Pencarian

Rembulan Berdarah 2

Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah Bagian 2


hingga keluarkan sinar putih perak lebih banyak dan
lebih lebar lagi. Sinar putih perak Itu bagai tembok
menyala yang membentengi tubuh Lili. Namun tiga je-
nis sinar yang keluar dari alat musik mereka masing-
masing itu mencoba mendesak sinar putih perak den-
gan semakin terang nyalanya, pertanda semakin kuat
tenaga dalam yang dikerahkan.
Tubuh Lili sampai terbungkuk-bungkuk mena-
han agar sinar-sinar mereka tidak sampai menyentuh
tubuhnya. Tubuh itu gemetar dan mulai berkeringat.
Lili terlihat jelas sekali mengerahkan tenaga penangkis dengan sangat berat.
Tanah yang dipijaknya menjadi
cekung, kakinya masuk ke dalam tanah sebagian. Ba-
tu yang diinjaknya dengan kaki pecah. Remuk dan ak-
hirnya lembut, lalu telapak kaki itu pun terbenam di
tanah sebagian.
Namun tiba-tiba dari arah timur berkelebat se-
buah bayangan yang melintas di depan Lili. Bayangan
itu menerjang tiga tubuh utusan dari Biara Sita.
Brrruuuss...! Ketiganya tumbang dan berguling-guling
bagai habis diseruduk kerbau yang sedang mengamuk.
Suara bising itu pun hilang lenyap berganti sebaris
makian-makian kasar.
Lili pun hentikan pengerahan tenaga dalam pe-
lindung, Napasnya sempat terengah-engah sedikit. Ia
melihat tiga orang, itu saling tindih dan saling berebut untuk bangun hingga
menjadi gaduh dan semrawut.
Juru Kubur berteriak-teriak karena keberatan ditindih
tubuh Roh Gantung dan Tambur Pati yang saling be-
rebut untuk bangkit.
Tetapi mata Lili segera menangkap sesosok tubuh
yang berdiri di sebelah barat, di atas sebuah gugusan
batu hitam. Sosok tubuh itu milik seorang pemuda
tampan berpakaian biru muda dengan rambut dikun-
cir tinggi. Kuncirnya dililit pita merah. Sebagian rambutnya terjuntai di
samping kanan-kiri telinganya. Pe-
muda itu tampak tegap, gagah dan rupawan. Hidung-
nya mancung, matanya indah, alisnya sedikit tebal
namun teratur rapi. Kedua tangannya mengenakan
pembalut dari kulit harimau menutup tepat di perge-
langan tangan. Lili sempat lupa berkedip ketika memandang ke-
tampanan pemuda itu. Sedangkan si pemuda hanya
melirik sebentar, lalu kembali memandang tiga orang
yang saling berjatuhan itu. Ia tersenyum melihat ketiga utusan Biara Sita tampak
kewalahan menerima serangan kilatnya tadi. Senyumnya itu membuat hati Lili
menjadi berdebar-debar aneh. Bahkan Lili jadi lebih
gelisah lagi saat pemuda itu meliriknya sekilas.
"Sial, sial, siaaal...!" maki Tambur Pati. "Aku benci sekali! Aku benci sekali
kalau dia yang muncul!" Ia menggeram sambil mengusap-usap kepala gundulnya
dan dicubit-cubit sendiri. Matanya tertuju pada pemu-
da berpakaian biru muda dengan dada terbuka sedikit
itu. Juru Kubur yang kini sudah berdiri segera berse-
ru, "Setan! Kenapa kau ikut campur urusan kami,
Pandu Tawa"! Mau cari mampus"!"
"Sudah bosan hidup kau, Pandu Tawa"!" bentak Roh Gantung.
Pemuda yang dipanggil sebagai Pandu Tawa itu
segera tertawa dengan satu tangan bertolak pinggang.
"Hua, hah, hah, hah, hah...!"
Tawa itu cukup panjang. Lili berkerut dahi ketika
melihat tiga utusan dari Biara Sita itu juga menjadi
tertawa. Dari tawa pelan, bertambah keras, semakin
keras, dan kini mereka tertawa terbahak-bahak, ter-
pingkal-pingkal, bahkan sampai terbungkuk-bungkuk.
Wajah marah mereka berubah total menjadi wajah
orang kegelian yang luar biasa terpingkal-pingkalnya.
Suara mereka dalam tawa pun menjadi sangat keras.
Bahkan Tambur Pati sampai nyaris tak terdengar lagi
suaranya karena terlalu keras tawanya.
Padahal Pandu Tawa sudah diam dan kembali
berwajah tenang. Ia melompat turun dari atas gugusan
batu, lalu menghampiri Lili dengan langkahnya yang
tegap dan gagah. Seulas senyum tersungging di bibir
pemuda itu. Sungguh menawan senyuman itu. Lili tak
bisa bohong pada penilaian hati kecilnya sendiri.
Tetapi gadis itu belum bisa berbuat sesuatu ka-
rena masih terganggu oleh suara tawa ketiga utusan
dari Biara Sita itu. Roh Gantung sampai terduduk-
duduk memegangi perutnya yang sakit, namun ta-
wanya tak bisa dihentikan. Sedangkan Jurus Kubur
sampai tertungging-tungging sambil menghabiskan ta-
wa yang ternyata tiada kunjung habis. Tambur Pati ja-
tuh terkapar. Tubuhnya yang gemuk tersentak-sentak
dengan suara tawa sampai terdengar kecil sekali.
"Nona, kusarankan sebaiknya tinggalkan mereka.
Pergilah dari sini. Mereka orang-orang sesat dari Biara Sita!" kata Pandu Tawa.
Lili bingung, bagaikan orang bodoh. Ia mengang-
guk-angguk seakan menurut dengan perintah Pandu
Tawa. Tapi ia juga masih terpaku perhatiannya pada
tiga utusan Biara Sita yang masih belum berhenti ter-
tawa itu. Lili heran sekali, dan akhirnya bertanya dengan wajahnya yang kebodoh-
bodohan, "Me... mereka... mereka tertawa terus...?"
"Ku tebarkan racun tawa saat aku tertawa tadi!
Racun tawa itu dapat diarahkan kepada orang terten-
tu. Racun tawa pun bisa membuat orang akhirnya ma-
ti karena terlalu banyak tertawa tiada hentinya. Seo-
rang musuhku pernah tewas karena kehabisan napas
pada waktu tertawa. Dan.. karena itulah aku dinama-
kan Pandu Tawa!"
Oh, hmmm... ehh... iya... hmmm.... Aku Lili, eh...
ah, hmmn, iya!"
Aneh. Lili jadi gugup dan kehilangan ketegasan-
nya begitu berhadapan dengan Pandu Tawa. Ilmu apa
yang dimiliki pemuda tampan itu" Sedangkan tiga utu-
san dan Biara Sita itu masih saja tertawa hingga ber-
guling-guling, padahal wajah mereka sudah menjadi
merah kehitam-hitaman karena terlalu banyak kuras
tenaga. Tawa mereka tidak mau berhenti sebentar pun
dan sukar di kendalikan. Lalu, apa hubungannya den-
gan kegugupan Lili" Terkena semacam racun yang
bernama racun gugup, atau karena hatinya berdebar-
debar menghadapi ketampanan pemuda yang melebihi
ketampanan Yoga itu"
* * * 4 UTUSAN Biara Sita dibiarkan terkapar pingsan di
tepi sungai. Lili bergegas kembali ke pondok. Tapi ru-
panya Pandu Tawa ikuti kepergian Lili sampai ke pon-
dok. Lili semakin kaget dan salah tingkah setelah tahu pemuda tampan itu
ternyata mengikutinya. Sebelum
masuk ke pondok, Lili sempatkan berhenti dan mem-
biarkan Pandu Tawa mendekat. Ia justru sunggingkan
senyum seakan sangat senang disusul oleh Pandu Ta-
wa. "Maaf, aku terpaksa susul kamu kemari, karena aku lupa tanyakan siapa
namamu." "Namaku...?" gadis itu tersipu malu, dengan sedikit menunduk ia menjawab,
"Namaku Lili."
"Ooo...!"
Pandu Tawa manggut-manggut dengan senyum
menawan. Lalu ia berkata sambil berlagak memandang
sekeliling, "Aku pernah mendengar nama Lili. Tapi dia seo-
rang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Putih."
