Pencarian

Iblis Berbaju Hijau 2

Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Bagian 2


"Siapa yang telah melakukan semua ini, Bu?"
"Mereka adalah orang-orang Lembah Pasir Putih, Nak Mereka kejam! Mereka sadis!
Mereka bagaikan iblis belaka!"
suara wanita itu terdengar keras. Dan sepasang matanya bersinar menyeramkan.
Penuh dendam dan amarah yang sangat tinggi. "Mereka kejam, Nak! Mereka sangat
kejam!" serunya lagi. Dan tiba-tiba dia kembali menatap mayat suaminya yang
hangus terbakar. Tanpa sungkan dan canggung lagi, dia kembali memeluk mayat
suaminya dan menangis tersedu-sedu.
"Pakne... hu... hu... hu...
Pakne... kejam, kejam sekali orang-orang itu... mengapa mereka membakarmu,
Pakne... huhuhu... mereka tega berbuat seperti ini padamu, Pakne....."
Pranata Kumala sekali lagi
mendesah. Dia jadi makin teringat akan kata-kata Roro Dewi. Mungkinkah
perbuatan ini dilakukan oleh
gerombolannya"
Lalu dengan hati-hati dibimbingnya wanita itu untuk masuk ke rumahnya. Lalu dia
pun mengumpulkan beberapa orang penduduk untuk menguburkan mayat-mayat yang
bergeletakan itu.
Pranata pun menambah niatnya menuju Lembah Pasir Putih. Pertama untuk mencari
Kembang Pasir Putih guna mengobati penyakit istrinya.
Kedua untuk menumpas gerombolan
orang-orang jahat itu yang dia yakin dipimpin oleh Iblis Berbaju Hijau seperti
cerita Danusewu.
Sementara orang-orang yang melepas kepergiannya bertanya-tanya dalam hati.
Siapakah pemuda yang baik hati itu"
Apakah dia sang penolong yang
dikirim oleh Dewata"
*** 7 Kala itu di rimba persilatan,
berdiri sebuah perguruan silat yang sangat terkenal, perguruan itu bernama
Perguruan Topeng Hitam.
Dulu Perguruan Topeng Hitam
dipimpin oleh seorang jago pedang nomor satu yang bernama Paksi Uludara atau
bergelar Pedang Mestika Naga emas.
Namun setelah Paksi Uludara tewas di tangan Nindia atau Dewi Cantik Penyebar
Maut, tampuk kekuasaan atau pimpinan itu diserahkannya kepada Madewa Gumilang
alias Pendekar Bayangan Sukma (baca : Dewi Cantik Penyebar Maut).
Selama dipimpin oleh Madewa
Gumilang, banyak perguruan silat lain yang secara keji membuat onar karena
didorong oleh rasa iri. Salah satunya adalah Perguruan Cakar Naga yang dipimpin
oleh Resi Sendaring, yang mengumpulkan jago-jago dari golongan hitam untuk
bersatu menghancurkan Perguruan Topeng Hitam (baca : Keris Naga Merah).
Namun semua itu berhasil
digagalkan. Juga dengan bantuan Ki Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria yang juga
guru dari Pranata Kumala (baca: Kakek Sakti dari Gunung Muria).
Madewa memimpin perguruan itu dengan arif dan bijaksana. Di samping itu sikap
dan contoh perbuatannya menjadi teladan para murid-mudridnya.
"Dalam hidup, kita jangan selalu memandang ke atas, juga jangan terlalu
memandang ke bawah. Pandanglah kehidupan dengan cara yang wajar-wajar saja.
Jangan terlalu ke atas dan jangan terlalu ke bawah," begitu setiap kali dia
memberi wejangan di hadapan murid-muridnya. "Dan kita janganlah dibangunkan matahari, tapi kita yang harus
membangunkan matahari. Camkanlah kata-kataku ini, niscaya kalian akan mengetahui
jawabannya."
Nasehat dan pandangan yang
diberikan Madewa Gumilang, semakin
membuat para muridnya menghormati dan menyeganinya.
Namun sampai sejauh itu memimpin Perguruan Topeng Hitam, Madewa tak sekali
pun mengajarkan ilmu-ilmu
kebisaannya. Dia hanya mengajarkan jurus-jurus bermain pedang seperti ciri khas
Perguruan Topeng Hitam. Karena Madewa tak mau merubah ajar an yang telah dibawa
oleh Paksi Uludara.
Dipegang oleh Madewa Gumilang atau sering disebut juga menusia dewa, Perguruan
Topeng Hitam dapat menyebarkan sayapnya ke pelosok rimba persilatan.
"Kemegahan dan ketenaran Perguruan Topeng Hitam itu pun didengar oleh Puji
Wening alias Iblis Berbaju Hijau. Lalu dia pun memerintahkan empat orang anak
buahnya untuk mengacau dan menghancurkan perguruan itu. Bahkan membunuh Madewa
Gumilang! Pagi ini, di Perguruan Topeng Hitam seperti biasa tengah sibuk. Sebagian besar
muridnya tengah berlatih ilmu silat dan ilmu pedang.
Ciri khas dari Perguruan Topeng
Hitam adalah, murid-muridnya selalu mengenakan pakaian berwarna hitam dan topeng
yang menutupi kepala. Juga sepasang pedang kembar mereka yang selalu ada di
punggung. Juga dengan senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam.
Di hadapan para murid yang tengah berlatih, berdiri sosok tubuh gagah berpakaian
jubah putih yang selalu tersenyum arif Memperhatikan jalannya latihan.
Dialah Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma yang terkenal.
Namanya sudah melesat ke langit ketujuh dan ke dasar samudra.
Selain itu, Madewa Gumilang pun
ditakuti oleh seluru jago-jago rimba persilatan, karena dia memiliki ilmu
Pukulan Bayangan Sukma yang belum ada tandingannya.
Di samping itu, dia memiliki seorang istri yang bernama Ratih Ningrum. Yang
kesaktiannya pun tak kalah hebatnya dengan suaminya.
Namun tiba-tiba pendengaran Madewa Gumilang yang tajam, menangkap ada gerakan-
gerakan yang mencurigakan di luar tembok perguruan. Diam-diam dia tetap memantau
telinganya. Dan dia dapat menduga, ada empat sosok yang tengah mendekati tempat
itu. "Hmm... siapakah gerangan empat keroco ini yang sepertinya tidak bersahabat,"
gumamnya dalam hati.
Lalu dia pun menepuk tangannya
sekali. Dan menyuruh pada murid-muridnya untuk menyudahi latihan mereka.
"Aku rasa, cukup untuk saat ini!
Nah, kalian masuklah ke dalam!" katanya dengan suara yang berwibawa.
Murid-muridnya segera mematuhi
perintahnya. Mereka lalu membentuk barisan merapat. Dan menjura dengan hormat.
"Salam buat ketua!!" kata mereka serempak. Dan dengan teratur rapi satu persatu
pun berlari-lari kecil memasuki Perguruan Topeng Hitam.
Sementara Madewa Gumilang sendiri masih berada di halaman Perguruan Topeng
Hitam. Lalu secara diam-diam, dia
mengerahkan ilmu saktinya, ilmu
Pandangan Menembus Sukma. Dan
terlihatlah empat sosok bertubuh besar dan berwajah seram makin mendekati batas
Perguruan Topeng Hitam.
"Siapa mereka sebenarnya". Baiknya kutungggu saja," desis Madewa yang melihat
ada berbagai senjata di tangan keempat orang itu.
