dengan kerahkan separo tenaga dalamnya, guru Dewi Seribu
Bunga ini ayunkan kedua tangannya lepaskan hantaman!
Untuk kedua kalinya Dewi Es hanya angkat
tangan kirinya sejajar bahu. lalu didorong
agak ke atas. Kedua tangan Maut Mata Satu
terpental balik ke belakang. Untung kakek
bermata satu ini cepat kerahkan tenaga murni
pada kedua tangannya, jika tidak niscaya
kedua tangannya akan kejang beku! Karena
ketika Maut Mata Satu meneliti, ternyata
kedua tangannya tampak dibungkus oleh
gumpalan-gumpalan es!
"Keparat jahanam!" maki Maut Mata Satu marah karena merasa disepelekan. Kakek
ini kerahkan segenap tenaga yang dimiliki. Didahului bentakan keras, ia melompat ke
depan dengan tangan kiri kanan mengayun
deras! Sosok Dewi Es terlihat bergoyang akibat
bias tenaga dalam yang menyertai ayunan
kedua tangan Maut Mata Satu, membuat
Maut Mata Satu percaya diri, dan teruskan
ayunan kedua tangannya yang mengarah
pada kepala Dewi Es.
Sejengkal lagi kedua tangan Maut Mata
Satu menggebrak pecah kepala Dewi Es,
perempuan ini angkat kedua tangannya sekaligus. Desss! Desss! Maut Mata Satu berseru keras. Kali ini
bukan hanya kedua tangannya yang baru
saja bentrok dengan kedua tangan Dewi Es
yang mencelat mental namun tubuhnya ikut
tersapu mundur dan kalau saja dia tidak
cepat bisa kuasai diri, niscaya tubuhnya akan terjengkang roboh di atas tanah
berpasir! Maut Mata Satu sudah kehabisan akal,
hingga jalan satu-satunya adalah langsung
lepaskan pukulan andalan. Kakek ini sejenak pandangi Dewi Es. Lantas maju tiga
tindak. Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Kejap
lain kedua tangannya bergerak menghantam. Wuuttt! Wuuttt!
Dari tangan kiri Maut Mata Satu membersit
sinar hitam, sedang dari tangan kanannya
melesat sinar berwarna-warni. Maut Mata
Satu sekaligus telah lepaskan dua pukulan
andalan. Tangan kiri kirimkan pukulan 'Gelombang Kematian' sedang tangan kanan
lepaskan pukulan sakti 'Api Seribu Bunga'!
Hingga seketika itu pula, terdengar deru
gelombang angin dahsyat yang ditingkahi
dengan muncratnya bunga-bunga api hamparkan hawa luar biasa panas! Dewi Es
pejamkan kembali kelopak matanya. Lalu
kedua tangannya disentakkan keras ke depan. Dari tangan perempuan ini tampak
muncratan air disusul dengan melanggarnya
gelombang angin dingin.
Terdengar letupan beberapa kali tatkala
bunga-bunga api pecah dan meredup. Sesaat
kemudian terdengar ledakan keras ketika dua
gelombang angin beradu di udara.
Sosok Maut Mata Satu tersapu dan mencelat lalu jatuh terkapar dengan napas
megap-megap dan tubuh bergetar. Sementara dari mulutnya mengalir darah
segar akibat bentrokan tadi, kakek bermata
satu ini telah mengalami luka cukup parah di
bagian dalam. Sementara Dewi Es sendiri tampak terseret
ke belakang dan baru terhenti tatkala punggungnya menumbuk satu gugusan batu
padas. Namun perempuan ini tidak mengalami cedera sama sekali, malah perlahan-lahan dia bergerak bangkit.
Maut Mata Satu bergerak bangkit sambil
mengusap mulutnya yang keluarkan darah.
Diam-diam nyali kakek ini telah menciut,
apalagi ketika matanya menangkap sosok
Ratu Pemikat yang melarikan diri dan melihat
Merak Kawung yang telah jadi mayat. Dia
berpaling ke belakang. Dia jadi terkesiap
tatkala melihat Dewi Seribu Bunga tidak ada


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi di tempatnya.
Sebenarnya Maut Mata Satu sudah punya
niat untuk meninggalkan pulau melarikan diri, namun karena Dewi Seribu Bunga
tampak berada jauh ke depan, membuat kakek ini
tampak kebingungan bercampur jengkel, karena muridnya tidak turuti apa yang dikatakannya. Selagi Maut Mata Satu dilanda kebimbangan, tiba-tiba terdengar satu suara.
"Boleh leluasa tinggalkan pulau, tapi tinggalkan dulu pakaian yang melekat! Hik...
hik... hik...!"
"Benar! Celananya tampak bagus, aku
menginginkannya!" sahut suara lain. Ternyata yang keluarkan suara adalah Ratu
Malam dan Iblis Ompong.
"Ah, karena pakaiannya mungkin tak cukup untukku, aku menginginkan matanya saja!
Meski cuma satu, tapi lumayan! Bisa untuk
melihat tubuh bahenol!" ujar Gendeng Panuntun. Lalu tertawa bergelak.
"Jahanam! Mereka pasti tak akan membiarkan orang lolos! Apa boleh buat,
daripada menanggung malu leblh baik mampus bersama!" putus Maut Mata Satu.
Untuk kedua kalinya, kakek bermata satu
ini melompat ke depan. Dari jarak tujuh
langkah, dia lepaskan pukulan sakti 'Api
Seribu Bunga'. Dewi Es angkat kedua tangannya ke atas
kepala. Bunga-bunga api yang melesat tertahan di udara, membuat Maut Mata Satu
tercekat. Dia buru-buru hendak menyingkir,
namun sebelum tubuhnya berkelebat selamat
diri, Dewi Es telah dorong kedua tangannya
ke depan. Bunga-bunga api berbalik dan kini makin
kencang melesat ke arah Maut Mata Satul
Karena tenaganya telah terkuras, dan lebih-
lebih lagi dirinya telah terluka, meski Maut
Mata Satu masih sempat angkat tangannya
namun bunga-bunga api telah menggebrak
lebih dulu! Maut Mata Satu perdengarkan pekikan
tinggi. Tubuhnya terhuyung dengan jubah dan
sebagian anggota tubuh berlobang-lobang
terkena hamburan bunga-bunga api. Dari tiap
lobang anggota tubuhnya keluar darah kehitaman. Sementara dari mulut makin
banyak lagi darah yang mengalir.
'Kalian.... Kalian semua...."
Hanya itu ucapan yang terdengar dari mulut Maut Mata
Satu. Bersamaan itu sosoknya tumbang di
atas tanah dengan nyawa lepas!
