Wasiat Dewa Geledek 1
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek Bagian 1
WASIAT DEWA GELEDEK Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: Wasiat Dewa Geledek 128 hal.
JODOH BAJAWALI Wasiat Dewa Geledek
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 TANAH tak bertuan terletak di Teluk
Benggala. Tempatnya sunyi, berkesan
angker. Udaranya lembab dan berbau tanah basah. Air laut dari Teluk Benggala
kadang sampai memenuhi wilayah tanah tak bertuan jika air laut pasang. Tak heran
jika tanah di situ jarang bisa kering.
Pohon-pohon yang menjulang tinggi, sering rubuh seketika karena disambar petir.
Hembusan angin laut yang sering
membadai membuat tanah tak bertuan itu menjadi semakin kuat oleh cerita lama,
tentang keangkeran dan keganasan hutan nya dari roh-roh jahat. Barangkali karena
cerita lama yang dituturkan dari mulut ke mulut itulah yang membuat manusia
enggan melintasi tanah tak bertuan itu. Hanya orang yang tersesat dan terdesak
saja yang mau berada di hutan tanah tak
bertuan. Seperti halnya seorang gadis bergaun
kuning, terpaksa mengarahkan larinya ke tanah angker tersebut karena suatu hal.
Jika bukan karena menghindari bahaya,
tentunya gadis berambut panjang yang
diikat kain merah itu tak mau singgah dan bersembunyi di tanah tersebut
Gadis itu berwajah cantik, namun
tampak dihinggapi ketegangan. Matanya
yang bulat bening dan berbulu lentik itu
kelihatan menyimpan kecemasan, yang
membuat gerakannya serba cepat. la
melompat dari batu ke batu, sampai tiba di gundukan tanah yang menyerupai
kuburan panjang Itu.
Kuburan membukit bertanah kering,
tapi berumput duri. Beberapa bebatuan tersembul di sana, bahkan ada yang
tingginya seukuran manusia dewasa. Gadis itu menyelinap di balik bebatuan besar
dengan mata melirik ke kanan - kiri penuh ketegangan. Namun tiba-tiba gadis
berbaju kuning dengan ikat pinggang selendang warna biru muda dan menyelipkan
pedang pendek di selendang itu, menjadi tertegun dalam satu sentakan
mengejutkan. "Ha ha ha...! Mau bersembunyi di mana kau, Mahligai?"
Orang bertampang ganas tiba-tiba
mencegatnya dan tahu-tahu sudah berada di depan gadis berbaju kuning yang
ternyata bernama Mahligai. Orang bertampang ganas itu mempunyai mata lebar dan
tubuh lebih besar dari Mahligai. Kumisnya tebal dan rambutnya panjang diikat
dengan logam tembaga. Di tengah logam tembaga itu ada hiasan mulut singa yang menganga lebar,
menambah kesan ganas pada wajah lelaki itu. la mengenakan pakaian serba biru tua
dan sabuk warna hitam lebar. Di sabuknya terselip pedang lebar berujung lengkung
dan runcing. Pedang itu menimbulkan kesan
bahwa si pemiliknya gemar memancung leher lawannya tanpa ampun lagi.
"Kau tak akan bisa lari untuk menghindari
perjanjianku dengan gurumu,
Mahligai!" kata orang berwajah angker itu dengan suara besar.
"Aku tak punya urusan dengan perjan-jianmu itu, Mata Neraka!" Mahligai mencoba
menangkis anggapan
si Mata Neraka. "Siapa bilang tak ada urusan" Justru kalau bukan gurumu
Sendang Suci menjanjikan perkawinanku dengan dirimu, aku tak akan mau mengobati sakit gurumu
itu! Dan sekarang aku sudah bisa
menyembuhkan gurumu, maka janjinya pun harus dipenuhi! Dia harus mengawinkan aku
denganmu, sebagai murid tunggalnya!"
"Mata Neraka!" kata Mahligai memaksakan diri untuk tetap kelihatan
berani, "Guru tidak pernah mempertaruhkan aku sebagai jaminan kesembuhannya!
Jangan kau memaksa diriku untuk menerima
lamaranmu, Mata Neraka!"
"Pada waktu aku buat perjanjian itu dengan Sendang Suci, kau ada tak jauh
dari kami, dan kau mendengar apa yang
dikatakan oleh gurumu! Kau tidak
membantah dan mengajukan keberatan!
Sekarang kau mau berlagak tidak tahu
menahu dengan perjanjian itu! Jelas itu tidak bisa kuterima, Mahligai! Apa pun
yang terjadi, kau harus menjadi istriku karena itulah upahku mengobati sakit
gurumu!" Mahligai masih berdiri dengan sikap
dibuat setenang mungkin. Dalam hatinya ia membatin,
"Sebenarnya ini hanya siasat yang kuciptakan bersama Guru. Tapi ternyata Guru
tidak mau mencegah tindakan Mata
Neraka. Apa maksud Guru membiarkan Mata Neraka mengejarku"! Apakah dia benar-
benar mau menjodohkan aku dengan Mata
Neraka" Apakah Guru tega melihat aku
mempunyai suami manusia sesat ini"! Oh, tidak! Aku tidak mau jika harus menyerah
menjadi suami Mata Neraka! Aku harus
melawannya dan lebih baik mati daripada menjadi suami tokoh sesat ini!"
Setelah kesunyian terjadi beberapa
kejap melingkupi
mereka berdua, maka terdengarlah suara Mata Neraka yang
menggetarkan jantung Mahligai itu,
"Bagaimana" Sudah kau ingat-ingat perjanjian itu. Mahligai?"
"Aku tidak Ingat!" jawab Mahligai dengan ketus. "Aku menolak menjadi istrimu!"
Si Mata Neraka mulai pancarkan
pandangan marahnya, Suaranya sedikit
menggeram ketika ia berkata,
"Mahligai, Jangan kau buat hatiku kecewa dengan penolakanmu!
Aku bisa celakai gurumu lagi dengan racun yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun
kecuali olehku. Dan usia gurumu akan pendek! Atau aku bahkan tak segan-segan
menghabisi nyawamu jika kau masih menolakku dan
mengecewakan hatiku, Mahligai!"
Mahligai bahkan mencibir sinis dan
berkata, "Hrnrn...! Rupanya kau telah membongkar rahasiamu sendiri,
Mata Neraka! Berarti kaulah orang yang telah melukai Guru dengan jarum racunmu itu,
ketika Guru sedang dalam perjalanan
pulang dari Bukit Mawar! Guru menderita luka racun yang tak bisa disembuhkan
oleh siapa pun. Lalu, kau tampil berlagak
sebagai tabib, karena kau punya rencana ingin memperistriku! Rupanya kau buat
Guru berhutang budi padamu, sehingga Guru mau membantumu membujukku supaya
menerima lamaranmu! Sekarang buatku jelas sudah tipu muslihatmu itu, Mata
Neraka!" ,
"Ha ha ha...! Kalau sudah jelas,
lantas bagaimana"!"
"Aku tetap menolak lamaranmu!"
"Itu berarti kau memaksaku mem-
bunuhmu, Mahligai!"
"Apa boleh buat jika memang itu, yang harus kutempuh demi membayar hutang Guru
kepadamu!"
"Benar-benar kau adalah perempuan bodoh, Mahligai! Tidak sembarang perempuan
ingin kukawini sebagai istriku yang
sah! Hanya kamu yang terpilih di hatiku!
Biasanya aku hanya merenggut kesuciannya, atau menikmati mahkotanya barang
sejenak, selesai itu kubuang atau kubunuh! Tapi terhadapmu, Aku bermurah hati
dan tak ingin membuangmu, Mahligai!. Kau akan kurawat dan kusayangi sepanjang
hidupmu, kau akan kumanjakan kapan saja!"
"Persetan dengan semua itu! Aku tak sudi menjadi istrimu!"
Panas hati si Mata Neraka mendengar
penolakannya yang terang-terangan itu. Ia diam "memandangi Mahligai dengan wajah
menjadi kaku, dingin namun angker.
Mahligai tahu gelagat, pasti sebentar
lagi orang keji itu akan menyerang,
karena itu Mahligai segera mencabut
pedangnya. Sraangng...! "Lakukan apa yang ingin kau lakukan padaku, Mata, Neraka. Aku sudah siap
menghadapi mu!" ucap Mahligai dengan
ketus sekali. Mata Neraka masih diam memandangi tak
berkedip dengan wajah semakin
tampak lebih angker lagi. Kejap berikutnya, bola mata orang berkumis lebat itu tiba-
tiba menjadi hijau menyala.
Mahligai mundur setindak dan agak
kaget. Dengan, cepat ia melesat ke
samping, tubuhnya bagai melayang ke atas batu yang setinggi pundaknya. Tepat
pada waktu itu, sorot mata yang hijau
melepaskan sinar dua larik seperti jalur sebesar lidi Claapp...!
Duaaar...! Dua larik sinar hijau
itu menghantam batu di belakang tempat berdiri
Mahligai sebelumnya. Andai
Mahligai tidak lekas melompat ke atas
batu setinggi pundak, maka tubuhnya akan pecah pula dihantam sinar hijau dua
larik itu. "Hiaaat...!" Mahligai sentakkan kaki dan tubuhnya bagaikan terbang menyerang si
Mata Neraka dengan pedang tajamnya
yang berujung runcing itu. la kelebatkan tangan yang memegang pedang, sehingga
pedang itu pun berkelebat di depan mata lawannya.
Wuutt Trangng...! Cepat sekali si Mata Neraka mencabut
pedang lebarnya, nyaris tak bisa terlihat oleh mata Mahligai. Tahu-tahu pedang
besar itu menangkis dalam gerakan tebas yang cepat pula. Akibatnya pedang
Mahligai terlepas dari pegangannya dan terpental tiga tombak dari tempatnya
berdiri. . Melihat Mahligai mundur tiga tindak,
si Mata Neraka lepaskan tawa terbahak-
bahak. ia merasa punya satu kemenangan setelah pedang di tangan Mahligai
berhasil dibuangnya jauh-jauh.
"Aku tahu kekuatanmu sudah berkurang jika tanpa pedang pendekmu itu, Mahligai!
Karena itu, jangan kamu memaksaku lagi untuk membunuhmu! Menyerahlah dan Jadilah
istriku sesuai perjanjianku dengan gurumu itu!"
"Kawini saja mayatku! Haiaaah...!"
Wuuk... wwukkk...! Mahligai bersalto
mundur dua kail, lalu dari tangan
kanannya ia lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar lebar berwarna
kuning. Zlaaap...!
Si Mata Neraka kibaskan pedang
lebarnya dari kanan ke kiri. Wuuut...!
Lalu pedang itu berhenti di atas kepala sebelah kiri, dan memancarkan sinar
hijau bergelombang-gelombang. Sinar itu
bagaikan suatu kekuatan yang mampu
menghisap sinar kuning dari Mahligai.
Zrruubb! Dalam sekejap sinar kuning pun lenyap tanpa menimbulkan bunyi ledakan
apa pun. "Gila! Pedang itu mampu menyerap jurus "Badai Darah' ku!" ucap Mahligai dalam
hatinya. "Gawat! Terpaksa aku menggunakan selendang ini! Kurasa dia tak akan
sanggup menahan jurus selendangku yang bernama 'Ekor Naga Murka' Ini!"
Agaknya Mahligai benar-benar tak mau
menyerah dan pasrah menjadi Istri manusia sesat
itu. Ia menggunakan selendang
birunya dan selendang itu dikibaskan
dalam satu hentakkan ke arah si Mata
Neraka. Wuuusss...!
Selendang itu berkelebat cepat
menghantam kepala si Mata Neraka. Tetapi pedang lebar Mata Neraka menangkisnya
dan selendang biru itu tertahan ujungnya di sana. Weertt...!
"Uhg...!" Mahligai bertahan ketika pedang Mata Neraka bergerak ingin menarik
selendang tersebut dalam sentakan.
Mahligai tidak mau terbawa oleh tarikan selendang suteranya itu, sehingga
ia kerahkan tenaganya untuk menahan kekuatan lawan yang berusaha menarik selendang.
Sementara, Mata Neraka sendiri tampak
kerahkan tenaga pula berusaha untuk
menarik selendang dan pemiliknya agar terpental maju ke arahnya.
Tetapi, begitu melihat di belakangnya
ada pohon, Mahligai segera memutari pohon itu dua kali. Selendangnya tersangkut
di pohon itu dalam keadaan terentang. Lalu, tubuhnya yang ramping itu melesat
naik di atas rentangan selendang dan berlari
dengan cepat ke arah lawannya. Mata
Neraka tidak menyangka Mahligai mampu berlari di atas rentangan selendangnya,
bahkan tahu-tahu telapak kaki gadis itu menjejak wajah Mata Neraka dengan kuat.
Plookkk...! Deesss!.
Dua kali tendangan sama-sama telah
mengenai Wajah Mata Neraka. Wajah itu
tersentak ke belakang pada saat Mahligai bersalto di udara satu kali dan hinggap
di rentangan selendangnya lagi. Namun setelah itu ia melompat turun dengan
segera, karena selendangnya terlepas dari lilitan ke pedang besarnya Mata
Neraka. Sedangkan tubuh Mata Neraka tergulingguling ke belakang, tiga tombak jauhnya.
dan terakhir punggungnya membentur akar pohon besar.
Duuggg...! Dilihatnya Mahligai
telah sigap berdiri dengan selendang birunya di
tangan kanan dalam keadaan memendek
seperti ukuran semula. Mata Neraka
menjadi semakin marah. Maka dengan cepat ia bangkit dan matanya berubah menjadi
merah. Kemudian dari dua bola mata yang hijau menyala itu melesatlah sinar hijau
dua larik yang menjadi satu di
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertengahan, lalu sinar hijau yang
panjang dan lurus itu menghantam tubuh Mahligai bagai tak kenal ampun lagi.
Wutt... Blaaarr Seberkas cahaya merah bagai lempengan
logam yang menyala melesat dari arah lain dan menghadang
sinar hijau tersebut.
Benturan cahaya merah dan hijau itu timbulkan ledakan dahsyat dan membuat
tubuh Mahligai terpental jauh ke arah
belakang sampai disamping pedangnya yang
tergeletak di rerumputan.
Mata Neraka terperanjat dan segera
memandang ke arah kiri, sebab ia tahu
sinar merah itu bukan berasal dari tangan Mahligai, tapi dari tangan orang lain
Maka, segeralah dilihatnya seorang pemuda tampan berambut panjang lurus dan
lemas, berdiri dengan tegapnya di bawah sebuah pohon berakar gantung. Pemuda itu
berbadan tegap,
kekar, mengenakan
selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di
dalamnya. Celananya merah diikat kain
hitam pada pinggangnya.
"Jahanam Kau. Mau ikut campur urusan
orang, hah" Mau jadi dewa penolong untuk gadis dungu itu, hah"!" gertak si Mata
Neraka. Tetapi, pemuda itu bahkan berkata
kepada Mahligai, "Larilah!
Kutangani orang ini dan selamatkan dirimu jika kau tidak mau menjadi istrinya!"
Mahligai berkata dalam hatinya,
"Siapa pemuda ini" Aku tidak mengenalnya, tapi agaknya dia tadi mendengar
perdebatanku dengan si Mata Neraka,
sehingga dia tahu persoalanku sebenarnya Rasa-rasanya baru sekarang aku jumpa
dia. Hmmm... tampan juga wajahnya. Ia mempunyai sorot
mata yang menggetarkan hatiku!
Siapa dia sebenarnya dan mengapa ia
membelaku?"
Rasa-rasanya Mahligai ingin diam dan
melihat pertarungan pemuda tampan itu dengan si Mata Neraka. Tetapi Mahligai
merasa punya peluang baik untuk melarikan diri, seperti yang disarankan pemuda
berlengan kekar itu. Mahligai tak tahu, apakah pemuda itu mampu menaklukkan si
Mata Neraka yang terkenal tinggi ilmunya itu atau tidak, tapi langkah yang
terbaik memang lari dan segera menyelamatkan diri sementara si Mata Neraka biar
dihambat pengejarannya oleh pemuda tampan itu.
Maka, dengan cepat Mahligai pun angkat kaki dari tempat tersebut setelah ia
menyambar pedangnya yang masih tergeletak di rerumputan itu.
Wess,..! "Mahligai! Tunggu...!" seru si Mata Neraka.
Pemuda itu segera menyentakkan
telapak tangan kirinya ke depan dan
melesatlah pukulan tenaga dalam yang tak terlihat bentuknya itu. Pukulan
tersebut tepat mengenai pinggang belakang Mata
Neraka saat orang berwajah angker itu
ingin mengejar Mahligai.
Duuub...! "Uhhg...!" Mata Neraka tersentak ke depan seperti dihantam dengan sebatang pohon
gelondongan tepat di pinggangnya.
la melengkung ke depan dan akhirnya jatuh tersungkur.
Dengan cepat Mata Neraka bangkit
kembali dan tak hiraukan rasa ngilu di tulang belakangnya. la segera menatap
pemuda tampan yang gagah perkasa itu
dengan mata liarnya. Ia pun menggeram sambil mengusap kumisnya yang tebal
memakai tangan kiri, lalu berkata,
"Biadab kau! Rupanya kau sengaja
bikin perkara denganku, hah"!"
"Aku hanya tak suka melihat caramu memaksa gadis Itu untuk kau jadikan
istrimu! Kudengar kau yang bernama Mata Neraka"!"
