Dewi Bunga Asmara 3
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Bagian 3
berpencar!"
"Mengapa begitu"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Guruku pasti akan ada di sana!"
"Hem.... Kau takut karena bersamaku"!"
"Bukan begitu...," kata Dewi Bunga Asmara dengan
gelengkan kepala. "Aku tahu bagaimana sifat guruku.
Dan selama ini dia mungkin masih menduga peta wa-
siat itu berada di tanganmu! Selain itu, bentrokan tempo hari mungkin masih
tidak bisa dilupakannya! Aku
tak mau kau celaka gara-gara bersamaku.... Demikian
pula sebaliknya! Namun setelah itu, aku akan membe-
ritahukan pada Guru bagaimana duduk persoalan se-
benarnya! Dan di sana pula mungkin nanti Guru tahu
sendiri siapa sebenarnya yang memegang peta wasiat
itu!" "Hem.... Bagaimana kalau kita menemui gurumu
bersama-sama"! Aku yang akan menjelaskan sendiri!"
"Saat seperti sekarang ini, bukan waktu yang tepat
untuk melakukan hal seperti itu!" ujar Dewi Bunga
Asmara meski hatinya berdebar senang mendengar
ucapan Joko. "Hem.... Itu kita bicarakan nanti sambil jalan. Se-
karang aku akan memberi tahu persyaratan apa yang
harus dilakukan kakek itu kalau dia mau ikut bersa-
ma kita!" Habis berkata begitu, Joko melompat dan tegak di
hadapan kakek yang tetap sandarkan tubuh ke bata-
ngan pohon di belakangnya.
"Kek.... Kami memutuskan akan mengajakmu ikut
sertai Tapi...."
"Hem.... Begitu"!" Si kakek sudah menyahut sebe-
lum Joko selesai berkata. "Jadi kalian sudah memu-
tuskan. Namun kalian memasang syarat! Ha... Ha...
Ha... Anak Muda.... Perlu kau tahu satu hal. Jika seseorang memasang satu
syarat, itu satu bukti kalau
orang itu kurang percaya diri! Tapi tak apalah.... Katakan apa syarat itu..."!"
"Harap tidak berlaku usil saat di tengah jalan! Dan
jika sampai di Bukit Toyongga, harap tidak melakukan atau berucap yang membikin
suasana berubah jadi
panas...."
"Hem.... Begitu"! Hanya itu syaratnya"!"
Joko menjawab dengan anggukkan kepala. Si kakek
tertawa panjang. Lalu berujar.
"Syarat mudah.... Aku bersedia melakukannya!"
"Orang aneh.... Sebenarnya apa maksudnya dia
hendak ikut ke Bukit Toyongga..." Dia juga tidak bertanya ada apa sebenarnya!
Hem...." Joko membatin
memperhatikan si kakek sekali lagi dengan lebih sek-
sama. Yang dipandangi balas memandang.
"Anak muda! Rasanya tak ada dari tubuhku yang
sedap untuk dipandang! Sementara di belakangmu ada
pemandangan indah yang terlalu sayang disia-siakan!
Atau barangkali kau lebih tertarik dengan dada dan
pahaku"!"
Joko menyeringai. Saat lain dia balikkan tubuh dan
melompat ke arah Dewi Bunga Asmara.
"Dewi.... Kita berangkat sekarang...."
Dewi Bunga Asmara tersenyum lalu anggukkan ke-
pala dan mulai melangkah. Joko berpaling sesaat pada si kakek, lalu tanpa buka
mulut dia mengikuti langkah Dewi Bunga Asmara. Anehnya, meski tahu Pendekar
131 dan Dewi Bunga Asmara sudah bergerak bahkan
sudah agak jauh melangkah, si kakek masih saja tegak bersandar di batangan
pohon. Malah saat sosok murid
Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara lenyap tidak
kelihatan, si kakek belum juga beranjak dari tempat-
nya. Baru begitu sudah agak lama, si kakek mulai me-
langkah dari dekat batangan pohon di mana tadi dia
bersandar. Herannya, dia tidak segera berkelebat menyusul agar tidak kehilangan
jejak. Sebaliknya me-
langkah perlahan-lahan seraya mengisap dua pipa di
mulutnya. Dan ternyata dia melangkah tidak mengam-
bil arah seperti yang diambil Pendekar 131 dan Dewi
Bunga Asmara! *** SEMBILAN KARENA telah maklum akan kehebatan ilmu peri-
ngan tubuh si kakek, Pendekar 131 memberi saran
agar Dewi Bunga Asmara berlari sekuat yang dia mam-
pu. Dan begitu si gadis mulai berlari, tanpa meman-
dang ke belakang, murid Pendeta Sinting pun segera
berlari. Setelah menempuh perjalanan hampir setengah ha-
ri, pada satu tempat, Dewi Bunga Asmara berhenti.
"Perjalanan kita sudah tak jauh lagi. Kita istirahat sejenak!" berkata Dewi
Bunga Asmara dengan tangan
mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Dada-
nya tampak bergerak keras turun naik.
Joko ikut hentikan larinya dan tegak menjajari. Dia
berpaling hendak berkata, namun meski mulutnya te-
lah terbuka, tidak terdengar suaranya. Sebaliknya sepasang matanya tampak
membesar memandang tak
berkesip. "Edan! Dalam keadaan basah oleh keringat begini
rupa, sosoknya begitu menggoda...." Joko bergumam
dalam hati dengan mata menatap tajam pada sosok
Dewi Bunga Asmara.
Karena pakaian yang dikenakan si gadis sangat ti-
pis dan basah oleh keringat, membuat pakaian itu laksana melekat hingga membikin
semua lekukan tubuh-
nya terlihat jelas. Belum lagi gerakan dadanya yang turun naik dan renggangkan
kedua kakinya yang mem-
buat belahan pakaian bawahnya melebar menampak-
kan pahanya yang berkulit putih dan padat.
"Aku tidak mendengar suara kakek temanmu itu!"
Dewi Bunga Asmara kembali angkat suara. Saat ber-
samaan dia gerakkan tubuh menghadap Joko yang te-
gak di sampingnya.
Murid Pendeta Sinting tampak salah tingkah. Dia
buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain.
Tampaknya Dewi Bunga Asmara sadar. Dia tundukkan
kepala melihat ke arah belahan di dadanya yang me-
mang dibuat agak rendah. Lalu memandang pada be-
lahan pakaian di pahanya. Saat lain dia kembali putar diri menghadap ke depan.
Wajahnya sedikit berubah.
Mungkin karena sama-sama salah tingkah, untuk
beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mu-
lut. Hanya mata mereka yang sesekali melirik.
"Dewi.... Berapa lama lagi perjalanan sampai bukit
itu"!" Akhirnya Joko memecah kebisuan.
"Kalau kita berlari seperti tadi, mungkin sebelum
petang kita sudah sampai!"
"Kau yakin memang akan banyak tokoh yang hadir
di sana"! Apakah tidak mungkin undangan ini hanya
ulah seseorang yang mengail di air keruh"!"
"Menurut kesimpulanku setelah melihat apa yang
terjadi beberapa waktu terakhir ini, aku yakin akan
banyak tokoh yang hadir! Dan aku pun juga menduga,
undangan ini adalah ulah seseorang! Hanya saja orang itu pasti memegang peta
wasiat!" "Mengapa kau menduga begitu"!"
"Kau tahu sendiri. Peta wasiat itu terbagi dua. Satu berada di Perguruan
Shaolin, satunya lagi masih menjadi teka-teki di mana beradanya. Sementara
waktunya telah tiba. Jika malam ini peta wasiat tidak bisa disatukan, maka peta
wasiat itu tidak akan ada artinya
lagi! Untuk itulah salah seorang yang memegang peta
wasiat menyebar undangan. Dengan begitu, siapa pun
yang memegang peta wasiat satunya pasti akan da-
tang, karena dia juga menginginkan separo dari peta
wasiat! Jika tidak, untuk apa menyebar undangan"!
Dan karena orang ini belum tahu siapa yang meme-
gang peta wasiat satunya, terpaksa dia memberi un-
dangan pada beberapa orang yang diduga tahu dan
ikut terlibat memperebutkan peta wasiat itu!"
"Hem.... Selain cantik, bertubuh bagus, dia juga
pintar!" Joko anggukkan kepala seraya terus melirik.
"Jika kesimpulanmu demikian, berarti akan ada
bentrokan di bukit itu!"
"Itu mungkin saja terjadi jika tidak ada kesepaka-
tan! Dan untuk itulah sebenarnya aku bertujuan ke
bukit itu! Karena aku menduga guruku akan ada di
sana.... Aku tak mau sesuatu menimpa guruku! Meski
aku yakin, kehadiranku di sana akan membuatnya
marah!" "Mengapa kau yakin gurumu akan marah melihat
kehadiranmu" Apa karena kau datang bersamaku"!"
Dewi Bunga Asmara berpaling tanpa putar tubuh.
Sepasang matanya menatap tajam pada bola mata Jo-
ko, hingga untuk beberapa lama kedua orang ini sa-
ling pandang. Namun Dewi Bunga Asmara segera alih-
kan pandangannya dan berkata.
"Keberadaanmu bersamaku mungkin saja satu se-
bab. Tapi sebelumnya sudah ada sebab. Kau masih in-
gat pertemuan kita pertama kali"!" Kepala Dewi Bunga Asmara kembali menghadap
Joko. Pendekar 131 anggukkan kepala. Kini dia yang alih-
kan pandang matanya dari dada Dewi Bunga Asmara
ke jurusan lain.
"Hem.... Aku begitu bahagia bersamanya.... Sean-
dainya pertemuan dengannya tanpa didahului satu
masalah, tentu akan lain ceritanya!" Dewi Bunga As-
mara diam-diam membatin dengan dada berdebar.
"Kau belum menjelaskan, mengapa dengan perte-
muan kita dahulu"!" Joko berujar karena si gadis be-
lum juga buka mulut lagi.
Karena Joko berkata tanpa memandang, Dewi Bun-
ga Asmara memberanikan terus memandang seraya
berkata. "Setelah aku, Guru, dan Bayangan Tanpa Wajah ta-
hu kalau kau diselamatkan Bu Beng La Ma, kami ber-
tiga sepakat untuk mengejarmu ke tempat kediaman
Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Di tengah jalan,
mungkin karena mengkhawatirkan keselamatanku,
Guru menyarankan agar aku kembali dan tidak ikut!
Namun aku bersikeras untuk ikut!" Dewi Bunga Asma-
ra hentikan ucapannya sesaat. Namun sebenarnya dia
berkata sendiri dalam hati. "Sebenarnya aku bersi-
keras ikut karena ingin berjumpa lagi denganmu dan
untuk yakinkan diri jika kau tidak apa-apa...."
"Pada mulanya, Guru memang mengizinkan aku
ikut serta. Tapi begitu akan sampai di Kuil Atap Langit, tiba-tiba Bayangan
Tanpa Wajah mengusulkan agar
aku kembali saja. Karena dia tahu benar siapa tokoh
yang hendak dihadapi! Usulan Bayangan Tanpa Wajah
membuat Guru berubah niat. Hingga akhirnya dia me-
merintahkan padaku untuk kembali saja! Dan meski-
pun aku bersikeras dan memberi alasan, Guru tidak
mau dengar! Akhirnya aku kembali pulang...."
Dewi Bunga Asmara kembali hentikan keterangan
dengan wajah sedikit berubah. Setelah menghela na-
pas panjang, dia melanjutkan.
"Beberapa hari sendiri, aku dilanda perasaan cemas
dan khawatir. Karena sampai menjelang hari ganda se-
puluh, tidak ada kabar berita guruku. Aku sudah ber-
niat untuk mencarinya. Namun sebelum berangkat,
aku mendapatkan undangan gulungan daun itu...."
Dewi Bunga Asmara putar kepala dengan mata me-
ngedar berkeliling karena saat itu dia teringat kembali pada si kakek. Dia sudah
buka mulut lagi hendak bertanya karena dia tidak melihat batang hidung orang
yang dicari. Namun sebelum suaranya terdengar, Joko
sudah angkat bicara mendahului.
"Kau pernah kenal dengan seorang pemuda yang
mengenakan pakaian mirip kebaya" Wajahnya tampan
berkulit putih. Bibirnya diberi pewarna merah. Tangan kanannya memegang sebuah
kipas...."
Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama dengan
dahi berkerut. Saat lain kepalanya bergerak mengge-
leng. "Aku tidak pernah melihatnya! Ada apa"!"
Murid Pendeta Sinting tersenyum dan geleng kepa-
la. "Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya.
Aku cuma heran, ada pemuda yang mengenakan pa-
kaian milik perempuan. Bibirnya dipoles lagi! Apakah di negeri ini banyak pemuda
yang bertingkah seperti
dia"!"
Joko tidak mau berterus terang dan coba mengorek
keterangan. Dia khawatir di negeri ini banyak pemuda yang seperti pemuda
berkebaya yang ditemuinya beberapa hari lalu. Karena jika banyak, hal ini akan
membuatnya susah. Sebab Joko yakin peta wasiat di tan-
gannya dibawa kabur pemuda berkebaya itu.
"Setahuku, baru kali ini aku mendengar ada pemu-
da seperti yang kau katakan!" Dewi Bunga Asmara
menjawab seraya memandang ke arah Joko. Panda-
ngannya jelas menyelidik. Lalu bertanya.
"Sebenarnya ada apa dengan pemuda itu"! Kau ben-
trok dengannya"!"
Kembali Joko geleng kepala dan berkata. "Aku
hanya melihat dan bicara sebentar. Kalaupun aku ber-
tanya tentang dia, karena aku merasa heran tadi! Bahkan saking heran dan
penasaran, secara diam-diam
aku mengikutinya. Aku berharap dia pergi ke sebuah
sungai dan mandi! Aku ingin tahu, apakah miliknya
ma-sih seperti milik...."
Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu De-
wi Bunga Asmara pelototkan mata dengan raut merah
padam. "Maaf. Bukan maksudku berkata yang bukan-bu-
kan. Aku cuma ingin menerangkan agar kau tidak te-
rus bertanya-tanya...."
"Hem.... Apakah kau pernah bertemu lagi dengan
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guruku sejak kau diselamatkan oleh Bu Beng La Ma"!"
Dewi Bunga Asmara alihkan pembicaraan.
Joko menjawab dengan gelengan kepalanya. "Aku
hanya sempat bertemu dengan pemuda berkebaya itu
dan kakek pengisap pipa...."
Habis berkata begitu, Joko palingkan kepala ke ka-
nan kiri. Ucapannya membuat dia teringat pada si ka-
kek. "Ke mana dia"! Dari tadi aku tidak melihat batang
hidungnya! Jangan-jangan dia sembunyi di sekitar
tempat ini!" Joko kembali putar kepala dengan mata
menyelidik. "Kau mencari seseorang"!" tanya Dewi Bunga Asma-
ra meski dia tahu apa yang tengah dilakukan Joko.
