Pencarian

Rembulan Berdarah 1

Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah Bagian 1


REMBULAN BERDARAH Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode: Rembulan Berdarah
112 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 GEMURUH suara dentuman terdengar bukan be-
rasal dari sebuah gunung yang meletus. Gemuruh su-
ara dentuman itu justru datang dari sebuah lembah
tandus yang jarang ditumbuhi pepohonan. Rumput
pun hanya sebagian kecil saja yang tumbuh di lembah
tersebut. Mungkin karena pengaruh tanahnya yang ti-
dak begitu subur itu, sehingga tanaman tak banyak
tumbuh di sana.
Gemuruh tersebut adalah dentuman yang ditim-
bulkan akibat benturan dua tenaga dalam berbeda si-
nar. Sinar putih perak dan sinar merah bara beradu di
pertengahan jarak dua orang yang sedang bertanding
ilmu kanuragan. Mereka adalah Ketua Partai Bajak
Samudera yang dikenal dengan nama Raga Dewa, dan
si Manusia Kabut yang dikenal dengan nama Tua Usil.
Sinar putih perak itu meluncur cepat dari tangan
kiri Tua Usil ketika ia terpojok dan diserang dengan sinar merah bara yang
keluar dari ujung tanduk di topi
besi Raga Dewa. Kalau saja Tua Usil terlambat le-
paskan jurus mautnya itu, maka tubuhnya akan han-
cur berkeping-keping dan mungkin tak bisa dipungut
lagi. Sinar merah dari tanduk topi besi itu merupakan
jurus andalan Raga Dewa dari delapan jurus maut
yang dimilikinya.
Akibat dentuman yang membahana itu, Raga
Dewa terpelanting jatuh dengan tubuh telentang, se-
dangkan Tua Usil terhempas membentur gugusan batu
cadas yang amat keras. Ia sempat menyeringai karena
rasakan sakit di bagian punggungnya.
Sambil menahan rasa sakit di tubuh, keduanya
sama-sama berusaha bangkit dan menampakkan kete-
garannya. Jarak mereka menjadi sekitar sepuluh lang-
kah jauhnya. Tapi wajah mereka masih terlihat jelas
memendam kemarahan yang belum semuanya tercu-
rahkan. Dari tempatnya jatuh tadi, Raga Dewa masih se-
rukan kata dengan suara kerasnya,
"Menyerahlah, Tua Usil! Berikan pisau Pusaka
Hantu Jagal itu kepadaku, dan aku tidak akan meng-
ganggu mu lagi! Kau akan kuanggap saudara yang se-
lalu akan ku bela dalam perkara apa pun! Tapi jika
kau tetap bersikeras untuk tidak serahkan pusaka itu,
maka sampai kapan pun aku tetap akan memburu
nyawamu, Tua Usil!"
"Bagaimana kau akan membelaku kalau kau
sendiri tak bisa membela dirimu dalam melawanku?"
kata Tua Usil sambil maju dua tindak.
"Gggrrhh...!" Raga Dewa menggeram. Beberapa
pohon yang ada dalam jarak saling berjauhan itu men-
jadi bergetar, daun-daunnya rontok akibat suara ge-
ram Raga Dewa. Seperti telah dikisahkan dalam episode: "Jejak
Tapak Biru", Raga Dewa sengaja datang ke tempat itu untuk mencari Tua Usil. Ia
membutuhkan pisau Pusaka Hantu Jagal yang ada di tangan Tua Usil untuk
membalas sakit hatinya kepada Dewi Gita Dara. Tiga
kali lamarannya ditolak oleh Dewi Gita Dara, dan itu
sangat menyakitkan hati Raga Dewa.
Padahal Dewi Gita Dara sudah keluarkan sayem-
bara, barang siapa bisa serahkan kepadanya sebuah
pisau Pusaka Hantu Jagal, sang penguasa Teluk
Gangga yang cantik itu akan bersedia menjadi istri si
pembawa pisau tersebut. Atau barang siapa bisa mem-
bunuh seekor naga titisan Ratu Gaib yang selalu
mengganggu ketenteraman rakyat Teluk Gangga, Dewi
Gita Dara bersedia menjadi istri orang tersebut. Pe-
rempuan cantik itu memang mempunyai sumpah tidak
akan mau menikah dengan siapa pun sebelum Naga
Bara yang selalu mengganggu kedamaian penduduk
Teluk Gangga itu mati ataupun lenyap untuk sela-
manya. Itulah sebabnya Dewi Gita Dara menolak tiap
lamaran seorang lelaki, termasuk Raga Dewa. Setiap
pelamar selalu ditantang untuk lakukan dua hal terse-
but; pisau Pusaka Hantu Jagal atau bunuh Naga Bara.
Tetapi Raga Dewa bersemangat sekali untuk da-
patkan pisau pusaka itu bukan untuk mengawini Dewi
Gita Dara, bukan pula untuk membunuh Naga Bara.
Ia justru ingin mainkan wanita cantik itu hingga sakit hatinya terbalas, dan
tetap membiarkan Naga Bara hidup di Teluk Gangga.
Sayangnya ia tak mudah merebut pisau pusaka
itu dari tangan Tua Usil. Andai saja Tua Usil belum
mendapat pindahan ilmu dari Ki Pamungkas dan Nyai
Kuku Setan, mungkin Raga Dewa dapat dengan mu-
dah kalahkan Tua Usil dan rebut pisau itu. Tapi kare-
na Tua Usil yang sekarang adalah Tua Usil yang sudah
mendapat ilmu kesaktian tiban, maka siapa pun tak
mudah merebut pisau Pusaka Hantu Jagal dari tan-
gannya. Terbukti, kedua anak buah Raga Dewa yang
semula berjumlah delapan orang, baru saja mati di
tangan Tua Usil karena jurus maut milik Nyai Kuku
Setan yang mengalir ke dalam raganya.
Kini Raga Dewa hanya sendirian, tanpa mempu-
nyai anak buah lagi. Sekalipun demikian, hal itu tidak membuat Raga Dewa
urungkan niat. Ia bahkan lebih
heran lagi, lebih ganas lagi, dan sangat berkeinginan untuk membunuh Tua Usil
sekejam mungkin.
Itulah sebabnya kali ini Raga Dewa cabut senja-
tanya berupa kapak dua mata dengan ujungnya ber-
bentuk runcing tombak. Ketika Tua Usil berkata den-
gan tegas, "Apa pun yang terjadi, aku tak akan serahkan
pusaka ini padamu!"
Maka Raga Dewa pun segera melompat setelah
berlari pendek, lalu gagang kapak itu ditariknya turun dan menjadi rantai
panjang, kapak itu segera dis-abetkan ke arah tubuh Tua Usil. Wuuung...! Kapak
be- sar itu ternyata lolos dari sasaran, karena Tua Usil
sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya terlempar naik
ke atas dalam gerakan bersalto satu kali.
Namun alangkah kagetnya Tua Usil setelah kem-
bali mendaratkan kaki ke atas tanah gersang itu, ka-
rena ia segera sadari bahwa ujung kain bajunya telah
terbakar. Buru-buru ia padamkan api tersebut dengan
satu genggaman tangan. Api yang digenggamnya itu
segera padam. Tangan yang digunakan menggenggam
tidak terasa panas. Tua Usil segera berkata dalam ha-
tinya, "Cukup hebat jurus kapak terbangnya itu. Sekalipun tidak mengenai
tubuhku, tapi hawa panasnya
mampu membuat bajuku hampir saja terbakar habis.
Tapi aneh nya kenapa tubuhku tidak rasakan panas sedikit
pun" Mungkinkah ada ilmu penolak hawa panas yang
dimiliki oleh mendiang Ki Pamungkas dan Nyai Kuku
Setan itu"!"
Di lain pihak, Raga Dewa juga membatin kata,
"Manusia yang satu ini kurang ajar sekali ilmunya! Gelombang hawa panas dari
kapakku tidak membuatnya
tersengat api sedikit pun. Kulit tubuhnya tetap utuh.
Hanya saja, bajunya hampir-hampir terbakar. Bi-
asanya orang yang menghindari kapak maut ku dalam
jarak sedekat itu, tubuhnya akan mengalami melepuh
sebagian karena hawa panas yang terpancar dari ka-
pakku, apalagi sampai terkena kapakku tadi, pasti tu-
buhnya bukan hanya terpotong menjadi dua bagian,
namun juga akan meleleh lumer bagai cairan lahar
gunung berapi! Rupanya orang ini cukup alot untuk
dikalahkan. Terpaksa aku gunakan jurus andalan
yang satunya lagi!"
