Pencarian

Tabir Peta Shaolin 1

Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin Bagian 1


SATU PUNCAK Bukit Toyongga laksana dibungkam ta-
ngan setan. Tidak ada yang buka suara atau membuat
gerakan. Hanya ada beberapa mata yang saling lontar
dengan pandangan curiga. Lalu tampak wajah-wajah
tegang. Seperti diketahui, di puncak Bukit Toyongga telah
berkumpul Yang Mulia Baginda Ku Nang, Panglima
Muda Lie, dan putrinya Mei Hua. Lalu Bayangan Tan-
pa Wajah, Ratu Selendang Asmara, dan murid tunggal-
nya Dewi Bunga Asmara. Di seberang lain tampak
Guru Besar Liang San, Hantu Pesolek, dan Pendekar
Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Di seberang kanan
terlihat Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan,
dan perempuan bercadar hitam.
Saat itu Hantu Pesolek yang memegang kantong pu-
tih berisi separo peta wasiat memperhatikan silih berganti pada Yang Mulia
Baginda Ku Nang dan Guru Be-
sar Liang San. Kedua orang ini memegang sebuah ge-
lang agak besar yang bentuk dan warnanya sama.
"Bagaimana ini bisa terjadi"!" Hantu Pesolek mem-
batin lalu berkipas-kipas. Rambutnya berkibar-kibar.
Bibirnya yang merah sunggingkan senyum.
"Kalau ada dua benda sama bentuk dan warnanya,
tentu salah satunya palsu! Berarti ada yang tak beres dengan kedua orang itu!"
Diam-diam murid Pendeta
Sinting juga membatin.
"Hantu Pesolek!" mendadak Baginda Ku Nang buka
suara. "Serahkan kantong itu padaku! Separo peta wa-
siat telah berada di tanganku!"
"Serahkan padaku!" Guru Besar Liang San menya-
hut. "Akulah yang memegang separo peta wasiat itu!"
Tangan kanan Guru Besar Liang San diangkat tinggi
ke udara tunjukkan gelang agak besar.
"Aku memang berjanji akan serahkan kantong beri-
si separo peta wasiat ini pada siapa saja yang memiliki separonya lagi. Tapi
tidak kusangka kalau ada dua
orang yang mengaku sama-sama memiliki separonya
lagi! Ini satu petunjuk jika salah seorang ada yang
berkata dusta dan pasti peta di tangannya palsu! Sementara aku tidak mau
memberikan pada orang yang
memiliki peta palsu! Aku ingin tahu siapa yang memi-
liki peta asli!"
Kini sang Baginda dan Guru Besar Liang San saling
pandang. Mata masing-masing saling memperhatikan
gelang di tangan lainnya.
"Baginda Ku Nang!" Guru Besar Liang San angkat
bicara dahulu. "Jangan kau mempersulit diri dengan
tunjukkan barang palsu!"
Sang Baginda tersenyum dingin. "Kau yang mem-
persulit diri, Guru Besar! Benda di tanganmulah yang palsu!"
Kini Guru Besar Liang San tertawa pendek seraya
berkata. "Harap kau tahu, Yang Mulia penguasa tanah
Tibet! Aku telah mengambil benda ini dari tempat di
mana kita menyimpannya tanpa sepengetahuan mu!"
"Kau boleh mengambil benda itu tanpa sepengeta-
huanku sampai seribu kali! Tapi aku tidak sebodoh
yang kau kira! Kaulah yang tolol! Kau secara diam-
diam mengajakku bersekongkol untuk membunuh Gu-
ru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok un-
tuk mengambil peta wasiat. Apakah tindakan yang
mempertaruhkan kedudukanku ini kulakukan tanpa
memperhitungkan apa yang selanjutnya akan kau la-
kukan"!" Sang Baginda hentikan ucapannya sambil
tertawa. Lalu geleng kepala dan lanjutkan ucapan.
"Tidak, Guru Besar! Aku telah menghitung apa
langkahmu selanjutnya! Aku telah memalsukan isi ge-
lang itu lalu kuserahkan padamu dan kita simpan ber-
sama-sama di satu tempat...."
Ucapan Baginda Ku Nang membuat semua orang di
puncak Bukit Toyongga jadi melengak kaget.
"Tidak mungkin! Mataku tak bisa ditipu! Ini gelang
yang asli!" desis Guru Besar Liang San seraya tarik pulang tangan kanannya dari
atas udara. Gelang di tan-
gannya disentakkan mendekat pada wajahnya.
"Apanya yang tak mungkin"! Kau tentu masih ingat,
Guru Besar!" Berkata sang Baginda. "Gelang yang kita ambil dari Perguruan
Shaolin berada di tanganku selama tiga hari tiga malam. Tiga hari sudah terlalu
cukup bagiku untuk membuat yang sama tapi palsu!
Ha.... Ha.... Ha...!"
"Aku tidak percaya!" dengus Guru Besar Liang San.
"Jika demikian, mengapa tidak kau buktikan saja"!"
"Benar! Aku memang butuh bukti siapa pemegang
separo peta yang asli! Aku tak mau salah memberi!"
Hantu Pesolek menimpali ucapan Baginda Ku Nang.
Guru Besar Liang San sengatkan pandang matanya
pada sang Baginda. Tanpa buka suara lagi tangan kiri kanannya segera pegang
erat-erat gelang baja. Lalu ditarik. Gelang baja putus tanggal menjadi dua! Lalu
terlihat sebuah gulungan kain di dalam batangan gelang
yang telah putus.
Tampang Guru Besar Liang San berubah makin te-
gang. Kedua tangannya bergetar. Meski di dalam ba-
tangan gelang terlihat gulungan kain berwarna putih, namun putusnya gelang
membuat dada laki-laki berkepala gundul ini berdebar-debar tidak enak. "Kalau
gelang ini asli, tidak mungkin putus begitu saja....
Jangan-jangan gelang ini memang telah dipalsukan!"
Walau telah menduga begitu, namun seolah ingin
yakinkan diri, perlahan-lahan Guru Besar Liang San
ambil gulungan kain putih dari batangan gelang. "Ka-
lau peta ini palsu, kainnya akan robek jika kutarik!"
kata Guru Besar Liang San dalam hati. Saat lain kedua tangannya telah pegang
bagian ujung gulungan kain.
Brettt! Sekali sentak, gulungan kain berwarna putih telah
robek menjadi dua bagian!
"Peta ini benar-benar yang palsu!" desis Guru Besar
Liang San. Tanpa memeriksa lagi, tanggalan gelang
dan robekan kain di tangan kiri kanannya dicampak-
kan ke tanah. Patahan gelang langsung masuk amblas
lenyap ke dalam tanah!
"Kau telah menipuku!" teriak Guru Besar Liang San
seraya tunjukkan tangan kiri ke arah batok kepala
Yang Mulia Baginda Ku Nang.
Yang ditunjuk tertawa panjang. "Manusia yang be-
rani korbankan nyawa saudara serta mengkhianati
perguruannya bukan hanya layak ditipu, tapi sudah
tidak pantas berada di atas bumi!"
Rahang Guru Besar Liang San mengembung besar.
Sosoknya berguncang keras. Sekali membuat gerakan,
sosoknya telah melesat ke arah Baginda Ku Nang den-
gan kedua tangan siap lepaskan pukulan!
Namun sebelum Guru Besar Liang San bertindak
lebih jauh, Hantu Pesolek sudah bergerak mengha-
dang. Bukkk! Bukkkk! Terdengar benturan keras. Kelebatan sosok Guru
Besar Liang San terhenti dengan kedua tangan terpen-
tal ke udara. Di depannya Hantu Pesolek tegak dengan kipas bergoyang-goyang.
Walau parasnya yang elok berubah, namun dengan
bibir tersenyum, Hantu Pesolek berkata.
"Apa pun yang telah kau lakukan, kau gagal mem-
buktikan jika kau pemegang peta yang asli! Harap kau sadar! Dan untuk
keselamatanmu, kusarankan agar
segera tinggalkan tempat ini!"
Saking marahnya tanpa pikir panjang lagi Guru Be-
sar Liang San cepat melompat ke depan. Hampir se-
paro tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangan.
Lalu menghantam ke arah kepala Hantu Pesolek yang
telah halangi niatnya.
Hantu Pesolek angkat tangan kirinya. Kipas di tan-
gan kanannya disentakkan menyongsong.
Bukkkkk! Praakkk! Benturan keras terdengar lagi kala tangan kanan
Guru Besar Liang San bentrok dengan tangan kiri
Hantu Pesolek. Disusul dengan terdengarnya benda
patah. Tubuh Guru Besar Liang San dan Hantu Pesolek
tersurut dua langkah. Tangan kiri kanan Guru Besar
Liang San langsung bengkak merah. Di lain pihak ki-
pas di tangan kanan Hantu Pesolek patah jadi tiga bagian!
Hantu Pesolek cepat tarik pulang tangan kanannya.
Tiba-tiba dia menghantam.
Wuuttt! Kipas yang telah patah jadi tiga melesat laksana
anak panah ke arah tiga bagian tubuh Guru Besar
Liang San! Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal.
Meski yang menggebrak ke arahnya hanyalah patahan
kipas, namun patahan itu telah dimuati tenaga dalam
dahsyat. Hingga begitu tiga patahan kipas berkelebat, Guru Besar Liang San
lepaskan pukulan jarak jauh se-
raya membuat gerakan jungkir balik di atas udara.
Dua gelombang keras menderu. Dua patahan kipas
berhasil disapu mental. Namun Guru Besar Liang San
gagal menghalangi satu patahan lainnya. Hingga tanpa ampun lagi patahan satu itu
terus menerabas.
Guru Besar Liang San berseru tertahan tatkala me-
layang turun dan mendapati patahan kipas telah me-
nancap di pundak kanannya dan kucurkan darah!
Orang nomor satu di Perguruan Shaolin ini cepat to-
tok daerah sekitar di mana patahan kipas menancap.
Lalu sekali sentak, patahan kipas telah tercabut dan disentakkan kembali. Bukan
ke arah Hantu Pesolek,
melainkan ke arah Baginda Ku Nang!
Sang Baginda yang telah waspada tekuk kaki ka-
nannya. Tangan kirinya berkelebat. Satu gelombang
dahsyat berkiblat.
Wuusss! Patahan kipas berlumur darah yang baru saja me-
nancap di pundak kanan Guru Besar Liang San tersa-
pu amblas dan langsung berantakan di udara!
Begitu menghadang lesatan kipas, Baginda Ku Nang
terus berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak di hada-
pan Hantu Pesolek dengan tangan meminta dan berka-
ta. "Kau sudah tahu mana yang asli dan mana yang
palsu! Jangan kau ingkar dengan ucapan janjimu! Se-
rahkan separonya lagi padaku!"
Meski masih merasakan nyeri pada lengannya aki-
bat bentrok dengan Guru Besar Liang San, Hantu Pe-
solek gerak-gerakkan kedua tangannya seolah melam-
bai. Lalu angkat suara.
"Aku tidak akan ingkar janji! Tapi kalau Guru Besar
Liang San telah memegang peta palsu, bukan tak
mungkin di tanganmu juga palsu! Dan tidak mustahil
pula masih ada orang di tempat ini yang punya peta
palsu juga! Padahal aku butuh orang yang memegang
peta asli!"
"Aduh.... Bagaimana ini"! Jangan-jangan aku yang
tertipu!" Tiba-tiba terdengar suara seruan mengeluh.