"Kakek temanku itu! Aku tidak melihatnya!"
Dewi Bunga Asmara ikut-ikutan putar kepala de-
ngan mata menyiasati keadaan. Namun hingga bebe-
rapa lama, kedua orang ini tidak melihat sosok si kakek.
"Mungkin dia batalkan niatnya untuk ikut! Di ten-
gah perjalanan tadi, aku sempat mencari-cari dengan berpaling ke belakang, tapi
aku memang tidak melihatnya!" kata Dewi Bunga Asmara.
Joko tidak sambuti ucapan si gadis. Dan karena te-
lah tahu ulah si kakek sebelumnya, dia terus menye-
lidik untuk yakinkan diri. Dan begitu tidak mene-
mukan orang yang dicari, dia ajukan tanya.
"Dewi.... Kau tahu siapa kakek itu sebenarnya"!"
Yang ditanya sipitkan mata. "Kau ini aneh. Bukan-
kah dia temanmu"! Mengapa kau bertanya padaku
tentang siapa dia"!"
"Terus terang, sebenarnya aku baru saja berkenalan
dengannya! Bahkan aku tidak tahu siapa namanya!"
Dahi Dewi Bunga Asmara makin berkerut. "Bukan-
kah kau tadi menyebutkan namanya padaku Ci Kam
Pek dan Ci Ka Long"!"
"Ah.... Itu cuma main-main.... Sebab jika aku tidak
menjawab siapa namanya saat itu, pasti kau akan
menduga jelek padaku!" jawab Joko dengan cengar-
cengir. "Kau sama saja dengan kakek itu! Suka main-
main!" ujar Dewi Bunga Asmara dengan suara ketus
dan pasang tampang cemberut. "Namamu yang kau
beri tahukan padaku jangan-jangan juga main-main!
Kau bukan Han Ko!"
"Ah.... Namaku memang yang baru kau sebut tadi!
Aku tidak main-main dengan nama itu!" ujar murid
Pendeta Sinting seraya bergerak mendekat.
Entah agar orang percaya dan.si gadis tidak cembe-
rut, perlahan-lahan Joko mengambil tangan kanan
Dewa Bunga Asmara.
Dewi Bunga Asmara sempat terkejut. Anehnya dia
tidak berusaha menolak, bahkan dia balik meremas
saat tangan Joko mulai berani meremas. Dada gadis
ini berdebar keras. Wajahnya berubah merah dan tidak berani memandang langsung
ke arah murid Pendeta
Sinting yang makin berani dengan ambil tangan kiri-
nya! "Kuharap kau percaya padaku...." Joko berkata
dengan suara agak tersendat seakan tenggelam oleh
debaran dadanya.
"Kau memang tidak main-main, bukan"!" kata Dewi
Bunga Asmara dengan palingkan kepala perlahan-
lahan menghadap Joko. Joko gelengkan kepala meski
dalam hati menahan tawa.
"Kau benar berani menghadap guruku"!"
"Dia juga manusia sepertiku. Apa yang ditakutkan"!
Lagi pula masalahnya hanya salah paham.... Tidak ada masalah yang tidak bisa
diselesaikanl Apalagi...."
Belum lagi Joko lanjutkan ucapannya, Dewi Bunga
Asmara lepaskan kedua tangannya dari tangan Joko,
membuat murid Pendeta Sinting terkejut. Dan belum
hilang rasa kejut Joko, mendadak Dewi Bunga Asmara
gerakkan kedua tangannya melingkar pada pinggang
Joko. Saat lain kepalanya disandarkan pada dada Jo-
ko! Pendekar 131 terkesiap. Dadanya bergemuruh.
Apalagi saat yang sama Dewi Bunga Asmara angkat
kepalanya tengadah hingga hidungnya yang mancung
menyentuh ujung dagunya.
"Kau tahu.... Baru saat ini aku merasakan baha-
gia.... Dan kau tahu, sejak pertama kali jumpa dengan-mu, aku sudah tertarik
padamu...." Dewi Bunga Asma-
ra berbisik pelan dengan suara serak.
Joko tidak tahu apa yang harus diucapkan. Dan
tanpa sadar kedua tangannya bergerak pula melingkar
pada pinggang Dewi Bunga Asmara. Saat lain kepala-
nya ditundukkan. Dewi Bunga Asmara memandang
sesaat pada bola mata Joko. Lalu perlahan-lahan gadis ini pejamkan sepasang
matanya. Debaran dada murid Pendeta Sinting makin keras.
Dan perlahan-lahan kepalanya bergerak ke bawah.
Dewi Bunga Asmara makin pejamkan matanya saat te-
rasa keningnya dicium murid Pendeta Sinting dan saat lain bibirnya terasa hangat
ketika bibir Joko bergerak menyentuh bibirnya.
Untuk beberapa lama kedua orang itu tenggelam
dalam pelukan mesra hingga satu saat tiba-tiba Dewi
Bunga Asmara tarik kepalanya dari wajah Joko dengan
perdengarkan batuk-batuk kecil beberapa kali. Di lain pihak, murid Pendeta
Sinting pun cepat takupkan tangan kanan pada mulutnya dan berusaha menahan na-
pas. "Busyet! Ada-ada saja yang mengganggu.... Dari ma-
na sebenarnya asap ini..." Hem.... Kalau ada asap,
pasti ada api! Dan berarti ada orang di tempat ini!" Murid Pendeta Sinting
membatin karena saat itu menda-
dak saja tempat di mana dia berada bersama Dewi
Bunga Asmara telah dipenuhi asap!
"Dewi.... Aku yakin ada orang lain di tempat ini!" bisik Joko.
"Aku juga menduga demikian!" ujar Dewi Bunga As-
mara dengan palingkan kepala tidak berani meman-
dang. Joko pentangkan mata. Merasa aneh, karena ter-
nyata asap itu tidak melingkupi sekitar tempat itu. Sebaliknya hanya berputar-
putar di tempat mana Joko
dan Dewi Bunga Asmara tegak. Lalu memanjang ke
atas. Pendekar 131 gerakkan kepala mengikuti arah
asap. Ternyata asap itu memanjang ke atas dan ber-
sumber dari satu dahan di sebuah pohon!
Karena masih tertutup asap, Joko belum bisa meli-
hat bagaimana asap bisa bersumber pada dahan se-
buah pohon. Namun diam-diam hatinya berdebar dan
menduga-duga. Saat lain dia berkelebat keluar dari pu-taran asap yang
melingkupinya. Dan hampir bersa-
maan, Dewi Bunga Asmara juga melompat.
Murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara sa-
ma mendongak ke arah dahan pohon dari mana asap
bersumber. Mata Joko terpentang seketika. Sementara
Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah dengan
bergumam tak jelas.
"Kakek usil itu!" bisik murid Pendeta Sinting demi
melihat satu sosok tubuh enak-enakan duduk bersan-
dar di salah satu dahan dengan mulut kepulkan asap
dari dua pipa! *** SEPULUH "HARAP tidak berburuk duga.... Kalian lihat sendiri.
Kepalaku tengadah melihat langit. Kalaupun kalian
terganggu dan batuk-batuk terkena asapku, jangan sa-
lahkan aku. Asap itu yang nyasar tak tahu diri...."
Orang di atas dahan yang ternyata si kakek adanya
perdengarkan suara. Saat bersamaan dia menghela
napas. Asap yang semburat ke bawah laksana disedot
kekuatan dahsyat. Lalu bergulung-gulung mengecil
dan masuk amblas ke kedua pipa di mulutnya!
Joko dan Dewi Bunga Asmara berpaling saling pan-
dang tanpa ada yang buka mulut. Namun mau tak
mau Joko sedikit jengkel dengan ulah si kakek. Dia
yakin, meluncurnya asap tidak akan terjadi kalau ti-
dak disertai tenaga dalam.
"Kek! Kau telah menerima syarat jika akan terus
ikut! Tapi dengan...."
"Hem.... Begitu"!" Si kakek telah memotong. "Aku
memang telah terima syarat! Tapi kurasa aku masih
belum melanggar ketentuan!"
"Asapmu itu!"
"Anak muda.... Seharusnya kau berterima kasih!
Bukan padaku, karena aku tidak mengharap rasa te-
rima kasih! Tapi pada asap itu! Sebab dengan asap itu, kau terlepas dari malu
besar! Bukan malu padaku, ta-pi pada seseorang.... Bukan pada gadis cantik di
sam-pingmu itu, tapi pada gadis lain...."
"Kek! Kau bicara apa"! Jangan mencari dalih!"
Si kakek tertawa. "Apa gunanya dalih"! itu dilaku-
kan seseorang yang tidak punya bukti kuat! Sekarang
coba jangan terus pandangi aku begitu rupa! Bukan
karena aku malu padamu, namun sebagai temanmu,
aku jadi malu pada orang lain!"
"Keki Di sini tidak ada orang lain! Jangan kau terus mencari alasan!"
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan! Kalau perde-
batan ini dilanjutkan, tidak akan selesai.... Lagi pula ini kesalahan kita!
Kalau tidak disadarkan olehnya,
mungkin kita akan terus berada di sini dan itu akan
membuat kita terlambat!" Dewi Bunga Asmara berbi-
sik. Namun karena sudah jengkel, Joko tidak pedulikan ucapan Dewi Bunga Asmara.
Dia kembali berteriak.
"Kek! Karena kau telah melanggar syarat, harap
sampai di sini saja kau mengikutiku!"
"Hem.... Begitu"! Perlu kau tahu satu hal, Anak Mu-
da! Orang dimabuk cinta memang akan lupa segala-
nya. Tempat, waktu, dan keadaan! Aku maklum hal
itu.... Tapi sekarang kau tentu telah agak sadar. Kuharap kau sekarang ingat
tempat, waktu, dan ke-
adaan...."
Joko sudah akan buka mulut lagi. Namun si kakek
di atas pohon telah lanjutkan ucapan. "Jangan kau potong ucapanku! Sekarang
kuharap kalian berdua ber-
paling jauh ke samping kanan sana! Ingat.... Perlahan-lahan saja dan jangan
terkejut!"
Meski belum mengerti ke mana arah tujuan ucapan
si kakek, baik Pendekar 131 maupun Dewi Bunga As-
mara segera turuti ucapan orang. Mereka berdua ber-
paling ke samping kanan. Dan mungkin karena pena-
saran, Joko bukannya berpaling perlahan-lahan, na-
mun kepalanya disentakkan!
Kepala Joko laksana dipacak. Sepasang matanya
membesar dengan mulut terkancing rapat. Wajahnya
berubah merah padam dan tegang. Saat lain dia meli-
rik pada Dewi Bunga Asmara dengan dada berdebar.
Di lain pihak, Dewi Bunga Asmara tampak terkejut.
Parasnya berubah merah meski tidak tegang. Bahkan
pandang matanya mengisyaratkan rasa tidak senangi
"Anak muda sekalian.... Apa pendapat kalian ber-
dua"! Perlu kalian tahu, dia telah tegak di sana hampir bersamaan dengan
keberadaan kalian di tempat ini!
Tapi aku tak tahu, apakah dia tengadah ke langit se-
pertiku atau melotot seperti sekarang...."
"Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tahu apa
yang kulakukan bersama Dewi Bunga Asmara.... Bu-
syet betul! Mengapa aku sampai tidak tahu kehadi-
rannya"!" Joko membatin.
"Dari sikapmu, sepertinya kau kenal dengan dia!
Siapa dia"!" Dewi Bunga Asmara ajukan tanya dengan
suara pelan namun nadanya agak ketus.
Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya terus arah-
kan pandang matanya ke depan. Pada satu sosok tu-
buh yang tegak dengan mata memandang tak berke-
sip ke arah Joko dan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah
seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah muda.
Rambutnya panjang digerai dan diberi hiasan pita.
"Mei Hua.... Mengapa dia berada di tempat ini"!
Apakah dia juga bermaksud ke Bukit Toyongga"!"
"Kau belum jawab pertanyaanku.... Kau kenal de-
ngan gadis itu"! Siapa dia..." Ada hubungan apa de-
nganmu"!" Dewi Bunga Asmara ajukan tanya. Sepa-
sang matanya terus memperhatikan sosok gadis di se-
berang sana. Di lain pihak, gadis berbaju merah muda dan bukan lain ternyata
adalah Mei Hua, juga arahkan pandang matanya pada Dewi Bunga Asmara. Hingga
untuk beberapa lama kedua gadis ini sama perang
pandang. "Aku memang mengenalnya.... Dia bernama Mei
Hua...." Akhirnya Joko menjawab dengan suara di-
tekan. "Hem.... Hubunganmu dengannya"!" tanya Dewi
Bunga Asmara. "Hanya sebagai sahabat! Dia pernah menolongku...."
"Aku tak mau kau dustai ! Kalau dia hanya sebagai
sahabat, mengapa pancaran matanya membayangkan
rasa cemburu"! Kau kekasihnya..."!"
"Dewi.... Terus terang saja. Aku orang baru di negeri ini. Bagaimana mungkin
dalam waktu singkat, aku bi-sa menjalin hubungan dengan dia"!"
"Ah.... Benarkah ucapannya"! Jangan-jangan gadis
itu sama sepertiku! Meski baru saja kenal tapi sudah jatuh cinta.... Kalau
benar, apa yang harus kulakukan..." Dia berwajah cantik.... Mungkinkah pemuda
ini akan lebih tertarik padanya"!" Dewi Bunga Asmara
membatin. Sementara di depan sana, Mei Hua juga berkata
sendiri dalam hati. "Siapa gadis di sampingnya itu"!
Ah.... Mengapa aku bodoh" Bukankah mereka tadi be-
gitu mesra saling peluk cium"! Pasti dia kekasihnya"!
Hem.... Tidak kusangka sama sekali kalau pemuda
yang selama ini selalu kurindu telah memiliki seorang kekasih! Seharusnya aku
dulu bertanya dan menyelidik dahulu.... Kini semuanya sudah terlambat! Hanya
saja.... Mengapa sesingkat itu dia punya seorang kekasih di negeri ini" Jangan-
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan dia pemuda yang
suka mempermainkan perempuan! Terbukti dia tidak
tahu tempat dan keadaan! Dia berpeluk cium seenak-
nya saja di sembarang tempat! Malah dia seolah tak
peduli dengan diriku dan orang tua yang ada di atas
pohon! Dia tidak risih bercinta di depan orang! Hem....
Sebaiknya kuteruskan perjalanan ini ke Bukit Toyong-
ga! Dari gelagatnya, mereka juga akan menuju ke sana!
Atau aku batalkan saja ke sana"! Bukankah tidak ada
gunanya lagi"! Aku ke sana demi pemuda itu. Seka-
rang aku tahu dia di sini dan bercinta dengan seorang gadis! Tapi, aku akan
teruskan perjalanan ini! Aku sekarang tahu siapa sebenarnya pemuda itu! Dan me-
lihat tingkahnya, dia tidak pantas memegang peta wa-
siat! Akan kukatakan nanti pada orang-orang di sana
siapa sebenarnya pemegang peta wasiat itu!"
