Pencarian

Tumbal Pusar Merah 3

Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah Bagian 3


membentuk sebuah pintu. Di belakang pintu terlihat
tangga naik dari batu.
Kiai Laras melompat melewati pintu lalu naik tang-
ga batu perlahan-lahan. Tanpa disuruh Setan Liang
Makam mengikuti. Kiai Laras tegak di sebuah pinggi-
ran lobang menganga dan memperhatikan ke bawah
lobang. Setan Liang Makam yang juga telah tegak di
samping Kiai Laras ikut arahkan pandang matanya ke
bawah lobang. "Kau lihat mereka"!" Kiai Laras ajukan tanya.
Setan Liang Makam anggukkan kepala tatkala ma-
tanya menangkap dua sosok tubuh duduk bersandar
pada lamping lobang di bawah sana. Namun dia belum
bisa menduga siapa adanya dua orang itu. Selain lo-
bang itu diselimuti kabut tipis putih, kedua orang yang duduk di bawah tidak
angkat kepalanya.
"Bunuh mereka!" kata Kiai Laras.
"Kau dengar suara itu"!" Tiba-tiba orang di bawah
lobang Sebelah kanan perdengarkan bisikan pada
orang yang duduk di sebelahnya. Kepalanya berpaling.
Dia adalah seorang nenek berambut putih. Di tangan
kanannya yang bersedekap di depan dada terlihat se-
buah tusuk konde besar berwarna hitam. Nenek ini
bukan lain adalah Ni Luh Padmi. Seorang tokoh dari
tanah seberang yang berkelana mencari Pendeta Sin-
ting guru Pendekar 131 Joko Sableng karena satu uru-
san. Seperti pernah dituturkan, Ni Luh Padmi pada satu
kesempatan bertemu dengan Kiai Laras. Kiai Laras
menunjukkan di mana Pendeta Sinting berada. Tanpa
banyak menunggu, Ni Luh Padmi menuju tempat yang
dikatakan Kiai Laras yang saat itu tengah menyamar
sebagai murid Pendeta Sinting. Begitu sampai di tem-
pat yang dikatakan, ternyata Ni Luh Padmi tertipu.
Hingga akhirnya Ni Luh Padmi harus masuk ke dalam
lobang di balik ruangan goa. (Lebih jelasnya silakan
baca serial Joko Sableng dalam episode : "Geger To-
peng Sang Pendekar").
Orang di samping Ni Luh Padmi menoleh dan ang-
gukkan kepala. Dia juga adalah seorang perempuan
berusia agak lanjut namun parasnya masih kelihatan
cantik. Rambutnya panjang dengan mata agak bulat.
Dia adalah Lasmini. Seperti dituturkan, Lasmini yang
bersekutu dengan Kiai Lidah Wetan, kakek kandung
Kiai Laras akhirnya menyelidik. Kemudian dia bertemu
dengan Kiai Laras. Seperti halnya Ni Luh Padmi, Las-
mini juga tertipu oleh Kiai Laras hingga akhirnya pe-
rempuan ibu kandung Saraswati ini bisa dijebloskan
Kiai Laras ke dalam lobang di balik ruangan goa. (Le-
bih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : "Liang Makam di Bukit Kalingga").
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nek"!"
Lasmini angkat bicara.
Ni Luh Padmi geleng kepala. "Aku tak tahu harus
berbuat apa! Keadaan kita sudah sangat lemah!"
"Nek.... Tanpa usaha kita sudah pasti akan mam-
pus juga terus menerus berada di tempat celaka ini!
Bukankah lebih baik kita berusaha"! Apalagi ucapan
tadi ditujukan pada kita! Apa yang kita tunggu"!"
"Tapi...."
Belum sampai Ni Luh Padmi lanjutkan ucapan,
Lasmini telah menyahut. "Sekarang tidak ada tapi,
Nek!"_Lasmini beranjak bangkit. Ni Luh Padmi sesaat
bimbang tapi tak lama kemudian dia pun bergerak
bangkit dan sama-sama tengadahkan kepala meman-
dang ke atas. "Lasmini!" desis Setan Liang Makam begitu melihat
Lasmini dongakkan kepala.
"Hem.... Kau telah mengenalnya. Bagus! Pekerjaan
kita dimulai dari mereka! Dan kau telah dengar apa
yang harus kau lakukan!" kata Kiai Laras. Jubah Tan-
pa Jasad bergerak ke samping. Lengan kanan jubah
bergerak menunjuk pada Ni Luh Padmi. "Yang tua itu
bernama Ni Luh Padmi! Kau tertarik padanya"!"
"Apa maksudmu"!" tanya Setan Liang Makam sedi-
kit heran. Karena tadi Kiai Laras menyuruhnya mem-
bunuh kedua-duanya. Sekarang dia mengatakan lain.
"Kalau kau tertarik, kau boleh merasakan kehanga-
tannya sebelum kau kirim dia ke alam lain!"
"Sialan! Untuk apa tubuh peot begitu rupa ditawar-
kan padaku"!" Setan Liang Makam memaki dalam hati
lalu berujar. "Untuk sementara ini aku belum tertarik pada pe-
rempuan! Entah nanti...."
"Bagus! Kalau begitu lakukan tugasmu! Aku akan
menunggu di luar!"
Kiai Laras bergerak menuruni tangga lalu melompat
dan tegak di mulut goa dengan bibir sunggingkan se-
nyum. Di lobang bagian bawah, Lasmini tersentak kaget
mendapati siapa adanya sosok yang tegak di atas. Seo-
lah belum percaya, dia picingkan mata berulang kali.
"Kau mengenal siapa manusia itu"!" Ni Luh Padmi
bertanya seraya pandangi sosok angker Setan Liang
Makam. "Tempo hari aku pernah bersama-sama dengan ma-
nusia itu! Dia adalah Setan Liang Makam!"
"Hem.... Kau punya sengketa dengannya"!" tanya Ni
Luh Padmi. Lasmini geleng kepala. "Kami bersama-sama men-
cari seseorang. Namun gagal menemukannya! Setelah
itu kami berpisah!"
"Kalau demikian, mungkin dia bisa menolong kita!"
"Kurasa tidak! Kau dengar perintah orang tadi! Be-
rarti dia akan menghabisi kita!"
"Jangan pedulikan ucapan orang! Bukankah kau
tadi berkata kita harus berusaha"! Kita coba.... Siapa tahu dia berubah niat!"
Lasmini merenung sejenak. Saat lain dia berteriak.
"Setan Liang Makam! Kau masih ingat padaku, bu-
kan"!"
"Aku tidak pernah lupa pada setiap orang yang per-
nah kutemui!" jawab Setan Liang Makam seraya ber-
kacak pinggang.
"Aku gembira mendengarnya.... Dan lebih gembira
lagi jika kau mau membantu kami untuk keluar dari
lobang ini!"
Setan Liang Makam perhatikan sekeliling lobang.
"Aneh.... Lobang ini memang agak dalam. Tapi sebagai
orang berilmu, mustahil mereka tidak bisa melompat
keluar! Pasti ada sesuatu di lobang ini!" Membatin Setan Liang Makam. Karena
ingin tahu, Setan Liang Ma-
kam berkata. "Tanpa bantuanku, kau bisa melompat dari bawah!"
"Berarti dia belum tahu tempat ini!" bisik Ni Luh
Padmi mendengar suara Setan Liang Makam. Lalu
angkat suara. "Sebenarnya memang begitu. Tapi ruangan ini telah
ditaburi hawa beracun! Sekali kami kerahkan tenaga
dalam, maka habis riwayat kami! Padahal untuk me-
lompat ke atas, kami harus kerahkan tenaga dalam...."
"Hem.... Begitu"! Nasib kalian rupanya sangat je-
lek!" ujar Setan Liang Makam.
"Jadi kau tak mau membantu..."!" tanya Lasmini
dengan tengkuk mulai dingin.
"Membantu keluar dari sini memang tidak bisa! Aku
hanya bisa membantu kalian untuk sempurnakan na-
sib jelek kalian!"