*** Ki Buyut Pagar Alam tampak tercekat
tatkala mengetahui Merak Kawung, Datuk
Hitam serta Maut Mata Satu menggeletak
tewas. Apalagi tatkala memandang ke jurusan agak jauh terlihat Dewi Siluman
terkapar di atas tanah berpasir. Gemuruh
kemarahannya naik ke ubun-ubun. Namun
diam-diam hatinya mulai dirasuki rasa gentar, apalagi saat dia sudah tidak lagi
menangkap sosok Ratu Pemikat hingga meski sepasang
matanya memandang tajam ke arah Dewa
Sukma yang tegak di depannya, tapi dia juga
mencuri kesempatan untuk edarkan pandangannya berkeliling. Hai ini membuat
kakek berjubah hitam ini mulai melupakan
tujuannya yang hendak memburu Kitab Serat
Biru. Yang terpikir dalam benaknya sekarang
adalah bagaimana selamatkan diri setidak-
tidaknya bisa lolos dari pulau dengan nyawa
masih utuh. Rupanya apa yang di dalam otak Ki Buyut
dapat ditangkap oleh Iblis Ompong. Hingga
sambil melangkah mondar-mandir dia berujar.
"Hidup dan mati memang sudah ditentukan.
Tapi mumpung masih ada kesempatan, harap
gunakan otak biar tidak salah jalan. Karena
sekali kaki salah bergerak, nyawa akan
berpindah letak!"
"Jahanam! Apa dikira mereka bisa seenaknya memindah nyawa orang!" desis Ki Buyut. Lalu tanpa pedulikan lagi
keadaan sekitar, kakek ini rnelompat ke arah Dewa
Sukma. Kedua tangannya serentak keluar
dari saku jubahnya dan sekonyong-konyong
berkelebat menghantam ke arah dada Dewa
Sukma. Dewa Sukma lintangkan kedua tangannya
di depan dada. Lalu diangkat ke atas.
Desss! Desss! Dua pasang tangan bertenaga dalam tinggi
bentrok. Sosok Ki Buyut tetap tegak, namun
wajahnya tampak berubah sementara kedua
tangannya yang baru saja beradu dengan
tangan Dewa Sukma tampak berubah memerah dan bergetar. Dewa Sukma sendiri
tubuhnya bergoyang lalu kibas-kibaskan tangannya dengan raut meringis menahan
sakit. "Aku tak bisa lama-lama! Kulihat Dewi
Siluman pun butuh pertolongan!" gumam Ki Buyut dalam hati. Lalu melangkah mundur
dua langkah. Kejap lain tangannya telah
kembali bergerak dan kini langsung lepaskan
pukulan 'Kabut Neraka'!
Dewa Sukma tidak berani bertindak sembrono, karena kali ini 'Kabut Neraka'
dilepaskan sendiri oleh dedengkotnya. Hingga tatkala kabut hitam telah melabrak,
dia lorotkan sedikit tubuhnya. Kedua tangannya disentakkan ke depan.
Wuttt! Wuuttt! Gelombang angin dahsyat melanggar tanpa
terlebih dahulu perdengarkan deruan.
Meski kabut hitam dan gelombang angin
sempat beradu di udara, anehnya tidak
terdengar ledakan, malah seolah tanpa penghalang sama sekail, baik kabut hitam
pukulan Ki Buyut maupun gelombang angin
pukulan Dewa Sukma terus melesat ke arah
lawan masing-masing!
Dua orang ini sama-sama tersentak kaget.
Namun mereka berdua sudah demikian terlambat untuk menghindar, hingga tanpa
ampun lagi keduanya sama-sama tersapu
pukulan lawan! Sosok Ki Buyut melenting
deras ke belakang lalu jatuh terkapar dengan
mulut keluarkan darah. Di pihak lain, sosok
Dewa Sukma tampak terhumbalang ke belakang dan bergedebukan menghantam
batu padas hingga pecah berkeping-keping.
Dari mulutnya juga terlihat darah mengalir!
Melihat hal ini Ki Buyut tampaknya mulai
berpikir lagi tentang keselamatannya. Karena
seandainya dia mampu mengatasi Dewa
Sukma, maka tidak mungkin lagi baginya
menghadapi Ratu Malam atau Iblis Ompong.
Apalagi Ki Buyut telah tahu sampai di mana
katingglan ilmu dua orang tadi. Belum lagi
Jika ditambah dengan Gendeng Panuntun
dan Dewi Es. Memikir sampai di situ, Ki Buyut segera
bangkit, lalu lemparkan sesuatu ke udara.
Kejap lain di atas udara tampak kepulan asap
hitam! *** SEMBILAN ADIS berbaju merah itu tegak dengan
tangan kanan menggenggam Pedang
GTumpul 131 sementara tangan kiri
memegang sarung pedang. Namun belum
sempat tubuhnya bergerak lagi, satu bayangan merah juga berkelebat dan tahu-
tahu telah tegak dengan sikap menghadang.
"Jangan berani bergerak dari tempatmu!
Dan serahkan pedang itu padaku!" bentak
orang yang tegak menghadang yang bukan
lain adalah Sitoresmi dengan mata nyalang


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak berkesip. Sosoknya masih tampak sedikit
limbung, namun gadis berjubah merah Ini
seolah tidak menghiraukan keadaan dirinya.
Sebaliknya gadis berbaju merah yang memegang pedang dan bukan lain adalah
Dewi Seribu Bunga menyeringai sambil berkata keras. "Sekali lagi kuperingatkan. Jangan berani buka mulut menuduh yang bukan-bukan!
Aku tidak punya niat untuk memiliki benda ini!"
"Mulut bisa bicara, tapi kenyataannya kau mengambilnya!" Sitoresmi tak mau
kalah. Dia berkata pula dengan suara keras.
Mungkin karena geram, Dewi Seribu Bunga
melangkah maju satu tindak sambil membentak. "Kalau aku mengambilnya, kau
mau apa"!"
Sitoresmi tidak segera menjawab ucapan
Dewi Seribu Bunga yang bernada menantang. Dia tampaknya maklum, dalam
keadaan masih terluka begitu rupa, adalah
tolol jika melayani ucapan orang meski
hatinya panas. Tapi saat itu rupanya Sitoresmi sudah tidak pikirkan lagi dirinya
yang terluka. Hingga meski dengan menahan
sakit pada dadanya, dia coba kerahkan
tenaga dalam. Namun baru saja salurkan
tenaga dalam, gadis
bekas murid Dewi Siluman ini rasakan peredaran darahnya
menyentak-nyentak.
Dadanya berdenyut nyeri. Dan tak lama kemudian sosoknya
limbung dan jatuh terduduk.
Dewi Seribu Bunga menatap sejenak, lalu
alihkan pandangannya pada Dewi Siluman
dan Pendekar 131 yang bergerak-gerak hendak bangkit.
"Aku harus selamatkan pedang ini!" gumam Dewi Seribu Bunga, lalu secepat kilat
dia putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat
itu. Namun gerakan murid Maut Mata Satu ini
tertahan, tatkala tiba-tiba dua bayangan telah berkelebat dan kejap lain teiah
tegak di hadapan Dewi Seribu Bunga.
"Serahkan padaku pedang itu atau kuputus selembar nyawamu!"
