Pencarian

Iblis Berbaju Hijau 1

Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Bagian 1


IBLIS BERBAJU HIJAU Oleh Fahri A. Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak Cipta Di Lindungi Undang-Undang Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian
atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode :
Iblis Berbaju Hijau
Tukang Edit: mybenomybeyes
1 Angin bertiup dingin. Udara agak mendung. Awan-awan hitam berarak ke timur
dihembus angin. Suasana tempat itu hening. Rumput-rumput tinggi tak pernah
dipotong, Menandakan tempat itu tak pernah didatangi crang.
Suasananya pun mencekam dan
menakutkankan. Tiba-tiba dari kejauhan samar terlihat sosok tubuh berlari dengan ringannya menuju tempat itu. Sosok itu
mengenakan baju berwarna hijau yang berkibar-kibar dimainkan angin.
Bila dipandang dari dekat, betapa tipisnya pakaian itu. Sehingga
menampakkan lekuk tubuhnya bagian dalam.
Sosok tubuh itu ramping. Dengan bentuk tubuh yang bagus. Wajahnya jelita.
Dengan sepasang mata yang bersinar cemerlang. Alis hitam bagai semut beriring.
Dan hidung kecil yang bangir.
Juga dihiasi oleh sepasang bibir kecil yang memerah bak buah delima.
Sosok itu berhenti berlari.
Diedarkannya pandangannya ke
seluruh tempat itu. Keningnya berkerut melihat daerah yang begitu sunyi dan
menyeramkan. "Hmm... tempat apakah ini?"
gumamnya dan membiarkan rambutnya yang terurai panjang dimainkan oleh angin
nakal. Dan dari rambut itu menguar bau merang yang harum.
Sebenarnya siapakah sosok tubuh berbaju hijau itu" Dia bernama Puji Wening,
seorang gadis dari desa Glagah Arum. Dia sampai di sini secara tidak sengaja.
Karena menjelang senja, Puji Wening sering bermain-main mengisi waktu. Dia
adalah seorang gadis manis yang manja dan lincah.
Tetapi di desanya dia dikenal
sebagai gadis yang genit karena sering memamerkan bentuk lekuk tubuhnya dengan
sengaja, selalu memakai pakaian tipis yang menerawang. Yang membuat setiap laki-
laki yang memandangnya harus
menelan ludahnya. Sedangkan bila yang melihat kaum wanita akan terlontar desisan
karena iri melihat bentuk tubuh yang begitu sempurna.
Tiba-tiba pandangan Puji Wening
terbentur pada sebuah batu nisan yang menyembul keluar. Hanya batu nisannya
saja. Tanpt ada bentuk makamnya.
"Hei, kuburan siapakah ini?"
desisnya dalam hati. Lalu perlahan-lahan dia mendekati batu nisan itu. "Hmm...
siapakah yang dikuburkan di sini" Kalau begitu, dulu tempat ini berpenghuni dan
penghuninya sudah meninggal."
Lalu dengan hati-hati
dibersihkannya batu nisan itu dari debu yang melekat dan cukup tebal.
Samar-samar ada beberapa baris tulisan yang masih terbaca.
Puji Wening pun membaca tulisan itu.
"Barang siapa yang berjodoh dengan batu nisan ini, maka galilah!. Dan
teruskanlah perjuanganku!
Malaikat Pedang Sakti"
"Hm... Malaikat Pedang Sakti"
Siapakah dia?" gumam Puji Wening kembali. "Ataukah dia hidup pads ribuan tahun
yang lampau" Dan merupakan salah seorang tokoh silat yang sangat sakti?"
Dasar Fuji Wening gadis yang
pemberani Dia menjadi penasaran. Maka digalilah batu nisan itu perlahan-lahan.
Cukup melelahkan pekerjaan Itu. Namun rasa penasarannya malah semakin besar dan
cukup membuatnya bersemangat untuk menemukan jawaban yang ada dibaliknya.
Setelah hampir dua meter dia
menggali nampaklah sosok tubuh yang tergeletak di dasarnya seperti tertidur.
Puji Wening sedikit menjadi takut. Dia tak menghiraukan keringatnya yang
bercucuran keluar.
Dari rasa takutnya ini berubah
menjadi kekaguman. Karena mayat itu masih utuh! Sangat luar biasa. Jasadnya
hanya dikotori oleh tanah yang
menutupinya. Rambutnya pun terurai panjang, kuku-kukunya pun memanjang.
Bertanda sudah puluhan bahkan ratusan tahun dia terkubur di sini dengan jasad
yang masih utuh.
"Tentunya dia orang yang sakti,"
gumam Puji Wening. "Lalu apa maksudnya dia menyuruh menggali makam ini?"
Puji Wening menjadi makin
penasaran. Hati-hati disentuhnya mayat itu. Dan hei... dagingnya pun tidak
hancur. Malah masih kencang. dan hati-hati pula dia membalikkan jasad itu. Dan
nampaklah sebuah pedang yang bersarung emas tertindih jasad itu.
"Hei, ada sebuah pedang!". Lalu hati-hati diambilnya pedang itu. Dan ditariknya
keluar dari sarungnya.
