Pencarian

Betina Dari Neraka 1

Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka Bagian 1


BETINA DARI NERAKA Karya : D. Affandy
EPISODE I PEMIKAT IBLIS EPISODE II IBLIS BETINA DARI NERAKA
EPISODE III MEMBURU MANUSIA SETAN
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
1 Matahari senja menapaki kaki bukit.
Suasana di sekitar Malaya terasa sepi seperti berada di daerah kuburan. Dalam
suasana senja yang sedemikian mencekam itu. Tiba-tiba dari arah utara terdengar
derap langkah suara kaki kuda. Semakin lama langkah kuda yang dipacu dengan
tergesa-gesa itu semakin bertambah mendekati sebuah sungai. Sampai kemudian
terlihat salah seorang penunggang kuda memakai ikat kepala warna hitam, berbaju
hitam dan kuda yang ditungganginya
berwarna hitam pula. Laki-laki ini bertampang sangat angker, wajahnya di penuhi
jambang dan bawuk lebat. Badannya tegap berisi pertanda bahwa ia memiliki tenaga
yang sangat besar. Sungguh sangat jauh berbeda dengan kuda yang ditungganginya,
karena kuda tersebut berbadan kurus macam keledai peot. Melihat keadaan kuda
kurus kering itu; tentulah ia baru dipacu dari sebuah tempat yang sangat jauh.
Terbukti badan kuda itu
berkeringat, lidahnya menjulur seperti anjing sedangkan dari hidung dan mulutnya
keluar busa berwarna putih.
Sampai di pinggir sungai yang sudah berubah gelap itu. Tiba-tiba penunggang kuda
tersebut menghentikan tunggangannya.
Ia melompat turun tanpa menghiraukan
benda semacam karung yang terus
menggelantung di punggung kudanya.
Sebentar ia celingak-celinguk memperhatikan suasana di sekelilingnya. Kemudian
ia menuruni pinggiran sungai. Sebuah kantong dikeluarkannya dari balik bajunya
yang dekil. Dari dalam kantong hitam dikeluarkannya serbuk. Serbuk itu ia
tebarkan ke dalam sungai. Hanya dalam waktu singkat terlihat adanya gejolak di
dalam sungai tersebut. Jika saja suasana dalam keadaan terang benderang. Tentu
segera terlihat bahwa ikan-ikan yang hidup dalam sungai tersebut terkapar mati.
Jelas serbuk yang baru di
tebarkannya merupakan serbuk racun yang sangat ganas. Laki-laki itu tampak puas
sekali. "Hanya dalam waktu yang singkat. Ha ha ha...! Hanya dalam waktu yang singkat
orang-orang di seantero Jawa Barat ini pasti pada mampus semua!" Laki-laki itu
kemudian memasukkan kantong bubuk racun ke balik pakaiannya kembali. Sebentar ia
berjalan mendekati kudanya, karung di atas kuda diturunkan. Lalu dengan
seenaknya karung itu ditendangnya hingga masuk ke pinggir sungai. Karena
terganjal batu, maka karung tersebut tidak langsung masuk ke air melainkan
tertahan. "Di dunia ini memang tempat
bernaungnya para iblis. Tidak heran jika
orang seperti Pematung Kelana mampus di tangan iblis pula. Para iblis kini
mempunyai urusan dan rencana besar.
Bagaimana caranya membuat seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut
iblis...!"
Pengikat karung disentakkan oleh
orang bertampang angker ini. Begitu karung terbuka. Maka tercium bau busuk yang
sangat menusuk. Bau busuk tersebut sedemikian menyengat. Hingga membuat
seseorang yang memperhatikan tingkah penunggang kuda kurus terpaksa menutup
hidung dan mulut.
Ia menyeka keningnya yang ber-
keringat. Buah durian yang dimakannya kini ia letakkan di samping tempat
duduknya pada cabang yang sama.
"Apa yang dilakukan lutung angker itu" Ia membekal makanan yang busuknya seperti
bangkai manusia. Ketika ia bicara pelan tadi aku mendengar ia ada menyebut-
nyebut tentang Pematung Kelana! Pematung Kelana yang mana yang dimaksudkan
monyet itu" Apakah pematungnya para iblis" Atau malah Pematung Kelana yang
kujumpai di bukit Watu Cadas beberapa purnama yang lalu?" Si pemuda garuk-garuk
kepalanya. Dalam kegelapan itu tatapan matanya yang setajam mata elang terus memperhatikan
laki-laki berbadan tegap yang disebutnya dengan 'Monyet Lutung'.
"Pematung Kelana" Kurasa pematung sepertimu sudah tidak ada lagi di antara
orang-orang yang segolongan denganmu.
Kini kau memang pantas menjadi bangkai menemani ikan-ikan yang sudah mati itu!"
Kembali terdengar suara serak si
laki-laki. Tentu saja pemuda berbaju biru berambut kemerah-merahan ini terkejut
sekali mendengar ucapan orang yang berada di bawahnya. Dugaannya tentang
Pematung Kelana ternyata meleset. Jadi orang yang telah membusuk di dalam karung
itu bukan Pematung Kelana aliran sesat" Weeh...
bagaimana aku ini" Kuingat-ingat, ia merupakan seniman aneh dan memiliki
kesaktian yang luar biasa. Berarti orang yang telah membunuh Pematung Kelana
merupakan lutung hitam di bawah sana yang kesaktiannya di atas luar biasa pula.
"Aih... keparat betul...!" Pemuda berambut kemerah-merahan ini membatin dihati.
Dua suing kulit durian disambarnya.
Laksana kilat ia menyambitkannya ke arah laki-laki berbaju hitam yang sudah
bersiap-siap melemparkan mayat Pematung Kelana ke dalam sungai.
Bletak! Buuk! Dengan keras kulit durian itu
menghantam kepala dan punggung si laki-laki. Sungguh pun yang dilemparkannya
hanya kulit durian, namun membawa akibat
yang cukup fatal.
Kulit durian itu
sebagian menancap di punggung penunggang kuda kurus, sedangkan satu di antaranya
menghantam keningnya.
"Wuah... setan alas! Kunyuk mana yang telah begini lancang main-main dengan
Sugriwa Kertopati!" Laki-laki baju hitam yang berdiri di bawah pohon yang
diduduki di pemuda menggeram marah.
Suasana kemudian berubah hening.
"Bangsat! Kunyuk yang di atas pohon, sebaiknya cepat kau perkenalkan diri. Kau
merupakan kawan kami atau hanya seekor monyet yang ingin cepat-cepat mampus?"
"Ha ha ha...! Kebetulan aku masih mempunyai derajat yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan monyet lutung seperti mu! Kalau melihat bawaanmu, tentu kau
lutung kesasar dan sesat. Sedangkan aku orang baik-baik yang sangat benci dalam
hal racun meracun!" jawab pemuda baju biru yang tidak lain adalah Suro Blondo
alias Pendekar Blo'on. Sugriwa Kertopati tentu saja kaget bukan main mendengar
semua apa yang dilakukannya telah
diketahui oleh orang lain. Sehingga ia sempat terdiam untuk beberapa saat
lamanya. Dicabutnya kulit durian yang
membenam di bagian kening dan punggungnya. Dengan gerakan ringan dan asal-
asalan ia melemparkannya ke arah
kegelapan pohon.
Wuut! Wuut! "Aduh...!" Suro Blondo mengeluh.
Padahal sambitan yang dilakukan oleh lawannya sama sekali tidak mencapai
sasaran. "Keparat! Aku tahu kau mengejekku!
Cepat kau turun atau aku akan membuatmu tidak berkutik di pohon itu?"
"Seharusnya kau malu, karena kau ternyata tidak becus apa-apa. Tapi kurasa
semakin lama aku semakin bosan bermain-main dengan lutung jelek sepertimu! Aku
tanya... harap kau jawab secepatnya...!"
tegas Pendekar Blo'on.
"Huh...!"
"Benarkah mayat yang baru hendak kau buang itu mayat Pematung Kelana?"
"Apa perdulimu?" dengus Sugriwa Kertopati.
"Tentu saja aku sangat perduli.
Karena Pematung Kelana masih merupakan kenalan dekatku dan orang yang sangat
kuhormati." Sugriwa Kertopati sama sekali tidak menjawab. Tiba-tiba ia
merangkapkan tangannya ke depan dada. Secepat tangan hitam berbulu itu bergerak,
maka secepat itu pula ia mengibaskannya ke atas pohon.
Wus! Seleret sinar berwarna kemerah-
merahan menderu dan menghantam cabang
pohon yang diduduki oleh Suro Blondo.
Pemuda ini kaget bukan main begitu merasakan sengatan hawa dingin mencucuk
menghantam pantatnya. Ia melompat ke pohon lain, lalu melepaskan pukulan 'Kera
Sakti Menolak Petir' untuk menghadang pukulan berikut yang dilepaskan oleh
Sugriwa Kertopati. Suasana berubah terang laksana kilatan cahaya petir. Sugriwa
Kertopati paling sempat melihat wajah si pemuda melalui cahaya yang terpancar
dari pukulan lawannya ini. Pemuda bertampang tolol berambut hitam kemerah-
merahan. Rasa-rasanya ia pernah mendengar ciri-ciri seperti dari ketua mereka.
