Pencarian

Sumur Perut Setan 3

Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Bagian 3


gadis yang cantiknya melebihi bidadari dan mengenakan pakaian merah jambu itu
melihat seekor kelelawar berukuran besar sedang hinggap di dinding bercahaya
merah itu. Kelelawar tersebut pun tersentak kaget dan terbang berkeliling karena
suara pekikan Pendekar Rajawali Putih..
"Awas...! Jangan sampai tersambar kelelawar setan itu!" kata Wisnu Patra sambil
menarik tubuh Lili, menyembunyikan di
belakangnya. Mata Wisnu Patra memandang gerakan kelelawar aneh yang punya raut
muka seperti wajah manusia tapi bertelinga panjang. Sayapnya mengepak-ngepak
timbulkan hembusan angin kencang. Binatang itu berukiran sebesar seekor Jkticing
yang bersayap lebar warna hitam. Kakinya tampak kekar dan bercakar runcing.
Sreet...! Wisnu Patra segera mencabut pedang perunggunya.
Pendekar Rajawali Putih bertanya?;'Mau kau apakan binatang itu?"
"Bunuh! Kalau tidak dia akan membunuh kita dari belakang."
"Dia tidak menyerang kita!"
"Dia tampak ganas, tapi tak berani berhadap-hadapan dengan kita! Dia pasti
menunggu kesempatan menyerang pada saat kita lengah!"
"Kiaaak...! Kiiaaak...!"
Kelelawar aneh itu seakan mendengar ucapan Wisnu Patra.
Maka, serta-merta ia menyerang dengan gerakan cepat.
Matanya yang mirip mata bayi itu memancarkan sinar merah membara yang hampir
mengenai kepala Wisnu Patra dan Lili.
Untung keduanya sigap dan lekas tundukkan kepala. Sinar merah dari mata
kelelawar itu menghantam dinding gua, dan dinding tersebut segera berguguran
dengan timbulkan suara ledakan kecil. Daar...!
Wuuut...! Pedang perunggu itu pun berkelebat menebas bagian atas, karena
kelelawar itu melintas di ,\U kepala Wisnu Patra. Tebasan itu meleset. Kelelawar lor sebut bagaikan pandai menghindar, dan ia terbang
ke belakang mereka berdua. . v ^.
"Hati-hati dia bukan kelelawar sembarangan!" ucap Lili dengan segera berbalik
badan. Pada saat itu, ternyata
kelelawar tersebut sudah berbalik arah dan Jkini se: dang menuju ke arah Lili.
Wisnu Patra segera berteriak,
"Jongkok!"
Pendekar Rajawali Putih segera rendahkan tubuh". Wisnu Patra yang berdiri di
belakangnya menjadi sasaran kelelawar berikutnya. Tetapi, ia sudah siap dengan
pedangnya, sehingga begitu?kelelawar tersebut melesat di depannya, Wisnu Patra
tebaskan pedang dengan gerakan cepat. Wuuut...! Craaass...! .
"Kiiaaak...!"
Kelelawar itu memekik lengking, suaranya menggema, la jatuh ke tanah dalam
keadaan terpotong menjadi dua bagian.
Sayapnya yang kiri ikut bagian kepala1, yang kanan ikut bagian tubuh. Kelelawar
itu masih belum pejamkan mata dan berusaha untuk bergerak terbang.
Claap...! Pendekar Rajawali Putih lepaskan pukulan sinar putih peraknya dan
menghantam kepala kelelawar tersebut.
Praass...! Kepala binatang aneh itu pun pecah dan tak berkutik lagi.
"Menurut dongeng, ada berapa ekor kelelawar seperti itu di sini"!" tanya Lili
dengan menyindir. Wisnu Patra hanya menghempaskan napas.
"Kita jalan lagi! Jangan hiraukan kelelawar itu!"
"Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?" Lili berlari menyusul Wisnu Patra yang
melangkah lebih dulu. Agaknya penasaran dan kembali bertanya, "Hei, kenapa kau
tidak menjawabnya?"
"Dalam dongeng aku tidak pernah mendengar kelelawar aneh itu!"
"O, berarti dongeng nenekmu itu belum lengkap."
Wisnu Patra sedikit dongkol, tapi ia kembali melangkah dan menyusuri lorong gua
itu untuk mencari kemungkinan jalan keluar. Lili ikut di belakangnya sambil
matanya memandang ke kanan kiri, memperhatikan tanaman bercahaya biru yang indah
dan menarik selera untuk dimakan. Perut Lili pun terasa lapar begitu tadi
melihat tanaman biru tersebut. Tetapi hati kecilnya segera berkata, bahwa
tanaman itu memang beracun dan mempunyai daya tarik yang amat tinggi. Orang yang
kelaparan pasti akan memakan tanaman itu. Darftentah apa jadinya jika seseorang
makan tanaman tersebut.
Yang jelas, tak berapa jauh mereka melangkah, mereka menemukan kerangka manusia
tergeletak di dekat tanaman biru itu. Langkah mereka pun terhenti, mata mereka
mulai memandangi kerangka manusia yang sudah keropos itu.
Agaknya kerangka tersebut sudah berusia puluhan tahun berada di lorong bercahaya
merah bara itu.
"Apakah penyebab kematiannya karena makan tanaman beracun itu?" tanya Lili
kepada Wisnu Patra.
"Mungkin saja. Tadi kalau kau tidak kucegah, kau akan menjadi seperti kerangka
ini!" 'Tapi mengapa letak tulangnya berserakan" Mestinya letak tulangnya sesuai dengan
susunan tulang manusia. Jika ia mati karena makan tanaman biru itu, pasti dia
akan mati di tempat dan tulangnya tidak akan tnr pisah ke mana-mana.
Perhatikanlah tulang lengannya, terpisah jauh dengan bagian tengkorak kepalanya,
bu kan"!"
Wisnu Patra terdiam, membenarkan pendapat Lili. la pelajar"
letak susunan tulang itu. Namun belum sampai ia temukan kesimpulan yang pasti,
tiba-tiba sudah terdengar suara menggeram yang bernada besar. Suara menggeram
itu membentuk satu nada gemuruh yang membuat dinding dan
lantai gua bergetar. Wisnu Patra segera menatap ke arah lorong yang akan
dilewati nanti. Kemudian ia memandang Pendekar Rajawali Putih. Gadis cantik itu
hanya memandang dingin ke arah lorong yang akan dilewati nanti. Lalu, ia
bergumam pelan,
"Sesuatu menunggu kita di depan sana."
"Kematian atau kehidupan?"
"Kematian dan kehidupan," jawab Lili. "Hanya saja, siapa yang mati dan siapa
yang hidup, itu belum pasti!"
"Jadi, kau mau terus melangkah atau kembali ke tempat asal?"
"Kembali ke mana" Apakah kita punya tempat asal jika atap lorong itu telah
tertutup rapat dan tak bisa didaki?"
Wisnu Patra diam beberapa saat, ia kembali memandangi kerangka manusia yang
berserakan. Lalu, ia bertanya kepada Lili,
"Menurutmu suara apa tadi?"
"Makhluk hidup."
"Manusia atau binatang?"
"Binatang!"
"Bukan!" tiba-tiba Wisnu Patra menjawab tanpa perhatikan Lili, tapi memandang ke
tanah sekitar kerangka manusia itu.
"Kurasa dia manusia! Dia yang bernama Betara Kala itu!"
"Dari mana kau tahu?"
"Kerangka ini adalah korban yang habis dimakan Betara Kala!"
"Apa alasanmu berkeyakinan begitu?" "Lihat tanah ini... ada tapak kaki lebar
sampai ke sebelah sana!"
Pendekar Rajawali Putih memperhatikan tanah yang ditunjuk Wisnu Patra. Ternyata
memang benar. Ada telapak kaki manusia tapi berukuran lebar. Kira-kira lima kali
ukuran telapak kaki Lili. Bekas telapak kaki itu cekung agak dalam, menandakan
cukup berat beban yang diterima oleh tanah tersebut.
"Kalau begitu, sebagian dongeng yang kau dengar itu memang benar. Ada manusia
raksasa yang lebih besar dari orang-orang Pulau Kana itu! Entah berapa orang
jumlahnya yang mendiami gua ini!"