Dewi Seribu Bunga tersentak. Dia cepat
belalakkan sepasang matanya dan memandang ke depan. Terlihat seorang gadis
cantik berjubah kuning dengan tangan kiri
diangkat seolah siap lepaskan pukulan, sementara tangan kanan membuat gerakan
seperti orang meminta. Di sebelah gadis
berjubah kuning yang bukan lain adalah
Wulandari, tegak seorang gadis berjubah biru
dan tidak lain Ayu Laksmi adanya.
"Hem.... Kita memang punya urusan yang
belum selesai! Tapi urusan itu akan kulupakan. Jika kalian angkat kaki enyah dari hadapanku!" kata Dewi Seribu Bunga
sambil memandang silih berganti.
Wulandari menyeringai. "Jika kau tak mau turuti ucapanku, berarti urusan lama
kita teruskan! Dan kali ini harus tuntas! Kau
dengar"!"
Di lain pihak, melihat munculnya Wulandari
dan Ayu Laksmi, Sitoresmi makin khawatir.
Namun gadis berjubah merah ini tidak bisa
berbuat banyak, karena saat dia coba lagi
kerahkan tenaga dalam, tubuhnya bergetar
hebat dan peredaran darahnya laksana tersumbat dan menyentak-nyentak.
"Kalian telah kuberi tawaran, tapi tampaknya kalian pilih yang lain. Baik. Pedang ini akan kuserahkan padamu, tapi
kalian harus serahkan nyawa kalian sebagai
gantinya!"
"Keparat!" teriak Wulandari. Lalu gadis berjubah kuning ini telah melompat dan
segera lepaskan pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Gadis berjubah kuning ini tidak mau bertindak ayal, karena lawan yang dihadapi
memegang senjata sakti, hingga dia tidak
berani bentrok jarak dekat, karena bukan
tidak mungkin lawan akan pergunakan senjata di tangannya, itulah pertimbangan
Wuilandari hingga begitu menyerang dia
langsung lepaskan pukuian 'Kabut Neraka'.
Di pihak lain, begitu kabut berwarna kuning
menggebrak, Dewi Seribu Bunga cepat pula
sentakkan tangannya lepaskan pukuian 'Api
Seribu Bunga'. Bummm! Untuk kesekian kalinya, Pulau Biru diguncang ledakan keras. Sosok Wulandari
dan Dewi Seribu Bunga sama-sama terpental. Keduanya sama terhuyung-huyung
dengan wajah pucat. Hal ini tak dilewatkan
oleh Ayu Laksmi. Begitu Dewi Seribu Bunga
belum bisa kuasai tubuh, gadis berjubah biru
telah melesat ke depan dengan tangan kanan
memukul ke arah kepala sedangkan tangan
kiri menyambar pedang.
"Pengecut busuk!" maki Dewi Seribu Bunga dengan
raut terkejut besar. Karena mengkhawatirkan pedang jatuh ke tangan
orang, gadis berbaju merah ini tidak lagi
hiraukan tangan kanan Ayu Laksmi yang
berkelebat ke arah kepalanya. Dia hanya
pusatkan perhatiannya pada tangan kiri Ayu
Laksmi yang menyambar akan mengambil
pedang, hingga tanpa ampun lagi tangan
kanan Ayu Laksmi menghantam kepalanya.
Namun bersamaan dengan itu, Dewi Seribu
Bunga tarik tangannya
yang memegang pedang. Begitu tangan Ayu Laksmi yang
menyambar pedang lolos, dia segera membabatkan pedang ke tangan lawan.
Bukkk! Craasss! Sosok Dewi Seribu Bunga terhuyung deras
ke belakang lalu jatuh telentang dengan
kepala berdenyut sakit. Dari mulutnya tampak
meleleh darah segar, akibat kepalanya terhantam tangan Ayu Laksmi. Sementara
Ayu Laksmi perdengarkan jeritan tinggi. Tubuhnya tersentak mundur dengan tangan
kanan pegangi tangan kirinya yang ternyata
telah putus sebatas pergelangan tangan
tangan. Darah tampak mengucur deras dari
pergelangan tangan itu. Dan tak lama kemudian, tubuh Ayu Laksmi tampak melorot
lalu jatuh terduduk dengan mulut mengerang.
"Setan alas! Aku mengadu jiwa denganmu!"
seru Wulandari tinggi melihat Ayu Laksmi
cedera parah. Lalu tanpa menunggu lama,
dia melesat ke depan dengan tangan kiri
kanan lepaskan pukulan ke arah tangan Dewi
Seribu Bunga yang memegang pedang.
Dewi Seribu Bunga cepat berguling. Namun
Wuiandari tak memberi kesempatan. Ke
mana gulingan tubuh Dewi Seribu Bunga, ke
sana kedua tangan Wuiandari mengarah.
Bahkan kini kaki kanan gadis berjubah kuning
ini mulai ikut bergerak lepas kan tendangan.
Entah karena telah terluka atau percuma
terus menghindar, pada satu kesempatan
Dewi Seribu Bunga hentikan gulingan tubuhnya lalu serta-merta tangan kirinya
memapak pukulan tangan kanan Wulandari
sementara tangan

Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanannya membabat pedang. Karena tidak menyangka, Wulandari tidak
bisa berkelit lagi.
Hingga jika dia tidak
menangkis dengan tangan atau kakinya ke
arah pedang yang kini membabat, niscaya
perutnya akan ambrol.
Dalam keadaan terjepit demikian rupa,
akhirnya Wulandari menangkis dengan menggunakan kaki kanannya, sementara kedua tangannya tetap teruskan memukul.
Bukkk! Bukkk! Craaasss!
Terdengar dua jeritan tinggi. Dewi Seribu
Bunga mental dengan pedang lepas dari
genggamannya. Sementara Wulandari terhuyung lalu roboh dengan kaki kanan
putus sebatas betis!
Karena terpaku dengan Pedang Tumpul
131 yang tergeletak di tanah, baik Ayu
Laksmi maupun Wulandari tidak pedulikan
tangan dan kakinya yang telah putus dan
banyak kucurkan darah. Sebaliknya kedua
gadis ini sama-sama bergerak. Ayu Laksmi
melangkah cepat ke arah pedang, sedang
Wulandari bergulingan mendekat.
Sejengkal lagi tangan kanan Ayu Laksmi
dan tangan Wuiandari menyambar pedang,
tampak bunga-bunga api bertaburan mengarah pada kedua gadis murid Dewi
Siluman itu. Dess! Desss! Desss! Desss!
Wulandari dan Ayu Laksmi sama menjerit.
Tubuh keduanya terjengkang roboh dengan
jubah berlobang-lobang
demikian juga sebagian tubuhnya!
Untuk beberapa saat, kedua gadis ini
menggeliat-geliat laksana orang direbus. Tapi kejap lain tubuh keduanya diam tak
bergerak-gerak lagi!
