Pencarian

Wasiat Agung Dari Tibet 1

Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet Bagian 1


SATU PENDEKAR 131 Joko Sableng picingkan mata bebe-
rapa saat. Lalu dipentang besar-besar. Saat lain dia bergerak bangkit dan
memperhatikan perahu yang terus meluncur deras dimainkan gelombang ombak.
"Hem.... Rupanya perahu itu memang tidak berpe-
numpang! Apakah perahu nelayan yang penumpang-
nya terhantam gelombang"! Tapi... Itu tidak mungkin!
Di sekitar sini tidak ada nelayan yang menangkap
ikan. Di sini ombaknya terlalu besar. Para nelayan
pasti sudah memperhitungkan dan tak mungkin be-
rani melaut di sekitar tempat ini! Jangan-jangan inilah awal kebenaran ucapan
Kakek Gendeng Panuntun...."
Murid Pendeta Sinting teringat akan ucapan Kakek
Gendeng Panuntun saat berada di kawasan Kampung
Setan. Seperti diceritakan dalam episode : "Pengadilan Neraka" ketika bentrok
antara Setan Liang Makam,
Kiai Laras, dan Joko telah usai, Gendeng Panuntun
memberi isyarat pada murid Pendeta Sinting jika tidak lama lagi mereka akan
berpisah untuk beberapa saat
lamanya. Untuk itu Gendeng Panuntun minta agar Jo-
ko mengucapkan selamat jalan pada Putri Kayangan.
Namun karena di situ ada Nyai Tandak Kembang dan
beberapa orang lainnya, Joko tidak enak untuk bicara.
Hingga akhirnya dia tidak kuasa untuk mengatakan
apa-apa. Hanya saja Pendekar 131 sudah me-
mutuskan akan pergi menyusul ke lereng Gunung Se-
meru begitu dia selesai bertemu dengan eyang gurunya Pendeta Sinting guna
menjernihkan persoalannya dengan Putri Kayangan.
Seperti juga dituturkan, Putri Kayangan sempat ke-
cewa dan cemburu ketika mengetahui Pendekar 131
bermesraan dengan Saraswati di dekat Bukit Kalingga.
Hingga kala Pendekar 131 hendak bicara ketika Putri
Kayangan akan pergi meninggalkan Kampung Setan,
gadis jelita cucu Nyai Tandak Kembang itu sempat me-
nunjukkan tampang tidak senang. Apalagi tiba-tiba
saat itu di Kampung Setan muncul pula Saraswati dan
Dewi Seribu Bunga.
Begitu Putri Kayangan, Dewi Seribu Bunga, dan Sa-
raswati berkelebat meninggalkan Kampung Setan,
Pendekar 131 sudah hendak pergi guna menemui Pen-
deta Sinting. Namun Gendeng Panuntun mencegah,
malah memerintahkan pada murid Pendeta Sinting un-
tuk pergi ke pesisir Laut Utara.
Gendeng Panuntun tidak mau menjelaskan ada apa
di pesisir Laut Utara. Kakek buta itu justru mengatakan bahwa jawabannya akan
diperoleh Joko jika su-
dah tiba di pesisir Laut Utara.
Walau dada dibuncah dengan berbagai pertanyaan,
akhirnya Joko turuti juga ucapan Gendeng Panuntun
untuk pergi ke pesisir Laut Utara. Beberapa saat se-
telah tiba di pesisir Laut Utara, ternyata Joko tidak menemukan siapa-siapa.
Akhirnya Joko memutuskan
akan meninggalkan pesisir Laut Utara jika hari telah gelap. Namun belum sampai
hari gelap, mendadak
pandang matanya menangkap sebuah perahu yang
meluncur dimainkan alunan gelombang ombak. Joko
sedikit merasa heran, karena dia yakin jika perahu itu tak berpenumpang! Dia
juga yakin, jika perahu itu bukanlah milik seorang nelayan yang diterjang
gelombang ombak, karena di pesisir Laut Utara di mana sekarang Joko berada,
gelombangnya terlalu ganas untuk para
nelayan yang mencari ikan.
Kecurigaan Joko membuat dia segera berkelebat
mendekati perahu. Lagi pula saat itu tiba-tiba dia teringat akan ucapan Gendeng
Panuntun. Pendekar 131 tegak di tepian dengan mata meman-
dang tak berkesip. Berjarak dua puluh lima tombak di depan sana, perahu tanpa
penumpang terus terombang-ambing dialun gempuran ombak yang makin
menggila karena air laut sudah mulai pasang.
"Ah.... Kenapa aku tertarik dengan sebuah perahu"!
Ucapan Gendeng Panuntun pasti ada hubungannya
dengan seseorang! Bukan dengan sebuah perahu! Apa-
lagi perahu tidak...," gumaman murid Pendeta Sinting mendadak terputus. Matanya
membelalak ketika menangkap sebuah tangan menggapai bagian samping
perahu! "Perahu itu berpenumpang!" desis Joko seraya me-
lompat ke depan. Air laut membasahi celananya kare-
na dia kini tegak sepuluh langkah memasuki air. Dia ma-sih belum berani
mengarungi gelombang menuju
perahu karena selain amukan gelombang itu makin
menggila, dia masih ingin yakinkan penglihatannya.
Sementara perahu di depan sana makin terombang-
ambing dan makin tenggelam dalam amukan gelom-
bang, hingga makin sulit bagi Joko untuk yakinkan
pandang matanya.
Setelah agak lama berpikir, akhirnya murid Pendeta
Sinting memutuskan untuk berkelebat ke arah perahu,
karena gulungan ombak bukannya membawa perahu
mendekat ke arah pesisir, namun kini makin menjauh.
"Siapa pun dia, pasti dia dalam keadaan tidak ber-
daya!" gumam Joko lalu berkelebat menembus hempa-
san gelombang. Setelah melewati gempuran ombak dan
berenang, akhirnya Joko bisa menggapai bagian samp-
ing perahu. Mulutnya tampak megap-megap. Setelah
sentakkan kepala ke samping kiri kanan, dia melompat memasuki perahu. Sementara
perahu terus melaju ke
tengah laut. Begitu kaki Pendekar 131 menginjak kabin perahu,
saat itulah pandangannya membentur satu sosok tu-
buh yang tergeletak menelungkup dengan kedua ta-
ngan menggapai-gapai. Dari sikap orang, murid Pen-
deta Sinting sudah maklum kalau orang itu terluka!
Tanpa pikir panjang, Joko segera mendekat. Kedua
tangannya segera menelentangkan orang. Joko tersen-
tak. Dugaannya tidak meleset. Orang di atas perahu
memang dalam keadaan terluka. Namun bukan karena
terjangan gelombang, melainkan karena perbuatan ta-
ngan orang. Orang di dekat Joko adalah seorang laki-laki beru-
sia empat puluh tahunan. Kepalanya gundul. Pada ke-
palanya terlihat titik-titik warna putih. Dia mengenakan pakaian warna kuning
panjang tanpa leher. Pada
pundaknya sebelah kiri menyelempang kain warna me-
rah yang terus diikatkan pada bagian pinggangnya.
Dari pakaian dan ciri-ciri orang, jelas bila orang ini adalah seorang biksu
Budha. Laki-laki berkepala gundul itu berparas agak bulat.
Dari mulutnya masih kucurkan darah. Di hidungnya
juga terlihat gumpalan darah yang menyumbat hingga
laki-laki ini sulit mengambil napas. Pakaian di bagian dada dan lambungnya
tampak robek menganga dan
alirkan darah. Pada lengan kiri kanannya tampak luka memanjang goresan pedang
yang juga semburkan darah!
Setelah melihat keadaan orang sejurus, murid Pen-
deta Sinting cepat hendak telungkupkan kembali tu-
buh orang agar bisa salurkan tenaga dalam lewat
punggung orang. Namun begitu kedua tangan Joko pe-
gang pundak orang, laki-laki berkepala gundul buka
sepasang matanya. Tangan kiri kanannya coba meng-
gapai kedua tangan Joko. Bersamaan dengan itu kepa-
lanya bergerak menggeleng perlahan.