"Mudah-mudahan Betara Kala tidak beranak-cucu," kata si Dewa Tampan, seperti
bicara pada diri sendiri, la bangkit dan segera melangkah pelan-pelan menuju
jalan berikutnya. Lili masih ada di belakangnya dan melompat-lompat karena
jalanan tak rata.
Suara gemuruh itu makin lama makin jelas terdengar, bertambah jauh melangkah
bertambah nyata gerakan tanah yang bergetar. Wisnu Patra berhenti melangkah,
tapi Lili tetap melangkah terus. Tangan Lili tiba-tiba ditahan oleh Wisnu Patra.
Wajah pemuda itu tampak gelisah ketika beradu pandang dengan Lili. Sedangkan
Lili tetap kelihatan tenang.
"Ada apa?"
"Kita mendekati pusat kehidupan Betara Kala," bisik Wisnu Patra.
"Kita memang sedang mencarinya, bukan"!"
"Ah, kau gila, Lili! Dia itu lebih berbahaya dari seribu orang-orang Pulau
Kana!" "Buatku orang Pulau Kana tidak ada yang berbahaya!" kata Pendekar Rajawali
Putih. "Kita jalan lagi. Kita hadapi dia kalau memang dia tidak bisa dijinakkan
dengan kata-kata. Mungkin kita memang terpaksa menjinakkan dia dengan pedang!"
Lili langsung melangkah kembali. Wisnu Patra geleng-geleng kepala memandangi
Lili, menyimpan rasa kagum terhadap keberanian gadis cantik itu. Maka, Wisnu
Patra pun segera bergegas menyusul Lili, sebab ia merasa sayang kalau sampai
gadis cantik berkulit putih itu terluka atau tergores kulitnya oleh sesuatu hal
apa pun bentuknya, la tak ingin Lili celaka, namun la merasa cemas membayangkan
dongeng tentang keganasan Betara Kala.
"Gggrrr...!" terdengar suara mengerang besar dan menggema. Tanah kembali
berguncang. Wisnu Patra segera tahan pundak Lili.
"Dia telah mencium bau kita!" bisik Wisnu Patra. . "Mungkin dia mencium
kepucatan wajahmu," kata Pendekar Rajawali Putih sambil tersenyum. Hati Wisnu
Patra gundah, antara takut dan berdebar indah melihat senyuman gadis itu.
"Lili, jujur saja, aku khawatir akan keselamatanmu!"
"Berarti kau akan melindungi aku. Jalanlah paling depan, Wisnu!"
"Aku... aku... aku sendiri juga mengkhawatirkan ke-selamatanku."
"Kalau begitu, kita maju bersama saja!"
Wisnu Patra semakin tampak keluarkan keringat dingin, la menelan ludahnya
sendiri dengan gelisah, lalu berkata,
"Baiklah. Kita maju bersama. Tapi... tapi sebelum kita mengalami peristiwa yang
paling buruk, maukah kau mendengarkan kata-kataku yang terakhir kalinya?"
"Tentang dongeng itu?"
"Bukan. Tapi... tapi tentang hatiku."
Dengan sikap tenang, seakan tidak merasakan apa-apa, Lili memandang Wisnu Patra
sambil dahinya dikerutkan. "Ada apa dengan hatimu?"
"Aku... kagum padamu, Lili."
Senyum Lili mengembang, hati Wisnu Patra berdebar keras.
Lili berkata dengan nada pelan,
'Terima kasih atas kekagumanmu. Aku pun kagum padamu."
"O, ya"! Apa yang membuatmu kagum padaku?"
"Kau tampan, tapi pengecut!" Lili tertawa lepas. Wisnu Patra menjadi salah
tingkah. Suara geram terdengar lagi. Kali ini diiringi gemuruh bagaikan bebatuan
runtuh dari langit. Suara gemuruh itu ada di jalanan depan sana. Wisnu Patra
bertambah tegang.
"Lili, dulu... dulu aku memang ingin membunuhmu karena aku dijodohkan oleh ibuku
untuk kawin dengan murid temannya, yaitu kau. Tapi... sekarang yang ada dalam
hatiku hanya rasa ingin memiliki kamu, Lili Aku aku menyimpan cinta terhadap
dirimu." Lili tersenyum kikuk mendengar ucapan itu la salah tingkah dalam memandang.
Bahkan ingin bicara pun su lit jadinya.
Wisnu Patra kembali berkata,
"Kalau... kalau bukan karena aku mau mati dimakan Betara Kala nanti, aku tidak
akan utarakan isi hatiku ini. Tapi karena aku tahu, aku nanti akan mati jika
bertemu Betara Kala, maka
kusempatkan mengungkapkan isi hatiku padamu. Aku tak butuh jawabanmu, aku hanya
butuh agar kau mau percaya dengan kata-kataku tadi!"
"Aku percaya," jawab Lili. "Tapi... percayalah, kau tak akan mati di tangan
Betara Kala, Wisnu!" ucapan Lili kali ini begitu lembut, seakan sangat menyentuh
hati Wisnu Patra.
"Mengapa kau yakin aku tak akan mati?"
"Karena tak kuizinkan manusia raksasa itu menyentuh kulitmu, Wisnu! Sedikit pun
tak akan kuizinkan!"
"Mengapa begitu?" pancing Wisnu Patra.
"Karena...,'' Lili diam sebentar, menatap Wisnu Patra, kemudian menunduk,
berpikir sebentar, lalu memandang Wisnu Patra lagi dan menjawab dengan suara
lembut, "Karena kau adalah sahabatku!"
"Hanya sebatas sahabat?" "Kurasa begitu."
"Tidakkah... tidakkah kau mencintaiku, Lili?"
"Seseorang telah memiliki hatiku, dan seseorang telah mengisi hatiku juga."
"Siapa orang itu?"
"Muridku sendiri. Yoga!"
Rona kecewa terbentang jelas di wajah Wisnu Patra. la mengangguk-angguk sambil
menarik napas. Lili tahu, Wisnu Patra sembunyikan rasa kecewanya. Sebab itu,
Lili berkata, "Jangan buru-buru kecewa! Jodoh ada di tangan Yang Maha Kuasa. Manusia hanya
boleh merencanakan dan mengidam-idamkan saja."
Wajah kecewa itu segera pudar dan berganti sinar semangat yang muiai membias,
sambil Wisnu Patra perdengarkan suaranya,
"Ya. Benar. Jodoh ada di tangan Yang Maha Kuasa. Mari kita teruskan langkah
kita!" Mereka kembali melangkah. Jalanan terasa semakin lebar dengan dinding masih
memancarkan cahaya merah bara. Atap lorong itu bertambah tinggi hingga tiap
gerakan kaki mereka terdengar menggema lirih. Udaranya pun semakin sejuk, dan
bau amis mulai tercium.
'Ggrrr...!" suara erangan besar terdengar. Pada waktu itu mereka hampir tiba di
tikungan jalan lorong. Langkah mereka terhenti sejenak. Tangan Wisnu Patra
semakin erat menggenggam tangan Lili. Gadis cantik itu membiarkannya, walau ia
rasakan betul tangan pemuda tampan itu dingin sekali.
Seperti balok es yang belum mencair.
Lili mengangguk, itu pertanda ia mengajak teruskan langkah.
Wisnu Patra pun akhirnya melangkah kembali sampai mereka membelok di jalanan
menikung itu. Ternyata di balik tikungan jalan tersebut, ada ruangan yang amat
luas beratap tinggi, lebar sekali dalam keadaan memanjang lurus. Tanahnya datar
dan di sana banyak tu lang-belulang manusia. Tulang-tulang itu berserakan cll
sana-sini. Mereka mengikuti serakan tulang tersebut, ternyata sampai jauh
sepanjang ruangan yang lebar dan luas itu.
Tiba-tiba Wisnu Patra menahan gerakan langkah Lili. Gadis itu pun berhenti
dengan mata memandang ke depan. Wajah Wisnu Patra sangat tegang, sementara Lili
hanya bersikap penuh waspada, la minta dilepaskan genggaman tangannya, la
berbisik lirih,
"Gundukan yang ada di depan sana itu bukan seperti tanah biasa!"