Empat orang yang dilihat Madewa dengan ilmu Pandangan Menembus Sukmanya, adalah
orang-orang suruhan dari Iblis Berbaju Hijau untuk mengacau di Perguruan Topeng
Hitam. Mereka tidak tahu kalau kedatangan mereka sudah diketahui oleh Madewa
Gumilang. Mereka terdiri dari, Baruna si
Tombak Maut. Suwalaya si Cambuk A pi.
Wiro Manik si Tongkat Seribu. Dan Sirat Alis si Macan Hitam. Sedangkan Martungga
dan Kumpala menyerbu ke desa seberang.
Dan tiba-tiba keempatnya dikejutkan oleh suara yang menyelinap ke telinga mereka
secara serempak, "Orang-orang yang berada di luar dan mengendap-endap, silahkan
masuk ke dalam dengan cara bersahabat!"
Keempatnya kaget. Suatu pameran
tenaga dalam yang cukup hebat tengah di tunjukkan. Dan hal itu menyadari mereka,
kalau kedatangan mereka sudah diketahui oleh orang Perguruan Topeng Hitam.
Dugaan mereka, Madewa Gumilanglah yang berbuat seperti itu.
Dengan rasa jengkel, malu dan marah, keempatnya serentak melompat. Melewati
tembok Perguruan Topeng Hitam yang cukup tinggi dan hinggap dengan ringannya di
halaman perguruan itu.
Di hadapan mereka, telah berdiri sosok tubuh berjubah putih. Wajahnya arif dan
bijaksana. Madewa berkata dalam hati, "Hmm...
rupanya manusia-manusia ini yang datang bertamu," desisnya setelah mengetahui
siapa keempat orang itu. Mereka adalah orang-orang yang sering membuat onar dan
dikenal dari golongan hitam.
"Selamat datang di tempat
kediamanku yang buruk ini," kata Madewa tetap dengan nada suara yang bersahabat.
"Huhh! Ternyata Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma pandai berhangat-
hangat dengan para tamunya".
berkata Baruna yang berdiri gagah dengan tombaknya. Dia seorang laki-laki
berwajah tirus. Dengan bibir yang tipis, Rambutnya tergerai panjang dan diikat.
Tubuhnya cukup tinggi.
"Sudah selayaknya sebagai seorang tuan rumah menyambut kedatangan tamunya dengan
senang hati," kata Madewa Gumilang lagi.
Dia berdiri gagah dengan kedua
tangan bersedekap di dada. Jubah putihnya berkibar dipermainkan angin pagi.
"Madewa... ketahuilah, pagi ini kami datang ke sini, untuk mengambil alih
Perguruan Topeng Hitam dari tanganmu!
Mengerti"!" seru Baruna pula.
"Tentu saja saya mengerti. Siapa pun boleh mengambil Perguruan Topeg Hitam ini
dari tanganku. Tapi bukankah lebih baik dijelaskan dulu titik
permasalahannya?"
"Kami ke sini atas nama Iblis Berbaju Hijau!" yang berkata Sulawaya.
Dia seorang laki-laki berambut agak botak. Pakaiannya mirip para biksu dari
Budha. Di kalungnya ada sebuah tasbih yang cukup besar. Dan di pinggangnya
melilit Cambuk Apinya yang berwarna kemerahan.
"Sampaikan salam kenalku untuk beliau!" kata Madewa sambil menjura.
Tiba-tiba terdengar seruan dari Sirat Alis. Dia adalah seorang laki-laki pemarah
dan tak sabaran.
"Madewa! Cepat kau berlutut di hadapan kami! Dan nyawamu akan kami ampuni!"
Madewa cuma tersenyum.
"Agaknya tidak patut bagiku untuk berlutut di kaki orang-orang yang sering
berbuat onar seperti kalian!"
"Bangsat! Telah lama sebenarnya aku ingin mencoba kesaktian Madewa
Gumilang!" setelah berkata begitu, Si rat Alis alias si Macan Hitam melompat
menerjang dengan gaya seekor macan.
Kedua tangannya menyerang membentuk cakar macan. Suaranya mendesis yang keluar
dari mulut-nya.
Melihat serangan yang sangat cepat dan berbahaya itu, Madewa melompat ke kiri.
Dan serangan itu pun luput. Namun membuat Sirat Alis menjadi murka.
Usai kakinya hinggap di tanah, dia melenting bersalto ke arah Madewa dengan
kedua tangan tetap terbuka membentuk cakar.
Madewa pun kali ini menghindar
dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
Membuat tubuhnya selicin dan selincah ular. Membuat Sirat Alis makin
penasaran. Dia pun menerjang lagi. Kali ini jurus-jurus macan hitamnya
memperlihatkan kelincahannya sebagai seorang jago. Cakaran-cakarannya menerkam
membabi buta. Siap mencabut nyawa Madewa.
Dan kali ini Madewa pun membuat
jurus menyerangnya, Ular Mematuk Katak.
Yang membuat tangannya secepat ular dalam menyergap mangsanya.
Berkali-kali terjadi benturan,
Sirat Alis tertawa dalam hati. "Ternyata hanya begitu saja tenaga dalam milik
Pendekar Bayangan Sukma."
Namun Sirat Alis tidak tahu, kalau Madewa hanya menggunakan seperempat dari
tenaga dalam yang dimilikinya.
Suara ribut-ribut di luar memancing perhatian murid-murid Perguruan Topeng
Hitam. Dan melihat ketua mereka sedang bertarung, serentak mereka pun hendak
bergerak membantu.
Namun begitu mendengar suara Madewa berteriak, mereka pun hanya berdiri di
tempat masing-masing.
"Mundur kalian! Jangan ikut campur dalam urusan ini! Mundur!!"
Ratih Ningrum pun keluar dari dalam.
Dan begitu melihat suaminya tengah bertempur, dia pun hendak maju.
Namun lagi-lagi urung karena
mendengar seruan suaminya menyuruhnya untuk diam di tempat.
Kedatangan Ratih seakan membuka
mata Baruna. Walau pun wanita itu sudah hampir berusia 35 tahun, tetapi wajah
dan bentuk tubuhnya masih cantik dan montok.
Seakan-akan wanita itu berusia bak gadis 24 tahunan.
"Hahaha... rupanya ini wanita yang mendampingi Madewa Gumilang! Betapa
cantiknya!!" seru Baruna yang diikuti tawa Wiro Manik dan Sulawaya.
Ratih Ningrum hanya bisa menahan geramnya di hati. Karena dia tak berani
membantah atau pun membangkang perintah suaminya.
Dia tetap berdiri di tempatnya.
Dengan menahan kemarahannya.
"Ayo. Ratih Ningrum... majulah hadapi aku!" seru Baruna sambil melompat ke
kalangan. Madewa yang tengah melayani
serangan-serangan dari Sirat Alis yang makin penasaran karena dari sekian jurus
tak satu pun pukulan, cakaran atau pun tendangannya yang mengenai sasaran,
berseru lagi, "Tahan emosimu, Dinda Ratih! Biarkan aku yang menghadapi manusia-
manusia ini!" "
Baruna tertawa.
"Hahaha... menghadapi Sirat Alis saja kau sudah tak banyak bergerak, Madewa!
Masih berlagak pula untuk menghadapi kami!"
"Baruna... bila itu maumu, aku akan melaksanakannya! Lihatlah!"
Madewa yang sejak tadi berusaha
untuk tidak menjatuhkan tangannya pada Sirat Alis, kini menjadi jengkel.
Lalu dia melompat dan menyerang dengan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.
Tangannya seakan berubah menjadi banyak. Dan satu patukan menggedor dada Sirat
Alis. Disusul dengan pukulan Tembok Menghalau Badai.
"Des!"
"Akkhhh!!"
Tubuh Sirat Alis terhuyung ke
belakang dan muntah darah. Lalu ambruk dan pingsan.
Madewa bersalto dan berdiri dengan gagah.
