Sumur Perut Setan 2
Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Bagian 2
Sehari semalam mereka dikurung di kamar amis itu.
Gandaloka sempat gelisah karena batas waktu yang diberikan untuk membawa Yoga ke
Pulau Kana sudah hampir habis.
Kegelisahan itu disembunyikan oleh Gandaloka, tetapi Yoga mengerti dan
melihatnya, sehingga Yoga segera berkata pelan kepada Gandaloka,
"Kau takut menghadapi mereka?"
"Yang kupikirkan bukan mereka, tapi saat bulan purnama datang. Nanti malam
adalah tepat pertengahan bulan purnama.
Seharusnya aku sudah berhasil membawamu ke Pulau Kana.
Hari ini juga kita harus bisa lolos dari Pulau Singa ini."
"Kau siap memberontak melawan mereka semua?"
"Mereka bukan orang-orang berilmu rendah. Melakukan pemberontakan di sini
sepertinya hanya melakukan kematian yang konyol."
"Barangkali buatmu memang benar begitu. Tapi buatku tidak," kata Yoga. "Kalau
kau setuju, akan kupotong jeruji pintu ini dengan pedangku dan akan kulawan mereka
agar kita bisa lolos!"
"Kita tidak mempunyai perahu."
"Kita bisa curi perahu di pantai."
"Bagaimana kalau mereka menghilang dari pandangan mata kita" Apakah kita bisa
peroleh perahu" Apakah kita bisa melihat ada perahu di pantai?"
Rupanya Asoma mencuri dengar percakapan itu, sehingga tiba-tiba ia ikut
menimpali dengan kata,
"Kuatasi mereka, sementara salah seorang lari mencari perahu sebelum mereka buat
kita tidak bisa melihat dunia mereka lagi!"
Yoga dan Gandaloka berpaling menatap Asoma. Mereka sama-sama diam dan saling
tatap. Kemudian Rowulu ikut berkata,
"Benar apa kata Asoma! Pegang perahu mereka dahulu sebelum kita dibuat tak bisa
melihat mereka."
"Itu bukan pekerjaan yang mudah," kata Gandaloka.
"Lebih tidak mudah lagi jika kita hanya diam di sini menunggu keputusan mereka!"
kata Asoma dengan penuh semangat.
"Ssst...! Jangan keras-keras!" kata Gandaloka mengingatkan.
"Percakapan kita bisa didengar oleh mereka yang ada di sana!"
Para penjaga yang ada di sekitar singgasana itu memandang ke arah kamar tawanan.
Gandaloka dan kelompoknya segera bicara soal lain.
Tiba-tiba seorang pelayan datang menyodorkan empat rangsum makanan melalui
lubang di bawah pintu jeruji itu.
Pelayan wanita itu juga berkepala singa, rambutnya lebih panjang dan berwarna
kuning pirang. Seperti rambut jagung.
Lewat giwang di telinganya, pelayan itu bisa dikenali sebagai
makhluk berjenis perempuan. Tapi wajahnya sungguh tidak punya nilai kecantikan
bagi manusia biasa.
"Kala Ratak suruh kalian makan!" kata pelayan itu dengan suara jenis suara
perempuan. Kemudian ia pergi setelah serahkan empat rangsum makanan.
Gandaloka dan orang-orangnya hanya memandangi rangsum tersebut. Asoma sempat
bergidik, lalu muntah tanpa keluarkan apa-apa. Mereka tak ada yang mau menyantap
makanan tersebut karena terdiri dari daging mentah, bahkan masih ada yang
berkulit dan berbulu. Sepertinya yang mereka sajikan adalah daging monyet yang
masih basah dan memerah, tampak habis dipotong beberapa saat yang lalu.
Gandaloka tak mau menyentuh makanan itu, ia hanya menggeram jengkel,
"Mereka pikir kita ini binatang buas, seperti keturunan mereka!"
Pendekar Rajawali Merah sempat tersenyum geli dan bertanya, "Kau tak mau
memakannya?"
"Tak sudi," kata Asoma. Begitu pula Rowulu menyahut,
"Aku pun tak sudi menyentuhnya."
Kepada Gandaloka, Yoga bertanya, "Dan kau juga tak mau memakannya?"
Gandaloka menjawab, "Kalau kau doyan, makanlah semuanya!"
"Baiklah!" kata Yoga, "Kalau kalian tak ada yang mau memakannya, aku pun tak mau
makan hidangan ini! Mual perutku melihatnya saja!"
Gandaloka sempat tersenyum geli mendengar ucapan Yoga.
Kemudian Yoga berkata lagi,
"Memang sebaiknya kita jangan terbelenggu oleh kesedihan, kemarahan, dan
kecemasan. Kita harus ceria, supaya otak kita lebih terbuka lagi dan bisa
temukan jalan keluar dari pulau ini!"
Ucapan mereka terhenti, Kala Ratak Sangar berganti jubah.
Kini yang dikenakan jubah biru mengkilap.
Kala Ratak Sangar berjalan mendekati kamar tahanan itu. la berhenti dalam jarak
antara tujuh langkah dari kamar tahanan tersebut. Sementara itu, orang-orang
berkepala singa lainnya mulai memasuki ruangan besar tersebut dan berkumpul
berkeliling sambil mata mereka tertuju ke kamar tahanan.
Apa yang ingin mereka lakukan" Tak ada yang tahu dari para tawanan tersebut.
Tetapi setelah Kala Ratak Sangar bicara, mereka baru mengetahui apa sebab orang-
orang berkeliling membentuk lingkaran di sekitar lantai depan singgasana itu.
"Kami akan membebaskan kalian, tapi dengan satu syarat; salah satu dari kalian
harus bisa kalahkan prajurit pilihanku!"
"Setuju!" jawab Yoga cepat-cepat.
"Harus ada yang bertarung melawan Jagora, prajurit pilihanku. Jika ada yang bisa
kalahkan Jagora, kalian bebas.
Jika yang kalah kalian, berarti kalian mati dan menjadi santapan kami!"
"Kami minta satu perahu untuk pulang jika kami menang!"
kata Gandaloka dengan Kala Ratak Sangar.
Setelah diam sebentar, Kala Ratak Sangar mengangguk dan berkata,
"Baik. Kusiapkan perahu untuk kepergian kalian. Tapi..., aku sangsi dari kalian
ada yang bisa kalahkan Jagora!"
Gandaloka berkata, "Aku yang akan hadapi Jagora!"
Tapi tahu-tahu Asoma maju ke jeruji pintu dan berkata kepada Kala Ratak Sangar,
"Aku Asoma! Aku yang akan lawan prajuritmu!"
"Tidak! Aku saja!" sahut Rowulu dengan geram. Sepertinya sudah tak sabar ingin
lampiaskan kemarahannya.
Gandaloka menyahut, "Kalian diam di tempat! Aku pimpinan kalian, jadi akulah
yang harus hadapi musuh pertama kali!"
"Tidak bisa!" sanggah Asoma.
"Diaaam...!" bentak Kala Ratak Sangar. "Aku yang akan tentukan siapa orangnya
yang harus bertarung melawan Jagora!"
Gandaloka dan kelompoknya saling pandang dalam
bungkam. Kejap berikutnya. Yoga angkat bicara dengan tenang kepada Gandaloka,
"Bujuk dia supaya memilih aku!"
Gandaloka geleng-gelengkan kepala. "Kau tawan-anku. Kau tak boleh bertarung
membelaku."
"Gandaloka...," Yoga mengeluh kecewa. "Kala Ratak sudah memberikan satu
kesempatan bagi kita untuk lolos, mengapa harus kau sia-siakan dengan langkah
yang bersifat untung-untungan! Akulah yang harus membuka kunci kebebasan kita,
Gandaloka!"
Gandaloka tarik napas dan berkata pelan, "Seharusnya kau menyerangku, bukan
membelaku! Aku tak bisa bujuk dia untuk pilih kamu. Maaf, Yoga...!"
Bisik-bisik itu terhenti karena suara Kala Ratak Sangar terdengar menyentak,
"Hei, kau... yang berbaju hijau!"
"Aku..."!" Asoma maju dan memegang dadanya saat bertanya begitu.
"Ya. Kau yang kumaksud! Kau orang pertama yang harus melawan Jagora!"
"Haaa, ha, ha, ha...!" Asoma tertawa kegirangan mendapat giliran untuk
mengalahkan lawan. "Akhirnya akulah yang terpilih sebagai kunci kebebasan kita!"
Rowulu menyergah dengan ucapan, "Bodoh kau! Temanku ini sedang mengidap racun di
tubuhnya! Kalau kau makan, kau akan mati!"
Wuuut...! Buuhg...! Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh pengawal
bersenjatakan tombak berujung pedang. Rowulu terpental mundur dengan satu
gerakan keras dan jatuh membentur dinding belakangnya.
"Buka pintu, keluarkan orang berbaju hijau itu!" perintah Kala Ratak Sangar
kepada pengawalnya. Lalu, pintu tahanan itu dibuka dan Asoma sebelum diseret
sudah lompat keluar dengan bangganya.
"Asoma! Hati-hati!" seru Gandaloka dengan sedikit kecewa karena bukan dia yang
dipilih. Dengan gagah dan berani, Asoma tampil di tengah arena tanpa senjata, karena
senjatanya hanyut ketika ia terlempar ombak. Tapi semangat pertarungannya masih
tetap menyala-nyala.
Kala Ratak Sangar berkata dari singgasananya, "Kau boleh pilih senjata di sudut
sana! Ambil sesukamu!"
Asoma segera menuju ke sudut, tempat dipajangnya beberapa senjata dalam tempat
khusus, la mengambil tombak berujung pedang lebar. Sangat mantap untuk memenggal
leher lawan, la mainkan sebentar pedang bergagang tombak yang punya pita merah
panjang di atasnya itu. Wut, wuut, wuuut...!
Terasa seimlung untuk bergerak ke mana saja. Kemudian
dengan wajah berseri-seri, Asoma maju ke tengah arena, la ber-< liri dengan
gagahnya menghadap rekan-rekannya yang
,ida di dalam penjara, seakan menampakkan dirinya se-hagai orang yang layak maju
ke pertarungan saat itu.
"Mana lawanku, Kala Ratak!" Asoma bersikap tak sabar.
Kala Ratak Sangar berseru, "Jagora! Tampakkan dirimu!"
Zraaap...! Gandaloka dan yang ada di dalam penjara terkejut. Orang yang bernama Jagora itu
ternyata sudah sejak tadi ada di tengah arena, la menampakkan diri seperti
cahaya hijau yang keluar dari lantai dan bergerak ke atas membentuk semacam
bumbung. Cahaya hijau itu segera pecah menjadi serpihan dan hilang, lalu tampak
sosok tubuh kekar yang bernama Jagora.
"Dia bukan lawan Asoma! Pertarungan itu pasti tidak sebanding!" gumam Rowulu
dengan tegang. "Mestinya aku yang melawan orang itu!"
Gandaloka yang sebenarnya sependapat dengan Rowulu hanya diam saja. la
menghembuskan napas bernada kecewa, la menampakkan sikap tidak punya harapan
atas kemenangan Asoma. Seakan ia tahu persis, bahwa Asoma akan mati melawan
Jagora. "Tenang," kata Yoga sambil menepuk pundak Gandaloka.
"Yakinkan saja dalam hatimu bahwa Asoma pasti unggul!" Tapi Gandaloka tidak
menjawab sepatah kata pun. Pandangan matanya sedikit sayu.
Jagora juga berwajah singa. Bahkan taringnya sedikit keluar dari pertengahan
mulut. Matanya tajam dan buas memandang lawan. Rambutnya meriap, warna kuning
pirang. Badannya bukan saja kekar, namun berkulit gelap, seakan kebal senjata
apa pun. Jagora menyandang senjata pedang di punggungnya,
tapi kuku di jari-jari tangannya itu sudah bisa mewakili pedang ketajamannya.
Kuku itu panjang dan runcing. Tepiannya tampak berkilat karena tajamnya.
Tetapi Asoma memandang lawannya dengan ter-senyum-senyum. la bersiap melawan
Jagora tanpa ada rasa ngeri atau takut sedikit pun. Sedangkan Jagora masih
berdiri tegak dengan kaki sedikit merentang dan tangan keduanya ke samping
bawah, la sepertinya menunggu perintah dari Kala Ratak Sangar. Maka, penguasa
Pulau Singa itu pun berseru,
"Bunuh dia, Jagora!"
Seet...! Jagora segera ambil jurus dan kuda-kudanya ditonjolkan. Kedua tangannya
terangkat, yang satu melewati atas kepala, la perdengarkan suara menggeram
seperti seekor singa hendak menerkam mangsa. Sedangkan Asoma segera mainkan
senjatanya ke ka-nan-kiri dengan gerakan cepat hingga timbulkan suara angin
mendesau. Wuung, wuung...!
"Hiaaah...!" Asoma memekik sambil melompat tinggi.
Badannya yang bagai raksasa itu seakan ingin menelan Jagora.
Ujung tombaknya segera ditebaskan dari kiri ke kanan, tujuannya adalah leher
Jagora. Wuuut...! Tapi Jagora justru melompat maju melewati batas pedang besar di ujung tombak
itu. Jaraknya menjadi sangat dekat dengan Asoma. Lengan kanannya dipakai
menangkis tongkat tombak. Tertahannya tongkat tombak itu membuat Asoma kikuk
bergerak dalam sekejap. Tapi seketika itu pula, Jagora menggerakkan tangan
kirinya, berkelebat dari bawah ke atas sampai tubuhnya meliuk miring ke kanan.
Wuuut...! Craaas...!
"Aahg...!" Asoma terpekik kesakitan karena terkena cakar tajam dari perut kanan
sampai ke mata kirinya. Terkoyak tubuh itu sampai darahnya memercik ke luar.
Ketika Asoma terhuyung-huyung dan jatuh, orang-orang berkepala singa itu
bersorak riuh. Gandaloka, Rowulu, dan Yoga menjadi tegang. Gandaloka sendiri
berseru, "Bangkit! Bangkit, Asoma! Ayo lawan dia! Lawan terus!"
Asoma tidak mendengar seruan itu karena riuhnya tepukan dan sorak-sorai para
manusia singa yang mengelilingi ruangan besar itu. Asoma tetap bangkit dan
berusaha bertahan. Tetapi, baru saja ia berdiri, tubuh Jagora melesat bagaikan
terbang dan kedua tangannya menghantam dada Asoma memakai cakar tajamnya.
Jraaab...! "Uhg...!" Asoma masih berdiri mendelik. Tangan Jagora menerobos masuk menjebol
dada. Begitu ditarik, ternyata sudah menggenggam jantung Asoma. Jantung itu
ditunjukkan kepada rakyatnya, lalu dengan terangkatnya tangan Jagora maka semua
yang hadir di situ bersorak lebih girang lagi. Kala Ratak Sangar tertawa
terbahak-bahak. Sedang Asoma roboh tak bernyawa lagi.
Gandaloka dan konco-konconya mendelik melihat apa yang dilakukan oleh Jagora
terhadap diri Asoma. Gandaloka sendiri menggeletukkan gerahamnya ketika Jagora
berputar-putar dengan mengangkat tangan yang menggenggam jantung Asoma itu.
Jantung itu dilemparkan kepada para penonton, lalu mereka berebut untuk
menyantapnya. "Jahanam busuk!" geram Rowulu. Matanya mulai merah karena marah, la melihat
Asoma diseret keluar dari arena, dan lantai dibersihkan dari bercak-bercak
darah. Setelah itu terdengar Kala Ratak Sangar berseru sambil menuding Rowulu,
"Kau...! Yang berbaju hitam itu! Seret dia ke arena!"
"Rowulu! Biar aku yang menggantikan kamu!" kata Yoga.
"Jangan! Kita hadapi secara ksatria saja!" cegah Gandaloka.
"Ini kesempatanku melampiaskan murka!" kata Rowulu sebelum pintu tahanan dibuka.
Ketika pintu itu dibuka, Rowulu langsung berlari keluar dan menuju arena. Di
sana Jagora sedang menunggu dengan tenang. Tapi Rowulu langsung menyerang dengan
satu lompatan bersalto dan tangannya lepaskan pukulan tenaga dalam warna biru.
Claaap...! Jagora diam saja, hanya pandangi sinar itu yang makin mendekati wajahnya. Tapi
sinar itu tiba-tiba berhenti di udara, lalu padam dengan sendirinya. Hilang
entah ke mana, tanpa bunyi dan tanpa angin sedikit pun. Asap tak ada dari
hilangnya sinar itu.
"Bangsat...! Heaaah...!" Rowulu sangar bernafsu, la melompat dan menghantamkan
telapak tangannya yang bercahaya biru terang ke dada Jagora yang tidak kenakan
baju itu. Tapi Jagora diam saja dan membiarkan asap mengepul akibat tangan
Rowulu menempel di kulit dadanya Rowulu tampak kerahkan tenaganya lebih banyak
lagi, terlihat dari nyala biru di tangannya yang lebih terang lagi.
Celakanya oukulan itu dianggap angin lalu oleh Jagora. Kini justru kedua tangan
Jagora mengeras dan cakarnya direnggangkan Lalu dari kanan-kiri Rowulu, sepasang
tangan bercakar itu menghantam kepala Rowulu secara bersamaan.