Yang berseru ternyata Dewa Cadas Pangeran.
Orang yang pertama kali berpaling adalah Dewa
Asap Kayangan yang berada tidak jauh di sampingnya.
"Hem.... Begitu"! Ucapanmu menunjukkan satu hal.
Kau juga memegang peta!" Berkata Dewa Asap Kayan-
gan seraya kepulkan asap dari pipa di mulutnya.
Dewa Cadas Pangeran masukkan tangan kanan ke
balik pakaiannya. Semua orang di tempat itu mendelik memperhatikan dengan hati
sama menduga-duga. Tapi
saat lain terdengar beberapa gumaman ketika tangan
kanan Dewa Cadas Pangeran ditarik keluar dan ter-
nyata tidak memegang apa-apa!
"Sontoloyo! Kukira dia punya gelang juga!" gumam
Pendekar 131 lalu arahkan pandang matanya pada
Hantu Pesolek. Saat bersamaan, kepala semua orang
di tempat itu juga segera berpaling.
Saat itulah, Dewa Cadas Pangeran perdengarkan
suara lagi. "Sahabatku Dewa Asap Kayangan...! Coba kau lihat,
apakah ini juga palsu?"
Serta-merta semua kepala di tempat itu kembali
bergerak ke arah Dewa Cadas Pangeran. Semua mata
tampak membeliak memperhatikan tak berkedip pada
sebuah gelang baja di tangan kiri Dewa Cadas Pange-
ran! Gelang itu sama persis dengan gelang yang ada di tangan Baginda Ku Nang dan
gelang yang tadi patah di tangan Guru Besar Liang San!
"Ucapanku benar, bukan"!" ujar Hantu Pesolek. Wa-
lau pemuda berkebaya ini sempat unjukkan muka ter-
kejut, namun segera tersenyum meski dalam hati dia
berkata. "Urusan di tempat ini ternyata tidak se-
mudah yang kuduga! Bagaimana aku bisa memastikan
mana yang benar-benar asli"! Dan tidak tertutup ke-
mungkinan masih ada orang yang memegang gelang
seperti itu!" Sepasang mata Hantu Pesolek menyapu
berkeliling seolah ingin tahu siapa saja yang masih
memegang gelang seperti yang kini berada di tangan
kiri Dewa Cadas Pangeran.
Di lain pihak, Baginda Ku Nang juga membatin.
"Sialan betul! Bagaimana ini bisa terjadi"! Jangan-
jangan gelang di tanganku ini juga palsu! Tapi tak
mungkin! Aku langsung menerimanya malam itu dari
tangan Guru Besar Liang San di Perguruan Shaolin...."
Meski telah membatin begitu, namun Yang Mulia
Baginda Ku Nang masih didera perasaan bimbang dan
gelisah. "Bagaimana..."!" tanya Dewa Cadas Pangeran sam-
bil gerak-gerakkan gelang di tangan kirinya ditunjukkan pada Dewa Asap Kayangan.
Dewa Asap Kayangan semburkan asap pipanya pa-
da gelang di tangan Dewa Cadas Pangeran. Untuk be-


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berapa saat gelang itu terbuntal asap putih.
"Meski aku tidak membukanya, aku bisa mengata-
kan satu hal. Gelang berisi peta di tanganmu adalah
asli!" kata Dewa Asap Kayangan.
Belum habis ucapan Dewa Asap Kayangan, Dewa
Cadas Pangeran telah tarik pulang tangan kirinya. Sekali gerak, tangan kirinya
telah menyelinap dan gelang baja tidak terlihat lagi!
"Aku harus segera tahu mana yang asli dan mana
yang palsu! Jika tidak, urusan di tempat ini akan ber-larut-larut!"
Membatin begitu, Hantu Pesolek segera angkat bi-
cara. "Baginda...! Kalau kau tidak ingin kedatanganmu
sia-sia, lekas perlihatkan kalau gelang di tanganmu
adalah yang asli!"
Sang Baginda terdiam. Sikapnya tampak ragu-ragu.
Saat itulah Dewa Cadas Pangeran berucap.
"Mendiang Guru Besar Pu Yi adalah sahabat baik-
ku. Sahabatku itu bukanlah orang yang mudah di-
kibuli, apalagi dikhianati.... Sebelum terjadinya peristiwa berdarah di
Perguruan Shaolin, dia telah menye-
rahkan gelang padaku! Jadi gelang yang lenyap saat
peristiwa terjadi adalah gelang palsu...."
Habis berucap begitu, Dewa Cadas Pangeran mem-
buat gerakan berkelebat dan tegak di depan Hantu Pe-
solek. Batu di depan wajahnya bergerak-gerak. Namun
masih sanggup menutupi mukanya.
"Sahabatku Hantu Pesolek.... Aku tidak minta kau
serahkan kantong putih di tanganmu padaku. Karena
kalau gelang berisi separo peta wasiat saja bisa dipalsukan, kurasa tidak sulit
juga memalsukan kantong
putih seperti yang ada padamu...."
Tampang Hantu Pesolek berubah sesaat. "Hem....
Jangan-jangan dia tahu...," desisnya dalam hati. Lalu berkata seraya tersenyum.
"Ucapanmu benar! Memang tidak sukar memalsu-
kan kantong seperti yang ada padaku. Tapi aku yakin
di tempat ini tidak ada yang memiliki kantong putih
seperti yang ada padaku!" Mata Hantu Pesolek menya-
pu berkeliling.
Dan begitu ditunggu agak lama tidak ada yang buka
suara menyahut atau memperlihatkan sesuatu, kete-
gangan di wajah Hantu Pesolek sirna. Dia tengadah
dengan mulut hendak angkat bicara.
Tapi sebelum suaranya terdengar, satu suara telah
mendahului. "Aku ingin mengatakan satu hal. Aku memiliki kan-
tong putih!"
Semua orang berpaling pada Dewa Asap Putih yang
baru saja perdengarkan suara. Tapi yang tampak pal-
ing heran dan terkejut besar adalah Pendekar 131 Jo-
ko Sableng. "Busyet! Bagaimana urusan ini bisa ruwet begini
rupa"! Belum tuntas urusan gelang mana yang palsu
dan yang asli, sekarang ada dua kantong! Aku pernah
memegangnya.... Tapi aku tak bisa menentukan mana
yang dulu ada di tanganku! Lagi pula aku tidak yakin benar kalau Dewa Cadas
Pangeran telah diberi gelang
oleh Guru Besar Pu Yi. Kalau betul, Guru Besar Pu Yi pasti memberitakan padaku
saat bertemu dahulu!" Jo-ko berpikir. Matanya terus pandangi tangan kanan
Dewa Asap Kayangan yang ternyata telah memegang
sebuah kantong putih yang bentuk dan warnanya sa-
ma persis dengan kantong putih di tangan Hantu Peso-
lek. Selagi murid Pendeta Sinting berpikir, mendadak Dewa Asap Kayangan
melangkah ke arah Joko. Dia
berhenti enam langkah di depan Joko. Tangan kanan-
nya yang memegang kantong putih diluruskan pada
Pendekar 131 dan berkata.
"Anak muda.... Kau tak perlu mungkir! Kau pernah
memegang kantong putih asli yang berisi separo peta
wasiat! Sekarang kau harus berkata benar serta mau
tunjukkan mana kantong putih yang asli dan mana
yang palsu!"
Meski merasa yakin di tangan Hantu Pesolek adalah
yang asli karena kantong itu diambil dari dirinya, namun Pendekar 131 tidak mau
berterus terang. Dia
anggukkan kepala lalu berkata.
"Aku memang pernah memegang kantong putih!
Jadi aku tahu mana yang asli dan mana yang palsu...."
Joko berpaling pada Hantu Pesolek. Lalu lanjutkan
ucapan. "Hantu Pesolek.... Kau mengambil kantong itu dari
tanganku! Harap kau tidak kecewa kalau kukatakan
jika kantong itu telah kupalsukan! Dan kantong yang
asli kutitipkan pada Kakek sahabatku itu!" Tangan kanan murid Pendeta Sinting
menunjuk pada Dewa Asap
Kayangan. DUA SAKING kagetnya, hampir saja kaki Hantu Pesolek
tersurut ke belakang. Tampangnya mirip seperti waktu Guru Besar Liang San tahu
kalau gelang di tangannya
adalah palsu. "Apakah benar ucapan pemuda asing
itu"!" Hantu Pesolek gelisah dengan dada berdebar.
Dan entah karena apa, tangan kirinya segera menyeli-
nap ke balik pakaiannya. Lalu ditarik keluar lagi dengan menghela napas panjang.
"Tampangmu menunjukkan kau tidak percaya...,"
ujar Joko seraya tertawa. "Itu boleh saja dan urusan-mu! Tapi agar kau lebih
yakin, tidak ada salahnya kalau kau buka kantong itu!"
"Betul! Agar semuanya jadi jelas! Dan tidak ada
yang merasa dirugikan di tempat ini!" Menyahut Dewa
Cadas Pangeran.
"Kau yang buka kantong dahulu!" kata Hantu Peso-
lek pada Dewa Asap Kayangan.
Dewa Asap Kayangan geleng kepala. "Kau yang per-
tama kali tunjukkan kantong! Kau juga yang harus
buka terlebih dahulu!"
"Benar! Yang menunjukkan pertama harus juga
membuka dahulu! Dengan begitu, kuharap Yang Mulia
Baginda Ku Nang sudi membuka gelang di tangan-
nya.... Bukannya aku ingin menjatuhkan. Ini semua
demi jelasnya urusan!" Dewa Cadas Pangeran timpali
kata-kata Dewa Asap Kayangan.
Baik Hantu Pesolek maupun Baginda Ku Nang sa-
ma tegak diam tidak membuat gerakan atau sambuti
ucapan orang. "Hantu Pesolek! Kau tadi berani meminta Guru Be-
sar Liang San untuk membuktikan keaslian benda di
tangannya. Sekarang mengapa kau sendiri terlihat ta-
kut untuk membuktikan keaslian benda di tangan-
mu"!" Joko berucap.
"Siapa takut"!" sentak Hantu Pesolek panas men-
dengar ucapan murid Pendeta Sinting. Diangkat tan-
gannya yang memegang kantong. "Terus terang saja....
Kantong yang kalian lihat ini adalah palsu!" Hantu Pesolek campakkan kantong di
tangannya. Lalu lan-
jutkan ucapan. "Aku tahu bagaimana watak orang dunia persilatan.
Untuk itulah aku terpaksa melakukan ini!"
"Jahanam! Kau berani berkata dusta dan menipu!"
Baginda Ku Nang berteriak. Kalau saja Panglima Muda
Lie tidak segera mencegah, tentu sang Baginda sudah
berkelebat dan lepaskan pukulan.
Sementara Hantu Pesolek tampak tenang-tenang
saja. Malah saat lain dia berkata.
"Hantu Pesolek tidak akan pernah berkata dusta
atau menipu!"
Tangan kanan Hantu Pesolek menyelinap ke balik
pakaiannya. Lalu tampaklah sebuah kantong putih
yang baik warna dan bentuknya sama persis dengan
kantong yang baru saja dicampakkan serta kantong
yang berada di tangan kanan Dewa Asap Kayangan.
