Pencarian

Wasiat Darah Di Bukit Toyongga 1

Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga Bagian 1


SATU MATAHARI sudah berada satu tombak di atas ben-
tangan laut saat satu sosok tubuh berlari cepat menu-
ju kawasan pesisir. Begitu mencapai kawasan pesisir
yang banyak ditumbuhi ranggasan tumbuhan laut,
orang ini hentikan larinya. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia cukup
lanjut. Kepalanya ditumbuhi
rambut putih yang dikelabang kecil-kecil. Sepasang
matanya bulat besar dan menjorok ke luar seakan
hendak meloncat dari dalam rongganya. Kumisnya le-
bat dan juga telah berwarna putih. Begitu lebatnya
kumis orang, hingga siapa pun yang melihat, tidak
akan pernah bisa melihat bentuk mulut orang!
Laki-laki tua ini mengenakan pakaian compang-
camping. Tepat di bagian punggungnya, terlihat sebu-
ah tambang yang lurus ke atas. Pada ujung tambang,
terdapat sebuah batu berwarna putih. Di punggungnya
pula, terlihat sebuah bumbung bambu agak besar ber-
warna kuning. Si kakek dongakkan kepala sesaat pandangi batu
putih di ujung tambang. Kejap lain dia gerakkan ke-
pala menunduk. Tambang yang berpangkal pada pung-
gungnya perlahan-lahan bergerak melengkung. Batu
putih di ujung tambang ikut bergerak ke bawah, lalu
berhenti tepat di muka wajah orang, hingga paras wa-
jah orang ini tidak kelihatan.
Si kakek tersenyum. Keduatangannya yang ternyata
membopong satu sosok tubuh bergerak satu kali. So-
sok yang berada di bopongannya mencelat mental.
Anehnya, begitu setengah depa lagi sosok ini hendak
menghantam pasir bawahnya, tiba-tiba luncurannya
laksana tertahan kekuatan dahsyat, hingga si sosok
yang mencelat mental jauh di atas pasir dengan perla-
han-lahan, bahkan tidak perdengarkan suara!
Untuk beberapa saat, sosok yang berada di atas pa-
sir diam tak bergerak. Dia adalah seorang perempuan
setengah baya berwajah cantik. Rambutnya hitam le-
bat disanggul sedikit ke atas dan sebagian digeraikan pada pipi kanan kirinya.
Bibirnya merah menyala dengan alis ditambah pewarna hitam. Di kepalanya terli-
hat sebuah mahkota bergambar bulan sabit berwarna
kuning keemasan. Pada lehernya yang jenjang dan pu-
tih, terlihat tato bergambar bulan sabit pula. Perem-
puan ini mengenakan pakaian warna putih tipis hingga
lekuk sekujur tubuhnya terpandang jelas.
Si kakek yang mukanya tertutup batu putih angkat
tangan kanannya. Lalu digerakkan di atas udara. Saat
bersamaan, sosok perempuan yang berada di depan
sana membuat gerakan. Sepasang matanya yang seda-
ri tadi terpejam rapat, perlahan-lahan membuka.
"Di mana aku"! Apa yang telah terjadi"!" Si perempuan perdengarkan gumaman
dengan mata terus me-
mandang ke hamparan langit yang sudah berubah
warna kekuningan. Sepasang mata perempuan ini
mengerjap beberapa kali, lalu menyipit tanda dia coba mengingat.
"Hem.... Aku berhasil menemukan Pendekar 131 Jo-
ko Sableng. Bahkan aku hampir saja bisa mengajak-
nya pergi.... Namun sayang, laki-laki gundul itu meng-hadangku! Lalu aku
terlibat bentrok dengannya! Ta-
pi.... Mengapa aku bisa berada di sini"!" Perempuan ini meraba dadanya.
"Aneh.... Saat bentrok, jelas kalau aku terluka dalam, namun mengapa sekarang
aku tidak merasakan sakit sama sekali"!"
Si perempuan terdiam lagi beberapa saat. "Mung-
kinkah yang membawaku kemari adalah Pendekar
131"! Tapi bukankah dia akan pergi bersama pemuda
berkebaya itu"!"
Karena setelah menduga-duga agak lama tidak juga
menemukan jawaban pasti, akhirnya perempuan can-
tik ini bergerak duduk. Dia meneliti sekujur tubuhnya beberapa saat. Lalu
kepalanya berpaling ke kiri. Dia tidak melihat siapa-siapa. Saat lain kepalanya
bergerak menoleh ke kanan.
Mendadak sepasang mata perempuan ini membela-
lak besar. Saat bersamaan dia bergerak bangkit.
"Dewa Cadas Pangeran!" gumamnya saat sepasang matanya mengenali siapa adanya
laki-laki berpakaian
compang-camping yang wajahnya tertutup batu putih
di depannya. Dada perempuan ini berdegup keras. Pa-
ras wajahnya berubah tegang.
"Apakah dia yang membawaku ke tempat ini" Atau-
kah...." Si perempuan tidak lanjutkan kata hatinya, sebaliknya kepalanya
bergerak memutar. Wajah perem-
puan cantik ini makin tegang ketika matanya tidak lagi mendapati orang lain di
tempat itu. "Celaka! Berarti dia yang membawaku kemari!" ujar si perempuan dalam hati. Lalu
arahkan pandang matanya pada laki-laki di depan sana yang bukan lain ada-
lah Dewa Cadas Pangeran.
Meski wajahnya tertutup batu putih di ujung tam-
bang yang berada tepat di depan wajahnya, tampaknya
Dewa Cadas Pangeran bisa membaca pandangan o-
rang. Dia hendak perdengarkan suara. Namun sebe-
lum suaranya terdengar, si perempuan telah angkat
suara dengan membentak.
"Mengapa kau membawaku ke tempat ini"! Apa
maksudmu sebenarnya"! Kau memang tokoh berilmu
tinggi, tapi jangan mimpi aku akan menyerah begitu
saja padamu!"
"Harap tidak cepat menilai, Bidadari Bulan Emas....
Aku tidak bermaksud mengungkit budi. Tapi jika saja
aku mau, aku bisa melakukan apa saja padamu ketika
kau belum sadar...."
Si perempuan yang ternyata adalah Bidadari Bulan
Emas mendengus. Dia tundukkan kepala meneliti se-
kujur tubuhnya. Bahkan mungkin kurang percaya, ke-
dua tangannya bergerak meraba sebagian tubuhnya.
Di depan sana, Dewa Cadas Pangeran perdengarkan
tawa panjang. Batu putih di depan wajahnya bergerak-
gerak seirama gerakan kepalanya. "Bidadari.... Kau jangan termakan ucapanku....
Saat kita bertemu tadi,
aku memang berkata hendak mengajakmu pergi dan
ingin menikmati rasanya bersenang-senang dengan
mu. Tapi...."
Belum sampai Dewa Cadas Pangeran selesaikan u-
capan, Bidadari Bulan Emas telah menyahut. "Katakan saja. Apa yang telah kau
lakukan padaku"!"
"Aku hanya membawamu kemari....'
"Kau jangan berkata dusta!"
"Apa kau merasakan perubahan pada dirimu"!"
Bidadari Bulan Emas tidak segera menjawab. Dia
telah meneliti sekujur tubuhnya, malah kedua tangan-
nya ikut bergerak meraba sebagian tubuhnya. Dan dia
memang tidak merasakan perubahan jika baru saja
ada orang yang berbuat tidak senonoh padanya. Na-
mun dia tidak begitu saja percaya pada perasaan. Apa-
lagi dia tahu Dewa Cadas Pangeran adalah salah seo-
rang tokoh dunia persilatan yang ilmunya sulit dijaja-ki. Orang seperti dia,
bisa berbuat apa saja tanpa meninggalkan bekas.
Berpikir sampai di situ, dengan ketus kembali Bida-
dari Bulan Emas perdengarkan bentakan.
"Dewa Cadas Pangeran! Aku tanya sekali lagi. Apa
yang telah kau lakukan padaku"!"
"Aku hanya membawamu ke tempat ini!"
Seperti dituturkan dalam episode: "Dewi Bunga Asmara", Bidadari Bulan Emas
muncul begitu terjadi bentrok antara Pendekar 131 Joko Sableng dengan
Guru Besar Liang San. Bidadari Bulan Emas yang me-
rasa maklum akan kepandaian murid Pendeta Sinting
tidak lagi terang-terangan menginginkan peta wasiat
yang berada di tangan Joko. Namun dia sengaja pa-
sang jerat dengan kemolekan serta kemontokan tubuh-
nya. Lalu dia menjanjikan kemesraan dan mengajak
Joko pergi dari tempat itu. Tapi sebelum sempat pergi, muncullah Dewa Cadas
Pangeran. Pendekar 131 yang sudah tahu gelagat dan jerat
yang dipasang Bidadari Bulan Emas pada mulanya
memang pura-pura terpikat dengan kemontokan serta
janji Bidadari Bulan Emas. Tapi begitu muncul Dewa
Cadas Pangeran, mendadak Joko urungkan niatnya
bahkan memberikan kesempatan pada Dewa Cadas
Pangeran untuk pergi bersama Bidadari Bulan Emas.
Bidadari Bulan Emas tercengang dan khawatir, apalagi
dia sudah dengar siapa adanya Dewa Cadas Pangeran.
Saat itulah muncul pemuda berkebaya. Kemuncu-
lan pemuda ini justru hendak mengajak pergi murid
Pendeta Sinting. Hal ini makin membuat Bidadari Bu-
lan Emas merasa cemas. Tanpa pikir panjang lagi Bi-
dadari Bulan Emas segera berkelebat membawa Joko
pergi. Namun Guru Besar Liang San tidak membiarkan
begitu saja. Dia segera menghadang Bidadari Bulan
Emas. Bentrok pun tak dapat dihindari.
Akhirnya Bidadari Bulan Emas harus mengakui ke-
unggulan Guru Besar Liang San. Dia mencelat mental
terhantam pukulan Guru Besar Liang San. Tapi sebe-
lum sosoknya jatuh terjengkang di atas tanah, Dewa
Cadas Pangeran melesat memapak sosoknya. Lalu ber-
kelebat pergi. Guru Besar Liang San tidak peduli, ka-
rena saat itu si pemuda berkebaya telah berkelebat
dan menyambar sosok murid Pendeta Sinting. Orang
nomor satu di biara Perguruan Shaolin ini akhirnya
mengejar pemuda berkebaya.
"Aku tidak percaya!" Bidadari Bulan Emas kembali perdengarkan suara keras.
"Aku tidak memaksamu untuk percaya! Aku hanya
menjawab apa yang kau tanyakan!" Dewa Cadas Pan-
geran menyahut.
Sekali lagi Bidadari Bulan Emas teliti tubuhnya de-
ngan mata terpejam seakan ingin merasakan peruba-
han pada dirinya. Dan begitu memang tidak merasa-
kan adanya perubahan, perempuan cantik murid Han-
tu Bulan Emas ini angkat suara dengan mata menye-
ngat tajam ke arah batu putih di depan wajah Dewa
Cadas Pangeran seolah ingin tembusi raut wajah orang
di belakangnya.
"Lalu apa maksudmu membawaku ke tempat ini,
hah"!"
"Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu...."
Bidadari Bulan Emas dongakkan kepala. "Hari ham-
pir saja malam. Berarti apa pun yang akan kulakukan,
sudah terlambat aku mengetahui ke mana perginya
Pendekar 131 Joko Sableng! Apalagi tempat ini jauh
dari tempat di mana aku tadi bertemu dengan pemuda
itu! Hem.... Gara-gara Guru Besar Liang San dan pe-
muda berkebaya serta orang tua di depan sana itu,
rencanaku berantakan tak karuan! Tapi bagaimana-
pun juga, aku harus mencari!"
"Dewa Cadas Pangeran!" kata Bidadari Bulan Emas setelah terdiam beberapa lama.