Wisnu Patra menjawab, "Benar. Itulah sebabnya kutahan langkahmu. Gundukan itu
adalah punggung manusia raksasa."
"Betara Kala-kah dia?"
"Pasti. Tapi agaknya ia sedang tertidur. Atau mungkin hanya rebahan saja. Lihat
tulang-tulang di sekitarnya. Itulah sisa makanan Betara Kala! Mungkin kita nanti
akan menjadi satu dengan tulang-tulang itu."
"Mungkin iya, mungkin tidak! Yang jelas, aku tidak ingin menjadi mangsanya...,"
setelah berkata begitu, Lili melangkah maju sendirian.
"Hei, mau ke mana kau"!" Wisnu Patra berseru tapi suaranya membisik. Lili tidak
pedulikan seruan itu. la justru setengah berlari kecil menghampiri ke arah
gundukan yang mirip tanah itu. la memungut tengkorak kepala manusia, lalu
melemparkan ke arah gundukan tersebut.
Praaak...! Tengkorak kepala manusia itu jatuh ditumpukan tulang. Wisnu Patra
terbelalak kaget melihat tindakan Lili. la berkata dalam suara gumam gemetar,
"Gila gadis itu! Dia malahan membangunkan raksasa yang sedang tidur! Cari mampus
saja itu orang!"
Praaak...! Suara itu terdengar lagi, dan kali ini geram suara makhluk besar terdengar.
Keras dan menggema besar, menggetarkan dinding dan lantai ruangan tersebut.
Bluuhg...! Rupanya raksasa besar itu berbalik arah, semula memunggungi Lili,
sekarang menghadap ke arah Lili. Tetapi
gadis itu memang punya keberanian yang luar biasa, la justru berteriak keras,
"Hoaaaiii...!"
"Gggrrr...!"
Makhluk besar itu pun akhirnya bangkit. Matanya yang besar membuka lebar, la
berdiri dan membuat beberapa dinding bergetar keras. Wajahnya kelihatan amat
menyeramkan. Mulutnya lebar, lubang hidungnya pun lebar, la tidak mempunyai rambut. Kulit
tubuhnya seperti tanah cadas. Ketika ia menyeringai karena melihat kehadiran
manusia, giginya tampak sebesar mata kapak. Tubuhnya yang tinggi itu membuat
Lili memandang dengan wajah tengadah. Lalu, Lili pun melihat kedua tangan besar
bergerak diangkat ke atas, dan raksasa yang bernama Betara Kala itu mulai
melangkah mendekati Lili.


Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jleg...! Jleg...! Jleg...!
Gua itu bagai mau runtuh karena guncangannya cukup keras. Wisnu Patra menjadi
lemas. Mau berteriak pun tak mampu. Napasnya terasa sesak karena dadanya bagai
ikut bergetar terhentak-hentak ketika kaki
Betara Kala itu melangkah.
Saat orang besar itu berhenti, terdengar suaranya berkata dengan nada besar
pula, "Hhrrr... berani betul kau mengganggu istirahatku. Bocah Ayu! Apa maumu,
hah..."!"
Dengan lantang Lili berkata, "Aku terperosok ke Sumur Perut Setan ini! Aku ingin
keluar dari sini!"
"Huah, ha, ha, ha, hah...!"
Uli terpental ketika Betara Kala tertawa, la berguling-guling sampai di dekat
Wisnu Patra yang tak mampu lagi untuk berdiri itu. Pada waktu itu, Wisnu Patra
mendekap telinganya sambil mendekam di dekat gundukan tulang manusia. Wajahnya
pucat pasi dan berkeringat, la ingin membantu Lili untuk bangkit, tapi ia
sendiri tak mampu gerakkan kaki dan tangannya, la hanya bisa pejamkan mata
sesaat ketika Lili terpelanting jatuh di dekatnya, akibat limbung dalam
berdirinya. "Kalau aku tahu jalan keluarnya aku pasti sudah keluar dari sini, Bocah Ayu!"
terdengar suara Betara Kala menggema lagi.
Lili menegakkan berdirinya dan maju lebih dekat lagi. la berseru,
"Kau pasti tahu! Kau tidak mau keluar dari tempat ini, karena kau takut mati
dibunuh musuhmu, entah siapa! Aku tahu, kau di sini bersembunyi karena takut
mati, atau karena menunggu kematianmu tiba!"
"Huah, hah, hah, hah, hah...!"
Pendekar Rajawali Putih kembali berjumpalitan lagi. Tawa itu selain hadirkan
angin kencang juga keluarkan getaran gelombang yang menghentak bagai ingin
menjebol dada. Pendekar Rajawali Putih hampir saja menyentuh dinding yang bercahaya merah bara
itu. la buru-buru berguling menjauh.
Kemudian ditarik napasnya dalam-dalam dan pejamkan mata sebentar dengan sikap
satu kaki berlutut yang satunya menapak di tanah. Tangannya bergerak ke samping
dan meliuk sebentar dt depan wajah, kemudian ia pun segera bangkit berdiri dan
melangkah di tempatnya tadi.
"Bocah Ayu...! Kau memaksaku untuk marah padamu, hah..."! Kukatakan di sini
tidak ada jalan keluar, tapi kau tidak percaya!"
"Aku bisa mempercepat Kematianmu kalau kau tidak segera tunjukkan padaku di mana
jalan menuju keluar dari tempat ini!"
"Ggrrr...!" Betara Kala mengerang dengan mata dilebarkan.
Rupanya ia marah ditantang demikian. Tangannya meraih setumpuk tulang, lalu
dilemparkan ke arah Lili. Praaakk...!
Gerakan tiap benda yang berupa tulang itu sangat cepat, hampir tak bisa dilihat
oleh mata manusia biasa. Lili segera sentakkan kedua tangannya, dan keluarlah
kabut biru yang menyembur dari telapak tangan Lili. Kabut itulah yang membuat
tulang-tulang tersebut pecah dalam bentuk serbuk putih yang halus beterbangan.
Prooss...! "Ggrrr...! Kau unjukkan kesaktian di depanku, kau akan kutelan hidup-hidup tikus
kecil...! Grrr...!"
Betara Kala maju dekati Lili. Wisnu Patra bertambah tegang melihat Lili
melarikan diri. Serta-merta keberanian Wisnu Patra tumbuh kembali melihat Lili
dalam bahaya. la segera bangkit dan kerahkan tenaga sebentar, lalu lepaskan
pukulan 'Bromo'-
nya ke arah Betara Kala dari samping kiri. Wuuus...!
Semburan api melesat menghantam lengan Betara Kala.
Tetapi semburan api itu ibarat percikan bunga api yang tidak ada gunanya bagi
tubuh besar berkulit amat tebal tersebut.
Betara Kala justru berpaling ke arah Wisnu Patra, kemudian tangannya menyambar
tubuh Wisnu Patra dengan gerakan cepat. Wooos...! Angin sambar-annya begitu
keras dan membuat tulang-tulang yang dalam jarak jauh dari jangkauan itu
terlempar berserakan.
Wisnu Patra berguling-guling tertimbun reruntuhan tulang itu. Seandainya ia
tidak terhempas, maka ia akan tertangkap oleh tangan besar tersebut. Pada saat
itu, karena takut dan kesakitan tertimbun tulang-belulang, Wisnu Patra berteriak
keras-keras, membuat Lili tersentak kaget dan berhenti dari larinya.
Pendekar Rajawali Putih segera keraskan kedua jari tangannya, kemudian masing-
masing tangan yang mempunyai dua jari mengeras itu disabetkan ke depan dengan
gerakan putar. Claaap...! Seberkas sinar bergelombang melesat dari dua jari
tersebut, menyatu membentuk lingkaran seperti obat nyamuk, berputar-putar
menghantam wajah Betara Kala.