Craaak...! "Aaahg...!" Rowulu jatuh berlutut dengan kepala rusak.
Kejap berikutnya ia pun tumbang tak bernyawa. Dan sorak-sorai kembali memenuhi
ruangan besar itu. Tawa Kala Ratak
Sangar terbahak bergelak-gelak. la tampak puas sekali meiihat kehebatan prajurit
pilihannya. Kini tinggal Gandaloka dan Yoga yang ada,di kamar tawanan. Kala Ratak Sangar
masih memilih siapa yang harus maju melawan Jagora lagi. Gandaloka dan Yoga pun
sama-sama saling pandang, namun tak bicara apa-apa. Sikap Gandaloka terlihat
lebih tegang ketimbang Yoga. Sampai akhirnya Kala Ratak Sangar perdengarkan
suaranya, "Hei, kau yang bertangan buntung... maju!"
Yoga tersenyum memandang Gandaloka. la tampak girang sekali terpilih maju lebih
dulu sebelum Gandaloka. Tapi Gandaloka justru berwajah murung dan tidak memberi
ucapan apa pun ketika Yoga keluar dari kamar tahanan itu dan melangkah menuju
arena. Jagora menatap dengan tidak berkedip. Agaknya Jagora tahu bahwa lawannya
yang kali ini punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Maka, Jagora pun
segera mencabut pedangnya. Dan hal itu membuat Kala Ratak Sangar berkerut dahi
dan berkata dalam hati, "Berarti orang buntung itu berilmu tinggi. Terbukti
Jagora belum-belum sudah mencabut pedangnya. Biasanya pedang itu ia cabut jika
berhadapan dengan orang yang dipandangnya berilmu cukup tinggi, setidaknya
sejajar dengannya!"
Yoga tetap tenang melihat Jagora mulai melangkah berkeliling menunggu kesempatan
lengah lawannya. Pedangnya siap menebas sewaktu-waktu. Suaranya menggeram-geram
dengan buas, tampak ganas. Matanya pun berkesan liar dan sangat bernafsu untuk
Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh Yoga. Pendekar Rajawali Merah tersenyum tipis, lalu pelan-pelan ia memegangi gagang
pedangnya sambil ikut berputar di tempat karena lawannya berputar terus. Ketika
pusaka Pedang Lidah Guntur yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua kepala
burung saling bertolak belakang itu akhirnya dicabut juga, gelegar suara petir
di angkasa mengguncangkan bangunan tersebut, membuat Kala Ratak Sangar dan
beberapa orang di situ menjadi tegang. Tak satu pun ada yang berucap kata,
sehingga suasana menjadi hening. Semua mata tertuju pada Pedang Lidah Guntur
yang menyala merah dengan percikan-percikan bunga api mengelilingi pedang
tersebut. Jagora berhenti bergerak, Yoga juga berhenti bergerak. Tapi Jagora segera
melompat ke depan dengan satu teriakan liarnya,
"Heaaahhh...!"
Claaap...! Pendekar Rajawali Merah mundur satu tindak dan menebaskan pedangnya
ke samping. Tebasan itu
menghadirkan loncatan sinar merah ke arah tubuh Jagora.
Pedang Jagora ditembusnya dan patah, lalu sinar merah itu bagai pisau tajam
menyabet leher Jagora dengan cepat. Dan Jagora diam di tempat tak bergerak.
Masih berdiri dengan mata mendelik. Kejap berikutnya, ketika orang-orang saling
bertanya dalam hati, tiba-tiba kepala Jagora menggelinding jatuh tanpa darah
setetes pun. Orang-orang berseru kaget, "Hahhh..."!"
Yoga memandang Kala Ratak Sangar dengan tersenyum.
Yang dipandang hanya terbengong melompong. Yoga berseru,
"Dari sini pun aku bisa penggal kepalamu juga, Kala Ratak!"
Yang diajak bicara jadi gemetar dan mulai tampak gelisah.
*** 5 KALA Ratak Sangar menepati janjinya. Maka pulanglah Gandaloka ke Pulau Kana
dengan membawa Yoga. Mereka
menunggang sebuah perahu berlayar tunggal mengarungi samudera lepas. Gandaloka
berwajah murung, bukan hanya karena kehilangan semua anak buah yang dibawanya,
melainkan juga mengalami keterlambatan waktu. Pelayaran menuju Pulau Kana
sendiri memakan waktu sehari semalam.
Ketika mereka tiba di Puiau Kana, keadaan sudah berbeda.
Kembang Mayat sedang dalam persiapan menjalani hukuman mati. Pendeta Ganesha
yarg memimpin hukuman mati untuk Kembang Mayat. Perempuan itu meronta-ronta
karena dijarat memakai tali urat naga yang tak bisa diputuskan oleh benda apa
pun. Pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan di alun-alun, supaya disaksikan dan
diketahui oleh seluruh rakyat negeri Linggapraja, bahwa orang yang dianggap
penyebab kesialan rakyat negeri itu dihukum mati dengan cara digantung di atas
tanah persembahan.
Tanah persembahan ada di alun-aiun, berupa tempat datar berumput, tapi dengan
menggerakkan tiang bendera yang ada di tepi alun-alun itu, tanah tersebut akan
terbuka, bagai merekah dan dipakai membuang mayat yang sudah digantung Sedangkan
tiang gantungan disiapkan di atas tanah yang nantinya akan terbuka merekah itu.
Dengan terbuangnya mayat oraruj yang digantung ke dalam tanah persembahan, maka
rakyat Pulau Kana merasa sudah mempersembahkan korban bagi sang dewa, sehingga
kutuk dan sial tidak akan menimpa rakyat negeri Linggapraja. Tetapi rakyat tetap
berusaha mencari ratu atau raja baru yang bukan berasal dari pulau tersebut dan
yang harus segera menikah.
Sebenarnya, kalau saja Kembang Mayat mau menuruti saran Pendeta Ganesha, maka ia
tidak akan dijatuhi hukuman mati.
Pendeta Ganesha sudah sarankan agar Kembang Mayat cepat lakukan pernikahan
dengan salah satu pemuda Pulau Kana
untuk selamatkan diri dari kutuk djjjn hukum adat. Tetapi Kembang Mayat menolak,
la berkata, "Aku tidak akan menikah jika bukan Pendekar Rajawali Merah calon suamiku! Aku
harus menikah dengannya!"
Pendeta Ganesha berkata, "Pendekar Rajawali Merah belum berhasil kita boyong
kemari, Gusti Ratu! Sedangkan malam purnama tinggal sebentar lagi. Kalau Gusti
Ratu tidak segera mengambil keputusan untuk menikah dengan siapa saja yang Gusti
pilih, nanti Gusti Ratu akan dituntut oleh hukum adat dan harus dibunuh karena
dianggap penyebab datangnya kutukan pada dewa."
"Aku percaya Pendekar Rajawali Merah akan datang pada waktunya! Gandaloka sudah
membawa pasukan pemanah dan orang-orang sakti lainnya! Mereka pasti berhasil
membawa pulang Yoga!"
Kembang Mayat sudah telanjur tergila-gila oleh Pendekar Rajawali Merah, sehingga
hatinya tidak bisa menerima pemuda lain. Apalagi ia metasa punya kekuatan, punya
kekuasaan, sehingga dengan mudah akan memperoleh pemuda tampan pemikat hati
wanita Itu, dengan memerintahkan Gandaloka dan orang kuat lainnya.
Pada waktu malam purnama tiba, Pendeta Ga'~e-sha segera menghubungi Kembang
Mayat yang sudah dianggap sebagai pimpinan negara di negeri Linggapraja itu.
Pendeta Ganesha mengatakan, "Masih ada kesempatan untuk lakukan pernikahan malam
ini juga dengan pria siapa saja, Gusti Ratu! Karena rakyat sudah berkerumun di
alun-alun dan menunggu upacara pernikahan ratu mereka!"
"Tidak-akan kulakukan pernikahan dengan siapa pun kecuali dengan Pendekar
Rajawali Merah! Titik!"
"Tapi malam purnama sudah tiba, Gusti Ratu!"
"Persetan dengan malam purnama!"
Esok paginya, ketika Kembang Mayat bangun dari tidur, tahu-tahu tubuhnya telah
terikat seluruhnya dengan taii yang tak bisa diputuskan oleh kekuatan tenaga
dalamnya. Pendeta Ganesha telah masuk ke kamar per aduan ratu dan menjerat
perempuan itu dengan tali yattg keluar dari telapak tangannya dan melilit
sendiri ke tubuh Kembang Mayat.
Agaknya keputusan itu sudah mutlak harus dijalan! sesuai adat yang berlaku.
Kembang Mayat berusaha meronta-ronta ketika dibawa ke alun-alun untuk digantung,
namun usahanya itu sia-sia. Orang-orang bertubuh tinggi-besar itu membawanya
dengan kuat dan meletakkan tubuh ramping itu di atas tanah persembahan Tali
gantungan segera dikalungkan ke leher Kembang Mayat. Apabila tiang bendera di
dorong ke samping, maka tanah akan terbuka dan kaki Kembang Mayat akan
tergantung. Maka akan matilah Kembang Mayat dalam keadaan terjerat lehernya.
Lalu, tali itu nantinya akan diputuskan, dengan begitu tubuh Kembang Mayat akan
jatuh ke dalam bongkahan tanah persembahan. Setelah itu tanah kembali akan
ditutup rapat "Aku minta waktu!" teriak Kembang Mayat. "Aku minta waktu sampai matahari mau
tenggelam. Kalau ternyata Pendekar Rajawali Merah belum juga datang, maka
gantunglah aku sesuai adat!"
Pendeta Ganesha berembuk dengan para tetua di Pulau Kana. Akhirnya mereka
putuskan untuk tetap melaksanakan hukuman gantung itu. Pendeta Ganesha yang
selalu memimpin upacara-upacara ritual itu berseru di depan rakyat yang
berkumpul di alun-alun,
"Hari ini, manusia yang kita anggap calon ratu kita, ternyata manusia pembawa
sial dan terkutuk. Terbukti, cukup banyak orang-orang pilihan kita yang mati di
pulau seberang hanya untuk memburu pemuda yang bernama Yoga, alias Pendekar
Rajawali Merah. Belum lagi sekarang, Gandaloka pergi dengan sejumlah pasukan
tapi belum datang pula. Mungkin mereka sudah mati, atau mungkin mereka dalam
kecelakaan besar.
Yang jelas, itulah bukti bahwa kehadiran calon ratu kita ternyata pembawa kutuk
dan pembawa sial. Sebab itu, ia harus dikorbankan!"
"Gantung dia! Gantung dia! Kembalikan kesialan dan kutuk itu kepada para dewa!"
seru mereka saling bersahut-sahutan.
Dua orang sudah siap menarik tiang bendera yang merupakan sebagai kunci pembuka
tanah persembahan tersebut. Kembang Mayat berdebar-debar tak punya harapan lagi.
la menangis dan menyesal, bahkan sempat berseru,
"Baiklah! Aku akan menikah dengan salah satu pemuda di sini!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Sudah terlambat! Sudah lewat dari malam purnama!"
Tali urat naga itu ternyata membuat kesaktian Kembang Mayat pun bagaikan
terpenjara, tak bisa diandalkan lagi.
Berulang kali ia kerahkan tenaga dalamnya untuk memberontak, namun kekuatan itu
bagaikan terpasung dan tak bisa digunakan lagi. Sorot matanya yang biasanya bisa
keluarkan cahaya hijau, saat itu juga tidak mampu digunakan lagi. Seolah olah
semua ilmu dan kesaktiannya hilang setelah tubuhnya terjerat tali urat naga yang
keluar dari telapak tangan Pendeta Ganesha itu. Kembang Mayat pun akhirnya
pasrah dalam tangis penyesalannya.
Bertepatan dengan akan dilaksanakan hukuman gantung itu, muncullah Gandaloka dan
Pendekar Rajawali Merah dalam satu lompatan yang bersamaan. Mereka tiba di dekat
Pendeta Ganesha yang sedang membakar tempat pedupaan berukuran besar, di depan
tiang gantungan. Suara gemuruh para penonton di sekeliling alun-alun membuat
kepala Pendeta Ganesha yang tertunduk menjadi tegak memandang Gandaloka dan
seorang pemuda tampan buntung tangan kirinya itu.
Kembang Mayat yang menangis dalam keadaan tertunduk pun segera angkat wajahnya
dan terbelalak kaget melihat kehadiran Gandaloka dan Yoga. la segera berseru,
"Yooo...!" sambil berdebar-debar kegirangan. "Yooo... tolong aku!"
Wanita cantik itu hanya dipandangi oleh Pendekar Rajawali Merah dengan dahi
berkerut. Yoga tahu, wanita itu memang Kembang Mayat, tapi heran mengapa Kembang
Mayat yang punya ilmu lumayan tingginya itu bisa ditaklukkan sampai digiring ke
tiang gantungan" Pertolongan yang dimintanya pastilah pertolongan kesediaan Yoga
untuk menjadi suaminya.
Gandaloka bicara dengan Pendeta Ganesha yang dikerumuni oleh para tetua dan
pejabat istana lainnya. Rupanya mereka berunding setelah mendengarkan cerita
Gandaloka tentang musibah badai di lautan itu.
"Musibah itu adalah kutuk dan sial yang ditimbulkan dari perempuan itu!" kata
salah seorang tetua yang berjenggot panjang. "Sedangkan sekarang sudah lewat
dari malam purnama, sudah waktunya membuang dia kalau tak ingin lebih banyak
lagi kematian yang menimpa rakyat kita!"
Gandaloka berkata, "Apakah tidak punya kebijakan satu kali lagi untuk memberi
kesempatan kepada sang Ratu" Bukankah
sekarang masih termasuk hari purnama, hanya bedanya siang dan malam saja"!"
Pendeta Ganesha segera mengambil sikap, "Apa salahnya kalau kita berbijak hati
demi meluruskan garis kehidupan"
Sebaiknya kita bicara dengan Pendekar Rajawali Merah!"
Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Merah sedang bicara dengan Kembang Mayat.
Perempuan cantik itu memohon-mohon agar dibebaskan dari hukuman gantung kepada
Yoga, namun Yoga berkata,
"Kau telah terjerat oleh hukum adat, Kembang Mayat. Kau juga terjerat oleh
perasaanmu sendiri yang tak mau gunakan otak! Aku tak berani mencabut pedangku
dan mengamuk di sini, karena aku tak punya permusuhan dengan mereka!"
"Aku tak menyuruhmu mengamuk di sini, tapi aku hanya minta kesediaanmu menikah
denganku, Yo!"
"Aku tak punya kesediaan untuk itu, Kembang Mayat!
Maafkan aku!"
"Hanya sebagai simbol saja! Siasat saja, Yo! Beberapa waktu kemudian kau boleh
menceraikan aku!"
Yoga diam berpikir dalam kegelisahan dan kebimbangan.
Pada waktu itulah, Pendeta Ganesha mendekat bersama Gandaloka. Yoga segera
menundukkan kepala memberi hormat setelah Gandaloka memperkenalkan Pendeta
Ganesha kepadanya. Kemudian, Pendeta Ganesha berseru ditujukan kepada mereka
yang mengelilingi alun-alun,
"Rakyat Negeri Linggapraja yang tercinta... ternyata Pendekar Rajawali Merah
telah hadir di sini bersama Gandaloka, sang Perwira! Pendekar Rajawali Merah
inilah sebenarnya yang ditunggu-tunggu oleh calon ratu kita, untuk dijadikan
mempelai pria dan suaminya. Karena hari ini adalah
masih termasuk hari purnama, hanya, bedanya siang hari, bukan malam hari, maka
masih ada kesempatan untuk menikahkan calon ratu kita dengan pemuda pilihannya.
Tetapi, kesempatan ini tergantung dari jawaban sang Pendekar Rajawali Merah.
Karena itu, aku; Pendeta Ganesha, ingin bertanya kepada Yoga atau sang Pendekar
Rajawali Merah nan perkasa...." Pendeta Ganesha berbalik arah dan bertanya
kepada Yoga. Semua orang diam mendengarkan, hingga suasana menjadi hening dan
sepi. "Pendekar Rajawali Merah, bersediakah Tuan Pendekar menikah dengan calon ratu
kami"!"
Sekalipun tampak tenang, namun sebenarnya di dalam hati Yoga mengalami
kegundahan yang cukup besar. Matanya memandang Pendeta Ganesha, lalu memandang
Gandaloka, memandang kepada Kembang Mayat, menunduk, memandang lagi ke arah
Kembang Mayat, dan saat itu Kembang Mayat berkata dengan suara gemetar serta air
mata berlinang,
"Yo... tolonglah aku...!"