"Betul! Pasti kau tadi telah menyadap perdebatanku dengan Mahligai!" ucap Mata
Neraka sambil napasnya sedikit terengah-engah karena menahan luapan amarah
kepada pemuda Itu. la berkata lagi,
"Dan kau... kalau tak kusalah
pandang, kau pasti
muridnya Empu Dirgantara yang punya gelar Dewa Geledek itu! Kau yang bernama Yoga!"
"Dari mana kau tahu tentang diriku"!"
"Sudah kuincar dirimu bersama gurumu itu! Tapi aku belum sempat lakukan
penyerangan kepada kalian! Agaknya, aku harus membunuh muridnya dulu. setelah
itu gurunya yang kubunuh!"
"Ada dendam apa kau kepadaku sehingga ingin membunuhku?"
"Dendamnya sudah jelas, kau membuat Mahligai lari, kau mencampuri urusanku
dengan Mahligai, kau berlagak menjadi
dewa penolongnya, dan itu berarti kau
sudah bosan hidup! Soal dendamku kepada gurumu memang tidak ada, tapi karena dia
adalah musuh bebuyutan kakakku, maka ada baiknya jika aku membunuh si Dewa
Geledek itu!"
Yoga memandang lawannya dengan
menyipitkan mata, dan dalam hatinya la berkata, "Rupanya dia punya niat yang
sungguh-sungguh untuk membunuh Guru!
Kulihat tangannya menggenggam kuat sekali saat ia lontarkan niatnya untuk
membunuh Guru! Jadi, aku pun tak boleh tanggung-tanggung melawannya. Bukan
lantaran ingin menyelamatkan gadis itu saja, melainkan juga harus menyelamatkan
Guru sebelum bahaya datang dari si Mata Neraka Ini!"
Sementara itu, si Mata Neraka pun
berkata dalam hati ketika ia menatap Yoga tanpa berkedip sedikit pun. Ini lah
saatnya memancing si Dewa Geledek keluar dari persembunyiannya selama ini Pemuda
didepanku itu sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan beberapa orang sebagai
murid si Dewa Geledek. Jadi kurasa dengan membunuh muridnya, maka Dewa Geledek
akan muncul dan ikut campur lagi di rimba
persilatan! Dia tak akan menjadi petapa lagi dan
membatalkan niatnya untuk mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
Beberapa saat ketika mereka berdua
saling pandang dan saling membatin, tiba-tiba sekilas sinar hijau kecil melesat
dari mata orang berwajah angker itu.
Claappp!! Dua sinar kecil hijau itu
melesat bersamaan dan menghantam mata
Yoga dengan cepatnya.
"Ouhh...?"
Yoga terkejut. Pandangan
matanya menjadi gelap. Bola matanya pedih dan sakit sekali. la meraba-raba
sambil bergerak. Lalu ia rasakan hembusan angin dingin mendekati lehernya. Buru-
buru ia merunduk, setelah itu berguling ke tanah dengan cepat, dan bangkit
dengan kaki berlutut sebelah.
Wuukkkk...! Pedang besar itu lolos dari leher
Yoga, karena Yoga menghindar saat hawa dingin dari logam baja putih pedang lawan
ingin menebas lehernya. Sementara itu, Yoga segera menjadi berdebar-debar
setelah ia sadar dan berkata dalam
hatinya, "Oh, gelap sekali! Aku tak melihat apa-apa!"
"Ha ha ha ha!
Nyawamu tinggal beberapa helaan napas lagi, Yoga! Kau tak akan bisa melawanku dalam keadaan buta
begitu! Ha ha ha ha...!" seru si, Mata Neraka dengan bergerak mengelilingi Yoga,
sementara itu, Yoga meraba-raba di udara mencari keseimbangan indera.
Tiba-tiba ia rasakan kembali hembusan
angin dingin yang mendekat di
punggungnya. Pedang lawan ingin membelah punggung. Tapi tiba-tiba ia mendengar
suara, triingng...! Lalu suara lawan terpekik tertahan, "Uuhg...!"
Dan setelah itu, wuutttt...! Tubuh
Yoga bagai ada yang menyambarnya,
membawanya pergi dengan gerakan secepat hembusan badal mengamuk.
* * * 2 PADA sisi hutan yang lain, sebuah
pondok dibangun dalam kerimbunan tanaman jalar. Udara di sekitar pondok Itu
cukup dingin, karena terletak di ketinggian lereng yang mendekati puncak sebuah
gunung yang bernama Gunung Tiang Awan.
Walau matahari mencapai pertengahan edar, tapi permukaan lereng gunung tersebut
masih diselimuti kabut tipis.
Di Gunung Tiang Awan itulah, Dewa
Geledek yang bernama asli Empu Dirgantara itu membawa muridnya yang bandel.
Kakek tua berbadan kurus dengan rambut serba putih sampai pada kumis dan
jenggotnya itu, sedang menyembuhkan luka di mata
Yoga akibat serangan si Mata Neraka. Luka yang bisa membutakan mata Yoga
termasuk belum terlambat, sehingga dengan me-
nyalurkan hawa murninya di dalam ubun-
ubun Yoga, Empu Dirgantara berhasil
membuat muridnya terhindar dari kebutaan.
Sekalipun untuk itu sang Guru terpaksa kerahkan tenaganya yang sedang dalam
keadaan sakit-sakitan itu.
"Lain kali jangan lakukan tindakan sebodoh ini, Yo!" kata sang Guru sambil
memberikan ramuan obat penyegar darah
yang harus diminum oleh Yoga. Lanjutnya lagi.
"Kalau kau selalu lakukan tindakan sebodoh ini, umurmu tidak sampai satu
hari, Yo! Kau cepat mati dan merepotkan orang lain yang harus menguburkan
mayatmu!" Setelah meneguk ramuan penyegar
darah, Yoga pun berkata kepada sang Guru,
"Aku hanya menyelamatkan gadis yang hampir dibunuh oleh si Mata Neraka itu,
Guru! Gadis itu cantik dan tak seimbang ilmunya dengan...."
'Yang kau selamatkan kecantikannya
atau nyawanya?" potong Empu Dirgantara alias si Dewa Geledek itu.
Yoga tersipu malu mendengar per-
tanyaan itu. ia tak bisa menjawab, karena dalam hatinya sejak tadi memang
mengakui kecantikan Mahligai yang tak membosankan dipandang mata. Yoga memang
merasa sayang jika kecantikan itu rusak ataupun hilang
tanpa nyawa. Yoga juga merasa tak rela jika gadis secantik Mahligai akhirnya
jatuh bertekuk lutut dan pasrah menjadi suami si Mata Neraka yang bengis dan
kasar itu. Dewa Geledek bicara lagi kepada
muridnya setelah ia duduk bersila di
depan sang murid.
"Tidak semua gadis cantik harus kau
campuri urusan pribadinya, Yo. Hati-
hatilah dengan kecantikan, yang bisa
berubah menjadi perangkap maut bagi
dirimu!" "Balk, Guru. Akan kuingat nasihat Guru ini!"
"Dan lagi, belum waktunya kau melawan Malaikat Gelang Emas dalam keadaan ilmumu
masih serendah ini! Kau tidak imbang
melawan Malaikat Gelang Emas, Yo!"
"Yang kulawan si Mata Neraka, Guru!
Bukan Malaikat Gelang Emas!"
"Si Mata Neraka adalah adik dari
Malaikat Gelang Emas. Dia mempunyai ilmu sedikit lebih rendah dari Malaikat
Gelang Emas."
"Tapi si Mata Neraka juga mengancam
ingin membunuh Guru, setelah ia
mengenaliku sebagai murid Guru! Apakah aku harus diam saja terhadap orang yang
akan membunuh Guru"!"
"Tak heran jika si Mata Neraka ingin
membunuhku, sebab Malaikat Gelang Emas;
kakaknya, adalah musuh bebuyutanku.
Tentunya si Mata Neraka ingin membantu kakaknya dalam melenyapkan aku dari
permukaan bumi ini!"
Yoga terbungkam sesaat melihat sang
Guru termenung dengan mata lurus ke depan menerawang pada satu rasa permusuhan
yang terpendam. Yoga ingin menanyakan sebab-sebab permusuhan antara gurunya
dengan Malaikat Gelang Emas, namun ia ragu dan tak berani, karena sepertinya ada
amarah yang tersembul dari hati kecil sang Guru, yang membuat sang Guru bungkam
beberapa saat lamanya.
Rupanya bungkamnya mulut Dewa Geledek
itu bukan semata-mata sikapnya yang
sedang larut dalam lamunan, melainkan
karena suatu pertimbangan yang bergumul dalam hati sanubarinya.
"Sepertinya sudah saatnya kuturunkan semua ilmuku kepadanya. Penyakit tuaku Ini
seakan sudah tak mampu menahan ilmu yang ada padaku. Lebih baik sekarang
kulakukan hal itu, dari pada aku mati
sebelum menurunkan semua ilmuku kepada Yoga."
Pada saat itu, Yoga sengaja
melemparkan pandangannya ke arah seekor burung rajawali berbulu merah yang
melompat-lompat di samping pondok. Burung itu sesekali mengibaskan sayapnya yang
besar dan lebar itu. Sesekali terdengar
suaranya yang serak, seakan ingin ikut bicara dengan mereka berdua. Burung
rajawali besar itu menggerak-gerakkan
matanya ketika ia berada dalam posisi
berhadapan jauh dengan Dewa Geledek,
seperti memberi suatu isyarat tertentu yang membuat Dewa Geledek akhirnya
berkata kepada Yoga Prawira, muridnya.
"Apakah si Mata Neraka yakin betul bahwa kau adalah muridku?"
"Ya, Guru! Kurasa ia sudah mendapat kabar dari beberapa tokoh sakti yang
mengetahui aku menjadi murid Guru, dan ia mencocokkan ciri-ciri yang ada padaku,
sehingga ia bisa langsung tahu bahwa aku adalah murid Guru. Aku pun mengakui di
depannya bahwa aku adalah murid Dewa
Geledek dan akan menjadi orang pertama yang menghadang maut yang ingin menyerang
Guru!" "Berarti Malaikat Gelang Emas pun akan mencarimu untuk dibunuh!" kata Dewa
Geledek yang berpakaian serba putih itu.
Kemudian katanya lagi sambil memandangi Yoga.
"Hati-hatilah jika bertemu Malaikat Gelang Emas. Dia berilmu tinggi. Sampai
sekarang aku belum menemukan jurus yang bisa untuk mengalahkan kesaktiannya.
Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti yang sesat dan tak segan-segan membunuh
lawannya, entah dia anak kecil ataupun
perempuan tua. Dia mempunyai ilmu 'Bayang Siluman', yang membuatnya tak bisa
disentuh oleh benda apa pun. Tapi dia
sendiri bisa menyentuh semua benda, bisa menembus dinding, bahkan pintu baja pun
bisa diterabasnya masuk tanpa harus
merusak atau membuka pintu tersebut.
Itulah jurus yang paling ditakuti olah tokoh sakti dalam melawan Malaikat Gelang
Emas!"
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda berambut panjang sebatas lewat
pundak yang tidak mengenakan ikat kepala itu terangguk-angguk kepalanya
merenungi cerita sang Guru, ia sengaja tidak
memotong kata untuk sementara ini, karena ia lebih tertarik untuk membiarkan
sang Guru bercerita dengan sendirinya tentang Malaikat Gelang Emas yang
mempunyai kesaktian sehebat itu. Maka, setelah diam beberapa saat, sang Guru pun
melanjutkan kata-kata-nya dengan nada arif dan
bijaksana, "Kesaktian dari Malaikat Gelang Emas itulah yang membuat aku terpisah dari
istriku yang memiliki tunggangan seekor burung rajawali juga tetapi berwarna
putih. Sebenarnya pada waktu itu, kami berdua bisa mengalahkan Malaikat Gelang
Emas dengan memadukan pusaka kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dengan Pedang Sukma
Halilintar. Tetapi Dewi Langit Perak,
atau Istriku itu, kehilangan pedangnya
yang jatuh ke lautan saat dalam
pengejaran, sebelum ia bergabung
denganku. Akibatnya, kami menyerang
Malaikat Gelang Emas tanpa pusaka! Hanya ada satu pusaka di tanganku, yaitu
Pedang Lidah Guntur, tapi itu tidak membuat
Malaikat Gelang Emas mudah kami
kalahkan."
Sekarang Yoga punya rasa penasaran
dan ingin tahu, sehingga ia berani
menyela kata dengan mengajukan pertanyaan pada gurunya,
"Apa persoalannya sehingga Malaikat Gelang Emas menyerang Guru dan Nyai
Guru?" "Dia ingin memiliki kedua pusaka
kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dan
Pedang Sukma Halilintar. Kami memper-
tahankan, sampai pada akhirnya kami sama-sama terdesak dan lari berpencar arah.
Hingga sekarang, aku tak pernah bertemu dengan Dewi Langit Perak, istriku itu.
Aku tak tahu di mana dia berada, dan dia tak tahu di mana aku berada. Sampai
suatu saat, kutemukan seorang perempuan yang mengandung bayinya dalam keadaan
hamil tua. Perempuan itu bernama Nurmala Wening atau berjuluk Angin Teratai. Aku
kenal perempuan itu, dia adalah istri dari
Paksi Jagat. Sedangkan Paksi Jagat adalah murid sahabat baikku, yaitu Ki Gentar
Swara, yang sekarang sudah tiada. Paksi
Jagat bukan saja murid dari Ki Gentar
Swara, namun juga anak kandung dari Ki Gentar Swara...."
"Apakah murid dan anak kandung Ki Gentar Swara yang bergelar Paksi, Jagat itu
sekarang masih hidup, Guru?" tanya Yoga semakin ingin tahu kisah hidup masa lalu
dari gurunya. Dewa Geledek menjawab dengan tarikan
napas memberat, "Paksi Jagat sudah tiada juga. Dan orang yang membunuh Paksi
Jagat tak lain dari Malaikat Gelang Emas,
karena ia diserang oleh Paksi Jagat yang menuntut balas atas kematian ayahnya di
tangan Malaikat Gelang Emas."
"0, jadi... ayah Paksi Jagat yang bernama Ki Gentar Swara itu juga mati di
tangan Malaikat Gelang Emas?"
"Benar. Dan karena Paksi Jagat telah dibunuhnya, sedangkan Paksi Jagat
mempunyai istri cantik bernama Angin
Teratai itu, maka Malaikat Gelang Emas bermaksud mengambil istri Paksi Jagat
yang kala itu memang terkenal cantik.
Tetapi, Angin Teratai tak sudi dijadikan pemuas nafsu Malaikat Gelang Emas.
Sebenarnya, Angin Teratai mempunyai Ilmu cukup tinggi juga, tapi karena ia
sedang hamil tua, ia tak bisa banyak berbuat apa-apa kecuali hanya melarikan
diri dan melahirkan di sebuah hutan. Pada saat itulah aku datang dan
mengenalinya, lalu
segera menolong Angin Teratai melahirkan bayinya. Sang jabang bayi bisa
tertolong, tapi Angin Teratai tak bisa kutolong
jiwanya. ia meninggal setelah bayinya lahir, dan diusap-usapnya beberapa saat.
Angin Teratai juga sempat menceritakan padaku apa yang terjadi pada keluarganya.
la menitipkan anak tunggalnya itu padaku dan memintaku memberi nama bayi
tersebut dengan nama: Yoga Prawira!"
Seperti petir menyambar tepat di
gendang telinganya, Yoga terbelalak
matanya, kaget mendengar akhir dari kisah tersebut. Jantung pemuda itu berdebar-
debar sangat keras, membuat di dalam
dadanya terasa gemuruh membendung
berbagai rasa yang menggumpal menjadi satu antara dendam, sedih, dan keharuan.
Ia memandangi Dewa Geledek, gurunya
tanpa kedip. Sang Guru sendiri memandang sedikit sayu karena ditikam perasaan
iba. Sejak dulu, kisah inilah yang tak bisa dituturkan
lewat mulutnya, dan baru
sekarang ia berhasil menceritakannya
kepada sang murid, yang tak lain adalah anak dari Paksi Jagat dan Angin Teratai.
Berhari-hari Yoga merenungi kisah
itu. Berhari-hari pula ia mengingat-ingat nama kedua orangtuanya, termasuk nama
kakeknya; Ki Gentar Swara. Semakin ia
tajam mengingat nama orangtuanya, terasa semakin tajam pula rasa dendam mencuat
di dalam hatinya. Dendam itu tak lain
ditujukan kepada Malaikat Gelang Emas
yang membunuh kakeknya, lalu membunuh
ayahnya, mengejar-ngejar ibunya, dan
terakhir memisahkan gurunya dengan istri sang Guru.
Agaknya Malaikat Gelang Emas
merupakan tokoh sakti yang harus
dimusnahkan dari permukaan bumi ini.
Rasa-rasanya tak ada ampun lagi untuk
tokoh sesat itu, sehingga pada suatu
pagi, sang Guru melihat muridnya berkemas untuk pergi meninggalkan pondok. Maka
bertanyalah sang Guru kepada muridnya,
"Hendak ke mana kau, Yo?"
"Guru, aku harus mencari Malaikat Gelang Emas untuk menuntut balas atas
kematian kakekku, kematian ayahku, juga atas kematian ibuku yang melahirkan di
hutan karena ulah si sesat itu! Aku juga harus menuntut balas atas pecahnya Guru
dengan Nyai Guru yang sampai sekarang
membuat Guru merana hidupnya di lereng puncak gunung ini! Aku tak bisa menahan
kesabaran lagi. Guru!"
"Murid bodoh!" geram Dewa Geledek.