Biegaaarrr...! Sinar putih perak itu meledak dengan dahsyatnya. Tapi tidak
membuat tumbang Betara Kala, melainkan hanya terhuyung-huyung ke belakang
beberapa tindak, dan membuat salah satu dinding rompal karena terbentur punggung
manusia raksasa itu. Serangan tersebut membuat Lili sempat tercengang, karena
biasanya jurus itu akan menghancurleburkan tiap benda yang terkena sinar putih
perak itu Betara Kala semakin murka, la mengerang panjang sambil mengibaskan kedua
tangannya ke sembarang arah. Mulutnya keluarkan angin badai yang membuat tulang-
tulang porak poranda. Tetapi agaknya Pendekar Rajawali Putih telah siapkan diri
dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tersalur di kaki, sehingga hempasan badai
itu tidak membuatnya goyah dari berdirinya. Hanya rambut dan jubahnya yang
meriap karena hembusan badai itu. Sedangkan tubuh Wisnu Patra terlempar kuat dan
membentur dinding bercahaya merah bara. Kalau saja dinding itu tak dilapisi oleh
tulang-tulang yang menempel akibat tersapu angin, maka tubuh Wisnu Patra akan
terkena racun dinding tersebut.
"Gggrrr...!" Betara Kala kembali mengibaskan tangannya, dan kali ini tubuh Lili
tercekal dan terangkat me nuju ke mulut lebar itu. Wisnu Patra segera berteriak
tegang. "Liliii...!" la berusaha untuk lari dan mencabut pedangnya.
Tapi langkahnya terhenti, karena pada waktu itu tangan Betara Kala menghadang
langkah. Wisnu Patra sendiri melihat Lili mencabut pedang pusaka dari
punggungnya. Suara petir di luar menggelegar sampai mengguncangkan tanah dan
dinding gua tersebut.
Pedang Sukma Halilintar yang pada ujung gagangnya terdapat dua kepala burung
yang saling bertolak belakang itu membara putih kebiru-biruan. Pedang itu
disentakkan ke arah mulut Betara Kala yang menganga.
Seberkas sinar putih perak keluar dari ujung pedang itu, masuk ke dalam mulut
Betara Kala. Claaapp...!
Wrrr...! Badan manusia raksasa itu bergetar. Mata besarnya terbeliak-beliak.
Pegangan tangannya kendor. Tubuh Pendekar Rajawali Putih jatuh melayang-layang
dan berusaha kendalikan keseimbangan, hingga gadis itu bersalto satu kali, lalu
dalam gerakan tubuh turun itu, ia tebaskan pedangnya ke perut Betara Kala.
Brroos...! Perut itu robek dengan keluarkan sentakan angin keras yang membuat
tubuh Lili terpental ke depan. Untung ia cepat bersalto dan mampu mendarat
dengan sigap. Tepat kaki Pendekar Rajawali Putih menapak di tanah, tubuh Betara Kala itu
meledak karena sinar putih keperakan yang masuk ke mulut itu. '
Blegaaar...! Tubuh Betara Kala roboh dengan suara erangan memanjang.
Ledakan dahsyat itu biasanya menghancurkan gunung atau batu keras seperti baja
menjadi ser-pihan lembut. Tapi kali ini hanya membuat tubuh Betara Kala pecah
sebagian. Dadanya sempal, kepalanya retak, perutnya jebol dan lengan kirinya
patah. Atap gua itu berguguran pada saat tubuh besar itu tumbang.
Dinding yang terkena hempasan tubuh itu menjadi gompal, menjatuhi bagian kaki.
Sementara itu, darah yang mengalir dari tubuh tersebut berwarna hitam busuk.
Membanjir seperti curahan mata air deras.
"Cepat lompat kemari, Wisnu!" teriak Lili. Maka Wisnu Patra pun melompat ke
tanah yang tidak terkena genangan darah busuk tersebut. Pada saat itu, erangan
dari mulut Betara Kala terhenti, dan tubuh itu tak bergerak untuk selamanya.
Mati. Namun karena jijik dengan darah busuk tersebut, Wisnu Patra dan Lili berlari
secepatnya ke arah jalan berlorong agak kecil dari ruangan besar tersebut, namun
masih saja terhitung lebar dan beratap tinggi.
* * * 8 GANDALOKA temui Yoga di dalam penjara. Firasat Yoga sudah mengetahui adanya
bahaya yang mengancam orang-orang Pulau Kana. Sebelum Gandaloka menceritakan
kedatangan Ratu Cendana Wangi bersama orang-orangnya, Yoga sudah lebih dulu
berkata, "Kau dalam bahaya, Gandaloka"!"
"Benar," jawab Gandaloka dengan jujur. "Orang-orangku gugur melawan orang-orang
Tanah Sihir yang dipimpin oleh Ratu Cendana Wangi, Yoga. Bahkan beberapa
prajuritku disihirnya menjadi patung batu semua. Aku tidak punya kekuatan untuk
kalahkan mereka!"
"Apa yang mereka kehendaki?"
"Menguasai pulau ini, dan memaksa kami serahkan kitab pusaka."
Dahi Yoga berkerut, la ingat saat bertemu dengan bayangan wajah gurunya; si Dewa
Geledek. Ada tugas untuknya, yaitu mempertahankan sebuah kitab pusaka agar
jangan jatuh ke tangan orang sesat. Dalam hatinya Yoga bertanya-tanya,
"Benarkah kitab pusaka yang sekarang sedang dicari Ratu Cendana Wangi itu yang
harus kupertahankan, sesuai dengan wasiat Guru?"
Gandaloka berkata, "Padahal kami tidak tahu tentang kitab pusaka itu. Mendengar
namanya saja baru sekarang."
"Kitab apa namanya?"
"Kitab Jagat Sakti!"
Pendekar Rajawali Merah menggumam pendek dan
menerawang sambil mengucap nama kitab itu dalam hatinya.
Kemudian, ia bertanya,
"Apakah benar pihakmu tidak tahu-menahu tentang Kitab Jagat Sakti?"
"Sama sekali tideik! Di dalam bangsal pustaka itu banyak kitab, tapi tida k ada
yang namanya Kitab Jagat Sakti! Pendeta Agung sendiri merasa asing dengan nama
kitab itu. Katanya, dari sejak kecil sampai setua itu ia belum pernah menden gar
nama kitab tersebut, apalagi melihatnya, sama sekal'i tidak pernah."
"Lalu, menurut Ratu Cendana Wangi, di mana letak kitab itu adanya?"
"Jawaban mereka bidak masuk akal. Mereka bilang kitab itu ada di Sumur Perut
Setan. Sedangkan nama Sumur Perut Setan hanya ada di dalam dongeng. Tapi mereka
mendesak kami untuk menunjukkan letak sumur tersebut. Soal itu pun kami benar-benar tidak
tahu!" "Lalu, apa tindakan Pendeta Agung?"
"Sedang berunding dengan para tetua untuk menanyakan tentang kitab tersebut dan
Sumur Perut Setan!" jawab Gandaloka apa adanya. Pendekar Rajawali Merah
menggumam sambil manggut-manggut. Kejap berikutnya, Gandaloka berkata kepada
Yoga, "Aku butuh pendamping! untuk hadapi mereka, Yo "
"Itu baik. Setidaknya untuk melindungi dirimu sendiri."
"Aku memilih kau menjadi pendampingku, Yogal"
Pendekar Rajawali Merah kerutkan dahi. "Aku "l Apakah kau tak salah" Aku adalah
tawananmu, sebentar lagi akan digantung seperti Kembang Mayat."
"Sudah kubicarakan dengan Pendeta Agung untuk membebaskan kau dari tuntutan sang
korban. Kukatakan pada beliau, kau sanggup melawan Ratu Cendana Wangi, tapi aku
minta kau dibebaskan. Karena jika kau berhasil mengalahkan mereka, itu berarti
kau bukan orang pembawa sial bagi negeri kami, dan bukan orang pembawa kutuk
untuk Pulau Kana. Dan sekarang, hal itu pun sedang dirundingkan oleh Pendeta
Agung dengan para tetua kami!"
"Bagaimana kalau aku gagal melawan mereka?"
"Kau akan mati. itu sama saja menuruti tuntutan sang korban, yaitu Kembang
Mayat." Yoga tersenyum, lalu berkata, "Otakmu cerdas. Kau mengikuti cara yang dipakai
oleh Wong Agung Sangar itu rupanya! Tawanan dipakai umpan. Kalau rrtenang bebas,
kalau kalah ya tetap saja mati."