Yoga masih diam dan alihkan pandangan mata kepada orang-orang yang
memperhatikannya, la tahu, bahwa ia tak akan bisa meminta waktu untuk
mempertimbangkannya beberapa hari. Karena itu, ia harus mempunyai keputusan saat
itu juga dalam pertimbangannya untuk bersedia menikah dengan Kembang Mayat atau
tidak. Jika tidak, maka Kembang Mayat akan mati di tiang gantungan, jika
bersedia menikah, maka ia telah mengkhianati cintanya kepada Lili, si Pendekar
Rajawali Putih. Padahal hati Yoga tidak ingin berkhianat seperti itu. la sangat
mencintai Lili dan ingin hidup berumah tangga sepanjang masa. Kalau ia menikah
dengan Kembang Mayat, walau hanya siasat, toh itu berarti ia akan menjadi duda
jika terjadi perceraian. Dan Lili berarti akan menikah dengan
seorang duda, bekas suami orang. Oh, alangkah kasihan nasib Lili jadinya.
"Aku tak punya cinta kepada Kembang Mayat, mengapa aku harus menipu pada diriku
sendiri dengan bersedia kawin dengannya" Kalau aku menikah dan segera cerai, itu
pun belum tentu bisa. Pasti Kembang Mayat tidak mau diceraikan, itu artinya aku
terjerat dengan siasatku sendiri. Lalu, bagaimana dengan Lili" Oh, aku tak tega
harus menyakiti hati guru angkatku itu. Aku sangat tak tega."
Karena Yoga diam terlalu lama, maka Pendeta Ganesha pun mengulangi pertanyaannya
tadi, "Tuan Pendekar, bersedliakah Tuan menikah dengan calon ratu kami?"
Sukar sekali lidah Yoga untuk digerakkan, la paksakan diri dan akhirnya
menjawab, "Aku... tidak bersedia!"
Wwwrrr...! Suara gemuruh orang begitu banyak bagai jutaan lebah menggaung
mt;menuhi alun-alun. Kembang Mayat sendiri segera berteriak kuat-kuat,
"Jahaaat...! Jahaaat kau, Yoga...!" tangisnya kian menjadi.
Yoga menundukkan kepala sambil berkata, "Maafkan aku. Ini menyangkut masa depan
keturunanku!"
Mereka yang berkerumun .'saling berteriak bersahutan,
"Gantung! Gantung dia! Peirsembahkan kepada para dewa!
Gantuuung...!"
Pendeta Ganesha kembali angkat tangannya dan semua menjadi diam. Di sela sepi
itulah Pendeta Ganesha berseru,
"Perempuan ini, ternyata memang harus kita persembahkan kepada para dewa. dengan
segala kutuk dan sial yang kita
kembalikan. Tetapi seperti telah tertulis dalam kitab hukum adat, bahwa setiap
korban persembahan mempunyai hak mengajukan satu permintaan terakhir sebelum
dipersembahkan. Maka, aku pun akan ajukan pertanyaan kepada calon korban
persembahan...," Pendeta Ganesha berpaling memandang Kembang Mayat dan bertanya,
"Kau punya permintaan apa" Sebutkanlah, kecuali permintaan pengampunan, kami tak
bisa kabulkan!"
Dengan geram dan penuh nafsu kebencian, Kembang Mayat berkata,
"Kuminta Pendekar Rajawali Merah juga harus dihukum seperti aku! Karena dia
telah membunuh beberapa utusan dari negeri ini, berarti telah menghina negeri
ini juga! Jika dia tidak jalani hukuman seperti aku, maka akan kukutuk tanah
pulau ini dan akan datang bencana setiap hari dari arwahku!"
Semua terperanjat mendengar ucapan Kembang Mayat.
Pendeta Ganesha sendiri terbungkam mulutnya. Permintaan terakhir seorang korban
persembahan harus dipenuhi. Begitu bunyi tertulis dalam kitab hukum adat. Jika
tidak dipenuhi, maka malapetaka akan datang beruntun menimpa rakyat Pulau Kana.
Pendeta Ganesha memandang ke arah Gandaloka. Yang dipandang sendiri tampak cemas
dan gelisah. Sedangkan Yoga segera berkata kepada Gandaloka dengan suara pelan,
"Apakah permintaannya akan dikabulkan oleh adat"!"
Gandaloka hanya menjawab, "Maaf, aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini!"
Kembang Mayat berseru dengan suara sampai serak, "Ingat, Yoga! Kau sama saja
telah menggantungku dengan keputusan ini. Karena itu, kau pun akan kugantung
dengan kesempatanku
yang terakhir ini! Kita akan sama-sama mati di tiang gantungan!"
Pendeta Ganesha segera berseru kepada petugas di tiang bendera,
"Lakukan!"
Genderang berbunyi. Gemuruh suaranya. Tiang bendera ditarik miring oleh dua
orang. Satu menari, satunya lagi mendorong. Lalu, terdengar suara gemuruh besar.
Tanah merekah terbuka dalam guncangan bagaikan gempa kecil.
Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu tanah terbuka, maka kaki kembang Mayat pun tergantung karena tak punya
punya tempat berpijak. Kembang Mayat akhirnya mati dalam gantungan. Talinya
segera diputus dan mayatnya jatuh ke dalam belahan tanah. Kemudian
tanah'persembahan tertutup lagi.
Orang-orang yang berperawakan tinggi-b'esar itu masih belum beranjak pergi dari
tempatnya. Padahal waktu itu Pendeta'Gahdsha'dari! piara tetua sudah'mau
tinggalkan tempat. Riifciariya masyarakat Pulau Kanaltu sedang menunggu
pelaksanaan hukumafrg&ntung terhadap diri Pendekar Rajawali Merah, sesuai dengan
permintaan korban tadi.
Gandaloka mendekati Pendeta Ganesha dan berkata pelan,
"Mereka menunggu keputusanmu, Pmnir ta!"
Dengan resah, Pendeta Ganesha yang berkepala gundul dan berbadan gemuk besar itu
berkata, "Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Aku perlu berunding dengan para tetua
negeri ini! Untuk sementara, masukkan dulu Pendekar Rajawali Merah ke dalam
penjara." Yoga mendengar ucapan itu, ia memandang Gandaloka dan Gandaloka serba salah
dalam memandang, la sangat gelisah menghadapi tugas tersebut. Akhirnya ia
berkata kepada Yoga,
"Apa yang harus kulakukan menurutmu?"
"Kerjakan apa tugasmu! Kau seorang perwira, tunjukkan keperwiraanmu di depan
rakyat!" Napas panjang ditariknya dalam-dalam. Gandaloka tampak berat sekali jalankan
tugas tersebut. Tapi akhirnya dengan terpaksa ia menuntun Yoga menuju ke
penjara. Biasanya prajurit lain yang membawa tawanan, tapi kali ini Gandaloka
sendiri yang lakukan, sebagai tanda menghormat kepada Pendekar Rajawali Merah.
Sementara itu, petugas lain segera memberitahukan bahwa Pendeta Ganesha dan para
tetua butuh waktu tiga hari untuk berunding menentukan keputusan. Maka, setelah
mendengar penjelasan tersebut, mereka pun segera bubar. Suara mereka saling
bergaung kembali, masing-masing mempunyai pendapat dan saling berdebat sambil
berjalan ke tempat tinggal mereka.
"Aku akan berusaha membelamu. Tapi aku butuh pelajari kembali semua kitab hukum
adat!" kata Gandaloka kepada Yoga.
"Terima kasih atas niat baikmu," ucap Yoga sambil masuk ke kamar berjeruji besi,
yaitu kamar penjara. "Tapi perlu kau ketahui, Kembang Mayat bukan orang baik.
Dia punya perguruan bernama Belalang Liar. Dulu semasa dipimpin oleh neneknya;
Nyai Sangkal Pati, perguruan itu dalam keadaan baik. Tapi setelah dipimpin
olehnya, perguruan itu menjadi cenderung sesat. Kembang Mayat orang licik, dia
pantas menerima kematian seperti itu. Kalau negerimu menuruti permintaan Kembang
Mayat, sama saja negerimu menuruti perintah orang sesat! Camkan penjelasanku
ini, Gandaloka!"
Orang tinggi-besar yang punya wajah tampan itu
menganggukkan kepala dengan rasa prihatinnya, la sendiri
yang menutup pintu penjara dan menguncinya. Lalu, dua orang pengawal ditugaskan
menjaga di depan penjara itu.
Dengan berat Gandaloka melangkah. Terbayang saat kejadian di Pulau Singa. Kalau
waktu itu Yoga tidak berhasil kalahkan Jagora, maka Gandaloka pun pasti akan
mati di tangan tdkoh sakti itu. Dengan kemenangan Yoga, berarti Gandaloka telah
diselamatkan nyawanya.
Tapi sekarang nyawa Yoga yang terancam. Haruskah Gandaloka diam dan hanya bisa
menuruti perintah demi perintah" Atau haruskah ia menentang segala ke-putusan
hukum adat itu, demi membalas hutang nyawanya kepada Yoga"
* * * 6 GANDALOKA segera temui rekannya yang bernama Nayoma, seorang prajurit juga yang
kedudukannya lebih rendah dari Gandaloka. la berkata kepada Nayoma,
"Aku butuh kitab hukum adat yang asli, yang belum disalin ke bahasa sekarang. Di
mana aku bisa dapatkan kitab hukum adat itu?"
"Buyut Supi mempunyainya. Kadang kulihat Pendeta Agung datang ke rumahnya untuk
minta saran tentang hukum adat.
Tapi, ada apa kau membutuhkan kitab itu?" Nayoma sedikit curiga.
"Untuk kupelajari. Maukah kau meminjamkan kitab hukum adat itu kepada Buyut
Supi?" "Baiklah. Tapi bagaimana dengan tugasku menjaga pura suci?"
"Kuambil alih tugasmu! Biar aku yang menjaga pura, kau pergi ke Buyut Supi untuk
meminjam kitab hukum adat!"
Buyut Supi termasuk tetua di Pulau Kana. la lebih menguasai hukum adat karena ia
lebih tua dari Pendeta Ganesha. Konon Buyut Supi juga termasuk tokoh tua yang
menurunkan beberapa orang Pulau Kana Sayangnya ia seorang perempuan, sehingga
tidak bisa menjadi Pendeta Agung. Hanya orang lelaki yang bisa menjabat sebagai
Pendeta Agung dan penasihat raja.
Seorang perempuan seperti Buyut Supi hanya bisa menjadi penasihat Pendeta Agung,
itu pun jika dibutuhkan.
Gandaloka berharap, dengan mempelajari kitab hukum adat yang asli, mudah-mudahan
ia bisa temukan jalan untuk bebaskan Yoga dari hukuman gantung. Sebab, banyak
peraturan hukum adat yang dirubah karena disesuaikan dengan zaman dan mempunyai
arti yang berbeda dengan aslinya.
Tetapi alangkah terkejutnya Gandaloka melihat Na-yoma kembali dengan keadaan
berlumur darah. Telinga kirinya dipotong oleh seseorang, dan Nayorna banyak
kehabisan darah sehingga jatuh pingsan tepat di depan pura suci, tempat pemujaan
itu. Keadaan Nayorna yang demikian membuat suasana istana menjadi heboh. Para
prajurit berkumpul dan saling bertanya-tanya siapa pelakunya. Pendeta Agung
Ganesha pun menjadi tegang, sebab menurut adat yang berlaku di Pulau Kana, jika
seseorang dipotong daun telinganya itu berarti orang tersebut menjadi utusan
untuk sebuah tantangan berperang. Karena itu, Pendeta Agung Ganesha bertanya
dalam gumam yang didengar oleh Gandaloka,
"Siapa orang yang menantang perang dengan pihak istana?"
Gandaloka diam, namun hatinya berkecamuk sendiri dan bertanya-tanya, "Mengapa
Buyut Supi mengirim pulang Nayorna dengan telinga terpotong"! Apakah Buyut Supi
merasa kecewa dengan pihak istana, sehingga ia lakukan unjuk rasa dengan cara
memotong telinga Nayoma?"
Sebenarnya Gandaloka ingin katakan kepada Pendeta Agung mengenai Buyut Supi,
tapi ia tahan niatnya itu untuk menyelidiki sendiri apa sebab Buyut Supi
memotong telinga Nayoma. Ketika Nayoma mulai sadar, Gandaloka punya kesempatan
menanyakan tentang hal itu,
"Buyut Supi-kah yang melakukannya, Nayoma"!" "Buk...
bjukan!" jawab Nayoma dengan wajah masih pucat.
"Lalu, siapa yang memotong telingamu?"
Waktu itu, Pendeta Agung Ganesha dan beberapa perwira mengerumuni Nayoma.
Pendeta Agung Ganesha mengajukan pertanyaan yang sama, sehingga Nayoma pun
menjawab, "Bersiaplah untuk perang!"
"Apa maksudmu?" tanya Gandaloka. "Jawab dulu, siapa yang memotong daun
telingamu, Nayorna?"
"Orang-orang Tanah Sihir!"
"Hahh..."!" Gandaloka dan yang lainnya terkejut. Lalu mereka saling beradu
pandang dengan wajah tegang.
"Di... di mana mereka sekarang?" tanya Gunaya, perwira menengah.
"Mereka... mereka sedang turun dari kapal. Jumlahnya... ada dua kapal. Salah
seorang telah menyusup masuk kemari. Aku jumpa mereka di pantai, dan mereka
memotong telingaku sebagai pernyataan berperang terhadap kita!"
"Apakah Ratu Cendana Wangi juga turut hadir?"
"Ya. Aku lihat Ratu Cendana Wangi di kapal kedua!" ucapan Nayorna terhenti
karena Gandaloka menyodorkan obat anti sakit dan secangkir minuman. Nayorna
segera menelan obat yang seperti kotoran kambing itu.
Terdengar Pendeta Ganesha berkata, "Petaka itu mulai datang sesuai dengan
kutukan korban Kembang Mayat."
Gandaloka menyanggah, "Tidak, Pendeta Agung! Orang-orang Tanah Sihir datang
bukan karena adanya kutukan Kembang Mayat, tapi karena maksud tertentu. Pasti
mereka punya maksud tertentu. Jauh sebelum Kembang Mayat kita jatuhi hukuman
gantung, sudah pasti mereka sedang dalam perjalanan kemari. Karena dari Tanah
Sihir ke Pulau Kana memakan waktu pelayaran lebih dari empat hari."
"Yang jelas kita sekarang dalam bahaya!" gumam Pendeta Ganesha.
"Siagakan semua prajurit!" kata Gandaloka kepada Gunaya.
"Kerahkan semua prajurit, para pengabdi, rakyat, dan siapa saja untuk pagari
istana dan alun-alun dalam siaga tarung!"
"Baik!" jawab Gunaya dengan penuh hormat, ia pun segera pergi diikuti oleh
perwira-perwira lainnya.
"Mereka akan masuk kemari pada waktu gelap!" kata Pendeta Ganesha.
"Mengapa begitu?" tanya Gandaloka.
"Kalau benar mereka punya maksud tertentu, pasti tak lain adalah merebut istana
ini, dan menguasai pulau ini!"
"Kekuatan kita tidak seimbang, Pendeta Agung.
Apalagi kita tidak mempunyai ratu atau pemimpin rakyat!"
"Memang tidak seimbang. Tapi untuk sementara kekuasaan kuambil alih, hanya untuk
mengisi kekosongan takhta saja!
Apakah kau setuju?"
"Saya setuju! Tapi bagaimana kalau mereka mengincar Pendeta?"
"Aku akan bertarung melawan mereka!"
"Pendeta Agung tidak akan bisa kalahkan kekuatan Ratu Cendana Wangi yang
berjuluk Penguasa Alam Sihir!"
"Ya. Memang. Tapi bantulah aku cara mengatasinya, Gandaloka!" kata Pendeta Agung
Ganesha, mengakui kelebihan Sawannya.
Bagi orang-orang Pulau Kana, nama Ratu Cendana Wangi, si Penguasa Alam Sihir
itu, sudah bukan nama asing lagi. Nama itu selalu ditakuti oleh orang-orang
Pulau Kana, karena mereka tahu persis kekuatan ilmu sihir Ratu Cendana Wangi
sungguh tinggi.
Beberapa tahun yang lalu, Ratu Cendana Wangi pernah mengirimkan tiga utusan ke
Pulau Kana untuk memburu musuh mereka. Musuh itu ternyata menjadi raja di Pulau
Kana. Raja itulah yang diincar oleh Ratu Cendana Wangi untuk dibunuh karena
persoalan pribadi.
Prajurit-prajurit istana mencoba menahan serangan tiga utusan itu, namun mereka
gagal. Banyak orang Pulau Kana dan orang istana yang mati karena kekuatan iimu
sihir tiga utusan tersebut. Bukan saja ilmu sihir mereka yang tinggi, namun ilmu
pedang mereka pun cukup
tangguh, sehingga dalam waktu singkat pada saat itu Pulau Kana nyaris kehabisan
prajurit. Itu terjadi antara sepuluh tahun yang lalu. Dan sekarang, Ratu Cendana
Wangi sendiri ikut datang dalam rombongan tersebut. Gandaloka dan Pendeta
Ganesha bisa bayangkan akan terjadi banyak pertumpahan darah di Pulau Kana.
Mayat-mayat kembali berserakan seperti sepuluh tahun yang lalu.
Pulau Kana atau negeri Linggapraja tidak mempunyai orang kuat untuk tandingi
Ratu Cendana Wangi. Sebagai prajurit terdepan, Gandaloka harus berani hadapi
pertarungan dengan Ratu Cendana Wangi, walaupun ia tahu dirinya akan menderita
kekalahan. Itu sudah merupakan tanggung jawab seorang perwira depan. Biasanya
dalam keadaan seperti ini Gandaloka didampingi oleh Ayodya dan Loga. Tapi
keduanya telah tewas dalam tugas mencari Yoga dulu.
