Badai Di Laut Arafuru 2
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Bagian 2
"Sesosok tubuh tak bernyawa," desisnya pelan
sambil membalikkan mayat yang tertelungkup itu.
"Wah, dia pasti juru mudi kapal ini!" serunya
dalam hati. "Siapa yang membunuhnya?" Kemudian
Kaswita meninggalkan tempat itu, tetapi sebelum beranjak ia dihadang oleh
seorang berkaki buntung.
"Orang ini seperti pernah kulihat di gedung Karesidenan turut bertempur melawan
serdadu Kumpeni Belanda, kok sekarang ada di kapal ini?" tanya hatinya.
"Selamat bertemu lagi, kawan!" ucapnya dengan
penuh ramah sambil mendekati Kaswita, "Kau masih
ingat aku?"
"Siapa ya?"
"Aku, teman seperjuangan Jaka Sembung," jawab orang itu dengan mengulurkan
tangan. Kaswita
menyambut uluran tangan teman seperjuangan kakaknya itu.
"Aku tahu, anak muda! Kau pendekar hebat,
gagah dan tampan," puji orang yang baru diketemukan
itu, "Persis seperti pendekar agung Jaka Sembung,"
tambahnya. "Kau berlebih-lebihan menilai ku," ujar Kaswita
tersenyum. Ia memang seorang pemuda yang rendah
hati. "Sudahlah! Yang penting aku ingin tahu kau ini
siapa?" tanya pendekar buntung itu tetap ramah.
"Apakah itu penting bagi Anda?"
"Kau keberatan asal-usulmu kuketahui?" orang
itu balas bertanya.
"Tidak!" jawab pendekar muda itu, "Aku Kaswita, adik kandung kakak perempuan
bernama Sri Ayuningrum."
"Aku sudah bertemu dengannya," kata pendekar buntung itu.
"Sekarang giliranku ingin tahu siapa kau dan
untuk apa kau berada di kapal Belanda ini,?"
"Aku?"
"Ya, siapa lagi!" ketus Kaswita dengan senyum.
"Aku Baureksa! Kawan-kawan memanggilku
pendekar si Kaki Tunggal. Tujuanku ke kapal ini sama
dengan kalian yaitu untuk membebaskan kakak kalian
pendekar agung Jaka Sembung, jelas?"
"Terima kasih, Akang Baureksa!"
"Nah! Sekarang kita tidak boleh membuangbuang waktu," kata Baureksa tanpa ragu,
"Mari kita
menggeledah seluruh ruangan di kapal ini sampai ke
geledak bawah."
"Mari!"
Sebentar itu juga, kedua pendekar yang baru
saling kenal menghilang dengan suatu rencana. Sementara itu, pendekar Kembar
Tiga Melati terus bekerja keras membereskan mayat-mayat serdadu dan kelasi
Belanda. "Hampir selesai tugas kita, Kak Unui!" Neneng
memberi laporan.
"Berapa semuanya?" Unui ingin tahu.
"Tiga puluh lima orang kelasi yang sudah ku
ceburkan ke laut," jawab Neneng.
"Yang belum?"
"Hanya beberapa orang lagi!"
"Segera campakkan ke laut!" perintah Unui tegas.
"Hei, tunggu dulu! Aku dan kawan Mirah ini ju-
ga telah menyelesaikan tiga belas orang serdadu," lapor
Nuna sambil menggapai tangan Mirah dengan riang.
"Itu belum seberapa," tukas Unui ketus, "Kapal
sebesar ini paling tidak membawa muatan 100 orang.
Yang sudah berhasil kita binasakan baru 48 lebih. Jadi masih separuhnya yang
harus cepat-cepat kita lumpuhkan," jelas Unui memperhitungkan dengan rinci.
"Rencanamu memang sangat jitu, Kak Unui!"
puji Nuna. "Kalau diingat," kata Neneng, "Malam ini kita
berperan menjadi gula-gula maut para hidung belang
Belanda tengik itu!"
"Ssst! Anut-amit jabang bayi," ucap gadis lain
serentak. "Ya, apa yang sudah kita lakukan malam ini
adalah suatu pengorbanan demi Jaka Sembung dan
perjuangan kita..." kata Unui sambil menatap Mirah
dengan rasa penuh persahabatan.
Sementara kesibukan para pendekar berjalan
terus di kapal Belanda itu, jauh di kaki langit sebelah
Barat, sebuah perahu kecil sedang berlayar di laut Arafuru. Dari jauh kelihatan
seperti sabut yang sedang dipermainkan ombak.
"Ya, Tuhan! Berhari-hari aku mengarungi lautan luas ini, tetapi sampai sekarang
aku belum berhasil apa-apa," terdengar keluhan resah pemilik perahu
itu. Tetapi keluhan seperti itu sama sekali tidak berguna karena begitu lepas,
begitu dilahap angin laut tanpa
bekas. "Apakah kapal yang membawa Jaka Sembung
itu melalui wilayah laut ini" Atau memang aku yang
kesasar karena tidak punya pengetahuan untuk berlayar di laut?"
Tetapi, kelihatannya perahu kecil itu terus
mengarungi lautan dengan tabah dan berani. Tiba-tiba
orang yang ada di dalam perahu itu melihat beberapa
benda aneh hanyut terapung-apung dilemparlemparkan ombak.
"Heh! Ini mayat-mayat orang Belanda rupanya. Apakah kapal mereka pecah dihantam badai
laut Arafuru dan kelasi-kelasinya terbawa arus ke mana-mana" Apa yang terjadi
dengan kapal itu" Dibajak
orang kemudian anak buahnya dibunuh oleh bajak
laut itu satu persatu?"
Banyak sekali pertanyaan yang keluar dari
orang yang ada dalam perahu kecil itu. Ia membuat
rekaan tentang apa yang ia lihat dan ia pikirkan sendiri yang belum tentu
kebenarannya. "Kalau benar dugaanku kapal Belanda itu dibajak oleh orang-orang Bugis atau
Ternate, tentu Jaka
Sembung yang kaki tangan dirantai oleh Belanda turut
dibunuh oleh bajak laut itu dan dibuang ke laut seperti mayat-mayat" Belanda
ini," kata orang itu dengan
tersenyum "Dan aku tidak perlu turun tangan lagi!"
Siapa sebenarnya orang tua yang berada di perahu kecil itu" Apa tujuannya
berlayar sendirian seperti itu serta apa hubungannya dengan pendekar Jaka
Sembung" Belum ada yang tahu.
*** Keadaan sepi di kapal Belanda semakin terasa.
Semua kelasi tak kelihatan lagi di atas geladak. Mereka
ada yang sudah masuk ke kamarnya masing-masing
untuk istirahat karena kelelahan akibat pesta dan bukan sedikit pula yang sudah
mati akibat tipu daya
pendekar Kembar Tiga Melati, belum terhitung pembunuhan gelap yang dilakukan
oleh para pendekar simpatisan Jaka Sembung yang lain.
Angin kasar yang tadinya mengamuk serta gelombang besar yang menghambat
pelayaran di laut
sudah mereda. Sementara itu, di kaki langit sebelah
Timur, cahaya kemerah-merahan mulai mengintip di
balik awan. Pembesar-pembesar kapal dan stafnya malam itu tidak begitu terlibat
dalam pesta minumminum menunggu badai reda. Sebelum menjelang sepertiga malam
mereka sudah masuk ke kamar untuk
istirahat. Para kelasi dan serdadu-serdadulah yang
bermabuk-mabukan sepanjang malam.
"Heh! Rasanya badai sudah reda," gumam Kapten kapal ketika mendusin dari
tidurnya. Perlahanlahan ia duduk-duduk di tempat tidurnya sambil tangannya
meraba gagang pestol yang terletak di meja kecil di sebelah kanannya. Agaknya ia
merasakan firasat
buruk. "Tentu ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi di kapal ini," katanya sambil
membuka laci mejanya dan mengambil peluru.
Ketika Kapten itu membuka pintu, seorang
anggota keamanan kapal sedang berada di depan pintunya.
"Gooden morgen, Kapten!"
"Ada apa?" tanya Kapten tanpa menjawab "Selamat pagi" yang diucapkan oleh anak
buahnya itu. "Ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi,
Kapten!" "Apa maksudmu?"
"Kami tidak tahu, Kapten! Saya tak melihat seorang pun!"
"Jadi, apa kerjamu sebagai petugas keamanan
kapal?" Petugas itu diam, tidak menjawab. Kepalanya
menunduk ke bawah.
"Godverdomme! Kalian semua harus dipecat,
mengerti?" Kapten kapal menjadi marah. Daun pintu
kamarnya dibanting keras-keras sambil meninggalkan
anggota keamanan kapal dalam keadaan termangu.
Tetapi serdadu Kumpeni Belanda itu sadar bahwa dirinya petugas keamanan. Ia
cepat menyusul Kapten
yang hendak mengetahui apa yang telah terjadi di kapal.
"Apakah peristiwa ini ada hubungannya dengan
tawanan Jaka Sembung?" tanyanya dalam hati. Sementara itu, beberapa perwira
kapal terlihat sibuk.
Kapten kapal dengan diiringi beberapa petugas
keamanan bersenjata, segera melakukan pemeriksaan.
"Hei, mengapa begini sepi" Lampu-lampu kapal
padam semua?" tanya Kapten semakin heran. "Mana
kelasi-kelasi semua" Apa mereka masih tidur?"
Tetapi, semua pertanyaan itu tidak ada yang
dapat menjawab.
Hanya suara deburan ombak laut Arafuru yang
terdengar dibawa angin laut sepoi-sepoi pagi.
Kapten kapal menjadi bingung. Ia berdiri dengan termangu. Kepalanya sarat dengan
pertanyaanpertanyaan yang tidak terjawab. Tiba-tiba suatu teriakan terdengar di
dekat Kapten itu berada, tetapi sebelum sempat ia bertanya, sebuah pedang telah
melayang ke arahnya dengan cepat, tetapi nasibnya masih baik. Ia berhasil
mengelakkan sabetan pedang tajam itu.
Melihat serangannya gagal, si penyerang penasaran. Ia segera mengulang dengan
serangan kedua.
Tetapi, ketika si penyerang itu hendak menusukkan
pedangnya ke tubuh Kapten yang sedang merunduk
pasrah, tiba-tiba si penyerang merasakan sesuatu yang
aneh pada dirinya sehingga ia tidak mampu melanjutkan serangan itu.
"Oh, celaka! Ada seseorang yang menotok jalan
darahku dari jauh," gumam si penyerang pada dirinya.
Sementara Kapten yang melihat si penyerang urung
melangsungkan penyerangan yang membahayakan dirinya itu, ia tercengang sejenak.
"Oh, mijn God! Siapa wanita secantik itu, yang
masih kasihan melihat aku mati?" tanya Kapten kapal
tersebut pada dirinya.
"Siapa kau Nona cantik?" Kapten itu mendekati
si penyerang yang tidak lain dari seorang wanita. Belanda itu kehilangan rasa
takutnya dan mencoba mengelus dan meraba dada penyerangnya.
"Celaka! Tangannya meraba dadaku!" kutuk
wanita cantik itu dalam hatinya. Ketika itu kebetulan
seorang pendekar lain mengintip kejadian itu dari jarak dekat.
"Hei, apa yang telah terjadi?" gumam pendekar
tersebut pada dirinya, "Mengapa pendekar itu urung
berbuat sesuatu terhadap Kapten kapal itu" Pasti ada
sesuatu yang tidak beres!" Begitu selesai ia berkata,
pendekar muda itu segera melompat menyerang si
Kapten, tetapi ia juga tiba-tiba merasa jalan darahnya
terkena totokan gelap seperti yang dialami pendekar
wanita tersebut.
Kapten itu lagi-lagi kebingungan. Dua orang
penyerang yang hendak membunuhnya tiba-tiba mengurungkan maksudnya.
Pada saat yang sama, Pendekar Kaki Tunggal
dan Kaswita sedang berada di geladak kapal yang paling bawah.
"Lihat Kang! Itu ada kamar dengan pintunya
berlapis besi, mungkin di kamar itu Belanda menyekap
Jaka Sembung," ujar Kaswita menduga-duga sambil
bergerak cepat ke tempat itu.
"Tunggu aku Kas! Biar sama-sama kita mendobraknya," seru Baureksa yang langsung
memburu. Ke- dua pendekar itu segera sampai di tempat yang dituju.
Sebentar berhenti, kemudian kedua pendekar tersebut
mundur ke belakang mengambil ancang-ancang dan
dengan tenaga gabungan mereka mendobrak pintu
berlapis besi tersebut. Tetapi, sebelum kekuatan gabungan itu menghantam pintu,
kedua pendekar unggulan itu pun mengalami totokan jalan darah yang dilakukan
seseorang dari jarak jauh.
Dengan mendengus, pendekar Kaki Tunggal
menoleh ke suatu arah. Sesosok tubuh berdiri dengan
tegar dan tenang.
"Mengapa Anda berpihak kepada penjajah?"
tanya Baureksa.
"Hanya satu kebetulan," jawab orang itu dingin,
"Tetapi aku punya alasan tersendiri."
"Alasan tersendiri?" Baureksa sejenak heran,
"Boleh aku tahu alasannya?"
"Sebenarnya, aku tidak punya alasan khusus
dengan kalian," jawab Orang itu dengan tenang. "Tetapi ada orang-orang yang
punya sangkutan dengan aku
yang berada di kapal ini termasuk Jaka Sembung,
mengerti?" Kemudian orang yang berdarah dingin itu
membalik badannya sambil meninggalkan tempat tersebut ia berkata dengan nada
datar, "Tenanglah kalian
berdiri di tempat ini, aku masih banyak urusan yang
harus kuselesaikan!" Baureksa dan Kaswita sama sekali tidak dapat bergerak.
Sementara itu, di anjungan kapal bagian buritan terjadi kesibukan yang luar
biasa. Pendekar Kembar Tiga Melati dan Mirah sedang bekerja keras dan
tergesa-gesa. "Kalian, Neneng dan Nuna bertugas mengembangkan layar kapal. Rekan Mirah
mengangkat jangkar dan aku akan membelokkan kemudi kapal, bagaimana setuju?"
tanya Unai sambil membagi tugas.
si. "Setuju!" terdengar suara setuju secara aklama-
"Mulai! Kita kembali ke Bandar Cirebon!"
Dalam waktu relatif singkat, semua tugas-tugas
yang diberikan oleh Unui kepada Neneng, Nunda dan
Mirah berjalan lancar.
"Sungguh tidak kusangka kalian bertiga adalah
gadis-gadis cekatan. Rencana semula yang kuduga begitu sukar, ternyata mudah
sekali," kata Unui sambil
berdiri memegang kemudi.
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi," tiba-tiba terdengar suara yang sangat
berwibawa, tidak jauh dari tempat mereka berada,
"Jangan harap kalian bisa memboyong Jaka Sembung
kembali, Nona-nona manis!"
"Siapa kau?" teriak Unui dengan jengkel. Tetapi
sebelum Unui sempat menyerang laki-laki itu, Mirah
yang pendiam tetapi berani segera melompat menyerang sendirian.
Dengan satu pentilan jari dari jarak jauh, tubuh Mirah kelojotan, menjadi kejang
berdiri tak mampu bergerak seperti patung.
"Tenang-tenang di sini Nona manis!" ujar orang
itu setengah mengejek.
"Kurang ajar!" teriak Mirah.
Sementara itu Unui yang berada di kamar kemudi mulai melaksanakan tugasnya,
"Mudahmudahan aku bisa," ujarnya dalam hati.
"Hooo! Siap berlayar!"
Ketika kapal mulai membelok kembali ke arah
Barat, semua layar telah terpasang dengan rapi. Kapal
pun bergerak ditiup angin dari arah Timur.
"Horee! Horee! "
Sementara kapal bertolak dengan lancar, Nuna
berkata kepada kakaknya, "Kak Neneng! Sekarang semua sudah beres, bagaimana
kalau kita turun ke ba-
wah bergabung dengan kawan-kawan yang lain" Mereka pasti sudah berhasil
membebaskan Jaka Sembung."
"Belum tentu Nuna! Prosesnya tidak semudah
itu! Tetapi, kalau kau mau ke bawah pergilah dahulu,
nanti aku menyusul." kata Neneng tanpa bergerak di
samping Unui yang sedang memegang kemudi.
Nuna segera turun ke bawah. Hatinya gembira
karena tugas yang mereka duga semula begitu berat,
ternyata mudah dan lancar. Sebuah kapal yang begitu
besar, berhasil dirampas dari Belanda tanpa banyak
mengeluarkan keringat. Begitulah kira-kira jalan pikiran Nuna ketika itu. Gadis
itu kelihatannya mabuk
kemenangan. Tetapi ketika ia tiba di lantai bawah dari anjungan, Nuna sangat terperanjat
melihat seorang opsir
kapal menghadangnya dengan pedang di tangan.
"Dia mungkin Kapten kapal ini," gumamnya
menduga. "Godverdoome!" kutuk Belanda itu dengan nada
marah, "Rupanya kalian inlanders ekstremis yang
menteror anak-anak kapal ini, ha?" kata Kapten kapal
itu sambil mengancam dengan pedangnya.
"Hei, Gecel! Menghadapi kakek bule seperti
kau, cukup dengan tangan kosong," sesumbar Nuna.
Tetapi, apa yang diucapkan itu, memang dibuktikan.
Begitu orang Belanda itu mengayunkan pedangnya,
Nuna segera melejit ke atas sehingga pedang Kapten
kapal itu menetak angin. Melihat kegagalannya menyerang gadis cantik tambah pula
dengan sikap gadis itu
yang selalu mengejek, hati orang Belanda tersebut semakin mendidih. Tiba-tiba
dengan membabi buta, ia
mengayunkan pedangnya untuk kedua kali sambil berteriak keras, "Mampus kowe
orang!" Tetapi apa yang terjadi" Nuna hanya berkelit
ringan, kemudian membalik badannya dengan cepat,
"Ini dengkul untukmu" sambil memasukkan dengkulnya ke bagian perut orang Belanda
tua itu, yang tepat
mengenai ulu hatinya. Kapten kapal tersebut jatuh
perlahan-lahan ke belakang kesakitan dan pedangnya
terpental jauh.
Ketika itu Nuna segera meloncat mengirimkan
suatu depakan maut ke muka Belanda tua itu. Tetapi
Nuna tiba-tiba merasakan suatu sentakan kuat yang
menyebabkan ia jatuh kejang.
Perlahan-lahan Nuna berbalik ke belakang ingin tahu siapa yang berbuat usil
terhadap dirinya.
"Hei, bajingan tengik, mengapa kau membela penjajah
Belanda?" Pendekar gelap tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan penuh ejekan. Ketika
itu si Kapten yang melihat kejadian tersebut merasa kagum dan berterima kasih karena jika
orang yang berdiri di depannya itu tidak ada, mungkin ia telah mati di tempat
itu. "Tuan ku yang sudah beberapa kali menyelamatkan aku?"
"Ya, mengapa?" jawab orang itu singkat.
"Tuan siapa, kalau boleh Ik tahu?"
"Namaku tidak penting!"
"Tuan telah beberapa kali menolongku dari serangan ekstrimis gelap. Kurasa Tuan
berdiri di pihak
pemerintah kerajaan Belanda!?"
"Ah, itu hanya suatu kebetulan aku berada di
pihak yang menguntungkan Tuan," jawab orang itu
dengan tenang. "Oh, sendi-sendi ku seperti mau copot," keluh
Nuna dalam hati sambil menahan sakit. Sementara
itu, pendekar yang membela Belanda dan menjatuhkan Nuna berjalan beberapa
langkah menuju pagar
dek sambil mengulurkan kepalanya ke bawah berkata,
"Lihatlah perahu kecil itu! Dengan perahu itulah aku
mengarungi laut Arafuru yang ganas ini." Kata-kata itu
mengambang begitu saja tak tahu kepada siapa dituju.
"Untuk apa Tuan datang ke kapal ini?" tanya
Kapten kapal memberanikan diri.
"Tentu aku punya alasan tersendiri Tuan!" jawab orang itu dengan tenang,
"Tetapi, sayang, kedatanganku terlambat sehingga anak buah Tuan dan
serdadu-serdadu
Kumpeni Belanda sudah banyak
yang menjadi korban."
Kapten yang sudah berusia lanjut itu menundukkan kepala dan merasa menyesal
mengapa harus membawa Jaka Sembung dengan kapalnya.
Matahari semakin lama semakin condong di
kaki langit di sebelah Barat. Sebentar kemudian tirai
malam mulai turun dan keadaan di kapal semakin penuh tanda tanya, apa yang akan
terjadi" Orang yang telah berhasil melumpuhkan beberapa pendekar yang hendak membebaskan
Jaka Sembung, mulai menunjukkan sikap berkuasa di kapal itu.
Kesombongan dan keangkuhannya semakin terlihat
seakan-akan ia sanggup menumpas ekstremisekstremis.