"Maafkan aku, Yoga. Tidak ada cara lain yang ku-peroleh untuk membebaskanmu,
kecuali dengan cara begitu."
"Baiklah. Temukan aku dengan Pendeta Agung dan para tetuamu! Aku ingin bicara
dengan mereka."
Rupanya pihak Ratu Cendana Wangi telah kuasai istana.
Mereka tidak menawan orang-orangnya Gandaloka, tapi mereka punya kebebasan
bergerak di dalam istana. Pendeta Agung terpaksa membiarkan hal itu terjadi
semasa tidak membawa korban lagi.
Pada saat Yoga dibawa keluar dari penjara oleh Gandaloka, mereka bertemu dengan
Naga Berang dan Garu Tulang yang ingin menengok taman keputren, tempat para
putri raja bersantai di sana. Karena saat itu tak ada raja tak ada ratu, maka
taman keputren pun kosong, kecuali dihuni oleh para dayang-dayang pengurus
taman. Naga Berang sengaja menghadang langkah Gandaloka, karena ia tertarik
memperhatikan Yoga yang bertubuh tidak setinggi dan sebesar orang-orang Pulau
Kana. Garu Tulang pun merasa curiga melihat Yoga seukuran dengan dirinya. Maka,
Naga Berang menyapa Gandaloka dengan nada ketus dan berwajah sangar,
"Rupanya di sini juga ada piaraannya. Sejak kapan kau piara tikus kecil itu,
Gandaloka"!"
Gandaloka hanya memandang Pendekar Rajawali Merah.
Lalu, Yoga yang menjawab pertanyaan itu dengan suara datar,
"Apa kau berminat bermain-main dengan tikus kecil?"
"Sangat berminat!" jawab Naga Berang. Sedangkan Garu Tulang pun segera
menimpali, "Aku ingin bermain-main sampai tikus kecil itu mati! Ingin ku lihat seperti apa
dia jika mati."
"Gandaloka," ucap Yoga kepada sang Perwira itu, "Ada baiknya kalau kau
menyingkir sebentar. Lihatlah permainan tikus kecil ini!"
Gandaloka menyingkir karena mengerti apa yang dimaksud ucapan Yoga. Sementara
itu, Naga Berang dan Garu Tulang yang kurus kerempeng itu saling terse-nyum-
senyum sambil bersiap mengambil jarak. Yoga tetap tenang pandangi wajah-wajah
mereka yang berjajar.
Tiba-tiba mata kedua orang itu berubah menjadi merah, lalu seberkas sinar
melesat dari keempat mata itu, semuanya berwarna hijau bening. Empat larik sinar
menghantam dada Yoga. Tetapi, Yoga diam saja dan membiarkan sinar hijau itu
menghantam dadanya.
Mestinya, dada itu akan hancur, atau bolong, atau setidaknya menjadi hangus.
Tapi ternyata dada Pendekar Rajawali Merah itu tetap utuh bagai tak pernah
terhantam sinar tersebut. Yoga justru memandang dadanya sendiri ketika empat
larik sinar itu telah padam, la segera berkata kepada kedua orang berwajah
bengis itu. "Kalian menyerang apa tadi" Atau hanya bermain sinar" Ah, sinar seperti itu pun
aku dan Gandaloka mempunyainya. Ada yang lebih baguskah sinarnya?"
Tentu saja kedua orang berwajah bengis itu menjadi panas hati diremehkan dengan
cara seperti itu. Naga Berang segera menggeram,
"Coba serang aku sekarang!"
"Haruskah aku menyerang anak kecil yang masih gemar bermain sinar seperti
tadi"!" kata Yoga membuat Gandaloka
tersenyum-senyum. Tapi telinga Naga Berang dan Garu Tulang menjadi merah.
Kemudian, keduanya sama-sama pejamkan mata. Tangan mereka berkelebat cepat
bagaikan menaburkan asap ke tubuh sendiri. Blub...! Dan tiba-tiba mereka sudah
berubah menjadi dua harimau loreng. Kedua ekor harimau loreng itu mengerang
menampakkan taringnya. Ilmu sihir tersebut tidak membuat Yoga takut, namun
justru tertawa pendek.
la berbalik dan melangkah mendekati Gandaloka. Namun baru dua langkah, kedua
harimau itu segera melompat untuk menerkam Yoga dari belakang. Dengan cepat Yoga
kibaskan tangan kanannya sambil tubuhnya berputar cepat. Wuuut...!
Praak...! Satu kepala harimau yang dihantam dengan kepalan keras, tapi dua kepala yang
hancur. Kedua ekor harimau itu menggelepar-gelepar di tanah dalam keadaan pecah.
Satu dengan yang satunya sama parah. Kejap1 berikutnya, kedua ekor harimau itu
berubah bentuk menjadi Naga Berang dan Garu Tulang, tapi mereka sudah tidak
bernyawa lagi. Gandaloka tak bisa bicara apa-apa. Gandaloka hanya memandang dengan mata tak
berkedip. Rasa heran dan takjub menjadi satu dalam hatinya. Demikian pula para
prajurit lainnya, yang sejak tadi memperhatikan peristiwa itu dari kejauhan.
Salah seorang ada yang cepat berlari menemui Pendeta Agung Ganesha. Sedangkan
Yoga segera memandang Gandaloka dan berkata,


Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suruh anak buahmu mengurus mayat mereka, dan mari kita teruskan rencana kita!"
Gandaloka menuruti perintah itu, tapi dalam hatinya ia berkecamuk,
"Luar biasa gerakannya. Tak terlihat saat ia berputar tadi.
Padahal, menumbangkan Naga Berang dan Garu Tulang itu bukan hal yang mudah!
Mereka punya ilmu sihir cukup tinggi.
Biasanya jika mereka berubah menjadi harimau, tak ada orang yang bisa
menghantamnya Jangankan menghantam,
memegang ekornya saja lak ada yang bisa. Tapi, Yoga melakukannya dengan sangat
mudah"!"
Di ruang berunding, prajurit yang tadi melihat kejadian tersebut memberanikan
diri masuk dan menemui Pendeta Agung Ganesha. Wajah prajurit itu menjadi tegang,
sehingga para tetua yang hadir di situ menjadi tertarik dan memperhatikannya
dengan dahi berkerut.
"Ada apa"!" tanya Pendeta Agung Ganesha.
"Tawanan kita itu... Pendekar Rajawali Merah itu... telah membunuh Garu Tulang
dan Naga Berang!"
"Hahh..."!" mereka hampir serempak memekikkan suara kaget yang sama. Bahkan
sebagian sampai berdiri dari duduknya. Lalu, prajurit itu bercerita tentang apa
yang ia lihat dari awal pertamanya. Pendeta Agung dan para tetua terbengong-
bengong jadinya.
Pada waktu itu segera muncul Gandaloka dengan Pendekar Rajawali Merah. Maka tak
heran lagi jika semua mata tertuju kepada Yoga, sambil tiap mulut melontarkan
tanya, "Ada apa" Apa yang terjadi" Mereka benar-benar mati"
Hanya satu kali pukulan bisa membunuh dua nyawa" Apa benar begitu?"
Gandaloka yang segera menengahi suara-suara mereka setelah terlebih dulu
menenangkannya. Gandaloka berkata kepada Pendeta Agung,
"Pendekar Rajawali Merah telah kalahkan ilmu sihir Naga Berang dan Garu Tulang!
Seperti apa kata saya kemarin, tak ada orang yang bisa tandingi Ratu Cendana
Wangi selain Pendekar Rajawali Merah!"
Salah seorang tetua berkata dengain suara rentanya, "Kalau memang layak, biarlah
dia menjadi panglima kita!"
"Terlalu tinggi jabatan itu, Pak Tua," kata Yoga. "Saya hanya akan bantu
membebaskan rakyat Pulau Kana dari kejahatan Ratu Cendana Wangi, tanpa harapkan
balas jasa apa pun kecuali dibebaskan dan! jabatan sebagai tawanan."