Perkiraan Gandaloka menjadi kenyataan. Dalam waktu singkat ia telah mendengar
beberapa prajurit pilihan gugur melawan Sawung Gala, pengawalnya Ratu Cendana
Wangi. Gunaya sendiri pulang dengan kedua tangannya buntung, la menghadap Gandaloka
dalam keadaan bertahan untuk tidak jatuh pingsan. Gandaloka terperanjat tegang
melihat Gunaya pulang tanpa kedua tangan.
"Mereka semakin menyergap ke istana. Agaknya yang jadi sasaran utama adalah
istana! Mereka ingin bertemu dengan penguasa kita, terutama ingin berhadapan
dengan Pendeta Agung Ganesha!" tutur Gunaya dengan terengah-engah.
"Berapa pendamping Ratu Cendana Wangi?"
"Empat orang; Sawung Gala, Naga Berang, (iam Tulang, dan Putra Iblis, yang
memotong kedua lawian ku dengan sebatang ilalang."
"Dengan sebatang ilalang"!" gumam Gandaloka makin cemas, la menatap Pendeta
Agung Ganesha. Orang tua berjenggot putih panjang itu diam saja mena han
kecemasan juga.
Beberapa saat kemudian, Gandaloka berkata kepada seorang perwira menengah yang
mendampingi Gu-naya, bernama Narasoma,
"Tarik mereka yang ke pantai, perketat penjagaan sekeliling istana. Beri tahu
padaku perkembangan setiap beberapa waktu."
"Baik! Saya kerjakan!" jawab Narasoma masih tetap tegas, la bertubuh lebih
tinggi dari Gandaloka dan berbadan kekar.
Ketika Gandaloka berdiri di serambi istana bersama Pendeta Agung Ganesha,
Gandaloka sempat berkata,
"Pendeta, saya butuh pendamping yang kuat! Saya akan hadapi sendiri Ratu Cendana
Wangi itu!"
"Apakah kau punya pilihan pendamping yang kuat?"
"Ya. Saya punya calon pendamping sendiri."
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Merah!"
Pendeta Agung Ganesha terkejut. "Dia tawanan kita!"
"Percayalah, Pendeta... kalau dia mau berontak, sekarang juga Pulau Kana ini
bisa dijungkirbalikkan dengan mudah, Pendeta!"
Mata Pendeta Agung Ganesha terkesiap mendengar ucapan Gandaloka. Sebelum orang
tua itu berkata, Gandaloka sudah lebih dulu berucap,
"Saya pernah lihat sendiri jurus-jurus pedangnya yang dahsyat itu, Pendeta!
Tidak ada orang kita yang memiliki jurus pedang sedahsyat jurusnya. Ilmu tenaga
dalamnya pun cukup tinggi, la mengobati luka Asoma dengan usapan telapak tangan,
dan luka itu lenyap dalam sekejap. Dia melawan Jagora
yang berilmu tinggi itu dengan hanya gunakan satu jurus. Dan pedangnya itu,
Pendeta... jika dipegang orang lain, maka pedang itu akan menusuk orang itu
sendiri atau menggorok leher orang tersebut!"
Pendeta Agung Ganesha berkerut dahi memikirkan apa yang dikatakan Gandaloka itu.
Pada saat itu, seorang prajurit yang menjadi bawahan Narasoma datang menghadap
dengan terengah-engah dan berkata,
"Mereka mulai mendekati istana!"
"Tak ada yang bisa menahan mereka?"
'Tidak ada, Perwira! Mereka bergerak bagaikan angin cepatnya!"
"Suruh Narasoma hadang mereka di pintu gerbang."
"Narasoma... telah tewas, Perwira!"
"Gila!" Gandaloka terperanjat bagaikan mimpi mendengar kabar itu. Baru saja ia
beri tugas kepada Narasoma, baru saja orang itu berangkat, tahu-tahu sudah dapat
kabar bahwa Narasoma telah tewas.
Pendeta Agung Ganesha segera berkata kepada prajurit itu,
"Buka pagar betis istana! Jangan h.il.m<|! mereka. Biarkan masuk menemuiku!"
"Apa maksud Pendeta?" Gandaloka menjadi tam bah tegang.
"Jangan timbulkan korban lagi. Jangan buat prajurit sebagai benteng perlindungan
kita. Biarkan dia bicara padaku mengutarakan apa maunya! Jika ia kehendaki
nyawaku, aku akan berikan dengan pertarungan sampai mati!"
"Mereka harus hadapi saya dulu sebelum bertarung melawan Pendeta!"
"Lakukanlah kalau itu kau anggap baik!" jawab Pendeta Agung Ganesha. "Aku
mendampingimu di belakang!"
Gandaloka segera berkata kepada prajurit itu, "Kerjakan apa yang dikatakan
Pendeta Agung tadi. Buka pintu gerbang selebar-lebarnya!"
Setelah bicara demikian, Gandaloka sendiri melompat pergi ke sebuah kamar. Saat
keluar ia sudah menyandang pedang di punggungnya, pertanda siap hadapi lawan
kapan saja. la kembali dekati Pendeta Agung Ganesha. Tapi pada saat itu sang
Pendeta sedang memejamkan mata dan mulutnya bergerak-gerak membacakan sebaris
doa sambil pegangi tasbih putih sebesar kelereng. Gandaloka tak berani ajak
bicara, tapi matanya memandang sekeliling dengan tegas dan tajam, la berdiri di
pertengahan serambi depan istana, di mana pintu gerbang terletak lurus di
depannya dalam jarak lebih dari dua puluh lima tombak. Seakan ia siap menghadapi
tamu-tamu ganas yang sebentar lagi pasti datang menemuinya.
Rupanya Nayorna yang kehilangan satu telinga itu ikut tampil juga dalam
pertahanan di pintu gerbang. Ketika ia mendengar kabar tentang dibukanya pagar
betis istana, Nayorna segera memerintahkan beberapa prajurit untuk mendampingi
Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka segera berjajar di kanan-kiri Gandaloka
pada tangga serambi paling bawah. Sedangkan sepuluh orang prajurit pemanah siap
di belakang Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka sudah merentangkan busur dan
siap lepaskan anak panah sewaktu-waktu musuh datang. Tetapi Gandaloka segera
menengok ke belakang dan berkata kepada mereka, "Turunkan panah! Siaga saja!"
Maka mereka pun menurunkan panah. Tapi anak panah masih menempel di tali busur
yang ada di bawah, dalam satu genggaman tangan. Mereka menunggu perintah untuk
angkat panah masing-masing. Lalu, beberapa saat kemudian,
Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampaklah Ratu Cendana Wangi memasuki pintu gerbang istana dengan didampingi
empat orang pengawal kuatnya di kanan-kirinya. Dari kejauhan bau wangi cendana
telah tercium oleh Gandaloka dan yang lainnya, sehingga mereka pun mulai bersiap
siaga lakukan gerakan tiba-tiba.
Sebenarnya perempuan itu sudah berusia sebaya dengan Buyut Supi. Tapi karena
punya ilmu tinggi, ia bisa bertahan untuk tetap muda dan cantik, menggairahkan
tiap lelaki, la mengenakan pakaian hijau muda dengan perhiasan emas permata yang
lengkap. Di rambutnya yang terurai lepas sepanjang punggung itu, mengenakan
mahkota kecil setengah lingkaran dengan batu merah memancar berkilauan di bagian
tengahnya. Ratu Cendana Wangi menggenggam sebatang tongkat dilapisi emas, yang
mempunyai bagian kepala tongkat berupa bola baja berduri warna hitam.
la dan keempat pengawalnya berhenti di pelataran istana.
Matanya yang lebar namun berbentuk indah dalam kesan ganas itu, memandang
Gandaloka tak berkedip. Sementara itu, keempat pengawalnya semua bermata dingin
dan bertampang angker.
"Mana rajamu"!" ucap Ratu Cendana Wangi dengan ketus dan tajam.
"Tidak ada!" jawab Gandaloka. Lalu, Pendeta Ganesha menimpali,
"Akulah yang mewakili raja ataupun ratu di sini!"
Ratu Cendana Wangi tersenyum. Manis sekali senyumannya itu sebenarnya. Sangat
memikat hati. Tapi karena Gandaloka tahu perempuan itu jahat, Gandaloka menjadi
kurang tertarik dengan perempuan tersebut. Sekalipun ia dipandangi beberapa
saat, tapi Gandaloka bagaikan tidak mau berikan senyum sedikit pun kepada Ratu
Cendana Wangi. Kejap berikutnya, Ratu Cendana Wangi mendekati
Gandaloka, keempat pengawalnya hanya melangkah tiga tindak lalu berhenti. Kini
jarak Ratu Cendana Wangi dengan Gandaloka hanya dua langkah. Semakin lebar ia
memandang Gandaloka dalam keadaan sedikit mendongak, karena Gandaloka bertubuh
lebih tinggi darinya.
"Tampan sekali kau! Apa kedudukanmu di istana ini"!"
"Perwira istana!" jawab Gandaloka dengan tegas.
"Bagus sekali! Aku yakin usiamu masih muda, masih penuh semangat dalam beberapa
hal! Dan aku yakin kau belum beristri juga belum punya kekasih, bahkan belum
pernah tidur dengan perempuan! Kau masih hijau, Perwira. Tapi kau akan menjadi
matang jika sudah beberapa saat bersamaku!" senyum itu kian melebar. "Siapa
namamu?" "Gandaloka!"
"Nama yang bagus, sesuai dengan paras wajahmu!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Bicaralah padaku, Cendana Wangi! Akulah wakil
penguasa tanah ini!"
"Kau tidak berhak mengaturku, Botak!" bentak Ratu Cendana Wangi. Matanya
mendelik menampakkan keganasannya. Salah seorang prajurit merasa tersinggung,
pendeta yang dihormati selama ini hanya dibentak-bentak oleh orang asing.
Prajurit itu segera melemparkan tombak ke arah Ratu Cendana Wangi.
Tetapi tombak itu tiba-tiba berhenti di pertengahan jarak, lalu berbalik arah
dan melesat dengan cepat menghujam dada orang yang melemparkannya. Jruub...!
Gandaloka menahan diri untuk tidak lepaskan amarah sembarangan. Sekalipun ia
sakit hati melihat anak buahnya yang keroco dibunuh dengan kekuatan sihir, tapi
ia berusaha untuk tetap tenang. Karena Pendeta Agung Ganesha pun
kelihatan tetap tenang walau dibentak dan dihina dengan sebutan 'botak' tadi.
"Apa tujuanmu kemari sebenarnya, Cendana
Wangi!" "Beginikah caramu menerima tamu" Membiarkan tamu di luar tanpa menyuruhnya
masuk?" hardik Ratu Cendana Wangi sambil dekati Pendeta Ganesha.
"Sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu membuat keonaran di wilayah kami, kami
tidak izinkan kau masuk ke istana! Katakan dulu apa yang kau harapkan dari
kedatanganmu, nanti kami akan bicarakan di dalam!"
"Seharusnya aku yang mengaturmu! Bukan kau yang mengatur aku! Karena akulah yang
berhak memiliki Pulau Kana ini! Akulah yang berhak berkuasa atas pulau ini!"
"Dari mana alasanmu bisa berkata begitu?"
"Aku keturunan dari Eyang Dewi Ambar Ayu. Beliau adalah orang pertama yang
mendiami pulau ini sendirian, karena dibuang oleh pihak keluarganya, yaitu Raja
Johor! Lalu beliau beranak-cucu di sini, dan sampai melahirkan diriku sebagai
keturunan yang kesekian silsilah! Jadi akulah yang berhak menjadi penguasa di
Pulau Kana!"
"Jika kau keturunan nenek moyang Pulau Kana, pasti tubuhmu sebesar kami, Cendana
Wangi! Ternyata tubuhmu kecil, seperti manusia biasa! Kurasa kau hanya mengaku-
aku saja sebagai keturunan nenek moyang Pulau Kana!"
"Perkawinan silang memungkinkan aku berketurunan seperti ini. Tapi kakek buyutku
adalah orang tinggi-besar seperti kalian!"
"Baiklah," Pendeta Ganesha sedikit mengalah. "Jadi, itu persoalannya" Kau
menuntut hak untuk menjadi penguasa di Pulau Kana ini?"
"Bukan hanya itu saja! Yang paling utama aku datang kemari adalah untuk
mengambil sebuah kitab pusaka warisan nenek moyangku! Akulah yang berhak
menerima kitab pusaka tersebut!"
"Kitab pusaka apa"!" Pendeta Ganesha berkerut dahi.
"Kitab Jagat Sakti!" jawab Ratu Cendana Wangi.
Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling pandang dengan dahi berkerut. Mereka
sepertinya merasa asing mendengar nama kitab tersebut. Lalu, Pendeta Ganesha
berkata, "Di sini tidak ada Kitab Jagat Sakti! Aku bahkan baru sekarang mendengar ada
kitab seperti itu."
"Omong kosong kau, Pendeta Ganesha! Bukankah letak Sumur Perut Setan ada di
Pulau Kana ini"! Pasti kitab itu pun ada di sini."
Sekali lagi Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling beradu pandang dengan dahi
berkerut. Lalu, Gandaloka menyahut kata,
"Sumur Perut Setan hanya ada dalam dongeng!"
"Ya. Karena kau masih hijau, jadi kau masih terngiang dongeng-dongeng dari
ibumu, Nak! Tapi sebenarnya Ganesha pasti tahu, bahwa Sumur Perut Setan itu ada
di sini!" "Aku tidak tahu! Aku juga anggap itu hanya dongeng belaka!"
"Omong kosong! Kau pasti tahu di mana letaknya Sumur Perut Setan itu! Jika kau
tak mau sebutkan letaknya, jika kau tak mau biarkan aku mengambil Kitab J u jat
Sakti, dan jika kau
tak mau serahkan pulau ini ke tanganku, akan kubuat rakyatmu seperti ini...."
Claaap...! Seberkas sinar putih menyebar dari tangan Ratu Cendana Wangi. Sinar
itu menerpa para prajurit yang ada di alun-alun, dan mereka berubah menjadi
patung batu semua.
* * * 7 MEMANG para orang tua sering mendongeng tentang kisah Sumur Perut Setan. Tetapi
sumur itu sendiri sebenarnya memang ada. Letaknya di kaki Bukit Seroja, dekat
dengan Candi Langu. Dan pada saat itu, dua anak manusia terperosok masuk ke
dalamnya. Mereka adalah Lili, Pendekar Rajawali Putih itu, dan Wisnu Patra yang
juga dijuluki Dewa Tampan (Baca episode : "Mempelai Liang Kubur"). Dan sampai
sekarang kedua orang itu belum bisa keluar dari Sumur Perut setan.
Konon, menurut dongeng para orang tua zaman dulu, siapa saja yang masuk ke dalam
sumur berdinding cahaya merah beracun itu tidak akan bisa keluar dari sana,
karena sumur itu memang mempunyai lorong semacam gua panjang, tetapi tidak
mempunyai jalan keluar. Di samping itu, sumur tersebut juga dihuni manusia
raksasa yang dikenal dalam dongeng bernama Betara Kala. la adalah manusia
raksasa pemakan daging manusia.
Benar dan tidaknya dongeng tersebut, hanya Lili dan Wisnu Patra yang dapat
membuktikannya. Karena sampai beberapa hari mereka menyusuri lorong gua
tersebut, namun mereka belum temukan jalan keluar. Mereka hanya temukan tanaman
sejenis rumput di tepi-an dinding gua yang memancarkan cahaya biru bening.
Lili tertarik untuk memetik tanaman itu, tapi tangannya segera ditarik oleh
Wisnu Patra. "Jangan! Sudah kubilang, jangan gegabah di < l.iLnn gua ini!
Kau bisa mati terkena racun!"
"Apakah semua yang ada di sini serba beracun"I" Lili agak cemberut.
"Dalam dongeng disebutkan, lorong ini disebut Sumur Perut Setan, karena berisi
banyak racun yang tne matikan!"
"Ah, dongeng, dongeng, dongeng...!" Lili bersungut-sungut.
"Sejak pertama masuk kemari kau hanya bicara tentang dongeng! K'rta benar-benar
menghadapi kehidupan nyata, bukan berada di negeri dongeng!"
Pemuda tampan itu tersenyum sabar, la masih memegangi tangan Lili di luar
kesadarannya. Lili menjadi melirik tangannya yang dipegangi Wisnu Patra, lalu
pemuda itu tersipu-sipu sambil melepaskannya. Pendekar Rajawali Putih melangkah
lebih dulu, sementara Wisnu Patra memandangi tanaman biru sambil berkata dalam
hati, "Tanaman itu memang menggiurkan. Membuat perutku terasa lapar. Tapi benarkah
tanaman itu beracun?"
Tiba-tiba terdengar suara Lili memekik kaget. "Aaauh...!"
Wisnu Patra tersentak dan cepat hampiri Lili yang melangkah mundur. Rupanya
Makam Bunga Mawar 18 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Si Rase Hitam 2
Sehari semalam mereka dikurung di kamar amis itu.