"Akulah itu!" sergah Lili, lalu segera sadar dan sembunyikan semangat
kegembiraannya. Tak seha-rusnya ia bersikap seperti itu, seakan menampakkan
rasa bangganya mendengar Pandu Tawa sebutkan ge-
lar kependekarannya. Rasa sesal itu membuat Lili kian
malu. "Jadi, kau adalah murid Eyang Dewi Langit Perak?" Kali ini Lili benar-
benar kaget. "Dari mana kau tahu?"
"Dari kakekku. Dia sahabat Dewi Langit Perak,
dan tahu persis percintaannya dengan Eyang Dewa
Geledek yang bersemayam di Gunung Tiang Awan itu."
"Sssi... siapa..." Siapa nama kakekmu?" Lili jadi tambah grogi.
"Aku cucu dari Eyang Wejang Keramat yang ting-
gal di Bukit Gobang Wetan! Mungkin kau pernah den-
gar nama Wejang Keramat?"
"O, ya! Pernah!" lebih semangat lagi Lili dalam menjawab. "Guru pernah ceritakan
tentang Eyang Wejang Keramat. Tapi,.. Guru tidak pernah ceritakan
bahwa Eyang Wejang Keramat punya cucu bernama...
bernama...." Lili berpikir dengan gelisah. "Bernama...."
"Pandu Tawa," sahut pemuda itu.
"O, ya! Pandu Tawa!" Lili tertawa kikuk, menutupi kegugupannya. Apalagi setelah
ia dipandangi Pandu
Tawa beberapa helaan napas, ia merasa semakin salah
tingkah dan tahu harus bicara apa padanya.
"Kau tinggal di rumah ini?"
"Ya Tinggal di rumah ini," jawab Lili sambil tersenyum bingung.
Pandu Tawa manggut-manggut, berharap dipersi-
lakan mampir, tapi Lili tak tahu harus ucapkan kata
seperti itu karena gugupnya. Lili sendiri jengkel dalam hati, mengapa ia menjadi
gugup dan seperti anak kecil
begitu" Seharusnya ia bersikap seperti biasanya; tegas, berwibawa, dan tegar.
Tapi mengapa begitu bertemu
Pandu Tawa ia menjadi tak bisa bersikap seperti itu"
Perlahan-lahan Lili kuasai diri, redakan debar-
debar dalam hatinya. Ia menelan napas beberapa kali
untuk mengusir kegugupan itu. Dan ia sedikit berha-
sil, walau masih sering menggeragap jika tiba-tiba ma-
tanya beradu pandang dengan si tampan penggoda ha-
ti wanita itu. "Aku tak sangka kalau kau terlibat persoalan
dengan orang-orang Biara Sita?"
"Aku sendiri... eh, ya... aku sendiri tak sangka."
Pandu Tawa berkerut dahi, "Maksudmu bagaimana"
Apakah sebelumnya kau tidak ada persoalan dengan
orang-orang Biara Sita?"
"Tidak. Eh, maksudku... tidak ada persoalan se-
belum ini. Mereka mau memaksaku menghadap Ketua
Biara Sita yang bernama Putri Kumbang!"
"Oh, bahaya! Kau bisa dipengaruhi dan menjadi
pengikutinya. Dia tokoh sesat. Ilmunya memang cukup
tinggi, tapi aku yakin tidak setinggi ilmumu!"
"Ah, kurasa tidak juga," jawab Lili sambil tersenyum dan menunduk. "Mereka tuduh
aku melanggar undang-undang dan hukum yang sudah disepakati
oleh para tokoh rimba persilatan!"
"Undang-undang macam apa itu?" "Aku tidak ta-hu. Tapi... tapi aku dituduh
melanggar hukum karena
menyimpan sebuah kitab kuno, yang menurutnya ti-
dak boleh dipelajari oleh manusia, karena kitab itu
adalah kitab para dewa!"
Pemuda berwajah bersih itu manggut-manggut
sambil kerutkan dahi. Lalu ia berkata dengan kedua
tangan bersedekap di dada,
"Aku memang pernah dengar, ada kitab yang di-
namakan kitab para dewa. Tapi tak pernah dengar ada
larangan bagi manusia untuk mempelajari isinya!"
"Aku akan diadili oleh Putri Kumbang dan harus
serahkan kitab itu. Lalu aku bertahan."
"Benar, Kau harus bertahan. Putri Kumbang itu
tokoh licik yang memang ingin menguasai seluruh
rimba persilatan. Ia ingin semua tokoh rimba persila-
tan tunduk kepadanya. Ia ingin menjadi Ketua Maha
Raja di dunia persilatan. Tapi sampai sekarang niatnya tak pernah tercapai,
karena dia masih bisa dikalahkan
oleh beberapa tokoh sakti lainnya! Hati-hati terhadap
mereka. Kau bisa kena tipu."
"Eeh... hmmm... iya Terima kasih atas nasihat-
mu!" "Kalau mereka datang lagi mengganggumu, jangan sungkan-sungkan melawannya.
Serang saja, biar
mereka tak berani mengganggumu lagi."
"Iiyy... iya. Akan ku lawan mereka. Aku tak akan
ragu-ragu lagi."
"Kalau begitu, aku permisi sekarang juga."
"Hmmm... ehh... anu... eh, kau mau ke mana,
Pandu Tawa?"
"Aku mau ke teluk Gangga."
"Oh..."!" Lili terperanjat. "Maksudku... maksudku... mau apa kau pergi ke Teluk
Gangga?" "Membunuh seekor naga," jawab Pandu Tawa. "Di sana ada seekor naga yang ganas,
munculnya setiap
bulan purnama, titisan dari Ratu Gaib. Aku harus
membunuh naga itu, karena ayahku hilang ditelan
oleh naga tersebut!"
Sekarang Lili kembali gugup lagi seperti semula,
karena ia tahu rahasia naga tersebut. Sedangkan ia
tahu Pandu Tawa bertekad membalas dendam atas
kematian ayahnya yang ditelan Naga Bara. Tapi hal itu
akan membahayakan jiwa Pandu Tawa, sebab pemuda
itu akan mati secara sia-sia jika hanya mengandalkan
keberanian dan tekadnya saja. Karena itu, Lili pun se-
gera berkata, "See... see... sebaiknya kau batalkan saja niatmu itu!"
"Tak bisa! Dendam ini sudah lama berkarang ke-
ras di dalam hati. Aku harus lakukan hal itu."
"Tap... tap... tapi... tapi tidakkah kau tahu bahwa Naga Bara itu sukar dibunuh"
Tak bisa dilukai dengan
senjata apa pun?"
"Aku tahu. Kakekku telah banyak ceritakan ten-
tang naga tersebut. Bahkan kakekku pun menyaran-
kan agar aku tidak bertindak dengan gegabah dan
hanya memburu dendam saja."
"Maksudku... begini. Maksudku, naga itu hanya
bisa dibunuh dengan sebuah pisau keramat yang ber-
nama Pusaka Hantu Jagal!"
"Benar. Eyang Wejang Keramat juga katakan hal
itu." "Lalu...?"
"Lalu aku diberitahu Kakek, bahwa pusaka terse-
but sekarang sudah ditemukan oleh seseorang yang


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernama Tua Usil atau Pancasona. Dan aku sudah
berhasil bertemu dengan Tua Usil, kemarin! Aku ber-
hasil membujuknya, menukar pisau pusaka itu den-
gan ilmu 'Angin Saka',"
"Hahh..."! Bbbab... bab... bagaimana?" Lili semakin tampak gugup.
"Ku salurkan jurus 'Angin Saka' ke dalam tubuh-
nya, sehingga tubuhnya bisa punya ilmu peringan dan
bisa berdiri di atas ilalang. Lalu, ilmu itu ditukarnya dengan pisau Pusaka
Hantu Jagal."
Pandu Tawa keluarkan pisau tersebut dengan
merogoh di balik belahan bajunya. Ia perlihatkan se-
buah pisau yang sarung dan gagangnya berlapis kun-
ing emas. Gagangnya berhias kepala raksasa. sarung-
nya berukir-ukir indah.
Lidah Lili semakin kelu tak bisa berkata apa-apa.