Berpikir begitu, setelah memandang silih berganti
pada Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara, Mei Hua
balikkan tubuh.
"Mei Hua! Tunggu!" Joko menahan seraya berkele-
bat dan tegak menghadang di hadapan Mei Hua.
Mei Hua batalkan niat. Meski dia tegak di hadapan
Joko, namun sepasang mata gadis cantik ini meman-
dang ke jurusan lain. Bahkan dia tidak berusaha buka mulut.
"Dari sikapnya, aku tahu dia cemburu...," Joko
membatin lalu berkata.
"Mei Hua.... Kalau tak keberatan, mau katakan pa-
daku kau hendak ke mana"!"
"Itu urusanku! Dan jangan coba-coba menghadang!
Dan perlu kau tahu, malam nanti, aku menunggumu!
Kau tentu sudah tahu di mana tempatnya!"
"Kau perlu sesuatu dariku"!" tanya Joko dengan co-
ba sunggingkan senyum.
"Bukan hanya aku! Tapi semua kaum persilatan di
negeri ini! Bahkan juga pihak kerajaan pun perlu se-
suatu darimu! Kau tak pantas memegang sesuatu itu!"
"Aku tahu apa yang dimaksudkannya! Pasti urusan
peta wasiat itu! Apakah aku harus mengatakan terus
terang padanya soal lenyapnya peta wasiat itu dari
tanganku" Tapi dalam keadaan seperti ini, mungkin-
kah dia mau percaya ucapanku"!"
Selagi Joko membatin begitu, Mei Hua sudah ang-
kat bicara lagi.
"Masih ada yang ingin kau katakan"! Aku tak mau
membuat orang lain marah padaku karena kau bicara
denganku! Dan mulai saat ini, harap kau tidak lagi
memandangku sebagai sahabat! Anggap saja kita tidak
pernah bertemu!"
"Mei Hua.... Jangan kau terlalu cepat menuduh!
Aku dan...."
"Katakan saja apa perlumu menahanku!" Mei Hua
sudah menukas dengan suara keras. Dan sejauh ini
dia tidak memandang ke arah murid Pendeta Sinting.
"Kau tidak perlu memberi penjelasan! Aku sudah tahu.
Perbuatan lebih bisa bicara daripada kata-kata!"
"Ah.... Repot! Kalau ini dibiarkan dan aku tidak berterus terang, hal ini akan
jadi urusan besar di bukit sana!"
Membatin begitu, akhirnya Joko memutuskan un-
tuk berterus terang. Hingga setelah melirik pada Dewi Bunga Asmara, dia berkata
pelan. "Mei Hua.... Kau boleh mempercayai ucapanku atau
tidak. Tapi ucapan ini hanya kau yang tahu, karena
aku percaya padamu!" Joko hentikan ucapannya dan
berharap Mei Hua mau berpaling memandang ke arah-
nya. Namun ternyata Mei Hua tetap tegak dengan mata
memandang ke jurusan lain.
Joko menghela napas lalu lanjutkan ucapan. "Peta
wasiat itu lenyap diambil orang!"
Mai Hua tidak terkejut dengan kata-kata Pendekar.
Bahkan dia sunggingkan senyum bernada sinis dan
dingin. Saat lain dia berucap.
"Hanya itu yang ingin kau sampaikan"! Ingat.... Aku
tak mau orang lain memandangku dengan tatapan
cemburu! Dan aku tak ingin membuat urusan gara-
gara kau tegak di hadapanku!"
"Mei Hua.... Dia itu sahabatku.... Jangan kau men-
duga yang tidak-tidak! Aku...."
"Aku tak ingin membicarakan gadis itu! Dia keka-
sihmu atau sahabatmu atau apamu, itu urusanmu!
Dan kalau peta wasiat di tanganmu lenyap, aku tahu
siapa orang yang mengambilnya! Kau begitu gigih
mempertahankan dari tangan beberapa tokoh.... Tak
tahunya kau patah di bawah ketiak perempuan! Aku
tetap akan mengambilnya nanti malam di Bukit To-
yongga!" "Mei Hua.... Tunggu!" seru Joko tatkala melihat Mei
Hua sudah berkelebat begitu selesai bicara.
Namun kali ini Mei Hua tidak pedulikan teriakan
orang. Dia terus berlari dan kemudian lenyap di depan sana. Semua orang tidak
tahu, begitu sosoknya berkelebat, gadis cantik putri Panglima Muda Lie itu te-
teskan air mata!
"Anak muda.... Kau masih ingat kata-kataku, bu-
kan"! Orang tak perlu takut menghadapi bahaya, ka-
rena bahaya itu dibuat manusia itu sendiri! Kalau o-
rang tidak membuat tindakan di luar hukum alam,
pasti bahaya itu tidak ada...." Kakek di atas pohon perdengarkan suara.
Karena masih bingung, Joko tidak pedulikan uca-
pan si kakek. Dewi Bunga Asmara pun tidak acuhkan
kata-kata orang tua di atas pohon karena dadanya
saat itu mulai panas terbakar perasaan cemburu. Bah-
kan begitu Mei Hua berlalu, Dewi Bunga Asmara sege-
ra berkelebat dan tegak di samping Joko dan langsung berucap ketus.
"Aku tahu ke mana gadis itu pergi! Kau selama ini
memang telah berjanji dengannya untuk bertemu di
sana"!"
"Aku tidak pernah berjanji...," ujar Joko pelan. Na-
mun dalam hati dia membatin. "Mudah-mudahan dia
tidak mendengar pembicaraanku dengan Mei Hua ta-
di..." "Sebelum kita lanjutkan perjalanan dan bertemu
dengan guruku, aku ingin satu kepastian darimu! Aku
tak mau nantinya mendapat malu di hadapan guruku!"
"Kepastian apa"!"
"Katakan terus terang apa hubunganmu dengan ga-
dis itu tadi!"
"Sial betul aku hari ini! Kalau sampai aku salah
ucap, aku tidak akan pernah sampai ke Bukit Toyong-
ga...." Joko membatin lalu berkata.
"Dewi.... Dia sahabatku.... Jadi kau tak usah berbu-
ruk duga padanya!"
"Benar..."!" tanya Dewi Bunga Asmara dengan bibir
mulai akan tersenyum.
"Sayang aku tidak bisa membelah dadaku.... Kalau
dapat, kau tentu akan melihat ucapanku benar ada-
nya...." "Hem.... Begitu"! Puitis betul ucapanmu.... Orang
lagi kasmaran, kadang-kadang ucapannya sukar di-
tangkap nalar.... Anehnya, orang yang mendengar me-
ngerti begitu saja.... Dasar cinta!" Si kakek di atas pohon perdengarkan suara.
Joko melirik ke atas dengan mata mendelik. Semen-
tara mendengar ucapan Pendekar, Dewi Bunga Asmara
langsung mendekat dengan bibir tersenyum. Dan de-
ngan cepat gadis ini mengambil lengan murid Pendeta
Sinting. "Kita lanjutkan perjalanan ini! Aku sudah tak sabar
ingin bertemu dengan guruku...."
"Aduh.... Bagaimana ini nanti"! Benar-benar bisa
celaka!" "Apa yang tengah kau pikirkan"! Kau masih teringat
gadis itu"!" Dewi Bunga Asmara menegur kala Joko
agak enggan meski dia telah berusaha mengajaknya
melangkah tinggalkan tempat itu.
Joko gelengkan kepala. "Aku masih merasa heran,
bagaimana kakek temanku itu tahu-tahu berada di si-
ni"!"
"Itu urusannya dia! Mengapa kau pusing memikir-
kannya"! Mungkin saja dia tadi sembunyi...."
"Aku harus memanggil kakek itu dan jalan bersa-
ma-sama. Jika tidak, akan jadi urusan besar kalau
sampai aku terus jalan dengan bergandengan tangan
begini rupa hingga Bukit Toyongga!"
Setelah berpikir begitu, Joko tengadah dan berte-
riak. "Kek! Kuharap kau turun dan jalan bersama-sama
kami! Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan-
mu!" "Hem.... Begitu"! Kau jangan menjebakku, Anak
Muda! Aku tahu, ucapanmu itu semata-mata agar aku
berlaku usil pada kalian saat jalan bersama. Dengan
begitu kalian akan mendepakku tidak boleh ikut! Lebih baik aku jalan sendiri
saja.... Lagi pula, terlalu sering melihat orang bermesraan, membuat aku jadi
berdebar dan jadi ingin punya kekasih! Padahal aku sudah
punya kekasih. Kalau aku sampai punya kekasih lagi,
itu melanggar hukum alam. Dan aku tak mau mem-
buat bahaya!" Si kakek tertawa terkekeh. Lalu lan-
jutkan ucapannya.
"Punya kekasih baru memang sedap betul! Tapi ka-
lau kekasih lama tahu, aku bisa sendiri laaagiiii...."
Joko menggerutu dalam hati. Sebenarnya dia hen-
dak berteriak merayu lagi. Tapi Dewi Bunga Asmara telah menyeretnya untuk
melangkah. Kakek di atas po-
hon kepulkan asapnya seraya gerakkan tangan kiri
kanan pulang balik melambai ke arah murid Pendeta
Sinting. Orang ini menunggu sampai Joko dan Dewi
Bunga Asmara lenyap di depan sana. Dan begitu sosok
murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara tidak
kelihatan, si kakek meluncur turun lalu berkelebat.
Dan lagi-lagi dia mengambil jalan tidak searah dengan yang diambil Pendekar 131
dan Dewi Bunga Asmara.
*** SEBELAS KARENA ditindih perasaan jengkel, geram, dan cem-
buru, Mei Hua berlari laksana orang kesetanan. Gadis cantik jelita putri
Panglima Muda Lie ini baru hentikan larinya tatkala dadanya terasa sesak sulit
bernapas. Bukan saja karena dibuat berlari dengan pengerahan
segenap ilmu peringan tubuhnya, namun juga karena
dibuat terisak sepanjang dia berlari. Hingga begitu
langkahnya berhenti, gadis ini merasakan kedua ka-
kinya berat. Saat lain sosoknya jatuh menggelosoh di atas tanah dengan kedua
tangan menakup di depan
wajah. Mei Hua tidak sadar berapa lama dia duduk meng-
gelosoh di atas tanah dengan sosok berguncang mena-
han isakan tangis. Yang dia tahu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
berkata. "Tidak disangka, di tempat sepi begini ada seorang
gadis duduk sendirian dengan wajah tertutup tangan
dan menangis. Dari suara isakanmu, pasti baru saja
terjadi peristiwa yang sangat memilukan! Dan melihat tempat yang kau pilih,
tentu urusannya masih berkaitan dengan asmara...."
Mei Hua buru-buru hentikan isakan. Dia jelas dapat
menebak jika yang baru saja perdengarkan suara ada-
lah seorang perempuan. Kedua tangannya perlahan di-
turunkan. Namun belum sampai wajahnya terbuka,
kembali terdengar ucapan.
"Urusan asmara kadang-kadang memang sangat
menyakitkan. Herannya, orang tidak juga merasa jera
untuk melewatinya. Padahal dia tahu, kepedihan itu
sudah di hadapan mata jika dia sudah tenggelam mele-
wati api asmara...."
Niat Mei Hua yang hendak palingkan kepala seketi-
ka dibatalkan. Dia usap linangan air matanya dengan
kedua tangan seraya membatin.
"Suara yang pertama jelas suara milik seorang pe-
rempuan. Dan suara yang kedua adalah milik seorang
laki-laki! Hem.... Berarti ada dua orang di tempat ini!
Mengapa mereka berdua seakan tahu apa yang tengah
menimpaku" Siapa mereka sebenarnya" Ataukah me-
reka berdua juga tahu apa yang tadi terjadi antara aku dengan pemuda asing serta
gadis itu"!"
Mungkin karena merasa malu karena mendapati
orang yang bersuara telah tahu apa urusannya, Mei
Hua tidak berusaha berpaling saat dia berkata.
"Harap tidak mengganggu dan segera tinggalkan
tempat ini!"
"Ah.... Tidak ada maksud untuk mengganggumu.
Aku hanya kebetulan lewat dan tahu kau berada di si-
ni! Dan kalaupun aku berhenti, karena mataku seper-
tinya pernah mengenalimu!"
Mei Hua jelas mendengar suara yang baru saja ter-
dengar adalah suara si perempuan. Dadanya jadi ber-
debar tidak enak. Dan dia terlonjak kaget saat ter-
dengar suara tadi.
"Kalau mataku tidak salah pandang, bukankah kau
putri Panglima Muda Lie"!"
Telinga Mei Hua jelas mendengar jika suara yang
baru saja adalah suara si laki-laki.
Mei Hua tegarkan diri. Saat lain kepalanya berpa-
ling. Sesaat mata gadis ini menyipit dengan dahi berkerut. Mungkin belum
percaya, dia bergerak bangkit
lalu putar diri menghadap orang.
"Aneh.... Jelas-jelas telingaku mendengar suara dua
orang! Perempuan dan laki-laki. Tapi yang di hada-
panku hanya satu orang! Sikap dan dandanannya pun
aneh...." Mei Hua memang hanya melihat satu sosok tubuh.
Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya
putih, hidungnya mancung. Rambutnya yang hitam le-
bat dibiarkan bergerai. Tapi bukan karena ketampanan si pemuda yang membuat Mei
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hua sipitkan mata dengan dahi berkerut. Karena meski dia adalah seorang
pemuda, namun bibir pemuda ini dipoles merah me-
nyala. Pipi kiri kanannya juga disaput dengan polesan berwarna merah muda.
Selain itu, ternyata pemuda ini juga mengenakan pakaian mirip kebaya yang
biasanya dikenakan orang perempuan! Dadanya tampak mem-
busung kencang laksana seorang dara. Tangan kanan-
nya bergerak gemulai pulang balik mainkan sebuah
kipas. Mei Hua edarkan pandangan berkeliling karena dari
suara orang yang tadi terdengar, dia masih menduga
kalau di tempat itu bukan hanya satu orang yang
muncul. "Kau mencari seseorang"!" tanya si pemuda berke-
baya. Mei Hua mendengar suara si pemuda persis se-
perti suara seorang perempuan.
Mei Hua berpaling tanpa menjawab. Dahinya makin
berkerut. "Jangan-jangan suara dua orang tadi hanya
dia yang mengucapkannya!"
"Kau putri Panglima Muda Lie, bukan"!"
"Ah.... Jadi benar dia orangnya! Tidak ada orang
lain di tempat ini!" Mei Hua terus membatin begitu si pemuda berkebaya
perdengarkan suara lagi. Namun
kali ini jelas suaranya adalah suara laki-laki.
"Siapa pemuda ini"! Dari mana dia tahu aku adalah
putri panglima"! Ataukah dia teman ayahku..."! Bisa
celaka kalau dia benar-benar mengenal ayahku dan
sekarang hendak pergi ke Bukit Toyongga!"
