Pencarian

Wasiat Agung Dari Tibet 2

Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet Bagian 2


Tanpa berpaling pada Joko dan tetap arahkan pan-
dang matanya pada sang rembulan si kakek di atas
gugusan batu karang buka mulut perdengarkan syair.
' Wahai sang Pengembara di bawah lintasan rembu-
lan. Kau datang membawa amanat yang terpisah.
Ke mana kakimu melangkah, di sana akan kau da-
patkan aral. Darah telah kau alirkan di atas permukaan laut.
Darah itu akan terus mengalir sampai sebelah
barat Gunung Sim Yao In.
Darah itu tak akan terhenti sebelum amanat
disatukan. Berlalulah menembus kabut.
Di sana nanti akan kau dapatkan satu jawaban'
Pendekar 131 melengak kaget mendengar syair si kakek yang sebut-sebut Gunung Sim
Yao In. Keningnya berkerut. "Syair orang tua itu tampaknya melam-
bangkan apa yang tengah kulakukan! Siapa dia"!" Jo-
ko berpaling pada si kakek. Meski tadi sudah men-
dengar pernyataan orang kalau tidak akan menjawab
pertanyaan selain ke mana daerah yang akan dikun-
jungi Joko, namun murid Pendeta Sinting memu-
tuskan akan bertanya juga siapa adanya si kakek.
Tapi Sebelum Pendekar 131 buka mulut meng-
utarakan maksudnya, si kakek di atas gugusan batu
karang telah bergerak bangkit. Joko sekali lagi pen-
tangkan mata. Ternyata bukan hanya tangannya saja
yang tinggal sebelah, kaki orang tua itu juga hanya sa-tu, yakni kaki sebelah
kiri! "Anak muda.... Syairku hanya ungkapan hati dan
tidak ada hubungannya dengan orang lain! Selamat
tinggal...."
"Kek! Tunggu!" teriak Joko. Namun si orang tua di
atas gugusan batu telah balikkan tubuh lalu melesat
turun. Joko mengejar. Namun dia hanya bisa melihat
sosok bayangan si kakek berjarak lima belas tombak.
Selebihnya dia tidak bisa melihat apa-apa lagi!
*** LIMA MATAHARI sudah beranjak dari titik kaki langit se-
belah timur. Satu sosok tubuh tampak berkelebat me-
nuju bangunan biara shaolin. Setelah melewati pelataran luas halaman shaolin,
dia terus berlari menuju
ruang persembayangan. Orang ini sesaat melirik kanan kiri. Saat lain tangan
kanannya bergerak mendorong
pintu di hadapannya.
Memandang ke depan, tampak beberapa orang te-
gak berjajar. Mereka adalah beberapa laki-laki berkepala gundul mengenakan
seragam berupa pakaian se-
lempang warna abu-abu. Kepala mereka sama tertun-
duk. Di bagian paling depan, terlihat dua orang laki-laki yang mengenakan pakaian
selempang warna kuning.
Pada pundak tampak kain warna merah yang melapis
dan dililitkan pada pinggangnya.
Meski terbukanya pintu tidak perdengarkan suara,
namun dua orang laki-laki yang tegak paling depan segera palingkan kepala ke
belakang. Saat lain keduanya putar diri. Lalu melangkah melewati beberapa laki-
laki berkepala gundul yang mengenakan seragam abu-abu.
Orang yang berada di ambang pintu cepat angkat
kedua tangannya menakup di depan dada. Kepalanya
menunduk. Lalu terdengar suaranya.
"Amitaba.... Harap kakak berdua maafkan.... Aku
datang agak terlambat!"
Dua laki-laki yang mengenakan pakaian warna ku-
ning sama sunggingkan senyum. Lalu sama takupkan
kedua tangan di depan dada dengan kepala menun-
duk. Yang sebelah kanan angkat suara.
"Amitaba.... Memang ada beberapa hal yang harus
kau lakukan. Jadi kami maklum atas keterangan-
mu...." Orang di ambang pintu anggukkan kepala. Dia ada-
lah laki-laki berusia lima puluh tahunan. Sosoknya
kekar. Kepalanya gundul dan terlihat beberapa titik
putih di batok kepalanya. Paras wajahnya agak besar.
Dia mengenakan pakaian selempang tanpa leher ber-
warna kuning yang dilapis kain warna merah diletak-
kan di atas pundak dan bagian bawahnya dililitkan
pada pinggangnya.
"Bagaimana keadaan Maha Guru Besar...?" tanya
laki-laki yang berada di ambang pintu seraya melang-
kah masuk. Dua laki-laki yang tadi menyambut sejenak saling
pandang. Yang berada di sebelah kanan adalah laki-
laki berkepala gundul. Pada batok kepalanya juga terdapat beberapa titik putih.
Wajahnya agak bulat. So-
soknya juga kekar. Usianya tidak jauh beda dengan la-ki-laki yang baru saja
masuk. Orang ini tidak memeli-hara kumis juga jenggot. Hanya saja pada bagian
samping mata kanannya terlihat sebuah tahi lalat yang ditumbuhi empat rambut
agak panjang. Sementara orang yang berada di sebelah kiri adalah
laki-laki yang juga berkepala gundul dan terdapat beberapa titik putih pada
batok kepalanya. Usianya lebih muda dari laki-laki yang ada di sebelah kanannya.
Paras wajahnya bulat telur. Air mukanya bersih. Sepa-
sang matanya agak sipit tapi tajam. Hidungnya man-
cung dan sosoknya agak kurus.
"Guru Besar Pu Yi.... Bagaimana keadaan Maha
Guru Besar"!" Laki-laki yang baru masuk kembali aju-
kan tanya dengan mata memandang pada laki-laki
berkepala gundul yang pada samping mata kanannya
terdapat tahi lalat ditumbuhi rambut yang tegak di sebelah kanan.
Laki-laki di sebelah kanan yang dipanggil dengan
Guru Besar Pu Yi menghela napas dalam. Dia tidak se-
gera menjawab. Melainkan putar kepala ke arah bebe-
rapa laki-laki berseragam abu-abu. Saat lain orang ini berujar pelan.
"Kalian semua harap tinggalkan ruangan persem-
bayangan...."
Beberapa laki-laki berkepala gundul mengenakan
seragam abu-abu sama angkat tangan masing-masing
ditakupkan di depan dada dengan kepala bergerak
menunduk. Tanpa ada yang buka suara atau meman-
dang pada laki-laki yang tadi dipanggil Guru Besar Pu Yi, beberapa laki-laki
berseragam abu-abu segera balikkan tubuh lalu melangkah keluar.
Guru Besar Pu Yi balikkan tubuh lalu melangkah
diikuti laki-laki yang tadi tegak di sebelah kirinya. La-ki-laki yang tadi baru
muncul ikut gerakkan kaki mengikuti dari belakang.
Dapat enam langkah, Guru Besar Pu Yi kembali pu-
tar diri menghadap Laki-laki yang baru masuk. Me-
mandang sesaat sebelum akhirnya buka mulut.
"Adik Liang San.... Tampaknya tidak ada perkem-
bangan berarti pada Maha Guru Besar...."
"Boleh aku menemuinya"!" tanya laki-laki berkepala
gundul yang tadi baru masuk dan dipanggil dengan
Liang San. "Amitaba.... Dalam keadaan sakit begitu rupa, ku-
rasa Maha Guru Besar perlu banyak istirahat. Kalau
ada sesuatu yang hendak kau utarakan, kita bisa bica-
rakan bertiga."
Liang San tersenyum seraya gelengkan kepala. "Aku
hanya ingin melihat keadaannya...."
"Aku dan adik Wu Wen She punya keinginan sa-
ma," kata Pu Yi sembari memandang pada laki-laki
berkepala gundul yang usianya paling muda dan tegak
di sebelah kirinya. "Namun kami berdua tidak berani
masuk menemuinya tanpa ada permintaan dari Maha
Guru Besar...."
"Amitaba.... Memang demikian, Kakak Liang San."
Laki-laki yang berada di sebelah Guru Besar Pu Yi dan disebut dengan nama Wu Wen
She sambuti ucapan
Guru Besar Pu Yi.
"Hem.... Bagaimana kalau kita mencari tabib dari
luar shaolin"!" Liang San angkat suara.