* * * * Sugriwa Kertopati rasanya sudah
tidak dapat berpikir lebih jauh lagi.
Karena sinar putih berkilauan laksana perak tersebut langsung melabrak ke
arahnya. Wuut! Seketika ia mengibaskan tangannya
memapaki serangan itu. Cahaya merah berhawa dingin menderu. Kemudian terdengar
suara ledakan dahsyat meng-
getarkan. "Edan!" Suro Blondo menggerutu sambil basahi bibirnya. Ia kemudian melompat dari
cabang pohon dan
menginjakkan kedua kakinya di atas sebongkah batu tidak jauh dari tempat Sugriwa
berdiri. "Manusia muka kunyuk bertampang iblis ini boleh juga. Tapi kurasa aku
tidak perlu mengulur waktu.
Sungai ini sudah tercemar, aku harus bisa paling tidak menangkapnya. Setelah itu
segera kuumumkan pada semua penduduk agar tidak memakai air sungai ini untuk
kepentingan memasak!" batinnya.
"Siapakah kau?"
"Hmm, aku adalah aku. Bukan kau, bukan bapakmu dan juga bukan kakekmu!
Lekas kau berlutut di depanku. Aku mau menangkap kau punya badan dan mengumumkan
pada orang-orang bahwa kau telah meracuni sungai ini!" Suro Blondo menggelengkan
kepala sambil menyeka keringat yang mengucur di keningnya.
Sugriwa Kertopati tertawa membahak.
Tawa itu jelas disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Suro Blondo
dapat merasakan getaran itu. Tapi ia malah menyeringai seperti kuda terinjak
duri. "Bicaramu boleh juga, bocah
bertampang tolol. Kau kira dengan
kepandaian picisan yang kau miliki kau dapat melawanku" Cobalah berkaca apakah
kau pantas mengalahkan aku!"
"Air yang biasa kupergunakan untuk berkaca telah kau racuni. Mana mungkin
aku dapat melakukannya. Menyerah sajalah kau padaku...!"
"Bangsat rendah! Tidak ada yang dapat memerintah anggota iblis, apalagi hanya
monyet tolol sepertimu?" bentak Sugriwa. Tiba-tiba saja ia menerjang ke depan.
Tinjunya melayang mengarah pada bagian mata kiri Suro. Sedangkan kaki melakukan
serangan tipuan kilat. Tindakan yang dilakukan oleh lawannya ini benar-benar
tidak pernah terduga oleh pemuda berambut hitam kemerahan ini.
"Gila betul!" gerutunya. Ia melompat ke samping kanan selamatkan wajahnya. Namun
tendangan Sugriwa sempat menghantam tulang keringnya.
Duuk! "Kampret sialan!" maki si pemuda terpincang-pincang.
Melihat lawannya dalam keadaan
begitu rupa. Tiba-tiba ia menyerang kembali. Jurus yang digunakannya juga bukan
merupakan jurus sembarangan. Ia mengerahkan jurus 'Tapak Neraka Dunia'
dalam upaya nya mengakhiri perlawanan Suro Blondo.
Pemuda berbaju biru ini tentu tidak mau bersikap gegabah lagi. Begitu kaki
kirinya bergeser ke belakang. Maka Suro pergunakan jurus 'Kera Putih Memilah
Kutu' "Huup...!"
Wuut! Wuut! "Iih...!"
Suro Blondo terus berkelit dengan
gerakan-gerakan lincah, lucu dan konyol.
Sesekali ia bahkan melompat-lompat sambil menggaruk-garuk punggungnya. Namun
setiap serangan yang dilakukan oleh
Sugriwa selalu mengenai sasaran kosong. Sugriwa dalam kegelapan itu sempat terkejut.
Sama sekali ia tidak menyangka kalau pemuda tampan bertampang tolol itu dapat
menghindari setiap serangan yang
dilakukannya. "Manusia geblek..!" dengus Sugriwa.
Tiba-tiba saja ia merentangkan kedua tangannya. "Inti Hati Yang Satu!" jerit
Sugriwa. Laksana kilat ia menerjang ke
depan, tapi kali ini ia tidak menyerang secara langsung. Melainkan mengitari
tubuh Suro dari segala penjuru arah.
Lalu..., Deb! Deb! Tangan kanan dan tangan
kiri menggebrak secara beruntun ke arah empat jalan kematian. Pendekar Blo'on
tercekat juga merasakan sambaran-sambaran angin yang begitu menghebat. Satu
hantaman keras menderu ke bagian tulang rusuknya.
Pemuda ini tampak sekali tidak sempat menghindari serangan ini. Sehingga ia
terpaksa menangkisnya dengan siku
kirinya. Benturan tidak dapat dihindari lagi.
Duuk! "Hukh...!"
"Beeh...!"
Dua-duanya terkejut sekali. Sugriwa bahkan sempat terhuyung-huyung. Sedangkan
Suro Blondo meringis sambil memegangi sikunya yang membengkak merah.
"Ternyata kau memiliki kebolehan juga, kunyuk!"
"Hhmm...." Suro Blondo menggumam tidak jelas.
Dalam keadaan begitu rupa, pemuda
berambut hitam kemerahan ini merobah jurus Silatnya dengan jurus 'Serigala
Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'. Ini merupakan jurus yang lebih konyol lagi,
yang kelihatannya dilakukan secara asal-asalan. Namun membawa pengaruh yang
sangat berat bagi lawannya. Sugriwa terkesiap ketika di atas lima belas jurus
kemudian ia mulai mendapatkan tekanan-tekanan yang hebat dan dapat mem-
bahayakan pertahanannya. Ia berusaha mengerahkan jurus lain yang dimilikinya
untuk melakukan serangan balik. Tapi sekali lagi ia dipaksa menghadapi
kenyataan yang sangat mengesalkan.
Semakin hebat dia berusaha mendesak lawannya, maka semakin gigih pula Suro
Blondo melakukan serangan balik.
Celakanya sungguh pun gerakan yang dilakukan oleh lawan seperti gerakan monyet
melompat dan berayun. Tapi lawan yang bertarung sambil tertawa dan


Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melolong ini sulit dijinakkan.
Buuk! "Huakgh...!"
Sekali waktu tinju kiri Pendekar
Blo'on mendarat di dada Sugriwa. Laki-laki berkulit hitam legam ini jatuh
terpelanting. Sudut-sudut bibirnya mengalirkan darah.
Anehnya ia sudah dapat bangkit
kembali hanya dalam waktu beberapa detik saja. Ia bahkan sekarang telah mencabut
senjatanya yang berupa sepasang roda baja yang memiliki ujung runcing seperti
mata tombak pada setiap sisinya.
Cring...! Senjata kembar bulat bentuknya dan bergerigi ini sempat memijarkan api ketika
Sugriwa mengadunya antara yang satu dengan lain.
"Kali ini kau tidak mungkin dapat luput dari kematian, bocah tolol! Tapi sebelum
kau mampus di tanganku, maukah kau menyebutkan siapa namamu agar nanti dapat
kutuliskan di atas nisanmu?"
Sugriwa Kertopati. Suro Blondo tersenyum, karena yakin senyumnya tidak mungkin
terlihat oleh lawannya. Maka pemuda ini tertawa.
"Malaikat sudah tahu namaku. Kurasa hanya pada iblis saja aku pantas
berahasia. Karenanya, kau sajalah yang sebutkan nama. Karena ucapanmu itu bisa
saja berbalik menghantam dirimu!"
"Bangsat!" sambil menggeram, Sugriwa menggerakkan kedua tangannya ke depan.
Zing! Siing! Kedua senjata berbentuk roda itu
melesat ke arah Suro Blondo. Bukan main cepat dan berbahaya serangan yang
dilakukan oleh Sugriwa. Pendekar Blo'on tentu saja tidak ingin mati konyol. Ia
mempergunakan jurus khusus menghindar yang diberi nama 'Seribu Kera Sakti
Mengecoh Harimau'. Di samping itu ia juga mengerahkan ilmu mengentengi tubuh
'Kilat Bayangan'. Cepat sekali pemuda berambut merah ini berkelebat lenyap.
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Sugriwa luput. Namun senjata yang dapat
kembali pada pemilik dengan sendirinya ini terus bergerak mengejar kemana pun ia
berusaha menghindar.
Suro Blondo sadar betul ia tidak
mungkin berkelit seperti itu selama-lamanya. Karena bagaimana pun lama kelamaan
tenaganya terkuras habis. Maka ia segera menyalurkan tenaga dalamnya ke bagian
telapak tangannya. Masih dalam keadaan bergerak menghindar tubuhnya
bergetar keras. Kedua tangannya bahkan telah berwarna merah redup. Satu
kesempatan ia menjejakkan kakinya, begitu kaki menyentuh tanah. Suro Blondo
menghentakkan kedua tangannya ke arah senjata lawan yang tengah melaju deras
mencari sasaran. Wuut!