"Kita harus berusaha...," gumam Joko tahu isyarat
orang. Namun kembali kepala gundul milik laki-laki itu
bergerak menggeleng. Mulutnya yang masih kucurkan
darah membuka. Saat lain terdengar ucapannya perla-
han. "Amitaba.... Kita memang harus berusaha.... Tapi
ada yang lebih penting dari itu...."
Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut,
laki-laki berkepala gundul lepaskan gapaian kedua tangannya pada kedua tangan
Joko. Perlahan dan ge-
metar, tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik
pakaiannya. Saat ditarik keluar, tangan kanannya me-
megang sebuah kantong dari kain agak besar berwarna
putih. Mata laki-laki itu sesaat pandangi paras wajah Pendekar 131. Bibirnya
yang tertutup kucuran darah
coba tersenyum sebelum akhirnya tangan kanannya
yang memegang kantong putih menjulur ke arah Joko.
Karena ingin segera memberi pertolongan, tanpa
banyak tanya lagi, Pendekar 131 menerima kantong
putih. Lalu diletakkan. Saat lain kedua tangan Joko
kembali hendak balikkan tubuh orang seraya berkata.
"Sekarang aku akan salurkan tenaga dalam...."
Namun laki-laki berkepala gundul tarik kedua tan-
gannya lalu ditakupkan di depan dada. "Amitaba....
Mudah-mudahan kau mendapat anugerah atas niat
baikmu.... Tapi masih ada yang harus kukatakan pa-
damu, Anak Muda.... Aku tak mau terlambat mengata-
kannya...."
"Itu bisa kau katakan nanti...."
"Jangan membuang kesempatan selagi kesempatan
itu ada...," sahut laki-laki berkepala gundul. "Manusia diciptakan sudah pasti
akan kembali pada Sang Pencipta. Namun satu kesempatan tidak akan terulang
untuk kedua kalinya...."
"Tapi ini juga kesempatanmu untuk berusaha hi-
dup...," kata Joko.
"Benar.... Tapi apalah artinya bila nyawa satu orang harus ditebus dengan
beberapa nyawa...."
"Apa maksudmu...?"
"Aku tak bisa memberi keterangan banyak. Hanya
kumohon kau sampaikan isi dalam kantong itu pada
seseorang bernama Guru Besar Pu Yi.... Dia adalah salah seorang Guru di Kuil
Shaolin.... Ingat.... Kumohon jangan berikan kantong itu pada siapa saja selain
Guru Besar Pu Yi...."
"Tapi di mana kuil itu berada..."!"
"Dia berada di perbatasan Tibet dan Tiongkok.... Ji-
ka kau nanti sampai ke pesisir tanah Tibet, pergilah ke Gunung Sim Yao In. Dari
gunung itu pergilah ke arah
barat. Setelah melewati lima kawasan hutan, kau akan menemukan kawasan tanah
lapang. Tanah lapang itu
dibelah sebuah sungai. Itulah perbatasan Tibet dan
Tiongkok. Di perbatasan itu nanti kau akan menemu-
kan sebuah kuil."
"Baiklah.... Sekarang waktunya aku memberimu
pertolongan...."
"Amitaba.... Bukan aku tak mau menerima perto-
longan. Tapi kesanggupanmu merupakan pertolongan
besar bagiku.... Mudah-mudahan.... Kau diberkati da-
lam... perjalananmu...." Mulut laki-laki berkepala gundul coba membuka lagi.
Tapi suaranya sudah tidak
terdengar. Saat lain perlahan-lahan sepasang matanya meredup.
Joko tidak lagi hiraukan ucapan orang yang dari ta-
di terus mencegahnya. Dia cepat gerakkan bahu orang
untuk ditelungkupkan. Saat lain kedua tangannya di-
tempelkan pada punggung orang. Namun baru saja
kedua tangannya menempel, Pendekar 131 menarik
napas panjang. "Dia sudah meninggal...," gumam Joko ketika mera-
sakan kedua telapak tangannya tidak lagi dialiri hawa
hangat. Pendekar 131 kembali balikkan tubuh orang. Lalu
untuk meyakinkan, kedua tangannya ditempelkan pa-
da dada orang. Detak dan denyutan dada laki-laki berkepala gundul itu memang
sudah terhenti.
"Bagaimana ini"! Aku belum tahu arah mana dara-
tan yang diucapkannya! Sementara aku telah me-
nyanggupi permintaannya...," Joko bergumam sendiri
seraya memperhatikan sekujur tubuh orang yang kini
terbujur kaku. Saat itulah matanya melihat kantong putih yang ta-
di diletakkan di kabin perahu. Joko julurkan tangan
kanan mengambil kantong putih. Sesaat kantong itu
diperhatikan dengan seksama. Perturutkan rasa hati
yang penasaran, ingin rasanya dia membuka kantong
itu. Tapi setelah dipikir-pikir, akhirnya dia masukkan kantong putih ke baik
pakaiannya tanpa dibuka terlebih dahulu.
"Apa pun yang akan terjadi, aku sudah telanjur me-
nyanggupi permintaannya.... Mudah-mudahan perahu
ini membawaku ke tempat yang dikehendaki orang!"
Pendekar 131 letakkan sosok mayat laki-laki ber-
kepala gundul ke tepi kabin perahu. Lalu dia mulai
memeriksa di bagian belakang perahu. Di sana murid
Pendeta Sinting menemukan bekal bahan makanan.
"Hem.... Tampaknya dia memang bertujuan pergi
jauh... tapi mengapa sampai terluka begitu rupa"! Tak mungkin dia terluka di
daratan. Pasti dia terlibat bentrok di atas laut...." Pendekar 131 kembali
pandangi wajah orang. "Hem.... Aku sampai lupa bertanya siapa namanya.... Tapi
yang jelas dia adalah dari Perguruan Shaolin!"
Joko terus menduga-duga dan bertanya pada diri
sendiri. Sementara perahu yang ditumpangi terus me-
laju menembus gelombang. Pendekar 131 tidak tahu
ke mana arahnya sekarang, apalagi hari sudah mulai
gelap. Yang dia tahu, dari arah matahari terbenam, dia tengah melaju ke arah
selatan. *** DUA MASIH untung di dalam perahu ada bekal maka-
nan, hingga meski Pendekar 131 sudah empat hari li-
ma malam berada di tengah laut, namun soal maka-
nan dia tidak perlu merasa kebingungan. Justru yang
membuatnya bingung adalah arah tujuan melajunya
perahu. Dia tak tahu harus dibawa ke mana perahu
itu. Hingga dia hanya menurut saja ke mana gelom-
bang laut membawanya. Hanya saja saat hari ke-lima,
dia melihat gugusan beberapa gunung nun jauh di sa-
na. Lalu terlihat beberapa perahu.
"Hem.... Aku harus mendekat ke sana. Aku nanti
bisa bertanya pada seorang nelayan...," kata Joko. Kepalanya berputar memandang
ke arah sosok mayat di


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakangnya. Sekujur tubuh laki-laki itu telah mulai membiru.
"Tibet.... Hem.... Nyatanya ucapan Gendeng Panun-
tun benar. Dari perjalanan ini rasanya aku untuk se-
mentara waktu harus lama meninggalkan tanah Jawa.
Hanya saja mudah-mudahan aku tidak menghadapi
halangan berarti sampai bertemu dengan orang yang
bernama Guru Besar Pu Yi.... Jika tidak, rasanya urusanku dengan Putri Kayangan
tidak akan kunjung jer-
nih!" Ingat akan hal itu, ditambah dengan terlihatnya be-
berapa perahu di depan sana, Pendekar 131 cepat am-
bil dayung yang sudah beberapa hari tidak digunakan.
Saat lain kedua tangannya telah bergerak mendayung.
Perahu tumpangannya melaju ke arah beberapa pera-
hu yang terlihat.
Beberapa saat berlalu. Harapan murid Pendeta Sin-
ting untuk segera bertanya rupanya akan tercapai. Karena bukan saja perahunya
yang melaju mendatangi
beberapa perahu yang tadi terlihat, namun ada dua
perahu agak besar dan satu lagi perahu besar melaju
cepat ke arahnya.
Pendekar 131 merasa lega namun juga mulai kha-
watir begitu matanya dapat melihat ke arah tiga pera-hu yang melaju ke arahnya.
Dua perahu agak besar
yang melaju mengapit perahu besar, baik warna mau-
pun modelnya mirip persis dengan perahu yang kini ditumpangi!