"Amitaba.... Kuhargai usil adik Liang San. Aku juga
punya maksud demikian. Tapi Maha Guru Besar me-
nolak.... Bahkan ramuan obat dari tabib shaolin sen-
diri sudah dua hari tidak disentuh.... Ini memang
membuat keadaannya lemah. Namun aku tidak berani
memaksa...." Guru Besar Pu Yi berkata.
Wu Wen She sudah buka mulut. Namun bersamaan
itu sebuah pintu yang ada di sebelah kanan terbuka.
Pu Yi, Liang San, dan Wu Wen She serentak berpaling.
Terlihat seorang anak tanggung berkepala gundul te-
gak dengan kedua tangan menakup di depan dada lalu
perdengarkan suara.
"Maha Guru Besar memanggil Guru Besar Pu Yi...."
Guru Besar Pu Yi takupkan kedua tangan di depan
dada. Berpaling pada Liang San dan Wu Wen She den-
gan kepala mengangguk lalu bergegas melangkah ke
arah pintu yang baru saja terbuka.
Begitu Guru Besar Pu Yi masuk, anak tanggung
berkepala gundul tutupkan pintu lalu tegak di balik
pintu dengan mata memandang ke arah satu ranjang
agak besar di mana Guru Besar Pu Yi telah tegak di
sampingnya dengan kepala menunduk dan kedua tan-
gan tetap menakup di depan dada.
Sepasang mata Guru Besar Pu Yi menatap ke arah
ranjang agak besar. Di atas ranjang tampak tergolek
satu sosok tubuh kurus berusia sangat lanjut. Kepa-
lanya gundul. Kumis dan jenggotnya tebal serta pan-
jang. Sepasang matanya terpejam rapat dengan dada
bergerak turun naik keras.
"Pu Yi...." Mulut orang tua di atas ranjang membuka
perdengarkan suara. Saat bersamaan sepasang mata-
nya dibuka memandang ke arah Guru Besar Pu Yi.
"Kau adalah yang paling tua di biara shaolin ini! Usia-ku tampaknya sudah tidak
memungkinkan lagi untuk
terus memegang kepemimpinan shaolin...."
"Maha Guru Besar Su Beng Siok.... Harap tidak ber-
kata begitu...."
"Pu Yi.... Setelah aku tiada nanti, harap kau pimpin biara shaolin. Kau sudah
tahu apa saja yang harus
dan tidak boleh kau lakukan! Jagalah keutuhan dan
kebersamaan...." Orang tua yang dipanggil dengan Ma-
ha Guru Besar Su Beng Siok sudah angkat suara me-
motong ucapan Guru Besar Pu Yi.
"Amitaba.... Terima kasih atas kepercayaan Maha
Guru Besar. Tapi hal ini harus kubicarakan dahulu
dengan adik Liang San dan adik Wu Wen She.... Kalau
ada di antara mereka berdua yang ingin memimpin
shaolin, kurasa lebih baik di antara mereka saja yang kelak memimpin biara
shaolin...."
"Pu Yi.... Liang San dan Wu Wen She memang layak
juga memimpin shaolin. Namun aku khawatir mereka
berdua tidak mampu menjaga keutuhan. Untuk itulah
mengapa aku secara diam-diam menyuruhmu mencari
seorang yang kau percaya untuk mengambil peta wa-
siat itu.... Sekarang aku ingin dengar bagaimana kabar
berita orang kepercayaanmu itu"!"
Guru Besar Pu Yi tundukkan kepala dengan mena-
rik napas panjang. Lalu berkata pelan. "Seharusnya
Yang Kui Tan sudah tiba kembali.... Tapi...."
"Kau tidak salah mengatakan di mana harus meng-
ambil peta wasiat itu"!" Maha Guru Besar Su Beng
Siok menukas dengan satu pertanyaan.
Guru Besar Pu Yi gelengkan kepala. "Aku khawatir
dia mendapat halangan dalam perjalanannya...."
Maha Guru Besar Su Beng Siok perdengarkan ba-
tuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya tampak mun-
cratan darah. Guru Besar Pu Yi cepat mendekat. Na-
mun Maha Guru Besar segera gelengkan kepala de-
ngan pegangi dadanya sembari berkata.
"Kau harus segera mencari tahu kabar tentang
orang kepercayaanmu itu. Sejak kerajaan jatuh ke
tangan Ku Nang, situasi tidak begitu aman.... Aku tidak berprasangka buruk pada
Ku Nang, namun jika
sampai peta wasiat itu jatuh ke tangan orang lain, aku tak bisa bayangkan apa
yang akan terjadi...."
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Maha Gua Be-
sar Su Beng Siok teruskan ucapan. "Pesanku juga....
Hindari hubungan yang erat dengan pihak kerajaan.
Kau harus mempertahankan tradisi shaolin yang tidak
memihak pada siapa saja!"
Kembali Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Na-
mun kini dia sorongkan kepalanya mendekat ke arah
Maha Guru Besar Su Beng Siok. Dia buka mulut den-
gan mata melirik pada anak tanggung yang tegak di
dekat pintu. "Maha Guru Besar.... Bagaimana dengan putra
mahkota Oh Lui Hong itu?"
"Selama ini kukira tidak ada orang yang tahu selain
kita berdua siapa sebenarnya Oh Lui Hong.... Malah
dia mungkin juga tidak merasa kalau dia sebenarnya
adalah putra mahkota yang haknya telah diambil oleh
Ku Nang. Simpan baik-baik rahasia ini. Juga jangan
ceritakan pada anak itu siapa dia sebenarnya. Itu bukan saja akan membawa celaka
pada Oh Lui Hong, ta-
pi juga pada Perguruan Shaolin!" Maha Guru Besar Su
Beng Siok melirik pada anak tanggung di dekat pintu.
Lalu dengan suara tersendat-sendat, dia sambungi ka-
ta-katanya. "Aku menyelamatkan dia bukannya aku ikut cam-
pur urusan kerajaan. Namun semata-mata demi me-
nyelamatkan nyawa seorang anak manusia! Perlahan-
lahan kau bimbing dia. Hingga kalau saja nanti takdir menuliskan dia tahu siapa
dirinya sebenarnya, maka
dalam dadanya telah tertanam bahwa rasa balas den-
dam itu percuma dan tidak baik.... Dia harus bisa menerima apa yang telah
dijalaninya.... Sekarang kau harus cepat cari kabar tentang orang kepercayaanmu
itu.

Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan tempatkan beberapa orang untuk berjaga di seki-
tar ruang penyimpanan!"
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala lagi lalu mun-
dur satu langkah. "Bagaimana dengan sakitmu" Apa
tidak sebaiknya kita menerima kehadiran tabib di luar shaolin?"
Maha Guru Besar Su Beng Siok gelengkan kepala.
"Rasa sakit, bahkan kematian bukanlah sesuatu yang
kutakutkan.... Yang lebih kukhawatirkan adalah jatuhnya peta wasiat itu ke
tangan orang lain. Karena bila itu terjadi, bencana besar dan pertumpahan darah
tidak bisa kita hindarkan lagi.... Ingat, Pu Yi. Hanya kau yang tahu peta wasiat
itu! Sekarang semuanya berada
di pundakmu. Kelak bakal terjadi bencana atau tidak, itu langkahmu yang
menentukan!"
Guru Besar Pu Yi hanya anggukkan kepala. Lalu
melangkah dari sisi ranjang ke arah pintu. Su Beng
Siok pejamkan sepasang matanya kembali lalu menga-
tur napas. "Oh Lui Hong.... Jaga Maha Guru Besar.... Kalau
ada apa-apa cepat temui aku...." Guru Besar Pu Yi berkata pada anak tanggung di
dekat pintu. Oh Lui Hong takupkan kedua tangan di depan dada
seraya anggukkan kepala. "Baik Guru Besar Pu Yi...."
Habis berkata begitu, Oh Lui Hong balikkan tubuh
lalu membuka pintu. Guru Besar Pu Yi arahkan pan-
dang matanya sejenak pada sosok Su Beng Siok. Saat
kemudian dia putar diri lalu melangkah keluar dari
ruangan. Liang San cepat sengatkan pandangannya pada
ranjang di dalam ruangan. Tapi belum sampai pan-
dang matanya dapat melihat sosok Su Beng Siok, Oh
Lui Hong telah tutupkan kembali pintu ruangan.
"Bagaimana keadaan Maha Guru Besar"!" Liang San
langsung ajukan tanya pada Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi sesaat memandang pada Liang
San. "Dia tetap menolak untuk menerima kehadiran
tabib dari luar shaolin.... Dia hanya berpesan agar
memperketat penjagaan pada ruang penyimpanan...."