Namun sebelum jurus andalannya yang lain dile-
paskan. Raga Dewa masih berusaha bujuk Tua Usil
kembali dengan berkata,
"Tak ada gunanya kau melawanku, Tua Usil! Aku
bukan tandingan mu! Jadi sebaiknya kita berdamai sa-
ja." "Tak ada waktu untuk berdamai bagi orang yang mau rebut Pusaka Hantu Jagal
Ini! Akulah yang mendapat wewenang untuk memegang pusaka tersebut,
Raga Dewa!"
"Baiklah kalau begitu! Tak ada pilihan lain bagi
ku. Terimalah jurus 'Tombak Murka' ini! Heaaah...!"
Tua Usil terkejut ketika Raga Dewa sentakkan
kapaknya bagai disodokkan ke depan. Dari ujung ka-
pak yang berbentuk runcing itu, keluar mata tombak
berturut-turut jumlahnya puluhan buah. Semuanya
menyerang Tua Usil dengan ganasnya.
Dalam keadaan bingung dan terkejut itu, tiba-
tiba tangan Tua Usil bergerak di luar kemauan ha-
tinya. Kedua tangan berkuku runcing itu berkelebat
dari pertengahan dada melebar ke samping kanan-kiri.
Pada saat itulah keluar sepuluh larik sinar merah se-
perti kawat-kawat pagar betis.
Tombak-tombak putih mengkilap itu akhirnya
menghantam sinar-sinar merah tersebut, dan meman-
tul balik saling berbenturan dengan mata tombak yang
sedang menuju ke arah lawan. Perbenturan mata tom-
bak yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu timbul-
kan ledakan beruntun dan saling sambung-
menyambung. Ledakan itu menyerupai gemuruh gunung mele-
tus yang juga mengguncangkan tanah di sekitar tem-
pat itu. Semakin lama semakin kuat guncangan terse-
but, sehingga keretakan terjadi dl permukaan tanah di
beberapa tempat. Tubuh Raga Dewa sendiri terom-
bang-ambing bagai dipermainkan oleh gempa bumi,
membuat serangannya terhenti dan sibuk menjaga ke-
seimbangan badannya. Matanya yang lebar meman-
dang sekelilingnya dengan tegang.
Ketika kesepuluh jari berkuku tajam itu pelan-
pelan bergerak ke arah depan, sinar-sinar merahnya
yang seperti bentangan kawat-kawat itu menghantam
kapak yang masih digenggam oleh Raga Dewa.
Praaang...! Kapak itu pecah menjadi serpihan-
serpihan. Raga Dewa kian kaget dan cepat lompatkan
diri ke arah lain. Karena jika ia tidak melompat, maka tubuhnya akan menjadi
sasaran kesepuluh larik sinar
merah dari kuku runcing Tua Usil itu.
Jurus 'Kuku Iblis' telah dikeluarkan oleh Tua Usil
dan membuat Tua Usil heran sendiri melihatnya. Se-
bab apa yang dilakukan sangat di luar kesadaran ha-
tinya. Ia tak sangka dapat keluarkan jurus sehebat itu.
Namun ia segera tahu, jurus tersebut pasti milik men-
diang Nyai Kuku Setan. Bukan milik Ki Pamungkas.
Rupanya Raga Dewa tak mau kalah, ia sentakkan
kedua tangannya ke depan dengan masing-masing
jempol terlipat dan kedelapan jari tangan itu lurus ke depan. Dari ujung jari
tangan itu keluar delapan larik sinar kuning lurus yang menghantam ke arah Tua
Usil dari arah samping. Zzzraaap...!
Jraaab...! Tua Usil terkena pukulan delapan larik sinar
kuning. Tubuhnya menjadi tegak, kaku, dan matanya
mendelik. Mulutnya yang ternganga keluarkan asap
kehitam-hitaman. Raga Dewa hentikan serangannya
dan tertawa bagai orang menggumam. Ia merasa lega
dapat kenai jurus mautnya ke tubuh Tua Usil. Ia yakin
Tua Usil sebentar lagi akan roboh dan sekujur tubuh-
nya akan pecah-pecah menjijikkan.
Tua Usil bagaikan tak sadar atas musibah yang
menimpanya. Bahkan ia tak sadar telah gerakkan ke-
dua tangannya bagaikan menari. Gerakan tangan itu
sangat pelan, dari bawah ke depan dan berputar balik,
kemudian kedua telapak tangannya merapat di dada
bagaikan orang semadi.
Asap yang keluar dari mulutnya semakin hitam.
Tubuhnya bergetar, keluarkan peluh, Dalam sekejap
peluh itu menjadi sangat banyak, dan akhirnya asap
itu hilang. Napasnya terasa ringan untuk dihela. Sedangkan
Raga Dewa terheran-heran memperhatikannya.
"Manusia apa dia sebenarnya" Jurus 'Hasta
Sukma'-ku tak bisa membuatnya mati" Rangkap bera-
pakah nyawa orang itu" Atau... sebenarnya dia telah
mati dalam keadaan berdiri" Mengapa tidak bergerak-
gerak lagi?" sambil membatin begitu, Raga Dewa mendekati Tua Usil dengan pelan-
pelan dan sangat hati-
hati sekali. Tua Usil masih tetap diam, tak bergerak
dan tak berkedip, kedua tangannya saling rapat di da-
da. Padahal waktu itu Raga Dewa sudah mencapai ja-
rak tiga langkah dari tempatnya berdiri. Tua Usil me-
mang seperti orang mati berdiri.
Tetapi dengan sangat tiba-tiba sekali dan menge-
jutkan Raga Dewa, kaki kanan Tua Usil berkelebat
menendang dalam setengah lingkaran. Tendangan itu
tepat kenai dada_ Raga Dewa. Buuhg...! Raga Dewa
terhuyung-huyung mundur bagai hilang kesadaran da-
lam sekejap. Pada saat itulah, tangan Tua Usil bergerak sendi-
ri mengeluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bajunya, lalu la melompat menyerang Raga Dewa sam-
bil cabut pisau itu. Dan dengan gerakan yang sangat
cepat, tahu-tahu pisau tersebut telah menghunjam
masuk ke dada Raga Dewa. tepat di bagian jantung-
nya. Juuub...! "Ggggrrrhh...!" Raga Dewa mendelik sambil
menggeram, tangannya berusaha mencabut tangan
Tua Usil dari dadanya. Geraman itu timbulkan getaran
hebat pada tanah, daun-daun semakin berguguran.
Lalu, tubuh Raga Dewa mulai menyala merah
bening. Lama-lama cahaya yang membungkus tubuh
Raga Dewa itu mengalir dan berpindah ke tangan
Tua Usil, Kejap berikutnya tubuh Tua Usil yang berca-
haya merah bening, sedangkan tubuh Raga Dewa tidak
bercahaya lagi.
Perpindahan cahaya tersebut menandakan per-
pindahan ilmu Raga Dewa yang masuk ke tubuh Tua
Usil. Ketika cahaya merah bening itu padam, maka be-
rarti seluruh ilmu Raga, Dewa telah tersedot habis dan menjadi satu dengan ilmu-
ilmu lainnya di dalam tubuh
Tua Usil. Pisau pun dicabut, tanpa darah dan tanpa basah.
Tubuh Raga Dewa masih berdiri dengan mata mende-
lik putih tak bergerak dan tak bernapas lagi. Beberapa saat kemudian, ketika
datang angin kencang tubuh itu
pun tumbang terkapar di tanah yang tak sempat retak
itu. Tua Usil terkejut pandangi kematian Raga Dewa.