"Siapa kau"!" Mei Hua ajukan tanya setelah agak
lama berdiam diri.
"Kau belum jawab pertanyaanku...." Si pemuda ber-
kebaya angkat suara.
"Aku tidak akan menjawab!" kata Mei Hua dengan
nada agak ketus karena dadanya masih dibuncah rasa
jengkel. "Hem.... Kau pun tak akan tahu siapa diriku! Tapi
satu hal yang pasti, mataku tak mungkin salah me-
ngenalimu!"
Mei Hua menyeringai. "Salah atau benar itu urusan-
mu! Yang pasti kau salah dalam satu urusan ini!" Mei Hua arahkan pandang matanya
ke jurusan lain. Lalu
lanjutkan ucapan. "Harap segera tinggalkan tempat
ini!" Pemuda berkebaya tertawa panjang. "Dari arah
yang kau tuju, pasti kau hendak ke Bukit Toyongga!
Tampaknya bukan hanya ayahmu yang tertarik uru-
san peta wasiat, namun kau juga suka melibatkan diri dalam urusan ini! Hem....
Mau turut saranku"!"
"Aku tak butuh saran! Aku perlu kau segera angkat
kaki dari hadapanku!"
Si pemuda berkebaya bukannya segera melangkah
pergi. Namun makin keraskan tawanya dan berkata.
"Sedang patah hati"! Mau katakan siapa pemuda
yang menyakiti hatimu"!"
Mei Hua berpaling dengan mata mendelik angker.
Saat lain dia membentak.
"Kalau kau tak bisa diberi tahu dengan ucapan, aku
punya cara lain! Sebelum niatku berubah, harap sege-
ra turuti ucapanku!"
Si pemuda berkebaya gelengkan kepala. "Kau me-
mang putri salah seorang pembesar negeri ini. Tapi bukan berarti kau bisa
seenaknya saja mengusir orang!
Lagi pula tempat ini bukan milik ayahmu!"
Ucapan orang membuat Mei Hua makin geram, na-
mun dia sadar jika ucapan orang benar adanya. Hing-
ga dia segera menyahut.
"Aku tidak mengusirmu. Aku hanya tak ingin di-
ganggu apalagi urusannya berkaitan dengan pribadi-
ku!" "Aku tak akan ikut campur urusanmu. Aku hanya
bertanya, siapa tahu aku bisa menolong...."
"Maaf, aku tidak perlu bantuan orang lain...."
"Hem.... Kalau begitu jawabmu, aku tidak memak-
sa. Dan kuharap kau juga tidak memaksaku untuk
angkat kaki dari tempat ini!"
"Terus di sini bersama orang ini akan membuat da-
daku jengkel. Lebih baik aku saja yang pergi!" Akhirnya Mei Hua memutuskan. Dia
putar diri lalu berkele-
bat. "Tunggu!" Mendadak si pemuda berkebaya mena-
han. Mei Hua batalkan niat meski dengan dada tambah
dongkol. "Kau mau bicara"! Silakan. Tapi jangan harap kau akan mendapat jawaban
apa-apa dariku!"
"Aku tidak perlu jawaban. Namun tak ada salahnya
kau dengarkan ucapanku.... Sebagai putri panglima,
pasti kau telah tahu siapa yang memegang peta wasiat, karena pihak kerajaan
telah ikut campur urusan ini
meski secara diam-diam. Dan kalaupun kau ikut-iku-
tan hendak pergi ke Bukit Toyongga, kurasa bukan ka-
rena peta wasiat itu. Namun kau lebih tertarik dengan orang yang memegang peta
wasiat itu! Bagaimana" Betul bukan"!"
"Dari mana dia tahu"!" Mei Hua membatin dengan
paras berubah kaget. Sementara melihat sikap orang,
tampaknya si pemuda berkebaya dapat membaca.
"Hem.... Dugaanku tampaknya tidak jauh meleset!
Dan jangan-jangan dia menangis akibat urusan de-
ngan pemuda itu...." Membatin si pemuda berkebaya
dengan bibir tersenyum. Di lain pihak, tampaknya Mei Hua jadi terpancing
mendapati orang sebut-sebut pemuda yang membawa peta wasiat. Mei Hua sudah bisa
menebak jika yang dimaksud si pemuda berkebaya
adalah Pendekar.
Mendapati pancingannya mengena, si pemuda ber-
kebaya tidak sia-siakan kesempatan. Dia segera beru-
jar. "Aku tahu betul siapa pemuda itu.... Kau boleh percaya boleh tidak. Dia
sebenarnya adalah sahabatku..."
Mei Hua kontan balikkan tubuh. "Kalau kau saha-
batnya, kau juga perlu mendapatkan hajaran!"
"Hem.... Antara dia dengan pemuda itu tampaknya
ada urusan! Dugaanku tidak meleset lagi!" Si pemuda
berkebaya lagi-lagi membatin mendapati sikap Mei
Hua. Lalu berkata. "Ah.... Apa pun yang dilakukan sahabatku itu, tidak
selayaknya getahnya juga kau lim-
pahkan padaku! Itu urusan kalian berdua.... Cuma sa-
tu hal yang harus kau tahu, selama ini dia sering
membicarakanmu.... Kalau aku tak salah pandang,
tampaknya dia tertarik padamu...."
Dada Mei Hua berdebar. Sepasang matanya ber-
binar. Bibirnya hampir saja sunggingkan senyum jika
tiba-tiba saja dia tidak teringat akan kejadian yang ba-ru dilihat.
"Kau jangan berkata mengada-ada! Dan kalaupun
dia tertarik padaku, kau kira aku juga tertarik padanya"!" kata Mei Hua dengan
suara keras. "Ah.... Ada apa sebenarnya antara kau dengannya"!
Beberapa hari yang lalu dia masih membicarakanmu
dan tampaknya tidak terjadi apa-apa! Jangan-jangan
dia menyembunyikan sesuatu padaku! Tapi itu tak
mungkin.... Dia selalu berterus terang padaku.... Atau kau...."
Belum sampai si pemuda berkebaya lanjutkan uca-
pan, Mei Hua telah menyahut.
"Aku melihat sendiri dia bercinta dengan gadis lain!
Kalau kau sahabatnya, katakan padanya. Jika bercinta harap lihat tempat dan
keadaan! Jangan bercinta seenaknya di sembarang tempat!"
"Ah.... Kau jangan mengarang cerita! Tak mungkin
dia melakukan hal itu! Aku tahu betul siapa dia!
Mungkin saja kau salah lihat...."
"Mataku tidak buta! Dan lagi pula apa perlunya aku
mengarang cerita"!"
"Kalau betul, kau bisa mengatakan siapa gadis yang
bercinta dengannya"!"
"Aku tak kenal gadis itu!"
"Kau bisa mengatakan ciri-cirinya"! Siapa tahu aku
bisa menerangkan padamu hingga tidak ada lagi ke-
salahpahaman antara kalian berdua!"
"Terlambat kalau kau akan menengahi urusan ini!
Tapi agar kau percaya, akan kukatakan padamu ciri-
ciri gadis binal itu! Dia berwajah cantik. Mengenakan pakaian warna kuning.
Dadanya dibuka lebar begitu
juga pahanya!"
Pemuda berkebaya dongakkan kepala seolah berpi-
kir dan mengingat. Kejap lain dia berucap.
"Dia tidak pernah sebut-sebut gadis dengan ciri
yang kau sebutkan. Tapi kalau aku tak salah, aku bias menebak siapa gadis itu
adanya!" Si pemuda berkebaya hentikan ucapannya sesaat.
Sementara Mei Hua tampak menunggu dan menyimak
ucapan orang dengan seksama. Dia memang ingin ta-
hu siapa sebenarnya gadis berbaju kuning yang ber-
mesraan dengan Pendekar.
"Siapa dia"!" Mei Hua ajukan tanya karena si pe-
muda berkebaya tidak segera lanjutkan ucapannya.
"Dia bernama Bang Sun Giok. Namun orang lebih
mengenalnya dengan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah
murid tunggal seorang tokoh dunia persilatan bernama Li Muk Cin yang lebih
dikenal dengan Ratu Selendang
Asmara...."
"Pantas.... Selama ini aku hanya dengar namanya
tanpa tahu bagaimana orangnya!" ujar Mei Hua. "Dan
ternyata memang benar! Dan kalau memang dia, aku
kini tidak heran lagi. Gadis macam dia memang tidak
memandang tempat bila bercinta!"
"Tunggu dulu.... Apakah benar kau melihat sendiri
sahabatku itu bersama gadis yang kusebutkan tadi"!"
tanya pemuda berkebaya.
"Untuk apa aku membuat cerita dusta"!"
"Kalau saja bukan kau yang berkata, mungkin aku
masih sangsi!"
"Kau sahabatnya! Aku tak heran kalau kau sangsi
dan membelanya!"
"Aku tidak membelanya. Hanya aku terkejut. Bagai-
mana mungkin hal ini bisa terjadi"! Karena selama ini dia tidak pernah cerita
tentang Dewi Bunga Asmara!"
"Laki-laki di mana-mana sama! Dia tidak akan me-
lihat siapa yang diajaknya bercinta!"
"Hem.... Dari tadi ucapanmu selalu bernada ketus.
Kau tampak diliputi perasaan cemburu. Kalau tak sa-
lah duga, kau berada di sini menangis sendirian pasti masih ada kaitannya dengan
gadis berbaju kuning
itu...." Tampang Mei Hua tampak berubah. Namun karena
tak mau orang tahu, dia segera menyahut.
"Dugaanmu salah! Ada hal lain yang membuatku
berada di sini! Dan jangan bertanya hal apa itu. Kare-na aku tidak akan
menjawab!"
Si pemuda berkebaya tertawa. "Aku tak akan ber-
tanya. Karena semua keteranganmu tadi sudah cukup
buatku untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah
terjadi.... Hanya saja aku masih heran. Kau tadi bilang mereka bercinta tidak
memandang tempat keadaan.
Apakah hal ini benar"!"
Pertanyaan si pemuda membuat dada Mei Hua yang
sudah agak mereda jadi kembali bergemuruh. Dia sen-
takkan kepalanya ke jurusan lain seraya berkata.
"Dia berpeluk cium di tempat terbuka! Sampai dia
tidak tahu jika aku lewat! Bahkan dia tidak pedulikan seseorang yang ada di
atasnya!" "Aneh.... Bagaimana mungkin"! Barangkali orang
itu tengah mengintip!"
"Tidak! Orang yang di atasnya itu tidak mengintip!
Malah mungkin karena malu, orang itu sengaja tenga-
dahkan kepala terus menerus! Dan ternyata dia adalah temannya!"
"Astaga! Bagaimana bisa begitu"!" gumam si pemu-
da berkebaya dengan tampang sedikit berubah. Namun
Mei Hua tidak begitu memperhatikan perubahan wajah
orang, karena gadis ini menduga perubahan itu karena
terkejut tidak percaya.
"Dia seorang kakek"!" tanya pemuda berkebaya.
"Benar!"
"Wajahnya tidak kelihatan karena selalu tertutup
batu putih"!"
Mei Hua geleng kepala membuat pemuda berkebaya
sedikit kerut dahi. Diam-diam pemuda ini membatin.
"Siapa yang bersamanya"!"
"Kakek itu wajahnya memang terlihat samar-samar.
Namun bukan karena tertutup batu putih. Melainkan
tertutup asap putih yang selalu mengepul dari dua pi-pa di mulutnya!"
Kali ini si pemuda berkebaya tidak bisa lagi mena-
han rasa kejutnya. Hingga Mei Hua dapat menebak ji-
ka rasa kejut orang bukan karena keterangannya, tapi ada sebab lain.
"Mengapa kau terkejut"! Kau kenal dengan kakek
itu"!"
"Karena pemuda itu adalah sahabatku, tentu aku
kenal siapa kakek itu!"
"Siapa dia"!"
"Aku tidak akan mengatakannya padamu! Bukan
karena apa, aku malu sendiri jika punya teman yang
tindakannya memalukan begitu rupa! Bagaimana
mungkin dia diam begitu saja melihat sahabatnya ber-
buat yang tidak senonoh di hadapan matanya"!"
Mei Hua tersenyum mendengar ucapan si pemuda
berkebaya. Namun tiba-tiba senyumnya pupus tatkala
dia menyadari sesuatu. "Aneh.... Bukankah pemuda
pembawa peta wasiat itu pemuda asing"! Bagaimana
pemuda ini bisa mengatakan sebagai sahabatnya"! Da-
ri paras wajahnya serta dia mengenal banyak tokoh di negeri ini, aku yakin
pemuda ini asli dari negeri ini..."
Berpikir begitu, Mei Hua sudah buka mulut hendak
bertanya. Namun si pemuda berkebaya keburu angkat
suara mendahului.
"Kau bertemu mereka di mana"!"
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kira-kira lima ratus tombak dari sini!"
"Kau menduga mereka akan ke Bukit Toyongga"!"
"Aku tak bisa menerka. Tapi dari jalan yang mereka
tempuh dan hari yang ditentukan, aku hampir yakin
mereka juga hendak ke Bukit Toyongga!"
"Ah.... Kalau begitu, aku harus menghadang mere-
ka!" Mei Hua mengernyit. Namun belum lagi dia ajukan
tanya, si pemuda berkebaya sudah bersuara lagi se-
olah tahu apa yang akan ditanyakan orang.
"Kau pasti telah tahu siapa Ratu Selendang Asmara.
Muridnya pasti tidak akan jauh berbeda! Sahabatku
itu tidak boleh bersama gadis binal itu! Siapa tahu gadis itu punya tujuan
tertentu!"
"Yang kau maksud, gadis itu hendak menginginkan
peta wasiat"!" tanya Mei Hua.
"Betul! Pasti gadis itu menggoda sahabatku dengan
kemontokan tubuhnya! Lalu akan mengambil peta wa-
siat itu begitu sahabatku terlena! Ini tidak boleh terjadi!" Si pemuda berkebaya
balikkan tubuh. Mei Hua tersenyum sekali lagi dan ikut putar diri. Saat lain
gadis putri Panglima Muda Lie ini berkata.
"Mudah-mudahan kau tidak terlambat! Karena dia
telah mengatakan jika peta wasiat di tangannya sudah lenyap diambil orang! Tapi
aku tidak percaya itu! Dan kalaupun benar-benar lenyap, aku tahu siapa yang
mengambilnya! Pasti gadis binal yang bercinta dengannya itu!"
Habis berkata begitu, Mei Hua hendak berkelebat.
Namun mendadak dia teringat lagi akan kejanggalan
yang belum sempat ditanyakan karena si pemuda ber-
kebaya keburu ajukan tanya. Mei Hua cepat balikkan
tubuh lagi. Dia terkejut. Karena dia sekarang tinggal seorang diri. Pemuda
berkebaya tidak kelihatan lagi
batang hidungnya!
SELESAI Segera terbit: WASIAT DARAH DI BUKIT
TOYONGGA Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
SATU *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS SELESAI
Misteri Lukisan Tengkorak 1 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 7
berpencar!"