Murid Pendeta Sinting pentangkan mata tembusi
gelombang ombak yang sesekali halangi pandang ma-
tanya. Dia belum bisa dengan jelas melihat wajah
orang di atas perahu. Dia hanya dapat melihat dua sosok tubuh di masing-masing
perahu yang mengapit pe-
rahu besar. Sementara di perahu besar, terlihat beberapa sosok tubuh.
"Aku tak mau membuat urusan dengan kematian
orang itu! Untuk sementara dia harus kututupi! Jika
tidak, mungkin mereka akan menuduh macam-
macam...."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting yang saat itu masih mengenakan Jubah
Tanpa Jasad segera lepaskan jubah peninggalan kerabat Kampung Setan
yang kini kesaktiannya sudah punah akibat bentrok
dengan benda merah yang diambil Joko dari pusar
bayinya Pitaloka.
Jubah hitam segera ditutupkan rapi ke tubuh laki-
laki berkepala gundul. Saat lain dia kembali ke bagian depan perahu. Sementara
tiga perahu di depan sana
sudah makin mendekat.
Begitu jarak tinggal dua puluh lima tombak, dan
murid Pendeta Sinting mulai dapat melihat sosok-
sosok di atas perahu, tiba-tiba dua perahu yang men-
gapit perahu besar bergerak menjauhi perahu besar
yang di apit. Saat lain dua perahu itu melaju dari sebelah kanan kiri perahu
Joko. Sementara perahu besar
terus melaju lurus dari arah depan.
Gerakan tiga perahu di depan mulai membuat mu-
rid Pendeta Sinting rasakan gelagat tidak baik. Apalagi sesaat kemudian
terdengar teriakan lantang dari perahu yang melaju dari bagian sisi samping
kanan. "Berhenti!"
Pendekar 131 yang sesaat tadi terus perhatikan pe-
rahu besar yang melaju lurus dari arah depan segera
berpaling. Karena jaraknya kini makin dekat, Joko bisa melihat tampang-tampang
orang di atas perahu yang
menyusur dari arah samping kiri kanannya.
Di sebelah kanan, di mana baru saja terdengar te-
riakan, tegak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar.
Rambutnya panjang berkibar-kibar ditiup angin laut.
Laki-laki ini mengenakan pakaian keprajuritan. Di
punggungnya terlihat sembulan gagang pedang. Pada
lengan laki-laki berusia empat puluh lima tahunan ini terlihat melilit ban kain
berwarna merah. Di sebelah laki-laki ini duduk sambil ayunkan dayung seorang la-
ki-laki yang juga mengenakan pakaian keprajuritan. Di lengan tangannya melilit
ban kain berwarna kuning.
Usianya tidak beda jauh dengan laki-laki yang tegak.
Pendekar 131 arahkan pandang matanya ke perahu
satunya. Di sana dia melihat pula dua orang laki-laki.
Yang satu tegak memperhatikan ke arah Joko, satunya
lagi juga mengawasi seraya gerakkan dayung. Kedua
laki-laki ini usianya juga kira-kira empat puluhan tahun. Hanya saja kedua orang
ini mengenakan pakaian
panjang mirip jubah berwarna hitam dan putih.
Kini murid Pendeta Sinting luruskan pandangannya
ke depan. Ke arah perahu besar. Di bagian depan pe-
rahu besar tampak tegak empat sosok tubuh mengena-
kan seragam keprajuritan. Pada lengan masing-masing
orang melilit juga ban kain warna merah. Joko hanya
sekilas memperhatikan keempat orang di bagian pera-
hu besar. Matanya terus memandang melalui pundak
masing-masing orang ke arah satu anjungan di bela-
kang keempat laki-laki. Di sana terlihat sebuah kursi agak besar. Duduk di
atasnya seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian kebesaran seorang
panglima. "Berhenti!" Kembali terdengar teriakan garang dari
laki-laki di perahu sebelah kanan yang di lengannya
melilit ban kain warna merah.
Pendekar 131 Joko Sableng kerahkan sedikit tenaga
dalamnya. Perahu yang ditumpangi seketika berhenti
dan terayun-ayun dimainkan gelombang. Ekor mata-
nya melirik ke samping kanan dari mana suara teria-
kan terdengar. Lalu melirik ke kiri dan ke depan.
Murid Pendeta Sinting tahu, beberapa orang di atas
perahu hanya memandang sekilas ke arahnya. Lalu
sama memperhatikan ke arah lantai perahu yang di-
tumpanginya. "Katakan siapa kau adanya! Beri juga penjelasan
bagaimana kau dapatkan perahu itu!" Laki-laki yang
tadi berteriak kembali buka mulut ajukan tanya serta minta keterangan. Seperti
halnya Joko, masing-masing orang di atas perahu kerahkan tenaga dalam hingga
perahu masing-masing orang juga berhenti melaju dan
diam terapung-apung dimainkan gelombang.
"Aku hanyalah seorang nelayan biasa.... Perahuku
terhantam badai dan hancur porak-poranda. Beberapa
temanku tenggelam. Aku berhasil selamat dengan ban-
tuan serpihan kayu dari perahuku yang hancur. Sehari semalam aku terapung-apung
di atas laut hingga akhirnya aku menemukan perahu ini...." Pendekar 131
angkat suara. Dia sengaja tidak mau berterus terang
karena belum tahu maksud orang. Lagi pula dia men-
dapat gelagat tidak baik. Apalagi ketika ingat pesan la-ki-laki berkepala gundul
yang memberikan kantong
putih kepadanya.
Laki-laki yang tadi buka mulut, sesaat pandangi
Joko dari atas hingga bawah. Saat lain dia kembali
angkat bicara. "Kami tidak akan berpanjang lebar. Jawab dengan
jujur pertanyaanku! Ingat, bila kau coba berani menutupi sesuatu, bentangan laut
telah menanti mayatmu!
Kau paham"!"
"Ah.... Apalah untungnya bagiku berani menutupi
sesuatu. Bisa selamat saja aku sudah banyak-banyak
ucapkan terima kasih.... Apalagi jika kalian mengizinkan aku meneruskan
perjalanan ke pantai sana! Terus
terang.... Aku sekarang sudah ngeri berada di atas
laut...." "Bagus! Kau bukan saja akan kami izinkan mene-
ruskan perjalanan. Namun kami akan mengiringi per-
jalananmu dan memberi hadiah padamu! Bukankah
begitu, Panglima Muda Lie"!" kata laki-laki yang lengannya dililit ban kain
warna merah yang tadi buka
suara. Kepala laki-laki ini berpaling pada perahu besar. Matanya tertuju pada
laki-laki yang duduk di atas kursi di bagian anjungan perahu.
Laki-laki setengah baya di atas kursi yang menge-
nakan pakaian panglima anggukkan kepala. Bibirnya
sunggingkan senyum. Namun matanya tertuju jauh ke
tengah laut. "Mudah-mudahan ini tidak ada hubungannya de-
ngan...," gumaman Joko belum berlanjut, tiba-tiba la-
ki-laki yang tadi bicara kembali perdengarkan suara.
"Kau menemukan seseorang di atas perahu yang
kini kau tumpangi"!"
"Celaka!" desis murid Pendeta Sinting. Namun dia
tidak berani membuat curiga orang dengan tidak sege-
ra menjawab. Seraya sunggingkan senyum, Joko ge-
lengkan kepala dan menjawab.
"Pada mulanya aku memang berharap bisa me-
nemukan orang di perahu ini! Dengan begitu aku bisa
bertanya sekaligus menumpang. Tapi nyatanya aku ti-
dak menemukan siapa-siapa! Perahu ini terombang-
ambing tanpa penumpang!"
Seraya berkata, ingin rasanya Joko berpaling ke
arah sosok mayat yang ditutup dengan jubah hitam.
Dia khawatir jubah hitam itu tidak bisa menutupi ke-
beradaan orang, apalagi ayunan gelombang bisa saja
membuat jubah hitam berubah letaknya. Namun Joko
berusaha keras menahan keinginan. Dia tidak mau si-
kapnya akan membuat orang jadi menaruh curiga. Ma-
lah mungkin agar tidak dicurigai, Joko segera sam-
bungi ucapannya.