Ia hanya membatin, "Rupanya aku telah membunuh-
nya dengan pisau ini"!" sambil ia pandangi pisau Pusaka Hantu Jagal itu. Segera
ia masukkan pisau itu
dalam sarungnya dan ia selipkan di balik baju coklat-
nya. Rupanya Tua Usil juga tak sadari apa yang telah
ia lakukan terhadap Raga Dewa. Ada satu kekuatan
tersendiri yang menggerakkan tangan, kaki, pikiran,
dan sebagainya, yang semuanya itu bukanlah kekua-
tan asli milik Tua Usil. Mungkin saja kekuatan dari il-mu Nyai Kuku Setan, atau
kekuatan dari ilmunya Ki
Pamungkas, atau pula kekuatan yang ada di dalam pi-
sau keramat tersebut. Tua Usil tak bisa memastikan
jawabannya. Yang jelas angin berhembus semakin lama sema-
kin kencang. Rambut tipis Tua Usil meriap-riap di-
hempas angin. Ia segera memandang ke atas, langit
sebelah barat, ternyata seekor burung rajawali putih
sedang menghampirinya. Rupanya angin yang ber-
hembus itu datang dari kibasan sayap burung rajawali
besar yang ditunggangi oleh seorang gadis cantik ber-
pakaian merah jambu dengan jubah putih tipis. Siapa
lagi gadis itu jika bukan I Lili, si Pendekar Rajawali Putih yang menyandang
pedang perak di punggungnya di
mana pada ujung gagang miliknya terdapat ukiran dua
kepala burung saling bertolak belakang.
"Kaaakk...! Keaaak...!" burung rajawali putih ber-jenis betina itu sepertinya
memberi ucapan selamat
atas keberhasilan Tua Usil membunuh Raga Dewa. Te-
tapi ucapan selamat itu tidak terlontar dari mulut Lili, yang segera melompat
turun begitu sang rajawali merendahkan kakinya, menunggu penerbangan selanjut-
nya. Wajah gadis itu tampak bersungut-sungut me-
mandangi mayat-mayat yang tergeletak di sana-sini.
Tua Usil tahu, gadis itu pasti sedang marah, dan ia tak
berani mengajaknya bicara lebih dulu. Tua Usil hanya
salah tingkah menghadapi Lili, apalagi setelah ia di-
pandang oleh majikan perempuannya itu dengan mata
tajam, Tua Usil menjadi semakin tak mengerti harus
bersikap bagaimana.
Dengan nada marah Lili berkata, "Sudah berapa
kali ku ingatkan padamu; jangan membunuh! Lukai
saja lawanmu dan biarkan dia melarikan diri! Kalau
kau selalu membunuh, maka kau akan menjadi seo-
rang pembantai berdarah dingin!"
"Maaf, Nona Li...." ucap Tua Usil dengan takut dan bersikap sedikit membungkuk
karena menghor-mat. "Jadi manusia jangan serakah! Memang kau bisa memperoleh
banyak ilmu dari orang yang kau bunuh
dengan pisau pusaka itu, tapi tugasmu bukan
menjadi penjagal manusia! Pisau itu hanya boleh kau
gunakan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Aku
sudah ingatkan hal itu berkali-kali. Tapi mengapa kau
masih lakukan juga"!"
Suara Tua Usil agak lirih, "Maaf, Nona Li. Saya
lakukan dengan sangat terpaksa. Raga Dewa menye-
rang, saya terus dan menghendaki pisau pusaka ini.
Saya bertahan agar pisau ini tidak jatuh ke tangan
orang sesat seperti dia. Tapi dia mendesak saya terus
dan saya hampir mati oleh jurus-jurus mautnya, Nona
Li. Jadi, mau tak mau saya lakukan hal ini. Saya su-
dahi masa hidupnya yang sesat dengan pisau ini!"
"Apakah kau tak bisa lari menghindar?"
"Sudah saya coba lari, Nona Li. Tapi saya dikejar-kejar oleh mereka, seperti
seekor babi hutan yang se-
dang diburu. Saya capek lari terus, Nona Li. Maka saya coba lawan mereka. Saya
ingin lumpuhkan mereka
tanpa harus membunuhnya, tapi mereka sepertinya
memaksa saya harus bertindak lebih. Daripada saya
mati di tangan mereka dan pusaka ini jatuh ke tangan
Raga Dewa, lebih baik saya yang bunuh mereka demi
keselamatan nyawa saya sendiri, Nona."
Pendekar Rajawali Putih tarik napas dalam-
dalam. Ketika dihempaskan, bersamaan dengan kata,
"Ya sudah...! Tapi lain kali usahakan hindari tindakan seperti ini! Tak baik
bagi jiwamu sendiri jika kau harus selalu bertindak seperti ini. Paham?"
Tua Usil anggukkan kepala. "Paham, Nona Li."
Alasan itu cukup kuat menurut Lili. Memperta-
hankan diri, mempertahankan nyawa, mempertahan-
kan pusaka agar tidak jatuh ke tangan orang sesat,
terkadang membutuhkan tindakan yang lebih keras
lagi dari sekadar mengusir atau menghindar. Lili hanya takut, jika keberadaan
Tua Usil bersama pisau pusa-kanya itu akan membuat jiwa Tua Usil menjadi ganas
dan selalu mencari korban untuk pisaunya. Tapi sete-
lah mendengar alasan Tua Usil tadi, hati Lili merasa
lega dan kemarahannya sedikit demi sedikit menjadi
berkurang. "Mengapa tuanmu Yoga belum sampai rumah ju-
ga" Ke mana dia?"
"Wah, saya tidak tahu, Nona Li."
"Mengapa sampai tidak tahu" Bukankah kau.
Bocah Bodoh, dan Yoga yang antarkan Nini Bungkuk
Renta ke Bukit Kematian untuk diserahkan kepada
muridnya, si Iblis Mata Genit itu"!"
"Memang benar, Nona Li. Tapi Tuan Yo dan Bo-
cah Bodoh memisahkan diri setelah mereka melihat
serombongan tandu Nona Dewi Gita Dara melintasi
pantai. Saya sendiri segera pulang. karena saya butuh
pertimbangan masak-masak tentang niat Dewi Gita
Dara yang ingin meminjam pisau pusaka ini, Nona Li.
Jadi saya tidak tahu ke mana mereka berdua sebenar-
nya. Apakah ikut mengantar kepulangan Dewi Gita
Dara, atau ke suatu tempat dengan keperluan lain.
Dan waktu saya menuju pulang inilah, saya dicegat
oleh Raga Dewa."
Pendekar Rajawali Putih berwajah cemberut. Ia
menahan kekesalan hati. Gerutunya terdengar di telin-
ga Tua Usil, "Mengantar Dewi Gita Dara..."! Untuk apa men-
gantar ke sana" Ke Teluk Gangga" Ih, seperti lelaki tak punya harga diri saja
dia itu!" Tua Usil diam, ia tahu Nona Lili-nya sedang di-
landa rasa cemburu. Tua Usil tak berani ganggu den-
gan canda apa pun. Ia biarkan Lili berjalan mondar-
mandir dengan gelisah. Akhirnya Tua Usil dengar sua-
ra Pendekar Rajawali Putih itu berkata,
"Di mana kau lihat kapal mereka bersandar?"
"Saya tidak lihat kapal, Nona Li. Saya hanya ikut rombongan tandu Dewi Gita Dara
menyusuri pantai,
kemudian Tuan Yo dan Bocah Bodoh bergegas meng-
hampiri mereka!"
"Dasar laki-laki mata keranjang!" gerutu Lili dengan gemas. "Aku akan mencarinya
di sepanjang pantai!
Kalau kau mau pulang, pulanglah dengan segera!" Lili melangkah hampiri burung
rajawalinya. "Baik, Nona Li!" Tapi dalam hati Tua Usil sempat cemas dan berkata, "Bagaimana
kalau ternyata Tuan Yo ikut mengantar sampai Teluk Gangga" Repotnya la-gi,
bagaimana kalau ternyata Dewi Gita Dara jatuh cin-
ta pada Tuan Yo dan tak izinkan Tuan Yo pulang"
Wah, bisa geger besar!"
* * * 2 SEPANJANG pantai utara disusuri lewat atas oleh
Pendekar Rajawali Putih. Beberapa nelayan yang meli-
hat seekor burung besar terbang ditunggangi gadis
cantik segera bersujud di tempatnya masing-masing,
karena mereka anggap Lili adalah bidadari yang turun
dari kayangan. Lili tidak hiraukan mereka, karena pi-
kirannya terpusat pada kekasihnya yang juga murid
angkatnya itu. Lili tak ingin Yoga ikut ke Teluk Gangga. Sejujur-
nya hati Lili tak dapat ditipu, bahwa ia punya kecema-
san begitu melihat kecantikan Dewi Gita Dara. Gadis
yang hampir tergolong perawan tua itu mempunyai
daya pikat tersendiri bagi lawan jenisnya. Lili khawatir jika Yoga sampai
terpikat oleh kecantikan Dewi Gita
Dara. Sebab dalam hati Lili mengakui, bahwa kecanti-
kannya dengan kecantikan Dewi Gita Dara terpaut tak
begitu banyak. Lili hanya merasa unggul sedikit, itu
pun mungkin karena pengaruh usianya yang lebih
muda dari usia Dewi Gita Dara. Kecemasan itulah yang
membuat Lili tak sabar ingin segera temukan Yoga.