"Mengapa begitu"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Guruku pasti akan ada di sana!"
"Hem.... Kau takut karena bersamaku"!"
"Bukan begitu...," kata Dewi Bunga Asmara dengan
gelengkan kepala. "Aku tahu bagaimana sifat guruku.
Dan selama ini dia mungkin masih menduga peta wa-
siat itu berada di tanganmu! Selain itu, bentrokan tempo hari mungkin masih
tidak bisa dilupakannya! Aku
tak mau kau celaka gara-gara bersamaku.... Demikian
pula sebaliknya! Namun setelah itu, aku akan membe-
ritahukan pada Guru bagaimana duduk persoalan se-
benarnya! Dan di sana pula mungkin nanti Guru tahu
sendiri siapa sebenarnya yang memegang peta wasiat
itu!" "Hem.... Bagaimana kalau kita menemui gurumu
bersama-sama"! Aku yang akan menjelaskan sendiri!"
"Saat seperti sekarang ini, bukan waktu yang tepat
untuk melakukan hal seperti itu!" ujar Dewi Bunga
Asmara meski hatinya berdebar senang mendengar
ucapan Joko. "Hem.... Itu kita bicarakan nanti sambil jalan. Se-
karang aku akan memberi tahu persyaratan apa yang
harus dilakukan kakek itu kalau dia mau ikut bersa-
ma kita!" Habis berkata begitu, Joko melompat dan tegak di
hadapan kakek yang tetap sandarkan tubuh ke bata-
ngan pohon di belakangnya.
"Kek.... Kami memutuskan akan mengajakmu ikut
sertai Tapi...."
"Hem.... Begitu"!" Si kakek sudah menyahut sebe-
lum Joko selesai berkata. "Jadi kalian sudah memu-
tuskan. Namun kalian memasang syarat! Ha... Ha...
Ha... Anak Muda.... Perlu kau tahu satu hal. Jika seseorang memasang satu
syarat, itu satu bukti kalau
orang itu kurang percaya diri! Tapi tak apalah.... Katakan apa syarat itu..."!"
"Harap tidak berlaku usil saat di tengah jalan! Dan
jika sampai di Bukit Toyongga, harap tidak melakukan atau berucap yang membikin
suasana berubah jadi
panas...."
"Hem.... Begitu"! Hanya itu syaratnya"!"
Joko menjawab dengan anggukkan kepala. Si kakek
tertawa panjang. Lalu berujar.
"Syarat mudah.... Aku bersedia melakukannya!"
"Orang aneh.... Sebenarnya apa maksudnya dia
hendak ikut ke Bukit Toyongga..." Dia juga tidak bertanya ada apa sebenarnya!
Hem...." Joko membatin
memperhatikan si kakek sekali lagi dengan lebih sek-
sama. Yang dipandangi balas memandang.
"Anak muda! Rasanya tak ada dari tubuhku yang
sedap untuk dipandang! Sementara di belakangmu ada
pemandangan indah yang terlalu sayang disia-siakan!
Atau barangkali kau lebih tertarik dengan dada dan
pahaku"!"
Joko menyeringai. Saat lain dia balikkan tubuh dan
melompat ke arah Dewi Bunga Asmara.
"Dewi.... Kita berangkat sekarang...."
Dewi Bunga Asmara tersenyum lalu anggukkan ke-
pala dan mulai melangkah. Joko berpaling sesaat pada si kakek, lalu tanpa buka
mulut dia mengikuti langkah Dewi Bunga Asmara. Anehnya, meski tahu Pendekar
131 dan Dewi Bunga Asmara sudah bergerak bahkan
sudah agak jauh melangkah, si kakek masih saja tegak bersandar di batangan
pohon. Malah saat sosok murid
Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara lenyap tidak
kelihatan, si kakek belum juga beranjak dari tempat-
nya. Baru begitu sudah agak lama, si kakek mulai me-
langkah dari dekat batangan pohon di mana tadi dia
bersandar. Herannya, dia tidak segera berkelebat menyusul agar tidak kehilangan
jejak. Sebaliknya me-
langkah perlahan-lahan seraya mengisap dua pipa di
mulutnya. Dan ternyata dia melangkah tidak mengam-
bil arah seperti yang diambil Pendekar 131 dan Dewi
Bunga Asmara! *** SEMBILAN KARENA telah maklum akan kehebatan ilmu peri-
ngan tubuh si kakek, Pendekar 131 memberi saran
agar Dewi Bunga Asmara berlari sekuat yang dia mam-
pu. Dan begitu si gadis mulai berlari, tanpa meman-
dang ke belakang, murid Pendeta Sinting pun segera
berlari. Setelah menempuh perjalanan hampir setengah ha-
ri, pada satu tempat, Dewi Bunga Asmara berhenti.
"Perjalanan kita sudah tak jauh lagi. Kita istirahat sejenak!" berkata Dewi
Bunga Asmara dengan tangan
mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Dada-
nya tampak bergerak keras turun naik.
Joko ikut hentikan larinya dan tegak menjajari. Dia
berpaling hendak berkata, namun meski mulutnya te-
lah terbuka, tidak terdengar suaranya. Sebaliknya sepasang matanya tampak
membesar memandang tak
berkesip. "Edan! Dalam keadaan basah oleh keringat begini
rupa, sosoknya begitu menggoda...." Joko bergumam
dalam hati dengan mata menatap tajam pada sosok
Dewi Bunga Asmara.
Karena pakaian yang dikenakan si gadis sangat ti-
pis dan basah oleh keringat, membuat pakaian itu laksana melekat hingga membikin
semua lekukan tubuh-
nya terlihat jelas. Belum lagi gerakan dadanya yang turun naik dan renggangkan
kedua kakinya yang mem-
buat belahan pakaian bawahnya melebar menampak-
kan pahanya yang berkulit putih dan padat.
"Aku tidak mendengar suara kakek temanmu itu!"
Dewi Bunga Asmara kembali angkat suara. Saat ber-
samaan dia gerakkan tubuh menghadap Joko yang te-
gak di sampingnya.
Murid Pendeta Sinting tampak salah tingkah. Dia
buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain.
Tampaknya Dewi Bunga Asmara sadar. Dia tundukkan
kepala melihat ke arah belahan di dadanya yang me-
mang dibuat agak rendah. Lalu memandang pada be-
lahan pakaian di pahanya. Saat lain dia kembali putar diri menghadap ke depan.
Wajahnya sedikit berubah.
Mungkin karena sama-sama salah tingkah, untuk
beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mu-
lut. Hanya mata mereka yang sesekali melirik.
"Dewi.... Berapa lama lagi perjalanan sampai bukit
itu"!" Akhirnya Joko memecah kebisuan.
"Kalau kita berlari seperti tadi, mungkin sebelum
petang kita sudah sampai!"
"Kau yakin memang akan banyak tokoh yang hadir
di sana"! Apakah tidak mungkin undangan ini hanya
ulah seseorang yang mengail di air keruh"!"
"Menurut kesimpulanku setelah melihat apa yang
terjadi beberapa waktu terakhir ini, aku yakin akan
banyak tokoh yang hadir! Dan aku pun juga menduga,
undangan ini adalah ulah seseorang! Hanya saja orang itu pasti memegang peta
wasiat!" "Mengapa kau menduga begitu"!"
"Kau tahu sendiri. Peta wasiat itu terbagi dua. Satu berada di Perguruan
Shaolin, satunya lagi masih menjadi teka-teki di mana beradanya. Sementara
waktunya telah tiba. Jika malam ini peta wasiat tidak bisa disatukan, maka peta
wasiat itu tidak akan ada artinya
lagi! Untuk itulah salah seorang yang memegang peta
wasiat menyebar undangan. Dengan begitu, siapa pun
yang memegang peta wasiat satunya pasti akan da-
tang, karena dia juga menginginkan separo dari peta
wasiat! Jika tidak, untuk apa menyebar undangan"!
Dan karena orang ini belum tahu siapa yang meme-
gang peta wasiat satunya, terpaksa dia memberi un-
dangan pada beberapa orang yang diduga tahu dan
ikut terlibat memperebutkan peta wasiat itu!"
"Hem.... Selain cantik, bertubuh bagus, dia juga
pintar!" Joko anggukkan kepala seraya terus melirik.
"Jika kesimpulanmu demikian, berarti akan ada
bentrokan di bukit itu!"
"Itu mungkin saja terjadi jika tidak ada kesepaka-
tan! Dan untuk itulah sebenarnya aku bertujuan ke
bukit itu! Karena aku menduga guruku akan ada di
sana.... Aku tak mau sesuatu menimpa guruku! Meski
aku yakin, kehadiranku di sana akan membuatnya
marah!" "Mengapa kau yakin gurumu akan marah melihat
kehadiranmu" Apa karena kau datang bersamaku"!"
Dewi Bunga Asmara berpaling tanpa putar tubuh.
Sepasang matanya menatap tajam pada bola mata Jo-
ko, hingga untuk beberapa lama kedua orang ini sa-
ling pandang. Namun Dewi Bunga Asmara segera alih-
kan pandangannya dan berkata.
"Keberadaanmu bersamaku mungkin saja satu se-
bab. Tapi sebelumnya sudah ada sebab. Kau masih in-
gat pertemuan kita pertama kali"!" Kepala Dewi Bunga Asmara kembali menghadap
Joko. Pendekar 131 anggukkan kepala. Kini dia yang alih-
kan pandang matanya dari dada Dewi Bunga Asmara
ke jurusan lain.
"Hem.... Aku begitu bahagia bersamanya.... Sean-
dainya pertemuan dengannya tanpa didahului satu
masalah, tentu akan lain ceritanya!" Dewi Bunga As-
mara diam-diam membatin dengan dada berdebar.
"Kau belum menjelaskan, mengapa dengan perte-
muan kita dahulu"!" Joko berujar karena si gadis be-
lum juga buka mulut lagi.
Karena Joko berkata tanpa memandang, Dewi Bun-
ga Asmara memberanikan terus memandang seraya
berkata. "Setelah aku, Guru, dan Bayangan Tanpa Wajah ta-
hu kalau kau diselamatkan Bu Beng La Ma, kami ber-
tiga sepakat untuk mengejarmu ke tempat kediaman
Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Di tengah jalan,
mungkin karena mengkhawatirkan keselamatanku,
Guru menyarankan agar aku kembali dan tidak ikut!
Namun aku bersikeras untuk ikut!" Dewi Bunga Asma-
ra hentikan ucapannya sesaat. Namun sebenarnya dia
berkata sendiri dalam hati. "Sebenarnya aku bersi-
keras ikut karena ingin berjumpa lagi denganmu dan
untuk yakinkan diri jika kau tidak apa-apa...."
"Pada mulanya, Guru memang mengizinkan aku
ikut serta. Tapi begitu akan sampai di Kuil Atap Langit, tiba-tiba Bayangan
Tanpa Wajah mengusulkan agar
aku kembali saja. Karena dia tahu benar siapa tokoh
yang hendak dihadapi! Usulan Bayangan Tanpa Wajah
membuat Guru berubah niat. Hingga akhirnya dia me-
merintahkan padaku untuk kembali saja! Dan meski-
pun aku bersikeras dan memberi alasan, Guru tidak
mau dengar! Akhirnya aku kembali pulang...."
Dewi Bunga Asmara kembali hentikan keterangan
dengan wajah sedikit berubah. Setelah menghela na-
pas panjang, dia melanjutkan.
"Beberapa hari sendiri, aku dilanda perasaan cemas
dan khawatir. Karena sampai menjelang hari ganda se-
puluh, tidak ada kabar berita guruku. Aku sudah ber-
niat untuk mencarinya. Namun sebelum berangkat,
aku mendapatkan undangan gulungan daun itu...."
Dewi Bunga Asmara putar kepala dengan mata me-
ngedar berkeliling karena saat itu dia teringat kembali pada si kakek. Dia sudah
buka mulut lagi hendak bertanya karena dia tidak melihat batang hidung orang
yang dicari. Namun sebelum suaranya terdengar, Joko
sudah angkat bicara mendahului.
"Kau pernah kenal dengan seorang pemuda yang
mengenakan pakaian mirip kebaya" Wajahnya tampan
berkulit putih. Bibirnya diberi pewarna merah. Tangan kanannya memegang sebuah
kipas...."
Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama dengan
dahi berkerut. Saat lain kepalanya bergerak mengge-
leng. "Aku tidak pernah melihatnya! Ada apa"!"
Murid Pendeta Sinting tersenyum dan geleng kepa-
la. "Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya.
Aku cuma heran, ada pemuda yang mengenakan pa-
kaian milik perempuan. Bibirnya dipoles lagi! Apakah di negeri ini banyak pemuda
yang bertingkah seperti
dia"!"
Joko tidak mau berterus terang dan coba mengorek
keterangan. Dia khawatir di negeri ini banyak pemuda yang seperti pemuda
berkebaya yang ditemuinya beberapa hari lalu. Karena jika banyak, hal ini akan
membuatnya susah. Sebab Joko yakin peta wasiat di tan-
gannya dibawa kabur pemuda berkebaya itu.
"Setahuku, baru kali ini aku mendengar ada pemu-
da seperti yang kau katakan!" Dewi Bunga Asmara
menjawab seraya memandang ke arah Joko. Panda-
ngannya jelas menyelidik. Lalu bertanya.
"Sebenarnya ada apa dengan pemuda itu"! Kau ben-
trok dengannya"!"
Kembali Joko geleng kepala dan berkata. "Aku
hanya melihat dan bicara sebentar. Kalaupun aku ber-
tanya tentang dia, karena aku merasa heran tadi! Bahkan saking heran dan
penasaran, secara diam-diam
aku mengikutinya. Aku berharap dia pergi ke sebuah
sungai dan mandi! Aku ingin tahu, apakah miliknya
ma-sih seperti milik...."
Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu De-
wi Bunga Asmara pelototkan mata dengan raut merah
padam. "Maaf. Bukan maksudku berkata yang bukan-bu-
kan. Aku cuma ingin menerangkan agar kau tidak te-
rus bertanya-tanya...."
"Hem.... Apakah kau pernah bertemu lagi dengan
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guruku sejak kau diselamatkan oleh Bu Beng La Ma"!"
Dewi Bunga Asmara alihkan pembicaraan.
Joko menjawab dengan gelengan kepalanya. "Aku
hanya sempat bertemu dengan pemuda berkebaya itu
dan kakek pengisap pipa...."
Habis berkata begitu, Joko palingkan kepala ke ka-
nan kiri. Ucapannya membuat dia teringat pada si ka-
kek. "Ke mana dia"! Dari tadi aku tidak melihat batang
hidungnya! Jangan-jangan dia sembunyi di sekitar
tempat ini!" Joko kembali putar kepala dengan mata
menyelidik. "Kau mencari seseorang"!" tanya Dewi Bunga Asma-
ra meski dia tahu apa yang tengah dilakukan Joko.
"Kakek temanku itu! Aku tidak melihatnya!"