Angin kencang disertai hawa panas
meluruk ke arah senjata Sugriwa. Kemudian terdengar suara ledakan keras
berdenting bagaikan suara bertemunya dua benda keras.
Trang! Senjata roda bergerigi milik
Sugriwa membalik terdorong pukulan
'Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar'
yang melesat dari telapak tangan si pemuda. Sugriwa tentu saja tidak mau
mengambil resiko dengan cara menangkap senjata yang hendak mencelakakan dirinya
sendiri itu. Ia cepat merunduk sambil terus berguling-gulingan. Satu senjatanya
dapat ia hindari. Tapi senjata yang lainnya dengan cepat telah menghantam batok
kepalanya. Sugriwa Kertopati menjerit keras, tapi sudah tidak mampu angkat
kepalanya yang rengkah. Tubuhnya menggelepar, kepalanya golang-goleng.
Lalu diam membeku.
"Hh, sayang dia mati. Aku tidak bisa tanya siapa orang yang berdiri di
belakangnya. Apa yang harus kulakukan!"
Pendekar Blo'on menepuk keningnya
berulang-ulang. "Monyet lutung itu cuma punya harta seekor kuda kurus kering."
Suro Blondo kemudian menghampiri kuda kurus yang tampak gelisah tersebut. "Kuda
semacammu begini apa yang diharap"
Tulangmu lebih banyak daripada dagingmu.
Kulitmu juga keriput, paling yang besar cuma kentut sama kotoranmu. Lebih baik
kau bawa majikanmu itu ke tempat asal!"
kata Suro Blondo. Pemuda berwajah tampan bertampang seperti orang tolol ini
kemudian mengangkat mayat Sugriwa. Sama sekali ia tidak menyentuh roda bergerigi
yang membuat retak kepala pemiliknya sendiri. Ditepuknya pantat kuda tiga kali.
Bibirnya tersenyum lalu berkata:
"Kalau sudah sampai ke tempat tuanmu yang lain, katakan pada mereka bahwa
majikanmu mati bunuh diri...!"
Kuda yang dalam keadaan ketakutan
itu meringkik keras, kemudian lari terbirit-birit dengan membawa mayat Sugriwa
Kertopati di punggungnya.
2 Ruangan pertemuan itu sangat luas
sekali. Tiang-tiang penyangganya dibuat dari orang-orang yang telah mati. Tentu
mayat-mayat yang dijadikan tiang
penyangga tersebut berasal dari golongan putih. Keadaan mayat-mayat itu sungguh
menyedihkan sekali. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah singgasana, di
samping singgasana terdapat pula sebuah patung batu marmar yang sangat indah.
Patung itu berujud perempuan berbaju transparan.
Di atas singgasana itu kini duduk
seorang perempuan berpakaian ketat warna ungu. Tanpa menghiraukan orang-orang di
sekitarnya. Tiada henti ia perhatikan patung laki-laki dan patung perempuan di
kanan kirinya. Sungguh pun patung
perempuan itu sangat cantik tidak
terkira. Tapi nampaknya ia menyukai patung laki-laki berbadan kekar dengan otot-
otot menonjol yang terdapat di samping kanannya. Lebih dari lima orang tokoh
kini berada di dalam ruangan itu.
Di antara mereka adalah Mustika Jajar (Dalam Episode Pemikat Iblis), Damerta, Ki
Alit. Kedua laki-laki ini berhasil dipengaruhi oleh Mustika Jajar. Mereka
berasal dari Samba. Kemudian Wiku Palawa, laki-laki berumur tujuh puluh lima
tahun, berbadan bongkok bersenjata tongkat.
Kemudian seorang laki-laki berbaju kembang-kembang seperti banci.
Tidak lama setelah itu muncul pula seorang laki-laki tua berambut serba putih,
berjenggot panjang dan punya mata cuma satu. Mata itu senantiasa berwarna
kemerah-merahan, seperti orang yang terkena penyakit mata. Ketika melihat
kemunculan laki-laki mata satu yang dikenal dengan julukan Tua Tengkorak Mata
Api ini. Mustika Jajar yang duduk di atas singgasana langsung menjura hormat.
"Silakan guru Maha Sesat mengambil tempat!" pinta si gadis pelan.
Tua Tengkorak Mata Api dari lereng Cilawu ini langsung duduk di atas
singgasana lain yang disediakan khusus buatnya.
"Untuk mempersingkat waktu sebaiknya kita mulai saja pertemuan ini!"
Mustika Jajar bangkit berdiri.
Semua mata memandang kepadanya. Termasuk juga Damerta dan Ki Alit.
"Kisanak sekalian dan juga guruku yang sangat kumuliakan. Hari ini aku sengaja
mengundang kalian ke tempat pertemuan Curing bencana, tentu saja dengan maksud
yang sangat baik. Aku ingin membuat sebuah kekuasaan dan kerajaan yang sangat
besar. Sebuah partai yang tidak terhingga dan menguasai hajat hidup
semua golongan. Karena kulihat di wilayah barat ini tidak ada satu partai pun
yang menonjol, baik dari golongan hitam maupun putih. Maka inilah kesempatan
yang sangat baik bagi kita...!" kata Mustika Jajar secara panjang lebar.
"Tunggu dulu! Di wilayah barat ini aku mendengar kehebatan seorang pematung.
Katanya ia merupakan tokoh aliran lurus yang mempunyai kepandaian hebat. Di
samping itu dari daerah timur kudengar pula ada seorang pendekar bertampang
tolol yang memiliki kesaktian luar biasa dan aneh. Setiap orang yang memiliki
kesaktian tinggi dari golongan lain, aku menganggap ia merupakan musuh yang
harus diperhitungkan!" kata Damerta cemas.
Mustika Jajar tersenyum, seraya
mengelus-elus patung laki-laki di
sampingnya penuh kebanggaan.
"Para Kisanak, lihatlah patung ini!
Ia merupakan lambing kesempurnaan dari seorang ahli seni. Hanya Pematung Kelana
yang dapat menciptakan patung seperti ini. Menurut kehendak para iblis, patung
ini dapat kita hidupkan sebagaimana halnya manusia. Jika ia telah hidup, berarti
dia menjadi andalan kita dimasa yang akan datang. Menurut anda,
mungkinkah patung sebagus ini oleh pemiliknya diberikan pada kita" Sedangkan
saudagar Bergola Mungkur yang kaya raya
saja tidak bisa mendapatkannya" Padahal dia bersedia menukarnya dengan tiga
kantung uang emas."
Orang-orang yang hadir dalam
ruangan pertemuan saling diam. Tidak lama barulah salah seorang di antara mereka
bertanya. "Tetua... bagaimana cara anda mendapatkannya" Apakah anda membujuk Pematung
Kelana?" "Hi hi hi! Tentu saja tidak!
Pematung Kelana kubereskan dulu, setelah tubuhnya yang lapuk kucampakkan ke
jurang, kemudian kuambil patung ini.
Sekarang ini aku mendengar munculnya seorang pendekar...!"
"Muridku, bicara terus terang dan langsung pada titik persoalan! Aku tidak betah
duduk berlama-lama di sini." sergah Tua Tengkorak Mata Api tidak sabar.
"Maafkan aku guru. Mengenai rencana muridmu ini tentu guru sudah dengar.
Ambisiku terang dan jelas. Yaitu ingin mendirikan sebuah kerajaan dan kekuasaan.
Sekaligus membuat perjanjian untuk menghidupkan patung ini untuk kujadikan
pengawalku kelak...!"
"Rencanamu sangat gila..."!" dengus laki-laki bermata satu ini tidak setuju.
"Mengapa gila guru" Bukankah guru punya Ajian Benteng Roh" Guru pernah
mengatakan padaku bahwa benda-benda mati
yang menyerupai sesuatu yang hidup dapat dihidupkan kembali sebagaimana guru
menurunkan ilmu silat padaku?"
Tua Tengkorak Mata Api terdiam.
Bagaimana pun ia sangat sayang pada muridnya. Karena sayangnya, dulu segala
keinginan si gadis selalu diturutinya.
Dan inilah kesalahan sekaligus
kelemahannya. Tapi untuk tidak
mengabulkan permintaan muridnya. Laki-laki bermata satu ini merasa ragu.
"Semua apa yang kukatakan memang tidak dapat kupungkiri, tapi ingatlah!
Aku bukanlah Tuhan. Tentu caraku sangat jauh bertentangan dengan kehendakNYA.
Tentu saja kekuatan yang akan berperan dalam hal ini adalah kekuatan iblis
juga!" kata Tua Tengkorak Mata Api.
"Aku tidak perduli kekuatan apa yang akan mengisinya. Yang jelas aku ingin agar
patung ini dapat hidup untuk mendampingiku!" Mustika Jajar rupanya tetap
bersikeras juga.
"Hmm, begitukah?"
"Benar, guru."
"Watakmu memang keras sejak kecil.