Lasmini saling pandang dengan Ni Luh Padmi. Pa-
ras keduanya berubah. "Tidak ada artinya lagi kita bi-
cara! Terpaksa kita cari jalan lain! Setidaknya berusa-ha mempertahankan diri!"
kata Lasmini setengah pu-
tus asa. "Sobat!" Ni Luh Padmi berusaha buka suara. "Di an-
tara kita tidak ada pertentangan. Lebih dari itu sebenarnya kau ditipu orang
seperti halnya kami berdua!
Begitu kau nanti sadar, pasti kau telah berada di tempat lain menggantikan kami
berdua!" "Orang boleh menipuku! Tapi aku tidak bodoh se-
perti kalian berdua! Dan perlu kalian ketahui, membu-
nuh orang tidak lagi diperlukan adanya pertentangan!
Akan kubuktikan ucapanku!"
Ucapan Setan Liang Makam belum sirna gemanya,
cucu Nyai Suri Agung dari Kampung Setan ini telah ge-
rakkan kedua tangannya melepas satu pukulan ke
arah Lasmini dan Ni Luh Padmi!
Wuuutt! Wuuutt!
Satu gelombang dahsyat melesat ganas ke arah
Lasmini. Satunya lagi berkiblat ke arah Ni Luh Padmi.
Lobang di mana kedua perempuan itu berada bergetar.
"Sedapat mungkin kita menghindar! Berbahaya ka-
lau kita menghadang pukulan setan keparat itu! Kare-
na kita harus kerahkan tenaga dalam!" bisik Ni Luh
Padmi. Tapi Lasmini tampaknya sudah nekat. Dia tidak pe-
dulikan peringatan Ni Luh Padmi. Dia menghela napas
lalu salurkan tenaga dalam. Kedua tangannya diang-
kat. "Bodoh! Kenekatanmu bukan pada tempatnya!"
hardik Ni Luh Padmi lalu mendorong sosok Lasmini.
Hingga belum sampai Lasmini kerahkan tenaga dalam
untuk menghadang gelombang pukulan yang datang,
sosoknya telah terdorong deras ke samping dan ter-
huyung hampir roboh. Saat yang sama Ni Luh Padmi
berkelebat selamatkan diri.
Bummm! Bummm! Dua gelegar ledakan mengguncang lobang. Bibir lo-
bang tampak gemeretak rengkah lalu longsor dengan
taburkan hamparan batu. Saat yang sama lantai lo-
bang muncratkan pula kepingan batu akibat terhan-
tam pukulan Setan Liang Makam yang gagal melabrak
sosok Lasmini dan Ni Luh Padmi.
Melihat pukulannya dapat dihindari orang, Setan
Liang Makam jadi geram. Dia putar diri setengah ling-
karan lurus ke arah sosok Ni Luh Padmi yang mendo-
rong Lasmini hingga selamat.
Tanpa berkata dahulu, kedua tangan Setan Liang
Makam bergerak lagi melepas satu pukulan.
Di bagian bawah, Ni Luh Padmi cepat menyingkir
dengan melompat. Namun kali ini Setan Liang Makam
tak memberi kesempatan. Tangan kirinya bergerak ke
arah mana Ni Luh Padmi melompat.
Ni Luh Padmi menyumpah habis-habisan seraya
kembali berkelebat. Namun tangan kanan Setan Liang
Makam terus memburu dengan menyentak mengikuti
arah kelebatan sosok Ni Luh Padmi.
Ni Luh Padmi jadi kebingungan. Dia akan melompat
lagi. Tapi tempat di mana ia akan melompat saat itu
dua pukulan pertama Setan Liang Makam telah menu-
ju ke sana. Hingga satu-satunya jalan untuk sela-
matkan diri adalah menghadang pukulan orang.
Lasmini sendiri tampak meringkuk di bagian samp-
ing dengan mata memperhatikan apa yang akan dila-
kukan si nenek. Dan diam-diam pula dia telah memu-
tuskan kerahkan tenaga dalam, karena bagaimanapun
juga bias pukulan yang dilepas Setan Liang Makam
akan melabrak ke arahnya apalagi dia meringkuk tak
jauh dari Ni Luh Padmi.
Dengan tangan bergetar, akhirnya Ni Luh Padmi ke-
rahkan juga tenaga dalam. Lalu dengan cepat disen-
takkan ke atas menghadang pukulan Setan Liang Ma-
kam. Beberapa ledakan berturut-turut mengguncang lo-
bang. Tiga yang pertama adalah gelegar akibat puku-
lan Setan Liang Makam yang menghantam lantai lo-
bang karena dihindari Ni Luh Padmi. Satu lagi ledakan karena pukulan tangan
kanan Setan Liang Makam
bentrok dengan pukulan yang dilepas Ni Luh Padmi.
Lobang di balik ruangan goa itu beberapa lama dis-
elimuti taburan kepingan batu hingga suasana agak
pekat. Dan begitu keadaan agak terang kembali, sosok
Ni Luh Padmi tampak tegak bersandar dengan muka
pucat. Dia memang tidak mengalami cedera berarti,
bahkan saat itu juga melangkah Hendak mendekati
Lasmini yang juga bersandar dan terus memperhati-
kan Ni Luh Padmi.
"Nek! Kita tertipu.... Ruangan ini tidak beracun!
Buktinya kau tidak apa-apa!" kata Lasmini lalu hendak melangkah menyongsong Ni
Luh Padmi. Tiba-tiba Lasmini hentikan kaki. Sepasang matanya
mendelik dengan dahi berkerut. Di depan, terlihat so-
sok Ni Luh Padmi bergetar keras. Saat lain kedua lu-
tutnya menekuk. Tubuhnya doyong ke muka lalu terje-
rembab jatuh menelungkup dengan mulut perdengar-
kan erangan tertahan.
Lasmini cepat melompat. Lalu jongkok dan balikkan
tubuh Ni Luh Padmi. Paras wajah Lasmini seketika
tercekat. Tengkuknya laksana diguyur es. Paras muka
si nenek ternyata telah berubah menghitam! Dan per-
lahan-lahan sekujur tubuhnya juga berubah menghi-
tam. "Kau salah terka.... Ruangan ini mengandung racun
sangat ganas! Ini bukan karena bentrok pukulan den-
gan setan di atas itu! Melainkan akibat racun yang telah masuk ke aliran darahku
karena aku tadi ter-
paksa kerahkan tenaga dalam...." Ni Luh Padmi per-
dengarkan suara dengan tersendat-sendat. "Aku.... tak bisa memberi tahu
bagaimana kau menghadapi apa
yang akan terjadi.... Kau sudah tahu akibatnya...."
Habis berucap begitu, kepala Ni Luh Padmi teleng


Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke kanan. Kedua kakinya mengejang sebentar lalu di-
am tak bergerak. Nyawa nenek dari seberang ini putus
dengan sekujur tubuh menghitam! Tusuk konde hitam
di tangan kanannya lepas dan tergeletak di atas lantai.
*** SEMBILAN TENGKUK Lasmini merinding. Dia tak tahu apa
yang harus dilakukan. Tekadnya pelan-pelan padam.
Sementara di atas lobang, Setan Liang Makam per-
dengarkan suara tawa panjang.
Lasmini bergerak bangkit dan melangkah ke tengah
ruangan lobang. Kepalanya mendongak. Saat itulah ti-
ba-tiba terbayang sosok Saraswati di depan matanya.
"Anakku.... Tampaknya takdir sudah mengha-
ruskan kita tak bisa hidup berdampingan! Aku kini
menyesal mengapa tidak pedulikan peringatanmu....
Seandainya saja saat itu aku turuti ucapanmu, mung-
kin kita telah hidup damai.... Anakku.... Bagaimana
kau sekarang"! Terakhir jumpa, kau juga tengah men-
galami perlakuan-tidak baik dari manusia jahanam
yang memasukkan aku ke tempat celaka ini! Anakku,
tentu kau juga berusaha...."
Sampai di situ tiba-tiba Lasmini kepalkan kedua
tangannya. "Kalau kau berusaha mengapa aku tidak"!
Aku tidak boleh pasrah dengan keadaan ini! Mati pun
aku puas karena setidaknya aku telah berusaha untuk
selamat dan bertemu denganmu!" Semangat Lasmini
mendadak muncul kembali malah kini berkobar-kobar.