"O, ya... dia tawanan kita!" kata salah seorang. Tapi orang tua yang tadi
mencalonkan Yoga menjadi panglima itu berkata,
"Tapi dalam kitab hukum adat ini, siapai pun bisa menjadi panglima jika
menyelamatkan negeri dan rakyat Pulau Kana.
Coba kau baca lembar tengah, bahwa siapa yang berjasa terhadap negeri dan rakyat
Pulau Kana, dia berhak mendapat hadiah paling berharga dalam hidupnya, tapi
bukan menjadi pemimpin negara. Yang bisa menjadi pemimpin negeri ini adalah
orang yang ditunjuk oleh dewa melalui Pendeta Agung, dan orang yang dijadikan
korban tanah persembahan namun bisa keluar dari tanah persembahan dalam keadaan
hidup-hidup. Dan kalau tawanan atau calon korban bisa selamatkan negeri, ia
bebas dari segala kutukan dan kesialan!"
Akhirnya, setelah melalui perdebatan, perundingan itu diputuskan oleh Pendeta
Agung Ganesha, "Kita akan bebaskan Pendekar Raijawali Merah dari segala hukuman, tapi dia harus
kalahkan Ratu Cendana Wangi!"
Semua mata memandang Yoga, yang dipandang hanya tenang-tenang saja. Gandaloka
segera bertanya kepada Yoga,
"Bagaimana, Yoga" Apakah kau sanggup memenuhi syarat itu?"
"Tidak," jawab Yoga yang membuat semua mata yang memandang menjadi bengong. Yoga
kembali berkata,
"Aku akan melawan Ratu Cendana Wangi untuk tegakkan kebenaran. Aku akan lawan
dia karena dia orang sesat! Apakah nanti aku akan dibebaskan dari hukuman atau
tidak, itu urusanku sendiri. Kalau perlu, aku akan memberontak dan memporak-
porandakan pulau ini jika aku masih tetap akan dihukum seperti permintaan korban
persembahan yang sebenarnya orang sesat juga itu!"
Yoga bicara dengan tegas. Para tetua, Pendeta Agung, Gandaloka, tak ada yang
berani bicara sepatah kata pun.
Mereka bagaikan terkesima oleh ucapan Yoga, sehingga Pendekar Rajawali Merah
berkata, 'Temukan aku dengan Ratu Cendana Wangi sekarang juga!"
Pendeta Agung Ganesha mengangguk, Gandaloka
menjawab, "Akan kuantar kau kepadanya!"
Rupanya pada saat itu Ratu Cendana Wangi sedang menahan kemarahan mendapat
laporan dua pengawal utamanya dibunuh, la baru mau perintahkan agar membantai
semua orang yang ada di istana itu, tahu-tahu Gandaloka dan Yoga muncul, di
belakangnya ada Pendeta Agung Ganesha, dan para tetua. Ratu Cendana Wangi
menjadi berang melihat kemunculan mereka, lalu berseru kepada Pendeta Agung,
"Ganesha! Dua orangku telah dibunuh! Aku akan menuntut balas membuat semua orang
di istana ini mati, dan penduduk Pulau Kana menjadi buta seluruhnya! Tapi jika
kau mampu serahkan orang yang telah bunuh kedua pengawalku itu, kubatalkan
niatku tadi!"
Tiba-tiba Yoga berseru sambil melangkah lebih ke depan,
"Aku yang membunuh kedua orangmu!"
"Bangsat!" geram Putra Iblis dan segera menyerang Yoga.
Tapi gerakan terhenti oleh tangan Ratu Cendana Wangi yang direntangkan.
Perempuan itu pandangi Yoga dengan mata tak berkedip. Semakin lama kemurungan
wajahnya mengendur.
Kian lama kemarahan hatinya kian teduh. Lalu, seulas senyum tipis mulai mekar di
wajah ayu itu. "Benarkah kau yang telah melakukannya?" "Benar," jawab Yoga. "Kalau kau ingin
balas, balaslah padaku!"
"Mengapa aku harus membalasnya" Kematian mereka adalah kecerobohan diri mereka
sendiri, itu tandanya mereka harus belajar lebih tekun lagi tentang ilmu-ilmu
aliranku. Hmmm...!
Siapa namamu?"
"Yoga!"
"Apa jabatanmu di sini?"
"Tawanan!"
"Oh, kasihan sekali kau rupanya"!" Ratu Cendana Wangi tertawa sambil berlagak
manja, la ingin mengusap pipi Yoga, namun oleh Yoga dihindari dengan menarik
wajah ke belakang.
'Tawanan tampan, sungguh membuatku lebih bahagia jika tinggal di sini! Kau akan
menjadi tawananku dan akan kujadikan pengawal pribadiku yang sangat pribadi,
jika aku sudah berdiri sebagai ratu di sini, dan Ktiab Jagat Sakti sudah
kudapatkan!"
'Tidak ada Kitab Jagat Sakti!" kata Yoga dengan beraninya.
Ratu Cendana Wangi jadi cemberut.
'Tahu apa kau tentang Pulau Kana ini?"
"Yang kutahu, bebaskan rakyat negeri Linggapraja ini!
Tinggalkan Pulau Kana, dan berdamailah dengan
penduduknya!"
Ratu Cendana Wangi tertawa panjang. Kemudian ia berkata,
"Kau seperti Pendeta Agung itu, Yoga. Seharusnya kau tak bicara begitu di
depanku. Ketahuilah, aku akan tinggalkan semua permintaanku setelah aku mati!
Dan aku akan bebaskan penduduk Pulau Kana, jika mereka mau turuti permintaanku."
"Kumohon padamu, Ratu Cendana Wangi... tinggalkan pulau ini dan batalkan semua
keinginanmu itu demi perdamaian!"
"Tidak ada perdamaian!" bentak Ratu Cendana Wangi mulai murka.
"Bagaimana jika diganti dengan sesuatu yang lain?"
"Aku mulai paham maksudmu, Yoga! Kau ingin menantangku buka pertarungan satu
lawan satu, begitu?"
"Aku tidak menantangmu. Tapi kalau itu yang kau harapkan, aku bersedia
melayanimu!"
"Hem...!" Ratu Cendana Wangi mencibir. "Tantang-anmu sangat halus dan sopan.
Apakah kau sanggup mengalahkan kami bertiga?"
'Tidak kujanjikan kesanggupanku, tapi kujanjikan kemampuanku!" kata Yoga sengaja
semakin pedas dan memancing amarah.
"Baik. Ingin kulihat nyalimu! Kita buktikan omong besarmu itu di alun-alun!"
"Sebaiknya berangkat sekarang juga, Ratu Cendana Wangi!"
"Kalau kau kalah, kubantai semua penduduk Pulau Kana ini!"
Yoga menyahut, "Dan kalau aku menang semua orangmu harus angkat kaki dari pulau
ini!" "Baik!" Ratu Cendana Wangi segera berseru kepada Putra Iblis dan Sawung Gala,
"Kita main-main di alun-alun sana!
Tunjukkan kepada seluruh penduduk pulau ini tentang kehebatan kita!"
Mereka pun bergegas menuju ke alun-alun. Gandaloka sempat cemas dan memandangi
Yoga. Tapi Yoga berkata,
"Pancinganku kena sasaran!"
"Hati-hatilah. Nasib penduduk pulau ini kini ada di tanganmu."
Yoga hanya sunggingkan senyum dan berkata, "Sebentar lagi akan kembali ke
tanganmu!"
* * * 9 WISNU Patra hampir patah semangat. Perjalanan yang sudah ditempuh memakan waktu
cukup lama, tapi mereka tetap tidak temukan jalan keluar, la sempat berkata
kepada Pendekar Rajawali Putih,
"Bagaimana kalau ternyata Sumur Perut Setan ini memang tidak mempunyai jalan
keluar?" "Pasti ada. Kita harus mencarinya terus sampai kapan saja!"
kata Lili dengan penuh semangat.
"Sampai tuakah kita harus mencari dan tinggal di sini?"
"Jika memang perlu begitu, apa boleh buat?" Lili angkat bahu. Kala itu mereka
beristirahat, duduk di samping gundukan
tanah cadas yang sudah dibuktikan benar-benar tanah cadas.
Bukan makhluk seperti Betara Kala lagi.