Untuk menghidupkan patung itu diperlukan gadis paling tidak tujuh orang yang
masih suci. Apakah kau sanggup?"
"Hi hi hi! Jangankan baru darah tujuh orang gadis suci. Seratus sekalipun kalau
memang itu saratnya akan kupenuhi.
Bukankah begitu, Wiku Palawa?" Mustika Jajar melirik ke arah Wiku Palawa. Laki-
laki berjenggot panjang ini menganggukkan kepala.
"Sebagai anggota, tentu saja aku akan selalu memenuhi perintah tetua!"
"Untuk mencari dan mengumpulkan gadis-gadis itu, aku juga mau
membantunya." ujar Damerta dan Ki Alit hampir bersamaan.
"Nah tunggu apa lagi, sekarang berangkatlah kalian!" kata Mustika Jajar.
Tanpa menunggu lebih lama lagi
berangkatlah Damerta, Ki Alit dan Wiku Palawa.
Kini di ruangan itu hanya tinggal
Mustika Jajar, Tua Tengkorak Mata Api dan juga Pamali. Suasana di dalam ruangan
begitu hening. Dan Mustika Jajar baru saja ingin mengatakan sesuatu ketika
seekor kuda meringkik-ringkik di halaman Curing Bencana
"Kuda itu seperti kuda tunggangan milik Sugriwa" Ada apa dengannya?" desis
Mustika Jajar. Tua Tengkorak Mata Api seakan mengetahui apa yang telah terjadi,
sehingga iapun berkata.
"Orangmu yang bernama Sugriwa telah meninggal, Tika. Racun telah berhasil
ditebarkan ke sungai, begitu juga mayat Pematung Kelana telah dicampakkan ke
sungai. Tapi seseorang telah mem-
bunuhnya!"
Mustika Jajar terkejut mendengar-
nya. Ia cepat-cepat berpaling ke arah Pamali. Tanpa diperintah, Pamali langsung
menyadari bahwa tetuanya menghendaki agar ia mengambil jenazah Sugriwa. Laki-
laki berusia empat puluhan ini menjura hormat, kemudian pergi meninggalkan
ruangan. Hanya beberapa saat setelah itu, ia telah kembali sambil memanggul mayat Sugriwa
yang dalam keadaan sangat menyedihkan itu.
"Hem, benar-benar keji pembunuhnya!
Aku yakin Sugriwa tewas bukan karena membunuh diri. Kepalanya pecah, benaknya
berhamburan. Apakah masih ada kemungkinan untuk menghidupkannya, guru?"
Tua Tengkorak Mata Api menggeleng-
kan kepala. "Keadaannya yang begini mengenas-kan, mustahil bagiku untuk menghidupkannya.
Terkecuali kau mau mengorbankan sesuatu yang sangat besar!"
"Apapun persyaratannya akan kulakukan. Aku kasihan padanya, roh Sugriwa pasti
tidak tenang di alam sana."
"Apakah kau mau mengorbankan
kehormatanmu?" desis Tua Tengkorak Mata Api berterus terang.
Mustika Jajar tentu saja tidak
menyangka kesuciannya yang harus di jadikan korban untuk menghidupkan
Sugriwa. Sungguh pun ia tokoh sesat yang menghalalkan segala cara, rupanya untuk
menyerahkan yang satu itu ia tidak rela juga.
"Kalau itulah persyaratannya, aku tidak dapat menyanggupinya, guru!"
"Itulah sebabnya, lebih baik
kuburkan saja Sugriwa. Kau dapat mengurus persoalan-persoalan lain secepatnya!"
Mau tidak mau Mustika Jajar
terpaksa menurut juga. Ia memerintahkan Pamali untuk membawa mayat Sugriwa,
kemudian menguburkannya di suatu tempat.
3 Bukan di daerah Bumi Ayu saja
kematian akibat mempergunakan air sungai terjadi. Bahkan para penduduk yang
mempergunakan air sumur, juga tidak ter-lepas dari bahaya racun yang mematikan.
Rupanya hanya dalam waktu singkat racun yang ditebarkan oleh Sugriwa ke dalam
sungai Cimacan telah meresap ke seluruh mata air tanah. Dalam waktu yang singkat
banyak penduduk di wilayah Jawa bagian barat tewas secara sia-sia. Waktu itu
sangat dikenal dengan istilah 'Kegebluk'.
Tinggallah Suro Blondo dengan
dibantu oleh beberapa pemuda, masyarakat bekerja mati-matian untuk menyelamatkan
orang-orang yang tidak berdosa. Tapi
tidak jarang ia juga mendapat perlakuan kasar bahkan dicaci maki oleh penduduk
pada setiap desa yang dilaluinya karena mereka menyangka bahwa Suro Blondo-lah
yang menjadi penyebab timbulnya wabah yang sangat mematikan itu.
"Rasanya memang sulit menghadapi orang-orang bodoh! Aku yang kasih kabar agar
mereka tidak minum air sungai. Aku pula yang mereka tuduh telah meracuni sungai.
Tapi...!" Suro Blondo menggaruk-garuk rambutnya. "Bagaimana mungkin racun itu
dapat merembas sampai ke sumur"
Padahal jarak sumur-sumur mereka dengan sungai sangat jauh sekali."
Pemuda berambut hitam kemerahan ini tiba-tiba menghentikan langkahnya. Angin
kencang berhembus, mengibarkan anak-anak rambutnya yang terikat pita biru
belang-belang kuning. Pemuda bertampang tolol ini tiba-tiba menutup hidungnya.
Udara busuk menyengat hingga membuat perutnya terasa mual.
"Angin ini berasal dari desa di depan sana. Kalau tidak salah itu adalah desa
Cirebon! Apakah mungkin orang-orang di sana juga sudah pada mati" Ah...
kasihan. Kalau orang tuanya yang mati, berarti anak kehilangan bapak dan ibunya.
Sedangkan kalau gadis yang mati, kasihan sekali karena mereka belum sempat
kawin. Bagaimana ini" Apakah aku harus mengurus
mayat-mayat atau mencari biang keroknya penebar racun?"
Pendekar Blo'on tiba-tiba saja
hentikan ucapannya. Ia melihat ada cahaya putih berkilauan tampak melesat dari
satu arah. Bila Suro menoleh ke arah asal cahaya tadi. Maka jelas cahaya


Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut berasal dari gunung.
"Gunung apa itu" Mengapa gunung bisa mengeluarkan cahaya" Siang-siang bolong
begini, mana mungkin ada hantu berani tunjukkan muka tunjukkan hidung."
Bumm! Buum! Terdengar suara ledakan keras.
Pendekar Blo'on sempat merasakan tanah yang dipijaknya bergetar hebat. Dan ia
sadar betul ledakan itu berasal dari tempat jatuhnya sinar putih laksana bola
tadi. "Apa ini! Apa mungkin ada bintang yang jatuh dari langit" Sebaiknya aku lihat.
Siapa tahu ada petunjuk yang dapat kujadikan alat untuk membongkar masalah yang
sedang kuhadapi."
Karena jaraknya masih cukup jauh
juga. Maka mau tidak mau Suro terpaksa mengerahkan ilmu lari cepat Kilat
Bayangan untuk segera sampai ke tempat terjadinya ledakan tadi.
Hanya dalam waktu yang singkat Suro telah sampai di depan tempat terjadinya
ledakan tadi. Dengan jelas ia dapat
melihat sebuah lubang yang menganga.
Lubang itu masih mengepulkan asap
menyerupai kabut berwarna putih kemerah-merahan. Anehnya selain sebuah lubang
yang cukup besar, ia tidak melihat apa-apa lagi.
"Ternyata bukan petunjuk. Hanya sebuah lubang yang babi hutan pun dapat
membuatnya." Suro Blondo menggerutu. Lalu seka keringat yang mengucur di
dahinya. Tanpa minat pemuda ini bermaksud
meninggalkan tempat. Namun langkahnya tertahan ketika melihat sesuatu berwarna
putih seperti salju. Sesuatu yang
dilihatnya pertama tampak bulat seperti trenggiling. Tapi lama kelamaan
mengembang sehingga terlihat bentuk kaki dan tangan yang sangat pendek mirip
bayi yang baru berumur satu tahun.
"Eeh... anak apa itu" Mana mungkin ada orang membuang anaknya di tengah-tengah
tanah tandus seperti ini" Walaupun menjelang akhir jaman nanti memang banyak
perempuan yang membuang anaknya karena tidak punya bapak."
Suro Blondo merasa penasaran,
kemudian ia menghampiri sosok yang dilihatnya sangat aneh itu. Pemuda berambut
hitam kemerahan ini tentu saja tercengang begitu melihat sosok serba putih
seperti mayat itu ternyata bukan bayi dan juga bukan trenggiling
"Gila betul! Mau dikata orang, tapi badannya kecil macam orok satu tahun. Mau
kubilang bayi, tapi sudah punya jenggot, kumis dan rambutnya putih. Aneh...
mengapa wajahnya memancarkan cahaya.