Dia tidak lagi merasa takut meski telah tahu apa yang menimpa Ni Luh Padmi.
Hingga saat itu juga dia berteriak lantang.
"Setan Liang Makam! Kau boleh puas dengan se-
mua ini! Tapi jangan mimpi aku takut menghadapi-
mu!" Setan Liang Makam putuskan gelakan tawanya. Se-
pasang matanya berkilat pandangi sosok Lasmini. Na-
mun tak lama kemudian dia perdengarkan tawa lagi
seraya berucap.
"Ucapan orang akan mampus kadang-kadang me-
mang menyala-nyala! Sayang, nasib tidak ikut berpi-
hak!" Selesai berucap begitu, tangan kanan Setan Liang
Makam telah berkelebat. Sementara tangan kiri di atas udara siap dikelebatkan
dengan mata terus perhatikan
gerakan Lasmini.
Lasmini segera melompat ke belakang. Tusuk konde
besar milik Ni Luh Padmi disambar. Tangan kiri Setan
Liang Makam berkelebat ke arah sosok Lasmini yang
melompat ke belakang.
Dua gelombang dahsyat berkiblat perdengarkan de-
ruan keras. Seraya menghindar ke samping, Lasmini
sentakkan tangan kanan yang telah menggenggam tu-
suk konde. Dia sengaja arahkan sentakan tusuk konde
lurus melalui gelombang yang menghantam ke bawah.
Karena dia sadar, akan percuma kalau sentakannya
lewat di samping gelombang. Sebab selain ruangan lo-
bang itu ditebari racun, hebatnya ruangan itu bisa
mementalkan pukulan ke atas lobang.
Dengan berkelebatnya gelombang dari atas, maka
tabir yang bisa mementalkan pukulan itu terbuka. Itu-
lah sebabnya Lasmini sengaja arahkan sentakan tusuk
konde melalui gelombang yang datang dari atas.
Blaar! Blaarr! Dua gelombang terdengar. Dua pukulan Setan
Liang Makam menghantam tempat kosong karena
Lasmini telah berkelebat menghindar.
Sementara di atas lobang, Setan Liang Makam ter-
sentak kaget melihat satu benda hitam berdesing lurus ke arahnya. Karena tadi
dia tengah perhatikan kelebatan sosok Lasmini, terlambat baginya untuk menghin-
dar meski dia sempat doyongkan tubuh.
Cleepp! Setan Liang Makam berseru tertahan. Tusuk konde
besar menancap tembus pakaiannya dan merobek tu-
lang bagian dada kiri.
"Jahanam!" maki Setan Liang Makam. Dia cepat
menutup dengan kerahkan tenaga dalam ke sekitar
dada kiri. Tangan kanan cepat bergerak mencabut tu-
suk konde. Kejap kemudian tangan kirinya berkelebat
lagi. Karena dia marah, kali ini Setan Liang Makam kerahkan hampir setengah dari
tenaga dalamnya. Hingga
tatkala gelombang melesat ke bawah tampak disertai
gelombang warna hitam!
Lasmini tak mau bertindak ayal. Dia kembali me-
lompat menghindar. Tapi karena kali ini tenaga dalam
Setan Liang Makam telah dilipatgandakan, sejauh ma-
na pun Lasmini melompat pasti akan terhantam bias
pukulan orang. Tapi Lasmini tak mau ambil risiko besar. Dia tidak
berusaha menghadang pukulan sebaliknya teruskan
berkelebat hindarkan diri.
Bummm! Untuk kesekian kalinya lobang itu bergetar hebat.
Lasmini tampak terdorong oleh bias pukulan dan ter-
banting di udara karena gema pukulan.
Setan Liang Makam tak ambil peduli. Kembali tan-
gan kirinya melepas pukulan. Kali ini tak ada jalan lain bagi Lasmini. Karena
tidak mungkin lagi bergerak
menghindar. Hingga terpaksa dia memutuskan meng-
hadang pukulan lawan walau dia tahu apa risikonya!
Lasmini kerahkan tenaga dalam lalu angkat kedua
tangannya dan didorong ke atas.
Blammm! Kembali terdengar ledakan. Kali ini malah lebih
dahsyat karena pukulan Setan-Liang Makam dihadang
pukulan Lasmini.
Sosok Lasmini tampak mental dan menghantam
dinding ruangan lobang. Darah mengucur deras dari
mulutnya. Belum sampai dia bergerak bangkit, tangan
kanan Setan Liang Makam yang memegang tusuk
konde besar milik Ni Luh Padmi disentakkan!
Lasmini hanya bisa memandang lesatan tusuk
konde tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena sekujur tu-
buh-nya terasa panas bukan alang kepalang. Tangan
dan kakinya laksana tidak bertenaga dan sepasang
mata-nya berkunang-kunang!
Cleeepp! Tusuk konde besar menancap hampir separo ke
lambung Lasmini. Darah kehitaman muncrat dan se-
bagian memercik ke wajah Lasmini.
Lasmini menjerit seakan merobek langit. Tapi jeri-
tannya terputus di tengah jalan. Sosok ibu kandung
Saraswati ini lunglai dengan tubuh mengejang.
"Saraswati anakku...." Hanya itu ucapan terakhir
yang terdengar dari mulut Lasmini. Saat berikutnya
nyawanya melayang dengan sekujur tubuh menghi-
tam! Setan Liang Makam perhatikan sesaat mayat Las-
mini dan Ni Luh Padmi yang telah berpindah tempat
karena tersambar pukulan. Saat lain cucu Nyai Suri
Agung dari Kampung Setan ini putar diri dan melang-
kah menuruni tangga dengan tangan kanan mendekap
dada kirinya yang berdenyut sakit.
Kiai Laras yang tegak di lobang masuk goa berpal-
ing. Dia perhatikan dada Setan Liang Makam. Saat
kemudian laki-laki ini selinapkan tangan kiri ke balik jubah hitamnya. Ketika
tangannya ditarik dia menggenggam sesuatu dan dilemparkan pada Setan Liang
Makam yang melangkah keluar dari pintu di pojok
ruangan goa. Setan Liang Makam melihat satu bulatan sebesar
buah duku menggelinding dan berhenti di dekat pera-
pian. "Telan benda itu!" Kiai Laras buka suara.
Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam ambil bula-
tan warna kuning di dekat perapian. Lalu menelan-
nya. Seketika tubuhnya berubah panas dingin. Setan
Liang Makam mendelik pada Kiai Laras meski tidak bi-
sa melihat sosok orangnya.
"Jangan berprasangka buruk! Kalau hanya mem-
bunuhmu tak usah menggunakan racun yang ada pa-
da bulatan itu!" kata Kiai Laras dapat menangkap arti pandangan Setan Liang
Makam. Setan Liang Makam masih bimbang dengan ucapan
Kiai Laras. Namun begitu panas dingin tubuhnya sir-
na, dia menghela napas lega dan angguk-anggukkan
kepala. Kiai Laras berkelebat ke dekat perapian. Kayu pera-
pian kembali bergerak-gerak. Saat bersamaan terden-
gar lagi suara berderit. Pintu di pojok ruangan goa tertutup kembali.
"Langkah awal telah kita mulai! Kita teruskan lang-
kah ini! Kita jadikan Kampung Setan sebagai tempat
baru bagi kita! Kita tegakkan kembali kejayaan Kam-
pung Setan! Dan aku adalah penguasanya!"
Kiai Laras tertawa bergelak. Lalu berkelebat keluar
dari goa. Setan Liang Makam bergumam tak jelas. Na-
mun segera pula berkelebat tinggalkan goa di kaki Bu-
kit Kalingga. *** Bayangan putih itu berkelebat laksana setan. Dia
baru memperlambat kelebatan saat sampai perbatasan
hutan di mana dari perbatasan itu memandang ke se-
belah timur tampak menjulang sebuah bukit.