"Itu maumu bukan, Baruna?" serunya dengan suara yang tetap arif.
Baruna menjadi murka. Lalu dia
memutar-mutar tombaknya hingga
menimbulkan suara bergemuruh. Begitu pula dengan Wiro, Manik yang sudah
menggerakkan tongkatnya hingga bagaikan seribu. Tak ketinggalan Sulawaya yang
sudah meloloskan Cambuk Apinya dari pinggangnya.
Saat dia memecut-mecut, dari ujung cambuknya bagaikan menyala mengeluarkan api.
"Hmm... majulah kalian bertiga!
Biar cepat selesai persoalan ini! Dan yang perlu kalian ketahui, selama ini aku
tak punya masalah dengan kalian! Juga dengan Iblis Berbaju Hijau! Nah
majulah!" Madewa pun bersiap dengan segala kebisaanya. Tiba-tiba saja Baruna menerjang
sambil memutar-mutar
tombaknya yang menimbulkar suara berdesir-desir dan kadang mendengung..
"Awas serangan!" serunya seraya menerjang.
Yang disusul dengan Wiro Manik dan tongkatnya.
Begitu pula dengan Sulawaya yang menceletar-celetarkan cambuknya.
Madewa pun menyambut tiga serangan yang berbahaya itu yang datang dari tiga
penjuru. Dia pun menggunakan jurus menghindarnya, Ular Meloloskan Diri yang
dipadukan dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat maha
sempurna. Suasana di alam Perguruan Topeng Hitam menjadi ramai. Debu-debu
beterbangan setiap kali ada tubuh yang bergerak. Bahkan daun-daun jati dari


Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon jati yang tumbuh di sudut Perguruan itu berguguran karena tak kuat menahan
getaran yang ditimbulkan dari keempat orang yang sedang bertarung itu.
Namun setelah sekian jurus
berlangsung, tak satu pun senjata dari lawannya yang berhasil melukai Madewa.
Bahkan menyentuh saja pun tidak pernah.
Madewa pun kini mulai menyerang dengan memadukan jurus Ular Cobra
Bercabang Tiga dengan jurus pukulan Tembok Menghalau Badai.
Desiran angin yang timbul dari
setiap kali tangannya bergerak cukup membuat ketiga lawannya menjadi pucat.
Karena mereka dapat menduga, bahwa Madewa sudah meningkatkan tenaga dalamnya.
Hal ini semakin membuat ketiganya berhati-hati.
Dan tiba-tiba Madewa bersalto lalu bergerak mencecer Wiro Manik yang menjadi
kaget dan berusaha untuk menahan dengan putaran tongkatnya.
Namun karena desakan yang hebat, satu pukulan pun masuk menggedor dadanya.
"Des!"
Disusul dengan satu kibasan pada tangan kanannya, hingga tongkat yang merupakan
senjata andalannya jatuh.
"Aaakkhhhh"
Dia pun terhuyung ke belakang.
Dan "Huak!!" Wiro Manik muntah darah. Dia merasakan dadanya sangat sakit.
Kepalanya pun menjadi pusing karena aliran darahnya tidak beraturan.
Juga dadanya yang terasa mau pecah.
Lalu ambruk setelah sekali lagi
muntah darah. Dan mereganglah nyawanya
meninggalkan tubuhnya yang masih merasakan kesakitan.
"Wiro Manik!" seru Baruna kaget.
Dan makin murkalah dia melihat
kenyataan itu. Tombaknya pun
diputar-putar dengan hebat. Dan
bergeraklah dia dengan ayunan tombaknya yang berputar, memukul, mengibas,
menangkis dan menusuk.
Begitu pula dengan Sulawaya dengan cambuk apinya. Yang kadang mencoba menjerat,
mengikat atau kadang berubah menjadi tombak. Sugguh suatu pemandangan yang hebat
dari tenaga dalam yang dipamerkan oleh Sulawaya.
Tetapi yang dihadapinya adalah
manusia dewa Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma, yang tetap dengan
sikapnya yang arif dan bijaksana melayani serangan-serangan itu.
Serangan-serangan yang hebat dan beruntun itu tak mampu membuatnya keder atau
mundur. Malah dia yang berada di atas angin terus mendesak keduanya dengan
hebat. Madewa berniat untuk tidak membunuh keduanya, cukup hanya melukai mereka saja.
Karena dia berpikir untuk
mengetahui siapakah sebenarnya Iblis Berbaju Hijau itu yang sepak terjangnya
akhir-akhir ini menimbulkan suasana mengerikan di rimba persilatan, dengan jalan
mencari tahu dari kedua orang ini.
Tetapi dia tetap tidak mengubah
serangan-serangannya. Begitu pula dengan Baruna dan Sulawaya. Cambuk api
Sulawaya membakar apa saja begitu benda yang terkena oleh ujung cambuk apinya,
segera berubah menjadi api dan terbakar.
Dan melihat serangan-serangan
mereka selalu gagal, diiringi dengan dendam melihat Wiro Manik tewas dan Sirat
Alis pingsan, keduanya mempergencar serangan-serangan mereka.
Namun sampai sejauh itu, Madewa tetap dapat menghindar dan meloloskan diri.
Setelah lewat tiga puluh jurus,
barulah Madewa kini berniat hendak menjatuhkan tangan.
"Awas serangan!" serunya tiba-tiba.
Dan tiba-tiba pula tubuhnya menggeliat bagaikan ular. Dan bergerak cepat.
"Des!"
"Des!"
Dua buah pukulannya masuk pada
sasaran. Dengan diiringi tubuh Baruna dan Sulawaya yang terhuyung ke belakang.
Sadarlah kini keduanya kalau manusia dewa itu bukan tandingan mereka.
Keduanyapun berniat hendak
melarikan diri.
Namun Madewa telah mengunci semua langkah mereka dari delapan penjuru, hingga
sulit rasanya bagi mereka untuk melarikan diri.
"Kalian telah masuk ke Perguruan Topeng Hitam dan kalian tak akan begitu mudah
untuk meninggalkannya!!" seru Madewa seraya mencecar lagi.
Hal ini membuat Baruna dan Sulawaya menjadi nekat. Sebisanya mereka mencoba
menyerang kembali.
Namun satu gedoran masuk menghantam dada Sulawaya yang terhuyung ke belakang
dengan kepala pusing dan dada seakan mau pecah.
"Aaaaakkkhhh!!"
Karena terlalu menguras tenaganya, dia pun semakin lemah. Pertahanannya lemah
pula. Tenaga dalamnya pun
terkuras. Maka tanpa ampun lagi di pun ambruk dengan nyawa yang telah lepas.
Melihat kenyataan itu, lemaslah Baruna. Dia merasa tak mungkin dapat melolosan
diri. Menghadapi Madewa bertiga saja seakan tak banyak membawa arti. Apalagi dia
sendiri. Ini membuatnya kecut.
Namun tiba-tiba dia mendapat sebuah rencana yang keji. Dia akan menyandera Ratih
Ningrum yang sejak tadi tersenyum melihat suaminya berhasil
memporak-porandakan pertahanan
lawan-lawannya.
Baruna pun menjerit menyerang Madewa kembali. Namun mendadak saja dia bersalto
ke arah Ratih Nigrum.
Dan "Tep!" tangannya dengan sigap membekap leher wanita itu dengan tubuh yang
berada di belakangnya.
Ratih Ningrum yang tidak menyangka dirinya akan dijadikan sandera, hanya bisa
terpaku saja. Dan ujung tombak Baruna sudah menekan di ulu hatinya.
Baruna terbahak karena merasa
berhasil untuk menyandera dan
mengalahkan Madewa Gumilang.