"Busyet! Hampir saja aku terkecoh!" kata Joko da-
lam hati. Lalu memandang ke arah Dewa Asap Kayan-
gan. Belum sampai orang tua yang selalu mengisap pi-
pa buka suara, Hantu Pesolek telah angkat bicara.
"Dewa Asap Kayangan! Sekarang giliranmu membu-
ka kantong! Karena aku telah turuti permintaanmu!"
"Bagaimana bisa begitu"! Kau harus paham satu
hal. Misteri kantong di tanganmu belum tersingkap.
Bukan tidak mungkin kau masih memiliki kantong
lain. Setelah semua kantongmu kau ungkap, baru tiba
giliranku! Kalau kau tidak mau, aku tidak sudi mem-
buka kantongku! Yang jelas, pemuda sahabatku itu te-
lah mengatakan kantongkulah yang asli...."
Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berpal-
ing pada Dewa Cadas Pangeran dan berkata.
"Sahabatku Dewa Cadas Pangeran. Sudah saatnya
kita tinggalkan tempat ini. Kita sama-sama memegang
peta yang asli. Untuk apa lagi kita berada di sini"! Bukankah kehadiranmu di
tempat ini hanya untuk men-
getahui siapa sebenarnya yang memegang separo dari
peta wasiat di tanganmu"!"
"Ah.... Benar juga! Tapi agar perjalanan kita lebih
asyik, apakah tidak kita pilih saja salah seorang perempuan di antara yang hadir
di tempat ini" Kau bawa satu aku bawa satu...!"
"Usulan hebat!" ujar Dewa Asap Kayangan. Orang
tua ini arahkan pandang matanya berkeliling pada sa-
tu persatu perempuan di tempat itu. Saat lain dia angkat tangan kanannya yang
memegang kantong lalu
menunjuk ke arah perempuan bercadar hitam yang
tadi tegak tidak jauh dari tempatnya!
"Aku pilih dia!"
Sepasang mata perempuan bercadar hitam lang-
sung mendelik angker. Namun dia tidak sambuti sikap
Dewa Asap Kayangan.
Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran putar tubuh-
nya setengah lingkaran dan berhenti tepat menghadap
Ratu Selendang Asmara yang tegak berdampingan
dengan murid tunggalnya Dewi Bunga Asmara! Tangan
kanannya menunjuk lurus ke arah si nenek dan beru-
jar keras. "Selera manusia memang beda. Dan harap kau ti-
dak keberatan kalau aku jatuhkan pilihan pada nenek
cantik itu, sahabatku Dewa Asap Kayangan...."
Dewa Asap Kayangan tertawa bergelak. "Aku tidak
boleh menghalangi pilihan orang, apalagi kau adalah
sahabatku! Hanya saja, kalau aku boleh mengatakan
satu hal. Apa tidak lebih baik yang muda saja"! Perjalanan yang kita tempuh
bukan perjalanan pendek. Di-
butuhkan tenaga dan tubuh yang kuat!"
"Di sini memang banyak perempuan muda dan can-
tik. Tapi aku masih yakin, nenek itu mampu meng-
iringi perjalanan kita!"
"Keparat! Siapa sudi pergi bersamamu"!" Ratu Se-
lendang Asmara berteriak marah. "Lagi pula aku tidak percaya gelang di tanganmu
adalah yang asli!"
"Nek.... Kurasa perjalanan ini tidak ada kaitannya
dengan peta itu.... Kita melakukan perjalanan berse-
nang-senang...." Dewa Asap Kayangan menyahut.
Habis berkata begitu, orang tua yang selalu meng-
isap pipa ini melangkah ke arah perempuan bercadar
hitam. Sementara Dewa Cadas Pangeran tenang-
tenang juga bergerak ke arah Ratu Selendang Asmara!
"Kita selesaikan dulu urusan peta itu!" Hampir ber-
samaan Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang berseru.
Laksana dikomando, Dewa Asap Kayangan dan De-
wa Cadas Pangeran hentikan langkah masing-masing.
"Bagaimana enaknya"!" bisik Dewa Asap Kayangan.
"Sekarang kau pilih saja. Kau berat peta itu atau
berat jalan bersenang-senang ini"!" Dewa Cadas Pan-
geran menjawab.
"Kalau kau pilih yang mana"!" Dewa Asap Kayangan
balik bertanya.
Dewa Cadas Pangeran berpikir sesaat. Lalu bergu-
mam keras. "Usia kita telah di ambang kubur. Meski di tangan
kita ada peta wasiat, apa gunanya"! Kita tidak bisa
mengambil apa-apa dari peta wasiat itu! Lain halnya
kalau kita pilih melakukan kesempatan bagus seperti
sekarang ini"!"
"Hem.... Begitu"! Lalu apa yang harus kita laku-
kan"!"
Dewa Cadas Pangeran tidak menjawab. Sebaliknya
memutar tubuh menghadap Pendekar 131. Lalu me-
lakukan hal yang sama sekali tidak diduga oleh semua orang di tempat itu!
Tangan kiri Dewa Cadas Pangeran yang memegang
gelang baja berkelebat lemparkan gelang baja pada
murid Pendeta Sinting!
Belum habis rasa kejut semua orang di puncak bu-
kit, tiba-tiba Dewa Asap Kayangan ikut-ikutan lemparkan kantong putih yang ada
di tangan kanannya!
Karena terkesima dan tidak menduga, apa pun yang
dilakukan orang di tempat itu, sudah sangat terlambat untuk melakukan hadangan
menyambar gelang baja
dan kantong putih yang kini tengah melesat ke arah
murid Pendeta Sinting!
Di lain pihak, tanpa menunggu lama lagi, Joko se-
gera berkelebat. Kedua tangannya menyambar gelang
baja dan kantong putih.
"Anak muda.... Kantong itu kukembalikan padamu.
Dan sampai di sini saja pertemuan kita! Sampaikan
salamku untuk gadis cantik yang jalan bersama kita
kemarin...." Dewa Asap Kayangan berkata seraya ha-
dapkan wajahnya pada Dewi Bunga Asmara.
Paras Dewi Bunga Asmara bersemu merah. Namun
Ratu Selendang Asmara tampak cemberut dan pasang
tampang angker. Nenek ini segera berbisik pada mu-
ridnya. "Bang Sun Giok! Aku tak suka kau menjalin hubu-
ngan dengan pemuda itu! Aku tak suka! Kau dengar"!"
Dengan melirik pada Pendekar 131, Bang Sun Giok
alias Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala.


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Tapi ingat! Sekali aku melihat atau telinga-
ku dengar kau bersama pemuda itu, kau akan tahu
akibatnya!" kata Ratu Selendang Asmara pula.
"Anak muda...." Kini Dewa Cadas Pangeran yang
angkat bicara. "Gelang itu kuserahkan padamu! Uru-
san selanjutnya kau yang punya! Tapi sebelum aku
angkat kaki dari sini, boleh aku tahu sesuatu"!"
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala dengan
pandangi gelang dan kantong di tangan kanan kirinya.
"Sikap gadis cantik yang tegak di samping nenek
itu, serta pandang matamu menunjukkan kalian me-
nyimpan sesuatu. Kau naksir padanya"!"
Pendekar 131 tergagu tak bisa menjawab. Di lain
pihak, Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah
dengan dada berdebar. Namun diam-diam gadis muda
berparas cantik ini pasang telinga baik-baik ingin dengar jawaban murid Pendeta
Sinting. Di lain tempat, Mei Hua yang berada di samping
ayahnya, Panglima Muda Lie tegak mematung dengan
dada berguncang. Diam-diam gadis yang menyukai
Joko ini coba menahan perasaan dan menunggu de-
ngan alihkan pandangan ke jurusan lain.
"Aku telah melihat sendiri bagaimana pemuda itu
bermesraan dengan gadis murid Ratu Selendang As-
mara.... Tapi mengapa aku masih saja tidak kuasa un-
tuk membencinya"!" Mei Hua membatin.
Kalau sikap Mei Hua tampak gelisah, di lain tempat,
perempuan bercadar hitam juga terlihat resah begitu
mendengar pertanyaan Dewa Cadas Pangeran yang ti-
dak segera dijawab oleh murid Pendeta Sinting. Dia
lontarkan pandangan pada Joko lalu beralih ke arah
Dewi Bunga Asmara. Dia menghela napas panjang be-
berapa kali seolah tidak sadar menunggu Joko buka
mulut. "Anak muda.... Aku sudah ajukan tanya. Kau tadi
sudah anggukkan kepala. Mengapa kau tidak segera
memberi jawaban"!" Dewa Cadas Pangeran berkata.
"Sialan benar! Bagaimana aku harus menjawabnya
di depan banyak orang begini rupa"! Sementara aku
merasa Mei Hua amat cemburu pada Dewi Bunga As-
mara! Dan Bidadari Bulan Emas tampaknya juga tidak
suka! Hem...." Pendekar 131 Joko Sableng digelayuti
berbagai perasaan. Hingga meski Dewa Cadas Pange-
ran telah bertanya lagi, namun dia belum juga buka
mulut memberi jawaban.
"Anak muda.... Aku perlu jawabanmu! Kau tak usah
malu-malu. Jika kau memang mencintainya, aku ber-
sedia melamar! Soalnya sebentar lagi aku akan berja-
lan-jalan dengan gurunya...."
"Kek! Ajukanlah seribu pertanyaan. Aku dengan se-
nang hati akan menjawab sebagai imbalan atas kese-
diaanmu memberikan gelang ini. Tapi jangan kau ber-
tanya yang ada hubungannya dengan urusan cinta...."
"Aku tahu.... Kau takut dengan nenek cantik ini!"
Yang bicara Dewa Asap Kayangan. "Kau tak usah ta-
kut, Anak Muda.... Kalau sahabatku Dewa Cadas Pa-
ngeran bersedia melamar untukmu, aku menawarkan
diri untuk merayu gurunya.... Kau tahu beres saja!"
"Kek! Aku ucapkan terima kasih atas pemberianmu
dan tawaranmu. Hanya saja, urusan yang dikatakan
Kakek Dewa Cadas Pangeran biarlah kuselesaikan
sendiri...."
"Kau telah dengar jawabannya!" kata Dewa Asap
Kayangan pada Dewa Cadas Pangeran. "Apa lagi yang
kita tunggu"!"
Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepala. Batu pu-
tih yang selalu menutupi wajahnya bergerak-gerak. La-lu orang ini memberi
isyarat. Saat berikutnya Dewa
Cadas Pangeran bergerak langkahkan kaki ke arah Ra-
tu Selendang Asmara. Sementara Dewa Asap Kayangan
melangkah ke arah perempuan bercadar seraya ber-
siul-siul. Baru saja Dewa Cadas Pangeran melangkah lima
tindak, tiba-tiba Ratu Selendang Asmara telah angkat kedua tangannya lalu
dihantamkan pada Dewa Cadas
Pangeran, lepaskan pukulan jarak jauh.
"Mati aku!" seru Dewa Cadas Pangeran. Meski dia
masih punya kesempatan untuk menghadang pukulan
si nenek, tapi orang ini tidak berusaha menghadang
pukulan yang menggebrak ke arahnya. Dia hanya te-
gak mematung seolah pasrah!
Setengah depa lagi gelombang pukulan Ratu Se-
lendang Asmara menghantam telak sosok Dewa Cadas
Pangeran dan orang ini belum juga membuat gerakan,
Dewa Asap Kayangan berseru.