Ia kelihatan mondar-mandir di antara Kapten
Belanda dan Nuna yang telah tidak berdaya sambil sekali-sekali berdiri di depan
si bule itu. "Berminggu-minggu aku mencari jejak kapal
Tuan, tetapi baru sekarang aku berhasil menemukannya di laut Arafuru ini," kata
pendekar misterius itu.
"Apa kepentingan Tuan dengan kapal ini?"
tanya Kapten kapal itu mulai kesal dengan sikapnya
yang serba tidak tegas.
"Nanti juga Tuan akan tahu" jawabnya singkat.
Sementara itu, Neneng turun dari anjungan
menyusul Nuna. "Nuna! Nuna!" seru Neneng mulai khawatir.
Tiba-tiba Neneng kaget sekali ketika melihat
Kapten kapal terhenyak di dinding sebuah kamar, dan
tidak jauh di depannya Nuna seperti meringkuk tidak
berdaya. "Apa yang terjadi Nuna," tanya Neneng.
"Hati-hati orang itu, Kak Neneng!" ketus Nuna
sambil menunjuk ke arah pendekar aneh yang sedang
berdiri dengan tangan menyilang ke dada. Tanpa banyak bicara dan tidak disangka-
sangka, Neneng segera
menyerang orang itu dengan suatu jurus andalan, tetapi pendekar tak dikenal itu
dengan cepat mengelak
sambil mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh yang
dahsyat, yang hampir saja menghantam dada Neneng.
Untung pendekar wanita itu berhasil berkelit dengan
gesit sehingga pukulan yang berbahaya itu dapat dihindari. Ketika Neneng
mendarat di atas geladak, secepat kilat tangannya menyabet dengan golok ke arah
lawan. Tetapi manusia bayangan itu memang tangguh.
Serangan Neneng yang begitu berbahaya dapat diredamnya dengan mudah, sekaligus
menepak tangan Neneng dengan keras.
"Aduh! Tanganku seperti kesemutan," pekik
Neneng seraya mengurut-urut pergelangan tangannya
sendiri. Tetapi ketika melihat pendekar jahat itu hendak mendarat di geladak,
Neneng yang tak ingin menyia-nyiakan waktu, segera membokong dari sampingnya,
tetapi suatu tepakan keras dengan telapak tangan, golok Neneng pun terpental dan
jatuh di sisi Nuna.
"Diberi hati, kalian naik ke kepala," bentak
pendekar jahat itu dengan suara serak.
Nuna yang memang keras hati mencoba bangkit. Ia berdiri mendampingi kakaknya
yang sedang terancam.
"Ini senjatamu kak Neneng, kita harus lawan
manusia jahat ini!" seru Nuna tanpa merasakan lagi
sakit yang sedang dideritanya. Akhirnya terjadilah perkelahian sengit dua lawan
satu. Bagaimana hebatnya tenaga tua, sekurangkurangnya merasa kewalahan juga
menghadapi dua pendekar muda yang cekatan, gesit dan penuh semangat.
Perkelahian itu semakin seru dan merambat
sampai ke sebuah ruangan di bagian tengah kapal
yang terang benderang. Tiba-tiba Neneng dan Nuna
menjadi sangat terperanjat ketika melihat tampang
musuhnya adalah seorang pendekar yang pernah mereka kenal.
"Heeei, Kau... kau Ki Subeni?" teriak Neneng
dan Nuna serentak.
"Ki Subeni atau hantunya bukan persoalan,
yang penting aku datang ke mari untuk menagih nyawa kalian," ketus Subeni sambil
menyerang dengan jurus andalannya yang aneh dan berbahaya.
"Hati-hati Kak Neneng!" teriak Nuna ketika
melihat pendekar jahat itu membuka serangan. Kali ini
pun pendekar Subeni belum dapat menjatuhkan lawannya, kedua pendekar wanita yang
tangguh itu. Melihat kegagalannya dengan beberapa jurus
andalan, pendekar Subeni bertambah berang dan bernafsu untuk membunuh kedua
gadis itu. Dengan tekad jahat yang bersarang di hatinya, pendekar Subeni
segera menggunakan jurus andalannya yang terakhir
sambil melakukan suatu gerakan dahsyat. Kedua pendekar wanita bersaudara itu
tanpa daya terpelanting
ke sudut geladak berjumpalitan.
"Jangan takut pada manusia iblis itu Nuna!"
kata Neneng kepada Nuna yang terpisah beberapa depa. Neneng dan Nuna bangkit
kembali dengan tekad
akan bertempur mati-matian melawan pendekar
pengkhianat bangsa itu.
Sementara itu, tidak jauh dari kapal besar yang
sedang menjadi ajang pertarungan para pendekar, sebuah tongkang layar ukuran
besar segera mengurangi
kecepatan lajunya bahkan menurunkan layarnya ketika melihat kapal besar melaju
cepat dari arah Timur.
"Hah! Itu pasti kapal yang sedang kucari," bisik
seorang di tongkang itu. Sebelum berpapasan, orang
yang berada di tongkang besar dapat menangkap suara hiruk pikuk yang datang dari
kapal. "Apakah sedang terjadi suatu pembajakan di
atas kapal" Atau apa yang sedang terjadi?" gumam
pemilik tongkang dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku
harus naik ke atas kapal!"
Selesai berkata begitu, sesosok tubuh segera
melompat ke laut dan berenang dengan cekatan menuju ke kapal besar.
Sebuah perahu kecil yang bermuatan 10 orang
atau lebih dan tidak jauh dari perairan itu, tampak
memperhatikan perenang yang sedang menuju ke kapal besar.
"Hei, kawan! Lihat ada seseorang yang hendak
mencapai kapal besar itu. Bagaimana?" tanya salah
seorang di antara mereka.
"Bereskan saja!" seru yang lain serentak sambil
menjangkau panahnya masing-masing. Dan sebentar
kemudian kelihatan puluhan panah berhamburan ke
arah orang yang sedang berenang.
Tampaknya orang yang sedang merenangi lautan menuju ke kapal besar itu bukanlah
orang sembarangan. Ini terlihat pada caranya melawan anak panah
yang datang bertubi-tubi menyerang dirinya. Tetapi
dengan kecekatannya yang luar biasa, satu pun anakanak panah itu tidak berhasil
singgah ke tubuhnya.
Namun demikian, serangan dari perahu kecil
itu semakin gencar. Rupanya pendekar tersebut tidak
kehilangan akal. Sebagai penyelam yang berpengalaman, ia langsung menyelam
menghindari anak-anak
panah yang terus menghujani permukaan air.
Sejenak ia merasa aman dari serangan-serangan gelap orang yang tidak dikenal
itu, tetapi bahaya lain segera menyusul dan mengancam dirinya.
Beberapa ekor ikan buas menguntitnya dari belakang
untuk menyerang pendekar itu. Tetapi nalurinya yang
sangat peka mengisyaratkan adanya bahaya tersebut.
Dengan beberapa gerakan cepat jurus silat
yang sangat berbahaya, pendekar itu segera bertindak
dengan suatu gebrakan dahsyat sehingga hiu-hiu ganas tersebut terpencar-pencar
dan ketakutan. Tidak lama kemudian, dengan ilmu tinggi yang
dimilikinya, pendekar yang ahli berenang itu segera
melejit ke atas kapal yang kebetulan lewat sesuai dengan waktu yang
diperhitungkan.
Ketika pendekar cekatan ini sampai di geladak
kapal, pertarungan masih terus berkecamuk dengan
seru. "Ini rupanya suara hiruk pikuk itu," pikir pendekar itu.
Sambil mencari tempat bersembunyi, sejenak ia
mempelajari suasana di kapal yang dari jauh kelihatan
berlayar dengan tenang.
Sementara itu, Kapten kapal yang sejak tadi di
luar pengawasan, perlahan-lahan timbul pikiran jahatnya, "Sementara inlanders
itu saling membunuh,
mengapa aku tinggal diam begini" Bukankah lebih
baik aku mencoba membunuh Jaka Sembung daripada ia jatuh ke tangan ekstremis-
ekstremis yang sedang
menguasai kapal. Kalaupun aku mati, toch aku sudah
berjasa
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada pemerintah Kerajaan Belanda?" Perlahan-lahan orang Belanda yang sudah
berusia lanjut itu meraba pistol yang ter-sembunyi di balik baju dinasnya. "Dengan kedua
tangannya yang terantai ketat
seperti sekarang itu, pasti dengan mudah aku dapat
menembak lambung sampai mampus," pikir Kapten
itu dengan nekad dan segera menuju ke kamar tahanan Jaka Sembung.
Tetapi baru ia beranjak beberapa langkah, tibatiba ia dikagetkan oleh suatu
sapaan mengejek, "Hei,
Buto Terong mau ke mana Kau?" Ketika Kapten Belanda itu hendak menembak, orang
yang menyapanya,
secepat kilat berbalik dan sebuah tendangan keras tepat mengenai dadanya. Kapten
kapal itu mengeluarkan
darah segar dari mulutnya. Pistol yang masih tergenggam di tangannya perlahan-
lahan jatuh serentak dengan terkulainya tubuh gemuk itu ke lantai kapal...
Pendekar yang baru saja melejit ke kapal itu,
diam-diam sudah berhasil mengurangi jumlah orang
Belanda yang ada di kapal. Kemudian berlalu dengan
santai dari tempat itu. Rupanya tanpa disadarinya apa
yang ia lakukan terhadap Kapten kapal disaksikan
dengan jelas oleh empat mata lain.
"Lihat! Orang itu telah menyudahi nyawa Kapten kapal," ujar Baureksa. Kaswita
yang turut menyaksikan adegan sebabak itu mengangguk.
"Saudara pendekar," tegur Baureksa ketika kebetulan pendekar itu lewat di
hadapan mereka, "Tolong
kami!" "Siapakah kalian?" tanya pendekar tersebut
dengan waspada.
"Aku Baureksa si Kaki Tunggal," Ia memperkenalkan diri dengan ramah, "Dan ini
Kaswita, adik kandung pendekar Jaka Sembung yang sedang ditawan
Belanda di kapal ini."
"Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk kalian?"
"Kami mohon bantuan Saudara untuk membe-
baskan kami dari totokan jalan darah yang dilakukan
oleh seorang pendekar jahat yang belum kami kenal."
"Kalian tidak bisa bergerak?" tanya pendekar
itu dengan ramah.
"Benar!" jawab Baureksa dan Kaswita serentak.
Pendekar yang dimintai bantuannya itu segera
meraba-raba urat nadi yang ada di belakang kedua tubuh yang sedang tidak berdaya
itu, kemudian dengan
suatu totokan yang hampir tak terasa, Baureksa dan
Kaswita seketika itu mampu berdiri. Pengaruh totokan
lenyap dari tubuh mereka.
"Terima kasih Saudara Pendekar!" ucap Baureksa sambil mengulurkan tangan tanda
bersahabat. "Terima kasih!" ucap Kaswita dengan tersenyum.
"Kau yang adik Jaka Sembung?" tanya pendekar itu. Kaswita mengangguk sambil
berjabat tangan.
"Aku Karta, adik angkat Parmin, Jaka Sembung," pendekar itu memperkenalkan diri
sambil menyatakan kegembiraannya. Kaswita dan Baureksa tersenyum gembira karena
mendapat teman seperjuangan.
"Orang menyebutku, si Gila dari Muara Bondet," Karta mencoba menambah
indentitasnya yang
jauh lebih terkenal daripada namanya sendiri.
Sementara mereka berada dalam suasana gembira, Neneng dan Nuna berada dalam
keadaan kritis karena mendapat luka dalam yang parah akibat pukulan Ki Subeni, si pendekar
jahat. Di dada kedua gadis
membekas sebuah telapak tangan hitam. Akibat luka
dalamnya, kedua pendekar wanita yang tangguh itu
mengeluarkan darah hitam kental dari mulutnya.
"Kak Neneng!" ujar Nuna dengan susah payah,
"Apakah kita harus menerima kematian dengan cara
begini?" "Tidak Nuna! Kalau juga harus mati, biarlah
aku mati lebih dahulu menghadapi bangsat Subeni
yang berwatak iblis itu dan kau adikku Nuna segeralah
menghindar dari sini!" jawab Neneng antara marah dan
sedih. "Carilah kawan-kawan kita dan beritahukan!"
"Ha, ha, ha...! Jangan mengigau Nona manis!
Semua kawan-kawanmu telah ku tawan hidup-hidup."
"Keparat kau manusia setan!" bentak Neneng
dengan sangat marah.
"Hei, kau jangan bicara sembarangan yang dapat membuat aku marah ya! Aku Ki
Subeni, yang akan
mengakhiri petualangan Jaka Sembung dan semua
orang-orangnya, tahu" Tetapi, sebelum Jaka Sembung,
aku ingin membuat kalian lebih dahulu mati perlahanlahan. Aku akan siksa kalian
dengan caraku sendiri,"
kata pendekar jahat itu dengan sesumbar.
"Bangsat! Terkutuklah kau!" hardik Nuna sambil mencoba bangkit, tetapi mereka
tidak berdaya sama
sekali. "Ha, ha, ha! Makilah aku semaumu Nona-nona
manis, sebelum aku mengerjakan kalian berdua."
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap kami,
lakukanlah Setan!" kata Neneng setengah berteriak.
"Wow, aku akan cabut seluruh bulu yang ada
di pori-porimu Nona!" bentak Ki Subeni. "Aku akan
mulai dengan bulu yang paling bawah," ketus Subeni
sambil dengan tangan kirinya merenggut rambut Nuna
dan mengangkatnya ke atas kuat-kuat sehingga kepala
Nuna turut mendongak ke atas kesakitan, sedangkan
dengan tangan kanannya ia mencopot pakaian yang
dikenakan gadis itu sehingga tidak sehelai benang pun
lagi yang tersisa di badannya.
"Anjing kau!" teriak Neneng sambil meludahi jijik.
"Kukira, kau yang akan kubuat jadi anjing tanpa pakaian," bentak Ki Subeni
sambil mengirimkan sebuah tamparan ke wajah Neneng. Neneng terkulai jatuh.
"Keparat!" teriak Nuna meronta-ronta melawan
kelemahannya. "O, yaaa! Sekarang akan ku mulai dengan nona
ini," Sambil menunjuk kepada Nuna, Ki Subeni mendekati gadis itu dan melakukan
rencananya mencabut
bulu yang paling bawah. Terapi, melakukan rencana
yang demikian tidaklah mudah. Nuna memberikan
perlawanan gesit dengan seluruh kekuatannya yang
masih tersisa. Tiba-tiba pendekar iblis itu berteriak-teriak sekuat-kuatnya karena bahunya
digigit Nuna. Ketika itu
juga ia berbalik badan dan menggapai hidung Nuna
yang memang mancung. Hidung itu dipencetnya dengan keras sehingga Nuna gelagapan
tak dapat bernapas.
"Rupanya kau perlu ditotok lebih dahulu supaya diam menerima hukuman," ujar Ki
Subeni menyeringai, sambil memberikan tamparan keras ke pipi
Nuna. Mata Nuna berkunang-kunang sejenak kemudian ia terkulai lemas.
"Nah! Sekarang hukuman ku akan dapat berjalan lancar dan kalian akan merasakan
sakit perlahanlahan," kata pendekar berdarah dingin itu. Begitu selesai kata-
katanya, Ki Subeni pun mendekati Neneng
untuk memulai hukumannya, tetapi sebelum hukuman itu dilaksanakan, tiba-tiba
terdengar desingan
benda-benda berkilat yang menyerbu tubuh Ki Subeni.
Tetapi Ki Subeni memang tangguh! Serangan yang tiba-tiba dilancarkan orang
kepadanya, meskipun dengan susah payah akhirnya berhasil juga di atasi.
Ki Subeni yang merasakan serangan hebat itu,
dapat memastikan bahwa dirinya sedang menghadapi
tantangan dari pendekar yang ilmunya seimbang dengan ilmu silat yang dimilikinya
atau mungkin juga di
atas dirinya. Pendekar Karta, si Gila Dari Muara Bondet segera membebaskan kedua gadis
tersebut dari totokan
Ki Subeni dan mengobati luka dalam kedua pendekar
wanita itu. Kaswita sempat menatap sejenak kedua pendekar wanita cantik itu. Dan diam-diam
ia teringat pada
apa yang pernah dilihat di buritan kapal dua hari yang
lalu. Tetapi, kesempatan untuk bertanya hal-hal seperti itu belum ada.
Ki Subeni yang penasaran dibokong dari belakang, segera menyerang siapa saja
yang melintas di
hadapannya. Tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat di
hadapannya dengan cepat. Ki Subeni tanpa pikir panjang cepat mengejar kedua
sosok tubuh itu. Kemudian
dengan goloknya ia melakukan serangan dari jarak
jauh. Tetapi, orang yang diserang itu berkelit secepat
kilat sehingga golok Ki Subeni menancap di sebuah
dinding tidak jauh dari tempat pendekar Karta berada,
"Gila!"
Merasa gagal, Subeni pun melepaskan serangan jarak jauh untuk kedua kalinya.
Tetapi serangan itu pun tidak membawa hasil apa-apa.
"Kaswita!" ujar si Gila Dari Muara Bondet, "Kita
tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Sekarang giliran kita yang menyerang Ki
Subeni yang berhati iblis
itu, bagaimana?"
"Mari! Memang tidak boleh memberi hati kepada pendekar jahat berdarah dingin
seperti Ki Subeni,"
sambut Kaswita senada.
Sejak itu berkecamuklah pertempuran antara
Ki Subeni melawan si Gila Dari Muara Bondet dan kawan-kawannya. Dalam suatu
pertempuran sengit, Ki
Subeni hampir-hampir saja berhasil menghantam
Kaswita dengan pukulan telapak tangan maut, tetapi
Sri Ayuningrum yang telah bebas dari totokan dan kebetulan menyaksikan
pertempuran tersebut, segera
mengirimkan senjata jarak jauh yang ke-betulan tepat
mengenai tangan pendekar setan itu. Kaswita selamat
dari luka dalam.
Di suatu kesempatan lain, Ki Subeni berhadapan langsung dengan Pendekar si Gila
dari Muara Bondet. Permainan silat tingkat tinggi dikeluarkan oleh
kedua pendekar tangguh itu. Mereka saling bertarung,
menyerang dan bertahan. Ketika si Gila dari Muara
Bondet melihat suatu peluang baik, ia segera menyerang Ki Subeni dengan
pedangnya yang ampuh secara
berantai sehingga pendekar gemuk jahat itu kewalahan
seketika. Tetapi dalam keadaan kepepet seperti itu, Ki
Subeni masih berhasil membuat pedang si Gila dari
Muara Bondet terpental. Karta kaget sejenak. Tiba-tiba
ia mendengar suatu teriakan keras, "Hai, kawan!
Tangkap pedangmu ini!" serentak dengan melayangnya
sebuah pedang. "Terima kasih Dik!" ucap Karta sambil mengirimkan sebuah senyuman kepada Sri
Ayuningrum, yang rupanya sejak awal terus mengikuti perkelahian
kedua tokoh persilatan tersebut.
"Setan!" teriak Ki Subeni dengan penuh kedongkolan melihat Sri Ayuningrum yang
membantu lawannya. Ketika itu tidak terasa sebuah pedang mendesing di belakangnya
sehingga Ki Subeni terluka.
"Waw! Cuma menyerempet sedikit," terdengar
suara Karta mengejek, tetapi Ki Subeni tidak menggubris ejekan itu karena
perhatiannya tertuju pada luka
di punggungnya....
4 Sementara itu, tanpa disadari malam berangsur-angsur berganti dengan siang.
Matahari di kaki langit sebelah Timur tampak muram tertutup mendung. Awan pekat
seperti menggantung di langit. Angin
laut yang tadinya berhembus tenang membawa hawa
sejuk dan segar, kini perlahan-lahan berubah kencang.
Ombak laut yang tadinya terasa ramah, kini mulai
bergelora. Tiba-tiba hujan lebat pun turun seperti
mengamuk, ombak menghantam dinding kapal. Laut
Arafuru kembali marah menyaksikan tingkah anak
manusia di permukaannya.
Unui yang berada di ruang kemudi menjadi gelisah, "Celaka! Badai akan segera
turun," serunya dengan penuh rasa khawatir. Ia sangat mengharapkan
Neneng dan Nuna ada di sisinya untuk membantu. Tetapi kedua adiknya itu tidak
juga muncul padahal dalam keadaan begitu layar harus segera diturunkan.
Tak ada jalan lain, kecuali ia sendiri harus segera bertindak. Tanpa banyak
perhitungan, Unui meninggalkan kamar kemudi turun dari anjungan. Begitu
Unui tiba di tangga, angin badai mendadak bertiup
kencang dibarengi dengan suara petir dan kilat sambung-menyambung.