"Hahaha... majulah, Madewa...
majulah... bila ingin istrimu mampus di tanganku..."
Madewa hanya terdiam.
"Hhh! Nyawa istrimu sekarang berada di tanganku!" seru Baruna sambil mehrik
sekelilingnya. Sepuluh murid-murid Perguruan Topeng hitam sudah
mengurungnya. Tetapi dia hanya tertawa.
"Madewa... perintahkan para muridmu untuk menjauhiku... bila tidak ingin nyawa
istrimu lepas hari ini juga..."
Madewa pun memerintahkan para
muridnya untuk mundur, sementara otaknya berputar memikirkan cara untuk
menyelamatkan istrinya.
"Kalian mundur semua!"
"Bagus, Madewa... kau seorang ksatria yang gagah berani. Nah, sekarang
tunjukkanlah padaku Pukulan Bayangan Sukmamu yang sangat hebat dan kesohor itu!"
Madewa terdiam. Mengira-ngira
maksud dari Baruna si Tombak Maut. "Cepat kataku!" Madewa masih terdiam. Baruna
menekan sedikit ujung tombaknya, membuat Ratih Ningrum menjerit.
Dia terbahak, "Madewa... kau tak ingin istrimu mati di ujung tombakku, bukan?"
"Baruna... lepaskan istriku. Dan mari bertarung bagai seorang
laki-laki..."
"Hahaha... kau memang pandai bersilat lidah, Madewa! Bangsat! Cepat kau
keluarkan Pukulan Bayangan Sukmamu!
Cepat!" "Kau hendak berbuat apa, Baruna?"
kata Madewa sambil mengulur waktu dan memikirkan bagaimana cara membebaskan
istrinya. "Cepat kataku! Cepat!!"
Madewa melihat gerakan yang
dilakukan Baruna dengan menekankan ujung tombaknya pada ulu hati istrinya.
Dia juga melihat betapa
kesakitannya Ratih Ningrum. Namun wanita itu adalah wanita yang tabah, dia tidak
mcnampakkan rasa sakitnya meskipun dia sangat menderita dan kesakitan.
Madewa pun mendesah.Terdiam. Dan merapal pukulan Bayangan Sukmanya.
Lalu dirangkumnya kedua tangannya di dada. Dan terlihatlah asap berwarna putih
mengepul dari kedua tangannya.
"Sekarang kau mau apa, Baruna?"
"Hahaha... Pendekar Bayangan Sukma yang gagah perkasa hari ini harus takluk di
tanganku. Dan harus mampus termakan pukulan saktinya sendiri.. Nah,
Madewa... pukulkan Pukulan Bayangan Sukma itu ke kepalamu sendiri...
Cepat!!" Suasana menjadi tegang.
Madewa terdiam.
Murid-murid Perguruan Topeng Hitam menelan ludahnya melihat bahaya yang
mengancam ketua mereka. Yang lebih mengenaskan, bila harus mati, ketuanya mati
oleh pukulan saktinya sendiri.
Ratih Ningrum berseru, "Kanda....
jangan... jangan kau pukulkan Pukulan Bayangan Sukma ke kepalamu... Biarkan...
biarkan aku mati, Kanda..." Baruna terbahak.
"Cepat, Madewa! Kau tidak mau melihat istrimu mati secara mengenaskan di depan
matamu, bukan" Cepat! Waktumu hanya satu menit untuk melakukannya!!"
Madewa terdiam. Pukulan saktinya siap untuk membunuhnya sendiri. Melihat Madewa
ragu-ragu, Baruna menjadi jengkel.
Tangannya menekan lagi tombak yang ujungnya mengenai tepat ulu hati Ratih
Ningrum. Kali ini Ratih Ningrum tidak bisa menahan rasa sakitnya meskipun dia berusaha
untuk menahan. "Aaaakhh?"
Baruna terbahak. "Hahaha...
coba-cobalah kau membangkang dan mengulur waktu, Madewa... lakukanlah dengan
sesuka hatimu dan istrimu ini akan mati secara perlahan-lahan...
hahaha..."
Melihat keadaan istrinya yang
nampak kesakitan, tak ada pilihan lain buat Madewa.
"Baruna... lepaskan istriku dulu...
Semua perintahmu akan kulakukan..."
"Hahaha... kau mau bermain siasat apa ini, Madewa" Setelah aku melepaskan
istrimu... kau akan segera
menyerangku... Hahaha... kau layaknya bermain dengan anak-anak kecil,
Madewa..."
"Kau tidak mempercayaiku, Baruna?"
"Hmm... biar orang-orang memujamu setinggi langit, sedikit pun aku tak pernah
mempercayaimu. Nah... lakukanlah perintahku cepat, Madewa! Wktu satu menit yang
kuberikan sudah habis untuk bercakap-cakap yang tak penting ini!
Cepat!!" Madewa merasa tidak ada pilihan Iain baginya. Yang penting istrinya selamat.
Sementara istrinya berseru-seru agar dia jangan melakukan hal yang membahayakan
itu. Namun sungguh diluar
dugaan semuanya. Disaksikan oleh istrinya sendiri dan para murid-murid Perguruan Topeng
Hitam, Madewa Gumilang menghantam tubuhnya sendiri dengan pukulan
saktinya, Pukulan Bayangan Sukma!!
"Ketuaaaa!!" seru beberapa muridnya.
"Kandaaaaaa!!" jerit Ratih Ningrum yang sangat terkejut. Ketika dia hendak
mendapatkan suaminya, tombak di tangan Baruna semakin menekan ulu hatinya
membuat nya tak banyak bergerak.
Dan di hadapan berpuluh pasang mata, tubuh gagah berjubah putih itu pun
perlahan-lahan ambruk ke tanah.
Baruna terbahak. Manusia dewa yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan, hari
ini harus mampus oleh pukulan saktinya sendiri.
Dan dialah yang telah menyuruh
manusia dewa itu melakukannya.
Baruna terbahak sendiri mengingat keberhasilannya. Beberapa murid
Perguruan Topeng Hitam yang hendak mendapati ketua mereka, di bentak mundur.
"Hei, kalian mundur semua! Tak seorang pun yang boleh mendekati dan menjamah
mayat itu! Mundur!! Bila kalian membangkang perintahku ini, Ratih Ningrum akan
mampus di ujung tombakku!!"
Murid-murid Perguruan Topeng Hitam yang hendak mendekati mayat Madewa pun mundur
perlahan-lahan. Mereka tidak ingin kehilangan seorang pimpinan lagi.
Bagi mereka, Ratih Ningrum tak ada bedanya dengan Madewa Gumilang.
Sama-sama mereka sanjung.
Sama-sama mereka hormati.
Dan melihat kenyataan ini, mereka pun tak berani bertindak. Karena Baruna
bukanlah manusia yang mempunyai balas kasihan.
Dia adalah binatang yang sangat
kejam! Sementara Baruna terbahak lagi
melihat kenyataan kemenangan yang sudah berada ditangannya.
Lalu dia berkata sambil mencolek dagu Ratih Ningrum. Yang meronta-ronta dengan
kasar, namun tak bisa berbuat banyak. Di samping lehernya yang tercekik hingga
membuatnya sukar bernafas, juga ujung tombak yang tajam yang siap untuk
menghunjam ulu hatinya.
"Maafkan aku,
Nyonya ketua...
Maafkan aku... hahaha... tetapi suamimu memang pantas mati dengan cara demikian.
Bukankah hanya itu yang bisa membuatnya mati" Hahaha... Madewa Gumilang yang
gagah perkasa harus mampus di tangannya sendiri..."
Namun tiba-tiba, di saat Baruna
sedang terbahak mengingat
kemenangannya, tiba-tiba dirasakannya sebuah pukulan menghantam lehernya.
