Pencarian

Tabir Peta Shaolin 2

Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin Bagian 2


lepaskan tendangan!
Ratu Selendang Asmara tak tinggal diam. Begitu
kedua tangannya hampir berbenturan dengan tangan
Hantu Pesolek, kedua kakinya langsung dihantamkan
memapasi tendangan lawan.
Bukkkk! Bukkkkk!
Bukkkk! Bukkkkk!
Sosok Ratu Selendang Asmara terpental di udara la-
lu melayang deras ke bawah dengan mulut perdengar-
kan seruan tegang.
Tapi setengah depa lagi sosoknya jatuh menghan-
tam tanah, mendadak tangan kanan si nenek berge-
rak. Terdengar deruan dahsyat, lalu tampak benda hi-
tam berkelebat di udara. Saat yang sama tiba-tiba gerakan tubuh si nenek membal
balik ke udara! Lalu te-
gak dengan kedua tangan berkacak pinggang sementa-
ra kakinya berpijak pada sebuah selendang hitam yang kini berubah kaku laksana
papan kayu! Sepa-sang
matanya berkilat merah membelalak mengawasi gera-
kan Hantu Pesolek dengan seringai garang.
Di pihak lain, meski sebelumnya telah mengatur
rencana dengan Ratu Selendang Asmara, namun begi-
tu bentrok terjadi, ternyata Bayangan Tanpa Wajah tidak membuat gerakan apa-apa!
Ratu Selendang Asmara tidak sadar jika Bayangan
Tanpa Wajah sebenarnya hanya berpura-pura untuk
setuju usul si nenek. Dan diam-diam dalam hati dia
berkata. "Aku tidak akan berlaku bodoh untuk ikut-ikutan
bentrok! Aku akan menunggu sampai semua orang ter-
luka!" Karena sudah punya rencana sendiri itulah, Bayan-
gan Tanpa Wajah tidak membuat gerakan saat terja-
dinya bentrok antara Hantu Bulan Emas dengan Pen-
dekar 131. Malah dia sunggingkan senyum ketika
mendapati Hantu Pesolek berkelebat ke arah Ratu Se-
lendang Asmara dan akhirnya terlibat saling lepaskan pukulan.
Ratu Selendang Asmara sendiri sempat melirik ke
arah Bayangan Tanpa Wajah dari atas selendang hi-
tamnya di mana dia kini tegak berdiri. Namun sejauh
ini si nenek masih juga belum bisa membaca apa yang
direncanakan Bayangan Tanpa Wajah. Si nenek masih
menduga jika tidak bergeraknya Bayangan Tanpa Wa-
jah karena keburu didahului oleh gerakan Hantu Peso-
lek. Sementara itu Hantu Pesolek tampak tegak di atas tanah dengan wajah pias.
Tapi tokoh yang wajahnya
masih sangat muda dan tampan meski usianya sudah
hampir delapan puluh tahun ini cepat kuasai diri. Saat lain sosoknya melesat ke
udara. Tangan kiri kanannya bergerak menghantam ke arah selendang hitam yang
dibuat pijakan Ratu Selendang Asmara.
Ratu Selendang Asmara tersenyum dingin. Kedua
kakinya segera dihentakkan ke arah selendang yang
dipijaknya. Wuuttt! Selendang hitam berkelebat menyambar ganas me-
nyergap ke arah sosok Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek terkesiap. Lesatan tubuhnya laksana
ditahan kekuatan gelombang dahsyat. Hingga saat lain tubuhnya terdorong ke
bawah! Ratu Selendang Asmara membuat gerakan jungkir
balik di udara. Tangan kanannya kembali berkelebat.
Selendang hitam di tangan kanannya menderu ganas
mengejar Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek tidak mau berlaku sembrono. Dia
hantamkan kedua tangannya ke arah selendang lepas
pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi, lalu me-
lesat ke samping.
Selendang hitam milik si nenek berkelebat mental.
Namun sekali Ratu Selendang Asmara sentakkan tan-
gan kanan, selendang hitam sudah menyambar lagi ke
arah mana Hantu Pesolek berkelebat menghindar!
"Hem.... Tampaknya aku tidak punya kesempatan
untuk lepaskan pukulan kalau selendang jahanam itu
masih berada di tangannya! Aku harus dapat melum-
puhkan si penggerak selendang itu!" Hantu Pesolek
berpikir. Lalu berkelebat ke sana kemari hingga sosoknya laksana bayang-bayang.
Ratu Selendang Asmara tidak berdiam diri. Begitu
mendapati Hantu Pesolek melesat menghindari keleba-
tan selendangnya, nenek ini gerakkan tangan kanan-
nya kian kemari. Hingga selendang hitamnya juga ber-
kelebat. Bukan saja perdengarkan deruan dan gelom-
bang yang sanggup membuat mental apa saja yang
menghadang, namun selendang itu juga laksana le-
nyap dan hanya merupakan bayang-bayang hitam.
Hebatnya, selendang itu laksana punya mata. Hingga
terus mengejar ke mana sosok Hantu Pesolek berkele-
bat. Sementara sosok Ratu Selendang Asmara terus
berputar-putar di atas udara.
Pada satu kesempatan, mendadak Hantu Pesolek
hantamkan kedua tangannya menghadang gelombang
dan kelebatkan selendang.
Wuutt! Wuuuutt!
Selendang hitam menderu mental ke udara. Namun
saat lain telah menyambar lagi ketika tangan kanan
Ratu Selendang Asmara bergerak.
Saat selendang hitam mental tersapu gelombang
yang datang dari kedua tangan Hantu Pesolek, tokoh
yang mengenakan kebaya ini langsung berkelebat ke
udara. Bukkk! Hantu Pesolek menghantam tangan kanan Ratu Se-
lendang Asmara. Si nenek berseru tertahan. Selendang hitam berkelebat menderu
akibat sentakan tangan si
nenek yang terhantam.
Hantu Pesolek tidak membuang kesempatan. Selagi
Ratu Selendang Asmara berpaling, Hantu Pesolek han-
tamkan kaki kanannya seraya membuat gerakan jung-
kir balik. Karena tidak menduga, terlambat bagi Ratu Selendang Asmara untuk
menghadang tendangan kaki
Hantu Pesolek yang mengarah pada pergelangan tan-
gan kanannya. Bukkkk! Untuk kedua kalinya Ratu Selendang Asmara per-
dengarkan seruan tegang. Selendang hitamnya terle-
pas. Lalu melayang deras di udara.
Sebelum Ratu Selendang Asmara sempat membuat
gerakan untuk berkelebat menyambar selendangnya,
Hantu Pesolek telah hantamkan kedua tangannya ke
arah selendang si nenek.
Selendang hitam Ratu Selendang Asmara menderu
keras lalu tersapu amblas ke bawah bukit.
Si nenek berteriak marah. Dia batalkan niat untuk
mengejar selendangnya. Sebaliknya belokkan arah
menuju sosok Hantu Pesolek yang melayang turun.
Kedua tangannya langsung bergerak lepaskan pukulan
bertenaga dalam tinggi.
Dua gelombang hitam melesat lalu membesar dan
menggebrak ke arah Hantu Pesolek. Hantu Pesolek
memandang sekilas pada gelombang yang mengarah
padanya. Dan begitu sepasang kakinya menginjak ta-
nah, orang ini langsung membuat gerakan berguli-
ngan. Saat lain kedua tangannya mendorong ke atas.
Bummmm! Gelombang yang berhasil dihindari Hantu Pesolek
menghantam tanah perdengarkan ledakan keras. Ber-
samaan itu terdengar deruan dahsyat. Satu gelombang
luar biasa besar menggebrak lurus ke arah Ratu Se-
lendang Asmara.
Walau berhasil berkelit dari gelombang pukulan
Hantu Pesolek, namun sambaran gelombang itu masih
mampu membuat sosok Ratu Selendang Asmara terpe-
lanting jungkir balik di atas udara dan akhirnya me-
layang ke bawah tanpa bisa membuat gerakan lagi.
Bukkkk! Sosok Ratu Selendang Asmara jatuh menghantam
tanah. Belum sempat dia bergerak bangkit, mendadak
satu tendangan telah menggebrak di depan hidungnya!
Bukkk! Ratu Selendang Asmara menjerit. Dadanya laksana
dibongkar batangan kayu besar hingga bukan saja
membuat sosoknya terpental, namun mulutnya juga
muntahkan darah!
Dewi Bunga Asmara sempat terkesiap. Sejak tadi
dia sebenarnya ingin segera membantu. Namun karena
gerakan Ratu Selendang Asmara dan Hantu Pesolek
begitu cepat, gadis cantik ini menunggu kesempatan
sampai dapat ruang. Karena dia sendiri khawatir akan salah jatuhkan tangan.
Dan begitu mendapati gurunya terjengkang roboh
dengan mulut semburkan darah, Dewi Bunga Asmara
buru-buru melesat.
Tapi Hantu Pesolek tak mau buang kesempatan.
Kedua tangannya bergerak. Tangan kiri menghantam
ke arah Dewi Bunga Asmara, sementara tangan kanan
lepas pukulan ke arah Ratu Selendang Asmara.
Gerakan tubuh Dewi Bunga Asmara terhenti. Saat
lain gadis ini putar tubuh lalu hantamkan kedua tan-
gannya. Terdengar letupan. Sosok Dewi Bunga Asmara ter-
sentak mundur beberapa tindak. Wajahnya berubah.
Kedua tangannya bergetar. Sementara di seberang sa-
na, Hantu Pesolek tetap tegak tak bergeming. Malah
sunggingkan senyum tatkala melihat gelombang puku-
lannya yang mengarah pada Ratu Selendang Asmara
tidak lagi mendapat hadangan si nenek karena nenek
ini sudah terluka cukup parah. Hingga meski sekali-
pun dia membuat gerakan menghadang pukulan, hal
itu tidak akan membantu banyak. Dan tentu gera-
kannya sudah sangat terlambat.
Wuusss! Untuk kesekian kalinya sosok Ratu Selendang As-
mara mencelat mental. Namun kali ini disertai lengkingan tinggi dan tiba-tiba
terputus laksana dirobek tangan setan. Saat lain sosoknya melayang lunglai ke
bawah dengan teteskan darah!
Jeritan terputus Ratu Selendang Asmara membuat
Dewi Bunga Asmara batalkan niatnya yang hendak le-
paskan pukulan ke arah Hantu Pesolek. Dia cepat pu-
tar diri lalu berkelebat menyongsong sosok gurunya.
"Guru...!" Dewi Bunga Asmara berteriak tinggi
tatkala meletakkan sosok gurunya di atas tanah dan
mendapati nyawanya sudah melayang!