"Aku tidak punya waktu banyak. Lekas katakan apa yang hendak kau utara-
kan!" Ucapan Bidadari Bulan Emas bukannya membuat
Dewa Cadas Pangeran segera buka mulut. Orang tua
ini diam tidak perdengarkan suara dan tidak membuat
gerakan. Bidadari Bulan Emas sebenarnya ingin ulangi per-
kataannya. Namun entah karena apa, perempuan ini
tidak coba buka suara. Sebaliknya putar diri. Lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu. "Kau tak ingin dengar apa yang akan kukatakan"!
Hal ini masih ada kaitannya dengan apa yang selama
ini kau inginkan! Juga masih ada hubungannya de-
ngan pemuda tampan yang memberikan kesempatan
padaku...."
Gerakan Bidadari Bulan Emas terhenti seketika.
Kepalanya disentakkan menghadap Dewa Cadas Pan-
geran. Saat bersamaan, Dewa Cadas Pangeran mem-
buat gerakan satu kali. Kepalanya ditengadahkan.
Batu putih di ujung tambang bergerak. Terdengar
desiran halus. Batu putih melenting ke atas. Tambang
yang berpangkal pada punggung Dewa Cadas Pange-
ran kini lurus tegak ke atas.
Karena batu putih telah bergerak ke atas, Bidadari
Bulan Emas dapat melihat raut wajah orang tua di ha-
dapannya. Dan untuk beberapa saat, sang Bidadari
tampak memperhatikan dengan seksama seolah takut
batu di ujung tambang akan segera kembali menutupi
wajah orang. Namun, kali ini Dewa Cadas Pangeran ti-
dak berusaha membuat gerakan hingga batu putih di
ujung tambang tetap mengapung di atas udara.
Mungkin karena tak sabar setelah ditunggu agak
lama dan ternyata Dewa Cadas Pangeran tidak segera
berkata lagi, Bidadari Bulan Emas angkat suara.
"Aku menunggumu untuk bicara!"
"Aku ingin tanya dahulu...!" ujar Dewa Cadas Pangeran.
Bidadari Bulan Emas pasang tampang beringas.
"Kau tadi hendak mengatakan sesuatu padaku. Sekarang kau ingin bertanya! Kau
hanya sia-siakan waktu
ku!" Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas paling-
kan kepalanya kembali ke arah jurusan lain. Dia ma-
sih menahan diri dengan tidak segera berkelebat pergi.
"Bidadari.... Kalau aku ingin bertanya dahulu, karena aku ingin tahu apakah yang
akan kukatakan nanti
masih ada manfaatnya bagimu.... Sebab jika tidak, ku
rasa percuma apa yang akan kukatakan nanti...."
"Aku membatalkan niat untuk pergi dari sini begitu mendengar ucapanmu. Apakah
itu belum cukup sebagai tanda jika apa yang hendak kau katakan ada man-
faatnya bagiku, hah"!"
"Hem.... Baiklah!" ujar Dewa Cadas Pangeran dengan bibir sunggingkan senyum.
Bidadari Bulan Emas
segera berbalik menghadap Dewa Cadas Pangeran. Pe-
rempuan cantik ini tidak bisa melihat senyum di bibir orang, karena bibir Dewa
Cadas Pangeran tertutup ku-misnya yang lebat. Dia hanya bisa melihat gerakan
kumis orang saat Dewa Cadas Pangeran berkata.
"Kau masih menginginkan peta wasiat itu"!"


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tadi hendak berkata, bukan bertanya!" bentak Bidadari Bulan Emas saat Dewa
Cadas Pangeran bukannya berkata melainkan ajukan tanya.
"Ini adalah kunci, apa yang hendak kukatakan nan-ti. Harap jawab saja...."
"Aku tak akan menjawab pertanyaanmu!"
Dewa Cadas Pangeran gerakkan kepala. Batu putih
di ujung tambang bergerak lalu berhenti tepat di hadapan wajahnya, hingga
Bidadari Bulan Emas tidak bisa
lagi melihat raut wajah orang.
"Bidadari..," kata Dewa Cadas Pangeran. "Karena kau tidak mau menjawab
pertanyaanku, maka kua-nggap saja kau masih inginkan peta wasiat itu. Dan
kalau itu yang ada dalam benakmu, kuharap kau sege-
ra musnahkan keinginan itu..."
"Itu urusanku!" sahut Bidadari Bulan Emas dengan suara melengking setengah
menjerit karena sudah tak
tahan menahan rasa jengkel. "Sekarang aku bertanya.
Ke mana perginya pemuda itu"!"
"Di sana ada dua orang pemuda. Yang mana yang
kau maksud"!" tanya Dewa Cadas Pangeran.
Ucapan Dewa Cadas Pangeran membuat dada Bida-
dari Bulan Emas makin dibuncah rasa dongkol. Kare-
na dia tahu Dewa Cadas Pangeran telah mengerti siapa
pemuda yang dimaksudkannya.
Mungkin karena tak mau berlama-lama dan ingin
segera tahu ke mana perginya murid Pendeta Sinting,
walau dengan rasa jengkel akhirnya Bidadari Bulan
Emas berkata juga.
"Aku ingin tahu ke mana perginya pemuda asing
itu!" "Aku tak tahu ke mana dia pergi. Yang pasti, dia bersama pemuda berbibir merah
dan berkebaya perempuan itu!"
"Kau tahu siapa dia"!" tanya Bidadari Bulan Emas dengan suara sedikit
direndahkan. "Yang kau maksud, dia yang mana"!"
"Setan! Siapa lagi kalau bukan pemuda berbibir merah mengenakan kain kebaya
milik perempuan itu"!"
sentak Bidadari Bulan Emas.
Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang.
"Harap kau tidak merasa jengkel dengan pertanyaan-ku. Karena kau tahu sendiri.
Di sana ada dua orang
pemuda...."
"Sudah, jangan banyak mulut! Katakan saja siapa
sebenarnya pemuda berbibir merah yang mengenakan
kebaya itu!"
"Melihat sikap dan ucapannya serta dandanan yang dikenakan, kurasa dia adalah
Hantu Pesolek!"
Sepasang mata Bidadari Bulan Emas memicing be-
berapa saat. Saat bersamaan mulutnya ajukan tanya.
"Kau tidak mengada-ada"!"
"Aku sudah menduga pertanyaanmu. Dan aku su-
dah menyangka kau ragu-ragu. Namun demikianlah
kenyataannya...."
Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah tegang.
"Aku memang pernah mendengar Guru menyebut-nye-
but nama Hantu Pesolek. Namun dari keterangan Gu-
ru, aku menduga Hantu Pesolek sudah tidak ada lagi!
Tapi sekarang mengapa Dewa Cadas Pangeran menga-
takan pemuda berkebaya itu adalah Hantu Pesolek"!
Menurut keterangan Guru, Hantu Pesolek adalah se-
orang tokoh dunia persilatan angkatan tua. Berarti
usianya sudah lanjut. Sedangkan orang yang dikata-
kan Dewa Cadas Pangeran sebagai Hantu Pesolek ada-
lah seorang pemuda... Hem... Pasti Dewa Cadas Pange-
ran coba mengelabuiku!"
Berpikir begitu, Bidadari Bulan Emas segera angkat
suara. "Dewa Cadas Pangeran! Jangan kau kira aku tak
tahu siapa tokoh yang bergelar Hantu Pesolek! Aku se-
karang jadi ingin tahu, apa sebenarnya maksudmu
mengatakan orang lain sebagai Hantu Pesolek"!"
"Hem... Kau pasti salah mengerti. Selama ini me-
mang banyak orang salah paham. Mereka menduga
Hantu Pesolek adalah seorang laki-laki tua tapi ber-
dandan menor... Bahkan banyak yang mengira dia te-
lah tiada!" Dewa Cadas Pangeran hentikan ucapannya sejenak. Lalu melanjutkan.
"Pada dasarnya, meski dia kelihatan sebagai seo-
rang pemuda, namun usianya tak lebih muda dariku!
Dan kalaupun pada sepuluh tahun terakhir ini dia ja-
rang muncul, bukan berarti dia telah tiada!"
Keterangan Dewa Cadas Pangeran membuat Bida-
dari Bulan Emas kancingkan mulut rapat-rapat. Da-
danya berdebar cemas. Bukan saja mengkhawatirkan
lenyapnya peta wasiat namun entah karena apa, mulai
muncul kecemasan tentang keselamatan Pendekar
131. Karena menurut keterangan Dewa Cadas Pange-
ran, Pendekar 131 Joko Sableng pergi bersama-sama
dengan Hantu Pesolek!
Rasa khawatir dan cemas membuat Bidadari Bulan
Emas segera balikkan tubuh. Dan tanpa buka mulut
lagi, perempuan bertubuh menggoda ini bergerak satu
kali melesat tinggalkan tempat itu! Meski dia tidak ta-hu harus ke mana dia
sekarang mencari.
Dewa Cadas Pangeran tengadahkan kepala. Tam-
bang yang berpangkal pada punggungnya bergerak lu-
rus ke atas. Batu putih di ujung tambang melenting ke atas kepalanya. Sepasang
matanya yang kini sudah tidak lagi tertutup batu putih memperhatikan sesaat ke-
lebatan sosok Bidadari Bulan Emas. Saat lain dia ber-
kelebat tinggalkan tempat itu mengambil arah berla-
wanan dengan Bidadari Bulan Emas.
DUA TIGA hari kemudian... Saat itu rembang petang te-
lah menyungkup belahan bumi. Matahari baru saja tu-
run. Satu sosok tubuh berkelebat cepat seakan ber-
lomba dengan gerakan sang mentari yang baru saja
tenggelam di kaki langit sebelah barat.
Pada satu tempat, sosok ini hentikan larinya. Dia
adalah seorang perempuan. Namun karena wajahnya
ditutup dengan cadar hitam dan hanya meninggalkan
dua lobang tepat di bagian matanya, orang tidak bisa mengenali siapa adanya
perempuan ini. Tapi dari bentuk tubuh dan kulit yang kelihatan sebagian, orang
bi-sa menduga kalau perempuan ini masih berusia muda.
Apalagi rambutnya yang hitam lebat sengaja dibiarkan
bergerai ke punggung dan sebagian ke pundak ka-nan
kirinya. Perempuan ini mengenakan pakaian warna hi-
tam panjang. "Aku harus menunggu sesaat sampai hari benar-
benar gelap. Ini akan memudahkan gerakanku dan
membantuku untuk lebih tidak dikenali orang...," gumam si perempuan bercadar
hitam seraya arahkan
pandang matanya ke satu jurusan. Nun agak jauh di
sana, ke mana mata si perempuan tengah meman-
dang, tampak satu julangan sebuah bukit.
"Menurut yang kudengar, undangan dari daun itu
sudah menebar ke mana-mana... Karena masih ada
hubungannya dengan peta wasiat, pasti pemuda asing
itu akan muncul di Bukit Toyongga itu! Tapi bagaima-
na kalau seandainya nanti dia tidak muncul"!"
Dari ucapannya, jelas jika si perempuan bercadar
hitam tengah dilanda perasaan bimbang. Dia alihkan
pandangannya ke arah lain. Lalu bergumam lagi.
"Aku sendiri merasa aneh dan heran. Mengapa aku
begitu mengkhawatirkan keselamatannya"! Bukankah
aku baru saja bertemu sekali"! Lagi pula dia tampak
tertarik dengan gadis itu! Sebaliknya, gadis itu juga cemburu padaku! Hem... Apa
sebenarnya yang terjadi
dengan diriku" Gadis itu pasti akan muncul juga di sa-
na! Lalu apa yang harus kulakukan jika mereka benar-
benar muncul"! Kepergianku ke bukit itu bukannya
tertarik dan berniat dengan peta wasiat. Tapi...."
Si perempuan bercadar hitam putuskan gumaman.