"Kalian tengah mencari seseorang"! Siapa..."!"
Laki-laki yang lengannya dililit ban kain merah ti-
dak segera menjawab. Sebaliknya menatap tajam pada
jubah hitam di lantai perahu. Untung jarak antara kedua perahu itu agak jauh dan
bagian samping perahu
agak tinggi. "Anak muda! Benar ucapanmu"!" Akhirnya si laki-
laki yang dari tadi angkat bicara ajukan tanya.
"Sudah kukatakan, tak ada untungnya menutupi
sesuatu! Karena keselamatan adalah hal paling penting bagiku saat ini!"
"Hem.... Lalu apa di bawah jubah hitam itu"!"
Dada murid Pendeta Sinting berdebar. Namun dia
tetap bertahan tak hendak membuat orang merasa cu-
riga. Lagi pula ini adalah kesempatan baginya meme-
riksa. Maka semberi tersenyum, kepala Joko berpaling ke arah jubah hitam di
lantai perahu. Dia sedikit merasa lega karena sosok tubuh orang di bawah jubah
hitam tetap tertutup.
"Ini adalah bekal makanan yang kutemukan di pe-
rahu. Karena aku takut terkena muncratan gelombang
air, aku menutupnya dengan jubahku. Lagi pula, de-
ngan mengenakan jubah, kurasa akan menghambat
laju perahu karena jubah itu akan menahan hembu-
san angin!"
"Buka jubah hitam itu!" Terdengar suara perintah.
Kali ini datangnya dari perahu sebelah kiri. Kepala Jo-ko berpaling ke kiri.
Tengkuknya diam-diam terasa
dingin. Namun dia masih coba menutupi dengan sung-
gingkan senyum dan buka mulut.
"Kurasa lebih baik kita bicara di pesisir sana. Nanti akan kujelaskan semuanya.
Kalian tahu, badai gelombang yang menghancurkan perahuku dan menengge-
lamkan beberapa temanku membuat aku terus-mene-
rus dihantui perasaan ngeri berada di atas laut!"
"Kau dengar perintah! Buka jubah hitam itu!" Laki-
laki di perahu sebelah kiri kembali perdengarkan pe-
rintah dengan bentakan keras.
"Aku masih memerlukan bekal makanan itu. Kare-
na di daratan sana pasti belum ada orang yang kuke-
nali Jika sampai bekal itu terkena air, berarti aku selamat di laut tapi celaka
di darat! Sebab aku akan mati kelaparan!" kata Joko lalu ambil dayung. Enak saja
Joko hendak ayunkan dayung di tangannya seraya be-
rucap menyambungi kata-katanya. "Kalian tadi belum
jawab pertanyaanku. Kalian tengah mencari seseo-
rang"!"
"itu bukan urusanmu! Turuti saja perintah yang
kau dengar jika kau ingin sampai daratan dengan se-
lamat!" Kali ini suara itu diperdengarkan laki-laki di perahu sebelah kanan yang
lengannya terlilit ban kain warna merah.
"Kalian tak mau menjawab pertanyaanku. Bagai-
mana mungkin kalian bisa memerintah orang"! Aku
juga sudah menawarkan pembicaraan nanti di darat
sana, tapi kalian rupanya memaksakan kehendak! Pa-
dahal aku sudah ketakutan...."
Belum sampai ucapan murid Pendeta Sinting se-
lesai, orang di perahu sebelah kiri sudah membuat gerakan dengan kelebatkan
kedua tangannya.
Wuuutt! Wuuttt!
Air laut yang berada di antara perahu orang dan pe-
rahu Joko tampak bergelombang dahsyat. Saat lain
terdengar deruan keras.
Byurrr! Byuurr!
Air laut muncrat ke udara setinggi tiga tombak. Pe-
rahu yang ditumpangi Joko tampak naik turun diterpa
gelombang akibat pukulan orang ke arah air laut. Joko berteriak-teriak ngeri.
Kedua tangannya ditadangkan
di atas kepala menahan muncratan air yang meng-
guyur ke arahnya.
"Apa yang kalian lakukan padaku"!" tanya murid
Pendeta Sinting seraya mengusap wajahnya yang ba-
sah. Lalu kedua tangannya kibas-kibaskan pakaian
yang dikenakan yang ternyata telah basah kuyup.
Karena tidak mau dicurigai, Joko tidak berusaha
kerahkan tenaga dalam untuk hentikan gerakan pera-
hu yang naik turun akibat terpaan gelombang. Malah
dia juga tidak kuasai diri dengan pengerahan tenaga
dalam, hingga sosoknya tampak terhuyung-huyung di
lantai perahu. Kesempatan ini dipergunakan Joko. Dia sengaja arahkan huyungan
tubuhnya mendekati jubah
hitam. Lalu kedua kakinya menginjak jubah yang me-
nutupi sosok orang. Hingga meski terpaan gelombang
air laut membuat perahu bergerak naik turun dengan
keras, tapi jubah hitam tidak bergerak dari tempatnya.
"Kalian membuatku makin takut! Padahal aku telah
mengatakan apa yang kulihat dan kalian tanyakan!"
seru Joko begitu gerakan perahu agak mereda.


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu adalah satu peringatan! Jika kau masih tidak
turuti perintah, tidak sulit bagi kami menghancurkan perahu itu!" bentak orang
di perahu sebelah kiri.
"Hem.... Tak mungkin mereka akan menghancurkan
perahu ini selama mereka masih belum mendapat ke-
pastian! Aku hampir yakin, mereka mencari laki-laki
berkepala gundul itu! Hem.... Kalau tak salah, ini pasti masih ada kaitannya
dengan kantong putih itu! Rupanya aku harus menghadapi beberapa aral.... Apa
hendak dikata. Aku telah telanjur menyanggupi per-
mintaan orang.... Sedapat mungkin aku tidak akan
membuat urusan. Tapi kalau keadaan terpaksa, apa
pun akan kulakukan! Apalagi tampang-tampang mere-
ka memberi isyarat jika mereka bukan orang baik-
baik!" Joko diam-diam membatin.
"Orang asing tak dikenal! Kami masih memberi wak-
tu! Singkapkan jubah hitam itu atau kusingkap selem-
bar nyawamu!" Laki-laki di perahu sebelah kiri kembali perdengarkan perintah.
"Apa yang ada di balik jubah itu adalah nyawaku!
Aku tidak akan membukanya! Namun aku berjanji
akan membuka bila nanti telah tiba di pesisir! Dengan begitu bekal makanan itu
tidak akan terkena air! Bagaimana"!"
Sebenarnya, seraya berkata diam-diam Joko menca-
ri jalan bagaimana caranya bila nanti orang-orang di atas perahu menuruti
kehendaknya. Sementara begitu
mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, orang di pe-
rahu sebelah kanan perdengarkan tawa panjang lalu
berucap. "Anak muda! Soal makanan kau tak usah khawatir!
Kami nanti akan menggantinya berapa banyak yang
kau minta!"
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku adalah orang
kecil yang telah kenyang dengan pengalaman pahit.
Banyak orang yang memberi janji-janji padaku. Tapi
kebanyakan janji tinggal hanya janji! Aku bukannya tidak percaya pada janji
ucapan kalian, tapi sebenar-nya aku khawatir pengalaman pahit akan terulang!
Jadi...." "Kau manusia kecil yang keras kepala! Kau tahu
siapa yang tengah kau hadapi"!" kata laki-laki di perahu sebelah kanan.
"Bagiku, lebih penting apa yang akan kumakan ke-
lak, daripada siapa yang saat ini kuhadapi!"
"Berarti kau lebih sayang makanan daripada nya-
wamu!" "Terserah bagaimana penilaianmu. Yang jelas tanpa
makanan, nyawaku akan melayang! Maka dari itu ma-
kanan adalah yang utama dan lebih penting daripada
nyawa!" Laki-laki di perahu sebelah kanan rupanya tidak
dapat lagi menahan kesabaran, tanpa menyahut uca-
pan Joko kedua tangannya bergerak!
