Rahasia Lenyapnya Mayat 1
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa Bagian 1
1 ORANG GILA KETEMU ORANG GILA
KOPI dan gula dalam telapak tangan Randu Ampel langsung mencair.
Air mendidih yang dituangkan mengepulkan asap panas. Lima prajurit
Kadipaten Lumajang mendelik kaget ketika melihat Randu Ampel tetap
tegak berdiri tanpa kesakitan. Tangannya yang disiram air mendidih sama
sekali tidak melepuh atau cidera! Malah genangan air panas bercampur
kopi dan gula di atas kedua telapak tangannya itu enak saja dihirupnya
hingga habis. Sisa-sisa gula dan kopi dijilat-jilatnya dengan ujung lidah.
"Sedap sekali kopi kalian.... Aku minta lagi...!" kata Randu Ampel lalu
ulurkan kedua tangannya.
Prajurit yang tadi menuangkan air mendidih berpaling pada kawan-
kawannya, lalu melangkah mundur.
"Jangan-jangan manusia ini mahkluk jejadian..." berbisik salah seorang
dari lima prajurit itu.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini cepat-cepat!" kawannya yang di
samping kiri balas berbisik.
"Hai! Aku minta kopi, kalian malah pergi!" teriak Randu Ampel ketika
melihat lima orang di hadapannya itu mundur, mundur lalu membalikkan
tubuh dan lari berhamburan.
"Keparat! Kalian mempermainkanku! Kalian pasti kaki tangan Mangun
Aryo!" kembali Randu Ampel berteriak. Kali ini disertai kemarahan.
Tubuhnya melompat ke depan, laksana terbang, melayang ke arah lima
prajurit yang lari berserabutan itu.
"Mampus!"
Duk! Buk! Dua prajurit mental dan terjerembab di tanah. Yang pertama hancur
tengkuknya di hantam tumit Randu Ampel. Yang kedua patah
pinggangnya kena tendangan kaki kiri lelaki miring itu.
"Dia membunuh Seta dan Gana!" teriak prajurit di ujung kanan.
Bersama kedua tanganya, kalau sebelumnya mereka merasa takut, kini
melihat kematian dua kawannya itu, ketiganya berubah marah dan cabut
golok masing-masing.
Randu Ampel masih menjilati sisa-sisa gula dan kopi di telapak tangan
kanannya ketika ke tiga prajurit itu menyerbunya dari tiga jurusan.
"Jurus ke sembilan!" teriak Randu Ampel coba mengingat jurus silat
yang ke sembilan, yang dipelajarinya di dalam goa. Tangan kanannya
menghantam ke depan. Tubuhnya dirundukkan. Berbarengan dengan itu
kaki kirinya membabat kemuka. Dua lawan yang mengeroyok menjerit.
Yang pertama terbanting ke tanah, muntah darah dan melingkar tak
bergerak lagi begitu dadanya kena jotosan. Tulang iganya patah,
jantungnya ditembus patahan tulang iga sendiri. Yang satu lagi pecah
lambungnya dihantam tendangan. Serangan golok prajurit ke tiga
dielakkan mudah dan lewat di atas kepalanya.
Saat itulah Randu Ampel mulai menyadari bahwa dalam dirinya
tersimpan satu kekuatan hebat luar biasa. Seperti karanjingan untuk
membuktikan kehebatan itu dia menghadang prajurit ke lima yang kini
ketakutan setangah mati dan hendak melarikan diri.
"Mau lari" Ha... ha! Larilah!" sentak Randu Ampel.
Begitu prajurit itu balikkan tubuh dan lari sejauh setengah tombak
Randu Ampel pukulkan tangan kanannya ke depan, ke arah punggung
orang yang lari. Sesaat kemudian orang itu mencelat mental dan terguling
roboh di tanah. Dia hanya sempat mengeluarkan satu jeritan keras, lalu dia
tak berkutik lagi. Mati dengan punggung hancur sampai ke dada!
"Hah"!"
Randu ampel berteriak kaget dan heran! Dia memandang tangan
kanannya lalu memandangi lima sosok tubuh yang mati bergelimpangan.
Begitu berulag kali dengan rasa tak percaya. Tiba-tiba dia berteriak keras.
"Tanganku kuat! Aku jadi orang hebat! aku punya ilmu! Mangun Aryo!
Sekarang mampus kau! Mampus!" lalu Randu Ampel memukul batang
pohon di samping kanannya. Braak! Batang itu patah dan pohonnya
tumbang Randu Ampel tendangkan kaki kiri ke pohon lain di sebelahnya.
Braaak! Pohon itu juga remuk dan tumbang!
"Ha... ha... ha...! Mangun Aryo! Tunggu pembalasanku! Fitnah
kembali kepada fitnah!" teriak Randu Ampel lagi. Diluar sadar, saking
girangnya lelaki ini melompat ke atas. "Hup! Hai! Aneh! Tubuhnya seperti
melayang, tinggi sekali. Karena agak gamang dia menggapai kian kemari
sampai akhirnya dia terduduk di atas sebatang cabang pohon yang sangat
kecil. Janganlah manusia seekor kucingpun jika bertumpanga di atas
cabang kecil itu, pasti cabang tersebut akan terkulai ke bawah bahkan
mungkin patah karena cabang itu selain kecil juga sudah lapuk. Tapi
hebatnya justru Randu Ampel bisa duduk. Bahkan ketika gamangnya
mulai hilang dan dia mulai biasa, lelaki ini duduk sambil uncang-uncang
kaki. Dia ingat pada sulingnya. Keluarkan benda ini dan meniup
melengking-lengking!
Begitulah mulai hari itu dalam benak Randu Ampel hanya ada satu
tekad untuk dilakukan mencari Mangun Aryo, orang yang bukan saja telah
mencelakakan dirinya tetapi juga menjadi penyebab kematian istrinya.
Maka diapun melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo.
Meskipun otaknya tidak sehat lagi, namun apa yang terjadi delapan
belas tahun lalu di Probolinggo tak pernah pupus dalam ingatan Randu
Ampel. Peristiwa pembunuhan kejam yang dilakukannya terhadap istrinya
di kota itu membuat lelaki ini tidak mau memasuki kota mendatangi rumah
kediaman Mangun Aryo yang kini menjadi Adipati itu. dia berhanti di
sebuah puncak bukit yang terletak di luar kota. Dia memutuskan
menunggu kemungkinan Mangun Aryo di situ. Memang untuk
Probolinggo ada empat jurusan keluar masuk. Pertama di sebelah utara
yang menghubungkan kota dengan pantai. Di sebelah timur, lalu di sebelah
selatan dan terakhir di sebelah barat. Dari ke empat jurusan itu, yang di
sebelah baratlah paling ramai di lalui. Setiap orang yang mengambil arah
itu pasti akan melewati daerah bebukitan di mana Randu Ampel
melakukan pencegatan. Tetapi sampai beberapa lamakan dia harus
mendekam di situ menunggu kemunculan Mangun Aryo" Hal ini agaknya
tidak menjadi masalah bagi Randu Ampel. Dia akan menunggu sekalipun
sampai gunung Mahameru meletus. Kalau perlu bahkan sampai kiamat!
Belasan hari telah lewat sejak Randu Ampel sampai di puncak bukit di
luar kota. Siang hari dia kepanasan. Malam hari kedinginan berselimut
embun. Keadaan tubuhnya semakin kotor menjijikan. Tampangnya tambah
menyeramkan. Makannya sama sekali tidak menentu. Satu-satunya teman
setianya adalah suling bambu yang acap kali ditiupnya dalam irama aneh
tak menentu. Terkadang dia duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar,
atau meringkuk tidur di atas cabang-cabangnya yang rindang. Terkadang
dia menyusup masuk ke balik batang-batang pohon bambu yang banyak
tumbuh di sana. Kalau lagi asyik meniup suling tak jarang dia duduk
seperti bersila, mengapung di udara dengan sepasang lutut dan punggung
menempel pada tiga batang bambu.
Orang-orang yang melewati bukit itu kebanyakan menduga Randu
Ampel hanyalah seorang gila yang datang entah dari mana dan terpesat di
situ. Namun banyak juga yang merasa heran melihat bagaimana dia bisa
duduk secara aneh diantara tiga btang bambu seperti itu. hanya karena
mereka tidak punya banyak waktu untuk menyelidiki maka orang-orang
itu akhirnya berlalu begitu saja. Paling-paling sambil gelengkan kepala.
Kesabaran Randu Ampel menunggu musuh besarnya di puncak bukit
itu ternyata tidak sia-sia. Pada hari ke tiga belas, disuatu rembang petang
Mangun Aryo yang ditemani oleh kepala pengawal Kadipaten yaitu
Rangga baru saja kembali dari perjalanan menemui Embah Bromo
Tunggal di puncak gunung Bromo.
Di bebukitan kedua orang ini mendengar suara tiupan suling aneh.
Semula Rangga menyangka itu hanya tiupan suling seorang penggembala.
Tetapi Mangun Aryo berhadapan meniup suling demikian hingga
menyakitkan liang telinga dan mendebarkan dada. Begitu sampai di
puncak bukit mereka hantikan kuda dan memandang ke arah pohon-pohon
bambu dengan perasaan terkejut, heran tapi sekaligus juga bercampur rasa
tidak enak. Orang yang meniup suling itu mereka saksikan duduk mengapung
diantara tiga batang pohon bambu. Dia mengenakan celana hitam bergaris
kuning, memakai topi hitam tinggi. Orang ini tidak mengenakan baju. Di
lehernya tergantung sebuah kalung bergambar burung bermahkotakan
yang merentangkan kedua sayapnya. Wajahnya cekung, kotor penuh debu.
Sepasang matanya agak kemerahan. Kumis serta janggutnya meranggas.
Keseluruhan tampangnya mengerikan untuk dipandang.
Karena merasa tidak enak, Mangun Aryo mengajak Rangga untuk
meninggalkan bukit itu cepat-cepat. Tetapi maksud mereka tertahan karena
mendadak orang di atas pohon bambu keluarkan nyanyian aneh. Bait-bait
di dalam nyanyian itu jelas mengungkapkan peristiwa delapan belas tahun
yang silam. Ketika Probolinggo dihebohkan oleh peristiwa pembunuhan
kejam yang dilakukan Randu Ampel. Siapakah sebenarnya orang gila ini,
begitu Mangun Aryo bertanya-tanya. Dalam pada itu orang aneh itu secara
mendadak menyerang kuda yang ditunggangi Mangun Aryo hingga
binatang itu melompat tinggi lalu melarikan diri. Sementara itu Rangga
tiba-tiba pula menjadi kejang karena ditotok secara anreh.
Puncak dari semua keanehan itu meledak ketika orang gila tadi
mengatakan bahwa dia adalah Randu Ampel yang dicelakai oleh Mangun
Aryo delapan belas tahun silam dengan ilmu hitam hanya karena
menginginkan jabatan Adipati Probolinggo.
Sebenarnya Mangun Aryo bukanlah manusia pengecut. Namun
menghadapi orang gila seperti itu yang bisa berbuat nekad semaunya, mau
tak mau dia mementingkan cari selamat lebih dulu. Maka diapun
melarikan diri. Akan tetapi sekali mengejar Randu Ampel berhasil
menangkap tangan kanan Adipati Probolinggo itu. sekali remas saja
hancurlah tulang lengan lelaki itu, persendiannya copot! Satu demi satu
anggota tubuh Mangun Aryo dihancur luluhkan. Kemudian dengan kuku
jarinya yang panjang keras, Randu Ampel merobek perut musuh besarnya
itu hingga isi perutnya berbuaian keluar. Mangun Aryo akhirnya menemui
ajal dalam keadaan mengerikan disaksikan oleh kepala pengawalnya.
(Untuk jelasnya peristiwa ini dapat dibaca dalam episode IV)
Setelah membalaskan dendam kesumat dan membunuh Mangun Aryo
maka kini muncul niat dibenak Randu Ampel untuk mencari Embah
Bromo Tunggal. Dukun jahat inilah yang memegang peranan utama atas
bencana yang menimpa diri dan istrinya. Meskipun Mangun Aryo yang
punya mau, tetapi jika Embah Bromo Tunggal tidak turun tangan,
peristiwa mengerikan itu tak akan terjadi. Karenanya seperti juga Mangun
Aryo, dukun keparat itu juga harus mampus.
Tidak sulit bagi Randu Ampel untuk mencari sang dukun, Bromo
Tunggal yang nama aslinya Roko Nuwu itu meskipun sering berkeliaran di
rimba hijau persilatan tetapi lebih banyak mendekam di tempat
kediamannya di puncak gunung Bromo, menunggu orang-orang yang
datang meminta "tolong" atau menanti berbagai macam ramuan obat aneh.
Suatu hari, dia tengah kedatangan suruhan Rangga. Padahal saat itu dia
sudah siap untuk memasukkan tubuh Mahesa yang berhasil diculiknya ke
dalam sebuah belanga besar untuk digodok bersama obat yang sedang
diramunya. Mendadak muncul Pendekar Muka Tengkorak. Tokoh silat
kelas satu ini sengaja datang ke puncak Bromo untuk menghukum si
dukun jahat. Beberapa waktu yang lalu Embah Bromo Tunggal telah
menipu Pendekar Muka Tengkorak dan mendekam kakek sakti itu
dibawah sebuah arca batu besar. Secara tak sengaja Mahesa kemudian
menolong orang tua itu hingga dia kemudian dihadiahi sepertiga tenaga
dalam. (Baca episode III) Selain menguburnya hidup-hidup dibawah arca
batu itu, Embah Bromo Tunggal juga melarikan sebuah kitab silat yang
mereka temukan bersama.
Perkelahian antara Pendekar Muka Tengkorak dan Embah Bromo
Tunggal tidak terelakan lagi. Meskipun si kakek muka tengkorak memiliki
ilmu silat yang lebih tinggi dari lawannya, namun dia tak berdaya ketika
Embah Bromo Tunggal keluarkan mahkluk jejadiannya yang bernama
Longga. Selagi Pendekar Muka Tengkorak kelabakan menghadapi
mahkluk itu, Embah Bromo Tunggal pergunakan kesempatan untuk
melarikan diri. Dengan susah payah dan dengan kecerdikan akhirnya
Pendekar Muka Tengkorak berhasil memusnahkan Longga.
Baru saja kakek itu berhasil menghancurkan lawan dan sekaligus
menyelamatkan Mahesa dari maksud Embah Bromo Tunggal yang ganas
mendadak muncullah seorang lelaki berpakaian aneh, tubuh kotor dan
muka menyeramkan. Orang ini yang ternyata memiliki kepandaian sangat
tinggi celakanya mengira si Pendekar Muka Tengkorak adalah Embah
Bromo Tunggal yang tegah dicarnya. Bagaimanapun Pendekar Muka
Tengkorak mengatakan bahwa dia bukan Bromo Tunggal si dukun jahat
itu, tetap saja orang tersebut tidak percaya.
Maka terjadilah pertempuran antara keduanya. Orang ini, yang bukan
lain adalah Randu Ampel memiliki kehebatan luar biasa hingga Pendekar
Muka Tengkorak harus bertahan mati-matian. Setelah pukulan jurus
berkelahi kakek ini akhirnya tidak dapat mempertahankan diri. Sesaat lagi
dia hampir menemui ajal oleh cekikan Randu Ampel, Mahesa yang baru
saja siuman dari pingsannya cepat berteriak memberi tahu bahwa si kakek
bukanlah Embah Bromo Tunggal musuh besarnya.
Mendengar teriakan Mahesa itu, apalagi karena dirinya dipanggil
dengan sebutan ayah kagetlah Randu Ampel. Dia lepaskan cekikan
mautnya di leher Pendekar Muka Tengkorak, memandang sejurus pada
Mahesa lalu tanpa berkata apa-apa tinggalkan puncak gunung Bromo.
Keseluruhan peristiwa di tempat kediaman Embah Bromo Tunggal itu
dapat anda ikuti kembali dalam episode V.
Randu Ampel lari meninggalkan puncak gunung Bromo dengan
perasaan campur aduk. Pertama dia masih tidak yakin kalau kakek kurus
bermuka tengkorak itu bukan si dukun jahat yang delapan belas tahun lalu
menjatuhkan musibah keji atas dirinya. Lalu jika dia berkeyakinan begitu
mengapa dia mau mengikuti dan mempercayai ucapan pemuda itu"
Mengapa dia memanggilnya dengan sebutan ayah" Apa benar pemuda itu
anaknya" Seperti ada pancaran hawa aneh dari sepasang mata pemuda itu.