Kepalanya disentakkan ke satu arah dengan mata di-
beliakkan. "Ada seseorang..." Perempuan bercadar hitam memperhatikan sesaat.
Kejap lain dia berkelebat
dan menyelinap sembunyi di balik satu gundukan batu
agak besar yang banyak bertebaran di sekitar tempat
itu. Baru saja sosok perempuan bercadar menyelinap,
tidak jauh dari tempat mana si perempuan bercadar
hitam tadi tegak, mendadak telah berdiri satu sosok
tubuh. Dia adalah seorang perempuan setengah baya
berparas cantik bertubuh sintal berkulit putih. Ram-
butnya disanggul sedikit ke atas. Dia mengenakan pa-
kaian warna putih tipis hingga menampakkan bayang
lekukan tubuhnya. Perempuan ini memakai mahkota
di kepalanya yang bergambar bulan sabit.
"Mataku jelas baru saja melihat seseorang tegak di tempat ini!" Si perempuan
berbaju putih tipis dan bukan lain adalah Bidadari Bulan Emas putar kepala de-
ngan mata menyiasati setiap jengkal tanah dan gun-
dukan batu di sekitarnya. Lalu arahkan pandang ma-
tanya pada jajaran pohon di depan sana. Tapi sejauh
ini dia belum dapat memastikan di mana beradanya
orang meski dia yakin orang itu masih ada di sekitar
tempat itu. "Tiga hari aku mencari. Tapi belum juga aku menemukan titik terang. Kini tersiar
kabar jika malam ini akan ada pertemuan di Bukit Toyongga... Apakah Pendekar 131
akan muncul di sana"! Aku tidak begitu
percaya dengan kabar itu. Tapi tidak ada salahnya jika aku melihat ke sana!"
Bidadari Bulan Emas membatin
seraya putar kembali kepalanya.
"Dari tempatnya, jelas orang yang tadi tegak di sini hendak menuju ke Bukit
Toyongga. Dan dari gerakannya, aku yakin dia membekal ilmu. Tapi mengapa dia
lenyapkan diri sembunyi"! Hem... Kalau dia hendak ke
Bukit Toyongga, pasti dia tahu ada apa sebenarnya di
sana selain pertemuan!"
Mungkin karena ingin keterangan dari orang dan
setelah ditunggu agak lama tidak juga ada tanda-tanda akan munculnya orang yang
sembunyi, Bidadari Bulan
Emas habis kesabaran. Dia segera angkat suara.
"Siapa pun adanya kau, aku tahu kau berada di sekitar tempat ini! Mengapa kau
takut tunjukkan diri"!"
Di balik gundukan batu, perempuan bercadar hitam
kembali kelihatan ragu-ragu. Hingga untuk beberapa
lama dia hanya diam tidak buka mulut atau membuat
gerakan. "Siapa pun adanya kau, harap keluar!" Terdengar lagi teriakan Bidadari Bulan
Emas. Malah mungkin karena tadi tidak ada sambutan, suara Bidadari Bulan
Emas terdengar lebih keras dan bernada ketus.
Di balik gundukan batu, si perempuan bercadar hi-
tam mendongak. "Kalau aku tidak segera selesaikan urusan di tempat ini, aku bisa
terlambat sampai di
Bukit Toyongga. Aku memang belum kenal suaranya,
namun kalau dia hendak berbuat yang tidak-tidak,
aku tahu bagaimana menyelesaikannya!"
Setelah berpikir begitu, perempuan bercadar hitam
berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak berdiri sepuluh langkah di hadapan
Bidadari Bulan Emas.
Untuk beberapa saat Bidadari Bulan Emas tampak
terkesiap. Sepasang matanya segera menatap sekujur
tubuh orang di hadapannya. Namun karena tak bisa
mengenali siapa adanya orang, seraya memandang ke
arah dua bola mata yang terlihat dari lobang di cadar orang, Bidadari Bulan Emas
berucap. "Dandananmu memberi isyarat kalau kau tak ingin
dikenali! Tapi kuharap kau tidak menaruh prasangka
padaku jika aku ingin tahu siapa kau sebenarnya!"
"Aku memang baru kali ini bertemu. Tapi dari mahkota yang dikenakan, aku sedikit
banyak bisa mene-
bak siapa adanya perempuan ini...." Si perempuan bercadar hitam membatin. Lalu
berkata. "Harap kau tidak kecewa. Kalau aku menutup wa-
jahku dengan cadar, tentu aku tak ingin dikenali siapa saja, termasuk dirimu!"
"Hem...." Bidadari Bulan Emas menggumam. Matanya masih tidak beranjak dari cadar
hitam orang, se-
olah ingin tembusi dan ingin tahu siapa sebenarnya
orang di hadapannya.
"Dari keberadaanmu, aku menduga kau hendak ke
Bukit Toyongga. Benar"!" tanya Bidadari Bulan Emas.
"Dari arah yang kau ambil, aku menduga kau te-
ngah menuju Bukit Toyongga juga. Betul"!" Si perempuan bercadar hitam balik
bertanya membuat Bidadari
Bulan Emas sedikit merasa jengkel apalagi selama Ini
dia tengah dilanda kedongkolan luar biasa sebab tidak menemukan Pendekar 131
Joko Sableng meski telah
tiga hari mencarinya.
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Bidadari
Bulan Emas tumpahkan rasa geramnya pada orang di
hadapannya. Namun setelah berpikir bahwa dia me-
merlukan keterangan, akhirnya Bidadari Bulan Emas
coba menindih perasaan dan berkata.
"Aku memang hendak ke Bukit Toyongga. Cuma sa-
ja..." Bidadari Bulan Emas sengaja tidak lanjutkan ucapan. Dia hendak memancing.
Tapi perempuan bercadar hitam tampaknya tahu
gelagat. Dia bukannya penasaran dengan penggalan
kata Bidadari Bulan Emas, sebaliknya berkata ajukan
tanya. "Kalau tak salah, bukankah saat ini aku tengah ber-hadapan dengan Bidadari Bulan
Emas"!"
Bidadari Bulan Emas sempat terkejut mendapati
orang telah tahu siapa dirinya. Namun dia jadi pena-
saran karena perempuan bercadar hitam seolah tidak
merasa ingin tahu lanjutan ucapannya yang dipenggal.
Hingga dengan suara lantang dia berucap.
"Kau telah tahu siapa aku. Aku tidak akan memak-
samu untuk mengatakan siapa dirimu. Tapi kuharap
kau mau menjelaskan padaku...."
"Menjelaskan apa"!"
"Malam ini, di Bukit Toyongga akan ada satu per-
temuan. Apa benar"!"
"Dari mana kau tahu"!" tanya perempuan bercadar hitam.
"Aku bertemu beberapa orang. Mereka mengatakan-
nya padaku. Namun aku tidak begitu saja percaya de-
ngan ucapan orang! Kalaupun aku sekarang hendak


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke sana, karena ada maksud lain!"
Perempuan bercadar hitam terdiam beberapa lama.
Lalu berkata. "Boleh aku tahu apa maksud lain itu"!"
"Aku mencari seseorang!" ujar Bidadari Bulan Emas berterus terang. Dia tampak
tak sabar menghadapi perempuan bercadar hitam yang seolah ingin menyelidik.
"Namun jangan harap aku mengatakan siapa orang
yang kucari!' "Di bukit itu memang akan ada satu pertemuan!"
"Dari mana kau tahu"!" Kini balik Bidadari Bulan Emas yang ajukan tanya ingin
tahu sekaligus menye-
lidik. "Saat ini telah tersebar beberapa undangan..." Habis berkata begitu, perempuan
bercadar hitam gerak-
kan tangan kanan menyelinap ke balik pakaiannya.
Ketika tangannya ditarik keluar, Bidadari Bulan Emas
melihat satu gulungan daun.
Perempuan bercadar hitam ulurkan tangan kanan
yang memegang gulungan daun pada Bidadari Bulan
Emas. Saat bersamaan, tanpa banyak mulut bertanya,
Bidadari Bulan Emas cepat berkelebat. Tangan kanan-
nya bergerak. Dan saat dia telah tegak di samping pe-
rempuan bercadar hitam, gulungan daun yang tadi be-
rada di tangan perempuan bercadar hitam telah berada
di tangannya. Seakan tak sabar, Bidadari Bulan Emas segera
membuka gulungan daun. Mulutnya berkemik memba-
ca tulisan yang tertera di atas daun.
'Malam ganda sepuluh. Bukit Toyongga.
Peta wasiat akan disatukan!"
"Nada tulisannya memang tidak langsung berupa undangan. Namun isyaratnya jelas
ingin agar orang
datang ke bukit itu!" kata Bidadari Bulan Emas dengan tangan sedikit bergetar.
"Sayang, perempuan bercadar hitam itu tidak mau mengatakan siapa dirinya.
Jika saja dia mau berterus terang, mungkin aku bisa
menduga apakah Pendekar 131 akan muncul di sana,
dan undangan ini bukan satu jebakan! Karena dari
siapa yang diberi undangan, sedikit banyak aku bisa
mengira-ngira apakah semua ini bukan ulah iseng se-
seorang!" Habis berkata dalam hati dan membaca sekali lagi
tulisan di gulungan daun, Bidadari Bulan Emas arah-
kan pandang matanya ke bola mata perempuan berca-
dar hitam. Tangan kanannya menggulung kembali
daun lalu diulurkan pada perempuan bercadar.
"Terima kasih atas pemberitahuan ini! Sekarang
aku harus lanjutkan perjalanan. Hanya saja, kalau
kau masih mau menyebutkan diri, aku akan lebih se-
nang...." Si perempuan bercadar geleng kepala. "Aku juga
tengah mencari seseorang. Dan aku tak ingin dikenali
selama aku belum bertemu dengannya!"
"Hem.... Dari bentuk tubuh dan kulitmu, aku men-
duga kau seorang gadis muda.... Pancaran kedua bola
matamu menandakan kau gadis berparas jelita. Aku
memang tidak pandai menduga dengan tepat, tapi jika
seorang gadis tidak ingin dikenali dan tengah mencari seseorang, yang dicari
pasti seorang pemuda...! Lebih dari itu antara keduanya pasti telah terjadi
sesuatu! Dan urusannya mungkin tak jauh dari soal asmara!
Bagaimana dugaanku..."!" tanya Bidadari Bulan Emas dengan bibir sunggingkan
senyum. Kalau saja cadar hitam penutup wajah perempuan
di hadapan Bidadari Bulan Emas terbuka, tentu Bida-
dari Bulan Emas akan melihat perubahan pada wajah
orang. Dan dengan cepat sang Bidadari akan menduga
jika apa yang dikatakannya tidak jauh meleset.
"Bidadari.... Tidak semua dugaanmu tepat!" sambut perempuan bercadar hitam
dengan suara agak bergetar. Bidadari Bulan Emas tersenyum. "Suaramu meng-
gambarkan apa yang kau ucapkan tidak seirama de-
ngan apa yang ada dalam benakmu! Namun itu uru-
sanmu. Hanya saja kalau kau mau mengatakan siapa
pemuda yang tengah kau cari, tentu aku akan ber-
usaha membantumu. Bukan karena aku ingin ikut
campur, namun sebagai rasa terima kasihku atas pem-
beritahuanmu ini!" kata Bidadari Bulan Emas seraya anggukkan kepala seraya lebih
dekatkan tangan kanannya yang mengulur memberikan gulungan daun
pada perempuan bercadar hitam.
Perempuan bercadar hitam sambut kembali gulun-
gan daun dari tangan kanan Bidadari Bulan Emas. La-
lu memasukkannya lagi ke balik pakaiannya seraya
berujar. "Aku sanggup mencarinya sendiri!"
"Hem... Kau menduga orang yang kau cari akan
muncul di Bukit Toyongga"!"
"Itu hanya kemungkinan!"