"Jangan-jangan ia benar-benar ikut ke Teluk
Gangga"!" kekhawatiran seperti itu berulang kali muncul dalam benak Lili,
membuatnya semakin resah dan
tersiksa batinnya.
Ketika menjelang senja tiba, hati Lili mulai mera-
sa tenang karena ia melihat sesosok tubuh berpakaian
selempang coklat membungkus baju putih lengan pan-
jang yang menyandang pedang merah tembaga di
punggungnya. Siapa lagi pria tampan itu kalau bukan
Pendekar Rajawali Merah.
Hanya saja, hati Lili menjadi sedikit berdebar ke-
tika melihat Yoga ternyata sedang bertarung dengan
seseorang di pantai luas itu. Semakin dekat semakin
jelas, bahwa orang yang bertarung melawan Yoga itu
tak lain adalah Malaikat Gelang Emas. Serta-merta Lili perintahkan kepada burung
rajawali putih itu untuk
menukik ke arah pertarungan tersebut,
Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti berali-
ran hitam yang menjadi musuh bebuyutan dari sejak
kedua guru Yoga dan Lili masih hidup. Malaikat Ge-
lang Emas selalu mengincar dua pedang pusaka yang
sekarang menjadi milik Lili dan Yoga itu. Tokoh yang
satu ini memang sulit ditumbangkan. Ia adalah kakak
seperguruan Nini Bungkuk Renta dan punya ilmu
'Bayang Siluman', yaitu bisa tembus tembok dan tak
bisa disakiti. Lili dan Yoga selalu terdesak dalam ba-
haya jika melawan Malaikat Gelang Emas.
Seperti kali ini, Lili lihat sendiri Pendekar Rajawa-
li Merah yang hanya mempunyai satu tangan itu terde-
sak oleh serangan jurus gelang-gelang maut dari la-
wannya. Sinar kuning melingkar-lingkar itu menghan-
tam Yoga berulang kali, dan hanya ditangkis oleh kiba-
san pedang pusaka Pendekar Rajawali Merah.
Bunyi ledakan terdengar berulang kali setiap pe-
dang Yoga berhasil tebas sinar gelang kuning tersebut.
Dalam keadaan terdesak oleh serangan beruntun, tiba-
tiba Malaikat Gelang Emas yang bertubuh gemuk dan
besar itu keluarkan semburan serbuk merah dari mu-
lutnya. Bruuus!
Lili mengetahui serbuk merah itu adalah Racun
Kematian. Siapa pun yang tersiram serbuk merah itu
gelembung-gelembung darah merahnya akan pecah
dan detak jantungnya akan berhenti. Sebab itu, Lili
cepat sentakkan telapak tangannya dan keluarlah asap
putih berangin kencang yang menghempas ke arah
pertarungan. Wooosss...! Angin kencang itu membuat
serbuk merah bertebaran ke arah balik, membuat Ma-
laikat Gelang Emas terkejut dan melompat menghinda-
rinya. Tepat pada saat itu burung rajawali putih turun merendah dengan kibasan
sayapnya yang mempunyai
hembusan angin badai.
"Biar kuhadapi sendiri dia!" kata Yoga kepada Lili begitu Lili turun dari
burungnya. "Tak mungkin bisa, Yo! Gabungkan jurus kita!"
Saat itu, Malaikat Gelang Emas kerahkan tenaga
pukulannya yang berupa gumpalan kabut merah ke-
luar dari dua tangan yang pergelangannya saling bera-
du, telapak tangan keduanya terbuka. Wooosss!
Lili cepat berseru. "Pedang Bintang!" sambil ia mencabut pedangnya sendiri yang
menimbulkan suara
gelegar di angkasa, Seketika itu Yoga melakukan jurus
'Pedang Bintang' bersama-sama dengan gerakan jurus
'Pedang Bintang'-nya Lili.
Clap, claap...! Dari ujung pedang mereka masing-
masing keluar sinar lurus sebesar kelingking, panjang
menghantam gumpalan kabut merah yang menyerang
ke arah mereka. Sinar Pedang Bintang itu berwarna
putih berkerilap sedikit kekuning-kuningan. Keadaan
Yoga dan Lili ada dalam jarak kurang dari satu lang-
kah. Dua sinar putih berkerilap itu menghantam
gumpalan kabut merah secara bersamaan. Akibatnya
timbul ledakan yang maha dahsyat saat itu.
Bleggaaarrrr...!
Bumi bagai dilanda bencana alam. Tanah ter-


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sumbul keluar dan berdentum semburkan pasir-
pasirnya. Pepohonan roboh lebih dari sepuluh pohon
di sekitar tempat itu. Bebatuan yang ada tak jauh dari situ terlempar ke segala
penjuru akibat gelombang le-
dakan tersebut. Air laut pun bergolak melambung
tinggi dalam bentuk gelombang besar. Hujan turun se-
ketika itu juga, deras dan berangin badai.
Malaikat Gelang Emas terpental jauh ke lautan
dan digulung ombak. Burung rajawali putih langsung
lari terbang ketakutan. Tetapi Yoga dan Lili tetap berdiri di tempat. membiarkan
dirinya disiram hujan.
Membiarkan pula petir menyambar-nyambar dan ta-
nah pantai merekah di beberapa tempat. Kejadian
mengerikan itu sungguh menyerupai kiamat kecil yang
terjadi di sekitar pantai. Bahkan seekor ikan besar
tampak melambung tinggi dan jatuh bergemuruh dite-
lan ombak. Perkampungan nelayan yang tadi dilintasi Lili
bersama rajawali putihnya itu menjadi heboh. Karena
di sana terjadi bencana kecil, rumah-rumah rusak,
atapnya menyingkap terbuka, benda-benda beterban-
gan, bahkan perahu-perahu yang ditambatkan di pan-
tai pun terlempar terbawa ombak dan badai. Para pen-
duduk kampung nelayan yang letaknya cukup jauh itu
menyangka saat itu terjadi kiamat yang akan mero-
bohkan langit Sebab warna langit bukan biru atau pu-
tih, melainkan merah membara disertai lintasan petir
biru yang menggelegar ke sana-sini. Mereka berlarian
kalang kabut disertai teriakan-teriakan yang penuh
kepanikan. Air hujan masih mengguyur tubuh mereka. Cu-
kup lama dua pendekar rajawali itu diam terpaku me-
mandangi akibat penggunaan jurus 'Pedang Bintang'
secara bersamaan. Lili dan Yoga sama-sama menduga
tidak akan sedahsyat itu hasilnya. Karena jika jurus
'Pedang Bintang' hanya dilakukan oleh satu orang dan
satu pedang, guncangan yang terjadi tidak sampai me-
nyerupai kiamat kecil.
"Dahsyat sekali..."!" gumam Yoga seperti bicara pada diri sendiri.
"Inilah akibatnya kalau jurus kita digabungkan,"
kata Lili pelan.
"Apakah kau yakin Malaikat Gelang Emas telah
mati?" "Kurasa belum. Dia hanya luka parah dan ter-
lempar oleh gelombang ledakan tadi. Suatu saat dia
pasti akan muncul lagi menyerang kita dengan jurus
andalan. Ia pasti sedang mencari lawan jurus 'Pedang
Bintang' kita. Sebaiknya, lekas tinggalkan tempat ini!"
Deru hujan membuat Yoga masih diam di tempat
walaupun Lili sudah bergegas hendak pergi. Lili me-
mandang heran kepada Yoga.
"Ada apa?" tanya Lili curiga.