Di seberang, sosok Dewi Seribu Bunga
yang baru saja lepaskan pukulan Api Seribu
Bunga' tampak pucat pasi lalu kepalanya
terkulai. Gadis ini kehabisan tenaga lalu
telentang pingsan
*** Ketika Dewi Siluman bergerak bangkit dan
melihat asap hitam di udara, perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini cepat berpaling ke arah di mana Ki Buyut Pagar
Alam berada. Sejenak sepasang matanya
dari lobang cadar terlihat mendelik.
"Celaka! Ki Buyut tampaknya perlu bantuan! Padahal urusanku sendiri belum
selesai!" Dewi Siiuman palingkan kepalanya pada
Pendekar 131 yang juga telah tegak. Lalu
layangkan pandangannya pada Pedang Tumpui 131 yang masih tergeletak dengan
sebagian tubuh pedang ternoda darah. Sepasang matanya hanya menyipit sejurus
tatkala menyaksikan Wulandari
dan Ayu Laksmi telah tidak bergerak-gerak lagi.
"Terpaksa urusan ini harus kutunda...,"
desis Dewi Siiuman, lalu berkelebat ke depan
hendak menyambar pedang yang tergeletak.
Pendekar 131 rupanya sudah waspada. Dia
pun segera berkelebat hendak menyambar
pedangnya. Namun gerakan Dewi Siiuman
dan Pendekar 131 sudah terlambat, karena
bersamaan dengan itu satu bayangan merah
rnendahului melompat dan....
Bukkk! Sosok merah yang bukan lain adalah
Sitoresmi telungkupkan tubuhnya di atas
Pedang Tumpul 131!
"Bangsat jahanam!" teriak Dewi Siluman marah. Dla teruskan kelebatan tubuhnya
dengan tangan diangkat ke atas sedang
tangan kiri membuat gerakan mengayun.
Melihat Sitoresmi terancam nyawanya, Pendekar 131 teruskan juga kelebatannya.
Kedua tangannya segera pula didorong.
Wuuusss! Dewi Siluman berseru keras. Dia merasakan dirinya dihantam sapuan gelombang angin dahsyat yang sangat dingin,
hingga tubuhnya sejenak laksana ditahan dan
tak bisa bergerak maju. Tapi perem puan ini
teruskan pukulannya pada Sitoresmi yang
telungkup di atas Pedang Tumpul 131.
Wuuttt! Kabut hitam melabrak ganas ke arah Sitoresmi, membuat murid Pendeta Sinting
terkesiap karena tak mungkin lagi memangkas pukulan Dewi Siluman yang
sudah begitu dekat dengan Sitoresmi.
Saat setengah depa lagi
kabut hitam menghantam telak sosok Sitoresmi, tiba-tiba
tampak dua cahaya memantul.
Blaappp! Blappp! Bummm!
Kabut hitam bertabur buyar di udara. Sosok
Dewi Siluman terdorong deras ke belakang
sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan
mulut makin banyak keluarkan darah yang
merembes lewat penutup wajahnya.
Di seberang sana, Gendeng Panuntun yang
baru saja selamatkan Sitoresmi tampak usap-
usap cerminnya. Batu yang dibuat sandaran
berguncang keras. Namun Ratu Malam yang
duduk di atas batu tadi sepertinya tidak
merasakan guncangan! Dia enak saja tetap
duduk mencangklong dengan muiut mainkan
gumpalan tembakau hitam.
Sedangkan Sitoresmi yang berada dekat
dengan bentroknya pukulan tampak mental
sejauh dua tombak. Karena keadaannya
sudah terluka, apalagi baru saja terkena
getaran bentroknya pukulan Dewi Siluman
dengan cermin Gendeng Panuntun membuat
Sitoresmi tak bisa berbuat banyak saat
tubuhnya melayang turun.
Ketika setengah tombak lagi tubuh Sitoresmi menghantam tanah, satu bayangan
berkelebat, lalu telentang menyusur tanah.
Dan.... Blukkk! Sosok Sitoresmi mendarat di atas tubuh
yang telentang itu.
Sitoresmi yang sesaat tadi tampak pasrah
karena tidak bisa berbuat apa-apa pejamkan
sepasang matanya. Namun ketika menyadari
tubuhnya tidak menghantam tanah, dia segera buka kelopak matanya.
Mungkin karena senang ada orang selamatkan dirinya
dari menghantam tanah, gadis yang sudah
terluka ini tanpa pikir panjang lagi segera
memeluk orang di bawahnya.
Orang yang berada di bawah tubuh Sitoresmi sejenak tampak diam saja, namun
tak lama kemudian tubuhnya menggeliat, hal
ini membuat Sitoresmi maiah mempererat
pelukannya karena khawatir dirinya akan
terjatuh terguling.
Saat itulah terdengar suara orang tertawa
cekikikan ditingkah dengan suara berat.
"Kau cekikikan lagi, Sekar Mayang! Ada
apa"!"
Sekar Mayang alias Ratu Maiam putuskan
tawanya. "Setan itu besar sekali rezekinya hari
ini! Tadi punggungnya diciumi perempuan cantik. Sekarang tubuhnya saling
tindih dan dipeluk erat-erat gadis cantik....
Hik... hlk... hik...l"
Gendeng Panuntun mengeluh. "Dasar curang! Dia memang sengaja memilih gadis-
gadis agar bisa begitu! Jika tidak, mana
mungkin ada perempuan atau gadis mau
memeluknya! Jangankan memeluk, berdekatan pun mungkin tak sudi! Mulutnya
yang selalu terbuka itu membuat perut mual!"
"Hai.... Lepaskan pelukanmu...," gumam orang di bawah Sitoresmi. Seakan baru
tersadar, Sitoresmi cepat longgarkan pelukannya. Sepasang matanya dibuka. Lalu
kepalanya ditarik ke belakang. Yang terlihat
pertama kali oleh Sitoresmi adalah satu wajah pucat dengan rambut putih. Lalu
sepasang mata besar. Dan gadis berjubah merah ini
tersentak tatkala melihat mulut orang di
bawahnya terbuka tebar tanpa gigi satu pun!
"Maaf...." Hanya itu suara yang terdengar parau dari mulut Sitoresmi sambil
bergerak bangkit dengan tubuh limbung dan kejap lain


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh terduduk.
Orang yang tadi di bawah tubuh Sitoresmi
dan bukan lain adalah ibiis Ompong usap-
usap pakaiannya. Lalu bangkit dan berpaling
pada Pendekar 131.
"Cepat sandarkan dia pada batu dekat
orang buta itu!"
Murid Pendeta Sinting cepat turuti ucapan
Iblis Ompong. Dia melangkah ke arah Sitoresmi. Gadis ini telah pejamkan sepasang
matanya. Sementara tangan kanannya tampak gemetar. Di tangan kanan gadis ini
tampak Pedang Tumpul 131.
Dengan periahan-lahan Pedang Tumpul
131 diambil oleh Pendekar 131 lalu diselipkan di balik pakaiannya. Kedua
tangannya lantas
menjulur dan membopong tubuh Sitoresmi
kea rah Gendeng Panuntun.