Gandaloka sempat gelisah karena batas waktu yang diberikan untuk membawa Yoga ke
Pulau Kana sudah hampir habis.
Kegelisahan itu disembunyikan oleh Gandaloka, tetapi Yoga mengerti dan
melihatnya, sehingga Yoga segera berkata pelan kepada Gandaloka,
"Kau takut menghadapi mereka?"
"Yang kupikirkan bukan mereka, tapi saat bulan purnama datang. Nanti malam
adalah tepat pertengahan bulan purnama.
Seharusnya aku sudah berhasil membawamu ke Pulau Kana.
Hari ini juga kita harus bisa lolos dari Pulau Singa ini."
"Kau siap memberontak melawan mereka semua?"
"Mereka bukan orang-orang berilmu rendah. Melakukan pemberontakan di sini
sepertinya hanya melakukan kematian yang konyol."
"Barangkali buatmu memang benar begitu. Tapi buatku tidak," kata Yoga. "Kalau
kau setuju, akan kupotong jeruji pintu ini dengan pedangku dan akan kulawan mereka
agar kita bisa lolos!"
"Kita tidak mempunyai perahu."
"Kita bisa curi perahu di pantai."
"Bagaimana kalau mereka menghilang dari pandangan mata kita" Apakah kita bisa
peroleh perahu" Apakah kita bisa melihat ada perahu di pantai?"
Rupanya Asoma mencuri dengar percakapan itu, sehingga tiba-tiba ia ikut
menimpali dengan kata,
"Kuatasi mereka, sementara salah seorang lari mencari perahu sebelum mereka buat
kita tidak bisa melihat dunia mereka lagi!"
Yoga dan Gandaloka berpaling menatap Asoma. Mereka sama-sama diam dan saling
tatap. Kemudian Rowulu ikut berkata,
"Benar apa kata Asoma! Pegang perahu mereka dahulu sebelum kita dibuat tak bisa
melihat mereka."
"Itu bukan pekerjaan yang mudah," kata Gandaloka.
"Lebih tidak mudah lagi jika kita hanya diam di sini menunggu keputusan mereka!"
kata Asoma dengan penuh semangat.
"Ssst...! Jangan keras-keras!" kata Gandaloka mengingatkan.
"Percakapan kita bisa didengar oleh mereka yang ada di sana!"
Para penjaga yang ada di sekitar singgasana itu memandang ke arah kamar tawanan.
Gandaloka dan kelompoknya segera bicara soal lain.
Tiba-tiba seorang pelayan datang menyodorkan empat rangsum makanan melalui
lubang di bawah pintu jeruji itu.
Pelayan wanita itu juga berkepala singa, rambutnya lebih panjang dan berwarna
kuning pirang. Seperti rambut jagung.
Lewat giwang di telinganya, pelayan itu bisa dikenali sebagai
makhluk berjenis perempuan. Tapi wajahnya sungguh tidak punya nilai kecantikan
bagi manusia biasa.
"Kala Ratak suruh kalian makan!" kata pelayan itu dengan suara jenis suara
perempuan. Kemudian ia pergi setelah serahkan empat rangsum makanan.
Gandaloka dan orang-orangnya hanya memandangi rangsum tersebut. Asoma sempat
bergidik, lalu muntah tanpa keluarkan apa-apa. Mereka tak ada yang mau menyantap
makanan tersebut karena terdiri dari daging mentah, bahkan masih ada yang
berkulit dan berbulu. Sepertinya yang mereka sajikan adalah daging monyet yang
masih basah dan memerah, tampak habis dipotong beberapa saat yang lalu.
Gandaloka tak mau menyentuh makanan itu, ia hanya menggeram jengkel,
"Mereka pikir kita ini binatang buas, seperti keturunan mereka!"
Pendekar Rajawali Merah sempat tersenyum geli dan bertanya, "Kau tak mau
memakannya?"
"Tak sudi," kata Asoma. Begitu pula Rowulu menyahut,
"Aku pun tak sudi menyentuhnya."
Kepada Gandaloka, Yoga bertanya, "Dan kau juga tak mau memakannya?"
Gandaloka menjawab, "Kalau kau doyan, makanlah semuanya!"
"Baiklah!" kata Yoga, "Kalau kalian tak ada yang mau memakannya, aku pun tak mau
makan hidangan ini! Mual perutku melihatnya saja!"
Gandaloka sempat tersenyum geli mendengar ucapan Yoga.
Kemudian Yoga berkata lagi,
"Memang sebaiknya kita jangan terbelenggu oleh kesedihan, kemarahan, dan
kecemasan. Kita harus ceria, supaya otak kita lebih terbuka lagi dan bisa
temukan jalan keluar dari pulau ini!"
Ucapan mereka terhenti, Kala Ratak Sangar berganti jubah.
Kini yang dikenakan jubah biru mengkilap.
Kala Ratak Sangar berjalan mendekati kamar tahanan itu. la berhenti dalam jarak
antara tujuh langkah dari kamar tahanan tersebut. Sementara itu, orang-orang
berkepala singa lainnya mulai memasuki ruangan besar tersebut dan berkumpul
berkeliling sambil mata mereka tertuju ke kamar tahanan.
Apa yang ingin mereka lakukan" Tak ada yang tahu dari para tawanan tersebut.
Tetapi setelah Kala Ratak Sangar bicara, mereka baru mengetahui apa sebab orang-
orang berkeliling membentuk lingkaran di sekitar lantai depan singgasana itu.
"Kami akan membebaskan kalian, tapi dengan satu syarat; salah satu dari kalian
harus bisa kalahkan prajurit pilihanku!"
"Setuju!" jawab Yoga cepat-cepat.
"Harus ada yang bertarung melawan Jagora, prajurit pilihanku. Jika ada yang bisa
kalahkan Jagora, kalian bebas.
Jika yang kalah kalian, berarti kalian mati dan menjadi santapan kami!"
"Kami minta satu perahu untuk pulang jika kami menang!"
kata Gandaloka dengan Kala Ratak Sangar.
Setelah diam sebentar, Kala Ratak Sangar mengangguk dan berkata,
"Baik. Kusiapkan perahu untuk kepergian kalian. Tapi..., aku sangsi dari kalian
ada yang bisa kalahkan Jagora!"
Gandaloka berkata, "Aku yang akan hadapi Jagora!"
Tapi tahu-tahu Asoma maju ke jeruji pintu dan berkata kepada Kala Ratak Sangar,
"Aku Asoma! Aku yang akan lawan prajuritmu!"
"Tidak! Aku saja!" sahut Rowulu dengan geram. Sepertinya sudah tak sabar ingin
lampiaskan kemarahannya.
Gandaloka menyahut, "Kalian diam di tempat! Aku pimpinan kalian, jadi akulah
yang harus hadapi musuh pertama kali!"
"Tidak bisa!" sanggah Asoma.
"Diaaam...!" bentak Kala Ratak Sangar. "Aku yang akan tentukan siapa orangnya
yang harus bertarung melawan Jagora!"
Gandaloka dan kelompoknya saling pandang dalam
bungkam. Kejap berikutnya. Yoga angkat bicara dengan tenang kepada Gandaloka,
"Bujuk dia supaya memilih aku!"
Gandaloka geleng-gelengkan kepala. "Kau tawan-anku. Kau tak boleh bertarung
membelaku."
"Gandaloka...," Yoga mengeluh kecewa. "Kala Ratak sudah memberikan satu
kesempatan bagi kita untuk lolos, mengapa harus kau sia-siakan dengan langkah
yang bersifat untung-untungan! Akulah yang harus membuka kunci kebebasan kita,
Gandaloka!"
Gandaloka tarik napas dan berkata pelan, "Seharusnya kau menyerangku, bukan
membelaku! Aku tak bisa bujuk dia untuk pilih kamu. Maaf, Yoga...!"
Bisik-bisik itu terhenti karena suara Kala Ratak Sangar terdengar menyentak,
"Hei, kau... yang berbaju hijau!"
"Aku..."!" Asoma maju dan memegang dadanya saat bertanya begitu.
"Ya. Kau yang kumaksud! Kau orang pertama yang harus melawan Jagora!"
"Haaa, ha, ha, ha...!" Asoma tertawa kegirangan mendapat giliran untuk
mengalahkan lawan. "Akhirnya akulah yang terpilih sebagai kunci kebebasan kita!"
Rowulu menyergah dengan ucapan, "Bodoh kau! Temanku ini sedang mengidap racun di
tubuhnya! Kalau kau makan, kau akan mati!"
Wuuut...! Buuhg...! Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh pengawal
bersenjatakan tombak berujung pedang. Rowulu terpental mundur dengan satu
gerakan keras dan jatuh membentur dinding belakangnya.
"Buka pintu, keluarkan orang berbaju hijau itu!" perintah Kala Ratak Sangar
kepada pengawalnya. Lalu, pintu tahanan itu dibuka dan Asoma sebelum diseret
sudah lompat keluar dengan bangganya.
"Asoma! Hati-hati!" seru Gandaloka dengan sedikit kecewa karena bukan dia yang
dipilih. Dengan gagah dan berani, Asoma tampil di tengah arena tanpa senjata, karena
senjatanya hanyut ketika ia terlempar ombak. Tapi semangat pertarungannya masih
tetap menyala-nyala.
Kala Ratak Sangar berkata dari singgasananya, "Kau boleh pilih senjata di sudut
sana! Ambil sesukamu!"
Asoma segera menuju ke sudut, tempat dipajangnya beberapa senjata dalam tempat
khusus, la mengambil tombak berujung pedang lebar. Sangat mantap untuk memenggal
leher lawan, la mainkan sebentar pedang bergagang tombak yang punya pita merah
panjang di atasnya itu. Wut, wuut, wuuut...!
Terasa seimlung untuk bergerak ke mana saja. Kemudian
dengan wajah berseri-seri, Asoma maju ke tengah arena, la ber-< liri dengan
gagahnya menghadap rekan-rekannya yang
,ida di dalam penjara, seakan menampakkan dirinya se-hagai orang yang layak maju
ke pertarungan saat itu.
"Mana lawanku, Kala Ratak!" Asoma bersikap tak sabar.
Kala Ratak Sangar berseru, "Jagora! Tampakkan dirimu!"
Zraaap...! Gandaloka dan yang ada di dalam penjara terkejut. Orang yang bernama Jagora itu
ternyata sudah sejak tadi ada di tengah arena, la menampakkan diri seperti
cahaya hijau yang keluar dari lantai dan bergerak ke atas membentuk semacam
bumbung. Cahaya hijau itu segera pecah menjadi serpihan dan hilang, lalu tampak
sosok tubuh kekar yang bernama Jagora.
"Dia bukan lawan Asoma! Pertarungan itu pasti tidak sebanding!" gumam Rowulu
dengan tegang. "Mestinya aku yang melawan orang itu!"
Gandaloka yang sebenarnya sependapat dengan Rowulu hanya diam saja. la
menghembuskan napas bernada kecewa, la menampakkan sikap tidak punya harapan
atas kemenangan Asoma. Seakan ia tahu persis, bahwa Asoma akan mati melawan
Jagora. "Tenang," kata Yoga sambil menepuk pundak Gandaloka.
"Yakinkan saja dalam hatimu bahwa Asoma pasti unggul!" Tapi Gandaloka tidak
menjawab sepatah kata pun. Pandangan matanya sedikit sayu.
Jagora juga berwajah singa. Bahkan taringnya sedikit keluar dari pertengahan
mulut. Matanya tajam dan buas memandang lawan. Rambutnya meriap, warna kuning
pirang. Badannya bukan saja kekar, namun berkulit gelap, seakan kebal senjata
apa pun. Jagora menyandang senjata pedang di punggungnya,
tapi kuku di jari-jari tangannya itu sudah bisa mewakili pedang ketajamannya.
Kuku itu panjang dan runcing. Tepiannya tampak berkilat karena tajamnya.
Tetapi Asoma memandang lawannya dengan ter-senyum-senyum. la bersiap melawan
Jagora tanpa ada rasa ngeri atau takut sedikit pun. Sedangkan Jagora masih
berdiri tegak dengan kaki sedikit merentang dan tangan keduanya ke samping
bawah, la sepertinya menunggu perintah dari Kala Ratak Sangar. Maka, penguasa
Pulau Singa itu pun berseru,
"Bunuh dia, Jagora!"
Seet...! Jagora segera ambil jurus dan kuda-kudanya ditonjolkan. Kedua tangannya
terangkat, yang satu melewati atas kepala, la perdengarkan suara menggeram
seperti seekor singa hendak menerkam mangsa. Sedangkan Asoma segera mainkan
senjatanya ke ka-nan-kiri dengan gerakan cepat hingga timbulkan suara angin
mendesau. Wuung, wuung...!
"Hiaaah...!" Asoma memekik sambil melompat tinggi.
Badannya yang bagai raksasa itu seakan ingin menelan Jagora.
Ujung tombaknya segera ditebaskan dari kiri ke kanan, tujuannya adalah leher
Jagora. Wuuut...! Tapi Jagora justru melompat maju melewati batas pedang besar di ujung tombak
itu. Jaraknya menjadi sangat dekat dengan Asoma. Lengan kanannya dipakai
menangkis tongkat tombak. Tertahannya tongkat tombak itu membuat Asoma kikuk
bergerak dalam sekejap. Tapi seketika itu pula, Jagora menggerakkan tangan
kirinya, berkelebat dari bawah ke atas sampai tubuhnya meliuk miring ke kanan.
Wuuut...! Craaas...!
"Aahg...!" Asoma terpekik kesakitan karena terkena cakar tajam dari perut kanan
sampai ke mata kirinya. Terkoyak tubuh itu sampai darahnya memercik ke luar.
Ketika Asoma terhuyung-huyung dan jatuh, orang-orang berkepala singa itu
bersorak riuh. Gandaloka, Rowulu, dan Yoga menjadi tegang. Gandaloka sendiri
berseru, "Bangkit! Bangkit, Asoma! Ayo lawan dia! Lawan terus!"
Asoma tidak mendengar seruan itu karena riuhnya tepukan dan sorak-sorai para
manusia singa yang mengelilingi ruangan besar itu. Asoma tetap bangkit dan
berusaha bertahan. Tetapi, baru saja ia berdiri, tubuh Jagora melesat bagaikan
terbang dan kedua tangannya menghantam dada Asoma memakai cakar tajamnya.
Jraaab...! "Uhg...!" Asoma masih berdiri mendelik. Tangan Jagora menerobos masuk menjebol
dada. Begitu ditarik, ternyata sudah menggenggam jantung Asoma. Jantung itu
ditunjukkan kepada rakyatnya, lalu dengan terangkatnya tangan Jagora maka semua
yang hadir di situ bersorak lebih girang lagi. Kala Ratak Sangar tertawa
terbahak-bahak. Sedang Asoma roboh tak bernyawa lagi.
Gandaloka dan konco-konconya mendelik melihat apa yang dilakukan oleh Jagora
terhadap diri Asoma. Gandaloka sendiri menggeletukkan gerahamnya ketika Jagora
berputar-putar dengan mengangkat tangan yang menggenggam jantung Asoma itu.
Jantung itu dilemparkan kepada para penonton, lalu mereka berebut untuk
menyantapnya. "Jahanam busuk!" geram Rowulu. Matanya mulai merah karena marah, la melihat
Asoma diseret keluar dari arena, dan lantai dibersihkan dari bercak-bercak
darah. Setelah itu terdengar Kala Ratak Sangar berseru sambil menuding Rowulu,
"Kau...! Yang berbaju hitam itu! Seret dia ke arena!"
"Rowulu! Biar aku yang menggantikan kamu!" kata Yoga.
"Jangan! Kita hadapi secara ksatria saja!" cegah Gandaloka.
"Ini kesempatanku melampiaskan murka!" kata Rowulu sebelum pintu tahanan dibuka.
Ketika pintu itu dibuka, Rowulu langsung berlari keluar dan menuju arena. Di
sana Jagora sedang menunggu dengan tenang. Tapi Rowulu langsung menyerang dengan
satu lompatan bersalto dan tangannya lepaskan pukulan tenaga dalam warna biru.
Claaap...! Jagora diam saja, hanya pandangi sinar itu yang makin mendekati wajahnya. Tapi
sinar itu tiba-tiba berhenti di udara, lalu padam dengan sendirinya. Hilang
entah ke mana, tanpa bunyi dan tanpa angin sedikit pun. Asap tak ada dari
hilangnya sinar itu.
"Bangsat...! Heaaah...!" Rowulu sangar bernafsu, la melompat dan menghantamkan
telapak tangannya yang bercahaya biru terang ke dada Jagora yang tidak kenakan
baju itu. Tapi Jagora diam saja dan membiarkan asap mengepul akibat tangan
Rowulu menempel di kulit dadanya Rowulu tampak kerahkan tenaganya lebih banyak
lagi, terlihat dari nyala biru di tangannya yang lebih terang lagi.
Celakanya oukulan itu dianggap angin lalu oleh Jagora. Kini justru kedua tangan
Jagora mengeras dan cakarnya direnggangkan Lalu dari kanan-kiri Rowulu, sepasang
tangan bercakar itu menghantam kepala Rowulu secara bersamaan.