"Hem... Kalau urusannya di Bukit Toyongga adalah urusan peta wasiat, dan
perempuan ini menduga jika
pemuda yang dicari akan muncul di sana, jangan-ja-
ngan yang dicari adalah..." Bidadari Bulan Emas sudah akan mengucapkan satu
nama. Namun entah ka-
rena apa, mendadak murid tunggal Hantu Bulan Emas
Ini batalkan niat untuk buka mulut. Dan diam-diam
dia tarutkan kata hatinya.
"Apakah benar yang tengah dicari perempuan ini
adalah Pendekar 131 Joko Sableng"! Jika urusannya
berkaitan dengan peta wasiat, hanya ada satu pemuda
yang pantas dan paling mendekati! Dia adalah pemuda
asing itu! Ada hubungan apa antara perempuan ini de-
ngan Pendekar 131"! Adakah keduanya adalah sepa-
sang kekasih" Ataukah perempuan ini hanya meng-
inginkan peta wasiat itu"!"
Berpikir sampai di situ, hati Bidadari Bulan Emas
berdebar tidak enak. Sekali lagi dia pandangi cadar hitam penutup wajah
perempuan di hadapannya. Dia
sudah akan buka mulut, namun si perempuan berca-
dar hitam mendahului.
"Apakah kau juga menduga orang yang tengah kau
cari akan hadir di bukit itu"!"
"Aku tidak boleh berterus terang padanya!" gumam Bidadari Bulan Emas dalam hati.
Lalu seraya alihkan
pandang matanya dia berucap.
"Melihat dari urusannya, mungkin saja aku tidak
akan menemukan orang yang kucari di bukit itu. Ter-
paksa aku harus batalkan niat ke sana! Aku akan
mencarinya ke tempat lain!"
Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas putar
diri. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Dia melesat ke arah dari
mana dia tadi datang. Dan itu sudah memberi petunjuk pada perempuan bercadar hi-
tam jika Bidadari Bulan Emas memang urungkan niat-
nya menuju Bukit Toyongga. Karena arah yang diambil
berlawanan dengan jalan menuju bukit itu.
Perempuan bercadar hitam memperhatikan bebe-
rapa lama. "Ada satu keanehan... Dia seolah-olah tidak tertarik dengan undangan
itu. Padahal di situ diterang-kan akan disatukannya peta wasiat! Apakah dia me-
mang tidak tertarik atau ini hanya siasat saja"! Ah...
Mengapa aku memikirkan dia"! Hari sudah gelap, aku
harus segera lanjutkan perjalanan!"
Si perempuan bercadar hitam pandangi sekali lagi
sosok Bidadari Bulan Emas yang sudah tidak keliha-
tan lagi. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat tinggal-
kan tempat itu.
Perempuan bercadar tidak tahu, begitu berkelebat
balik, Bidadari Bulan Emas segera menyelinap saat di-
rasa perempuan bercadar tidak lagi bisa melihat so-
soknya karena suasana telah dibungkus kegelapan
malam. Dan begitu si perempuan bercadar hitam ber-
kelebat, Bidadari Bulan Emas secara diam-diam me-
ngikuti dari arah belakang
TIGA KITA tinggalkan dahulu Bidadari Bulan Emas yang
secara diam-diam menguntit perempuan bercadar hi-
tam. Kita kembali sejenak pada satu kawasan yang ju-
ga menuju ke Bukit Toyongga.
Seperti dituturkan, Pendekar 131 Joko Sableng me-
nuju Bukit Toyongga bersama Dewi Bunga Asmara dan
kakek yang selalu mengisap pipa. Mereka sempat ber-
temu dengan Mei Hua dan Mei Hua tampak terpukul
melihat murid Pendeta Sinting bermesraan dengan
Dewi Bunga Asmara. Pada akhirnya, Mei Hua tinggal-
kan tempat itu dengan membawa rasa cemburu yang
membara dan niatnya yang semula hendak membantu
Pendekar 131 jadi berubah. Malah ketika sempat ber-
temu dengan pemuda berkebaya, Mei Hua tidak segan-
segan mengatakan di mana keberadaan murid Pendeta
Sinting bersama Dewi Bunga Asmara.
Di lain pihak, begitu mendengar keterangan dari
Mei Hua, pemuda berkebaya segera berkelebat pergi.
Pada satu tempat, dia hentikan larinya dengan mata
memandang jauh ke depan.
"Kalau saja tidak beredar undangan itu, malam ini aku akan mendatangi Perguruan
Shaolin dan meminta
pada Guru Besar Liang San separo dari peta wasiat!
Hem... Sayangnya undangan telah tersebar. Aku tidak
bisa menduga siapa yang membuat undangan itu. Tapi
kalau dilihat dari kepentingannya, jelas si pembuat
undangan itu Guru Besar Liang San. Aku ingin tahu,
bagaimana caranya dia menyatukan peta wasiat seper-
ti yang tertera dalam undangan itu..." Si pemuda ber-
kebaya hentikan gumamannya beberapa saat sebelum
akhirnya bergumam lagi.
"Pemuda asing bergelar pendekar 131 Joko Sableng sudah kuduga akan muncul di
bukit itu. Aku tidak
merasa heran jika dia bersama Dewi Bunga Asmara.
Yang aneh, bagaimana dia bisa berteman dengan iblis
tua itu" Mungkinkah...."
Si pemuda berkebaya tidak sempat lanjutkan gu-
mamannya. Karena mendadak saja dia sentakkan ke-
pala ke samping kanan. Saat bersamaan sosoknya di-
gerakkan berputar mengikuti arah gerakan kepalanya.
"Aku mencium aroma asap itu! Berarti dia tidak berada jauh dari tempat ini! Dan
berarti keterangan gadis itu benar!"
Baru saja pemuda berkebaya berkata begitu, dari
depan sana dia melihat kepulan asap putih yang mem-
bentuk lingkaran bergulung-gulung dan membubung
tinggi ke angkasa.
Beberapa saat si pemuda berkebaya memperhati-
kan gerakan asap. Lalu matanya dialihkan pada pang-
kal munculnya asap yang ternyata bergerak perlahan-
lahan ke arahnya!
"Sebelum kudapatkan semua peta wasiat itu, sebe-
narnya aku tidak ingin bertemu dengannya! Dan aku
tadi sebenarnya hanya ingin membuktikan kebenaran
ucapan gadis putri Panglima Muda Lie. Namun kini
tampaknya sudah terlambat untuk menghindar...."
"Apa benar, Hantu Pesolek"! Kuharap satu hal. Pertemuan kita kali ini semata-
mata hanya sebuah kebe-
tulan..." Terdengar suara dari kepulan asap. Dan hampir bersamaan, begitu ucapan
orang selesai, menda-
dak gulungan asap laksana disedot kekuatan dahsyat
dan meluncur deras ke bawah dengan bentuk me-
ngecil! Lalu lenyap di dua lobang pipa.
"Dewa Asap Kayangan!" seru si pemuda berkebaya yang tadi dipanggil Hantu
Pesolek. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian celana
pendek putih kusam. Pakaian atasnya berupa rompi
tanpa lengan. Bentuk mukanya lonjong. Sepasang ma-
tanya jereng besar. Rambutnya putih dan jarang serta
jabrik. Pada mulutnya yang mungil, terlihat dua pipa di mana tadi gulungan asap
masuk amblas dan lenyap.
Orang tua ini juga mengenakan selempang berupa ikat
pinggang besar di pundaknya. Ikat pinggang itu dihias beberapa pipa.
"Hantu Pesolek.... Syukur kalau kau masih menge-
naliku!" Hantu Pesolek tersenyum dingin seraya alihkan
pandang matanya. Lalu berkata.
"Seumur hidupku kelak, aku tidak akan melupa-
kanmu, Dewa Asap Kayangan! Meski kau menyamar
sebagai setan sekalipun!"
"Hem.... Begitu"! Perlu kau tahu satu hal. Sebenarnya aku telah melupakan
peristiwa tidak enak yang
terjadi antara kita beberapa puluh tahun silam! Harapanku, kalau kau memang
tidak bisa melupakanku, itu
bukan karena peristiwa yang telah terjadi!"
Hantu Pesolek tidak menyahut. Dewa Asap Ka-ya-
ngan hentikan langkah dua belas langkah di hadapan
Hantu Pesolek. Sepasang matanya yang jereng besar
memperhatikan sesaat. Lalu bertanya.
"Boleh aku tahu, kau hendak ke mana"!"
Hantu Pesolek bukannya menjawab pertanyaan
orang, sebaliknya ganti bertanya.
"Kau hendak ke Bukit Toyongga, bukan"!"
"Sebenarnya aku tidak punya maksud pergi ke bu-
kit itu. Tapi seorang sahabat lama tadi pagi memberi-
kan satu undangan padaku. Sebagai sahabat, apalagi
sudah beberapa tahun tidak bertemu, tidak enak kalau
aku tidak menemuinya..."
"Jangan kau kira aku tidak tahu apa maksudmu
sebenarnya! Kalau tidak ada kaitannya dengan peta
wasiat itu, tidak mungkin kau akan muncul di bukit
itu!" kata Hantu Pesolek masih tanpa memandang.
"Hem... Begitu"! Bagaimana kau bisa menduga de-
mikian"!"
"Bukankah kau bersama pemuda asing itu"!"
Dewa Asap Kayangan tertawa. "Aku memang ber-
temu dan ada bersama dia. Tapi bukan berarti keber-
samaanku ini ada hubungannya dengan peta wasiat!
Aku tahu, pemuda asing itu tidak membawa peta wa-
siat! Yang dia bawa tongkat wasiat!"
"Hem... Aku tak ingin terus berdebat dengan ma-
nusia satu ini! Lagi pula aku tidak akan membuat per-


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitungan dengannya sebelum kudapatkan semua peta
wasiat itu."
Berpikir begitu, akhirnya Hantu Pesolek putar diri.
Lalu berkelebat seraya berkata.
"Dewa Asap Kayangan! Aku senang melihat kau
muncul lagi setelah sekian lama tidak kelihatan! Nik-
matilah malam ini, karena malam ini adalah malam te-
rakhir yang bisa kau lewati! Begitu muncul matahari
esok pagi, kita akan lanjutkan urusan lama yang ter-
tunda sekian tahun!"
"Tunggu! Kau tak ingin bertemu dulu dengan te-
manku pemuda asing itu"!" tanya Dewa Asap Kayang-an. "Aku tak punya urusan
dengan dia! Kita yang punya urusan! Dan aku percaya, kau bukan laki-laki
pengecut yang takut menyelesaikan urusan lama!" teriak Hantu Pesolek. Suara
pemuda berkebaya berbibir merah ini jelas masih terdengar meski sosoknya tidak
ke- lihatan lagi. Baru saja Hantu Pesolek berlalu, dua sosok baya-
ngan berkelebat lalu tegak tidak jauh dari tempat De-
wa Asap Kayangan. Untuk beberapa saat kedua orang
yang baru muncul saling lontar pandang dan jelas
pandang mata mereka membayangkan sedikit kehe-
ranan. Di sebelah kanan adalah seorang pemuda ber-
wajah tampan mengenakan pakaian warna putih.
Rambutnya panjang sedikit acak-acakan. Sementara di
sebelah kiri adalah seorang gadis muda berparas can-
tik mengenakan pakaian warna kuning. Pada bagian
dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda hingga
cuatan dadanya yang membusung tampak menggoda.
Pinggulnya besar dilapis pakaian bawah yang sengaja
diberi belahan pada bagian samping kanan kirinya, se-
olah ingin menampakkan kedua pahanya yang putih
mulus dan padat. Sementara di pinggangnya, terlihat
ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning.
"Hem... Lagi-lagi dia melewatiku tanpa diketahui!
Jangan-jangan orang tua ini sebenarnya sudah tahu
mana jalan menuju Bukit Toyongga!" Membatin pemu-da berambut putih gondrong.