Yoga bagai sadar dari ketermenungannya. "Tak
apa," jawabnya sedikit gugup, kemudian segera berlari mencari tempat berteduh
bersama kekasih yang menjadi gurunya itu. Agar cepat mencapai pondok, mereka
terpaksa gunakan jurus 'Langkah Bayu'. yang dapat
bergerak cepat melebihi melesatnya anak panah dari
busurnya. Malam dibiarkan lewat. Ada kegelisahan di hati
Pendekar Rajawali Merah. Mulanya kegelisahan itu dis-
impannya dalam hati. Tapi ketika Tua Usil datang
menjelang tengah malam, kegelisahan itu tak bisa dis-
embunyikan lagi, karena Tua Usil bertanya,
"Mana si Bocah Bodoh itu, Tuan Yo?"
"Itulah yang ku pikirkan sejak tadi."
"Ada apa dengan dia, Tuan," suara Tua Usil
membisik takut didengar oleh Lili yang sedang tidur.
"Bocah Bodoh ikut pergi ke Teluk Gangga."
"Bersama Nona Dewi Gita Dara?"
"Ya. Dia nekat mau kalahkan kerusuhan di sana.
Dia mau bunuh seekor naga titisan Ratu Gaib itu!"
"Bocah itu bukan bodoh saja, tapi juga edan,
Tuan!" "Ku coba untuk mencegahnya, tapi ia nekat naik
ke kapalnya Dewi Gita Dara. Repotnya lagi, Dewi Gita
Dara memohon padaku untuk membiarkan Bocah Bo-
doh ikut dengannya. Aku tak bisa membantah kalau si
cantik itu yang memohon begitu!"
Tua Usir manggut-manggut dan merenung. Ma-
lam menjadi sepi. Kasak-kusuk mereka hilang untuk
sementara waktu. Yoga pun diam dalam ketermenun-
gannya. Lili masih tetap tidur dengan nyenyak di se-
buah kamar khusus yang hanya diperuntukkan di-
rinya. Yoga melangkah mondar-mandir mencoba mere-
dakan kegelisahannya.
Ia kembali dekati Tua Usil dan berkata dalam bi-
sik, "Bocah itu bergerak tanpa perhitungan. Dia tak pikirkan keselamatan
dirinya. Yang penting dia ingin
berbuat sesuatu untuk Dewi Gita Dara. Padahal Naga
Bara itu bukan sembarang ular naga yang sekali bacok
bisa luka. Tentunya Naga Bara itu punya kesaktian tersen-
diri, apa lagi dalam siraman cahaya bulan purnama,
kekuatannya tentu sangat tinggi."
"Menurut saya, Bocah Bodoh pergi ke Teluk
Gangga untuk bunuh diri!"
"Kira-kira memang begitulah kesimpulannya."
Setelah menarik napas sebentar, Tua Usil berkata
ajukan usul, "Bagaimana kalau kita menyusulnya ke sana,
Tuan" Culik dia dan paksa bawa pulang kemari!"
"Aku takut menyinggung perasaan Dewi Gita Da-
ra." "Setidaknya kita ingatkan dia, bahwa jangan me-
lawan ular naga jelmaan Ratu Gaib itu. Kita bujuk dia.
Dia itu bodoh dan mudah dibujuk dengan sedikit ti-
puan, Tuan!"
Yoga merenung sambil manggut-manggut. Ke-
mudian berkata lagi masih tetap dengan suara berbi-
sik, "Baiklah. Besok kita susul dia ke Teluk Gangga.
Kau mau ikut?"
"Ya. Tentu saya ikut, Tuan. Saya bisa membujuk
si Bocah Bodoh!"
"Tapi aku ke sana dengan naik rajawali merah,
kau bersedia?"
"Yaaah... kalau bukan naik rajawali bagaimana"
Saya sering mual kalau habis terbang, Tuan. Kalau bi-
sa, naik perahu saja!"
"Terlalu banyak makan waktu, Tua Usil. Nanti ki-
ta tiba di tempat, si Bocah Bodoh sudah tak bernyawa
karena melawan naga siluman itu."
Tua Usil tak bisa kasih pendapat lagi. Wajahnya
murung sedih membayangkan akan mual jika terbang
menunggang rajawali. Dia masih belum bisa membia-
sakan diri untuk pergi ke mana-mana melalui udara.
Tapi agaknya memang tak ada pilihan lain, karena
memang mereka harus berpacu dengan waktu. Menu-
rut perhitungan Tua Usil, empat hari lagi akan tiba
saat bulan purnama. Mungkin malah kurang dari em-
pat hari. Jika perjalanan ke Teluk Gangga ditempuh
dengan perahu, bisa memakan waktu lebih dari empat
hari. Belum lagi jika harus hadapi gangguan ombak
besar di tengah lautan, pasti akan lebih lama lagi perjalanan yang ditempuh
dengan perahu. Pagi itu, ternyata Yoga sudah memanggil burung
rajawali merahnya. Lili yang ada di dalam pondok ter-
kejut mendengar suara burung memekik-mekik. Ia
pun bergegas keluar dan melihat rajawali merah sudah
ada di depan rumah. Burung itu sedang diusap-usap
oleh Yoga. Lili memandang dengan heran. Ia tahu kea-
daan seperti itu biasanya merupakan tanda bahwa Yo-
ga akan lakukan perjalanan jauh.
Lili pun segera menegur dalam tanya, "Mau ke
mana kau" Mengapa sepagi ini sudah memanggil si
Merah?" "Aku mau ke Teluk Gangga."
"Apa"! Ke tempat perempuan cantik itu" Tidak!
Aku tidak izinkan!" Lili cemberut seketika itu juga.
"Aku harus ke sana. Guru!"
"Kau suka sama perempuan itu"!"
"Ini soal nyawa Bocah Bodoh, Guru!"
Wajah yang melengos itu segera berbalik menatap
Yoga dengan dahi berkerut dan mata memandang den-
gan tajam. "Ada apa dengan Bocah Bodoh"!"
"Kemarin lusa ia ikut berangkat ke Teluk Gangga
bersama kapal Gita Dara. Dia nekat mau membunuh
Naga Bara. Padahal dia tidak mempunyai pusaka Han-
tu Jagal yang merupakan satu-satunya senjata yang
bisa untuk membunuh naga titisan Ratu Gaib itu! Dia
hanya mempunyai Pedang Jimat Lanang, dan aku
khawatir pedang itu tak bisa dipakai untuk mengalah-
kan naga tersebut!"
Lili diam sejenak, setelah itu berkata, "Jangan
remehkan pedang pusaka Itu. Aku yakin pedang itu
bisa untuk membunuh Naga Bara! Kau tak perlu susul
dia ke sana. Dia akan selamat!"
"Dia tidak akan selamat!" bantah Yoga. "Kita yang harus selamatkan dia dengan
membujuknya, agar dia
mau urungkan niatnya itu!"
"Kalau begitu, cukup kau mengutus Tua Usil sa-
ja!" "Tua Usil tidak bisa naik rajawali sendirian, Guru!"
"Suruh dia naik perahu atau carikan kapal se-
waan!" "Waktu perjalanan tak cukup. Sebentar lagi ma-
lam bulan purnama akan tiba. Bocah Bodoh pasti su-
dah siap menghadang keluarnya naga siluman itu. Tua
Usil akan terlambat tiba di sana jika menggunakan pe-
rahu atau kapal. Satu-satunya sarana yang bisa di-
tempuh dalam waktu singkat adalah menunggang ra-
jawali, Guru! Coba pikir baik-baik!"
Tua Usil diam di bawah pohon, tak berani ikut
campur perdebatan sepasang kekasih itu. Salah-salah
dia kena damprat atau kena tampar tangan Lili jika
ikut membela pendapat Yoga. Apalagi Lili sudah cem-
berut memasang wajah curiga penuh kecemburuan
itu, Tua Usil benar-benar tak berani ikut campur da-
lam perdebatan itu.
"Bocah Bodoh cari penyakit saja dia!" gerutu Lili menahan jengkel atas tindakan
Bocah Bodoh. Dalam
hatinya ia sendiri merasa sayang jika harus kehilangan Bocah Bodoh. Hubungannya
selama ini telah membuat
Lili merasa bahwa Bocah Bodoh ataupun Tua Usil me-
rupakan bagian dalam lingkup keluarganya. Apa pun
yang terjadi dia harus lakukan pembelaan atau penye-
lamatan terhadap kedua orang tersebut.