Dewi Bunga Asmara ikut-ikutan putar kepala de-
ngan mata menyiasati keadaan. Namun hingga bebe-
rapa lama, kedua orang ini tidak melihat sosok si kakek.
"Mungkin dia batalkan niatnya untuk ikut! Di ten-
gah perjalanan tadi, aku sempat mencari-cari dengan berpaling ke belakang, tapi
aku memang tidak melihatnya!" kata Dewi Bunga Asmara.
Joko tidak sambuti ucapan si gadis. Dan karena te-
lah tahu ulah si kakek sebelumnya, dia terus menye-
lidik untuk yakinkan diri. Dan begitu tidak mene-
mukan orang yang dicari, dia ajukan tanya.
"Dewi.... Kau tahu siapa kakek itu sebenarnya"!"
Yang ditanya sipitkan mata. "Kau ini aneh. Bukan-
kah dia temanmu"! Mengapa kau bertanya padaku
tentang siapa dia"!"
"Terus terang, sebenarnya aku baru saja berkenalan
dengannya! Bahkan aku tidak tahu siapa namanya!"
Dahi Dewi Bunga Asmara makin berkerut. "Bukan-
kah kau tadi menyebutkan namanya padaku Ci Kam
Pek dan Ci Ka Long"!"
"Ah.... Itu cuma main-main.... Sebab jika aku tidak
menjawab siapa namanya saat itu, pasti kau akan
menduga jelek padaku!" jawab Joko dengan cengar-
cengir. "Kau sama saja dengan kakek itu! Suka main-
main!" ujar Dewi Bunga Asmara dengan suara ketus
dan pasang tampang cemberut. "Namamu yang kau
beri tahukan padaku jangan-jangan juga main-main!
Kau bukan Han Ko!"
"Ah.... Namaku memang yang baru kau sebut tadi!
Aku tidak main-main dengan nama itu!" ujar murid
Pendeta Sinting seraya bergerak mendekat.
Entah agar orang percaya dan.si gadis tidak cembe-
rut, perlahan-lahan Joko mengambil tangan kanan
Dewa Bunga Asmara.
Dewi Bunga Asmara sempat terkejut. Anehnya dia
tidak berusaha menolak, bahkan dia balik meremas
saat tangan Joko mulai berani meremas. Dada gadis
ini berdebar keras. Wajahnya berubah merah dan tidak berani memandang langsung
ke arah murid Pendeta
Sinting yang makin berani dengan ambil tangan kiri-
nya! "Kuharap kau percaya padaku...." Joko berkata
dengan suara agak tersendat seakan tenggelam oleh
debaran dadanya.
"Kau memang tidak main-main, bukan"!" kata Dewi
Bunga Asmara dengan palingkan kepala perlahan-
lahan menghadap Joko. Joko gelengkan kepala meski
dalam hati menahan tawa.
"Kau benar berani menghadap guruku"!"
"Dia juga manusia sepertiku. Apa yang ditakutkan"!
Lagi pula masalahnya hanya salah paham.... Tidak ada masalah yang tidak bisa
diselesaikanl Apalagi...."
Belum lagi Joko lanjutkan ucapannya, Dewi Bunga
Asmara lepaskan kedua tangannya dari tangan Joko,
membuat murid Pendeta Sinting terkejut. Dan belum
hilang rasa kejut Joko, mendadak Dewi Bunga Asmara
gerakkan kedua tangannya melingkar pada pinggang
Joko. Saat lain kepalanya disandarkan pada dada Jo-
ko! Pendekar 131 terkesiap. Dadanya bergemuruh.
Apalagi saat yang sama Dewi Bunga Asmara angkat
kepalanya tengadah hingga hidungnya yang mancung
menyentuh ujung dagunya.
"Kau tahu.... Baru saat ini aku merasakan baha-
gia.... Dan kau tahu, sejak pertama kali jumpa dengan-mu, aku sudah tertarik
padamu...." Dewi Bunga Asma-
ra berbisik pelan dengan suara serak.
Joko tidak tahu apa yang harus diucapkan. Dan
tanpa sadar kedua tangannya bergerak pula melingkar
pada pinggang Dewi Bunga Asmara. Saat lain kepala-
nya ditundukkan. Dewi Bunga Asmara memandang
sesaat pada bola mata Joko. Lalu perlahan-lahan gadis ini pejamkan sepasang
matanya. Debaran dada murid Pendeta Sinting makin keras.
Dan perlahan-lahan kepalanya bergerak ke bawah.
Dewi Bunga Asmara makin pejamkan matanya saat te-
rasa keningnya dicium murid Pendeta Sinting dan saat lain bibirnya terasa hangat
ketika bibir Joko bergerak menyentuh bibirnya.
Untuk beberapa lama kedua orang itu tenggelam
dalam pelukan mesra hingga satu saat tiba-tiba Dewi
Bunga Asmara tarik kepalanya dari wajah Joko dengan
perdengarkan batuk-batuk kecil beberapa kali. Di lain pihak, murid Pendeta
Sinting pun cepat takupkan tangan kanan pada mulutnya dan berusaha menahan na-
pas. "Busyet! Ada-ada saja yang mengganggu.... Dari ma-
na sebenarnya asap ini..." Hem.... Kalau ada asap,
pasti ada api! Dan berarti ada orang di tempat ini!" Murid Pendeta Sinting
membatin karena saat itu menda-
dak saja tempat di mana dia berada bersama Dewi
Bunga Asmara telah dipenuhi asap!
"Dewi.... Aku yakin ada orang lain di tempat ini!" bisik Joko.
"Aku juga menduga demikian!" ujar Dewi Bunga As-
mara dengan palingkan kepala tidak berani meman-
dang. Joko pentangkan mata. Merasa aneh, karena ter-
nyata asap itu tidak melingkupi sekitar tempat itu. Sebaliknya hanya berputar-
putar di tempat mana Joko
dan Dewi Bunga Asmara tegak. Lalu memanjang ke
atas. Pendekar 131 gerakkan kepala mengikuti arah
asap. Ternyata asap itu memanjang ke atas dan ber-
sumber dari satu dahan di sebuah pohon!
Karena masih tertutup asap, Joko belum bisa meli-
hat bagaimana asap bisa bersumber pada dahan se-
buah pohon. Namun diam-diam hatinya berdebar dan
menduga-duga. Saat lain dia berkelebat keluar dari pu-taran asap yang
melingkupinya. Dan hampir bersa-
maan, Dewi Bunga Asmara juga melompat.
Murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara sa-
ma mendongak ke arah dahan pohon dari mana asap
bersumber. Mata Joko terpentang seketika. Sementara
Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah dengan
bergumam tak jelas.
"Kakek usil itu!" bisik murid Pendeta Sinting demi
melihat satu sosok tubuh enak-enakan duduk bersan-
dar di salah satu dahan dengan mulut kepulkan asap
dari dua pipa! *** SEPULUH "HARAP tidak berburuk duga.... Kalian lihat sendiri.
Kepalaku tengadah melihat langit. Kalaupun kalian
terganggu dan batuk-batuk terkena asapku, jangan sa-
lahkan aku. Asap itu yang nyasar tak tahu diri...."
Orang di atas dahan yang ternyata si kakek adanya
perdengarkan suara. Saat bersamaan dia menghela
napas. Asap yang semburat ke bawah laksana disedot
kekuatan dahsyat. Lalu bergulung-gulung mengecil
dan masuk amblas ke kedua pipa di mulutnya!
Joko dan Dewi Bunga Asmara berpaling saling pan-
dang tanpa ada yang buka mulut. Namun mau tak
mau Joko sedikit jengkel dengan ulah si kakek. Dia
yakin, meluncurnya asap tidak akan terjadi kalau ti-
dak disertai tenaga dalam.
"Kek! Kau telah menerima syarat jika akan terus
ikut! Tapi dengan...."
"Hem.... Begitu"!" Si kakek telah memotong. "Aku
memang telah terima syarat! Tapi kurasa aku masih
belum melanggar ketentuan!"
"Asapmu itu!"
"Anak muda.... Seharusnya kau berterima kasih!
Bukan padaku, karena aku tidak mengharap rasa te-
rima kasih! Tapi pada asap itu! Sebab dengan asap itu, kau terlepas dari malu
besar! Bukan malu padaku, ta-pi pada seseorang.... Bukan pada gadis cantik di
sam-pingmu itu, tapi pada gadis lain...."
"Kek! Kau bicara apa"! Jangan mencari dalih!"
Si kakek tertawa. "Apa gunanya dalih"! itu dilaku-
kan seseorang yang tidak punya bukti kuat! Sekarang
coba jangan terus pandangi aku begitu rupa! Bukan
karena aku malu padamu, namun sebagai temanmu,
aku jadi malu pada orang lain!"
"Keki Di sini tidak ada orang lain! Jangan kau terus mencari alasan!"
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan! Kalau perde-
batan ini dilanjutkan, tidak akan selesai.... Lagi pula ini kesalahan kita!
Kalau tidak disadarkan olehnya,
mungkin kita akan terus berada di sini dan itu akan
membuat kita terlambat!" Dewi Bunga Asmara berbi-
sik. Namun karena sudah jengkel, Joko tidak pedulikan ucapan Dewi Bunga Asmara.
Dia kembali berteriak.
"Kek! Karena kau telah melanggar syarat, harap
sampai di sini saja kau mengikutiku!"
"Hem.... Begitu"! Perlu kau tahu satu hal, Anak Mu-
da! Orang dimabuk cinta memang akan lupa segala-
nya. Tempat, waktu, dan keadaan! Aku maklum hal
itu.... Tapi sekarang kau tentu telah agak sadar. Kuharap kau sekarang ingat
tempat, waktu, dan ke-
adaan...."
Joko sudah akan buka mulut lagi. Namun si kakek
di atas pohon telah lanjutkan ucapan. "Jangan kau potong ucapanku! Sekarang
kuharap kalian berdua ber-
paling jauh ke samping kanan sana! Ingat.... Perlahan-lahan saja dan jangan
terkejut!"
Meski belum mengerti ke mana arah tujuan ucapan
si kakek, baik Pendekar 131 maupun Dewi Bunga As-
mara segera turuti ucapan orang. Mereka berdua ber-
paling ke samping kanan. Dan mungkin karena pena-
saran, Joko bukannya berpaling perlahan-lahan, na-
mun kepalanya disentakkan!
Kepala Joko laksana dipacak. Sepasang matanya
membesar dengan mulut terkancing rapat. Wajahnya
berubah merah padam dan tegang. Saat lain dia meli-
rik pada Dewi Bunga Asmara dengan dada berdebar.
Di lain pihak, Dewi Bunga Asmara tampak terkejut.
Parasnya berubah merah meski tidak tegang. Bahkan
pandang matanya mengisyaratkan rasa tidak senangi
"Anak muda sekalian.... Apa pendapat kalian ber-
dua"! Perlu kalian tahu, dia telah tegak di sana hampir bersamaan dengan
keberadaan kalian di tempat ini!
Tapi aku tak tahu, apakah dia tengadah ke langit se-
pertiku atau melotot seperti sekarang...."
"Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tahu apa
yang kulakukan bersama Dewi Bunga Asmara.... Bu-
syet betul! Mengapa aku sampai tidak tahu kehadi-
rannya"!" Joko membatin.
"Dari sikapmu, sepertinya kau kenal dengan dia!
Siapa dia"!" Dewi Bunga Asmara ajukan tanya dengan
suara pelan namun nadanya agak ketus.
Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya terus arah-
kan pandang matanya ke depan. Pada satu sosok tu-
buh yang tegak dengan mata memandang tak berke-
sip ke arah Joko dan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah
seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah muda.
Rambutnya panjang digerai dan diberi hiasan pita.
"Mei Hua.... Mengapa dia berada di tempat ini"!
Apakah dia juga bermaksud ke Bukit Toyongga"!"
"Kau belum jawab pertanyaanku.... Kau kenal de-
ngan gadis itu"! Siapa dia..." Ada hubungan apa de-
nganmu"!" Dewi Bunga Asmara ajukan tanya. Sepa-
sang matanya terus memperhatikan sosok gadis di se-
berang sana. Di lain pihak, gadis berbaju merah muda dan bukan lain ternyata
adalah Mei Hua, juga arahkan pandang matanya pada Dewi Bunga Asmara. Hingga
untuk beberapa lama kedua gadis ini sama perang
pandang. "Aku memang mengenalnya.... Dia bernama Mei
Hua...." Akhirnya Joko menjawab dengan suara di-
tekan. "Hem.... Hubunganmu dengannya"!" tanya Dewi
Bunga Asmara. "Hanya sebagai sahabat! Dia pernah menolongku...."
"Aku tak mau kau dustai ! Kalau dia hanya sebagai
sahabat, mengapa pancaran matanya membayangkan
rasa cemburu"! Kau kekasihnya..."!"
"Dewi.... Terus terang saja. Aku orang baru di negeri ini. Bagaimana mungkin
dalam waktu singkat, aku bi-sa menjalin hubungan dengan dia"!"
"Ah.... Benarkah ucapannya"! Jangan-jangan gadis
itu sama sepertiku! Meski baru saja kenal tapi sudah jatuh cinta.... Kalau
benar, apa yang harus kulakukan..." Dia berwajah cantik.... Mungkinkah pemuda
ini akan lebih tertarik padanya"!" Dewi Bunga Asmara
membatin. Sementara di depan sana, Mei Hua juga berkata
sendiri dalam hati. "Siapa gadis di sampingnya itu"!
Ah.... Mengapa aku bodoh" Bukankah mereka tadi be-
gitu mesra saling peluk cium"! Pasti dia kekasihnya"!
Hem.... Tidak kusangka sama sekali kalau pemuda
yang selama ini selalu kurindu telah memiliki seorang kekasih! Seharusnya aku
dulu bertanya dan menyelidik dahulu.... Kini semuanya sudah terlambat! Hanya
saja.... Mengapa sesingkat itu dia punya seorang kekasih di negeri ini" Jangan-
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan dia pemuda yang
suka mempermainkan perempuan! Terbukti dia tidak
tahu tempat dan keadaan! Dia berpeluk cium seenak-
nya saja di sembarang tempat! Malah dia seolah tak
peduli dengan diriku dan orang tua yang ada di atas
pohon! Dia tidak risih bercinta di depan orang! Hem....
Sebaiknya kuteruskan perjalanan ini ke Bukit Toyong-
ga! Dari gelagatnya, mereka juga akan menuju ke sana!
Atau aku batalkan saja ke sana"! Bukankah tidak ada
gunanya lagi"! Aku ke sana demi pemuda itu. Seka-
rang aku tahu dia di sini dan bercinta dengan seorang gadis! Tapi, aku akan
teruskan perjalanan ini! Aku sekarang tahu siapa sebenarnya pemuda itu! Dan me-
lihat tingkahnya, dia tidak pantas memegang peta wa-
siat! Akan kukatakan nanti pada orang-orang di sana
siapa sebenarnya pemegang peta wasiat itu!"