Craaak...! "Aaahg...!" Rowulu jatuh berlutut dengan kepala rusak.
Kejap berikutnya ia pun tumbang tak bernyawa. Dan sorak-sorai kembali memenuhi
ruangan besar itu. Tawa Kala Ratak
Sangar terbahak bergelak-gelak. la tampak puas sekali meiihat kehebatan prajurit
pilihannya. Kini tinggal Gandaloka dan Yoga yang ada,di kamar tawanan. Kala Ratak Sangar
masih memilih siapa yang harus maju melawan Jagora lagi. Gandaloka dan Yoga pun
sama-sama saling pandang, namun tak bicara apa-apa. Sikap Gandaloka terlihat
lebih tegang ketimbang Yoga. Sampai akhirnya Kala Ratak Sangar perdengarkan
suaranya, "Hei, kau yang bertangan buntung... maju!"
Yoga tersenyum memandang Gandaloka. la tampak girang sekali terpilih maju lebih
dulu sebelum Gandaloka. Tapi Gandaloka justru berwajah murung dan tidak memberi
ucapan apa pun ketika Yoga keluar dari kamar tahanan itu dan melangkah menuju
arena. Jagora menatap dengan tidak berkedip. Agaknya Jagora tahu bahwa lawannya
yang kali ini punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Maka, Jagora pun
segera mencabut pedangnya. Dan hal itu membuat Kala Ratak Sangar berkerut dahi
dan berkata dalam hati, "Berarti orang buntung itu berilmu tinggi. Terbukti
Jagora belum-belum sudah mencabut pedangnya. Biasanya pedang itu ia cabut jika
berhadapan dengan orang yang dipandangnya berilmu cukup tinggi, setidaknya
sejajar dengannya!"
Yoga tetap tenang melihat Jagora mulai melangkah berkeliling menunggu kesempatan
lengah lawannya. Pedangnya siap menebas sewaktu-waktu. Suaranya menggeram-geram
dengan buas, tampak ganas. Matanya pun berkesan liar dan sangat bernafsu untuk
Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh Yoga. Pendekar Rajawali Merah tersenyum tipis, lalu pelan-pelan ia memegangi gagang
pedangnya sambil ikut berputar di tempat karena lawannya berputar terus. Ketika
pusaka Pedang Lidah Guntur yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua kepala
burung saling bertolak belakang itu akhirnya dicabut juga, gelegar suara petir
di angkasa mengguncangkan bangunan tersebut, membuat Kala Ratak Sangar dan
beberapa orang di situ menjadi tegang. Tak satu pun ada yang berucap kata,
sehingga suasana menjadi hening. Semua mata tertuju pada Pedang Lidah Guntur
yang menyala merah dengan percikan-percikan bunga api mengelilingi pedang
tersebut. Jagora berhenti bergerak, Yoga juga berhenti bergerak. Tapi Jagora segera
melompat ke depan dengan satu teriakan liarnya,
"Heaaahhh...!"
Claaap...! Pendekar Rajawali Merah mundur satu tindak dan menebaskan pedangnya
ke samping. Tebasan itu
menghadirkan loncatan sinar merah ke arah tubuh Jagora.
Pedang Jagora ditembusnya dan patah, lalu sinar merah itu bagai pisau tajam
menyabet leher Jagora dengan cepat. Dan Jagora diam di tempat tak bergerak.
Masih berdiri dengan mata mendelik. Kejap berikutnya, ketika orang-orang saling
bertanya dalam hati, tiba-tiba kepala Jagora menggelinding jatuh tanpa darah
setetes pun. Orang-orang berseru kaget, "Hahhh..."!"
Yoga memandang Kala Ratak Sangar dengan tersenyum.
Yang dipandang hanya terbengong melompong. Yoga berseru,
"Dari sini pun aku bisa penggal kepalamu juga, Kala Ratak!"
Yang diajak bicara jadi gemetar dan mulai tampak gelisah.
*** 5 KALA Ratak Sangar menepati janjinya. Maka pulanglah Gandaloka ke Pulau Kana
dengan membawa Yoga. Mereka
menunggang sebuah perahu berlayar tunggal mengarungi samudera lepas. Gandaloka
berwajah murung, bukan hanya karena kehilangan semua anak buah yang dibawanya,
melainkan juga mengalami keterlambatan waktu. Pelayaran menuju Pulau Kana
sendiri memakan waktu sehari semalam.
Ketika mereka tiba di Puiau Kana, keadaan sudah berbeda.
Kembang Mayat sedang dalam persiapan menjalani hukuman mati. Pendeta Ganesha
yarg memimpin hukuman mati untuk Kembang Mayat. Perempuan itu meronta-ronta
karena dijarat memakai tali urat naga yang tak bisa diputuskan oleh benda apa
pun. Pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan di alun-alun, supaya disaksikan dan
diketahui oleh seluruh rakyat negeri Linggapraja, bahwa orang yang dianggap
penyebab kesialan rakyat negeri itu dihukum mati dengan cara digantung di atas
tanah persembahan.
Tanah persembahan ada di alun-aiun, berupa tempat datar berumput, tapi dengan
menggerakkan tiang bendera yang ada di tepi alun-alun itu, tanah tersebut akan
terbuka, bagai merekah dan dipakai membuang mayat yang sudah digantung Sedangkan
tiang gantungan disiapkan di atas tanah yang nantinya akan terbuka merekah itu.
Dengan terbuangnya mayat oraruj yang digantung ke dalam tanah persembahan, maka
rakyat Pulau Kana merasa sudah mempersembahkan korban bagi sang dewa, sehingga
kutuk dan sial tidak akan menimpa rakyat negeri Linggapraja. Tetapi rakyat tetap
berusaha mencari ratu atau raja baru yang bukan berasal dari pulau tersebut dan
yang harus segera menikah.
Sebenarnya, kalau saja Kembang Mayat mau menuruti saran Pendeta Ganesha, maka ia
tidak akan dijatuhi hukuman mati.
Pendeta Ganesha sudah sarankan agar Kembang Mayat cepat lakukan pernikahan
dengan salah satu pemuda Pulau Kana
untuk selamatkan diri dari kutuk djjjn hukum adat. Tetapi Kembang Mayat menolak,
la berkata, "Aku tidak akan menikah jika bukan Pendekar Rajawali Merah calon suamiku! Aku
harus menikah dengannya!"
Pendeta Ganesha berkata, "Pendekar Rajawali Merah belum berhasil kita boyong
kemari, Gusti Ratu! Sedangkan malam purnama tinggal sebentar lagi. Kalau Gusti
Ratu tidak segera mengambil keputusan untuk menikah dengan siapa saja yang Gusti
pilih, nanti Gusti Ratu akan dituntut oleh hukum adat dan harus dibunuh karena
dianggap penyebab datangnya kutukan pada dewa."
"Aku percaya Pendekar Rajawali Merah akan datang pada waktunya! Gandaloka sudah
membawa pasukan pemanah dan orang-orang sakti lainnya! Mereka pasti berhasil
membawa pulang Yoga!"
Kembang Mayat sudah telanjur tergila-gila oleh Pendekar Rajawali Merah, sehingga
hatinya tidak bisa menerima pemuda lain. Apalagi ia metasa punya kekuatan, punya
kekuasaan, sehingga dengan mudah akan memperoleh pemuda tampan pemikat hati
wanita Itu, dengan memerintahkan Gandaloka dan orang kuat lainnya.
Pada waktu malam purnama tiba, Pendeta Ga'~e-sha segera menghubungi Kembang
Mayat yang sudah dianggap sebagai pimpinan negara di negeri Linggapraja itu.
Pendeta Ganesha mengatakan, "Masih ada kesempatan untuk lakukan pernikahan malam
ini juga dengan pria siapa saja, Gusti Ratu! Karena rakyat sudah berkerumun di
alun-alun dan menunggu upacara pernikahan ratu mereka!"
"Tidak-akan kulakukan pernikahan dengan siapa pun kecuali dengan Pendekar
Rajawali Merah! Titik!"
"Tapi malam purnama sudah tiba, Gusti Ratu!"
"Persetan dengan malam purnama!"
Esok paginya, ketika Kembang Mayat bangun dari tidur, tahu-tahu tubuhnya telah
terikat seluruhnya dengan taii yang tak bisa diputuskan oleh kekuatan tenaga
dalamnya. Pendeta Ganesha telah masuk ke kamar per aduan ratu dan menjerat
perempuan itu dengan tali yattg keluar dari telapak tangannya dan melilit
sendiri ke tubuh Kembang Mayat.
Agaknya keputusan itu sudah mutlak harus dijalan! sesuai adat yang berlaku.
Kembang Mayat berusaha meronta-ronta ketika dibawa ke alun-alun untuk digantung,
namun usahanya itu sia-sia. Orang-orang bertubuh tinggi-besar itu membawanya
dengan kuat dan meletakkan tubuh ramping itu di atas tanah persembahan Tali
gantungan segera dikalungkan ke leher Kembang Mayat. Apabila tiang bendera di
dorong ke samping, maka tanah akan terbuka dan kaki Kembang Mayat akan
tergantung. Maka akan matilah Kembang Mayat dalam keadaan terjerat lehernya.
Lalu, tali itu nantinya akan diputuskan, dengan begitu tubuh Kembang Mayat akan
jatuh ke dalam bongkahan tanah persembahan. Setelah itu tanah kembali akan
ditutup rapat "Aku minta waktu!" teriak Kembang Mayat. "Aku minta waktu sampai matahari mau
tenggelam. Kalau ternyata Pendekar Rajawali Merah belum juga datang, maka
gantunglah aku sesuai adat!"
Pendeta Ganesha berembuk dengan para tetua di Pulau Kana. Akhirnya mereka
putuskan untuk tetap melaksanakan hukuman gantung itu. Pendeta Ganesha yang
selalu memimpin upacara-upacara ritual itu berseru di depan rakyat yang
berkumpul di alun-alun,
"Hari ini, manusia yang kita anggap calon ratu kita, ternyata manusia pembawa
sial dan terkutuk. Terbukti, cukup banyak orang-orang pilihan kita yang mati di
pulau seberang hanya untuk memburu pemuda yang bernama Yoga, alias Pendekar
Rajawali Merah. Belum lagi sekarang, Gandaloka pergi dengan sejumlah pasukan
tapi belum datang pula. Mungkin mereka sudah mati, atau mungkin mereka dalam
kecelakaan besar.
Yang jelas, itulah bukti bahwa kehadiran calon ratu kita ternyata pembawa kutuk
dan pembawa sial. Sebab itu, ia harus dikorbankan!"
"Gantung dia! Gantung dia! Kembalikan kesialan dan kutuk itu kepada para dewa!"
seru mereka saling bersahut-sahutan.
Dua orang sudah siap menarik tiang bendera yang merupakan sebagai kunci pembuka
tanah persembahan tersebut. Kembang Mayat berdebar-debar tak punya harapan lagi.
la menangis dan menyesal, bahkan sempat berseru,
"Baiklah! Aku akan menikah dengan salah satu pemuda di sini!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Sudah terlambat! Sudah lewat dari malam purnama!"
Tali urat naga itu ternyata membuat kesaktian Kembang Mayat pun bagaikan
terpenjara, tak bisa diandalkan lagi.
Berulang kali ia kerahkan tenaga dalamnya untuk memberontak, namun kekuatan itu
bagaikan terpasung dan tak bisa digunakan lagi. Sorot matanya yang biasanya bisa
keluarkan cahaya hijau, saat itu juga tidak mampu digunakan lagi. Seolah olah
semua ilmu dan kesaktiannya hilang setelah tubuhnya terjerat tali urat naga yang
keluar dari telapak tangan Pendeta Ganesha itu. Kembang Mayat pun akhirnya
pasrah dalam tangis penyesalannya.
Bertepatan dengan akan dilaksanakan hukuman gantung itu, muncullah Gandaloka dan
Pendekar Rajawali Merah dalam satu lompatan yang bersamaan. Mereka tiba di dekat
Pendeta Ganesha yang sedang membakar tempat pedupaan berukuran besar, di depan
tiang gantungan. Suara gemuruh para penonton di sekeliling alun-alun membuat
kepala Pendeta Ganesha yang tertunduk menjadi tegak memandang Gandaloka dan
seorang pemuda tampan buntung tangan kirinya itu.
Kembang Mayat yang menangis dalam keadaan tertunduk pun segera angkat wajahnya
dan terbelalak kaget melihat kehadiran Gandaloka dan Yoga. la segera berseru,
"Yooo...!" sambil berdebar-debar kegirangan. "Yooo... tolong aku!"
Wanita cantik itu hanya dipandangi oleh Pendekar Rajawali Merah dengan dahi
berkerut. Yoga tahu, wanita itu memang Kembang Mayat, tapi heran mengapa Kembang
Mayat yang punya ilmu lumayan tingginya itu bisa ditaklukkan sampai digiring ke
tiang gantungan" Pertolongan yang dimintanya pastilah pertolongan kesediaan Yoga
untuk menjadi suaminya.
Gandaloka bicara dengan Pendeta Ganesha yang dikerumuni oleh para tetua dan
pejabat istana lainnya. Rupanya mereka berunding setelah mendengarkan cerita
Gandaloka tentang musibah badai di lautan itu.
"Musibah itu adalah kutuk dan sial yang ditimbulkan dari perempuan itu!" kata
salah seorang tetua yang berjenggot panjang. "Sedangkan sekarang sudah lewat
dari malam purnama, sudah waktunya membuang dia kalau tak ingin lebih banyak
lagi kematian yang menimpa rakyat kita!"
Gandaloka berkata, "Apakah tidak punya kebijakan satu kali lagi untuk memberi
kesempatan kepada sang Ratu" Bukankah
sekarang masih termasuk hari purnama, hanya bedanya siang dan malam saja"!"
Pendeta Ganesha segera mengambil sikap, "Apa salahnya kalau kita berbijak hati
demi meluruskan garis kehidupan"
Sebaiknya kita bicara dengan Pendekar Rajawali Merah!"
Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Merah sedang bicara dengan Kembang Mayat.
Perempuan cantik itu memohon-mohon agar dibebaskan dari hukuman gantung kepada
Yoga, namun Yoga berkata,
"Kau telah terjerat oleh hukum adat, Kembang Mayat. Kau juga terjerat oleh
perasaanmu sendiri yang tak mau gunakan otak! Aku tak berani mencabut pedangku
dan mengamuk di sini, karena aku tak punya permusuhan dengan mereka!"
"Aku tak menyuruhmu mengamuk di sini, tapi aku hanya minta kesediaanmu menikah
denganku, Yo!"
"Aku tak punya kesediaan untuk itu, Kembang Mayat!
Maafkan aku!"
"Hanya sebagai simbol saja! Siasat saja, Yo! Beberapa waktu kemudian kau boleh
menceraikan aku!"
Yoga diam berpikir dalam kegelisahan dan kebimbangan.
Pada waktu itulah, Pendeta Ganesha mendekat bersama Gandaloka. Yoga segera
menundukkan kepala memberi hormat setelah Gandaloka memperkenalkan Pendeta
Ganesha kepadanya. Kemudian, Pendeta Ganesha berseru ditujukan kepada mereka
yang mengelilingi alun-alun,
"Rakyat Negeri Linggapraja yang tercinta... ternyata Pendekar Rajawali Merah
telah hadir di sini bersama Gandaloka, sang Perwira! Pendekar Rajawali Merah
inilah sebenarnya yang ditunggu-tunggu oleh calon ratu kita, untuk dijadikan
mempelai pria dan suaminya. Karena hari ini adalah
masih termasuk hari purnama, hanya, bedanya siang hari, bukan malam hari, maka
masih ada kesempatan untuk menikahkan calon ratu kita dengan pemuda pilihannya.
Tetapi, kesempatan ini tergantung dari jawaban sang Pendekar Rajawali Merah.
Karena itu, aku; Pendeta Ganesha, ingin bertanya kepada Yoga atau sang Pendekar
Rajawali Merah nan perkasa...." Pendeta Ganesha berbalik arah dan bertanya
kepada Yoga. Semua orang diam mendengarkan, hingga suasana menjadi hening dan
sepi. "Pendekar Rajawali Merah, bersediakah Tuan Pendekar menikah dengan calon ratu
kami"!"
Sekalipun tampak tenang, namun sebenarnya di dalam hati Yoga mengalami
kegundahan yang cukup besar. Matanya memandang Pendeta Ganesha, lalu memandang
Gandaloka, memandang kepada Kembang Mayat, menunduk, memandang lagi ke arah
Kembang Mayat, dan saat itu Kembang Mayat berkata dengan suara gemetar serta air
mata berlinang,
"Yo... tolonglah aku...!"