"Izinkan aku berangkat bersama Tua Usil, Guru!"
bujuk Yoga dengan lembut. Kali ini ia raih kedua pun-
dak Lili, ia putar pelan-pelan sehingga wajah mereka
saling berhadapan. Ia tatap lembut-lembut wajah itu
dengan senyum indah yang menawan hati setiap wani-
ta itu. "Aku tak akan lama. Secepatnya aku akan segera
pulang dengan membawa Bocah Bodoh."
"Kau berjanji tak akan lakukan apa-apa disana?"
"Mana mungkin aku lakukan apa-apa di sana"
Apakah aku harus diam saja dan bengong-bengong se-
perti orang hilang pikiran?"
"Maksudku, kau tidak akan berbuat yang bukan-
bukan terhadap Dewi Gita Dara?" jelas Lili sambil menahan malu karena
kecemburuannya terpaksa dikata-
kan apa adanya.
Yoga tersenyum menahan tawa. Tangannya me-
nyingkapkan anak rambut yang bergerai di kening
Pendekar Rajawali Putih yang cantik jelita itu sambil
berkata pelan, "Tak perlu curiga, tak perlu cemas. Aku berkata
dengan sesungguhnya, tak ada perempuan secantik
apa pun yang mampu menggeser mu dari dalam hati-
ku, Guru."
Lembut sekali ucapan itu. Teduh nian rasa hati
Lili mendengarnya. Ia pun menarik napas dan mena-
hannya sesaat, bagai angin menyimpan keteduhan itu.
Lalu, ia berkata, "Berangkatlah, dan hati-hati!"
Maka, rajawali merah pun terbang melintasi sa-
mudera dengan gagahnya. Seorang pendekar tampan
duduk di punggung burung besar itu dengan rambut-
nya. yang panjang meriap ke belakang, membuat se-
seorang yang duduk di belakangnya pejamkan mata
beberapa kali karena takut tercolok rambut-rambut
itu. Tua Usil memeluk perut Yoga kuat-kuat karena
takut jatuh dari punggung burung. Karena kuatnya
pelukan itu, napas Yoga sampai terasa sesak dihela.
Maka Yoga pun menyuruh Tua Usil sedikit mengen-
durkan pelukannya.
"Burung ini terlalu cepat dalam terbangnya,
Tuan. Kalau pegangan saya kendurkan, saya bisa ja-
tuh!" Yoga pun segera berseru kepada sang rajawali,
"Merah, kurangi sedikit kecepatan mu. Tua Usil takut."
"Kaaak, kaaak, kaaak...!"
Yoga tertawa dan berkata, "Tua Usil, kau diterta-
wakan oleh si Merah. Dikatakan pengecut. Apa tak ma-
lu kau dibilang pengecut oleh seekor burung seperti si Merah ini?"
"Biar sajalah!" kata Tua Usil pasrah.
Tiba-tiba senyum Yoga hilang, matanya meman-
dang ke arah timur. Ia melihat seseorang sedang berdi-
ri di atas sehelai kayu papan yang lebarnya tak lebih
dari dua telapak kaki. Kayu papan itu bergerak sendiri dengan cepat di atas
permukaan air laut. Orang yang
ada di atasnya itu berdiri dengan kedua tangan berse-
dekap dan jubahnya berkelebat ke belakang bagaikan
sehelai bendera.


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tua Usil, apakah kau kenal dengan orang itu"!"
Tua Usil menatap ke arah orang tersebut. Cukup
lama ia diam untuk perhatikan baik-baik, karena jarak
orang sakti dl atas sepotong papan itu cukup jauh dari penglihatan. Kejap
berikutnya, Tua Usil berkata,
"Kalau tak salah lihat, dia yang bernama Banteng
Tato, Tuan! Dia orang dari Selat Garong."
"Tokoh hitam atau putih menurutmu?"
"Dia tokoh hitam, Tuan. Dia perampok kapal-
kapal dagang asing. Selat Garong masuk dalam wi-
layah kekuasaan Partai Bajak Samudera, namun
mempunyai kepemimpinan sendiri!".
"Hmmm...! Kalau begitu dia sekutunya Raga De-
wa." "Tentunya begitu, Tuan. Sebaiknya kita tak perlu dekati dia, Tuan. Hanya
cari perkara saja."
"Tidak. Aku tidak akan dekati dia. Aku cuma ter-
tarik ingin tahu ke mana arah perginya dengan hanya
gunakan sepotong papan begitu?"
"Jika memang arahnya ke utara terus, berarti dia
menuju ke Teluk Gangga, Tuan. Karena Teluk Gangga
merupakan teluk teramai di kawasan kepulauan laut
utara ini."
"Hmmm... ada apa dia ke Teluk Gangga" Apakah
ia mau bikin kacau keadaan di sana?"
"Saya rasa tidak. Sebab dia sendirian. Biasanya
dia kalau mau bikin kekacauan selalu membawa se-
jumlah anak buahnya yang ganas-ganas. Mungkin...
mungkin juga arahnya tidak ke Teluk Gangga!"
Tiba-tiba orang yang disebut Tua Usil bernama
Banteng Tato itu palingkan wajah memandang ke arah
rajawali merah. Ia mulai tertarik dan perhatikan raja-
wali cukup lama. Tiba-tiba ia sentakkan tangannya
dan lepaskan pukulan jarak jauh bercahaya hijau ber-
gelombang-gelombang. Cahaya hijau itu membentuk
lingkaran-lingkaran yang makin mendekati sasaran
semakin besar. Tua Usil berseru,
"Lihat, dia mulai mengganggu kita secara iseng,
Tuan!" "Biarkan saja!" kemudian Yoga berkata kepada burungnya, "Merah, ada yang
menyerangmu dari kanan!" Burung itu menoleh ke kanan, dari kedua mata burung itu
keluar sinar merah lurus dua larik.
Zlaaap...! Sinar itu menembus lingkaran-lingkaran hi-
jau dan menimbulkan suara ledakan yang menggema.
Blaang! Rajawali merah menukik ke kiri, sementara itu
Banteng Tato terpental jatuh dari atas papan pijakan-
nya. Ia mengutuk dengan suara tak jelas. Tapi tangan-
nya terlihat mengancam diacung-acungkan.
* * * 3 KEPERGIAN Yoga membuat Lili termenung sendi-
rian. Apalagi kepergian Yoga kali ini bersamaan. den-
gan kepergian Bocah Bodoh dan Tua Usil, Pendekar
Rajawali Putih merasa lebih kesepian lagi ditinggalkan oleh mereka. Sesuatu yang
membuat hati Lili masih diliputi kecemasan tipis adalah wajah Dewi Gita Dara. Ia
tahu persis, Yoga punya jiwa tidak mudah tega terhadap gadis cantik yang dalam
kesulitan. Jika Dewi Gita
Dara mengeluh kepada Yoga dari memohon Yoga agar
jangan pergi sampai tiba saat kesulitan itu terselesaikan, itu berarti Yoga akan
tinggal di Teluk Gangga le-
bih lama dari yang direncanakan semula. Lili menjadi
amat khawatir kalau saja Yoga tidak tega meninggal-
kan gadis secantik Dewi Gita Dara dalam kesulitannya.
Pendekar cantik yang kecantikannya sering di-
ungkapkan sebagai kecantikan melebihi bidadari itu,
duduk termenung di tepi sungai berbatu-batu tak jauh
dari pondoknya. Di sana ia tenggelam dalam lamunan
cintanya yang sampai sekarang belum bisa terwujud
dalam perkawinan, karena menurut Resi Gumarang,
calon penghulu mereka, Lili dan Yoga belum bisa me-
nikah karena masih ada urusan yang belum diselesai-
kan. Lili sendiri tak tahu, urusan apa yang dimaksud
itu, sehingga ia selalu bertanya-tanya dan mencari ja-
wabannya di dalam hati sendiri.