Tidak itu saja bahaya yang sedang mengancam,
tetapi bahaya yang lebih dahsyat kelihatan sedang menyongsong. Kapal mulai oleng
ke kiri dan ke kanan sehingga semua penumpang yang ada di atasnya mulai
panik. Pertarungan dan nafsu permusuhan lenyap seketika. Masing-masing mulai
memikirkan keselamatan
dirinya, kecuali Unui. Pendekar ini dengan penuh
tanggung jawab mencoba menurunkan layar kapal untuk mengurangi resiko tenggelam
demi keselamatan
para penumpangnya. Ia juga berusaha mencari kedua
adiknya dan merasa cemas terhadap diri mereka, tanpa sedikit pun terpikir akan
keselamatan dirinya.
Suasana dalam kapal mendadak gelap, meskipun sejumlah lampu-lampu penting masih
terus menyala. Angin yang semakin berhembus kencang telah
membuat kapal terombang-ambing seperti hendak terbalik. Semua isinya bertambah
panik. Tubuh Unui
yang semakin lelah, tiba-tiba terpelanting dan nyaris
terlempar ke dalam laut yang sedang mengamuk, tetapi untung tangannya masih
sempat menggapai pagar
geladak. Ketika ia melihat ke luar kapal, tiba-tiba ia berteriak keras. Tidak jauh dari
kapal terlihat olehnya angin puting beliung sedang membuat pusaran berbentuk
lembah air yang dalam. Dua perahu layar yang tidak jauh dari kapal mendadak
masuk ke dalamnya.
"Ya, Tuhan! Selamatkanlah mereka!" seru Unui dengan
mata terbelalak.
Pada waktu yang sama, tiba-tiba pula tiang
layar kapal besar yang mereka tumpangi mendadak
patah. Sementara, air sudah banyak yang mulai masuk ke kapal.
Belum hilang kekagetan itu, Unui melihat pula
dari jauh dua pendekar sedang berlaga di dekat tiang
layar yang sudah patah. Rupanya keadaan yang sudah
gawat, sedikit pun tidak mempengaruhi para pendekar
untuk terus bertempur.
Sementara si Gila dari Muara Bondet dan pendekar Mirah meladeni musuh, Sri
Ayuningrum membantu Neneng dan Nuna yang sedang terhimpit reruntuhan.
"Cepat bangun kawan! Keadaan kapal semakin
gawat!" ujar Sri Ayuningrum dengan sungguhsungguh, "Mari kita bantu mereka
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum kapal ini
hancur!" Ketiga pendekar wanita itu segera memburu ke
depan. Tiba-tiba tiang layar kapal bagian depan mendadak patah pula. Tiang yang
berat ini menghancurkan lantai geladak.
Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal sedang berada di geladak paling bawah
terkejut. "Suara apa?" tanya Kaswita pucat.
"Aku tak tahu! Biarkanlah itu!" kata Baureksa
acuh tak acuh. "Kalau begitu sekarang kita cepat-cepat ke kamar tahanan Jaka Sembung,
bagaimana?" tanya Kaswita.
Kedua pendekar tersebut menghilang dengan
cepat menuju ke kamar tahanan yang berpintu besi.
Tanpa membuang-buang waktu, mereka segera mendobrak pintu tersebut. Tetapi,
pintu yang luar biasa
kuatnya itu sedikit pun tidak bergeming.
"Hei, biar ku coba dengan beliung ku ini!" kata
Kaswita serentak dengan menghantamkan beliungnya
ke pintu besi itu.
Sementara Kaswita dan Baureksa berusaha
membuka pintu tahanan, Parmin Jaka Sembung di
kamarnya sedang menghadapi bahaya air yang masuk
dari dinding kapal dengan deras. Ia sama sekali tidak
dapat berusaha mengatasi keadaan karena tangannya
dirantai kiri kanan. Air laut semakin lama semakin
menggenangi kamar.
"Ya, Tuhan berikanlah aku petunjuk apa yang
harus kulakukan! Lindungilah aku dari malapetaka
yang mengerikan ini. Hanya kepada-Mu satu-satunya
tempat aku berlindung dan pasrah diri," Parmin berdoa dengan penuh harap.
Air terus meninggi sampai ke lutut. Tidak lama
kemudian sampai ke pinggang. Harapan Jaka Sem-
bung untuk lepas dari petaka itu semakin tipis. Satusatunya jalan untuk
menenangkan diri ialah mengheningkan cipta. Dipusatkan semua konsentrasinya ke
satu titik perhatian yaitu rantai yang membelenggu
kedua belah tangannya.
Sementara itu air terus meningkat sampai ke
lehernya. Harapan secara akal pupus sudah, tetapi harapan kepada kasih Tuhan
terus menyala. "Bismillah!" ucap Jaka Sembung sambil mengerahkan seluruh hawa panas dalam
tubuhnya. Tiba-tiba sesuatu terjadi. Terlihat asap mengepul dan kemudian menjadi api yang
terus-menerus menjilat rantai. Akhirnya rantai yang memborgol kedua
tangannya pun mencair dan putus.
"Alhamdulillah" ucapnya sambil kedua telapak
tangannya meraup ke muka. Tetapi masalahnya belum
selesai, Jaka Sembung tetap berada di kamar tahanan
yang cukup kuat.
"Oh, aku tak dapat juga keluar dari sini," gumam Jaka Sembung pada dirinya.
Di luar, Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal terus-menerus berusaha mendobrak
pintu yang kukuh
itu. Tiba-tiba Kaswita kaget karena dari sisi daun pintu
yang sudah mulai renggang, menyembur air dengan
deras. Kaswita dan Baureksa segera melompat ke atas
sambil mengawasi air yang deras itu. Tiba-tiba Kaswita
melihat sesosok tubuh menggapai-gapai didorong derasnya air.
"Kang Parmin!" seru Kaswita dengan keras. Jaka Sembung segera menoleh ke arah
datangnya suara
itu. Ia segera melejit ke atas dan menatap pemuda
yang berdiri di depannya dengan beliung di tangan.
"Astaga! Kau Kaswita"! Bagaimana sampai kau
berada di kapal jahanam ini?" tanya Jaka Sembung in-
gin tahu. "Panjang ceritanya, Kang!"
Sementara itu haluan kapal perlahan-lahan
menukik ke dalam laut, tetapi sama sekali tidak dihiraukan oleh pendekar-
pendekar yang sedang bertempur hebat-hebatan.
"Lihat, Kang!" Kaswita menunjuk ke bagian buritan kapal, "Mereka sedang
bertempur di sana!"
"Siapa mereka?" tanya Jaka Sembung heran.
"Pendekar-pendekar yang ingin membebaskan
Kakang dari tawanan Kumpeni Belanda, termasuk
Kang Baureksa ini, dan Kak Sri Ayuningrum."
Saat itu pendekar Lengan Tunggal berlari
menghampiri. "Hei, kau Umang"!" ujar Jaka Sembung dengan
gembira sambil menarik tangan sahabatnya yang sudah lama tidak pernah ketemu.
"Tidak apa-apa kau?"
"Tidak!"
Jaka Sembung menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu sambil berkata, "Kalau begitu
mari kita ke sana! Aku ingin ketemu dengan adikku Sri Ayuningrum."
Ketika tiba di ajang pertarungan itu, Jaka Sembung tiba-tiba melihat seorang
pendekar muda yang
sedang bertempur dengan lincah menghadapi antekantek penjajah.
"Hei, kalau aku tak salah, itu si Gila Dari Muara Bondet dan Mirah kawanmu
Umang." "Benar, Parmin," kata Umang dengan penuh
hormat. "Kalau tiga dara itu...?" kata Jaka Sembung
sambil mengingat-ngingat, "Si Tiga Melati: Unui, Neneng dan Nuna, bukan?"
Kaswita mengangguk. Sri Ayuningrum yang sedang bertempur sempat melayangkan
pandangannya ke arah Jaka Sembung, sehingga setelah menyelesaikan pertempurannya segera
menemui kakang tercintanya itu.
Sementara itu, Ki Subeni yang sejak tadi memperhatikan Jaka Sembung cepat
berjumpalitan beberapa kali, kemudian mendarat tepat di depan Parmin
Jaka Sembung. "Oh, Ki Subeni?" gumam Jaka Sembung setengah heran, "Bukankah kau sudah
meninggal?"
tanya Jaka Sembung dengan nada sopan.
"Memang ia sudah mati, tetapi aku Subekti
saudara kembarnya yang ingin menuntut balas atas
kematiannya."
"Apa kau sungguh-sungguh?" tanya Jaka Sembung, "Waktu kita hanya tinggal
sedikit." "Kau sangka aku tidak punya nyali untuk melawanmu, ha?"
"Baiklah, kalau itu yang kau kehendaki," jawab
Jaka Sembung sambil mengatur langkah. Tetapi, Ki
Subekti tiba-tiba diserang orang dari belakang. Pendekar itu secepat kilat
berbalik, tetapi tanpa disangka
mendadak ia menyerang Jaka Sembung yang dalam
keadaan lengah.
Jaka Sembung yang bukan pendekar sembarangan rupanya sama sekali tidak terkicuh.
"Plak!"
Dua tangan yang penuh dengan tenaga dalam,
bertemu seketika. Dari masing-masing tangan itu terlihat mengepul asap. Semua
yang menyaksikan terheran-heran. Sri Ayuningrum menatap kedua tangan itu
dengan tak berkedip.
Ki Subekti menyentakkan tangannya sambil
melejit ke belakang dan kembali menyerang lawannya
dengan dahsyat. Parmin yang menunggu dari bawah,
tiba-tiba melihat peluang dan segera memberikan sebuah kepretan tangan. Tetapi
pendekar gemuk itu
dengan empuk bersalto di atas geladak.
"Hiyaaat!"
Dan serangan yang berbahaya itu disambut
oleh Jaka Sembung dengan sodokan keras di bagian
dada Ki Subekti. Jaka Sembung terheran-heran. Ia melihat baju di bagian dadanya
terbakar dan api menyala-nyala membuat dada pendekar itu panas dan perih.
Sri Ayuningrum yang melihat peristiwa itu segera berteriak, "Tanggalkan bajumu
Kang!" Parmin segera melakukan anjuran adiknya, tetapi tidak berhasil. Begitu ia hendak
menanggalkan bajunya, api itu segera menyambar tangannya dengan
cepat. Parmin mencoba mundur beberapa langkah, tetapi api itu terus membakar bajunya di
bagian dada. Akhirnya ia kehilangan akal dan membiarkan api itu
menyala. Sementara itu, pukulan sodokan Jaka Sembung yang tepat mengenai ulu hati Ki
Subekti juga tidak ringan akibatnya. Pendekar itu terpaksa menahan
sakit yang luar biasa dan kemudian mengeluarkan darah kental dari mulutnya.
Rupanya dalam adu ilmu ternyata Parmin Jaka
Sembung masih berada di bawah musuhnya. Ia menyadari hal tersebut, karena itu,
ia mulai berhati-hati
menghadapi Ki Subekti.
Pada waktu Parmin Jaka Sembung memusatkan konsentrasi untuk mengusir api itu,
tiba-tiba Ki Subekti melancarkan suatu gempuran mautnya. Tetapi, Jaka Sembung pun bukan anak
kemarin. Ia segera
berkelit. "Celaka, kita harus turun tangan!" kata pendekar lainnya sambil berpencar.
"Kita harus membalas penghinaan manusia cabul itu," seru Kaswita geregetan.
Tetapi dengan tidak
disangka-sangka Sri Ayuningrum yang didampingi oleh
Karta dan Umang lebih dahulu melakukan serangan
bersama. Meskipun Ki Subekti tidak berada dalam keadaan siap tempur karena luka dalam,
namun tidak ada
pilihan lain ia terpaksa melayani serangan bersama
yang dilancarkan oleh kawan-kawan Jaka Sembung.
Ki Subekti segera melejit ke atas sambil melemparkan dua goloknya yang berhasil
dirampas dengan
mudah dari Unui yang juga turut menyerang. Untunglah pendekar Kaki Tunggal
dengan tangkas mendorong tubuh Sri Ayuningrum dan menangkap kedua golok itu
dengan tongkat penyangganya.
Pada saat yang sama, si Gila dari Muara Bondet, berhasil pula mencaplok golok
yang ditujukan atas
Unui. Ketika Sri Ayuningrum melihat suatu kesempatan baik, ia segera melompat ke
atas dengan suatu tusukan kilat. Namun Ki Subekti yang seakan-akan
bermata seribu segera berkelit menghindari tusukan
dahsyat yang dilancarkan Ayu Ningrum. Bahkan si
pendekar gendut itu masih sempat mencaplok golok
yang ada di tangan Mirah. Sri Ayuningrum yang kehilangan keseimbangan karena
serangan dahsyatnya tidak mengena, terpelanting ke luar pagar geladak. Untung
Mirah yang kebetulan ada di tempat itu cepat
menjambretnya sehingga Sri Ayuningrum tidak jadi
terlempar ke laut
"Pegang erat-erat tanganku," ujar Mirah sambil
menarik badan Sri Ayuningrum ke atas geladak.
"Terima kasih, Mirah!"
"Tentang apa?"
"Tentang bantuanmu barusan," jawab Sri Ayuningrum tersenyum.
"Sudah, lupakan! Aku mau membantu Parmin," kata Mirah sambil memperhatikan
gerak-gerik Ki Subekti. Ketika Parmin Jaka Sembung sedang membenah diri, tiba-tiba pendekar berhati
jahat Ki Subekti
mendadak melakukan serangan terhadap Parmin.
"Awas Jaka Sembung!" teriak Mirah, Parmin
kaget dan dengan naluri silatnya yang sudah mendarah daging, pendekar itu cepat
mengelak. Serentak
dengan itu Neneng berkelebat dengan cepat memotong
jalan serangan dengan pedangnya sambil berteriak,
"Modar sial!"
Serangan Neneng sekali itu bukan asal-asalan,
tetapi jitu. Ki Subekti jatuh terduduk dengan mengaduh kesakitan. Lengan
kanannya yang memegang golok putus sama sekali. Darah muncrat dari lukanya
yang parah. Nuna yang kebetulan berada di dekat itu,
langsung menusukkan pedangnya ke punggung Ki Subekti, Ow... Okh!
Perkelahian Ki Subekti dengan Jaka Sembung
rupanya menjadi tontonan anak buah Ki Subekti yang
berada di sebuah tongkang besar. Ketika Ki Subekti
mendapat serangan hebat dari Neneng yang mengakibatkan lengan kanannya putus,
ditambah dengan tusukan pedang Nuna pada punggungnya yang menyebabkan pendekar
itu tidak berkutik, terlihat jelas oleh
para pengikutnya.
"Hai, lihat! Agan kita dikeroyok ramai-ramai. Kita tidak boleh tinggal diam,
tetapi kita harus naik ke
kapal besar itu untuk memberi sedikit pelajaran kepada mereka," kata seorang
pendekar yang agak tua di
antara mereka, membakar semangat.
"Benar! Benar! Mari kita menyerbu ke atas kapal!"
Kebetulan pada waktu itu badai di laut Arafuru
mulai reda. Ombaknya kelihatan lesu setelah hampir
setengah hari penuh mengamuk dan menghancurkan
apa sana yang mencoba membendungnya.
Anak buah Ki Subekti, dengan segala kesombongan dan keangkuhan, satu persatu
melompat ke laut dan berenang dengan terampil menuju ke kapal
besar. Selama berenang, mereka berteriak-teriak dan
mengancam tak hentinya.
Hal ini menarik perhatian orang-orang di atas
kapal. Tidak kurang dari belasan orang berbaju hitam
menuju ke kapal.
"Kurasa mereka anak buah bajingan ini!" kata
Mirah menutup laporannya kepada Jaka Sembung
sambil menunjuk Ki Subekti dengan kakinya.
"Pendapat Mirah mungkin benar," kata Jaka
Sembung yang dikelilingi oleh seluruh rekannya, "Sekarang kalian tunggu mereka
di pagar geladak! Siapapun yang mencoba naik ke atas kapal ini, segera kirim
kembali ke laut menurut cara kalian masing-masing."
Begitu instruksi selesai diucapkan Jaka Sembung, semua pendekar tersebut
langsung menuju ke
tempat tugasnya.
Tidak lama mereka menunggu, satu per satu
kepala anak buah Ki Subekti muncul di pagar geladak.
Hanya nongol sebentar kemudian terlempar kembali ke
laut setelah menerima berbagai hadiah dari atas kapal.
Sebagian besar di antara mereka berteriak kesakitan.
Ki Subekti yang dapat melihat perlakuan seperti itu terhadap anak buahnya.
Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan berkata,
"Sungguh kalian pengecut! Kalau kalian berani,
ini aku Ki Subekti saudara kembar Ki Subeni, bunuhlah!"
"Hati-hati kalian," kata Jaka Sembung, "setan
itu akan bertindak nekat."
Peringatan Jaka Sembung ternyata benar. Ki
Subekti dengan segenap tenaganya yang masih tersisa,
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba melakukan serangan dahsyat didahului oleh
suatu pekikan melengking. Gerakan yang sangat berbahaya itu mengagetkan semua
pendekar yang berada
di tempat itu. Sementara Kembar Tiga Melati tampak
terjungkal jauh seperti tertiup angin kencang.
"Oh! Kak Unui, Kak Neneng dan Nuna! Tabahkanlah hati kalian!" ujar Sri
Ayuningrum ketika melihat ketiga kawannya terkena serangan hebat dari Ki
Subekti. "Dik Sri Ayuningrum!" Unui mencoba membuka
matanya perlahan-lahan sambil berkata dengan lembut, "Janganlah kau hiraukan
kami lagi Dik Sri! Kami
mendapat luka dalam yang parah, yang mungkin tak
tertolong. Kini yang lebih penting, bangkitlah segera
untuk membantu kakakmu Parmin Jaka Sembung
bersama dengan pendekar lain sahabat kita guna
menghancurkan pendekar iblis itu."
Sri Ayuningrum bangkit perlahan-lahan dengan
duka nestapa di hatinya. Ia meninggalkan tempat itu
dengan suatu kesedihan yang mendalam. Sementara
itu, Ki Subekti terus mengamuk laksana harimau yang
terluka. Ia menyerang siapa saja yang berada di dekatnya, terutama pendekar-
pendekar pengikut Jaka Sembung.
Tetapi, untung orang-orang yang diserangnya
itu bukanlah orang yang mudah dijatuhkan begitu saja
seperti Pendekar Kaki Tunggal dan si Gila dari Muara
Bondet serta pendekar Tangan Tunggal.
Ki Subekti dengan mata merah dan wajah bengis serta rasa dendam yang membakar di
hati, menatap Jaka Sembung yang masih terduduk merasakan
sakitnya. Ia benar-benar sudah nekat dan segera menyerang Jaka Sembung dengan
jurus andalannya yang
biasanya tanpa ampun.
Jaka Sembung sebagai seorang pendekar ulung
tak ada pilihan lain kecuali melawan. Ia segera pula
menahan serangan Ki Subekti dengan pukulan maut
'Wahyu Taqwa' yang tepat mengena di ulu hatinya sehingga pendekar setan itu
rubuh seketika.
Ia melihat tubuh pendekar Subekti gemetar sejenak dan akhirnya terkulai lemas.
"Sungguh pendendam manusia ini!" gumam Jaka Sembung sendirian
sambil mencoba meninggalkan tempat. Tetapi, begitu
ia hendak beranjak, Ki Subekti masih sempat melakukan serangan tiba-tiba sambil
duduk. Baureksa yang
sempat melihat kelicikan itu segera menghunjamkan
tongkatnya yang berujung runcing ke lambung Ki Subekti sebelah kiri menembus ke
sebelah kanan. Pendekar itu terpekik keras dan meraung kesakitan, lalu roboh tak
berkutik lagi. Jaka Sembung terkejut, "Apa yang terjadi?" tanyanya kepada Umang.
"Ia hendak membokongmu dari belakang."
"Dalam keadaannya yang begitu lemah?"
Umang si Pendekar Tangan Tunggal hanya
mengangguk. "Memang benar! Sekuat apa pun suatu kejahatan, akhirnya pasti tumbang juga,"
ujar Jaka Sembung
sambil meninggalkan tempat itu. Karta dan Umang
mengiringinya dari belakang. Mereka menuju ke bagian lain, di mana anggota
Kembar Tiga Melati sedang
terbujur. Unui, Neneng dan Nuna sama sekali tak
mampu bangkit akibat luka dalam yang terlalu parah.
Mirah dan Sri Ayuningrum terlihat di situ sedang merawat mereka.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Jaka
Sembung dengan rasa duka.
"Parah, Kang!" jawab Sri Ayuningrum. Di wajahnya terbayang kesedihan. Ketiga
pendekar itu berlutut di samping mereka dengan kepala tertunduk. Tak
ada seorang pun di antara mereka yang dapat menyembunyikan rasa duka yang
menyelinap di hatinya
masing-masing. "Unui, Neneng dan Nuna, tabahkan hati kalian!
Pasrahkanlah kepada Tuhan karena setiap yang hidup
pada suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga,"
ujar Jaka Sembung dengan penuh rasa haru. "Kalian
bertiga sudah banyak berbuat untuk membela kebenaran dan menentang penjajahan
dan itu akan abadi selamanya di hati rakyat dan terukir dalam sejarah perjuangan
bangsa." tambah Jaka Sembung sambil mencium dahi ketiga gadis itu.