Liang San tampak kerutkan dahi. "Kurasa hal itu
sangat berlebihan. Bertahun-tahun hidup di Pergu-
ruan Shaolin, belum pernah kudengar ada orang yang
hendak mencuri sesuatu dari ruang penyimpanan! Ju-
stru yang sekarang perlu kita pikirkan adalah bagai-
mana memulihkan keadaan Maha Guru Besar...."
"Itu adalah pesan, Adik Liang San.... Bagaimanapun
juga harus kita turuti permintaannya! Lagi pula ruang penyimpanan sangat berarti
bagi Perguruan Shaolin...."
"Hem.... Pesan itu seakan memberi isyarat ada se-
seorang yang hendak bermaksud buruk...," ujar Liang
San sembari melirik pada Pu Yi dan Wu Wen She.
Guru Besar Pu Yi gelengkan kepala dan tersenyum.
Lalu berkata. "Kita tidak pernah membuat urusan de-
ngan pihak luar. Jadi tidak mungkin ada orang yang
hendak membuat urusan dengan kita. Pesan itu
mungkin semata-mata sebagai hal biasa untuk men-
gingatkan kita....!"
Guru Besar Pu Yi arahkan pandang matanya keluar
ruangan. Dia sebenarnya ingin mengutarakan apa
yang baru saja dibicarakan dengan Maha Guru Besar
Su Beng Siok tentang masa depan kepemimpinan
shaolin. Namun setelah dipikir agak panjang, ia memutus-kan untuk menunda
pembicaraan itu.
"Hem.... Maha Guru Besar masih ada. Tidak pantas
rasanya kalau saat ini aku membicarakan masa depan
kepemimpinan shaolin. Lagi pula biarlah Maha Guru
Besar nanti yang akan mengatakannya sendiri.... Aku
merasa tidak enak jika harus mengutarakan pada adik
Liang San dan adik Wu Wen She.... Aku khawatir di
antara mereka menduga aku terlalu punya milik pada
kepemimpinan shaolin.... Sekarang aku harus cepat
mencari tahu kabar Yang Kui Tan...."
Berpikir begitu, akhirnya Guru Besar Pu Yi buka
mulut. "Kalau tidak ada yang ingin kalian bicarakan, aku akan mengutus beberapa
orang untuk laksanakan
pesan Maha Guru Besar...." Guru Besar Pu Yi meman-
dang silih berganti pada Liang San dan Wu Wen She.
Karena kedua orang ini tidak ada yang buka suara,
akhirnya Guru Besar Pu Yi takupkan kedua ta-ngan di
depan dada seraya mengangguk. Saat lain dia melang-
kah keluar diikuti Liang San dan Wu Wen She.
Di luar ruangan, Guru Besar Pu Yi berbelok ke ka-
nan. Wu Wen She ke arah kiri. Liang San tetap tegak
dengan mata sesekali memperhatikan pada sosok
Guru Besar Pu Yi dan Wu Wen She. Begitu kedua
orang ini lenyap masuk ke salah satu ruangan di de-
pan sana, Liang San berkelebat lurus ke depan.
Sampai pintu gerbang bangunan yang tegak kokoh
di depan, Liang San hentikan larinya. Kepalanya bergerak ke kiri kanan. Terlihat
beberapa orang berkepala gundul tegak berjaga-jaga. Liang San arahkan pandang
matanya ke depan. Di hadapannya terlihat tangga menurun. Empat pemuda berkepala
gundul tampak pula
tegak dengan tangan masing-masing membawa tong-
kat. Liang San terlihat bimbang. Saat lain dia putar diri lalu berkelebat kembali
dari mana dia tadi datang.
Saat kemudian dia lenyap masuk ke dalam satu ruan-
gan. *** ENAM SENJA perlahan-lahan turun. Cahaya sang mataha-
ri sudah berganti warna kekuningan. Bangunan megah
Perguruan Shaolin yang terletak di perbatasan Tibet
dan Tiongkok pantulkan bayang keemasan terjilat
warna kuning cahaya matahari.
Bangunan itu terdiri atas dua bagian. Di sebelah
depan, tegak kokoh pintu gerbang yang dilatari hala-
man sangat luas. Pada bagian bawah pintu gerbang
terdapat tangga naik dari batu. Di belakang pintu gerbang membentang pula
halaman luas. Lalu terlihat
bangunan besar yang di bawah pintu masuknya juga
terdapat tangga dari batu. Inilah bangunan utama
tempat murid Perguruan Shaolin melatih ilmu silat. Di sebelah kanan kiri
bangunan utama, terdapat deretan
ruangan. Lalu di sebelah kanan berjarak dua puluh
sembilan tombak dari bangunan utama, berdiri satu
bangunan agak besar. Bangunan ini dijaga beberapa
orang pada pintunya. Inilah bangunan yang disebut
ruang penyimpanan.
Tiba-tiba salah satu pintu di deretan ruangan yang
ada di sebelah kanan bangunan utama, terkuak sedi-
kit. Lalu terlihat satu mata memperhatikan keluar
bangunan. Saat lain mata itu mengawasi matahari
yang hampir tenggelam. Kejap kemudian memperhati-
kan lagi ke seantero halaman di depan bangunan uta-
ma. Lalu perlahan-lahan beralih pada beberapa orang
yang tegak berjaga-jaga di sekitar halaman dan pojok ruangan. Namun cuma
sekejap. Baru ketika matanya
memandang ke ruang penyimpanan, mata itu meman-
dang berlama-lama tak berkesip pada beberapa pemu-
da berkepala gundul yang tegak berjaga-jaga. Pemuda yang tidak lain adalah
beberapa murid Perguruan
Shaolin itu berjumlah delapan orang. Tangan masing-
masing orang memegang tongkat panjang. Mereka ti-
dak ada yang buka suara atau membuat gerakan.
Mata di celah pintu yang terbuka, menyipit. Lalu
perlahan-lahan menjauh dari celah sebelum akhirnya
pintu itu tertutup kembali. Bersamaan dengan itu, pa-da salah satu ruangan di
deretan sebelah kiri bangu-
nan utama juga bergerak membuka. Kali ini terlihat
sepasang mata memperhatikan ke halaman di depan
bangunan utama. Lalu beralih ke arah ruang penyim-
panan. Saat berikutnya memandang ke arah matahari
yang sudah mulai tenggelam. Lalu pintu ruangan itu
menutup. Beberapa saat berlalu. Matahari sudah tenggelam.
Suasana sudah gelap. Beberapa pemuda murid Pergu-
ruan Shaolin tampak melangkah hilir mudik untuk
nyalakan beberapa ruangan kecuali ruangan penyim-
panan. Saat itulah ruangan di deretan sebelah kanan ban-
gunan utama, yang tadi terkuak dan terlihat satu ma-
ta, terbuka perlahan. Satu sosok tubuh menyelinap keluar lalu buru-buru tutupkan
kembali pintu ruangan.
Suasana gelap dan hilir mudiknya beberapa murid
Perguruan Shaolin membuat gerakan sosok ini tampak
leluasa. Di hanya perlu memperhatikan sejenak pada
deretan ruangan di sebelah kiri bangunan utama. Saat lain dia hentakkan kedua
kaki. Sosoknya melesat ke
udara dan tahu-tahu telah tegak di atas ruangan dari mana dia tadi menyelinap
keluar. Dia mengawasi seantero tempat di bawahnya sejenak, lalu membuat satu
kali gerakan lagi. Sosoknya berkelebat ke belakang sebelum akhirnya lenyap
ditelan kegelapan.
Bersamaan dengan lenyapnya sosok tubuh di atas
ruangan sebelah kanan bangunan utama, salah satu
pintu ruangan di sebelah kiri bangunan yang tadi terbuka sedikit dan terlihat
sepasang mata, kembali terbuka. Satu sosok tubuh perlahan-lahan keluar. Sete-
lah menutup pintu, tanpa memandang kiri kanan, so-
sok ini seperti halnya sosok di ruangan sebelah kanan bangunan utama, melenting
ke atap ruangan dari ma-na dia baru saja keluar. Saat lain sosoknya berkelebat
lalu melayang turun lewat belakang dan lenyap ditelan suasana malam.