*** TIGA SATU deruan keras terdengar. Bersamaan dengan
itu dua gelombang tampak berkiblat menyusur satu
tombak di atas air laut. Air laut kembali bergolak. Namun kali ini tidak
sedahsyat pukulan dari laki-laki di perahu sebelah kiri karena pukulan laki-laki
di perahu sebelah kanan sengaja diarahkan langsung pada sosok
Pendekar 131! Karena tahu jika pukulan itu diarahkan pada diri-
nya bukan pada lambung perahu, murid Pendeta Sin-
ting segera sentakkan tubuhnya ke depan. Sosoknya
melengkung lalu terjerembab sama rata dengan lantai
perahu. Gelombang angin pukulan orang menderu ga-
nas di atas tubuhnya lalu terus menerabas melewati
perahu. Dua orang laki-laki yang berada di perahu sebelah
kiri sesaat sama terkesiap. Karena gelombang pukulan yang berhasil dihindari
Joko melaju deras ke arah mereka! Terlambat bagi kedua orang ini untuk gerakkan
perahu menghindar. Hingga satu-satunya jalan adalah
menghadang pukulan dengan pukulan pula.
Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kiri serta-
merta angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke
depan. Bummm! Terdengar ledakan. Air laut di bawah mana gelom-
bang pukulan bertemu bergolak muncrat. Perahu di
sebelah kiri Joko tampak terangkat bagian depannya.
Untung kedua penumpangnya cepat kerahkan tenaga
dalam masing-masing hingga dalam beberapa saat me-
reka segera dapat kuasai perahunya.
Bentroknya pukulan tak luput pula membuat pera-
hu yang ditumpangi murid Pendeta Sinting bergerak
naik turun dengan keras. Namun kali ini Joko cepat
kerahkan tenaga dalam hingga gerakannya segera ter-
henti. Pendekar 131 nongolkan kepalanya di bibir perahu.
Dengan unjuk tampang ketakutan dia berseru.
"Mengapa kalian mempermainkan orang yang be-
nar-benar ketakutan"! Tampaknya kalian ingin aku
mati ketakutan di atas laut!"
"Anak muda itu punya ilmu!" Laki-laki di perahu
sebelah kanan yang duduk dengan memegang dayung
bergumam pada laki-laki yang tegak, yang di lengan-
nya ada lilitan ban kain warna merah.
"Tapi kalau langsung kita hantam perahunya, aku
khawatir buruan kita lolos! Aku curiga pada sesuatu
yang ditutup jubah hitam itu!"
"Yang Kui Tan sudah terluka parah! Sebagai seo-
rang anak murid Perguruan Shaolin yang dipercaya
mengemban tugas penting, kurasa dia rela mati tanpa
diketahui jejaknya daripada gagal melaksanakan tu-
gas!" Laki-laki yang duduk menyahut. "Di sini ada
Panglima Muda Lie, sebaiknya kau minta pendapat
padanya!" Kalau kedua laki-laki berseragam prajurit di perahu
sebelah kanan berbincang demikian, tidak begitu hal-
nya dengan kedua laki-laki yang berada di perahu se-
belah kiri. Kedua laki-laki yang tidak mengenakan seragam prajurit ini saling
pandang. Laki-laki yang tegak dengan mengenakan jubah warna putih ini buka suara
pelan. "Tampaknya ada yang tidak beres! Pukulan tadi se-
ngaja diarahkan pada kita! Kita harus berlaku waspa-
da! Siapa tahu anak buah Panglima Muda Lie akan
menghabisi kita begitu tujuan mereka tercapai!"
"Jangan mudah terbawa prasangka buruk! Kurasa
pukulan tadi diarahkan pada orang muda di atas pe-
rahu itu! Hanya saja mereka tidak menduga kalau
orang di atas perahu itu bisa berkelit hindari pukulan!
Mereka sengaja tidak langsung menghantam ke arah
perahu karena takut Yang Kui Tan masih berada di pe-
rahu itu! Jika benar dan perahunya hancur, maka se-
mua rencana perburuan ini akan gagal total!"
"Hem.... Meski demikian, kita harus tetap hati-hati!
Kita tahu siapa Panglima Muda Lie!"
"Kita tak usah terlalu pikirkan hal itu! Justru kita harus berhati-hati pada
orang-orang dari Perguruan
Shaolin. Sekali penyamaran kita diketahui, kegempa-
ran besar akan terjadi! Perguruan Shaolin akan bergolak!"
Laki-laki berjubah hitam yang duduk dengan pe-
gang dayung sudah hendak menyahut. Namun belum
sampai suaranya terdengar, dari arah perahu sebelah
kanan Joko terdengar teriakan.
"Panglima Muda Lie! Harap beri keputusan apa yang
harus kami lakukan!" Yang berteriak ternyata laki-laki yang di lengannya ada
lilitan ban kain warna merah.
Laki-laki yang duduk di atas kursi dengan pakaian
kebesaran seorang panglima dan dipanggil dengan
Panglima Muda Lie bergerak turun dari kursi. Empat
orang yang berada di bagian depan perahu besar ber-
gerak geser tubuh masing-masing ke samping.
Panglima Muda Lie adalah laki-laki berusia sete-
ngah baya. Wajahnya dingin. Alisnya tebal sedikit mencuat ke atas bagian ujung
sampingnya. Sepasang ma-
tanya tajam. Pada bagian bawah mata kirinya terlihat tahi lalat agak besar.
Panglima Muda Lie tegak di tengah-tengah empat
orang berseragam prajurit yang berada di bagian depan perahu besar. Pandang
matanya sejenak menyusur ke
arah gelombang laut di depan perahunya. Lalu terus
lurus ke arah murid Pendeta Sinting yang masih te-
lungkup di atas lantai perahu dengan kepala terangkat ke bibir lambung perahu.
"Anak muda!" Panglima Muda Lie buka suara. Kini
pandangannya beralih jauh ke tengah laut. "Aku ada-
lah wakil Penguasa Daratan Tibet. Urusan makanan
jangan kau cemaskan! Aku bisa menjamin hidupmu
sampai kau tua! Tapi.... Satu permintaanku. Dan per-
mintaan ini adalah satu dari dua pilihan yang harus
kau ambil!"
Panglima Muda Lie sesaat hentikan ucapannya. Kini
pandang matanya menusuk tajam pada Pendekar 131
yang simak ucapan orang dengan seksama meski sese-
kali ekor matanya melirik pada jubah hitam penutup
sosok mayat laki-laki berkepala gundul.
"Buka jubah hitam itu atau kau akan mampus di
tengah laut!" Panglima Muda Lie sambungi ucapannya.
Nadanya keras memerintah.
"Maaf.... Aku bukannya tidak percaya dengan uca-
pan seorang panglima. Namun kalau kalian semua
yang ada di sini tidak percaya pada keteranganku, bagaimana mungkin aku bisa
percaya"! Padahal aku
hanya minta kesempatan untuk membuka jubah hi-
tam itu di pesisir sana! Bukankah jaraknya sudah ti-
dak jauh lagi"! Di sini ada beberapa prajurit dan wakil Penguasa Daratan Tibet.
Kurasa tidak ada yang perlu
ditakutkan, bukan"!" Pendekar 131 angkat suara lalu
perlahan bergerak bangkit Kaki kanannya tetap injak
ujung jubah hitam yang menutupi sosok mayat orang.
"Kami tidak bisa menunggu!" kata Panglima Muda
Lie. "Aneh.... Ada apa ini sebenarnya"! Hem.... Tak ku-sangka sama sekali. Pada
mulanya aku gembira men-
dapat tumpangan perahu dan bekal makanan banyak!
Tak tahu kalau semua ini akan membawa urusan!"
Pendekar 131 berkata seolah menyesali diri sendiri. La-lu seperti sikap Panglima
Muda Lie, Joko bukannya
memandang ke arah sang Panglima, melainkan pada
gelombang laut jauh di sana. Saat lain Joko telah sambungi ucapannya. "Kalau aku
boleh dengar. Apa sebe-
narnya yang kalian cari"! Seseorang atau hanya bekal makanan"! Kalau hanya bekal
makanan bukankah
kau telah punya banyak"! Tentu dugaanku yang per-
tama yang tak keliru. Kalian tengah mencari seseorang
dan menduga aku yang menyembunyikannya! Benar,
bukan"!"
"Anak muda! Kami memang tengah mencari sese-
orang!" Akhirnya Panglima Muda Lie berterus terang.