Hatinya memendam kedongkolan kepada Tua Usil. Ia
tahu, pisau di tangan Pandu Tawa memang pisau Pu-
saka Hantu Jagal. Tapi ia tak sampai berpikir bahwa
pisau itu akan ditukarkan oleh Tua Usil dengan se-
buah ilmu yang bernama 'Saka Angin'. Benar-benar
satu tindakan yang bodoh telah dilakukan oleh Tua
Usil, dan hal itu membuat hati Lili menjadi memendam
kemarahan. Tetapi tertegunnya Pendekar Rajawali Putih itu
diartikan lain oleh Pandu Tawa. Pemuda itu menyang-
ka gadis cantik tersebut sangat terkagum-kagum meli-
hat pisau pusaka itu. Padahal baru melihat bagian
luar dan wujudnya saja, belum melihat kehebatannya.
Pandu Tawa menduga, gadis itu akan lebih terkagum-
kagum lagi setelah menyaksikan kedahsyatan pusaka
tersebut! Cepat-cepat pisau itu disimpan kembali ke balik
bajunya. Pandu Tawa sunggingkan senyum kebang-
gaan, kemudian berkata,
"Sebenarnya aku ingin sekali bicara lebih lama
denganmu, Lili. Tapi aku harus selesaikan dulu uru-
sanku, supaya tidak terlambat. Setelah nanti aku sele-
saikan urusanku itu, aku akan singgah ke sini untuk
menemuimu. Moga-moga belum ada pria lain yang
menemani mu!"
Hanya seulas senyum yang bisa disampaikan
oleh Lili kepada tamunya itu. Ketika tamunya melang-
kah pergi, hati Lili menjadi gundah. Ia buru-buru
mengejar sebelum Pandu Tawa menghilang dari pan-
dangan mata. Ia berseru memanggil, "Panduuu...!"
Pemuda itu hentikan langkah dan berpaling ke
belakang. Ia tersenyum melihat Lili menghampirinya
dengan berlari. Setibanya di depan pemuda itu, Lili
menjadi gugup lagi, namun ia paksakan diri untuk
mengatakan sesuatu.
"Pandu. kau kenal dengan penguasa Teluk Gang-
ga"' "Ya. Dewi Gita Dara namanya. Kenapa?"
"Dia punya sayembara. Siapa bisa bunuh Naga
Bara, dia mau dijadikan istrinya atau...."
Pandu Tawa segera menyahut dalam senyuman
indahnya, "seekor naga, bukan mencari jodoh."
"Hmm... maksudku... maksudku kalau kau mau,
kau bisa ambil dia sebagai istrimu yang tercinta."
"Aku belum berpikir ke arah sana. Kita lihat saja nanti, apakah aku kembali lagi
kemari membawa dia
atau sendirian."
Lili-mengangguk sambil menelan ludah. Sikapnya
yang serba salah tingkah itu menjengkelkan hati sen-
diri. Akhirnya ia berkata,
"Berangkatlah...!" dan sebelum Pandu Tawa melangkah, Lili sudah lebih dulu
berlari pulang ke pon-
dok. Ia tak berani menengok ke belakang lagi. Bahkan
begitu masuk ke dalam rumah, Lili cepat-cepat tutup
pintu rumah itu.
Kemudian ia duduk dengan napas terengah-
engah, tertegun diam sampai beberapa lama baru me-
nyadari keadaan dirinya. Dalam hati ia berkata, "Mengapa perasaanku jadi seperti
ini" Edan benar aku ini!
Aku menjadi gugup berhadapan dengannya. Aku men-
jadi malu, namun punya kecemasan yang tak kumen-
gerti. Aku punya niat ingin menahannya agar jangan
pergi. Kenapa harus begitu" Kenapa aku harus berlari-
lari menyusulnya" hanya untuk suatu pembicaraan
yang sebenarnya tak penting" Terkena apa aku ini, se-
hingga kehilangan ketegasan dan kewibawaan ku" Be-
nar-benar aku tak mengerti, mengapa hatiku jadi ber-
debar-debar terus dan merasakan sebentuk keindahan
yang amat panjang. Sampai sekarang aku masih mera-
sa senang dan senang terus. Gila! Kurasa dia mempu-
nyai kekuatan yang dapat membuatku senang terus
begini"! Jika benar begitu, berarti dia punya ilmu cu-
kup tinggi juga" Bisa-bisa aku bertekuk lutut dan tun-
duk dengan perintahnya jika aku terlalu lama bersa-
manya!" Lili berusaha membuang perasaan senang itu. Lili
takut keracunan rasa suka yang membuatnya tak bisa
lepas dari pemuda tampan itu. Maka, ia segera ambil
sikap semadi dan menenangkan pikirannya. Ia mene-
robos batin sendiri untuk membersihkan diri dari sega-
la sesuatu yang timbul dan dilakukan di luar kesada-
rannya. Setelah beberapa saat ia menenangkan pikiran
dan mengendalikan batinnya, maka yang terbayang
dalam benaknya adalah pisau Pusaka Hantu Jagal itu.
Rasa senang di hati Lili berubah menjadi letupan-
letupan kemarahan. Marah kepada Tua Usil yang telah
bertindak ceroboh. Menukar pisau pusaka dengan se-
buah ilmu adalah tindakan terbodoh yang pernah dili-
hat Lili seumur hidupnya.
"Ternyata dia jauh lebih bodoh dari si Bocah Bo-
doh itu!" geram Lili dalam batinnya. "Seharusnya hal itu
tidak ia lakukan. Kalau toh harus dilakukan, tentunya
ia minta pertimbangan dulu kepadaku dan kepada Yo-
ga. Benar-benar menjengkelkan si Tua Usil itu. Apakah
dia tidak bisa ukur nilai sebuah pisau pusaka seperti
itu dengan sebuah ilmu yang bisa membuatnya berdiri
di atas ilalang?"
Kecamuk batin Lili terhenti sebentar. Ada sesua-
tu yang menyelinap dalam pikirannya. Terbayang saat
Yoga pergi bersama Tua Usil, tujuannya hanya ingin
membujuk Bocah Bodoh agar membatalkan niatnya
dalam melawan Naga Bara.
"Mengapa tujuan mereka hanya ingin membujuk
Bocah Bodoh" Mengapa tidak bertujuan membunuh
Naga Bara sekalian" Bukankah Tua Usil mestinya me-
rasa mampu mengalahkan naga titisan Ratu Gaib itu"
Apakah karena ia menyadari bahwa pisau Pusaka
Hantu jagal sudah tidak lagi di tangannya, lantas dia
tidak berani punya gagasan untuk melawan atau
membunuh naga tersebut"! Apakah itu berani Yoga ju-
ga sudah tahu tentang pisau yang tidak lagi di tangan
Tua Usil" Bagaimana jika Yoga tidak tahu hal itu, dan
masih menganggap pisau pusaka ada di tangan Tua
Usil" Bagaimana jika Bocah Bodoh nekat melawan, la-
lu Yoga ingin selamatkan Bocah Bodoh dari naga silu-
man itu, sementara Yoga beranggapan bahwa pisau
pusaka ada di tangan Tua Usil" Jika mereka sudah te-
lanjur berhadap muka dengan naga itu, tentu saja me-
reka terpaksa harus bertarung dengan sang naga. Te-
tapi tanpa pisau Pusaka Hantu Jagal, apa yang akan
mereka peroleh" Hanya kematian yang sia-sia saja!"
Timbul rasa khawatir di hati Lili terhadap kese-
lamatan Yoga dan Bocah Bodoh di Teluk Gangga. Jika
Tua Usil terlambat memberitahukan tentang pisau itu
kepada Yoga, maka Yoga dan Bocah Bodoh bisa-bisa
menjadi santapan Naga Bara.
"Aku harus menyusul mereka dan membicara-
kannya dengan Yoga!"
Begitulah keputusan hati Lili setelah merenung-
kan berbagai pertimbangan. Maka ia pun segera me-
manggil burung rajawalinya. Kedua tangan yang
menggenggam beradu di depan dada, lalu dari perten-
gahan genggaman itu melesat sinar putih perak ber-
bentuk gelombang-gelombang lingkaran yang melesat
menuju ke langit. Sinar hijau itu timbulkan suara den-
gung yang semakin tinggi semakin menggema meme-
nuhi angkasa. Pada saat seperti itulah, sang rajawali
putih yang berada di tempat mana saja segera terbang
memburu ke arah datangnya suara dengung, karena
dengung tersebut merupakan panggilan khusus ba-
ginya yang tidak dipahami oleh burung-burung lain-
nya. Dengan mengendarai burung rajawali putih, Lili
segera terbang menuju Teluk Gangga. Ia melintasi sa-
mudera luas hanya dengan seekor burung besar itu
saja. Ia duduk di atas punggung burung dengan tegar
dan sangat mengagumkan, sebagai pendekar perem-
puan yang punya keberanian tinggi. Dalam keadaan
seperti itu, cahaya wibawa memancar dari wajah dan
sikap penampilannya. Lili kelihatan sebagai gadis can-
tik yang berkharisma tinggi. Bukan gadis bodoh yang
serba gugup seperti yang dialaminya di depan Pandu
Tawa. Deeg...! Hati Lili kembali tersentak, namun kali ini hanya sekejap.