Sosok yang menyelinap keluar pertama, berkelebat
laksana kesetanan ke arah selatan. Sementara sosok
yang menyelinap kedua berkelebat ke arah utara. So-
sok yang ke arah selatan sesekali putar pandangan
berkeliling perhatikan tempat yang dilewati dan tak jarang berpaling ke
belakang. Setelah melewati sebuah
kawasan rawa dan padang rumput luas, sosok tubuh
ini memperlambat larinya. Ketika di depan sana terlihat jembatan bambu yang
melintang di atas sungai
agak besar, baru sosok ini hentikan langkah. Dia tegak dengan kepala tengadah
pandangi sang rembulan. Lalu
kepalanya diluruskan ke arah jembatan di hadapannya
dan terus tembusi padang ilalang tinggi yang ada di
seberang. Saat itulah mendadak dari kawasan ilalang luas di
seberang sana terlihat cahaya obor menyala. Tapi cu-
ma sekejap. Saat lain cahaya obor itu padam kembali.
Sosok yang berada di padang rumput luas putar tu-
buh perlahan-lahan memperhatikan kawasan padang
rumput. Saat lain dia kembali menghadap jembatan.
Lalu berkelebat melewati jembatan bambu dan berhen-
ti tidak jauh dari cahaya obor yang tadi menyala sebentar.
"Terima kasih kau mau datang...." Mendadak terde-
ngar suara pelan. Lalu satu sosok tubuh keluar dari
ranggasan ilalang tinggi. Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima
tahunan. Wajahnya garang.
Kumisnya lebat dengan jenggot panjang. Sepasang ma-
tanya tajam. Kedua alis matanya mencuat ke atas.
Rambutnya lebat dan masih hitam serta panjang dan
digelung ke atas. Orang ini mengenakan pakaian war-
na hitam-hitam. Di tangannya terlihat bumbung bam-
bu yang dibuat sebagai obor.
"Tuan Baginda Ku Nang.... Kita tak punya waktu
banyak!" Sosok yang tadi menyeberangi jembatan ang-
kat bicara. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan
pakaian warna kuning tanpa leher. Paras wajahnya
agak sulit dikenali karena di atas kepalanya menge-
nakan caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam
hingga dari paras mukanya yang terlihat hanyalah ba-
gian bawah wajahnya. Orang ini berkumis tipis dan
berjenggot panjang tapi agak jarang.
"Guru Besar Liang San...!" kata orang yang meme-
gang bumbung obor dan tadi dipanggil dengan Tuan
Baginda Ku Nang. "Kau tak perlu khawatir. Beberapa
orang sudah kutempatkan pada jalan masuk menuju
padang rumput dan kawasan ilalang ini. Jika ada se-
seorang yang mencurigakan, kita akan segera tahu...."
Laki-laki bercaping lebar yang ternyata adalah Liang San, angkat tangan kirinya.
Telunjuk jarinya didorong-kan pada bagian depan caping lebarnya. Kini terlihat
jelas paras wajah orang ini.
"Tuan Baginda Ku Nang.... Walau kau telah me-
nempatkan beberapa orang, tapi kita harus tetap ber-
hati-hati. Dan seharusnya kau tidak perlu menem-
patkan beberapa orang, karena...."
Belum sampai Liang San teruskan ucapan, Baginda
Ku Nang telah perdengarkan tawa pendek lalu ber-
ucap. "Guru Besar Liang San tak usah cemas. Orang-
orangku tidak akan pernah ada yang berkhianat! Me-
reka adalah orang-orang pilihan! Lagi pula mereka tidak tahu siapa kau
sebenarnya! Mereka hanya tahu
bahwa mereka harus menghadang orang yang ciri-
cirinya lain dari yang kau kenakan!"
Guru Besar Liang San takupkan kedua tangannya
di depan dada. "Baiklah.... Mudah-mudahan dugaan-
mu tidak meleset!"
Baginda Ku Nang lagi-lagi tertawa pendek mende-
ngar ucapan Guru Besar Liang San. "Semua sudah ku-
perhitungkan masak-masak, Guru Besar Liang San.
Aku tak ingin mengalami kegagalan untuk kedua ka-
linya!" Dahi di balik caping lebar Guru Besar Liang San
bergerak mengerut. "Maksudmu..."!"
"Yang Kui Tan gagal ditemukan.... Malah yang ber-
hasil kembali dengan selamat hanya Panglima Muda
Lie!" "Apa yang terjadi"!" Guru Besar Liang San cepat
menyahut. "Perahu yang ditumpangi Yang Kui Tan memang di-
temukan. Namun sosoknya lenyap! Ada seorang pe-
muda berilmu tinggi tidak dikenal yang menumpang


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu yang tadinya ditumpangi Yang Kui Tan! Hanya
saja, menurut Panglima Muda Lie, pemuda itu me-
nyembunyikan Yang Kui Tan!"
"Berarti...."
"Peta wasiat itu gagal kita peroleh!" Baginda Ku
Nang menyahut. "Tapi Guru Besar Liang San tak perlu
terlalu khawatir. Pemuda asing itu berada di daerah
Tibet. Dan aku telah memerintahkan pencarian pada
seluruh prajurit kerajaanl Tidak lama lagi pemuda tak dikenal itu pasti kita
temukan!" "Ah.... Tidak ada gunanya mencari pemuda asing
itu! Kita harus terus memburu Yang Kui Tan! Karena
aku yakin, dia tak akan memberikan peta wasiat itu
pada siapa saja apalagi pada pemuda asing yang be-
lum dikenal!"
"Tapi Panglima Muda Lie yakin kalau Yan Kui Tan
disembunyikan pemuda asing itu! Kalau kita men-
dapatkan pemuda itu, berarti mudah pula bagi kita
mendapatkan Yang Kui Tan!"
Guru Besar Liang San gelengkan kepala dengan wa-
jah kecewa, "Tidak semudah itu, Tuan Baginda.... Yang Kui Tan orangnya cerdik.
Bisa saja dia mempengaruhi
pemuda asing itu untuk mengalihkan perhatian kita!"
Mendengar kata-kata Guru Besar Liang San ganti
Baginda Ku Nang yang gelengkan kepala. "Yang Kui
Tan telah terluka parah, Guru Besar! Bahkan Panglima Muda Lie memperkirakan Yang
Kui Tan telah mampus!"
"Amitaba.... Urusan ini jadi makin sulit.... Dan itu mengharuskan kita mengubah
rencana semula!"
"Maksud, Guru Besar Liang San..."!"
"Semula kita berencana mendapatkan peta wasiat
yang berada di tangan Yang Kui Tan dahulu, baru ke-
mudian mengambil yang ada di ruang penyimpanan!
Tapi sekarang harus kita rubah. Kita dapatkan dahulu yang ada di ruang
penyimpanan, lalu seraya jalan kita memburu Yang Kui Tan dan pemuda asing itu!
Dan harap kau perintahkan beberapa orangmu untuk me-
nutup jalan menuju biara shaolin! Jangan biarkan
orang tak dikenal menerobos masuk sebelum rencana
kita berjalan!"
Baginda Ku Nang tersenyum seraya anggukkan ke-
pala. "Lalu kapan rencana ini kita lakukan"!"
"Dua hari di muka! Harap siapkan beberapa orang
pilihan! Semuanya harus mengenakan penutup wajah.
Hindarkan semua yang dapat membuat orang curiga
jika orang-orang itu masih ada hubungannya dengan
kerajaan! Tepat tengah malam bergeraklah dari arah
kiri bangunan utama. Aku tahu apa yang akan kula-
kukan sebelum orang-orang itu datang!"
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San balik-
kan tubuh. Namun sebelum dia bergerak, Baginda Ku
Nang buka suara.
"Tunggu!"
Guru Besar Liang Sang urungkan niat namun tidak
perdengarkan suara. Sepasang matanya tembusi ila-
lang tinggi lalu menebar ke kawasan rumput luas di
seberang sana. "Bagaimana dengan Guru Besar Pu Yi dan Guru Be-
sar Wu Wen She"!"
"Urusan di dalam sana, serahkan saja padaku! Tapi
harap Baginda nanti tidak menyalahi perjanjian yang
kita sepakati! Aku harus segera pergi!"
Tanpa menunggu sahutan orang, Guru Besar Liang
San berkelebat. Baginda Kunang memperhatikan se-
saat. Lalu berbalik dan berkelebat di antara ranggasan ilalang tinggi.