"Heik!!"
Dia menjerit bagai tercekik.
Cengkeraman tangannya di leher
Ratih Ningrum terlepas, dia pun terkulai ke tanah.
Namun buru-buru bangkit setelah
dirasakannya sakitnya tidak begitu terasa lagi. Dia mencari-cari siapa yang
telah memukulinya.
Matanya melihat sosok berwajah arif dan bljaksana. Sosok yang mengenakan jubah
berwarna putih. Sosok Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma!!
"Kau"!" Mata Baruna seakan mau meloncat tak percaya melihat siapa yang
memukulnya. Begitu pula Ratih Ningrum.
Begitu pula dengan para murid-murid Perguruan Topeng Hitam.
Bukankah ketua sudah mati akibat pukulannya sendiri" Lalu... siapakah yang
berdiri itu. Ketika mereka mencari mayat Madewa, mayat itu tidak ada di
tempatnya semula.
Kini sadarlah mereka, bahwa yang mengenakan jubah putih itu tak lain dari ketua
mereka sendiri, Madewa Gumilang!
Lalu bukankah dia sudah mati akibat Pukulan Bayangan Sukmanya sendiri"
*** 8 Meskipun istrinya dalam bahaya,
Madewa tentu saja tidak ingin mati konyol, apalagi oleh pukulan andalannya
sendiri. Makanya tadi dia sengaja mengulur waktu berbicara dengan Baruna sambil
berpikir dan mencari kesempatan untuk menyelamatkan istrinya.
Dan dia pun mendapat sebuah ide yang bagus. Perlahan-lahan dia mengeluarkan
pukulan Angin Saljunya. Dan bukan Pukulan Bayangan Sukma.
Asap yang mengepul putih yang keluar dari kedua tangannya tadi, merupakan angin
dingin yang keluar dari pukulan Angin Saljunya. Sepintas memang mirip asap. Dan
yang melihatnya pun yakin kalau itu adalah Pukulan Bayangan Sukma.
Ketika dia menghantamkan pukulan itu ke perutnya, diturunkannya tenaganya yang
terangkum di kedua tangannya.
Sementara tubuhnya sudah dialiri tenaga dalam dan hawa murni.
Madewa berharap, Baruna dapat


Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikelabui. Dan ternyata manusia itu memang dapat dikelabuinya.
Dia pun berlagak terkulai dan mati akibat pukulannya itu.
Sementara saat Baruna terbahak dan merasa menang, Baruna menjadi lengah.
Saat itulah secepat gerakan kilat, Madewa bergerak mendekati Baruna dan
menghantamkan pukulannya ke leher Baruna yang melihat kaget.
Mereka tidak melihat Madewa sudah bergerak cepat dan tahu-tahu sudah berada di
belakang Baruna.
Baruna sendiri saat itu kaget luar biasa. Dia hendak kembali menyandera Ratih
Ningrum. Tetapi wanita itu telah melompat bersalto ke depan begitu dirasakannya
cengkeraman Baruna
mengendor. "Kau?" sekali lagi dia hanya bisa melontarkan kata itu pada Madewa.
Madewa tersenyum. Arif dan
bijaksana. "Ya... inilah aku..."
"Bu... bukankah kau sudah mati akibat pukulanmu sendiri?" tanya Baruna terbata,
hingga hilang semua keangkuhan dan kesombongannya.
"Kau gelap mata rupanya, Baruna! Kau hanya memandang sebelah mata padaku! Kau
tak menyadari betapa tingginya langit dan dalamnya lautan?" Madewa tersenyum.
"Hmm... katakanlah, siapakah sebenarnya Iblis Berbaju Hijau itu, Baruna?"
Baruna yang masih tidak percaya
kalau Madewa Gumilang masih hidup, tergagap. Dan tanpa disadarinya mulutnya
terbuka, "Dia ... dia adalah seorang wanita muda yang sangat cantik... Dan
memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi... Dia ... dia juga memiliki sebuah
pedang mestika yang hebat dan ampuh...."
"Pedang mestika apa itu?"
"Pedang Malaikat Pedang Sakti."
"Malaikat Pedang Sakti?"
Baruna mengangguk. Kedua sorot
matanya kosong, seakan masih tidak yakin kalau yang berdiri di hadapannya Madewa
Gumilang. Ratih Ningrum sendiri sebenarnya pun terkejut. Namun dia tidak
mempersoalkan lagi, yang penting suaminya masih hidup
Tiba-tiba sepasang mata Baruna
bersinar, berkilat menyeramkan. Dan laki-laki berwajah seram itu lambat laun
sadar kalau dia dibobongi oleh Madewa Gumilang.
Tentu saja Madewa tidak sebodoh itu membunuh dirinya sendiri dengan pukulan
saktinya. Tentunya dia melepaskan sebuah pukulan yang ringan dan pukulan itu
bukanlah pukulan andalannya.
"Bukan Pukulan Bayangan Sukma!".
Mulut Baruna membentak, "Bangsat!
Kau menipu aku, Madewa!"
"Baruna... untuk orang seperti kau, agaknya segala kelicikan yang telah kau
lakukan, hanya patut dibalas dengan kelicikan pula!
Kau tak ubahnya bagaikan seekor
srigala berbulu domba, Baruna..."
Baruna menggeram. Kesadarannya
makin pulih dan menyadari kalau dia jelas-jelas telah dibohongi.
"Setttaaaan!! Kau harus membayar semua perlakuan bohongmu itu, Madewa!"
geramnya sambil menyiapkan tombaknya.
Dia pun memutar - mutar hingga menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
"Baruna... sadarlah kau. Insyaflah, Baruna... karena kau berada di jalan yang
salah..." "Jangan berkhotbah, Madewa!" geram Baruna yang merasa sangat jengkel sekali.
Sementara matahari sudah tepat
berada di kepala. Sinarnya cukup menyengat.
Sedangkan Ratih Ningrum yang cukup jengkel karena tadi dijadikan sandera,
menggeram marah. Dia pun menggebrak maju sambil meloloskan sepasang pedang
kembarnya. Pedang kembar warisan gurunya yang bernama Mukti (baca : Dendam Orang-Orang
Gagah). "Baruna! Kau hadapi aku!!" serunya sambil menyerang.
Baruna pun dengan cepat menangkis serangan sepasang pedang Ratih Ningrum dengan
tombak mautnya. Gerakannya pun tak kalah cepat dan hebatnya. Penuh tenaga.
"Trok! Trok!"
Berkali-kali kedua senjata itu
beradu. Baruna pun meningkatkan
permainan tombak mautnya, yang kadang menangkis, memukul, menusuk dan menotok
dengan pangkalnya.
Ratih Ningrum pun mempergencar
serangannya pula, Kali ini dia memadukan jurus pedangnya dengan jurus Pukulan
Tangan Seribunya, yang membuat sepasang pedang itu bergerak bagaikan menjadi
seribu. Baruna sendiri kaget melihat hal itu.
"Tak sia-sia kau menjadi istri Madewa Gumilang!" seru Baruna. dan menangkis
tusukan pedang yang mengarah pada lehernya.
"Trok!!"
Kembali senjata itu berbenturan.
Tetapi sampai sejauh itu belum ada yang kelihatan terdesak. Keduanya masih sama-
sama tangguh dan hebat.
Serangan-serangan yang mereka lancarkan cepat dan penuh tenaga.
Namun memasuki jurus ke delapan
belas, sebuah pedang yang berada di tangan kiri Ratih Ningrum menggores bahu
kanan Baruna hingga mengeluarkan darah.
Baruna meaggeram. Dengan beringas dia kembali menyerang Ratih Ningrum.