"Seharusnya kubunuh dia! Dia berani menghalangi maksudku
membunuh dukun jahat itu!" kata Randu Ampel dalam hati. Kemudian
terdengar suaranya tertawa tergelak. "Gila! Semua gila! Isi dunia ini sudah
gila semua!"
Lelaki gila berkepandaian tinggi itu tidak sadar entah sudah berapa jauh
dan lama berlari. Dia baru berhenti ketika didapatinya hari yang tadi terang
kini telah berubah mulai gelap. Ternyata siang telah berganti sore dan sore
mulai memasuki malam. Randu Ampel dapatkan dirinya berada di bibir
sebuah lembah yang terletak dalam rimba belantara. Perlahan-lahan dia
dudukkan diri di bawah sebatang pohon. Tenggorokannya terasa kering,
haus. Dia coba memejamkan mata. Kembali seperti terngiang di telinganya
sebutan ayah yang diucapkan pemuda di tempat kediaman Embah Bromo
Tunggal itu. Sebutan itu serta pancaran yang keluar dari sepasang mata si
pemuda tidak pernah pupus dari dalam dirinya, seperti selalu mengikuti ke
mana dia pergi.
Ketika pelahan-lahan Randu Ampel membuka matanya kembali, jauh di
dasar lembah dilihatnya seperti ada nyala api. Diperhatikannya baik-baik.
Memang benar nyala api. Serta merta dia berdiri lalu lari ke bawah
lembah, menuju arah nyala api. Sebentar saja dia sudah sampai di tempat
itu. Di belakang nyala api Randu Ampel melihat seorang perempuan
berambut panjang duduk mencangkung. Meski tidak keseluruhan
wajahnya diterangi nyala api namun jelas dia memiliki paras ayu, berkulit
langsat. Pakaiannya penuh tambalan. Seperti Randu Ampel keadaan
dirinya tidak terpelihara.
Perempuan tidak dikenal ini paling tinggi berusia setengah usia Randu
Ampel. Dia duduk memegangi sebatang ranting kecil, menghadapi
perapian dan asyik membalik-balik benda lonjong berwarna hitam.
Rupanya dia tengah memanggang sesuatu. Tetapi ketika Randu Ampel
memperhatikan benda yang dipanggang perempuan itu diapun jadi
tertawa. Meskipun gila namun Randu Ampel masih dapat membedakan
mana makanan dan mana bukan. Perempuan itu tengah memanggang
sebuah batu!
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perempuan gila!" kata Randu Ampel dalam hati. Lalu diapun menegur:
Hai! Untuk apa kau memanggan batu itu" Sampai kapanpun tak akan
lunak dan bisa dimakan!"
Orang di depan perapian tidak berpaling ataupun menjawab. Dia terus
saja membalik-balikkan batu hitam itu dengan ujung ranting.
"Orang bertanya apakah kau tidak mendengar" Aku yang tuli atau kau
yang gagu"!" ujar Randu Ampel.
"Aku tidak gagu, kau tidak tuli. Soalnya siapa bertanya siapa?" tiba-tiba
perempuan itu membuka mulut. Suaranya perlahan dingin.
Randu Ampel tertawa.
"Namaku Randu Ampel!" katanya memperkenalkan diri.
"Ada banyak orang bernama seperti itu. Kau Randu Ampel yang
mana?" tanya si perempuan. Dalam bicara dia sama sekali tidak
memandang pada Randu Ampel, melainkan saja menunduk asyik
memandangi batu hitam yang dibalik-baliknya di atas potongan-potongan
kayu perapian. "Aku... aku Randu Ampel yang mana ya?" kata lelaki itu seperti
bertanya pada diri sendiri. Lalu dijawabnya sendiri. "Mudah saja. Aku
Randu Ampel yang gila! Ha... ha... ha...!"
"Hik... hik...!" Perempuan itu ikut-ikutan tertawa. "Kalau begitu kita
sama!" katanya kemudian.
"Apanya yang sama?" tanya Randu Ampel.
"Gilanya! Kita sama-sama gila!"
Randu Ampel kerenyitkan kening lalu kembali tertawa. Kali ini tertawa
bergelak dan panjang. Perempuan di hadapannya juga ikut tertawa, malah
lebih tinggi dan lebih panjang. Ketika Randu Ampel menghentikan
tawanya, perempuan itupun hentikan tawanya pula.
"Untuk apa kau memanggang batu itu?" bertanya Randu Ampel.
"Perutku lapar!"
"Heh, memangnya batu itu bisa kau makan?"
"Tidak! Semua oran tahu batu tidak bisa dimakan! Jangan diajukan
pertanyaan tolol!"
"Lalu kenapa kau membakarnya?" tanya Randu Ampel. Kalau orang
lain memakinya dengan kata-kata tolol begitu mungkin sudah ditendang
atau ditamparnya.
"Untuk mengurangi rasa lapar," jawab perempuan itu.
"Aneh, aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin bisa mengurangi lapar
dengan jalan membakar batu..."!" Randu Ampel geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu rupanya kau memang orang tolol!" kembali perempuan
itu memaki Randu Ampel. "Apa kau tidak mendengar ucapan. Membagi
pikiran untuk menghilangkan pikiran. Membagi perasaan untuk
menghilangkan perasaan....?"
"Ucapan orang gila mana itu"!" ejek Randu Ampel.
"Percuma kau jadi orang gila kalau tidak mengerti ucapan orang gila!"
balas mengejek si perempuan.
Perempuan itu mencibir seolah-olah mengejek. Lalu katanya:
"Pengertiannya mudah saja. Untuk menghilangkan pikiran yang
mengganggu kira harus mengarahkan sebagian pikiran pada hal lain.
Dengan begitu pikiran yang mengganggu jadi terpecah dan lenyap. Jika
ada perasaan yang mengganggu, kita harus mengarahkan perasaan pada
hal lain hingga perasaan yang mengganggu jadi musnah! Begitu...!"
"Lalu apa hubungannya perutmu yang lapar dengan batu yang kau
panggang!" Randu Ampel tetap masih belum mengerti.
"Benar-benar tolol! Perutku lapar. Berarti ada perasaan lapas yang
mengganggu. Lalu kubakar batu ini. Perhatian dan perasaan kini tertuju
pada batu. Berarti aku dapat melupakan rasa lapar yang mengganggu...!"
Randu Ampel geleng-geleng kepala.
"Kalau sekedar melupakan tak ada artinya," katanya. "Pada saat kau
berhenti membakar batu itu, rasa lapar kembali akan terasa. Malah lebih
hebat lagi. Disamping itu tubuhmu akan terasa letih karena mencengkung
lama-lama di depan api. Menurut pendapatku yang gila, jika ingin
melenyapkan penyakit, harus mencari sumbernya. Kalau tidak percuma
saja....."
Untuk pertaa kalinya perempuan yang diajak bicara mengangkat
mukanya memandang pada Randu Ampel. Lalu dia tertawa panjang.
"Hai, kenapa kau tertawa"!"
"Ternyata kau tidak keseluruhannya tolol. Kurasa apa yang kau katakan
tadi ada benarnya. Menyembuhkan penyakit dengan memusnahkan
sumbernya. Menghilangkan lapar dengan menelan makanan. Tapi
makanan apa yang bisa didapat dalam rimba belantara keparat ini! Malam-
malam begini pula!"
"Mudah saja!" jawab Randu Ampel. Hatinya gembira karena dipuji
tidak tolol. Lalu dia ulurkan tangan mengambil batu hitam dari atas
perapian. "Hai! Batu itu panas. Tanganmu melepuh nanti!" seru perempuan itu.
Randu Ampel menyeringai. Dia pejamkan mata. Dengan tangan kiri
memberi isyarat pada perempuan itu untuk berdiam diri. Dan si perempuan
menyaksikan dengan heran, tangan Randu Ampel sama sekali tidak
melepuh atau cidera meskipun batu yang dipegangnya panas luar biasa!
"Apa yang hendak kau lakukan"!" tanya perempuan itu.
"Sst... diam. Aku akan mencari obat perutmu yang lapar..." sahut
Randu Ampel. Sambil pejamkan matanya dia memasang telinga tajam-
tajam. Kemudian didengarnya suara itu. Suara desah nafas burung liar
yang masih belum tidur. Datang dari pohon besar disebelah belakangnya.
Tanpa berpaling Randu Ampel lemparkan batu hitam di tangan kanannya.
Terdengar suara batu itu mengenai sesuatu suara burung memcicit lalu
suara tubuhnya jatuh ke tanah.
Randu Ampel menyeringai. Buka kedua matanya lalu lari mengambil
burung yang barusan jatuh akibat lemparan batunya yang tepat. Binatang
itu diperhatikannya pada perempuan di depan perapian, lalu cepat sekali
tangannya bergerak menguliti bulu yang membungkus sekujur tubuh
binatang itu. Sesaat kemudian burung itu telah terpanggang menyebar
menusuk lobang hidung.
"Sudah matang!" kata Randu Ampel tak berapa lama kemudian. Lalu
dia memberikan ranting kayu di ujung mana panggang burung itu
ditusuknya. "Makanlah, penyakit laparmu pasti sembuh!" kata Randu
Ampel dan tertawa gelak-gelak.
"Kau sendiri tidak makan?"
"Aku tidak lapar."
"Tapi aku tidak suka makan sendirian."
"Kalau begitu makalah dulu sepuasmu. Kau boleh berikan sisanya
padaku," jawab Randu Ampel pula.
"Tidak adil begitu. Kita harus makan sama-sama..." lalu entah kapan
tangannya bergerak tahu-tahu burung besar itu telah terbagi dua dan rata.
Yang sepotong diserahkan pada Randu Ampel. Ketika Randu Ampel
hendak menyantap makanan itu tiba-tiba perempuan itu ulurkan tangan
kirinya memegang lengannya.
"Tunggu!" katanya.
"Ada apa?" tanya Randu Ampel. Sentuhan tangan perempuan itu pada
lengannya mendatangkan perasaan aneh.
"Apakah kenal atau ada sangkut paut dengan manusia bernama Lembu
Surah bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah?"
Randu Ampel menggeleng.
"Apakah kau kenal dengan orang bernama Suwa Permono, bergelar
Malaikat Maut Berkuda Putih?"
Kembali Randu Ampel menggeleng.
"Siapa kedua orang itu?"
"Yang pertama musuh besarku. Yang kedua guruku."
"Di mana mereka sekarang?"
"Di mana mereka sekarang itulah yang tengah kuselidiki..."
"Sekarang baiknya kau makan dulu. Tapi sebelum makan aku kepingin
tahu apakah kau punya nama?"
Perempuan itu tertawa panjang. "Setiap manusia tentu punya nama.
Tapi aku tidak akan memberitahu namaku padamu."
"Kalau begitu kita tidak bersahabat!" ujar Randu Ampel.
"Heh, apakah kau mau bersahabat denganku?"
"Tentu saja. Kau keberatan?"
Kembali perempuan tadi tertawa. "Kita sama-sama gila. Tak ada
salahnya kalau kita bersahabat."
"Jika begitu katakan namamu!"
"Namaku Puji..."
"Puji apa...?"
"Puji saja..."
"Baiklah. Sekarang mari kita makan."
Maka kedua orang itupun menyantap burung panggang yang cukup
lezat rasanya. Selesai makan Puji berkata: "Kulihat tadi kau pandai sekali menangkap
burung dengan melempar . maukah kau mengajarkan ilmu lempar itu
padaku?" "Tentu saja. Hanya aku ingin tahu dari sini kau mau menuju ke
mana...." "Aku harus mencari Datuk Iblis itu. tapi tidak tahu harus mencari di
mana...." Sesaat Randu Ampel nampak termenung. Lalu katanya. "Akupun
tengah mencari musuh besar. Seorang dukun jahat bernama Embah Bromo
Tunggal. Beberapa hari lalu aku datang ke tempat kediamannya di puncak
Bromo. Tapi di situ terjadi banyak keanehan yang otakku tak sanggup
memecahkannya...."
"Jika kau mau menceritakan keanehan apa mungkin aku bisa membantu
memecahkannya..." kata Puji pula.
Randu Ampel menyeringai, "Aku sendiri yang punya persoalan tak
sanggup memecahkannya. Mana mungkin kau yang tak ada sangkut
pautnya..." Perlahan-lahan Randu Ampel berdiri.
"Kau mau ke mana?"
"Aku harus pergi...."
"Kalau begitu aku juga akan pergi. Ikut bersamamu...." Puji pegang
lengan Randu Ampel. Kembali lelaki ini merasakan perasaan aneh akibat
sentuhan itu. keduanya melangkah mendaki lereng lembah menuju ke
timur. Angin malam bertiup dingin. Sambil melangkah Puji keluarkan satu
nyanyian. Empat tahun mencari guru
Empat tahun tidak ketemu
Empat tahun mencari manusia durjana
Empat tahun tidak bersua
Manusia jahat harus dibunuh
Manusia durjana harus dimusnah
Tidak ada di timur cari ke barat
Tidak ada di selatan cari ke utara
"Nyanyianmu bagus amat," memuji Randu Ampel. "Apakah kau mau
mendengar nyanyianku?"
"Apakah orang gila sepertimu pandai juga menyanyi?"
Randu Ampel tertawa lalu mulai pula menyanyi.
Delapan belas tahun mencari
Di puncak Bromo tidak ditemui
Keanehan membakar sukma
Boleh lari ke segala penjuru
Tangan berdarah tak pernah lari jauh
Kegilaan harus dibayar dengan kegilaan
Kematian harus dibayar dengan kematian
"Ai, ternyata kaupun seorang penyanyi yang tidak jelek. Mari kita
nyanyikan lagu-lagumu tadi bersama-sama..."
Randu Ampel tidak menyambuti ajakan Puji malah dia memberi isyarat
dan hentikan langkah. "Aku mendengar suara kaki kuda. Ada orang
mendatangi ke jurusan sini. Lekas sembunyi!"
Mendengar ucapan itu Puji segera ke balik batang pohon besar.
Sebaliknya Randu Ampel pegang pinggang perempuan itu. sekali dia
mengenjot tubuh, keduanya melayang ke atas dan sampai di cabang pohon.
Puji hendak tertawa cekikikan karena senangnya diajak melayang
melompat tinggi seperti itu. tapi Randu Ampel tekap mulutnya. Sesaat
kemudian di bawah pohon kelihatan muncul seorang tua berpakaian serba
putih, menunggang seekor kuda putih. Dalam gelapnya malam tak jelas
kelihatan wajahnya.
2 PERTEMUAN DENGAN SANG GURU
RANDU AMPEL mendekati mukanya ke telinga kiri Puji dan berbisik:
"Kau kenal orang itu" Sikapnya mencurigakan...."
"Tampangnya tertutup kegelapan. Rasanya aku pernah melihat kuda
putih tunggangnya itu. tapi lupa entah di mana. Kita turun saja dan
menghantam jika memang dia punya miat jahat...."
"Kau punya kepandaian apa hendak menghantam orang" Lelaki itu
menunjukkan gerak-gerik seorang jago silat..."
"Kau takut...?" tanya Puji.
"Gila! Aku tidak pernah takut pada siapapun! " sahut Randu Ampel
penasaran. "Kau mau lihat aku memisahkan kepala dan badan orang itu"!"
"Cobalah kalau kau bisa melakukannya!"
"Akan kubuktikan!" ujar Randu Ampel.
Namun baru saja dia siap melompat turun tiba-tiba orang di atas kuda
berseru: "Manusia-manusia yang tadi menyanyi. Keluarlah unjukkan diri.
Aku butuh beberapa penjelasan!"
"Manusia sompret!" gerutu Puji. "Dia yang perlu kita, seenaknya
perintah. Eh Randu, katamu kau hendak memisahkan kepalanya. Tunggu
apa lagi"!"
"Kau kurang ajar. Seenaknya saja memanggil aku Randu. Kau tahu
perempuan seusiamu pantas jadi anakku!" kini Randu Amepl yang
mengomel. Sebaliknya Puji malah tertawa. "Di dunia yang serba ini apakah masih
diperlukan adab sopan santun" Bukankan keterbukaan lebih banyak
baiknya dari pada sengaja peradatan palsu. Lagi pula siapa ya sudi jadi
anakmu" Hik... hik...!"