Sesaat si bayangan tadi yang ternyata adalah seo-
rang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian
warna putih berambut panjang acak-acakan dililit
dengan ikat kepala warna putih dan bukan lain adalah
Pendekar 131 Joko Sableng luruskan pandangan ke
arah bukit. "Hem.... Apakah mungkin Kiai Laras manusia di ba-
lik Jubah Tanpa Jasad itu"! Kalau benar dia, orang
yang selama ini menyamar sebagai diriku adalah dia
juga! Pada mulanya aku memang menaruh curiga pa-
danya. Tapi untuk melakukan hal itu pasti ada sebab-
nya. Padahal aku tidak punya urusan apa-apa dengan
orang tua itu!" Joko geleng-geleng kepala.
"Tapi siapa pun dia adanya, yang jelas perbuatan-
nya harus dihentikan! Sayangnya.... Aku belum tahu
bagaimana caranya menggunakan benda merah yang
kuambil dari pusar bayinya Pitaloka ini! Seharusnya
aku tanya dahulu pada Gendeng Panuntun. Mungkin
dia tahu bagaimana menggunakannya! Tapi sekarang
percuma.... Mencari orang seperti dia susah-susah
gampang! Mungkin dia sudah pergi dari Lembah Patah
Hati...." Setelah berpikir sejenak, akhirnya Joko memu-
tuskan untuk segera menuju bukit di depan sana. Ka-
rena sudah pernah ke bukit itu, tidak sulit bagi murid Pendeta Sinting untuk
menemukan goa di mana dulu
dia pernah bertemu dengan Kiai Laras.
"Sepertinya tak ada orang...!" gumam Joko seraya
memperhatikan dari balik batangan pohon sepuluh
langkah dari mulut goa. Namun Joko tetap berhati-hati dan sekali lagi
meyakinkan. Setelah yakin di luar tak ada orang lain, Joko cepat
berkelebat dan tegak mengendap-endap ke mulut goa
dari sebelah kanan. Kepalanya perlahan-lahan dis-
orongkan ke bibir mulut goa. Lalu matanya diedarkan
ke dalam. "Kosong...!" kata Joko dalam hati. Lalu dengan ke-
dua tangan siap lepaskan pukulan, dia berkelebat ma-
suk dan tegak di balik mulut goa dengan mata dipen-
tangkan. Namun hingga kepalanya berputar dua kali,
dia tidak melihat siapa-siapa!
Murid Pendeta Sinting menarik napas dalam. Lalu
perlahan melangkah mendekati kayu perapian.
"Walau sudah padam, tapi belum lama.... Tempat
ini memang dihuni orang! Tapi ke mana dia"! Sebaik-
nya aku menunggu...."
Joko melangkah ke pojok ruangan goa lalu duduk
meringkuk dengan mata memperhatikan ke arah mu-
lut goa. Namun hingga Joko menguap beberapa kali
dan hampir saja terlelap, tidak juga muncul seseorang!
"Ah.... Lebih baik aku terus menunggu! Kalau tem-
pat ini dihuni, penghuninya cepat atau lambat pasti
akan pulang!" Joko berkata pada diri sendiri lalu se-
lonjorkan kaki dan pejamkan mata. Tidak berapa lama
sudah terdengar suara dengkurnya memecah ruangan
goa di kaki Bukit Kalingga.
Beberapa saat berlalu. Joko tampak menggeliat lalu
kedua matanya terbuka dan langsung memandang
berkeliling. Tapi keadaan masih tetap seperti semula.
Joko bergerak bangkit dan melangkah ke mulut goa
seraya melongok melihat cahaya matahari.
"Sudah hampir setengah hari aku berada di sini! Ti-
dak lama lagi hari akan gelap...." Joko putar diri lalu melangkah balik
mendekati perapian. Saat itu matahari memang sudah condong ke arah barat. Udara
mulai berubah. Angin dingin berhembus menggantikan uda-
ra panas. "Sambil menunggu aku akan nyalakan perapian itu!
Mungkin sisa-sisa baranya masih bisa menyala lagi!
Udara sudah mulai dingin.... Hem.... Seandainya saat
ini bersama Putri Kayangan.... Mungkin aku tidak ke-
dinginan! Gila! Mengapa aku selalu memikirkan dia"
Lagi pula aku tidak akan bisa berbuat macam-macam
sama dia! Nyai Tandak Kembang pasti tahu di mana
cucunya itu berada.... Macam-macam saja keahlian
orang! Nyai Tandak Kembang bisa menemukan orang
dengan mencium aroma.... Ah. Mengapa aku berpikir
sesuatu yang tak mungkin. Nyai Tandak Kembang su-
dah mengatakan tidak mengizinkan kedua cucunya
untuk turun dari lereng Gunung Semeru. Berarti aku


Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tidak bisa bertemu dengan Putri Kayangan!"
Sambil terus berkata dalam hati, Joko jongkok di
dekat perapian dan mulai mencungkil-cungkil pera-
pian mencari sisa-sisa bara di bagian bawah. Saat itulah matanya menangkap
sesuatu yang menonjol. Joko
kerutkan dahi. Lalu sibakkan kayu perapian.
"Tonjolan batu.... Aneh. Tonjolan batu ini punya lo-
bang memanjang sepanjang bagian tonjolan yang be-
rada di atas. Ini bukan tonjolan biasa! Hem.... Kayu
perapian ini mungkin saja hanya sebagai tipuan untuk
mengelabui orang! Orang tidak akan menduga di ba-
wah kayu perapian akan ada tonjolan batu!"
Perlahan-lahan Joko julurkan tangan ke arah tonjo-
lan batu. Namun baru saja tangannya menyentuh ton-
jolan batu, mendadak satu suara terdengar.
"Apakah sekarang kau masih mungkir"!"
Joko angkat kepalanya. Tangan kanannya ditarik
pulang. Sepasang matanya dipicingkan lalu dibuka le-
bar-lebar. Mendadak ketegangan sesaat di wajahnya
sirna. Kini bibirnya kembangkan senyum.
Tepat di mulut goa, tegak berdiri satu sosok tubuh
milik seorang gadis muda berparas cantik mengenakan
pakaian warna abu-abu. Rambutnya dikuncir tinggi.
Matanya bulat. Namun sunggingan senyum murid Pendeta Sinting
pupus ketika gadis cantik di mulut goa balas senyu-
man dengan seringai dingin dan buang muka!
*** SEPULUH SARASWATI!" teriak murid Pendeta Sinting seraya
bangkit. Diam-diam Joko membatin. "Tampaknya per-
soalan lama akan terus berlanjut! Tapi.... Bagaimana
dia bisa ada di tempat ini" Tak mungkin dia mengikuti langkahku. Karena selama
ini aku sengaja sembunyikan diri, malah beberapa hari belakangan berada di
hutan...."
"Jangan melangkah!" bentak si gadis berparas can-
tik yang bukan lain Saraswati adanya. Anak kandung
Lasmini, ketika dilirik Joko hendak langkahkan kaki
mendekati ke arahnya.
Pendekar 131 terpaksa urungkan niat dan tegak di-
am menunggu dengan mata memandang tak berkesip.
"Aku sudah menunggu hampir satu purnama lebih.
Namun sejauh ini kau tidak bisa buktikan kebenaran
ucapanmu tempo hari! Bahkan kini kau tertangkap
basah mataku sendiri! Dalih apa yang akan kau kata-
kan sekarang, hah"!" Saraswati buka mulut tanpa
memandang. Joko tampak gelagapan. "Bagaimana menjelaskan-
nya"!" gumam murid Pendeta Sinting dalam hati.
Saraswati menoleh. Matanya menusuk tajam ke da-
lam bola mata Joko. "Sekarang tak ada lagi orang yang akan membantumu berdalih!
Kalau saja saat itu tidak
ada gadis berbaju merah sialan itu, mungkin urusan-
nya sudah selesai! Aku menyesal mengapa saat itu aku
percaya pada omongan gadis sialan itu! Juga pada ga-
dis bernama Dewi Seribu Bunga itu!"
Seperti pernah dituturkan, Saraswati pernah men-
dapat perlakuan tidak senonoh dari Kiai Laras yang
saat itu masih menyamar sebagai murid Pendeta Sin-
ting. Saraswati sangat marah dan mendendam. Hanya
karena ada perasaan cinta dalam hatinya saja yang
membuat dia masih coba menahan gejolak dadanya.