"Tapi baru saja kudengar dia berbicara dengan seseorang! Anehnya... Ternyata
dia sendirian. Apakah telingaku yang menipu"!"
Jika si pemuda membatin begitu, gadis berbaju ku-
ning diam-diam juga berkata dalam hati. "Kukira orang tua itu berpura-pura tidak
tahu jalan menuju Bukit
Toyongga. Karena meski tidak kuketahui bagaimana
caranya, dia sudah mendahuluiku dan aranya tidak
salah! Cuma saja, telingaku baru saja mendengar dia
berkata. Namun dengan siapa"! Di sini tidak kulihat
ada orang lain...."
Mungkin khawatir telinganya menipu, si pemuda
berambut agak panjang sedikit acak-acakan dan bu-
kan lain adalah murid Pendeta Sinting Pendekar Pe-
dang Tumpul 131 Joko Sableng, berbisik pada gadis
berbaju kuning di sebelahnya yang bukan lain adalah
Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara.
"Dewi.... Kau baru saja dengar orang berbicara"!"
Yang ditanya anggukkan kepala. "Hanya saja, dia tadi bicara dengan siapa..." Dan
satu hal lagi, rupanya dia berdusta padamu! Dari arah yang diambil, aku yakin
dia sudah tahu jalan menuju Bukit Toyongga! Jadi dia
berbohong kalau bilang tidak tahu jalan menuju bukit
itu!" "Hem.... Apa maksud sebenarnya orang tua itu de-
ngan berkata dusta dan pura-pura tidak tahu"!" gumam Joko lalu menatap berlama-
lama pada Dewa Asap Kayangan. Dewa Asap Kayangan berpaling dan balas meman-
dang silih berganti pada Pendekar 131 dan Dewi Bun-
ga Asmara. Namun sejauh ini dia belum juga buka mu-
lut. Sebaliknya isap kedua pipa yang berada di mu-
lutnya lalu disemburkan ke udara. Saat bersamaan,
dari beberapa pipa yang menghiasi ikat pinggang be-
sarnya menyembur asap putih.
Entah karena tidak sabar, Joko akhirnya angkat
suara. "Kek! Jelas telingaku baru mendengar kau bicara
dengan seseorang! Kuharap kau tidak sembunyikan
sesuatu dariku lagi! Katakanlah, dengan siapa kau bi-
cara"!"
Dewa Asap Kayangan anggukkan kepala seraya ter-
senyum. Namun baik murid Pendeta Sinting maupun
Dewi Bunga Asmara hanya melihat samar-samar sosok
si kakek, karena asap putih dari semua pipanya kini
menyungkup sosoknya.
"Anak muda... Aku tidak sembunyikan apa-apa da-
rimu...." "Jika begitu, katakan padaku, dengan siapa kau bicara"!" sahut Joko sebelum Dewa
Asap Kayangan selesaikan ucapannya.
"Aku baru saja bertemu dengan seorang teman la-
ma. Aku tak ingat lagi, sudah berapa tahun aku tak
jumpa dengannya...."
"Siapa dia"!" kembali Joko ajukan tanya.
"Hem... Nada pertanyaanmu tampaknya mengan-
dung rasa curiga!"
"Kek! Terus terang saja. Aku sekarang memang me-
naruh curiga padamu!"
"Hem... Begitu"! Hanya karena aku bicara dengan
seorang teman lama, lantas kau menaruh curiga pada-
ku"! Aneh... Apa yang patut dicurigai dari diriku"!"
Habis berkata begitu, Dewa Asap Kayangan meng-
hela napas. Asap putih yang menutupi sekujur tubuh-
nya laksana disedot. Lalu amblas masuk ke lobang pi-
pa yang ada di ikat pinggang besarnya. Kini baik Joko dan Dewi Bunga Asmara
dapat melihat lagi sosok
orang tua di hadapan mereka.
"Aku curiga kau punya niat sendiri dengan bersi-
keras ikut denganku!"
"Hem... Begitu"!"
"Pada mulanya kau pura-pura tidak tahu ke mana
arah menuju Bukit Toyongga! Tapi nyatanya kau selalu
mendahuluiku, dan jalan yang kau tempuh adalah be-
nar! Lalu kau bicara dengan seseorang yang kau kata-
kan sebagai teman lama. Tapi begitu kami datang, te-
manmu sengaja lenyapkan diri!" Murid Pendeta Sinting hentikan ucapannya sejenak.
Seraya melirik pada Dewi
Bunga Asmara, dia lanjutkan ucapannya.
"Kek! Kita telah bersahabat. Sebelum kita sampai ke Bukit Toyongga, jika kau
punya maksud tertentu, ku-
harap kau katakan sekarang saja!"
Dewa Asap Kayangan geleng kepala. "Aku tak pu-
nya maksud apa-apa... Dan harap kalian tidak salah
paham. Kalau aku mendahului kalian dan jalan yang
kuambil adalah benar, mungkin ini satu kebetulan be-
laka! Lagi pula, coba kalian lihat ke depan sana. Di sa-na sudah terlihat satu
julangan bukit. Aku menduga
itulah Bukit Toyongga. Dengan berpegang pada dugaan
itulah sebenarnya aku melangkah!'
"Tapi kau melewati kami tanpa kami ketahui! Itu sa-tu tanda jika kau tahu benar
kawasan ini!" Yang angkat suara kali ini adalah Dewi Bunga Asmara.
Mendengar ucapan si gadis, Dewa Asap Kayangan
tidak menyahut, membuat Pendekar 131 jadi penasa-
ran. Hingga dia segera buka mulut.
"Kek! Mengapa kau diam"!'
"Jangan menyangka yang bukan-bukan kalau aku
diam tidak menyahut. Aku merasa malu untuk menga-
takannya!"
"Kau jangan mencari dalih yang tak masuk akal!
Mengapa kau malu mengatakannya"!" ujar Joko.
"Baiklah jika kau yang meminta. Sebenarnya aku
lewat tidak jauh dari kalian..."
"Tidak mungkin!" Dewi Bunga Asmara sudah memotong. "Aku pasti akan melihatmu!"
Dewa Asap Kayangan tertawa dahulu sebelum a-
khirnya berkata.
"Orang yang sedang dilanda asmara, kadang-ka-
dang tidak bisa membedakan mana yang nyata dan
mana yang mimpi! Mata seolah buta dan telinga sea-
kan tuli! Dan itulah yang terjadi pada kalian berdua
hingga kalian tidak melihatku saat lewat! Pada mula-
nya, aku memang ingin buka mulut menyapa agar ka-
lian tahu kalau aku mendahului jalan. Namun karena
aku takut dibilang usil, terpaksa aku lewat tanpa bi-
cara! Bahkan aku coba menahan diri untuk tidak me-
lihat ke arah kalian! Aku khawatir peristiwa di sana tadi akan terulang lagi!"
Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara sama ber-
paling dan saling pandang dengan paras berubah. Se-
perti diketahui, Joko dan Dewi Bunga Asmara pernah
kepergok tengah bermesraan oleh Dewa Asap Kayang-
an tanpa disadari oleh Joko maupun Dewi Bunga As-
mara. "Kek! Kau belum jawab pertanyaanku tadi!" kata Joko pada akhirnya setelah agak
lama terdiam. "Siapa yang kau katakan sebagai teman lama dan bicara denganmu
tadi"!"
"Hem... Kalau tidak salah, temanku itu juga telah mengenalmu!"
Kening Joko berkerut. Dadanya berdebar tidak e-
nak. "Apakah Tiyang Pengembara Agung atau Dewa
Cadas Pangeran"! Atau mungkinkah Bu Beng La Ma"!
Sebagai orang tua, jika dia bilang teman lama, pasti
temannya itu juga sudah berusia lanjut... Dan dari
yang berusia lanjut, hanya mereka itu tadi yang sem-
pat kukenal!"
Jika Joko menduga-duga, diam-diam Dewi Bunga
Asmara juga membatin. "Siapa gerangan yang dimaksud orang tua ini"! Mungkinkah
seorang gadis lagi"!"
Mungkin tidak bisa menduga dengan pasti, akhir-
nya Joko berkata lagi.
"Kek! Harap katakan saja siapa dia!"
"Dia seorang pemuda berwajah sangat tampan...
Hanya saja, sayang!"
Dada Joko berdegup keras. Di lain pihak, Dewi Bu-
nga Asmara sunggingkan senyum dan menarik napas
lega. * * * EMPAT UCAPANKU belum selesai. Tapi kulihat mukamu be-
rubah. Jadi benar jika temanku itu mengatakan telah
mengenalmu! Perubahan wajahmu menunjukkan ka-
lau kau sudah bisa menebak siapa adanya pemuda
temanku itu..." Dewa Asap Kayangan berujar sembari tengadahkan kepalanya
sedikit. "Dia mengenakan kain kebaya milik perempuan"!"
"Tidak salah!"
"Bibirnya merah dan pipi kanan kirinya diberi pewarna merah muda"!"
"Tidak keliru!"
"Tangan kanannya memegang sebuah kipas"!"
"Betul sekaliiiiii!"
Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata mendelik
angker. Sosoknya sedikit bergetar. "Pemuda berkebaya itulah yang mengambil peta
wasiat dari tanganku tanpa kusadari! Ternyata dia temannya kakek ini! Jangan-
jangan mereka sudah mengatur satu rencana...."
Berpikir begitu, Joko segera angkat suara. "Kek! Katakan terus terang. Kau dan
temanmu itu mengatur, siasat apa padaku"!"
"Ah.... Kau jangan membuat dadaku tidak enak!
Aku tidak mengatur apa-apa dengannya! Justru aku
sekarang jadi heran. Mengapa kau sampai menduga
sejauh itu"!"
Joko melirik pada Dewi Bunga Asmara. "Apakah
aku harus berkata terus terang" Tapi bagaimana kalau
Dewi Bunga Asmara tahu" Padahal aku tadi telah ber-
kata padanya jika kepergianku ke bukit itu hanya in-
gin melihat. Lagi pula bagaimana kalau orang tua ini
memang tidak tahu urusannya"!"
Berpikir begitu, akhirnya Joko batalkan niat untuk
berkata terus terang. Sebaliknya diajukan tanya.
"Kek! Kau tahu. Ke mana pemuda berkebaya itu
akan pergi"!"
"Kalau tidak salah, dia juga sebut-sebut Bukit Toyongga!"
"Hem.... Bagus! Berarti aku tidak sia-sia datang ke bukit itu!" kata Joko dalam
hati. "Anak muda! Kau belum menjelaskan padaku men-
gapa kau sampai menduga jauh kalau aku mengatur
siasat dengan temanku itu"! Ada apa di antara ka-
lian"!"
"Aku tidak bisa menjelaskan di sini! Hanya saja, kuminta kau berterus terang
jika kau memang punya se-
suatu yang kalian rencanakan padaku!"
"Pertemuanku dengannya hanya satu kebetulan sa-
ja...." "Kau adalah temannya! Sekarang katakan padaku.
Siapa pemuda berkebaya itu sebenarnya"!"
"Kurasa percuma aku menjelaskan padamu siapa
dia sebenarnya! Sebagai orang baru di negeri ini, penjelasan apa pun tidak akan
membuatmu mengerti ba-
nyak!" "Aku orang negeri ini!" Yang menyahut Dewi Bunga Asmara. "Aku jadi ingin tahu
siapa pemuda berkebaya itu adanya!"
"Meski aku orang baru, tapi aku perlu tahu siapa dia sebenarnya! Terus terang,
ada sesuatu yang harus
kuselesaikan dengannya!" Joko timpali ucapan Dewi Bunga Asmara.
Dewa Asap Kayangan menatap silih berganti pada
Joko dan Dewi Bunga Asmara. "Baiklah kalau itu ke-
hendak kalian. Dia adalah seorang tokoh rimba persi-
latan yang dulu dikenal orang dengan Hantu Pesolek."