"Sudah kubilang, kau tak akan berhasil melawan kesaktian Malaikat Gelang Emas!
ilmu tandingannya belum ada yang punya!
Kau hanya sia-sia mengorbankan nyawa
tanpa memperoleh kemenangan sedikit pun!"
"Aku tak peduli, Guru! Hatiku sudah
telanjur sakit dan terluka parah setelah mendengar cerita dari Guru beberapa
hari yang lalu!"
Dewa Geledek hanya menarik napas
panjang-panjang. Sesuatu yang ditakutkan dari dulu kini telah terjadi dan nyata
dihadapi tuntutan balas dendam muridnya pasti akan terjadi. Itulah sebabnya dari
dulu Dewa Geledek menjaga mulutnya rapat-rapat untuk tidak menceritakan siapa
orangtua Yoga sebenarnya. Tetapi, agaknya hal itu tak bisa dipendamnya lebih
lama lagi. dan tuntutan dendam telah tumbuh di hati Yoga, sulit untuk dipadamkan
jika sudah begini.
"Tak bisa kutunda lagi niatku untuk turunkan semua ilmu padanya. Napasku
terasa kian hari kian memberat." kata Dewa Geledek dalam hatinya. Kemudian ia
memandang muridnya dengan lembut.
"Baiklah, Yoga...," kata Dewa Geledek bernada menyerah. "Kalau kau memang ingin
membalas dendam kepada Malaikat Gelang Emas, itu adalah nalurimu yang tak bisa
kucegah lagi. Tetapi aku tak bisa
melepaskan kau pergi begitu saja, Yo."
"Apa maksud Guru?"
"Semua ilmuku, semua kekuatanku, akan kutitipkan padamu, Dan..."
Dewa Geledek bergegas ke satu sudut
ruangan di dalam pondoknya. Kemudian ia kembali menemui muridnya dalam keadaan
sudah membawa sebuah pedang bergagang
merah, di ujung gagangnya ada hiasan
kepala burung rajawali sepasang bertolak belakang juga berwarna merah, satu
menghadap ke kiri, satu menghadap ke
kanan. "Kuserahkan pusaka Pedang Lidah
Guntur ini padamu sebagai bekal
perjalananmu turun gunung!" kata Dewa Geledek yang membuat hati ,Yoga berdebar-
debar. Tentu saja hati Yoga berdebar-debar,
karena ia tak menyangka akan mendapat
pusaka Pedang Lidah Guntur yang sudah sering didengar kehebatannya dari mulut
sang Guru. Pedang itu punya keistimewaan, mampu merobek lawan dari jarak satu
tombak dan mengeluarkan cahaya merah yang sangat membahayakan. Pedang itu mampu
menebas lawan tanpa mengeluarkan darahnya, dan membuat lawan mati tanpa merasa
sakit. "Duduklah," kata Dewa Geledek yang membuat Yoga segera duduk bersila di
depan gurunya yang masih berdiri.
Dewa Geledek mencabut pedang itu dari
sarungnya. Ssstt...! Pedang tersebut
ternyata menyala merah membara, seperti besi dipanggang api tapi mempunyai warna
merah berpijar-pijar. Pada saat itu pun, di angkasa terdengar ledakan dahsyat
yang menggelegar bagai memenuhi seluruh bumi.
Glegarrr...! Guntur bagai membelah langit satu
kali, tanpa hujan, tanpa mendung dan
tanpa badai. Empu Dirgantara memandangi pedang yang menyala merah itu beberapa
saat, setelah itu memasukkan ke dalam
sarungnya kembali. Kemudian ia duduk
bersila di depan muridnya.
"Kurasa memang saatnya telah tiba, Yo. Kaulah pewaris pusaka Pedang Lidah Guntur
ini, yang dulu membuat namaku
kondang dan menjadi dikenal dengan nama Dewa Geledek. Kuharap kau tidak
keberatan menerima warisan pusaka Pedang Lidah
Guntur ini, Yo!"
"Aku siap, Guru!" kata Yoga dengan duduknya yang tegak dan menampakkan kesan
tegas dan sigapnya.
"Kau tak akan bisa banyak berbuat dengan pusaka ini jika kau tidak memiliki ilmu
dan kekuatan hawa yang ada padaku.
Karena itu, sekarang pejamkan matamu dan ulurkan kedua telapak tanganmu ke
depan!" Perintah itu dituruti oleh Yoga, la
mengulurkan kedua tangannya dengan
telapak tangan terbuka menghadap sang
Guru. Kemudian sang Guru menggerakkan
kedua tangannya dengan penuh curahan
tenaga hingga bergetar seluruh tubuhnya.
Mata sang Guru sedikit terpejam penuh
dengan pengerahan konsentrasi yang kuat.
Dan tiba-tiba ia sentakkan kedua jari
tengahnya dari masing-masing tangannya.
Jari tengah itu masing-masing melepaskan enam larik sinar; yaitu sinar hijau,
merah, kuning, putih, biru, dan ungu.
Sinar-sinar yang memancar dari masing-masing jari tengah itu menghantam ke
telapak tangan Yoga.
Kejap berikutnya, tubuh Yoga gemetar
dan berkeringat basah. Tubuh anak muda itu dilapisi oleh enam sinar yang tidak
saling bersentuhan satu dengan lainnya.
Pada saat tubuh Yoga dilapisi enam sinar dari ujung kaki sampai kepala itu,
tubuh tersebut semakin gemetar kuat hingga
terguncang-guncang. Sementara itu, di
luar pondok, burung rajawali besar
memperdengarkan suaranya yang melengking tinggi bagai mengundang segala macam
satwa di hutan itu.
"Kraaahk..! Kraaahk..! Kreeaaahkk..!"
Buug bug bug buggg...! Sayapnya pun
ditebas-tebaskan, kejap berikutnya datang angin badai yang dari kecepatan pelan
menjadi sedang dan makin lama menjadi
kuat. Suara deru hembusan badai
melingkupi lereng dl puncak Gunung Tiang Awan. Langit menjadi mendung dan awan
hitam bergulung-gulung. Tak ketinggalan pula petir menyambar-nyambar,
menggelegar bagai ingin meruntuhkan langit.
Enam sinar masih menyembur dari kedua
jari tengah Dewa Geledek. Mereka berdua
seakan tidak peduli dengan alam yang
mengamuk dan tanah yang terguncang bagai hendak dilanda gempa. Mereka berdua
tetap hikmat dan khusuk, sampai akhirnya sinar ungu padam, tapi sinar lainnya
masih menyembur ke telapak tangan Yoga.
Kini sinar hijau padam, tinggal empat
sinar yang masih memancar dari kedua
ujung jari tengah Dewa Geledek. Makin
lama semakin membuat kulit tubuh Yoga menjadi merah bagai terpanggang api.
Keringatnya pun telah membasah kuyup di sekujur tubuhnya yang kekar itu. Dan
Yoga masih merasakan aliran hawa hangat yang meresap masuk ke sekujur tubuhnya
melalui kedua telapak tangannya.
Satu demi satu sinar itu padam dalam
jarak tak bersamaan. Kini tinggal satu sinar merah yang masih membias lewat
ujung jari tengah Dewa Geledek. Pada saat itu, badai di luar pondok mulai mereda
dan gumpalan awan hitam mulai menipis.
Petir pun sudah jarang mengguntur di
angkasa. Sampai akhirnya alam menjadi
damai kembali ketika sinar merah itu
berhenti dan padam tak berbekas sedikit pun di telapak tangan Yoga.
Dewa Geledek segera tundukan kepala
dengan napas terhela memberat. Cukup lama ia menundukkan kepala, dan Yoga pun
ikut menundukkan kepalanya dengan napas
terengah-engah. Kulit tubuhnya yang tadi
memerah bagai terpanggang api, sekarang sudah kembali seperti sediakala, yaitu
coklat sawo matang.
"Yo...," terdengar suara Dewa Geledek menyapa. muridnya dengan nada pelan dan
lirih. "Ya, Guru!" jawab Yoga sambil tengadahkan wajah, dan ia melihat gurunya masih
menundukkan kepala seperti orang sedang semadi.
"Ambillah pedang di depanmu itu!"
"Baik, Guru," jawab Yoga lagi, kemudian ia mengambil pedang pusaka itu dengan
dua tangan, mengangkatnya tinggi hingga di atas kepala. Kejap berikut
terdengar suara gurunya berkata lagi,
"Sekarang semuanya telah menjadi
milikmu, Yo! Sekarang aku telah kosong.
Kau adalah Dewa Geledek muda yang akan berkelana di rimba persilatan! Tetapi
jangan kau gunakan nama julukanku itu!"
"Baik, Guru! Aku tidak akan
menggunakan julukan Dewa Geledek!!"'
"Karena Rajawali Merah itu sekarang juga menjadi tunggangan mu dan kau adalah
tuannya, maka kau kuberi gelar Pendekar Rajawali Merah!" kata Dewa Geledek
dengan tetap menundukkan kepala, memejamkan mata dan bersuara lemah.
"Baik, Guru! Aku akan menggunakan gelarku, yaitu Pendekar Rajawali Merah!"
Tapi ingat, Yo... jika kau ingin
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalahkan Malaikat Gelang Emas, kau
harus tetap mencari
Rajawali Putih.
Burung rajawali merahmu itu adalah suami dari burung Rajawali Putih. Jurus
'Rajawali Merah' jika digabungkan dengan Jurus 'Rajawali Putih' dapat untuk
mengalahkan kekuatan dahsyat yang di
miliki Malaikat Gelang Emas, atau
kekuatan dahsyat siapa pun juga yang
memilikinya! Penggabungan jurus 'Rajawali Merah' dengan jurus 'Rajawali Putih',
akan membentuk satu kekuatan dahsyat yang tiada tandingnya! Karena itu, carilah
Rajawali Putih terlebih dulu sebelum
melawan Malaikat Gelang Emas! Carilah
Dewi Langit Perak, si penunggang Rajawali Putih, karena pada dirinya itulah
jodoh dari ilmu yang kutitipkan padamu, Yo!"
"Saya mengerti, Guru!" jawab Yoga lebih menghormat lagi. "Saya akan patuhi pesan
dan wasiat dari Guru ini!"
Dewa Geledek diam beberapa saat
lamanya. Kemudian Yoga memberanikan diri mengajukan pertanyaan,
"Bolehkah saya turun gunung sekarang juga, Guru?"
Agak lama Yoga menunggu, tapi tak ada
jawaban. Ia mengulangi pertanyaan yang sama, namun tetap tak ada jawaban. Sampai
tiga kail tak ada jawaban, Yoga menjadi curiga. Kemudian ia memeriksa keadaan
Guru dan ia terkejut melihat gurunya
sudah tak bernapas lagi.
"Guruuu..."! Guruuu..."!" teriak Yoga dengan panik.
* * * 3 ANGIN bersalju berhembus ke arah
timur. Sesosok tubuh kekar masih berdiri menundukkan kepala di depan sebuah
tanah yang menggunduk dan berbatu nisan. Itulah makam Dewa Geledek, yang baru
saja selesai dikuburkan oleh murid tunggalnya, Pendekar Rajawali Merah. Sementara di
seberang pemuda tampan bertubuh tegap dan gagah itu, berdiri pula seekor burung
rajawali besar berbulu merah. Burung itu bagai menyekap kedua sayapnya sendiri
dan menundukkan kepalanya, seakan ingin ikut menangisi kematian sang Guru, Dewa
Geledek. Bertahun-tahun ia ikut Empu
Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek
itu. Bertahun-tahun ia merasakan pahit getirnya hidup bersama sang Empu yang
ahli membuat berbagai macam senjata,
sampai akhirnya ia melihat sang Empu
menjadi tokoh sakti di rimba persilatan yang sukar ditandingi kecuali Malaikat
Gelang Emas. Rajawali itu bagaikan sedang
mengenang masa-masa bercanda dengan Empu Dirgantara, atau terbayang saat sang
Empu menemukan beberapa jurus 'Rajawali Maut'
yang ditimbulkan dari gerakan sayap atau cakarnya.
Kini perpisahan dengan sang Empu
seakan membungkus kesedihan yang dalam di hati sang Rajawali Merah. Tadi pun ia
ikut menimbun tanah ke liang kubur,
seakan ikut mengucapkan selamat berpisah dengan majikan lamanya, dan selamat
jalan bagi sang Dewa Geledek yang sering
dilihat keperkasaannya semasa mudanya.
Yoga dapat membaca gerak isyarat
burung rajawali tersebut. Bahkan Dewa
Geledek pernah mengajarinya menerjemahkan bahasa burung sehingga ketika Rajawali
Merah itu menyerukan suaranya yang
memanjang, Yoga pun segera mendekati
burung tersebut dan berkata,
"Sudahlah, jangan kita terlalu
berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan.
Kita semua akan mengalami saat-saat
seperti ini, yaitu mati untuk kembali
kepada Sang Pencipta!"
"Kraahk...! Kreeakh...!" burung itu manggut-manggut, kelopak matanya
berkedip-kedip dengan gerakan lambat.
Yoga mengusap-usap leher burung
tersebut yang kini berdiri di sampingnya, lebih tinggi dari ukuran tinggi tubuh
Yoga. Sambil mengusap-usap bulu bagian
leher belakang, Yoga berkata,
"Jangan cemas, Rajawali Merah, aku akan laksanakan apa yang menjadi wasiat Guru!
Aku juga akan mencarikan istrimu; si Rajawali Putih, yang hilang bersama Nyai
Guru Dewi Langit Perak. Kita akan melalang buana untuk mencari mereka
sampai dapat! Apakah kau setuju?"
"Kraaahk...! Kraaahk...!" burung itu manggut-manggut lagi. Kini ia membuka
sayapnya dan mengipas-ngipaskan dua kali.
Itu pertanda dia tak sabar, ingin cepat pergi mencari kekasihnya; burung
Rajawali Putih. Mungkin si Rajawali Merah sudah teramat rindu ingin jumpa dengan
Rajawali Putih.!
Angin masih berhembus pelan,
menaburkan busa-busa salju yang kecil dan tipis. Pada saat Yoga ingin bergegas
naik ke punggung burung besar itu, tiba-tiba gerakannya terhenti
karena kemunculan
seorang gadis di balik bebatuan yang
menggugus tinggi itu. Gadis itu melompat dan tahu-tahu hinggap di atas bebatuan
berjarak sekitar empat tombak dari
kuburan Dewa Geledek.
Yoga terkesiap memandang gadis cantik
itu. Ia kembali teringat pada saat
matanya menjadi buta oleh kekuatan sinar dari mata adik Malaikat Gelang Emas,
yaitu si Mata Neraka. Karena ia ingat
peristiwa itu, maka ia pun Ingat nama
gadis cantik berpakaian kuning dengan
selendang biru melilit pinggangnya dan pedang pendek terselip di pinggang itu.
Maka, Yoga pun menyapa gadis itu dengan senyum tipis,
"Mahligai.."!"
Gadis itu menyunggingkan senyum tipis
sambil cepat melompat turun dari atas gugusan
batu. Jleeg...! Kemudian ia
berdiri di seberang makam, memandang
dengan raut wajah ikut berkabung.
"Mahligai, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?"
"Aku tidak sengaja menemukan sebuah pondok di atas sana. Lalu kususuri
telapak kaki manusia yang menuju kemari, dan ternyata disini kutemukan kau
sedang memakamkan jenazah orang tua yang kau sebut-sebut sebagai Guru! Apakah
yang kau makamkan ini jenazah gurumu?"
"Benar!" jawab Yoga dengan tegas.
"Kukenali wajah jenazah itu sebagai wajah si Dewa Geledek, tokoh sakti yang
sudah lama menghilang. Dulu waktu aku berusia dua belas tahun, ia pernah jumpa
dengan guruku dan aku melihatnya. Apakah benar kau murid dari Dewa Geledek?"
"Tidak salah dugaanmu, Mahligai! Tapi apakah kau tahu namaku?"
"Aku baru ingin menanyakannya."
"Namaku Yoga! Guru sering memanggilku, Yo!"
"Lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Terserah," Yoga semakin menyunggingkan senyumnya. Yang jelas, namaku Yoga, atau
kau boleh menyebutku Pendekar Rajawali Merah" Kau boleh memanggil
dengan nama depannya saja, atau dengan nama lengkapku, atau kau punya nama
panggilan sendiri padaku, silakan saja!
Selagi nama itu bagus, aku akan senang menerimanya!"
"Aku tidak terlalu peduli dengan namamu. Aku sengaja mencarimu ke sini karena
aku ingin mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu, yang membuat aku
terhindar dari amukan si Mata Neraka. Aku melihat kau dibawa lari oleh sekelebat
bayangan putih, dan aku mengikutinya,
tapi aku tersesat dihutan sampai beberapa hari, dan secara tak sengaja kutemukan
dirimu, Yo!"
"Kini kau telah sampaikan ucapan
terima kasihmu padaku, apa lagi yang
ingin kau lakukan?"
Gadis cantik berhidung bangir itu
mengalihkan pandangan matanya, karena ia tak tahan menatap mata pemuda tampam
itu yang menimbulkan debar-debar keindahan yang menggoda dalam hatinya. la
berkata saat itu dengan pandangan mata ke arah pepohonan sekelilingnya.
"Karena kau telah menyelamatkan aku, menolong jiwaku lolos dari amukan si Mata
Neraka, maka aku bermaksud menolongmu jika diperlukan, Yo. Apa yang bisa
kuperbuat untukmu?"