Lagi pula saat itu Joko berjanji akan membuktikan
bahwa bukan dirinya yang melakukan perbuatan itu.
Malah saat itu Putri Kayangan dan Dewi Seribu Bunga
juga menguatkan Joko meski Dewi Seribu Bunga cuma
memberi waktu pada Joko untuk membuktikan diri
bahwa memang bukan dia yang melakukan semuanya.
"Pendekar 131! Mungkin aku masih bisa memaaf-
kan tindakanmu. Tapi tunjukkan dahulu di mana ibu-
ku!" kata Saraswati.
"Saraswati.... Aku tak tahu di mana ibumu berada!"
Mata Saraswati makin berkilat mendengar jawaban
Joko. Kaki kanannya bergerak menghentak lantai goa.
"Lalu untuk apa kau berada di sini"! Bukankah kau
dahulu menyeret ibuku masuk ke dalam goa ini"!" So-
sok Saraswati bergetar keras tanda gadis ini hampir
tak dapat kuasai gemuruh amarah.
"Saraswati.... Aku memang pernah datang ke tem-
pat ini dan bertemu seseorang bernama Kiai Laras. Ta-
pi percayalah.... Aku tak pernah berbuat seperti yang
kau katakan! Ada orang lain yang menyamar sebagai
diriku!" "Sekarang aku tanya. Apa kau bukan Pendekar 131
Joko Sableng murid Pendeta Sinting"!"
Joko menghela napas. "Aku memang Joko Sableng
murid Pendeta Sinting!"
"Bagus! Aku dulu jumpa denganmu di sini! Aku du-
lu juga mendengar ucapan yang sama seperti yang ba-
ru kau katakan! Mataku tidak mungkin dapat dibodo-
hi!" "Saraswati.... Memang agak sulit menjelaskan semuanya! Kuharap kau
bersabar. Aku hampir bisa
membuka siapa dalang di belakang semua ini!"
"Kau pernah mengatakan itu juga pada satu seten-
gah purnama yang lalu! Tapi mana buktinya"! Mana"!
Kau jangan berdalih macam-macam! Kau tak akan da-
pat membuka siapa dalang di belakang semua ini, ka-
rena dalang itu adalah kau sendiri!"
"Saraswati!" kata Joko dengan suara agak keras ka-
rena mulai jengkel dengan tuduhan si gadis. "Untuk
mengungkap hal ini bukanlah pekerjaan gampang! Se-
karang terserah padamu untuk percaya atau tidak!
Dan perlu kau ingat, saat ini aku tidak punya waktu
banyak untuk berdebat yang tiada artinya!"
"Hem.... Begitu"! Jadi kalau sudah tidak ada dalih,
kau coba mengalihkan urusan dengan cara begitu"!"
Saraswati tersenyum dan tertawa pendek mengejek.
"Sekarang katakan saja apa kemauanmu!"
"Aku mau tahu di mana ibuku kau sembunyikan
atau nyawamu sebagai gantinya!"
"Aku tak tahu di mana ibumu! Kalau kau mau nya-
waku, silakan kau ambil!"
Saraswati menggeram dengan kedua tangan diang-
kat. Namun entah karena apa perlahan-lahan kedua
tangannya diturunkan. Murid Pendeta Sinting pandan-
gi si gadis dengan kepala menggeleng pelan.
"Saraswati.... Aku berkata apa adanya! Lagi pula
untuk apa aku mencelakakan ibumu"! Antara aku dan
ibumu memang pernah ada silang sengketa. Tapi tidak
layak perselisihan itu diakhiri dengan perbuatan tak
pantas! Bahkan aku telah melupakan semuanya!"
"Aku masih belum bisa percaya ucapanmu sepe-
nuhnya...," ujar Saraswati namun kali ini suaranya
sudah direndahkan.
"Sebenarnya aku pun tak ingin mengatakan apa-
apa padamu! Karena yang kau perlukan adalah bukti,
bukan ucapan! Dan justru aku di sini ini hendak mulai mencari bukti itu!"
Saraswati kerjapkan sepasang matanya. Joko mera-
sa sedikit lega. Lalu berkata.
"Aku menemukan sesuatu yang mencurigakan...!"
"Apa"!" tanya Saraswati cepat.
"Sebelum kukatakan, aku ingin tanya dahulu. Be-
nar kau dan ibumu pernah ke tempat ini"!"
"Kalau tidak, aku tak mungkin bisa menemukanmu
di sini!" "Apa yang kau ketahui tentang tempat ini"!"
"Aku tak tahu banyak! Aku hanya berada di luar!
Ibuku yang masuk goa ini dengan kau seret!"
"Kau masih juga menuduhku.... Tapi tak apalah!"
"Apa sesuatu yang mencurigakan"!" Saraswati ber-
tanya. Joko memberi isyarat pada Saraswati untuk men-
dekat. Saraswati tampak bimbang. Hingga untuk bebe-
rapa saat dia diam dengan memandang penuh curiga,
membuat Joko tertawa pendek dan berucap.
"Aku memang bukan manusia baik-baik, Saraswati!
Tapi aku tidak terlalu picik untuk melakukan sesuatu
yang macam-macam padamu!"
Paras wajah Saraswati berubah. Dia melangkah
mendekati Joko. "Katakan, apa yang membuatmu cu-
riga!" Joko berpaling ke arah Saraswati yang tegak lima
langkah di sampingnya. Dengan tersenyum, karena
masih menangkap gelagat curiga pada diri Saraswati,
Joko arahkan telunjuknya pada tumpukan kayu pera-
pian yang tampak sedikit berserakan.
"Itu hanya tumpukan kayu bekas perapian! Lalu
apanya yang membuatmu curiga"!" tanya Saraswati
dengan kening berkerut memperhatikan kayu pera-
pian. "Orang yang melihat sepintas lalu akan mengatakan
seperti ucapanmu! Tapi tidak bagi orang yang melihat
dengan seksama!"
Karena penasaran, Saraswati pentangkan mata se-
raya melangkah lebih dekat. Pendekar 131 ambil salah
satu kayu perapian yang agak panjang. Lalu dengan
kayu itu dia sibakkan tumpukan kayu perapian.
"Tumpukan kayu ini bukan perapian! Tapi kayu un-
tuk menutupi sesuatu!" kata Joko lalu menunjuk ton-
jolan batu di antara serakan kayu.
Saraswati sesaat perhatikan tonjolan batu. Belum
sampai dia utarakan apa yang ada dalam hatinya, Jo-
ko telah lemparkan kayu di tangannya lalu bergerak
jongkok. Tangan kanannya menyentuh tonjolan batu
lalu ditekan ke arah lobang memanjang di belakang
tonjolan batu. Terdengar suara berderit. Pendekar 131 dan Saras-
wati tersentak kaget. Keduanya sama sentakkan kepa-
la ke arah deritan. Keduanya sama belalakkan mata.
"Pintu...!" gumam Joko. "Ada tempat rahasia di ba-
lik ruangan goa ini!"
Murid Pendeta Sinting sudah melompat ke arah pin-
tu di pojok ruangan goa yang terbuka. Saraswati ikut
melompat. Namun Joko cepat palangkan tangan kiri-
nya. "Hati-hati, Saraswati.... Di tempat seperti ini banyak sesuatu yang tak
terduga!" "Ini bukan sandiwaramu, bukan"!"
"Busyet!" maki Joko dalam hati namun bibirnya
sunggingkan senyum.
"Aku tak tahu bagaimana membuatmu percaya, Sa-
raswati! Tapi sudahlah.... Yang jelas titik terang telah kudapatkan!"
Habis berkata begitu, perlahan-lahan Joko melang-
kah mendekati pintu di pojok ruangan. Kepalanya di-
longokkan ke dalam. Yakin tak ada orang, Joko me-
lompat dan tegak di tangga batu. Dia edarkan pandan-
gan berkeliling. Lalu memberi isyarat pada Saraswati.
Tanpa banyak mulut Saraswati melompat. Saat yang
sama Joko mulai melangkah menaiki tangga batu. Sa-
raswati mengikuti di belakangnya.