Bocah kecil tapi seperti bocah bangkotan"
Pantasnya malah orang yang sudah berumur delapan puluh tahun." Suro Blondo
menggaruk rambutnya berulang-ulang.
"Sial betul, tampangku saja sudah konyol. Tapi tampang kakek setengah meter
tidak sampai ini lebih konyol lagi. Ya ampun... di atas tolol masih ada tolol.
Ini benar-benar tiruanku yang konyol.
Sontoloyo...!"
Pendekar Blo'on hanya berdiri
mematung sambil memandangi wajah tolol yang menggeletak dengan mata terpejam dua
tombak di depannya. Pendekar muda
berwajah tampan tolol ini menggelengkan kepalanya. Tidak disangka-sangka bocah
berjenggot dan berkumis putih ini membuka matanya. Begitu mata terbuka ia malah
tertawa sekeras-kerasnya hingga membuat sakit telinga si pemuda.
Suro Blondo menutup telinganya,
rupanya ia lupa. Padahal jika ia
mengerahkan tenaga dalamnya saja. Tentu pengaruh suara tawa itu dapat
ditangkalnya. "Bocah tolol, Pendekar
Blo'on. Ilmumu segudang, baru menghadapi aku saja
kau seperti melihat hantu jelek
telanjang!" kata bocah seperti bayi, namun berkumis dan berjenggot putih ini,
lalu hentikan tawanya. Suro Blondo kaget bukan main. Ternyata suara bayi itu
seperti suara orang tua. Selain itu ia juga heran bagaimana mungkin orang ini
dapat mengetahui namanya"
"Kau mengenalku, tapi alangkah kurang ajarnya kau karena memanggilku dengan nama
saja. Padahal umurmu paling baru satu tahun...!"
"Hu hu hu! Goblok juga kau. Umurku dengan umur kakekmu mungkin sama. Aku sudah
delapan puluh tahun, sedangkan kau baru dua puluhan...!"
Suro Blondo terlolong-lolong men-
dengar pengakuan orang yang mempunyai tinggi badan tidak sampai setengah meter
tersebut. Pemuda itu akhirnya pun ikut tertawa. Ia geli melihat kenyataan yang
sungguh-sungguh berada diluar dugaannya.
"Ada bayi tapi sudah berkumis dan berjenggot. Berarti anda delapan puluh tahun
berada dalam kandungan orang tua.
Wah kasihan sekali!"
"Tolol... justru aku sudah terlalu lama berada di dunia. Karena di dunia ini
masih ada orang yang memiliki tampang sepertiku, maka aku keluar dari puncak
Gunung Sembung untuk membantu kesu-litannya."
"Gila bayi ini... eh kakek ini...
lho bagaimana aku harus menyebut orang aneh macam tenggiling ini?" batin Suro
Blondo. Masih dalam keadaan telentang dan memakai cawat saja bocah berjenggot
itu berkata. "Namaku Wiro Suryo dari Gunung Sembung! Tenggiling Kedil sebutanku, aku punya
ajian Suket Sekilen dan ajian Pancar Cahaya. Hanya bocah gendeng, kalau kau mau.
Aku ikut kau, tapi kuharap kau memanggilku kakek. Karena umurku jauh.
lebih tua dari umurmu. He he he...!"
"Nggak bisa. Badanmu kecil seperti bayi setahun. Ha ha ha... mana mungkin kau
lebih tua dariku. Ha ha ha... jangan mengaku-ngaku. Lagi pula siapa tahu kau,
bapak moyangnya para tuyul!"
Wiro Suryo yang menurut pengakuan-
nya telah berumur delapan puluh tahun itu bangkit berdiri. Ketika ia berdiri
tegak. Maka tingginya hanya sebatas lutut Suro Blondo, sehingga membuat tawanya semakin
keras. "Kampret kau... jangan menghinaku.
Di Gunung Sembung semua jin baik takluk padaku. Lagipula mana kau bisa hentikan
racun darah yang telah dibuang ke sungai oleh Sugriwa! Cuma aku yang bisa
menutup semua mata air. Karena aku Tenggiling Kedil yang sakti. Hu hu hu...!"
"Aku tidak perduli siapa kau.
Bagiku kau tidak bedanya dengan bayi, makanya aku tidak mau memanggilmu
kakek...!"
"Goblok! Jangan banyak mulut, nanti kau tahu siapa aku...!"
"Apa perduliku. Mau setan, mau jin mau bocah bangkotan, kakek-kakek atau anak
tuyul. Ha ha ha... bagiku kau tetap bayi berjenggot yang terlalu lama berada
dalam kandungan!"
"Ha ha ha...!" Wiro Suryo tergelak-gelak. Kedua kakinya dilipat ke kepala
sehingga posisinya melingkar dan berubah bulat seperti tenggiling putih.
"Apakah kau bisa seperti aku ini?"
Suro Blondo tercekat.
"Hmm, benar-benar aneh manusia yang satu ini. Apakah dia manusia sepertiku atau
malah jin penunggu Gunung Sembung sana?" batin Pendekar Blo'on.
"Ha ha ha...! Benar-benar gila bukan" Aku hidup sampai tua tetap seperti bayi
hanya menunggu bertemu dengan seorang sahabat sepertimu."
"Siapa sudi bersahabat dengan kau?"
"Ah... sudah kubilang kau harus memanggilku kakek! Kalau tidak kau bakal kubuat
kelenger...!"
"Aku tidak mau!"
"Rasain kalau kau tetap ngotot!"
tiba-tiba Tenggiling Kedil melentik ke arah Suro Blondo. Begitu cepatnya,
sehingga pemuda itu tidak sempat
mengelak. Dilain kejab Wiro Suryo telah merengkuh pinggang si pemuda tidak jauh
bedanya dengan tali pengikat pinggang.
Lebih mengejutkan lagi, Wiro Suryo berubah bentuk memipih seperti angkin.
"Hiii... geli. Ha ha ha...
geli...!" Suro Blondo melonjak-lonjak kegelian. Ia bahkan berusaha menarik lepas
Wiro Suryo yang bergelantungan di pinggangnya. Tapi kakek seperti bayi itu
benar-benar mirip tenggiling. Sehingga Suro Blondo tidak mampu melepaskannya.
"Geli... wuakh... goblok. Jangan kau gelitiki perutku... wuah... geli...."
Suro Blondo menggeliat-geliat sambil berjingkrak-jingkrak dan berlari kian
kemari. "Goblok. Urusanmu masih banyak, aku bisa menjadi penunjukmu!" kata Wiro Suryo
terus menggelantung di pinggang Pendekar Blo'on.
"Edan...!" Suro Blondo menggerutu.
4 Perjalanan yang di tempuh oleh
Pendekar Blo'on Suro Blondo memang memakan waktu yang cukup lama. Apalagi tempat
persembunyian atau markas besar Mustika alias Iblis Betina Dari Neraka masih
belum jelas entah di mana. Pagi itu
udara dingin menyelimuti Daerah
Ketemanggungan Batu Sari. Di halaman
rumah Tumenggung Bono Sastrojoyo penduduk setempat tampak sedang berkumpul
menunggu kehadiran pemimpinnya dengan perasaan harap-harap cemas.
Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki berpakaian bangsawan dan dikawal
oleh dua orang laki-laki berbadan tegap memakai rompi hitam. Tumenggung Bono
Sostrojoyo memperhatikan penduduk yang berada di halaman rumahnya dengan sorot
mata menyelidik.
"Ada apa kalian pagi-pagi sekali datang kemari?" suara Tumenggung mening-kahi
suara-suara sumbang para laki-laki yang tampaknya tidak puas atas sikap lemah
pemimpinnya. Seorang laki-laki bertubuh bungkuk mewakili tidak kurang tiga puluh
kawannya tampak maju ke depan.
"Kami bukannya lancang, gusti Tumenggung. Cuma kami kurang puas atas sikap
Tumenggung yang kelihatannya masih tenang-tenang saja dengan hilangnya tujuh
gadis desa yang diculik oleh anggota Iblis Betina Dari Neraka. Kami khawatir
sikap ini hanya akan membuat perempuan iblis itu semakin sewenang-wenang. Tidak
ada yang ditakuti dan bukan mustahil suatu saat akan semakin banyak penduduk
terutama anak-anak gadis di wilayah Katemenggungan ini akan menjadi korban!"
"Ki Supit! Kukira hanya kau orang yang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan di
daerah kita ini. Mengapa kau tidak mau menghubungi orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi untuk mencari gadis-gadis yang hilang itu?" tanya Tumenggung
Sastrojoyo penuh teguran.
"Mana kami berani jika tidak ada perintah dari Tumenggung!" jawab Ki Supit.
Jalak Seta salah seorang pengawal
sekaligus orang kepercayaan Katemenggungan tiba-tiba saja maju ke depan.
"Jangan sembarangan menuduh! Kami di Katemenggungan telah melakukan segala upaya
untuk mencari anak-anak perawan kalian yang hilang itu. Tapi apa mau dikata"
Hingga sampai saat ini usaha kami belum mendatangkan hasil. Kalau kalian mau
bekerja sama, nanti sore kita dapat bersama-sama mencari mereka yang hilang!"
ujar Jalak Seta.