Di seberang, Dewi Siluman menggeliat
bangkit. Dia memaki panjang pendek tatkala
mengetahui Pedang Tumpul 131 sudah tidak
ada lagi di tempat tadi menggeletak. Dan saat berpaling dia lihat Ki Buyut
memberi isyarat.
Tanpa pedulikan lagi pada kedua muridnya
yang telah tewas, Dewi Siiuman berkelebat
ke arah Ki Buyut Pagar Alam.
*** SEPULUH ITA harus meloloskan diri! Tidak mungkin lagi kita menghadapi mereka!"
Kbisik Ki Buyut begitu Dewi Siiuman
telah tegak di sampingnya.
"Tapi...."
"Dewi! Jangan mencari urusan! Jiwa kita
ada di ujung tanduk!" ujar Ki Buyut memperingatkan tatkala dilihatnya Dewi Siluman sepertinya masih enggan meninggalkan pulau.
"Kau cepat ke arah kereta! Aku menunggu
di pinggir pulau!" sambung Ki Buyut, lalu hendak berkelebat. Dewi Siluman
sendiri tampak hendak putar tubuh dan berkelebat ke
arah kereta. Namun belum ada yang sempat berkelebat,
Ratu Malam yang masih duduk di atas
gugusan balu padas berteriak.
"Meski datang tidak diundang, seharusnya pulang dengan pamit! Lebih dari itu,
tak enak rasanya punya tamu yang masih belum
dikenal wajahnya...."
Dewi Siluman tersentak.
Ucapan Ratu Maiam jelas menghendaki dirinya buka cadar
yang selalu menutupi wajahnya. Dewi Siluman tampak bergetar, sepasang matanya
membelalak. "Aku tak akan turuti kata-katanya!" desis Dewi Siluman. Ki Buyut Pagar Alam
sendiri terlihat tertegun dengan mulut terkancing.
"Betul! Meski mataku tidak bisa melihat, setidaknya
aku bisa mendengar cerita tentang wajah yang katanya selaju ditutup
cadar hitam! Siapa tahu dugaanku salah!"
sahut Gendeng Panuntun timpal ucapan Ratu
Malam sambil bergerak bangkit karena Pendekar 131 telah berada d! dekatnya dan
hendak sandarkan tubuh Sitoresmi pada batu
padas yang tadi disandari Gendeng Panuntun. "Aku tidak sudi turuti ucapan kalian!" teriak Dewi Siluman.
"Jika begitu, aku akan minta lebih dari yang diminta tadi! Bukan hanya minta kau
buka penutup cadarmu, tapi juga minta kau buka...." Iblis Ompong yang menyahut tidak lanjutkan
ucapannya. Sebaliknya tertawa bergelak-gelak.
"Walah. Kau selalu membuat dadaku jadi
berdebar-debar dan jakun turun naik! Tapi
cerita-cerita begitu memang lebih sedap
didengar! Ha... ha... ha...!" Gendeng Panuntun ikut-ikutan tertawa.
"Dewi...,"
gumam Ki Buyut. "Untuk sementara ini kita mengalah saja. Turuti apa
yang mereka minta, ini demi keselamatan
kita! Kita masih punya waktu untuk memperhitungkan pembalasan!"
"Aku tidak mau! Kalau kau takut mati,
silakan pergi dahulu!" sahut Dewi Siluman dengan menatap tajam pada Ki Buyut.
Ki Buyut gelengkan kepala. "Percuma kau
berkeras kepala! Kau telah terluka. Membunuhmu, bagi mereka semudah membalik telapak tangan!"
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan
Ki Buyut. "Kau tak perlu khawatir. Aku duga, mereka sebenarnya telah mengetahui
siapa kau sebenarnya. Kalau mereka ingin kau
membuka cadarmu, mungkin hanya untuk
meyakinkan! Jadi tak ada gunanya lagi
bersikap keras kepala!"
Di depan sana, Ratu
Malam tiba-tiba mendongak. "Hari sudah hampir malam. Jika keadaan gelap, dan aku tak dapat
mengenali wajah di balik cadar, mungkin aku juga minta
tambahan!"
"Dewi.... Cepat buka cadarmu! Ucapan
orang-orang seperti mereka setiap saat bisa
berubah!" ujar Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siiuman berpaling pada Ratu Malam.
"Baik. Kalian lihat yang jelas!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman angkat
tangan kanannya.
Breettt! Kain hitam penutup wajah Dewi Siluman
terenggut lepas. Kini tampaklah seraut wajah
cantik jelita dengan mata bulat dan bulu mata panjang lentik. Bibirnya bagus dan
merah. Hidungnya mancung dengan kulit putih agak
kekuningan. "Durga Ratih...!"
gumam Ratu Malam hampir berbarengan dengan Iblis Ompong.
Sementara Dewa Sukma hanya terdiam
dengan sepasang mata memandang tak
berkesip. Di sampingnya Dewi Es buka
kelopak matanya sejenak, namun kejap lain
telah memejam kembali.
Untuk beberapa lama suasana hening.
Hanya tampak beberapa pasang mata saling
pandang lalu bersama-sama terarah pada
Dewi Siluman. Dewi Siluman menyeringai. Lalu tangan
kanannya terangkat kembali hendak memasang kain cadarnya Namun gerakan
tangan sang Dewi tertahan tatkala tiba-tiba
Dewa Sukma meloncat ke depan dan seolah
hendak menghadang kelebatan KI Buyut dan
Dewi Siluman. Sepasang matanya mengawasi Dawi Siluman tajam.
Dewi Siluman dan Ki Buyut terkesiap kaget.
"Apa maumu"! Aku telah turuti yang kalian minta. Jangan tarik ucapan sendirii"
teriak Dewi Siluman sambil balas menatap pada
Dewa Sukma. "Yang berkata tadi Iblis Ompong dan Ratu Malam! Aku belum mengatakan apa yang
kuminta!" jawab Dewa Sukma.
"Hem.... Nyatanya kaiian orang-orang yang tidak bisa pegang janji!"
"Durga Ratih! Aku beium ucapkan janji!"
ujar Dewa Sukma, membuat Durga Ratih
alias Dewi Siiuman menyeringai meski air
mukanya tampak membayangkan rasa takut.
Perempuan cantik ini berpaling pada Ki Buyut
Pagar Alam. Ki Buyut tampak kernyitkan dahi
namun belum juga buka mulut.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tergelak berat. Bukan hanya membuat Puiau
Biru bergetar, namun sebagian pasir di pulau
itu tersapu dan mem bumbung ke udara.
Kejap lain di sela-sela taburan pasir tampak
sebuah benda melayang lalu jatuh menancap
di tengah-tengah pulau!
Ki Buyut dan Dewi Siluman serentak
palingkan kepala masing-masing. Dewa Sukma menoleh dan terbelalak. Di seberang,
Ratu Malam pentangkan sepasang matanya


Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sipit dengan mulut komat-kamit, Iblis
Ompong tengadah dengan mulut dibuka
lebar-lebar. Dewi Es buka kelopak matanya
lalu memandang tak berkesip. Pendekar 131
yang kini telah tegak di samping Gendeng
Panuntun kerutkan dahi dan ikut-ikutan belalakkan sepasang matanya.