Murid Pendeta Sinting kembali edarkan pandang
matanya begitu tegak di atas lobang agak besar. Tiba-
tiba sepasang matanya menyipit tatkala menangkap
dua sosok tubuh tergeletak di bawah lobang.
"Ada yang tak beres!" gumam Joko tanpa berpaling
pada Saraswati yang telah tegak di sampingnya.
Saraswati tidak pedulikan atau menyahut ucapan
Joko. Matanya tertuju pada salah satu sosok yang ter-
geletak di bawah sana. Dadanya tiba-tiba berdebar.
"Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikena-
kan.... Apakah...." Saraswati tidak lanjutkan ucapan, sebaliknya langsung
melompat turun.
"Saraswati! Tunggu!" tahan Joko. Tapi terlambat.
Saraswati sudah melayang turun dan tahu-tahu telah
tegak di samping salah satu sosok yang tergeletak.
Dengan dada makin berdebar Saraswati bergerak
jongkok. Lalu memperhatikan. Mendadak gadis ini
menjerit. Lalu hempaskan tubuhnya di atas sosok
yang tergeletak.
"Ibu.... Ibu.... Siapa yang melakukan ini"! Siapa"!"
teriak Saraswati.
Jeritan Saraswati sudah cukup membuat Joko tahu
apa yang telah terjadi. Tanpa buka mulut lagi dia langsung berkelebat turun dan
tegak di samping Saraswati.
Dia menatap sejenak pada sosok yang ada di bawah
Saraswati. "Tusuk konde itu.... Aku seperti pernah melihat-
nya!" kata Joko dalam hati memperhatikan tusuk
konde hitam besar yang menancap masuk hampir se-
paro ke dalam lambung orang.
Saat lain Joko arahkan pandang matanya pada so-
sok yang satunya. Karena belum jelas benar, apalagi
sosok itu telungkup, Joko segera berkelebat. Lalu
membalikkan si sosok.
"Astaga! Ni Luh Padmi...." Pendekar 131 masih da-
pat mengenali orang meski wajah dan sekujur tubuh-
nya menghitam. "Melihat tusuk konde si nenek ini menancap di lam-
bung ibu Saraswati, besar kemungkinan mereka ber-
dua terlibat bentrok! Tapi.... Ada yang aneh. Mengapa keduanya sama menghitam!
Tidak mungkin dua orang
berilmu berlainan punya pukulan yang sama! Berarti
ada orang lain yang melakukan pembunuh ini! Lalu
sengaja menusukkan tusuk konde si nenek agar di-
sangka mereka berdua terlibat bentrok!"
Murid Pendeta Sinting memandang berkeliling.
"Udara di sini lain..." Mungkin khawatir, Joko cepat
kerahkan tenaga dalam. Tapi sebelum tenaga dalam
benar-benar dikerahkan dia merasakan sesuatu. Joko
urungkan niat. "Dugaanku benar.... Hawa di sini


Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain.... Mungkin udaranya telah ditaburi racun! Aku
merasakan hawa aneh tatkala hendak salurkan tenaga
dalam! Mungkin ini penyebab kematian kedua orang
itu!" Berpikir begitu, Joko cepat melompat ke arah Sa-
raswati. Dia hendak mengatakan apa yang diduganya.
Namun belum sempat dia buka mulut, Saraswati telah
angkat kepalanya dari sosok mayat Lasmini.
"Pendekar 131!"
Sebelum Saraswati lanjutkan ucapan, murid Pende-
ta Sinting sudah menukas karena tak ingin terus-
terusan dituduh dan tahu bahwa apa yang akan di-
ucapkan Saraswati adalah tuduhan itu.
"Saraswati! Jangan kau terus menuduhku! Aku tak
tahu apa-apa dalam urusan ini! Bahkan kita rupanya
juga masuk dalam perangkap bahaya!"
"Apa maksudmu"!"
"Hawa di tempat ini beracun! Jangan sekali-kali kau
kerahkan tenaga dalam!"
"Bagaimana kau bisa tahu"!"
"Kau masih juga curiga padaku!"
"Curiga memang benar! Tapi aku tanya sesungguh-
nya! Bagaimana kau tahu hawa di tempat ini bera-
cun"!"
"Aku akan kerahkan tenaga dalam. Tapi aku mera-
sakan hawa aneh.... Dan kau lihat sosok di sana itu!
Sekujur tubuhnya juga menghitam sama seperti tubuh
ibumu! Aku lalu siapa dia.... Dia adalah nenek berna-
ma Ni Luh Padmi! Dan tusuk konde hitam yang me-
nancap di lambung ibumu adalah tusuk konde milik
nenek itu!"
"Berarti jahanam itu yang melakukan pembunuhan
pada Ibu!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Pada mu-
lanya aku menduga demikian.... Tapi kurasa itu ha-
nyalah permainan agar orang menduga seperti du-
gaan-mu!" "Aku tak mengerti ucapanmu!"
"Kalau benar antara ibumu dan nenek itu terlibat
bentrok, bagaimana mungkin mereka berdua bisa
mengalami nasib sama"! Aku memang tak mengenal
betul siapa ibumu juga nenek itu. Tapi aku jelas sekali tahu kalau nenek itu
berasal dari daerah seberang.
Jadi kecil kemungkinan dia dan ibumu mendapatkan
ilmu dari satu orang! Aneh bukan kalau sekarang
mengalami nasib yang sama dengan tubuh sama hi-
tam" Ada orang lain yang melakukan! Lalu menyerang
ibumu dengan tusuk konde si nenek agar orang men-
duga keduanya terlibat bentrok!"
Saraswati anggukkan kepalanya mengerti apa mak-
sud Joko. "Anehnya lagi, dan ini yang membuatku ma-
kin percaya kalau hawa di sini beracun!" sambung Jo-
ko. Lalu tengadahkan kepala.
"Kau lihat jarak antara bagian bawah lobang ini
dengan di atas sana. Aneh bukan kalau bagi mereka
tidak bisa melompat keluar"!"
Saraswati mengukur jarak. Diam-diam dia membe-
narkan ucapan murid Pendeta Sinting.
Joko merenung sejenak sebelum akhirnya lanjutkan
ucapan. "Mereka kesulitan naik karena untuk melom-
pat ke atas sana diperlukan pengerahan tenaga dalam
meski tidak seberapa! Dan menurut dugaanku, mereka
takut mengerahkan tenaga dalam karena tahu tempat
ini telah ditaburi racun! Dan tidak tertutup kemungkinan, racun itulah yang
menyebabkan sekujur tubuh
ibumu dan nenek itu menjadi hitam! Karena tidak ada
bekas pukulan yang berarti di tubuhnya! Mereka nekat
mengerahkan tenaga dalam karena terpaksa...."
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang"!"
tanya Saraswati. Perlahan-lahan kecurigaan gadis ini
pada Joko mulai lenyap.
"Aku tak tahu.... Mungkin mereka berdua sudah be-
rusaha. Tapi nyatanya mereka tidak berhasil...."
Mendengar ucapan Joko, tengkuk Saraswati jadi
dingin. Sementara Joko mulai melangkah mengitari lo-
bang. Kedua tangannya sesekali mengetuk-ngetuk
dinding lobang! Tapi sampai berputar tiga kali, dia tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan. "Di sini tidak ada tempat rahasia lagi.... Berarti
tempat ini memang sengaja disiapkan. Entah untuk
apa.... Yang jelas, sekarang kita harus cari akal untuk naik ke atas tanpa harus
kerahkan tenaga dalam!"
Pendekar 131 mendekati dinding lobang tidak jauh
dari Saraswati lalu tegak bersandar. Saraswati sendiri tercenung diam. Hanya
matanya yang mengedar ke
atas lobang lalu sesekali memandangi sosok mayat
ibunya. *** SEBELAS AKAN kucoba!" Tiba-tiba Joko bergumam seraya
melangkah ke dinding seberang. Di bawah mana dia
tadi tegak di atas. Saraswati memperhatikan dengan
kancingkan mulut. Namun seraya terus mengawasi
langkah-langkah kaki Joko, gadis anak Lasmini ini
berkata dalam hati.