"Coba kalau hal ini dibicarakan sejak kemarin. Tentu kami tidak penasaran dan
terpaksa berkumpul di sini!" kata Ki Supit.
"Benar...!" kata kawan-kawannya mendukung ucapan Ki Supit.
"Sudahlah, kalian tidak usah cemas, persiapkan kuda dan segala peralatan senjata
yang kita butuhkan. Nanti sore kita bergerak melakukan pencarian...!"
kata Tumenggung Sastrojoyo.
"Hore... hidup Tumenggung....!"
teriak para penduduk Batu Sari.
Para laki-laki yang dipimpin oleh
Ki Supit itu akhirnya membawa orang-orangnya kembali
ke rumahnya masing-
masing. Tentu saja mereka mempersiapkan segala sesuatunya untuk nanti sore.
Ketika hari menjelang senja, maka
berangkatlah tidak kurang dari tiga puluh orang penduduk di sertai Tumenggung
Sastrojoyo dan juga Jalak Seta. Mereka bersenjata lengkap menyisir sepanjang
tepian hutan di mana beberapa hari yang lalu mereka melihat seorang laki-laki
bertubuh bungkuk melarikan gadis-gadis dari daerah Batu Sari.
Belum lama mereka berjalan. Tiba-
tiba saja mereka melihat seorang laki-laki keluar dari
dalam semak-semak
belukar. Ia memakai baju kembang-kembang.
Bagian keningnya menonjol, wajah laki-laki itu dipenuhi jambang dan bawuk lebat.
Tumenggung Sastrojoyo menghentikan kudanya diikuti oleh orang-orang yang berada
di belakangnya.
"Kalau tidak punya
keperluan. Sebaiknya menyingkir dari hadapanku sekarang juga!" dengus Tumenggung itu dengan
suara ketus. "Ha ha ha...! Kau tidak layak memberi perintah, Tumenggung! Aku tahu
kalian punya tujuan. Tentu kalian ingin mencari Betina Dari Neraka bukan" Apa
yang ingin kau lakukan tidak semudah yang kau bayangkan. Karena aku Menak
Tandira akan menjadi penghalang bagi kalian!"
"Hmm, rupanya kau anggota dan begundalnya betina iblis itu?"
"Belum, tapi aku calon anggota yang ingin bergabung!" kata Menak Tandira tegas.
"Biarkan kami yang memberi
pelajaran pada mereka, Tumenggung!" pinta Ki Supit pula. Tumenggung Sastrojoyo
menganggukkan kepalanya. Begitu mendapat isyarat maka belasan penduduk
bersenjata golok dan tombak langsung menghambur melakukan penyerangan.
Menak Tandira tertawa mengekeh. Ia melompat tinggi ke udara begitu senjata-
senjata itu berkelebat menghantam
tubuhnya. Ketika Menak Tandira meluncur lagi ke bawah. Maka Menak Tandira
menyambar salah satu senjata di tangan penyerangnya.
Bret! Golok rampasan tersebut langsung
berkelebat menyambar ke segala arah.
Crak! Bret! Bret! "Aaaa...!"
Terdengar pekik dan jerit kesakitan di sana-sini. Empat orang penduduk biasa
roboh dengan tubuh bermandikan darah.
Ternyata laki-laki berwajah angker ini memang mempunyai kepandaian yang cukup
tinggi. Terbukti hanya dalam beberapa jurus saja ia sudah mampu merobohkan
beberapa penduduk.
Melihat kenyataan ini Ki Supit
tidak tinggal diam. "Menyingkir semuanya...!!" teriak Ki Supit dengan suara
keras. Ia pun melompat ke depan. Tinju laki-laki itu menghantam iga Menak
Tandira. Dengan sigap lawan menghalaunya.
Wuus! Ki Supit dengan segera menarik
tangannya kembali untuk menghindari benturan yang terjadi. Lalu ia lepaskan
tendangan kaki ke punggung lawannya.
Wuuk! Duuk! Menak Tandira terhuyung,
punggungnya langsung nyeri seperti ada tulangnya yang patah. Ia menggeram keras,
lalu tiba-tiba saja ia menerkam Ki Supit dengan tangan terkembang.
"Hiaa...!"
Semua orang yang berada di situ
dapat melihat betapa jemari tangan Ki Supit berubah menghitam. Namun kawan-
kawannya tetap merasa yakin Ki Supit pasti dapat mengatasinya, mengingat kakek
tua berbadan agak bongkok ini juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Ternyata dugaan mereka untuk
sementara benar adanya. Ketika kedua tangan lawannya hampir mencapai sasaran.
Maka Ki Supit mencabut keris Ki Ronda Pamungkas.
Set! Wus! "Heh... gila...?" desis Menak Tandira sambil tarik balik serangan dan berguling-
guling selamatkan diri. Ki Supit terus memburu, lalu ia tikamkan senjatanya
bertubi-tubi. Kenyataan ini membuat Menak Tandira jadi terdesak. Ia hanya dapat
main mundur saja untuk kemudian membentak garang.
"Haiit! Aiyaaa...!"


Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu jurus lain dimainkannya.
Tangannya mencakar kian kemari, sedangkan kedua kakinya bergerak lincah dengan
cepatnya. "Graa! Graa!"
Jelas sekali kalau pada saat itu
Menak Tandira sedang mengerahkan jurus Macan Luwe. Salah satu jurus ampuh yang
dimilikinya. "Haiiiik...!"
Menak Tandira melompat laksana
terbang. Melihat serangan ganas ini Ki Ronda Pamungkas disodokkan ke depan oleh
Ki Supit. Senjata itu mendesing ketika membelah udara. Secara aneh Menak Tandira
menghindar ke samping dan dilain waktu ia
sudah berada di belakang Ki Supit. Dengan begitu tentu saja serangan Ki Supit
tidak mengenai sasarannya. Tahu-tahu dari belakangnya....
Duuk! Beeeeet! Sepuluh kuku jari Menak Tandira
menghunjam di tubuh lawannya. Ki Supit menjerit. Suaranya seakan merobek langit.
Tubuhnya terhuyung ke depan tanpa pernah sempat lagi berbalik ke depan. Tidak
lama ia pun tersungkur roboh dan tewas
seketika dalam keadaan yang sangat mengerikan sekali.
Menak Tandira tertawa membahak.
Jalak Seta memandangi laki-laki itu dengan tatapan aneh. Namun ia tetap tidak
bergerak mengambil tindakan. Sementara itu kawan-kawan Ki Supit sudah tidak
sabar lagi. Mereka secara beramai-ramai dan tidak terkontrol lagi langsung
segera mengeroyok Menak Tandira. Pertempuran sengit pun segera terjadi. Namun
karena para penduduk ini pada dasarnya tidak mempunyai kepandaian silat apa-apa.
Maka hanya dalam waktu beberapa jurus saja belasan laki-laki itu telah terkapar
dalam keadaan menyedihkan.
Tumenggung Sastrojoyo dibuat
terkesiap. Sekarang hanya tinggal dia dan Jalak Seta saja. Tumenggung dan orang
kepercayaannya saling berpandang-
pandangan. "Sebaiknya kau maju, Jalak Seta!"
perintah sang Tumenggung.
Entah mengapa Jalak Seta malah
tertawa membahak. Sekejap tawanya yang menyeramkan itu terhenti. Lalu...
"Sebagai pimpinan seharusnya gusti Tumenggung yang bertindak duluan! Nanti kalau
sudah terdesak. Barulah saya yang maju!"
Belum hilang rasa kaget di hati
sang Tumenggung. Laksana kilat Jalak Seta mencabut senjatanya dan langsung
menghunjamkannya ke perut Tumenggung Sastrojoyo. Laki-laki bertubuh jangkung ini
sudah tidak sempat mengelak lagi.
Badik kecil telah menembus perutnya.
Tidak lama Tumenggung Sastrojoyo
terjengkang dari kudanya. Jalak Seta kembali tertawa dengan suara dingin.
Tentu saja hal ini membuat kaget Menak Tandira. Masa' ada seorang bawahan begitu
tega membunuh majikannya sendiri"
"Tidak usah heran, sobat! Jika kau benar-benar ingin bergabung dengan tetua
Betina Dari Neraka. Aku siap membantumu, karena aku adalah salah seorang
anggotanya juga." kata Jalak Seta dengan bangga.
"Mengapa kau bunuh Tumenggung itu"
Bukankah dia atasanmu?" tanya Menak Tandira.
"Memang aku bawahannya. Tetapi aku sudah lama juga menjadi pengikut-pengikut
wanita cantik itu. Aku bahkan yang menculik gadis-gadis di Batu Sari untuk
keperluan membangkitkan Patung Perkasa.
Itu sebabnya aku harus membunuh
Tumenggung Sastrojoyo mengingat aku tidak ingin Tumenggung tahu di pihak mana
aku berdiri!"