Bersamaan dengan tertancapnya benda di
tengah pulau, tiba-tiba laksana disentakkan
setan, suara tawa berat yang sempat membuat pulau bergetar dan pasir bertaburan
lenyap! Gendeng Panuntun mendongak.
"Ada benda menancap, aku mencium amisnya darah! Heran.... Kenapa orang-orang
mendadak seperti patung tak ada yang
mengoceh?"
"Kek...," sahut murid Pendeta Sinting yang berada di sampingnya. "Di tengah
pulau memang menancap sebuah tombak terbalik.
Ujung di atas pangkai masuk ke dalam pasir.
Di ujung tombak terlihat tiga buah tengkorak
tersusun berlumuran darah segar!"
Gendeng Panuntun tersurut satu tindak
saking terkejutnya. Kepalanya diluruskan.
Sesaat kemudian dia bergumam.
"Hampir mustahil! Dunia persilatan tampaknya belum bisa tenang. Bencana lebih
besar akan datang lagi...."
"Kek. Apa sebenarnya ini"!" tanya Joko dengan mata pandangi ke arah tengah
pulau. "Pintu istana Hantu telah terbuka! Malapetaka akan terjadi!"
"Kek. Aku tak mengerti maksud ucapanmu!"
"Kelak kau akan mengerti sendiri.... Dan aku punya dugaan, kaulah kelak yang
harus menghadapinya!"
Di sebelah depan, Dewi Siluman dan Ki
Buyut mundur dua tindak. Tanpa bicara lagi,
Ki Buyut Pagar Alam segera menarik tangan
Dewi Siluman. Keduanya lalu berkelebat
menuju kereta. Kejap lain kereta itu telah
bergerak ke arah pinggir pulau. Hebatnya
meski roda kereta dan kaki ladam kuda
menghentak tanah berpasir serta gugusan
batu padas, tapi tidak ada suara yang
terdengar! Melihat Dewi Siiuman dan Ki Buyut hendak
meloloskan diri, sementara beberapa orang di
situ sepertinya sepertinya terpaku pada tombak yang menancap di tengah pulau,
murid Pendeta Sinting berkelebat mengejar.
Namun gerakannya tertahan tatkala tangan
kanan Gendeng Panuntun mencekalnya.
"Biarkan mereka pergi...."
"Tapi, Kek. Orang seperti mereka akan
menjadi duri di kemudian hari!"
"Kau tidak tahu siapa perempuan itu!"
"Peduli apa dengan dia"!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala.
"Dengar, Anak muda! Mendiang guruku
pernah mempunyai seorang murid perempuan. Karena dia ugal-ugalan dan
selalu melanggar perintah, pada akhirnya dia
diketahui hamii. Dia lantas diusir. Di kemudian hari dia melahirkan seorang anak
perempuan yang diberi nama Durga Ratih.
Jadi bagaimanapun juga, Durga Ratih masih
saudaraku...."
Murid Pendeta Sinting tercenung dan akhirnya hanya bisa memandang pada kereta
yang terus bergerak. Sampai ke pinggir
pulau, dengan hanya sentakkan kedua tangannya, tali pengikat pada leher kuda
terputus. Dan sekali tendangkan kaki, kuda
itu meringkih lalu menghambur bebas. Kini
kereta itu meluncur tanpa kuda dan begitu
mulai menginjak air, Ki Buyut membungkuk.
Trakkk! Trakk! Dua kayu penyangga kereta bagian depan
patah. Dengan menggunakan patahan penyangga kereta, Ki Buyut tusukkan ke
dalam air laut. Gerobak kereta itu akhirnya
meluncur deras di atas permukaan air laut.
Dewi Siluman tampak tegak di atas peti putih
di bagian belakang gerobak kereta dengan
kedua tangan bersedekap di depan dada dan
menghadap ke belakang!
"Jangan terpaku pada apa yang terlihat!
Masih ada yang harus dikerjakan!" Tiba-tiba Gendeng Panuntun berseru. Lalu
melangkah pada batu padas di mana Sitoresmi bersandar. Dewa Sukma balikkan tubuh, lalu melangkah ke arah Gendeng Panuntun. Iblis
Ompong segera pula mendekat. Dewi Es
bergerak bangkit dan melangkah ke arah
tubuh Dewi Seribu Bunga yang tergeletak
pingsan. Gendeng Panuntun jongkok di samping
tubuh Sitoresmi. Kedua tangannya sejenak
meraba tangan si gadis. Lalu kepalanya
manggut-manggut.
Kejap kemudian dia keluarkan dua butiran hitam dari balik pakaian hijaunya
yang gombrong. Butiran Itu diserahkan pada Iblis Ompong. Iblis Ompong
menyam buti lalu sambil jongkok, kedua butiran itu dimasukkan
ke dalam mulut Sitoresmi. "Kukira urusan di sini telah selesai! Kita pulang...,"
kata Dewa Sukma sambil berpaling pada Dewi Es yang kini telah tegak
sambil membopong tubuh Dewi Seribu Bunga. "Biar gadis ini kuurus...," ujar Dewi Es lalu melangkah mendahului ke pinggir
pulau. Joko bungkukkan tubuh hendak membopong Sitoresmi yang kini matanya
terpejam dan tampak lemas. Namun buru-
buru Gendeng Panuntun lantangkan tangan
kirinya, membuat gerakan murid Pendeta
Sinting tertahan.
"Gadis ini urusankui"
ucap Gendeng Panuntun lalu sekali sambar tubuh Sitoresmi
telah berada di pundaknya. "Tuntun aku ke pinggir pulau!"
Akhirnya rombongan itu melangkah ke
pinggir pulau. Tapi sesampainya di pinggir
pulau, mereka tampak kebingungan. Karena
tidak ada satu pun perahu terlihat.
"Tidak mungkin sekarang naik es lagi! Kita harus cari tumpangan yang layak!"
ujar Gendeng Panuntun setelah mengetahui di
situ tidak ada perahu dan Dewa Sukma
mengusulkan agar Dewi Es membuat tumpangan es seperti tatkala mereka menuju
Pulau Biru. Ketika orang-orang sama bingung, tiba-tiba
Joko berteriak.
"Lihat! Ada perahu menuju kemari!"
*** SEBELAS ERAHU itu meluncur deras menuju
pulau laksana anak panah. Namun
Pbegituperahumerapat,semuaorang
jadi tercengang. Sepasang mata Ratu
Malam tampak bolak-balik memejam membuka dengan mulut makin keras komat-
kamit. Sementara Iblis Ompong mendongak
dengan mulut dibuka lebar-lebar. Di sampingnya Dewa Sukma mendelik dengan
mulut terkancing rapat. Dewi Es kernyitkan
kening dengan mata sedikit menyipit. Murid Pendeta Sinting sendiri mendelik
dengan kepala berpaling ke sana kemari seolah ingin
minta penjelasan. Hanya Gendeng Panuntun
yang tampak tenang-tenang saja. Karena
ternyata perahu itu tidak berpenumpang!