Sesuatu yang membuat hatinya tersentak adalah suatu pemandangan di permukaan air
laut yang bergelombang tenang itu. Sebuah perahu
berlayar kecil ditunggangi oleh seorang pemuda berpa-
kaian biru muda. Siapa lagi dia kalau bukan cucu
Eyang Wejang Keramat yang bernama Pandu Tawa.
Pemuda itu berlayar sendirian mengarungi lautan den-
gan perahu kecil dan layar kecil. Namun laju perahu
cukup pesat. Padahal angin tidak terlalu besar. Te-
nang-tenang saja.
"Jika bukan digerakkan oleh suatu kekuatan te-
naga dalam tinggi, perahu itu tak mungkin bisa melaju
dengan cepatnya. Tak seimbang dengan keadaan angin
yang kala ini bertiup dengan lamban. Bahkan boleh
dikata, lautan ini sekarang tanpa angin! Agaknya pe-
muda itu memang punya ilmu tinggi yang mengagum-
kan." Pandu Tawa tidak tahu kalau di atasnya diikuti seekor burung rajawali
putih. Merasa sendirian, Pandu
Tawa saat itu sedang mengamat-amati pisau pusaka
tersebut dengan perasaan bangga dan girang. Ia tidak
tahu, bahwa sepasang mata gadis cantik sedang mem-
perhatikan dari atas, lebih cenderung ke arah bela-
kangnya. Ketinggian burung itu sedang-sedang saja,
sehingga kibasan sayapnya tak sampai mengguncang-
kan perahu yang melaju dengan pesatnya.
Pada kesempatan lain, mata Lili melihat sebuah
kapal berlayar lebar sedang bergerak memotong jalan
perahunya Pandu Tawa. Perahu yang tak seberapa be-
sar itu ditunggangi oleh seorang lelaki tinggi mengenakan jubah abu-abu. Lili
perhatikan terus lelaki berju-
bah abu-abu itu, sampai ia temukan ingatannya yang
mengatakan bahwa laki-laki berusia sekitar tujuh pu-
luh tahun itu adalah orang yang bernama Jubah
Jangkung. Lili pernah jumpa orang itu dalam sebuah
pertemuan para tokoh sakti di sebuah bukit.
Jubah Jangkung adalah kekasih Nyai Kuku Se-
tan yang pernah mau tuntut balas kepada Tua Usil,
namun saat itu Tua Usil dibela oleh Nyai Bungkuk
Renta (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Jejak Tapak Biru"). Lili pun
pernah dengar cerita itu dari Tua Usil.
Melihat gerakan kapal yang ingin memotong jalur
lintas pelayaran perahu kecil tersebut, Lili dapat menduga bahwa Jubah Jangkung
yang berwajah sedingin
es itu punya maksud kurang baik terhadap Pandu Ta-
wa. Maka perhatian Lili pun tak mau lepas dari mere-
ka! Bahkan ia suruh burungnya terbang lebih tinggi
dan memutar-mutar di tempat itu, membayang-
bayangi Panda Tawa.
Pandu Tawa terkejut ketika ia mendengar gemu-
ruh ombak berbeda dengan yang tadi. Ia lebih terkejut
lagi setelah tahu di depannya ada kapal bertiang layar tunggal. Buru-buru ia
sembunyikan pisau tersebut di
balik baju birunya. Setelah ia tahu Jubah Jangkung
ternyata berdiri di atas geladak kapal dengan mata
memperhatikan ke arahnya, Pandu Tawa mulai curiga
terhadap lelaki bermata cekung bersorot pandang din-
gin itu. Kapal itu sengaja dibuat mendekati perahu Pan-
du Tawa, Kecepatan lajunya menjadi sama. Pasti Ju-
bah Jangkung juga kerahkan tenaga dalamnya secara
diam-diam agar layar perahunya dapat tertiup lebih
kencang dari hembusan angin yang ada.
"Singkirkan kapal mu, Jubah Jangkung. Perahu
ku bisa pecah terhantam oleh kapal mu!"
Jubah Jangkung hanya menjawab, "Aku memang
ingin hancurkan perahu mu dan dirimu sendiri, ke-
cuali kau mau serahkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu
padaku!" "Aku tidak memilikinya!"
"Aku melihatnya!" jawab Jubah Jangkung berna-da datar.
"Huah, hah, hah, hah, hah...!" Pandu Tawa lepaskan suara tawanya berkepanjangan.
Itu pertanda ia
sedang tebarkan racun yang membuat seseorang men-
jadi tertawa terus hingga tak sadarkan diri.
Tetapi orang berwajah angker dan tak pernah
mau tersenyum itu tetap saja diam memandangi Pan-
du Tawa. Rupanya ia bisa tolak kekuatan yang dina-
makan Racun Tawa itu, sehingga jurus yang diguna-
kan Pandu Tawa itu tidak berlaku. Pandu Tawa me-
nyadari hal itu, dan ia mulai cemas serta kecewa. Ter-
nyata ada orang yang mampu menahan kekuatan Ra-
cun Tawa-nya dengan tanpa mengedipkan matanya
sedikit pun.

Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perahu yang ditunggangi Pandu Tawa itu berhen-
ti total. Pandu Tawa sempat berkerut dahi. Pasti pekerjaan Jubah Jangkung yang
membuat perahunya ber-
henti. Dengan kekuatan tenaga dalam yang terpancar
melalui pori-pori tubuhnya, Pandu Tawa berusaha ke-
rahkan angin agar perahu jalan kembali. Namun usa-
hanya itu gagal. Jubah Jangkung tetap pandangi di-
rinya dengan kedua tangan bersedekap di dada. Ram-
but kucainya yang panjang itu dibiarkan meriap-riap
dihembus sepoi angin samudera.
"Jangan menggangguku, Jubah Jangkung. Nanti
kau kecewa sendiri!" gertak Pandu Tawa dengan nada tak terlalu keras.
Zlaaap...! Jubah Jangkung hilang dari pandan-
gan mata Pandu Tawa. Pemuda itu mencari-carinya,
tahu-tahu orang yang dicari sudah ada di atas pera-
hunya, berdiri tenang bersedekap di belakangnya. Sua-
ra orang itu terdengar mengagetkan Pandu Tawa,
"Bersiaplah! Aku akan merebut pisau yang kau
selipkan di balik bajumu itu, Pandu Tawa!"
"Kau tak akan berhasil, Jubah Jangkung!" geram Pandu Tawa.
Jubah Jangkung menuding layar perahu. Tiba-
tiba tali layar putus dengan sendirinya. Taaas.! Sampai di bawah, layar itu
kepulkan asap dan terbakar dengan
nyala api cukup besar, Tentu saja hal itu membuat
Pandu Tawa marah. Namun ia harus bisa menahan
kemarahannya karena yang dihadapi bukan manusia
biasa melainkan orang berilmu tinggi.
Pandu Tawa pandangi nyala api yang membakar
layarnya itu. Dalam sekejap nyala api itu menjadi pa-
dam. Blaab...! Tinggal asapnya yang mengepul dan sisa
layar yang hangus tak bisa dipakai lagi itu.
Trak...! Prak...! Doog...!
Suara apa itu" Pikir Pandu Tawa. Kemudian ia
rasakan perahunya makin lama semakin rendah. Te-
piannya kian dekati permukaan air laut. Air laut pun
mulai menggenangi dasar perahu. Maka sadarlah Pan-
du Tawa bahwa perahunya telah dibuat bocor oleh Ju-
bah Jangkung dengan kekuatan batinnya.
"Kurang ajar! Dia telah membuat perahu ku bo-
cor!" geram Pandu Tawa dalam hatinya. Kejap berikutnya kembali terdengar suara,
Draaak.,.! Praaak...! Braaak...!