Penunggang kuda di bawah pohon tampak membuka destar putih yang
membungkus kepalanya. Tiba-tiba kain destar ini dipukulkannya ke atas.
Serangkum angin keras menderu dan braak! Batang pohon yang diduduki
Randu Ampel serta Puji patah. Karena orang sudah mengetahui
persembunyian mereka, keduanya terpaksa meloncat turun. Orang di atas
kuda balikkan diri menyongsong lalu melompat dari punggung kuda.
Sesaat dia memandangi wajah Puji. Dia lain kejap terdengar seruannya.
"Ya Tuhan! Puji! Tadipun aku sudah yakin yang menyanyi itu adalah
suaramu!" Penunggang kuda berpakaian serba putih dan berjanggut putih ini
melompat hendak memeluk Puji, tapi Randu Ampel cepat menarik tangan
perempuan itu hingga si orang tua memeluk angin.
"Tua bangka kurang ajar! Enak saja kau memeluk sahabatku!" bentak
Randu Ampel. Sesaat orang itu memandang pada Randu Ampel. Kemudian dia
kembali berpaling pada Puji.
"Puji, muridku! Apakah kau tidak mengenali aku lagi" Aku gurumu....!
Aku Malaikat Maut Berkuda Putih!" orang tua itu berseru.
"Aku tidak kenal kau! Aku tak pernah kenal segala macam malaikat!"
jawab Puji keras.
Kata-kata ini membuat si orang tua yang memang bukan lain adalah
guru perempuan itu seperti terhenyak. "Ah, benar jalan pikirannya sudah
terganggu. Kasihan muridku.... Dia tiak mengenaliku lagi. Bagaimana ini"
Siapa pula lelaki berpakaian tak karuan disebelahnya ini?"
"Orang tua, siapapun kau adanya, sahabatku ini mengatakan tidak kenal
denganmu. Kenapa tidak lekas-lekas berlalu dari sini?"
Ditegur begitu Malaikat Maut Berkuda Putih jadi penasaran.
"Kau sendiri siapa" Apa hakmu menyuruh aku pergi dari sini. Empat
tahun aku mencari meuridku. Setelah bertemu enak saja kau menyuruhku
pergi. Kau yang harus angkat kaki dari sini...!"
"Gila!"
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau yang gila! Dan kau membuat muridku tambah gila!" bentak
Malaikat Maut Berkuda Putih. "Lepaskan peganganmu pada lengannya.
Puji, kemarilah. Aku gurumu. Kau harus ikut bersamaku. Kau perlu
dirawat dan diurus baik-baik. Setelah itu kita akan mencari manusia
durjana bergelar Datuk Iblis itu. setelah biang racun malapetaka yang
menimpa dirimu!"
Puji terdiam. Ada sekilas ingatan akan satu peristiwa yang menimpa
dirinya, tapi kesadaran datangnya sangat lambat ke dalam benak dan hati
perempuan ini. Dia hanya tahu tentang seorang musuh besar. Datuk Iblis
Penghisap Darah. Yang harus dibunuhnya. Dia juga tahu seorang bernama
Malaikat Maut Berkuda Putih. Tapi hanya itu. lain dari itu semuanya serba
gelap baginya. "Puji, kemarilah...." Si orang tua coba memanggil dengan suara lembut.
Yang dipanggil gelengkan kepala. Kemudian Puji mulai menangis.
Melihat perempuan ini menangis, Randu Ampel jadi marah dan
membentak Malaikat Maut Berkuda Putih.
"Kau membuat sahabatku menangis! Kalau kau tidak pergi dari sini
kupatahkan batang lehermu!"
"Manusia gila! Kalau tak berpengaruh olehmu, muridku pasti akan
mengikuti perintahku! Batang lahermu yang harus patah lebih dahulu!"
Habis berkata begitu Malaikat Maut Berkuda Putih langsung menerjang
Randu Ampel. Kedua tangannya meluncur ke arah leher, benar-benar
hendak mematahkan batang leher lelaki gila itu.
Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat Malaikat Maut Berkuda
Putih alias Suwo Perwono mengeluarkan seruan tertahan dan kaget
setangah mati. Selagi kedua tangannya meluncur setangah jalan, belum
lagi sempat menyentuh batang leher Randu Ampel, mendadak entah
bagaimana kejadiannya kedua tangan Randu Ampel membuat gerakan
yang sama dan tahu-tahu sepuluh jari berkuku panjang yang kukuh dan
kotor telah mencengkeram lawannya mendadak jadi dua kali lebih panjang
hingga lehernyalah yang kena dicekik lebih dulu.
Orang tua berjanggut putih itu meronta coba lepaskan diri. Namun
cekikan lawan keras sekali. Nafasnya mulai sesak. Lidahnya seperti mau
tercabut keluar dan sepasang matanya mendelik.
"Jangan bunuh dia!" tiba-tiba Puji berteriak.
Disaat yang sama Malaikat Maut Berkuda Putih hantamkan satu jotosan
ke dada Randu Ampel.
Buk! Jotosan mendarat tepat di pertengahan dada Randu Ampel. Lelaki ini
lepaskan cekikannya. Tubuhnya terpental beberapa langkah tapi kemudian
berdiri lagi seperti tidak terjadi apa-apa.
Suwo Permono usap batang lehernya dan memandang pada Randu
Ampel dengan rasa tak percaya. Pukulan yang dilepaskannya tadi
mengerahkan lebih dari dua pertiga tenaga dalam, tetapi lelaki gila itu
kelihatannya biasa-biasa saja. Orang lain mungkin sudah muntah darah!
Sebenarnya bukan pukulan orang tua itu yang membuat Randu Ampel
melepaskan cekikannya. Tetapi seruan Pujilah yang menyebabkan Randu
Ampel tidak meneruskan menghancur luluhkan batang leher Malaikat
Maut Berkuda Puith.
"Manusia edan! Siapa kau sebenarnya" Apa hubunganmu dengan
muridku"!" bentak orang tua berjanggut putih itu sambil pegangi lehernya
yang terasa sakit.
"Aku hanya seorang gila. Perempuan ini sahabatku!" jawab Randu
Ampel polos. "Puji! Kau tidak pantas bersahabat dengan lelaki gila ini!"
"Kenapa tidak" Kami senasib. Dan dia menolongku menangkap burung
untuk kami panggang dan santap bersama!"
"Hanya karena panggang burung kau mau bersahabat dengan dia"
Gila!" "Ini memang persahabatan orang-orang gila. Karenanya orang
sepertimu tak perlu ikut campur!"
Kata-kata Randu Ampel itu membuat Malaikat Maut Berkuda Putih
menjadi marah. Lagi pula dia masih penasaran akibat cekikan tadi. Maka
diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Kemudian lepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan sinar putih.
Pukulan ini menghantam ke arah kepala Randu Ampel. Puji berteriak
kaget. "Orang tua jahat!" teriak perempuan itu lalu melompat sambil kirimkan
tendang kaki kanan.
"Puji kau akan kualat berani menyerang gurumu sendiri!" seru Malaikat
Maut. "Tua bangka edan! Siapa bilang kau guruku!" Puji tetap teruskan
tendangannya ke perut si orang tua. Namun dengan mudah dapat
dielakkan. Sebaliknya pukulan sakti yang dilepaskan Malaikat Maut cepat
sekali datangnya ke arah kepala Randu Ampel. Sekali lagi Puji berteriak.
Seolah-olah baru sadar kalau dirinya diserang orang. Randu Ampel cabut
suling bambu di pinggangnya. Terdengar suara melengking keras ketika
suling itu dibabatnya ke depan menyongsong serangan lawan.
Duus! Sinar putih pukulan sakti mental ke atas, menghantam cabang-cabang
pohon hingga hancur bertaburan. Randu Ampel tampak melompat ke atas
dan jungkir balik di udara. Dilain kejap terdengar seruan Malaikat Maut
ketika ujung suling tiba-tiba menusuk ke arah batok kepalanya. Masih
untung dia cepat jatuhkan diri ke samping hingga hnaya destar putihnya
saja yang kena disodok robek oleh senjata lawan. Pucatlah paras orang tua
ini. "Lelaki gila ini bukan manusia sembarangan! Ternyata ilmunya tinggi
sekali! Hamoir tembus batok kepalaku!"
"Sahabat," kata Randu Ampel pada Puji. "Mari kita tinggalkan tempat
ini. Orang tua itu hanya mengganggu saja. Perjalanan kita masih jauh...."
Sambil berpegangan tangan kedua orang itu tinggalkan Malaikat Maut
Berkuda Putih, membuat si orang tua sesaat itu lagi termangu, namun
kemudian cepat-cepat dia mengejar.
"Tunggu! Kalian mau ke mana"!"
"Ke mana kami mau pergi apa urusanmu"!" hardik Puji.
"Puji,' membujuk Randu Ampel. "Katakan saja ke mana kita akan
pergi. Biar dia tidak mengganggu lagi!"
"Baiklah, akan kukatakan padamu orang tua. Kami pergi mencari
manusia bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah! Empat tahun lalu dia
menimbulkan bencana atas diriku. Begitu bertemu kami akan
membunuhnya!"
"Ah, ternyata muridku ini tidak melupakan peristiwa itu. ternyata dia
menyadari kalau harus membuat perhitungan dengan datuk keparat itu!"
Lalu dia bertanya: "Kalian akan mencari datuk itu ke mana?"
"Ke delapan penjuru angin. Masakan tidak berhasil!" jawab Puji.
"Dia berkepandaian tinggi. Kau dengan mudah dikalahkannya. Malah
dia kana mendatangkan bencana baru atas dirimu Puji," memperingatkan
sang guru. "Selama aku pergi dengan sahabatku ini, aku tidak takut dengan
siapapun. Dua orang gila mesakan kalah dengan orang datuk bejat!" jawab
Puji. Malaikat Maut Berkuda Putih terdiam. Menyaksikan sendiri tadi
kehebatan Randu Ampel dia yakin lelaki gila ini dapat mengalahkan Datuk
Iblis. Tetapi dia tahu betul, sang datuk tidak sendirian. Nenek sakti
bernama Kunti Kendil itu pasti akan membantunya. Mau tak mau orang
tua ini jadi menarik nafas dalam. Lalu berkata: "Kalau kalian berdua
merasa memang telah cocok seiring sejalan, aku tidak akan melarang.
Ketahuialah, aku telah beberapa kali menemui datuk itu. Setiap terjadi
perkelahian dia selalu berhasil mengalahkanku. Karenanya kalian berdua
harus berhati-hati. Akupun akan mencarinya di lain jurusan. Sebelum
manusia bejat itu mampus tidak tentram rasanya hidup ini! Kalian berdua
pergilah...."
Sepasang mata orang tua itu tampak berkaca-kaca. Empat tahun
lamanya dia mencari muridnya. Setelah bertemu tak banyak yang bisa
dilakukannya. Bahkan mereka kini berpisah secara mengecewakan. Yang
amat menyedihkan ialah Puji tidak mengenali dirinya lagi sebagai guru.
"Kasihan anak itu. mungkin sudah suratan jalan hidupnya..." kata
Malaikat Maut Berkuda Putih. Dia bersiul memanggil kudanya. Beberapa
saat dia duduk termenung di punggung binatang ini sebelum akhirnya dia
memutuskan untuk mengikuti perjalanan kedua orang gila itu secara diam-
diam. 3 RAHASIA DIBALIK LENYAPNYA MAYAT MAHESA
DALAM rahasia Makam Mahesa telah dituturkan bagaimana kaena
kurang periksa dan terdorong oleh cintanya terhadap Lembu Surah Datuk
Iblis Penghisap Darah, Kunti Kendil telah menunduh Mahesa yang
menyebabkan celaka atas diri suami si nenek. Pemuda tak berdosa itu
digantungkan kaki ke atas kepala ke bawah.
Pada pagi hari ke tiga, ketika Kunti Kendil menyangka Mahesa telah
menemui ajal, ternyata sosok tubuh pemuda itu lenyap dari cabang pohon
di mana dia digantung.
Kunti Kendil menaruh curiga Pendekar Muka Tengkoraklah yang telah
menyelamatkan atau mencuri mayat Mahesa. Setelah Lembu Surah
sembuh dari lukanya, kedua orang itu meninggalakn puncak Iyang untuk
mencari Pendekar Muka Tengkorak.
Di sebuah lembah sebelumnya si nenek menemukan satu kuburan yang
masih baru. Pada papan makam tertulis sederet kalimat yang menyatakan
bahwa yang dikubur di tempat itu adalah Mahesa, anak manusia malang
yang tak pernah kenal ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian
karena disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Beberapa
hari kemudian ketika Kunti Kendil kembali lagi ke tempat tesebut, makam
Mahesa lenyap. Di situ ditemukan sebuah papan pemberitahuan bahwa
untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan makam Mahesa dipindahkan ke
tempat lain. Sementara itu dari penjelasan yang didapat Kunti Kendil dari Lembu
Surah kemudian diketahui bahwa bukan Mahesalah yang telah mencelakai
lelaki itu, melainkan Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Rasa
penyesalan yang tidak terkira membuat Kunti Kendil seperti mau gila. Di
samping itu tekadnya sudah bulat untuk mencari dan membunuh Wirapati.
Namun yang dilakukannya lebih dulu ialah mencari tahu di mana jenazah
Mahesa dipindahkan. Bersama Lembu Surah dia pergi menemui Pendekar
Muka Tengkorak untuk mencari keterangan. Karena kakek sakti inilah
orang yang terakhir sekali muncul di puncak Iyang sebelum tubuh Mahesa
lenyap dari tali gantungan!
Adapun Pendekar Muka Tengkorak ketika ditemui di pantai selatan
tampak terkejut begitu mengetahui Mahesa telah meninggal dunia. Karena
Kunti Kendil tetap menuduh kakek itu ada sangkut paut dengan lenyapnya
mayat si pemuda meka pertengkaran yang disusul dengan perkelahian
tidak dapat dihindarkan.
Bagaimanapun hebatnya Kunti Kendil namun perkelahian satu lawan
satu melawan si kakek muka tengkorak tidak mungkin dapat dimenangkan
dengan mudah. Lembu Surah yang mengetahui hal ini segera membantu
istrinya. Dikeroyok dua membuat Pendekar Muka Tengkorak terdesak.
Meski akhirnya dia dapat dirobohkan namun dua lawannya terpaksa
meninggalkan tanpa berminat lagi meneruskan perkelahian.
Sementara Kunti Kendil dan Lembu Surah melanjutkan perjalanan
mencari makam Mahesa, kita ungkapkan dulu apa sebenarnya yang terjadi
dengan pemuda yang digantung di atas pohon itu.
Dini hari menjelang pagi hari ketiga, ketika Mahesa tidak sadarkan diri
lagi, sementara darah mengucur keluar dari hidung dan telinganya,
dikegelapan udara dingin tiba-tiba berkelebat gesit bayangan-bayangan
aneh. Cepat sekali gerakannya hingga dalam waktu singkat bayangan ini
ternyata adalah tujuh manusia katai telah mengelilingi pohon di mana
Mahesa digantung kaki ke atas kepala ke bawah.
"Hitam, lekas panjat pohon. Putuskan tali gantungan!" Orang katai
berbaju merah berkata pada orang katai berpakaian hitam. Suaranya halus
sekali, hampir sehalus hembusan angin. Hingga Kunti Kendil yang ada di
dalam pondok dan masih terbangun sama sekali tidak dapat
mendengarkannya.
Si katai berbaju hitam membuat gerakan aneh. Tubuhnya mencelat ke
atas cabang pohon. Dia menelungkup di atas cabang ini, ulurkan
kepalanya. Dengan gigi-giginya yang kecil-kecil hampir tak dapat
dipercaya, sekali mengigit saja tambang yang besar kuat itu putus. Di
sebelah bawah enam kawannya siap menangkap tubuh Mahesa yang jatuh.
Sesaat pemuda ini dibandingkan di tanah. Si katai berbaju coklat letakkan
telinganya di dada Mahesa.
"Bagaimana, masih hidup?" tanya si baju merah.