Seketika nampaklah cahaya keemasan
memancar dari pedang itu.
"Luar biasa! Bagus sekali pedang ini!" gumamnya.
Puji Wening lalu mencari-cari lagi, barangkali saja masih ada benda atau apalah
yang tidak terlihat olehnya. Maka dia pun mulai mencari-cari lagi.
Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah benda yang mirip sebuah buku yang
terletak agak terkubur oleh tanah. Lalu digalinya dan diambilnya. Setelah
dibersihkan dari debu yan menempel, dia mulai membukanya. Ternyata buku itu
berisi pelajaran-pelajaran ilmu silat dan ilmu pedang. Rupanya itu kitab Pusaka
Malaikat Pedang Sakti.
"Apakah ini sebuah kitab pusaka?"
gumam Puji Wening tidak mengerti.
Dan tiba-tiba dia menggeram.
Tatapannya menjadi liar. Perasaannya mendadak dihausi oleh sebuah kejahatan.
Wajahnya menjadi sungguh menyeramkan.
Puji Wening sendiri heran, mengapa dia mendadak ingin membunuh. Dia tidak tahu
kalau semua itu disebabkan oleh pengaruh pedang yang dipegangnya.
Konon ratusan tahun yang lalu,
Malaikat Pedang Sakti adalah seorang tokoh hitam yan maha sakti. Dia telah
malang melintang di dunia persilatan dengan membuat onar dan kejahatan.
Dengan ilmu pedangnya yang tangguh, dia menjadi disegani oleh golongan hitam
maupun putih. Oleh kawan maupun lawan.
Tak seorangpun yang mampu
mengalahkannya. Dan tak seorang pun yang dapat menahan serangannya. Hingga
merajalelalah dia membuat kejahatan.
Hingga suatu ketika datanglah
seorang kakek yang berjuluk Dewa Pembawa Maut. Dialah yang menghentikan sepak
terjang Malaikat Pedang Sakti hingga terluka parah dalam pertempuran sengit
selama tujuh hari tujuh malam.
Akhirnya Malaikat Pedang Sakti
tidak bisa bertahan lama, karena gempuran-gempuran Dewa Pembawa Maut sedemikian
hebatnya. Lalu dia pun melarikan diri dalam keadaan terluka parah.
Di tempat persembunyiannya Malaikat Pedang Sakti merasa ajalnya sudah semakin
dekat, karena lukanya demikian parahnya. Sebelum mampus, dia sempat menuliskan
sebuah pesan dan menggali kuburan untuknya sendiri.
Pesan yang disampaikannya tertulis pada kitab sakti ciptaannya sendiri, agar
yang berjodoh dengan kitab dan pedang sakti miliknya, harus meneruskan
perjuangan kejahatannya sebagai tokoh hitam yang ditakuti oleh orang-orang rimba
persilatan. Dan tanpa disengaja, senja ini,
jodoh itu pun jatuh ke tangan Puji Wening. Seorang gadis yang manja, periang dan
genit. Gadis yang tidak tahu akan buas, bahayanya ilmu silat jika dipakai untuk
jalan kejahatan.
Tiba-tiba saja gadis itu mendadak terbahak-hahak. Tawanya keras, Membedah
seantero tempat. Dia benar-benar berada di luar sadarnya karena pengaruh aneh
yang terpancar dari pedang sakti yang dipegangnya.
Dan perasaannya pun mendadak ingin membunuh orang!!
Masih terpengaruh oleh pedang itu, Puji Wening kembali menguburkan mayat yang
masih utuh itu. Lalu mengambil Pedang Pusaka Malaikat Pedang Sakti berikut
kitabnya, Puji Wening pun segera keluar dari tempat itu.
Dia mendadak ingin segera
mempelajari dan menatapkan ilmu silat yang ada pada kitab itu.
Tanpa disadarinya kakinya terus
melangkah memasuki tempat yang mirip lembah. Lembah itu hanya ditumbuhi oleh
bunga-bunga berwarna merah. Dan seluruh lembah itu terdiri dari lautan pasir
putih. Konon orang-orang menyebutnya itu dengan nama Lembah Pasir Putih.
"Inilah tempat yang cocok untukku mempelajari kitab sakti ini dan
meneruskan cita-cita Malaikat Pedang Sakti! Hei, Malaikat Pedang Sakti,
saksikanlah, aku, Puji Wening akan segera meneruskan cita-citamu sebagai tokoh
kejahatan dari golongan hitam!!"
Dan tersiarlah kabar hilangnya Puji Wening gadis desa Glagah Arum.
Siang dan malam pencarian terus dilakukan oleh para penduduk. Namun bayangan
gadis itu pun tidak nampak.
Sampai satu tahun hal itu
berlangsung, namun Puji Wening tidak ditemukan pula.
Akhirnya kedua orang tuanya
menyatakan gadis itu telah hilang entah ke mana. Bagai lenyap ditelan bumi.
Ayahnya Puji Wening, Baguspuro,
berulangkali menenangkan istrinya yang semakin hari nampak semakin kurus, tua
dan layu. Karena siang dan malam dia terus menangis hingga matanya membengkak
memerah. "Tenanglah, Bu... mungkin ini sudah nasib anak kita. Hilang entah ke mana..."