"Usiamu memang telah mendekati liang kubur. Tapi
tidak seharusnya kau sia-siakan begini rupa!"
Sekali membuat gerakan, sosok Dewa Cadas Pange-
ran telah diseretnya lima langkah. Saat lain Dewa Asap Kayangan kembungkan mulut
lalu menyembur.
Wuusss! Terdengar deruan dahsyat. Gulungan asap putih
berkiblat cepat lalu menghadang gelombang pukulan
Ratu Selendang Asmara.
Blammm! Bukit Toyongga bergetar. Sosok Ratu Selendang As-
mara terhuyung-huyung. Untung Dewi Bunga Asmara
segera bertindak palangkan kedua tangannya di bela-
kang tubuh si nenek. Jika tidak, sosoknya pasti ter-
jengkang jatuh!
Di lain pihak, sosok Dewa Asap Kayangan bergerak
pulang balik ke samping kiri kanan.
"Hai! Mengapa kau menari sendirian"!" Dewa Cadas
Pangeran berseru. Lalu tenang-tenang saja mendekati
Dewa Asap Kayangan. Sekali cekal, gerakan sosok De-
wa Asap Kayangan terhenti.
"Tampaknya kita gagal melakukan perjalanan ber-
senang-senang ini! Tapi tak ada salahnya kita me-
nunggu. Siapa tahu hati nenek cantik itu berubah!"
kata Dewa Cadas Pangeran lalu menuntun Dewa Asap
Kayangan. "Perempuan bercadar hitam yang kau pilih itu tam-
paknya tidak merasa keberatan. Kita tunggu di dekat-
nya sampai hati nenek yang kupilih itu mencair!" Dewa Cadas Pangeran berkata
lagi seraya arahkan langkahnya berbelok pada perempuan bercadar hitam.
"Hem.... Begitu"! Kau perlu tahu satu hal, Saha-
batku! Inilah akibatnya kalau kau salah memilih! Lain hari, kuharap kau pandai-
pandai memandang sebelum
jatuhkan pilihan!" Berkata Dewa Asap Kayangan sam-
bil menurut saja dibimbing Dewa Cadas Pangeran ke
arah perempuan bercadar hitam.
TIGA MUNGKINKAH yang ada di tanganku ini berisi peta
wasiat yang asli?" Joko bertanya sendiri dalam hati
sambil melirik pada tangan kanan kirinya yang meme-
gang gelang baja dan kantong putih.
Karena yang pernah berada di tangannya adalah
kantong putih, Joko lebih perhatikan kantong putih
yang ada di tangan kanannya.
"Sulit menentukan apakah kantong ini yang pernah
berada di tanganku.... Bentuk dan warnanya sama!"
Dia lalu arahkan pandangannya pada tangan kanan
Hantu Pesolek yang juga memegang kantong putih.
"Hem.... Bagaimanapun juga aku masih yakin jika
kantong di tangan Hantu Pesolek itulah yang asli!"
Saat lain murid Pendeta Sinting ini memandang pada
Yang Mulia Baginda Ku Nang yang memegang gelang
baja. "Kalau melihat gelang yang tadi ada di tangan Guru
Besar Liang San adalah palsu, mungkin ucapan Ba-
ginda Ku Nang itu benar! Jadi gelang baja di tangan-
nya yang asli! Tapi.... Aku harus dapat menggunakan
apa yang ada di tanganku ini untuk mendapatkan
yang asli! Dua kakek itu memberikan gelang dan kan-
tong pasti dengan maksud tertentu! Aku harus dapat
menggunakannya!"
Habis membatin begitu, Pendekar 131 memandang
pada Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran
yang telah tegak tidak jauh dari perempuan bercadar
hitam. Lalu angkat bicara.
"Kakek berdua! Sekali lagi kuucapkan terima ka-
sih!" Joko menjura hormat. "Apakah kalian masih me-
nunggu nenek cantik itu"!"
"Ini urusanmu!" kata Dewa Asap Kayangan pada
Dewa Cadas Pangeran. "Kau yang harus menjawab-
nya!" "Anak muda.... Aku memang akan bersabar me-
nunggu! Menghadapi orang tua beda dengan mengha-
dapi orang muda! Harus perlahan-lahan dan sedapat
mungkin lipat gandakan rayuan. Karena sebagai orang
tua, tentu telah banyak makan asam garam pengala-
man, hingga tidak mudah untuk membuatnya percaya!
Tapi kalau sudah percaya, kau mungkin tak bisa mem-
bayangkan dan kau pasti akan memilih orang tua se-
bagai pendamping hidup! Bukan gadis-gadis muda
yang bukan saja mudah bertekuk lutut pada rayuan
tapi juga masih berpindah hati pada orang lain...."
Tampang Ratu Selendang Asmara yang merasa ter-
sindir oleh ucapan Dewa Cadas Pangeran tampak me-
rah mengetam. Kalau saja dia tidak sadar tengah ber-
hadapan dengan siapa dan Dewi Bunga Asmara tidak
cepat mencegah, pasti nenek ini telah melesat dan
menggebuk Dewa Cadas Pangeran.
"Kalau begitu, kuucapkan selamat tinggal. Aku ha-
rus pergi dahulu!" kata Joko seraya selinapkan gelang baja dan kantong putih ke
balik pakaiannya. Sebenarnya ucapan ini dikatakan murid Pendeta Sinting
agar semua tahu bahwa dia bersungguh-sungguh akan
pergi, meski sebenarnya ucapan itu hanya tipu musli-
hat. "Soal lamaran itu bagaimana"!" tanya Dewa Cadas
Pangeran. "Juga soal rayu merayu nenek itu bagaimana"!"
Dewa Asap Kayangan menimpali.
"Itu bisa kita bicarakan nanti kalau kita bertemu
lagi...! Kuucapkan selamat bersenang-senang!"
Selagi Joko dan Dewa Cadas Pangeran serta Dewa
Asap Kayangan berbincang, Hantu Bulan Emas yang
tegak tidak jauh dari muridnya Bidadari Bulan Emas
berbisik. "Menurutmu, mana yang asli"! Yang ada di tangan
si pemuda atau yang ada di tangan Hantu Pesolek dan
Baginda Ku Nang"!"
Yang ditanya geleng kepala. "Aku memang telah me-
nyelidik. Tapi yang kudapat cuma keterangan ciri-ciri di mana peta wasiat itu
tersimpan. Anehnya, semua ci-ri-ciri itu ada pada gelang baja dan kantong baik
yang ada di tangan pemuda itu maupun yang ada di tangan
Hantu Pesolek dan Baginda Ku Nang!"
Hantu Bulan Emas menghela napas panjang. "Tidak
kuduga kalau terjadi hal seperti ini! Tapi aku hampir yakin yang asli berada di
tangan pemuda itu!"
"Mengapa Guru menduga begitu"!" tanya Bidadari
Bulan Emas. "Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan
bukanlah tokoh sembarangan. Tidak mungkin mereka
berdua menyimpan barang palsu!"
"Tapi mengapa mereka memberikan pada pemuda
itu"! Bukankah peta wasiat itu benda yang berharga"!"
"Itulah keanehan mereka! Mereka akan memberikan
apa saja pada orang yang dikehendaki meski apa yang
diberikan adalah benda berharga!"
Hantu Bulan Emas pandangi murid Pendeta Sin-
ting. "Aku harus melakukan sesuatu!"
"Tunggu!" tahan Bidadari Bulan Emas. Hantu Bulan
Emas berpaling. Sekilas pandang dia sudah dapat
membaca apa yang ada dalam benak muridnya.
"Kau tertarik pada pemuda itu"!" tanya Hantu Bu-
lan Emas. Raut wajah Bidadari Bulan Emas berubah. Meski
perempuan cantik ini tidak memberi jawaban, sang
Guru tampaknya maklum. Dia segera berbisik.
"Peta wasiat itu lebih berharga dari tubuhnya! Kau
harus ingat itu!"
"Tapi kita dapat menyelesaikannya dengan baik-
baik.... Harap serahkan urusan ini padaku!"
Hantu Bulan Emas geleng kepala. "Kau sudah ku-
serahi urusan ini. Namun buktinya kau gagal!"
"Kegagalanku karena ada pihak lain yang ikut cam-
pur! Lagi pula saat itu dia belum memegang peta wa-
siat!" "Itu bukan alasan tepat! Yang jelas kau gagal mem-
bawa peta wasiat itu!"
"Guru.... Kumohon padamu kali ini... Serahkan
urusan ini padaku! Aku berjanji akan membawa peta
wasiat itu untukmu...."
"Hem.... Lalu apa yang akan kau lakukan"!"
"Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi kali ini
aku yakin bisa mendapatkannya.... Percayalah!" rajuk Bidadari Bulan Emas dengan
wajah memelas. Namun Hantu Bulan Emas seolah tidak pedulikan
kecemasan muridnya. Dia gelengkan kepala dan berbi-
sik lagi. "Aku akan selesaikan urusan dengan pemuda itu
secara baik-baik. Tapi jika gagal, aku tahu apa jalan yang terbaik!"
"Guru...," kata Bidadari Bulan Emas seraya cekal
lengan tangan Hantu Bulan Emas. Namun sebelum si
murid berkata lagi, sang Guru telah mendahului. "Aku tahu kau tertarik padanya.
Namun itu bukan halangan
bagiku! Dan kalau kau ikut campur urusan ini, aku
tak segan-segan membunuhmu!"
Hantu Bulan Emas tepiskan cekalan tangan Bida-


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Bulan Emas. Lalu sekali melompat, sosoknya te-
lah tegak menghadang di depan Pendekar 131!
Di pihak lain, karena masih yakin gelang di tangan
Yang Mulia Baginda Ku Nang adalah yang asli juga ka-
rena pengkhianatan yang dilakukan sang Baginda, be-
gitu Hantu Bulan Emas berkelebat menghadang murid
Pendeta Sinting, Guru Besar Liang San tidak sia-sia-
kan kesempatan. Laki-laki berkepala gundul ini laksa-na terbang melompat ke arah
Baginda Ku Nang.
"Aku minta kau serahkan gelang itu padaku secara
baik-baik seperti saat aku memberikannya padamu,
Yang Mulia!" kata Guru Besar Liang San.
Panglima Muda Lie akan bergerak maju. Namun
sang Baginda palangkan tangan mencegah. Sang Ba-
ginda maju satu tindak. Dengan senyum dingin dia
berkata. "Guru Besar! Urusan di antara kita kuanggap sele-
sai begitu kau memberikan gelang ini setelah kau dan aku bersekongkol membunuh
Guru Besar Pu Yi dan
Maha Guru Besar Su Beng Siok!"
"Di antara kita tidak ada perjanjian begitu!" sentak Guru Besar Liang San.
"Hem.... Jadi kau pikir aku bersedia membantumu
tanpa imbalan. Begitu..." Kau kira aku mau kau ajak
bersekongkol dengan suka rela, begitu"!" Sang Baginda tertawa pendek. Lalu
gelengkan kepala dan lanjutkan
ucapan. "Seharusnya kau bersyukur aku tidak minta imba-
lan nyawamu sekalian, Guru Besar! Sebab imbalan ge-
lang ini saja rasanya masih kurang! Apalagi ternyata kau telah berani
berkhianat!"