"Jantungnya masih berdegup. Tapi perlahan sekali..." jawab si baju
coklat. "Pemuda malang. Kita harus cepat-cepat membawanya dari sini. Putih,
hentikan darah yang keluar dari hidung dan telinganya. Kau Hijau totok
dadanya agar jantungnya berdegup lebih kencang!"
Sesuai dengan ucapan si katai baju merah maka orang katai berpakaian
putih segera menotok beberapa bagian di belakang kepala Mahesa. Lalu
kawannya yang mengenakan pakaian hijau menotok dada pemuda itu.
"Kita pergi sekarang!" kata si meah. Tubuh Mahesa mereka panggul
beramai-ramai. Cepat dan aneh sekali gerakan mereka. Juga tanpa
menimbulkan suara. Sesaat kemudian mereka sudah lenyap dari tempat
itu. Hampir fajar menyingsing mereka sudah berada jauh dari kaki
pegunungan Iyang, memasuki rimba belantara rapat di sebelah selatan.
"Sebelum kita sampai di telaga kecil itu, kita tak boleh berhenti!"
berkata si katai baju merah yang lari di sebelah depan. Kawan-kawannya
mejawab dengan lebih mempercepat lari.
Akhirnya mereka sampai disebuah telaga kecil berair warna-warni,
akibat pantulan daun-daun pepohonan disekitarnya. Dari dalam telaga
mengepul asap hangat tanda mata air di telaga itu adalah mata air panas.
Tubuh Mahesa dibaringkan ditepi telaga. Si merah memeriksa degup
jantung Mahesa. Degup jantung pemuda ini ternyata mulai mengencang
namun masih jau dari normal. Ketujuh manusia katai itu tampak berunding
sesaat. Kemudian mereka berpencaran. Tiga orang duduk disisi sebelah
kiri, tiga lainnya di sebelah kanan sedang yang ke tujuh yakni yang
berbaju putih duduk di belakang kepala Mahesa. Ketujuhnya mangulurkan
tangan lalu menempelkan telapak tangan masing-masing di atas tubuh dan
kening si pemuda. Secara serentak mereka memejamkan mata dan
kerahkan tanaga dalam masing-masing untuk kemudian disalurkan pada
kedua telapak tangan.
Tubuh Mahesa tampak mengepulkan asap berbau busuk. Ketika orang
katai berbaju putih memencet pipinya dari mulut Mahesa yang terbuka
membersit keluar darah kental.
Melihat darah yang keluar ini, si katai baju merah merasa lega.
"Nyawanya selamat," katanya. "Tapi kita masih harus melihat apakah dia
bakalan lumpuh atau tidak. Seperti maklum akan maksud anggukan itu,
orang katai yang disebelahnya yakni yang berpakaian warna biru cepat
berdiri. Dia melangkah mendekati sebatang pohon berbatang tinggi lurus.
Tangan kanannya bergerak menghantam batang pohon sebelah bawah.
Kraak! Luar biasa. Tangan yang begitu kecil sanggup menghancurkan batang
besar hingga pohon itu tumbang dan jatuh melintang tepat di atas telaga
kecil berair panas.
Tubuh Mahesa kemudian mereka gotong ke tengah telaga. Ketiganya
diikatkan ke belakang pada batang pohon sedang sekujur tubuhnya sebatas
leher ke bawah di masukkan ke dalam air telaga. Dua orang katai duduk di
kiri kanan kepala pemuda itu sambil bergantian menyiramkan air telaga
yang diciduk dengan daun ke atas kepala Mahesa. Sampai sore tiba
pemuda itu masih belum siuman.
Manusia katai berbaju merah menunjukkan wajah khawatir. "Jika
sampai tengah malam nanti dia tidak sadar, berarti seumur hidupnya dia
tetap pingsan dan lumpuh!"
Enam manusia katai lainnya terdiam. Yang berbaju coklat kemudian
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuka mulut. "Bagaimana dengan rencana kita untuk memberi
pelajaran pada nenek-nenek yang ringan tangan itu...?"
"Rencana tetap kita jalankan tapi baru selewatnya tengah malam nanti.
Bila sudah ada kepastian pemuda ini bisa diselamatkan atau tidak. Saat ini
nenek itu pasti sudah mengetahui lenyapnya tubuh pemuda ini..."
"Pasti dia kelabakan!" kata si katai baju hitam.
Menjelang tengah malam si katai yang duduk menyirami kepala
Mahesa dengan air telaga tiba-tiba terdengar berseru: "Kawan-kawan!
Pemuda ini keluarkan suara mengeluh!"
Seruan itu disambut dengan sorak gembira enam manusia katai lainnya.
Mereka lari meniti batang pohon dan memperhatikan Mahesa dari dekat.
Memang saat itu dari mulut pemuda ini mulai terdengar suara seperti
mengerang. Si katai baju merah memijit tubuh Mahesa di beberapa bagian.
Tak lama kemudian meskipun sedikit, kelihatan kedua mata Mahesa
bergerak. "Dia mulai membuka mata!" seru salah seorang dari tujuh manusia
katai itu. Si baju merah kembali memijit tubuh Mahesa. Suara erangan pemuda
ini makin keras. Matanya membuka tambah lebar. Kemudian terdengar
suara air telaga bergemeracak.
"Dia menggerakkan kedua kakinya!" seru si katai baju hitam.
Si katai baju merah menarik nafas lega.
"Angkat tubuhnya!"
Ikatan pada kedua tangan Mahesa dilepaskan. Tubuh pemuda ini
diangkat dari dalam air lalu dibaringkan ditepi telaga. Dadanya tampak
turun naik. Si baju merah kembali memijit beberapa bagian tubuh pemuda
itu. Dalam keadaan mulai sadar Mahesa berusaha bangkit. Namun baru
sampai duduk tubuhnya terhempas kembali.
"Orang muda, kau masih lemas. Sebaiknya berbaring saja dulu," kata si
katai baju merah.
Seumur hidupnya baru sekali itu Mahesa mendengar suara manusia
sehalus suara nyamuk. Benarkah suara manusia atau suara apa" Dibukanya
matanya lebih lebar. Yang dilihatnya mula-mula hanya kegelapan. Lalu
pohon-pohon besar. Di atas pohon sana tampak langit menghitam. Lalu
disampingnya dilihatnya banyak sekali kepala-kepala dan tubuh-tubuh
kecil. "Di mana aku.... Kalian siapa...?" suara pemuda itu serak parau.
"Kawan tak perlu khawatir. Kau berada di tempat aman. Kami semua
sahabat-sahabatmu..."
"Ka... kalian ini anak-anak atau..." Kalian manusia atau tuyul...?"
Tujuh manusia katai itu tertawa cekikikan.
"Kami bukan tuyul. Kalau tuyul kepalanya gundul!" berkata si katai
baju coklat. Kembali kawan-kawannya tertawa riuh oleh ucapan teman-
temannya. "Orang muda, sakit kepalamu akan segera hilang. Minum dulu air
telaga ini..." salah seorang dari manusia-manusia katai itu menuangkan air
telaga dari dalam daun ke mulut Mahesa. Rasa hausnya kini terobat.
"Aku lapar..." bisik Mahesa.
"Kami tak punya makanan. Besok kalau sudah terang kami akan
carikan makanan untukmu. Sekarang sebaiknya kau minum dulu obat ini
lalu tidur."
Si katai baju putih mengeluarkan sebuah obat berbentuk butiran sebesar
ujung kelingking. Obat ini dimasukkannya ke dalam mulut Mahesa. Begitu
tertelan Mahesa merasakan perutnya panas.
"Kau memberiku racun...?"
"Pemuda tolol! Setelah kami tolong masakan kau kami racuni"!" sahut
si katai baju merah. "Sekarang sebaiknya kau tidur," lalu jari telunjuknya
yang kecil ditekankan ke kening Mahesa diantara dua alis. Aneh begitu
ditekan begitu Mahesa merasakan matanya menjadi berat. Pemuda ini
akhirnya tertidur.
Begitu Mahesa tertidur, si katai baju merah berkata pada kawan-
kawannya: "Sekarang empat orang dari kalian lakukan apa yang menjadi
rencana kita. Dua lainnya tetap bersamaku di sini menjaga pemuda ini.
Hitam, Biru, Coklat dan Hijau, kalian segera berangkat. Cari tempat yang
baik. Harus tidak terlalu jauh dari kaki gunung Iyang. Jangan lupa untuk
menyalakan api agar asapnya dapat menarik perhatian orang yangkita
maksud." Maka keempat manusia katai itu segera meninggalkan telaga.
Berkelebat dalamkegelapan malam. Keesokan paginya mereka sampai di
bagian utara kaki pegunungan Iyang. Daerah ini selain berpemandangan
indah, bukit dan lembahnya tidak tertutup rimba belantara rapat seperti di
daerah timur atau barat. Karenanya banyak ditempuh orang dalam
perjalankan. Di sebuah sungai kecil si hitam dan kawan-kawannya
berhenti. Setelah memandang berkeliling sebentar si hitam berkata:
"Tempat ini kurasa cukup baik. Mari kita mulai bekerja."
Keempat orang itupun menggali tanah merah dari tepi sungai lalu
menumpuknya di bagian tepi sungai yang lain sehingga menyerupai
berbentuk nisan. Lalu si hijau menggurat sederetan tulisan pada papan itu
yang berbunyi: Di sini dimakamkan
Mahesa Anak manusia yang malang. Yang tak pernah kenal kenal
ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian
dengan pasrah, mati disiksa untuk perbuatan yang
tak pernah dilakukannya.
"Beres! Sekarang nyalakan api. Setiap orang yang lewat disekitar
lembah ini akan melihat kepulan asap. Pasti akan datang kemari. Kita
tunggu saja..."
Empat orang katai itu mengumpulkan kayu-kayu kering. Setelah
terkumpul mereka segera menyalakan api. Kepulan asap mengepul tinggi
ke udara. Selama empat hari menunggu tak seorangpun muncul di tempat
itu. hari kelima seorang penunggang kuda datang. Orang ini kelihatannya
seperti seorang pedagang kerana membawa banyak barang.
Dia memperhatikan kuburan di tepi sungai itu sebentar lalu melanjutkan
perjalanan. Memasuki hari ke tujuh empat orang katai yang menunggu-nunggu di
tempat itu mulai merasa jenuh.
"Kalau sampai satu bulan nenek peot itu tidak muncul, kita bisa
berlumutan menunggu di sini," kata si hijau.
"Kayu kering mulai susah dicari. Sejak dua hari ini hujan grimis turun
trus," menimpali si katai berpakaian hitam.
Tapi si katai berpakaian coklat menjawab memberi semangat. "Kita tak
boleh putus asa. Orang yang kita tunggu pasti muncul. Mungkin nenek itu
masih mengurusi luka si kakek. Maklum masih pengantin baru. Hik...
hik... hil!"
Empat orang katai itu tertawa gelak-gelak.
Pada hari ke delapan, menjelang tengah hari si katai baju hitam yang
duduk uncang-uncang kaki di atas cabang pohon tiba-tiba melesat turun ke
bawah. Pada tiga temannya dia berkata: "Ada orang yang datang dari bibir
lembah sebelah sana. Gerak-gerikanya seperti nenek brengsek itu. lekas
sembunyi!"
Si hijau terlebih dulu menghilangkan jejak-jejak yang bisa
menimbulkan kecurigaan. Lalu dia melompat menyusul tiga kawannya ke
atas pohon besar, bersembunyi dibalik kerapatan dedaunan. Mereka
menunggu. Tak lama kemudian berkelebatlah sesosok berambut putih
panjang awut-awutan, bertubuh bungkuk, melangkah terpincang-pincang
ke arah tumpukan tanah merah berbentuk kuburan.
Nenek ini yang bukan lain adalah Kunti Kendil, guru Mahesa tegak di
depan kubur dengan wajah pucat dan tenggorokan naik turun. Kedua
matanya menyipit ketika membaca apa yang tertera pada papan yang
ditancapkan di kepala kubur. Dadanya kemudian terasa sesak dan sepasang
kakinya bergetar. Mata yang tadi menyipit kini membelalak hampir tak
berkesip. "Jadi... ternyata anak setan itu sudah mati!" kata Kunti Kendil dalam
hati. "Heran, siapa yang membawa mayatnya ke sini" Siapa yang
menguburkan" Lalu siapa pula yang membuat papan nisan bertuliskan
kata-kata sialan itu" mati disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah
dilakukannya! Gila!"
Kunti Kendil melangkah mundar-mandir di depan makam. Ada rasa
menendang kuburan dan papan nisan itu. Namun niat itu tak dilakukannya.
Setelah menggerendeng dalam hati nenek ini akhirnya tinggalkan tempat
itu, kembali ke pondoknya di puncak pegunungan Iyang.
Hampir tiga minggu kemudian Lembu Surah sembuh dari lukanya. Kini
dia menjadi manusia cacat seumur hidup, buntung tangan kanannya
sebatas bahu. Pada saat itulah Kunti Kendil mendapat penjelasan bahwa
yang mencelakakan suaminya itu bukan Mahesa, melainkan Wirapati. Hal
ini sangat mengejutkan si nenek. Berarti dia telah kesalahan tangan. Dan
orang itu Mahesa kini sudah mati. Makamnya ditemuinya di lembah tiga
minggu lalu. Bersama Lembu Surah nenek itu kemudian meninggalkan
tempat kediamannya, pergi ke lembah untuk mengunjungi makam
muridnya yang malang itu.
Namun yang ditemui Kunti Kendil di tempat itu hanyalah sebuah papan
bertuliskan pemberitahuan: Untuk menjaga hal-hal yang tidak di inginkan
makam Mahesa telah dipindahkan ke tempat lain! Makam pemuda
memang tak ada lagi di tempat tersebut. Lenyap entah ke mana!
Kunti Kendil seperti mau gila. Dia memutuskan untuk tidak kembali ke
puncak Iyang. Dia harus mengetahui di mana makam Mahesa kini. Dia
menaruh syak wasangka bahwa Pendekar Muka Tengkoraklah yang
mencuri mayat muridnya itu, menguburkannya lalu bersama Lembu Surah
si nenek mencari kakek muka terngkorak. Sementara itu empat orang katai
yang sesungguhnya melakukan semua itu tertawa gelak-gelak.
"Sekarang dia rasakan," kata si katai baju hijau. "Sebelum nenek itu
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi selama itu pula dia dihantui rasa
menyesal!"
4 KITAB TUJUH JURUS ILMU SILAT ORANG KATAI
TUJUH manusia katai itu duduk mengelilingi Mahesa. Wajah mereka
yang tadi ceria dan banyak tawa kini tampak redup. Ini karena mereka tahu
bahwa pemuda itu akan segera meninggalkan mereka. Berpisah setelah
hampir selama sepuluh hari mereka berkumpul, menolong dan merawat
pemuda itu. kini Mahesa telah sembuh dan berniat meninggalkan mereka,
pergi untuk berbagai urusan yang harus dilakukannya.
Mahesa pandangi wajah-wajah lucu di hadapannya. Lalu mengeluarkan
rokok kawung, membagi-bagikan pada ketujuh orang katai itu dan masing-
masing mereka mulai menghisap. Dibagi rokok seperti itu biasanya
mereka senang sekali, namun sekali ini nampak wajah mereka tetap
muram. "Sahabat-sahabat," kata Mahesa, "Aku tahu kalian ingin sama-sama
terus. Tetapi itu adalah tidak mungkin. Masing-masing kita punya tugas
yang harus dilakukan. Aku pergi tetapi terlebih dulu aku mengucapkan
banyak terima kasih. Kalian telah menyelamatkan nyawaku. Kalian
kemudian merawatku hingga aku sembuh. Berarti aku berhutang budi dan
berhutang nyawa terhadap kalian. Entah kapan aku bisa membalasnya..."
"Kami menolong tidak mengharap balasan. Semua karena kami merasa
itu menjadi kewajiban kami..." menjawab si baju merah.
"Aku mengerti. Aku tidak akan melupakan kalian. Kapanpun kita pasti
akan bertemu lagi..."
Si baju merah dan kawan-kawanya duduk termangu. Lalu si hitam
bertanya: "Apakah kau akan mencari gurumu?"
"Dia pasti tidak ada di puncak Iyang," jawab Mahesa yang tak mau
menjawab ya atau tidak. Namun dalam hatinya menemui gurunya lagi. Dia
Hina Kelana 24 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Pendekar Muka Buruk 17
1 ORANG GILA KETEMU ORANG GILA
KOPI dan gula dalam telapak tangan Randu Ampel langsung mencair.