"Puji...oh, Puji... sampai hati kau pergi meninggalkan ibu, Nak..." rintih
istrinya yang terus menangis.
"Bu....Dewata tentunya tidak
sembarangan memanggil umat-Nya untuk kembali pada-Nya..."
"Tapi Puji Wening anakku, Pak...
anakku..Huhuhu..Puji Wening.." dan menangislah wanita yang sangat sedih karena
kehilangan putrinya tercinta.
*** 2 Malam mulai menjelang.
Di hutan menuju ke desa Glagah Arum nampak dua ekor kuda berjalan perlahan.
Penunggangnya seorang pemuda berwajah tampan. Dan seekor lagi ditunggangi oleh
seorang wanita yang berwajah cantik.
Mereka adalah Pranata Kumala dan Ambarwati yang sedang meneruskan petualangan
mereka. Keduanya adalah sepasang suami istri yang mempunyai kepandaian bersilat
cukup tinggi. Pranata Kumala adalah Putera Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma dan
istrinya Ratih Ningrum. Sedangkan Ambarwati adalah menantu keduanya, putri dari
Jedangmoro, tokoh perampok di desa Pacitan yang tewas di tangan Pranata Kumala
atau suaminya sendiri (Baca: Pendekar Kedok Putih).
"Kakang..." terdengar suara Ambarwati. "Aku sudah cukup lelah, Kakang..."
"Rayi Ambar.... bertahanlah sejenak. Kita sedang menuju desa Glagah Arum.
Barangkali saja di sana ada penginapan yang cukup layak..." kata Pranata Kumala
sambil menghentikan jalan kudanya.
Ditatapnya istrinya yang nampak
letih dan mengantuk.
"Aku sudah tidak kuat lagi, Kakang... Biarlah kita tidur dan menginap di sini..
Menurut perkiraanku, desa Glagah Arum masih jauh dari sini.."
Pranata Kumala pun mengiyakan saja usul istrinya. Karena dia pun sebenarnya
sudah cukup letih dan mengantuk.
"Baiklah Rayi Ambar... kita bermalam di sini...'
Namun baru saja keduanya turun dari kuda mereka, mendadak sebatang tombak
melesat ke arah keduanya. Serentak keduanya bersalto.
"Heiit!!"
Lalu keduanya bersiaga dengan mata waspada.
Mendadak di hadapan mereka muncul seorang wanita yang berparas cukup cantik. Dia
mengenakan baju berwarna kuning yang tembus pandang.
"Hihihi... rupanya sepasang muda-mudi sedang asyik berpacaran di tempat yang
gelap ini..." sosok itu terkikik dengan senyum yang cukup mengundang.
Ambarwati yang tadinya mengantuk membentak jengkel karena diserang secara gelap,
"Hei, siapakah kau" Mengapa membokong kami secara pengecut"!"
Sosok berbaju kuning itu terkikik kembali.
"Hihihi... rupanya kau galak juga, ya" Kalian di malam ini tengah berkenalan
dengan Roro Dewi. Bagus bukan namaku"
Kalian tentu senang mendengarnya."
"Roro Dewi, dengan maksud apa kau menyerang kami, hah"!" seru Ambarwati lagi.
"Tentunya sengaja itu kulakukan.
Aku ingin tahu, siapakah kalian" Bila kulihat pedang yang tersampir di
punggungmu, agaknya kalian bukan orang sembarangan. Nah, katakan siapa kalian
sebelum kucabut nyawa kalian!!"
"Sombong!" seru Ambarwati makin jengkel. "Namaku Ambarwati. Dan ini suamiku,
Pranata Kumala!"
"Hihihi... suamimu rupanya. Kau beruntung sekali mendapatkan suami yang tampan,
Ambar..." kata Roro Dewi sambil mengerling pada Pranata Kumala.
Pranata mendesah.
Sementara mendadak saja Ambarwati diserang rasa cemburu. Dia membentak lagi.
"Perempuan cabul! Cepat kau pergi dari sini, sebelum aku marah!"
"Marah" Hihihi... aku memang sengaja ingin melihat kau marah! Kau bisa apa
hingga berani membentakku seperti itu... hihihi..."
"Perempuan celaka! Awas serangan!!"
mendesis Ambarwati dengan marah dan meloncat menyerang dengan hebat.
Sebuah pukulan terarah ke wajah Roro Dewi. Tetapi wanita berbaju kuning itu cuma
terkikik dan menarik kepalanya seraya menggeser kakinya ke kiri.
Lalu tangan kanannya bergerak
memukul perut Ambarwati. Ambarwati cepat menarik sikunya, untuk menangkis
pukulan itu. Lalu menyusul sebuah tendangan kaki kanannya.
Jarak yang begitu dekat tidak
memungkinkan bagi Roro Dewi untuk menangkis, lalu dengan satu sentakan manis dia
bersalto ke belakang.
"Hebat. Tangkas. Dan cepat!"
pujinya. "Nah, bila kau sudah tahu itu, mengapa kau mengapa menyembah dan meminta maaf
padaku, hah"!"
"Tidak semudah itu, Ambar. Kita pun baru bergebrak sekali. Mari kita lanjutkan!"