"Aku berniat mencari Istri mendiang guruku, yaitu Dewi Langit Perak. Karena
menurut wasiat dari mendiang Guru, aku harus mencari Dewi Langit Perak yang
menunggang seekor burung rajawali besar berbulu putih."
Mahligai menatap Yoga dengan dahi
sedikit berkerut. la berkata bagaikan
orang menggumam untuk dirinya sendiri,
"Sepertinya aku pernah mendengar nama Dewi Langit Perak itu! Hmmm.,, tapi di
mana dan kapan aku mendengarnya, aku
sudah lupa!"
Gadis itu melangkah sambil mengingat-
ingat. Dahinya berkerut dan matanya
tertuju pada tanah yang dipijaknya.
Sementara itu, burung Rajawali Merah itu juga ikut memandangi gadis cantik
tersebut, seakan menunggu suatu kabar yang menggembirakan. Tetapi agaknya
Mahligai tidak menemukan apa yang sedang dicari dalam ingatannya. Maka, Pendekar
Rajawali Merah yang kini sudah menyandang pedang di punggungnya itu segera
berkata, "Sudahlah, tak perlu kau peras otakmu jika kau tak mampu mengingatnya! Aku akan
pergi mencarinya sendiri!"
"Eh, eh... tunggu dulu!" sergah Mahligai. "Aku ingat sekarang, orang yang
pernah menyebutkan nama Dewi Langit Perak adalah guruku sendiri; yaitu Bibi
Sendang Suci!"
"Kau yakin orang yang bernama Sendang Suci itu tahu tentang Dewi Langit Perak?"
"Ya. Karena Bibi Sendang Suci, selain bibiku juga guruku itu, pernah bercerita
padaku tentang perempuan sakti yang
mengendarai seekor rajawali dan bernama Dewi Langit Perak. Cerita itu dituturkan
padaku ketika aku masih kecil, kira-kira berusia sepuluh tahun!"
"Kalau begitu, aku perlu bertemu
dengan beliau!"
"Aku bersedia mengantarmu, Yo! Tapi kalau bisa jangan menunggang burung itu!
Aku takut menunggang burung!" sambil Mahligai tersipu.
"Merah," panggil Yoga kepada burung rajawali besar Itu. "Aku akan pergi bersama
Mahligai mencari kabar tentang Istrimu, si Rajawali Putih! Ikutilah aku dari
atas!" "Kreaahk...!" burung itu mengangguk-angguk.
Wuurrss...! Burung itu melesat
terbang dengan kibasan sayapnya yang
menyingkapkan kerimbunan semak dan daun-daun kering beterbangan. Burung itu
pergi mengitari angkasa setelah Yoga dan
Mahligai pun meninggalkan makam Dewa
Geledek, yang meninggal akibat seluruh
kekuatan dan ilmunya disalurkan ke dalam tubuh muridnya.
Hati Mahligai amat senang bisa
berjalan berdampingan dengan pemuda
tampan itu. Mahligai merasa menemukan
kebahagiaan ketika berjalan bersama Yoga, la tak pernah temukan pemuda setampan
dan segagah Pendekar Rajawali Merah itu.
"Auuh...!" Mahligai sengaja membuat Kakinya tergelincir jatuh ketika menuruni
tanah miring. Tangan Yoga cepat
menangkapnya, sehingga tubuh itu tak
terbawa sentakan ke tepi jurang.
"Oh, untung kau cepat menangkapku, kalau tidak aku bisa tergelincir masuk ke
jurang sebelah kiri, Yoga!"
"Hati-hatilah kalau berjalan, jangan sambil melamun!"
"Aku tidak melamun!" sanggah Mahligai karena malu diketahui sedang melamun,
padahal sedang memikirkan cara untuk bisa lebih dekat lagi bersama Pendekar
Rajawali Merah itu.
"Kurasa kita berjalan pelan-pelan saja...! Jangan lari seperti tadi, nanti kau
tergelincir lagi."
"Aduuuh... kakiku terkilir, tak bisa dipakai untuk menapak, Yo!" Mahligai
merengek, mulai menampakkan kemanjaannya.
"Kalau begitu biar kuurut sebentar!"
"Apakah kau bisa mengurutnya?" "Aku pernah mendapat pelajaran memijat dari
Guru!" sambil berkata begitu, Pendekar Rajawali Merah mulai mengurut mata kaki
Mahligai yang dianggapnya terkilir itu.
Mahligai tersenyum-senyum dalam hati,
merasa kegirangan kakinya itu diusap-usap oleh tangan Yoga.
"Rasa sakitnya sampai ke betis, Yo!"
rengek Mahligai semakin menjadikan
dirinya sebagai gadis manja.
"Urat telapak kaki memang menjalar sampai ke betis. Tapi dengan sedikit
urutan pada urat betis, pembengkakan bisa diatasi!" sambil Yoga memijat pada
bagian betis Mahligai, dan gadis itu kian
berbunga-bunga hatinya. ia berharap
pijatan itu jangan lekas-lekas selesai.
Tapi apa yang diharapkan itu justru
terbalik. Yoga menghentikan pijatannya dan berkata, "Kurasa sudah lemas urat
kakimu!" "Kenapa hanya sebentar memijatnya?"
"Kalau terlalu lama justru akan
timbul pembengkakan pada urat yang menuju tumit!"
"Tapi kakiku masih sakit, Yo! Masih
tak bisa dipakai untuk menapak! Aduh,
bagaimana ini"!"
Kalau begitu kau kutinggalkan disini
sampai saatnya kau bisa berjalan dan
pulang menuju rumah bibimu itu!" jawab Yoga sedikit agak dongkol dengan
kemanjaan itu. "Kalau aku di sini mati dimakan
harimau, bagaimana?"
"Itu salah harimaunya, bukan
salahku!" "Aaah... kamu jahat kalau begitu!"
Mahligai cemberut dan buang muka sambil tetap duduk di atas sebongkah batu
setinggi satu lutut.
"Lalu apa saranmu?"
"Gendonglah aku, mungkin beberapa saat lagi urat-urat kakiku menjadi
lemas!" "Aku tak mau!"
"Kalau kau tak mau, aku juga tak akan membawamu kepada Bibi!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan
napas panjang, pertanda menahan kejeng-kelan dalam hatinya. Kemudian, dengan
sangat terpaksa ia pun menggendong gadis cantik tersebut dan membawanya lari
lebih cepat dari sebelumnya. Mahligai tertawa kegirangan di dalam hatinya. la
berlagak takut dibawa lari dalam gendongan kedua tangan Yoga, karenanya dia
punya alasan kuat memeluk leher Yoga rapat-rapat.
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba sebatang pohon tumbang
tepat di depan Yoga. Brukkk...! Pohon itu merintangi jalan dan langkah Pendekar
Rajawali Merah. Mau tak mau Pendekar
Rajawali Merah melompat ke samping sambil tetap membawa tubuh Mahligai dengan
kedua tangannya.
"Apa itu, Yo?"
"Sebatang pohon tumbang!" jawab Yoga pelan, tapi matanya yang jeli itu segera
melirik ke arah sekelilingnya. la mulai curiga dengan pohon yang tahu-tahu
tumbang sendiri. Ia berpendapat, pohon yang masih segar dan kokoh, tak mungkin
bisa tumbang sendiri jika tidak ada yang menumbangkannya.
"Ada seseorang yang sengaja meng-
hentikan langkah. kita, Mahligai!" bisik Yoga yang masih menggendong Mahligai.
"Si Mata Neraka itukah orangnya?"
"Entahlah! Aku belum melihat gerakan aneh di sana-sini!" Yoga melangkahkan
kakinya ke arah samping, ke tempat akar pohon yang mencuat keluar dari tanah
itu. Kedua tangannya masih belum sadar
menggendong tubuh si gadis cantik itu.
Tiba-tiba selarik sinar terlihat
berkelebat melesat dari atas sebuah pohon berdaun rimbun. Sinar itu berwarna
merah dan melesat dengan cepatnya. Wuuusst...!
Pendekar Rajawali Merah segera
sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat ke atas dengan bersalto dua kali ke
belakang. Tubuh dalam gendongannya masih tetap ada dan ikut terguling-guling
bersamanya. Duaarrr...! Sinar merah itu mengenai
pangkal pohon yang tumbang, sehingga
bagian yang terkena sinar merah itu
menjadi pecah berhamburan. Akar pohon itu pun menjadi serpihan-serpihan
kecil. Kalau saja Yoga tidak segera melompat menghindarinya, maka tubuhnya dan tubuh
Mahligai akan menjadi serpihan-serpihan kecil seperti nasib pohon itu.
"Arahnya dari atas pohon, Yoga!"
bisik Mahligai.
"Ya, aku tahu!" balas Yoga berbisik.
Lalu, dengan cepat ia bergerak melompat dan memutarkan tubuhnya. Wuuttt.!
Kakinya menendang dalam gerak mengibas cepat.
Kibasan kaki itu melepaskan sebuah
tendangan jarak jauh yang tidak
memancarkan sinar warna apa pun, namun menimbulkan hawa panes yang segera
melesat ke arah kerimbunan pohon lebat itu. Wuuugh...! Grusssaakkk. Buuhg...!
Sekelebat bayangan hitam jatuh dari
atas pohon tersebut dengan menimbulkan bunyi bergedebuk cukup keras. Tapi tak
ada suara pekik dan jerit kesakitan dari bawah pohon berdaun lebat itu.
Sementara itu, daun-daun pohon yang tadi terkena tendangan hawa panas Yoga kini
menjadi layu dan mengkerut.
"Keluarlah kalau kau ingin menemui ku!" seru Yoga masih belum menyadari bahwa
dia sebenarnya bisa menurunkan
tubuh Mahligai dari gendongannya.
Sedangkan Mahligai sendiri yang menyadari hal itu, diam saja dan merasa semakin
betah berada dalam gendongan pemuda
tampan yang menawan hatinya itu.
Kejap selanjutnya, seorang lelaki
berpakaian serba hitam muncul dari balik pohon yang berdaun rimbun itu. Orang
tersebut sudah memasang wajah angker
dengan pandangan mata yang sangar dan
dingin. Orang itu berkumis agak lebat, turun ke bawah hingga mencapai tepian
dagunya yang tidak berjenggot. Di
perkirakan oleh Yoga, usia orang berambut abu-abu pendek berikat kain putih Itu
sekitar empat puluh tahun, Tapi Yoga
merasa tidak mengenal orang tersebut dan baru kali itu berjumpa. Hanya saja,
Mahligai segera berkata seakan bicara
pada dirinya, "Paman Jalak Hutan..."!"
"Siapa pemuda gila itu, Mahligai"!"
"Dia Pendekar Rajawali Merah yang bernama Yoga, Paman! Mengapa Paman
menghadang langkah kami"!"
"Aku tertarik dengan pedang di
punggung anak muda itu! Kalau tak salah lihat, itulah Pedang Lidah Guntur milik
Empu Dirgantara!"
Yoga menyahut, "Benar! Akulah murid Empu Dirgantara dan pewaris Pedang Lidah
Guntur!" "0, pantas...! Rupanya cukup lama Empu Dirgantara menghilang dari rimba
persilatan karena mendidik seorang murid
yang akan dijadikan pewaris seluruh
ilmunya?" kata Jalak Hutan dengan pandangan mata tidak bersahabat.
"Lalu apa maumu, Paman?" tanya Yoga bernada menantang.
Jalak Hutan memandangi beberapa saat
tanpa bicara. Sementara itu, Yoga
berbisik kepada Mahligai,
"Siapa orang itu, Mahligai?"
"Dia orang yang dari dulu meng-
harapkan cinta bibiku, tapi tak pernah disambut oleh Bibi! Dia sangat mencintai
Bibi, tapi Bibi sama sekali tidak
mencintainya, namun juga tidak memusuhinya!"
"Hmmm...! Yoga menggumam pendek dan sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mata masih menatap tajam ke arah Jalak Hutan yang berpakaian serba hitam dan
menyandang golok di pinggangnya.
Orang itu segera berkata kepada Yoga,
"Kusarankan padamu, Anak Muda... jangan kau membawa-bawa pedang itu! Karena
pedang tersebut akan menjadi incaran
banyak orang. Hampir setiap tokoh sakti ingin memiliki Pedang Lidah Guntur itu!
Jadi, alangkah baiknya jika kau titipkan padaku untuk kusimpan dan
kuselamatkan!"
"Terima kasih, Paman Jalak Hutan! Aku cukup mampu menyelamatkan pedang ini,
karena memang wasiat dari guruku melarang aku menyerahkan pedang ini kepada
siapa pun!" 'Ternyata kau anak muda yang bodoh,
hanya tampan wajahmu tapi tumpul otakmu!
Serahkanlah padaku, akan kusimpan pedang itu!"
"Tidak!"
"Kalau begitu aku harus merebutnya, supaya pedang itu tidak membawa korban tak
bersalah!"
"Kau kelihatan bernafsu sekali ingin memiliki pedang ini, Paman Jalak Hutan!"
kata Mahligai dari gendongan Yoga.
"Ini bukan urusanmu, Mahligai! Jangan ikut bicara!" bentak Jalak Hutan. Lalu ia
berkata kepada Yoga.
"Pendekar Rajawali Merah, demi
keselamatan umat manusia dari ancaman
maut pedang itu, aku terpaksa merebutnya darimu!"
"Aku terpaksa mempertahankannya!"
"Kurang ajar! Berani kau menentang kehendakku, hah" Hiaaat...!"
Jalak Hutan mencabut goloknya dan
langsung menyerang Yoga dengan satu
lompatan yang siap menebaskan golok
tersebut. Tetapi, di luar
dugaan, Pendekar Rajawali Merah yang sedang
menggendong Mahligai mampu melesat naik lebih tinggi lagi hingga melampaui
ketinggian lompat Jalak Hutan.
Wuuttt...! Golok itu ditebaskan dan
tentu saja mengenai tempat kosong. Orang
yang ditebasnya sudah ada di atas dan
dengan gerakan kaki begitu cepat, Yoga menendang tengkuk kepala dan bagian
belakang kepala lawannya. Des des des
des...! Ujung jempol kaki yang dipakai
menendang beberapa kali dengan gerakan yang tak bisa
dilihat oleh mata
telanjang. Gerakan tendangan pada ujung jempol kaki yang begitu cepat itulah
yang dinamakan jurus 'Rajawali Paruh Pendek'.
"Ahg...!" kepala Jalak Hutan tersentak mendongak dengan mulut
ternganga. Tubuh berpakaian hitam itu
diam tak bergerak sesaat, namun kejap
berikutnya ia tampak menggeram dan dengan susah payah mengembalikan kepalanya
agar tidak mendongak. Namun agaknya ada tulang dan urat yang terkunci akibat
pukulan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' itu,
sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan kepalanya ke kiri atau ke kanan, bahkan
menunduk ataupun tegak sudah tak bisa
lagi. "Keparat...!" geramnya sambil mengerahkan tenaga untuk menundukkan
kepala, namun sama sekali tak bisa
bergerak sedikit pun. la menjadi sulit memandang ke depan, dan sulit berpaling
ke mana-mana. "Kau memang kurang ajar, Pendekar Rajawali Merah! Kurasa untuk kali ini
pertemuan kita sampai di sini dulu! Aku berjanji akan kembali lagi setelah aku
berhasil mengembalikan keadaan kepalaku ini!"
Wuuuttt...! Jalak Hutan cepat-cepat
melarikan diri dengan kepala selalu
menghadap ke langit. Yoga ingin menge-
jarnya, tapi Mahligai yang masih dalam gendongannya itu melarang.
* * * 4 MAHLIGAI dirawat dan diasuh oleh Bibi
Sendang Suci sejak la berusia tujuh
tahun. Mahligai bukan anak piatu, tapi ia mempunyai sebelas saudara dan orang
tuanya orang tak mampu. Lalu, Sendang
Suci bermaksud meringankan beban kedua orangtua Mahligai dengan merawat dan
mengasuh salah satu dari kedua belas anak adiknya itu. Mahligai lah yang
terpilih, karena pada waktu itu Mahligai lah anak yang paling nakal dan bandel,
melebihi kakak lelakinya yang berjumlah tiga orang itu. Mahligai adalah anak yang keenam, jadi ia masih mempunyai lima saudara tua dan enam
saudara muda. Mereka tinggal
bersama orang tua Mahligai, jauh dari tempat Bibi Sendang Suci merawat dan
mengasuhnya. Sendang Suci perempuan berusia empat
puluh lima tahun yang masih kelihatan cantik dan muda berkat ramuan obat-obatan
yang sering digunakannya. !a cukup ahli dalam ramuan obat-obatan, karena itu
banyak yang memanggilnya dengan julukan Tabib Perawan. Dijuluki sebagai Tabib
Perawan, karena selain Sendang Suci ahli meracik obat-obatan juga dia dalam usia
setua itu masih perawan dan belum pernah dijamah seorang lelaki mana pun juga.
Tabib Perawan atau Sendang Suci
pernah patah hati semasa remajanya.
Kekasihnya mati terbunuh oleh lawan yang tidak diketahui siapa pembunuhnya.
Tabib Perawan bertekad tidak mau menerima cinta seorang lelaki lagi, karena ia
takut kecewa jika lelaki yang dicintainya itu mati. Baginya, kematian seorang kekasih
merupakan kepergian yang amat kejam dan tak bisa dibendung lagi. Hal yang paling
sulit dilakukannya adalah mencegah
kepergian kekasih ke alam baka.
Dalam kesendiriannya di Lembah Bukit
Berhala itu, ia menekuni ilmu pengobatan dari rempah-rempah dan segala sesuatu
Pendekar Aneh Naga Langit 17 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 2
WASIAT DEWA GELEDEK Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: Wasiat Dewa Geledek 128 hal.