Meski dada murid Pendeta Sinting makin berdebar,
namun dia coba sembunyikan rasa kejutnya. Dia ter-
senyum lebar lalu berkata.
"Boleh aku dengar juga, mengapa kalian menduga
aku menyembunyikan orang yang tengah kalian cari"!"
"Perahu yang kau tumpangi, Anak Muda!" ujar Pan-
glima Muda Lie. Laki-laki ini berkata dengan suara
agak rendah meski sebenarnya dadanya sudah mulai
diamuk dengan hawa amarah.
"Panglima! Kau harus percaya padaku. Aku mene-
mukan perahu ini dalam keadaan kosong!"
"Anak muda! Aku baru pertama kali ini memberi
kesempatan pada orang! Tapi sayang.... Kau tak mau
mempergunakan kesempatan yang kuberikan! Sekali
lagi kuperintahkan kau untuk membuka jubah hitam
itu!" Pendekar 131 tersenyum lebar walau dadanya ma-
kin berdebar dan tengkuknya mulai dingin. Lalu kepa-
lanya menggeleng perlahan dan berkata.
"Aku baru akan membukanya setelah perahu men-
darat di pesisir!"
Panglima Muda Lie sentakkan tangan kirinya ke
bawah. Lalu putar diri. Bersamaan dengan itu laki-laki yang tegak di perahu
sebelah kanan dan laki-laki yang tegak di perahu sebelah kiri sudah sentakkan
kedua tangan masing-masing.
Dua gelombang dahsyat menderu dari sebelah ka-
nan dan kiri perahu tumpangan murid Pendeta Sin-
ting. Kali ini pukulan orang tidak langsung diarahkan pada tubuh Pendekar 131
Joko Sableng. Namun langsung ke arah perahu.
Namun bersamaan dengan menderunya gelombang
pukulan, Panglima Muda Lie yang telah balikkan tu-
buh berbisik pada keempat orang prajurit di samping-
nya. "Perhatikan apa yang ada di bawah jubah hitam!
Kalian harus siap menyelam untuk mendapatkannya
jika perahu itu hancur!"
Keempat laki-laki di samping Panglima Muda Lie
anggukkan kepala lalu pentang mata masing-masing
ke arah jubah hitam.
Di lain pihak, Joko tidak lagi berusaha hindarkan
diri karena dia tahu persis pukulan orang yang kini
melabrak ke arahnya bukan saja ditujukan pada diri-
nya, namun juga pada perahu tumpangannya. Semen-
tara dia tak mau sosok mayat yang ada di perahu ikut porak-poranda.
Joko angkat kedua tangannya. Lalu disentakkan ke
samping kanan kiri.
Bummm! Bummm! Terdengar gelegar bentroknya pukulan di tengah
suara bergemuruhnya gelombang ombak. Air laut ber-
tabur muncrat. Tiga perahu tampak berguncang keras.
Laki-laki yang tadi lepaskan pukulan jarak jauh di perahu sebelah kanan dan kiri
tampak terhuyung dan
hampir saja roboh karena bias bentroknya pukulan
dan guncangan perahu.
Sementara karena tidak mau orang makin curiga,


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meski tidak mengalami cedera apa-apa oleh bentrok-
nya pukulan, Joko langsung jatuhkan diri di lantai perahu seraya perdengarkan
keluhan tertahan. Kedua
tangannya ditakupkan menutupi kepalanya!
"Kau lihat! Dia berhasil menghadang pukulan!" Ber-
kata laki-laki yang duduk di perahu sebelah kanan.
"Kurasa dia hanya berpura-pura! Kita akan celaka jika meremehkan dia!"
Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kanan cepat
lipat gandakan tenaga dalam. Laki-laki yang tegak di perahu sebelah kiri tak
tinggal diam. Dia segera pula siapkan pukulan. Malah laki-laki yang duduk di
sebe-lahnya ikut bergerak bangkit.
Di perahu besar, Panglima Muda Lie picingkan ma-
ta. Dia sedikit terkejut melihat Joko mampu mengha-
dang pukulan orang. Kemarahannya tidak bisa diben-
dung lagi. Kedua tangannya disentakkan pada tanga-
nan kursi seraya berteriak.
"Hancurkan perahu itu beserta penumpangnya!"
Tapi setelah membentak begitu, Panglima Muda Lie
berkata pelan pada keempat orang di hadapannya. "Li-
hat dengan seksama jubah hitam itu! Awasi jangan ada sesuatu yang lolos!"
Keempat laki-laki di depan Panglima Muda Lie lagi-
lagi hanya anggukkan kepala dengan mata makin di-
pentang besar-besar ke arah jubah hitam di lantai perahu Joko.
Sementara begitu mendengar perintah sang Pang-
lima, laki-laki di perahu sebelah kanan segera han-
tamkan kedua tangannya dengan tenaga dalam penuh.
Sementara dua laki-laki di perahu sebelah kiri juga segera lepaskan pukulan.
Ganasnya pukulan yang datang membuat murid
Pendeta Sinting tidak bisa berbuat lain kecuali harus siapkan pukulan 'Lembur
Kuning'. Karena jika tidak,
perahu yang ditumpanginya akan porak-poranda! Apa-
lagi Panglima Muda Lie telah keluarkan perintah.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua tangan Pendekar 131 mendorong ke samping
kanan kiri. Dua sinar kuning melesat hamparkan ge-
lombang dahsyat dan hawa panas luar biasa. Inilah
tanda jika murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Blammm! Blammm!
Byuurr! Byuurr! Brakkk! Brakkk!
Terdengar ledakan dahsyat. Tiga gelombang yang
datang dari perahu sebelah kiri kanan langsung ber-
hamburan semburat. Air laut bergolak. Lalu terdengar suara derakan. Dua laki-
laki yang berada di perahu
sebelah kiri langsung mencelat mental. Perahu yang ditumpangi pecah jadi dua dan
terpelanting diterjang
amukan gelombang akibat bias bentroknya pukulan.
Sementara dua laki-laki di perahu sebelah kanan juga mencelat lalu meluncur
amblas ke dalam air laut. Perahu yang ditumpangi porak-poranda lalu hanyut ter-
bawa alunan gelombang!
Gelombang laut yang bergerak turun naik tampak
berubah warna disemburati semburan darah. Empat
sosok tubuh tampak timbul tenggelam di sela amukan
gelombang. Kedua tangan masing-masing orang meng-
gapai-gapai. Terdengar suara jeritan namun tiba-tiba terputus karena kepala
orang tenggelam kembali ditelan gelombang. Saat lain keempat sosok tadi tidak
muncul lagi! Keempat prajurit di bagian depan perahu besar sama bergerak hendak
terjun. Namun satu suara
menahan. "Tetap di tempat kalian masing-masing! Lakukan
saja apa yang kuperintahkan! Awasi terus jubah hitam itu!" Yang perdengarkan
suara adalah Panglima Muda
Lie. Keempat laki-laki di perahu besar urungkan niat.
Lalu tegakkan kepala masing-masing menatap pada
jubah yang ada di lantai perahu tumpangan Pendekar
131. Sementara murid Pendeta Sinting sendiri tetap ma-
sih tegak meski sesaat tadi terhuyung hendak jatuh
akibat bentroknya pukulan dan gerakan perahu kare-
na bergolaknya gelombang air laut.
Panglima Muda Lie turun dari kursi dan membuat
satu gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di ba-
gian depan perahu. Sepasang matanya menyengat ta-
jam pada sosok Joko.
"Anak muda! Kau telah membunuh empat anak bu-
ahku! Tapi aku masih bisa menahan diri! Aku tahu
siapa yang ada di balik jubah hitam itu! Empat nyawa anak buahku bukan menjadi
hitungan kalau kau me-nyerahkan orang di balik jubah hitam itu!"
"Panglima...."
"Aku tak minta penjelasan apa-apa! Kau telah de-
ngar apa yang kumau! Tinggalkan perahu itu tanpa
orang di balik jubah hitam!"
"Panglima Muda! Aku tak bisa berenang.... Bagai-
mana aku harus menuju pesisir pantai sana jika kau
memerintahku tinggalkan perahu"! Bukankah tawa-
ranku tadi lebih baik"! Kita akan bicara baik-baik saat mendarat di pesisir!"