*** Sementara sosok yang menyelinap keluar dari Per-
guruan Shaloin dan berkelebat ke arah utara, baru
hentikan larinya tatkala sampai di sebuah bukit. Dia memandang berkeliling
sesaat. Kejap lain telah bergerak mendaki. Tidak berapa lama sosoknya telah
tegak di puncak bukit. Dia tengadahkan kepala pandangi
sang rembulan. Lalu arahkan pandang matanya ke
hamparan gelap di bawahnya. Nun jauh di sana terli-
hat beberapa titik cahaya.
"Hem.... Apa yang terjadi hingga Yang Kui Tan tidak
muncul sampai hari ini..." Adakah dia mendapat hala-
ngan"! Tapi bagaimana bisa terjadi" Bukankah urusan
ini tidak ada yang tahu selain aku, Maha Guru Besar, dan Yang Kui Tan" Ataukah
dia salah jalan..." Namun
itu tak mungkin!" Sosok di puncak bukit perdengarkan gumaman.
Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh
lima tahunan. Sosoknya kekar dengan paras wajah
agak bulat. Pada sebelah samping mata kanannya ter-
dapat tahi lalat yang ditumbuhi beberapa rambut agak panjang. Orang ini
berkepala gundul, la mengenakan
pakaian selempang warna kuning yang dilapis kain
warna merah di atas pundaknya dan terus dililitkan
pada pinggangnya. Orang tua ini bukan lain adalah
Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi edarkan pandang matanya berke-
liling di puncak bukit. "Puncak bukit ini belum ber-
ubah. Ini satu bukti jika Yang Kui Tan memang belum
sampai.... Menurut rencana, empat hari yang lalu dia sebenarnya harus sudah
menunggu di sini! Ke mana
aku harus mencari" Tak mungkin aku meninggalkan
shaolin untuk mencarinya! Selain kesehatan Maha
Guru Besar mengkhawatirkan, kepergianku ini akan
membawa dugaan yang tidak-tidak.... Hem.... Ataukah
aku harus mencari orang yang dapat kupercaya untuk
mencari Yang Kui Tan"! Namun bukankah itu akan
membawa urusan makin panjang seandainya nanti
Yang Kui Tan salah tanggap" Karena selama ini aku
dan dia telah sepakat untuk tidak memberitahukan
urusan ini pada siapa-siapa! Hemmm...."
Guru Besar Pu Yi menghela napas panjang. "Kalau
sampai terjadi sesuatu pada Yang Kui Tan, alamat
akan muncul bencana.... Ah. Mungkinkah hal itu akan
terjadi" Atau jangan-jangan Yang Kui Tan.... Amita-
ba.... Mengapa aku punya prasangka buruk padanya"
Dia adalah orang yang paling kupercaya! Kalau sampai hari ini dia belum datang,
pasti ada sesuatu yang
menghadang di luar perhitungan!"
Guru Besar Pu Yi kembali arahkan pandang mata-
nya ke hamparan tanah luas di bawah sana. Tapi
mendadak matanya cepat melirik ke samping kanan
kiri. Saat lain dia takupkan kedua tangan di depan
mata. "Ada orang di sekitar tempat ini.... Siapa dia" Tak
mungkin Yang Kui Tan! Bagaimana dia sampai berada
di sekitar tempat ini" Apakah kehadirannya di bukit ini ada sangkut pautnya
dengan keterlambatan Yang Kui
Tan"!"
Guru Besar Pu Yi perlahan-lahan balikkan tubuh.
Lalu kepalanya memutar setengah lingkaran dengan
mata memandang ke satu batangan pohon agak besar.
Walau tadi sudah menduga, namun begitu matanya
dapat menangkap satu sosok tubuh yang duduk ber-
sandar pada batangan pohon, dia sempat pula terke-
siap! *** TUJUH GURU Besar Pu Yi melihat seorang laki-laki berusia
lanjut mengenakan pakaian berupa jubah tanpa leher
berwarna putih. Paras wajahnya agak bulat dengan
mata sipit. Rambutnya yang putih di kelabang dan dililitkan melingkar pada
lehernya. Pada daun telinga kirinya terlihat menggantung sebuah anting-anting
agak besar. Kakek ini hanya memiliki satu tangan yang di-
angkat dengan telapak terbuka lurus menghadap ke
depan sejajar dengan dada.
"Amitaba.... Bukankah dia Tiyang Pengembara
Agung?" Guru Besar Pu Yi bergumam. Lalu angkat ke-
dua tangannya sejajar dada dengan kepala meng-
angguk dan buka mulut.
"Amitaba.... Kalau tak salah lihat, bukankah yang
duduk di hadapanku adalah seorang tokoh yang tak
asing lagi bagi kalangan dunia persilatan bergelar
Tiyang Pengembara Agung"!"
Orang yang duduk bersandar pada batangan pohon
perdengarkan tawa. Lalu gerakkan kepala menunduk.
"Guru Besar Pu Yi.... Kau terlalu memuji orang. Aku
jadi tidak enak hati.... Lama kita tidak berjumpa. Kuharap kau baik-baik
saja.... Bagaimana keadaan Maha
Guru Besar Su Beng Siok"!"
Pertanyaan orang tua yang dipanggil dengan Tiyang
Pengembara Agung membuat Guru Besar Pu Yi sempat
terperanjat. Diam-diam dalam hati dia berkata. "Ter-
nyata dia memang memiliki ilmu langka. Selama ini
semua murid dan penghuni Shaolin telah dipesan agar
merahasiakan keadaan Maha Guru Besar. Tapi nyata-
nya dia berhasil mengetahuinya.... Hem. .. Apa keha-
dirannya saat ini ada kaitannya dengan Yang Kui
Tan"!"
Karena tak ada gunanya lagi sembunyikan kenya-
taan, Guru Besar Pu Yi menjawab. "Maha Guru Besar
sedang sakit...."
"Ah.... Seandainya ada waktu, aku ingin menengok-
nya. Cuma aku terbentur pada peraturan shaolin...."
"Amitaba.... Kalau Tiyang Pengembara Agung berke-
hendak melihatnya, aku tawarkan diri untuk mengan-
tar. Siapa tahu pula dengan kehadiran Tiyang Pe-
ngembara Agung, Maha Guru Besar Su Beng Siok ber-
ubah pikiran...."
"Hem.... Dia dahulu adalah sahabatku meski tidak
terlalu dekat. Aku tahu bagaimana sifatnya. Dia sangat teguh pendirian. Tak
seorang pun bisa merubah piki-rannya. Tapi harap kau tidak memaksakan diri
terha- dapnya. Dia telah tahu apa yang dilakukannya...."
"Maaf...," kata Guru Besar Pu Yi. "Bukan maksudku
menyinggung perasaanmu. Tapi kehadiranmu di tem-
pat ini kurasa bukanlah satu kebetulan semata. Ada
seseorang yang hendak kau temui di tempat ini"!"
Tiyang Pengembara Agung bergerak bangkit. Selain
hanya memiliki satu tangan, orang tua ini juga hanya memiliki satu kaki. Dia
tengah memandang rembulan
lalu sandarkan punggungnya kembali ke batangan po-
hon di belakangnya. Saat kemudian dia sambuti uca-
pan Guru Besar Pu Yi.
"Aku juga tak hendak menyinggung perasaanmu.
Kalau aku boleh berterus terang, sebenarnya bukan
aku yang tengah menunggu atau hendak menemui se-
seorang di tempat ini. Tapi yang hendak menemui se-
seorang adalah dirimu...."
"Amitaba.... Ternyata dia juga telah tahu mengapa
aku berada di sini! Berarti dia juga tahu urusan Yang Kui Tan...." Guru Besar Pu
Yi berkata dalam hati.
"Guru Besar Pu Yi.... Aku tak hendak mendahului
ketentuan yang telah ditulis dan akan kita jalani. Na-
mun rasanya aku bisa memberi satu saran padamu.
Tinggalkan saja bukit ini. Dan jangan pernah datang
lagi ke sini. Orang yang selama ini kau tunggu tidak akan muncul! Lebih baik
sekarang kau pusatkan perhatian ke dalam lingkungan shaolin!"
Guru Besar Pu Yi tak dapat menyimpan rasa kejut-
nya. Walau selama ini dia telah mendengar siapa
Tiyang Pengembara Agung dan baru saja membuktikan
kalau orang itu dapat mengetahui keadaan Maha Guru
Besar Su Beng Siok padahal selama ini semua murid
Perguruan Shaolin tidak ada yang membocorkan, na-
mun kali ini Guru Besar Pu Yi rasanya masih meragu-
kan ucapan Tiyang Pengembara Agung.