JODOH BAJAWALI Wasiat Dewa Geledek
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 TANAH tak bertuan terletak di Teluk
Benggala. Tempatnya sunyi, berkesan
angker. Udaranya lembab dan berbau tanah basah. Air laut dari Teluk Benggala
kadang sampai memenuhi wilayah tanah tak bertuan jika air laut pasang. Tak heran
jika tanah di situ jarang bisa kering.
Pohon-pohon yang menjulang tinggi, sering rubuh seketika karena disambar petir.
Hembusan angin laut yang sering
membadai membuat tanah tak bertuan itu menjadi semakin kuat oleh cerita lama,
tentang keangkeran dan keganasan hutan nya dari roh-roh jahat. Barangkali karena
cerita lama yang dituturkan dari mulut ke mulut itulah yang membuat manusia
enggan melintasi tanah tak bertuan itu. Hanya orang yang tersesat dan terdesak
saja yang mau berada di hutan tanah tak
bertuan. Seperti halnya seorang gadis bergaun
kuning, terpaksa mengarahkan larinya ke tanah angker tersebut karena suatu hal.
Jika bukan karena menghindari bahaya,
tentunya gadis berambut panjang yang
diikat kain merah itu tak mau singgah dan bersembunyi di tanah tersebut
Gadis itu berwajah cantik, namun
tampak dihinggapi ketegangan. Matanya
yang bulat bening dan berbulu lentik itu
kelihatan menyimpan kecemasan, yang
membuat gerakannya serba cepat. la
melompat dari batu ke batu, sampai tiba di gundukan tanah yang menyerupai
kuburan panjang Itu.
Kuburan membukit bertanah kering,
tapi berumput duri. Beberapa bebatuan tersembul di sana, bahkan ada yang
tingginya seukuran manusia dewasa. Gadis itu menyelinap di balik bebatuan besar
dengan mata melirik ke kanan - kiri penuh ketegangan. Namun tiba-tiba gadis
berbaju kuning dengan ikat pinggang selendang warna biru muda dan menyelipkan
pedang pendek di selendang itu, menjadi tertegun dalam satu sentakan
mengejutkan. "Ha ha ha...! Mau bersembunyi di mana kau, Mahligai?"
Orang bertampang ganas tiba-tiba
mencegatnya dan tahu-tahu sudah berada di depan gadis berbaju kuning yang
ternyata bernama Mahligai. Orang bertampang ganas itu mempunyai mata lebar dan
tubuh lebih besar dari Mahligai. Kumisnya tebal dan rambutnya panjang diikat
dengan logam tembaga. Di tengah logam tembaga itu ada hiasan mulut singa yang menganga lebar,
menambah kesan ganas pada wajah lelaki itu. la mengenakan pakaian serba biru tua
dan sabuk warna hitam lebar. Di sabuknya terselip pedang lebar berujung lengkung
dan runcing. Pedang itu menimbulkan kesan
bahwa si pemiliknya gemar memancung leher lawannya tanpa ampun lagi.
"Kau tak akan bisa lari untuk menghindari
perjanjianku dengan gurumu,
Mahligai!" kata orang berwajah angker itu dengan suara besar.
"Aku tak punya urusan dengan perjan-jianmu itu, Mata Neraka!" Mahligai mencoba
menangkis anggapan
si Mata Neraka. "Siapa bilang tak ada urusan" Justru kalau bukan gurumu
Sendang Suci menjanjikan perkawinanku dengan dirimu, aku tak akan mau mengobati sakit gurumu
itu! Dan sekarang aku sudah bisa
menyembuhkan gurumu, maka janjinya pun harus dipenuhi! Dia harus mengawinkan aku
denganmu, sebagai murid tunggalnya!"
"Mata Neraka!" kata Mahligai memaksakan diri untuk tetap kelihatan
berani, "Guru tidak pernah mempertaruhkan aku sebagai jaminan kesembuhannya!
Jangan kau memaksa diriku untuk menerima
lamaranmu, Mata Neraka!"
"Pada waktu aku buat perjanjian itu dengan Sendang Suci, kau ada tak jauh
dari kami, dan kau mendengar apa yang
dikatakan oleh gurumu! Kau tidak
membantah dan mengajukan keberatan!
Sekarang kau mau berlagak tidak tahu
menahu dengan perjanjian itu! Jelas itu tidak bisa kuterima, Mahligai! Apa pun
yang terjadi, kau harus menjadi istriku karena itulah upahku mengobati sakit
gurumu!" Mahligai masih berdiri dengan sikap
dibuat setenang mungkin. Dalam hatinya ia membatin,
"Sebenarnya ini hanya siasat yang kuciptakan bersama Guru. Tapi ternyata Guru
tidak mau mencegah tindakan Mata
Neraka. Apa maksud Guru membiarkan Mata Neraka mengejarku"! Apakah dia benar-
benar mau menjodohkan aku dengan Mata
Neraka" Apakah Guru tega melihat aku
mempunyai suami manusia sesat ini"! Oh, tidak! Aku tidak mau jika harus menyerah
menjadi suami Mata Neraka! Aku harus
melawannya dan lebih baik mati daripada menjadi suami tokoh sesat ini!"
Setelah kesunyian terjadi beberapa
kejap melingkupi
mereka berdua, maka terdengarlah suara Mata Neraka yang
menggetarkan jantung Mahligai itu,
"Bagaimana" Sudah kau ingat-ingat perjanjian itu. Mahligai?"
"Aku tidak Ingat!" jawab Mahligai dengan ketus. "Aku menolak menjadi istrimu!"
Si Mata Neraka mulai pancarkan
pandangan marahnya, Suaranya sedikit
menggeram ketika ia berkata,
"Mahligai, Jangan kau buat hatiku kecewa dengan penolakanmu!
Aku bisa celakai gurumu lagi dengan racun yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun
kecuali olehku. Dan usia gurumu akan pendek! Atau aku bahkan tak segan-segan
menghabisi nyawamu jika kau masih menolakku dan
mengecewakan hatiku, Mahligai!"
Mahligai bahkan mencibir sinis dan
berkata, "Hrnrn...! Rupanya kau telah membongkar rahasiamu sendiri,
Mata Neraka! Berarti kaulah orang yang telah melukai Guru dengan jarum racunmu itu,
ketika Guru sedang dalam perjalanan
pulang dari Bukit Mawar! Guru menderita luka racun yang tak bisa disembuhkan
oleh siapa pun. Lalu, kau tampil berlagak
sebagai tabib, karena kau punya rencana ingin memperistriku! Rupanya kau buat
Guru berhutang budi padamu, sehingga Guru mau membantumu membujukku supaya
menerima lamaranmu! Sekarang buatku jelas sudah tipu muslihatmu itu, Mata
Neraka!" ,
"Ha ha ha...! Kalau sudah jelas,
lantas bagaimana"!"
"Aku tetap menolak lamaranmu!"
"Itu berarti kau memaksaku mem-
bunuhmu, Mahligai!"
"Apa boleh buat jika memang itu, yang harus kutempuh demi membayar hutang Guru
kepadamu!"
"Benar-benar kau adalah perempuan bodoh, Mahligai! Tidak sembarang perempuan
ingin kukawini sebagai istriku yang
sah! Hanya kamu yang terpilih di hatiku!
Biasanya aku hanya merenggut kesuciannya, atau menikmati mahkotanya barang
sejenak, selesai itu kubuang atau kubunuh! Tapi terhadapmu, Aku bermurah hati
dan tak ingin membuangmu, Mahligai!. Kau akan kurawat dan kusayangi sepanjang
hidupmu, kau akan kumanjakan kapan saja!"
"Persetan dengan semua itu! Aku tak sudi menjadi istrimu!"
Panas hati si Mata Neraka mendengar
penolakannya yang terang-terangan itu. Ia diam "memandangi Mahligai dengan wajah
menjadi kaku, dingin namun angker.
Mahligai tahu gelagat, pasti sebentar
lagi orang keji itu akan menyerang,
karena itu Mahligai segera mencabut
pedangnya. Sraangng...! "Lakukan apa yang ingin kau lakukan padaku, Mata, Neraka. Aku sudah siap
menghadapi mu!" ucap Mahligai dengan
ketus sekali. Mata Neraka masih diam memandangi tak
berkedip dengan wajah semakin
tampak lebih angker lagi. Kejap berikutnya, bola mata orang berkumis lebat itu tiba-
tiba menjadi hijau menyala.
Mahligai mundur setindak dan agak
kaget. Dengan, cepat ia melesat ke
samping, tubuhnya bagai melayang ke atas batu yang setinggi pundaknya. Tepat
pada waktu itu, sorot mata yang hijau
melepaskan sinar dua larik seperti jalur sebesar lidi Claapp...!
Duaaar...! Dua larik sinar hijau
itu menghantam batu di belakang tempat berdiri
Mahligai sebelumnya. Andai
Mahligai tidak lekas melompat ke atas
batu setinggi pundak, maka tubuhnya akan pecah pula dihantam sinar hijau dua
larik itu. "Hiaaat...!" Mahligai sentakkan kaki dan tubuhnya bagaikan terbang menyerang si
Mata Neraka dengan pedang tajamnya
yang berujung runcing itu. la kelebatkan tangan yang memegang pedang, sehingga
pedang itu pun berkelebat di depan mata lawannya.
Wuutt Trangng...! Cepat sekali si Mata Neraka mencabut
pedang lebarnya, nyaris tak bisa terlihat oleh mata Mahligai. Tahu-tahu pedang
besar itu menangkis dalam gerakan tebas yang cepat pula. Akibatnya pedang
Mahligai terlepas dari pegangannya dan terpental tiga tombak dari tempatnya
berdiri. . Melihat Mahligai mundur tiga tindak,
si Mata Neraka lepaskan tawa terbahak-
bahak. ia merasa punya satu kemenangan setelah pedang di tangan Mahligai
berhasil dibuangnya jauh-jauh.
"Aku tahu kekuatanmu sudah berkurang jika tanpa pedang pendekmu itu, Mahligai!
Karena itu, jangan kamu memaksaku lagi untuk membunuhmu! Menyerahlah dan Jadilah
istriku sesuai perjanjianku dengan gurumu itu!"
"Kawini saja mayatku! Haiaaah...!"
Wuuk... wwukkk...! Mahligai bersalto
mundur dua kail, lalu dari tangan
kanannya ia lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar lebar berwarna
kuning. Zlaaap...!
Si Mata Neraka kibaskan pedang
lebarnya dari kanan ke kiri. Wuuut...!
Lalu pedang itu berhenti di atas kepala sebelah kiri, dan memancarkan sinar
hijau bergelombang-gelombang. Sinar itu
bagaikan suatu kekuatan yang mampu
menghisap sinar kuning dari Mahligai.
Zrruubb! Dalam sekejap sinar kuning pun lenyap tanpa menimbulkan bunyi ledakan
apa pun. "Gila! Pedang itu mampu menyerap jurus "Badai Darah' ku!" ucap Mahligai dalam
hatinya. "Gawat! Terpaksa aku menggunakan selendang ini! Kurasa dia tak akan
sanggup menahan jurus selendangku yang bernama 'Ekor Naga Murka' Ini!"
Agaknya Mahligai benar-benar tak mau
menyerah dan pasrah menjadi Istri manusia sesat
itu. Ia menggunakan selendang
birunya dan selendang itu dikibaskan
dalam satu hentakkan ke arah si Mata
Neraka. Wuuusss...!
Selendang itu berkelebat cepat
menghantam kepala si Mata Neraka. Tetapi pedang lebar Mata Neraka menangkisnya
dan selendang biru itu tertahan ujungnya di sana. Weertt...!
"Uhg...!" Mahligai bertahan ketika pedang Mata Neraka bergerak ingin menarik
selendang tersebut dalam sentakan.
Mahligai tidak mau terbawa oleh tarikan selendang suteranya itu, sehingga
ia kerahkan tenaganya untuk menahan kekuatan lawan yang berusaha menarik selendang.
Sementara, Mata Neraka sendiri tampak
kerahkan tenaga pula berusaha untuk
menarik selendang dan pemiliknya agar terpental maju ke arahnya.
Tetapi, begitu melihat di belakangnya
ada pohon, Mahligai segera memutari pohon itu dua kali. Selendangnya tersangkut
di pohon itu dalam keadaan terentang. Lalu, tubuhnya yang ramping itu melesat
naik di atas rentangan selendang dan berlari
dengan cepat ke arah lawannya. Mata
Neraka tidak menyangka Mahligai mampu berlari di atas rentangan selendangnya,
bahkan tahu-tahu telapak kaki gadis itu menjejak wajah Mata Neraka dengan kuat.
Plookkk...! Deesss!.
Dua kali tendangan sama-sama telah
mengenai Wajah Mata Neraka. Wajah itu
tersentak ke belakang pada saat Mahligai bersalto di udara satu kali dan hinggap
di rentangan selendangnya lagi. Namun setelah itu ia melompat turun dengan
segera, karena selendangnya terlepas dari lilitan ke pedang besarnya Mata
Neraka. Sedangkan tubuh Mata Neraka tergulingguling ke belakang, tiga tombak jauhnya.
dan terakhir punggungnya membentur akar pohon besar.
Duuggg...! Dilihatnya Mahligai
telah sigap berdiri dengan selendang birunya di
tangan kanan dalam keadaan memendek
seperti ukuran semula. Mata Neraka
menjadi semakin marah. Maka dengan cepat ia bangkit dan matanya berubah menjadi
merah. Kemudian dari dua bola mata yang hijau menyala itu melesatlah sinar hijau
dua larik yang menjadi satu di
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertengahan, lalu sinar hijau yang
panjang dan lurus itu menghantam tubuh Mahligai bagai tak kenal ampun lagi.
Wutt... Blaaarr Seberkas cahaya merah bagai lempengan
logam yang menyala melesat dari arah lain dan menghadang
sinar hijau tersebut.
Benturan cahaya merah dan hijau itu timbulkan ledakan dahsyat dan membuat
tubuh Mahligai terpental jauh ke arah
belakang sampai disamping pedangnya yang
tergeletak di rerumputan.
Mata Neraka terperanjat dan segera
memandang ke arah kiri, sebab ia tahu
sinar merah itu bukan berasal dari tangan Mahligai, tapi dari tangan orang lain
Maka, segeralah dilihatnya seorang pemuda tampan berambut panjang lurus dan
lemas, berdiri dengan tegapnya di bawah sebuah pohon berakar gantung. Pemuda itu
berbadan tegap,
kekar, mengenakan
selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di
dalamnya. Celananya merah diikat kain
hitam pada pinggangnya.
"Jahanam Kau. Mau ikut campur urusan
orang, hah" Mau jadi dewa penolong untuk gadis dungu itu, hah"!" gertak si Mata
Neraka. Tetapi, pemuda itu bahkan berkata
kepada Mahligai, "Larilah!
Kutangani orang ini dan selamatkan dirimu jika kau tidak mau menjadi istrinya!"
Mahligai berkata dalam hatinya,
"Siapa pemuda ini" Aku tidak mengenalnya, tapi agaknya dia tadi mendengar
perdebatanku dengan si Mata Neraka,
sehingga dia tahu persoalanku sebenarnya Rasa-rasanya baru sekarang aku jumpa
dia. Hmmm... tampan juga wajahnya. Ia mempunyai sorot
mata yang menggetarkan hatiku!
Siapa dia sebenarnya dan mengapa ia
membelaku?"
Rasa-rasanya Mahligai ingin diam dan
melihat pertarungan pemuda tampan itu dengan si Mata Neraka. Tetapi Mahligai
merasa punya peluang baik untuk melarikan diri, seperti yang disarankan pemuda
berlengan kekar itu. Mahligai tak tahu, apakah pemuda itu mampu menaklukkan si
Mata Neraka yang terkenal tinggi ilmunya itu atau tidak, tapi langkah yang
terbaik memang lari dan segera menyelamatkan diri sementara si Mata Neraka biar
dihambat pengejarannya oleh pemuda tampan itu.
Maka, dengan cepat Mahligai pun angkat kaki dari tempat tersebut setelah ia
menyambar pedangnya yang masih tergeletak di rerumputan itu.
Wess,..! "Mahligai! Tunggu...!" seru si Mata Neraka.
Pemuda itu segera menyentakkan
telapak tangan kirinya ke depan dan
melesatlah pukulan tenaga dalam yang tak terlihat bentuknya itu. Pukulan
tersebut tepat mengenai pinggang belakang Mata
Neraka saat orang berwajah angker itu
ingin mengejar Mahligai.
Duuub...! "Uhhg...!" Mata Neraka tersentak ke depan seperti dihantam dengan sebatang pohon
gelondongan tepat di pinggangnya.
la melengkung ke depan dan akhirnya jatuh tersungkur.
Dengan cepat Mata Neraka bangkit
kembali dan tak hiraukan rasa ngilu di tulang belakangnya. la segera menatap
pemuda tampan yang gagah perkasa itu
dengan mata liarnya. Ia pun menggeram sambil mengusap kumisnya yang tebal
memakai tangan kiri, lalu berkata,
"Biadab kau! Rupanya kau sengaja
bikin perkara denganku, hah"!"
"Aku hanya tak suka melihat caramu memaksa gadis Itu untuk kau jadikan
istrimu! Kudengar kau yang bernama Mata Neraka"!"