Kemarahan Dewi Bunga Asmara tak bisa ditahan
lagi. Kematian gurunya membuat dia lupa akan siapa
yang tengah dihadapi. Dia nekat hendak berjibaku de-
ngan Hantu Pesolek untuk membayar nyawa gurunya.
Hingga gadis muda ini langsung beranjak bangkit den-
gan kedua tangan terangkat ke atas siap lepas puku-
lan. "Nyawamu terlarang buat setan sekalipun!" teriak
Dewi Bunga Asmara. Kedua tangannya berkelebat le-
paskan pukulan.
Hantu Pesolek tersenyum. Pemuda berkebaya ini
bukannya menghadang gelombang pukulan Dewi Bun-
ga Asmara, sebaliknya berkelebat menyongsong Seten-
gah jalan, baru kedua tangannya bergerak!
Dari gelombang yang menggebrak dari tangan mas-
ing-masing orang, sudah bisa ditebak jika Dewi Bunga Asmara tidak akan bisa
membendung bias bentroknya
pukulan. "Aku sudah kehilangan perempuan yang kupilih....
Aku tak mau kehilangan muridnya juga! Siapa tahu
muridnya mau menggantikan gurunya!"
Mendadak terdengar orang bersuara. Lalu dari arah
mana Dewa Cadas Pangeran berada terlihat satu ge-
lombang menderu ke arah gelombang yang baru saja
menggebrak dari kedua tangan Hantu Pesolek.
Blammm! Sosok Hantu Pesolek tersentak mundur dua lang-
kah. Sementara sosok Dewi Bunga Asmara langsung
terguling roboh.
"Jahanam! Ada tangan yang ikut campur!" sentak
Hantu Pesolek. Sosoknya langsung berputar meng-
hadap Dewa Cadas Pangeran yang masih duduk de-
ngan pundak bergerak-gerak. Sementara batu putih di
depan wajahnya berguncang keras!
TUJUH HANTU Pesolek sudah tahu siapa gerangan yang
menghadang pukulannya. Dia sudah siapkan pukulan.
Namun begitu ekor matanya menangkap sosok Pende-
kar 131 yang sudah bangkit, pemuda berkebaya ini
urungkan niat. Dia sentakkan tubuhnya berputar
menghadap murid Pendeta Sinting. Saat lain sosoknya
melesat. Meski masih merasakan kepalanya berkunang-ku-
nang dan dadanya berdenyut nyeri serta anggota tu-
buhnya tegang kaku, Joko cepat membuat gerakan
berkelebat. Joko tidak berusaha untuk menghadang Hantu Pe-
solek dengan menyongsong kelebatannya, karena dia
sudah pernah mengalami dan akibatnya fatal. Kantong
putih berisi peta wasiat pemberian Guru Besar Pu Yi
lenyap diambil Hantu Pesolek. Maka kali ini dia tidak mau mengulangi
kesalahannya. Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting
berkelebat menyingkir. Hantu Pesolek melesat menge-
jar ke mana Joko menghindar.
Joko tidak menunggu sampai tubuh Hantu Pesolek
mendekat dan beradu tangan. Begitu masih sepuluh
langkah lagi sosok Hantu Pesolek sampai, Pendekar
131 sudah sentakkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuutt!


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua gelombang dahsyat berkiblat. Hantu Pesolek
terpaksa hentikan gerakan berkelebatnya dan serta-
merta dorongkan kedua tangannya.
Bummmm! Bentrok gelombang pukulan terjadi. Sosok Hantu
Pesolek terdorong keras di udara lalu melayang turun.
Tubuh Hantu Pesolek tampak terhuyung-huyung. Ka-
rena dia memapak pukulan waktu berada di udara.
Sementara sosok Pendekar 131 hanya tersentak-
sentak maju mundur.
"Serahkan kantong dan gelang itu padaku!" Hantu
Pesolek angkat suara.
"Hem.... Tampaknya dia masih belum percaya den-
gan kantong di tangannya! Dia termakan ucapanku
dan sikap Dewa Cadas Pangeran serta Dewa Asap
Kayangan. Aku akan coba tawar menawar...." Joko
membatin dalam hati. Lalu berkata.
"Kau sudah memiliki kantong. Untuk apa kau minta
kantong yang ada padaku"!"
"Jangan bertanya! Turuti saja perintahku!"
"Kita sama-sama punya kantong. Bagaimana kalau
kita bertukar"!"
"Aku minta kau serahkan kantong dan gelang itu
padaku! Aku tidak minta...."
Belum selesai ucapan Hantu Pesolek, Joko sudah
menukas. "Kalau kau tidak mau bertukar, bagaimana kalau
kau serahkan saja kantong di tanganmu padaku"! Bu-
kankah kantong itu dahulu kau ambil dari tanganku"!"
Hantu Pesolek tidak sambuti ucapan murid Pendeta
Sinting dengan angkat suara. Melainkan langsung me-
lompat ke depan sambil lepaskan pukulan.
Joko tidak mau bertindak main-main apalagi dia
yakin kantong di tangan Hantu Pesolek adalah kantong yang asli. Maka dia segera
siapkan pukulan sakti
'Lembur Kuning'. Hingga saat itu juga kedua tangan-
nya pancarkan sinar kekuningan. Dan saat Joko sen-
takkan kedua tangannya, dua gelombang dahsyat ber-
kiblat disertai sinar warna kuning yang semburkan
hawa panas menyengat.
Blaamr! Kembali terdengar ledakan keras. Sosok Hantu Pe-
solek tersapu ke belakang hingga beberapa langkah.
Namun pemuda berkebaya ini masih bisa kuasai diri
tidak sampai jatuh terjengkang meski parasnya beru-
bah dan sosoknya bergetar keras.
Hantu Pesolek cepat lipat gandakan tenaga dalam,
karena dia tadi tidak menduga jika akan dihadang
dengan pukulan dahsyat, hingga sosoknya sempat ter-
sapu. Namun Hantu Pesolek tidak segera membuka puku-
lan, karena tiba-tiba dia merasakan mulutnya asin dan perutnya mual. Dia coba
bertahan, tapi gagal hingga
saat itu juga mulutnya mengembung sebelum akhirnya
perdengarkan batuk muntahkan darah!
"Jahanam keparat!" maki Hantu Pesolek mengutuki
dirinya sendiri karena dia sama sekali tidak menduga kalau bentrokan pukulan itu
akan membuatnya terluka dalam.
Di lain pihak, karena sudah terluka akibat bentrok
dengan Hantu Bulan Emas, bentrokan yang baru saja
terjadi membuat dadanya makin sesak dan mulutnya
megap-megap. Namun sejauh ini dia tidak mengalami
luka dalam, karena pukulan yang dilepas Hantu Peso-
lek masih kalah dibanding pukulan yang dilepaskan
Joko. Hantu Pesolek rangkapkan kedua tangannya di atas
kening. Lalu kedua kakinya ditekuk dan duduk di atas tanah.
"Apa pun yang dilakukan orang itu, pasti dia akan
lepaskan pukulan andalannya!" Joko membatin. Lalu
ikut-ikutan duduk di atas tanah dengan kedua tangan
ditarik ke belakang. Saat itu juga telapak tangan kiri murid Pendeta Sinting
berubah menjadi kebiruan. In-
ilah tanda kalau dia tengah siapkan pukulan sakti 'Serat Biru'!
Hantu Pesolek sentakkan kedua tangannya sejajar
dengan dada. Lalu dihantamkan ke depan.
Tidak ada suara deru yang terdengar. Gelombang
pun tidak kelihatan. Tapi saat itu juga murid Pendeta Sinting rasakan sapuan
angin gelombang luar biasa
dahsyat. Hingga kalau dia tidak segera sentakkan ke-
dua tangannya niscaya sosoknya akan segera terpen-
tal! Wuuutt! Wuutt!
Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru lak-
sana benang. Hantu Pesolek tertawa panjang, membuat semua
kepala berpaling. Namun tiba-tiba pemuda berkebaya
itu putuskan tawanya. Saat lain pemuda ini melaku-
kan tindakan hebat. Sosoknya melesat laksana terbang ke arah Pendekar 131
menerabas serat-serat biru! Hebatnya, meski serat-serat biru itu bukan serat-
serat biasa, namun Hantu Pesolek sepertinya tidak merasakan apa-apa!
Murid Pendeta Sinting melengak. Kuduknya jadi
dingin mendapati pukulan 'Serat Biru'-nya bukan saja tidak mampu menghantam
Hantu Pesolek, namun pukulan itu laksana tidak punya kehebatan sama sekali.
Hingga sosok Hantu Pesolek enak saja menerabas dan
tidak merasakan apa-apa!
"Menyingkiiiiir!" Tiba-tiba Dewa Asap Kayangan ber-
teriak. Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 131 sentakkan
kedua kakinya ke atas tanah. Sosoknya berkelebat ke
samping hindari gerakan sosok Hantu Pesolek. Tapi
Joko jadi terkejut. Karena baru saja berkelebat ke
samping, Hantu Pesolek sudah berada tiga langkah di
depannya! "Menyingkirrrrrrr!" Lagi-lagi terdengar teriakan. Kali ini diperdengarkan Dewa
Cadas Pangeran.
Joko cepat turunkan kedua tangannya yang hendak
lepaskan pukulan lagi ke arah Hantu Pesolek. Lalu
berkelebat lagi menghindar. Tapi baru saja melesat,
Hantu Pesolek sudah pula berada tidak jauh di hada-
pannya! "Pukullllll!" Hampir berbarengan Dewa Cadas Pan-
geran dan Dewa Asap Kayangan berseru.
Meski masih dilanda keheranan, namun Joko sege-
ra angkat kedua tangannya dan langsung dihantam-
kan pada Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek sempat perdengarkan teriakan ma-
rah. Lalu papasi kedua tangan Joko dengan sentakkan
kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk! Sosok Hantu Pesolek langsung terdorong keras di
udara. Kedua tangannya mental balik. Lalu jatuh ter-
jengkang di atas tanah dengan mulut semburkan da-
rah. "Heran.... Bagaimana bisa begini"! Padahal pukul-
anku tadi pukulan biasa! Hanya mengandalkan tenaga
dalam pada kedua tangan!" Joko membatin sambil pe-
gangi kedua tangannya yang terasa ngilu dan men-
gembung merah. Hantu Pesolek menoleh pada Dewa Cadas Pangeran
dan Dewa Asap Kayangan seraya pegangi dadanya. Se-
pasang matanya mendelik angker. "Dari mana mereka
tahu kelemahanku"! Aku tak bisa terus berada di tem-
pat ini! Aku bisa celaka!"
Habis membatin begitu, Hantu Pesolek berteriak
lantang. "Dewa Cadas Pangeran! Dewa Asap Kayangan dan
kau pemuda asing! Malam ganda sepuluh ini jadi saksi urusan antara kita! Kalian
boleh sembunyi sampai
ujung bumi, di bawah tanah di atas langit! Tapi kalian kelak akan kucari dan tak
mungkin lolos sampai urusan kita selesaikan!"
Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek telah ber-
kelebat. "Kau boleh pergi sampai ujung dunia, sampai ke da-
lam tanah dan sampai ke atas langit! Tapi serahkan
dahulu kantong di tanganmu! Itu kantongku!" Joko
berteriak lalu melompat dan berdiri menghadang.
"Kawanku Hantu Pesolek...," kata Dewa Asap Ka-
yangan. "Turuti saja permintaan kawan kita itu! Uru-
san nanti kita selesaikan kelak di kemudian hari!"
"Kami tahu kelemahanmu!" Dewa Cadas Pangeran
menyabut. "Kalau kau masih ingin selesaikan urusan
kelak kemudian hari, turuti apa yang diminta pemuda
kawan kita itu! Jika tidak, berarti urusan itu akan kita selesaikan malam ini
juga!" Tengkuk Hantu Pesolek jadi merinding. "Daripada
nyawaku melayang dengan membawa dendam tak ter-
balas, lebih baik kuturuti saja permintaannya! Dengan begitu aku masih punya
kesempatan untuk memba-las!"
Tanpa buka suara, tangan Hantu Pesolek menyeli-
nap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar dan disentakkan,
kantong putih melayang ter-
campak di atas tanah!
"Kantong itu adalah titipan nyawa kalian! Kelak aku
akan mengambilnya lagi beserta nyawa kalian!" seru
Hantu Pesolek. Sekali membuat gerakan sosoknya ber-
kelebat menuruni Bukit Toyongga.
"Jangan mimpi kau bisa lari!" Tiba-tiba Dewi Bunga
Asmara membentak garang. Namun sebelum sosoknya
sempat berkelebat mengejar Hantu Pesolek, Dewa Ca-
das Pangeran telah berkata.
"Gadis cantik.... Sakit hati memang belum tuntas.
Tapi kau harus sadar. Lagi pula kelak mungkin kau
masih bisa berjumpa dengannya lagi. Kau tak usah
mencarinya, karena dia akan datang mencariku. Kau
cukup bersamaku kalau ingin bertemu dengannya la-
gi...." Walau kemarahannya masih membuncah akibat
kematian gurunya di tangan Hantu Pesolek, namun
ucapan Dewa Cadas Pangeran masih membuat Dewi
Bunga Asmara berpikir. Hingga dia batalkan niat un-
tuk mengejar Hantu Pesolek. Sebaliknya segera me-
langkah ke arah sosok mayat Ratu Selendang Asmara.
Di lain pihak, begitu Hantu Pesolek berlalu, murid
Pendeta Sinting segera melompat mengambil kantong
putih yang tercampak di tanah.
Namun baru saja tangan kanan Pendekar 131 men-
julur ke bawah, satu deruan dahsyat menghampar.
Gelombang pukulan menggebrak diiringi semburatnya
asap hitam. Murid Pendeta Sinting sempat berseru kaget. Dia
urungkan niat untuk mengambil kantong di tanah. Se-
lain karena tiba-tiba pemandangan menjadi hitam pe-
kat, dia harus cepat menghadang pukulan yang da-
tang. Joko cepat putar tubuh. Bersamaan itu kedua tan-
gannya bergerak menyentak.
Wuutt! Wuuuutt!
Sinar kuning berkiblat disertai suara gemuruh luar
biasa dan hawa panas menyengat. Inilah tanda kalau
Joko lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Kali ini Joko memang tidak segan-segan
lepaskan pukulan andalan,
karena dia maklum bukan saja nyawanya yang harus
diselamatkan, namun kantong di atas tanah juga tidak boleh lepas ke tangan orang
lain. Untuk kesekian kalinya puncak bukit dibuncah le-
dakan keras. Asap hitam langsung semburat berenta-
kan. Saat bersamaan satu sosok hitam terpental men-
celat lalu terjengkang di atas tanah.
Joko sendiri tampak terhuyung-huyung sebelum
akhirnya jatuh terduduk. Ketika dia luruskan kepala-
nya ke depan, di seberang sana sosok hitam yang telah terjengkang bergerak
bangkit. Ternyata orang ini adalah Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah sendiri langsung kerahkan
telaga dalamnya. Seolah tidak mau memberi kesempa-
tan, dia sudah berkelebat ke depan sebelum Pendekar
131 bergerak bangkit.
Mungkin menduga lawan telah terluka cukup parah
setelah bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu
Pesolek, Bayangan Tanpa Wajah terus melesat ke de-
pan. Dan tahu-tahu kaki kanannya sudah lepas ten-
dangan ke arah kepala Joko sementara tangan kiri ka-
nannya lepaskan hantaman ke arah perut.
Joko sentakkan tubuhnya ke belakang. Kakinya di-
angkat tinggi-tinggi seolah membuat gerakan bersalto.
Bukkkk! Buukk! Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan seruan te-
gang tertahan. Sosoknya terbanting ke samping dan jatuh menghantam tanah. Di
lain pihak, kedua kaki Jo-
ko yang terangkat ke atas langsung mental ke bawah
dan menggebrak tanah hingga perdengarkan debuman
keras dan membuat lobang menganga!
Terhuyung-huyung Bayangan Tanpa Wajah beran-
jak bangkit. Saat lain laki-laki berkulit hitam legam ini takupkan kedua
tangannya sejajar dada. Kejap itu juga terlihat bayangan hitam seolah-olah
keluar dari sosok
tubuh Bayangan Tanpa Wajah. Hingga yang terlihat
sekarang adalah dua sosok tubuh.
Karena sudah pernah bentrok dengan Bayangan
Tanpa Wajah, Joko tahu persis apa yang hendak dila-
kukan Bayangan Tanpa Wajah. Hingga begitu dari so-
sok tubuh Bayangan Tanpa Wajah akan keluar lagi sa-
tu bayangan hitam, murid Pendeta Sinting segera le-
paskan pukulan 'Lembur Kuning' ke arah sosok
Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah terlengak. Terlambat bagi-
nya membuat gerakan menghadang atau menghindar.
Hingga tanpa ampun lagi sosok Bayangan Tanpa Wa-
jah tersapu mental hingga beberapa tombak sebelum
akhirnya terkapar di atas tanah dengan pakaian terbakar dan mulut muntahkan
darah. Laki-laki ini sempat
mengejang beberapa saat sebelum akhirnya diam tak


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak-gerak lagi.
DELAPAN PENDEKAR 131 melangkah terhuyung-huyung me-
ngambil kantong yang tergeletak di atas tanah. Saat
itulah terdengar suara sesenggukan. Joko berpaling.
Terlihat Bidadari Bulan Emas tengah tengkurap di
atas tubuh Hantu Bulan Emas dengan bahu bergun-
cang dan terisak.
"Bidadari...," kata murid Pendeta Sinting seraya me-
langkah mendekati. "Maafkan aku. Aku tidak bermak-
sud...." "Tidak ada yang perlu dimaafkan...." Bidadari Bulan
Emas sudah menyahut dengan suara tersendat dan
angkat kepalanya memandang ke arah Joko.
"Tapi kematian gurumu karena bentrok dengan-
ku...." "Mungkin ini sudah takdir! Lagi pula aku sudah
memperingatkan sebelumnya...," kata Bidadari Bulan
Emas lalu pandangi wajah Hantu Bulan Emas.
Pendekar 131 lebih mendekat, lalu jongkok di sam-
ping Bidadari Bulan Emas. Namun sebelum benar-
benar jongkok, sang Bidadari sudah angkat suara.
"Pendekar 131.... Harap tidak menambah urusan di
tempat ini.... Aku tidak ingin terjadi urusan dengan gadis-gadis itu...!"
Bidadari Bulan Emas arahkan pandangannya pada Dewi Bunga Asmara, Mei Hua, dan
Siao Ling Ling.
"Bidadari...."
Belum sampai Joko teruskan ucapan, Bidadari Bu-
lan Emas sudah gerakkan kepala seraya memotong
ucapan Joko. "Sudahlah.... Tinggalkan aku! Biarkan aku berdua
dengan guruku pada saat terakhir ini...."
"Bidadari.... Kau jangan salah duga...," ujar Joko
tanpa beranjak dari samping Bidadari Bulan Emas.
"Pendekar 131.... Mata dan perasaanku tidak bisa
menipu. Aku tahu bagaimana perasaan gadis-gadis itu
padamu. Maka dari itu jangan mempersulit diri dengan membakar perasaan mereka.
Hal itu nantinya bukan
saja membuat dirimu ditimpa urusan, namun aku juga
akan ikut makan getahnya.... Kuharap kau mau men-
jauh dari sisiku walau sebenarnya aku sangat senang
berada berdampingan denganmu...."
Dada Joko jadi berdebar mendengar ucapan Bida-
dari Bulan Emas. Dia menghela napas panjang. "Jan-
gan-jangan dia juga.... Ah. Mungkin ini hanya duga-
anku saja...! Tapi ucapannya...."
Selagi Joko membatin begitu, tiba-tiba dari depan
sana terdengar orang membentak.
"Kuperingatkan kau agar menyingkir dan me-
nunggu hingga tiba giliranmu!"
Yang perdengarkan bentakan ternyata Siao Ling
Ling. Seraya membentak keras, dia memandang tajam
pada Guru Besar Liang San.
"Aku memang akan menunggu giliran! Tapi aku te-
gak di sini tidak ada hubungannya dengan kematian
ayahmu!" "Lalu..."!" kembali Siao Ling Ling membentak.
"Gelang di tangan Panglima itu adalah benda pe-
ninggalan leluhur Shaolin. Aku harus menyelamatkan-
nya dari tangan orang lain!"
"Baik! Tapi tunggulah sampai aku membayar nyawa
ayahku! Setelah itu persetan dengan urusan gelang
Ku!" "Kau kira aku tidak tahu apa yang ada di balik uca-
panmu, hah"! Kau sebenarnya menginginkan gelang
itu juga!"
"Buka telingamu lebar-lebar, Guru Besar! Nyawa
ayahku tidak bisa ditukar dengan seribu gelang seperti Ku! Aku hanya
menginginkan nyawanya!"
"Kau tidak akan bertindak khianat seperti ayah-
mu"!" tanya Guru Besar Liang San membuat paras wa-
jah Siao Ling Ling merah mengelam dan pelipisnya
bergerak-gerak.
"Kau sadar dengan ucapanmu, Guru Besar"! Kau
juga adalah pengkhianat! Bahkan kau adalah pembu-
nuh saudara dan gurumu sendiri!"