"Tunggu!" kata Joko. "Kau mengatakan dia adalah seorang tokoh rimba persilatan
yang dulu dikenal
orang dengan Hantu Pesolek. Yang kau maksud dulu
itu kapan"!'
Di lain pihak, mendengar keterangan Dewa Asap
Kayangan, paras wajah Dewi Bunga Asmara berubah
seketika. "Aku pernah dengar nama tokoh itu dari mulut guruku! Tapi mungkinkah
dia orangnya"! Tapi me-
ngapa mereka sebut-sebut sebagai seorang pemuda"!"
Dewa Asap Kayangan alihkan pandang matanya ke


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurusan lain. "Dia sudah dikenal orang semasa aku masih muda!"
Joko dan Dewi Bunga Asmara saling lempar pan-
dang. Saat lain Joko arahkan pandangannya pada De-
wa Asap Kayangan dan berkata.
"Kek! Kalau dia sudah ada pada masa mudamu, ba-
gaimana mungkin sekarang masih seperti seorang pe-
muda"!"
"Soal itu, nanti bisa kau tanyakan langsung jika kau bertemu dengannya! Yang
jelas dia memang sudah
ada dan dikenal orang semasa aku masih muda! Dan
sejak dulu, dia juga begitu adanya! Tidak ada peruba-
han sama sekali hingga sekarang!"
Dewa Asap Kayangan berpaling pada murid Pendeta
Sinting. Lalu berkata.
"Anak muda! Aku telah menjelaskan apa yang kau
minta. Kuharap sekarang kau mau menjelaskan pada-
ku. Ada apa sebenarnya antara kau dengan Hantu Pe-
solek." "Dia tidak mengatakannya padamu"!" Joko balik bertanya.
"Kalau dia memberi tahu, tak mungkin aku ber-
tanya padamu!"
Joko terdiam beberapa lama. Lalu berkata. "Kek!
Kau masih ingat ucapanmu"!"
"Ucapanku yang mana"!"
"Kau tidak akan bertanya ke mana aku akan pergi
dan apa maksud tujuanku!"
"Hem... Begitu"! Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi..."
Joko berpaling pada Dewi Bunga Asmara. "Dewi...
Kita harus segera sampai bukit itu!"
Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala. Namun se-
belum gadis ini bergerak, dia menoleh pada Pendekar
131 dan berbisik.
"Kau juga tak mau mengatakan padaku apa uru-
sanmu dengan Hantu Pesolek"!"
Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Dewi Bunga
Asmara alihkan pandang matanya dan kembali ber-
bisik. "Aku pernah dengar nama Hantu Pesolek dari guru-
ku. Menurutnya, dia adalah seorang tokoh berilmu ti-
nggi. Kalau kau memang punya urusan dengan Hantu
Pesolek, lebih baik kita batalkan ke bukit itu! Kau
akan kuajak ke tempatku untuk menunggu kedata-
ngan guruku!"
Dewi Bunga Asmara sebenarnya mengkhawatirkan
keselamatan Joko. Dia tidak mau kehilangan orang
yang dicintainya. Apalagi Joko sudah berjanji hendak
bertemu dengan gurunya.
"Dewi... Kau tak usah cemas! Aku tidak punya urusan apa-apa dengan Hantu
Pesolek! Dan kalaupun ada
urusan, urusan itu bisa diselesaikan dengan bicara
baik-baik!"
"Jangan bicara dusta... Perasaanku mengatakan,
kau punya urusan besar dengan Hantu Pesolek! Aku
tak bisa menduga dengan tepat. Namun kukira urusan
itu tidak jauh dari masalah peta wasiat! Karena urusan itulah yang membuatmu
sampai ke negeri ini!"
Joko gelengkan kepala. "Bukan itu masalahnya,
Dewi. Nanti kau akan tahu sendiri..."
Meski masih tidak percaya dengan perkataan Joko,
namun karena tidak enak jika harus memaksa Joko
untuk batalkan niat ke Bukit Toyongga, akhirnya Dewi
Bunga Asmara anggukkan kepala lalu berkelebat.
Murid Pendeta Sinting melirik sesaat pada Dewa
Asap Kayangan. Sebenarnya dia hendak menanyakan
sesuatu, namun khawatir Dewi Bunga Asmara curiga
dan takut pula kehilangan jejak, akhirnya Joko urung-
kan niat dan segera berkelebat menyusul Dewi Bunga
Asmara. Saat bersamaan, Dewa Asap Kayangan mem-
buat gerakan satu kali. Sosoknya ikut melesat di belakang Pendekar 131.
Sementara itu, sejarak dua ratus tombak dari tem-
pat di mana Pendekar 131, Dewi Bunga Asmara, dan
Dewa Asap Kayangan baru saja berbincang, tepatnya
di sebuah bukit yang di daratan Tibet dikenal dengan
Bukit Toyongga, dua sosok bayangan tampak berkele-
bat mendaki. Mencapai puncak bukit, orang yang berada di ba-
gian depan hentikan larinya. Dia putar pandangannya
sesaat. Lalu berpaling pada orang yang berlari di belakangnya dan kini telah
tegak tidak jauh dari tempat-
nya berdiri. Orang yang tadi berlari di sebelah depan adalah
seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan. Kumis-
nya lebat. Jenggotnya juga lebat dan panjang. Kedua
alls matanya mencuat ke atas. Sepasang matanya ta-
jam. Rambutnya yang putih dan panjang digeraikan di
bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir tinggi ke
atas. Laki-laki ini mengenakan pakaian berupa jubah
panjang dari sutera berwarna merah. Dari pakai-
annya, jelas kalau laki-laki ini adalah orang berke-
dudukan dan kaya. Orang ini bukan lain memang pen-
guasa tanah Tibet yakni Yang Mulia Baginda Ku Nang.
Sementara di belakang Baginda Ku Nang adalah ju-
ga seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya dingin.
Sepasang matanya tajam. Pada bagian bawah mata
kirinya terlihat tahi lalat agak besar. Seperti halnya Yang Mulia Baginda Ku
Nang, laki-laki ini juga mengenakan pakaian mewah. Laki-laki ini tidak lain ada-
lah Panglima Muda Lie.
"Panglima Muda Lie... Begitu orang yang kita tung-gu datang, kau harus segera
selesaikan tugasmu!"
Panglima Muda Lie bungkukkan tubuh dan menya-
hut. "Semua perintah akan kami laksanakan. Hanya saja, apakah tidak sebaiknya
kita minta bala bantuan?"
Baginda Ku Nang tidak segera buka mulut. Dia pu-
tar kepalanya ke seantero puncak bukit. Walau saat
itu kegelapan malam telah menjelang, namun karena
perlahan-lahan rembulan sepertiga muncul dari kaki
langit sebelah timur, ke mana mata memandang masih
Juga bisa melihat.
"Kurasa hal itu tak perlu, Panglima! Aku tak mau dikatakan ikut campur tangan
dalam kancah rimba
persilatan! Bahkan untuk itulah, kau harus membu-
nuh siapa saja yang telah tahu urusan kerajaan yang
ada hubungannya dengan dunia persilatan!"
"Tapi, Yang Mulia. Para penyelidik kerajaan pagi ta-di menemukan selebaran daun.
Di sana tertera jika
malam ini akan disatukan peta wasiat. Dan tempatnya
adalah di bukit ini. Aku khawatir, akan banyak yang
muncul di tempat ini."
Baginda Ku Nang manggut-manggut. "Aku sudah
mendengar persoalan itu. Aku memang bertanya-tanya
siapa gerangan yang membuat selebaran itu. Tapi itu
satu keuntungan besar bagi pihak kerajaan. Dengan
munculnya kita di tempat ini tanpa mengenakan pa-
kaian kebesaran, mungkin akan bisa menjadi alasan
kalau kita hadir di sini bukan sebagai orang kerajaan.
Kita nanti juga bisa berdalih kalau kehadiran kita semata-mata ingin tahu duduk
persoalan sebenarnya!"
"Tapi hal ini sangat berbahaya, Yang Mulia! Urusan peta wasiat telah menjadi
urusan para tokoh yang bukan saja berasal dari golongan putih, namun juga para tokoh
golongan hitam! Lebih dari itu, pasti Guru Besar Liang San akan muncul juga di
tempat ini. Aku khawatir, jangan-jangan dia nanti membuka rahasia yang se-
lama ini kita jaga!"
"Aku tahu bagaimana menyelesaikannya jika Guru
Besar Liang San berkhianat! Dan justru Guru Besar
Liang San yang akan mendapat celaka kalau sampai
membuka rahasia! Karena dengan pengkhianatannya
terhadap shaolin, dia telah korbankan beberapa orang
saudaranya sendiri!"
Panglima Muda Lie terdiam mendengar ucapan Ba-
ginda Ku Nang. Baginda Ku Nang melangkah ke satu
batangan pohon. Seraya terus putar pandangan, dia
buka mulut. "Apa selama ini belum ada kabar tentang pemuda
asing Itu"!"
"Belum ada, Yang Mulia... Tapi kalau undangan itu telah menyebar, pasti dia akan
muncul di tempat ini.
Bukankah separo peta wasiat di tangannya tidak ada
gunanya jika malam ini tidak bisa mendapatkannya
separonya lagi?"
"Hem... Benar! Dan jika begitu, rencana untuk Ba-
yangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara se-
mentara ini kita tunda..."
"Maksud Yang Mulia!"
"Kita lihat keadaan dahulu. Kalau pemuda asing itu benar-benar datang, rencana
untuk Bayangan Tanpa
Wajah dan Ratu Selendang Asmara kita undur. Tenaga
keduanya kita manfaatkan dulu untuk melawan pe-
muda asing itu! Jika beres, kita teruskan rencana terhadap keduanya! Dan jika
pemuda asing itu tidak
muncul, malam ini juga selesaikan Bayangan Tanpa
Wajah dan Ratu Selendang Asmara! Soal Guru Besar
Liang San, kita juga lihat suasana dahulu. Rencana
terhadapnya bisa berubah sewaktu-waktu!"
"Bagaimana dengan tokoh yang lain?"
"Itu serahkan padaku! Aku adalah bekas pemimpin
perguruan silat dan telah lama pula malang melintang
dalam kancah rimba persilatan. Aku menduga, tokoh
yang akan muncul adalah orang-orang lama yang telah
kukenal!" Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang selinapkan
tangan kanannya ke balik jubah yang dikenakan. Bi-
birnya sunggingkan senyum. Diam-diam dia berkata
sendiri dalam hati.
"Kalau malam ini peta wasiat berhasil kusatukan, aku bukan saja menjadi raja
sebuah kerajaan, namun
juga akan menjadi raja rimba persilatan!"
Baginda Ku Nang tarik pulang tangan kanannya da-
ri balik jubahnya. Dia memandang lurus ke timur. Di
mana rembulan sepertiga terus mendaki angkasa hing-
ga membuat kegelapan yang menyelimut puncak Bukit
Toyongga makin sirna.
"Aku hanya sedikit heran. Siapa sebenarnya yang
menyebar undangan itu"! Mungkinkah..."
Belum sampai Baginda Ku Nang teruskan kata ha-
tinya, mendadak Panglima Muda Lie melompat dan
berkata dengan suara ditekan.
"Yang Mulia... Ada seseorang mendaki bukit!"
"Hem... Kita tunggu siapa dia! Kita tak perlu sembunyi!" ujar Baginda Ku Nang
lalu arahkan pandang matanya ke satu arah di mana samar-samar terlihat
satu sosok tubuh berkelebat mendaki dengan cepat di
antara jajaran pohon.
* * * LIMA PANGLIMA Muda Lie bergerak mendekati Baginda
Ku Nang. Mulutnya membuka hendak berbisik. Namun
mendadak si Panglima kancingkan mulutnya lagi. Se-
pasang matanya mendelik.