Sambaran-sambaran tombaknya begitu sadis dan berbahaya.
Tetapi Ratih Ningrum adalah wanita tegar yang sudah makan asam garam. Dia sudah
puluhan bahkan ratusan kali bertarung dengan cara mati-matian.
Serangan-serangan dan desakan
Baruna tetap dilayaninya dengan
balasan-balasan yang sama-sama hebat dan tangguh.
?"Bangsat!" geram Baruna yang sekian lama belum maupun mendesak Ratih Ningrum.
Bahkan dengan satu gebrakan dan
seruan yang kcras, Ratih Ningrum berhasil menyambarkan kembali pedangnya
kepangkal lengan Baruna.
"Crass!!"
Lengan kanan itu pun buntung mengeluarkan darah. Dan pemiliknya
menjerit-jerit kesakitan.
Ketika Ratih Ningrum hendak
menusukkan pedangnya untuk menghabisi Baruna, melesat sosok tubuh yang dengan
cepatnya menotok Baruna hingga kaku.
Lalu menotok pangkal lengan Baruna yang mengeluarkan darah hingga darahnya
berhenti. "Tenanglah, Dinda..." seru sosok itu yang ternyata Madewa Gumilang. "Kita tidak
boleh telengas pada lawan yang telah kalah..."
Ratih Ningrum terdiam.Mendesah.
Merasa malu karena dia nampak begitu buas dan kejam.
"Maafkan Dinda, Kanda..."
Baruna yang merasa kekalahan sudah di ambang pintu tak berani berbuat banyak.
Sedikitnya dia merasa ditolong oleh Madewa dengan jalan menghentikan
pendarahannya. Namun begitu teringat tugas yang diberikan oteh Iblis Berbaju Hijau gagal
dilaksanakan, juga ingat akan sanksi yang diberikan, membuatnya menjadi bingung.
Maka ketika Madewa bertanya di mana gerangan Iblis Berbaju Hijau berada, Baruna
langsung menjawab.
"Dia mendiami Lembah Pasir
Putih..." "Siapakah dia sebenarnya, Baruna?"
"Aku tidak tahu siapa dia
sebenarnya. Tahu-tahu dia datang menaklukkanku saat aku tengah memperkosa
seorang gadis. Dan dia mengalahkan aku."
"Hmm.... berapa lagi pengawal yang menemaninya?"
"Tinggal dua. Martungga dan Kumpala. Sedangkan Roro Dewi entah di mana."
Madewa mendesah. Memperhatikan
Baruna yang sedang menahan sakit.
"Madewa..." desis Baruna kemudian.
"Secara jujur kuakui... bahwa aku kagum dari salut padamu... Sebagai seorang
pendekar yang budiman, sikap, tutur kata dan tingkah lakumu... memang pantas
membuatmu menyandang gelar pendekar budiman. Sedangkan kesaktian dan kehebatan
ilmu yang kau miliki, memang patut kau menyandang sebutan sebagai manusia
dewa...Dan di hari ini, aku Baruna atau si Tombak Maut... menyatakan kekaguman
yang sekagum-kagumnya padamu, Madewa Gumilang..."
"Baruna... aku tetaplah manusia seperti kau. Juga seperti manusia lainnya. Kita
tidak beda. Mungkin...
yang membedakan kita hanyalah nafsu yang ada dalam diri kita. Nafsu yang kadang
membelenggu dan sukar dikendalikan.
Sebagai manusia... kita janganlah terlalu dikekang oleh nafsu, jangan terlalu
membesarkan nafsu...jangan diperbudak nafsu... Malah".
"Madewa... aku sangat beruntung dapat berjumpa dengan manusia sakti seperti
kau... Pendekar Budiman yang gagah perkasa..." kata Baruna sambil menahan rasa
sakit di tangannya. Dan tiba-tiba Baruna berdiri dengan susah payah. Lalu
mengambil tombaknya...
"Madewa... aku salut padamu..."
Sehabis berkata begitu, dia
bergerak dengan cepat. Tombak di tangannya berputar. Ujungnya yang runcing pun
bergerak dengan cepat.
Menusuk jantungnya sendiri.
Madewa tersentak.
Ratih Ningrum memekik.
Para murid Perguruan Topeng Hitam berseru-seru kaget.
Tetapi darah sudah menyembur dari jantung Baruna. Lalu perlahan-lahan tubuh itu
ambruk. Matanya masih membuka,
membayang-kan satu kepedihan yang amat sangat.
"Selamat tinggal... Orang gagah..."
desisnya, lalu kepalanya pun terkulai.
Dan ambruk dengan darah yang membasahi sekujur tubuhnya.
Orang-orang tak ada yang menyangka Baruna akan berbuat seperti itu.
Madewa mendesah panjang.
Menatap langit yang tiba-tiba
berubah menjadi mendung.
"Kejahatan ternyata masih terus berlangsung... Oh, Tuhan... sampai kapankah
kejahatan itu akan berhenti?"
Lalu dia memerintahkan beberapa murid-muridnya untuk menguburkan
mayat-mayat yang bergeletakan.
Madewa sendiri mempunyai rencana untuk segera pergi ke Lembah Pasir Putih.
*** 9 Lembah Pasir Putih malam hati.
Nampak sosok berbaju hijau keluar dari bangunan megah yang terdapat di tengah-
tengah Lembah Pasir Putih. Sosok itu tak lain adalah Puji Wening yang tengah
heran mengapa empat orang anak buahnya belum kembali pula malam hari begini.
"Hmm... rupanya mereka sudah berani membangkang perintahku..." desisnya dengan
sepasang rahang terkatup rapat, menandakan dia sedang geram. "Rupanya mereka
ingin bertingkah seperti Roro Dewi... Anjing-anjing buduk, kalian akan mampus di
tanganku secara mengerikan!!"
Angin malam berdesir.
Dingin menusuk.
Puji Wening tegar berdiri dengan baju hijaunya yang berkibar ditiup angin.
Tiba-tiba beberapa pengawalnya yang terdiri dari orang-orang yang diculiknya
berbisik-bisik begitu melihat wajah Iblis Berbaju Hijau.
"Coba kau perhatikan sekali lagi, bukankah wajahnya sangat mirip dengan Puji
Wening" Anaknya Baguspuro?"
"Hei, kau benar. Memang mirip sekali. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Rasanya tidak mungkin."
"Aku juga tidak menduga dia. Wanita itu bagai iblis belaka. Sedangkan Puji
Wening sangat ramah meskipun dia agak genit..."
"Tapi wajahnya memang mirip dia!"
"Baiknya kita tanya Baguspuro saja.
Bukankah dia menjadi pengawal bagian Timur?"
"Ayo, kita ke sana!"
Dua orang desa Glagah Arum yang
diculik Puji Wening itu pun
mengendap-endap ke bagian penjagaan sebelah timur.
Mereka menemui Baguspuro yang sudah tentu sangat heran mendengarkan
penuturan keduanya.
"Mana mungkin di dunia ini ada wajah yang sama. Kalau mirip masih mungkin."
"Bagus... ini bukan saja mirip, tapi memang serupa!"
"Bila kau masih menyangsikan, lebih baik kau melihat saja. Ayo ikut kami!
Mumpung wanita iblis itu masih berdiri di luar istananya!"
Lalu kedua orang itu bersama
Baguspuro pun berjalan kembali ke tempat semula.
Dan memperhatikan sosok berbaju hijau yang masih berdiri dengan sikap gagah
menantang angin malam.
Baguspuro sedikit terperanjat.
Dia menelan ludahnya berkali-kali.
Tidak salah lagi, itu memang
anaknya! Puji Wening yang hilang lima tahun yang lalu! Oh, Tuhan... akhirnya
dipertemukan juga dia dengan anaknya.