"Perempuan sombong! Jangan salahkan aku bila kau celaka nanti!"
"Kita lihat saja, kau atau aku yang akan celaka! Bahkan akan mampus
berkalang tanah!!"
Lalu Roro Dewi pun segera memapaki serangan-serangan Ambarwati. Kedua wanita itu
pun segera mengeluarkan segenap kemampuan mereka. Bahkan pada jurus kesebelas,
Ambarwati sudah meloloskan pedangnya.
"Tahan pedangku ini!!"
"Hihihi... rupanya kau jeri untuk meng-hadapiku dengan tangan kosong, sehingga
harus mengeluarkan pedang segala!" seru Roro Dewi masih tetap terkikik. "Tapi
tidak apa, aku pun sudah ingin menuntaskan pertempuran ini! Ayo, bersiaplah!
Keluarkanlah semua
kemampuanmu, Ambar!"
Ambarwati pun menyerang dengan
tebasan-tebasan pedangnya yang hebat.
Keras. Tangguh dan cepat. Begitu pula dengan Roro Dewi yang berkelit bagaikan
seekor walet menghindari sergapan burung elang.
"Hihihi... cuma begitu saja kemampuanmu, Ambar... Sudah hampir sepuluh jurus kau


Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerakkan pedangmu, namun tak satu pun yang mengenaiku..."
Tiba-tiba Pranata Kumala menggebrak maju. Menerobos pertempuran antara kedua
wanita itu. "Plak!"
"Plak!"
Tangan kanan dan kirinya bergerak cepat, memisahkan keduanya.
"Tahan!!" serunya.
Kedua wanita itu bergulingan.
Ambarwati menjadi jengkel karena suaminya memisahkannya.
Sedangkan Roro Dewi terkikik.
Pranata menatapnya, "Roro Dewi...
sebenarnya mengapa kau menyerang kami.
Kita tidak saling kenal, pun tidak punya silang sengketa."
"Apakah perlu kujelaskan lagi, bila yang kuinginkan adalah nyawa kalian?"
"Tentunya tidak sembarangan kau hendak mencabut nyawa kami."
"Tentu."
"Lalu kenapa?"
"Karena kalian hendak memasuki desa Glagah Arum. Di mana desa itu sudah kami
kuasai." "Apa maksudmu dengan kami kuasai?"
"Sudahlah! Yang pasti keinginanku cuma satu, kalian harus mampus di tanganku!"
Lalu Roro Dewi bersiap. Kali ini sasarannya adalah Pranata Kumala.
Pranata Kumala sendiri menjadi siaga, demi dilihatnya tangan Roro Dewi yang
terangkum menjadi satu di tangannya mengeluarkan asap berwarna hitam.
"Nah, kalian lihat! Ini adalah pukulan Kembang Beracun milikku yang sangat
hebat! Kalian bisa menemui ajal bila terkena pukulan ini dan racun yang terdapat
di pukulan ini akan
menggerogoti tubuh kalian, hingga kalian menderita kesakitan yang teramat sangat
sebelum maut menjelang. Nah, bersiaplah untuk menyambut seranganku!"
Pranata Kumala pun segera
menyiapkan jurus Tangan Bayangannya.
Begitu Roro Dewi maju menyerang, dia pun mencoba memapakinya. Namun sampai
sejauh itu dia tidak berani untuk bersentuhan dengan tangan Roro Dewi yang
tentunya mengandung racun yang teramat laknat.
Dengan memadukan jurusnya dengan jurus
menghindarnya, jurus Kijang
Kumala, Pranata berusaha mendesak Roro Dewi. Namun karena dia kuatir untuk
bersentuhan sulit baginya untuk terus mendesak.
Hal itu membuat Roro Dewi tertawa.
"Mengapa kau takut untuk bersentuhan denganku, Pranata" Bukankah
kulitku sungguh halus?"
Pranata masih berusaha untuk
mencari tempat yang kosong untuk masuk menyerang. Namun pertahanan Roro Dewi
begitu rapat, sulit untuk ditembus.
"Hihihi... mengapa kau hanya bisa menghindar saja, Pranata" Mana
seranganmu" Ah, lebih baik kau menjadi teman tidurku saja, Pranata... bukankah
tubuhku masih seksi dan montok. Kau tak akan pernah melupakan aku bila sudah
tidur denganku dalam suatu kehangatan yang panjang, Pranata..."
Mendengar kata-kata yang cabul yang dikeluarkan oleh Roro Dewi, membuat wajah
Ambarwati memerah mendengarnya.
Cemburunya mendadak muncul.
Dan dia menjadi marah.
Kembali dia bergerak menyerang.
"Heit! Kau rupanya! Hihihi...
betapa setianya kau pada suamimu, Ambar..." kikik Roro Dewi sambil menghindari
sabetan pedang Ambarwati.
Lalu masuk menyerang dengan pukulan Kembang Beracunnya.
Ambarwati buru-buru bersalto
menghindar. Namun Roro Dewi terus mencecarnya.
Sebisanya Ambarwati menghindari
serangan itu, hingga nampak baginya tak mungkin lagi untuk bisa mengelak.