Jubah Jangkung gerakkan bola matanya pelan,
melirik ke arah kapalnya. Ternyata kapal itu sudah
miring ke kanan. Jubah Jangkung sadar, bahwa lam-
bung kanan pasti telah dirusak oleh kekuatan batin
yang dimiliki oleh Pandu Tawa, Kapalnya pun makin
lama makin tenggelam, sementara perahu itu pun ma-
kin lama makin penuh dengan air. Dalam hati Jubah
Jangkung hanya membatin,
"Bocah ini rupanya punya kekuatan batin tingkat
tinggi juga"! Sebaiknya kuserang dengan kasar! Belum
tentu dia punya kecepatan gerak menyamaiku!"
Zlaaap...! Buuuhg...!"
Pandu Tawa seperti terkesiap dikagetkan oleh
suatu gerakan. Tiba-tiba ia sadari dirinya telah jatuh di lantai perahu dan
digenangi air laut. Rupanya Jubah Jangkung telah memukulnya dengan satu gerakan
cepat yang tak mudah dilihat oleh mata.
"Uuh...! Dadaku panas sekali. Uuuh...! Aku... su-
lit bernapas!" Pandu Tawa berusaha bangkit, namun jatuh kembali. Kekuatannya
bagai telah dilumpuhkan
dengan hanya. satu kali pukulan telapak tangan ber-
kekuatan tinggi. Sementara itu, Jubah Jangkung su-
dah berada di tepian geladak kapalnya yang makin
miring makin tenggelam.
Melihat keadaan Pandu Tawa yang tak bisa
bangkit, Lili yang ada di atas burung Segera mengeta-
hui bahaya yang sedang dihadapi Pandu Tawa. Maka
dengan cepat ia perintahkan rajawali putihnya untuk
menukik dan menyerang Jubah Jangkung.
"Serang si Jubah Jangkung itu, Putih!" Clap, clap...! Seberkas sinar putih perak
melesat dari kedua mata burung itu. Blaaar...! Kapal itu dihantam sinar
putih dan meledak, Jubah Jangkung sendiri jatuh ter-
gelincir ke bawah. Byuuur!
Wuuut...! Cakar rajawali menyambar badan Pan-
du Tawa dan membawanya lari, terbang kian tinggi,
semen tara Pandu Tawa merasa tak bisa berbuat apa-
apa. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Ia pasrah di da-
lam cengkeraman cakar rajawali besar itu.
* * * 5 RAJAWALI putih diperintahkan mendarat di se-
buah pulau kecil tak berpenghuni. Di sana, Lili laku-
kan pengobatan untuk Pandu Tawa. Dalam waktu
singkat ternyata Lili telah berhasil sadarkan Pandu
Tawa, lalu kekuatan pemuda itu berangsur-angsur
membaik. Kalau saja Lili mau lakukan, sebenarnya ia bisa
saja mencuri pisau bersarung emas yang terselip di ba-
lik baju Pandu Tawa ketika pemuda itu pingsan tadi.
Tapi Lili tak mau lakukan karena hati nuraninya ber-
tentangan dengan perbuatan tersebut.
"ini kesalahan Tua Usil jika pisau pusaka sampai
jatuh ke tangan orang lain. Pandu Tawa toh tidak
mencurinya. Jadi aku tak perlu mencuri pisau Ini! Bi-
arlah nanti Pandu Tawa dan Tua Usil yang berurusan
tentang pisau ini!"
Pendekar Rajawali Putih hanya lakukan pertolon-
gan, karena hal itu dianggapnya suatu balas jasa atas
pertolongan Pandu Tawa, saat Lili terdesak hadapi tiga utusan dari Biara Sita
itu. Pandu Tawa sendiri merasa
lega dan tenang, karena ia berhasil ditolong dan dis-
elamatkan oleh Lili. Bahkan ia berkata kepada Lili, Tak kusangka kau ternyata
menyusul ku juga!" "Suatu hal yang kebetulan saja!" jawab Lili dengan tenang.
Sekarang ia bisa bersikap tenang, tegas. dari berwibawa.
Mungkin karena ia telah lakukan semadi penguat jiwa,
sehingga ia tak mengalami kegugupan dan perasaan
aneh seperti di depan pondoknya itu. Lili merasa se-
nang karena bisa bersikap tenang. Malahan ia berani
berkata, "Aku akan pergi ke Teluk Gangga juga untuk satu
keperluan. Kau mau ikut denganku atau mau jalan
sendiri?" "Kalau kau tak keberatan, aku numpang pada-
mu!. Aku tak punya kendaraan lagi," kata Pandu Tawa dengan kalem dan tetap
sunggingkan senyum menawan. Siiirr! Hati Lili berdesir, namun ia mampu mena-
han dan menyembunyikan desiran tersebut.
Pada saat Pandu Tawa membonceng di belakang
Lili, duduk di atas punggung sang rajawali, kegunda-
han hati Lili mulai terasa lagi. Karena pada saat itu, Pandu Tawa memegangi
pundak Lili selama dalam pe-
nerbangan. Lili tak bisa melarang karena keadaannya
sangat beralasan. Akibatnya sentuhan tangan Pandu
Tawa hadirkan kegelisahan serta debar-debar aneh la-
gi. "Celaka! Aku kembali alami perasaan seperti ini!
Diakah yang membuatnya begini atau perasaanku
sendiri yang amat peka oleh sentuhan suasana seperti
ini?" pikir Lili dengan mulut terbungkam. Ia tetap berusaha kendalikan batinnya
dengan susah payah. Ma-
kin lama ia rasakan makin ada sesuatu yang mende-
sak batinnya untuk menikmati debaran-debaran in-
dah. Ada kekuatan yang memaksa batinnya untuk
menerima perasaan senang dan menikmati kesenan-
gan itu tanpa perlawanan apa pun. Maka Lili pun sege-
ra berkata dalam batinnya,
"Perasaan senang, gembira, dan bangga, terlalu
kuat menekan batin ku, seakan memaksakan diri un-
tuk di terima. Kalau begitu, jelas ini perbuatan batin Pandu Tawa. Dia sengaja
kirimkan kekuatan batin ke
dalam jiwa ku, supaya aku kehilangan ketegasan, ke-
beranian, dan wibawa seperti biasanya! Aih, kenapa
baru sekarang kusadari hal ini"!"
Terdengar suara Pandu Tawa berkata pelan, Apa-
kah Jubah Jangkung tak kau bunuh?"
Tidak," jawab Lili dengan pendek. Sengaja ia pak-
sakan mulutnya untuk tidak lebih dari sepatah kata
saja dalam menjawab, supaya ia tidak hanyut dalam
kekuatan batin yang membuainya itu.
"Berarti dia masih hidup?" tambah Pandu Tawa bagai memancing kata.
"Masih!" jawab Lili pendek lagi.
Lama-lama Pandu Tawa merasakan kejanggalan
itu. Setiap ia bertanya, hanya dijawab satu kata. Ia jadi curiga dan akhirnya
bertanya dengan suara sedikit
berbisik, "Mengapa sikapmu berubah?" "Karena aku tak suka kau kirimkan kekuatan batin yang
bersifat mendesak batin ku!"
"Aku tidak..."
"Jangan bohong! Aku tahu kau punya kekuatan
batin tinggi. Kau bisa lakukan sesuatu dengan hanya
gunakan kekuatan batinmu. Dan kau telah buai aku
dengan keindahan batinmu yang mau tak mau terpak-
sa kuterima. Kau tak tahu, hal itu sangat menyakitkan
hati, karena merasa batin ku di perbudak oleh kehen-
dak batinmu!"
Pandu Tawa diam, sedikit menahan malu yang di
sembunyikan. Untung ia berada di belakang Lili, se-
hingga tak merasa terlalu berat menerima kecaman
seperti itu. Akhirnya Pandu Tawa pun berkata,
"Kalau kau ingin pelajari kekuatan batin yang di-
namakan ilmu 'Serat Jiwa', aku sanggup mengajar-
kannya padamu!"
"Terima kasih." Hanya itu jawaban Lili, selebih-nya diam tak berucap. Tapi dalam
hatinya ia bicara
dengan dirinya sendiri,
"Harus kupelajari kekuatan batin itu! Ternyata
cukup penting. Dalam Kitab Jagat Sakti ilmu itu di-
namakan Aji Sukma'. Aku akan pelajari ilmu 'Aji Suk-
ma', dan Yoga pun harus bisa kuasai ilmu itu."