Guru Besar Liang San terdiam. Kesempatan itu di-
gunakan oleh Siao Ling Ling untuk segera maju dan
hantamkan kedua tangannya ke arah Panglima Muda
Lie. Guru Besar Liang San tidak berusaha membuat ge-
rakan. Namun sepasang matanya terus memperhati-
kan tangan sang Panglima yang memegang gelang ba-
ja. Sang Panglima sendiri coba bergerak mundur de-
ngan seret tubuhnya. Namun luka yang dideritanya
membuat gerakannya amat lamban. Hingga baru saja
tubuhnya bergerak mundur, kedua tangan Siao Ling
Ling sudah satu depa menghantam di depan dadanya!
Satu jengkal lagi dada Panglima Muda Lie pecah
terhantam kedua tangan Siao Ling Ling, mendadak sa-
tu gelombang berkiblat. Siao Ling Ling tersurut mun-
dur dua langkah. Saat lain putri Baginda Ku Nang ini balikkan tubuh.
Tujuh langkah di depannya Mei Hua tegak dengan
kedua tangan masih berada di atas udara.
"Ternyata kau ingkar janji!" hardik Siao Ling Ling.
Mei Hua gelengkan kepala. "Aku tidak ingkar janji.
Hanya saja kuharap kau berbaik hati padaku...!"
"Berbaik hati apa"!"
"Urusan ini biar kuselesaikan sendiri! Kalau kau in-
ginkan gelang itu, silakan ambil, tapi jangan sentuh tubuhnya! Aku yang akan
menjatuhkan hukuman atas
tindakannya!"
Siao Ling Ling tertawa pendek. "Aku juga adalah
seorang anak. Aku tidak percaya dengan ucapanmu!
Mana ada seorang anak akan jatuhkan hukuman pada
ayahnya"!"
"Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku men-
junjung tinggi kebenaran! Siapa yang salah harus di-
hukum meski dia adalah ayahku!"
"Berkata memang mudah!"
"Terserah kau mau bilang apa! Yang pasti aku tidak
akan biarkan siapa saja yang menyentuh tubuhnya!"
"Bagus! Berarti kau ingin mampus sekalian bersa-
ma pengkhianat itu!"
Belum selesai ucapannya, Siao Ling Ling sudah me-
lompat ke depan. Kedua tangannya berkelebat le-
paskan jotosan ke arah kepala Mei Hua.
Mei Hua cepat rundukkan kepala, lalu hantamkan
kedua tangannya ke arah kelebatan kedua tangan Siao
Ling Ling. Bukk! Buuukk! Dua gadis ini sama perdengarkan seruan. Tubuh
masing-masing tersurut mundur beberapa langkah.
Paras keduanya sama berubah. Saat itulah Guru Besar
Liang San melompat. Tangan kanannya berkelebat
menyambar gelang baja di tangan Panglima Muda Lie.
Panglima Muda Lie sengaja membiarkan gelang baja
di tangannya disambar Guru Besar Liang San. Namun
bersamaan dengan itu tangan satunya yang sedari tadi siap, berkelebat.
Bruuss! Guru Besar Liang San terlempar mundur dengan
tangan kiri pegangi lambungnya yang kucurkan darah.
Sementara tangan kanannya yang telah memegang ge-
lang segera menyelinap ke balik pakaiannya simpan
gelang baja yang baru saja disambar dari tangan Pan-
glima Muda Lie.
Guru Besar Liang San perhatikan sosok Panglima
Muda Lie beberapa saat. Lalu cepat gerakkan tangan
kanan ke arah lambungnya yang ternyata telah tertan-
cap sebilah pisau pendek. Dia menotok sekitar pisau
yang menancap. Kejap lain tangan kirinya bergerak
cabut pisau. Dan sekali membuat gerakan, sosoknya
telah mengudara. Tangan kirinya berkelebat.
Wuutt! Pisau berlumuran darah yang tadi menancap di
lambung Guru Besar Liang San menderu cepat ke arah
Panglima Muda Lie yang tampak tercekat tegang. Seka-
lipun laki-laki bekas kepercayaan Baginda ini berusa-ha mengelak, tapi tak urung
lesatan pisau ini lebih cepat datangnya.
Bruss! Panglima Muda Lie perdengarkan jeritan tinggi. Dari
bagian dadanya muncrat kucuran darah. Beberapa
saat kedua tangan sang Panglima coba cabut pisau mi-
liknya sendiri yang tadi dilemparkan dan menancap di lambung Guru Besar Liang
San. Namun gerakan kedua tangannya terhenti di tengah jalan. Lalu luruh
lunglai dengan napas terhenti!
Pendekar 131 yang tadi sempat tegak hendak me-
lompat segera diurungkan. Karena apa pun gerakan
yang dilakukan, tidak akan dapat menghadang lesatan
pisau yang disentakkan Guru Besar Liang San.
Di lain pihak, jeritan Panglima Muda Lie membuat
Mei Hua dan Siao Ling Ling berpaling. Serta-merta Mei Hua melompat ke arah sang
Panglima. Tapi cuma sesaat, saat lain gadis cantik ini segera sentakkan tubuh
menghadap Guru Besar Liang San. Saat yang sama,
Siao Ling Ling juga putar tubuh ke arah Guru Besar
Liang San. Laksana dikomando, Mei Hua dan Siao Ling Ling
sama melompat ke arah Guru Besar Liang San. Lalu
tegak berjajar tiga langkah di depan laki-laki berkepala gundul itu.
"Kau telah merampas hakku atas nyawanya! Berarti
kau yang harus menggantikannya!" Siao Ling Ling
angkat suara dengan setengah membentak.
"Kau harus bayar nyawanya!" Mei Hua berteriak se-
tengah menjerit dengan suara tersendat.
Habis berteriak begitu, kedua gadis yang sama ber-
paras cantik itu maju dua langkah. Tangan mereka
berkelebatan menghantam Guru Besar Liang San.
Terdengar beberapa kali benturan keras. Namun
meski tidak membuat gerakan apa-apa, sosok Guru
Besar Uang San tidak bergeming dari tempatnya!
Mendapati hal demikian, Mei Hua jadi kalap. Lak-
sana orang kesetanan dia kerahkan segenap tenaga
dalam yang dimiliki, lalu menghantam lagi ke arah
Guru Besar Liang San. Di lain pihak, Siao Ling Ling tak tinggal diam. Dia juga
himpun segenap tenaga dalamnya. Lalu membabi buta menghantam ke sekujur
tubuh Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San tetap diam. Tangan kanan-
nya disedekapkan di depan dada sementara tangan kiri memegangi lambungnya.
Beberapa saat berlalu. Mungkin karena kehabisan
tenaga begitu Guru Besar Liang San hentakkan pun-
daknya, kedua tangan Mei Hua dan Siao Ling Ling
mental ke udara. Lalu sosok kedua gadis itu terjeng-
kang roboh. Mei Hua dan Siao Ling Ling tidak ambil peduli, me-
reka segera bangkit. Tapi mereka tersentak kaget. Mereka bukan saja tidak mampu
bergerak bangkit, tapi
mereka merasakan tubuhnya tegang kaku tak bisa di-
gerakkan!"
"Pukulan 'Inti Tanpa Raga'!" berseru Dewa Asap Ka-
yangan mengenali apa yang baru saja dilakukan Guru
Besar Liang San pada Mei Hua dan Siao Ling Ling
hingga kedua gadis itu tidak bisa bergerak dan bersua-ra. "Kalian anak-anak
manusia pengkhianat! Kalian
pantas untuk menyusul sekalian ke alam kubur!"
Guru Besar Liang San mendesis. Sekali membuat ge-
rakan, tangan kanan kirinya bergerak lepaskan puku-
lan ke arah Mei Hua dan Siao Ling Ling yang sudah
tak berdaya. "Tahan!" Pendekar 131 berteriak seraya sentakkan
kedua tangannya.
Kedua tangan Guru Besar Liang San tersentak ke
udara. Hingga meski dari kedua tangannya menderu
gelombang dahsyat, namun sasarannya adalah udara
kosong di atas sana.
Guru Besar Liang San berpaling. Pendekar 131 te-
lah tegak lima langkah di hadapannya dengan kem-
bangkan senyum meski dadanya masih terasa nyeri
akibat bentrok dengan Hantu Pesolek dan Hantu Bu-
lan Emas. Guru Besar Liang San melangkah maju dua tindak.
"Gelang dan dua kantong itu!" kata Guru Besar
Liang San sambil menunjuk ke arah tubuh Joko. "Se-
rahkan semuanya padaku!"
"Guru Besar.... Seharusnya kau yang serahkan ge-
lang itu padaku!" sambut Joko.
"Pemuda asing! Benda-benda ini adalah milik Per-
guruan Shaolin! Kau tidak pantas memilikinya!"
"Guru Besar Pu Yi telah memberi mandat padaku!"
"Perguruan Shaolin bukan punya Pu Yi. Dia juga
bukan satu-satunya manusia yang berhak untuk
memberi perintah!"
"Aku tak tahu urusan itu! Yang jelas aku jalankan
perintah!"
"Hem.... Kau sudah tidak rindu lagi kampung hala-
manmu"!" tanya Guru Besar Liang San.
"Aku percaya jika masih bisa pulang...."
"Kau memang bisa pulang, Anak Muda! Bahkan aku
bersedia mengantar.... Tapi kau akan pulang tanpa gelang dan kedua kantong itu!"
"Kau salah, Guru Besar! Justru aku akan pulang
dengan membawa serta gelang yang ada padamu...!"
"Aku ingin buktikan ucapanmu!" hardik Guru Besar
Liang San. Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan-
nya langsung berkelebat lepas pukulan.
Bukkkl Bukkk! Terdengar benturan kala Joko angkat kedua tan-
gannya menghadang. Kedua kaki murid Pendeta Sin-
ting sempat goyah. Namun dia cepat kerahkan tenaga
dalam dan kini mendahului melompat seraya ganti le-
paskan pukulan.
Bukkl Bukkk! Kedua tangan Pendekar 131 telak menghantam da-


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da Guru Besar Liang San. Tapi meski Guru Besar
Liang San tidak menghadang pukulan Joko dan tidak
coba menghindar, sosoknya tidak bergeming sama se-
kali. "Aku penasaran! Apakah dia sanggup bertahan dari
pukulanku!" kata Joko dalam hati. Dia kembali lipat
gandakan tenaga dalam lalu maju dan mulai menghan-
tam bertubi-tubi ke arah sosok Guru Besar Liang San.
Namun hingga Joko kelelahan sendiri dan tena-
ganya habis, sosok Guru Besar Liang San tidak berge-
rak sedikit pun!
Pendekar 131 mundur empat langkah. Dia telah
siap lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Kedua tan-
gannya sudah berubah warna.
Di depan, Guru Besar Liang San tersenyum. Tidak
tampak ketakutan pada raut wajahnya meski dia tadi
telah tahu bagaimana pukulan yang dilepas Joko saat
bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan Hantu Peso-
lek. Malah laki-laki berkepala gundul ini berujar.