"Kau yang licik! Kau yang berkhianat terlebih dahu-
lu!" "Aku tidak bodoh, Guru Besar! Kalau kau berani
bersekongkol membunuh Guru Besar Pu Yi dan Maha
Guru Besar Su Beng Siok yang keduanya adalah sau-
dara dan gurumu, tentu kau tak segan-segan pula ber-
sekongkol dengan orang lain untuk membunuhku!
Apalagi kita berdua sama pegang rahasia!"
"Kau yang mengajakku bersekongkol! Bukan aku!"
"Itu bukan masalah! Yang jelas kau telah berse-
kongkol membunuh saudara dan gurumu!"
Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan kema-
rahan. Dia cepat melompat. Tangan kirinya menghan-
tam ke arah kepala sang Baginda, tangan kanan berke-
lebat menyambar ke arah gelang yang ada di tangan
sang Baginda. Walau masih terbetik rasa ragu akan gelang baja
yang berada di tangannya, Baginda Ku Nang tidak be-
gitu saja mendiamkan gerakan Guru Besar Liang San
yang coba merebut gelang baja dari tangannya.
Dengan kecepatan luar biasa, sang Baginda selinap-
kan gelang baja ke balik pakaiannya. Lalu rundukkan
kepala dan menghadang hantaman lawan dengan ang-
kat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkkk! Dua pasang tangan bentrok di udara perdengarkan
benturan keras. Paras masing-masing orang langsung
berubah dan kaki mereka sama tersurut dua langkah.
Guru Besar Liang San pandangi sang Baginda de-
ngan sorot mata menyengat. Dia segera lipat gandakan tenaga dalam, karena dia
sadar yang dihadapi bukan
saja seorang penguasa tanah Tibet, melainkan bekas
seorang tokoh dunia persilatan yang pernah memimpin
perguruan silat.
Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya lalu
ditakupkan di depan dada. Sepasang matanya dipe-
jamkan. Di seberang, Baginda Ku Nang tidak tinggal
diam. Dia juga maklum siapa lawan yang dihadapi.
Hingga bukan saja dia segera lipat gandakan tenaga
dalam, namun segera berkelebat mendahului.
Setengah jalan, sang Baginda tampak sedikit terke-
jut melihat Guru Besar Liang San tidak membuat ge-
rakan. Padahal dia yakin, Guru Besar Liang San tahu
dirinya telah berkelebat hendak menghantam.
Meski merasa aneh dengan sikap Guru Besar Liang
San, namun akhirnya Baginda Ku Nang tidak ambil
peduli. Dengan tingkatkan kewaspadaan, dia teruskan
kelebatan. Dan begitu tepat berada di depan Guru Be-
sar Liang San, kedua tangannya segera lepaskan pu-
kulan ke arah dada!
Karena Guru Besar Liang San tidak juga membuat
gerakan untuk menghadang pukulan lawan, tanpa
ampun lagi kedua tangan Baginda Ku Nang mengge-
brak. Bukkk! Bukkkk! Terdengar seruan tertahan. Anehnya, bukan dari
mulut Guru Besar Liang San yang dadanya terhantam
kedua tangan Baginda Ku Nang, melainkan dari mulut
sang Baginda sendiri! Malah saat itu juga kedua tan-
gan sang Baginda langsung mencelat mental dan so-
soknya tersurut mundur tiga langkah!
Bukan hanya sang Baginda yang terkejut, tapi
hampir semua orang yang berada di puncak bukit
sempat terkesima. Sebagian dari mereka memang tahu
jika Guru Besar Liang San sanggup menahan pukulan.
Tapi mereka tidak menduga kalau dia mampu mena-
han gebrakan Baginda Ku Nang.
Mungkin merasa malu dan telanjur berterus terang
tentang apa yang telah terjadi, Baginda Ku Nang tidak mau bertindak tanggung-
tanggung. Malah dia telah
bertekad untuk membunuh semua orang yang hadir di
puncak Bukit Toyongga. Jika tidak, bukan saja kedu-
dukannya yang akan terancam, namun hal itu akan
menanamkan benih dendam pada dunia persilatan
dan pada akhirnya akan timbul bentrok antara pihak
kerajaan dan kalangan persilatan.
Baginda Ku Nang kerahkan segenap tenaga dalam
dan luarnya. Lalu melangkah dua tindak.
"Kau boleh memilih bagian mana yang kau suka!"
kata Guru Besar Liang San sambil tertawa panjang
tanpa coba membuka mata.
Dada Baginda Ku Nang laksana terbakar. Saat lain
kedua tangannya bergerak. Bukan langsung lepaskan
hantaman, melainkan bergerak menotok berpindah-
pindah ke bagian tertentu dari sosok Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San keraskan kekehan tawanya
seraya berucap. "Kau boleh mencari titik kelemahan-
ku. Tapi jangan mimpi kau bisa menemukannya! Ha....
Ha.... Ha...!"
Baginda Ku Nang tidak ambil peduli dengan ucapan
Guru Besar Liang San. Dia teruskan gerakan menotok
mencari titik lemah orang. Karena dia yakin, titik lemah itu pasti ada.
Namun begitu hampir sekujur tubuh Guru Besar
Liang San telah dicari dan ternyata tidak ditemukan di mana titik lemahnya,
perlahan-lahan dada Baginda Ku
Nang mulai dibayangi perasaan kecut dan gundah.
Walau sepasang matanya terpejam, tampaknya Gu-
ru Besar Liang San bisa membaca apa yang tengah
melanda orang. Kesempatan inilah yang sesungguhnya
ditunggu-tunggu. Karena begitu seseorang mulai re-
sah, maka kewaspadaannya akan berkurang.
Guru Besar Liang San mendadak putuskan tawa-
nya. Saat yang sama, hampir tidak bisa dilihat dengan pandangan mata biasa,
kedua tangan Guru Besar Liang San berkelebat!
Walau Yang Mulia Baginda Ku Nang masih sempat
gerakkan kedua tangan untuk menghadang, tapi kalah
cepat dengan kelebatan kedua tangan Guru Besar
Liang San. Bukkk! Bukkkk! Sosok Baginda Ku Nang terpental dengan mulut
semburkan darah kehitaman. Hebatnya meski sosok-
nya melayang di udara dalam keadaan terluka dalam
cukup parah, namun penguasa Tibet ini masih mampu
membuat gerakan jungkir balik di udara lalu melayang turun dengan kaki terlebih
dahulu. Hanya saja karena telah terluka cukup dalam, begitu kakinya menginjak
tanah, sosoknya langsung goyah lalu jatuh terduduk!
Panglima Muda Lie sempat terkejut. Bukan karena
melihat sosok sang Baginda yang terpental dan jatuh
di atas tanah, melainkan mendapati sang Baginda ma-
sih bertahan meski terkena hantaman telak Guru Be-
sar Liang San! Padahal sang Panglima mengharapkan
sang Baginda langsung tewas!
EMPAT PADA mulanya, Panglima Muda Lie memang dengan
suka rela mengabdikan diri pada kerajaan. Hingga ak-
hirnya laki-laki ini menjadi tangan kanan Baginda Ku Nang. Namun begitu melihat
siapa saja yang muncul di puncak Bukit Toyongga dan tahu rahasia yang telah
dilakukan sang Baginda, mendadak timbul niat dan
harapan lain di benak Panglima Muda Lie.
"Ini kesempatan emas bagiku. Kalau dia tewas, aku-
lah yang akan menggantikan kedudukannyal Aku akan
menjadi raja penguasa tanah Tibet!" Panglima Muda
Lie berkata dalam hati seraya memperhatikan sosok
sang Baginda yang kini terduduk dengan mata terpe-
jam dan tubuh bergetar keras. Tanda orang ini kerah-
kan tenaga untuk kuasai diri.
Sementara itu, mendapati apa yang terjadi pada
sang Baginda, perempuan bercadar hitam tampak ter-
kesiap kaget. Sepasang kakinya tersurut. Entah sadar atau tidak, dia
perdengarkan desisan.
"Heran.... Seharusnya Panglima Muda Lie tidak di-
am begitu saja! Kalaupun dia tidak sempat menolong,
seharusnya dia membantunya ketika tubuh sang Ba-
ginda melayang jatuh di udara!"
"Hem.... Suaramu menunjukkan kau mengkhawa-
tirkan sang Baginda! Pasti kau punya hubungan de-
ngan Baginda itu.... Setidaknya kau kenal baik de-
ngannya...!" Dewa Cadas Pangeran yang duduk ber-
dampingan dengan Dewa Asap Kayangan tidak jauh
dari perempuan bercadar buka suara.
Perempuan bercadar kaget. Namun dia tidak ber-
usaha palingkan kepala ke arah orang di sampingnya.
Matanya tak berkesip terus memperhatikan silih ber-
ganti pada Yang Mulia Baginda Ku Nang dan Panglima
Muda Lie. "Hem.... Kau menduga begitu"!" sambut Dewa Asap
Kayangan. "Jika benar dan seandainya aku jadi pe-
rempuan bercadar hitam itu, aku akan lakukan satu
hal!" "Apa yang akan kau lakukan"!" tanya Dewa Cadas
Pangeran. "Aku akan cepat membantunya!"
"Mengapa begitu"!"
"Aku mencium bau tak enak. Bau sebuah pengkhi-
anatan!" Dewa Cadas Pangeran tertawa. "Pengkhianatan itu
sudah berlangsung. Mengapa kau baru merasakan
baunya sekarang"!"
"Pengkhianatan yang satu memang telah terjadi.
Tapi kali ini mungkin akan terjadi pengkhianatan
lain...." "Kau bisa menjelaskan lebih rinci"!" tanya Dewa
Cadas Pangeran.
Dewa Asap Kayangan gelengkan kepala. "Bukan
penjelasan rinci yang harus didengarkan. Tapi tinda-
kan cepat yang harus segera dilakukan!"
"Pembicaraan mereka membuat hatiku tidak
enak...," Perempuan bercadar hitam membatin. "Tinda-
kan mereka aneh-aneh. Dan tampaknya dia bisa mem-
baca sikap orang.... Jangan-jangan mereka tahu siapa diriku! Tapi.... Ah, apa
peduliku"! Aku memang harus segera lakukan sesuatu untuk membantunya!"
Perempuan bercadar hitam melirik sesaat pada dua
kakek di sampingnya, lalu membuat gerakan berkele-
bat ke arah Yang Mulia Baginda Ku Nang.
Tapi baru saja sosok perempuan bercadar bergerak,
di depan sana, Panglima Muda Lie sudah melesat ke
arah sang Baginda dan langsung jongkok di hadapan
penguasa tanah Tibet itu yang masih pejamkan mata
kerahkan tenaga dalam.
Guru Besar Liang San yang tadi juga akan berkele-
bat susuli pukulannya segera urungkan niat. Di lain
pihak, perempuan bercadar hitam juga batalkan kele-
batan sambil menghela napas lega.
Namun kelegaan perempuan bercadar hitam cuma
sekejap. Di lain saat sepasang matanya mendelik. Dia coba berteriak, namun
suaranya laksana tersumbat di
tenggorokan. Sementara semua orang di tempat itu tak kalah ka-
getnya. Namun mereka tidak coba membuat gerakan.
Hanya Joko yang sempat berseru.
"Tahan!" Hanya itu yang bisa dilakukan murid Pen-
deta Sinting, karena selain dirinya dihadang Hantu Bulan Emas, apa pun yang akan
dilakukan tidak mung-
kin bisa membantu.