"Mampuslah kau!!" bentak Roro Dewi sambil mengirimkan satu pukulannya.
Tiba-tiba dia urung dan menarik
kembali tangannya, ketika selarik sinar merah melesat ke arahnya.
Cepat dia bersalto.
"Heit! Rupanya kau hanya pandai membokong saja, Pranata!" makinya.
"Tak ada pilihan lain untuk
menyelamatkan istriku, Roro Dewi!"
"Kau telah berbuat kesalahan!
Berani membokong Roro Dewi! Itu berarti maut untukmu!" wajah yang cantik dap
suara yang tadi terdengar merdu, berubah menjadi tajam dan bengis. Tatapan
matanya sekarang memancarkan sinar pembunuhan. Dan itu akan dilakukan oleh Roro
Dewi. Sebenarnya siapakah Roro Dewi itu"
Dia tak lain anak buah dari Puji Wening.
Setelah mempelajari dan menamatkan kitab sakti ilmu pedang itu, Puji Wening kini
menjadi sosok yang tangguh dan hebat.
Kini dia benar-benar sudah berada di bawah pengaruh aneh yang terpancar dari
pedang Malaikat Sakti itu. Dan tanpa disadarinya, naluri membunuhnya pun
berjalan. Dan dia pun mulai memasuki
desa-desa. Membuat onar di sana. Dan membunuhi siapa saja tanpa sebab.
Sepak terjangnya sangat sadis dan tak berperikemanusiaan. Lalu dia berjumpa
dengan Roro Dewi, perempuan cabul dari golongan hitam pula.
Keduanya pun terlibat dalam suatu perkelahian yang seru. Namun Roro Dewi
terdesak dan berhasil dikalahkan oleh Puji Wening.
Puji Wening yang merasa sudah
sepatutnya memiliki anak buah, menyuruh Roro Dewi menjadi anak buahnya. Bila
tidak mau, maka dia akan dibunuh.
Tentu saja Roro Dewi mau, karena diapun merupakan tokoh dari golongan hitam.
Setelah itu, Puji Wening pun terus membuat teror dan menaklukkan
tokoh-tokoh golongan hitam lainnya.
Sampai saat ini, dia memiliki tujuh orang anak buah termasuk Roro Dewi.
Sepak terjangnya yang ganas dan mematikan, membuat namanya cepat terkenal. lalu
diapun dijuluki orang dengan nama Iblis Berbaju hijau! Karena sepak terjangnya
yang tak mengenal ampun, mirip iblis. Sedangkan dia tetap mengenakan baju
berwarna hijau!
Sementara Roro Dewi tengah bersiap kembali untuk menyerang Pranata Kumala.
Pranata pun bersiap, begitu pula dengan istrinya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Roro Dewi, "Tahan serangan!!"
Serangan itu ditujukan kepada
Pranata Kumala yang dengan sigap bersiap untuk menyambut. Namun mendadak saja
tubuh Roro Dewi berbalik, bersalto dan menyerang Ambarwati.
Ambarwati menjadi kaget. Sebisanya dia menangkis.
Namun kalah cepat, karena serangan Roro
Dewi sudah masuk mengenai
sasarannya. "Des!"
Pukulan Kembang Beracun itu
mengenai dada Ambarwati hingga dia terhuyung ke belakang dan muntah darah.
"Rayi Ambar!!" pekik Pranata Kumala sambil memburu.
Dilihatnya tubuh istrinya menggigil dan membiru.
"Hihihi... dalam waktu sepuluh hari... tubuh istrimu akan mati dengan cara yang
mengerikan..."
Tiba-tiba Pranata Kumala berbalik.
Menatap Roro Dewi dengan tatapan membara.
"Bangsat! Kau harus menerima balasan dari semua yang kau lakukan ini!"
bentaknya seraya menyerang.
Namun Pranata pun tidak mau untuk bersentuhan dengan tangan Roro Dewi.
Makanya dia bergerak dengan hati-hati.
Lalu dengan satu gerakan menipu, dengan cara berpura-pura menyerang, sambil
bersalto Pranata melepaskan pukulan sinar merahnya.
Yang tanpa ampun lagi menghantam rubuh Roro Dewi.
Terdengarlah jeritannya yang keras.
Lalu tubuh itu pun ambruk dengan tubuh yang separuh hangus dan nyawanya lepas
dari jasadnya. Pranata Kumala menghampiri istrinya yang dalam keadaan kesakitan.
"Tenang Rayi... tenang..." Lalu dia menotok jalan darah menuju ke jantung, agar
racun yang memasuki tubuh istrinya tidak cepat mengalir. "Besok... aku akan
segera mencari tabib di desa Glagah Arum... Tenang, Rayi... tenang...."
Ketika keesokan paginya Pranata
hendak meninggalkan istrinya, istrinya menahan. Memintanya agar pergi saat
senjakala. Wajah Ambarwati sangat pucat. Dan membiru. Bibirnya nampak mengigil.
Racun yang berasal dari pukulan Roro Dewi itu perlahan-lahan mulai menjalar.
Kerja racun itu demikian cepatnya sehingga Ambarwati nampak sangat kesakitan.
Pranata menjadi pilu.