"Aku tidak menyangka kita orang sehaluan. Lalu... apakah engkau tahu di mana
tempat tinggal Betina Dari Neraka saat ini?" tanya Menak Tandira.
"Tentu saja aku tahu. Jika kau mau, sekarang juga aku dapat mempertemukan kau
dengan tetua!"
"Hhm, aku merasa sekarang memang sudah waktunya untuk menemui beliau. Aku sudah
tidak sabar ingin bergabung dengan mereka!"
Maka tanpa menunggu lebih lama lagi berangkatlah kedua sahabat yang baru saja
saling kenal ini. Di sepanjang perjalanan mereka terus berbincang-bincang
tentang kehebatan yang dimiliki oleh Mustika Jajar dan gurunya. Tanpa mereka
sadari bahwa sejak beberapa saat yang lalu ada dua sosok bayangan yang terus
mengikuti langkah mereka dalam jarak yang tidak begitu jauh.
5 Hanya dalam waktu yang sedemikian
cepat bayangan yang terus mengikuti di belakangnya telah berada jauh ke depan.
Itu pun Jalak Seta dan Menak Tandira tidak tahu kehadiran kedua orang aneh ini.
"Sebaiknya kita berhenti dulu untuk beristirahat!" kata Jalak Seta.
"Apakah tempat itu masih jauh dari sini?" tanya Menak Tandira sambil
menghentikan langkahnya.
"Cukup jauh juga, mungkin sekitar dua hari perjalanan." sahut Jalak Seta.
Mereka pun akhirnya beristirahat. Namun belum lama mereka duduk, tiba-tiba saja
terdengar suara gelak tawa yang
menyesakkan dada dan mengacaukan jalan darah.
Baik Jalak Seta maupun Menak
Tandira sama tersentak kaget. Suara tawa tiba-tiba saja lenyap dan berganti
dengan kesunyian yang mencekam. Kedua orang ini saling berpandang-pandangan.
"Rupanya ada orang lain yang pingin mampus di sini, Jalak Seta! Namun betapa
pengecutnya dia karena tidak mau
tunjukkan diri!" menggeram Menak Tandira.
"Ha ha ha...!" Suara tawa tiba-tiba terdengar kembali dan seakan datang dari
seluruh penjuru arah. "Kami bukan
pengecut, sesungguhnya kunyuk jelek seperti kalian tidak pantas melihat kami.
Karena kalian termasuk orang-orang licik apalagi jika sampai membunuh Tumenggung
yang jadi atasan sendiri hanya karena membantu seorang iblis!" kata suara tadi
menimpali. Memerah kuping Jalak Seta mendengarnya. Ia segera memandang ke arah
datangnya suara yang bersumber dari atas pohon. Ternyata di sana tidak ada apa-
apa. "Keluarlah jika kalian memang jantan!" tantang Menak Tandira.
"Hak hak hak! Blo'on kau ditantang supaya keluar dari tempat persembunyian.
Tunggu apa lagi, apakah kau ingin jadi pengecut tidak mau tunjukkan diri?"
"Ah, Tenggiling Kedil, bocah
bangkotan namun masih seperti bayi!
Sebaiknya jangan kau gurui aku.
Lihatlah...!" kata pemuda baju biru pakai ikat kepala biru belang-belang kuning.
Pendekar Mandau Jantan ini kemudian melompat turun dari atas kerimbunan pohon.
Lalu... Jliik! Ia menjejakkan kaki tanpa
menimbulkan suara sedikit pun juga. Wiro Suryo si bocah super kerdil langsung
melompat dari pinggang Pendekar Blo'on.
Tentu saja kehadiran kedua orang yang sama-sama aneh ini membuat mereka
terheran-heran. Yang satu adalah seorang pemuda tampan bertampang ketolol-
tololan, lagaknya cengar-cengir dan sambil garuk-garuk kepala. Sedangkan yang
satunya lagi adalah seorang laki-laki berambut, kumis serta jenggot putih. Namun
badannya pendek bukan main. Tingginya bahkan tidak sampai setengah meter.
Dilihat sekilas keduanya memang seperti orang konyol.
"Hmm, orang-orang bertampang kacau seperti ini rupanya yang coba-coba
menghalangi niat kami!" dengus Jalak Seta disertai sesungging senyum mengejek.
"Ha ha ha...! Dia meledekmu, Wiro Suryo. Apa tindakanmu terhadap orang yang
telah membunuh penduduk dan mengkhianati Tumenggung nya sendiri" Coba apa?"
tanya Pendekar Blo'on sambil menyeka keningnya.
"Pertama dia harus minum kencingku.
Sedangkan yang kedua dia harus jilat pantatku pulang pergi!" kata si kakek
kerdil kocak. "Kencingmu kalau tidak pahit pasti asin rasanya. Bagaimana kalau pantatmu hitam
dan bau" Ha ha ha...!",
"Memang betul. Tapi dia harus berterima kasih. Karena aku termasuk orang
terhormat di Gunung Sembung!" sahut Tenggiling Kedil.
Baik Jalak Seta maupun Menak
Tandira sangat marah sekali. Tanpa bicara apa-apa lagi salah seorang di
antaranya langsung menerjang Pendekar Blo'on.
Melihat lawannya menyerang dengan
bersemangat, maka Suro meliukkan tubuhnya dengan gerakan yang lucu.
Ssst...! "We... kecele....'" ejek si pemuda urakan sambil tersenyum-senyum.
Jalak Seta tidak menanggapi. Ia
membalikkan tubuhnya lalu menghantam lagi dengan serangan bertubi-tubi.
Kenyataan ini tentu membuat Suro terpaksa
mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'.
Tubuhnya kemudian berubah jadi
lentur. Tangan mencakar ke berbagai penjuru arah. Namun tidak jarang ia
menggaruk kepala atau punggungnya atau terkadang melompat-lompat seperti seekor
monyet. Apa yang dilakukan oleh pemuda ini memang terasa menggelikan dan membuat
geli yang melihatnya. Malah Wiro Suryo sampai tepuk tangan segala memberi
semangat. "Ayo, hantam! Pukul monyet itu, nyit-nyit... nyit...!"
Tentu saja setelah berulangkali
mengalami kegagalan Jalak Seta akhirnya menjadi kalap juga. Tiba-tiba saja ia
mencabut badik kecil yang dipergunakan untuk menghabisi jiwa Tumenggung
Sastrojoyo. "Awas Blo'on dia mau mencincangmu
dengan senjata itu!" kata Tenggiling Kedil memperingatkan.
Jalak Seta kemudian dengan senjata terhunus menyerang empat jalan darah di tubuh
Suro Blondo. Melihat serangan yang datangnya bagai gelombang air bah ini.
Suro terpaksa kerahkan jurus
Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor. Tubuh pemuda berambut hitam
kemerahan ini akhirnya berkelebat lenyap hanya dalam waktu yang sedemikian
singkat. Terdengar suara jeritan di sana-sini.
"Hiya...!"
Senjata di tangan Jalak Seta
menderu membelah udara. Suro tiba-tiba berjongkok lalu melompat tinggi. Sehingga
serangan lawannya pun tidak mengenai sasarannya. Melihat serangannya luput, maka
Jalak Seta lepaskan tendangan bertubi-tubi. Suro terus menghindar sambil
berjingkrak-jingkrak. Rupanya serangan ini tidak memenuhi sasaran sebagaimana
yang diharapkan. Sehingga Jalak Seta melompat ke depan sambil hantamkan
lututnya. "Heaa...!"
Duuk! "Nggekk...!"
Pendekar Blo'on jatuh terduduk.
Dadanya sesak sekali seperti orang yang
hampir putus nafasnya. Namun begitu pun ia masih dapat cengengesan.
"Hei, bocah geblek! Baru segitu saja kau sudah kelenger. Tunjukkanlah
kejantananmu! Mengapa segan-segan."
"Edan kowe. Kejantanan itu cuma untuk bini itu pun kalau sudah kawin nanti. Jadi
jangan macam-macam!" sahut Pendekar Blo'on. Secepatnya pemuda itu berdiri lagi.
Lalu ketika ia melihat lawan melepaskan pukulannya. Tidak mau kalah pemuda ini
pun lepaskan pukulan
'Kera Sakti Menolak Petir'.
Segulung sinar hitam datang
menggebu-gebu. Setelah itu terdengar suara dentuman keras ketika Suro
mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Bocah ajaib ini hanya terhuyung-huyung.
Jalak Seta sendiri selain tubuh menjadi biru terkena pukulannya yang membalik,
juga langsung merasa kesulitan untuk bergerak.
Kali ini Pendekar Blo'on dengan
mimik serius, walau pun pada kenyataannya tetap kacau. Kali ini ia melepaskan
pukulan untuk mengakhiri perlawanan Jalak Seta. Pukulan yang dilepaskannya
adalah Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar; Segelombang sinar redup melabrak
habis Jalak Seta. Laki-laki yang sudah terluka parah ini tidak lagi mampu
menghindar. Ia menjerit kesakitan
bersamaan melayangnya nyawa pembantu Iblis Betina Dari Neraka ini.