"Kau!" Itulah satu-satunya suara yang terdengar da-
ri mulut Yang Mulia Baginda Ku Nang saat sepasang
matanya terbuka demi merasakan ada seseorang yang
di dekatnya. Sang Baginda sempat anggukkan kepala
dan tersenyum melihat siapa yang ada di depannya.
Tapi anggukan kepala sang Baginda terhenti seketi-
ka. Senyumnya pupus laksana disabet setan. Sepa-
sang matanya membelalak memperhatikan tangan ka-
nan orang kepercayaannya, Panglima Muda Lie, yang
ayunkan sebilah pisau pendek berkilat ke arah dada-
nya! Bruusss! Luka dalam yang diderita membuat Yang Mulia Ba-
ginda Ku Nang terlalu lamban untuk membuat ge-
rakan. Hingga tanpa ampun lagi pisau pendek di tan-
gan Panglima Muda Lie leluasa menembus dadanya!
Darah segar muncrat dan sebagian memerciki wa-


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jah Panglima Muda Lie. Sosok sang Baginda langsung
terguling roboh dengan tangan menunjuk-nunjuk pada
sang Panglima. Dia berusaha buka mulut. Namun
meski mulutnya terbuka menganga, tidak ada suara
yang terdengar. Malah saat lain tangannya terkulai
dan nyawanya melayang!
Walau pada mulanya hanya menginginkan tewas-
nya Baginda Ku Nang agar bisa menggantikan kedudu-
kannya sebagai Penguasa Tibet, namun begitu sang
Baginda benar-benar tewas, kini bukan kedudukannya
saja yang diincar, tapi juga gelang yang ada di balik pakaiannya, meski sang
Panglima belum tahu persis
mana yang asli dan mana yang palsu. Hingga hampir
bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Baginda, Pan-
glima Muda Lie segera melompat.
Tewasnya sang Baginda membuat Guru Besar Liang
San sunggingkan senyum. Namun begitu melihat gela-
gat tidak baik dari gerakan Panglima Muda Lie, laki-
laki berkepala gundul ini tidak berpangku tangan. Dia segera berkelebat pula.
Namun gerakannya didahului
oleh perempuan bercadar hitam yang tahu-tahu sudah
tegak tidak jauh dari Panglima Muda Lie!
"Jahanam pengkhianat!" teriak perempuan bercadar
hitam. Tangan kiri kanannya berkelebat menghantam.
Keserakahan membuat Panglima Muda Lie tidak hi-
raukan pukulan yang dilepas perempuan bercadar hi-
tam. Laki-laki yang dulu pernah menjadi orang keper-
cayaan sang Baginda ini teruskan niat untuk me-
ngambil gelang baja dari balik pakaian sang Baginda.
Bersamaan dengan tergenggamnya gelang di tangan
sang Panglima, dua hantaman perempuan bercadar hi-
tam sampai. Bukkk! Bukkkk! Panglima Muda Lie berseru tertahan. Sosoknya ter-
jungkal jatuh menyongsong tanah. Dia merasakan
punggungnya laksana dihantam kayu besar hingga
dadanya berdenyut sakit dan sukar bernapas. Namun
sang Panglima tidak hendak lepaskan gelang yang te-
lah berada di tangannya. Dia pegang erat-erat gelang itu lalu bergerak bangkit.
Namun belum sampai tubuhnya benar-benar ber-
diri, satu bayangan berkelebat. Dua tangan menyam-
bar ganas perdengarkan deruan dahsyat, tanda han-
taman kedua tangan itu telah dialiri tenaga dalam cukup tinggi.
Panglima Muda Lie papasi kelebatan kedua tangan
dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya me-
megang gelang baja. Hal ini membuat dia hanya bisa
menghadang kelebatan satu tangan sementara keleba-
tan tangan lainnya tidak bisa dibendung.
Bukkkk! Panglima Muda Lie mencelat mental lalu terjeng-
kang roboh dengan mulut mengembung dan sembur-
kan darah. Laki-laki ini cepat palingkan kepala. Sejarak lima langkah, terlihat
Guru Besar Liang San tegak dengan tersenyum dingin.
"Nyawamu di ujung tanduk! Membunuhmu semu-
dah membalik telapak tangan! Tapi aku masih bermu-
rah hati jika kau serahkan gelang itu secara baik-
baik!" berkata Guru Besar Liang San yang baru saja
membuat sosok sang Panglima terjengkang roboh dan
muntahkan darah.
Panglima Muda Lie menyeringai. Tanpa buka suara,
dia bergerak bangkit. Namun baru saja bergerak, so-
soknya kembali jatuh! Dari mulutnya kembali muntah-
kan darah. "Waktumu tidak banyak! Kau harus segera tentu-
kan pilihan!" kembali Guru Besar Liang San angkat bicara.
Karena Panglima Muda Lie tidak memberi jawaban
atau membuat tanda-tanda akan serahkan gelang baja
di tangannya, Guru Besar Liang San habis kesabaran.
Dia melangkah mendekati dengan pandangan garang.
"Nyawanya untukku!" Mendadak perempuan berca-
dar hitam berseru. Perempuan ini segera pula melang-
kah ke arah Panglima Muda Lie.
Tapi baru saja mendapat dua tindak, satu sosok tu-
buh melesat dan tegak membelakangi sang Panglima
menghadap perempuan bercadar hitam.
"Mei Hua!" desis perempuan bercadar hitam.
Sosok yang tegak membelakangi sang Panglima bu-
kan lain memang Mei Hua. Putri Panglima Muda Lie.
Gadis cantik ini sebenarnya juga merasa terkejut dengan tindakan yang dilakukan
ayahnya. Dia pada mu-
lanya menduga kalau ayahnya akan membantu sang
Baginda. Bukan membunuhnya. Dia juga sebenarnya
tak suka dengan tindakan ayahnya. Namun se-bagai
anak, dia tidak akan tinggal diam melihat ayah-nya dibunuh orang di depan
matanya meski ayahnya telah
melakukan perbuatan tidak terpuji.
"Mei Hua! Kau sadar apa yang kau lakukan"!" ber-
tanya perempuan bercadar hitam.
Mei Hua terkesiap kaget. Bukan saja karena men-
dapati si perempuan bercadar hitam telah mengenali
dirinya, namun telinganya terasa tidak asing dengan
suara si perempuan bercadar hitam.
"Aku kenal dengan suaranya! Tapi mungkinkah
dia"!" kata Mei Hua dalam hati. Lalu angkat suara.
"Siapa kau sebenarnya"!"
"Saatnya nanti kau akan tahu sendiri! Sekarang
menyingkirlah!"
Mei Hua gelengkan kepala. "Ayahku memang telah
bertindak tidak terpuji. Dia memang pantas mendapat
hukuman! Tapi bukan kau yang harus melakukan-
nya!" "Di atas jagat raya ini, akulah satu-satunya orang
yang paling berhak atas selembar nyawa ayahmu!"
Mei Hua tampak bimbang. "Jangan-jangan memang
dia! Tapi bukan mustahil pula orang lain.... Suara bisa sama, namun wajah belum
tentu tidak beda!"
"Apa hubunganmu dengan Baginda"!" bertanya Mei
Hua. "Belum saatnya kau tahu! Yang jelas akulah orang
yang paling berhak memiliki selembar nyawa jahanam
ayahmu!" Walau merasa panas dengan ucapan perempuan
bercadar hitam, namun Mei Hua masih menahan diri
apalagi dia sadar ayahnya memang telah melakukan
hal tidak baik.
"Kau menginginkan gelang itu"!" Mei Hua coba alih-
kan perhatian orang. "Aku bisa mengambilkan untuk-
mu!" "Aku menginginkan nyawa keparat ayahmu! Me-
nyingkirlah atau kau akan ikut tewas bersamanya!" Perempuan bercadar hitam
membentak. Sepasang mata-
nya berkilat merah.
Mei Hua geleng kepala. "Aku tahu siapa yang paling
berhak atas hidup mati ayahku setelah kejadian ini!
Aku akan membawanya menghadap orang itu! Dan
aku tidak akan menghalangi apa yang akan dilaku-
kannya!" "Setan! Telingamu telah dengar! Akulah orang yang
paling berhak!"
Selagi kedua orang ini berdebat, Guru Besar Liang
San mendengarkan beberapa lama. Saat lain dia terus-
kan langkah mendekati Panglima Muda Lie.
"Guru Besar Liang San! Tetap di tempatmu! Setelah
kuselesaikan urusan nyawa dengan panglima jahanam
itu, tiba giliranmu untuk selesaikan urusan dengan-
ku!" Perempuan bercadar hitam membentak garang.
"Aku tak punya urusan denganmu! Juga dengan
nyawa Panglima itu! Urusanku adalah gelang di tan-
gannya!" kata Guru Besar Liang San tanpa meman-
dang pada perempuan bercadar hitam.
"Kau salah besar, Guru Besar! Kau punya urusan
denganku yang harus diselesaikan sekarang juga! Un-
tuk itulah kau harus menunggu tiba gilirannya!"
"Hem.... Tampaknya kau menginginkan gelang itu
pula!" desis Guru Besar Liang San.
Perempuan bercadar hitam gelengkan kepala. "Ge-
lang itu tidak berarti apa-apa bagiku! Kaulah yang
memulai meski jahanam Panglima itu yang meng-
akhiri!" Ucapan perempuan bercadar hitam membuat Mei
Hua berdebar tidak enak. Dia memperhatikan cadar
hitam yang menutupi wajah perempuan di hadapan-
nya seolah tembusi kain cadar itu agar bisa meyakin-
kan dugaannya. Perempuan bercadar hitam memandang silih ber-
ganti pada Mei Hua dan Guru Besar Liang San. Terak-
hir kali matanya menumbuk pada sosok Panglima Mu-
da Lie. Lalu tenang-tenang saja dia melangkah.
Mei Hua segera palangkan tangannya. Lalu berkata.
"Aku tidak akan membiarkanmu melangkah sebe-
lum kau jelaskan siapa dirimu sebenarnya!"
"Sebelum kuturuti kemauanmu, aku ingin tanya.
Kau tidak akan ingkari ucapanmu untuk menyerahkan
nyawa ayahmu pada orang yang paling berhak"!" ber-
tanya perempuan bercadar hitam.
Meski terasa berat, akhirnya Mei Hua anggukkan
kepala. Sementara Panglima Muda Lie merasakan ku-
duknya dingin. Dia tahu sifat putrinya yang selalu te-guh memegang janji dan
berani menghadang kesulitan
jika yang dibela adalah kebenaran.
"Bagus! Aku akan turuti permintaanmu!" kata pe-
rempuan bercadar hitam. Kedua tangannya diangkat
ke atas. Semua orang di puncak Bukit Toyongga terdiam.
Puncak bukit itu disentak kesunyian bercampur kete-
gangan. Semua mata tertuju pada kedua tangan pe-
rempuan bercadar hitam.
Bretttt! Sekali kedua tangan perempuan bercadar hitam
bergerak, cadar penutup wajahnya robek lepas!
LIMA SIAO Ling Ling!" desis Mei Hua mengenali wajah pe-
rempuan yang tadi tertutup cadar hitam. "Dugaanku
tidak jauh meleset! Sekarang apa yang harus kulaku-
kan"! Apakah aku harus serahkan ayah padanya"! Ta-
pi...." "Mei Hua! Sekarang kau sudah tahu. Menyingkir-
lah!" bentak perempuan yang tadi wajahnya tertutup
cadar hitam dan ternyata tidak lain adalah Siao Ling Ling. Putri Yang Mulia
Baginda Ku Nang!