"Kakang..." terdengar desisan istrinya sambil memegang lenganpya.
Pranata balas memegang lengan yang halus kini nampak lemah.
"Iya, Rayi..."
"Sakit sekali, Kakang..."
"Tenanglah, Rayi... sebentar lagi senja datang. Biar aku pergi ke desa Glagah
Arum untuk mencari seorang tabib."
"Aku takut sendiri di sini, Kakang...'
"Aku hanya sebentar, Rayi. Nanti juga kembali dengan seorang tabib..."
kata Pranata membujuk istrinya yang nampak berusaha tersenyum.
"Aku takut, Kakang..." desis Ambarwati. Biasanya dalam keadaan tidak sakit
begini, Ambarwati adalah seorang wanita yang gagah berani. Namun dalam keadaan
tubuh terkena racun, nampaklah kodrat aslinya sebagai seorang wanita, yang lemah
dan gemulai. "Tenanglah, Rayi... tenanglah...
Kau adalah seorang wanita yang tegar, Rayi... Tampakkanlah ketegaranmu meskipun
kau sedang dalam keadaan sakit sekali pun..." kata Pranata Kumala sambil
menghibur istrinya.
Saat ini dia membawa ke sebuah
tempat yang cukup terlindung dan aman dari penglihatan mata manusia. Begitu pula
dengan hewan-hewan yang berada di sekitar hutan ini.
Ambarwati mencoba tersenyum.
"Iya, Kakang..."
"Nah, ayo, tunjukkanlah Ambarwati yang tegar, berani dan gagah..."
Lagi Ambarwati tersenyum.
"Kau sungguh baik, Kakang..."
Pranata balas tersenyum.
"Karena aku mencintaimu, Rayi Ambar..."
"Begitu pula dengan aku, Kakang.."
"Nah, sekarang tenanglah kau di sini. Senja sudah datang. Aku harus segera pergi
ke desa Glagah Arum untuk mencari seorang tabib,.. Kau berani sendiri di sini,
bukan?" tersenyum Pranata Kumala.
Dan perlahan-lahan kepala
istrinya mengangguk.
Lalu Pranata mengecup kening
istrinya. Dan keluar untuk segera menuju ke desa Glagah Arum.
Ketika dia memasuki desa itu,
keheranannya mulai nampak. Matanya memandang berkeliling. Memandangi rumah-rumah
penduduk yang nampak terkunci rapat. Dan tak seorang pun yang kelihatan masih
berkeliaran. Juga anak-anak yang biasanya
bermain dengan riang di bawah matahari senja.
Aneh, padahal hari baru memasuki senja. Belum lagi malam. Penuh keheranan
Pranata berkata dalam hati.
"Aneh, mengapa tak nampak seorang penduduk pun yang berkeliaran di luar rumah.
Hmm... menurut kabar, desa Glagah Arum adalah desa yang subur dan makmur yang
terletak di sebelah Utara
pegunungan Dieng. Namun rupanya hanya kabar bohong belaka. Desa ini begitu sunyi
dan mati..."
Pranata melangkah lagi. Untuk
sejenak dia melupakan istrinya yang dalam keadaan sakit. Keheranannya semakin
bertambah besar ketika dia bertemu dengan seorang kakek, ketika dia hendak
menyapa, kakek itu malah berbalik melarikan diri. Di wajahnya tersirat
ketakutan. "Aneh! Apa gerangan yang telah terjadi di sini?" gumam Pranata semakin bertambah
heran. Tetapi begitu ingat keadaan
istrinya yang sedang sakit, Pranata mengetuk pintu sebuah rumah. Dia harus
mencari tabib, untuk mengobati istrinya.
"Tok! Tok! Tok!"
Tak ada sahutan. Pranata mengetuk lagi. Setelah cukup lama menunggu, baru-lah
terdengar suara bernada ragu dan ge-ram dari dalam,
"Siapa?"
"Saya, Paman."
"Saya siapa?"
"Nama saya Pranata Kumala, Paman.
saya butuh pertolongan."
"Pertolongan apa?"
"Istri saya sakit keras. Saya membutuhkan obat dan tabib."
Tiba-tiba suara tadi berubah
menggeram. "Hhhh! Manusia laknat!
Janganlah kau mencoba menipu aku, hah"!"
"Saya tidak mengerti maksud, Paman."
"Manusia dajal! Apalagi yang hendak kau peras dan kau ambil dari kami, penduduk
desa Glagah Arum?"
"Paman salah paham rupanya. Bukalah pintu terlebih dahulu, baru kita bicara."
"Dan kau akan segera membunuhku dan menculik anak gadisku, bukan"!"
"Jangan salah sangka, Paman, saya datang membutuhkan pertolongan. Bila terlambat
sedikit saja, nyawa istri saya tak akan bisa diselamatkan, Paman..."
Lama tak terdengar sahutan. Baru kemudian, "Hmm... baiklah. Hanya pada Gusti
Allah kami minta pertolongan, meskipun hari ini nyawa kami sekeluarga harus
mampus di tanganmu!!"
Perlahan-lahan pintu rumah itu
terbuka. Dan muncul sosok tubuh sambil membawa parang besar. Pranata mencoba
tersenyum pada laki-laki yang bernama Danusewu itu.