* * * Rakyat Teluk Gangga mulai gelisah. Banyak yang
menghadap Dewi Gita Dara mengemukakan kecema-
sannya, karena sebentar lagi malam bulan purnama
akan tiba. Mereka diliputi perasaan takut menjadi kor-
ban seekor naga siluman itu. Mereka menuntut perlin-
dungan. Tuntutan itulah yang membuat Dewi Gita Da-
ra merasa terlalu dirongrong kewibawaannya. Para
penduduk yang diam di dekat kaki Bukit Palagan di-
ungsikan untuk sementara waktu. Tempat di sekitar
gua persembunyian Naga Bara itu dikosongkan sebe-
lum purnama tiba dan naga tersebut mencari mangsa.
Pada saat itu, Bocah Bodoh yang memang men-
dengar sendiri keluhan dan kecemasan penduduk, se-
gera berkata kepada Dewi Gita Dara,
"Sebaiknya beritahukan saja kepada mereka,
bahwa saya datang untuk membunuh Naga Bara.
Dengan berkata begitu, penduduk pasti merasa te-
nang, Nona Dewi."
"Sebetulnya aku hanya ingin mengangkatmu se-
bagai pengawalku karena kau telah berjasa sela-
matkan aku dari serangan Raga Dewa. Aku tidak ingin
kau melawan naga itu, karena sangat membahayakan
jiwamu." Untuk lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Jejak
Tapak Biru").
Bocah Bodoh tampak kecewa, ia berkata pelan,
"Kalau begitu, percuma saya datang kemari, Nona De-wi!" "Tidak percuma. Bukankah
kau akan bekerja di sini sebagai pengawalku dan selalu tinggal di istana ini
bersamaku?"
"Ya. Memang," katanya dengan malas-malasan.
"Tapi, saya ingin bebaskan Nona Dewi dari beban ancaman Naga Bara yang setiap
bulannya minta korban
itu!" Dewi Gita Dara yang mengenakan anting tindik di cuping kiri hidungnya itu
tersenyum manis, hati Bocah
Bodoh seperti mendapat durian runtuh. Senangnya
bukan main. Lalu, Dewi Gita Dara berkata,
"Aku tahu maksudmu sebenarnya, Bocah Bodoh.
Kau ingin mengabdi padaku dan berani berkorban un-
tukku. Tapi aku tak mau kau berkorban senekat itu.
Berkorban tanpa perhitungan sama saja mati konyol."
Dengan wajah sedikit tertunduk, Bocah Bodoh
berkata, "Itu sama saja Nona Dewi Gita Dara mere-
mehkan kemampuan pedang pusaka saya! Padahal
pedang pusaka ini saya peroleh dengan menimbulkan
banyak korban, dan banyak pula yang mengincarnya!"
"Bocah Bodoh, aku tidak meremehkan pedang
pusaka mu itu. Aku lihat. sendiri kedahsyatan nya ka-
la itu. Tetapi, kalau kau gagal dengan pedangmu, kau
akan mati ditelan naga itu. Dan hal ini yang tidak
kuinginkan. Jika orang lain ingin mencoba melawan naga itu,
biarlah dia mencoba, kalau ditelan naga atau mati di
sana, aku tidak merasa kehilangan. Tapi jika kau yang
mati disana, aku merasa sangat kehilangan."
Hati Bocah Bodoh yang usianya sudah mencapai
lima puluh tahun itu mempunyai perasaan tenteram
mendengar kekhawatiran Dewi Gita Dara. Tetapi ia
berpikir, "Kalau ada orang yang bisa bunuh naga itu, berarti Dewi Gita Dara
diperistri orang itu. Lalu bagaimana dengan diriku" Padahal aku ingin bunuh naga
itu supaya punya hak untuk menjadi suami Dewi Gita
Dara. Aku kepingin sekali tidur di atas pangkuannya,
makan bersamanya dan... ah, pasti aku akan bahagia
jika menjadi suaminya. Tanpa melalui jalan membu-
nuh naga itu, aku tidak akan bisa jadi suaminya. Dewi
Gita Dara punya hak untuk menolak lamaranku. Tapi
kalau aku bisa bunuh naga itu, Dewi Gita Dara tak
akan berani tolak lamaranku!"
Bocah Bodoh bingung mendengar keberatan Dewi
Gita Dara terhadap niatnya itu. Apakah keberatan
sang penguasa Teluk Gangga itu dikarenakan rasa cin-
ta, atau dikarenakan rasa yang lainnya" Bahkan da-


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lam pikiran Bocah Bodoh sempat berpendapat,
"Jangan-jangan dia tidak izinkan aku membunuh
Naga Bara, karena dia takut kalau aku berhasil mem-
bunuhnya lalu dia harus mau menjadi istriku" Jan-
gan-jangan begitu, ya"!"
Sambil berpikir dan berkecamuk sendiri, Bocah
Bodoh menikmati hawa sejuk di bawah pohon beringin
kembar yang ada di pelataran istana Teluk Gangga itu.
Ia duduk di sana sendirian dan tak ada pengawal yang
berani melarangnya. Sebab Dewi Gita Dara sudah
umumkan kepada para pengawal dan pegawai istana,
bahwa Bocah Bodoh telah diangkat menjadi pengawal
pribadinya, dan bebas berada di mana saja. Dewi Gita
Dara pun menceritakan kepahlawanan Bocah Bodoh
saat mereka diserang oleh orang-orang Partai Bajak
Samudera. Pengangkatannya itu membuat Bocah Bodoh di-
hormati dan disukai oleh para pengawal lainnya, ter-
masuk para pegawai istana sampai ke juru masak se-
gala. Tetapi penghormatan dan sikap baik mereka itu
tidak membuat hati Bocah Bodoh menjadi senang se-
belum ia diizinkan melawan naga berkaki enam itu.
Makin sedih hati Bocah Bodoh ketika Dewi Gita
Dara kedatangan tiga orang tamu dari lain daerah. Ti-
ga orang tamu itu bermaksud menjadi peserta dalam
sayembara membunuh naga. Walau sayembara itu su-
dah lama tidak pernah dibicarakan lagi, tapi bagi beberapa orang yang tergiur
oleh kecantikan dan daya pikat tubuh yang dimiliki Dewi Gita Dara, sayembara itu
masih berlaku dan selalu dikejar.
Tiga orang yang ingin melawan seekor naga ganas
pada malam bulan purnama nanti adalah: Barong
Bangkai, dari Perguruan Tebing Setan. Sakuntala, dari
Partai Pengelana Tunggal. Dan. Jin Arak dari Lembah
Gempa. Hal yang menjengkelkan hati Bocah Bodoh, ter-
nyata, Dewi Gita Dara memberi kesempatan bagi me-
reka bertiga untuk mencoba membunuh Naga Bara.
Padahal menurut Bocah Bodoh, ketiganya tidak ada
yang mempunyai wajah tampan, tidak ada yang pantas
menjadi suami Dewi Gita Dara seandainya ada yang
bisa membunuh naga itu.
Barong Bangkai bertubuh tak begitu gemuk, na-
mun wajahnya totol-totol bagai habis terkena penyakit
kulit Brewokan dan matanya sedikit cacat karena ter-
lalu melotot keluar. Badannya sendiri sedikit bungkuk
dan tak kelihatan gagah.
Sakuntala kurus kering. Kepalanya botak bagian
depan, rambut belakangnya panjang. Ia bertubuh se-
dikit tinggi namun tidak termasuk jangkung. Matanya
kecil, kumisnya melengkung ke bawah melewati perba-
tasan mulut. Usianya sekitar empat puluh tahun, sa-
ma dengan usia Barong Bangkai, juga usia Jin Arak.
Sakuntala bersenjatakan tombak berujung bulan sabit,
sedangkan Barong Bangkai bersenjata pedang besar
tanpa sarung. Jin Arak sendiri bertubuh gemuk, perutnya maju
ke depan. Punggungnya bagaikan ada dua. Kepalanya
gundul dan hanya memakai baju rompi pendek yang
tak pernah bisa ditutupkan karena besarnya badan tak
sesuai dengan besarnya rompi. Jin Arak sangat tidak
pantas menjadi suami Dewi Gita Dara, kalau toh di-
paksakan jadi suaminya, kasihan Dewi Gita Dara yang
bertubuh mulus, langsing, sekal, dan lembut kulitnya.
Jin Arak berkulit kasar, banyak noda hitam bekas ko-
reng. Dalam hati Bocah Bodoh benar-benar tak rela ji-
ka salah satu dari ketiga orang itu ada yang menjadi
suami Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh diam-diam men-
cari cara agar ketiga orang itu batal dan tak berhasil menjadi pembunuh seekor
naga liar itu Terdengar Barong Bangkai berkata kepada Dewi
Gita Dara, "Aku ingin melihat tempat yang biasa digunakan naga itu untuk keluar-
masuk ke sarangnya."