Mei Hua menghela napas panjang. Dadanya dibun-
cah dengan berbagai perasaan. Di satu sisi dia ter-
panggil untuk menyerahkan ayahnya karena Panglima
Muda Lie telah melakukan kesalahan besar. Namun di
sisi lain, bagaimanapun juga besarnya kesalahan yang dilakukan si ayah, sebagai
anak dia masih tidak tega.
"Woww.... Kau pandai juga memilih!" Tiba-tiba ter-
dengar orang bersuara. Yang berucap ternyata Dewa
Cadas Pangeran.
"Hem.... Tampaknya kau baru tahu, Sahabatku!"
sambut Dewa Asap Kayangan. "Sekilas pandang, jika
urusan perempuan aku tidak akan terkecoh meski wa-
jahnya tertutup seribu kain cadar! Bahkan bukan itu
saja. Selain aku pandai memilih, pilihanku pasti bukan orang sembarangan!"
"Maksudmu..."!" tanya Dewa Cadas Pangeran.
"Kau tidak kenal dengan perempuan yang tadi wa-
jahnya tertutup cadar dan ternyata adalah gadis ber-
paras aduhai itu"!"
Batu putih yang ada di depan wajah Dewa Cadas
Pangeran dan selalu menutupi dari pandangan orang
itu bergerak-gerak tanda kepala di belakangnya bergerak menggeleng. "Bagaimana
aku kenal dengan gadis
muda dan aduhai macam dia"! Siapa dia"!"
"Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku.... Gadis itu
bukan hanya cantik jelita, tapi dia juga adalah putri Yang Mulia Baginda Ku
Nang...." Hanya Dewa Cadas Pangeran dan Pendekar 131
yang tampak terlengak mendengar jawaban Dewa Asap
Kayangan. Karena semua orang di tempat itu memang
sudah tahu siapa sebenarnya Siao Ling Ling.
"Astaga! Benarkah ucapan Kakek itu..."!" desis mu-
rid Pendeta Sinting.
"Kau jangan mengada-ada!" Dewa Cadas Pangeran
berseru seakan tidak percaya dengan keterangan Dewa
Asap Kayangan. "Ini bukan urusan main-main! Mana mungkin aku
berani mengada-ada mengarang cerita"!" sahut Dewa
Asap Kayangan. Di depan sana, Siao Ling Ling berpaling pada Guru
Besar Liang San dan berkata lantang.
"Guru Besar Liang San! Kau yang memberi jalan
atas kematian ayahku! Terserah kau katakan antara
kita ada urusan atau tidak. Yang pasti kau pantas menerima imbalan atas
tindakanmu!"
"Ayahmu berkhianat!" kata Guru Besar Liang San.
"Urusan ini tidak ada hubungannya dengan khianat
atau tidak! Yang jelas kau ikut andil atas kematian
ayahku!" "Hem.... Jadi dia benar-benar putri Baginda.... Jadi inikah jawabannya mengapa
Mei Hua dan Siao Ling
Ling tidak mau bicara di depanku saat bertemu tempo
hari..."!" Pendekar 131 jadi ingat akan pertemuannya dengan Mei Hua dan Siao
Ling Ling pada beberapa hari
yang lalu, di mana kedua gadis itu tidak mau bicara di hadapan Joko. Sebaliknya
mereka memilih tempat
lain. Siao Ling Ling arahkan pandang matanya pada so-
sok mayat sang Baginda. Dia coba bertahan meski ka-
kinya sudah tidak sabar untuk melompat dan meme-
luk mayat ayahandanya. Dan melihat bagaimana sosok


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahandanya, hawa kemarahan gadis ini me-muncak.
Laksana terbang dia segera berkelebat melewati sosok Mei Hua dan tegak dua
langkah di samping Panglima
Muda Lie. Mei Hua cepat balikkan tubuh. Dia memang mem-
biarkan Siao Ling Ling berkelebat melewatinya karena saat Ku dia tengah
dirundung kegalauan untuk menentukan sikap. Namun begitu Siao Ling Ling lewat,
dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan
Siao Ling Ling melakukan tindakan pembalasan atas
kematian ayahnya.
Di pihak lain, Guru Besar Liang San tidak tinggal
diam begitu saja melihat tindakan Siao Ling Ling. Dia masih menduga kalau si
gadis ingin juga memiliki gelang baja di tangan Panglima Muda Lie. Hingga begitu
Siao Ling Ling berkelebat, laki-laki berkepala gundul ini ikut pula berkelebat
dan tegak tidak jauh dari sosok sang Panglima yang sudah tegang kaku karena
ketakutan. Tampaknya Pendekar 131 menangkap gelagat apa
yang hendak dilakukan Guru Besar Liang San. Apalagi
Joko merasa yakin, gelang yang kini di tangan sang
Panglima adalah yang asli. Maka dia segera ikut me-
lesat ke arah sang Panglima.
Tapi Hantu Bulan Emas yang yakin gelang dan kan-
tong di tangan Joko adalah yang asli, tidak membiar-
kan Joko berlalu. Sebelum Joko sempat bergerak lebih
jauh, dia cepat melompat dan tegak menghadang.
"Kau boleh mengambil gelang di tangan Panglima
itu! Tapi serahkan dulu gelang dan kantong yang ada
di tanganmu padaku!"
Hantu Bulan Emas bukan hanya berkata. Bersa-
maan dengan terdengarnya ucapan, sosoknya melom-
pat lalu tangannya lepas pukulan!
Wuuttt! Wuuuutt!
Pendekar 131 rasakan sambaran angin keras me-
ngarah pada kepala dan dadanya.
Murid Pendeta Sinting tak mau bertindak ayal. Dia
cepat papasi hantaman tangan bertenaga dalam tinggi
itu dengan angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkkk! Hantu Bulan Emas tersurut dua tindak dengan so-
sok bergoyang-goyang. Lengan tangannya terasa ngilu.
Paras wajahnya berubah. Di hadapannya, Pendekar
131 mundur satu langkah. Dia meringis kesakitan se-
raya kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja
bentrok dengan kedua tangan Hantu Bulan Emas.
"Aku harus segera selesaikan anak ini! Jika tidak,
bukan tak mungkin ada orang yang mengambil keun-
tungan!" Membatin begitu, Hantu Bulan Emas segera tekuk
kedua kakinya. Sosoknya melorot jatuh dan langsung
membuat sikap duduk bersila dengan kedua tangan
bersedekap di depan dada. Kepalanya ditengadahkan
menatap rembulan. Mulutnya berkemik.
Tiba-tiba dari tato bergambar bulan sabit yang ber-
ada di tengah kedua alis mata Hantu Bulan Emas pan-
carkan sinar terang bercahaya. Kejap lain sekujur tubuhnya pun ikut bercahaya.
Hebatnya cahaya itu
membentuk garis lurus mengarah pada sinar rembu-
lan di hamparan langit sana!
"Jurus ke delapan dari 'Delapan Gerbang Rembu-
lan'!" teriak Dewa Asap Kayangan.
"Astaga! Guru benar-benar hendak membunuhnya!"
desis Bidadari Bulan Emas. Parasnya gelisah dan bim-
bang. "Mungkinkah Pendekar 131 mampu bertahan
dari jurus tertinggi pukulan 'Delapan Gerbang Rembu-
lan'"!" Sepasang mata Bidadari Bulan Emas memper-
hatikan Joko. "Guru tidak boleh membunuhnya! Aku
harus lakukan sesuatu!"
Ternyata bukan hanya Bidadari Bulan Emas yang
resah. Raut wajah Dewi Bunga Asmara juga berubah.
Kekhawatiran jelas membayang. Diam-diam gadis can-
tik murid Ratu Selendang Asmara ini juga kerahkan
segenap tenaga dalamnya. Dia bertekad akan memban-
tu Joko meski Ratu Selendang Asmara akan marah be-
sar. Joko sendiri tampak terkejut. Sementara cahaya
yang lurus ke arah sinar rembulan dari tubuh Hantu
Bulan Emas makin lama makin terang dan bertambah
besar. "Sahabatku Dewa Asap Kayangan.... Aku melihat
satu cahaya terang. Siapa gerangan yang membawa
obor ke tempat ini"!" Dewa Cadas Pangeran bertanya.
Batu putih di depan wajahnya bergerak ke atas tanda
kepalanya tengadah.
"Hem.... Kau kira itu cahaya obor"! Kau perlu tahu
satu hal, Sahabatku.... Itulah cahaya bias pukulan
tingkat tertinggi 'Delapan Gerbang Rembulan'!"
"Celaka!" Dewa Cadas Pangeran terkesiap. "Kude-
ngar hanya ada satu pukulan yang mampu memben-
dungnya.... Dan kudengar pula, hanya ada satu manu-
sia pula yang memiliki pukulan itu...."
"Pasangan rembulan adalah matahari.... Benar atau
tidaknya, hanya itu yang kuketahui!" sambut Dewa
Asap Kayangan. "Hem.... Ucapan mereka sepertinya memberi isyarat
padaku.... Jadi aku harus menghadapinya dengan pu-
kulan 'Sembilan Gerbang Matahari' yang telah diajar-
kan Bu Beng La Ma." Joko membatin. Lalu buru-buru
duduk bersila dengan kedua tangan disatukan. Kedua
jari telunjuk dan ibu jari dibuka lalu ditemukan satu sama lain membentuk
bundaran. Tiba-tiba dari bundaran tangan murid Pendeta Sint-
ing berkiblat satu cahaya putih berkilau membentuk
bundaran. "Ada apa lagi ini"!" Dewa Cadas Pangeran kembali
ajukan tanya. "Yang kudengar, ini adalah bias pukulan tingkat
tertinggi dari 'Sembilan Gerbang Matahari'...." Dewa Asap Kayangan menyahut.
Semua orang di tempat itu jadi tercekat kaget. Ma-
lah Mei Hua, Siao Ling Ling sempat palingkan kepala.
Mereka yang berada di puncak bukit sama menduga
ada hubungan apa antara Pendekar 131 dengan Bu
Beng La Ma. Karena selama ini mereka tahu, hanya Bu
Beng La Ma yang memiliki pukulan 'Sembilan Gerbang
Matahari'. Namun yang paling tampak terkejut adalah Bidadari
Bulan Emas. Kalau tadi dia mencemaskan keselama-
tan Pendekar 131, kini berbalik mengkhawatirkan ke-
selamatan gurunya.
"Mampukah pukulan 'Delapan Gerbang Rembulan'
menghadapi pukulan 'Sembilan Gerbang Matahari'"
Selama ini yang dicemaskan Guru adalah jika meng-
hadapi pukulan 'Sembilan Gerbang Matahari'.... Apa
sebaiknya yang kulakukan"! Di satu sisi aku tidak ingin Pendekar 131 terluka. Di
pihak lain, aku juga tak mengharapkan Guru terancam keselamatannya.... Me-
ngapa ini harus terjadi"! Seandainya Guru mau turuti ucapanku, bentrok ini
mungkin bisa dihindarkan!"
Selagi Bidadari Bulan Emas tercekat tegang melihat
apa yang ada di hadapannya, mendadak Ratu Selen-
dang Asmara melesat ke arah Bayangan Tanpa Wajah
yang sedari tadi hanya diam terpaku melihat apa yang terjadi di puncak bukit.