Tetapi mengapa anaknya menjadi
sedemikian kejam" Dan bagaimana
tiba-tiba dia memiliki ilmu kesaktian yang amat tinggi"
Sejenak Baguspuro menyangsikan
pandangannya. Tetapi akhirnya dia menjadi nekat, perlahan-lahan dia beranjak
mendekati Puji Wening.
"Ratu..."desisnya sambil menunduk.
Puji Wening melirik. "Apa?"
Oh, kasar sekali.suara itu! Berarti bukan anaknya! Dan nampaknya dia tidak
mengenali sedikit pun.
Tetapi sosok di hadapannya memang sama dengan putrinya. Hati-hati
Baguspuro mengangkat kepalanya. Dadanya berdetak lebih cepat dari tadi.
Benar, dia anaknya! Benar... wanita ini anaknya! Oh mengapa dia menjadi
sedemikian kejam" ,
"Puji Wening..." panggilnya hati-hati.
Puji Wening atau yang lebih dikenal dengan Iblis Berbaju Hijau menatap laki-laki
setengah baya yang sedang menatapnya.
"Hmm, berani sekali dia menatap wajah ku" Apakah laki-laki itu sudah bosan
hidup". "Kau... kau tidak mengenaliku, Nak?" desis Baguspuro pilu.
Tetapi wajah di hadapannya tetap dingin. Sepasang matanya memancarkan sinar
kesal dan marah.
"Mau apa kau orang tua"!"
Baguspuro makin merasakan pilu di dadanya. "Puji...kau tidak mengenali aku,
Nak?" "Puji Wening" Hei, Bapak tua! Kau bicara apa"!" bentak Puji Wening yang tengah
dipengaruhi oleh sinar aneh dari pedang mestika Malaikat Sakti. Dia sedikit pun
tak menyadari lagi siapakah dia sebenarnya. Dia benar-benar telah melupakan
segalanya. Lagi Baguspuro menelan ludahnya.
Anakku kenapa" Kenapa dia" Mengapa dia tidak mengenalku" Siapa yang telah
mempengaruhinya"
Tiba-tiba muncul Martungga dan
Kumpala. Keduanya sedikit heran melihat
laki-laki setengah
baya yang membungkuk-bungkuk itu mengaku-aku sebagai ayahnya Iblis Berbaju Hijau.
Tetapi mereka kemudian tidak


Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perduli. Mereka punya berita yang sangat penting.
"Salam hormat buat Ratu..." kata keduanya sambil menjura.
"Hmm... Martungga dan Kumpala...
ada apa?" "Kami menemukan Roro Dewi sudah menjadi mayat di tepi hutan menuju desa Glagah
Arum, Ratu..." kata Martungga masih tetap menjura.
"Apa"!"
"Sungguh, Ratu... yang kami lihat benar adanya..." sambung Kumpala.
"Bangsat!!" Iblis Berbaju Hijau meng-geram.
"Siapa yang
berani-beraninya membunuh Roro Dewi, hah"!"
Martungga dan Kumpala hanya ter-
diam. Tiba-tiba terdengar suara laki-laki setengah baya yang masih berdiri di dekat
mereka. "Puji... sadarlah, Nak.. Tingkah dan perbuatanmu sudah melampaui
batas..." "Hei, Orang tua! Omong apa kau di sini, hah"!" bentak Martungga.
"Orang gagah.. .sadarkanlah anakku itu.. bahwa dia telah jauh berada dalam
kesesatan.." kata Baguspuro masih menghormat.
"Anakmu" Siapa anakmu"! Kau jangan mengigau orang tua!"
Baguspuro menelan ludahnya. Dia tetap meratap-ratap dan mengaku-aku kalau Iblis
Berbaju Hijau adalah anaknya.
Sementara Puji Wening menggeram
marah. Dia hendak mengibaskan tangannya, untuk membunuh laki-laki ini. tetapi mendadak
dari sebelah barat terdengar ribut-ribut.
"Awas! Jangan sampai lolos!"
"Kepuuung!!"
"Sikat!"
"Hajaaaaar!"
Dari bagian istana sebelah barat, muncul sosok tubuh yang berkelebat cepat. Lalu
menyusul beberapa pengawal istana Iblis Berbaju Hijau yang bergerak mengejar.
Iblis Berbju Hijau menjadi siaga.
Dia tidak menghiraukan lagi laki-laki yang mengaku-aku sebagai ayahnya. Sudah
tentu semua keinginan Baguspuro sia-sia belaka. Karena Puji benar-benar telah di
kuasai oleh pengaruh pedang mestika itu.
Martungga dan Kumpala sendiri
segera bersalto menghadang larinya laki-laki tadi.
Laki-laki yang ternyata Pranata
Kumala . pun menghentikan larinya. Dia pun menjadi siaga. Dalam hati dia
menggeram. Belum dia mendapatkan Kembang Pasir Putih , sudah terpergok oleh para
penjaga istana Iblis Berbaju Hijau.
Pranata tahu mereka adalah para
penduduk desa yang diculik dan secara paksa dijadikan pengawal. Itulah sebabnya
dia memilih menghindar daripada menjatuhkan tangan telengas pada mereka.
Namun sekarang, tak ada jalan lain karena barisan itu sudah mengepungnya.
Lalu dilihatnya dua sosok tubuh
besar dan wajah menyeramkan
menghadangnya. Juga sosok tubuh tinggi langsing dengan mengenakan baju berwarna hijau.
Inikah Iblis Berbaju Hijau" Sungguh cantik sekali.
"Hei, orang muda!" bentak Martungga. "Kau mencari mati berani datang ke sini!"
"Maaf.. namaku Pranata Kumala. Aku datang ingin meminta Kembang Pasir Putih pada
kalian..."
Martungga tahu, khasiat apa yang terdapat pada Kembang Pasir Putih.
Kembang satu-satunya yang bisa dijadikan sebagai obat penangkal racun dari
Pukulan Kembang beracun. Dan
satu-satunya yang memiliki pukulan itu hanyalah Roro Dewi! Ada apa pemuda ini
sampai mencari Kembang Pasir Putih"
Martungga mencetuskan dugaannya.
"Hmm... kaukah yang telah membunuh Roro Dewi?"
Pranata Kumala pun segera tanggap.
Mungkir pun tak ada gunanya, karena dia yakin orang ini tahu sebab apa dia
mencari Kembang Pasir Putih.
"Maafkan eku, Kisanak... Memang...
akulah yang telah membunuh manusia jahat itu.."
"Bunuhlah dia, Martungga,
Kumpala!!" terdengar seruan dingin yang dilontarkan oleh Iblis Berbaju Hijau.
Serentak Martungga dan Kumpala
menyerang. Pranata Kumala pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pukulan, sodokan
dan tendangan mereka.
Maka dia pun membalas dengan cepat dan tangguh.
Martungga terus menyerang dengan tak kalah hebatnya.
Kumpala yang bergelar Iblis Tangan Delapan pun Segera mengeluarkan ilmunya jurus
Tangan Delapan, yang bergerak dengan cepat.
Pranata Kumala sendiri sudah
mengimbanginya dengan jurus Tangan Bayangan-nya.
Dan sekali-sekali
melontarkan pukulan sinar merahnya.
"Siiiing!"
"Siiiing!"
Pukulan itu mampu membuat Martungga dan
Kumpala kalang kabut untuk
menghindar. Pada jurus ke sepuluh, terdengar jeritan Kumpala. Tubuhnya kena terhantam
pukulan sinar merah Pranata Kumala.
Tubuh itu pun ambruk ke tanah dan hangus masih mengeluarkan asap. Lalu dia pun
meregang nyawa.