Panglima Muda Lie menyeringai dingin. Kepalanya
berpaling. Namun tiba-tiba tangan kiri kanannya ber-
gerak! *** EMPAT TERDENGAR dua deruan luar biasa keras. Dua ge-
lombang berkiblat ganas ke arah Pendekar 131. Air
laut di depan perahu tumpangan Joko untuk kesekian
kalinya bergelombang laksana diterjang badai.
Murid Pendeta Sinting tak mau bertindak ayal. Dan
mungkin berpikir bukan saja dirinya yang harus me-
nyelamatkan diri dari pukulan maut yang dilepas sang Panglima, namun Pendekar
131 harus pula menyela-
matkan sosok mayat di bawah jubah hitam, maka Joko
segera lepas pukulan 'Lembur Kuning'.
Sinar yang disemburati warna kuning membawa ge-
lombang dahsyat dan hawa panas menyengat menderu
menghadang gelombang yang dilepas sang Panglima.
Air laut makin bergolak hebat. Perahu yang ditum-
pangi murid Pendeta Sinting melambung sampai satu
tombak ke udara. Sementara perahu besar yang di-
tumpangi sang Panglima dan keempat anak buahnya
yang masih hidup, tampak bergoyang-goyang keras.
Bummm! Bummm! Gelegar dahsyat terdengar saat dua pukulan ben-
trok di udara Sosok tubuh sang Panglima langsung
terjajar tujuh langkah ke belakang. Paras wajahnya berubah pucat pasi. Kedua
tangannya bergetar keras.
Kedua lututnya hampir saja menekuk. Namun sang
Panglima cepat sentakkan kaki kanan. Tubuhnya me-
lenting setengah tombak ke udara lalu tegak di lantai perahu dengan kedua tangan
langsung menakup di
depan dada. Di lain pihak, tubuh murid Pendeta Sinting terhu-
yung tiga langkah ke belakang. Paras wajahnya juga
berubah pias. Namun dia tidak mengalami cedera be-
rarti meski dadanya terasa sesak.
Panglima Muda Lie pejamkan sepasang matanya.
Namun cuma sekejap. Di lain saat matanya dibuka la-
gi. Mendadak dia berkelebat ke depan. Kedua tangan-
nya bergerak ke kiri kanan pada punggung dua orang
anak buahnya. Wuutt! Wuutt! Dua benda putih berkilat melesat ke arah murid
Pendeta Sinting perdengarkan desingan tajam. Ter-
nyata Panglima Muda Lie telah menyambar dua pe-
dang di punggung anak buahnya dan serta-merta dis-
entakkan ke depan.
Begitu dua pedang melesat, sang Panglima segera
angkat kedua tangannya ke depan dada. Tangan ka-
nan dibuka lalu diluruskan ke depan. Sementara te-
lapak tangan kiri dibuka lalu dilapis di bawahnya dengan telapak menghadap ke
atas. Saat lain tiba-tiba dia tarik pulang kedua tangannya sedikit ke belakang.
La-lu ketika melihat Joko bergerak hindarkan diri dari kelebatan dua pedang,
kedua tangan sang Panglima
mendorong ke depan. Tampaknya lesatan dua pedang
tadi hanya untuk mengalihkan perhatian murid Pen-
deta Sinting. Di depan sana, Joko memang sempat terkesiap me-
lihat dua gelombang asap putih mencuat begitu dia
hindarkan diri dari lesatan dua pedang Murid Pendeta Sinting tidak menunggu
sampai dia mendarat di lantai perahu. Begitu dia bisa selamatkan diri dari
kelebatan pedang dengan melenting ke udara, saat itu juga dia
segera dorong kedua tangannya lepas lagi pukulan
'Lembur Kuning'!
Kembali terdengar ledakan di atas laut. Karena Joko
menghadang pukulan orang dengan tubuh di atas
udara, maka begitu terdengar ledakan, sosoknya lang-
sung mencelat mental lalu menghantam bagian bela-
kang perahu. Di seberang depan, sosok sang Panglima terjeng-
kang roboh. Keempat laki-laki anak buahnya berpelan-
tingan ke belakang lalu berkaparan di lantai perahu.
Satu di antaranya langsung muntahkan darah.
Panglima Muda Lie cepat kerahkan tenaga dalam
untuk kuasai diri. Lalu bergerak bangkit. Namun baru saja sosoknya naik ke atas,
dari mulutnya semburkan
darah. Saat lain sosoknya terhuyung ke belakang. Un-
tung di belakangnya ada kursi. Hingga huyungan tu-
buhnya tertahan.
Kesempatan ini tak disia-siakan Joko. Setelah me-
meriksa diri dan tidak mengalami cedera dalam yang
begitu berarti, murid Pendeta Sinting cepat melompat ke depan. Dayung di lantai
perahu disambar. Saat lain dia hujamkan dayung ke air laut yang masih bergolak.
Perahu yang ditumpangi Pendekar 131 menepi dari
depan perahu besar yang ditumpangi sang Panglima.
Saat lain melesat menerjang hempasan gelombang me-
lewati perahu besar.
"Kejar!" teriak sang Panglima.
Keempat prajurit segera terhuyung bangkit. Masing-
masing orang segera berhamburan menyambar da-
yung. Saat lain perahu besar itu putar haluan lalu menerjang gelombang mengejar
perahu yang ditumpangi
Pendekar 131. Panglima Muda Lie pentingkan mata. Pelipis kiri
kanannya bergerak-gerak. Dari mulutnya terdengar
gumaman tak jelas. Saat lain laki-laki setengah baya ini tekuk sedikit kedua
lututnya. Sekonyong-konyong
kedua tangannya disentakkan ke arah Joko yang terus
mendayung dengan kerahkan tenaga dalam agar laju
perahunya makin cepat.
Dua gelombang asap putih menderu dari sentakan
kedua tangan Panglima Muda Lie. Air laut di belakang perahu Joko bergelombang
ganas. Suara deruan dan makin menggilanya gelombang
cukup membuat murid Pendeta Sinting maklum. Dia
cepat lemparkan dayung di tangannya. Saat lain dia
berbalik lalu lepaskan lagi pukulan 'Lembur Kuning".
Untuk yang kesekian kalinya buncahan suara ge-
lombang ditingkahi dengan suara gelegar. Sosok sang
Panglima mental menghantam lambung perahu. Darah
kembali muntah dari mulutnya. Keempat prajurit yang
mendayung ikut pula mencelat. Dayung di tangan
masing-masing orang semburat bermentalan lalu am-
blas masuk ke dalam laut. Perahu besar yang ditum-
pangi Panglima Muda Lie tertahan lajunya bahkan
tampak terayun-ayun keras.
Di depan, sosok Pendekar 131 terhuyung dan ham-
pir saja tubuhnya terbanting masuk ke dalam air laut tatkala kedua kakinya
menghantam bagian depan perahu yang ada di belakangnya. Namun begitu tubuh
bagian atasnya tertekuk ke belakang, kedua tangannya cepat berkelebat
berpegangan pada kayu ujung depan
perahu. Hingga gerakan tubuhnya tertahan. Saat lain
murid Pendeta Sinting sentakkan tubuhnya kembali ke
depan. Parasnya makin pias dan kedua tangannya
bergetar keras. Mulutnya megap-megap dan dadanya
berdenyut nyeri. Namun murid Pendeta Sinting tidak
begitu pedulikan keadaan dirinya. Dia cepat melompat ke depan untuk rapikan
jubah hitam yang ternyata telah berserakan hingga sosok mayat laki-laki
berkepala gundul terlihat jelas.
Seraya rapikan jubah hitam, Joko tembusi golakan
gelombang untuk melihat ke arah perahu besar. Begitu gelombang turun dan Joko
bisa melihat keadaan di perahu besar, dia cepat melompat lagi ke depan. Dayung
disambarnya lalu dengan kerahkan tenaga dalam dia
hujamkan dayung ke air laut. Perahu yang ditumpangi
Joko melaju deras menuju pesisir.
Belum sampai perahu mencapai pesisir, Pendekar
131 telah melompat ke belakang. Sekali gerak, sosok
mayat di lantai perahu yang tertutup jubah hitam telah berada di pundaknya. Saat
lain laksana dikejar setan, dia berkelebat menyusuri pesisir, lalu lenyap di
antara batu-batu karang yang banyak bertebaran.