"Selama ini aku telah berburuk sangka padanya!
Walau aku belum percaya sepenuhnya, tapi aku sudah
tidak punya curiga lagi padanya! Anehnya, siapa ge-
rangan orang yang menyamar sebagai dirinya"! Apa-
kah Kiai Laras..."! Bukankah orang tua itu yang me-
nunjukkan tempat ini pada Ibu"! Saat itu juga aku me-
lihat pemuda yang menyamar itu mengeluarkan se-
kuntum bunga bersinar-sinar di balik pakaiannya!
Menurut beberapa keterangan yang kusirap, bunga
itulah yang kini banyak dibicarakan orang dan dis-
ebut-sebut sebagai Kembang Darah Setan! Tapi...." Sa-
raswati tidak lanjutkan kata hatinya ketika melihat
Joko telah keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik
pakaiannya. Ruangan lobang itu seketika bertabur kemilau kee-
masan karena sinar yang dipancarkan pedang di tan-
gan Joko. "Apa yang hendak dilakukannya"!" bisik Saraswati.
Di depan sana Joko angkat pedangnya tinggi-tinggi
dengan andalkan tenaga luar. Saat lain tangan Joko
yang memegang pedang berkelebat.
Craakk! Dinding lobang perdengarkan benturan keras. Tan-
gan kanan Joko terpental ke belakang. Dinding lobang
bergetar. Saat bersamaan terlihat muncratan api di-
sertai bertaburnya batu.
"Kita berhasil!" teriak murid Pendeta Sinting saat
melihat satu rengkahan agak besar di dinding lobang
yang terhantam pedang.
Joko mundur dua langkah. Lalu melompat ke atas.
Pedang Tumpul 131 kembali berkelebat. Untuk kedua
kalinya kembali terdengar benturan keras. Taburan
batu kembali menebar. Saat taburan luruh, di atas
rengkahan yang pertama terlihat lagi rengkahan lain.
Joko memperhatikan sesaat. Lalu maju dan ba-
batkan kembali pedangnya. Kini terlihat rengkahan
lain di samping rengkahan yang pertama.
Joko angkat kaki kanannya dan diletakkan pada
rengkahan yang pertama. Lalu angkat kaki kirinya dan
diletakkan pada rengkahan di samping rengkahan
yang pertama. Tangan kirinya segera menggapai reng-
kahan di atas rengkahan yang pertama. Kini tubuh
Joko menempel di dinding dengan bertumpu pada tan-
gan kiri yang berpegangan pada rengkahan di atas
rengkahan yang pertama.
Joko tarik tubuhnya sedikit ke belakang. Pedang
Tumpul 131 di tangan kanannya kembali dikelebatkan.
Begitu seterusnya hingga terlihat beberapa rengkahan.
Dan Joko setapak demi setapak naik ke atas sampai
akhirnya tiba di bagian atas lobang.
Joko menarik napas panjang. Pedang Tumpul 131
dipandangi sesaat lalu dimasukkan lagi ke dalam sa-
rungnya di balik pakaiannya.
"Saraswati.... Tunggu sebentar!" teriak murid Pende-
ta Sinting lalu berkelebat. Tak lama kemudian dia te-
lah muncul lagi dengan tangan membawa tali dari akar
panjang. Tali akar segera dilemparkan ke bawah. Sa-
raswati angkat mayat ibunya dan mendekati ujung tali
akar. "Ibumu bisa kau ikat di ujung. Kamu nanti meng-
gantung di atasnya!" teriak Joko dari atas.
Saraswati segera lakukan ucapan Joko. Ujung akar
dililitkan berputar pada tubuh ibunya. Lalu perlahan-
lahan didekatkan ke dinding. Saraswati sendiri tampak pegang tali akar kuat-kuat
di atas sosok Lasmini.
"Tarik!" seru Saraswati.
Perlahan-lahan Joko menarik tali akar ke atas. Lalu
menolong Saraswati begitu si gadis telah muncul di bibir lobang. Saat lain
keduanya mengambil mayat Las-
mini yang tergantung di bibir lobang.
Joko cepat lepaskan lilitan akar pada sosok Lasmi-
ni. Lalu kembali lemparkan ujung akar ke bawah.
"Mayat nenek itu harus kita angkat sekalian! Bagai-
manapun juga menurut kabar yang kudengar, nenek
itu adalah bekas kekasih eyang guruku! Kau nanti
yang menarik. Aku akan ke atas lewat rengkahan itu!"
Tanpa menunggu sahutan dari Saraswati, murid
Pendeta Sinting melayang ke bawah lalu mengangkat
mayat Ni Luh Padmi ke pinggiran dinding dan melilit
tubuh si nenek dengan ujung akar.
"Tarik pelan-pelan! Aku akan memeganginya sambil
naik melalui rengkahan!" teriak Joko.
Saraswati tarik tali akar perlahan-lahan. Sementara
Joko menopang dari bawah dengan bertumpu pada
beberapa rengkahan yang dibuatnya.
"Kita harus segera menguburkan mereka!" ujar Joko
begitu sampai di atas seraya lepaskan lilitan akar pada mayat Ni Luh Padmi.
Masih tanpa buka suara, Saraswati mengangkat
mayat ibunya. Joko mengangkat mayat Ni Luh Padmi.
Keduanya melangkah keluar dari ruangan goa.
"Sudahlah, Saraswati.... Semuanya sudah terjadi!
Yang kita pikirkan sekarang adalah mencari siapa ge-
rangan di balik pembunuhan ini! Aku rasa, yang mela-
kukannya tidak lain adalah orang yang selama ini me-
nyamar sebagai diriku!" kata Joko seraya pegangi len-
gan Saraswati yang sesenggukan di samping makam
ibunya. "Semua memang sudah terjadi! Tapi seandainya
saat itu Ibu turuti nasihatku.... Tak mungkin semua
ini akan terjadi!"
"Kau jangan banyak berandai-andai. Terimalah ke-
nyataan ini...!"
Saraswati berpaling pada murid Pendeta Sinting.
Matanya yang masih digenangi air mata menatap sen-
du lalu berucap.
"Sekarang ke mana akan kita cari jahanam itu"! La-
gi pula kita belum tahu siapa dia sebenarnya!"
"Aku sedikit banyak bisa menduga siapa dia se-
benarnya! Tapi aku tidak berani memastikan dahulu!"
"Maksudmu di balik semua ini adalah orang tua
bernama Kiai Laras itu"!"
"Ini masih dugaan...," kata Joko sambil anggukkan
kepala. "Tapi melihat beberapa peristiwa yang terjadi,
besar kemungkinan dugaan ini banyak benarnya!" La-
lu Joko menceritakan pertemuannya dengan Kiai La-
ras. Juga menceritakan musibah yang dialami Pitaloka
sampai akhirnya Pitaloka menunjukkan tempat di ma-
na akhirnya ditemukan mayat Lasmini dan Ni Luh
Padmi. Namun sejauh ini Joko tidak menceritakan pe-
rihal benda merah yang diambilnya dari pusar bayi Pi-
taloka. Mendengar keterangan murid Pendeta Sinting, Sa-
raswati terkejut. Lalu dengan tundukkan kepala dia
bergumam pelan.
"Joko.... Kau mau memaafkan aku"! Selama ini aku
telah menaruh prasangka buruk padamu...."
"Aku tak bisa memaafkanmu! Kecuali dengan satu
syarat!" Joko menyahut dengan suara agak keras.
Saraswati terlengak kaget. Dia angkat kepala. Joko
sudah berpaling terlebih dahulu hingga tak melihat pe-rubahan pada wajah
Saraswati. "Joko! Apa pun syaratmu akan kupenuhi! Katakan
saja...," gumam Saraswati dengan suara bergetar dan
tersendat. Beberapa saat Joko belum juga buka suara. Tapi
tak lama kemudian dia buka mulut namun masih tan-
pa memandang ke arah Saraswati.
"Benar kau akan penuhi syaratku"!"
"Katakanlah...!" ujar Saraswati sembari anggukkan
kepala meski dia tahu orang tidak memandangnya.