Wisnu Patra berkata lagi, "Kalau kita tak bisa keluar dari tempat ini, berarti
kita kehilangan masa depan."
"Masa depan kita ya di tempat ini!"
'Tanpa makanan dan minuman?"
"Kita tak pernah lapar dan haus setelah melewati tanaman biru tadi, bukan?"
"Memang. Tapi apakah kita juga tidak ingin ber-anak-cucu"
Sedangkan kau punya hati untuk orang iain, bukan untukku."
"Kalau kita ditakdirkan harus berjodohan di sini dengan cara tidak bisa keluar
dari tempat ini, apa boleh buat?"
"Kau mau beranak-cucu di sini dengan berpasangan denganku?"
"Kalau itu kupandang perlu, tentu saja kuiakukan. Tapi sekarang, hal itu belum
kupandang perlu!" kata Lili dengan enaknya.
Wisnu Patra merenung membayangkan seandainya ia dan Lili akhirnya menjadi suami-
istri di tempat itu. Sekalipun dalam keadaan gersang dan tak pernah melihat
matahari, tapi hati Wisnu Patra tetap akan senang serta bahagia menjadi suami
gadis cantik menggemaskan hati itu.
Sebenarnya masih banyak renungan indah yang sempat hinggap di benak Wisnu Patra.
Tetapi agaknya ia harus putuskan renungan tersebut, karena matanya menangkap
seberkas sinar pijar putih seiperti perak berkilauan. Wisnu Patra memperhatikan
dengan mata sedikit menyipit, karena sinar itu jauh dari tempat istirahatnya.
Lalu ia berkata kepada Lili
"Lihat, sinar apa itu yang putih seperti perak"!"
"Mana..."!"
"Di sebelah depan kita itu, dekat relung batu jajaran batu ini!"
Setelah menangkap cahaya perak kecil itu, Pendekar Rajawali Putih penasaran dan
segera menghampirinya. Wisnu Patra pun bergegas mengikuti Lili di belakangnya.
Gadis cantik itu melangkah tanpa ada rasa takut sedikit pun. Wisnu Patra sungguh
momuji dan mengagumi keberanian Pendekar Rajawali Putih.
"Wisnu..., cahaya itu semakin besar dan bersinar terang!"
kata Lili, kemudian ia berlari mendekati cahaya terang yang menyilaukan itu.
Ternyata sebuah benda yang dikenal bentuknya oleh Lili.
"Sebuah kitab, Wisnu!" ucap Lili tegang.
Memang sebuah kitab yang terletak di antara tulang-tulang berserakan. Cahaya
kitab itu menjadi redup ketika didekati Lili dan diperiksa dengan kekuatan
batinnya, bahwa kitab itu ternyata tidak beracun. Hanya saja, bentuknya besar,
tidak seperti kitab biasa. Selain besar juga tebal, dilapisi sampul kain putih
lapuk. Juga, dilapisi debu-debu tebal yang mengesankan bahwa kitab itu berusia
sudah ratusan tahun. Bentuknya yang besar menandakan kitab itu milik seseorang
bertubuh besar.
Siapa lagi jika bukan Betara Kala.
Sayangnya, kitab itu menggunakan tulisan huruf Sangkala, yaitu huruf kuno yang
sudah banyak dilupakan orang. Wisnu Patra tidak bisa membaca tulisan dalam kitab
tersebut. Bahkan gurunya sendiri tidak akan bisa membacanya. Tetapi Uli, bisa
membaca tulisan huruf Sangkala, karena ia belajar dari gurunya, yaitu Dewi
Langit Perak. Dewi Langit Perak belajar huruf Sangkala dari suaminya, yaitu Dewa
Geledek, guru dari
Yoga, si Pendekar Rajawali Merah. Tentu saja Yoga juga bisa membaca tulisan
huruf Sangkala.
Wisnu Patra tambah lagi kekagumannya kepada Lili, yang bisa membaca tulisan
berusia ratusan bahkan ribuan tahun itu.
Akhirnya, Wisnu Patra hanya bisa berharap dari Lili untuk mengetahui isi kitab
tersebut. "Kitab ini berisi jurus-jurus dahsyat milik Betara Kala," kata Lili saat
menterjemahkan lembar pertama. "Di sini juga tertulis riwayat singkat Betara
Kala dan pernah berubah menjadi ksatria tampan satu kali selama hidupnya,
lalu... lalu mempunyai istri seorang gadis yang dibuang di Pulau Kana yang
bernama... bernama Dewi Ambar Ayu. Dan mereka beranak-cucu. Pada saat mereka
mempunyai cucu ke sepuluh, pangeran tampan itu kembali berubah wujud menjadi
raksasa dan istrinya mati dimakannya, lalu ia bersembunyi di dalam Sumur Perut
Setan. "Lili berhenti membaca, memandang Wisnu Patra dan berkata,
"Berarti dia pernah ke Pulau Kana ribuan tahun yang lalu"!"
"Kalau begitu, pasti ada jalan keluai, yaitu jalan yang dipakainya masuk kemari
itu!" "Benar. Coba kubaca lagi...." Lili kembali membaca nya.
Lembaran yang terbuat dari kulit binatang itu dibuka lagi.
"Wah, dahsyat sekali ilmu ilmu yang ada di sini."
"Ilmu apa saja?"
"Hmm... antara lain, ilmu sihir yang dinamakan 'Kutuk Iblis', ilmu menghisap
kesaktian orang yang dinamakan ilmu 'Simajati'
dan banyak lagi ilmu dahsyat di kitab ini. Aku ingin pelajari semuanya!"
"Eh, hmmm... jalan keluarnya tadi bagaimana" Apakah disebutkan di kitab itu?"
Lili membaca sebentar, kemudian tampak ceria dan girang,
"Ya, benar. Di sini ada petunjuk jalan keluar dari Sumur Perut Setan!"
"Hebat sekali kalau begitu kitab ini. Kitab apa namanya?"
"Di depan sendiri ini tertulis kata Jagat Sakti. Mungkin itulah nama kitab ini."
"Atau mungkin Jagat Sakti nama asli Betara Kala?" Kedua pendapat itu memang
benar. Tapi yang menjadi masalah sekarang adalah, mereka harus bisa menemukan
jalan keluar sesuai dengan petunjuk di dalam Kitab Jagat Sakti Itu. Karena Wisnu
Patra tak bisa membaca tulisan Sangkala, maka Lili yang memandu langkah mereka
temukan jalan keluar. Ternyata jalan keluar itu tidak hanya bisa ditemukan
dengan berjalan kaki saja, melainkan harus gunakan kekuatan tenaga dalam untuk
membuka pintunya. Kekuatan tenaga dalam itu harus mengikuti petunjuk dalam kitab
tersebut. Termasuk bagaimana cara memadamkan sinar merah bara pada dinding
lorong itu. Sebenarnya, Ratu Cendana Wangi memang punya hak untuk memiliki Kitab Jagat
Sakti, jika memang benar dia keturunan dari Dewi Ambar Ayu. Tapi apakah benar
dia keturunan Dewi Ambar Ayu" la tidak bisa buktikan hal itu. Bisa saja ia tahu
silsilah Dewi Ambar Ayu dari dongeng tentang Sumur Perut Setan itu. Karena
setiap orang yang pernah mendengar dongeng Sumur Perut Setan, seperti halnya
Wisnu Patra, juga pernah mendengar nama Dewi Ambar Ayu sebagai putri raja yang
dibuang ke sebuah pulau karena menolak perjodohannya.
Bisa saja Wisnu Patra mengaku keturunan orang Pulau Kana dan menuntut hak atas
Kitab Jagat Sakti itu. Tapi karena Wisnu
Patra bukan tokoh sesat, maka ia tak mau mengaku-aku demikian.
Yang jelas, karena ingin memiliki ilmu sihir tertinggi yang ada di dalam Kitab
Jagat Sakti itulah, Ratu Cendana Wangi datang ke Pulau Kana. Akibatnya ia
terpaksa berhadapan dengan Pendekar Rajawali Merah.