"Kau yakin yang ada di tangan pemuda itu adalah
benda yang asli"!" Ratu Selendang Asmara langsung
ajukan tanya dengan suara ditekan.
"Aku tak bisa memastikan! Kalau benar di tangan
pemuda itu yang asli, mengapa Guru Besar Liang San
masih tertarik dengan gelang yang kini ada di tangan Panglima Muda Lie"! Dan
kalau yang di tangan pemuda itu bukan yang asli, mengapa Hantu Bulan Emas
bersedia pertaruhkan nyawa"! Aku tidak menduga ka-
lau akan begini jadinya!"
"Kau harus cepat tentukan pilihan!" Ratu Selendang
Asmara berkata lagi.
"Maksudmu"!"
"Kita yang bersusah payah mengatur pertemuan di
tempat ini. Kita harus mendapatkan imbalan atas jerih payah kita! Kau harus
menentukan mana menurutmu
yang asli. Lalu kita rebut bersama-sama!"
Bayangan Tanpa Wajah berpikir sesaat. Lalu berbi-
sik. "Aku menduga yang asli di tangan pemuda asing
itu!" "Mengapa kau menduga begitu"!"
"Kau lihat dan kau dengar ucapan Dewa Asap Ka-
yangan tadi. Kukira dia benar! Pemuda asing itu me-
nitipkan kantongnya pada Dewa Asap Kayangan. Se-
mentara aku lebih percaya pada Dewa Cadas Pangeran
daripada terhadap Baginda Ku Nang...!"
"Bagaimana dengan kantong yang ada di tangan
Hantu Pesolek"!" tanya si nenek.
"Dia tadi telah tunjukkan bahwa kantong perta-
manya adalah palsu! Ini satu petunjuk kalau dia tidak bisa dipercaya! Dan
mungkin sekali dia memiliki beberapa kantong dan pasti semuanya juga palsu!"
"Hem.... Kalau begitu, ini kesempatan baik bagi ki-
ta!" "Kesempatan baik bagaimana"!"
"Kau lihat pemuda itu tengah persiapkan pukulan
yang kalau tak salah adalah pukulan tingkat tertinggi
'Sembilan Gerbang Matahari' untuk menghadapi puku-
lan 'Delapan Gerbang Rembulan' milik Hantu Bulan
Emas. Akibat bentrok itu mungkin akan sangat hebat
Saat itulah kita harus segera bertindak mengambil gelang dan kantong itu!"
Bayangan Tanpa Wajah sapukan pandangannya
berkeliling. "Dua gadis cantik itu mungkin masih terle-na dengan urusan mereka.
Demikian juga dengan
Guru Besar Liang San...," bisik Bayangan Tanpa Wajah seraya arahkan pandangannya
pada Mei Hua, Siao
Ling Ling, dan Guru Besar Liang San.
"Sementara Bidadari Bulan Emas mungkin akan re-
pot membantu gurunya! Sekarang kita hanya perlu
menghadang Hantu Pesolek! Apakah muridmu mampu
membendung gerakan Hantu Pesolek jika bentrok itu
telah terjadi"! Sebab hanya dia satu-satunya yang berdiri bebas. Bukan mustahil
hantu berdandan itu ten-
gah menunggu kesempatan pula untuk mengambil ge-
lang dan kantong dari tangan pemuda asing itu!"
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. "Bang
Sun Giok memang tidak akan mampu berhadapan
dengan Hantu Pesolek. Tapi kalau cuma menghadang,
kurasa dia tidak akan menemui kesulitan...!"
"Hem.... Bagus! Sekarang kau perintahkan murid-
mu untuk bersiap-siap. Dan begitu bentrok terjadi, ki-ta segera bertindak!"
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepalanya se-
kali lagi. Dia segera berkelebat ke arah muridnya, Bang Sun Giok alias Dewi
Bunga Asmara. Namun mendadak
si nenek urungkan niatnya tatkala tiba-tiba sepasang matanya melihat pada sosok
Dewa Cadas Pangeran
dan Dewa Asap Kayangan yang sama duduk berdam-
pingan di seberang sana.
"Bagaimana dengan kedua orang itu"!" Ratu Selen-
dang Asmara bertanya.
"Kau tak usah khawatirkan mereka. Mereka tidak
tertarik dengan gelang dan kantong itu!"
Sebenarnya Ratu Selendang Asmara tidak setuju
dengan jawaban Bayangan Tanpa Wajah. Namun ka-
rena khawatir bentrok antara Pendekar 131 dan Hantu
Bulan Emas akan segera terjadi, dia buru-buru me-
lompat ke arah Dewi Bunga Asmara.
"Dengar, Giok! Begitu bentrok terjadi, kau harus
segera menghadang gerakan Hantu Pesolek!"
Dewi Bunga Asmara kernyitkan dahi. "Mengapa be-
gitu"!"
"Kau tak usah banyak tanya! Yang jelas Hantu Pe-
solek menunggu kesempatan. Kau harus bisa menga-
lihkan perhatiannya!"
"Guru sendiri"!" tanya Dewi Bunga Asmara ingin
tahu apa yang baru dibicarakan gurunya dengan
Bayangan Tanpa Wajah.
"Kau hanya perlu lakukan ucapanku! Aku tahu apa
yang harus kulakukan!"
"Bagaimana ini"! Padahal aku sudah siap memban-
tu pemuda itu dan siap pula menerima risiko jika Guru tumpahkan marahnya
padaku!" Dewi Bunga Asmara
membatin. "Aku perlu ketegasanmu, Giok!" Ratu Selendang
Asmara membentak karena diliriknya si murid tampak
gelisah dan bimbang.
Setelah berpikir sesaat, Dewi Bunga Asmara ang-
gukkan kepala dan berkata.
"Aku akan lakukan perintahmu!"
"Bagus! Tapi ingat. Kau hanya perlu menghadang
gerakannya untuk mengalihkan perhatian! Jangan se-
kali-kali kau gegabah meneruskan hadangan dengan
lepaskan pukulan!"
Baru saja Ratu Selendang Asmara berucap begitu,
mendadak puncak Bukit Toyongga bergetar keras. Se-
mua kepala berpaling pada Hantu Bulan Emas dan
Pendekar 131. Saat itu Hantu Bulan Emas telah lu-
ruskan kepalanya menghadap murid Pendeta Sinting.
Sepasang matanya mendelik besar. Sosoknya laksana
lenyap ditelan cahaya. Di lain pihak, pancaran cahaya putih yang terpencar dari
bundaran kedua tangan Jo-ko makin besar dan tebarkan hawa panas luar biasa.
Mendadak Hantu Bulan Emas perdengarkan benta-
kan keras menggelegar. Saat lain kedua tangannya
bergerak mendorong ke depan.
Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas melesat ge-
lombang cahaya kekuningan seperti cahaya bulan
purnama. Terdengar suara bergemuruh dahsyat. Geta-
ran di puncak bukit makin keras. Tanah yang terlewati cahaya langsung muncrat
semburat dan membentuk
kubangan parit!
Pendekar 131 segera pula dorong kedua tangannya.
Satu gelombang cahaya putih berkilau langsung ber-
kiblat. Tanah yang terlewati rengkah dan berubah


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi hitam laksana tanah dipanggang bara! Deruan
hebat mengguncang, hingga puncak Bukit Toyongga
seperti dilanda gempa dahsyat.
Cahaya kekuningan dan cahaya putih bertemu di
udara. Anehnya tidak terdengar suara ledakan. Namun
baik sosok Hantu Bulan Emas maupun sosok Pende-
kar 131 tampak berguncang-guncang.
Hantu Bulan Emas lipat gandakan tenaga dorong-
nya. Cahaya putih terdorong ke belakang oleh cahaya
kekuningan. Dan kini kedua cahaya itu menggebrak ke
arah murid Pendeta Sinting!
Joko cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu kembali
mendorong kedua tangannya. Lesatan dua cahaya ter-
henti. Bahkan saat lain dua cahaya itu kini melesat
cepat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun begitu Han-
tu Bulan Emas tambah tenaga dorongannya dua ca-
haya itu berbalik lagi.
Untuk beberapa saat terjadi saling dorong hingga
dua cahaya itu terus bergerak. Hal ini membuat tanah di puncak bukit porak-
poranda dan bertaburan semburat serta berubah warna menjadi hitam kelam.
Sosok Hantu Bulan Emas dan Pendekar 131 telah
basah kuyup dan bergetar keras. Malah kejap lain so-
sok keduanya terangkat ke udara! Namun begitu sosok
mereka terangkat, mendadak sosok Hantu Bulan Emas
terdorong keras ke belakang!
ENAM BLAMMM! Ledakan keras terdengar. Dua gelombang cahaya
putih dan kekuningan melesat muncrat ke angkasa te-
barkan pijaran-pijaran. Lamping puncak Bukit Toyo-
ngga longsor di beberapa bagian. Beberapa jajaran pohon yang berada tidak jauh
dari lamping bukit perde-
ngarkan derakan lalu tumbang karena tanahnya ter-
jungkat. Saat lain terdengar beberapa seruan tegang
dan tertahan. Sosok Hantu Bulan Emas terdorong makin deras ke
belakang sebelum akhirnya jatuh terjerembab. Pakaian yang dikenakan hangus
terbakar. Cahaya yang tadi
memancar dari tubuhnya langsung redup. Parasnya
pucat pasi. Saat lain dari mulutnya semburkan darah.
Namun guru Bidadari Bulan Emas ini berusaha segera
bangkit. Walau berhasil, tapi cuma sekejap. Kejap lain sosoknya kembali melorot
jatuh dengan mulut mengembung dan untuk kedua kalinya memuntahkan da-
rah. Ini jelas menunjukkan kalau dia terluka dalam
cukup parah! Di lain pihak, sosok murid Pendeta Sinting tersen-
tak ke belakang sebelum akhirnya jatuh terjengkang
dan perlahan-lahan dari sudut bibirnya lelehkan da-
rah. Dia merasakan dadanya sulit dibuat bernapas dan kedua tangannya tegang
kaku. Saat itulah tiba-tiba Ratu Selendang Asmara berke-
lebat ke arah Pendekar 131. Namun tampaknya si ne-
nek tidak menduga jika Hantu Pesolek yang sudah bi-
sa membaca gelagat bergerak mendahului. Pemuda
berkebaya ini melesat ke depan. Bukan ke arah Pende-
kar 131 yang baru saja jatuh terjengkang, melainkan
ke arah Ratu Selendang Asmara!
Gerakan Hantu Pesolek membuat Dewi Bunga As-
mara urungkan niat untuk lakukan penghadangan.
Hingga akhirnya dia hanya tegak menunggu dengan
mata cemas pada sosok Pendekar 131. Kalau saja dia
tidak ingat akan ucapan Ratu Selendang Asmara, dia
pasti sudah terbang melompat ke arah Joko.
Ratu Selendang Asmara sendiri tampak terlengak.
Tapi dia tak mau membuang waktu. Hingga begitu me-
lihat Hantu Pesolek melesat ke arahnya, si nenek langsung menyongsong seraya
lepaskan pukulan.
Hantu Pesolek sambuti pukulan si nenek dengan
hantamkan pula kedua tangannya. Bukan hanya sam-
pai di situ. Begitu kedua tangannya berkelebat, masih melayang di atas udara,
kedua kakinya menggebrak
Panji Wulung 7 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 15
^