"Ternyata kau dilahirkan untuk mampus di tanah
orang! Bahkan kau mampus saat berhadapan dengan
lawan yang tidak membuat gerakan apa-apa!"
Dada Pendekar 131 jadi panas mendengar ucapan
Guru Besar Liang San. Tanpa menyambut ucapan
orang, dia melompat.
Namun sebelum kedua tangan murid Pendeta Sin-
ting sempat lepaskan pukulan, mendadak satu suara
terdengar. "Anak muda! Serahkan urusan dia padaku!"
Satu sosok tubuh berkelebat. Joko batalkan niat la-
lu menoleh. Guru Besar Liang San lirikkan ekor mata-
nya. SEMBILAN DADA Guru Besar Liang San berdebar tidak enak.
Seketika dia sentakkan kepala berpaling. Serta-merta tubuhnya laksana didorong
kekuatan dahsyat hingga
kedua kakinya tersurut satu tindak dengan mata
membelalak seolah tidak percaya dengan apa yang di-
lihatnya. "Dari pakaian dan sikapnya, jelas orang ini dari Perguruan Shaolin!" Joko
membatin ketika matanya meli-
hat seorang laki-laki berkepala gundul mengena-kan
pakaian warna kuning panjang yang di bagian pun-
daknya dililit kain berwarna merah. Paras wajah orang ini hampir mirip dengan
Guru Besar Liang San. Dia tegak dengan kedua tangan menakup di depan dada dan
kepala sedikit ditundukkan.
"Amitaba...." Dewa Asap Kayangan angkat bicara.
"Bahagia sekali bisa jumpa denganmu lagi, Guru Besar Wu Wen She...."
"Amitaba...." Dewa Cadas Pangeran menyahut. "Aku
hampir tak percaya jika kau yang muncul di tempat
ini! Kabar yang sampai di telingaku, kau lenyap begitu saja tanpa ada
berita...."
"Amitaba...." Laki-laki yang baru muncul dan kini
tegak tidak jauh dari Pendekar 131 buka mulut seraya putar diri menghadap Dewa
Asap Kayangan dan Dewa
Cadas Pangeran. "Tuhan masih memberkatiku hingga
aku bisa berada di tempat ini. Kuucapkan terima kasih atas bantuan sahabat
berdua...."
"Guru Besar Wu Wen She...." Joko bergumam. Lalu
tatapi laki-laki yang baru muncul dan bukan lain adalah Guru Besar Wu Wen She
dari ujung kepala sampai
ujung kaki. Baru saja Joko bergumam begitu, Guru Besar Wu
Wen She berkata.
"Anak muda.... Aku juga mengucapkan terima kasih
atas segala jerih payahmu selama ini. Dan kalau kau
tak keberatan, urusan dengan Guru Besar Liang San
harap diberikan padaku...."
"Amitaba...." Joko ikut-ikutan takupkan kedua tan-
gan di depan dada lalu tundukkan kepalanya sedikit.
"Aku tak keberatan urusan ini kau selesaikan.... Ta-
pi...." "Aku tahu," potong Guru Besar Wu Wen She yang
bukan lain adalah adik Guru Besar Liang San yang le-
nyap begitu saja saat terjadi peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin beberapa
waktu yang lalu.
"Kau tak usah khawatir. Aku tidak akan ikut cam-
pur urusan yang ada kaitannya dengan peta wasiat mi-
lik Shaolin. Aku hanya ingin mendudukkan masalah
yang ada hubungannya dengan peristiwa berdarah di
Perguruan Shaolin...."
"Wu Wen She!" Tiba-tiba Guru Besar Liang San me-
nyahut. "Kau datang terlambat! Kau datang di tempat
yang salah! Kalau kau ingin menyelesaikan urusan
Perguruan Shaolin, kita selesaikan urusan itu di Kuil Shaolin!"
Guru Besar Wu Wen She geleng kepala. "Semua
yang ada di tempat ini serta urusannya masih berkai-
tan dengan Perguruan Shaolin. Jadi tak ada salahnya
kalau urusan itu kita selesaikan di tempat ini!"
"Hem.... Aku ingin tahu bagaimana penyelesaian
yang kau inginkan!"
"Aku telah berada di sekitar tempat ini sebelum kau
muncul! Aku tahu apa yang kalian bicarakan! Tapi aku ingin tahu jawaban dari
mulutmu sendiri! Benar kau
bersekongkol dengan pihak kerajaan dalam peristiwa
tewasnya kakak Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Be-
sar Su Beng Siok"!"
"Kau bertanya pada orang yang salah!"
Guru Besar Wu Wen She kernyitkan kening. "Me-
nurutmu, pada siapa aku harus bertanya"!"
Guru Besar Liang San tertawa. "Sebentar lagi kau
akan bertemu dengan orang yang bisa menjawab per-
tanyaanmu! Kau tak usah khawatir. Aku yang akan
mengantarmu!"
Tampaknya Guru Besar Wu Wen She masih belum
bisa menangkap arah pembicaraan Guru Besar Liang
San. Hingga dia berujar.
"Sepertinya aku tidak menemukan orang lain yang
bisa menjawab pertanyaanku...!"
Guru Besar Liang San tersenyum sambil gelengkan
kepala. "Kau kali ini salah ucap. Kau akan menemu-
kan orang yang paling tepat untuk menjawab perta-
nyaanmu. Sekaligus kau akan bertemu dengan sauda-
ra-mu!" Guru Besar Wu Wen She terhenyak. "Amitaba....
Jadi yang kau maksud...."
Belum sampai Guru Besar Wu Wen She lanjutkan
ucapan, Guru Besar Liang San sudah menukas.
"Tidak ada orang yang paling tepat untuk menjawab
pertanyaanmu selain Pu Yi dan Maha Guru Besar Su
Beng Siok. Jadi aku akan mengantarmu menemui me-
reka!" Guru Besar Wu Wen She menghela napas panjang.
"Aku ingin dengar jawaban darimu!"
"Kau sudah dengar jawabanku!"
"Kau tidak mau berterus terang. Berarti kau me-
mang terlibat dalam peristiwa berdarah itu!"
"Jawaban pastinya bisa kau tanyakan sesaat lagi!"
Habis berucap begitu, Guru Besar Liang San sudah
kelebatkan kedua tangannya seraya melompat.
Guru Besar Wu Wen She bukannya membuat ge-
rakan menghadang, melainkan melompat menghindar.
Lalu berkata. "Aku tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah!
Aku ingin kau mempertanggungjawabkan perbuatan-
mu di hadapan Perguruan Shaolin!"
"Sekarang ini akulah pemimpin Perguruan Shaolin.
Aku yang menentukan siapa yang harus bertanggung
jawab di depan Perguruan Shaolin!"
Guru Besar Wu Wen She tidak sempat lagi untuk
buka suara. Karena sekonyong-konyong Guru Besar
Liang San sudah berkelebat ke arah mana Guru Besar
Wu Wen She berdiri tegak.
Mungkin karena punya dugaan kalau Guru Besar
Wu Wen She akan berkelebat menghindar, begitu me-
layang di udara, Guru Besar Liang San sudah lepaskan pukulan jarak jauh
bertenaga dalam tinggi.
"Amitaba...." Guru Besar Wu Wen She buka mulut.
Tapi laki-laki itu tidak berusaha menghindar hingga
gelombang dahsyat yang menggebrak dari kedua tan-
gan Guru Besar Liang San berkiblat tanpa halangan ke arah tubuhnya!
"Aneh.... Mengapa dia seakan pasrah"!" gumam
Pendekar 131 lalu sentakkan kedua tangannya.
Bummm! Sosok Guru Besar Liang San terdorong ke samping.
Sementara Pendekar 131 tersurut ke belakang.
Dengan menahan rasa sakit, murid Pendeta Sinting
segera mendekati Guru Besar Wu Wen She. Lalu berbi-
sik. "Bukannya aku menggurui. Tapi kalau begini ca-
ranya, urusan Perguruan Shaolin tidak akan selesai!"
Guru Besar Wu Wen She tersenyum. "Urusan justru
tidak akan selesai kalau kekerasan dilawan dengan
kekerasan!"
"Tapi itu bunuh diri!"
"Tidak, Anak Muda.... Menurut perhitungan manu-
sia hal itu memang bunuh diri. Tapi tidak demikian
dengan perhitungan Yang Di Atas Sana...."
"Aku jadi tak mengerti...," gumam murid Pendeta
Sinting. "Anak muda.... Memang diperlukan waktu untuk
mengerti hal semacam itu...."
Baru saja Guru Besar Wu Wen She berucap begitu,
tiba-tiba Guru Besar Liang San sudah melompat dan
tegak di hadapan Pendekar 131.
"Anak muda.... Karena aku tidak bisa melawannya,
kuharap kau mau menolongku...!" Guru Besar Wu
Wen She berbisik.
"Dia memiliki ilmu yang membuatnya tahan segala
pukulan!" Joko menyahut.
"Aku tahu di mana titik lemahnya. Aku akan me-
ngatakannya padamu. Tapi kuharap kau nanti tidak
bertindak lebih jauh. Dia masih punya tugas untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya selama ini di
depan Perguruan Shaolin."
Joko anggukkan kepala. Guru Besar Wu Wen She
melirik pada Guru Besar Liang San. Lalu berbisik.
Totok beberapa titik putih di kepalanya. Hindari
bentrok langsung dengan cara berhadapan, karena dia
memiliki ilmu 'Inti Tanpa Raga' yang dapat melakukan totokan dari jarak jauh
tanpa harus melakukan gerakan!"
"Apa yang kalian bicarakan, hah"!" bentak Guru
Besar Liang San dengan dada berdebar.
Yang dibentak tidak ada yang menyahut. Sebaliknya
Guru Besar Wu Wen She segera berkelebat lalu tegak
tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap
Kayangan. Guru Besar Liang San sudah berniat akan me-
ngejar, tapi Joko sudah menghadang dan langsung
membuat gerakan berputar. Tangan kiri kanannya
berkelebat ke arah kepala Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San sempat terkesiap dengan ge-
rakan murid Pendeta Sinting. Dia cepat rundukkan
kepalanya dan disentakkan ke belakang. Saat yang
sama kedua tangannya segera berkelebat menahan ge-
rakan kedua tangan Joko.
Joko batalkan niat. Dia buru-buru tarik pulang tan-
gannya, lalu berkelebat memutar lagi, membuat Guru Besar Liang San ikut
sentakkan tubuhnya memutar.