"Pengawalku akan mengantarmu ke sana, Barong
Bangkai!" kemudian Dewi Gita Dara perintahkan dua pengawalnya untuk mengantar
Barong Bangkai ke
daerah yang biasa digunakan naga itu mencari mang-
sa, tepatnya di kaki Bukit Palagan yang mempunyai
lebih dari tujuh gua besar. Tapi tak ada satu pun gua
yang digunakan untuk bertapa, karena salah-salah
mereka masuk ke gua sarang naga.
Rupanya bukan hanya Barong Bangkai yang in-
gin melihat tempat tersebut, melainkan Sakuntala dan
Jin Arak pun ingin melihatnya. Bahkan Bocah Bodoh
diam-diam mengikuti langkah mereka yang diantar
oleh dua pengawal. Ketika mereka tiba di tempat itu,
tiba-tiba Bocah Bodoh mempunyai pemikiran yang rin-
gan tapi menguntungkan bagi dirinya. Ia berkata da-
lam dirinya, "Kalau aku bisa membunuh ketiga orang itu, be-
rarti pada malam bulan purnama nanti hanya ada aku
seorang yang menghadapi naga tersebut. Tapi kalau
aku harus bunuh mereka, aku akan dinilai jahat oleh
Dewi Gita Dara. Alangkah baiknya jika ku adu saja
mereka bertiga, sehingga nantinya aku hanya punya
satu orang lawan yang harus beradu kesaktian den-
ganku dalam melawan seekor naga itu."
Tiga orang itu memeriksa semak-semak di sekitar
kaki bukit. Tampak ada beberapa tanaman yang rebah
dan membentuk jalur panjang. Pasti bulan lalu habis
digunakan lewat naga tersebut.
Bocah Bodoh ikut pula memeriksa semak-semak.
itu tanpa tahu mengapa harus diperiksa. Tetapi ke-
sempatan itu digunakan oleh Bocah Bodoh untuk
memperkenalkan diri sebagai pengawal pribadi Gusti
penguasa Teluk Gangga. Untuk membuktikan kekua-
saannya, Bocah Bodoh berseru kepada dua pengawal
yang mengantar mereka,
"Tinggalkan tamu-tamu kita, nanti kami biar
kembali sendiri ke istana!" sambil Bocah Bodoh sedikit busungkan dadanya biar
gagah. Kedua pengawal itu pun segera pergi, dan ketiga
tamu itu percaya bahwa Bocah Bodoh punya jabatan
di Teluk Gangga itu. Maka setelah mereka selesai
mempelajari keadaan setempat, mereka pun berjalan
menuju ke pantai untuk melihat kemungkinan sang
naga bisa lari sampai ke pantai. Itu pun atas usul Bo-
cah Bodoh yang berkata,
"Kalian dengar suara debur ombak" Nah, itu tan-
danya tak jauh dari tempat ini ada laut. Laut pasti
punya pantai. Mungkin saja Naga Bara itu lari masuk
ke laut, atau munculnya dari laut. Jadi sebaiknya mari kita periksa keadaan di
sekitar pantai."
"Aku setuju!" kata Sakuntala. Jin Arak hanya menggumam dan manggut-manggut.
Sebentar-sebentar ia meneguk araknya yang dibawa-bawa me-
makai kantong kulit binatang. Kantong kulit itu bertali dan diselempangkan dari
pundak kiri ke pinggang kanan. Jalannya sebentar-sebentar seperti terantuk batu
dan sering salah arah. Yang lainnya ke utara, dia ber-
gerak ke barat. Setelah sadar baru kembali menyusul
ke utara. Pada saat mereka berjalan berempat menuju
pantai, Bocah Bodoh sempat berkata, "Apakah kalian akan maju bersama menyerang
naga itu nantinya?"
Barong Bangkai menjawab, "Tidak mungkin kami
maju bersama. Nanti tidak ketahuan siapa yang berha-
sil membunuh naga itu!"
"Kurasa kami akan maju satu persatu," kata Sakuntala.
"Bagus. Itu bagus!" kata Bocah Bodoh berlagak pintar. "Tapi kalian nanti harus
jujur dan tidak boleh sakit hati."
"Maksudnya bagaimana?"
"Kalau Sakuntala yang berhasil membunuh naga,
maka dia yang akan menikah dengan Dewi Gita Dara.
Barong Bangkai dan Jin Arak tak boleh sakit hati. Sa-
kuntala yang berhak menikmati kesenangan dan ke-
mesraan Gusti Dewi! Demikian pula kalau Barong
Bangkai yang berhasil bunuh naga itu, yang lain tak
boleh iri!" "Ya, ya..; aku mengerti!" kata Sakuntala.
"Tapi kurasa yang bakal mendapatkan Gusti Dewi adalah Jin Arak!"
Jin Arak menyahut, "Ya, ya... aku mau! Aku
mau!" "Mengapa kau menjagokan Jin Arak"!" hardik Barong Bangkai.
"Karena kulihat Jin Arak punya tanda-tanda ke-
saktian lebih tinggi dari kalian berdua!" pancing Bocah Bodoh yang dalam keadaan
seperti itu menjadi pintar,
tapi pintar-pintar bodoh.
Sakuntala tersinggung mendengar ucapan itu, la-
lu berkata dengan suara keras, "Apa kesaktian Jin Arak" Dia tidak ubahnya
seperti kambing yang sering
bingung arah menuju ke kandangnya! Belum tentu dia
bisa menghantam kepala Naga Bara dengan tepat. Bi-
sa-bisa yang dihantamnya kepala orang!"
"Huah, ha, ha, ha...!" Barong Bangkai tertawa
sambil tetap berjalan menuju pantai. "Jin Arak punya kesaktian kalau di bawah
ketiak gundiknya! Ha, ha,
ha...!" "Heiii...!" kata Jin Arak dengan menuding Bocah Bodoh. "Kau jangan
bicara sembarangan, ya"!"
"Lho, yang bicara Barong Bangkai. Bukan aku!
Dia di sebelah sana!"
"O, iya...! Mana Barong Bangkai..."!" Jin Arak membetulkan arah tudingan
tangannya. Lalu ia berkata kepada Barong Bangkai,
"Barong Bangkai, kau harus minta maaf padaku
karena ucapanmu tadi merendahkan harga diriku, ta-
hu"!" sambil bicaranya meliuk-liuk karena terlalu banyak minum arak.
"Tak sudi aku minta maaf padamu! Kalau Sakun-
tala pantas minta maaf padamu. Tapi Barong Bangkai
tak pantas meminta maaf pada siapa pun! Jangan
anggap aku serendah Sakuntala!"
Sakuntala tersinggung, "Kenapa kau rendah-
rendahkan aku, hah"!" Ia mendorong punggung Ba-
rong Bangkai. Yang didorong makin tersinggung dan
membelalakkan mata yang semakin lebar itu.
"Kau berani bersikap kasar padaku, Sakuntala"!
Kau belum tahu siapa aku". Aku orang Tebing Setan!"
Apa hebatnya orang Tebing Setan" Kau pikir aku
gentar mendengar nama Tebing Setan"!"
"Sakuntala! Jangankan hanya kau seorang. Ka-
lian berdua maju bersama aku tak akan mundur se-
jengkal pun!"
Barong Bangkai membuat kedua orang itu ma-
rah. Jin Arak segera berkata dengan suaranya yang
mengambang, "Hanya orang bodoh yang berani menantangku,
Barong Bangkai! Kau dan Sakuntala maju bersama. Si-
lakan serang aku jika kalian berdua ingin remuk kepa-
lanya! Ayo, serang aku...!"
Bocah Bodoh mulai menjauh setelah mereka tiba
di pantai. Hati mereka telah sama-sama panas. Maka
terjadilah pertarungan di antara mereka bertiga. Bocah Bodoh diam di bawah pohon
sedikit bersembunyi sambil hatinya merasa girang karena bisa membuat mere-
ka saling bernafsu untuk membunuh.
Apa yang diharapkan Bocah Bodoh kali ini ber-
hasil. Sakuntala dihajar habis oleh Jin Arak. Sekalipun dalam pertarungannya Jin
Arak sempoyongan dan jika
menyerang salah sasaran. Tapi gerakan kaki dan tan-
gan yang tak diduga-duga itu membuat Sakuntala ter-
pelanting beberapa kali.