"Harap kau jelaskan bagaimana mungkin orang
yang kutunggu tidak akan muncul?" tanya Guru Besar
Pu Yi. Tiyang Pengembara Agun tertawa. "Sayang sekali,
Guru Besar Pu Yi. Aku tidak bisa memenuhi permin-
taanmu. Mungkin kelak akan datang seorang tamu tak
dikenal yang dapat menjelaskannya!" .
"Amitaba.... Aku tidak akan memaksakan untuk
menjelaskannya. Tapi untuk pertanyaanmu yang mem-
beri saran agar aku memusatkan perhatian ke dalam
lingkungan shaolin, apakah ini ada kaitannya dengan
urusan orang yang kutunggu ini"!"
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi!"
"Berarti aku harus mencurigai orang di lingkungan
shaolin"!"
"Siapa pun manusia di permukaan bumi ini, pasti
tak luput dari kehendak ingin memiliki sesuatu yang
lebih. Tak terkecuali orang lingkungan shaolin sendiri!"
"Amitaba.... Harap maafkan aku. Rasanya aku tak
bisa melakukan saranmu! Ucapanmu memang benar.
Namun kalangan shaolin telah diajarkan untuk me-
nerima apa adanya tanpa harus punya keinginan me-
miliki sesuatu yang lebih, apalagi dengan jalan sa-
lah..." "Tidak berprasangka buruk pada orang memang
baik. Tapi jika tanda-tanda telah muncul dan kita tetap berpendirian semua orang
pasti baik, maka kita
akan terlambat untuk sadari. Dan keterlambatan sa-
dar ini mungkin saja akan mengakibatkan timbulnya
satu malapetaka besar!"
"Terima kasih atas saranmu.... Mudah-mudahan
malapetaka itu tak akan terjadi. Sekarang boleh aku
tahu, siapa yang kau maksud dengan seorang tamu
tak dikenal"!"
"Aku hanya tahu wajahnya tapi tak tahu namanya!
Aku hanya sempat bertemu satu kali dan tak bicara
banyak. Karena itu, harap kau segera tinggalkan bukit ini. Siapa tahu tamu itu
akan segera muncul. Kalau
kau tidak berada di tempat, bukan saja akan merasa


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesal, namun akan menimbulkan kecurigaan
orang!" "Mau mengatakan bagaimana ciri-ciri tamu itu"!"
tanya Guru Besar Pu Yi.
"Seorang pemuda berwajah tampan. Melihat dari
sosok dan penampilannya, dia datang dari seberang
laut...." "Aneh.... Bagaimana ini" Seorang pemuda tak di-
kenal datang dari seberang laut. Namun menurutnya
pemuda itu nanti dapat menjelaskan perihal Yang Kui
Tan. Hem.... Bagaimana bisa hal ini terjadi"!" Guru Besar Pu Yi membatin.
"Guru Besar Pu Yi.... Kadang-kadang ada satu pe-
ristiwa yang menurut perhitungan kita tidak mungkin.
Tapi kenyataannya benar-benar terjadi! Begitu pula
sebaliknya!"
"Amitaba.... Dia seakan-akan tahu apa yang ada
dalam pikiranku! Ucapannya benar.... Sebaiknya aku
segera kembali ke shaolin!" Guru Besar Pu Yi masih
membatin begitu mendengar ucapan Tiyang Pengem-
bara Agung. "Kau masih ingin menengok Maha Guru Besar Su
Beng Siok?" tanya Guru Besar Pu Yi.
"Hasrat hati memang demikian. Tapi biarlah untuk
sementara waktu hasratku kutunda dahulu. Aku tidak
mau kau nanti mendapat tudingan tak enak kalau
sampai mengajakku menemui Maha Guru Besar Su
Beng Siok. Hanya saja sampaikan salamku pada-
nya...." Lagi-lagi kening Guru Besar Pu Yi berkerut men-
dengar ucapan Tiyang Pengembara Agung. Namun kali
ini dia tak mau mengutarakan apa yang mengganjal
dalam hatinya walau sebenarnya hatinya mulai tidak
enak. "Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas saranmu.
Aku tetap menunggu kehadiranmu di shaolin. Selamat
malam...."
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. Lalu melang-
kah tujuh tindak. Saat lain sosoknya telah melesat
menuruni bukit.
*** Begitu tiba di ruangannya kembali, Guru Besar Pu
Yi tampak resah. Dia melangkah mondar-mandir de-
ngan pikiran tak karuan. Terngiang kembali di telinganya semua ucapan Tiyang
Pengembara Agung. Hatinya
makin cemas dan khawatir kala mengingat bahwa
Yang Kui Tan tidak akan muncul lagi.
"Ucapan Tiyang Pengembara Agung memberi isyarat
kalau anak itu mendapat halangan.... Amitaba.... Apa yang harus kulakukan
sekarang" Memberitahukan
urusan ini pada Maha Guru Besar"! Kurasa itu tidak
layak. Dia tengah sakit keras.... Hem.... Peta wasiat itu.... Bagaimana kalau
sampai jatuh ke tangan orang lain"! Lalu siapa" Pemuda tampan tak dikenal yang
di-katakan Tiyang Pengembara Agung"! Ah.... Urusan ini
tampaknya akan jadi panjang. Hem.... Penjagaan
ruang penyimpanan memang harus dilipatgandakan.
Kalau peta wasiat itu benar-benar jatuh ke tangan
orang lain, pasti dia akan mencari pasangannya di
ruang penyimpanan!"
Berpikir sampai ke sana, mendadak Guru Besar Pu
Yi melangkah menuju pintu ruangan. Perlahan-lahan
dia membuka pintu. Lalu melangkah ke arah bangu-
nan di seberang yang merupakan ruang penyimpanan.
Namun langkahnya tertahan saat sepasang mata-
nya menangkap satu sosok kekar muncul dari pojok
ruangan di samping bangunan ruang penyimpanan.
Guru Besar Pu Yi sesaat perhatikan orang yang juga
tengah melangkah.
"Adik Liang San...," gumam Guru Besar Pu Yi begitu
matanya dapat mengenali siapa adanya orang yang
melangkah dari pojok ruangan di samping ruang pe-
nyimpanan. Orang yang melangkah muncul dari pojok ruangan
sempat terkejut melihat kemunculan Guru Besar Pu
Yi. Namun orang ini yang ternyata memang Liang San
segera bergegas mendekati Guru Besar Pu Yi dan beru-
jar pelan. "Aku mendapat firasat tidak enak. Untuk itulah aku
keluar melihat-lihat keadaan...."
Guru Besar Pu Yi tersenyum. "Amitaba.... Mudah-
mudahan firasatmu tidak menjadi kenyataan. Namun
begitu aku berterima kasih kau masih menyempatkan
diri untuk keluar melihat-lihat!"
Liang San takupkan kedua tangannya di depan da-
da. Kepalanya menunduk meski sepasang matanya
melirik tajam pada Guru Besar Pu Yi. Tanpa berkata
apa-apa lagi dia teruskan langkah lalu memasuki
ruangannya di salah satu deretan ruangan di sebelah
kanan bangunan utama.
Guru Besar Pu Yi tersenyum. Lalu teruskan langkah
pula ke ruang penyimpanan. Beberapa pemuda ber-
kepala gundul yang tegak berjaga-jaga di depan ruang penyimpanan tampak
anggukkan kepala.
"Kalian harus lebih waspada. Awasi setiap gerak-
gerik orang yang mencurigakan. Dan segera laporkan
kalau terjadi apa-apa!" Guru Besar Pu Yi berkata de-
ngan memperhatikan pintu ruang penyimpanan.
"Semua perintah akan kami laksanakan!" Salah
seorang pemuda yang tampak sebagai pimpinan penja-
gaan di ruang penyimpanan sambuti ucapan Guru Be-
sar Pu Yi. Guru Besar Pu Yi tersenyum. Lalu melangkah lagi
ke ruangan dari mana tadi dia keluar. Saat lain orang ini telah lenyap masuk.
Tanpa sepengetahuan orang,
dari ruangannya, Guru Besar Liang San tampak mem-
perhatikan dengan seringai dingin!