Yoga masih diam dan alihkan pandangan mata kepada orang-orang yang
memperhatikannya, la tahu, bahwa ia tak akan bisa meminta waktu untuk
mempertimbangkannya beberapa hari. Karena itu, ia harus mempunyai keputusan saat
itu juga dalam pertimbangannya untuk bersedia menikah dengan Kembang Mayat atau
tidak. Jika tidak, maka Kembang Mayat akan mati di tiang gantungan, jika
bersedia menikah, maka ia telah mengkhianati cintanya kepada Lili, si Pendekar
Rajawali Putih. Padahal hati Yoga tidak ingin berkhianat seperti itu. la sangat
mencintai Lili dan ingin hidup berumah tangga sepanjang masa. Kalau ia menikah
dengan Kembang Mayat, walau hanya siasat, toh itu berarti ia akan menjadi duda
jika terjadi perceraian. Dan Lili berarti akan menikah dengan
seorang duda, bekas suami orang. Oh, alangkah kasihan nasib Lili jadinya.
"Aku tak punya cinta kepada Kembang Mayat, mengapa aku harus menipu pada diriku
sendiri dengan bersedia kawin dengannya" Kalau aku menikah dan segera cerai, itu
pun belum tentu bisa. Pasti Kembang Mayat tidak mau diceraikan, itu artinya aku
terjerat dengan siasatku sendiri. Lalu, bagaimana dengan Lili" Oh, aku tak tega
harus menyakiti hati guru angkatku itu. Aku sangat tak tega."
Karena Yoga diam terlalu lama, maka Pendeta Ganesha pun mengulangi pertanyaannya
tadi, "Tuan Pendekar, bersedliakah Tuan menikah dengan calon ratu kami?"
Sukar sekali lidah Yoga untuk digerakkan, la paksakan diri dan akhirnya
menjawab, "Aku... tidak bersedia!"
Wwwrrr...! Suara gemuruh orang begitu banyak bagai jutaan lebah menggaung
mt;menuhi alun-alun. Kembang Mayat sendiri segera berteriak kuat-kuat,
"Jahaaat...! Jahaaat kau, Yoga...!" tangisnya kian menjadi.
Yoga menundukkan kepala sambil berkata, "Maafkan aku. Ini menyangkut masa depan
keturunanku!"
Mereka yang berkerumun .'saling berteriak bersahutan,
"Gantung! Gantung dia! Peirsembahkan kepada para dewa!
Gantuuung...!"
Pendeta Ganesha kembali angkat tangannya dan semua menjadi diam. Di sela sepi
itulah Pendeta Ganesha berseru,
"Perempuan ini, ternyata memang harus kita persembahkan kepada para dewa. dengan
segala kutuk dan sial yang kita
kembalikan. Tetapi seperti telah tertulis dalam kitab hukum adat, bahwa setiap
korban persembahan mempunyai hak mengajukan satu permintaan terakhir sebelum
dipersembahkan. Maka, aku pun akan ajukan pertanyaan kepada calon korban
persembahan...," Pendeta Ganesha berpaling memandang Kembang Mayat dan bertanya,
"Kau punya permintaan apa" Sebutkanlah, kecuali permintaan pengampunan, kami tak
bisa kabulkan!"
Dengan geram dan penuh nafsu kebencian, Kembang Mayat berkata,
"Kuminta Pendekar Rajawali Merah juga harus dihukum seperti aku! Karena dia
telah membunuh beberapa utusan dari negeri ini, berarti telah menghina negeri
ini juga! Jika dia tidak jalani hukuman seperti aku, maka akan kukutuk tanah
pulau ini dan akan datang bencana setiap hari dari arwahku!"
Semua terperanjat mendengar ucapan Kembang Mayat.
Pendeta Ganesha sendiri terbungkam mulutnya. Permintaan terakhir seorang korban
persembahan harus dipenuhi. Begitu bunyi tertulis dalam kitab hukum adat. Jika
tidak dipenuhi, maka malapetaka akan datang beruntun menimpa rakyat Pulau Kana.
Pendeta Ganesha memandang ke arah Gandaloka. Yang dipandang sendiri tampak cemas
dan gelisah. Sedangkan Yoga segera berkata kepada Gandaloka dengan suara pelan,
"Apakah permintaannya akan dikabulkan oleh adat"!"
Gandaloka hanya menjawab, "Maaf, aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini!"
Kembang Mayat berseru dengan suara sampai serak, "Ingat, Yoga! Kau sama saja
telah menggantungku dengan keputusan ini. Karena itu, kau pun akan kugantung
dengan kesempatanku
yang terakhir ini! Kita akan sama-sama mati di tiang gantungan!"
Pendeta Ganesha segera berseru kepada petugas di tiang bendera,
"Lakukan!"
Genderang berbunyi. Gemuruh suaranya. Tiang bendera ditarik miring oleh dua
orang. Satu menari, satunya lagi mendorong. Lalu, terdengar suara gemuruh besar.
Tanah merekah terbuka dalam guncangan bagaikan gempa kecil.
Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu tanah terbuka, maka kaki kembang Mayat pun tergantung karena tak punya
punya tempat berpijak. Kembang Mayat akhirnya mati dalam gantungan. Talinya
segera diputus dan mayatnya jatuh ke dalam belahan tanah. Kemudian
tanah'persembahan tertutup lagi.
Orang-orang yang berperawakan tinggi-b'esar itu masih belum beranjak pergi dari
tempatnya. Padahal waktu itu Pendeta'Gahdsha'dari! piara tetua sudah'mau
tinggalkan tempat. Riifciariya masyarakat Pulau Kanaltu sedang menunggu
pelaksanaan hukumafrg&ntung terhadap diri Pendekar Rajawali Merah, sesuai dengan
permintaan korban tadi.
Gandaloka mendekati Pendeta Ganesha dan berkata pelan,
"Mereka menunggu keputusanmu, Pmnir ta!"
Dengan resah, Pendeta Ganesha yang berkepala gundul dan berbadan gemuk besar itu
berkata, "Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Aku perlu berunding dengan para tetua
negeri ini! Untuk sementara, masukkan dulu Pendekar Rajawali Merah ke dalam
penjara." Yoga mendengar ucapan itu, ia memandang Gandaloka dan Gandaloka serba salah
dalam memandang, la sangat gelisah menghadapi tugas tersebut. Akhirnya ia
berkata kepada Yoga,
"Apa yang harus kulakukan menurutmu?"
"Kerjakan apa tugasmu! Kau seorang perwira, tunjukkan keperwiraanmu di depan
rakyat!" Napas panjang ditariknya dalam-dalam. Gandaloka tampak berat sekali jalankan
tugas tersebut. Tapi akhirnya dengan terpaksa ia menuntun Yoga menuju ke
penjara. Biasanya prajurit lain yang membawa tawanan, tapi kali ini Gandaloka
sendiri yang lakukan, sebagai tanda menghormat kepada Pendekar Rajawali Merah.
Sementara itu, petugas lain segera memberitahukan bahwa Pendeta Ganesha dan para
tetua butuh waktu tiga hari untuk berunding menentukan keputusan. Maka, setelah
mendengar penjelasan tersebut, mereka pun segera bubar. Suara mereka saling
bergaung kembali, masing-masing mempunyai pendapat dan saling berdebat sambil
berjalan ke tempat tinggal mereka.
"Aku akan berusaha membelamu. Tapi aku butuh pelajari kembali semua kitab hukum
adat!" kata Gandaloka kepada Yoga.
"Terima kasih atas niat baikmu," ucap Yoga sambil masuk ke kamar berjeruji besi,
yaitu kamar penjara. "Tapi perlu kau ketahui, Kembang Mayat bukan orang baik.
Dia punya perguruan bernama Belalang Liar. Dulu semasa dipimpin oleh neneknya;
Nyai Sangkal Pati, perguruan itu dalam keadaan baik. Tapi setelah dipimpin
olehnya, perguruan itu menjadi cenderung sesat. Kembang Mayat orang licik, dia
pantas menerima kematian seperti itu. Kalau negerimu menuruti permintaan Kembang
Mayat, sama saja negerimu menuruti perintah orang sesat! Camkan penjelasanku
ini, Gandaloka!"
Orang tinggi-besar yang punya wajah tampan itu
menganggukkan kepala dengan rasa prihatinnya, la sendiri
yang menutup pintu penjara dan menguncinya. Lalu, dua orang pengawal ditugaskan
menjaga di depan penjara itu.
Dengan berat Gandaloka melangkah. Terbayang saat kejadian di Pulau Singa. Kalau
waktu itu Yoga tidak berhasil kalahkan Jagora, maka Gandaloka pun pasti akan
mati di tangan tdkoh sakti itu. Dengan kemenangan Yoga, berarti Gandaloka telah
diselamatkan nyawanya.
Tapi sekarang nyawa Yoga yang terancam. Haruskah Gandaloka diam dan hanya bisa
menuruti perintah demi perintah" Atau haruskah ia menentang segala ke-putusan
hukum adat itu, demi membalas hutang nyawanya kepada Yoga"
* * * 6 GANDALOKA segera temui rekannya yang bernama Nayoma, seorang prajurit juga yang
kedudukannya lebih rendah dari Gandaloka. la berkata kepada Nayoma,
"Aku butuh kitab hukum adat yang asli, yang belum disalin ke bahasa sekarang. Di
mana aku bisa dapatkan kitab hukum adat itu?"
"Buyut Supi mempunyainya. Kadang kulihat Pendeta Agung datang ke rumahnya untuk
minta saran tentang hukum adat.
Tapi, ada apa kau membutuhkan kitab itu?" Nayoma sedikit curiga.
"Untuk kupelajari. Maukah kau meminjamkan kitab hukum adat itu kepada Buyut
Supi?" "Baiklah. Tapi bagaimana dengan tugasku menjaga pura suci?"
"Kuambil alih tugasmu! Biar aku yang menjaga pura, kau pergi ke Buyut Supi untuk
meminjam kitab hukum adat!"
Buyut Supi termasuk tetua di Pulau Kana. la lebih menguasai hukum adat karena ia
lebih tua dari Pendeta Ganesha. Konon Buyut Supi juga termasuk tokoh tua yang
menurunkan beberapa orang Pulau Kana Sayangnya ia seorang perempuan, sehingga
tidak bisa menjadi Pendeta Agung. Hanya orang lelaki yang bisa menjabat sebagai
Pendeta Agung dan penasihat raja.
Seorang perempuan seperti Buyut Supi hanya bisa menjadi penasihat Pendeta Agung,
itu pun jika dibutuhkan.
Gandaloka berharap, dengan mempelajari kitab hukum adat yang asli, mudah-mudahan
ia bisa temukan jalan untuk bebaskan Yoga dari hukuman gantung. Sebab, banyak
peraturan hukum adat yang dirubah karena disesuaikan dengan zaman dan mempunyai
arti yang berbeda dengan aslinya.
Tetapi alangkah terkejutnya Gandaloka melihat Na-yoma kembali dengan keadaan
berlumur darah. Telinga kirinya dipotong oleh seseorang, dan Nayorna banyak
kehabisan darah sehingga jatuh pingsan tepat di depan pura suci, tempat pemujaan
itu. Keadaan Nayorna yang demikian membuat suasana istana menjadi heboh. Para
prajurit berkumpul dan saling bertanya-tanya siapa pelakunya. Pendeta Agung
Ganesha pun menjadi tegang, sebab menurut adat yang berlaku di Pulau Kana, jika
seseorang dipotong daun telinganya itu berarti orang tersebut menjadi utusan
untuk sebuah tantangan berperang. Karena itu, Pendeta Agung Ganesha bertanya
dalam gumam yang didengar oleh Gandaloka,
"Siapa orang yang menantang perang dengan pihak istana?"
Gandaloka diam, namun hatinya berkecamuk sendiri dan bertanya-tanya, "Mengapa
Buyut Supi mengirim pulang Nayorna dengan telinga terpotong"! Apakah Buyut Supi
merasa kecewa dengan pihak istana, sehingga ia lakukan unjuk rasa dengan cara
memotong telinga Nayoma?"
Sebenarnya Gandaloka ingin katakan kepada Pendeta Agung mengenai Buyut Supi,
tapi ia tahan niatnya itu untuk menyelidiki sendiri apa sebab Buyut Supi
memotong telinga Nayoma. Ketika Nayoma mulai sadar, Gandaloka punya kesempatan
menanyakan tentang hal itu,
"Buyut Supi-kah yang melakukannya, Nayoma"!" "Buk...
bjukan!" jawab Nayoma dengan wajah masih pucat.
"Lalu, siapa yang memotong telingamu?"
Waktu itu, Pendeta Agung Ganesha dan beberapa perwira mengerumuni Nayoma.
Pendeta Agung Ganesha mengajukan pertanyaan yang sama, sehingga Nayoma pun
menjawab, "Bersiaplah untuk perang!"
"Apa maksudmu?" tanya Gandaloka. "Jawab dulu, siapa yang memotong daun
telingamu, Nayorna?"
"Orang-orang Tanah Sihir!"
"Hahh..."!" Gandaloka dan yang lainnya terkejut. Lalu mereka saling beradu
pandang dengan wajah tegang.
"Di... di mana mereka sekarang?" tanya Gunaya, perwira menengah.
"Mereka... mereka sedang turun dari kapal. Jumlahnya... ada dua kapal. Salah
seorang telah menyusup masuk kemari. Aku jumpa mereka di pantai, dan mereka
memotong telingaku sebagai pernyataan berperang terhadap kita!"
"Apakah Ratu Cendana Wangi juga turut hadir?"
"Ya. Aku lihat Ratu Cendana Wangi di kapal kedua!" ucapan Nayorna terhenti
karena Gandaloka menyodorkan obat anti sakit dan secangkir minuman. Nayorna
segera menelan obat yang seperti kotoran kambing itu.
Terdengar Pendeta Ganesha berkata, "Petaka itu mulai datang sesuai dengan
kutukan korban Kembang Mayat."
Gandaloka menyanggah, "Tidak, Pendeta Agung! Orang-orang Tanah Sihir datang
bukan karena adanya kutukan Kembang Mayat, tapi karena maksud tertentu. Pasti
mereka punya maksud tertentu. Jauh sebelum Kembang Mayat kita jatuhi hukuman
gantung, sudah pasti mereka sedang dalam perjalanan kemari. Karena dari Tanah
Sihir ke Pulau Kana memakan waktu pelayaran lebih dari empat hari."
"Yang jelas kita sekarang dalam bahaya!" gumam Pendeta Ganesha.
"Siagakan semua prajurit!" kata Gandaloka kepada Gunaya.
"Kerahkan semua prajurit, para pengabdi, rakyat, dan siapa saja untuk pagari
istana dan alun-alun dalam siaga tarung!"
"Baik!" jawab Gunaya dengan penuh hormat, ia pun segera pergi diikuti oleh
perwira-perwira lainnya.
"Mereka akan masuk kemari pada waktu gelap!" kata Pendeta Ganesha.
"Mengapa begitu?" tanya Gandaloka.
"Kalau benar mereka punya maksud tertentu, pasti tak lain adalah merebut istana
ini, dan menguasai pulau ini!"
"Kekuatan kita tidak seimbang, Pendeta Agung.
Apalagi kita tidak mempunyai ratu atau pemimpin rakyat!"
"Memang tidak seimbang. Tapi untuk sementara kekuasaan kuambil alih, hanya untuk
mengisi kekosongan takhta saja!
Apakah kau setuju?"
"Saya setuju! Tapi bagaimana kalau mereka mengincar Pendeta?"
"Aku akan bertarung melawan mereka!"
"Pendeta Agung tidak akan bisa kalahkan kekuatan Ratu Cendana Wangi yang
berjuluk Penguasa Alam Sihir!"
"Ya. Memang. Tapi bantulah aku cara mengatasinya, Gandaloka!" kata Pendeta Agung
Ganesha, mengakui kelebihan Sawannya.
Bagi orang-orang Pulau Kana, nama Ratu Cendana Wangi, si Penguasa Alam Sihir
itu, sudah bukan nama asing lagi. Nama itu selalu ditakuti oleh orang-orang
Pulau Kana, karena mereka tahu persis kekuatan ilmu sihir Ratu Cendana Wangi
sungguh tinggi.
Beberapa tahun yang lalu, Ratu Cendana Wangi pernah mengirimkan tiga utusan ke
Pulau Kana untuk memburu musuh mereka. Musuh itu ternyata menjadi raja di Pulau
Kana. Raja itulah yang diincar oleh Ratu Cendana Wangi untuk dibunuh karena
persoalan pribadi.
Prajurit-prajurit istana mencoba menahan serangan tiga utusan itu, namun mereka
gagal. Banyak orang Pulau Kana dan orang istana yang mati karena kekuatan iimu
sihir tiga utusan tersebut. Bukan saja ilmu sihir mereka yang tinggi, namun ilmu
pedang mereka pun cukup
tangguh, sehingga dalam waktu singkat pada saat itu Pulau Kana nyaris kehabisan
prajurit. Itu terjadi antara sepuluh tahun yang lalu. Dan sekarang, Ratu Cendana
Wangi sendiri ikut datang dalam rombongan tersebut. Gandaloka dan Pendeta
Ganesha bisa bayangkan akan terjadi banyak pertumpahan darah di Pulau Kana.
Mayat-mayat kembali berserakan seperti sepuluh tahun yang lalu.
Pulau Kana atau negeri Linggapraja tidak mempunyai orang kuat untuk tandingi
Ratu Cendana Wangi. Sebagai prajurit terdepan, Gandaloka harus berani hadapi
pertarungan dengan Ratu Cendana Wangi, walaupun ia tahu dirinya akan menderita
kekalahan. Itu sudah merupakan tanggung jawab seorang perwira depan. Biasanya
dalam keadaan seperti ini Gandaloka didampingi oleh Ayodya dan Loga. Tapi
keduanya telah tewas dalam tugas mencari Yoga dulu.