Air mendidih yang dituangkan mengepulkan asap panas. Lima prajurit
Kadipaten Lumajang mendelik kaget ketika melihat Randu Ampel tetap
tegak berdiri tanpa kesakitan. Tangannya yang disiram air mendidih sama
sekali tidak melepuh atau cidera! Malah genangan air panas bercampur
kopi dan gula di atas kedua telapak tangannya itu enak saja dihirupnya
hingga habis. Sisa-sisa gula dan kopi dijilat-jilatnya dengan ujung lidah.
"Sedap sekali kopi kalian.... Aku minta lagi...!" kata Randu Ampel lalu
ulurkan kedua tangannya.
Prajurit yang tadi menuangkan air mendidih berpaling pada kawan-
kawannya, lalu melangkah mundur.
"Jangan-jangan manusia ini mahkluk jejadian..." berbisik salah seorang
dari lima prajurit itu.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini cepat-cepat!" kawannya yang di
samping kiri balas berbisik.
"Hai! Aku minta kopi, kalian malah pergi!" teriak Randu Ampel ketika
melihat lima orang di hadapannya itu mundur, mundur lalu membalikkan
tubuh dan lari berhamburan.
"Keparat! Kalian mempermainkanku! Kalian pasti kaki tangan Mangun
Aryo!" kembali Randu Ampel berteriak. Kali ini disertai kemarahan.
Tubuhnya melompat ke depan, laksana terbang, melayang ke arah lima
prajurit yang lari berserabutan itu.
"Mampus!"
Duk! Buk! Dua prajurit mental dan terjerembab di tanah. Yang pertama hancur
tengkuknya di hantam tumit Randu Ampel. Yang kedua patah
pinggangnya kena tendangan kaki kiri lelaki miring itu.
"Dia membunuh Seta dan Gana!" teriak prajurit di ujung kanan.
Bersama kedua tanganya, kalau sebelumnya mereka merasa takut, kini
melihat kematian dua kawannya itu, ketiganya berubah marah dan cabut
golok masing-masing.
Randu Ampel masih menjilati sisa-sisa gula dan kopi di telapak tangan
kanannya ketika ke tiga prajurit itu menyerbunya dari tiga jurusan.
"Jurus ke sembilan!" teriak Randu Ampel coba mengingat jurus silat
yang ke sembilan, yang dipelajarinya di dalam goa. Tangan kanannya
menghantam ke depan. Tubuhnya dirundukkan. Berbarengan dengan itu
kaki kirinya membabat kemuka. Dua lawan yang mengeroyok menjerit.
Yang pertama terbanting ke tanah, muntah darah dan melingkar tak
bergerak lagi begitu dadanya kena jotosan. Tulang iganya patah,
jantungnya ditembus patahan tulang iga sendiri. Yang satu lagi pecah
lambungnya dihantam tendangan. Serangan golok prajurit ke tiga
dielakkan mudah dan lewat di atas kepalanya.
Saat itulah Randu Ampel mulai menyadari bahwa dalam dirinya
tersimpan satu kekuatan hebat luar biasa. Seperti karanjingan untuk
membuktikan kehebatan itu dia menghadang prajurit ke lima yang kini
ketakutan setangah mati dan hendak melarikan diri.
"Mau lari" Ha... ha! Larilah!" sentak Randu Ampel.
Begitu prajurit itu balikkan tubuh dan lari sejauh setengah tombak
Randu Ampel pukulkan tangan kanannya ke depan, ke arah punggung
orang yang lari. Sesaat kemudian orang itu mencelat mental dan terguling
roboh di tanah. Dia hanya sempat mengeluarkan satu jeritan keras, lalu dia
tak berkutik lagi. Mati dengan punggung hancur sampai ke dada!
"Hah"!"
Randu ampel berteriak kaget dan heran! Dia memandang tangan
kanannya lalu memandangi lima sosok tubuh yang mati bergelimpangan.
Begitu berulag kali dengan rasa tak percaya. Tiba-tiba dia berteriak keras.
"Tanganku kuat! Aku jadi orang hebat! aku punya ilmu! Mangun Aryo!
Sekarang mampus kau! Mampus!" lalu Randu Ampel memukul batang
pohon di samping kanannya. Braak! Batang itu patah dan pohonnya
tumbang Randu Ampel tendangkan kaki kiri ke pohon lain di sebelahnya.
Braaak! Pohon itu juga remuk dan tumbang!
"Ha... ha... ha...! Mangun Aryo! Tunggu pembalasanku! Fitnah
kembali kepada fitnah!" teriak Randu Ampel lagi. Diluar sadar, saking
girangnya lelaki ini melompat ke atas. "Hup! Hai! Aneh! Tubuhnya seperti
melayang, tinggi sekali. Karena agak gamang dia menggapai kian kemari
sampai akhirnya dia terduduk di atas sebatang cabang pohon yang sangat
kecil. Janganlah manusia seekor kucingpun jika bertumpanga di atas
cabang kecil itu, pasti cabang tersebut akan terkulai ke bawah bahkan
mungkin patah karena cabang itu selain kecil juga sudah lapuk. Tapi
hebatnya justru Randu Ampel bisa duduk. Bahkan ketika gamangnya
mulai hilang dan dia mulai biasa, lelaki ini duduk sambil uncang-uncang
kaki. Dia ingat pada sulingnya. Keluarkan benda ini dan meniup
melengking-lengking!
Begitulah mulai hari itu dalam benak Randu Ampel hanya ada satu
tekad untuk dilakukan mencari Mangun Aryo, orang yang bukan saja telah
mencelakakan dirinya tetapi juga menjadi penyebab kematian istrinya.
Maka diapun melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo.
Meskipun otaknya tidak sehat lagi, namun apa yang terjadi delapan
belas tahun lalu di Probolinggo tak pernah pupus dalam ingatan Randu
Ampel. Peristiwa pembunuhan kejam yang dilakukannya terhadap istrinya
di kota itu membuat lelaki ini tidak mau memasuki kota mendatangi rumah
kediaman Mangun Aryo yang kini menjadi Adipati itu. dia berhanti di
sebuah puncak bukit yang terletak di luar kota. Dia memutuskan
menunggu kemungkinan Mangun Aryo di situ. Memang untuk
Probolinggo ada empat jurusan keluar masuk. Pertama di sebelah utara
yang menghubungkan kota dengan pantai. Di sebelah timur, lalu di sebelah
selatan dan terakhir di sebelah barat. Dari ke empat jurusan itu, yang di
sebelah baratlah paling ramai di lalui. Setiap orang yang mengambil arah
itu pasti akan melewati daerah bebukitan di mana Randu Ampel
melakukan pencegatan. Tetapi sampai beberapa lamakan dia harus
mendekam di situ menunggu kemunculan Mangun Aryo" Hal ini agaknya
tidak menjadi masalah bagi Randu Ampel. Dia akan menunggu sekalipun
sampai gunung Mahameru meletus. Kalau perlu bahkan sampai kiamat!
Belasan hari telah lewat sejak Randu Ampel sampai di puncak bukit di
luar kota. Siang hari dia kepanasan. Malam hari kedinginan berselimut
embun. Keadaan tubuhnya semakin kotor menjijikan. Tampangnya tambah
menyeramkan. Makannya sama sekali tidak menentu. Satu-satunya teman
setianya adalah suling bambu yang acap kali ditiupnya dalam irama aneh
tak menentu. Terkadang dia duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar,
atau meringkuk tidur di atas cabang-cabangnya yang rindang. Terkadang
dia menyusup masuk ke balik batang-batang pohon bambu yang banyak
tumbuh di sana. Kalau lagi asyik meniup suling tak jarang dia duduk
seperti bersila, mengapung di udara dengan sepasang lutut dan punggung
menempel pada tiga batang bambu.
Orang-orang yang melewati bukit itu kebanyakan menduga Randu
Ampel hanyalah seorang gila yang datang entah dari mana dan terpesat di
situ. Namun banyak juga yang merasa heran melihat bagaimana dia bisa
duduk secara aneh diantara tiga btang bambu seperti itu. hanya karena
mereka tidak punya banyak waktu untuk menyelidiki maka orang-orang
itu akhirnya berlalu begitu saja. Paling-paling sambil gelengkan kepala.
Kesabaran Randu Ampel menunggu musuh besarnya di puncak bukit
itu ternyata tidak sia-sia. Pada hari ke tiga belas, disuatu rembang petang
Mangun Aryo yang ditemani oleh kepala pengawal Kadipaten yaitu
Rangga baru saja kembali dari perjalanan menemui Embah Bromo
Tunggal di puncak gunung Bromo.
Di bebukitan kedua orang ini mendengar suara tiupan suling aneh.
Semula Rangga menyangka itu hanya tiupan suling seorang penggembala.
Tetapi Mangun Aryo berhadapan meniup suling demikian hingga
menyakitkan liang telinga dan mendebarkan dada. Begitu sampai di
puncak bukit mereka hantikan kuda dan memandang ke arah pohon-pohon
bambu dengan perasaan terkejut, heran tapi sekaligus juga bercampur rasa
tidak enak. Orang yang meniup suling itu mereka saksikan duduk mengapung
diantara tiga batang pohon bambu. Dia mengenakan celana hitam bergaris
kuning, memakai topi hitam tinggi. Orang ini tidak mengenakan baju. Di
lehernya tergantung sebuah kalung bergambar burung bermahkotakan
yang merentangkan kedua sayapnya. Wajahnya cekung, kotor penuh debu.
Sepasang matanya agak kemerahan. Kumis serta janggutnya meranggas.
Keseluruhan tampangnya mengerikan untuk dipandang.
Karena merasa tidak enak, Mangun Aryo mengajak Rangga untuk
meninggalkan bukit itu cepat-cepat. Tetapi maksud mereka tertahan karena
mendadak orang di atas pohon bambu keluarkan nyanyian aneh. Bait-bait
di dalam nyanyian itu jelas mengungkapkan peristiwa delapan belas tahun
yang silam. Ketika Probolinggo dihebohkan oleh peristiwa pembunuhan
kejam yang dilakukan Randu Ampel. Siapakah sebenarnya orang gila ini,
begitu Mangun Aryo bertanya-tanya. Dalam pada itu orang aneh itu secara
mendadak menyerang kuda yang ditunggangi Mangun Aryo hingga
binatang itu melompat tinggi lalu melarikan diri. Sementara itu Rangga
tiba-tiba pula menjadi kejang karena ditotok secara anreh.
Puncak dari semua keanehan itu meledak ketika orang gila tadi
mengatakan bahwa dia adalah Randu Ampel yang dicelakai oleh Mangun
Aryo delapan belas tahun silam dengan ilmu hitam hanya karena
menginginkan jabatan Adipati Probolinggo.
Sebenarnya Mangun Aryo bukanlah manusia pengecut. Namun
menghadapi orang gila seperti itu yang bisa berbuat nekad semaunya, mau
tak mau dia mementingkan cari selamat lebih dulu. Maka diapun
melarikan diri. Akan tetapi sekali mengejar Randu Ampel berhasil
menangkap tangan kanan Adipati Probolinggo itu. sekali remas saja
hancurlah tulang lengan lelaki itu, persendiannya copot! Satu demi satu
anggota tubuh Mangun Aryo dihancur luluhkan. Kemudian dengan kuku
jarinya yang panjang keras, Randu Ampel merobek perut musuh besarnya
itu hingga isi perutnya berbuaian keluar. Mangun Aryo akhirnya menemui
ajal dalam keadaan mengerikan disaksikan oleh kepala pengawalnya.
(Untuk jelasnya peristiwa ini dapat dibaca dalam episode IV)
Setelah membalaskan dendam kesumat dan membunuh Mangun Aryo
maka kini muncul niat dibenak Randu Ampel untuk mencari Embah
Bromo Tunggal. Dukun jahat inilah yang memegang peranan utama atas
bencana yang menimpa diri dan istrinya. Meskipun Mangun Aryo yang
punya mau, tetapi jika Embah Bromo Tunggal tidak turun tangan,
peristiwa mengerikan itu tak akan terjadi. Karenanya seperti juga Mangun
Aryo, dukun keparat itu juga harus mampus.
Tidak sulit bagi Randu Ampel untuk mencari sang dukun, Bromo
Tunggal yang nama aslinya Roko Nuwu itu meskipun sering berkeliaran di
rimba hijau persilatan tetapi lebih banyak mendekam di tempat
kediamannya di puncak gunung Bromo, menunggu orang-orang yang
datang meminta "tolong" atau menanti berbagai macam ramuan obat aneh.
Suatu hari, dia tengah kedatangan suruhan Rangga. Padahal saat itu dia
sudah siap untuk memasukkan tubuh Mahesa yang berhasil diculiknya ke
dalam sebuah belanga besar untuk digodok bersama obat yang sedang
diramunya. Mendadak muncul Pendekar Muka Tengkorak. Tokoh silat
kelas satu ini sengaja datang ke puncak Bromo untuk menghukum si
dukun jahat. Beberapa waktu yang lalu Embah Bromo Tunggal telah
menipu Pendekar Muka Tengkorak dan mendekam kakek sakti itu
dibawah sebuah arca batu besar. Secara tak sengaja Mahesa kemudian
menolong orang tua itu hingga dia kemudian dihadiahi sepertiga tenaga
dalam. (Baca episode III) Selain menguburnya hidup-hidup dibawah arca
batu itu, Embah Bromo Tunggal juga melarikan sebuah kitab silat yang
mereka temukan bersama.
Perkelahian antara Pendekar Muka Tengkorak dan Embah Bromo
Tunggal tidak terelakan lagi. Meskipun si kakek muka tengkorak memiliki
ilmu silat yang lebih tinggi dari lawannya, namun dia tak berdaya ketika
Embah Bromo Tunggal keluarkan mahkluk jejadiannya yang bernama
Longga. Selagi Pendekar Muka Tengkorak kelabakan menghadapi
mahkluk itu, Embah Bromo Tunggal pergunakan kesempatan untuk
melarikan diri. Dengan susah payah dan dengan kecerdikan akhirnya
Pendekar Muka Tengkorak berhasil memusnahkan Longga.
Baru saja kakek itu berhasil menghancurkan lawan dan sekaligus
menyelamatkan Mahesa dari maksud Embah Bromo Tunggal yang ganas
mendadak muncullah seorang lelaki berpakaian aneh, tubuh kotor dan
muka menyeramkan. Orang ini yang ternyata memiliki kepandaian sangat
tinggi celakanya mengira si Pendekar Muka Tengkorak adalah Embah
Bromo Tunggal yang tegah dicarnya. Bagaimanapun Pendekar Muka
Tengkorak mengatakan bahwa dia bukan Bromo Tunggal si dukun jahat
itu, tetap saja orang tersebut tidak percaya.
Maka terjadilah pertempuran antara keduanya. Orang ini, yang bukan
lain adalah Randu Ampel memiliki kehebatan luar biasa hingga Pendekar
Muka Tengkorak harus bertahan mati-matian. Setelah pukulan jurus
berkelahi kakek ini akhirnya tidak dapat mempertahankan diri. Sesaat lagi
dia hampir menemui ajal oleh cekikan Randu Ampel, Mahesa yang baru
saja siuman dari pingsannya cepat berteriak memberi tahu bahwa si kakek
bukanlah Embah Bromo Tunggal musuh besarnya.
Mendengar teriakan Mahesa itu, apalagi karena dirinya dipanggil
dengan sebutan ayah kagetlah Randu Ampel. Dia lepaskan cekikan
mautnya di leher Pendekar Muka Tengkorak, memandang sejurus pada
Mahesa lalu tanpa berkata apa-apa tinggalkan puncak gunung Bromo.
Keseluruhan peristiwa di tempat kediaman Embah Bromo Tunggal itu
dapat anda ikuti kembali dalam episode V.
Randu Ampel lari meninggalkan puncak gunung Bromo dengan
perasaan campur aduk. Pertama dia masih tidak yakin kalau kakek kurus
bermuka tengkorak itu bukan si dukun jahat yang delapan belas tahun lalu
menjatuhkan musibah keji atas dirinya. Lalu jika dia berkeyakinan begitu
mengapa dia mau mengikuti dan mempercayai ucapan pemuda itu"
Mengapa dia memanggilnya dengan sebutan ayah" Apa benar pemuda itu
anaknya" Seperti ada pancaran hawa aneh dari sepasang mata pemuda itu.