Berpikir begitu, setelah memandang silih berganti
pada Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara, Mei Hua
balikkan tubuh.
"Mei Hua! Tunggu!" Joko menahan seraya berkele-
bat dan tegak menghadang di hadapan Mei Hua.
Mei Hua batalkan niat. Meski dia tegak di hadapan
Joko, namun sepasang mata gadis cantik ini meman-
dang ke jurusan lain. Bahkan dia tidak berusaha buka mulut.
"Dari sikapnya, aku tahu dia cemburu...," Joko
membatin lalu berkata.
"Mei Hua.... Kalau tak keberatan, mau katakan pa-
daku kau hendak ke mana"!"
"Itu urusanku! Dan jangan coba-coba menghadang!
Dan perlu kau tahu, malam nanti, aku menunggumu!
Kau tentu sudah tahu di mana tempatnya!"
"Kau perlu sesuatu dariku"!" tanya Joko dengan co-
ba sunggingkan senyum.
"Bukan hanya aku! Tapi semua kaum persilatan di
negeri ini! Bahkan juga pihak kerajaan pun perlu se-
suatu darimu! Kau tak pantas memegang sesuatu itu!"
"Aku tahu apa yang dimaksudkannya! Pasti urusan
peta wasiat itu! Apakah aku harus mengatakan terus
terang padanya soal lenyapnya peta wasiat itu dari
tanganku" Tapi dalam keadaan seperti ini, mungkin-
kah dia mau percaya ucapanku"!"
Selagi Joko membatin begitu, Mei Hua sudah ang-
kat bicara lagi.
"Masih ada yang ingin kau katakan"! Aku tak mau
membuat orang lain marah padaku karena kau bicara
denganku! Dan mulai saat ini, harap kau tidak lagi
memandangku sebagai sahabat! Anggap saja kita tidak
pernah bertemu!"
"Mei Hua.... Jangan kau terlalu cepat menuduh!
Aku dan...."
"Katakan saja apa perlumu menahanku!" Mei Hua
sudah menukas dengan suara keras. Dan sejauh ini
dia tidak memandang ke arah murid Pendeta Sinting.
"Kau tidak perlu memberi penjelasan! Aku sudah tahu.
Perbuatan lebih bisa bicara daripada kata-kata!"
"Ah.... Repot! Kalau ini dibiarkan dan aku tidak berterus terang, hal ini akan
jadi urusan besar di bukit sana!"
Membatin begitu, akhirnya Joko memutuskan un-
tuk berterus terang. Hingga setelah melirik pada Dewi Bunga Asmara, dia berkata
pelan. "Mei Hua.... Kau boleh mempercayai ucapanku atau
tidak. Tapi ucapan ini hanya kau yang tahu, karena
aku percaya padamu!" Joko hentikan ucapannya dan
berharap Mei Hua mau berpaling memandang ke arah-
nya. Namun ternyata Mei Hua tetap tegak dengan mata
memandang ke jurusan lain.
Joko menghela napas lalu lanjutkan ucapan. "Peta
wasiat itu lenyap diambil orang!"
Mai Hua tidak terkejut dengan kata-kata Pendekar.
Bahkan dia sunggingkan senyum bernada sinis dan
dingin. Saat lain dia berucap.
"Hanya itu yang ingin kau sampaikan"! Ingat.... Aku
tak mau orang lain memandangku dengan tatapan
cemburu! Dan aku tak ingin membuat urusan gara-
gara kau tegak di hadapanku!"
"Mei Hua.... Dia itu sahabatku.... Jangan kau men-
duga yang tidak-tidak! Aku...."
"Aku tak ingin membicarakan gadis itu! Dia keka-
sihmu atau sahabatmu atau apamu, itu urusanmu!
Dan kalau peta wasiat di tanganmu lenyap, aku tahu
siapa orang yang mengambilnya! Kau begitu gigih
mempertahankan dari tangan beberapa tokoh.... Tak
tahunya kau patah di bawah ketiak perempuan! Aku
tetap akan mengambilnya nanti malam di Bukit To-
yongga!" "Mei Hua.... Tunggu!" seru Joko tatkala melihat Mei
Hua sudah berkelebat begitu selesai bicara.
Namun kali ini Mei Hua tidak pedulikan teriakan
orang. Dia terus berlari dan kemudian lenyap di depan sana. Semua orang tidak
tahu, begitu sosoknya berkelebat, gadis cantik putri Panglima Muda Lie itu te-
teskan air mata!
"Anak muda.... Kau masih ingat kata-kataku, bu-
kan"! Orang tak perlu takut menghadapi bahaya, ka-
rena bahaya itu dibuat manusia itu sendiri! Kalau o-
rang tidak membuat tindakan di luar hukum alam,
pasti bahaya itu tidak ada...." Kakek di atas pohon perdengarkan suara.
Karena masih bingung, Joko tidak pedulikan uca-
pan si kakek. Dewi Bunga Asmara pun tidak acuhkan
kata-kata orang tua di atas pohon karena dadanya
saat itu mulai panas terbakar perasaan cemburu. Bah-
kan begitu Mei Hua berlalu, Dewi Bunga Asmara sege-
ra berkelebat dan tegak di samping Joko dan langsung berucap ketus.
"Aku tahu ke mana gadis itu pergi! Kau selama ini
memang telah berjanji dengannya untuk bertemu di
sana"!"
"Aku tidak pernah berjanji...," ujar Joko pelan. Na-
mun dalam hati dia membatin. "Mudah-mudahan dia
tidak mendengar pembicaraanku dengan Mei Hua ta-
di..." "Sebelum kita lanjutkan perjalanan dan bertemu
dengan guruku, aku ingin satu kepastian darimu! Aku
tak mau nantinya mendapat malu di hadapan guruku!"
"Kepastian apa"!"
"Katakan terus terang apa hubunganmu dengan ga-
dis itu tadi!"
"Sial betul aku hari ini! Kalau sampai aku salah
ucap, aku tidak akan pernah sampai ke Bukit Toyong-
ga...." Joko membatin lalu berkata.
"Dewi.... Dia sahabatku.... Jadi kau tak usah berbu-
ruk duga padanya!"
"Benar..."!" tanya Dewi Bunga Asmara dengan bibir
mulai akan tersenyum.
"Sayang aku tidak bisa membelah dadaku.... Kalau
dapat, kau tentu akan melihat ucapanku benar ada-
nya...." "Hem.... Begitu"! Puitis betul ucapanmu.... Orang
lagi kasmaran, kadang-kadang ucapannya sukar di-
tangkap nalar.... Anehnya, orang yang mendengar me-
ngerti begitu saja.... Dasar cinta!" Si kakek di atas pohon perdengarkan suara.
Joko melirik ke atas dengan mata mendelik. Semen-
tara mendengar ucapan Pendekar, Dewi Bunga Asmara
langsung mendekat dengan bibir tersenyum. Dan de-
ngan cepat gadis ini mengambil lengan murid Pendeta
Sinting. "Kita lanjutkan perjalanan ini! Aku sudah tak sabar
ingin bertemu dengan guruku...."
"Aduh.... Bagaimana ini nanti"! Benar-benar bisa
celaka!" "Apa yang tengah kau pikirkan"! Kau masih teringat
gadis itu"!" Dewi Bunga Asmara menegur kala Joko
agak enggan meski dia telah berusaha mengajaknya
melangkah tinggalkan tempat itu.
Joko gelengkan kepala. "Aku masih merasa heran,
bagaimana kakek temanku itu tahu-tahu berada di si-
ni"!"
"Itu urusannya dia! Mengapa kau pusing memikir-
kannya"! Mungkin saja dia tadi sembunyi...."
"Aku harus memanggil kakek itu dan jalan bersa-
ma-sama. Jika tidak, akan jadi urusan besar kalau
sampai aku terus jalan dengan bergandengan tangan
begini rupa hingga Bukit Toyongga!"
Setelah berpikir begitu, Joko tengadah dan berte-
riak. "Kek! Kuharap kau turun dan jalan bersama-sama
kami! Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan-
mu!" "Hem.... Begitu"! Kau jangan menjebakku, Anak
Muda! Aku tahu, ucapanmu itu semata-mata agar aku
berlaku usil pada kalian saat jalan bersama. Dengan
begitu kalian akan mendepakku tidak boleh ikut! Lebih baik aku jalan sendiri
saja.... Lagi pula, terlalu sering melihat orang bermesraan, membuat aku jadi
berdebar dan jadi ingin punya kekasih! Padahal aku sudah
punya kekasih. Kalau aku sampai punya kekasih lagi,
itu melanggar hukum alam. Dan aku tak mau mem-
buat bahaya!" Si kakek tertawa terkekeh. Lalu lan-
jutkan ucapannya.
"Punya kekasih baru memang sedap betul! Tapi ka-
lau kekasih lama tahu, aku bisa sendiri laaagiiii...."
Joko menggerutu dalam hati. Sebenarnya dia hen-
dak berteriak merayu lagi. Tapi Dewi Bunga Asmara telah menyeretnya untuk
melangkah. Kakek di atas po-
hon kepulkan asapnya seraya gerakkan tangan kiri
kanan pulang balik melambai ke arah murid Pendeta
Sinting. Orang ini menunggu sampai Joko dan Dewi
Bunga Asmara lenyap di depan sana. Dan begitu sosok
murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara tidak
kelihatan, si kakek meluncur turun lalu berkelebat.
Dan lagi-lagi dia mengambil jalan tidak searah dengan yang diambil Pendekar 131
dan Dewi Bunga Asmara.
*** SEBELAS KARENA ditindih perasaan jengkel, geram, dan cem-
buru, Mei Hua berlari laksana orang kesetanan. Gadis cantik jelita putri
Panglima Muda Lie ini baru hentikan larinya tatkala dadanya terasa sesak sulit
bernapas. Bukan saja karena dibuat berlari dengan pengerahan
segenap ilmu peringan tubuhnya, namun juga karena
dibuat terisak sepanjang dia berlari. Hingga begitu
langkahnya berhenti, gadis ini merasakan kedua ka-
kinya berat. Saat lain sosoknya jatuh menggelosoh di atas tanah dengan kedua
tangan menakup di depan
wajah. Mei Hua tidak sadar berapa lama dia duduk meng-
gelosoh di atas tanah dengan sosok berguncang mena-
han isakan tangis. Yang dia tahu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
berkata. "Tidak disangka, di tempat sepi begini ada seorang
gadis duduk sendirian dengan wajah tertutup tangan
dan menangis. Dari suara isakanmu, pasti baru saja
terjadi peristiwa yang sangat memilukan! Dan melihat tempat yang kau pilih,
tentu urusannya masih berkaitan dengan asmara...."
Mei Hua buru-buru hentikan isakan. Dia jelas dapat
menebak jika yang baru saja perdengarkan suara ada-
lah seorang perempuan. Kedua tangannya perlahan di-
turunkan. Namun belum sampai wajahnya terbuka,
kembali terdengar ucapan.
"Urusan asmara kadang-kadang memang sangat
menyakitkan. Herannya, orang tidak juga merasa jera
untuk melewatinya. Padahal dia tahu, kepedihan itu
sudah di hadapan mata jika dia sudah tenggelam mele-
wati api asmara...."
Niat Mei Hua yang hendak palingkan kepala seketi-
ka dibatalkan. Dia usap linangan air matanya dengan
kedua tangan seraya membatin.
"Suara yang pertama jelas suara milik seorang pe-
rempuan. Dan suara yang kedua adalah milik seorang
laki-laki! Hem.... Berarti ada dua orang di tempat ini!
Mengapa mereka berdua seakan tahu apa yang tengah
menimpaku" Siapa mereka sebenarnya" Ataukah me-
reka berdua juga tahu apa yang tadi terjadi antara aku dengan pemuda asing serta
gadis itu"!"
Mungkin karena merasa malu karena mendapati
orang yang bersuara telah tahu apa urusannya, Mei
Hua tidak berusaha berpaling saat dia berkata.
"Harap tidak mengganggu dan segera tinggalkan
tempat ini!"
"Ah.... Tidak ada maksud untuk mengganggumu.
Aku hanya kebetulan lewat dan tahu kau berada di si-
ni! Dan kalaupun aku berhenti, karena mataku seper-
tinya pernah mengenalimu!"
Mei Hua jelas mendengar suara yang baru saja ter-
dengar adalah suara si perempuan. Dadanya jadi ber-
debar tidak enak. Dan dia terlonjak kaget saat ter-
dengar suara tadi.
"Kalau mataku tidak salah pandang, bukankah kau
putri Panglima Muda Lie"!"
Telinga Mei Hua jelas mendengar jika suara yang
baru saja adalah suara si laki-laki.
Mei Hua tegarkan diri. Saat lain kepalanya berpa-
ling. Sesaat mata gadis ini menyipit dengan dahi berkerut. Mungkin belum
percaya, dia bergerak bangkit
lalu putar diri menghadap orang.
"Aneh.... Jelas-jelas telingaku mendengar suara dua
orang! Perempuan dan laki-laki. Tapi yang di hada-
panku hanya satu orang! Sikap dan dandanannya pun
aneh...." Mei Hua memang hanya melihat satu sosok tubuh.
Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya
putih, hidungnya mancung. Rambutnya yang hitam le-
bat dibiarkan bergerai. Tapi bukan karena ketampanan si pemuda yang membuat Mei
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hua sipitkan mata dengan dahi berkerut. Karena meski dia adalah seorang
pemuda, namun bibir pemuda ini dipoles merah me-
nyala. Pipi kiri kanannya juga disaput dengan polesan berwarna merah muda.
Selain itu, ternyata pemuda ini juga mengenakan pakaian mirip kebaya yang
biasanya dikenakan orang perempuan! Dadanya tampak mem-
busung kencang laksana seorang dara. Tangan kanan-
nya bergerak gemulai pulang balik mainkan sebuah
kipas. Mei Hua edarkan pandangan berkeliling karena dari
suara orang yang tadi terdengar, dia masih menduga
kalau di tempat itu bukan hanya satu orang yang
muncul. "Kau mencari seseorang"!" tanya si pemuda berke-
baya. Mei Hua mendengar suara si pemuda persis se-
perti suara seorang perempuan.
Mei Hua berpaling tanpa menjawab. Dahinya makin
berkerut. "Jangan-jangan suara dua orang tadi hanya
dia yang mengucapkannya!"
"Kau putri Panglima Muda Lie, bukan"!"
"Ah.... Jadi benar dia orangnya! Tidak ada orang
lain di tempat ini!" Mei Hua terus membatin begitu si pemuda berkebaya
perdengarkan suara lagi. Namun
kali ini jelas suaranya adalah suara laki-laki.
"Siapa pemuda ini"! Dari mana dia tahu aku adalah
putri panglima"! Ataukah dia teman ayahku..."! Bisa
celaka kalau dia benar-benar mengenal ayahku dan
sekarang hendak pergi ke Bukit Toyongga!"
"Siapa kau"!" Mei Hua ajukan tanya setelah agak
lama berdiam diri.