Ketika itu, Unui, Neneng dan Nuna serentak
perlahan-lahan memandang Jaka Sembung.
Baureksa, Karta, Umang, Mirah dan Ayuningrum bergiliran, kemudian Unui berkata
dengan suara serak: "Kami bertiga adalah saudara kembar, satu
nyawa dalam tiga jasad. Mati dan hidup kami pun bersama-sama. Aku yang mewakili
saudara-saudaraku
hanya mengharap, teruskanlah perjuangan ini sampai
pada suatu saat kelak tanah air dan bangsa kita bebas
dari penderitaan, kemiskinan dan ketakutan."
Sampai di situ Unui terdiam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian
menyambung katakatanya, "Maafkan kami bertiga mendahului kalian,
meskipun keinginan kami masih terus menyala untuk
menyertai perjuangan ini...."
Sampai di situ, Unui menutup matanya perlahan, disusul oleh Neneng dan Nuna
seakan-akan mereka memang satu nyawa tiga jasad.
Semua yang hadir di tempat itu saling berpandangan. Mirah dan Sri Ayuningrum
yang sejak tadi
menahan kesedihan, kini menangis. "Kak! Sampai hati
kalian meninggalkan kami," ujar Ayuningrum sambil
memeluk tubuh Unui dan Neneng, sementara Mirah
merangkul Nuna ketat-ketat, seakan-akan tak hendak
dilepaskan. Ketika semua pendekar pengikut Jaka Sembung berkumpul melepaskan kepergian
Kembar Tiga Melati, belasan pengikut Ki Subekti dengan diam-diam
naik ke kapal melalui bagian haluan kapal yang sudah
merunduk ke dasar laut.
Ki Subekti pendekar setan yang seakan-akan
memiliki nyawa cadangan segera mengatur orangorangnya untuk menyerang Jaka
Sembung dan kawan-kawannya. Ia masih dapat bergerak, sekalipun lukanya begitu
parah. Jaka Sembung yang sama sekali tidak menyangka persengketaan dengan Ki Subekti
masih ada buntutnya, segera berunding dengan kawankawannya, terutama mengenai jenazah Kembar Tiga
Melati. Sebagian mereka menghendaki jenazah-jenazah
itu dikuburkan di darat, tetapi timbul masalah bagaimana caranya membawa karena
kapal mereka tidak
lama lagi akan tenggelam. Lagi pula mereka berada di
tengah-tengah lautan yang sama sekali tidak terlihat
pantai. Sementara sebagian lainnya menghendaki penguburan di laut saja karena menahan
mayat terlalu lama bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirnya tak
ada pilihan lain, jenazah Kembar Tiga Melati harus segera dikuburkan di laut.
Rupanya nasib mereka memang harus berkubur di lautan.
Dengan apa yang mereka miliki, jenazah Kembar Tiga Melati dikuburkan di laut
secara sederhana,
diiringi doa dan air mata perjuangan.
"Sekarang masalah sudah selesai," kata Jaka
Sembung mengalih ke acara lain. "Yang harus kita pikirkan bagaimana caranya kita
meninggalkan kapal ini
secepat mungkin sebelum tenggelam."
"Benar!" Baureksa menyokong.
"Dengan apa?" tanya Mirah singkat.
Semua berpandang-pandangan. Kemudian semua diam, termasuk Umang. Jaka Sembung
sendiri kaget dan menyesali gagasannya yang tidak memikirkan jalan keluar.
"Kau benar, Mirah!" ujar Jaka Sembung tersenyum, "Ku cabut gagasan ku itu."
"Jadi?" tanya beberapa pendekar lain serentak.
Belum lagi sempat memikirkan jawaban pendekar-pendekar itu, Jaka Sembung dan
kawankawannya mendadak kaget. Tidak jauh dari kelompok
mereka, terlihat Ki Subekti sedang menuju ke arah
mereka. "Aku datang untuk menagih piutang saudara
kembar ku yang ada padamu, Jaka Sembung," kata Ki
Subekti dengan penuh dendam.
"Kau terlalu membesar-besarkan masalah yang
seharusnya sudah dilupakan, Ki! Aku tidak keberatan
kau menuntut balas atas kematiannya, tetapi yang aku
tidak senang kau selalu berusaha menegakkan yang
bathil dan menyebarkan maut pada bangsa mu sendiri." Jaka Sembung tegak dengan
mantap di tempatnya
seperti siap menerima akibat dari kata-kata yang diucapkannya itu.
Sejenak Ki Subekti tertegun seakan-akan hatinya tergugah untuk mengurungkan
niatnya, tetapi
mendadak ia menjadi beringasan dan langsung menyerang Jaka Sembung dengan suatu
jurus aneh sehingga
sempat Jaka Sembung dibuat gelagapan sejenak. Tetapi, akhirnya ia berhasil
menangkis semua serangan
tersebut. Pengikut Jaka Sembung yang selalu menganggap Ki Subekti sebagai pendekar setan
yang sangat berbahaya, segera menyerang Ki Subekti serempak.
Mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan pertempuran
yang bakal berkepanjangan itu. Tetapi maksud pendekar-pendekar tersebut tidak
menjadi kenyataan karena
tiba-tiba semua penyerang itu terpelanting. Mereka
merasa seperti terdorong oleh sesuatu kekuatan yang
tidak terlihat. Sementara itu dari beberapa jurusan keluar belasan pengikut Ki
Subekti. Mereka pun mencoba menyerang Jaka Sembung dan para pendekar
pengikutnya. Perkelahian sengit pun segera berkecamuk.
Ki Subekti yang sudah tua ditambah dengan
tangannya yang sudah buntung serta luka-luka di badannya, terus-menerus mencerca
Jaka Sembung. Dendam di hatinya semakin berkobar ketika tiap serangannya tidak berhasil
merubuhkan pendekar ulung
itu. "Ki Subekti!" seru Jaka Sembung sambil menekan goloknya tepat di leher pendekar
tua itu, "Seharusnya kau mencoba menyadari, Ki! Kau dan aku belum saling
mengenal, bagaimana bisa mendadak kita
saling ingin membunuh" Aku benar-benar tidak tega
membunuh orang seperti kau?"
Pendekar itu seperti tercenung. Seluruh sendi
badannya terasa lemas. la hampir-hampir tak mampu
mengangkat tangan dan kakinya lagi. Melihat perubahan yang tiba-tiba terjadi
pada diri pendekar tua itu,
Jaka Sembung berangsur-angsur mengangkat goloknya dari leher Ki Subekti, yang
jika ia mau setidaktidaknya dapat melukai tubuh yang sudah tidak berdaya itu.
Jaka Sembung dengan cepat melejit meninggalkan Ki Subekti yang semakin menunduk.
"Semoga pendekar tua itu mendapat petunjuk
dari Tuhan!" doa Jaka Sembung dengan hatinya yang
ikhlas. Pada waktu yang sama, Kaswita, Baureksa dan
Umang sedang dikerubuti anak buah Ki Subekti, sementara Mirah dan Sri Ayuningrum
bertarung ketat
menghadapi pendekar-pendekar yang tidak dapat dianggap enteng.
"Hei! Mengapa kau mati-matian membela pendekar setan itu?" kata Mirah sambil
meloncat lincah
mengelak serangan lawannya.
"Mengapa kau mencaci juragan kami yang saleh, ha?" tanya lawannya heran.
"Baik hati katamu" Kau tidak tahu apa yang
pernah terjadi di kapal ini. Ia pernah mencoba memperkosa dua orang temanku
baru-baru ini, itu namanya orang saleh?" Mirah terus mencoba menteror
mental musuhnya sambil bertempur.
"Bohong, Kau!" teriak lawannya tersinggung.
"Kau tidak percaya, tanyakan saja kepada majikanmu itu."
Bertempur sambil bicara, berlangsung terus
berjam-jam lamanya. Tetapi, ketika lawannya lengah,
dengan mendadak Mirah mengirimkan suatu pukulan
dahsyat sehingga lawannya sama sekali tidak berhasil
mengelak. Begitulah siasat tempur yang dilakukan Mirah.
"Benar juga ajaran Umang!" gumam Mirah
sambil tersenyum sendiri. "Beberapa orang musuh sudah berhasil kulenyapkan
dengan cara yang demikian."
Lain lagi dengan cara yang digunakan oleh Sri
Ayuningrum. Ia menghadapi lawannya dengan santai
sambil juga mengajak bicara.
"Hei, kelihatannya kau boleh juga," kata Sri
Ayuningrum ketika pukulannya berhasil dielak musuh.
"Kau kira aku apa?" tanya lawannya mulai
kembang hidungnya.
"Kukira kau semula cuma badut yang ingin berlatih silat, rupanya kau sama
cekatannya dengan Ki
Subekti." "Hei, kau ini ingin berantem denganku apa ingin ngobrol, Nona cerewet?" bentak
lawannya berpurapura, padahal ia senang dipuji.
"Kedua-duanya," jawab Sri Ayuningrum, "Tetapi
lebih baik kita berkencan saja daripada berantem, bagaimana?"
"Hei, kau sungguh-sungguh Nona?" tanya lawannya mulai mengendurkan serangannya.
"Mengapa tidak?" jawab Sri Ayuningrum purapura tersenyum.
Akhirnya semangat untuk berkelahi lawan perlahan-lahan lenyap. Pada waktu
semangat itu mengendur, Sri Ayuningrum melepaskan suatu serangan
yang mematikan.
Musuh itu pun terkapar tanpa ampun.
Tipu muslihat seperti itu dilakukan berturutturut oleh Sri Ayuningrum yang
memang cantik sehingga beberapa lawan menjadi korban tanpa perlawanan sama
sekali. "Kalian banyak bisanya," kata Umang yang sejak tadi mengintip dari jauh.
"Kakang gurunya, bukan?" kata Mirah dan Sri
Ayuningrum serentak sambil-tertawa terbahak-bahak.
Ketika ketiga pendekar pengikut Jaka Sembung
itu sedang tertawa sejadi-jadinya itu, tiba-tiba tanpa
disadari muncullah seorang laki-laki besar, tinggi dan
tegap dengan kumis lebat melintang di atas bibirnya.
Ia memakai celana pangsi berwarna hitam dengan dada telanjang penuh bulu.
"Kau siapa?" tanyanya kepada Umang setengah
membentak. "Aku seperti yang kau lihat!"
"Namamu siapa, kunyuk!" Orang itu marah seraya menghentakkan kakinya.
"Namaku si Lengan Tunggal! Apa kau tak lihat?"
Pendekar yang mirip-mirip raksasa itu tersenyum.
"Sekarang, pengikut Ki Subekti hanya aku yang
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersisa, yang lain telah kalian bunuh dengan mudah.
Kini giliranku membunuh kalian, semua mengerti?"
kata pendekar raksasa itu penuh dendam.
Umang menoleh ke arah Mirah dan Sri Ayuningrum dengan tersenyum.
"Mirah! Dia pikir kita sayuran yang memang
untuk dilalap," kata Umang dengan senyum mengejek.
"Hai! Kau mengejek aku Buntung!?"
"Kalau ya mengapa?"
"Celaka!" desis Mirah ke telinga Sri Ayuningrum, "Kembali kita punya tugas
khusus lagi untuk
membereskannya."
"Kurang ajar!" bentak pendekar raksasa itu,
sambil menyerang dengan tangan kosong. Umang segera berkelit dan secepat itu
pula ia mengirimkan sebuah tendangan kuat dengan kaki kanannya ke arah
dada dan mengenai dengan telak
"Buuk".
Tetapi, jangankan ia jatuh terjengkang ke belakang, goyah pun tidak. Malahan
pendekar itu tersenyum mengejek.
"Begitu kuatkah pukulanmu, Kawan?" tanya si
raksasa itu. Umang tidak menjawab. Hanya hatinya saja
yang berkata-kata, "Alangkah kuatnya orang ini!"
"Kukira pukulanmu tadi bisa merontokkan tulang-belulangku, tetapi rupanya
kekuatanmu hanya
cukup untuk menepuk nyamuk!" lanjut pendekar itu
dengan nada menghina.
"Hai, Kunyuk! Kau manusia sombong, yang
bernyali kecil," bentak Mirah memancing kemarahan
pendekar itu, "Kalau kau berani melawan aku, aku
akan sujud di telapak kakimu hai pendekar dungu!"
Mendengar caci maki dan serapah Mirah, pendekar raksasa itu sangat tersinggung
sehingga tanpa banyak perhitungan ia melompat ke atas kemudian
berjumpalitan dan mendarat di depan Mirah. Tetapi,
sebelum kakinya menginjak tanah, Mirah segera
menggenjot badannya ke atas sambil menusukkan dua
jari tangannya ke mata pendekar raksasa itu. Ketika
itu juga terdengar suatu pekik kesakitan se-sehingga
badannya terjatuh duduk di lantai kapal. Kedua belah
tangannya menutup muka seraya meraung-raung.
"Nah, sekarang aku telah membuat matamu
buta," kata Mirah yang berdiri di depannya, "Apakah
aku harus sekaligus membunuhmu sebagai seekor
nyamuk, ha!?"
Pendekar bertubuh raksasa itu masih meraung.
"Jawab! Sebelum aku penasaran," gertak Mirah
berpura-pura sambil melihat ke arah Umang dan Sri
Ayuningrum. Umang menggeleng-geleng kepala.
"Lindungi aku Nona! Aku bukan orang yang
penting lagi di mata kalian," jawab pendekar itu dengan nada sedih.
"Biarkan dia hidup, Mira!" bisik Sri Ayuningrum
dengan rasa kasihan, "Ia tidak akan dapat mendatangkan kesulitan bagi kita
lagi." Ketika itu datang Kaswita dengan beliung di
tangan dan hampir-hampir saja membolongi bagian
punggung pendekar malang itu dengan beliungnya
yang sudah banyak memakan korban. Tetapi Sri Ayuningrum kembali menyelamatkannya
untuk kedua ka-
linya. Belum lama peristiwa itu terjadi, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh bunyi
berderak-derak disertai
goncangan-goncangan keras sehingga hampir saja mereka terpelanting.
"Mungkin kapal ini mulai tenggelam," Sri Ayuningrum menduga-duga. Dugaan itu
segera terbukti.
Lantai kapal tempat mereka berpijak semakin turun
sedangkan air semakin terasa naik.
"Kaswita! Kau tahu aku tidak dapat berenang."
kata Ayu Ningrum.
"Jangan khawatir, Kak! Aku tidak akan membiarkan mu sendiri!"
Sementara itu, terdengar pula bunyi berderakderak yang lebih kuat. Ketika itu
kapal semakin tenggelam. Suatu ledakan terdengar dan kapal besar itu
pun pecah berantakan. Belahan-belahan papan terapung berserakan di permukaan
air. Kaswita dengan kepandaian berenangnya berusaha menyelamatkan kakaknya Sri
Ayuningrum dari
serangan ombak. Belum begitu jauh mereka terbawa
arus, tiba-tiba dekat mereka hanyut sekeping bekas
dinding kapal yang cukup besar. Kaswita menggapainya dengan cepat, kemudian
dengan susah payah
mengangkat Sri Ayuningrum ke atas.
"Alhamdulillah!" ucap gadis itu dengan rasa penuh syukur.
Ketika itu, matahari perlahan-lahan tenggelam
di kaki langit sebelah Barat, namun cahaya samarsamar masih juga mewarnai
permukaan laut. Sepanjang malam itu Kaswita dan Sri Ayuningrum terombang-ambing
dibawa ombak. Mereka tidak hentihentinya memperhatikan benda-benda yang hanyut
di sekitar mereka harapan kalau-kalau ada teman-teman
yang memerlukan pertolongan. Tetapi, sebegitu jauh,
mereka tidak menemukan apa-apa kecuali serpihserpih papan yang tidak berarti.
Sementara itu rasa lapar dan haus semakin menggoda. Sekali-sekali, Sri
Ayuningrum teringat kepada Baureksa dan Umang,
kepada Unui, Neneng dan Nuna. Ia pun sangat terkesan kepada kebaikan dan
keramahan Mirah.
Sekarang semua berantakan. Berpisah satu
sama lain entah ke mana dan mungkin tidak akan bertemu lagi. Sri juga teringat
kepada kakaknya Jaka
Sembung yang baru bertemu kemudian berpisah lagi.
Mengenang semua itu tanpa disadarinya hatinya terseret kesedihan dan air matanya
berlinang menyatu dengan air laut yang sama asinnya.
Suasana laut malam itu seperti kolam, tenang
dan ramah. Sementara langit tampak biru bening. Di
sana-sini terlihat bintang bertaburan berkelip-kelip di
kejauhan. Bulan semakin lama semakin benderang
dan angin laut berembus tenang seramah ombak dan
gelombang, seakan-akan menaruh kasihan kepada dua
orang manusia yang sedang terkatung-katung itu.
Akhirnya, karena keletihan dan kesedihan Sri
Ayuningrum dan adiknya Kaswita tertidur pulas di
atas kepingan kapal itu tak tahu lagi apa yang terjadi.
*** Suasana pagi itu sangat cerah. Angin laut berhembus tenang. Matahari menyinari
pantai berpasir
putih itu, dan dari jauh tampak berbinar-binar.
Burung camar kelihatan terbang mengepakngepak sayap. Sebentar-sebentar menukik
rendah ke permukaan air dan menyambar secepat kilat sambil
membubung kembali dengan ikan tangkapan di kakinya.
Dua sosok tubuh yang tergeletak di pantai itu
tampak masih terbaring. Kedua tubuh yang letih dan
tidak berdaya itu, tidak lain dari Sri Ayuningrum dan
Kaswita. Cahaya matahari pagi yang lembut memberikan
kehangatan kepada kedua pendekar muda itu. Tibatiba terlihat Sri Ayuningrum
menggeliat dan kemudian
membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tetapi, secepat itu pula ia terpejam
kembali karena silau.
Ketika badannya membalik ke kanan, ia melihat Kaswita tertelungkup di pasir.
"Mengapa ia tidur di
pasir?" tanyanya dalam hati. Tetapi kemudian segera ia
merasa dirinya pun sama.
Sri Ayuningrum perlahan-lahan bangun. Ia duduk di pantai dan menjilat ujung
kakinya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan beberapa langkah ke tempat Kaswita yang
masih terbaring.
"Kaswita! Kaswita! Bangun!" serunya sambil
menggoyang-goyang bahu adiknya. Kaswita kaget dan
serentak duduk.
"Di mana kita berada sekarang, Kak?"
"Tuh!" Sri Ayuningrum menunjuk ke laut.
"Wah, rupanya kita terdampar di sini dibawa
gelombang."
"Ya, hanya karena lindungan-Nya kita bisa selamat," ujar Sri dengan mata
berkaca-kaca. Kaswita
menunduk kepala membenarkan ucapan kakaknya.
"Yang lain di mana, Kak?"
"Aku tak tahu!"
"Bagaimana kalau kita mencoba menyusuri
pantai ini?" usul Kaswita dengan harapan dapat menemui kawan-kawannya yang lain
senasib. Sri Ayuningrum mengerti maksud adiknya.
"Aku setuju!"
Kaswita segera membenahi dirinya dan memungut senjata beliungnya yang tak pernah
tinggal. "Mudah-mudahan, Kak, kita bertemu dengan
kawan-kawan yang lain."
"Harapanku pun begitu, terutama dengan Kang
Parmin." Sambil berbicara mereka terus menyusuri pantai putih yang berkilau-kilau terkena
sinar matahari.
Baru kira-kira 100 meter mereka meninggalkan tempat
mereka terdampar, tiba-tiba mereka melihat kepingan
dinding kapal yang pernah mereka gunakan untuk
menyelamatkan diri.
"Benar, Kak! Memang itu papan yang telah
membantu kita sampai selamat," lapor Kaswita kepada
kakaknya setelah papan itu diseret ke darat.
"Kalau begitu, bukan tidak mungkin kawankawan yang lain pun terdampar di sekitar
pantai ini,"
kata Sri Ayuningrum mereka-reka.
"Mengapa begitu, Kak?"
"Pasti ada angin kencang yang berhembus dari
satu arah sehingga sampah-sampah laut datang ke sini," kata Sri sambil menunjuk
dengan ujung kakinya
pada seonggok sampah kapal yang mendarat pula.
"Termasuk kita?" kata Kaswita.
"Ya!"
Kemudian mereka meneruskan perjalanan itu
di sepanjang pantai.
TAMAT Pembaca yang setia,
Bagaimana nasib Jaka Sembung" Bagaimana
nasib Unang dan Mirah" Bagaimana nasib si Gila Dari
Muara Bondet"
Bagaimana pula nasib Baureksa" Tunggulah
episode-episode berikutnya, mulai dari episode berjudul:
Terdampar Di Pulau Hitam
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Si Pemanah Gadis 4 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Lencana Pembunuh Naga 11
"Sesosok tubuh tak bernyawa," desisnya pelan
sambil membalikkan mayat yang tertelungkup itu.