Melihat hal itu, Martungga menjadi sangat geram. Dia meningkatkan lagi serangan-
serangannya. Yang dilakukan dengan secara cepat dan hebat.
Sejenak kehilangan keseimbangan karena serangan-serangan itu datang dari delapan
penjuru. Yang membuatnya kalang kabut menghindar dia pun sudah
menggunakan jurus menghindarnya, jurus Kijang Kumala. Yang mampu membuatnya
bergerak selincah dan secepat seekor kijang.
Tiba-tiba Pranata bersalto ke depan sambil memekik. Dia melompati tubuh
Martungga Dan begitu kakinya hinggap di bumi, tubuhnya indenting kembali dan
kedua telapak tangannya menghantam
bagian punggung Martungga yang tersuruk kedepan.
"Aaaaaakkkh!!"
Pranata pun tak mau menyia-nyaiakan kesempatan yang ada padanya. Dia taerputar
bersalto sambil melepaskan pukulan, sinar merahnya.
"Siiing!"
"Aaaaakhhhhh!!"
Terdengar pekikan Martungga untuk kedua kalinya. Kali ini dia yang termakan
pukulan sinar merah Pranata Kumala. Dan ambruk untuk selama-lamanya.
Pranata yang masih berada di udara, tiba-tiba merasakan sebuah angin besar
berdesir ke arahnya.
Sosok berbaju hijau sudah
menyerangnya dengan hebat.
"Hei!!" jerit Pranata terkejut.
Iblis Berbaju Hijau sudah bergerak secara hebat dan tangguh. Kedua
tangannya seperti mempunyai mata, mencecar ke mana perginya Pranata Kumala
Sebisanya Pranata Kumala
menghindar, namun sebuah gedoran berhasil menghantam dadanya hingga dia
terhuyung. Lalu sosok berbaju hijau itu
melenting ke belakang.
"Hhhh! Hanya begitu saja
kemampuanmu!" desisnya dengan senyum dingin dan sepasang mata bersinar membunuh.
"Iblis betina! Meskipun kau dapat membunuhku, sejengkal pun aku tak akan lari
untuk melawanmu!" balas Pranata yang merasakan dadanya bagai dihantam godam
besar. "Baik! Aku memang sudah ingin membunuhmu!!" seru Iblis Berbaju Hijau dan
melenting menyerang.
Serangan-serangannya ganas dan
berbahaya. Cepat dan mematikan. Meskipun Pranata sudah menggunakan jurus Kijang
Kumala, namun kelebatan Iblis Berbaju Hijau sangat luar biasa sekali. Sulit
diikuti oleh mata.
Sekali lagi satu gedoran menghantam Pranata.
Disusul dengan satu tebasan pada kaki kirinya. Membuat Pranata ambruk.
Kakinya bagai mau patah dia rasakan.
"Terimalah ajalmu, Orang sombong!!"
sambil menggeram Iblis Berbaju Hijau menderu maju.
Pranata hanya bisa memejamkan
matanya menanti ajal. Namun satu keanehan terjadi. Bukan Pranata yang terdengar
memekik tetapi malah Iblis Berbaju Hijau. Dan tubuhnya melayang deras ke
belakang. Dan berdirilah sosok berjubah putih yang tersenyum arif dan bijaksana.
"Ayaaaah!!" seru Pranata Kumala begitu membuka matanya.
Sosok itu memang Madewa Gumilang yang telah tiba untuk mencari Iblis Berbaju
Hijau. Sementara wanita iblis itu membelalakkan
matanya, karena
terkejut tak menyangka dia akan
menghantam suatu tembok.
"Hhh! Siapa kau adanya, hah"!"
"Namaku Madewa Gumilang..." *
"Rupanya kau yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma! Bagus, kau akan menerima
kematianmu di Lembah Pasir Putih ini!"
bentak Iblis Berbju Hijau sambil menyerang.
Madewa pun segera menyambut dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu menggebrak
maju dengan Pukulan Tembok Menghalau Badai. Karena dia berpikir, kesaktian
wanita ini begitu tinggi. Jadi dia tidak
sungkan-sungkan untuk
membalas. "Des!"
Pukulannya masuk mengenai
sasarannya membuat wanita itu makin murka. Dia kembali menyerang dengan ganas,
cepat, berbahaya dan mematikan.
Jurus-jurusnya penuh tenaga dalam yang kuat.
Madewa pun mengimbanginya dengan tak kalah hebatnya. Kini dia
mengeluarkan pukulan Angin Salju, karena dirasakannya hawa aneh yang panas
terpancar dari tubuh wanita iblis itu.
"Des!" *
"Des!"
Namun keanehan terjadi. Tubuh Madewa yang terpental. Madewa jelas merasakan
kalau wanita itu dipengaruhi oleh sesuatu.
Lalu dia terdiam. Berkonsentrasi membuka ilmu Pandangan Menembus Sukmanya
sementara Iblis Berbaju Hijau terbahak.
"Hahaha... hanya begitu kemampuan Madewa Gumilang!"
Sementara Madewa menemukan kalau pengaruh aneh itu terpancar dari pedang yang
tersampir di punggung wanita itu.
Dan dia pun lebih yakin setelah mendengar suara Baguspuro,
"Saudara Pendekar... jangan bunuh anakku. Dia gadis baik-baik... entah mengapa
dia menjadi begitu sadis dan ke-,jam...".
Yakin wanita itu dipengaruhi oleh sinar yang keluar dari pedang yang tersampir
dipunggungnya, Madewa
bermaksud untuk memusnahkan pedang itu, Lalu nampak dia terdiam. Dan kedua
tangannya perlahan terangkum di dada.
Nampaklah asap berwarna putih keluar.
Itulah Pukulan Bayangan Sukma.
Dia pun menderu maju tanpa bermaksud untuk melukai wanita itu.
Iblis Berbaju Hijau yang
dipengaruhi sinar aneh dari pedang itu pun meloloskan pedangnya. Pedang itu
memancarkan sinar keemasan. Madewa melihat wanita itu jadi makin bernafsu untuk
membunuh. Serangan-serangannya makin ganas.
Setiap kali pedang itu berkelebat menimbulkan hawa dingin yang menusuk.
Madewa pun bekali-kali memapaki.
Dan... "Des!" ujung pedang yang siap menyambar jantungnya dihantamnya dengan
Pukulan Bayangan Sukma.
Iblis Berbaju Hijau terpekik dan terpental.
Sementara pedang itu hangus dan
hancur menjadi debu. Madewa bersalto sambil menunggu apakah pengaruh aneh itu
masih membelenggu.
Baguspuro pun memekik saat anaknya terpental dan pingsan. Tapi beberapa menit
kemudian, gadis itu pun siuman.
Wajahnya pias, tidak ada sinar dari pancaran matanya nafsu membunuh.
Malah dia terkesan bingung.
"Oh! Bapa" Apa yang telah terjadi?"
Menyadari anaknya telah pulih
kembali, Baguspuro mendekap anaknya erat-erat.
"Puji... anakku..."
"Bapa... apa yang telah terjadi, Pak?" tanya Puji Wening yang bagaikan baru,
bangun dari tidurnya.
"Tidak apa-apa Nak... Semua sudah berakhir.."
Madewa tersenyum. "Cepat kau cari Kembang Pasir Putih... Dan sembuhkan
istrimu..." Lalu bayangan berjubah putih itu berkelebat dan menghilang.
Pranata mendesah. Ayahnya sudah
tahu soal itu. Lalu dia pun segera mencari Kembang Pasir Putih, untuk mengobati.
istrinya tercinta.
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Di Edtit oleh: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Badai Laut Selatan 19 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Rahasia 180 Patung Mas 14
^