"Maafkan saya, Paman... kalau saya sudah mengganggu Paman dan mengejutkan
Paman..." "Hmmm... Anak muda, katakan cepat apa maksud kedatanganmu?"
"Saya butuh pertolongan Paman.
Istri saya sedang sakit. Dimanakah kiranya saya bisa mencari soerang tabib?"
"Sakit apa temanmu?"
"Dia terkena pukulan beracun, Paman."
"Di mana dia berada sekarang?"
"Cukup jauh dari desa ini. Paman bisa memberitahu di mana saya bisa mencari
seorang tabib?"
Danusewu terdiam. Matanya nyalang memperhatikan Pranata Kumala. Parang besarnya
siap untuk mengayun bila dia melihat sedikit saja gerakan
mencurigakan. Tapi lambat laun dia nampak yakin dengan pemuda ini. Walaupun baru pertama
bertemu, perlahan-lahan kecurigaannya mencair. Dia pun tak punya alasan lagi
untuk mencurigai pemuda itu.
"Hmm... Anak muda, aku adalah seorang tabib," ujarnya kemudian.
Wajah Pranata Kumala menjadi
gembira. "Benarkah, Paman" Maukah Paman menolong istriku dari maut?"
Danusewu terdiam lagi sesaat. Lalu katanya, "Baiklah... mari kita segera
berangkat."
Dari dalam muncul seorang gadis yang berparas cantik. Dia segera memeluk lengan
Danusewu. Rupanya dia sudah mendengar percakapan antara ayahnya dengan tamu
ayahnya.

Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bapa... mau ke mana?" tanya gadis itu.
"Oh, kau Wiranti, anakku," desis Danusewu. "Ada sebuah urusan yang harus Bapa
selesaikan..."
Wajah Wirantai seketika kelihatan ketakutan. "Ranti ikut Bapa... Ranti takut di
rumah sendiri... Bolehkan Bapa?"
Danusewu berpaling lagi pada
Pranata Kumala. "Bagaimana, anak muda?"
"O, tidak apa-apa, Paman," kata Pranata Kumala sambil melirik Wiranti.
Yang dilirik tersipu. Ah, sayang....
pemuda itu sudah beristri. Kalau belum, betapa senangnya mendapat lirikan yang
penuh pandangan kagum padanya.
"Baiklah, Ranti. Mari kita
bersiap." Lima belas menit kemudian, dua ekor kuda meninggalkan rumah Danusewu. Yang
seekor ditunggangi oleh Danusewu dan putrinya. Yang seekor lagi ditunggangi oleh
Pranata Kumala.
Jalan desa sepi.
Suasana masih nampak henign dan
mencekam. Pranata masih bertanya-tanya, ada ke jadian apa yang telah menimpa desa Glagah
Arum bingga jadi bagaikan mati belaka.
Tiba-tiba Pranata teringat akan
ucapan Roro Dewi, yang mengatakan desa itu telah menjadi kekuasaannnya. Tapi
kekuasaan siapa kini karena Roro Dewi sudah mati di tangannya"
Karena menunggang kudanya tidak
seperti saat Pranata menuju desa Glagah Arum, mereka baru tiba di tempat
persembunyian Ambarwati setelah memakan waktu hampir dua jam lamanya.
Mereka langsung menemui Ambarwati yang terbaring dengan wajah pucat.
Begitu meelihat suaminya muncul bersama dua orang itu, wajah Ambarwati yang
tadinya tersirat ketakutan dan kesunyian berubah menjadi sedikit berseri. Namun
kepucatannya tak
berkurang sedikit pun.
"Kakang..."
"Rayi Ambar... aku datang dengan seorang tabib," kata Pranata Kumala sambil
membelai lembut rambut istrinya yang merasa aman sekali.
"Kakang... sakit sekali, Kakang...'
"Tahan sebentar,
Rayi," kata
Pranata Kumala. Lalu berpaling pada Danusewu yang tengah memperhatikan
Ambarwati. "Paman Danusewu... silahkan Paman mengobati istri saya... Tolonglah
Paman, tolonglah ringankan rasa
sakitnya..."
Danusewu pun segera memeriksa
keadaan Ambarwati.
Berkali-kali Keningnya kadang berkerut. Kadang dia terdiam. Lalu dirabanya pergelangan tangan
kanan Ambarwati. Terasa denyut nadinya yang lemah. Setelah cukup lama memeriksa,
terdengar desahan nafasnya panjang.
"Hm... apakah kalian pernah terlibat dalam suatu perkelahian?"
"Benar, Paman."
"Istrimu terkena pukulan Kembang Beracun, Pranata."
"Entahlah, Paman... jenis pukulan apa yang mengenainya. Tetapi dalam perkelahian
itu, dia memang kena pukul oleh tangan Roro Dewi..."
"Roro Dewi?"
"Benar, Paman. Dan sekarang wanita itu telah tewas di tangan saya."
Mata Danusewu sedikit bersinar.
"Dari hasil pemeriksaanku, dia terkena pukulan Kembang Beracun. Konon pukulan
itu sangat mematikan sekali, Untung belum terlalu parah dan mengenai jantungnya.