Melihat kejadian ini Menak Tandira menjadi kaget sekaligus marah sekali. Ia
melompat ke depan untuk melabrak Suro Blondo. Namun Tenggiling Kedil mengha-
dangnya. "Eiit... biarkan kawanku beristirahat dulu. Mari kita main-main sebentar.
Jika kau tidak beruntung, tentu
secepatnya kau berangkat ke akherat! He he he...!" Wiro Suryo terkekeh-kekeh.
"Manusia konyol keparat! Aku akan mengirimmu ke neraka!" teriak Menak Tandira
dengan marahnya.
"Boleh saja, tapi bagaimana jika Tuhan malah melemparku ke surga?" ejek Wiro
Suryo alias Tenggiling Kedil sambil menghindar ke samping.
"Hii...!"
Sebagai jawaban Tenggiling Kedil
lepaskan tendangan kaki ke bagian kepala lawan. Namun Suryo sudah menggelinding
dengan kaki dilipat ke kepala.
"Shaaa...!"
"Wiih... hebat tapi kurang mantap!"
ejek si kakek super pendek lalu kakinya tiba-tiba saja menendang pantat Menak
Tandira. Buuk! "Aukh...!"
Menak Tandira menjerit kesakitan.
Ia memegangi pantatnya yang pasti
langsung berubah membiru. Jalannya pun terpincang-pincang seperti kerbau habis
beranak. "Keparat betul!" geram Menak Tandira.
"Betul-betul keparat!" Wiro Suryo menimpali. Secepatnya ia menghindar ketika
tendangan lawan menderu menghantam tengkuk si kakek.
Wuus! "Heh...!"
Menak Tandira tersentak kaget
ketika melihat serangan yang sudah terarah pada sasaran ternyata meleset. Ia
rupanya masih belum sadar bahwa si kakek ketika itu telah mengerahkan jurus
Suket Sekilen yang mempunyai keunikan
tersendiri. Lagi-lagi dengan marahnya Menak
Tandira melakukan serangan ganas. Sekali ini ia mengerahkan jurus Macan Luwe
yang juga merupakan salah satu jurus yang menjadi andalannya.
"Graaa...!" Menak Tandika berteriak seperti suara harimau.
"Panas!" si kakek konyol menimpali.
Lawan yang sudah dilanda kemarahan ini sama sekali sudah tidak begitu
menghiraukannya. Tubuhnya tiba-tiba menyambar ke depan, sedangkan kedua
tangannya tertuju lurus ke bagian batok
kepala Tenggiling Kedil. Hanya sekejap saja kakek tua yang sama kocaknya dengan
Pendekar Blo'on si bocah ajaib itu sudah bergerak ke samping. Praktis serangan
lawan-lawannya tidak mengenai sasaran.
Menak Tandira bukan main kagetnya.
Ia sama sekali tidak menyangka
serangannya akan gagal mengenai sasaran.
Padahal ia telah mengerahkan jurus yang menjadi andalannya. Kini dengan rasa
penasaran yang mendalam, Menak Tandira melangkah maju. Kedua tangannya bergerak
ke depan dan ke samping. Lalu ia
menghantam ke dada Wiro Suryo.
"Nah bocah kerdil. Dia mau memutus tenggorokanmu. Jika lehermu putus kau bisa
dibuatnya mampus!" celetuk Suro Blondo sambil cengar-cengir.
"Kalau cuma hanya menonton lebih baik kau tutup mulut rapat-rapat. Jangan pula
kau kentut seperti suara burung perkutut di dalam karung butut tidak bisa ribut-
ribut!" Tenggiling Kedil menimpali.
"Hraaa...!"


Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Set! "Hampir saja...!" dengus Wiro Suryo.
Lagi-lagi serangan lawan luput. Dan ternyata tokoh kawakan dari Gunung Sembung
ini memang bukan lawan Menak Tandira. Terbukti ketika Tenggiling Kedil balas
melakukan serangan. Ia langsung
saja terdesak dan hanya dapat mengelak seperti babi yang kehilangan nyali.
Menak Tandira akhirnya memutuskan
untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah lawan. Sekejap saja ia telah
mengalirkan tenaga dalamnya kebagian telapak tangannya.
"Hiya...!"
Menak Tandira menghentakkan kedua
tangannya. Dari telapak tangan laki-laki itu meleset sinar kuning berhawa dingin
bukan main. Si Bocah Kerdil langsung melepaskan ajian Pancar Cahaya. Salah satu
pukulan pamungkas yang tidak ada tandingnya.
Sinar putih laksana perak
menghantam sinar kuning yang membuncah di udara.
Akibatnya Menak Tandira bukan saja terhantam pukulan sendiri yang membalik.
Tapi juga terhantam aji Pancar Cahaya milik Wiro Suryo.
Buum! Buum! "Waaakh...!"
Menak Tandira menjerit keras,
ketika tubuhnya terhempas ke atas batu, maka jiwanya pun tidak tertolong lagi.
Plok! Plok! "Hebat. Ternyata tidak percuma walau pun tubuhmu pendek memalukan!" puji
Pendekar Blo'on.
"Jangan menghina. Tugas masih
banyak atau kau mau memanggang mayat mereka?"
"Hhh, amit-amit!"
Dan Pendekar Blo'on pun segera
berlalu meninggalkan mayat kedua lawan mereka.
"Hei... geblek. Tunggu...! Aku mau minta gendong!" teriak Tenggiling Kedil
sambil mengejar kawan barunya.
6 Pada bagian lain masih di
dalam bangunan Curing Bencana ada sebuah altar tempat melakukan persembahan
kepada pada iblis. Ruangan itu tidak begitu luas. Dengan penerangan yang redup
serta bau-bauan yang khas. Jelas sekali ada kesan mejik yang mendalam. Di dalam
ruangan itulah kini patung laki-laki perkasa diletakkan. Sementara seorang
perempuan bermuka coreng moreng dan seorang laki-laki tua bermata satu sedang
melakukan meditasi. Di tengah-tengah altar terlihat tujuh orang gadis dalam
keadaan terikat kaki dan tangannya. Jelas sekali mereka dalam keadaan ketakutan,
tidak heran jika sejak tadi mereka terus berteriak-teriak seperti orang yang
kesurupan. Murid dan guru kini berhadap-
hadapan. Di tengah-tengah mereka terdapat
sebuah pendupaan. Pendupaan itu terus mengepulkan asap tebal menebar bau
kemenyan yang sedemikian menusuk.
Sementara bibir mereka berkemak-kemik.
Patung Perkasa yang sangat
sempurna. Atas bantuan para iblis yang menghuni alam kegelapan, di dalam hati
dan juga yang menyatu dalam pembuluh darah manusia. Hidupkanlah si perkasa untuk
menjadi benteng utama muridku.
Tuntutanmu atas darah perawan akan kupenuhi. Benteng roh... hai benteng roh...!
Titiskanlah satu roh ke dalam diri si perkasa! Bangkit dan
bangkitlah...! Apa yang diucapkan oleh murid dan
guru ini benar-benar sangat berpengaruh.
Dinding ruangan bergetar hebat. Dari segala penjuru arah angin bertiup
kencang. Lalu.... Sebuah golok besar mirip golok penjagal babi yang terletak di
atas nampan tanah pun tiba-tiba melayang dan memenggal putus kepala gadis-gadis
yang dalam keadaan terikat itu. Darah menyembur deras. Memancar bagaikan mata
air. Darah itu bukan saja membasahi lantai. Tapi juga sosok
patung laki-laki yang berada di tengah-tengah mereka.
Segalanya kemudian berproses. Mula-
mula patung itu mengalami perubahan pada bentuk kulitnya. Kulit yang berwarna
putih itu berubah menjadi kecoklatan-coklatan. Lalu matanya yang terpejam
mengerjab, tangan, kaki dan bagian-bagian tubuh lainnya bergerak-gerak.
"Lihat...!" kata Mustika Jajar tidak dapat menyembunyikan rasa
takjubnya. Tua Tengkorak Mata Api membuka matanya. Ia menoleh ke arah patung
yang telah dihidupkannya.
"Tugasku telah selesai, Tika!
Sekarang sudah waktunya bagiku untuk meninggalkan tempat ini dan kembali ke
Cilawu!" kata laki-laki berwajah tengkorak itu.
"Mengapa begitu tergesa-gesa, guru?" tanya Mustika Jajar seakan merasa tidak
rela melihat kepergian gurunya.
"Waktuku sangat sempit sekali.
Sejak dulu aku sudah mengatakannya padamu bahwa aku ingin menciptakan ilmu-ilmu
yang baru. Setelah aku pergi, kau tentu saja dapat menjajal si Perkasa yang
telah hidup sebagaimana halnya kau. Semoga kau senang berkawan dengannya!" Tua
Tengkorak Mata Api bangkit berdiri. Tidak lama kemudian ia memandang ke arah
Istana Pulau Es 21 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Pedang Pelangi 31
^