Perkiraan Gandaloka menjadi kenyataan. Dalam waktu singkat ia telah mendengar
beberapa prajurit pilihan gugur melawan Sawung Gala, pengawalnya Ratu Cendana
Wangi. Gunaya sendiri pulang dengan kedua tangannya buntung, la menghadap Gandaloka
dalam keadaan bertahan untuk tidak jatuh pingsan. Gandaloka terperanjat tegang
melihat Gunaya pulang tanpa kedua tangan.
"Mereka semakin menyergap ke istana. Agaknya yang jadi sasaran utama adalah
istana! Mereka ingin bertemu dengan penguasa kita, terutama ingin berhadapan
dengan Pendeta Agung Ganesha!" tutur Gunaya dengan terengah-engah.
"Berapa pendamping Ratu Cendana Wangi?"
"Empat orang; Sawung Gala, Naga Berang, (iam Tulang, dan Putra Iblis, yang
memotong kedua lawian ku dengan sebatang ilalang."
"Dengan sebatang ilalang"!" gumam Gandaloka makin cemas, la menatap Pendeta
Agung Ganesha. Orang tua berjenggot putih panjang itu diam saja mena han
kecemasan juga.
Beberapa saat kemudian, Gandaloka berkata kepada seorang perwira menengah yang
mendampingi Gu-naya, bernama Narasoma,
"Tarik mereka yang ke pantai, perketat penjagaan sekeliling istana. Beri tahu
padaku perkembangan setiap beberapa waktu."
"Baik! Saya kerjakan!" jawab Narasoma masih tetap tegas, la bertubuh lebih
tinggi dari Gandaloka dan berbadan kekar.
Ketika Gandaloka berdiri di serambi istana bersama Pendeta Agung Ganesha,
Gandaloka sempat berkata,
"Pendeta, saya butuh pendamping yang kuat! Saya akan hadapi sendiri Ratu Cendana
Wangi itu!"
"Apakah kau punya pilihan pendamping yang kuat?"
"Ya. Saya punya calon pendamping sendiri."
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Merah!"
Pendeta Agung Ganesha terkejut. "Dia tawanan kita!"
"Percayalah, Pendeta... kalau dia mau berontak, sekarang juga Pulau Kana ini
bisa dijungkirbalikkan dengan mudah, Pendeta!"
Mata Pendeta Agung Ganesha terkesiap mendengar ucapan Gandaloka. Sebelum orang
tua itu berkata, Gandaloka sudah lebih dulu berucap,
"Saya pernah lihat sendiri jurus-jurus pedangnya yang dahsyat itu, Pendeta!
Tidak ada orang kita yang memiliki jurus pedang sedahsyat jurusnya. Ilmu tenaga
dalamnya pun cukup tinggi, la mengobati luka Asoma dengan usapan telapak tangan,
dan luka itu lenyap dalam sekejap. Dia melawan Jagora
yang berilmu tinggi itu dengan hanya gunakan satu jurus. Dan pedangnya itu,
Pendeta... jika dipegang orang lain, maka pedang itu akan menusuk orang itu
sendiri atau menggorok leher orang tersebut!"
Pendeta Agung Ganesha berkerut dahi memikirkan apa yang dikatakan Gandaloka itu.
Pada saat itu, seorang prajurit yang menjadi bawahan Narasoma datang menghadap
dengan terengah-engah dan berkata,
"Mereka mulai mendekati istana!"
"Tak ada yang bisa menahan mereka?"
'Tidak ada, Perwira! Mereka bergerak bagaikan angin cepatnya!"
"Suruh Narasoma hadang mereka di pintu gerbang."
"Narasoma... telah tewas, Perwira!"
"Gila!" Gandaloka terperanjat bagaikan mimpi mendengar kabar itu. Baru saja ia
beri tugas kepada Narasoma, baru saja orang itu berangkat, tahu-tahu sudah dapat
kabar bahwa Narasoma telah tewas.
Pendeta Agung Ganesha segera berkata kepada prajurit itu,
"Buka pagar betis istana! Jangan h.il.m<|! mereka. Biarkan masuk menemuiku!"
"Apa maksud Pendeta?" Gandaloka menjadi tam bah tegang.
"Jangan timbulkan korban lagi. Jangan buat prajurit sebagai benteng perlindungan
kita. Biarkan dia bicara padaku mengutarakan apa maunya! Jika ia kehendaki
nyawaku, aku akan berikan dengan pertarungan sampai mati!"
"Mereka harus hadapi saya dulu sebelum bertarung melawan Pendeta!"
"Lakukanlah kalau itu kau anggap baik!" jawab Pendeta Agung Ganesha. "Aku
mendampingimu di belakang!"
Gandaloka segera berkata kepada prajurit itu, "Kerjakan apa yang dikatakan
Pendeta Agung tadi. Buka pintu gerbang selebar-lebarnya!"
Setelah bicara demikian, Gandaloka sendiri melompat pergi ke sebuah kamar. Saat
keluar ia sudah menyandang pedang di punggungnya, pertanda siap hadapi lawan
kapan saja. la kembali dekati Pendeta Agung Ganesha. Tapi pada saat itu sang
Pendeta sedang memejamkan mata dan mulutnya bergerak-gerak membacakan sebaris
doa sambil pegangi tasbih putih sebesar kelereng. Gandaloka tak berani ajak
bicara, tapi matanya memandang sekeliling dengan tegas dan tajam, la berdiri di
pertengahan serambi depan istana, di mana pintu gerbang terletak lurus di
depannya dalam jarak lebih dari dua puluh lima tombak. Seakan ia siap menghadapi
tamu-tamu ganas yang sebentar lagi pasti datang menemuinya.
Rupanya Nayorna yang kehilangan satu telinga itu ikut tampil juga dalam
pertahanan di pintu gerbang. Ketika ia mendengar kabar tentang dibukanya pagar
betis istana, Nayorna segera memerintahkan beberapa prajurit untuk mendampingi
Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka segera berjajar di kanan-kiri Gandaloka
pada tangga serambi paling bawah. Sedangkan sepuluh orang prajurit pemanah siap
di belakang Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka sudah merentangkan busur dan
siap lepaskan anak panah sewaktu-waktu musuh datang. Tetapi Gandaloka segera
menengok ke belakang dan berkata kepada mereka, "Turunkan panah! Siaga saja!"
Maka mereka pun menurunkan panah. Tapi anak panah masih menempel di tali busur
yang ada di bawah, dalam satu genggaman tangan. Mereka menunggu perintah untuk
angkat panah masing-masing. Lalu, beberapa saat kemudian,
Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampaklah Ratu Cendana Wangi memasuki pintu gerbang istana dengan didampingi
empat orang pengawal kuatnya di kanan-kirinya. Dari kejauhan bau wangi cendana
telah tercium oleh Gandaloka dan yang lainnya, sehingga mereka pun mulai bersiap
siaga lakukan gerakan tiba-tiba.
Sebenarnya perempuan itu sudah berusia sebaya dengan Buyut Supi. Tapi karena
punya ilmu tinggi, ia bisa bertahan untuk tetap muda dan cantik, menggairahkan
tiap lelaki, la mengenakan pakaian hijau muda dengan perhiasan emas permata yang
lengkap. Di rambutnya yang terurai lepas sepanjang punggung itu, mengenakan
mahkota kecil setengah lingkaran dengan batu merah memancar berkilauan di bagian
tengahnya. Ratu Cendana Wangi menggenggam sebatang tongkat dilapisi emas, yang
mempunyai bagian kepala tongkat berupa bola baja berduri warna hitam.
la dan keempat pengawalnya berhenti di pelataran istana.
Matanya yang lebar namun berbentuk indah dalam kesan ganas itu, memandang
Gandaloka tak berkedip. Sementara itu, keempat pengawalnya semua bermata dingin
dan bertampang angker.
"Mana rajamu"!" ucap Ratu Cendana Wangi dengan ketus dan tajam.
"Tidak ada!" jawab Gandaloka. Lalu, Pendeta Ganesha menimpali,
"Akulah yang mewakili raja ataupun ratu di sini!"
Ratu Cendana Wangi tersenyum. Manis sekali senyumannya itu sebenarnya. Sangat
memikat hati. Tapi karena Gandaloka tahu perempuan itu jahat, Gandaloka menjadi
kurang tertarik dengan perempuan tersebut. Sekalipun ia dipandangi beberapa
saat, tapi Gandaloka bagaikan tidak mau berikan senyum sedikit pun kepada Ratu
Cendana Wangi. Kejap berikutnya, Ratu Cendana Wangi mendekati
Gandaloka, keempat pengawalnya hanya melangkah tiga tindak lalu berhenti. Kini
jarak Ratu Cendana Wangi dengan Gandaloka hanya dua langkah. Semakin lebar ia
memandang Gandaloka dalam keadaan sedikit mendongak, karena Gandaloka bertubuh
lebih tinggi darinya.
"Tampan sekali kau! Apa kedudukanmu di istana ini"!"
"Perwira istana!" jawab Gandaloka dengan tegas.
"Bagus sekali! Aku yakin usiamu masih muda, masih penuh semangat dalam beberapa
hal! Dan aku yakin kau belum beristri juga belum punya kekasih, bahkan belum
pernah tidur dengan perempuan! Kau masih hijau, Perwira. Tapi kau akan menjadi
matang jika sudah beberapa saat bersamaku!" senyum itu kian melebar. "Siapa
namamu?" "Gandaloka!"
"Nama yang bagus, sesuai dengan paras wajahmu!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Bicaralah padaku, Cendana Wangi! Akulah wakil
penguasa tanah ini!"
"Kau tidak berhak mengaturku, Botak!" bentak Ratu Cendana Wangi. Matanya
mendelik menampakkan keganasannya. Salah seorang prajurit merasa tersinggung,
pendeta yang dihormati selama ini hanya dibentak-bentak oleh orang asing.
Prajurit itu segera melemparkan tombak ke arah Ratu Cendana Wangi.
Tetapi tombak itu tiba-tiba berhenti di pertengahan jarak, lalu berbalik arah
dan melesat dengan cepat menghujam dada orang yang melemparkannya. Jruub...!
Gandaloka menahan diri untuk tidak lepaskan amarah sembarangan. Sekalipun ia
sakit hati melihat anak buahnya yang keroco dibunuh dengan kekuatan sihir, tapi
ia berusaha untuk tetap tenang. Karena Pendeta Agung Ganesha pun
kelihatan tetap tenang walau dibentak dan dihina dengan sebutan 'botak' tadi.
"Apa tujuanmu kemari sebenarnya, Cendana
Wangi!" "Beginikah caramu menerima tamu" Membiarkan tamu di luar tanpa menyuruhnya
masuk?" hardik Ratu Cendana Wangi sambil dekati Pendeta Ganesha.
"Sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu membuat keonaran di wilayah kami, kami
tidak izinkan kau masuk ke istana! Katakan dulu apa yang kau harapkan dari
kedatanganmu, nanti kami akan bicarakan di dalam!"
"Seharusnya aku yang mengaturmu! Bukan kau yang mengatur aku! Karena akulah yang
berhak memiliki Pulau Kana ini! Akulah yang berhak berkuasa atas pulau ini!"
"Dari mana alasanmu bisa berkata begitu?"
"Aku keturunan dari Eyang Dewi Ambar Ayu. Beliau adalah orang pertama yang
mendiami pulau ini sendirian, karena dibuang oleh pihak keluarganya, yaitu Raja
Johor! Lalu beliau beranak-cucu di sini, dan sampai melahirkan diriku sebagai
keturunan yang kesekian silsilah! Jadi akulah yang berhak menjadi penguasa di
Pulau Kana!"
"Jika kau keturunan nenek moyang Pulau Kana, pasti tubuhmu sebesar kami, Cendana
Wangi! Ternyata tubuhmu kecil, seperti manusia biasa! Kurasa kau hanya mengaku-
aku saja sebagai keturunan nenek moyang Pulau Kana!"
"Perkawinan silang memungkinkan aku berketurunan seperti ini. Tapi kakek buyutku
adalah orang tinggi-besar seperti kalian!"
"Baiklah," Pendeta Ganesha sedikit mengalah. "Jadi, itu persoalannya" Kau
menuntut hak untuk menjadi penguasa di Pulau Kana ini?"
"Bukan hanya itu saja! Yang paling utama aku datang kemari adalah untuk
mengambil sebuah kitab pusaka warisan nenek moyangku! Akulah yang berhak
menerima kitab pusaka tersebut!"
"Kitab pusaka apa"!" Pendeta Ganesha berkerut dahi.
"Kitab Jagat Sakti!" jawab Ratu Cendana Wangi.
Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling pandang dengan dahi berkerut. Mereka
sepertinya merasa asing mendengar nama kitab tersebut. Lalu, Pendeta Ganesha
berkata, "Di sini tidak ada Kitab Jagat Sakti! Aku bahkan baru sekarang mendengar ada
kitab seperti itu."
"Omong kosong kau, Pendeta Ganesha! Bukankah letak Sumur Perut Setan ada di
Pulau Kana ini"! Pasti kitab itu pun ada di sini."
Sekali lagi Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling beradu pandang dengan dahi
berkerut. Lalu, Gandaloka menyahut kata,
"Sumur Perut Setan hanya ada dalam dongeng!"
"Ya. Karena kau masih hijau, jadi kau masih terngiang dongeng-dongeng dari
ibumu, Nak! Tapi sebenarnya Ganesha pasti tahu, bahwa Sumur Perut Setan itu ada
di sini!" "Aku tidak tahu! Aku juga anggap itu hanya dongeng belaka!"
"Omong kosong! Kau pasti tahu di mana letaknya Sumur Perut Setan itu! Jika kau
tak mau sebutkan letaknya, jika kau tak mau biarkan aku mengambil Kitab J u jat
Sakti, dan jika kau
tak mau serahkan pulau ini ke tanganku, akan kubuat rakyatmu seperti ini...."
Claaap...! Seberkas sinar putih menyebar dari tangan Ratu Cendana Wangi. Sinar
itu menerpa para prajurit yang ada di alun-alun, dan mereka berubah menjadi
patung batu semua.
* * * 7 MEMANG para orang tua sering mendongeng tentang kisah Sumur Perut Setan. Tetapi
sumur itu sendiri sebenarnya memang ada. Letaknya di kaki Bukit Seroja, dekat
dengan Candi Langu. Dan pada saat itu, dua anak manusia terperosok masuk ke
dalamnya. Mereka adalah Lili, Pendekar Rajawali Putih itu, dan Wisnu Patra yang
juga dijuluki Dewa Tampan (Baca episode : "Mempelai Liang Kubur"). Dan sampai
sekarang kedua orang itu belum bisa keluar dari Sumur Perut setan.
Konon, menurut dongeng para orang tua zaman dulu, siapa saja yang masuk ke dalam
sumur berdinding cahaya merah beracun itu tidak akan bisa keluar dari sana,
karena sumur itu memang mempunyai lorong semacam gua panjang, tetapi tidak
mempunyai jalan keluar. Di samping itu, sumur tersebut juga dihuni manusia
raksasa yang dikenal dalam dongeng bernama Betara Kala. la adalah manusia
raksasa pemakan daging manusia.
Benar dan tidaknya dongeng tersebut, hanya Lili dan Wisnu Patra yang dapat
membuktikannya. Karena sampai beberapa hari mereka menyusuri lorong gua
tersebut, namun mereka belum temukan jalan keluar. Mereka hanya temukan tanaman
sejenis rumput di tepi-an dinding gua yang memancarkan cahaya biru bening.
Lili tertarik untuk memetik tanaman itu, tapi tangannya segera ditarik oleh
Wisnu Patra. "Jangan! Sudah kubilang, jangan gegabah di < l.iLnn gua ini!
Kau bisa mati terkena racun!"
"Apakah semua yang ada di sini serba beracun"I" Lili agak cemberut.
"Dalam dongeng disebutkan, lorong ini disebut Sumur Perut Setan, karena berisi
banyak racun yang tne matikan!"
"Ah, dongeng, dongeng, dongeng...!" Lili bersungut-sungut.
"Sejak pertama masuk kemari kau hanya bicara tentang dongeng! K'rta benar-benar
menghadapi kehidupan nyata, bukan berada di negeri dongeng!"
Pemuda tampan itu tersenyum sabar, la masih memegangi tangan Lili di luar
kesadarannya. Lili menjadi melirik tangannya yang dipegangi Wisnu Patra, lalu
pemuda itu tersipu-sipu sambil melepaskannya. Pendekar Rajawali Putih melangkah
lebih dulu, sementara Wisnu Patra memandangi tanaman biru sambil berkata dalam
hati, "Tanaman itu memang menggiurkan. Membuat perutku terasa lapar. Tapi benarkah
tanaman itu beracun?"
Tiba-tiba terdengar suara Lili memekik kaget. "Aaauh...!"
Wisnu Patra tersentak dan cepat hampiri Lili yang melangkah mundur. Rupanya
Makam Bunga Mawar 18 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Si Rase Hitam 2