"Aneh... Meski samar-samar, aku baru saja masih bisa melihat gerakan sosoknya.
Tapi sekarang aku tidak melihat lagi!" Panglima Muda Lie membatin dengan mata
terus memperhatikan ke bawah. Dia belum
berani mengatakan apa yang dilihatnya pada Baginda
Ku Nang. Dia khawatir sosok yang baru saja kelihatan
masih terlindungi beberapa jajaran pohon yang banyak
bertebaran di sekitar kaki bukit. Namun begitu ditung-gu agak lama dan ternyata
matanya memang tidak lagi
melihat sosok orang, dia beranikan diri buka mulut
berbisik. "Yang Mulia... Aku merasakan satu keanehan..."
Baginda Ku Nang sendiri tampaknya tidak begitu
peduli dengan ucapan Panglima Muda Lie. Karena se-
perti halnya si Panglima, dia merasa sedikit terkejut
begitu sepasang matanya tidak lagi mendapati sosok
orang yang baru saja berkelebat mendaki!
"Kau masih melihat sosok itu, Panglima"!" Akhirnya Baginda Ku Nang angkat suara.
Namun sepasang matanya terus menembusi kesamaran suasana di
samping bukit. "Yang Mulia.... Orang itu tiba-tiba menghilang!"
"Hem.... Tampaknya dia sudah tahu kalau kita berada di sini!" gumam sang
Baginda. Panglima Muda Lie pentang mata sekali lagi. Kejap
lain dia membuat gerakan satu kali. Sosoknya berkele-
bat. Namun sebelum lebih jauh, sang Baginda sudah
buka suara. "Panglima! Kau tak usah mencari tahu siapa dia!
Kalau dia memang punya niat, tanpa dicari pun dia
nanti akan muncul di puncak bukit ini!"
Panglima Muda Lie batalkan niat untuk teruskan
kelebatannya yang hendak melesat turun. Saat itulah
sepasang matanya kembali menangkap kelebatan satu
sosok tubuh. "Hem.... Dari arah datangnya, ini bukan orang yang pertama tadi! Berarti sudah
dua orang yang mendaki
bukit ini!" Panglima Muda Lie membatin. Dan mungkin tidak mau lagi kehilangan
orang yang dilihatnya, sang Panglima pentang matanya besar-besar dan coba terus
memperhatikan sosok yang terus berkelebat mendaki.
"Yang Mulia... Ada orang lagi yang mendaki bukit!
Dan aku yakin, dia bukanlah orang yang pertama ta-
di..." "Hem... Aku juga telah melihatnya!" ujar sang Baginda. "Perhatikan dia! Meski
nantinya kita akan tahu, tapi kalau kita tahu terlebih dahulu akan lebih enak!"
Baru saja Baginda Ku Nang berkata begitu, tiba-ti-
ba sosok bayangan yang terlihat oleh Panglima Muda
Lie dan Baginda Ku Nang sudah beberapa tombak di
bawah keduanya.
"Luar biasa! Baru saja sosok bayangannya jauh di
bawah sana. Sekarang tahu-tahu sudah dekat..." Panglima Muda Lie bergumam dengan
paras sedikit terke-
jut. Di sampingnya, meski terkesiap namun sang Ba-


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ginda masih tampak tenang-tenang saja. Dan seraya
terus memperhatikan, dia berbisik.
"Panglima! Kau nanti tak usah ikut campur! Dan jangan memancing timbulnya
kerusuhan! Kita harus te-
tap menjaga seolah-olah pihak kerajaan memang tidak
ingin ikut campur dalam urusan rimba persilatan!"
Belum sampai ucapan sang Baginda selesai, satu
sosok tubuh telah melesat. Dan tahu-tahu sejarak lima belas langkah dari
Panglima Muda Lie, telah tegak seseorang!
Panglima Muda Lie dan Baginda Ku Nang segera
berpaling. Sesaat sang Baginda tampak terkejut. Na-
mun saat lain bibirnya telah sunggingkan senyum. Di
sebelahnya, sang Panglima memandang tak berkesip.
Sementara di seberang sana, orang yang baru mun-
cul juga tampak terkesiap kaget. Namun begitu sang
Baginda tersenyum, orang ini balas sunggingkan se-
nyum meski tampak ragu-ragu. Orang ini adalah se-
orang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya tipis putih dan panjang hingga
punggung. Kedua alis matanya ju-ga menjulai panjang hampir menutupi sepasang
mata- nya yang melotot besar. Paras wajahnya bulat dengan
kumis dan jenggot lebat. Tepat pada kedua alis mata-
nya terlihat tato bergambar bulan sabit berwarna ke-
kuningan. Laki-laki ini mengenakan pakaian berupa
jubah panjang berwarna kuning. Pada bagian dada ju-
bahnya juga terlihat gambar bulan sabit.
"Sahabat Hantu Bulan Emas.... Senang bisa ber-
temu denganmu lagi. Kau datang sendirian"!" Baginda Ku Nang memecah keheningan
dengan ajukan tanya.
Laki-laki berjubah kuning dan bukan lain memang
Hantu Bulan Emas adanya sesaat tidak menjawab. Dia
membatin. "Bagaimana mungkin dia berada di sini"!
Apakah urusan ini dia yang mengatur"! Tapi bukankah
sebagai orang di pihak kerajaan, dia tak berhak ikut
campur dalam urusan rimba persilatan"! Ataukah dia
masih menganggap sebagai seorang pemimpin pergu-
ruan silat yang berarti masih punya hak untuk ikut
campur dalam urusan peta wasiat"! Hem..."
"Yang Mulia..."
"Hantu Bulan Emas!" Baginda Ku Nang sudah memotong ucapan Hantu Bulan Emas.
"Harap kau tidak bersikap begitu. Kehadiranku di sini bukan sebagai ra-ja. Lagi
pula kita sudah saling kenal!"
Hantu Bulan Emas angkat sedikit kepalanya yang
saat berkata tadi coba menunduk hormat. Bibirnya
tersenyum lalu sepasang matanya memperhatikan ke
arah Baginda Ku Nang dan Panglima Muda Lie. Namun
sejauh ini dia tidak berusaha lagi buka suara. Hingga Baginda Ku Nang kembali
ajukan tanya. "Hantu Bulan Emas. Kau datang sendiri"!"
"Benar, Yang Mulia!"
Baginda Ku Nang anggukkan kepala lalu melang-
kah maju. Dan berhenti sepuluh langkah di hadapan
Hantu Bulan Emas.
"Aku bertanya begitu, karena beberapa puluh tahun lalu, aku menyirap kabar jika
kau telah mengangkat
seorang murid!" '
"Aku memang punya seorang murid. Namun kare-
na urusan ini mengandung banyak bahaya, terpaksa
aku datang seorang diri! Hanya saja, aku sedikit mera-sa terkejut melihatmu
berada di tempat ini! Aku berha-
rap, kehadiranmu di tempat ini hanya sebuah kebetu-
lan!" Baginda Ku Nang tertawa pendek. "Kuharap kau ti-
dak kaget kalau kukatakan jika keberadaanku di sini
bukanlah satu kebetulan! Tapi aku juga berharap, kau
jangan menduga salah jika keberadaanku bukan satu
kebetulan! Aku akan tetap berpegang pada peraturan
jika pihak kerajaan tidak akan ikut campur! Dan ka-
laupun aku sampai datang, semata-mata hanya ingin
tahu. Lebih dari itu, aku tak ingin nantinya terjadi hal-hal yang tidak kita
Inginkan! Sebagai penguasa, aku
tak ingin melihat pertumpahan darah!"
"Hem... Aku tahu siapa dia! Mana aku percaya de-
ngan ucapannya"!" Hantu Bulan Emas diam-diam berkata sendiri dalam hati demi
mendengar keterangan
Baginda Ku Nang. Namun orang ini tak hendak mem-
perlihatkan rasa tidak percaya. Dia anggukkan kepala
lalu berkata. "Apakah undangan itu disebar pihak kerajaan"!"
"Kau telah dengar keteranganku, Hantu Bulan E-
mas. Selama ini aku masih berpegang teguh pada per-
aturan yang menggariskan jika pihak kerajaan tidak
akan ikut campur urusan rimba persilatan!"
"Tapi dengan kedatanganmu di tempat ini, secara
tak langsung kau melibatkan pihak kerajaan dalam
urusan rimba persilatan!"
"Tidak, Hantu Bulan Emas. Kau lihat sendiri. Aku tidak mengenakan pakaian
kebesaran! Demikian pula
Panglima Muda Lie. Dan perlu kau dengar sekali lagi.
Aku hanya ingin tahu dan tak ingin terjadi pertumpa-
han darah! Sebagai bekas orang rimba persilatan, aku
sudah bisa menduga apa yang akan terjadi! Untuk itu-
lah terpaksa aku datang!"
Saat Baginda Ku Nang dan Hantu Bulan Emas ber-
bincang, mendadak Panglima Muda Lie yang sejak tadi
hanya diam dan tegak lima langkah di belakang Bagin-
da Ku Nang melangkah maju dengan mata melirik ke
bawah. Begitu dekat, dia berbisik.
"Yang Mulia.... Dua orang tengah mendaki bukit!
Sepertinya mereka adalah...."
Belum sampai Panglima Muda Lie selesaikan ucap-
an, Baginda Ku Nang sudah berpaling dengan mata
mendelik dan segera memotong kata-kata sang Pang-
lima. "Aku sudah menduga siapa yang datang!"
Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang arahkan
pandang matanya ke bawah. Dia memang melihat kele-
batan dua sosok bayangan. Di lain pihak, Hantu Bulan
Emas juga palingkan kepalanya ke lamping bukit.
Tidak berapa lama, dua sosok bayangan tampak
melesat dan tegak di puncak bukit tidak jauh dari tempat tegaknya Hantu Bulan
Emas. Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki menge-
nakan pakaian hitam-hitam. Rambutnya hitam dige-
lung tinggi ke atas. Raut wajahnya telah dihias kerutan tanda laki-laki ini
sudah tidak muda lagi. Parasnya
agak bulat dengan mata sipit. Kumis dan jenggotnya
lebat serta hitam. Dan ternyata, bukan hanya pakaian
dan rambutnya yang berwarna hitam, namun sekujur
tubuh kulit laki-laki ini juga berwarna hitam legam!
Di samping laki-laki berwajah hitam yang bukan
lain adalah Bayangan Tanpa Wajah, tegak seorang ne-
nek mengenakan pakaian panjang berwarna hitam.
Rambutnya putih, sepasang matanya sipit tanpa di-
tingkah alis mata di atasnya. Di pundaknya tampak
menyelempang selendang panjang warna hitam yang
menjulai menyapu tanah.
Untuk beberapa saat, Bayangan Tanpa Wajah dan
Ratu Selendang Asmara saling lirik lalu sama memper-
hatikan pada Hantu Bulan Emas. Hantu Bulan Emas
sendiri pasang tampang dingin dan arahkan pandang-
annya ke jurusan lain.
"Hem.... Ternyata kedatangan kita sudah agak terlambat!" Bayangan Tanpa Wajah
berbisik. "Apa kita harus bicara terus terang saja pada Baginda Ku
Nang"!"
"Kalau terlalu banyak basa-basi, berarti kita membuang waktu percuma! Katakan
saja terus terang apa
yang telah kita bicarakan tadi!" Ratu Selendang Asmara menyahut.
"Tapi ini adalah urusan rahasia antara kita dengan Baginda Ku Nang. Tak mungkin
kita membicarakan-nya di hadapan orang lain!"
"Percuma kita menyimpan rahasia itu! Lagi pula, bi-ar semua orang tahu jika
pihak kerajaan sebenarnya
telah ikut campur urusan rimba persilatan!"
"Nek! Kita tak boleh gegabah!"