"Betul! Pasti kau tadi telah menyadap perdebatanku dengan Mahligai!" ucap Mata
Neraka sambil napasnya sedikit terengah-engah karena menahan luapan amarah
kepada pemuda Itu. la berkata lagi,
"Dan kau... kalau tak kusalah
pandang, kau pasti
muridnya Empu Dirgantara yang punya gelar Dewa Geledek itu! Kau yang bernama Yoga!"
"Dari mana kau tahu tentang diriku"!"
"Sudah kuincar dirimu bersama gurumu itu! Tapi aku belum sempat lakukan
penyerangan kepada kalian! Agaknya, aku harus membunuh muridnya dulu. setelah
itu gurunya yang kubunuh!"
"Ada dendam apa kau kepadaku sehingga ingin membunuhku?"
"Dendamnya sudah jelas, kau membuat Mahligai lari, kau mencampuri urusanku
dengan Mahligai, kau berlagak menjadi
dewa penolongnya, dan itu berarti kau
sudah bosan hidup! Soal dendamku kepada gurumu memang tidak ada, tapi karena dia
adalah musuh bebuyutan kakakku, maka ada baiknya jika aku membunuh si Dewa
Geledek itu!"
Yoga memandang lawannya dengan
menyipitkan mata, dan dalam hatinya la berkata, "Rupanya dia punya niat yang
sungguh-sungguh untuk membunuh Guru!
Kulihat tangannya menggenggam kuat sekali saat ia lontarkan niatnya untuk
membunuh Guru! Jadi, aku pun tak boleh tanggung-tanggung melawannya. Bukan
lantaran ingin menyelamatkan gadis itu saja, melainkan juga harus menyelamatkan
Guru sebelum bahaya datang dari si Mata Neraka Ini!"
Sementara itu, si Mata Neraka pun
berkata dalam hati ketika ia menatap Yoga tanpa berkedip sedikit pun. Ini lah
saatnya memancing si Dewa Geledek keluar dari persembunyiannya selama ini Pemuda
didepanku itu sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan beberapa orang sebagai
murid si Dewa Geledek. Jadi kurasa dengan membunuh muridnya, maka Dewa Geledek
akan muncul dan ikut campur lagi di rimba
persilatan! Dia tak akan menjadi petapa lagi dan
membatalkan niatnya untuk mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
Beberapa saat ketika mereka berdua
saling pandang dan saling membatin, tiba-tiba sekilas sinar hijau kecil melesat
dari mata orang berwajah angker itu.
Claappp!! Dua sinar kecil hijau itu
melesat bersamaan dan menghantam mata
Yoga dengan cepatnya.
"Ouhh...?"
Yoga terkejut. Pandangan
matanya menjadi gelap. Bola matanya pedih dan sakit sekali. la meraba-raba
sambil bergerak. Lalu ia rasakan hembusan angin dingin mendekati lehernya. Buru-
buru ia merunduk, setelah itu berguling ke tanah dengan cepat, dan bangkit
dengan kaki berlutut sebelah.
Wuukkkk...! Pedang besar itu lolos dari leher
Yoga, karena Yoga menghindar saat hawa dingin dari logam baja putih pedang lawan
ingin menebas lehernya. Sementara itu, Yoga segera menjadi berdebar-debar
setelah ia sadar dan berkata dalam
hatinya, "Oh, gelap sekali! Aku tak melihat apa-apa!"
"Ha ha ha ha!
Nyawamu tinggal beberapa helaan napas lagi, Yoga! Kau tak akan bisa melawanku dalam keadaan buta
begitu! Ha ha ha ha...!" seru si, Mata Neraka dengan bergerak mengelilingi Yoga,
sementara itu, Yoga meraba-raba di udara mencari keseimbangan indera.
Tiba-tiba ia rasakan kembali hembusan
angin dingin yang mendekat di
punggungnya. Pedang lawan ingin membelah punggung. Tapi tiba-tiba ia mendengar
suara, triingng...! Lalu suara lawan terpekik tertahan, "Uuhg...!"
Dan setelah itu, wuutttt...! Tubuh
Yoga bagai ada yang menyambarnya,
membawanya pergi dengan gerakan secepat hembusan badal mengamuk.
* * * 2 PADA sisi hutan yang lain, sebuah
pondok dibangun dalam kerimbunan tanaman jalar. Udara di sekitar pondok Itu
cukup dingin, karena terletak di ketinggian lereng yang mendekati puncak sebuah
gunung yang bernama Gunung Tiang Awan.
Walau matahari mencapai pertengahan edar, tapi permukaan lereng gunung tersebut
masih diselimuti kabut tipis.
Di Gunung Tiang Awan itulah, Dewa
Geledek yang bernama asli Empu Dirgantara itu membawa muridnya yang bandel.
Kakek tua berbadan kurus dengan rambut serba putih sampai pada kumis dan
jenggotnya itu, sedang menyembuhkan luka di mata
Yoga akibat serangan si Mata Neraka. Luka yang bisa membutakan mata Yoga
termasuk belum terlambat, sehingga dengan me-
nyalurkan hawa murninya di dalam ubun-
ubun Yoga, Empu Dirgantara berhasil
membuat muridnya terhindar dari kebutaan.
Sekalipun untuk itu sang Guru terpaksa kerahkan tenaganya yang sedang dalam
keadaan sakit-sakitan itu.
"Lain kali jangan lakukan tindakan sebodoh ini, Yo!" kata sang Guru sambil
memberikan ramuan obat penyegar darah
yang harus diminum oleh Yoga. Lanjutnya lagi.
"Kalau kau selalu lakukan tindakan sebodoh ini, umurmu tidak sampai satu
hari, Yo! Kau cepat mati dan merepotkan orang lain yang harus menguburkan
mayatmu!" Setelah meneguk ramuan penyegar
darah, Yoga pun berkata kepada sang Guru,
"Aku hanya menyelamatkan gadis yang hampir dibunuh oleh si Mata Neraka itu,
Guru! Gadis itu cantik dan tak seimbang ilmunya dengan...."
'Yang kau selamatkan kecantikannya
atau nyawanya?" potong Empu Dirgantara alias si Dewa Geledek itu.
Yoga tersipu malu mendengar per-
tanyaan itu. ia tak bisa menjawab, karena dalam hatinya sejak tadi memang
mengakui kecantikan Mahligai yang tak membosankan dipandang mata. Yoga memang
merasa sayang jika kecantikan itu rusak ataupun hilang
tanpa nyawa. Yoga juga merasa tak rela jika gadis secantik Mahligai akhirnya
jatuh bertekuk lutut dan pasrah menjadi suami si Mata Neraka yang bengis dan
kasar itu. Dewa Geledek bicara lagi kepada
muridnya setelah ia duduk bersila di
depan sang murid.
"Tidak semua gadis cantik harus kau
campuri urusan pribadinya, Yo. Hati-
hatilah dengan kecantikan, yang bisa
berubah menjadi perangkap maut bagi
dirimu!" "Balk, Guru. Akan kuingat nasihat Guru ini!"
"Dan lagi, belum waktunya kau melawan Malaikat Gelang Emas dalam keadaan ilmumu
masih serendah ini! Kau tidak imbang
melawan Malaikat Gelang Emas, Yo!"
"Yang kulawan si Mata Neraka, Guru!
Bukan Malaikat Gelang Emas!"
"Si Mata Neraka adalah adik dari
Malaikat Gelang Emas. Dia mempunyai ilmu sedikit lebih rendah dari Malaikat
Gelang Emas."
"Tapi si Mata Neraka juga mengancam
ingin membunuh Guru, setelah ia
mengenaliku sebagai murid Guru! Apakah aku harus diam saja terhadap orang yang
akan membunuh Guru"!"
"Tak heran jika si Mata Neraka ingin
membunuhku, sebab Malaikat Gelang Emas;
kakaknya, adalah musuh bebuyutanku.
Tentunya si Mata Neraka ingin membantu kakaknya dalam melenyapkan aku dari
permukaan bumi ini!"
Yoga terbungkam sesaat melihat sang
Guru termenung dengan mata lurus ke depan menerawang pada satu rasa permusuhan
yang terpendam. Yoga ingin menanyakan sebab-sebab permusuhan antara gurunya
dengan Malaikat Gelang Emas, namun ia ragu dan tak berani, karena sepertinya ada
amarah yang tersembul dari hati kecil sang Guru, yang membuat sang Guru bungkam
beberapa saat lamanya.
Rupanya bungkamnya mulut Dewa Geledek
itu bukan semata-mata sikapnya yang
sedang larut dalam lamunan, melainkan
karena suatu pertimbangan yang bergumul dalam hati sanubarinya.
"Sepertinya sudah saatnya kuturunkan semua ilmuku kepadanya. Penyakit tuaku Ini
seakan sudah tak mampu menahan ilmu yang ada padaku. Lebih baik sekarang
kulakukan hal itu, dari pada aku mati
sebelum menurunkan semua ilmuku kepada Yoga."
Pada saat itu, Yoga sengaja
melemparkan pandangannya ke arah seekor burung rajawali berbulu merah yang
melompat-lompat di samping pondok. Burung itu sesekali mengibaskan sayapnya yang
besar dan lebar itu. Sesekali terdengar
suaranya yang serak, seakan ingin ikut bicara dengan mereka berdua. Burung
rajawali besar itu menggerak-gerakkan
matanya ketika ia berada dalam posisi
berhadapan jauh dengan Dewa Geledek,
seperti memberi suatu isyarat tertentu yang membuat Dewa Geledek akhirnya
berkata kepada Yoga Prawira, muridnya.
"Apakah si Mata Neraka yakin betul bahwa kau adalah muridku?"
"Ya, Guru! Kurasa ia sudah mendapat kabar dari beberapa tokoh sakti yang
mengetahui aku menjadi murid Guru, dan ia mencocokkan ciri-ciri yang ada padaku,
sehingga ia bisa langsung tahu bahwa aku adalah murid Guru. Aku pun mengakui di
depannya bahwa aku adalah murid Dewa
Geledek dan akan menjadi orang pertama yang menghadang maut yang ingin menyerang
Guru!" "Berarti Malaikat Gelang Emas pun akan mencarimu untuk dibunuh!" kata Dewa
Geledek yang berpakaian serba putih itu.
Kemudian katanya lagi sambil memandangi Yoga.
"Hati-hatilah jika bertemu Malaikat Gelang Emas. Dia berilmu tinggi. Sampai
sekarang aku belum menemukan jurus yang bisa untuk mengalahkan kesaktiannya.
Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti yang sesat dan tak segan-segan membunuh
lawannya, entah dia anak kecil ataupun
perempuan tua. Dia mempunyai ilmu 'Bayang Siluman', yang membuatnya tak bisa
disentuh oleh benda apa pun. Tapi dia
sendiri bisa menyentuh semua benda, bisa menembus dinding, bahkan pintu baja pun
bisa diterabasnya masuk tanpa harus
merusak atau membuka pintu tersebut.
Itulah jurus yang paling ditakuti olah tokoh sakti dalam melawan Malaikat Gelang
Emas!"
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda berambut panjang sebatas lewat
pundak yang tidak mengenakan ikat kepala itu terangguk-angguk kepalanya
merenungi cerita sang Guru, ia sengaja tidak
memotong kata untuk sementara ini, karena ia lebih tertarik untuk membiarkan
sang Guru bercerita dengan sendirinya tentang Malaikat Gelang Emas yang
mempunyai kesaktian sehebat itu. Maka, setelah diam beberapa saat, sang Guru pun
melanjutkan kata-kata-nya dengan nada arif dan
bijaksana, "Kesaktian dari Malaikat Gelang Emas itulah yang membuat aku terpisah dari
istriku yang memiliki tunggangan seekor burung rajawali juga tetapi berwarna
putih. Sebenarnya pada waktu itu, kami berdua bisa mengalahkan Malaikat Gelang
Emas dengan memadukan pusaka kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dengan Pedang Sukma
Halilintar. Tetapi Dewi Langit Perak,
atau Istriku itu, kehilangan pedangnya
yang jatuh ke lautan saat dalam
pengejaran, sebelum ia bergabung
denganku. Akibatnya, kami menyerang
Malaikat Gelang Emas tanpa pusaka! Hanya ada satu pusaka di tanganku, yaitu
Pedang Lidah Guntur, tapi itu tidak membuat
Malaikat Gelang Emas mudah kami
kalahkan."
Sekarang Yoga punya rasa penasaran
dan ingin tahu, sehingga ia berani
menyela kata dengan mengajukan pertanyaan pada gurunya,
"Apa persoalannya sehingga Malaikat Gelang Emas menyerang Guru dan Nyai
Guru?" "Dia ingin memiliki kedua pusaka
kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dan
Pedang Sukma Halilintar. Kami memper-
tahankan, sampai pada akhirnya kami sama-sama terdesak dan lari berpencar arah.
Hingga sekarang, aku tak pernah bertemu dengan Dewi Langit Perak, istriku itu.
Aku tak tahu di mana dia berada, dan dia tak tahu di mana aku berada. Sampai
suatu saat, kutemukan seorang perempuan yang mengandung bayinya dalam keadaan
hamil tua. Perempuan itu bernama Nurmala Wening atau berjuluk Angin Teratai. Aku
kenal perempuan itu, dia adalah istri dari
Paksi Jagat. Sedangkan Paksi Jagat adalah murid sahabat baikku, yaitu Ki Gentar
Swara, yang sekarang sudah tiada. Paksi
Jagat bukan saja murid dari Ki Gentar
Swara, namun juga anak kandung dari Ki Gentar Swara...."
"Apakah murid dan anak kandung Ki Gentar Swara yang bergelar Paksi, Jagat itu
sekarang masih hidup, Guru?" tanya Yoga semakin ingin tahu kisah hidup masa lalu
dari gurunya. Dewa Geledek menjawab dengan tarikan
napas memberat, "Paksi Jagat sudah tiada juga. Dan orang yang membunuh Paksi
Jagat tak lain dari Malaikat Gelang Emas,
karena ia diserang oleh Paksi Jagat yang menuntut balas atas kematian ayahnya di
tangan Malaikat Gelang Emas."
"0, jadi... ayah Paksi Jagat yang bernama Ki Gentar Swara itu juga mati di
tangan Malaikat Gelang Emas?"
"Benar. Dan karena Paksi Jagat telah dibunuhnya, sedangkan Paksi Jagat
mempunyai istri cantik bernama Angin
Teratai itu, maka Malaikat Gelang Emas bermaksud mengambil istri Paksi Jagat
yang kala itu memang terkenal cantik.
Tetapi, Angin Teratai tak sudi dijadikan pemuas nafsu Malaikat Gelang Emas.
Sebenarnya, Angin Teratai mempunyai Ilmu cukup tinggi juga, tapi karena ia
sedang hamil tua, ia tak bisa banyak berbuat apa-apa kecuali hanya melarikan
diri dan melahirkan di sebuah hutan. Pada saat itulah aku datang dan
mengenalinya, lalu
segera menolong Angin Teratai melahirkan bayinya. Sang jabang bayi bisa
tertolong, tapi Angin Teratai tak bisa kutolong
jiwanya. ia meninggal setelah bayinya lahir, dan diusap-usapnya beberapa saat.
Angin Teratai juga sempat menceritakan padaku apa yang terjadi pada keluarganya.
la menitipkan anak tunggalnya itu padaku dan memintaku memberi nama bayi
tersebut dengan nama: Yoga Prawira!"
Seperti petir menyambar tepat di
gendang telinganya, Yoga terbelalak
matanya, kaget mendengar akhir dari kisah tersebut. Jantung pemuda itu berdebar-
debar sangat keras, membuat di dalam
dadanya terasa gemuruh membendung
berbagai rasa yang menggumpal menjadi satu antara dendam, sedih, dan keharuan.
Ia memandangi Dewa Geledek, gurunya
tanpa kedip. Sang Guru sendiri memandang sedikit sayu karena ditikam perasaan
iba. Sejak dulu, kisah inilah yang tak bisa dituturkan
lewat mulutnya, dan baru
sekarang ia berhasil menceritakannya
kepada sang murid, yang tak lain adalah anak dari Paksi Jagat dan Angin Teratai.
Berhari-hari Yoga merenungi kisah
itu. Berhari-hari pula ia mengingat-ingat nama kedua orangtuanya, termasuk nama
kakeknya; Ki Gentar Swara. Semakin ia
tajam mengingat nama orangtuanya, terasa semakin tajam pula rasa dendam mencuat
di dalam hatinya. Dendam itu tak lain
ditujukan kepada Malaikat Gelang Emas
yang membunuh kakeknya, lalu membunuh
ayahnya, mengejar-ngejar ibunya, dan
terakhir memisahkan gurunya dengan istri sang Guru.
Agaknya Malaikat Gelang Emas
merupakan tokoh sakti yang harus
dimusnahkan dari permukaan bumi ini.
Rasa-rasanya tak ada ampun lagi untuk
tokoh sesat itu, sehingga pada suatu
pagi, sang Guru melihat muridnya berkemas untuk pergi meninggalkan pondok. Maka
bertanyalah sang Guru kepada muridnya,
"Hendak ke mana kau, Yo?"
"Guru, aku harus mencari Malaikat Gelang Emas untuk menuntut balas atas
kematian kakekku, kematian ayahku, juga atas kematian ibuku yang melahirkan di
hutan karena ulah si sesat itu! Aku juga harus menuntut balas atas pecahnya Guru
dengan Nyai Guru yang sampai sekarang
membuat Guru merana hidupnya di lereng puncak gunung ini! Aku tak bisa menahan
kesabaran lagi. Guru!"
"Murid bodoh!" geram Dewa Geledek.