Rasa penasaran itu akhirnya membuahkan gaga-
san untuk datang ke tempat pengasingan Resi Guma-
rang. Lili ingin desak Resi Gumarang supaya diberi ta-
hu urusan apakah yang harus diselesaikannya itu. Ji-
ka Lili tidak tahu persis tentang urusan yang harus
diselesaikannya itu, maka harapannya terasa bagaikan
terkatung-katung dalam ketidak pastian. Dan hal itu
makin lama dirasakan makin menyiksa batin. Lili ha-
rus tahu tentang urusan tersebut, supaya dia mempu-
nyai kepastian kapan saatnya ia harus melangsungkan
perkawinan dengan muridnya yang juga kekasihnya
itu. Maka bergegaslah Lili pergi menemui Resi Guma-
rang. Sayangnya niat itu terhalang oleh kemunculan
tiga orang aneh yang belum pernah dikenalnya sama
sekali. Tiga orang aneh itu melompat dari suatu ke-
tinggian dan hinggap di atas bebatuan sungai yang le-
taknya berjarak dua-tiga lompatan.
Lili sedikit kaget, namun bisa cepat kuasai diri
dan menegur dengan tegas, "Siapa kalian"!"
Seseorang yang menggenggam terompet pendek
ukuran satu hasta terbuat dari lilitan kulit bambu itu, menjawab dengan suaranya
yang cempreng pecah,
"Kami utusan dari Biara Sita!"
"Biara Sita...?" Lili semakin merasa heran karena baru sekarang mendengar nama
Biara Sita. "Namaku Juru Kubur," kata orang yang bertubuh kurus ceking berpakaian abu-abu.
Gigi depannya rontok semua, tinggal bekas-bekasnya. Rambutnya pan-
jang kucai diikat kain coklat. Wajahnya lonjong dengan dagu panjang, kumisnya
tipis kaku seperti kumis tikus. Juru Kubur berkata lagi, "Sedangkan mereka
berdua adalah temanku, Tambur Pati dan Roh Gan-
tung!" Yang bernama Roh Gantung tersenyum sekejap
lalu kembali berwajah kaku. Lili memperhatikan orang
pendek itu dengan perasaan aneh, geli, dan jijik. Roh
Gantung mengenakan pakaian hijau berikat pinggang
hitam. Tubuh tidak terlalu gemuk, tapi perutnya mem-
buncit seperti perempuan hamil enam bulan. Roh Gan-
tung mempunyai mata sipit, tapi hidungnya lebar, pi-
pinya tebal mirip bakpau, kepalanya botak tengah,
rambut yang tumbuh di tepiannya tergolong tipis. Ia
menyelipkan dua lempengan logam seperti piringan ti-
pis tak bergerigi, tapi tepiannya terlihat tajam bagaikan mata pedang. Benda itu
terselip di pinggang kanan-kirinya.
Sedangkan yang bernama Tambur Pati itu bertu-
buh besar, gemuk. Kepalanya gundul polos, matanya
lebar ganas, kumisnya sedikit tebal melengkung ke
bawah hampir lewat dagu. Tambur Pati membawa gen-
derang putih mengkilat yang dicantolkan pada ikat
pinggangnya, sewaktu-waktu bisa dilepas. Dua kayu
penabuh genderang juga terselip di pinggang kanan.
Pakaiannya warna merah, ketat, seperti sesak karena
terlalu besar badannya. Alis matanya tebal dan sering
bergerak-gerak naik turun sendiri. Wajahnya sangar
tapi lucu. "Kau benar yang bernama Nona Lili, bukan"!" ka-ta Roh Gantung yang bersuara
besar dan bulat, sesuai
dengan bentuk wajahnya yang bundar.
"Benar. Aku Lili: Pendekar Rajawali Putih. Tapi
aku tidak kenal dengan kalian dan tidak tahu tentang
Biara Sita!"
"Itulah sebabnya kami menjemput mu, Lili." kata Tambur Pati dengan nada suara
seperti wanita genit.
Matanya sambil melirik-lirik dan alis matanya berge-
rak-gerak sendiri. Sungguh tak sesuai dengan perawa-
kannya yang gemuk sangar tapi suaranya bernada
banci. Senyumnya pun mekar seperti senyum perem-
puan genit. Sebenarnya Lili ingin tertawa, namun karena me-
rasa aneh dan kurang suka dengan sikap mengha-
dangnya mereka tadi, tawa itu jadi terpendam dan be-
ralih kecurigaan besar.
"Kalian ingin menjemputku" Mau dibawa ke ma-
na?" "Ke Biara Sita!" jawab Tambur Pati dengan mata berkedip-kedip ganjen. Ia
mengusap kumisnya dengan
lagak gerakan tangan seorang wanita membelai ram-
but. "Aku tak punya urusan dengan pihak Biara Sita!"
kata Lili. "O, kau belum tahu, bahwa kau punya urusan
dengan Putri Kumbang, ketua kami di Biara Sita!" kata Juru Kubur yang suaranya
sangat tidak enak didengar
itu. "Siapa pula Putri Kumbang itu" Aku merasa tak punya urusan! Sebaiknya,
tinggalkan aku dan jangan
ganggu aku lagi!"
"Tak bisalah...!" kata Tambur Pati sedikit meleng-gok ganjen.
Roh Gantung segera melompat turun dari atas
batu ke daratan. Jleehg...! Kemudian ia berkata den-
gan wajah kaku,
"Kau punya urusan dengan biara kami, Nona Lili!
Menurut beberapa saksi mata, kau telah memiliki ilmu
'Sirna Jati' yang bisa melenyapkan seluruh ilmu milik
seseorang."
"Ya. Memang benar!" kata Lili mengaku secara tegas. "Ilmu 'Sirna Jati' hanya ada
di dalam Kitab Jagat Sakti!"
"Betul!"
"Kitab Jagat Sakti, adalah kitab larangan dan tak boleh dipelajari oleh siapa
pun!" "Kata siapa"!"
"Hukum rimba persilatan telah ditentukan dalam
musyawarah besar beberapa puluh tahun yang lalu,
bahwa tak seorang pun boleh memiliki dan mempelaja-
ri Kitab Jagat Sakti, karena kitab itu adalah kitab pa-radewa yang tidak boleh
dijamah manusia. Ketua ka-
mi; Putri Kumbang, adalah penegak hukum dan un-
dang-undang rimba persilatan! Kau telah melanggar
hukum rimba persilatan, sehingga kau harus diadili
dengan menyerahkan kembali Kitab Jagat Sakti!"
"Omong kosong!" bentak Pendekar Rajawali Putih dengan beraninya. Mengenai Kitab
Jagat Sakti, Lili tak pernah mendengar ada larangannya. Sama sekali ia
tak percaya bahwa Kitab Jagat Sakti adalah kitab para
dewa yang tak boleh dipelajari manusia. Ini suatu ala-
san yang aneh dan pasti punya maksud-maksud ter-
tentu di baliknya, (Mengenai Kitab Jagat Sakti bisa di-baca dalam kisah: "Sumur
Perut Setan").
Juru Kubur segera melompat dari atas batu, kini
berada di samping Roh Gantung dan berkata kepada
Lili, "Sebaiknya kau ikut saja ke Biara Sita, menghadap Putri Kumbang. Jangan
sampai di antara kita ada
pertikaian berdarah. Aku sudah bosan melihat darah."
Tambur Pati pun segera melompat menyusul dua
rekannya dan berkata dengan gaya wanita manja,
"Jangan lupa ya kitabnya dibawa juga! Hi, hi, hi, hi...!"
"Aku tidak bersedia ikut kalian. Apalagi menye-
rahkan Kitab Jagat Sakti, sama sekali tidak bersedia!"
Lili bersedekap tangan di dada. Ia tampak lebih tegas
dan berwibawa, Tiga orang utusan Biara Sita itu saling
pandang sebentar. kemudian Roh Gantung berkata
kepada Lili, "Jika kau tidak bersedia ke pengadilan. terpaksa
kami harus menyeret mu dengan tidak hormat!"
"Aku tidak membuka permusuhan, tapi kalau ka-
lian kehendaki begitu, aku pun siap layani kemauan
kalian!" kata Lili tetap tenang.
Tambur Petir menyambut, "Jangan keras kepala,
Dik. Sayangilah wajah ayu mu itu," Lalu ia mengusap kumisnya dengan gemulai.
"Terserah apa yang ingin kau lakukan, yang pent-
ing aku tetap tidak akan serahkan kitab kuno itu!"
Tambur Pati menggeram genit. "Uuuh...! Dasar
bandel!" ia mencabut pemukul tambur, kemudian berkata, "Kau tak akan bisa
melawan kami! Melawanku
saja belum tentu kau bisa lolos, Dik! Coba hadapi ju-
rus 'Genderang Neraka' ini!"