Belum hilang rasa kejut orang, dan belum
sempat ada yang buka suara, tiba-tiba dari
belakang perahu meluncur sebuah papan
kayu

Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melaju kencang menerjang ganasnya gelombang laut. Di atas papan
kayu terlihat seorang kakek berjubah kuning
tanpa leher. Sepasang matanya terpejam
rapat, sementara mulutnya berkemik. Kakek
ini rambutnya putih panjang dikelabang dan
dikalungkan di lehernya. Dia duduk bersila
dengan kedua tangan saling menakup di
bawah dagu. Di belakang kakek berjubah
kuning Ini tegak berdiri seorang laki-laki
berusia lanjut. Wajahnya amat pucat dan
berkeriput. Tapi keriputan wajah kakek ini
hanya merupakan garis samar-samar karena
kulit wajah itu demikian tipis. Rambutnya
yang putih panjang dibiarkan tergerai melambai-lambai ditiup angin laut. Kumis dan
jenggotnya juga lebat menutupi sebagian
wajahnya. Dia mengenakan jubah besar
kusam yang bertambal-tambal dari beberapa
kain yang berwarna-warni.
Belum sampai papan kayu yang ditumpangi
kedua kakek merapat, dua kakek tersebut
membuat gerakan. Kejap lain tujuh langkah di
samping rom bongan orang di Pulau Biru telah
duduk bersila kakek berjubah kuning tanpa
leher, sementara di sampingnya tegak kakek
berjubah kusam bertambal-tambal.
Belum ada yang membuat gerakan, Pendekar 131 mendahului berkelebat lalu
menjura di depan dua kakek yang baru
datang. "Eyang.... Manusia Dewa...," kata Joko begitu mengenali siapa adanya orang.
Kakek berjubah kuning tanpa leher yang
rambutnya dikelabang dan bukan lain memang Manusia Dewa adanya buka kelopak matanya, lalu anggukkan kepala
tanpa berucap sepatah kata. Di sebelahnya,
kakek berjubah kusam bertambal-tambai dan
bukan lain Pendeta Sinting adanya tertawa
panjang sambil manggut-manggut. Sepasang
mata kakek Ini lantas mengedar memandang
satu persatu pada semua orang yang ada di
situ. Mulutnya membuka
hendak bicara, namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu
Malam telah mendahului.
"Dasar orang sinting! Datangnya jika urusan sudah selesai! Apa saja yang dikerjakan"! Padahal kudengar anak belum
punya...!"
"Bagaimana punya anak. Perempuan saja
tidak ada yang mau didekati!" sahut iblis Ompong, lalu mendekat pada Manusia
Dewa dan berujar. "Sudah beberapa puluh tahun tidak jumpa, nyatanya kau masih awet muda, kalau tak
keberatan mau berikan Ilmunya padaku"!
Terimalah hormatku, Manusia Dewa "
"Ah. Ternyata ada sahabat. Kalau benar
yang datang adalah Manusia Dewa dan
sobatku Pendeta Sinting, sungguh ini sebuah
pertemuan yang mem bahagiakan! Di atas
semua itu, pasti ada hal yang perlu dibicarakan!" Gendeng Panuntun menyahut
sambil tangan kirinya usap-usap cerminnya.
"Senang sekali Pendeta Sinting dan Manusia Dewa bisa datang ke sini meski
hidangannya telah habis!" Yang angkat bicara kali ini adalah Dewa Sukma.
Sedangkan Dewi Es yang membopong
tubuh Dewi Seribu Bunga hanya mengangguk
pada Pendeta Sinting dan Manusia Dewa.
"Maaf sahabat-sahabat...," kata' Manusia Dewa. "Kami datang terlambat. Namun itu
masih tidak apa
daripada tidak datang.
Bukankah begitu Pendeta Sinting...?"
Pendeta Sinting jerengkan sepasang matanya. "Betul! Meski hidangan telah habis
sesungguhnya masih ada hidangan baru
yang lebih lezat dan memerlukan tenaga lebih
banyak!" "Eh, sepertinya kedatangan kalian membawa kabar baru!" ujar Gendeng Panuntun setelah menyimak kata-kata Pendeta Sinting.
"Bukan kabar, tapi kenyataan! Tapi untuk itu biarlah sahabatku Manusia Dewa yang
mengatakannya!"
Suasana sejenak hening. Pendekar 131
melangkah mendekat ke arah Eyang gurunya. Lalu berbisik.
"Eyang. Ada kabar apa sebenarnya"!"
"Itu nanti akan dikatakan Manusia Dewa.
Sekarang aku tanya padamu. Bagaimana
dengan tugas mu"!"
"Berkat doa restu Eyang, aku berhasil
mendapatkan Kitab Serat Biru...." Joko hendak keluarkan kitab dari balik pakaiannya, tapi Pendeta Sinting memberi
isyarat agar muridnya urungkan niat. Kakek ini lantas
berkata. "Jaga baik-baik kitab itu! Sekarang dengarkan apa yang diucapkan Manusia
Dewa." Kedua orang murid guru ini sama
berpaling pada Manusia Dewa.
"Sahabat-sahabatku...,"
Manusia Dewa muial angkat bicara. "Dua hari yang lalu rimba
persilatan digemparkan dengan terbunuhnya beberapa tokoh dunia persilatan.
Aku memberitahukan hal ini karena kukira
kalian semua saat itu pasti terpaku pada
urusan Kitab Serat Biru, hingga kemungkinan
besar para sahabat sekalian tidak mendengarnya. Sebenarnya yang membuat
gempar bukanlah pembunuhan itu sendiri.
Sebaliknya si pembunuhlah yang membuat
orang laksana tersentak. Karena hal seperti
ini pernah terjadi beberapa puluh tahun silam.
Si pembunuh meninggalkan satu tanda begitu
meninggalkan korbannya!" Sejenak Manusia Dewa hentikan keterangannya. Semua
orang masih diam tak ada yang buka suara.
Manusia Dewa lanjutkan ucapannya.
"Tanda itu adalah sebuah tengkorak yang
masih berlumuran darah!"
Terdengar gumaman tak jelas. Mulut Ratu
Malam makin keras berkomat-kamit. Iblis
Ompong makin lebarkan ngangaan mulutnya.
Dewa Sukma berpaling pada Gendeng Panuntun. Sementara Dewi Es pejamkan
sepasang matanya.
"Tengkorak
Berdarahl"
ujar Gendeng Panuntun. "Benar! itulah tanda jika yang melakukan adalah seorang tokoh misterius yang
sampai saat ini belum ada yang tahu siapa sebenarnya tokoh itu. Hanya karena setiap
kali melakukan pembunuhan meninggalkan
tanda tengkorak berlumur darah, orang-orang
rimba persilatan menjuluki tokoh misterius itu Tengkorak Berdarah!"