"Seharusnya kubunuh dia! Dia berani menghalangi maksudku
membunuh dukun jahat itu!" kata Randu Ampel dalam hati. Kemudian
terdengar suaranya tertawa tergelak. "Gila! Semua gila! Isi dunia ini sudah
gila semua!"
Lelaki gila berkepandaian tinggi itu tidak sadar entah sudah berapa jauh
dan lama berlari. Dia baru berhenti ketika didapatinya hari yang tadi terang
kini telah berubah mulai gelap. Ternyata siang telah berganti sore dan sore
mulai memasuki malam. Randu Ampel dapatkan dirinya berada di bibir
sebuah lembah yang terletak dalam rimba belantara. Perlahan-lahan dia
dudukkan diri di bawah sebatang pohon. Tenggorokannya terasa kering,
haus. Dia coba memejamkan mata. Kembali seperti terngiang di telinganya
sebutan ayah yang diucapkan pemuda di tempat kediaman Embah Bromo
Tunggal itu. Sebutan itu serta pancaran yang keluar dari sepasang mata si
pemuda tidak pernah pupus dari dalam dirinya, seperti selalu mengikuti ke
mana dia pergi.
Ketika pelahan-lahan Randu Ampel membuka matanya kembali, jauh di
dasar lembah dilihatnya seperti ada nyala api. Diperhatikannya baik-baik.
Memang benar nyala api. Serta merta dia berdiri lalu lari ke bawah
lembah, menuju arah nyala api. Sebentar saja dia sudah sampai di tempat
itu. Di belakang nyala api Randu Ampel melihat seorang perempuan
berambut panjang duduk mencangkung. Meski tidak keseluruhan
wajahnya diterangi nyala api namun jelas dia memiliki paras ayu, berkulit
langsat. Pakaiannya penuh tambalan. Seperti Randu Ampel keadaan
dirinya tidak terpelihara.
Perempuan tidak dikenal ini paling tinggi berusia setengah usia Randu
Ampel. Dia duduk memegangi sebatang ranting kecil, menghadapi
perapian dan asyik membalik-balik benda lonjong berwarna hitam.
Rupanya dia tengah memanggang sesuatu. Tetapi ketika Randu Ampel
memperhatikan benda yang dipanggang perempuan itu diapun jadi
tertawa. Meskipun gila namun Randu Ampel masih dapat membedakan
mana makanan dan mana bukan. Perempuan itu tengah memanggang
sebuah batu!
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perempuan gila!" kata Randu Ampel dalam hati. Lalu diapun menegur:
Hai! Untuk apa kau memanggan batu itu" Sampai kapanpun tak akan
lunak dan bisa dimakan!"
Orang di depan perapian tidak berpaling ataupun menjawab. Dia terus
saja membalik-balikkan batu hitam itu dengan ujung ranting.
"Orang bertanya apakah kau tidak mendengar" Aku yang tuli atau kau
yang gagu"!" ujar Randu Ampel.
"Aku tidak gagu, kau tidak tuli. Soalnya siapa bertanya siapa?" tiba-tiba
perempuan itu membuka mulut. Suaranya perlahan dingin.
Randu Ampel tertawa.
"Namaku Randu Ampel!" katanya memperkenalkan diri.
"Ada banyak orang bernama seperti itu. Kau Randu Ampel yang
mana?" tanya si perempuan. Dalam bicara dia sama sekali tidak
memandang pada Randu Ampel, melainkan saja menunduk asyik
memandangi batu hitam yang dibalik-baliknya di atas potongan-potongan
kayu perapian. "Aku... aku Randu Ampel yang mana ya?" kata lelaki itu seperti
bertanya pada diri sendiri. Lalu dijawabnya sendiri. "Mudah saja. Aku
Randu Ampel yang gila! Ha... ha... ha...!"
"Hik... hik...!" Perempuan itu ikut-ikutan tertawa. "Kalau begitu kita
sama!" katanya kemudian.
"Apanya yang sama?" tanya Randu Ampel.
"Gilanya! Kita sama-sama gila!"
Randu Ampel kerenyitkan kening lalu kembali tertawa. Kali ini tertawa
bergelak dan panjang. Perempuan di hadapannya juga ikut tertawa, malah
lebih tinggi dan lebih panjang. Ketika Randu Ampel menghentikan
tawanya, perempuan itupun hentikan tawanya pula.
"Untuk apa kau memanggang batu itu?" bertanya Randu Ampel.
"Perutku lapar!"
"Heh, memangnya batu itu bisa kau makan?"
"Tidak! Semua oran tahu batu tidak bisa dimakan! Jangan diajukan
pertanyaan tolol!"
"Lalu kenapa kau membakarnya?" tanya Randu Ampel. Kalau orang
lain memakinya dengan kata-kata tolol begitu mungkin sudah ditendang
atau ditamparnya.
"Untuk mengurangi rasa lapar," jawab perempuan itu.
"Aneh, aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin bisa mengurangi lapar
dengan jalan membakar batu..."!" Randu Ampel geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu rupanya kau memang orang tolol!" kembali perempuan
itu memaki Randu Ampel. "Apa kau tidak mendengar ucapan. Membagi
pikiran untuk menghilangkan pikiran. Membagi perasaan untuk
menghilangkan perasaan....?"
"Ucapan orang gila mana itu"!" ejek Randu Ampel.
"Percuma kau jadi orang gila kalau tidak mengerti ucapan orang gila!"
balas mengejek si perempuan.
Perempuan itu mencibir seolah-olah mengejek. Lalu katanya:
"Pengertiannya mudah saja. Untuk menghilangkan pikiran yang
mengganggu kira harus mengarahkan sebagian pikiran pada hal lain.
Dengan begitu pikiran yang mengganggu jadi terpecah dan lenyap. Jika
ada perasaan yang mengganggu, kita harus mengarahkan perasaan pada
hal lain hingga perasaan yang mengganggu jadi musnah! Begitu...!"
"Lalu apa hubungannya perutmu yang lapar dengan batu yang kau
panggang!" Randu Ampel tetap masih belum mengerti.
"Benar-benar tolol! Perutku lapar. Berarti ada perasaan lapas yang
mengganggu. Lalu kubakar batu ini. Perhatian dan perasaan kini tertuju
pada batu. Berarti aku dapat melupakan rasa lapar yang mengganggu...!"
Randu Ampel geleng-geleng kepala.
"Kalau sekedar melupakan tak ada artinya," katanya. "Pada saat kau
berhenti membakar batu itu, rasa lapar kembali akan terasa. Malah lebih
hebat lagi. Disamping itu tubuhmu akan terasa letih karena mencengkung
lama-lama di depan api. Menurut pendapatku yang gila, jika ingin
melenyapkan penyakit, harus mencari sumbernya. Kalau tidak percuma
saja....."
Untuk pertaa kalinya perempuan yang diajak bicara mengangkat
mukanya memandang pada Randu Ampel. Lalu dia tertawa panjang.
"Hai, kenapa kau tertawa"!"
"Ternyata kau tidak keseluruhannya tolol. Kurasa apa yang kau katakan
tadi ada benarnya. Menyembuhkan penyakit dengan memusnahkan
sumbernya. Menghilangkan lapar dengan menelan makanan. Tapi
makanan apa yang bisa didapat dalam rimba belantara keparat ini! Malam-
malam begini pula!"
"Mudah saja!" jawab Randu Ampel. Hatinya gembira karena dipuji
tidak tolol. Lalu dia ulurkan tangan mengambil batu hitam dari atas
perapian. "Hai! Batu itu panas. Tanganmu melepuh nanti!" seru perempuan itu.
Randu Ampel menyeringai. Dia pejamkan mata. Dengan tangan kiri
memberi isyarat pada perempuan itu untuk berdiam diri. Dan si perempuan
menyaksikan dengan heran, tangan Randu Ampel sama sekali tidak
melepuh atau cidera meskipun batu yang dipegangnya panas luar biasa!
"Apa yang hendak kau lakukan"!" tanya perempuan itu.
"Sst... diam. Aku akan mencari obat perutmu yang lapar..." sahut
Randu Ampel. Sambil pejamkan matanya dia memasang telinga tajam-
tajam. Kemudian didengarnya suara itu. Suara desah nafas burung liar
yang masih belum tidur. Datang dari pohon besar disebelah belakangnya.
Tanpa berpaling Randu Ampel lemparkan batu hitam di tangan kanannya.
Terdengar suara batu itu mengenai sesuatu suara burung memcicit lalu
suara tubuhnya jatuh ke tanah.
Randu Ampel menyeringai. Buka kedua matanya lalu lari mengambil
burung yang barusan jatuh akibat lemparan batunya yang tepat. Binatang
itu diperhatikannya pada perempuan di depan perapian, lalu cepat sekali
tangannya bergerak menguliti bulu yang membungkus sekujur tubuh
binatang itu. Sesaat kemudian burung itu telah terpanggang menyebar
menusuk lobang hidung.
"Sudah matang!" kata Randu Ampel tak berapa lama kemudian. Lalu
dia memberikan ranting kayu di ujung mana panggang burung itu
ditusuknya. "Makanlah, penyakit laparmu pasti sembuh!" kata Randu
Ampel dan tertawa gelak-gelak.
"Kau sendiri tidak makan?"
"Aku tidak lapar."
"Tapi aku tidak suka makan sendirian."
"Kalau begitu makalah dulu sepuasmu. Kau boleh berikan sisanya
padaku," jawab Randu Ampel pula.
"Tidak adil begitu. Kita harus makan sama-sama..." lalu entah kapan
tangannya bergerak tahu-tahu burung besar itu telah terbagi dua dan rata.
Yang sepotong diserahkan pada Randu Ampel. Ketika Randu Ampel
hendak menyantap makanan itu tiba-tiba perempuan itu ulurkan tangan
kirinya memegang lengannya.
"Tunggu!" katanya.
"Ada apa?" tanya Randu Ampel. Sentuhan tangan perempuan itu pada
lengannya mendatangkan perasaan aneh.
"Apakah kenal atau ada sangkut paut dengan manusia bernama Lembu
Surah bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah?"
Randu Ampel menggeleng.
"Apakah kau kenal dengan orang bernama Suwa Permono, bergelar
Malaikat Maut Berkuda Putih?"
Kembali Randu Ampel menggeleng.
"Siapa kedua orang itu?"
"Yang pertama musuh besarku. Yang kedua guruku."
"Di mana mereka sekarang?"
"Di mana mereka sekarang itulah yang tengah kuselidiki..."
"Sekarang baiknya kau makan dulu. Tapi sebelum makan aku kepingin
tahu apakah kau punya nama?"
Perempuan itu tertawa panjang. "Setiap manusia tentu punya nama.
Tapi aku tidak akan memberitahu namaku padamu."
"Kalau begitu kita tidak bersahabat!" ujar Randu Ampel.
"Heh, apakah kau mau bersahabat denganku?"
"Tentu saja. Kau keberatan?"
Kembali perempuan tadi tertawa. "Kita sama-sama gila. Tak ada
salahnya kalau kita bersahabat."
"Jika begitu katakan namamu!"
"Namaku Puji..."
"Puji apa...?"
"Puji saja..."
"Baiklah. Sekarang mari kita makan."
Maka kedua orang itupun menyantap burung panggang yang cukup
lezat rasanya. Selesai makan Puji berkata: "Kulihat tadi kau pandai sekali menangkap
burung dengan melempar . maukah kau mengajarkan ilmu lempar itu
padaku?" "Tentu saja. Hanya aku ingin tahu dari sini kau mau menuju ke
mana...." "Aku harus mencari Datuk Iblis itu. tapi tidak tahu harus mencari di
mana...." Sesaat Randu Ampel nampak termenung. Lalu katanya. "Akupun
tengah mencari musuh besar. Seorang dukun jahat bernama Embah Bromo
Tunggal. Beberapa hari lalu aku datang ke tempat kediamannya di puncak
Bromo. Tapi di situ terjadi banyak keanehan yang otakku tak sanggup
memecahkannya...."
"Jika kau mau menceritakan keanehan apa mungkin aku bisa membantu
memecahkannya..." kata Puji pula.
Randu Ampel menyeringai, "Aku sendiri yang punya persoalan tak
sanggup memecahkannya. Mana mungkin kau yang tak ada sangkut
pautnya..." Perlahan-lahan Randu Ampel berdiri.
"Kau mau ke mana?"
"Aku harus pergi...."
"Kalau begitu aku juga akan pergi. Ikut bersamamu...." Puji pegang
lengan Randu Ampel. Kembali lelaki ini merasakan perasaan aneh akibat
sentuhan itu. keduanya melangkah mendaki lereng lembah menuju ke
timur. Angin malam bertiup dingin. Sambil melangkah Puji keluarkan satu
nyanyian. Empat tahun mencari guru
Empat tahun tidak ketemu
Empat tahun mencari manusia durjana
Empat tahun tidak bersua
Manusia jahat harus dibunuh
Manusia durjana harus dimusnah
Tidak ada di timur cari ke barat
Tidak ada di selatan cari ke utara
"Nyanyianmu bagus amat," memuji Randu Ampel. "Apakah kau mau
mendengar nyanyianku?"
"Apakah orang gila sepertimu pandai juga menyanyi?"
Randu Ampel tertawa lalu mulai pula menyanyi.
Delapan belas tahun mencari
Di puncak Bromo tidak ditemui
Keanehan membakar sukma
Boleh lari ke segala penjuru
Tangan berdarah tak pernah lari jauh
Kegilaan harus dibayar dengan kegilaan
Kematian harus dibayar dengan kematian
"Ai, ternyata kaupun seorang penyanyi yang tidak jelek. Mari kita
nyanyikan lagu-lagumu tadi bersama-sama..."
Randu Ampel tidak menyambuti ajakan Puji malah dia memberi isyarat
dan hentikan langkah. "Aku mendengar suara kaki kuda. Ada orang
mendatangi ke jurusan sini. Lekas sembunyi!"
Mendengar ucapan itu Puji segera ke balik batang pohon besar.
Sebaliknya Randu Ampel pegang pinggang perempuan itu. sekali dia
mengenjot tubuh, keduanya melayang ke atas dan sampai di cabang pohon.
Puji hendak tertawa cekikikan karena senangnya diajak melayang
melompat tinggi seperti itu. tapi Randu Ampel tekap mulutnya. Sesaat
kemudian di bawah pohon kelihatan muncul seorang tua berpakaian serba
putih, menunggang seekor kuda putih. Dalam gelapnya malam tak jelas
kelihatan wajahnya.
2 PERTEMUAN DENGAN SANG GURU
RANDU AMPEL mendekati mukanya ke telinga kiri Puji dan berbisik:
"Kau kenal orang itu" Sikapnya mencurigakan...."
"Tampangnya tertutup kegelapan. Rasanya aku pernah melihat kuda
putih tunggangnya itu. tapi lupa entah di mana. Kita turun saja dan
menghantam jika memang dia punya miat jahat...."
"Kau punya kepandaian apa hendak menghantam orang" Lelaki itu
menunjukkan gerak-gerik seorang jago silat..."
"Kau takut...?" tanya Puji.
"Gila! Aku tidak pernah takut pada siapapun! " sahut Randu Ampel
penasaran. "Kau mau lihat aku memisahkan kepala dan badan orang itu"!"
"Cobalah kalau kau bisa melakukannya!"
"Akan kubuktikan!" ujar Randu Ampel.
Namun baru saja dia siap melompat turun tiba-tiba orang di atas kuda
berseru: "Manusia-manusia yang tadi menyanyi. Keluarlah unjukkan diri.
Aku butuh beberapa penjelasan!"
"Manusia sompret!" gerutu Puji. "Dia yang perlu kita, seenaknya
perintah. Eh Randu, katamu kau hendak memisahkan kepalanya. Tunggu
apa lagi"!"
"Kau kurang ajar. Seenaknya saja memanggil aku Randu. Kau tahu
perempuan seusiamu pantas jadi anakku!" kini Randu Amepl yang
mengomel. Sebaliknya Puji malah tertawa. "Di dunia yang serba ini apakah masih
diperlukan adab sopan santun" Bukankan keterbukaan lebih banyak
baiknya dari pada sengaja peradatan palsu. Lagi pula siapa ya sudi jadi
anakmu" Hik... hik...!"