"Kau belum jawab pertanyaanku...." Si pemuda ber-
kebaya angkat suara.
"Aku tidak akan menjawab!" kata Mei Hua dengan
nada agak ketus karena dadanya masih dibuncah rasa
jengkel. "Hem.... Kau pun tak akan tahu siapa diriku! Tapi
satu hal yang pasti, mataku tak mungkin salah me-
ngenalimu!"
Mei Hua menyeringai. "Salah atau benar itu urusan-
mu! Yang pasti kau salah dalam satu urusan ini!" Mei Hua arahkan pandang matanya
ke jurusan lain. Lalu
lanjutkan ucapan. "Harap segera tinggalkan tempat
ini!" Pemuda berkebaya tertawa panjang. "Dari arah
yang kau tuju, pasti kau hendak ke Bukit Toyongga!
Tampaknya bukan hanya ayahmu yang tertarik uru-
san peta wasiat, namun kau juga suka melibatkan diri dalam urusan ini! Hem....
Mau turut saranku"!"
"Aku tak butuh saran! Aku perlu kau segera angkat
kaki dari hadapanku!"
Si pemuda berkebaya bukannya segera melangkah
pergi. Namun makin keraskan tawanya dan berkata.
"Sedang patah hati"! Mau katakan siapa pemuda
yang menyakiti hatimu"!"
Mei Hua berpaling dengan mata mendelik angker.
Saat lain dia membentak.
"Kalau kau tak bisa diberi tahu dengan ucapan, aku
punya cara lain! Sebelum niatku berubah, harap sege-
ra turuti ucapanku!"
Si pemuda berkebaya gelengkan kepala. "Kau me-
mang putri salah seorang pembesar negeri ini. Tapi bukan berarti kau bisa
seenaknya saja mengusir orang!
Lagi pula tempat ini bukan milik ayahmu!"
Ucapan orang membuat Mei Hua makin geram, na-
mun dia sadar jika ucapan orang benar adanya. Hing-
ga dia segera menyahut.
"Aku tidak mengusirmu. Aku hanya tak ingin di-
ganggu apalagi urusannya berkaitan dengan pribadi-
ku!" "Aku tak akan ikut campur urusanmu. Aku hanya
bertanya, siapa tahu aku bisa menolong...."
"Maaf, aku tidak perlu bantuan orang lain...."
"Hem.... Kalau begitu jawabmu, aku tidak memak-
sa. Dan kuharap kau juga tidak memaksaku untuk
angkat kaki dari tempat ini!"
"Terus di sini bersama orang ini akan membuat da-
daku jengkel. Lebih baik aku saja yang pergi!" Akhirnya Mei Hua memutuskan. Dia
putar diri lalu berkele-
bat. "Tunggu!" Mendadak si pemuda berkebaya mena-
han. Mei Hua batalkan niat meski dengan dada tambah
dongkol. "Kau mau bicara"! Silakan. Tapi jangan harap kau akan mendapat jawaban
apa-apa dariku!"
"Aku tidak perlu jawaban. Namun tak ada salahnya
kau dengarkan ucapanku.... Sebagai putri panglima,
pasti kau telah tahu siapa yang memegang peta wasiat, karena pihak kerajaan
telah ikut campur urusan ini
meski secara diam-diam. Dan kalaupun kau ikut-iku-
tan hendak pergi ke Bukit Toyongga, kurasa bukan ka-
rena peta wasiat itu. Namun kau lebih tertarik dengan orang yang memegang peta
wasiat itu! Bagaimana" Betul bukan"!"
"Dari mana dia tahu"!" Mei Hua membatin dengan
paras berubah kaget. Sementara melihat sikap orang,
tampaknya si pemuda berkebaya dapat membaca.
"Hem.... Dugaanku tampaknya tidak jauh meleset!
Dan jangan-jangan dia menangis akibat urusan de-
ngan pemuda itu...." Membatin si pemuda berkebaya
dengan bibir tersenyum. Di lain pihak, tampaknya Mei Hua jadi terpancing
mendapati orang sebut-sebut pemuda yang membawa peta wasiat. Mei Hua sudah bisa
menebak jika yang dimaksud si pemuda berkebaya
adalah Pendekar.
Mendapati pancingannya mengena, si pemuda ber-
kebaya tidak sia-siakan kesempatan. Dia segera beru-
jar. "Aku tahu betul siapa pemuda itu.... Kau boleh percaya boleh tidak. Dia
sebenarnya adalah sahabatku..."
Mei Hua kontan balikkan tubuh. "Kalau kau saha-
batnya, kau juga perlu mendapatkan hajaran!"
"Hem.... Antara dia dengan pemuda itu tampaknya
ada urusan! Dugaanku tidak meleset lagi!" Si pemuda
berkebaya lagi-lagi membatin mendapati sikap Mei
Hua. Lalu berkata. "Ah.... Apa pun yang dilakukan sahabatku itu, tidak
selayaknya getahnya juga kau lim-
pahkan padaku! Itu urusan kalian berdua.... Cuma sa-
tu hal yang harus kau tahu, selama ini dia sering
membicarakanmu.... Kalau aku tak salah pandang,
tampaknya dia tertarik padamu...."
Dada Mei Hua berdebar. Sepasang matanya ber-
binar. Bibirnya hampir saja sunggingkan senyum jika
tiba-tiba saja dia tidak teringat akan kejadian yang ba-ru dilihat.
"Kau jangan berkata mengada-ada! Dan kalaupun
dia tertarik padaku, kau kira aku juga tertarik padanya"!" kata Mei Hua dengan
suara keras. "Ah.... Ada apa sebenarnya antara kau dengannya"!
Beberapa hari yang lalu dia masih membicarakanmu
dan tampaknya tidak terjadi apa-apa! Jangan-jangan
dia menyembunyikan sesuatu padaku! Tapi itu tak
mungkin.... Dia selalu berterus terang padaku.... Atau kau...."
Belum sampai si pemuda berkebaya lanjutkan uca-
pan, Mei Hua telah menyahut.
"Aku melihat sendiri dia bercinta dengan gadis lain!
Kalau kau sahabatnya, katakan padanya. Jika bercinta harap lihat tempat dan
keadaan! Jangan bercinta seenaknya di sembarang tempat!"
"Ah.... Kau jangan mengarang cerita! Tak mungkin
dia melakukan hal itu! Aku tahu betul siapa dia!
Mungkin saja kau salah lihat...."
"Mataku tidak buta! Dan lagi pula apa perlunya aku
mengarang cerita"!"
"Kalau betul, kau bisa mengatakan siapa gadis yang
bercinta dengannya"!"
"Aku tak kenal gadis itu!"
"Kau bisa mengatakan ciri-cirinya"! Siapa tahu aku
bisa menerangkan padamu hingga tidak ada lagi ke-
salahpahaman antara kalian berdua!"
"Terlambat kalau kau akan menengahi urusan ini!
Tapi agar kau percaya, akan kukatakan padamu ciri-
ciri gadis binal itu! Dia berwajah cantik. Mengenakan pakaian warna kuning.
Dadanya dibuka lebar begitu
juga pahanya!"
Pemuda berkebaya dongakkan kepala seolah berpi-
kir dan mengingat. Kejap lain dia berucap.
"Dia tidak pernah sebut-sebut gadis dengan ciri
yang kau sebutkan. Tapi kalau aku tak salah, aku bias menebak siapa gadis itu
adanya!" Si pemuda berkebaya hentikan ucapannya sesaat.
Sementara Mei Hua tampak menunggu dan menyimak
ucapan orang dengan seksama. Dia memang ingin ta-
hu siapa sebenarnya gadis berbaju kuning yang ber-
mesraan dengan Pendekar.
"Siapa dia"!" Mei Hua ajukan tanya karena si pe-
muda berkebaya tidak segera lanjutkan ucapannya.
"Dia bernama Bang Sun Giok. Namun orang lebih
mengenalnya dengan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah
murid tunggal seorang tokoh dunia persilatan bernama Li Muk Cin yang lebih
dikenal dengan Ratu Selendang
Asmara...."
"Pantas.... Selama ini aku hanya dengar namanya
tanpa tahu bagaimana orangnya!" ujar Mei Hua. "Dan
ternyata memang benar! Dan kalau memang dia, aku
kini tidak heran lagi. Gadis macam dia memang tidak
memandang tempat bila bercinta!"
"Tunggu dulu.... Apakah benar kau melihat sendiri
sahabatku itu bersama gadis yang kusebutkan tadi"!"
tanya pemuda berkebaya.
"Untuk apa aku membuat cerita dusta"!"
"Kalau saja bukan kau yang berkata, mungkin aku
masih sangsi!"
"Kau sahabatnya! Aku tak heran kalau kau sangsi
dan membelanya!"
"Aku tidak membelanya. Hanya aku terkejut. Bagai-
mana mungkin hal ini bisa terjadi"! Karena selama ini dia tidak pernah cerita
tentang Dewi Bunga Asmara!"
"Laki-laki di mana-mana sama! Dia tidak akan me-
lihat siapa yang diajaknya bercinta!"
"Hem.... Dari tadi ucapanmu selalu bernada ketus.
Kau tampak diliputi perasaan cemburu. Kalau tak sa-
lah duga, kau berada di sini menangis sendirian pasti masih ada kaitannya dengan
gadis berbaju kuning
itu...." Tampang Mei Hua tampak berubah. Namun karena
tak mau orang tahu, dia segera menyahut.
"Dugaanmu salah! Ada hal lain yang membuatku
berada di sini! Dan jangan bertanya hal apa itu. Kare-na aku tidak akan
menjawab!"
Si pemuda berkebaya tertawa. "Aku tak akan ber-
tanya. Karena semua keteranganmu tadi sudah cukup
buatku untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah
terjadi.... Hanya saja aku masih heran. Kau tadi bilang mereka bercinta tidak
memandang tempat keadaan.
Apakah hal ini benar"!"
Pertanyaan si pemuda membuat dada Mei Hua yang
sudah agak mereda jadi kembali bergemuruh. Dia sen-
takkan kepalanya ke jurusan lain seraya berkata.
"Dia berpeluk cium di tempat terbuka! Sampai dia
tidak tahu jika aku lewat! Bahkan dia tidak pedulikan seseorang yang ada di
atasnya!" "Aneh.... Bagaimana mungkin"! Barangkali orang
itu tengah mengintip!"
"Tidak! Orang yang di atasnya itu tidak mengintip!
Malah mungkin karena malu, orang itu sengaja tenga-
dahkan kepala terus menerus! Dan ternyata dia adalah temannya!"
"Astaga! Bagaimana bisa begitu"!" gumam si pemu-
da berkebaya dengan tampang sedikit berubah. Namun
Mei Hua tidak begitu memperhatikan perubahan wajah
orang, karena gadis ini menduga perubahan itu karena
terkejut tidak percaya.
"Dia seorang kakek"!" tanya pemuda berkebaya.
"Benar!"
"Wajahnya tidak kelihatan karena selalu tertutup
batu putih"!"
Mei Hua geleng kepala membuat pemuda berkebaya
sedikit kerut dahi. Diam-diam pemuda ini membatin.
"Siapa yang bersamanya"!"
"Kakek itu wajahnya memang terlihat samar-samar.
Namun bukan karena tertutup batu putih. Melainkan
tertutup asap putih yang selalu mengepul dari dua pi-pa di mulutnya!"
Kali ini si pemuda berkebaya tidak bisa lagi mena-
han rasa kejutnya. Hingga Mei Hua dapat menebak ji-
ka rasa kejut orang bukan karena keterangannya, tapi ada sebab lain.
"Mengapa kau terkejut"! Kau kenal dengan kakek
itu"!"
"Karena pemuda itu adalah sahabatku, tentu aku
kenal siapa kakek itu!"
"Siapa dia"!"
"Aku tidak akan mengatakannya padamu! Bukan
karena apa, aku malu sendiri jika punya teman yang
tindakannya memalukan begitu rupa! Bagaimana
mungkin dia diam begitu saja melihat sahabatnya ber-
buat yang tidak senonoh di hadapan matanya"!"
Mei Hua tersenyum mendengar ucapan si pemuda
berkebaya. Namun tiba-tiba senyumnya pupus tatkala
dia menyadari sesuatu. "Aneh.... Bukankah pemuda
pembawa peta wasiat itu pemuda asing"! Bagaimana
pemuda ini bisa mengatakan sebagai sahabatnya"! Da-
ri paras wajahnya serta dia mengenal banyak tokoh di negeri ini, aku yakin
pemuda ini asli dari negeri ini..."
Berpikir begitu, Mei Hua sudah buka mulut hendak
bertanya. Namun si pemuda berkebaya keburu angkat
suara mendahului.
"Kau bertemu mereka di mana"!"
Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kira-kira lima ratus tombak dari sini!"
"Kau menduga mereka akan ke Bukit Toyongga"!"
"Aku tak bisa menerka. Tapi dari jalan yang mereka
tempuh dan hari yang ditentukan, aku hampir yakin
mereka juga hendak ke Bukit Toyongga!"
"Ah.... Kalau begitu, aku harus menghadang mere-
ka!" Mei Hua mengernyit. Namun belum lagi dia ajukan
tanya, si pemuda berkebaya sudah bersuara lagi se-
olah tahu apa yang akan ditanyakan orang.
"Kau pasti telah tahu siapa Ratu Selendang Asmara.
Muridnya pasti tidak akan jauh berbeda! Sahabatku
itu tidak boleh bersama gadis binal itu! Siapa tahu gadis itu punya tujuan
tertentu!"
"Yang kau maksud, gadis itu hendak menginginkan
peta wasiat"!" tanya Mei Hua.
"Betul! Pasti gadis itu menggoda sahabatku dengan
kemontokan tubuhnya! Lalu akan mengambil peta wa-
siat itu begitu sahabatku terlena! Ini tidak boleh terjadi!" Si pemuda berkebaya
balikkan tubuh. Mei Hua tersenyum sekali lagi dan ikut putar diri. Saat lain
gadis putri Panglima Muda Lie ini berkata.
"Mudah-mudahan kau tidak terlambat! Karena dia
telah mengatakan jika peta wasiat di tangannya sudah lenyap diambil orang! Tapi
aku tidak percaya itu! Dan kalaupun benar-benar lenyap, aku tahu siapa yang
mengambilnya! Pasti gadis binal yang bercinta dengannya itu!"
Habis berkata begitu, Mei Hua hendak berkelebat.
Namun mendadak dia teringat lagi akan kejanggalan
yang belum sempat ditanyakan karena si pemuda ber-
kebaya keburu ajukan tanya. Mei Hua cepat balikkan
tubuh lagi. Dia terkejut. Karena dia sekarang tinggal seorang diri. Pemuda
berkebaya tidak kelihatan lagi
batang hidungnya!
SELESAI Segera terbit: WASIAT DARAH DI BUKIT
TOYONGGA Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
SATU *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS SELESAI
Misteri Lukisan Tengkorak 1 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 7