"Sudah kubilang, kau tak akan berhasil melawan kesaktian Malaikat Gelang Emas!
ilmu tandingannya belum ada yang punya!
Kau hanya sia-sia mengorbankan nyawa
tanpa memperoleh kemenangan sedikit pun!"
"Aku tak peduli, Guru! Hatiku sudah
telanjur sakit dan terluka parah setelah mendengar cerita dari Guru beberapa
hari yang lalu!"
Dewa Geledek hanya menarik napas
panjang-panjang. Sesuatu yang ditakutkan dari dulu kini telah terjadi dan nyata
dihadapi tuntutan balas dendam muridnya pasti akan terjadi. Itulah sebabnya dari
dulu Dewa Geledek menjaga mulutnya rapat-rapat untuk tidak menceritakan siapa
orangtua Yoga sebenarnya. Tetapi, agaknya hal itu tak bisa dipendamnya lebih
lama lagi. dan tuntutan dendam telah tumbuh di hati Yoga, sulit untuk dipadamkan
jika sudah begini.
"Tak bisa kutunda lagi niatku untuk turunkan semua ilmu padanya. Napasku
terasa kian hari kian memberat." kata Dewa Geledek dalam hatinya. Kemudian ia
memandang muridnya dengan lembut.
"Baiklah, Yoga...," kata Dewa Geledek bernada menyerah. "Kalau kau memang ingin
membalas dendam kepada Malaikat Gelang Emas, itu adalah nalurimu yang tak bisa
kucegah lagi. Tetapi aku tak bisa
melepaskan kau pergi begitu saja, Yo."
"Apa maksud Guru?"
"Semua ilmuku, semua kekuatanku, akan kutitipkan padamu, Dan..."
Dewa Geledek bergegas ke satu sudut
ruangan di dalam pondoknya. Kemudian ia kembali menemui muridnya dalam keadaan
sudah membawa sebuah pedang bergagang
merah, di ujung gagangnya ada hiasan
kepala burung rajawali sepasang bertolak belakang juga berwarna merah, satu
menghadap ke kiri, satu menghadap ke
kanan. "Kuserahkan pusaka Pedang Lidah
Guntur ini padamu sebagai bekal
perjalananmu turun gunung!" kata Dewa Geledek yang membuat hati ,Yoga berdebar-
debar. Tentu saja hati Yoga berdebar-debar,
karena ia tak menyangka akan mendapat
pusaka Pedang Lidah Guntur yang sudah sering didengar kehebatannya dari mulut
sang Guru. Pedang itu punya keistimewaan, mampu merobek lawan dari jarak satu
tombak dan mengeluarkan cahaya merah yang sangat membahayakan. Pedang itu mampu
menebas lawan tanpa mengeluarkan darahnya, dan membuat lawan mati tanpa merasa
sakit. "Duduklah," kata Dewa Geledek yang membuat Yoga segera duduk bersila di
depan gurunya yang masih berdiri.
Dewa Geledek mencabut pedang itu dari
sarungnya. Ssstt...! Pedang tersebut
ternyata menyala merah membara, seperti besi dipanggang api tapi mempunyai warna
merah berpijar-pijar. Pada saat itu pun, di angkasa terdengar ledakan dahsyat
yang menggelegar bagai memenuhi seluruh bumi.
Glegarrr...! Guntur bagai membelah langit satu
kali, tanpa hujan, tanpa mendung dan
tanpa badai. Empu Dirgantara memandangi pedang yang menyala merah itu beberapa
saat, setelah itu memasukkan ke dalam
sarungnya kembali. Kemudian ia duduk
bersila di depan muridnya.
"Kurasa memang saatnya telah tiba, Yo. Kaulah pewaris pusaka Pedang Lidah Guntur
ini, yang dulu membuat namaku
kondang dan menjadi dikenal dengan nama Dewa Geledek. Kuharap kau tidak
keberatan menerima warisan pusaka Pedang Lidah
Guntur ini, Yo!"
"Aku siap, Guru!" kata Yoga dengan duduknya yang tegak dan menampakkan kesan
tegas dan sigapnya.
"Kau tak akan bisa banyak berbuat dengan pusaka ini jika kau tidak memiliki ilmu
dan kekuatan hawa yang ada padaku.
Karena itu, sekarang pejamkan matamu dan ulurkan kedua telapak tanganmu ke
depan!" Perintah itu dituruti oleh Yoga, la
mengulurkan kedua tangannya dengan
telapak tangan terbuka menghadap sang
Guru. Kemudian sang Guru menggerakkan
kedua tangannya dengan penuh curahan
tenaga hingga bergetar seluruh tubuhnya.
Mata sang Guru sedikit terpejam penuh
dengan pengerahan konsentrasi yang kuat.
Dan tiba-tiba ia sentakkan kedua jari
tengahnya dari masing-masing tangannya.
Jari tengah itu masing-masing melepaskan enam larik sinar; yaitu sinar hijau,
merah, kuning, putih, biru, dan ungu.
Sinar-sinar yang memancar dari masing-masing jari tengah itu menghantam ke
telapak tangan Yoga.
Kejap berikutnya, tubuh Yoga gemetar
dan berkeringat basah. Tubuh anak muda itu dilapisi oleh enam sinar yang tidak
saling bersentuhan satu dengan lainnya.
Pada saat tubuh Yoga dilapisi enam sinar dari ujung kaki sampai kepala itu,
tubuh tersebut semakin gemetar kuat hingga
terguncang-guncang. Sementara itu, di
luar pondok, burung rajawali besar
memperdengarkan suaranya yang melengking tinggi bagai mengundang segala macam
satwa di hutan itu.
"Kraaahk..! Kraaahk..! Kreeaaahkk..!"
Buug bug bug buggg...! Sayapnya pun
ditebas-tebaskan, kejap berikutnya datang angin badai yang dari kecepatan pelan
menjadi sedang dan makin lama menjadi
kuat. Suara deru hembusan badai
melingkupi lereng dl puncak Gunung Tiang Awan. Langit menjadi mendung dan awan
hitam bergulung-gulung. Tak ketinggalan pula petir menyambar-nyambar,
menggelegar bagai ingin meruntuhkan langit.
Enam sinar masih menyembur dari kedua
jari tengah Dewa Geledek. Mereka berdua
seakan tidak peduli dengan alam yang
mengamuk dan tanah yang terguncang bagai hendak dilanda gempa. Mereka berdua
tetap hikmat dan khusuk, sampai akhirnya sinar ungu padam, tapi sinar lainnya
masih menyembur ke telapak tangan Yoga.
Kini sinar hijau padam, tinggal empat
sinar yang masih memancar dari kedua
ujung jari tengah Dewa Geledek. Makin
lama semakin membuat kulit tubuh Yoga menjadi merah bagai terpanggang api.
Keringatnya pun telah membasah kuyup di sekujur tubuhnya yang kekar itu. Dan
Yoga masih merasakan aliran hawa hangat yang meresap masuk ke sekujur tubuhnya
melalui kedua telapak tangannya.
Satu demi satu sinar itu padam dalam
jarak tak bersamaan. Kini tinggal satu sinar merah yang masih membias lewat
ujung jari tengah Dewa Geledek. Pada saat itu, badai di luar pondok mulai mereda
dan gumpalan awan hitam mulai menipis.
Petir pun sudah jarang mengguntur di
angkasa. Sampai akhirnya alam menjadi
damai kembali ketika sinar merah itu
berhenti dan padam tak berbekas sedikit pun di telapak tangan Yoga.
Dewa Geledek segera tundukan kepala
dengan napas terhela memberat. Cukup lama ia menundukkan kepala, dan Yoga pun
ikut menundukkan kepalanya dengan napas
terengah-engah. Kulit tubuhnya yang tadi
memerah bagai terpanggang api, sekarang sudah kembali seperti sediakala, yaitu
coklat sawo matang.
"Yo...," terdengar suara Dewa Geledek menyapa. muridnya dengan nada pelan dan
lirih. "Ya, Guru!" jawab Yoga sambil tengadahkan wajah, dan ia melihat gurunya masih
menundukkan kepala seperti orang sedang semadi.
"Ambillah pedang di depanmu itu!"
"Baik, Guru," jawab Yoga lagi, kemudian ia mengambil pedang pusaka itu dengan
dua tangan, mengangkatnya tinggi hingga di atas kepala. Kejap berikut
terdengar suara gurunya berkata lagi,
"Sekarang semuanya telah menjadi
milikmu, Yo! Sekarang aku telah kosong.
Kau adalah Dewa Geledek muda yang akan berkelana di rimba persilatan! Tetapi
jangan kau gunakan nama julukanku itu!"
"Baik, Guru! Aku tidak akan
menggunakan julukan Dewa Geledek!!"'
"Karena Rajawali Merah itu sekarang juga menjadi tunggangan mu dan kau adalah
tuannya, maka kau kuberi gelar Pendekar Rajawali Merah!" kata Dewa Geledek
dengan tetap menundukkan kepala, memejamkan mata dan bersuara lemah.
"Baik, Guru! Aku akan menggunakan gelarku, yaitu Pendekar Rajawali Merah!"
Tapi ingat, Yo... jika kau ingin
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalahkan Malaikat Gelang Emas, kau
harus tetap mencari
Rajawali Putih.
Burung rajawali merahmu itu adalah suami dari burung Rajawali Putih. Jurus
'Rajawali Merah' jika digabungkan dengan Jurus 'Rajawali Putih' dapat untuk
mengalahkan kekuatan dahsyat yang di
miliki Malaikat Gelang Emas, atau
kekuatan dahsyat siapa pun juga yang
memilikinya! Penggabungan jurus 'Rajawali Merah' dengan jurus 'Rajawali Putih',
akan membentuk satu kekuatan dahsyat yang tiada tandingnya! Karena itu, carilah
Rajawali Putih terlebih dulu sebelum
melawan Malaikat Gelang Emas! Carilah
Dewi Langit Perak, si penunggang Rajawali Putih, karena pada dirinya itulah
jodoh dari ilmu yang kutitipkan padamu, Yo!"
"Saya mengerti, Guru!" jawab Yoga lebih menghormat lagi. "Saya akan patuhi pesan
dan wasiat dari Guru ini!"
Dewa Geledek diam beberapa saat
lamanya. Kemudian Yoga memberanikan diri mengajukan pertanyaan,
"Bolehkah saya turun gunung sekarang juga, Guru?"
Agak lama Yoga menunggu, tapi tak ada
jawaban. Ia mengulangi pertanyaan yang sama, namun tetap tak ada jawaban. Sampai
tiga kail tak ada jawaban, Yoga menjadi curiga. Kemudian ia memeriksa keadaan
Guru dan ia terkejut melihat gurunya
sudah tak bernapas lagi.
"Guruuu..."! Guruuu..."!" teriak Yoga dengan panik.
* * * 3 ANGIN bersalju berhembus ke arah
timur. Sesosok tubuh kekar masih berdiri menundukkan kepala di depan sebuah
tanah yang menggunduk dan berbatu nisan. Itulah makam Dewa Geledek, yang baru
saja selesai dikuburkan oleh murid tunggalnya, Pendekar Rajawali Merah. Sementara di
seberang pemuda tampan bertubuh tegap dan gagah itu, berdiri pula seekor burung
rajawali besar berbulu merah. Burung itu bagai menyekap kedua sayapnya sendiri
dan menundukkan kepalanya, seakan ingin ikut menangisi kematian sang Guru, Dewa
Geledek. Bertahun-tahun ia ikut Empu
Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek
itu. Bertahun-tahun ia merasakan pahit getirnya hidup bersama sang Empu yang
ahli membuat berbagai macam senjata,
sampai akhirnya ia melihat sang Empu
menjadi tokoh sakti di rimba persilatan yang sukar ditandingi kecuali Malaikat
Gelang Emas. Rajawali itu bagaikan sedang
mengenang masa-masa bercanda dengan Empu Dirgantara, atau terbayang saat sang
Empu menemukan beberapa jurus 'Rajawali Maut'
yang ditimbulkan dari gerakan sayap atau cakarnya.
Kini perpisahan dengan sang Empu
seakan membungkus kesedihan yang dalam di hati sang Rajawali Merah. Tadi pun ia
ikut menimbun tanah ke liang kubur,
seakan ikut mengucapkan selamat berpisah dengan majikan lamanya, dan selamat
jalan bagi sang Dewa Geledek yang sering
dilihat keperkasaannya semasa mudanya.
Yoga dapat membaca gerak isyarat
burung rajawali tersebut. Bahkan Dewa
Geledek pernah mengajarinya menerjemahkan bahasa burung sehingga ketika Rajawali
Merah itu menyerukan suaranya yang
memanjang, Yoga pun segera mendekati
burung tersebut dan berkata,
"Sudahlah, jangan kita terlalu
berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan.
Kita semua akan mengalami saat-saat
seperti ini, yaitu mati untuk kembali
kepada Sang Pencipta!"
"Kraahk...! Kreeakh...!" burung itu manggut-manggut, kelopak matanya
berkedip-kedip dengan gerakan lambat.
Yoga mengusap-usap leher burung
tersebut yang kini berdiri di sampingnya, lebih tinggi dari ukuran tinggi tubuh
Yoga. Sambil mengusap-usap bulu bagian
leher belakang, Yoga berkata,
"Jangan cemas, Rajawali Merah, aku akan laksanakan apa yang menjadi wasiat Guru!
Aku juga akan mencarikan istrimu; si Rajawali Putih, yang hilang bersama Nyai
Guru Dewi Langit Perak. Kita akan melalang buana untuk mencari mereka
sampai dapat! Apakah kau setuju?"
"Kraaahk...! Kraaahk...!" burung itu manggut-manggut lagi. Kini ia membuka
sayapnya dan mengipas-ngipaskan dua kali.
Itu pertanda dia tak sabar, ingin cepat pergi mencari kekasihnya; burung
Rajawali Putih. Mungkin si Rajawali Merah sudah teramat rindu ingin jumpa dengan
Rajawali Putih.!
Angin masih berhembus pelan,
menaburkan busa-busa salju yang kecil dan tipis. Pada saat Yoga ingin bergegas
naik ke punggung burung besar itu, tiba-tiba gerakannya terhenti
karena kemunculan
seorang gadis di balik bebatuan yang
menggugus tinggi itu. Gadis itu melompat dan tahu-tahu hinggap di atas bebatuan
berjarak sekitar empat tombak dari
kuburan Dewa Geledek.
Yoga terkesiap memandang gadis cantik
itu. Ia kembali teringat pada saat
matanya menjadi buta oleh kekuatan sinar dari mata adik Malaikat Gelang Emas,
yaitu si Mata Neraka. Karena ia ingat
peristiwa itu, maka ia pun Ingat nama
gadis cantik berpakaian kuning dengan
selendang biru melilit pinggangnya dan pedang pendek terselip di pinggang itu.
Maka, Yoga pun menyapa gadis itu dengan senyum tipis,
"Mahligai.."!"
Gadis itu menyunggingkan senyum tipis
sambil cepat melompat turun dari atas gugusan
batu. Jleeg...! Kemudian ia
berdiri di seberang makam, memandang
dengan raut wajah ikut berkabung.
"Mahligai, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?"
"Aku tidak sengaja menemukan sebuah pondok di atas sana. Lalu kususuri
telapak kaki manusia yang menuju kemari, dan ternyata disini kutemukan kau
sedang memakamkan jenazah orang tua yang kau sebut-sebut sebagai Guru! Apakah
yang kau makamkan ini jenazah gurumu?"
"Benar!" jawab Yoga dengan tegas.
"Kukenali wajah jenazah itu sebagai wajah si Dewa Geledek, tokoh sakti yang
sudah lama menghilang. Dulu waktu aku berusia dua belas tahun, ia pernah jumpa
dengan guruku dan aku melihatnya. Apakah benar kau murid dari Dewa Geledek?"
"Tidak salah dugaanmu, Mahligai! Tapi apakah kau tahu namaku?"
"Aku baru ingin menanyakannya."
"Namaku Yoga! Guru sering memanggilku, Yo!"
"Lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Terserah," Yoga semakin menyunggingkan senyumnya. Yang jelas, namaku Yoga, atau
kau boleh menyebutku Pendekar Rajawali Merah" Kau boleh memanggil
dengan nama depannya saja, atau dengan nama lengkapku, atau kau punya nama
panggilan sendiri padaku, silakan saja!
Selagi nama itu bagus, aku akan senang menerimanya!"
"Aku tidak terlalu peduli dengan namamu. Aku sengaja mencarimu ke sini karena
aku ingin mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu, yang membuat aku
terhindar dari amukan si Mata Neraka. Aku melihat kau dibawa lari oleh sekelebat
bayangan putih, dan aku mengikutinya,
tapi aku tersesat dihutan sampai beberapa hari, dan secara tak sengaja kutemukan
dirimu, Yo!"
"Kini kau telah sampaikan ucapan
terima kasihmu padaku, apa lagi yang
ingin kau lakukan?"
Gadis cantik berhidung bangir itu
mengalihkan pandangan matanya, karena ia tak tahan menatap mata pemuda tampam
itu yang menimbulkan debar-debar keindahan yang menggoda dalam hatinya. la
berkata saat itu dengan pandangan mata ke arah pepohonan sekelilingnya.
"Karena kau telah menyelamatkan aku, menolong jiwaku lolos dari amukan si Mata
Neraka, maka aku bermaksud menolongmu jika diperlukan, Yo. Apa yang bisa
kuperbuat untukmu?"
"Aku berniat mencari Istri mendiang guruku, yaitu Dewi Langit Perak. Karena
menurut wasiat dari mendiang Guru, aku harus mencari Dewi Langit Perak yang
menunggang seekor burung rajawali besar berbulu putih."