Pendekar 131 berpaling. Matanya mendelik. Mulut-
nya terkancing rapat. Saraswati terkesiap dengan dada berdebar. Namun mendadak
mulut Joko bergerak
sunggingkan senyum seringai dan berkata.
"Tersenyumlah!"
Saraswati kerutkan kening. Joko tersenyum dan
berkata. "Aku mau memaafkanmu kalau kau mau ter-
senyum!" Belum sampai ucapan Joko selesai, Saraswati su-
dah membuat senyum lebar. Dan tanpa sadar gadis ini
memegang lengan Joko sembari berkata pelan.
"Benar hanya itu syarat yang kau minta"!" tanya
Saraswati dan kini sudah rebahkan kepalanya di
samping dada Joko.
"Kalau aku minta lainnya, jangan-jangan kau kebe-


Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ratan!" "Apa pun permintaanmu, akan kupenuhi...!" kata
Saraswati seraya mendongak. Dagu murid Pendeta
Sinting tampak bersentuhan dengan kening Saraswati.
Darah Pendekar 131 berdesir. Apalagi kini tangan
sebelah Saraswati tiba-tiba sudah melingkar di ping-
gangnya. Entah karena khawatir terdorong ke samp-
ing, Joko terpaksa lingkarkan tangannya pula pada
pinggang Saraswati. Saraswati pejamkan mata. "Beta-
pa bahagia jika Ibu masih ada dan menyaksikan aku
hidup berdampingan dengan pemuda seperti dia...."
Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting dan Sa-
raswati yang tengah berangkulan di dekat makam
Lasmini, dua pasang mata dari tadi tampak terus
memperhatikan dari rimbunan semak. Sepasang mata
sebelah kanan terlihat biasa-biasa saja meski meman-
dang tak berkesip. Namun sepasang mata satunya
tampak mengerjap beberapa kali dan kejap lain berka-
ca-kaca! Malah tak lama kemudian dua telapak tangan
halus tampak menutup mata yang berkaca-kaca itu!
"Tabahkan diri! Jangan membuat mereka tahu ke-
hadiran kita dengan suara tangismu!" Terdengar bisi-
kan lembut. Jelas suara itu terdengar dari orang yang memiliki mata sebelah
kanan dan tampak terus memandang tak berkesip ke arah Joko dan Saraswati.
Kedua tangan halus yang tadi menutupi mata yang
berkaca-kaca diturunkan ke bawah. Sepasang mata itu
masih terlihat tergenangi air mata. Saat lain sepasang
mata ini berpaling ke kanan, dan ke arah sepasang
mata yang terus memandang. Saat bersamaan terden-
gar suara lembut.
"Kita harus pergi menjauh.... Tidak pantas kita me-
lihat orang yang tengah berkasih-kasihan...."
"Bukan kita yang tidak pantas! Tapi mereka berdua!
Tega-teganya mereka saling berpelukan di dekat ma-
kam! Padahal aku yakin orang di makam itu baru di-
kuburkan! Dan pasti makam itu adalah makam kera-
bat dekatnya!"
"Ah.... Mungkin mereka tak sadar...," sahut pemilik
mata yang berkaca-kaca.
"Ini bukan masalah sadar atau tidak!"
"Kau terlalu berprasangka.... Lagi pula apa urusan
kita dengan mereka"!"
Mata yang sejak tadi memandang tak berkesip ber-
gerak memaling ke kiri. Ke arah mata yang tadi berka-
ca-kaca. Lalu terdengar bisikan lembut meski nada-
nya keras. "Kau jangan menutupi perasaan! Aku tahu bagai-
mana perasaanmu melihat pemuda itu berpelukan
dengan seorang gadis! Dan kau pula tahu apa urusan
kita dengan pemuda itu!"
"Kita sudah menyerahkan semua urusan padanya!
Berarti urusan kita dengannya sudah selesai! Dan te-
rus terang.... Sebelumnya aku memang tertarik pada
pemuda itu, tapi kini.... Ah, percuma kita bicarakan!
Kita sudah tahu apa yang terjadi!" kata suara pemilik mata yang berkaca-kaca.
"Tidak! Aku harus menyelesaikannya! Urusan itu
belum selesai sampai di sini! Kau tahu.... Pada awal-
nya sebenarnya aku juga tertarik pada pemuda itu.
Namun kini aku sadar siapa diriku. Lagi pula aku tahu kau menyukainya. Aku ingin
kau berbahagia dengan
pemuda itu! Aku harus dapat menyatukan kau dan
pemuda itu! Karena itulah yang bisa kuberikan sebagai tebusan atas segala
perbuatanku yang menyakitkan
hatimu...."
"Kau jangan bicara yang bukan-bukan! Perasaan
cinta tidak bisa dipaksakan! Dan jangan ungkit-ungkit lagi peristiwa yang telah
berlalu.... Sebaiknya kita segera pergi dari sini...."
"Tunggu! Lihat mereka!" kata suara pemilik mata
yang tadi terus mengawasi.
Mata yang tadi berkaca-kaca dan kini masih terge-
nangi air mata kembali memandang pada murid Pen-
deta Sinting dan Saraswati yang beranjak bangkit dari samping makam. Kedua orang
pemilik dua pasang ma-ta di balik semak ini tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan
Joko dan Saraswati. Karena Joko dan Sa-
raswati bicara amat pelan malah setengah berbisik.
"Jangan-jangan mereka sudah tahu kehadiran ki-
ta...!" ujar suara pemilik mata yang berkaca-kaca.
"Itu lebih baik! Berarti kita selesaikan sekalian urusannya di sini!" sahut
pemilik mata satunya.
"Jangan membuat urusan baru.... Percayalah. Aku
bisa menerima semua ini...."
"Aku tahu bagaimana perasaanmu sebenarnya! Apa
yang baru kau ucapkan bertolak belakang dengan apa
sesungguhnya yang ada dalam hatimu!"
Si pemilik mata yang berkaca-kaca tergagu diam tak
bersuara lagi. Sementara di depan sana, Pendekar 131
dan Saraswati tampak saling pandang, lalu masih den-
gan saling berangkulan, mereka berdua melangkah
tinggalkan tempat pemakaman.
"Kita ikuti mereka!" kata pemilik mata yang terus
memandang tak berkesip.
"Tidak ada gunanya! Bukannya karena aku tak ta-
han melihat mereka, tapi kurasa kau mengajakku bu-
kan untuk mengikuti orang yang tengah berkasih-
kasihan!" "Hem.... Ucapanmu benar. Tapi sebenarnya salah!"
"Maksudmu..."!" tanya si pemilik mata yang berka-
ca-kaca. "Aku sengaja minta izin waktu pada Eyang semata-
mata hanya untuk mengikuti pemuda itu! Karena pe-
muda itu pasti tengah mencari jahanam keparat yang
kini kucari!"
"Jadi...?"
"Aku memang hendak membalas tindakan manusia
berjubah hitam yang memperkosaku itu! Kalau murid
Pendeta Sinting meninggalkan tempat ini, berarti jahanam keparat itu juga tidak
berada di tempat ini! Jadi kita harus mengikutinya!"
"Kau jangan gila! Kau tahu siapa yang akan kau
hadapi"!"
"Benda untuk menghadapinya sudah berada di tan-
gan Pendekar 131! Aku tinggal menunggu kesempatan.
Yang jelas selembar nyawanya aku yang punya hak
untuk memutusnya!"
"Tapi...."
"Aku sudah bersumpah! Dan aku harus lakukan
sumpahku! Kita ikuti mereka!"
Habis terdengar suara begitu, satu sosok bayangan
merah tampak berkelebat ke arah mana tadi Joko dan
Saraswati melangkah. Saat lain satu bayangan merah
juga berkelebat dari balik semak menyusul bayangan
merah yang berkelebat lebih dahulu.
SELESAI Segera terbit: PENGADILAN NERAKA
Scan: Clickers Edit: Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
Uhttps://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978 SATUU ***
DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** *** DELAPAN *** SEMBILAN *** ***
SEPULUH *** SEBELAS SELESAI PENGADILAN NERAKA
Kisah Tiga Kerajaan 27 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 11
^