"Wah, dia pasti juru mudi kapal ini!" serunya
dalam hati. "Siapa yang membunuhnya?" Kemudian
Kaswita meninggalkan tempat itu, tetapi sebelum beranjak ia dihadang oleh
seorang berkaki buntung.
"Orang ini seperti pernah kulihat di gedung Karesidenan turut bertempur melawan
serdadu Kumpeni Belanda, kok sekarang ada di kapal ini?" tanya hatinya.
"Selamat bertemu lagi, kawan!" ucapnya dengan
penuh ramah sambil mendekati Kaswita, "Kau masih
ingat aku?"
"Siapa ya?"
"Aku, teman seperjuangan Jaka Sembung," jawab orang itu dengan mengulurkan
tangan. Kaswita
menyambut uluran tangan teman seperjuangan kakaknya itu.
"Aku tahu, anak muda! Kau pendekar hebat,
gagah dan tampan," puji orang yang baru diketemukan
itu, "Persis seperti pendekar agung Jaka Sembung,"
tambahnya. "Kau berlebih-lebihan menilai ku," ujar Kaswita
tersenyum. Ia memang seorang pemuda yang rendah
hati. "Sudahlah! Yang penting aku ingin tahu kau ini
siapa?" tanya pendekar buntung itu tetap ramah.
"Apakah itu penting bagi Anda?"
"Kau keberatan asal-usulmu kuketahui?" orang
itu balas bertanya.
"Tidak!" jawab pendekar muda itu, "Aku Kaswita, adik kandung kakak perempuan
bernama Sri Ayuningrum."
"Aku sudah bertemu dengannya," kata pendekar buntung itu.
"Sekarang giliranku ingin tahu siapa kau dan
untuk apa kau berada di kapal Belanda ini,?"
"Aku?"
"Ya, siapa lagi!" ketus Kaswita dengan senyum.
"Aku Baureksa! Kawan-kawan memanggilku
pendekar si Kaki Tunggal. Tujuanku ke kapal ini sama
dengan kalian yaitu untuk membebaskan kakak kalian
pendekar agung Jaka Sembung, jelas?"
"Terima kasih, Akang Baureksa!"
"Nah! Sekarang kita tidak boleh membuangbuang waktu," kata Baureksa tanpa ragu,
"Mari kita
menggeledah seluruh ruangan di kapal ini sampai ke
geledak bawah."
"Mari!"
Sebentar itu juga, kedua pendekar yang baru
saling kenal menghilang dengan suatu rencana. Sementara itu, pendekar Kembar
Tiga Melati terus bekerja keras membereskan mayat-mayat serdadu dan kelasi
Belanda. "Hampir selesai tugas kita, Kak Unui!" Neneng
memberi laporan.
"Berapa semuanya?" Unui ingin tahu.
"Tiga puluh lima orang kelasi yang sudah ku
ceburkan ke laut," jawab Neneng.
"Yang belum?"
"Hanya beberapa orang lagi!"
"Segera campakkan ke laut!" perintah Unui tegas.
"Hei, tunggu dulu! Aku dan kawan Mirah ini ju-
ga telah menyelesaikan tiga belas orang serdadu," lapor
Nuna sambil menggapai tangan Mirah dengan riang.
"Itu belum seberapa," tukas Unui ketus, "Kapal
sebesar ini paling tidak membawa muatan 100 orang.
Yang sudah berhasil kita binasakan baru 48 lebih. Jadi masih separuhnya yang
harus cepat-cepat kita lumpuhkan," jelas Unui memperhitungkan dengan rinci.
"Rencanamu memang sangat jitu, Kak Unui!"
puji Nuna. "Kalau diingat," kata Neneng, "Malam ini kita
berperan menjadi gula-gula maut para hidung belang
Belanda tengik itu!"
"Ssst! Anut-amit jabang bayi," ucap gadis lain
serentak. "Ya, apa yang sudah kita lakukan malam ini
adalah suatu pengorbanan demi Jaka Sembung dan
perjuangan kita..." kata Unui sambil menatap Mirah
dengan rasa penuh persahabatan.
Sementara kesibukan para pendekar berjalan
terus di kapal Belanda itu, jauh di kaki langit sebelah
Barat, sebuah perahu kecil sedang berlayar di laut Arafuru. Dari jauh kelihatan
seperti sabut yang sedang dipermainkan ombak.
"Ya, Tuhan! Berhari-hari aku mengarungi lautan luas ini, tetapi sampai sekarang
aku belum berhasil apa-apa," terdengar keluhan resah pemilik perahu
itu. Tetapi keluhan seperti itu sama sekali tidak berguna karena begitu lepas,
begitu dilahap angin laut tanpa
bekas. "Apakah kapal yang membawa Jaka Sembung
itu melalui wilayah laut ini" Atau memang aku yang
kesasar karena tidak punya pengetahuan untuk berlayar di laut?"
Tetapi, kelihatannya perahu kecil itu terus
mengarungi lautan dengan tabah dan berani. Tiba-tiba
orang yang ada di dalam perahu itu melihat beberapa
benda aneh hanyut terapung-apung dilemparlemparkan ombak.
"Heh! Ini mayat-mayat orang Belanda rupanya. Apakah kapal mereka pecah dihantam badai
laut Arafuru dan kelasi-kelasinya terbawa arus ke mana-mana" Apa yang terjadi
dengan kapal itu" Dibajak
orang kemudian anak buahnya dibunuh oleh bajak
laut itu satu persatu?"
Banyak sekali pertanyaan yang keluar dari
orang yang ada dalam perahu kecil itu. Ia membuat
rekaan tentang apa yang ia lihat dan ia pikirkan sendiri yang belum tentu
kebenarannya. "Kalau benar dugaanku kapal Belanda itu dibajak oleh orang-orang Bugis atau
Ternate, tentu Jaka
Sembung yang kaki tangan dirantai oleh Belanda turut
dibunuh oleh bajak laut itu dan dibuang ke laut seperti mayat-mayat" Belanda
ini," kata orang itu dengan
tersenyum "Dan aku tidak perlu turun tangan lagi!"
Siapa sebenarnya orang tua yang berada di perahu kecil itu" Apa tujuannya
berlayar sendirian seperti itu serta apa hubungannya dengan pendekar Jaka
Sembung" Belum ada yang tahu.
*** Keadaan sepi di kapal Belanda semakin terasa.
Semua kelasi tak kelihatan lagi di atas geladak. Mereka
ada yang sudah masuk ke kamarnya masing-masing
untuk istirahat karena kelelahan akibat pesta dan bukan sedikit pula yang sudah
mati akibat tipu daya
pendekar Kembar Tiga Melati, belum terhitung pembunuhan gelap yang dilakukan
oleh para pendekar simpatisan Jaka Sembung yang lain.
Angin kasar yang tadinya mengamuk serta gelombang besar yang menghambat
pelayaran di laut
sudah mereda. Sementara itu, di kaki langit sebelah
Timur, cahaya kemerah-merahan mulai mengintip di
balik awan. Pembesar-pembesar kapal dan stafnya malam itu tidak begitu terlibat
dalam pesta minumminum menunggu badai reda. Sebelum menjelang sepertiga malam
mereka sudah masuk ke kamar untuk
istirahat. Para kelasi dan serdadu-serdadulah yang
bermabuk-mabukan sepanjang malam.
"Heh! Rasanya badai sudah reda," gumam Kapten kapal ketika mendusin dari
tidurnya. Perlahanlahan ia duduk-duduk di tempat tidurnya sambil tangannya
meraba gagang pestol yang terletak di meja kecil di sebelah kanannya. Agaknya ia
merasakan firasat
buruk. "Tentu ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi di kapal ini," katanya sambil
membuka laci mejanya dan mengambil peluru.
Ketika Kapten itu membuka pintu, seorang
anggota keamanan kapal sedang berada di depan pintunya.
"Gooden morgen, Kapten!"
"Ada apa?" tanya Kapten tanpa menjawab "Selamat pagi" yang diucapkan oleh anak
buahnya itu. "Ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi,
Kapten!" "Apa maksudmu?"
"Kami tidak tahu, Kapten! Saya tak melihat seorang pun!"
"Jadi, apa kerjamu sebagai petugas keamanan
kapal?" Petugas itu diam, tidak menjawab. Kepalanya
menunduk ke bawah.
"Godverdomme! Kalian semua harus dipecat,
mengerti?" Kapten kapal menjadi marah. Daun pintu
kamarnya dibanting keras-keras sambil meninggalkan
anggota keamanan kapal dalam keadaan termangu.
Tetapi serdadu Kumpeni Belanda itu sadar bahwa dirinya petugas keamanan. Ia
cepat menyusul Kapten
yang hendak mengetahui apa yang telah terjadi di kapal.
"Apakah peristiwa ini ada hubungannya dengan
tawanan Jaka Sembung?" tanyanya dalam hati. Sementara itu, beberapa perwira
kapal terlihat sibuk.
Kapten kapal dengan diiringi beberapa petugas
keamanan bersenjata, segera melakukan pemeriksaan.
"Hei, mengapa begini sepi" Lampu-lampu kapal
padam semua?" tanya Kapten semakin heran. "Mana
kelasi-kelasi semua" Apa mereka masih tidur?"
Tetapi, semua pertanyaan itu tidak ada yang
dapat menjawab.
Hanya suara deburan ombak laut Arafuru yang
terdengar dibawa angin laut sepoi-sepoi pagi.
Kapten kapal menjadi bingung. Ia berdiri dengan termangu. Kepalanya sarat dengan
pertanyaanpertanyaan yang tidak terjawab. Tiba-tiba suatu teriakan terdengar di
dekat Kapten itu berada, tetapi sebelum sempat ia bertanya, sebuah pedang telah
melayang ke arahnya dengan cepat, tetapi nasibnya masih baik. Ia berhasil
mengelakkan sabetan pedang tajam itu.
Melihat serangannya gagal, si penyerang penasaran. Ia segera mengulang dengan
serangan kedua.
Tetapi, ketika si penyerang itu hendak menusukkan
pedangnya ke tubuh Kapten yang sedang merunduk
pasrah, tiba-tiba si penyerang merasakan sesuatu yang
aneh pada dirinya sehingga ia tidak mampu melanjutkan serangan itu.
"Oh, celaka! Ada seseorang yang menotok jalan
darahku dari jauh," gumam si penyerang pada dirinya.
Sementara Kapten yang melihat si penyerang urung
melangsungkan penyerangan yang membahayakan dirinya itu, ia tercengang sejenak.
"Oh, mijn God! Siapa wanita secantik itu, yang
masih kasihan melihat aku mati?" tanya Kapten kapal
tersebut pada dirinya.
"Siapa kau Nona cantik?" Kapten itu mendekati
si penyerang yang tidak lain dari seorang wanita. Belanda itu kehilangan rasa
takutnya dan mencoba mengelus dan meraba dada penyerangnya.
"Celaka! Tangannya meraba dadaku!" kutuk
wanita cantik itu dalam hatinya. Ketika itu kebetulan
seorang pendekar lain mengintip kejadian itu dari jarak dekat.
"Hei, apa yang telah terjadi?" gumam pendekar
tersebut pada dirinya, "Mengapa pendekar itu urung
berbuat sesuatu terhadap Kapten kapal itu" Pasti ada
sesuatu yang tidak beres!" Begitu selesai ia berkata,
pendekar muda itu segera melompat menyerang si
Kapten, tetapi ia juga tiba-tiba merasa jalan darahnya
terkena totokan gelap seperti yang dialami pendekar
wanita tersebut.
Kapten itu lagi-lagi kebingungan. Dua orang
penyerang yang hendak membunuhnya tiba-tiba mengurungkan maksudnya.
Pada saat yang sama, Pendekar Kaki Tunggal
dan Kaswita sedang berada di geladak kapal yang paling bawah.
"Lihat Kang! Itu ada kamar dengan pintunya
berlapis besi, mungkin di kamar itu Belanda menyekap
Jaka Sembung," ujar Kaswita menduga-duga sambil
bergerak cepat ke tempat itu.
"Tunggu aku Kas! Biar sama-sama kita mendobraknya," seru Baureksa yang langsung
memburu. Ke- dua pendekar itu segera sampai di tempat yang dituju.
Sebentar berhenti, kemudian kedua pendekar tersebut
mundur ke belakang mengambil ancang-ancang dan
dengan tenaga gabungan mereka mendobrak pintu
berlapis besi tersebut. Tetapi, sebelum kekuatan gabungan itu menghantam pintu,
kedua pendekar unggulan itu pun mengalami totokan jalan darah yang dilakukan
seseorang dari jarak jauh.
Dengan mendengus, pendekar Kaki Tunggal
menoleh ke suatu arah. Sesosok tubuh berdiri dengan
tegar dan tenang.
"Mengapa Anda berpihak kepada penjajah?"
tanya Baureksa.
"Hanya satu kebetulan," jawab orang itu dingin,
"Tetapi aku punya alasan tersendiri."
"Alasan tersendiri?" Baureksa sejenak heran,
"Boleh aku tahu alasannya?"
"Sebenarnya, aku tidak punya alasan khusus
dengan kalian," jawab Orang itu dengan tenang. "Tetapi ada orang-orang yang
punya sangkutan dengan aku
yang berada di kapal ini termasuk Jaka Sembung,
mengerti?" Kemudian orang yang berdarah dingin itu
membalik badannya sambil meninggalkan tempat tersebut ia berkata dengan nada
datar, "Tenanglah kalian
berdiri di tempat ini, aku masih banyak urusan yang
harus kuselesaikan!" Baureksa dan Kaswita sama sekali tidak dapat bergerak.
Sementara itu, di anjungan kapal bagian buritan terjadi kesibukan yang luar
biasa. Pendekar Kembar Tiga Melati dan Mirah sedang bekerja keras dan
tergesa-gesa. "Kalian, Neneng dan Nuna bertugas mengembangkan layar kapal. Rekan Mirah
mengangkat jangkar dan aku akan membelokkan kemudi kapal, bagaimana setuju?"
tanya Unai sambil membagi tugas.
si. "Setuju!" terdengar suara setuju secara aklama-
"Mulai! Kita kembali ke Bandar Cirebon!"
Dalam waktu relatif singkat, semua tugas-tugas
yang diberikan oleh Unui kepada Neneng, Nunda dan
Mirah berjalan lancar.
"Sungguh tidak kusangka kalian bertiga adalah
gadis-gadis cekatan. Rencana semula yang kuduga begitu sukar, ternyata mudah
sekali," kata Unui sambil
berdiri memegang kemudi.
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi," tiba-tiba terdengar suara yang sangat
berwibawa, tidak jauh dari tempat mereka berada,
"Jangan harap kalian bisa memboyong Jaka Sembung
kembali, Nona-nona manis!"
"Siapa kau?" teriak Unui dengan jengkel. Tetapi
sebelum Unui sempat menyerang laki-laki itu, Mirah
yang pendiam tetapi berani segera melompat menyerang sendirian.
Dengan satu pentilan jari dari jarak jauh, tubuh Mirah kelojotan, menjadi kejang
berdiri tak mampu bergerak seperti patung.
"Tenang-tenang di sini Nona manis!" ujar orang
itu setengah mengejek.
"Kurang ajar!" teriak Mirah.
Sementara itu Unui yang berada di kamar kemudi mulai melaksanakan tugasnya,
"Mudahmudahan aku bisa," ujarnya dalam hati.
"Hooo! Siap berlayar!"
Ketika kapal mulai membelok kembali ke arah
Barat, semua layar telah terpasang dengan rapi. Kapal
pun bergerak ditiup angin dari arah Timur.
"Horee! Horee! "
Sementara kapal bertolak dengan lancar, Nuna
berkata kepada kakaknya, "Kak Neneng! Sekarang semua sudah beres, bagaimana
kalau kita turun ke ba-
wah bergabung dengan kawan-kawan yang lain" Mereka pasti sudah berhasil
membebaskan Jaka Sembung."
"Belum tentu Nuna! Prosesnya tidak semudah
itu! Tetapi, kalau kau mau ke bawah pergilah dahulu,
nanti aku menyusul." kata Neneng tanpa bergerak di
samping Unui yang sedang memegang kemudi.
Nuna segera turun ke bawah. Hatinya gembira
karena tugas yang mereka duga semula begitu berat,
ternyata mudah dan lancar. Sebuah kapal yang begitu
besar, berhasil dirampas dari Belanda tanpa banyak
mengeluarkan keringat. Begitulah kira-kira jalan pikiran Nuna ketika itu. Gadis
itu kelihatannya mabuk
kemenangan. Tetapi ketika ia tiba di lantai bawah dari anjungan, Nuna sangat terperanjat
melihat seorang opsir
kapal menghadangnya dengan pedang di tangan.
"Dia mungkin Kapten kapal ini," gumamnya
menduga. "Godverdoome!" kutuk Belanda itu dengan nada
marah, "Rupanya kalian inlanders ekstremis yang
menteror anak-anak kapal ini, ha?" kata Kapten kapal
itu sambil mengancam dengan pedangnya.
"Hei, Gecel! Menghadapi kakek bule seperti
kau, cukup dengan tangan kosong," sesumbar Nuna.
Tetapi, apa yang diucapkan itu, memang dibuktikan.
Begitu orang Belanda itu mengayunkan pedangnya,
Nuna segera melejit ke atas sehingga pedang Kapten
kapal itu menetak angin. Melihat kegagalannya menyerang gadis cantik tambah pula
dengan sikap gadis itu
yang selalu mengejek, hati orang Belanda tersebut semakin mendidih. Tiba-tiba
dengan membabi buta, ia
mengayunkan pedangnya untuk kedua kali sambil berteriak keras, "Mampus kowe
orang!" Tetapi apa yang terjadi" Nuna hanya berkelit
ringan, kemudian membalik badannya dengan cepat,
"Ini dengkul untukmu" sambil memasukkan dengkulnya ke bagian perut orang Belanda
tua itu, yang tepat
mengenai ulu hatinya. Kapten kapal tersebut jatuh
perlahan-lahan ke belakang kesakitan dan pedangnya
terpental jauh.
Ketika itu Nuna segera meloncat mengirimkan
suatu depakan maut ke muka Belanda tua itu. Tetapi
Nuna tiba-tiba merasakan suatu sentakan kuat yang
menyebabkan ia jatuh kejang.
Perlahan-lahan Nuna berbalik ke belakang ingin tahu siapa yang berbuat usil
terhadap dirinya.
"Hei, bajingan tengik, mengapa kau membela penjajah
Belanda?" Pendekar gelap tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan penuh ejekan. Ketika
itu si Kapten yang melihat kejadian tersebut merasa kagum dan berterima kasih karena jika
orang yang berdiri di depannya itu tidak ada, mungkin ia telah mati di tempat
itu. "Tuan ku yang sudah beberapa kali menyelamatkan aku?"
"Ya, mengapa?" jawab orang itu singkat.
"Tuan siapa, kalau boleh Ik tahu?"
"Namaku tidak penting!"
"Tuan telah beberapa kali menolongku dari serangan ekstrimis gelap. Kurasa Tuan
berdiri di pihak
pemerintah kerajaan Belanda!?"
"Ah, itu hanya suatu kebetulan aku berada di
pihak yang menguntungkan Tuan," jawab orang itu
dengan tenang. "Oh, sendi-sendi ku seperti mau copot," keluh
Nuna dalam hati sambil menahan sakit. Sementara
itu, pendekar yang membela Belanda dan menjatuhkan Nuna berjalan beberapa
langkah menuju pagar
dek sambil mengulurkan kepalanya ke bawah berkata,
"Lihatlah perahu kecil itu! Dengan perahu itulah aku
mengarungi laut Arafuru yang ganas ini." Kata-kata itu
mengambang begitu saja tak tahu kepada siapa dituju.
"Untuk apa Tuan datang ke kapal ini?" tanya
Kapten kapal memberanikan diri.
"Tentu aku punya alasan tersendiri Tuan!" jawab orang itu dengan tenang,
"Tetapi, sayang, kedatanganku terlambat sehingga anak buah Tuan dan
serdadu-serdadu
Kumpeni Belanda sudah banyak
yang menjadi korban."
Kapten yang sudah berusia lanjut itu menundukkan kepala dan merasa menyesal
mengapa harus membawa Jaka Sembung dengan kapalnya.
Matahari semakin lama semakin condong di
kaki langit di sebelah Barat. Sebentar kemudian tirai
malam mulai turun dan keadaan di kapal semakin penuh tanda tanya, apa yang akan
terjadi" Orang yang telah berhasil melumpuhkan beberapa pendekar yang hendak membebaskan
Jaka Sembung, mulai menunjukkan sikap berkuasa di kapal itu.
Kesombongan dan keangkuhannya semakin terlihat
seakan-akan ia sanggup menumpas ekstremisekstremis.