*** DELAPAN SETELAH bertanya kian kemari pada beberapa o-
rang penduduk, akhirnya Pendekar 131 sampai juga di
kaki Gunung Sim Yao In. Dia tegak dengan tadangkan
tangan di depan kening untuk hindari silaunya mata-
hari. Saat itu matahari sudah mulai bergerak dari titik tengahnya. Sementara
murid Pendeta Sinting tegak
menghadap ke arah barat, karena menurut laki-laki
gundul yang ditemuinya di atas perahu, dia harus me-
nuju arah barat dari Gunung Sim Yao In.
"Aku akan melewati lima kawasan hutan.... Berarti
aku belum bisa menentukan kapan sampai di tempat
tujuan! Mudah-mudahan aku bisa segera menemukan
orang yang bernama Guru Besar Pu Yi. Dengan demi-
kian, urusan ini cepat selesai dan aku bisa segera
kembali ke tanah Jawa! Sebelum jumpa dengan Putri
Kayangan dan menjernihkan persoalan dengannya, ra-
sanya hatiku masih tidak enak! Setelah itu aku harus mencari Dewi Seribu Bunga.
Bagaimanapun juga aku
harus memberi keterangan padanya. Dia sekarang
adalah murid Dewi Es yang juga adalah saudara se-
perguruan beberapa sahabatku! Kalau sampai terjadi
kesalahpahaman, bukan tak mungkin persoalannya
akan jadi besar dan melibatkan beberapa orang tua!
Habis itu baru aku akan mencari Saraswati.... Ah....
Terlibat urusan dengan para gadis ternyata lebih su-
sah cara menyelesaikannya...." Pendekar 131 Joko
Sableng tersenyum sendiri. Lalu mulai gerakkan kaki
melangkah meninggalkan kaki Gunung Sim Yao In.
Namun baru saja mendapat beberapa langkah, ter-
dengar satu bentakan.
"Berhenti!"
Beberapa sosok tubuh berkelebat. Saat murid Pen-
deta Sinting putar kepala ke samping kanan kiri, terlihat lima orang laki-laki
berseragam prajurit tegak
mengitarinya dengan tangan masing-masing orang
menghunus pedang.
"Hem.... Ini pasti ada hubungannya dengan peristi-
wa di tengah laut kemarin!" kata Joko dalam hati lalu perhatikan satu persatu
pada lima laki-laki yang tegak mengelilinginya. Seraya cengar-cengir, murid
Pendeta Sinting buka suara.
"Ada sesuatu yang hendak kalian utarakan"!"
"Kau bisa teruskan perjalanan!" kata salah seorang
yang tegak tepat di hadapan Joko. Tampaknya laki-laki ini adalah pimpinan dari
kelima orang prajurit.
"Terima kasih!" sahut Joko meski dia tahu jika uca-
pan laki-laki di hadapannya belum selesai, karena mulutnya masih terbuka dan
jelas hendak terus" ucapan.
Habis berkata, murid Pendeta Sinting enak saja
hendak teruskan langkah. Namun laki-laki di hada-
pannya segera luruskan pedang di tangannya seraya
membentak. "Ucapanku belum selesai! Jangan berani melangkah
dari tempatmu!"
Pendekar 131 hentikan langkah. "Apa lagi yang in-
gin kalian katakan"!"
"Kau bisa teruskan perjalanan. Tapi jawab dulu dua
pertanyaan kami!"
"Aduh.... Banyak sekali permintaan kalian! Seha-
rusnya justru aku yang ajukan dua pertanyaan pada
kalian! Karena terus terang saja, aku belum paham
dengan daerah sekitar sini! Jadi bagaimana kalau ka-
lian jawab dahulu pertanyaanku"!"
Lima laki-laki yang mengepung Joko tampak saling
pandang dengan mata mendelik. Saat kemudian sama
arahkan pandang mata masing-masing ke arah murid
Pendeta Sinting.
"Dengar, Orang Asing1" Laki-laki yang tegak tepat di hadapan Joko kembali buka
suara. "Kau telah memasuki daerah kekuasaan kami. Kau tak punya hak un-
tuk ajukan tanyai"
"Ah.... Kalian tentu salah bicara! Ada yang lebih
berkuasa atas daerah ini!"
"Jahanam! Siapa dia"!" bentak laki-laki yang dari
tadi buka mulut.
Murid Pendeta Sinting angkat tangan kanannya ke
atas kepala. Jari telunjuknya diacungkan lurus ke atas menunjuk langit.
Lima prajurit di sekeliling Joko sama tengadahkan
kepala mengikuti arah telunjuk tangan kanan Pende-
kar 131. "Yang di atas sana kurasa lebih berkuasa atas dae-
rah ini.... Bukankah begitu" Jadi kalau kalian berhak ajukan tanya di daerah
ini, aku pun punya hak yang
sama!" Salah seorang dari lima laki-laki yang tampaknya
tidak sabaran, maju dua langkah dengan pedang dita-
rik ke belakang siap dibabatkan.
"Tahan!" Laki-laki di hadapan Joko mencegah den-
gan tangan kiri disentakkan ke bawah. Orang yang ba-
ru saja hendak babatkan pedang urungkan niat lalu
luruhkan kembali pedangnya.
"Siapa kalian sebenarnya"! Dan apa maksud kalian
menghadangku"!" Pendekar 131 telah dahului ajukan
tanya. "Keparat! Kau tak akan mendapat jawaban dari per-
tanyaanmu!" hardik laki-laki yang jadi pemimpin rom-
bongan kelima orang. Lalu dia teruskan ucapan. "Di
mana kau sembunyikan Yang Kui Tan"! Dan ke mana
kau akan pergi"!"
"Hem.... Yang Kui Tan.... Yang dimaksud pasti laki-
laki berkepala gundul yang kutemukan terluka di atas perahu!" Joko membatin.
Lalu dengan tersenyum dia
angkat suara. "Jadi dua pertanyaan yang harus kujawab adalah
pertanyaan yang baru saja kalian ucapkan itu"!"
"Jangan banyak mulut! Bisa saja kami tambah lagi
dengan beberapa pertanyaan kalau keteranganmu ti-
dak jelas! Dan jika kau tidak menjawab, bukan saja
kau tidak akan teruskan perjalanan, tapi kau akan
terkubur jauh dari daerah asalmu!"
Pendekar 131 angguk-anggukkan kepala. "Kalian
tahu aku adalah orang yang datang dari jauh. Adalah
aneh bukan kalau aku mengenal orang yang bernama
Yang Kui Tan"! Siapa dia..." Dari mana asalnya" Ba-
gaimana kalian menanyakan dia padaku..." Apa hu-
bungan orang itu denganku"! Dan bagaimana pangkal
sebabnya kalian menduga aku menyembunyikan orang
itu"!" Joko ajukan rentetan pertanyaan.
Kelima orang yang mengelilingi Joko kembali saling
pandang. Salah seorang di antaranya mendekati pim-
pinan rombongan lalu berbisik. "Jelaskan saja pada-
nya siapa Yang Kui Tan agar urusan ini tidak berlarut-larut dan cepat selesai!
Kau telah dengar sendiri, walau tampak cengengesan, pemuda itu mampu lolos dari
hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa orang pe-
ngawal kerajaan! Aku bukannya takut, tapi kalau uru-
san bisa selesai tanpa pertumpahan darah, kurasa itu lebih baik!
Pimpinan rombongan tampak menyeringai namun
diam-diam membenarkan ucapan salah seorang anak
buahnya. Hingga tak lama kemudian dia berkata.
"Yang Kui Tan adalah salah seorang utusan dari
Perguruan Shaolin!"
"Hem.... Begitu"! Lalu apa hubungan orang itu den-
ganku"! Kurasa aku tak pernah mengenalnya!"
"Mengenal atau tidak, itu bukan urusanku! Yang je-
las kau telah membawa dan menyembunyikannya!"
"Dari mana kalian tahu"!"
"Kau datang ke sini menggunakan perahu yang se-
belumnya ditumpangi Yang Kui Tan!"
"Kalian teman-temannya Yang Kui Tan"!"
"Itu bukan urusanmu! Jawab saja di mana Yang
Kui Tan!" "Baiklah.... Aku akan menjawab pertanyaanmu. Ta-
pi aku ingin tahu dahulu, mengapa kalian mencari
Yang Kui Tan"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Dia mencuri benda milik kerajaan!"


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mimik Pendekar 131 sedikit berubah. Hatinya bim-
bang. "Benarkah..." Apakah yang dimaksud benda mi-
lik kerajaan itu kantong putih yang diberikannya pa-
daku"! Au harus tahu urusan ini dengan jelas!" kata Joko dalam hati. Lalu buka
mulut. "Benda apa yang dicurinya"!"