Sakuntala gunakan senjatanya. Tongkat beru-
jung pisau bulan sabit yang mirip ekor kelabang itu
diputar-putarkan di sekeliling tubuhnya dengan dua
tangan yang bergantian. Putaran cepat senjata itu
memercikkan api ke mana-mana, membuat Jin Arak
melompat-lompat takut terkena percikan api itu. Tetapi dengan sekali tepuk kedua
tangannya; plaak...! Sakuntala tersentak ke belakang bagai dihantam keras kepa-
lanya. Jin Arak tepuk lagi satu kali dengan keras, ma-
ka Sakuntala pun terpelanting jatuh dengan kepala re-
tak. Plaaak...! Jin Arak kembali tepuk tangan satu
kali. Sakuntala tersentak kaku, kemudian tak bisa
bernapas dan matilah dia dalam keadaan kepala ber-
lumur darah. Rupanya jurus 'Tepuk Tangan' yang di-
gunakan Jin Arak itu sangat berbahaya bagi lawan
siapa saja. Tetapi tidak demikian bagi Barong Bangkai. Ia
hanya mencibir meremehkan jurus aneh yang menurut
Bocah Bodoh mempunyai kehebatan yang luar biasa
itu. Jin Arak yang tak pernah bisa berdiri tegak dan
tak pernah bisa diam badannya itu kembali berkata,'
"Kau sekalian maju kalau mau seperti Sakunta-
la!" Barong Bangkai yang merasa tertantang, segera melayani tantangan tersebut
dengan jurus anehnya. Ia
berlari mengelilingi Jin Arak. dan makin lama larinya semakin cepat sehingga Jin
Arak dibuat bingung memandangi lawannya. Badan gemuk itu ikut berputar
untuk menjaga serangan sewaktu-waktu. Tetapi gera-
kan lari Barong Bangkai semakin lama semakin lebih
cepat lagi namun tidak segera lakukan serangan ke
arah lawan. Jin Arak merasa pusing dan segera sadar bahwa
hal itu adalah merupakan kelemahan yang ditunggu
oleh lawan. Maka Jin Arak segera berhenti, tak mau
ikut berputar. Barong Bangkai masih berlari memutari
Jin Arak. Dengan suara geram memanjang, Jin Arak
akhirnya bertepuk tangan satu kali seperti menangkap
seekor nyamuk di udara.
Plook...! Bruuus...! Barong Bangkai jatuh ter-
sungkur. Plok...! Ploook...! Plook...!
Jin Arak bertepuk tangan berulang kali dengan
jarak waktu tertentu. Setiap tepukan membuat tubuh
Barong Bangkai menggerinjal dengan suara pekik ter-
tahan. Akibatnya, Barong Bangkai memuntahkan da-
rah kental cukup banyak. Sedangkan Jin Arak masih
bertepuk terus dengan sentakan kuat. Ploook...!


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uuuhg...!"
"Kurasa kau akan mampus, Barong Bangkai!
Huub..!" Plook...!
"Eeehg...!" Barong Bangkai tersentak, kejang sesaat, kemudian terkulai lemas
dengan tubuh tak ber-
nyawa lagi. Dari tiap lubang yang ada di tubuhnya
mengeluarkan darah kental merah kehitam-hitaman.
Bocah Bodoh tertegun melihat kematian Barong
Bangkai. Dalam hatinya ia berkata, "Sekarang tinggal satu lawanku. Tapi dia
begitu sakti"!"
* * * 6 DENGAN tubuh sempoyongan, Jin Arak dekati
Bocah Bodoh ketika Bocah Bodoh ingin membawanya
pulang ke istana. Matanya yang merah itu memandang
sayu sambil sesekali cegukan. Agaknya Jin Arak dalam
keadaan mabuk berat, sehingga tak bisa diajak bicara
dengan baik-baik.
"Kau...," tudingnya ke arah kosong, padahal
maksudnya mau menuding ke arah Bocah Bodoh. Hal
itu membuat Bocah Bodoh merasa takut namun juga
agak geli. "Kau mau ikut susul manusia gangsing ini,
hah"!" sambil ia menunjuk ke arah mayat Barong
Bangkai dengan arah tak tepat.
Melihat keadaan Jin Arak menyeramkan begitu,
Bocah Bodoh menjadi gemetar. Perasaan takut melipu-
ti jiwanya, membungkus keberaniannya. Tubuhnya
pun menjadi gemetar dan mulut terasa kaku untuk bi-
cara. Apalagi Jin Arak melangkah sempoyongan sema-
kin dekat, Bocah Bodoh kian dicekam perasaan ngeri
melihat bentuk badan yang besar, gundul, dan berma-
ta merah ganas itu. "Kau mau ikut mereka, ha..."!"
"Tid... tidak. Tidak mau!" Bocah Bodoh gelenggeleng kepala.
"Kenapa kau ikut-ikutan berputar seperti Barong
Bangkai"!"
"Ak... aku tidak berputar. Aku... aku diam di
tempat!" Mata Jin Arak kian tajam memandang. "O, tidak ya"!"
"Sebaiknya... sebaiknya kita pulang ke istana, Jin Arak," bujuk Bocah Bodoh. Jin
Arak menyentak keras membuat Bocah Bodoh terlonjak di tempat,
"Siapa yang punya. istana!"
"Bu... buk... bukan saya, Jin Arak. Bukan saya.
Sumpah!" Jin Arak menepuk-nepuk dada dengan tangan
lemas, "Aku yang punya! Aku pemiliknya. Ngerti"!"
"Iiiy... iya, ngerti!"
Jin Arak lebih mendekat lagi. Ia mencengkeram
baju Bocah Bodoh sambil mendekatkan wajahnya dan
berkata, "Aku calon suami Dewi Gita Dara! Tahu"! Calon
suami!" "Iiiy... iya. Calon suami."
"Naga itu akan kubunuh sekarang juga. Mana
dia. hmm..."! Mana?"
"Tid... tidak tahu. Bukan saya yang memba-
wanya!" Dengan sekali angkat tubuh Bocah Bodoh dilem-
parkan ke arah laut. Wuuut...! Dan Jin Arak berseru,
"Bodoh!"
Bruus...! Untung jatuhnya di pasir, kalau bukan
di pasir pantai. sudah pasti tubuh Bocah Bodoh akan
terluka atau terkilir. Ia dapat dilambungkan dengan
hanya menggunakan satu tangan. Ini menandakan Jin
Arak dalam keadaan mabuk mempunyai kekuatan
yang amat besar.
Bocah Bodoh tetap menyeringai karena rasa ta-
kut yang ingin membuatnya menangis. Sambil bangkit
berdiri ia menggerutu pelan.
"Menyeramkan sekali orang itu. Aku tak punya
keberanian untuk melawannya. Bisa-bisa kepalaku
hancur seperti Sakuntala jika ia bertepuk tangan satu
kali saja! Tapi... oh, bukankah aku mempunyai Pedang
Jimat Lanang" Mengapa aku takut" Mengapa tidak
kugunakan saja Pedang Jimat Lanang ini" Tebas
bayangannya sebelum ia bertepuk tangan, mati sudah
orang itu!"
Baru saja tangan Bocah Bodoh mau meraih ga-
gang pedang, Jin Arak sudah berseru, "Hei, hei, hei...!
Mau cabut pedang kau, ha..."!" sambil tangannya siap-siap bertepuk.
Bocah Bodoh takut dan berkata, "Tid... tidak.
Saya mau garuk-garuk perut!" dan ia pun terpaksa
menggaruk-garuk perutnya untuk kelabuhi anggapan
Jin Arak. Angin pantai berhembus cukup kencang, Aneh-
nya hanya di tempat mereka berada saja. Bocah Bodoh
sendiri heran, lebih-lebih Jin Arak yang mabuk, mera-
sa heran diterpa angin besar yang menurutnya cukup
aneh. Ketika mereka mendongak ke atas dan menden-
gar seruan seekor burung, barulah mereka tahu hem-
busan aneh itu datang dari kepak sayap burung besar
warna merah. Seekor rajawali warna merah sedang
merendah bersama dua penumpangnya; Yoga dan Tua
Usil. Mereka mendarat di pantai itu karena melihat
Bocah Bodoh dilemparkan oleh orang gemuk dan se-
Lambang Naga Panji Naga Sakti 9 Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Pendekar Riang 13
^