Duuurrr...! Tambur Pati memukul genderangnya
secara beruntun dengan kedua tangan berkayu kecil.
Suara genderang bergemuruh, menghadirkan tembu-
san angin dari permukaan genderangnya. Hembusan
angin itu menerpa rambut dan jubah Lili hingga berke-
lebat ke belakang. Lili tetap melipat tangan di dada
dengan mata sedikit menyipit karena tertiup angin.
Suara gemuruh tambur membuat alam menjadi
mendung seketika. Matahari tertutup mega hitam, seo-
lah-olah getaran tambur itu menggerakkan gumpalan
awan hitam hingga menutup matahari. Daun-daun
pohon beterbangan, semakin lama semakin ber-
gemuruh. Bebatuan besar mulai terkelupas kepingan-
kepingannya. Air sungai berguncang-guncang bagai di-
landa gempa. Seekor burung yang terbang melintasi
mereka tiba-tiba jatuh dan berkelojotan sebentar lalu
mati karena terkena getaran tambur beraliran tenaga
dalam cukup tinggi. Tetapi Pendekar Rajawali Putih te-
tap berdiri tenang di tempatnya, tanpa bergeser sedikit pun. Suara gemuruh
tambur berhenti. Alam menjadi
sepi. Sisa angin masih terasa menghembus dan mem-
buat dedaunan bergemerisik. Ketika mata Lili melirik
ke arah sebuah pohon di sebelah kirinya, dalam hati ia terkejut melihat pohon
itu menjadi gundul. Semua
daunnya rontok. Padahal sebelum itu daun pohon ter-
sebut cukup lebat dan rindang. Kini tinggal dahan dan
ranting-rantingnya saja.
"Hebat juga jurus 'Genderang Neraka'-nya itu!"
pikir Lili diam-diam. Dada Lili sendiri sebenarnya me-
rasa sesak saat mendengar suara tambur dipukul be-
runtun. Tapi karena ia mempunyai lapisan tenaga da-
lam cukup tebal, ia mampu menahan dan mengatasi
getaran tenaga dalam tersebut. Dan ternyata hal itu
membuat tiga utusan Biara Sita tertegun kagum me-
mandangi Pendekar Rajawali Putih.
Roh Gantung berkata dalam hatinya, "Gadis ini


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas memiliki ilmu yang tinggi. Biasanya seseorang
yang mendengar suara tambur seperti tadi akan mun-
tah darah, dari lubang telinga dan hidung pun akan
mengucurkan darah. Tetapi gadis ini tidak kelihatan
terluka sedikit pun. Jika ia tidak berilmu tinggi ia tidak akan bisa tetap
tenang seperti saat ini!"
Terdengar Lili berkata kepada Juru Kubur, "Ka-
takan kepada ketua Biara Sita, aku tidak bersedia
mempercayai kata-kata kalian! Katakan pula, bahwa
Pendekar Rajawali Putih tak akan bisa ditipu dengan
cara selicik apa pun!"
"Aku terpaksa bertindak melumpuhkanmu, No-
na!" kata Juru Kubur. Ia mundur satu langkah dan
berkata, "Kalau kau mampu menahan Genderang Ne-
raka, tapi belum tentu kau mampu menahan jurus
'Jeritan Kubur'-ku ini!" kemudian Juru Kubur pun
memasukkan ujung terompet ke mulutnya, dan di-
tiupnya terompet itu dengan nada yang lengking pecah
namun tidak punya irama tertentu. Seakan ditiup den-
gan irama sembarangan.
Toeeettt... trete... teeetttt... tuuueeet... treeettt...!
Suara itu membisingkan telinga. Sangat tak enak di-
dengar. Suara itu juga dialiri tenaga dalam tinggi yang membuat batu-batu
sebesar kepala manusia saling retak dan pecah dengan sendirinya. Dahan-dahan
retak terbelah. Ada yang patah karena getaran gelombang
suara tersebut. Ranting-ranting berguguran bagai kayu
kering yang lapuk diterpa angin badai. Tiupan terom-
pet itu pun hadirkan angin besar yang membuat bebe-
rapa tanaman perdu jebol dari akarnya dan beterban-
gan searah hembusan angin terompet. Tetapi, Pende-
kar Rajawali Putih hanya memandangi dengan mata
sedikit menyipit, kaki tegak agak renggang dan tangan
tetap bersedekap di dada.
"Mengagumkan sekali gadis ini?" pikir Juru Kubur yang sudah berhenti meniup
terompet saktinya.
"Biasanya lawanku akan terpental jauh dan pecah
gendang telinganya, tapi gadis itu bagaikan pilar beton berselubung baja! Tetap
tegar dan kokoh berdiri. Gila!"
Roh Gantung penasaran melihat ketegaran Lili. Ia
segera mencabut dua piringan yang menurut istilah
alat musik disebut simbal. Piringan itu segera diadu-
kan dan diguncang-guncangkan sehingga keluarkan
bunyi gemerincing yang amat memekakkan gendang
telinga. Creeeng...! Creeeengngng...! Grrrreeeeng...!"
Rumput di bawah kaki mereka mulai layu dan
menjadi coklat. Gemerincing benda itu timbulkan hawa
panas yang menyebar ke mana-mana, hingga beberapa
tanaman kering yang ada tak jauh dari tempat itu la-
ma-lama kepulkan asap dan akhirnya terbakar dengan
api menyala-nyala. Bahkan sebatang pohon yang telah
gundul tanpa daun pun segera merengas mati, lalu ke-
pulkan asap, makin lama makin besar dan berubah
menjadi nyala api yang berkobar membakar pohon ter-
sebut. Sedangkan Lili masih tetap diam dan meman-
dangi Roh Gantung dengan mulut terkatup rapat, wa-
jah tidak tampak tegang sedikit pun. Pakaiannya
hanya bergerak melambai-lambai namun tidak terba-
kar. Sambil masih membunyikan simbal yang geme-
rincing menggema ke mana-mana itu, Roh Gantung
berkata dalam hatinya,
"Benar-benar bandel gadis ini! Tak ada bagian
tubuhnya yang terbakar sedikit pun. Bahkan seujung
benang pakaiannya pun tidak terbakar. Padahal mes-
tinya dia sudah menjerit karena dibungkus api!"
Karena jengkelnya, Roh Gantung segera meng-
hantam-hantamkan dua piringan itu dengan kerasnya
sambil berteriak tak beraturan,
"Heeeaaa...!"
Tangan kanan Lili segera ambil sikap tegak di de-
pan dada, tiga jarinya menggenggam, dua jari lainnya
berdiri lurus hampir menyentuh pertengahan kening,
Matanya terpejam memusatkan kekuatan batinnya.
karena dari dua piring itu keluar sinar bergelombang
separo lingkaran warna merah, tertuju ke arah Pende-
kar Rajawali Putih,
Juru Kubur segera merapatkan diri dengan Roh
Gantung dengan berlutut satu kaki lalu meniup te-
rompetnya secara tidak beraturan. Suara terompet itu
lebih keras dari yang tadi, dan memancarkan gelom-
bang sinar kuning yang melingkar-lingkar seperti spir-
al. Arahnya ke dada Pendekar Rajawali Putih.
Sedangkan Tambur Pati tak mau ketinggalan
bergabung dengan dua rekannya, merapatkan jarak
dengan Roh Gantung, lalu menabuh tamburnya den-
gan lebih keras dan beruntun panjang. Dari permu-
kaan tambur itu melesat sinar biru berkelok-kelok se-
banyak lima baris. Arahnya juga ke tubuh Pendekar
Rajawali Putih.
Duuuurrr...! Treeett...! Ceng, ceng, ceng,
ceeeng..,!"
Tiga suara bercampur aduk menjadi satu, ditam-
bah lagi suara dari mulut Roh Gantung dan Tambur
Pati yang meneriakkan sesuatu tak jelas. Bunyi gaduh
dan amat berisik itu membuat pertahanan Lili hampir
jebol. Ia mulai terdesak mundur walau dari kedua ja-
rinya yang berdiri tegak itu memancarkan sinar putih
perak menyebar. Semakin lama suara itu semakin riuh
dan keras. Lili kian terdesak mundur,
Perpaduan tiga jurus aneh itu membuat Lili
membuka kedua tangannya dan menyentak ke depan
Pendekar Penyebar Maut 19 Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong Jago Kelana 13
^