"Itu rahasia kerajaan! Sekarang jawab pertanyaan
kami tadi!" kata pimpinan rombongan.
"Hem.... Bagaimana mungkin orang dari Perguruan
Shaolin bisa mencuri benda milik kerajaan"!" tanya
Joko tanpa pedulikan permintaan orang.
"Itu bukan sesuatu yang harus kau ketahui!"
"Apa selama ini terjadi silang sengketa antara kera-
jaan dan Perguruan Shaolin?" Murid Pendeta Sinting
masih juga ajukan tanya, membuat kelima orang tam-
pak kesal. "Pertanyaanmu sudah terlalu banyak! Jangan buat
kami habis kesabaran!" pimpinan rombongan mengan-
cam lalu tarik pedang di tangan kanannya sedikit ke
belakang. Keempat orang lainnya ikut membuat ge-
rakan yang sama.
"Aku harus segera bertemu dengan Guru Besar Pu
Yi! Tak enak kalau hanya mendengar keterangan dari
satu pihak!" gumam murid Pendeta Sinting dalam hati.
"Karena menurut apa yang pernah kudengar, Pergu-
ruan Shaolin sangat taat pada peraturan!"
"Aku memang sempat bertemu Yang Kui Tan!" A-
khirnya Joko buka suara. "Pertemuan itu terjadi di
tengah laut, karena aku adalah seorang nelayan! Saat itu dia terluka parah dan
tak lama kemudian dia meninggal!"
"Lalu di mana mayatnya"!" Pimpinan rombongan
bertanya. "Sebelum meninggal, dia menghadiahkan perahu-
nya padaku namun dengan satu permintaan!"
"Apa permintaannya"!"
"Dia minta diceburkan ke dalam laut!"
"Kau jangan berani berkata dusta pada kami! Pang-
lima Muda Lie tahu kalau Yang Kui Tan masih ada di
perahu!" Pendekar 131 gelengkan kepala seraya tersenyum.
"Dia salah pandang. Yang dikira Yang Kui Tan adalah
bekal makanan yang kututup dengan jubah hitam
yang kupakai ini. Karena saat itu gelombang sedang
naik pitam, terpaksa aku menutup bekal makanan
Yang Kui Tan dengan jubah hitam ini. Sebab bagai-
manapun juga aku masih memerlukan bekal makanan
dalam perjalanan! Apalagi saat itu aku tak tahu harus ke mana, karena aku
sendiri sebenarnya tengah menyelamatkan diri dari hantaman gelombang yang ten-
gah memporak-porandakan perahu milikku dan telah
menenggelamkan beberapa teman nelayanku!"
Pimpinan rombongan memandang pada keempat
orang anak buahnya. Orang yang tadi berbisik kembali sorongkan wajahnya ke dekat
telinga pimpinan rombongan lalu berbisik lagi.
"Kita harus menggeledahnya! Sekalian membawa
dia menghadap Panglima Muda Lie!"
Pimpinan rombongan anggukkan kepala. Lalu ber-
kata. "Aku percaya pada keteranganmu! Namun satu lagi
pertanyaan kami. Ke mana tujuanmu sekarang"!"
"Ini adalah daerah asing bagiku! Sementara karena
aku semula tidak pernah punya niat untuk datang ke
daerah ini, aku akan menurut saja ke mana kakiku
bergerak! Tapi kalau bisa aku ingin segera kembali ke kampung halamanku sendiri!
Aku meninggalkan beberapa istri cantik-cantik! Belum lagi beberapa gadis
simpanan! Aku tak bisa hidup tanpa didampingi pe-
rempuan cantik! Sementara sudah dua hari di daerah
ini, aku belum pernah bertemu dengan gadis cantik!
Apa daerah ini memang tidak pernah melahirkan pe-
rempuan cantik"!"
"Orang asing! Kami dengan senang hati akan mem-
berimu beberapa gadis cantik!"
Murid Pendeta Sinting buru-buru angguk-angguk-
kan kepala dan dengan cepat segera menyahut. "Ah....
Terima kasih. Terima kasih...."
"Tapi kami harus menggeledahmu terlebih dahulu!"
Pimpinan rombongan sambungi ucapannya membuat
gerakan kepala Joko terhenti laksana dipacak tangan setan.
"Apa yang hendak kalian lakukan"! Mengapa kalian
harus menggeledahku dahulu sebelum memberikan
beberapa gadis cantik"! Kalian tidak percaya kalau aku laki-laki tulen"! Atau
kalian khawatir barang orang da-ri seberang lain dengan barang orang-orang di
sini"!"
Murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala. "Percayalah.... Semuanya pasti tidak
ada bedanya! Kalaupun
ada perbedaan, kukira itu hanya masalah warna!"
"Dari tadi kau terlalu banyak bicara!" bentak pimpi-
nan rombongan yang tak tahan lagi menindih rasa ge-
ram. Dia maju beberapa langkah. "Turuti saja permin-
taan kami!"
Pendekar 131 julurkan kedua tangannya ke depan
dan digerak-gerakkan pulang balik ke kanan kiri mem-
beri isyarat agar orang tidak lakukan ucapannya. "Kuharap jangan lakukan itu
padaku.... Kalian tahu, aku geli sekaligus ngeri jika diraba-raba tangan laki-
laki!" "Kalau kau menolak, terpaksa kami akan menggele-
dahmu dengan pedang ini!" Pimpinan rombongan ang-
kat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.
Murid Pendeta Sinting celingukan ke kanan kiri. Ke-
empat orang lainnya ikut-ikutan angkat pedang ma-
sing-masing ke atas kepala.
Joko takupkan kedua tangan di atas kepalanya de-
ngan tampang tegang. "Bagaimana kalau kalian cari-
kan saja beberapa gadis cantik untuk menggeledah-
ku"! Terus terang bulu kudukku sudah meremang,
padahal tangan kalian belum menyentuh!"
Wuutt! Pimpinan rombongan yang sudah habis kesabaran
tidak menyahut dengan ucapan. Melainkan segera ba-
batkan pedang di tangannya. Keempat orang lainnya
tidak tinggal diam. Mereka segera pula gerakkan pe-
dang di tangan masing-masing! Hingga saat itu terdengar lima desingan tajam ke
arah sosok murid Pendeta Sinting. Lima cahaya putih berkiblat!
Masih dengan takupkan kedua tangan di atas ke-
pala dan wajah tegang, Pendekar 131 hentakkan ke-
dua kakinya. Sosoknya melenting tiga tombak ke uda-
ra lalu melesat dan jatuh bergedebukan sepuluh lang-
kah dari lima orang yang tadi sama babatkan pedang!
Craakk! Crakk! Crakk! Trangg! Trangg!
Terdengar tiga suara pedang menghantam. Lalu
disusul terdengarnya bentrok antara pedang. Tanah
muncrat ke udara. Lalu terlihat percikan api.
Kelima orang langsung mendelik besar tatkala me-
ngetahui tiga pedang mereka hanya menghantam ta-
nah, sementara dua lainnya sama berbenturan!
Laksana dikomando, kepala masing-masing orang
sama menyentak ke samping dan ke depan kala telinga
mereka mendengar suara benda jatuh bergedebukan.
Mereka melihat sosok orang yang tadi dihantam duduk
berselonjor dengan tangan kiri kanan memijit-mijit
pantatnya! "Kalian benar-benar tega membuatku jatuh tak ka-
ruan begini rupa!" ujar murid Pendeta Sinting. Namun diam-diam dia berkata dalam
hati. "Mereka harus segera kuselesaikan! Jika tidak, perjalanan ini akan ter-
tunda-tunda!"
Lima orang prajurit sama tegak berjajar. Sebenar-
nya nyali mereka sudah mulai ciut melihat orang ber-
hasil lolos dari serangan lima pedang yang berkelebat menghajar. Apalagi
sebelumnya sudah mendengar kalau orang itu berhasil lolos dari hadangan Panglima
Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan yang il-
munya di atas mereka. Namun sebagai prajurit yang
menjalankan perintah, meski dengan hati ragu-ragu
akhirnya mereka berlari ke arah Joko dengan pedang
diangkat. Murid Pendeta Sinting tarik pulang kedua tangan-
nya yang memijit-mijit pantat. Saat kemudian kedua
tangannya didorong ke depan.
Wuutt! Wuuttt! Pedang Hati Suci 5 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Pedang Kilat Membasmi Iblis 4
^