Ia kelihatan mondar-mandir di antara Kapten
Belanda dan Nuna yang telah tidak berdaya sambil sekali-sekali berdiri di depan
si bule itu. "Berminggu-minggu aku mencari jejak kapal
Tuan, tetapi baru sekarang aku berhasil menemukannya di laut Arafuru ini," kata
pendekar misterius itu.
"Apa kepentingan Tuan dengan kapal ini?"
tanya Kapten kapal itu mulai kesal dengan sikapnya
yang serba tidak tegas.
"Nanti juga Tuan akan tahu" jawabnya singkat.
Sementara itu, Neneng turun dari anjungan
menyusul Nuna. "Nuna! Nuna!" seru Neneng mulai khawatir.
Tiba-tiba Neneng kaget sekali ketika melihat
Kapten kapal terhenyak di dinding sebuah kamar, dan
tidak jauh di depannya Nuna seperti meringkuk tidak
berdaya. "Apa yang terjadi Nuna," tanya Neneng.
"Hati-hati orang itu, Kak Neneng!" ketus Nuna
sambil menunjuk ke arah pendekar aneh yang sedang
berdiri dengan tangan menyilang ke dada. Tanpa banyak bicara dan tidak disangka-
sangka, Neneng segera
menyerang orang itu dengan suatu jurus andalan, tetapi pendekar tak dikenal itu
dengan cepat mengelak
sambil mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh yang
dahsyat, yang hampir saja menghantam dada Neneng.
Untung pendekar wanita itu berhasil berkelit dengan
gesit sehingga pukulan yang berbahaya itu dapat dihindari. Ketika Neneng
mendarat di atas geladak, secepat kilat tangannya menyabet dengan golok ke arah
lawan. Tetapi manusia bayangan itu memang tangguh.
Serangan Neneng yang begitu berbahaya dapat diredamnya dengan mudah, sekaligus
menepak tangan Neneng dengan keras.
"Aduh! Tanganku seperti kesemutan," pekik
Neneng seraya mengurut-urut pergelangan tangannya
sendiri. Tetapi ketika melihat pendekar jahat itu hendak mendarat di geladak,
Neneng yang tak ingin menyia-nyiakan waktu, segera membokong dari sampingnya,
tetapi suatu tepakan keras dengan telapak tangan, golok Neneng pun terpental dan
jatuh di sisi Nuna.
"Diberi hati, kalian naik ke kepala," bentak
pendekar jahat itu dengan suara serak.
Nuna yang memang keras hati mencoba bangkit. Ia berdiri mendampingi kakaknya
yang sedang terancam.
"Ini senjatamu kak Neneng, kita harus lawan
manusia jahat ini!" seru Nuna tanpa merasakan lagi
sakit yang sedang dideritanya. Akhirnya terjadilah perkelahian sengit dua lawan
satu. Bagaimana hebatnya tenaga tua, sekurangkurangnya merasa kewalahan juga
menghadapi dua pendekar muda yang cekatan, gesit dan penuh semangat.
Perkelahian itu semakin seru dan merambat
sampai ke sebuah ruangan di bagian tengah kapal
yang terang benderang. Tiba-tiba Neneng dan Nuna
menjadi sangat terperanjat ketika melihat tampang
musuhnya adalah seorang pendekar yang pernah mereka kenal.
"Heeei, Kau... kau Ki Subeni?" teriak Neneng
dan Nuna serentak.
"Ki Subeni atau hantunya bukan persoalan,
yang penting aku datang ke mari untuk menagih nyawa kalian," ketus Subeni sambil
menyerang dengan jurus andalannya yang aneh dan berbahaya.
"Hati-hati Kak Neneng!" teriak Nuna ketika
melihat pendekar jahat itu membuka serangan. Kali ini
pun pendekar Subeni belum dapat menjatuhkan lawannya, kedua pendekar wanita yang
tangguh itu. Melihat kegagalannya dengan beberapa jurus
andalan, pendekar Subeni bertambah berang dan bernafsu untuk membunuh kedua
gadis itu. Dengan tekad jahat yang bersarang di hatinya, pendekar Subeni
segera menggunakan jurus andalannya yang terakhir
sambil melakukan suatu gerakan dahsyat. Kedua pendekar wanita bersaudara itu
tanpa daya terpelanting
ke sudut geladak berjumpalitan.
"Jangan takut pada manusia iblis itu Nuna!"
kata Neneng kepada Nuna yang terpisah beberapa depa. Neneng dan Nuna bangkit
kembali dengan tekad
akan bertempur mati-matian melawan pendekar
pengkhianat bangsa itu.
Sementara itu, tidak jauh dari kapal besar yang
sedang menjadi ajang pertarungan para pendekar, sebuah tongkang layar ukuran
besar segera mengurangi
kecepatan lajunya bahkan menurunkan layarnya ketika melihat kapal besar melaju
cepat dari arah Timur.
"Hah! Itu pasti kapal yang sedang kucari," bisik
seorang di tongkang itu. Sebelum berpapasan, orang
yang berada di tongkang besar dapat menangkap suara hiruk pikuk yang datang dari
kapal. "Apakah sedang terjadi suatu pembajakan di
atas kapal" Atau apa yang sedang terjadi?" gumam
pemilik tongkang dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku
harus naik ke atas kapal!"
Selesai berkata begitu, sesosok tubuh segera
melompat ke laut dan berenang dengan cekatan menuju ke kapal besar.
Sebuah perahu kecil yang bermuatan 10 orang
atau lebih dan tidak jauh dari perairan itu, tampak
memperhatikan perenang yang sedang menuju ke kapal besar.
"Hei, kawan! Lihat ada seseorang yang hendak
mencapai kapal besar itu. Bagaimana?" tanya salah
seorang di antara mereka.
"Bereskan saja!" seru yang lain serentak sambil
menjangkau panahnya masing-masing. Dan sebentar
kemudian kelihatan puluhan panah berhamburan ke
arah orang yang sedang berenang.
Tampaknya orang yang sedang merenangi lautan menuju ke kapal besar itu bukanlah
orang sembarangan. Ini terlihat pada caranya melawan anak panah
yang datang bertubi-tubi menyerang dirinya. Tetapi
dengan kecekatannya yang luar biasa, satu pun anakanak panah itu tidak berhasil
singgah ke tubuhnya.
Namun demikian, serangan dari perahu kecil
itu semakin gencar. Rupanya pendekar tersebut tidak
kehilangan akal. Sebagai penyelam yang berpengalaman, ia langsung menyelam
menghindari anak-anak
panah yang terus menghujani permukaan air.
Sejenak ia merasa aman dari serangan-serangan gelap orang yang tidak dikenal
itu, tetapi bahaya lain segera menyusul dan mengancam dirinya.
Beberapa ekor ikan buas menguntitnya dari belakang
untuk menyerang pendekar itu. Tetapi nalurinya yang
sangat peka mengisyaratkan adanya bahaya tersebut.
Dengan beberapa gerakan cepat jurus silat
yang sangat berbahaya, pendekar itu segera bertindak
dengan suatu gebrakan dahsyat sehingga hiu-hiu ganas tersebut terpencar-pencar
dan ketakutan. Tidak lama kemudian, dengan ilmu tinggi yang
dimilikinya, pendekar yang ahli berenang itu segera
melejit ke atas kapal yang kebetulan lewat sesuai dengan waktu yang
diperhitungkan.
Ketika pendekar cekatan ini sampai di geladak
kapal, pertarungan masih terus berkecamuk dengan
seru. "Ini rupanya suara hiruk pikuk itu," pikir pendekar itu.
Sambil mencari tempat bersembunyi, sejenak ia
mempelajari suasana di kapal yang dari jauh kelihatan
berlayar dengan tenang.
Sementara itu, Kapten kapal yang sejak tadi di
luar pengawasan, perlahan-lahan timbul pikiran jahatnya, "Sementara inlanders
itu saling membunuh,
mengapa aku tinggal diam begini" Bukankah lebih
baik aku mencoba membunuh Jaka Sembung daripada ia jatuh ke tangan ekstremis-
ekstremis yang sedang
menguasai kapal. Kalaupun aku mati, toch aku sudah
berjasa
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada pemerintah Kerajaan Belanda?" Perlahan-lahan orang Belanda yang sudah
berusia lanjut itu meraba pistol yang ter-sembunyi di balik baju dinasnya. "Dengan kedua
tangannya yang terantai ketat
seperti sekarang itu, pasti dengan mudah aku dapat
menembak lambung sampai mampus," pikir Kapten
itu dengan nekad dan segera menuju ke kamar tahanan Jaka Sembung.
Tetapi baru ia beranjak beberapa langkah, tibatiba ia dikagetkan oleh suatu
sapaan mengejek, "Hei,
Buto Terong mau ke mana Kau?" Ketika Kapten Belanda itu hendak menembak, orang
yang menyapanya,
secepat kilat berbalik dan sebuah tendangan keras tepat mengenai dadanya. Kapten
kapal itu mengeluarkan
darah segar dari mulutnya. Pistol yang masih tergenggam di tangannya perlahan-
lahan jatuh serentak dengan terkulainya tubuh gemuk itu ke lantai kapal...
Pendekar yang baru saja melejit ke kapal itu,
diam-diam sudah berhasil mengurangi jumlah orang
Belanda yang ada di kapal. Kemudian berlalu dengan
santai dari tempat itu. Rupanya tanpa disadarinya apa
yang ia lakukan terhadap Kapten kapal disaksikan
dengan jelas oleh empat mata lain.
"Lihat! Orang itu telah menyudahi nyawa Kapten kapal," ujar Baureksa. Kaswita
yang turut menyaksikan adegan sebabak itu mengangguk.
"Saudara pendekar," tegur Baureksa ketika kebetulan pendekar itu lewat di
hadapan mereka, "Tolong
kami!" "Siapakah kalian?" tanya pendekar tersebut
dengan waspada.
"Aku Baureksa si Kaki Tunggal," Ia memperkenalkan diri dengan ramah, "Dan ini
Kaswita, adik kandung pendekar Jaka Sembung yang sedang ditawan
Belanda di kapal ini."
"Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk kalian?"
"Kami mohon bantuan Saudara untuk membe-
baskan kami dari totokan jalan darah yang dilakukan
oleh seorang pendekar jahat yang belum kami kenal."
"Kalian tidak bisa bergerak?" tanya pendekar
itu dengan ramah.
"Benar!" jawab Baureksa dan Kaswita serentak.
Pendekar yang dimintai bantuannya itu segera
meraba-raba urat nadi yang ada di belakang kedua tubuh yang sedang tidak berdaya
itu, kemudian dengan
suatu totokan yang hampir tak terasa, Baureksa dan
Kaswita seketika itu mampu berdiri. Pengaruh totokan
lenyap dari tubuh mereka.
"Terima kasih Saudara Pendekar!" ucap Baureksa sambil mengulurkan tangan tanda
bersahabat. "Terima kasih!" ucap Kaswita dengan tersenyum.
"Kau yang adik Jaka Sembung?" tanya pendekar itu. Kaswita mengangguk sambil
berjabat tangan.
"Aku Karta, adik angkat Parmin, Jaka Sembung," pendekar itu memperkenalkan diri
sambil menyatakan kegembiraannya. Kaswita dan Baureksa tersenyum gembira karena
mendapat teman seperjuangan.
"Orang menyebutku, si Gila dari Muara Bondet," Karta mencoba menambah
indentitasnya yang
jauh lebih terkenal daripada namanya sendiri.
Sementara mereka berada dalam suasana gembira, Neneng dan Nuna berada dalam
keadaan kritis karena mendapat luka dalam yang parah akibat pukulan Ki Subeni, si pendekar
jahat. Di dada kedua gadis
membekas sebuah telapak tangan hitam. Akibat luka
dalamnya, kedua pendekar wanita yang tangguh itu
mengeluarkan darah hitam kental dari mulutnya.
"Kak Neneng!" ujar Nuna dengan susah payah,
"Apakah kita harus menerima kematian dengan cara
begini?" "Tidak Nuna! Kalau juga harus mati, biarlah
aku mati lebih dahulu menghadapi bangsat Subeni
yang berwatak iblis itu dan kau adikku Nuna segeralah
menghindar dari sini!" jawab Neneng antara marah dan
sedih. "Carilah kawan-kawan kita dan beritahukan!"
"Ha, ha, ha...! Jangan mengigau Nona manis!
Semua kawan-kawanmu telah ku tawan hidup-hidup."
"Keparat kau manusia setan!" bentak Neneng
dengan sangat marah.
"Hei, kau jangan bicara sembarangan yang dapat membuat aku marah ya! Aku Ki
Subeni, yang akan
mengakhiri petualangan Jaka Sembung dan semua
orang-orangnya, tahu" Tetapi, sebelum Jaka Sembung,
aku ingin membuat kalian lebih dahulu mati perlahanlahan. Aku akan siksa kalian
dengan caraku sendiri,"
kata pendekar jahat itu dengan sesumbar.
"Bangsat! Terkutuklah kau!" hardik Nuna sambil mencoba bangkit, tetapi mereka
tidak berdaya sama
sekali. "Ha, ha, ha! Makilah aku semaumu Nona-nona
manis, sebelum aku mengerjakan kalian berdua."
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap kami,
lakukanlah Setan!" kata Neneng setengah berteriak.
"Wow, aku akan cabut seluruh bulu yang ada
di pori-porimu Nona!" bentak Ki Subeni. "Aku akan
mulai dengan bulu yang paling bawah," ketus Subeni
sambil dengan tangan kirinya merenggut rambut Nuna
dan mengangkatnya ke atas kuat-kuat sehingga kepala
Nuna turut mendongak ke atas kesakitan, sedangkan
dengan tangan kanannya ia mencopot pakaian yang
dikenakan gadis itu sehingga tidak sehelai benang pun
lagi yang tersisa di badannya.
"Anjing kau!" teriak Neneng sambil meludahi jijik.
"Kukira, kau yang akan kubuat jadi anjing tanpa pakaian," bentak Ki Subeni
sambil mengirimkan sebuah tamparan ke wajah Neneng. Neneng terkulai jatuh.
"Keparat!" teriak Nuna meronta-ronta melawan
kelemahannya. "O, yaaa! Sekarang akan ku mulai dengan nona
ini," Sambil menunjuk kepada Nuna, Ki Subeni mendekati gadis itu dan melakukan
rencananya mencabut
bulu yang paling bawah. Terapi, melakukan rencana
yang demikian tidaklah mudah. Nuna memberikan
perlawanan gesit dengan seluruh kekuatannya yang
masih tersisa. Tiba-tiba pendekar iblis itu berteriak-teriak sekuat-kuatnya karena bahunya
digigit Nuna. Ketika itu
juga ia berbalik badan dan menggapai hidung Nuna
yang memang mancung. Hidung itu dipencetnya dengan keras sehingga Nuna gelagapan
tak dapat bernapas.
"Rupanya kau perlu ditotok lebih dahulu supaya diam menerima hukuman," ujar Ki
Subeni menyeringai, sambil memberikan tamparan keras ke pipi
Nuna. Mata Nuna berkunang-kunang sejenak kemudian ia terkulai lemas.
"Nah! Sekarang hukuman ku akan dapat berjalan lancar dan kalian akan merasakan
sakit perlahanlahan," kata pendekar berdarah dingin itu. Begitu selesai kata-
katanya, Ki Subeni pun mendekati Neneng
untuk memulai hukumannya, tetapi sebelum hukuman itu dilaksanakan, tiba-tiba
terdengar desingan
benda-benda berkilat yang menyerbu tubuh Ki Subeni.
Tetapi Ki Subeni memang tangguh! Serangan yang tiba-tiba dilancarkan orang
kepadanya, meskipun dengan susah payah akhirnya berhasil juga di atasi.
Ki Subeni yang merasakan serangan hebat itu,
dapat memastikan bahwa dirinya sedang menghadapi
tantangan dari pendekar yang ilmunya seimbang dengan ilmu silat yang dimilikinya
atau mungkin juga di
atas dirinya. Pendekar Karta, si Gila Dari Muara Bondet segera membebaskan kedua gadis
tersebut dari totokan
Ki Subeni dan mengobati luka dalam kedua pendekar
wanita itu. Kaswita sempat menatap sejenak kedua pendekar wanita cantik itu. Dan diam-diam
ia teringat pada
apa yang pernah dilihat di buritan kapal dua hari yang
lalu. Tetapi, kesempatan untuk bertanya hal-hal seperti itu belum ada.
Ki Subeni yang penasaran dibokong dari belakang, segera menyerang siapa saja
yang melintas di
hadapannya. Tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat di
hadapannya dengan cepat. Ki Subeni tanpa pikir panjang cepat mengejar kedua
sosok tubuh itu. Kemudian
dengan goloknya ia melakukan serangan dari jarak
jauh. Tetapi, orang yang diserang itu berkelit secepat
kilat sehingga golok Ki Subeni menancap di sebuah
dinding tidak jauh dari tempat pendekar Karta berada,
"Gila!"
Merasa gagal, Subeni pun melepaskan serangan jarak jauh untuk kedua kalinya.
Tetapi serangan itu pun tidak membawa hasil apa-apa.
"Kaswita!" ujar si Gila Dari Muara Bondet, "Kita
tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Sekarang giliran kita yang menyerang Ki
Subeni yang berhati iblis
itu, bagaimana?"
"Mari! Memang tidak boleh memberi hati kepada pendekar jahat berdarah dingin
seperti Ki Subeni,"
sambut Kaswita senada.
Sejak itu berkecamuklah pertempuran antara
Ki Subeni melawan si Gila Dari Muara Bondet dan kawan-kawannya. Dalam suatu
pertempuran sengit, Ki
Subeni hampir-hampir saja berhasil menghantam
Kaswita dengan pukulan telapak tangan maut, tetapi
Sri Ayuningrum yang telah bebas dari totokan dan kebetulan menyaksikan
pertempuran tersebut, segera
mengirimkan senjata jarak jauh yang ke-betulan tepat
mengenai tangan pendekar setan itu. Kaswita selamat
dari luka dalam.
Di suatu kesempatan lain, Ki Subeni berhadapan langsung dengan Pendekar si Gila
dari Muara Bondet. Permainan silat tingkat tinggi dikeluarkan oleh
kedua pendekar tangguh itu. Mereka saling bertarung,
menyerang dan bertahan. Ketika si Gila dari Muara
Bondet melihat suatu peluang baik, ia segera menyerang Ki Subeni dengan
pedangnya yang ampuh secara
berantai sehingga pendekar gemuk jahat itu kewalahan
seketika. Tetapi dalam keadaan kepepet seperti itu, Ki
Subeni masih berhasil membuat pedang si Gila dari
Muara Bondet terpental. Karta kaget sejenak. Tiba-tiba
ia mendengar suatu teriakan keras, "Hai, kawan!
Tangkap pedangmu ini!" serentak dengan melayangnya
sebuah pedang. "Terima kasih Dik!" ucap Karta sambil mengirimkan sebuah senyuman kepada Sri
Ayuningrum, yang rupanya sejak awal terus mengikuti perkelahian
kedua tokoh persilatan tersebut.
"Setan!" teriak Ki Subeni dengan penuh kedongkolan melihat Sri Ayuningrum yang
membantu lawannya. Ketika itu tidak terasa sebuah pedang mendesing di belakangnya
sehingga Ki Subeni terluka.
"Waw! Cuma menyerempet sedikit," terdengar
suara Karta mengejek, tetapi Ki Subeni tidak menggubris ejekan itu karena
perhatiannya tertuju pada luka
di punggungnya....
4 Sementara itu, tanpa disadari malam berangsur-angsur berganti dengan siang.
Matahari di kaki langit sebelah Timur tampak muram tertutup mendung. Awan pekat
seperti menggantung di langit. Angin
laut yang tadinya berhembus tenang membawa hawa
sejuk dan segar, kini perlahan-lahan berubah kencang.
Ombak laut yang tadinya terasa ramah, kini mulai
bergelora. Tiba-tiba hujan lebat pun turun seperti
mengamuk, ombak menghantam dinding kapal. Laut
Arafuru kembali marah menyaksikan tingkah anak
manusia di permukaannya.
Unui yang berada di ruang kemudi menjadi gelisah, "Celaka! Badai akan segera
turun," serunya dengan penuh rasa khawatir. Ia sangat mengharapkan
Neneng dan Nuna ada di sisinya untuk membantu. Tetapi kedua adiknya itu tidak
juga muncul padahal dalam keadaan begitu layar harus segera diturunkan.
Tak ada jalan lain, kecuali ia sendiri harus segera bertindak. Tanpa banyak
perhitungan, Unui meninggalkan kamar kemudi turun dari anjungan. Begitu
Unui tiba di tangga, angin badai mendadak bertiup
kencang dibarengi dengan suara petir dan kilat sambung-menyambung.