"Berarti Istana Hantu telah terbuka kembali!" Gendeng Panuntun kembali berkata. "Benar! Dengan telah keluarnya Tengkorak Berdarah, berarti pintu istana Hantu
telah terbuka lagi..."
"Kek. Aku belum mengerti kaitan semua
ini!" kata Pendekar 131.
"Anak muda...," ujar Manusia Dewa. "Beberapa puluh tahun silam rimba persilatan pernah
digemparkan dengan beberapa pembunuhan terhadap

Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh-tokoh yang dilakukan oleh seorang misterius yang kemudian digelari orang Tengkorak Berdarah.
Tengkorak Berdarah bertempat pada sebuah
istana dekat belantara sunyi. Jika pintu istana itu
terbuka, maka bisa dipastikan ada beberapa orang terbunuh. Dan begitu beberapa pembunuhan terhenti, pintu Is tana
itu tertutup. Hingga saat ini belum ada
seorang pun yang berhasil menerobos masuk
pintu istana itu, hingga orang menjuluki
tempat itu Istana Hantu!"
"Eyang...," kata Joko pada Pendeta Sinting.
"Kalau tak salah, tengkorak berlumur darah yang menancap di tengah pulau itu
tentu pekerjaan tokoh yang baru saja dikatakan
Manusia Dewa!"
Pendeta Sinting tampak terkejut. Kepalanya
berpaling ke arah tengah pulau di mana di
situ tertancap sebuah tombak yang dihiasi
tiga tengkorak berlumur darah.
"Astaga! Jadi dia sudah merambah sampai
pulau ini!"
"Aku sejak tadi memang mencium amisnya
darah. Namun tak kusangka jika itu berasal
dari lumuran darah tengkorak...." Manusia Dewa menggumam lalu ikut berpaling ke
tengah pulau. "Anak muda! Kudengar kau tadi mengatakan Kitab Serat Biru. Aku ikut merasa gembira. Namun lebih dari itu, kau
harus segera mempelajari isinya, karena di
depan sana sudah ada lagi hal yang harus
kau selesaikan!" kata Manusia Dewa seraya memandang pada Pendekar 131.
Joko masukkan jari kelingkingnya pada
lobang telinganya. "Luar biasa sekali pendengaran orang tua ini. Namun ucapannya tadi sepertinya telah membebankan tugas baru lagi padaku...."
Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin.
Joko lantas berbisik pada Eyang gurunya
mengatakan apa yang ada dalam hatinya.
Pendeta Sinting tertawa pendek lalu berujar.
"Sontoloyo! Tanpa bertanya seharusnya
kau sudah mengerti! Dan aku tidak bisa
menjamin apakah aku bisa membantu atau
tidak!" "Aku juga!" sahut Iblis Ompong. "Urusan selanjutnya
harap kau sendiri yang selesaikan!"
"Ah. Aku juga tak mau ikut campur!"
Gendeng Panuntun angkat bicara.
"Aku pun tak akan cari urusan baru!" ucap Ratu Malam menimpali.
"Sahabat-sahabat
sekalian. Sebenarnya urusan ini adalah urusan kita semua sebagai
orang rimba persilatan. Namun kalau sahabat
sekalian punya halangan, apa hendak dikata.
Sekarang semuanya tergantung pada Pendekar 131!"
"Jika itu demi keselamatan dan ketenangan dunia persilatan, tanpa bantuan pun
aku akan laksanakan tugas ini!" kata Pendekar 131
sambil memandang satu persatu pada orang
yang ada di tem pat itu.
"Hem.... Bagus! Memang itulah watak yang harus dimiliki seorang pendekar.
Gelombang lautan api, gemuruh ombak bukanlah satu
halangan jika demi keselamatan dunia persilatan!"
Habis berkata begitu, Manusia Dewa dongakkan kepala. "Kukira sahabat sekalian tidak berniat menginap di sini bukan"
Nah, malam tampaknya sudah menjelang, berarti
sudah waktunya untuk tinggalkan tempat ini!"
Tanpa menunggu jawaban. Manusia Dewa
gerakkan bahunya dua kali. Tubuhnya tiba-
tiba melesat dan kejap lain telah duduk
bersila di atas perahu.
"Memang apa enaknya menginap di sini.
Hanya beralas pasir dan berselimut langit.
Hik... hlk... hlk...!" ujar Ratu Malam lalu berkelebat ke arah perahu.
"Tubuh reot begini memang sudah tidak
seharusnya tidur sembarangan. Apalagi di
tengah gelom bang ombak lautan!" timpal Iblis Ompong lalu ikut melesat ke arah
perahu dan tegak memunggungi Ratu Malam.
Pendekar 131 melangkah cepat ke arah
Dewi Es yang membopong tubuh Dewi Seribu
Bunga. Namun baru saja dekat dan belum
sempat buka mulut bicara, Dewi Es telah
mendahului berkata.
"Untuk sementara kau tak usah tanyakan
urusan gadis ini. Biarlah dia jadi urusanku...."
Murid Pendeta Sinting hanya bisa mengangguk. Lalu memandang pada Gendeng Panuntun yang memanggul tubuh
Sitoresmi. Buru-buru Joko mendekat. Namun
lagi-lagi Gendeng Panuntun telah berkata
mendahului. "Anak muda. Urusanmu di depan masih
besar. Jangan ditambah dengan mencemaskan gadis ini. Kelak mungkin kalian akan bertemu lagi.... Sekarang ayo
tunjukkan arah perahu!"
Selesai berkata Gendeng Panuntun rentangkan tangan kirinya. Namun Joko tidak
segera tuntun Gendeng Panuntun. Sebaliknya dia palingkan kepala ke belakang.
Karena tiba-tiba murid Pendeta ting
Ini teringat pada Ki Ageng Mangir Jayalaya
namun kakek berjubah putih penjaga Kitab
Serat itu telah tidak ada lagi di tempatnya.
"He.... Kau dengar ucapanku, bukan"!"
Gendeng Panuntun. Pendekar 131 menyengir
lalu menggandeng tangan Gendeng Panuntun dan melangkah ke arah perahu. Di
belakang mereka menyusul Dewa Sukma dan
Dewi Es. "Meski tidak ada perempuan yang mau
kudekati, tapi bukan berarti aku senang tidur di tempat seperti ini!" gumam
Pendeta Sinting lalu berkelebat ke arah perahu.
Tak berselang lama, perahu berpenumpang
sepuluh orang itu meluncur membelah ombak. Anehnya meski tidak ada satu pun
yang kemudikan perahu dengan mendayung,
namun perahu itu meluncur deras. Yang
tampak hanyalah gerakan-gerakan tangan
yang mengayun ke bawah seoah orang
menari. Tapi begitu gerakan-gerakan tangan
Itu makin keras, perahu melaju makin deras!
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
SELESAI PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG Segera terbit :
seriai Joko Sa ble ng Pendekar Pedang Tumpu l 131
dalam ep isode :
GERBANG ISTANA HANTU
Pedang Awan Merah 5 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 17
^