"Hem.... Kau takut"! Takut sama siapa"! Sama Han-tu itu"! Aku menduga, dia juga
sepertimu! Orang-orang rimba persilatan yang diberi imbalan untuk mencari
sesuatu! Jadi kau tak usah khawatir. Dia juga pasti
sudah tahu kalau sebenarnya pihak kerajaan sudah
terlibat dalam urusan kancah dunia persilatan!"
Bayangan Tanpa Wajah terdiam beberapa saat.
Wajahnya tampak sekali membayangkan perasaan
bimbang. Seperti diketahui, Bayangan Tanpa Wajah
secara diam-diam memang diberi tugas oleh Baginda
Ku Nang untuk mencari Pendekar 131 sekaligus mere-
but peta wasiat dari tangannya.
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Bayangan
Tanpa Wajah melangkah maju seraya menjura pada
Baginda Ku Nang. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sen-
diri terlihat agak cemas. Hingga meski dia telah tahu kedatangan Bayangan Tanpa
Wajah dan Ratu Selendang Asmara, dia tetap belum buka suara.
"Yang Mulia...," kata Bayangan Tanpa Wajah seraya melirik pada Hantu Bulan Emas.
"Kami...."
Bayangan Tanpa Wajah putuskan ucapannya tat-
kala sepasang matanya melihat isyarat tangan Baginda
Ku Nang yang diangkat ke atas seraya berkata.
"Aku senang kau bisa hadir di tempat ini, saha-
batku Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang
Asmara...! Aku memang sudah menduga jika kalian
pasti a-kan hadir! Dan sebagaimana kukatakan pada
sahabat Hantu Bulan Emas tadi, harap kalian tidak
menaruh curiga atas kehadiranku di tempat ini!" Seraya berkata begitu, sepasang
mata Baginda Ku Nang
tampak melotot lalu melirik pada Hantu Bulan Emas.
Bayangan Tanpa Wajah tampaknya bisa menang-
kap isyarat. "Hem.... Tampaknya dia tak mau diketahui jika secara diam-diam
memerintahku!" katanya dalam hati. Lalu anggukkan kepala dan berkata.
"Yang Mulia.... Kami tidak curiga meski kami sebenarnya merasa heran!"
Baginda Ku Nang tersenyum mendapati kilah
Bayangan Tanpa Wajah yang berarti telah dapat me-
nang-kap isyarat dan berpura-pura tidak ada perjan-
jian sebelumnya!
"Kalian tak usah heran. Aku datang bukan atas na-ma kerajaan! Aku hanya ingin
tahu dan selebihnya
berharap agar nantinya tidak terjadi apa-apa di tempat ini!"
"Sialan! Mengapa kau masih juga berbasa-basi padanya"!" Si nenek yang tampaknya
tak sabaran segera berbisik pada Bayangan Tanpa Wajah. Bayangan Tanpa Wajah
berpaling dengan mata mendelik dan balas
berbisik dengan nada keras.
"Kau dengar ucapannya tadi"! Itu satu isyarat jika dia tak mau diketahui telah
berhubungan dengan kita
dalam urusan peta wasiat!"
"Dasar pengecut! Mengapa dia takut"!"
"Nek! Itu tak perlu kita perdebatkan di sini! Yang jelas, tampaknya rencana kita
akan berjalan dengan mu-
lus! Jadi untuk sementara ini biarlah kita berpura-
pura tak pernah punya hubungan dengan pihak kera-
jaan! Lagi pula bukankah tujuan akhir kita adalah pe-
ta wasiat itu"!"
Di lain pihak, Baginda Ku Nang diam-diam mem-
batin begitu melihat kemunculan Bayangan Tanpa Wa-
jah dan Ratu Selendang Asmara. "Hem.... Aku sekarang hampir yakin. Pasti mereka
berdua yang punya
ulah menyebar undangan itu! Karena yang tahu tem-
pat pertemuan di bukit ini hanya mereka berdua! Me-
reka rupanya tidak tahu, justru ulahnya ini membawa
keuntungan besar bagiku! Separo peta wasiat telah be-
rada di tanganku! Aku tinggal mencari setengahnya.
Dan dengan tersebarnya undangan itu, aku tidak perlu
lagi mencari jauh-jauh! Aku yakin, salah seorang yang nantinya hadir di sini,
pasti membawa setengahnya la-gi!" Habis membatin begitu, Baginda Ku Nang arahkan
pandang matanya pada Hantu Bulan Emas yang sejak
tadi berpaling tidak mau memandang pada Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara.
"Hem.... Dari sikapnya, jelas jika antara Hantu Bulan Emas dengan Bayangan Tanpa
Wajah dan Ratu Se-
lendang Asmara ada masalah! Mereka tidak saling ber-
tegur sapa dan tatapan mereka tampak dingin! Hal ini-
lah yang memang kuharapkan! Namun aku tidak boleh
menunjukkan rasa gembira atas sikap mereka...."
Membatin sampai di situ, akhirnya Baginda Ku
Nang angkat suara.
"Sahabat Hantu Bulan Emas.... Kurasa kau tak lupa dengan dua sahabat yang baru
datang itu, bukan"!"
Hantu Bulan Emas berpaling. Sepasang matanya
menatap pada Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-
dang Asmara silih berganti. Lalu bersuara.
"Aku tidak akan lupa siapa mereka berdua! Lebih-
lebih yang perempuan!"
* * * ENAM RATU Selendang Asmara mendengus dan segera
sentakkan kepala ke arah Hantu Bulan Emas. Untuk
beberapa lama kedua orang ini saling pandang. Bayan-
gan Tanpa Wajah melirik pada si nenek lalu berbisik.
"Jangan buat urusan dahulu! Tak ada gunanya me-
layani dia! Peta wasiat itu tidak ada di tangannya!"
"Seharusnya kau tidak mencegahku saat hendak
menggebuknya di Kuil Atap Langit!" ujar Ratu Selendang Asmara.
Seperti diketahui, saat berada di Kuil Atap Langit,
terjadi ketegangan antara Hantu Bulan Emas dan Ratu
Selendang Asmara. Bahkan mereka hampir-hampir sa-
ja terlibat bentrok jika Bayangan Tanpa Wajah tidak
segera menengahi. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode: "Kuil
Atap Langit").
"Sahabat sekalian...," kata Baginda Ku Nang setelah yakin dapat membaca jika
antara Hantu Bulan
Emas dan Ratu Selendang Asmara ada silang seng-
keta. "Ku harap kalian saling dinginkan kepala. Aku tahu, maksud tujuan kalian
datang ke tempat ini bukan untuk selesaikan urusan kalian! Tapi ada sesuatu


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lebih penting!"
Yang Mulia Baginda Ku Nang sapukan pandang ma-
tanya pada ketiga orang di depan sana. Lalu lanjutkan ucapan.
"Aku bukannya ingin ikut campur urusan yang a-
kan kalian tuntaskan di tempat ini! Tapi kalau aku boleh usul...." Sesaat sang
Baginda hentikan ucapan-nya lagi seraya melirik pada Hantu Bulan Emas. Sang
Baginda berharap Hantu Bulan Emas akan menyahut
ucapannya. Namun ternyata Hantu Bulan Emas tetap
kancingkan mulut. Hingga sang Baginda lanjutkan
ucapan. "Bagaimana kalau urusan ini kita selesaikan ber-
sama-sama"!"
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra tidak terkejut dengan ucapan sang Baginda, karena
mereka berdua sudah tahu jika sang Baginda secara
diam-diam juga menginginkan peta wasiat. Namun ti-
dak demikian halnya dengan Hantu Bulan Emas. Dia
segera angkat suara menyahut.
"Yang Mulia! Harap jelaskan apa maksudnya me-
nyelesaikan bersama-sama"!"
Baginda Ku Nang tersenyum dahulu sebelum akhir-
nya berkata. "Aku tahu. Kalian datang demi peta wasiat itu. Dan aku juga tahu, di antara
kalian bertiga tidak ada yang memegang peta wasiat itu! Dan pasti kalian juga
sudah tahu kalau sebagian peta wasiat itu sekarang berada di tangan seorang
pemuda asing! Aku menawarkan pada
kalian untuk bergabung bersamaku merebut peta wa-
siat itu!"
"Yang Mulia! Bukankah kau tadi sudah mengatakan
tidak akan ikut campur urusan rimba persilatan"!"
Berkata Hantu Bulan Emas dengan suara agak keras.
"Sahabat Hantu Bulan Emas.... Sekarang aku akan
berterus terang padamu! Pada mulanya aku memang
hendak berpegang teguh pada peraturan. Namun sete-
lah kutimbang-timbang, aku memutuskan untuk lang-
sung terlibat dalam urusan peta wasiat ini! Ini bukan berarti aku mengingkari
janji. Namun karena semata-mata aku tak Ingin barang pusaka negeri ini dimiliki
oleh orang asing! Sebagai penguasa negeri ini dan juga sebagai bekas orang
persilatan, aku terpanggil untuk melibatkan diri! Dan seandainya urusan ini
tidak melibatkan pemuda asing, tentu aku tidak akan ikut cam-
pur!" Hantu Bulan Emas tercenung beberapa lama. En-
tah apa yang dipikirkan. Namun yang jelas dia belum
juga angkat suara sambuti tawaran sang Baginda. Di
seberang depan, Baginda Ku Nang dongakkan kepala.
Dia menghela napas sesaat lalu berkata.
"Hantu Bulan Emas.... Aku tidak memaksamu. Aku
hanya menawarkan. Namun satu hal yang harus kau
ketahui, kau menerima atau menolak, aku akan tetap
melibatkan diri dalam urusan ini! Dan jika kau mene-
rima tawaranku, aku menjanjikan imbalan buatmu!"
Hantu Bulan Emas tersenyum dingin. Tapi belum
juga dia bukan suara. Di lain pihak, mendapati sikap
Hantu Bulan Emas, sang Baginda segera angkat suara
lagi. "Sahabat Hantu Bulan Emas. Harap tidak berpra-
sangka dulu! Imbalan yang kujanjikan bukan karena
kau bergabung denganku. Namun semata-mata seba-
gai rasa terima kasih atas kesetiaanmu pada negeri
ini!" Dan mungkin karena tak sabar melihat sikap Hantu
Bulan Emas yang masih juga belum buka mulut, ak-
hirnya sang Baginda berkata lagi.
"Perlu kau tahu, sahabat Hantu Bulan Emas. Saha-
bat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra telah menerima tawaranku!"
Hantu Bulan Emas cepat berpaling pada Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. "Hem... sebaiknya aku menerima atau
menolak tawaran itu. Ka-
lau Bayangan Tanpa Wajah dan nenek sialan itu telah
bergabung, tentu sudah banyak tokoh lainnya yang ju-
ga telah bergabung!"
"Sahabat Hantu Bulan Emas. Bagaimana"! Kita ti-
dak punya waktu banyak! Kau harus segera memutus-
kan berada di pihak mana! Sebentar lagi pasti akan
muncul beberapa sahabat lain! Aku tak mau urusan
denganmu tertunda karena kedatangan orang lain!"
"Baiklah, Yang Mulia! Untuk urusan satu ini aku menerima tawaranmu! Namun itu
hanya terbatas pada
urusan dengan pemuda asing itu! Dan kuharap, seba-
gai pihak penguasa, kau tidak ikut campur tangan bila ada urusan dalam rimba
persilatan setelah urusan ini
selesai!" "Itu sudah jadi peraturan sejak lama, sahabat Han-tu Bulan Emas. Dan sekali lagi
kukatakan, kalau saja
tidak ada hubungannya dengan pemuda asing, aku ti-
dak akan ikut campur urusan ini!"
"Ada orang datang!" Mendadak Ratu Selendang Asmara berseru.
Semua kepala segera berpaling. Bersamaan dengan
itu satu bayangan berkelebat dan semua orang melihat
seorang laki-laki berpakaian compang-camping. Paras
Seruling Samber Nyawa 2 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Hina Kelana 37
^