Mahligai menatap Yoga dengan dahi
sedikit berkerut. la berkata bagaikan
orang menggumam untuk dirinya sendiri,
"Sepertinya aku pernah mendengar nama Dewi Langit Perak itu! Hmmm.,, tapi di
mana dan kapan aku mendengarnya, aku
sudah lupa!"
Gadis itu melangkah sambil mengingat-
ingat. Dahinya berkerut dan matanya
tertuju pada tanah yang dipijaknya.
Sementara itu, burung Rajawali Merah itu juga ikut memandangi gadis cantik
tersebut, seakan menunggu suatu kabar yang menggembirakan. Tetapi agaknya
Mahligai tidak menemukan apa yang sedang dicari dalam ingatannya. Maka, Pendekar
Rajawali Merah yang kini sudah menyandang pedang di punggungnya itu segera
berkata, "Sudahlah, tak perlu kau peras otakmu jika kau tak mampu mengingatnya! Aku akan
pergi mencarinya sendiri!"
"Eh, eh... tunggu dulu!" sergah Mahligai. "Aku ingat sekarang, orang yang
pernah menyebutkan nama Dewi Langit Perak adalah guruku sendiri; yaitu Bibi
Sendang Suci!"
"Kau yakin orang yang bernama Sendang Suci itu tahu tentang Dewi Langit Perak?"
"Ya. Karena Bibi Sendang Suci, selain bibiku juga guruku itu, pernah bercerita
padaku tentang perempuan sakti yang
mengendarai seekor rajawali dan bernama Dewi Langit Perak. Cerita itu dituturkan
padaku ketika aku masih kecil, kira-kira berusia sepuluh tahun!"
"Kalau begitu, aku perlu bertemu
dengan beliau!"
"Aku bersedia mengantarmu, Yo! Tapi kalau bisa jangan menunggang burung itu!
Aku takut menunggang burung!" sambil Mahligai tersipu.
"Merah," panggil Yoga kepada burung rajawali besar Itu. "Aku akan pergi bersama
Mahligai mencari kabar tentang Istrimu, si Rajawali Putih! Ikutilah aku dari
atas!" "Kreaahk...!" burung itu mengangguk-angguk.
Wuurrss...! Burung itu melesat
terbang dengan kibasan sayapnya yang
menyingkapkan kerimbunan semak dan daun-daun kering beterbangan. Burung itu
pergi mengitari angkasa setelah Yoga dan
Mahligai pun meninggalkan makam Dewa
Geledek, yang meninggal akibat seluruh
kekuatan dan ilmunya disalurkan ke dalam tubuh muridnya.
Hati Mahligai amat senang bisa
berjalan berdampingan dengan pemuda
tampan itu. Mahligai merasa menemukan
kebahagiaan ketika berjalan bersama Yoga, la tak pernah temukan pemuda setampan
dan segagah Pendekar Rajawali Merah itu.
"Auuh...!" Mahligai sengaja membuat Kakinya tergelincir jatuh ketika menuruni
tanah miring. Tangan Yoga cepat
menangkapnya, sehingga tubuh itu tak
terbawa sentakan ke tepi jurang.
"Oh, untung kau cepat menangkapku, kalau tidak aku bisa tergelincir masuk ke
jurang sebelah kiri, Yoga!"
"Hati-hatilah kalau berjalan, jangan sambil melamun!"
"Aku tidak melamun!" sanggah Mahligai karena malu diketahui sedang melamun,
padahal sedang memikirkan cara untuk bisa lebih dekat lagi bersama Pendekar
Rajawali Merah itu.
"Kurasa kita berjalan pelan-pelan saja...! Jangan lari seperti tadi, nanti kau
tergelincir lagi."
"Aduuuh... kakiku terkilir, tak bisa dipakai untuk menapak, Yo!" Mahligai
merengek, mulai menampakkan kemanjaannya.
"Kalau begitu biar kuurut sebentar!"
"Apakah kau bisa mengurutnya?" "Aku pernah mendapat pelajaran memijat dari
Guru!" sambil berkata begitu, Pendekar Rajawali Merah mulai mengurut mata kaki
Mahligai yang dianggapnya terkilir itu.
Mahligai tersenyum-senyum dalam hati,
merasa kegirangan kakinya itu diusap-usap oleh tangan Yoga.
"Rasa sakitnya sampai ke betis, Yo!"
rengek Mahligai semakin menjadikan
dirinya sebagai gadis manja.
"Urat telapak kaki memang menjalar sampai ke betis. Tapi dengan sedikit
urutan pada urat betis, pembengkakan bisa diatasi!" sambil Yoga memijat pada
bagian betis Mahligai, dan gadis itu kian
berbunga-bunga hatinya. ia berharap
pijatan itu jangan lekas-lekas selesai.
Tapi apa yang diharapkan itu justru
terbalik. Yoga menghentikan pijatannya dan berkata, "Kurasa sudah lemas urat
kakimu!" "Kenapa hanya sebentar memijatnya?"
"Kalau terlalu lama justru akan
timbul pembengkakan pada urat yang menuju tumit!"
"Tapi kakiku masih sakit, Yo! Masih
tak bisa dipakai untuk menapak! Aduh,
bagaimana ini"!"
Kalau begitu kau kutinggalkan disini
sampai saatnya kau bisa berjalan dan
pulang menuju rumah bibimu itu!" jawab Yoga sedikit agak dongkol dengan
kemanjaan itu. "Kalau aku di sini mati dimakan
harimau, bagaimana?"
"Itu salah harimaunya, bukan
salahku!" "Aaah... kamu jahat kalau begitu!"
Mahligai cemberut dan buang muka sambil tetap duduk di atas sebongkah batu
setinggi satu lutut.
"Lalu apa saranmu?"
"Gendonglah aku, mungkin beberapa saat lagi urat-urat kakiku menjadi
lemas!" "Aku tak mau!"
"Kalau kau tak mau, aku juga tak akan membawamu kepada Bibi!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan
napas panjang, pertanda menahan kejeng-kelan dalam hatinya. Kemudian, dengan
sangat terpaksa ia pun menggendong gadis cantik tersebut dan membawanya lari
lebih cepat dari sebelumnya. Mahligai tertawa kegirangan di dalam hatinya. la
berlagak takut dibawa lari dalam gendongan kedua tangan Yoga, karenanya dia
punya alasan kuat memeluk leher Yoga rapat-rapat.
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba sebatang pohon tumbang
tepat di depan Yoga. Brukkk...! Pohon itu merintangi jalan dan langkah Pendekar
Rajawali Merah. Mau tak mau Pendekar
Rajawali Merah melompat ke samping sambil tetap membawa tubuh Mahligai dengan
kedua tangannya.
"Apa itu, Yo?"
"Sebatang pohon tumbang!" jawab Yoga pelan, tapi matanya yang jeli itu segera
melirik ke arah sekelilingnya. la mulai curiga dengan pohon yang tahu-tahu
tumbang sendiri. Ia berpendapat, pohon yang masih segar dan kokoh, tak mungkin
bisa tumbang sendiri jika tidak ada yang menumbangkannya.
"Ada seseorang yang sengaja meng-
hentikan langkah. kita, Mahligai!" bisik Yoga yang masih menggendong Mahligai.
"Si Mata Neraka itukah orangnya?"
"Entahlah! Aku belum melihat gerakan aneh di sana-sini!" Yoga melangkahkan
kakinya ke arah samping, ke tempat akar pohon yang mencuat keluar dari tanah
itu. Kedua tangannya masih belum sadar
menggendong tubuh si gadis cantik itu.
Tiba-tiba selarik sinar terlihat
berkelebat melesat dari atas sebuah pohon berdaun rimbun. Sinar itu berwarna
merah dan melesat dengan cepatnya. Wuuusst...!
Pendekar Rajawali Merah segera
sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat ke atas dengan bersalto dua kali ke
belakang. Tubuh dalam gendongannya masih tetap ada dan ikut terguling-guling
bersamanya. Duaarrr...! Sinar merah itu mengenai
pangkal pohon yang tumbang, sehingga
bagian yang terkena sinar merah itu
menjadi pecah berhamburan. Akar pohon itu pun menjadi serpihan-serpihan
kecil. Kalau saja Yoga tidak segera melompat menghindarinya, maka tubuhnya dan tubuh
Mahligai akan menjadi serpihan-serpihan kecil seperti nasib pohon itu.
"Arahnya dari atas pohon, Yoga!"
bisik Mahligai.
"Ya, aku tahu!" balas Yoga berbisik.
Lalu, dengan cepat ia bergerak melompat dan memutarkan tubuhnya. Wuuttt.!
Kakinya menendang dalam gerak mengibas cepat.
Kibasan kaki itu melepaskan sebuah
tendangan jarak jauh yang tidak
memancarkan sinar warna apa pun, namun menimbulkan hawa panes yang segera
melesat ke arah kerimbunan pohon lebat itu. Wuuugh...! Grusssaakkk. Buuhg...!
Sekelebat bayangan hitam jatuh dari
atas pohon tersebut dengan menimbulkan bunyi bergedebuk cukup keras. Tapi tak
ada suara pekik dan jerit kesakitan dari bawah pohon berdaun lebat itu.
Sementara itu, daun-daun pohon yang tadi terkena tendangan hawa panas Yoga kini
menjadi layu dan mengkerut.
"Keluarlah kalau kau ingin menemui ku!" seru Yoga masih belum menyadari bahwa
dia sebenarnya bisa menurunkan
tubuh Mahligai dari gendongannya.
Sedangkan Mahligai sendiri yang menyadari hal itu, diam saja dan merasa semakin
betah berada dalam gendongan pemuda
tampan yang menawan hatinya itu.
Kejap selanjutnya, seorang lelaki
berpakaian serba hitam muncul dari balik pohon yang berdaun rimbun itu. Orang
tersebut sudah memasang wajah angker
dengan pandangan mata yang sangar dan
dingin. Orang itu berkumis agak lebat, turun ke bawah hingga mencapai tepian
dagunya yang tidak berjenggot. Di
perkirakan oleh Yoga, usia orang berambut abu-abu pendek berikat kain putih Itu
sekitar empat puluh tahun, Tapi Yoga
merasa tidak mengenal orang tersebut dan baru kali itu berjumpa. Hanya saja,
Mahligai segera berkata seakan bicara
pada dirinya, "Paman Jalak Hutan..."!"
"Siapa pemuda gila itu, Mahligai"!"
"Dia Pendekar Rajawali Merah yang bernama Yoga, Paman! Mengapa Paman
menghadang langkah kami"!"
"Aku tertarik dengan pedang di
punggung anak muda itu! Kalau tak salah lihat, itulah Pedang Lidah Guntur milik
Empu Dirgantara!"
Yoga menyahut, "Benar! Akulah murid Empu Dirgantara dan pewaris Pedang Lidah
Guntur!" "0, pantas...! Rupanya cukup lama Empu Dirgantara menghilang dari rimba
persilatan karena mendidik seorang murid
yang akan dijadikan pewaris seluruh
ilmunya?" kata Jalak Hutan dengan pandangan mata tidak bersahabat.
"Lalu apa maumu, Paman?" tanya Yoga bernada menantang.
Jalak Hutan memandangi beberapa saat
tanpa bicara. Sementara itu, Yoga
berbisik kepada Mahligai,
"Siapa orang itu, Mahligai?"
"Dia orang yang dari dulu meng-
harapkan cinta bibiku, tapi tak pernah disambut oleh Bibi! Dia sangat mencintai
Bibi, tapi Bibi sama sekali tidak
mencintainya, namun juga tidak memusuhinya!"
"Hmmm...! Yoga menggumam pendek dan sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mata masih menatap tajam ke arah Jalak Hutan yang berpakaian serba hitam dan
menyandang golok di pinggangnya.
Orang itu segera berkata kepada Yoga,
"Kusarankan padamu, Anak Muda... jangan kau membawa-bawa pedang itu! Karena
pedang tersebut akan menjadi incaran
banyak orang. Hampir setiap tokoh sakti ingin memiliki Pedang Lidah Guntur itu!
Jadi, alangkah baiknya jika kau titipkan padaku untuk kusimpan dan
kuselamatkan!"
"Terima kasih, Paman Jalak Hutan! Aku cukup mampu menyelamatkan pedang ini,
karena memang wasiat dari guruku melarang aku menyerahkan pedang ini kepada
siapa pun!" 'Ternyata kau anak muda yang bodoh,
hanya tampan wajahmu tapi tumpul otakmu!
Serahkanlah padaku, akan kusimpan pedang itu!"
"Tidak!"
"Kalau begitu aku harus merebutnya, supaya pedang itu tidak membawa korban tak
bersalah!"
"Kau kelihatan bernafsu sekali ingin memiliki pedang ini, Paman Jalak Hutan!"
kata Mahligai dari gendongan Yoga.
"Ini bukan urusanmu, Mahligai! Jangan ikut bicara!" bentak Jalak Hutan. Lalu ia
berkata kepada Yoga.
"Pendekar Rajawali Merah, demi
keselamatan umat manusia dari ancaman
maut pedang itu, aku terpaksa merebutnya darimu!"
"Aku terpaksa mempertahankannya!"
"Kurang ajar! Berani kau menentang kehendakku, hah" Hiaaat...!"
Jalak Hutan mencabut goloknya dan
langsung menyerang Yoga dengan satu
lompatan yang siap menebaskan golok
tersebut. Tetapi, di luar
dugaan, Pendekar Rajawali Merah yang sedang
menggendong Mahligai mampu melesat naik lebih tinggi lagi hingga melampaui
ketinggian lompat Jalak Hutan.
Wuuttt...! Golok itu ditebaskan dan
tentu saja mengenai tempat kosong. Orang
yang ditebasnya sudah ada di atas dan
dengan gerakan kaki begitu cepat, Yoga menendang tengkuk kepala dan bagian
belakang kepala lawannya. Des des des
des...! Ujung jempol kaki yang dipakai
menendang beberapa kali dengan gerakan yang tak bisa
dilihat oleh mata
telanjang. Gerakan tendangan pada ujung jempol kaki yang begitu cepat itulah
yang dinamakan jurus 'Rajawali Paruh Pendek'.
"Ahg...!" kepala Jalak Hutan tersentak mendongak dengan mulut
ternganga. Tubuh berpakaian hitam itu
diam tak bergerak sesaat, namun kejap
berikutnya ia tampak menggeram dan dengan susah payah mengembalikan kepalanya
agar tidak mendongak. Namun agaknya ada tulang dan urat yang terkunci akibat
pukulan jurus 'Rajawali Paruh Pendek' itu,
sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan kepalanya ke kiri atau ke kanan, bahkan
menunduk ataupun tegak sudah tak bisa
lagi. "Keparat...!" geramnya sambil mengerahkan tenaga untuk menundukkan
kepala, namun sama sekali tak bisa
bergerak sedikit pun. la menjadi sulit memandang ke depan, dan sulit berpaling
ke mana-mana. "Kau memang kurang ajar, Pendekar Rajawali Merah! Kurasa untuk kali ini
pertemuan kita sampai di sini dulu! Aku berjanji akan kembali lagi setelah aku
berhasil mengembalikan keadaan kepalaku ini!"
Wuuuttt...! Jalak Hutan cepat-cepat
melarikan diri dengan kepala selalu
menghadap ke langit. Yoga ingin menge-
jarnya, tapi Mahligai yang masih dalam gendongannya itu melarang.
* * * 4 MAHLIGAI dirawat dan diasuh oleh Bibi
Sendang Suci sejak la berusia tujuh
tahun. Mahligai bukan anak piatu, tapi ia mempunyai sebelas saudara dan orang
tuanya orang tak mampu. Lalu, Sendang
Suci bermaksud meringankan beban kedua orangtua Mahligai dengan merawat dan
mengasuh salah satu dari kedua belas anak adiknya itu. Mahligai lah yang
terpilih, karena pada waktu itu Mahligai lah anak yang paling nakal dan bandel,
melebihi kakak lelakinya yang berjumlah tiga orang itu. Mahligai adalah anak yang keenam, jadi ia masih mempunyai lima saudara tua dan enam
saudara muda. Mereka tinggal
bersama orang tua Mahligai, jauh dari tempat Bibi Sendang Suci merawat dan
mengasuhnya. Sendang Suci perempuan berusia empat
puluh lima tahun yang masih kelihatan cantik dan muda berkat ramuan obat-obatan
yang sering digunakannya. !a cukup ahli dalam ramuan obat-obatan, karena itu
banyak yang memanggilnya dengan julukan Tabib Perawan. Dijuluki sebagai Tabib
Perawan, karena selain Sendang Suci ahli meracik obat-obatan juga dia dalam usia
setua itu masih perawan dan belum pernah dijamah seorang lelaki mana pun juga.
Tabib Perawan atau Sendang Suci
pernah patah hati semasa remajanya.
Kekasihnya mati terbunuh oleh lawan yang tidak diketahui siapa pembunuhnya.
Tabib Perawan bertekad tidak mau menerima cinta seorang lelaki lagi, karena ia
takut kecewa jika lelaki yang dicintainya itu mati. Baginya, kematian seorang kekasih
merupakan kepergian yang amat kejam dan tak bisa dibendung lagi. Hal yang paling
sulit dilakukannya adalah mencegah
kepergian kekasih ke alam baka.
Dalam kesendiriannya di Lembah Bukit
Berhala itu, ia menekuni ilmu pengobatan dari rempah-rempah dan segala sesuatu
Pendekar Aneh Naga Langit 17 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 2