Laki-laki berkepala gundul ini mulai curiga dengan gerakan Joko, hingga begitu
memutar, dia segera le-
paskan pukulan jarak jauh meski Joko tidak berada
jauh darinya. Wuutt! Wuuutt! Pendekar 131 lorotkan tubuh hingga sejajar tanah,
lalu melompat ke belakang sosok Garu Besar Liang
San. Gelombang yang tadi menderu ke arah Joko,
menggebrak udara kosong dan menerabas beberapa
ujung jajaran pohon di lamping bukit. Ujung jajaran pohon langsung patah dan
tersapu amblas.
Kecurigaan Guru Besar Liang San membuatnya ti-
dak mau bertindak ayal. Begitu mendapati pukulannya
lolos menghajar sasaran, dia segera membuat gerakan
bersalto ke belakang seolah tahu kalau Joko tengah
kelebatkan kedua tangannya mengincar bagian kepa-
lanya. Bukkkl Bukkk! Gerakan salto Guru Besar Liang San membuat ke-
palanya selamat dari kelebatan tangan Joko. Tapi tangan itu masih mampu
menghajar wajah Guru Besar
Liang San. Namun saat itu juga kedua kaki Guru Be-
sar Liang San menggebrak ke arah dada Pendekar 131.
Joko berseru kesakitan. Sosoknya terhuyung ke be-
lakang hingga beberapa langkah. Di lain pihak, Guru
Besar Liang San teruskan saltonya meski kepalanya
sempat tersentak ke bawah akibat pukulan tangan Jo-
ko yang menghantam wajahnya. Hebatnya, meski pu-
kulan tangan Joko telah dialiri tenaga dalam kuat,
Guru Besar Liang San seolah tidak merasakan apa-
apa! Malah dia segera tegak dan siap melompat!
Joko tidak mau didahului. Begitu tahu Guru Besar
Liang San siap melompat, dia melesat dahulu ke de-
pan. Setengah jalan dia segera hentakkan kakinya ke
udara. Sosoknya melenting tinggi ke udara.
Guru Besar Liang San yang sudah menyergap ke
depan hendak menyongsong segera hentikan serga-
pannya. Dia tengadah mengikuti gerakan lawan. Begitu melihat Joko melayang
turun, dia bukannya segera
menyambut dengan hantamkan tangannya ke atas,
melainkan hentakkan kaki. Sosoknya membal seten-
gah tombak, saat lain dia tekuk tubuhnya dan me-


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

layang turun dengan kepala di bawah kaki di atas.
Begitu setengah depa lagi kepalanya sampai di atas
tanah, mendadak kedua tangannya disentakkan meng-
hantam tanah. Sosok Guru Besar Liang San mental lagi ke atas.
Namun kali ini dengan kepala berada di bawah semen-
tara kaki di atas!
Pendekar 131 yang masih melayang turun berpikir
cepat. Kejap lain dia jungkir balik di udara, lalu hantamkan kakinya ke arah
kaki Guru Besar Liang San.
Bukkl Bukk! Tubuh murid Pendeta Sinting terbanting di udara.
Sementara sosok Guru Besar Liang San tersentak ke
atas, hingga bagian atas tubuhnya yang berada di ba-
wah terangkat. Kesempatan ini tidak disia-siakan Joko. Meski ma-
tanya sudah berkunang-kunang dia masih mampu me-
lihat gerakan tubuh Guru Besar Liang San. Hingga be-
gitu bagian atas tubuh Guru Besar Liang San terang-
kat, dia cepat kelebatkan kedua tangannya.
Guru Besar Liang San terkesiap. Namun dalam
keadaan terjepit begitu rupa, dia masih bisa gerakkan kedua pundaknya!
"Mundur!" Guru Besar Wu Wen She berteriak mem-
peringatkan, tahu jika Guru Besar Liang San tengah
lepas pukulan 'Inti Tanpa Raga'.
Namun Joko tidak hiraukan teriakan orang, karena
dia yakin kali ini tangannya tidak akan meleset menghajar sasaran. Dia terus
menghantam. Bukkk! Bukkk! Pendekar 131 berhasil sarangkan gebukan pada ke-
pala Guru Besar Liang San tepat pada bagian beberapa titik putih di kepalanya.
Guru Besar Liang San berteriak. Saat yang sama
sosoknya melayang ke bawah tanpa membuat gerakan
apa-apa meski sepertinya orang ini masih mampu un-
tuk menghindar dari benturan dengan tanah di ba-
wahnya. Bukkk! Sosok besar Guru Besar Liang San terkapar di atas
tanah tanpa bisa bergerak lagi meski sepasang mata-
nya masih terbuka nyalang memperhatikan tubuh mu-
rid Pendeta Sinting yang juga melayang ke bawah tan-
pa membuat gerakan apa-apa hingga tubuhnya ter-
jengkang menghantam tanah.
"Busyet! Sekujur tubuhku tegang tak bisa digerak-
kan!" gumam Joko dalam hati seraya memandang
khawatir pada Guru Besar Liang San. "Celaka kalau
dia masih mampu bangkit!"
Mungkin karena khawatir, Joko coba kerahkan te-
naga dalam. Namun walau dia telah berusaha, tubuh-
nya tetap tegang kaku tak bisa digerakkan!
Joko makin cemas, tapi kecemasannya perlahan-
lahan sirna tatkala tahu Guru Besar Liang San juga tetap diam di atas tanah
tanpa membuat gerakan.
Saat itulah Guru Besar Wu Wen She melangkah ke
arah murid Pendeta Sinting, sementara Dewa Cadas
Pangeran bergerak ke arah Dewi Bunga Asmara, dan
Dewa Asap Kayangan menyusul mendekati Mei Hua
dan Siao Ling Ling yang masih terkapar di atas tanah tanpa bisa bergerak akibat
pukulan 'Inti Tanpa Raga'
yang dilepas Guru Besar Liang San.
SEPULUH AMITABA.... Terima kasih, Anak Muda!" kata Guru
Besar Wu Wen She seraya takupkan kedua tangan di
depan dada lalu bergerak jongkok. Kedua tangannya
segera ditarik dari dada.
"Maafkan, Anak Muda...," ujar Guru Besar Wu Wen
She. Kedua tangannya segera bergerak ke arah ubun-
ubun dan pusar murid Pendeta Sinting dengan jari
tengah dan jari telunjuk ditekuk.
Pendekar 131 berseru tertahan. Dia merasakan ba-
tok kepalanya seakan pecah dan perutnya ditimpa ba-
tangan besi, hingga perutnya terdorong deras ke belakang. Namun bersamaan dengan
itu, dia bisa gerakkan
anggota tubuhnya!
Di lain pihak, Dewa Asap Kayangan yang telah be-
rada dekat dengan Mei Hua dan Siao Ling Ling segera
pula lakukan seperti yang diperbuat Guru Besar Wu
Wen She pada murid Pendeta Sinting.
"Terima kasih...." Hampir berbarengan Mei Hua dan
Siao Ling Ling berucap. Namun bersamaan itu pula
mereka segera saling pandang.
"Aku tahu bagaimana perasaan kalian. Namun ka-
lian harus tahu satu hal. Masih ada sesuatu yang ha-
rus segera kalian lakukan. Dan tidak ada gunanya
urusan ini diperpanjang. Kematian adalah satu takdir yang tidak bisa dihindari
oleh makhluk yang bernyawa meski sebenarnya kita tidak menginginkan!"
Ucapan Dewa Asap Kayangan tampaknya membuat
Mei Hua dan Siao Ling Ling sadar meski dalam hati
keduanya masih menyimpan ganjalan. Siao Ling Ling
segera berpaling pada sosok mayat ayahandanya. Saat
lain gadis ini segera menghambur lalu memeluki sosok mayat Baginda Ku Nang
dengan sesenggukan.
Mei Hua sendiri sempat menoleh pada sosok mayat
ayahnya. Tapi begitu matanya melihat Guru Besar
Liang San yang diam tak bergerak di atas tanah karena kepalanya tertotok tangan
Pendekar 131, gadis cantik ini tak mampu menahan diri. Laksana terbang dia
berkelebat dan tegak di hadapan Guru Besar Liang San
dengan tubuh bergetar dan mata berkilat.
Tapi sebelum Mei Hua buka suara atau membuat
gerakan, Guru Besar Wu Wen She sudah angkat bica-
ra. "Putri Panglima.... Kuharap kau tabahkan hati....
Kuharap pula kau mau menolongku dengan membiar-
kan dirinya...."
"Dia telah membunuh ayahku!" saking marahnya
Mei Hua membentak.
"Itu benar.... Tapi tidak seharusnya dia dibunuh ka-
rena membunuh ayahmu. Biarkan dia membayar per-
buatannya dengan bertobat! Lagi pula masih ada se-
suatu yang harus dijelaskannya pada Perguruan Shao-
lin...." "Terlalu enak dia diberi kesempatan seperti itu! Bu-
kan tak mungkin dia bukannya bertobat, tapi melaku-
kan tindakan yang lebih bengis!"
"Kita tidak boleh memastikan apa yang belum terja-
di! Lagi pula aku bisa menjamin kalau dia tidak akan berbuat yang lebih
bengis...."
"Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu"!"
"Jika nantinya dia dinyatakan bersalah oleh Per-
guruan Shaolin, dia harus menjalankan pertobatan di
satu tempat yang mustahil baginya untuk bisa keluar!"
"Di mataku dia sudah jelas bersalah! Aku tak mau
mengikuti peraturan Shaolin!" Mei Hua melangkah ma-
ju. "Maafkan aku.... Aku tidak memaksamu untuk
mengikuti peraturan Shaolin. Aku hanya mengatakan
apa yang nantinya harus dijalani orang yang bersalah!"
"Dia harus membayar padaku dengan nyawanya!"
"Gadis cantik.... Mati bukan berarti menyelesaikan
masalah! Bukan aku membela diri. Tapi dengan kema-
tiannya, aku masih harus menanggung beban menja-
wab teka-teki apa yang sebenarnya terjadi saat peristi-
wa berdarah di Perguruan Shaolin. Kuharap kau mau
mengerti dan sekali lagi memaafkan aku jika kau ang-
gap hal ini adalah satu paksaan demi kepentinganku!"
Mei Hua terdiam beberapa saat. Matanya terus
pandangi sosok Guru Besar Liang San dengan mende-
lik tak berkesip.
"Mei Hua...." Joko ikut angkat bicara seraya me-
langkah mendekati. "Bukannya aku ikut campur ma-
salahmu. Tapi kurasa benar apa yang dikatakan Guru
Besar Wu Wen She...."
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Mei Hua
berpaling. Sepasang matanya menatap tajam pada bola
mata Joko. Entah apa yang dipikirkan gadis cantik putri Panglima Muda Lie ini,
yang jelas tanpa buka mulut lagi dia arahkan pandang matanya ke jurusan lain
lalu melangkah gontai ke arah sosok mayat ayahnya. Kejap
lain terdengar gadis ini menangis keras seraya tengkurap di atas sosok mayat
Panglima Muda Lie.