Tidak itu saja bahaya yang sedang mengancam,
tetapi bahaya yang lebih dahsyat kelihatan sedang menyongsong. Kapal mulai oleng
ke kiri dan ke kanan sehingga semua penumpang yang ada di atasnya mulai
panik. Pertarungan dan nafsu permusuhan lenyap seketika. Masing-masing mulai
memikirkan keselamatan
dirinya, kecuali Unui. Pendekar ini dengan penuh
tanggung jawab mencoba menurunkan layar kapal untuk mengurangi resiko tenggelam
demi keselamatan
para penumpangnya. Ia juga berusaha mencari kedua
adiknya dan merasa cemas terhadap diri mereka, tanpa sedikit pun terpikir akan
keselamatan dirinya.
Suasana dalam kapal mendadak gelap, meskipun sejumlah lampu-lampu penting masih
terus menyala. Angin yang semakin berhembus kencang telah
membuat kapal terombang-ambing seperti hendak terbalik. Semua isinya bertambah
panik. Tubuh Unui
yang semakin lelah, tiba-tiba terpelanting dan nyaris
terlempar ke dalam laut yang sedang mengamuk, tetapi untung tangannya masih
sempat menggapai pagar
geladak. Ketika ia melihat ke luar kapal, tiba-tiba ia berteriak keras. Tidak jauh dari
kapal terlihat olehnya angin puting beliung sedang membuat pusaran berbentuk
lembah air yang dalam. Dua perahu layar yang tidak jauh dari kapal mendadak
masuk ke dalamnya.
"Ya, Tuhan! Selamatkanlah mereka!" seru Unui dengan
mata terbelalak.
Pada waktu yang sama, tiba-tiba pula tiang
layar kapal besar yang mereka tumpangi mendadak
patah. Sementara, air sudah banyak yang mulai masuk ke kapal.
Belum hilang kekagetan itu, Unui melihat pula
dari jauh dua pendekar sedang berlaga di dekat tiang
layar yang sudah patah. Rupanya keadaan yang sudah
gawat, sedikit pun tidak mempengaruhi para pendekar
untuk terus bertempur.
Sementara si Gila dari Muara Bondet dan pendekar Mirah meladeni musuh, Sri
Ayuningrum membantu Neneng dan Nuna yang sedang terhimpit reruntuhan.
"Cepat bangun kawan! Keadaan kapal semakin
gawat!" ujar Sri Ayuningrum dengan sungguhsungguh, "Mari kita bantu mereka
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum kapal ini
hancur!" Ketiga pendekar wanita itu segera memburu ke
depan. Tiba-tiba tiang layar kapal bagian depan mendadak patah pula. Tiang yang
berat ini menghancurkan lantai geladak.
Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal sedang berada di geladak paling bawah
terkejut. "Suara apa?" tanya Kaswita pucat.
"Aku tak tahu! Biarkanlah itu!" kata Baureksa
acuh tak acuh. "Kalau begitu sekarang kita cepat-cepat ke kamar tahanan Jaka Sembung,
bagaimana?" tanya Kaswita.
Kedua pendekar tersebut menghilang dengan
cepat menuju ke kamar tahanan yang berpintu besi.
Tanpa membuang-buang waktu, mereka segera mendobrak pintu tersebut. Tetapi,
pintu yang luar biasa
kuatnya itu sedikit pun tidak bergeming.
"Hei, biar ku coba dengan beliung ku ini!" kata
Kaswita serentak dengan menghantamkan beliungnya
ke pintu besi itu.
Sementara Kaswita dan Baureksa berusaha
membuka pintu tahanan, Parmin Jaka Sembung di
kamarnya sedang menghadapi bahaya air yang masuk
dari dinding kapal dengan deras. Ia sama sekali tidak
dapat berusaha mengatasi keadaan karena tangannya
dirantai kiri kanan. Air laut semakin lama semakin
menggenangi kamar.
"Ya, Tuhan berikanlah aku petunjuk apa yang
harus kulakukan! Lindungilah aku dari malapetaka
yang mengerikan ini. Hanya kepada-Mu satu-satunya
tempat aku berlindung dan pasrah diri," Parmin berdoa dengan penuh harap.
Air terus meninggi sampai ke lutut. Tidak lama
kemudian sampai ke pinggang. Harapan Jaka Sem-
bung untuk lepas dari petaka itu semakin tipis. Satusatunya jalan untuk
menenangkan diri ialah mengheningkan cipta. Dipusatkan semua konsentrasinya ke
satu titik perhatian yaitu rantai yang membelenggu
kedua belah tangannya.
Sementara itu air terus meningkat sampai ke
lehernya. Harapan secara akal pupus sudah, tetapi harapan kepada kasih Tuhan
terus menyala. "Bismillah!" ucap Jaka Sembung sambil mengerahkan seluruh hawa panas dalam
tubuhnya. Tiba-tiba sesuatu terjadi. Terlihat asap mengepul dan kemudian menjadi api yang
terus-menerus menjilat rantai. Akhirnya rantai yang memborgol kedua
tangannya pun mencair dan putus.
"Alhamdulillah" ucapnya sambil kedua telapak
tangannya meraup ke muka. Tetapi masalahnya belum
selesai, Jaka Sembung tetap berada di kamar tahanan
yang cukup kuat.
"Oh, aku tak dapat juga keluar dari sini," gumam Jaka Sembung pada dirinya.
Di luar, Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal terus-menerus berusaha mendobrak
pintu yang kukuh
itu. Tiba-tiba Kaswita kaget karena dari sisi daun pintu
yang sudah mulai renggang, menyembur air dengan
deras. Kaswita dan Baureksa segera melompat ke atas
sambil mengawasi air yang deras itu. Tiba-tiba Kaswita
melihat sesosok tubuh menggapai-gapai didorong derasnya air.
"Kang Parmin!" seru Kaswita dengan keras. Jaka Sembung segera menoleh ke arah
datangnya suara
itu. Ia segera melejit ke atas dan menatap pemuda
yang berdiri di depannya dengan beliung di tangan.
"Astaga! Kau Kaswita"! Bagaimana sampai kau
berada di kapal jahanam ini?" tanya Jaka Sembung in-
gin tahu. "Panjang ceritanya, Kang!"
Sementara itu haluan kapal perlahan-lahan
menukik ke dalam laut, tetapi sama sekali tidak dihiraukan oleh pendekar-
pendekar yang sedang bertempur hebat-hebatan.
"Lihat, Kang!" Kaswita menunjuk ke bagian buritan kapal, "Mereka sedang
bertempur di sana!"
"Siapa mereka?" tanya Jaka Sembung heran.
"Pendekar-pendekar yang ingin membebaskan
Kakang dari tawanan Kumpeni Belanda, termasuk
Kang Baureksa ini, dan Kak Sri Ayuningrum."
Saat itu pendekar Lengan Tunggal berlari
menghampiri. "Hei, kau Umang"!" ujar Jaka Sembung dengan
gembira sambil menarik tangan sahabatnya yang sudah lama tidak pernah ketemu.
"Tidak apa-apa kau?"
"Tidak!"
Jaka Sembung menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu sambil berkata, "Kalau begitu
mari kita ke sana! Aku ingin ketemu dengan adikku Sri Ayuningrum."
Ketika tiba di ajang pertarungan itu, Jaka Sembung tiba-tiba melihat seorang
pendekar muda yang
sedang bertempur dengan lincah menghadapi antekantek penjajah.
"Hei, kalau aku tak salah, itu si Gila Dari Muara Bondet dan Mirah kawanmu
Umang." "Benar, Parmin," kata Umang dengan penuh
hormat. "Kalau tiga dara itu...?" kata Jaka Sembung
sambil mengingat-ngingat, "Si Tiga Melati: Unui, Neneng dan Nuna, bukan?"
Kaswita mengangguk. Sri Ayuningrum yang sedang bertempur sempat melayangkan
pandangannya ke arah Jaka Sembung, sehingga setelah menyelesaikan pertempurannya segera
menemui kakang tercintanya itu.
Sementara itu, Ki Subeni yang sejak tadi memperhatikan Jaka Sembung cepat
berjumpalitan beberapa kali, kemudian mendarat tepat di depan Parmin
Jaka Sembung. "Oh, Ki Subeni?" gumam Jaka Sembung setengah heran, "Bukankah kau sudah
meninggal?"
tanya Jaka Sembung dengan nada sopan.
"Memang ia sudah mati, tetapi aku Subekti
saudara kembarnya yang ingin menuntut balas atas
kematiannya."
"Apa kau sungguh-sungguh?" tanya Jaka Sembung, "Waktu kita hanya tinggal
sedikit." "Kau sangka aku tidak punya nyali untuk melawanmu, ha?"
"Baiklah, kalau itu yang kau kehendaki," jawab
Jaka Sembung sambil mengatur langkah. Tetapi, Ki
Subekti tiba-tiba diserang orang dari belakang. Pendekar itu secepat kilat
berbalik, tetapi tanpa disangka
mendadak ia menyerang Jaka Sembung yang dalam
keadaan lengah.
Jaka Sembung yang bukan pendekar sembarangan rupanya sama sekali tidak terkicuh.
"Plak!"
Dua tangan yang penuh dengan tenaga dalam,
bertemu seketika. Dari masing-masing tangan itu terlihat mengepul asap. Semua
yang menyaksikan terheran-heran. Sri Ayuningrum menatap kedua tangan itu
dengan tak berkedip.
Ki Subekti menyentakkan tangannya sambil
melejit ke belakang dan kembali menyerang lawannya
dengan dahsyat. Parmin yang menunggu dari bawah,
tiba-tiba melihat peluang dan segera memberikan sebuah kepretan tangan. Tetapi
pendekar gemuk itu
dengan empuk bersalto di atas geladak.
"Hiyaaat!"
Dan serangan yang berbahaya itu disambut
oleh Jaka Sembung dengan sodokan keras di bagian
dada Ki Subekti. Jaka Sembung terheran-heran. Ia melihat baju di bagian dadanya
terbakar dan api menyala-nyala membuat dada pendekar itu panas dan perih.
Sri Ayuningrum yang melihat peristiwa itu segera berteriak, "Tanggalkan bajumu
Kang!" Parmin segera melakukan anjuran adiknya, tetapi tidak berhasil. Begitu ia hendak
menanggalkan bajunya, api itu segera menyambar tangannya dengan
cepat. Parmin mencoba mundur beberapa langkah, tetapi api itu terus membakar bajunya di
bagian dada. Akhirnya ia kehilangan akal dan membiarkan api itu
menyala. Sementara itu, pukulan sodokan Jaka Sembung yang tepat mengenai ulu hati Ki
Subekti juga tidak ringan akibatnya. Pendekar itu terpaksa menahan
sakit yang luar biasa dan kemudian mengeluarkan darah kental dari mulutnya.
Rupanya dalam adu ilmu ternyata Parmin Jaka
Sembung masih berada di bawah musuhnya. Ia menyadari hal tersebut, karena itu,
ia mulai berhati-hati
menghadapi Ki Subekti.
Pada waktu Parmin Jaka Sembung memusatkan konsentrasi untuk mengusir api itu,
tiba-tiba Ki Subekti melancarkan suatu gempuran mautnya. Tetapi, Jaka Sembung pun bukan anak
kemarin. Ia segera
berkelit. "Celaka, kita harus turun tangan!" kata pendekar lainnya sambil berpencar.
"Kita harus membalas penghinaan manusia cabul itu," seru Kaswita geregetan.
Tetapi dengan tidak
disangka-sangka Sri Ayuningrum yang didampingi oleh
Karta dan Umang lebih dahulu melakukan serangan
bersama. Meskipun Ki Subekti tidak berada dalam keadaan siap tempur karena luka dalam,
namun tidak ada
pilihan lain ia terpaksa melayani serangan bersama
yang dilancarkan oleh kawan-kawan Jaka Sembung.
Ki Subekti segera melejit ke atas sambil melemparkan dua goloknya yang berhasil
dirampas dengan
mudah dari Unui yang juga turut menyerang. Untunglah pendekar Kaki Tunggal
dengan tangkas mendorong tubuh Sri Ayuningrum dan menangkap kedua golok itu
dengan tongkat penyangganya.
Pada saat yang sama, si Gila dari Muara Bondet, berhasil pula mencaplok golok
yang ditujukan atas
Unui. Ketika Sri Ayuningrum melihat suatu kesempatan baik, ia segera melompat ke
atas dengan suatu tusukan kilat. Namun Ki Subekti yang seakan-akan
bermata seribu segera berkelit menghindari tusukan
dahsyat yang dilancarkan Ayu Ningrum. Bahkan si
pendekar gendut itu masih sempat mencaplok golok
yang ada di tangan Mirah. Sri Ayuningrum yang kehilangan keseimbangan karena
serangan dahsyatnya tidak mengena, terpelanting ke luar pagar geladak. Untung
Mirah yang kebetulan ada di tempat itu cepat
menjambretnya sehingga Sri Ayuningrum tidak jadi
terlempar ke laut
"Pegang erat-erat tanganku," ujar Mirah sambil
menarik badan Sri Ayuningrum ke atas geladak.
"Terima kasih, Mirah!"
"Tentang apa?"
"Tentang bantuanmu barusan," jawab Sri Ayuningrum tersenyum.
"Sudah, lupakan! Aku mau membantu Parmin," kata Mirah sambil memperhatikan
gerak-gerik Ki Subekti. Ketika Parmin Jaka Sembung sedang membenah diri, tiba-tiba pendekar berhati
jahat Ki Subekti
mendadak melakukan serangan terhadap Parmin.
"Awas Jaka Sembung!" teriak Mirah, Parmin
kaget dan dengan naluri silatnya yang sudah mendarah daging, pendekar itu cepat
mengelak. Serentak
dengan itu Neneng berkelebat dengan cepat memotong
jalan serangan dengan pedangnya sambil berteriak,
"Modar sial!"
Serangan Neneng sekali itu bukan asal-asalan,
tetapi jitu. Ki Subekti jatuh terduduk dengan mengaduh kesakitan. Lengan
kanannya yang memegang golok putus sama sekali. Darah muncrat dari lukanya
yang parah. Nuna yang kebetulan berada di dekat itu,
langsung menusukkan pedangnya ke punggung Ki Subekti, Ow... Okh!
Perkelahian Ki Subekti dengan Jaka Sembung
rupanya menjadi tontonan anak buah Ki Subekti yang
berada di sebuah tongkang besar. Ketika Ki Subekti
mendapat serangan hebat dari Neneng yang mengakibatkan lengan kanannya putus,
ditambah dengan tusukan pedang Nuna pada punggungnya yang menyebabkan pendekar
itu tidak berkutik, terlihat jelas oleh
para pengikutnya.
"Hai, lihat! Agan kita dikeroyok ramai-ramai. Kita tidak boleh tinggal diam,
tetapi kita harus naik ke
kapal besar itu untuk memberi sedikit pelajaran kepada mereka," kata seorang
pendekar yang agak tua di
antara mereka, membakar semangat.
"Benar! Benar! Mari kita menyerbu ke atas kapal!"
Kebetulan pada waktu itu badai di laut Arafuru
mulai reda. Ombaknya kelihatan lesu setelah hampir
setengah hari penuh mengamuk dan menghancurkan
apa sana yang mencoba membendungnya.
Anak buah Ki Subekti, dengan segala kesombongan dan keangkuhan, satu persatu
melompat ke laut dan berenang dengan terampil menuju ke kapal
besar. Selama berenang, mereka berteriak-teriak dan
mengancam tak hentinya.
Hal ini menarik perhatian orang-orang di atas
kapal. Tidak kurang dari belasan orang berbaju hitam
menuju ke kapal.
"Kurasa mereka anak buah bajingan ini!" kata
Mirah menutup laporannya kepada Jaka Sembung
sambil menunjuk Ki Subekti dengan kakinya.
"Pendapat Mirah mungkin benar," kata Jaka
Sembung yang dikelilingi oleh seluruh rekannya, "Sekarang kalian tunggu mereka
di pagar geladak! Siapapun yang mencoba naik ke atas kapal ini, segera kirim
kembali ke laut menurut cara kalian masing-masing."
Begitu instruksi selesai diucapkan Jaka Sembung, semua pendekar tersebut
langsung menuju ke
tempat tugasnya.
Tidak lama mereka menunggu, satu per satu
kepala anak buah Ki Subekti muncul di pagar geladak.
Hanya nongol sebentar kemudian terlempar kembali ke
laut setelah menerima berbagai hadiah dari atas kapal.
Sebagian besar di antara mereka berteriak kesakitan.
Ki Subekti yang dapat melihat perlakuan seperti itu terhadap anak buahnya.
Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan berkata,
"Sungguh kalian pengecut! Kalau kalian berani,
ini aku Ki Subekti saudara kembar Ki Subeni, bunuhlah!"
"Hati-hati kalian," kata Jaka Sembung, "setan
itu akan bertindak nekat."
Peringatan Jaka Sembung ternyata benar. Ki
Subekti dengan segenap tenaganya yang masih tersisa,
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba melakukan serangan dahsyat didahului oleh
suatu pekikan melengking. Gerakan yang sangat berbahaya itu mengagetkan semua
pendekar yang berada
di tempat itu. Sementara Kembar Tiga Melati tampak
terjungkal jauh seperti tertiup angin kencang.
"Oh! Kak Unui, Kak Neneng dan Nuna! Tabahkanlah hati kalian!" ujar Sri
Ayuningrum ketika melihat ketiga kawannya terkena serangan hebat dari Ki
Subekti. "Dik Sri Ayuningrum!" Unui mencoba membuka
matanya perlahan-lahan sambil berkata dengan lembut, "Janganlah kau hiraukan
kami lagi Dik Sri! Kami
mendapat luka dalam yang parah, yang mungkin tak
tertolong. Kini yang lebih penting, bangkitlah segera
untuk membantu kakakmu Parmin Jaka Sembung
bersama dengan pendekar lain sahabat kita guna
menghancurkan pendekar iblis itu."
Sri Ayuningrum bangkit perlahan-lahan dengan
duka nestapa di hatinya. Ia meninggalkan tempat itu
dengan suatu kesedihan yang mendalam. Sementara
itu, Ki Subekti terus mengamuk laksana harimau yang
terluka. Ia menyerang siapa saja yang berada di dekatnya, terutama pendekar-
pendekar pengikut Jaka Sembung.
Tetapi, untung orang-orang yang diserangnya
itu bukanlah orang yang mudah dijatuhkan begitu saja
seperti Pendekar Kaki Tunggal dan si Gila dari Muara
Bondet serta pendekar Tangan Tunggal.
Ki Subekti dengan mata merah dan wajah bengis serta rasa dendam yang membakar di
hati, menatap Jaka Sembung yang masih terduduk merasakan
sakitnya. Ia benar-benar sudah nekat dan segera menyerang Jaka Sembung dengan
jurus andalannya yang
biasanya tanpa ampun.
Jaka Sembung sebagai seorang pendekar ulung
tak ada pilihan lain kecuali melawan. Ia segera pula
menahan serangan Ki Subekti dengan pukulan maut
'Wahyu Taqwa' yang tepat mengena di ulu hatinya sehingga pendekar setan itu
rubuh seketika.
Ia melihat tubuh pendekar Subekti gemetar sejenak dan akhirnya terkulai lemas.
"Sungguh pendendam manusia ini!" gumam Jaka Sembung sendirian
sambil mencoba meninggalkan tempat. Tetapi, begitu
ia hendak beranjak, Ki Subekti masih sempat melakukan serangan tiba-tiba sambil
duduk. Baureksa yang
sempat melihat kelicikan itu segera menghunjamkan
tongkatnya yang berujung runcing ke lambung Ki Subekti sebelah kiri menembus ke
sebelah kanan. Pendekar itu terpekik keras dan meraung kesakitan, lalu roboh tak
berkutik lagi. Jaka Sembung terkejut, "Apa yang terjadi?" tanyanya kepada Umang.
"Ia hendak membokongmu dari belakang."
"Dalam keadaannya yang begitu lemah?"
Umang si Pendekar Tangan Tunggal hanya
mengangguk. "Memang benar! Sekuat apa pun suatu kejahatan, akhirnya pasti tumbang juga,"
ujar Jaka Sembung
sambil meninggalkan tempat itu. Karta dan Umang
mengiringinya dari belakang. Mereka menuju ke bagian lain, di mana anggota
Kembar Tiga Melati sedang
terbujur. Unui, Neneng dan Nuna sama sekali tak
mampu bangkit akibat luka dalam yang terlalu parah.
Mirah dan Sri Ayuningrum terlihat di situ sedang merawat mereka.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Jaka
Sembung dengan rasa duka.
"Parah, Kang!" jawab Sri Ayuningrum. Di wajahnya terbayang kesedihan. Ketiga
pendekar itu berlutut di samping mereka dengan kepala tertunduk. Tak
ada seorang pun di antara mereka yang dapat menyembunyikan rasa duka yang
menyelinap di hatinya
masing-masing. "Unui, Neneng dan Nuna, tabahkan hati kalian!
Pasrahkanlah kepada Tuhan karena setiap yang hidup
pada suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga,"
ujar Jaka Sembung dengan penuh rasa haru. "Kalian
bertiga sudah banyak berbuat untuk membela kebenaran dan menentang penjajahan
dan itu akan abadi selamanya di hati rakyat dan terukir dalam sejarah perjuangan
bangsa." tambah Jaka Sembung sambil mencium dahi ketiga gadis itu.