*** Pendekar 131 duduk bersimpuh di antara dua gu-
gusan batu karang di samping hamparan pasir putih
yang agak menggunung panjang. Saat itu matahari te-
lah lama tenggelam. Namun pancaran sinar bulan
yang menggantung di atas bentangan laut membuat ke
mana arah mata memandang, maka suasana tampak
terang benderang.
"Hem.... Aku masih belum tahu pasti mengapa
orang ini dicari seorang panglima! Hanya saja mungkin masih ada kaitannya dengan
kantong putih yang diberikannya padaku...." Tanpa sadar tangan kanan mu-
rid Pendeta Sinting menyelinap ke balik pakaiannya.
Saat itu dia telah mengenakan kembali jubah hitam
yang tadi siang dibuat menutupi sosok mayat laki-laki berkepala gundul yang baru
saja dimakamkan di sampingnya.
Murid Pendeta Sinting terpaksa menunggu hari ge-
lap untuk menguburkan mayat orang. Dia masih kha-
watir beberapa prajurit akan mencarinya. Dan begitu
keadaan dirasa aman dan suasana mulai gelap, Joko
segera kuburkan mayat orang.
"Dari ucapan orang-orang di perahu tadi siang, be-
rarti aku kini telah berada di daerah Tibet! Dan me-
nurut laki-laki yang terluka itu, aku harus mencari
Gunung Sim Yao In. Lalu pergi ke arah barat. Melewati lima kawasan hutan dan


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan kawasan tanah
lapang yang dibelah sebuah sungai. Di sana aku akan
menemukan sebuah kuil. Dan aku harus menemui se-
orang bernama Guru Besar Pu Yi! Hem.... Urusan apa
sebenarnya yang tengah kujalani ini"! Di daerah ini belum ada orang yang
kukenal. Ke mana aku harus ber-
tanya"! Sementara mungkin Panglima itu tidak akan
tinggal diam!" Pendekar 131 bergerak bangkit. Lalu
melangkah mondar-mandir di samping pasir putih
yang agak menggunung karena baru saja ditanami
mayat seorang manusia.
"Aku harus segera menemukan Gunung Sim Yao In.
Dengan suasana malam, gerakanku akan lebih lelua-
sa...! Tapi mana arah yang harus kuambil"!" Pendekar 131 melangkah keluar dari
tengah apitan dua batu karang. Pandang matanya mengedar berkeliling. "Ah....
itu urusan nanti. Aku akan tanya orang di tengah ja-
lan!" Berpikir begitu, akhirnya Joko memutuskan untuk
berkelebat. Namun belum sampai sosoknya bergerak,
sekonyong-konyong terdengar satu suara.
"Langkah dan sikapmu menunjukkan kebimbangan
hati. Kau ragu menentukan arah! Berarti kau bukan
orang daerah sini!"
Kepala Joko berpaling ke satu gugusan batu ka-
rang. Parasnya tampak sedikit tegang. Matanya samar-
samar melihat satu sosok tubuh duduk bersila di atas gugusan batu karang
membelakangi. "Hem.... Kehadirannya tak bisa kuketahui. Walau
dia tidak memandang ke arahku, tapi dia dapat me-
nangkap sikapku dan menduga dengan benar! Siapa
pun dia, yang pasti dia bukan orang berilmu rendah!"
Membatin Joko. Dia hendak berkelebat untuk melihat
tampang orang yang duduk bersila membelakangi. Ta-
pi belum sampai Joko membuat gerakan, orang yang
duduk bersila di atas gugusan batu karang telah putar diri!
Pendekar 131 pentangkan mata. Dia melihat seo-
rang kakek berwajah agak bulat bermata sipit. Ram-
butnya panjang dikelabang dan dilingkarkan melilit
pada lehernya. Pada daun telinga sebelah kiri tampak menggantung sebuah anting-
anting agak besar. Kakek
ini mengenakan pakaian berupa jubah tanpa leher
berwarna putih.
Murid Pendeta Sinting makin besarkan mata ketika
mendapati si kakek ini ternyata hanya memiliki satu
tangan sebelah kiri dan juga satu kaki sebelah kiri.
"Katakan padaku mana daerah yang akan kau kun-
jungi, Anak Muda!" Si kakek angkat suara. Namun se-
pasang matanya yang sipit bukannya memperhatikan
Joko melainkan mengatup rapat!
Pendekar 131 tidak segera menjawab. Dalam hati
dia berkata. "Aku tak boleh mengatakan tujuanku pa-
da orang yang belum kukenal dan kuketahui memiliki
kepandaian tinggi! Bukan tak mungkin orang itu ada-
lah orang-orang yang diperintah untuk mencariku....
Aku baru akan bertanya pada penduduk biasa yang
tak tahu menahu soal ilmu silat...."
Mendapati Joko tidak menjawab ucapannya, si ka-
kek di atas gugusan batu karang perdengarkan tawa
panjang dengan mata masih mengatup. Lalu berkata.
"Aku ikut belasungkawa atas kematian temanmu....
Kini kau sendirian. Kau tentu butuh orang tempat bertanya. Mengapa kau bimbang
mengatakannya pada-
ku"!"
Ucapan orang membuat Joko tersentak kaget.
"Hem.... Berarti dia sudah lama berada di sini! Apakah aku harus bertanya
padanya"! Tapi...." Joko masih dilanda keragu-raguan. Hingga akhirnya dia angkat
bi- cara. "Kek.... Aku memang butuh orang tempat bertanya.
Tapi kurasa saat ini belum waktunya aku bertanya!
Mungkin Idin saat aku akan bertanya padamu....
Hem... Boleh aku bertanya siapa, kau adanya"!"
Si kakek kembali perdengarkan tawa panjang. Ma-
sih dengan mata terkatup rapat, dia selingi suara tawanya dengan angkat bicara.
"Kau ini aneh, Anak Muda.... Kau baru saja bilang
saat ini belum waktunya bertanya. Tapi baru saja kau ajukan satu pertanyaan....
Apakah menurutmu aku
harus buka mulut menjawab"!"
Murid Pendeta Sinting cengar-cengir. Tangan kiri-
nya diangkat sejajar telinga. Lalu jari kelingkingnya dimasukkan ke lobang
telinganya. Kedua telapak kaki-
nya bergerak berjingkat lalu kepalanya pulang balik ke samping keenakan.
"Kek.... Maksudku, saat ini belum waktunya aku
bertanya soal ke mana daerah yang akan kukunjungi!
Soal tanya lain dari itu, kurasa boleh-boleh saja dan tentu aku memerlukannya
saat ini!"
"Hem.... Begitu"!" gumam si kakek. Kali ini sepa-
sang mata orang tua ini bergerak membuka. Namun
bukannya untuk memandang ke arah murid Pendeta
Sinting, melainkan ke arah hamparan pasir. Saat ke-
mudian kepalanya tengadah melihat bulan.
"Sayang sekali, Anak Muda...," si kakek lanjutkan
ucapannya. "Saat ini aku hanya bisa memberi jawaban
jika kau bertanya tentang daerah yang akan kau kun-
jungi! Pertanyaan yang lain dari soal itu, kurasa kau tidak akan mendapatkan
jawaban!" "Hem.... Begitu"!" Joko ikut-ikutan bergumam se-
perti halnya si kakek tadi. Lalu kepalanya berpaling dan sedikit didongakkan
memandang ke arah rembulan. Saat lain dia sambungi ucapannya. "Hari makin
larut. Aku harus segera pergi...."
"Benar kau tidak mau mengatakan padaku daerah
mana yang akan kau kunjungi"!" Si kakek menahan
kepergian Joko dengan satu pertanyaan.
"Kau boleh bertanya seribu pertanyaan. Tapi kalau
soal tadi itu, belum saatnya aku bertanya dan menga-
takannya pada siapa saja!"
"Baiklah.... Aku juga akan pergi. Tapi sebelum kita
berpisah, kau mau mendengarkan syairku"!"
"Hem.... Rupanya kau seorang penyair! Sebenarnya
aku harus segera pergi, tapi untuk kali ini aku akan penuhi permintaanmu!"
Pedang Kiri 13 Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Pendekar Gelandangan 6
^