Alun-alun penuh dengan manusia, baik dari pihak rakyat Pulau Kana, maupun dari
pihak Ratu Cendana Wangi. Mereka sama-sama menyaksikan sebuah pertarungan besar
dan mengagumkan, yaitu Pendekar Rajawali Merah yang satu tangannya telah


Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpotong itu, ternyata mampu kalahkan Sawung Gala dengan tebasan pedangnya dari
jarak tujuh langkah. Sedangkan Putra Iblis masih bertahan melawan Yoga dengan
gunakan berbagai macam jenis ilmu sihirnya.
Namun Putra Iblis akhirnya mati oleh kekuatan sihirnya dari kedua mata. Seberkas
sinar biru kekuning-kuningan melesat dari kedua mata si Putra Iblis. Arahnya
menghantam Yoga, dan akan membuat Yoga menjadi lumer dan hilang terbawa angin.
Tetapi, pusaka Pedang Lidah Guntur itu menangkis serangan sinar biru, lalu
memantul balik dan membuat Putra Iblis sendiri tubuhnya menjadi lumer seperti
lilin terbakar, lalu menguap karena tertiup angin dan lenyap tak berbekas lagi.
Melihat kejadian seperti itu. Ratu Cendana Wangi naik pitam, la segera serang
Yoga dengan pukulan yang cukup aneh tapi berbahaya. Dari telapak tangannya
keluar ratusan ekor ular kecil yang terbang menyerang Yoga. Tetapi, ratusan ekor
ular itu tak sampai menyentuh tubuh Yoga sudah pecah dan hancur berantakan
karena kilatan cahaya merah dari ujung pedang Pendekar Rajawali Merah. Craab...!
Wrrss...! "Biadab! Kau pikir kau mampu kalahkan semua ilmu sihirku, hah"! Heaah...!" sinar
putih melesat dari ujung jari Ratu
Cendana Wangi. Arahnya ke batu besar yang ada di tepi alun-alun. Batu itu segera
melayang meng hantam kepala Yoga dengan cepatnya. Tapi Pendekar Rajawali Merah
segera berguling di tanah satu kali, kemudian sentakkan kakinya, melambung naik
dan menebas batu tersebut dengan pedangnya. Wuuut...! Craakk...! Praazz...! Batu
itu pun pecah, dan semua pecahannya bisa terbang melesat ke arah Ratu Cendana
Wangi. Bruuss...!
"Aaauh...!" Ratu Cendana Wangi berteriak bagai orang kepanasan. Serpihan batu
itu membuat wajahnya menjadi rusak dan jelek bagaikan habis tersiram cairan besi
panas, la kesakitan dan berusaha mengatasi rasa sakitnya dengan berdiri kerahkan
tenaga hawa murninya ke dalam tubuh.
Tapi pada saat itu, Yoga gunakan jurus 'Petir Selaksa', yaitu bergerak dengan
sangat cepat sambil sabetkan pedangnya ke arah lawan. Wuuut...! Craas...l
"Hooo..."!" orang-orang yang menyaksikan pertarungan di tengah alun-alun dari
jarak jauh itu sama-sama terbengong melihat jurus yang digunakan Yoga. Jurus itu
membuat tubuh Ratu Cendana Wangi tetap berdiri tegak, namun kejap berikut
tubuhnya terpotong menjadi dua pada bagian perutnya tanpa keluarkan darah
setetes pun. Bruuk...! Dan setiap mata orang tak sempat berkedip dalam tiga helaan napas.
Setelah itu, para anak buah Ratu Cendana Wangi segera melarikan diri dan tak
berani ada yang mencoba hadapi Pendekar Rajawali Merah. Mereka berhamburan
menuju kapal mereka, dan cepat pergi tinggalkan Pulau Kana. Mereka tak mau
menerima nasib seperti ratu mereka yang malang itu.
Rakyat negeri Linggapraja bersorak mengelu-elukan Yoga.
Kemenangan Yoga berarti keselamatan bagi penduduk Pulau Kana. Gandaloka pun
sempat tertawa kegirangan di samping
Pendeta Agung Ganesha dan para tetua. Hanya saja, sebelum mereka mendekat untuk
menyambut Yoga, tiba-tiba tawa mereka terhenti, wajah mereka menjadi tegang dan
bergerak mundur semua. Yoga sendiri sempat terbengong dengan masih berdiri di
tengah alun-alun. Yoga merasakan gerakan tanah bagai dilanda gempa. Tiang
bendera bergerak miring sendiri perlahan-lahan. Lalu, tanah persembahan itu
bergerak membuka, merekah belah pada batas tertentu. Mereka menjadi sujud semua,
kecuali Yoga. Para tetua hanya bungkukkan badan dengan perasaan takut, termasuk
Pendeta Agung dan Gandaloka.
Tiba-tiba dua sosok manusia melesat keluar dari belahan tanah itu. Mereka adalah
Pendekar Rajawali Putih dan Wisnu Patra. Tentu saja orang-orang Pulau Kana
menjadi lebih terkejut, lebih takut, tapi juga lebih penasaran. Sedangkan Yoga
justru sarungkan pedangnya dan berteriak keras,
"Guru..."
"Yoga..."!" tanpa sadar mereka berlari dan saling peluk.
Wisnu Patra diam cemberut. Gandaloka tak bisa berkedip karena ia kenal dengan
kedua orang yang baru muncul dari dalam tanah persembahan.
Ternyata Lili telah berhasil temukan jalan keluar dari Sumur Perut Setan melalui
petunjuk dalam Kitab Jagat Sakti itu. Jalan keluar itu adalah tanah persembahan
yang biasa dipakai untuk melemparkan mayat korban yang dianggap membawa kutukan,
membawa kesialan, dan membawa bencana. Tanah
persembahan itulah pintu keluar-masuknya Sumur Perut Setan.
Tak ada penduduk Pulau Kana yang mengetahui hal itu, karena mereka menganggap
Sumur Perut Setan hanyalah dongeng anak-anak bersama tokoh pemakan manusianya,
yaitu Betara Kala yang punya nama asli Jagat Sakti. Korban persembahan yang
mereka masukkan ke dalam belahan tanah itu,
sesungguhnya sesaji makanan untuk sang Betara Kala, tapi mereka pun tak mengerti
makna persembahan tersebut.
Mereka hanya mengikuti tradisi dan adat.
Demikian juga adat dan tradisi mengatakan, orang yang muncul dari tanah
persembahan berhak menjadi raja atau ratu bagi rakyat negeri Linggapraja. Maka,
mereka pun sepakat mengangkat Wisnu Patra dan Lili untuk menjadi raja. Tetapi
tidak mungkin mereka mengangkat keduanya menjadi pemimpin negeri. Mereka harus
memilih salah satu, atau keduanya menikah dan menjadi raja dan ratu.
"Kau saja yang menjadi raja mereka!" kata Lili kepada Wisnu Patra.
"Mereka menghendaki kita berdua!"
'Tidak bisa. Itu berarti kita harus menikah."
"Apa salahnya?"
"Besar sekali salahnya. Karena aku tak akan mau meninggalkan muridku; Pendekar
Rajawali Merah!" jawab Lili dengan tegas.
"Dia masih bisa menjadi muridmu!"
"Ya. Tapi jika kita menikah, dia tidak bisa jadi suamiku.
Padahal dia adalah muridku, namun juga buah hatiku!"
Percakapan itu dipandangi Yoga dari kejauhan. Wajah Yoga bersungut-sungut. Lili
segera berlari mendekatinya dan meraih tangan pendekar tampan itu, lalu berkata
dengan senyum berlesung pipit,
"Kita pulang sekarang juga, aku mau pelajari kitab ini!"
"Kau tak ingin menjadi ratu bagi mereka?"
Lili menggeleng. "Aku hanya ingin menjadi ratu bagi dirimu!"
Kedua pendekar rajawali itu sama-sama tersenyum. Dunia menjadi indah rasanya.
Wisnu Patra hanya tarik napas dan merelakan semuanya terjadi, termasuk rela
dirinya diangkat menjadi raja bagi rakyat Pulau Kana. la harus segera mencari
calon istri yang harus sudah dinikahi sebelum purnama tiba.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
SELESAI Pendekar Pemetik Harpa 2 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Jodoh Rajawali 4
^