Ketika itu, Unui, Neneng dan Nuna serentak
perlahan-lahan memandang Jaka Sembung.
Baureksa, Karta, Umang, Mirah dan Ayuningrum bergiliran, kemudian Unui berkata
dengan suara serak: "Kami bertiga adalah saudara kembar, satu
nyawa dalam tiga jasad. Mati dan hidup kami pun bersama-sama. Aku yang mewakili
saudara-saudaraku
hanya mengharap, teruskanlah perjuangan ini sampai
pada suatu saat kelak tanah air dan bangsa kita bebas
dari penderitaan, kemiskinan dan ketakutan."
Sampai di situ Unui terdiam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian
menyambung katakatanya, "Maafkan kami bertiga mendahului kalian,
meskipun keinginan kami masih terus menyala untuk
menyertai perjuangan ini...."
Sampai di situ, Unui menutup matanya perlahan, disusul oleh Neneng dan Nuna
seakan-akan mereka memang satu nyawa tiga jasad.
Semua yang hadir di tempat itu saling berpandangan. Mirah dan Sri Ayuningrum
yang sejak tadi
menahan kesedihan, kini menangis. "Kak! Sampai hati
kalian meninggalkan kami," ujar Ayuningrum sambil
memeluk tubuh Unui dan Neneng, sementara Mirah
merangkul Nuna ketat-ketat, seakan-akan tak hendak
dilepaskan. Ketika semua pendekar pengikut Jaka Sembung berkumpul melepaskan kepergian
Kembar Tiga Melati, belasan pengikut Ki Subekti dengan diam-diam
naik ke kapal melalui bagian haluan kapal yang sudah
merunduk ke dasar laut.
Ki Subekti pendekar setan yang seakan-akan
memiliki nyawa cadangan segera mengatur orangorangnya untuk menyerang Jaka
Sembung dan kawan-kawannya. Ia masih dapat bergerak, sekalipun lukanya begitu
parah. Jaka Sembung yang sama sekali tidak menyangka persengketaan dengan Ki Subekti
masih ada buntutnya, segera berunding dengan kawankawannya, terutama mengenai jenazah Kembar Tiga
Melati. Sebagian mereka menghendaki jenazah-jenazah
itu dikuburkan di darat, tetapi timbul masalah bagaimana caranya membawa karena
kapal mereka tidak
lama lagi akan tenggelam. Lagi pula mereka berada di
tengah-tengah lautan yang sama sekali tidak terlihat
pantai. Sementara sebagian lainnya menghendaki penguburan di laut saja karena menahan
mayat terlalu lama bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirnya tak
ada pilihan lain, jenazah Kembar Tiga Melati harus segera dikuburkan di laut.
Rupanya nasib mereka memang harus berkubur di lautan.
Dengan apa yang mereka miliki, jenazah Kembar Tiga Melati dikuburkan di laut
secara sederhana,
diiringi doa dan air mata perjuangan.
"Sekarang masalah sudah selesai," kata Jaka
Sembung mengalih ke acara lain. "Yang harus kita pikirkan bagaimana caranya kita
meninggalkan kapal ini
secepat mungkin sebelum tenggelam."
"Benar!" Baureksa menyokong.
"Dengan apa?" tanya Mirah singkat.
Semua berpandang-pandangan. Kemudian semua diam, termasuk Umang. Jaka Sembung
sendiri kaget dan menyesali gagasannya yang tidak memikirkan jalan keluar.
"Kau benar, Mirah!" ujar Jaka Sembung tersenyum, "Ku cabut gagasan ku itu."
"Jadi?" tanya beberapa pendekar lain serentak.
Belum lagi sempat memikirkan jawaban pendekar-pendekar itu, Jaka Sembung dan
kawankawannya mendadak kaget. Tidak jauh dari kelompok
mereka, terlihat Ki Subekti sedang menuju ke arah
mereka. "Aku datang untuk menagih piutang saudara
kembar ku yang ada padamu, Jaka Sembung," kata Ki
Subekti dengan penuh dendam.
"Kau terlalu membesar-besarkan masalah yang
seharusnya sudah dilupakan, Ki! Aku tidak keberatan
kau menuntut balas atas kematiannya, tetapi yang aku
tidak senang kau selalu berusaha menegakkan yang
bathil dan menyebarkan maut pada bangsa mu sendiri." Jaka Sembung tegak dengan
mantap di tempatnya
seperti siap menerima akibat dari kata-kata yang diucapkannya itu.
Sejenak Ki Subekti tertegun seakan-akan hatinya tergugah untuk mengurungkan
niatnya, tetapi
mendadak ia menjadi beringasan dan langsung menyerang Jaka Sembung dengan suatu
jurus aneh sehingga
sempat Jaka Sembung dibuat gelagapan sejenak. Tetapi, akhirnya ia berhasil
menangkis semua serangan
tersebut. Pengikut Jaka Sembung yang selalu menganggap Ki Subekti sebagai pendekar setan
yang sangat berbahaya, segera menyerang Ki Subekti serempak.
Mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan pertempuran
yang bakal berkepanjangan itu. Tetapi maksud pendekar-pendekar tersebut tidak
menjadi kenyataan karena
tiba-tiba semua penyerang itu terpelanting. Mereka
merasa seperti terdorong oleh sesuatu kekuatan yang
tidak terlihat. Sementara itu dari beberapa jurusan keluar belasan pengikut Ki
Subekti. Mereka pun mencoba menyerang Jaka Sembung dan para pendekar
pengikutnya. Perkelahian sengit pun segera berkecamuk.
Ki Subekti yang sudah tua ditambah dengan
tangannya yang sudah buntung serta luka-luka di badannya, terus-menerus mencerca
Jaka Sembung. Dendam di hatinya semakin berkobar ketika tiap serangannya tidak berhasil
merubuhkan pendekar ulung
itu. "Ki Subekti!" seru Jaka Sembung sambil menekan goloknya tepat di leher pendekar
tua itu, "Seharusnya kau mencoba menyadari, Ki! Kau dan aku belum saling
mengenal, bagaimana bisa mendadak kita
saling ingin membunuh" Aku benar-benar tidak tega
membunuh orang seperti kau?"
Pendekar itu seperti tercenung. Seluruh sendi
badannya terasa lemas. la hampir-hampir tak mampu
mengangkat tangan dan kakinya lagi. Melihat perubahan yang tiba-tiba terjadi
pada diri pendekar tua itu,
Jaka Sembung berangsur-angsur mengangkat goloknya dari leher Ki Subekti, yang
jika ia mau setidaktidaknya dapat melukai tubuh yang sudah tidak berdaya itu.
Jaka Sembung dengan cepat melejit meninggalkan Ki Subekti yang semakin menunduk.
"Semoga pendekar tua itu mendapat petunjuk
dari Tuhan!" doa Jaka Sembung dengan hatinya yang
ikhlas. Pada waktu yang sama, Kaswita, Baureksa dan
Umang sedang dikerubuti anak buah Ki Subekti, sementara Mirah dan Sri Ayuningrum
bertarung ketat
menghadapi pendekar-pendekar yang tidak dapat dianggap enteng.
"Hei! Mengapa kau mati-matian membela pendekar setan itu?" kata Mirah sambil
meloncat lincah
mengelak serangan lawannya.
"Mengapa kau mencaci juragan kami yang saleh, ha?" tanya lawannya heran.
"Baik hati katamu" Kau tidak tahu apa yang
pernah terjadi di kapal ini. Ia pernah mencoba memperkosa dua orang temanku
baru-baru ini, itu namanya orang saleh?" Mirah terus mencoba menteror
mental musuhnya sambil bertempur.
"Bohong, Kau!" teriak lawannya tersinggung.
"Kau tidak percaya, tanyakan saja kepada majikanmu itu."
Bertempur sambil bicara, berlangsung terus
berjam-jam lamanya. Tetapi, ketika lawannya lengah,
dengan mendadak Mirah mengirimkan suatu pukulan
dahsyat sehingga lawannya sama sekali tidak berhasil
mengelak. Begitulah siasat tempur yang dilakukan Mirah.
"Benar juga ajaran Umang!" gumam Mirah
sambil tersenyum sendiri. "Beberapa orang musuh sudah berhasil kulenyapkan
dengan cara yang demikian."
Lain lagi dengan cara yang digunakan oleh Sri
Ayuningrum. Ia menghadapi lawannya dengan santai
sambil juga mengajak bicara.
"Hei, kelihatannya kau boleh juga," kata Sri
Ayuningrum ketika pukulannya berhasil dielak musuh.
"Kau kira aku apa?" tanya lawannya mulai
kembang hidungnya.
"Kukira kau semula cuma badut yang ingin berlatih silat, rupanya kau sama
cekatannya dengan Ki
Subekti." "Hei, kau ini ingin berantem denganku apa ingin ngobrol, Nona cerewet?" bentak
lawannya berpurapura, padahal ia senang dipuji.
"Kedua-duanya," jawab Sri Ayuningrum, "Tetapi
lebih baik kita berkencan saja daripada berantem, bagaimana?"
"Hei, kau sungguh-sungguh Nona?" tanya lawannya mulai mengendurkan serangannya.
"Mengapa tidak?" jawab Sri Ayuningrum purapura tersenyum.
Akhirnya semangat untuk berkelahi lawan perlahan-lahan lenyap. Pada waktu
semangat itu mengendur, Sri Ayuningrum melepaskan suatu serangan
yang mematikan.
Musuh itu pun terkapar tanpa ampun.
Tipu muslihat seperti itu dilakukan berturutturut oleh Sri Ayuningrum yang
memang cantik sehingga beberapa lawan menjadi korban tanpa perlawanan sama
sekali. "Kalian banyak bisanya," kata Umang yang sejak tadi mengintip dari jauh.
"Kakang gurunya, bukan?" kata Mirah dan Sri
Ayuningrum serentak sambil-tertawa terbahak-bahak.
Ketika ketiga pendekar pengikut Jaka Sembung
itu sedang tertawa sejadi-jadinya itu, tiba-tiba tanpa
disadari muncullah seorang laki-laki besar, tinggi dan
tegap dengan kumis lebat melintang di atas bibirnya.
Ia memakai celana pangsi berwarna hitam dengan dada telanjang penuh bulu.
"Kau siapa?" tanyanya kepada Umang setengah
membentak. "Aku seperti yang kau lihat!"
"Namamu siapa, kunyuk!" Orang itu marah seraya menghentakkan kakinya.
"Namaku si Lengan Tunggal! Apa kau tak lihat?"
Pendekar yang mirip-mirip raksasa itu tersenyum.
"Sekarang, pengikut Ki Subekti hanya aku yang
Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersisa, yang lain telah kalian bunuh dengan mudah.
Kini giliranku membunuh kalian, semua mengerti?"
kata pendekar raksasa itu penuh dendam.
Umang menoleh ke arah Mirah dan Sri Ayuningrum dengan tersenyum.
"Mirah! Dia pikir kita sayuran yang memang
untuk dilalap," kata Umang dengan senyum mengejek.
"Hai! Kau mengejek aku Buntung!?"
"Kalau ya mengapa?"
"Celaka!" desis Mirah ke telinga Sri Ayuningrum, "Kembali kita punya tugas
khusus lagi untuk
membereskannya."
"Kurang ajar!" bentak pendekar raksasa itu,
sambil menyerang dengan tangan kosong. Umang segera berkelit dan secepat itu
pula ia mengirimkan sebuah tendangan kuat dengan kaki kanannya ke arah
dada dan mengenai dengan telak
"Buuk".
Tetapi, jangankan ia jatuh terjengkang ke belakang, goyah pun tidak. Malahan
pendekar itu tersenyum mengejek.
"Begitu kuatkah pukulanmu, Kawan?" tanya si
raksasa itu. Umang tidak menjawab. Hanya hatinya saja
yang berkata-kata, "Alangkah kuatnya orang ini!"
"Kukira pukulanmu tadi bisa merontokkan tulang-belulangku, tetapi rupanya
kekuatanmu hanya
cukup untuk menepuk nyamuk!" lanjut pendekar itu
dengan nada menghina.
"Hai, Kunyuk! Kau manusia sombong, yang
bernyali kecil," bentak Mirah memancing kemarahan
pendekar itu, "Kalau kau berani melawan aku, aku
akan sujud di telapak kakimu hai pendekar dungu!"
Mendengar caci maki dan serapah Mirah, pendekar raksasa itu sangat tersinggung
sehingga tanpa banyak perhitungan ia melompat ke atas kemudian
berjumpalitan dan mendarat di depan Mirah. Tetapi,
sebelum kakinya menginjak tanah, Mirah segera
menggenjot badannya ke atas sambil menusukkan dua
jari tangannya ke mata pendekar raksasa itu. Ketika
itu juga terdengar suatu pekik kesakitan se-sehingga
badannya terjatuh duduk di lantai kapal. Kedua belah
tangannya menutup muka seraya meraung-raung.
"Nah, sekarang aku telah membuat matamu
buta," kata Mirah yang berdiri di depannya, "Apakah
aku harus sekaligus membunuhmu sebagai seekor
nyamuk, ha!?"
Pendekar bertubuh raksasa itu masih meraung.
"Jawab! Sebelum aku penasaran," gertak Mirah
berpura-pura sambil melihat ke arah Umang dan Sri
Ayuningrum. Umang menggeleng-geleng kepala.
"Lindungi aku Nona! Aku bukan orang yang
penting lagi di mata kalian," jawab pendekar itu dengan nada sedih.
"Biarkan dia hidup, Mira!" bisik Sri Ayuningrum
dengan rasa kasihan, "Ia tidak akan dapat mendatangkan kesulitan bagi kita
lagi." Ketika itu datang Kaswita dengan beliung di
tangan dan hampir-hampir saja membolongi bagian
punggung pendekar malang itu dengan beliungnya
yang sudah banyak memakan korban. Tetapi Sri Ayuningrum kembali menyelamatkannya
untuk kedua ka-
linya. Belum lama peristiwa itu terjadi, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh bunyi
berderak-derak disertai
goncangan-goncangan keras sehingga hampir saja mereka terpelanting.
"Mungkin kapal ini mulai tenggelam," Sri Ayuningrum menduga-duga. Dugaan itu
segera terbukti.
Lantai kapal tempat mereka berpijak semakin turun
sedangkan air semakin terasa naik.
"Kaswita! Kau tahu aku tidak dapat berenang."
kata Ayu Ningrum.
"Jangan khawatir, Kak! Aku tidak akan membiarkan mu sendiri!"
Sementara itu, terdengar pula bunyi berderakderak yang lebih kuat. Ketika itu
kapal semakin tenggelam. Suatu ledakan terdengar dan kapal besar itu
pun pecah berantakan. Belahan-belahan papan terapung berserakan di permukaan
air. Kaswita dengan kepandaian berenangnya berusaha menyelamatkan kakaknya Sri
Ayuningrum dari
serangan ombak. Belum begitu jauh mereka terbawa
arus, tiba-tiba dekat mereka hanyut sekeping bekas
dinding kapal yang cukup besar. Kaswita menggapainya dengan cepat, kemudian
dengan susah payah
mengangkat Sri Ayuningrum ke atas.
"Alhamdulillah!" ucap gadis itu dengan rasa penuh syukur.
Ketika itu, matahari perlahan-lahan tenggelam
di kaki langit sebelah Barat, namun cahaya samarsamar masih juga mewarnai
permukaan laut. Sepanjang malam itu Kaswita dan Sri Ayuningrum terombang-ambing
dibawa ombak. Mereka tidak hentihentinya memperhatikan benda-benda yang hanyut
di sekitar mereka harapan kalau-kalau ada teman-teman
yang memerlukan pertolongan. Tetapi, sebegitu jauh,
mereka tidak menemukan apa-apa kecuali serpihserpih papan yang tidak berarti.
Sementara itu rasa lapar dan haus semakin menggoda. Sekali-sekali, Sri
Ayuningrum teringat kepada Baureksa dan Umang,
kepada Unui, Neneng dan Nuna. Ia pun sangat terkesan kepada kebaikan dan
keramahan Mirah.
Sekarang semua berantakan. Berpisah satu
sama lain entah ke mana dan mungkin tidak akan bertemu lagi. Sri juga teringat
kepada kakaknya Jaka
Sembung yang baru bertemu kemudian berpisah lagi.
Mengenang semua itu tanpa disadarinya hatinya terseret kesedihan dan air matanya
berlinang menyatu dengan air laut yang sama asinnya.
Suasana laut malam itu seperti kolam, tenang
dan ramah. Sementara langit tampak biru bening. Di
sana-sini terlihat bintang bertaburan berkelip-kelip di
kejauhan. Bulan semakin lama semakin benderang
dan angin laut berembus tenang seramah ombak dan
gelombang, seakan-akan menaruh kasihan kepada dua
orang manusia yang sedang terkatung-katung itu.
Akhirnya, karena keletihan dan kesedihan Sri
Ayuningrum dan adiknya Kaswita tertidur pulas di
atas kepingan kapal itu tak tahu lagi apa yang terjadi.
*** Suasana pagi itu sangat cerah. Angin laut berhembus tenang. Matahari menyinari
pantai berpasir
putih itu, dan dari jauh tampak berbinar-binar.
Burung camar kelihatan terbang mengepakngepak sayap. Sebentar-sebentar menukik
rendah ke permukaan air dan menyambar secepat kilat sambil
membubung kembali dengan ikan tangkapan di kakinya.
Dua sosok tubuh yang tergeletak di pantai itu
tampak masih terbaring. Kedua tubuh yang letih dan
tidak berdaya itu, tidak lain dari Sri Ayuningrum dan
Kaswita. Cahaya matahari pagi yang lembut memberikan
kehangatan kepada kedua pendekar muda itu. Tibatiba terlihat Sri Ayuningrum
menggeliat dan kemudian
membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tetapi, secepat itu pula ia terpejam
kembali karena silau.
Ketika badannya membalik ke kanan, ia melihat Kaswita tertelungkup di pasir.
"Mengapa ia tidur di
pasir?" tanyanya dalam hati. Tetapi kemudian segera ia
merasa dirinya pun sama.
Sri Ayuningrum perlahan-lahan bangun. Ia duduk di pantai dan menjilat ujung
kakinya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan beberapa langkah ke tempat Kaswita yang
masih terbaring.
"Kaswita! Kaswita! Bangun!" serunya sambil
menggoyang-goyang bahu adiknya. Kaswita kaget dan
serentak duduk.
"Di mana kita berada sekarang, Kak?"
"Tuh!" Sri Ayuningrum menunjuk ke laut.
"Wah, rupanya kita terdampar di sini dibawa
gelombang."
"Ya, hanya karena lindungan-Nya kita bisa selamat," ujar Sri dengan mata
berkaca-kaca. Kaswita
menunduk kepala membenarkan ucapan kakaknya.
"Yang lain di mana, Kak?"
"Aku tak tahu!"
"Bagaimana kalau kita mencoba menyusuri
pantai ini?" usul Kaswita dengan harapan dapat menemui kawan-kawannya yang lain
senasib. Sri Ayuningrum mengerti maksud adiknya.
"Aku setuju!"
Kaswita segera membenahi dirinya dan memungut senjata beliungnya yang tak pernah
tinggal. "Mudah-mudahan, Kak, kita bertemu dengan
kawan-kawan yang lain."
"Harapanku pun begitu, terutama dengan Kang
Parmin." Sambil berbicara mereka terus menyusuri pantai putih yang berkilau-kilau terkena
sinar matahari.
Baru kira-kira 100 meter mereka meninggalkan tempat
mereka terdampar, tiba-tiba mereka melihat kepingan
dinding kapal yang pernah mereka gunakan untuk
menyelamatkan diri.
"Benar, Kak! Memang itu papan yang telah
membantu kita sampai selamat," lapor Kaswita kepada
kakaknya setelah papan itu diseret ke darat.
"Kalau begitu, bukan tidak mungkin kawankawan yang lain pun terdampar di sekitar
pantai ini,"
kata Sri Ayuningrum mereka-reka.
"Mengapa begitu, Kak?"
"Pasti ada angin kencang yang berhembus dari
satu arah sehingga sampah-sampah laut datang ke sini," kata Sri sambil menunjuk
dengan ujung kakinya
pada seonggok sampah kapal yang mendarat pula.
"Termasuk kita?" kata Kaswita.
"Ya!"
Kemudian mereka meneruskan perjalanan itu
di sepanjang pantai.
TAMAT Pembaca yang setia,
Bagaimana nasib Jaka Sembung" Bagaimana
nasib Unang dan Mirah" Bagaimana nasib si Gila Dari
Muara Bondet"
Bagaimana pula nasib Baureksa" Tunggulah
episode-episode berikutnya, mulai dari episode berjudul:
Terdampar Di Pulau Hitam
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Si Pemanah Gadis 4 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Lencana Pembunuh Naga 11