Sementara itu, di tempat mana Dewi Bunga Asmara
duduk bersimpuh di samping mayat Ratu Selendang
Asmara, Dewa Cadas Pangeran terlihat duduk bersila
lalu angkat bicara pelan.
"Kesedihan memang tidak bisa kita hindari. Tapi ka-
lau kita terus tenggelam dalam kesedihan, apa yang
akan kita dapatkan"!"
Perlahan Dewi Bunga Asmara menoleh. Namun dia
hanya memandang tanpa buka suara.
"Aku tadi bercanda ketika mengatakan hendak me-
ngajak jalan-jalan gurumu.... Tapi aku sekarang tidak main-main jika menawarkan
padamu untuk kuajak
serta bersamaku...."
Sepasang mata Dewi Bunga Asmara membesar. Wa-
lau wajahnya tertutup batu putih dan tidak bisa melihat gadis di dekatnya, namun
Dewa Cadas Pangeran
seolah tahu gelagat. Sebelum si gadis angkat bicara, Dewa Cadas Pangeran sudah
berkata lagi. "Jangan kau terlalu berprasangka. Aku tidak punya
niat jelek kalau menawarkan padamu untuk ikut ber-
samaku. Hal ini kukatakan karena aku tahu kau seka-
rang sebatangkara.... Tidak ada salahnya kalau kita
hidup bersama seperti dulu kau hidup bersama Ratu
Selendang Asmara...."
Dewi Bunga Asmara menghela napas panjang. Dia
paham apa maksud sebenarnya Dewa Cadas Pangeran.
Tapi dia tidak mau terburu-buru mengambil keputu-
san. Apalagi ketika ingat kedatangannya ke puncak
Bukit Toyongga adalah untuk mempertemukan Pende-
kar 131 dengan gurunya.
"Aku bukan tidak mau ikut bersamamu!" Akhirnya
Dewi Bunga Asmara berkata setelah agak lama ter-
diam. "Ada sesuatu yang harus kuselesaikan!"
Dewi Bunga Asmara tidak mau berterus terang den-
gan apa sebenarnya yang tengah menjadi pikirannya.
"Hem.... Kau ingin selesaikan urusan dengan pe-
muda tampan itu"!"
Paras Dewi Bunga Asmara langsung berubah. Bah-
kan dia segera berpaling jauh ke depan dengan dada
berdebar. "Aku ingin selesaikan soal kematian guruku!" kata
Dewi Bunga Asmara.
Dewa Cadas Pangeran tertawa. "Aku memang tidak
pandai menduga. Tapi firasatku mengatakan apa yang
baru kau katakan bukanlah hal yang akan segera kau
lakukan!" Dewi Bunga Asmara berpaling lagi. Dia ingin sekali
melihat bagaimana tampang Dewa Cadas Pangeran.
Namun hingga beberapa kali Dewi Bunga Asmara pu-
lang balikkan kepalanya ke samping, dia gagal meme-
nuhi keinginannya. Karena bersamaan dengan itu De-
wa Cadas Pangeran gerakkan kepala seolah mengikuti
gerakan kepala Dewi Bunga Asmara, hingga batu putih
di depan wajahnya terus bergerak menutupi.
"Dewi.... Aku bersedia menunggumu sampai kau se-
lesaikan urusanmu dengan pemuda di depan sana
itu...! Kalau kau malu mengatakan padanya, aku juga
bersedia membantu untuk mengatakannya!"
Tanpa menunggu sambutan Dewi Bunga Asmara,
Dewa Cadas Pangeran bergerak bangkit lalu melang-
kah ke arah pendekar 131.
"Tunggu!" Dewi Bunga Asmara menahan sambil me-
langkah mengejar dan berkata. "Biar aku yang menga-
takannya sendiri!"
Dewa Cadas Pangeran hentikan langkahnya, lalu
berbalik dan melangkah lagi ke arah mana sosok
mayat Ratu Selendang Asmara berada. Dewi Bunga
Asmara mengikuti dari belakang dengan wajah berse-
mu merah. "Kau yakin mampu mengatakan urusanmu dengan
pemuda itu!" Dewa Cadas Pangeran bertanya seraya
bungkukkan sedikit tubuhnya di samping mayat Ratu
Selendang Asmara. Sekali membuat gerakan sosok
mayat Ratu Selendang Asmara telah berada di pang-
kuan kedua tangannya.
"Akan kau bawa ke mana"!" Dewi Bunga Asmara
berseru agak keras.
"Bagi orang mati, sudah ditentukan di mana tem-
patnya! Sekarang aku akan menunggumu...."
Dewi Bunga Asmara tergagu diam. Dia dilanda ke-
bingungan. Di satu sisi dia memang ingin bicara den-
gan murid Pendeta Sinting, namun di sisi lain dia ke-bingungan bagaimana
memulai. Karena di situ ada Mei
Hua. Sementara dari gelagat dan sikapnya, Dewi Bun-
ga Asmara tahu bagaimana perasaan Mei Hua pada
Pendekar 131. "Kau butuh bantuanku"!" Dewa Cadas Pangeran
bertanya. Dewi Bunga Asmara tekan perasaan. Lalu buka mu-
lut, tapi bukannya menjawab pertanyaan orang.
"Kita harus segera menguburkan mayat Guru...."
"Kau tidak kecewa..."!"
Dewi Bunga Asmara lagi-lagi tidak menjawab perta-
nyaan Dewa Cadas Pangeran, sebaliknya segera me-
langkah mendahului tinggalkan puncak bukit.
Dewa Cadas Pangeran tidak lagi angkat bicara. Dia
segera pula melangkah di belakang Dewi Bunga Asma-
ra. Namun begitu hendak menuruni bukit, Dewa Ca-
das Pangeran berteriak.
"Pendekar 131! Setelah urusanmu nanti selesai, kau
harus segera menemuiku! Soal di mana kau bisa ber-
temu denganku, tanyalah pada sahabatku Dewa Asap
Kayangan! Kau tak usah bertanya. Yang pasti kau


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya janji dengan gadis cantik muridku ini! Kalau
kau tak berani datang sendirian, kau boleh ajak serta sahabatku itu! Bahkan aku
lebih suka kalau dia kau
angkat sebagai orangtua untuk sekaligus melamar mu-
ridku!" Dewi Bunga Asmara sentakkan kepalanya berpaling
pada Dewa Cadas Pangeran. Air mukanya sulit dilukis-
kan. Antara malu, senang, dan geram, hingga dia tidak kuasa lagi untuk buka
mulut, meski dia ingin sekali
berkata. Di seberang sana, Pendekar 131 menoleh. Bukan-
nya memandang pada Dewa Cadas Pangeran yang te-
gak dengan membopong mayat Ratu Selendang Asma-
ra, melainkan arahkan pandang matanya pada Dewi
Bunga Asmara yang saat itu juga tengah meman-
dangnya. Jika saja saat itu tidak ada orang lain yang men-
dengar, tentu Dewi Bunga Asmara akan terus tegak
sambil menunggu jawaban Joko. Di lain pihak, jika sa-ja di tempat itu tidak ada
Mei Hua, Bidadari Bulan
Emas, dan Siao Ling Ling, pasti murid Pendeta Sinting sudah berkelebat dan coba
menjelaskan. "Dewi.... Percayalah! Dia pasti akan datang mene-
muiku! Kau nanti bisa habiskan waktu ngobrol bersa-
manya.... Sekarang kita harus cepat menguburkan
mayat gurumu!"
Ucapan Dewa Cadas Pangeran membuat Dewi Bun-
ga Asmara tersadar. Dia menghela napas panjang. La-
lu dengan kaki berat dia berbalik setelah tersenyum
pada Pendekar 131. Saat lain kedua orang ini teruskan langkah menuruni Bukit
Toyongga. SEBELAS PENDEKAR 131.... kurasa sudah waktunya kau se-
lesaikan tugas yang kau emban." Guru Besar Wu Wen
She berkata membuat murid Pendeta Sinting berpal-
ing. Setelah terdiam sejenak Joko angkat bicara. "Guru
Besar.... Karena tugas itu bukan hakku lagi. Peta wasiat adalah milik Perguruan
Shaolin...!"
Habis berkata begitu, kedua tangan Joko menyeli-
nap ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar, di tangan kanannya
terlihat satu kantong putih dan gelang baja. Sementara di tangan kirinya tampak
satu kantong putih.
"Guru Besar...," kata Joko seraya ulurkan tangan
kapannya yang memegang kantong putih dan gelang
baja. "Kantong dan gelang ini pemberian Dewa Cadas
Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Aku tak tahu apa
isinya!" Joko hentikan ucapannya seraya melirik pada Dewa Asap Kayangan. Saat
lain dia ulurkan tangan kirinya yang memegang kantong putih. "Ini adalah kan-
tong yang tadi berada di tangan Hantu Pesolek. Aku
masih yakin, kantong inilah yang diambilnya dari-ku
beberapa hari yang lalu...."
"Anak muda...." Dewa Asap Kayangan berucap.
"Kantong dan gelang pemberianku dan pemberian De-
wa Cadas Pangeran adalah palsu!"
Mendengar ucapan Dewa Asap Kayangan, Joko se-
gera luruhkan kantong dan gelang di tangan kanannya
hingga jatuh di atas tanah. Lalu berkata.
"Aku tidak bisa menduga, tapi dari apa yang telah
terjadi, kupikir gelang yang ada di Guru Besar Liang San adalah yang asli!"
Kantong putih di tangan kirinya yang tadi diambil dari tangan Hantu Pesolek
dipindah ke tangan kanan, lalu dijulurkan pada Guru Besar Wu
Wen She. Guru Besar Wu Wen She gelang kepala. "Kau yang
mendapat tugas! Aku tidak berani menerima!"
"Tapi ini adalah milik Perguruan Shaolin!"
"Benar. Tapi kau telah mendapat tugas dari Kakak
Guru Besar Pu Yi. Berarti urusannya tidak lagi ada
kaitannya dengan Perguruan Shaolin...!"
"Kalau terus bicara, urusan ini akan ruwet. Apalagi
menghadapi orang macam dia!" kata Joko dalam hati.
Tanpa buka mulut lagi Joko melangkah mendekati
Guru Besar Liang San.
Karena tidak dapat menggerakkan tubuhnya, Guru
Besar Liang San tidak berusaha buka mulut meski da-
lam hati memaki habis-habisan saat Pendekar 131
jongkok di sampingnya lalu gerakkan tangan kiri ke
balik pakaiannya mengambil gelang baja.