Penunggang kuda di bawah pohon tampak membuka destar putih yang
membungkus kepalanya. Tiba-tiba kain destar ini dipukulkannya ke atas.
Serangkum angin keras menderu dan braak! Batang pohon yang diduduki
Randu Ampel serta Puji patah. Karena orang sudah mengetahui
persembunyian mereka, keduanya terpaksa meloncat turun. Orang di atas
kuda balikkan diri menyongsong lalu melompat dari punggung kuda.
Sesaat dia memandangi wajah Puji. Dia lain kejap terdengar seruannya.
"Ya Tuhan! Puji! Tadipun aku sudah yakin yang menyanyi itu adalah
suaramu!" Penunggang kuda berpakaian serba putih dan berjanggut putih ini
melompat hendak memeluk Puji, tapi Randu Ampel cepat menarik tangan
perempuan itu hingga si orang tua memeluk angin.
"Tua bangka kurang ajar! Enak saja kau memeluk sahabatku!" bentak
Randu Ampel. Sesaat orang itu memandang pada Randu Ampel. Kemudian dia
kembali berpaling pada Puji.
"Puji, muridku! Apakah kau tidak mengenali aku lagi" Aku gurumu....!
Aku Malaikat Maut Berkuda Putih!" orang tua itu berseru.
"Aku tidak kenal kau! Aku tak pernah kenal segala macam malaikat!"
jawab Puji keras.
Kata-kata ini membuat si orang tua yang memang bukan lain adalah
guru perempuan itu seperti terhenyak. "Ah, benar jalan pikirannya sudah
terganggu. Kasihan muridku.... Dia tiak mengenaliku lagi. Bagaimana ini"
Siapa pula lelaki berpakaian tak karuan disebelahnya ini?"
"Orang tua, siapapun kau adanya, sahabatku ini mengatakan tidak kenal
denganmu. Kenapa tidak lekas-lekas berlalu dari sini?"
Ditegur begitu Malaikat Maut Berkuda Putih jadi penasaran.
"Kau sendiri siapa" Apa hakmu menyuruh aku pergi dari sini. Empat
tahun aku mencari meuridku. Setelah bertemu enak saja kau menyuruhku
pergi. Kau yang harus angkat kaki dari sini...!"
"Gila!"
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau yang gila! Dan kau membuat muridku tambah gila!" bentak
Malaikat Maut Berkuda Putih. "Lepaskan peganganmu pada lengannya.
Puji, kemarilah. Aku gurumu. Kau harus ikut bersamaku. Kau perlu
dirawat dan diurus baik-baik. Setelah itu kita akan mencari manusia
durjana bergelar Datuk Iblis itu. setelah biang racun malapetaka yang
menimpa dirimu!"
Puji terdiam. Ada sekilas ingatan akan satu peristiwa yang menimpa
dirinya, tapi kesadaran datangnya sangat lambat ke dalam benak dan hati
perempuan ini. Dia hanya tahu tentang seorang musuh besar. Datuk Iblis
Penghisap Darah. Yang harus dibunuhnya. Dia juga tahu seorang bernama
Malaikat Maut Berkuda Putih. Tapi hanya itu. lain dari itu semuanya serba
gelap baginya. "Puji, kemarilah...." Si orang tua coba memanggil dengan suara lembut.
Yang dipanggil gelengkan kepala. Kemudian Puji mulai menangis.
Melihat perempuan ini menangis, Randu Ampel jadi marah dan
membentak Malaikat Maut Berkuda Putih.
"Kau membuat sahabatku menangis! Kalau kau tidak pergi dari sini
kupatahkan batang lehermu!"
"Manusia gila! Kalau tak berpengaruh olehmu, muridku pasti akan
mengikuti perintahku! Batang lahermu yang harus patah lebih dahulu!"
Habis berkata begitu Malaikat Maut Berkuda Putih langsung menerjang
Randu Ampel. Kedua tangannya meluncur ke arah leher, benar-benar
hendak mematahkan batang leher lelaki gila itu.
Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat Malaikat Maut Berkuda
Putih alias Suwo Perwono mengeluarkan seruan tertahan dan kaget
setangah mati. Selagi kedua tangannya meluncur setangah jalan, belum
lagi sempat menyentuh batang leher Randu Ampel, mendadak entah
bagaimana kejadiannya kedua tangan Randu Ampel membuat gerakan
yang sama dan tahu-tahu sepuluh jari berkuku panjang yang kukuh dan
kotor telah mencengkeram lawannya mendadak jadi dua kali lebih panjang
hingga lehernyalah yang kena dicekik lebih dulu.
Orang tua berjanggut putih itu meronta coba lepaskan diri. Namun
cekikan lawan keras sekali. Nafasnya mulai sesak. Lidahnya seperti mau
tercabut keluar dan sepasang matanya mendelik.
"Jangan bunuh dia!" tiba-tiba Puji berteriak.
Disaat yang sama Malaikat Maut Berkuda Putih hantamkan satu jotosan
ke dada Randu Ampel.
Buk! Jotosan mendarat tepat di pertengahan dada Randu Ampel. Lelaki ini
lepaskan cekikannya. Tubuhnya terpental beberapa langkah tapi kemudian
berdiri lagi seperti tidak terjadi apa-apa.
Suwo Permono usap batang lehernya dan memandang pada Randu
Ampel dengan rasa tak percaya. Pukulan yang dilepaskannya tadi
mengerahkan lebih dari dua pertiga tenaga dalam, tetapi lelaki gila itu
kelihatannya biasa-biasa saja. Orang lain mungkin sudah muntah darah!
Sebenarnya bukan pukulan orang tua itu yang membuat Randu Ampel
melepaskan cekikannya. Tetapi seruan Pujilah yang menyebabkan Randu
Ampel tidak meneruskan menghancur luluhkan batang leher Malaikat
Maut Berkuda Puith.
"Manusia edan! Siapa kau sebenarnya" Apa hubunganmu dengan
muridku"!" bentak orang tua berjanggut putih itu sambil pegangi lehernya
yang terasa sakit.
"Aku hanya seorang gila. Perempuan ini sahabatku!" jawab Randu
Ampel polos. "Puji! Kau tidak pantas bersahabat dengan lelaki gila ini!"
"Kenapa tidak" Kami senasib. Dan dia menolongku menangkap burung
untuk kami panggang dan santap bersama!"
"Hanya karena panggang burung kau mau bersahabat dengan dia"
Gila!" "Ini memang persahabatan orang-orang gila. Karenanya orang
sepertimu tak perlu ikut campur!"
Kata-kata Randu Ampel itu membuat Malaikat Maut Berkuda Putih
menjadi marah. Lagi pula dia masih penasaran akibat cekikan tadi. Maka
diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Kemudian lepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan sinar putih.
Pukulan ini menghantam ke arah kepala Randu Ampel. Puji berteriak
kaget. "Orang tua jahat!" teriak perempuan itu lalu melompat sambil kirimkan
tendang kaki kanan.
"Puji kau akan kualat berani menyerang gurumu sendiri!" seru Malaikat
Maut. "Tua bangka edan! Siapa bilang kau guruku!" Puji tetap teruskan
tendangannya ke perut si orang tua. Namun dengan mudah dapat
dielakkan. Sebaliknya pukulan sakti yang dilepaskan Malaikat Maut cepat
sekali datangnya ke arah kepala Randu Ampel. Sekali lagi Puji berteriak.
Seolah-olah baru sadar kalau dirinya diserang orang. Randu Ampel cabut
suling bambu di pinggangnya. Terdengar suara melengking keras ketika
suling itu dibabatnya ke depan menyongsong serangan lawan.
Duus! Sinar putih pukulan sakti mental ke atas, menghantam cabang-cabang
pohon hingga hancur bertaburan. Randu Ampel tampak melompat ke atas
dan jungkir balik di udara. Dilain kejap terdengar seruan Malaikat Maut
ketika ujung suling tiba-tiba menusuk ke arah batok kepalanya. Masih
untung dia cepat jatuhkan diri ke samping hingga hnaya destar putihnya
saja yang kena disodok robek oleh senjata lawan. Pucatlah paras orang tua
ini. "Lelaki gila ini bukan manusia sembarangan! Ternyata ilmunya tinggi
sekali! Hamoir tembus batok kepalaku!"
"Sahabat," kata Randu Ampel pada Puji. "Mari kita tinggalkan tempat
ini. Orang tua itu hanya mengganggu saja. Perjalanan kita masih jauh...."
Sambil berpegangan tangan kedua orang itu tinggalkan Malaikat Maut
Berkuda Putih, membuat si orang tua sesaat itu lagi termangu, namun
kemudian cepat-cepat dia mengejar.
"Tunggu! Kalian mau ke mana"!"
"Ke mana kami mau pergi apa urusanmu"!" hardik Puji.
"Puji,' membujuk Randu Ampel. "Katakan saja ke mana kita akan
pergi. Biar dia tidak mengganggu lagi!"
"Baiklah, akan kukatakan padamu orang tua. Kami pergi mencari
manusia bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah! Empat tahun lalu dia
menimbulkan bencana atas diriku. Begitu bertemu kami akan
membunuhnya!"
"Ah, ternyata muridku ini tidak melupakan peristiwa itu. ternyata dia
menyadari kalau harus membuat perhitungan dengan datuk keparat itu!"
Lalu dia bertanya: "Kalian akan mencari datuk itu ke mana?"
"Ke delapan penjuru angin. Masakan tidak berhasil!" jawab Puji.
"Dia berkepandaian tinggi. Kau dengan mudah dikalahkannya. Malah
dia kana mendatangkan bencana baru atas dirimu Puji," memperingatkan
sang guru. "Selama aku pergi dengan sahabatku ini, aku tidak takut dengan
siapapun. Dua orang gila mesakan kalah dengan orang datuk bejat!" jawab
Puji. Malaikat Maut Berkuda Putih terdiam. Menyaksikan sendiri tadi
kehebatan Randu Ampel dia yakin lelaki gila ini dapat mengalahkan Datuk
Iblis. Tetapi dia tahu betul, sang datuk tidak sendirian. Nenek sakti
bernama Kunti Kendil itu pasti akan membantunya. Mau tak mau orang
tua ini jadi menarik nafas dalam. Lalu berkata: "Kalau kalian berdua
merasa memang telah cocok seiring sejalan, aku tidak akan melarang.
Ketahuialah, aku telah beberapa kali menemui datuk itu. Setiap terjadi
perkelahian dia selalu berhasil mengalahkanku. Karenanya kalian berdua
harus berhati-hati. Akupun akan mencarinya di lain jurusan. Sebelum
manusia bejat itu mampus tidak tentram rasanya hidup ini! Kalian berdua
pergilah...."
Sepasang mata orang tua itu tampak berkaca-kaca. Empat tahun
lamanya dia mencari muridnya. Setelah bertemu tak banyak yang bisa
dilakukannya. Bahkan mereka kini berpisah secara mengecewakan. Yang
amat menyedihkan ialah Puji tidak mengenali dirinya lagi sebagai guru.
"Kasihan anak itu. mungkin sudah suratan jalan hidupnya..." kata
Malaikat Maut Berkuda Putih. Dia bersiul memanggil kudanya. Beberapa
saat dia duduk termenung di punggung binatang ini sebelum akhirnya dia
memutuskan untuk mengikuti perjalanan kedua orang gila itu secara diam-
diam. 3 RAHASIA DIBALIK LENYAPNYA MAYAT MAHESA
DALAM rahasia Makam Mahesa telah dituturkan bagaimana kaena
kurang periksa dan terdorong oleh cintanya terhadap Lembu Surah Datuk
Iblis Penghisap Darah, Kunti Kendil telah menunduh Mahesa yang
menyebabkan celaka atas diri suami si nenek. Pemuda tak berdosa itu
digantungkan kaki ke atas kepala ke bawah.
Pada pagi hari ke tiga, ketika Kunti Kendil menyangka Mahesa telah
menemui ajal, ternyata sosok tubuh pemuda itu lenyap dari cabang pohon
di mana dia digantung.
Kunti Kendil menaruh curiga Pendekar Muka Tengkoraklah yang telah
menyelamatkan atau mencuri mayat Mahesa. Setelah Lembu Surah
sembuh dari lukanya, kedua orang itu meninggalakn puncak Iyang untuk
mencari Pendekar Muka Tengkorak.
Di sebuah lembah sebelumnya si nenek menemukan satu kuburan yang
masih baru. Pada papan makam tertulis sederet kalimat yang menyatakan
bahwa yang dikubur di tempat itu adalah Mahesa, anak manusia malang
yang tak pernah kenal ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian
karena disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Beberapa
hari kemudian ketika Kunti Kendil kembali lagi ke tempat tesebut, makam
Mahesa lenyap. Di situ ditemukan sebuah papan pemberitahuan bahwa
untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan makam Mahesa dipindahkan ke
tempat lain. Sementara itu dari penjelasan yang didapat Kunti Kendil dari Lembu
Surah kemudian diketahui bahwa bukan Mahesalah yang telah mencelakai
lelaki itu, melainkan Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Rasa
penyesalan yang tidak terkira membuat Kunti Kendil seperti mau gila. Di
samping itu tekadnya sudah bulat untuk mencari dan membunuh Wirapati.
Namun yang dilakukannya lebih dulu ialah mencari tahu di mana jenazah
Mahesa dipindahkan. Bersama Lembu Surah dia pergi menemui Pendekar
Muka Tengkorak untuk mencari keterangan. Karena kakek sakti inilah
orang yang terakhir sekali muncul di puncak Iyang sebelum tubuh Mahesa
lenyap dari tali gantungan!
Adapun Pendekar Muka Tengkorak ketika ditemui di pantai selatan
tampak terkejut begitu mengetahui Mahesa telah meninggal dunia. Karena
Kunti Kendil tetap menuduh kakek itu ada sangkut paut dengan lenyapnya
mayat si pemuda meka pertengkaran yang disusul dengan perkelahian
tidak dapat dihindarkan.
Bagaimanapun hebatnya Kunti Kendil namun perkelahian satu lawan
satu melawan si kakek muka tengkorak tidak mungkin dapat dimenangkan
dengan mudah. Lembu Surah yang mengetahui hal ini segera membantu
istrinya. Dikeroyok dua membuat Pendekar Muka Tengkorak terdesak.
Meski akhirnya dia dapat dirobohkan namun dua lawannya terpaksa
meninggalkan tanpa berminat lagi meneruskan perkelahian.
Sementara Kunti Kendil dan Lembu Surah melanjutkan perjalanan
mencari makam Mahesa, kita ungkapkan dulu apa sebenarnya yang terjadi
dengan pemuda yang digantung di atas pohon itu.
Dini hari menjelang pagi hari ketiga, ketika Mahesa tidak sadarkan diri
lagi, sementara darah mengucur keluar dari hidung dan telinganya,
dikegelapan udara dingin tiba-tiba berkelebat gesit bayangan-bayangan
aneh. Cepat sekali gerakannya hingga dalam waktu singkat bayangan ini
ternyata adalah tujuh manusia katai telah mengelilingi pohon di mana
Mahesa digantung kaki ke atas kepala ke bawah.
"Hitam, lekas panjat pohon. Putuskan tali gantungan!" Orang katai
berbaju merah berkata pada orang katai berpakaian hitam. Suaranya halus
sekali, hampir sehalus hembusan angin. Hingga Kunti Kendil yang ada di
dalam pondok dan masih terbangun sama sekali tidak dapat
mendengarkannya.
Si katai berbaju hitam membuat gerakan aneh. Tubuhnya mencelat ke
atas cabang pohon. Dia menelungkup di atas cabang ini, ulurkan
kepalanya. Dengan gigi-giginya yang kecil-kecil hampir tak dapat
dipercaya, sekali mengigit saja tambang yang besar kuat itu putus. Di
sebelah bawah enam kawannya siap menangkap tubuh Mahesa yang jatuh.
Sesaat pemuda ini dibandingkan di tanah. Si katai berbaju coklat letakkan
telinganya di dada Mahesa.
"Bagaimana, masih hidup?" tanya si baju merah.
"Jantungnya masih berdegup. Tapi perlahan sekali..." jawab si baju
coklat. "Pemuda malang. Kita harus cepat-cepat membawanya dari sini. Putih,
hentikan darah yang keluar dari hidung dan telinganya. Kau Hijau totok
dadanya agar jantungnya berdegup lebih kencang!"
Sesuai dengan ucapan si katai baju merah maka orang katai berpakaian
putih segera menotok beberapa bagian di belakang kepala Mahesa. Lalu
kawannya yang mengenakan pakaian hijau menotok dada pemuda itu.
"Kita pergi sekarang!" kata si meah. Tubuh Mahesa mereka panggul
beramai-ramai. Cepat dan aneh sekali gerakan mereka. Juga tanpa
menimbulkan suara. Sesaat kemudian mereka sudah lenyap dari tempat
itu. Hampir fajar menyingsing mereka sudah berada jauh dari kaki
pegunungan Iyang, memasuki rimba belantara rapat di sebelah selatan.
"Sebelum kita sampai di telaga kecil itu, kita tak boleh berhenti!"
berkata si katai baju merah yang lari di sebelah depan. Kawan-kawannya
mejawab dengan lebih mempercepat lari.
Akhirnya mereka sampai disebuah telaga kecil berair warna-warni,
akibat pantulan daun-daun pepohonan disekitarnya. Dari dalam telaga
mengepul asap hangat tanda mata air di telaga itu adalah mata air panas.
Tubuh Mahesa dibaringkan ditepi telaga. Si merah memeriksa degup
jantung Mahesa. Degup jantung pemuda ini ternyata mulai mengencang
namun masih jau dari normal. Ketujuh manusia katai itu tampak berunding
sesaat. Kemudian mereka berpencaran. Tiga orang duduk disisi sebelah
kiri, tiga lainnya di sebelah kanan sedang yang ke tujuh yakni yang
berbaju putih duduk di belakang kepala Mahesa. Ketujuhnya mangulurkan
tangan lalu menempelkan telapak tangan masing-masing di atas tubuh dan
kening si pemuda. Secara serentak mereka memejamkan mata dan
kerahkan tanaga dalam masing-masing untuk kemudian disalurkan pada
kedua telapak tangan.
Tubuh Mahesa tampak mengepulkan asap berbau busuk. Ketika orang
katai berbaju putih memencet pipinya dari mulut Mahesa yang terbuka
membersit keluar darah kental.
Melihat darah yang keluar ini, si katai baju merah merasa lega.
"Nyawanya selamat," katanya. "Tapi kita masih harus melihat apakah dia
bakalan lumpuh atau tidak. Seperti maklum akan maksud anggukan itu,
orang katai yang disebelahnya yakni yang berpakaian warna biru cepat
berdiri. Dia melangkah mendekati sebatang pohon berbatang tinggi lurus.
Tangan kanannya bergerak menghantam batang pohon sebelah bawah.
Kraak! Luar biasa. Tangan yang begitu kecil sanggup menghancurkan batang
besar hingga pohon itu tumbang dan jatuh melintang tepat di atas telaga
kecil berair panas.
Tubuh Mahesa kemudian mereka gotong ke tengah telaga. Ketiganya
diikatkan ke belakang pada batang pohon sedang sekujur tubuhnya sebatas
leher ke bawah di masukkan ke dalam air telaga. Dua orang katai duduk di
kiri kanan kepala pemuda itu sambil bergantian menyiramkan air telaga
yang diciduk dengan daun ke atas kepala Mahesa. Sampai sore tiba
pemuda itu masih belum siuman.
Manusia katai berbaju merah menunjukkan wajah khawatir. "Jika
sampai tengah malam nanti dia tidak sadar, berarti seumur hidupnya dia
tetap pingsan dan lumpuh!"
Enam manusia katai lainnya terdiam. Yang berbaju coklat kemudian
Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuka mulut. "Bagaimana dengan rencana kita untuk memberi
pelajaran pada nenek-nenek yang ringan tangan itu...?"
"Rencana tetap kita jalankan tapi baru selewatnya tengah malam nanti.
Bila sudah ada kepastian pemuda ini bisa diselamatkan atau tidak. Saat ini
nenek itu pasti sudah mengetahui lenyapnya tubuh pemuda ini..."
"Pasti dia kelabakan!" kata si katai baju hitam.
Menjelang tengah malam si katai yang duduk menyirami kepala
Mahesa dengan air telaga tiba-tiba terdengar berseru: "Kawan-kawan!
Pemuda ini keluarkan suara mengeluh!"
Seruan itu disambut dengan sorak gembira enam manusia katai lainnya.
Mereka lari meniti batang pohon dan memperhatikan Mahesa dari dekat.
Memang saat itu dari mulut pemuda ini mulai terdengar suara seperti
mengerang. Si katai baju merah memijit tubuh Mahesa di beberapa bagian.
Tak lama kemudian meskipun sedikit, kelihatan kedua mata Mahesa
bergerak. "Dia mulai membuka mata!" seru salah seorang dari tujuh manusia
katai itu. Si baju merah kembali memijit tubuh Mahesa. Suara erangan pemuda
ini makin keras. Matanya membuka tambah lebar. Kemudian terdengar
suara air telaga bergemeracak.
"Dia menggerakkan kedua kakinya!" seru si katai baju hitam.
Si katai baju merah menarik nafas lega.
"Angkat tubuhnya!"
Ikatan pada kedua tangan Mahesa dilepaskan. Tubuh pemuda ini
diangkat dari dalam air lalu dibaringkan ditepi telaga. Dadanya tampak
turun naik. Si baju merah kembali memijit beberapa bagian tubuh pemuda
itu. Dalam keadaan mulai sadar Mahesa berusaha bangkit. Namun baru
sampai duduk tubuhnya terhempas kembali.
"Orang muda, kau masih lemas. Sebaiknya berbaring saja dulu," kata si
katai baju merah.
Seumur hidupnya baru sekali itu Mahesa mendengar suara manusia
sehalus suara nyamuk. Benarkah suara manusia atau suara apa" Dibukanya
matanya lebih lebar. Yang dilihatnya mula-mula hanya kegelapan. Lalu
pohon-pohon besar. Di atas pohon sana tampak langit menghitam. Lalu
disampingnya dilihatnya banyak sekali kepala-kepala dan tubuh-tubuh
kecil. "Di mana aku.... Kalian siapa...?" suara pemuda itu serak parau.
"Kawan tak perlu khawatir. Kau berada di tempat aman. Kami semua
sahabat-sahabatmu..."
"Ka... kalian ini anak-anak atau..." Kalian manusia atau tuyul...?"
Tujuh manusia katai itu tertawa cekikikan.
"Kami bukan tuyul. Kalau tuyul kepalanya gundul!" berkata si katai
baju coklat. Kembali kawan-kawannya tertawa riuh oleh ucapan teman-
temannya. "Orang muda, sakit kepalamu akan segera hilang. Minum dulu air
telaga ini..." salah seorang dari manusia-manusia katai itu menuangkan air
telaga dari dalam daun ke mulut Mahesa. Rasa hausnya kini terobat.
"Aku lapar..." bisik Mahesa.
"Kami tak punya makanan. Besok kalau sudah terang kami akan
carikan makanan untukmu. Sekarang sebaiknya kau minum dulu obat ini
lalu tidur."
Si katai baju putih mengeluarkan sebuah obat berbentuk butiran sebesar
ujung kelingking. Obat ini dimasukkannya ke dalam mulut Mahesa. Begitu
tertelan Mahesa merasakan perutnya panas.
"Kau memberiku racun...?"
"Pemuda tolol! Setelah kami tolong masakan kau kami racuni"!" sahut
si katai baju merah. "Sekarang sebaiknya kau tidur," lalu jari telunjuknya
yang kecil ditekankan ke kening Mahesa diantara dua alis. Aneh begitu
ditekan begitu Mahesa merasakan matanya menjadi berat. Pemuda ini
akhirnya tertidur.
Begitu Mahesa tertidur, si katai baju merah berkata pada kawan-
kawannya: "Sekarang empat orang dari kalian lakukan apa yang menjadi
rencana kita. Dua lainnya tetap bersamaku di sini menjaga pemuda ini.
Hitam, Biru, Coklat dan Hijau, kalian segera berangkat. Cari tempat yang
baik. Harus tidak terlalu jauh dari kaki gunung Iyang. Jangan lupa untuk
menyalakan api agar asapnya dapat menarik perhatian orang yangkita
maksud." Maka keempat manusia katai itu segera meninggalkan telaga.
Berkelebat dalamkegelapan malam. Keesokan paginya mereka sampai di
bagian utara kaki pegunungan Iyang. Daerah ini selain berpemandangan
indah, bukit dan lembahnya tidak tertutup rimba belantara rapat seperti di
daerah timur atau barat. Karenanya banyak ditempuh orang dalam
perjalankan. Di sebuah sungai kecil si hitam dan kawan-kawannya
berhenti. Setelah memandang berkeliling sebentar si hitam berkata:
"Tempat ini kurasa cukup baik. Mari kita mulai bekerja."
Keempat orang itupun menggali tanah merah dari tepi sungai lalu
menumpuknya di bagian tepi sungai yang lain sehingga menyerupai
berbentuk nisan. Lalu si hijau menggurat sederetan tulisan pada papan itu
yang berbunyi: Di sini dimakamkan
Mahesa Anak manusia yang malang. Yang tak pernah kenal kenal
ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian
dengan pasrah, mati disiksa untuk perbuatan yang
tak pernah dilakukannya.
"Beres! Sekarang nyalakan api. Setiap orang yang lewat disekitar
lembah ini akan melihat kepulan asap. Pasti akan datang kemari. Kita
tunggu saja..."
Empat orang katai itu mengumpulkan kayu-kayu kering. Setelah
terkumpul mereka segera menyalakan api. Kepulan asap mengepul tinggi
ke udara. Selama empat hari menunggu tak seorangpun muncul di tempat
itu. hari kelima seorang penunggang kuda datang. Orang ini kelihatannya
seperti seorang pedagang kerana membawa banyak barang.
Dia memperhatikan kuburan di tepi sungai itu sebentar lalu melanjutkan
perjalanan. Memasuki hari ke tujuh empat orang katai yang menunggu-nunggu di
tempat itu mulai merasa jenuh.
"Kalau sampai satu bulan nenek peot itu tidak muncul, kita bisa
berlumutan menunggu di sini," kata si hijau.
"Kayu kering mulai susah dicari. Sejak dua hari ini hujan grimis turun
trus," menimpali si katai berpakaian hitam.
Tapi si katai berpakaian coklat menjawab memberi semangat. "Kita tak
boleh putus asa. Orang yang kita tunggu pasti muncul. Mungkin nenek itu
masih mengurusi luka si kakek. Maklum masih pengantin baru. Hik...
hik... hil!"
Empat orang katai itu tertawa gelak-gelak.
Pada hari ke delapan, menjelang tengah hari si katai baju hitam yang
duduk uncang-uncang kaki di atas cabang pohon tiba-tiba melesat turun ke
bawah. Pada tiga temannya dia berkata: "Ada orang yang datang dari bibir
lembah sebelah sana. Gerak-gerikanya seperti nenek brengsek itu. lekas
sembunyi!"
Si hijau terlebih dulu menghilangkan jejak-jejak yang bisa
menimbulkan kecurigaan. Lalu dia melompat menyusul tiga kawannya ke
atas pohon besar, bersembunyi dibalik kerapatan dedaunan. Mereka
menunggu. Tak lama kemudian berkelebatlah sesosok berambut putih
panjang awut-awutan, bertubuh bungkuk, melangkah terpincang-pincang
ke arah tumpukan tanah merah berbentuk kuburan.
Nenek ini yang bukan lain adalah Kunti Kendil, guru Mahesa tegak di
depan kubur dengan wajah pucat dan tenggorokan naik turun. Kedua
matanya menyipit ketika membaca apa yang tertera pada papan yang
ditancapkan di kepala kubur. Dadanya kemudian terasa sesak dan sepasang
kakinya bergetar. Mata yang tadi menyipit kini membelalak hampir tak
berkesip. "Jadi... ternyata anak setan itu sudah mati!" kata Kunti Kendil dalam
hati. "Heran, siapa yang membawa mayatnya ke sini" Siapa yang
menguburkan" Lalu siapa pula yang membuat papan nisan bertuliskan
kata-kata sialan itu" mati disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah
dilakukannya! Gila!"
Kunti Kendil melangkah mundar-mandir di depan makam. Ada rasa
menendang kuburan dan papan nisan itu. Namun niat itu tak dilakukannya.
Setelah menggerendeng dalam hati nenek ini akhirnya tinggalkan tempat
itu, kembali ke pondoknya di puncak pegunungan Iyang.
Hampir tiga minggu kemudian Lembu Surah sembuh dari lukanya. Kini
dia menjadi manusia cacat seumur hidup, buntung tangan kanannya
sebatas bahu. Pada saat itulah Kunti Kendil mendapat penjelasan bahwa
yang mencelakakan suaminya itu bukan Mahesa, melainkan Wirapati. Hal
ini sangat mengejutkan si nenek. Berarti dia telah kesalahan tangan. Dan
orang itu Mahesa kini sudah mati. Makamnya ditemuinya di lembah tiga
minggu lalu. Bersama Lembu Surah nenek itu kemudian meninggalkan
tempat kediamannya, pergi ke lembah untuk mengunjungi makam
muridnya yang malang itu.
Namun yang ditemui Kunti Kendil di tempat itu hanyalah sebuah papan
bertuliskan pemberitahuan: Untuk menjaga hal-hal yang tidak di inginkan
makam Mahesa telah dipindahkan ke tempat lain! Makam pemuda
memang tak ada lagi di tempat tersebut. Lenyap entah ke mana!
Kunti Kendil seperti mau gila. Dia memutuskan untuk tidak kembali ke
puncak Iyang. Dia harus mengetahui di mana makam Mahesa kini. Dia
menaruh syak wasangka bahwa Pendekar Muka Tengkoraklah yang
mencuri mayat muridnya itu, menguburkannya lalu bersama Lembu Surah
si nenek mencari kakek muka terngkorak. Sementara itu empat orang katai
yang sesungguhnya melakukan semua itu tertawa gelak-gelak.
"Sekarang dia rasakan," kata si katai baju hijau. "Sebelum nenek itu
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi selama itu pula dia dihantui rasa
menyesal!"
4 KITAB TUJUH JURUS ILMU SILAT ORANG KATAI
TUJUH manusia katai itu duduk mengelilingi Mahesa. Wajah mereka
yang tadi ceria dan banyak tawa kini tampak redup. Ini karena mereka tahu
bahwa pemuda itu akan segera meninggalkan mereka. Berpisah setelah
hampir selama sepuluh hari mereka berkumpul, menolong dan merawat
pemuda itu. kini Mahesa telah sembuh dan berniat meninggalkan mereka,
pergi untuk berbagai urusan yang harus dilakukannya.
Mahesa pandangi wajah-wajah lucu di hadapannya. Lalu mengeluarkan
rokok kawung, membagi-bagikan pada ketujuh orang katai itu dan masing-
masing mereka mulai menghisap. Dibagi rokok seperti itu biasanya
mereka senang sekali, namun sekali ini nampak wajah mereka tetap
muram. "Sahabat-sahabat," kata Mahesa, "Aku tahu kalian ingin sama-sama
terus. Tetapi itu adalah tidak mungkin. Masing-masing kita punya tugas
yang harus dilakukan. Aku pergi tetapi terlebih dulu aku mengucapkan
banyak terima kasih. Kalian telah menyelamatkan nyawaku. Kalian
kemudian merawatku hingga aku sembuh. Berarti aku berhutang budi dan
berhutang nyawa terhadap kalian. Entah kapan aku bisa membalasnya..."
"Kami menolong tidak mengharap balasan. Semua karena kami merasa
itu menjadi kewajiban kami..." menjawab si baju merah.
"Aku mengerti. Aku tidak akan melupakan kalian. Kapanpun kita pasti
akan bertemu lagi..."
Si baju merah dan kawan-kawanya duduk termangu. Lalu si hitam
bertanya: "Apakah kau akan mencari gurumu?"
"Dia pasti tidak ada di puncak Iyang," jawab Mahesa yang tak mau
menjawab ya atau tidak. Namun dalam hatinya menemui gurunya lagi. Dia
Hina Kelana 24 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Pendekar Muka Buruk 17