Murid Pendeta Sinting memperhatikan gelang yang
baru diambilnya dari balik pakaian Guru Besar Liang
San. Lalu putar diri dan mendekati Guru Besar Wu
Wen She. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
"Gelang dan kantong ini kuserahkan padamu. Teri-
malah!" Guru Besar Wu Wen She tersenyum seraya geleng-
kan kepala. "Aku tidak berani menerimanya.... Bukan
karena apa, aku tak mau peristiwa yang sama akan
terjadi menimpa Perguruan Shaolin jika peta wasiat itu masih tersimpan di
Perguruan Shaolin...." Habis berkata begitu Guru Besar Wu Wen She tengadah
melihat bulan yang sudah tersuruk di bagian langit sebelah timur. Lalu berkata.
"Pendekar 131.... Malam hampir saja berujung. Peta
wasiat itu tidak akan ada artinya lagi jika belum disatukan hingga pagi hari
nanti datang. Sekarang aku
harus segera pergi. Sekali lagi kuucapkan terima kasih padamu... Juga pada
sahabat Dewa Asap Kayangan..."
Guru Besar Wu Wen She putar tubuhnya seraya men-
jura hormat pada Pendekar 131 dan Dewa Asap
Kayangan. Tanpa menunggu sambutan orang, Guru Besar Wu
Wen She mendekati sosok Guru Besar Liang San. Dan
tanpa buka mulut, Guru Besar Wu Wen She segera
mengangkat tubuh Guru Besar Liang San ke atas
pundak kirinya.
"Amitaba...," kata Guru Besar Wu Wen She sambil
takupkan kedua tangannya di depan dada dan tun-
dukkan sedikit kepalanya. "Selamat tinggal, Sahabat-
sahabat sekalian.... Kalau ada waktu luang, aku akan senang jika kalian mau
singgah ke Perguruan Shaolin."
Guru Besar Wu Wen She anggukkan kepala seraya
tersenyum. Dan sekali dia membuat gerakan, sosoknya
berkelebat lalu lenyap turun dari puncak Bukit Toyo-
ngga. "Anak muda.... Aku juga harus segera pergi!" Dewa
Asap Kayangan berkata seraya hendak melangkah.
"Kek! Tunggu!"
Tanpa berpaling Dewa Asap Kayangan buka suara.
"Kalau kau ingin memenuhi janji pada gadis cantik
yang tadi bersama Dewa Cadas Pangeran, datanglah ke
Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Aku menung-
gumu di sana dan siap mengantarmu melamar gadis
itu!" Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan berke-
lebat seraya perdengarkan tawa bergelak panjang hing-ga Mei Hua dan Siao Ling
Ling kaget dan berpaling. Di lain tempat, Bidadari Bulan Emas yang ternyata
sudah berdiri dengan membopong sosok mayat gurunya dan
hendak melangkah tinggalkan puncak bukit juga me-
noleh. Karena yang masih tegak di tempat itu adalah Pen-
dekar 131, Mei Hua, Bidadari Bulan Emas, dan Siao
Ling Ling sama arahkan pandang mata masing-masing
pada Joko. Dipandangi orang begitu rupa, murid Pendeta Sin-
ting jadi serba salah. Ingin berkata tak tahu apa yang harus dikatakan dan
canggung untuk memulai, ingin
segera pergi tapi dia masih ingin bicara dengan Mei
Hua untuk menjelaskan agar nantinya tidak lagi terja-di salah paham antara gadis
itu dengan Dewi Bunga
Asmara. Hingga akhirnya Joko hanya diam dan me-
mandang silih berganti pada Mei Hua, Siao Ling Ling, serta Bidadari Bulan Emas.
Di lain pihak, diam-diam antara Mei Hua, Siao Ling
Ling, dan Bidadari Bulan Emas sama lontar panda-
ngan. "Seandainya tidak ada orang lain.... Tapi pantaskah
aku berkata terus terang padanya" Ah.... Mengapa aku harus memikirkan soal itu"
Bukankah gadis murid Ra-tu Selendang Asmara adalah kekasihnya bahkan Dewa
Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan telah sepa-
kat untuk mempertemukan mereka"!" Diam-diam Mei
Hua membatin. Lalu membungkuk dan mengangkat
mayat ayahnya. Sebelum melangkah tinggalkan puncak bukit, Mei
Hua masih sempat arahkan pandangannya pada Pen-
dekar 131. Jelas mulutnya terbuka hendak bicara,
namun tiada sepatah kata pun yang terdengar hingga
gadis cantik putri Panglima Muda Lie ini melangkah
perlahan meninggalkan puncak Bukit Toyongga.
Pendekar 131 kuatkan hati untuk angkat bicara.
Namun yang terdengar hanya gumamannya yang tidak
jelas hingga akhirnya sosok Mei Hua turun dari pun-
cak bukit. Semua orang di tempat itu tidak tahu, keti-ka mulai melangkah turun,
Mei Hua segera berkelebat
dengan perdengarkan isakan tangis!
Begitu sosok Mei Hua lenyap dari puncak bukit, Bi-
dadari Bulan Emas tersenyum pada Pendekar 131. Di-
am-diam murid Hantu Bulan Emas ini berkata dalam
hati. "Aku tak mungkin mengharapkan dirinya.... Ba-
nyak gadis muda dan cantik yang mengharapkan diri-
nya! Ah.... Mengapa semua ini harus terjadi"!"
Habis membatin begitu, Bidadari Bulan Emas ang-
gukkan kepala ke arah Joko lalu tanpa berkata-kata
lagi dia melangkah meninggalkan puncak bukit.
"Bidadari! Tunggu!" Akhirnya Joko berhasil juga
angkat suara. Bidadari Bulan Emas berpaling. Dia menghela na-
pas panjang. Saat bersamaan kepalanya menggeleng.
"Bidadari...." Hanya itu suara yang terdengar dari
mulut murid Pendeta Sinting dan tidak dilanjutkan,
karena di seberang sana Bidadari Bulan Emas sudah
berkelebat menuruni puncak bukit.
Pendekar 131 menghela napas. Saat itulah dia me-
nangkap gerakan Siao Ling Ling yang melangkah hen-
dak tinggalkan puncak bukit.
"Hem.... Apa yang harus kukatakan padanya"! Lagi
pula pantaskah aku bicara dalam keadaan dia bela-
sungkawa begini rupa"!"
Karena terus bergelut dengan pikirannya sendiri,
Joko baru tersadar saat kaki Siao Ling Ling yang membopong tubuh mayat Baginda
Ku Nang mulai menu-
runi bukit, hingga ketika dia akan buka mulut, sosok Siao Ling Ling sudah tidak
kelihatan lagi.
"Ah.... Aku masih punya waktu untuk menjelaskan
pada mereka...." Akhirnya Joko bergumam untuk me-
nenangkan dirinya yang dibuncah dengan berbagai pi-
kiran yang tak bisa dipecahkannya. Dan saat itulah
pandangannya membentur pada bulan di bagian timur
langit. "Malam ganda sepuluh hampir saja lewat! Aku ha-
rus segera membuka peta wasiat ini!" Joko duduk di
atas tanah. Sesaat dia pandangi kantong dan gelang
baja di tangannya.
Setelah menghela napas berulang kali, perlahan-
lahan tangan kanannya meletakkan kantong putih di
atas pangkuannya. Kini kedua tangannya memegang
gelang baja. Dengan tangan bergetar, Joko segera me-
narik gelang itu dari kedua sisi.
Gelang baja terbelah. Lalu tampaklah gulungan
kain putih di atas batangan gelang. Dengan hati-hati Joko menarik gulungan kain
dari batangan gelang. La-lu dibuka perlahan-lahan. Ternyata gulungan kain pu-
tih itu kosong.
Kain putih diletakkan di atas pangkuannya. Kini dia
mengambil kantong putih dan membukanya. Ternyata
kantong itu juga berisi gulungan kain yang mirip sekali dengan gulungan kain di
batangan gelang. Kain ini ju-ga kosong.
"Menurut Bu Beng La Ma, peta itu baru tertera jika
kain ini dihadapkan pada rembulan...."
Pendekar 131 segera sambung kain yang tadi bera-
da di batangan gelang dan kain yang diambilnya dari
kantong putih. Lalu dengan kedua tangannya, kain pu-
tih itu direntangkan di depan wajahnya tepat mengha-
dap sinar bulan.
Ada satu keanehan. Tiba-tiba sinar rembulan lak-
sana ditutup awan hingga untuk beberapa saat suasa-
na jadi gelap gulita. Namun cuma sekejap. Di lain saat suasana kembali terang.
Joko merasakan kain yang direntangkan laksana didorong kekuatan dahsyat. Tapi
juga sekejap. Tatkala suasana terang, kekuatan yang
seolah mendorong rentangan kain di tangannya le-
nyap. Joko arahkan pandangannya pada rentangan kain.
Matanya membelalak. Pada rentangan kain itu seka-
rang tertera goresan-goresan warna hitam membentuk
gambar peta! Di salah satu gambar peta terlihat bun-
daran agak besar. Di tengah bundaran terlihat gambar sebuah peti yang tepat di
tengahnya menancap sebilah pedang.
Perlahan-lahan Joko turunkan kedua tangannya.
Lalu pandangi gambar peta di rentangan kain. "Hm....
Dari gencarnya beberapa tokoh yang menginginkan pe-
ta ini, jelas pedang ini bukan pedang sembarangan!
Sementara isi peti itu bukan tak mungkin adalah harta karun...." Joko bergumam
menduga-duga gambar da-
lam bundaran peta.
"Sayang, aku belum paham benar daerah yang ter-
gambar di peta. Aku butuh seseorang untuk bertanya.
Mungkin Dewa Cadas Pangeran atau Dewa Asap Ka-
yangan bisa memberi penjelasan."
Habis membatin begitu, Joko lipat kain di tangan-
nya. Lalu perlahan-lahan memasukkannya ke balik
pakaiannya. Saat lain ia bergerak bangkit dan sapukan pandangannya berkeliling.
Saat itulah samar-samar
terlihat bias cahaya warna kekuningan di ufuk timur, tanda sebentar lagi
matahari akan segera muncul.


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar 131 menghela napas panjang. Di pelupuk
matanya tergambar paras Mei Hua, Siao Ling Ling, Bi-
dadari Bulan Emas, dan terakhir Dewi Bunga Asmara.
Namun saat lain terbayang raut wajah Pendeta Sinting.
"Kapan aku bisa pulang"!" Tiba-tiba Joko teringat
tengah berada di mana saat itu. Dia menghela napas
sekali lagi, lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan puncak Bukit Toyongga yang
telah ditelan kesunyian.
SELESAI Segera menyusul:
ISTANA LIMA BIDADARI
Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
SATU DUA TIGA EMPAT LIMA ENAM TUJUH DELAPAN SEMBILAN SEPULUH SEBELAS SELESAI
Durjana Dan Ksatria 9 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Kaki Tiga Menjangan 5
^