Untung pula kau telah menotok beberapa jalan darahnya untuk menghambat aliran
racun ke jantungnya."
"Apakah dia bisa diobati, Paman?"
"Pranata... luka semacam ini hanya bisa diobati oleh Kembang Pasir Putih..."
"Oh! Di manakah kembang itu bisa kudapatkan, Paman?"
"Tempatnya cukup jauh dari sini.
Mama tempat itu Lembah Pasir Putih. Hanya di tempat itulah kembang Pasir Putih
didapatkan."
"Di mana tempat itu, Paman?"
"Lembah Pasir Putih sangat jauh dari sini. Tempatnya pun amat menyeramkan."
"Katakan Paman, biar bagaimana pun seram dan susahnya lembah itu, aku akan tetap
ke sana demi nyawa istriku..."
Pranata melihat Danusewu memberi isyarat padanya agar dia mengikutinya keluar.
Pranata pun bangkit mengikuti Danusewu yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Sementara Wiranti bersimpuh menjaga dan mengelapi keringat yang mengalir di
sekujur dan wajah Ambarwati. Wiranti menjadi tersentuh hatinya melihat rasa
sakit yang diderita Ambarwati.
Dia sedikitnya dapat merasakan rasa sakit itu. Hatinya menjadi iba.
Sedangkan Ambarwati merasakan ada teman yang mau dibagi rasa sakitnya selain
suaminya. Suaminya begitu baik merawat dan menjaganya.
"Siapa namamu, Dik?" tanyanya.
"Saya Wiranti, Mbakyu," sahut Wiranti sambil tersenyum. Lalu
melanjutkan, "Saya putri tunggal dari Danusewu..."
Sementara di luar, Danusewu sedang berkata pada Pranata Kumala, "Anak muda...
nyalimu sungguh besar dan kau begitu tabah hingga rela berbuat apa saja
untukistrimu, Istrimu sangat beruntung mempunyai seorang suami seperti kau..."
"Apa maksudmu, Paman" Aku tidak mengerti.."
"Ketahuilah anak muda... Lembah Pasir Putih kini diduduki oleh orang-orang jahat
dari golongan hitam. Kau takkan mudah mendapatkan kembang itu begitu saja..."
"Saya akan tetap ke sana, Paman".
Danusewu mendesah. Menatap Pranata.
Lalu katanya, "Anak muda...
tentunya kau heran, mengapa desa kami, desa Glagah Arum yang subur dan permai,
kini bagai desa mati belaka?"
"Benar, Paman..."
"Juga mengapa sambutanku seperti tadi dan tidak bersahabat, bukan?"
"Benar, Paman... sebenarnya apakah yang telah terjadi?" tanya Pranata.
"Ini semua akibat teror dari orang-orang golongan hitam yang mendiami Lembah
Pasir Putih. Semula selama beberapa bulan terakhir ini desa kami akur, aman dan
tentram. Tak ada serangan dari mana pun juga. Hanya ada satu kejadian yang
menimpa keluarga
Baguspuro..."
"Kenapa, Paman?"
"Putri tunggalnya yang bernama Puji Wening hampir dua tahun ini hilang entah
kemana. Tidak diketahui rimbanya.
Andaikata dia sudah mati mayatnya pasti ditemukan. Namun mayatnya pun tidak
ditemukan..."
"Lalu, Paman?"
"Hingga kami pun melupakan tentang gadis itu dan menganggapnya telah mati.
Dan mengenai desa kami, mendadak saja datang serombongan orang-orang ganas
menyerbu desa kami. Mereka sangat kejam.
Mereka membunuhi siapa saja yang membangkang dan mencoba melawan mereka.
Mereka pun menculik anak-anak gadis kami. Itulah sebabnya desa kami bagaikan
mati karena tak ada satu orang penduduk pun yang berani keluar bila senja mulai
datang... Itu disebabkan oleh teror orang-orang Lembah Pasir Putih.
Mengenai wanita yang tewas di
tanganmu, yang bernama Roro Dewi...
adalah salah satu darii gerombolan orang jahat itu. Saya bersyukur karena kau
berhasil menumpas salah seorang dari mereka..."
"Berapakah jumlah mereka, Paman?"
"Enam orang. Terdiri dari laki-laki berwajah kasar dan menyeramkan..."
"Tahukah Paman siapa pemimpin mereka?"
"Sejauh itu aku belum pernah melihat dan mengenalnya. Hanya saja mereka
mengatakan... pimpinan mereka bergelar Iblis Berbaju Hijau..."
"Ya, dialah yang menyuruh dan menaklukkan orang-orang jahat itu sehingga menurut
padanya.' Pranata terdiam.
"Ada apa, Anak muda?"
"Paman... saya pernah mendengar teror yang dilancarkan oleh Iblis Berbaju Hijau.
Dia seorang wanita yang teramat sadis. Tetapi sampai sejauh itu saya pun belum
pernah mengenalnya.
Agaknya dia adalah golongan
orang-orang jahat yang sangat sadis dan kejam".
"Nah, merekalah yang mendiami Lembah Pasir Putih, anak muda..."
Kali Pranata tercenung. Kembang
Pasir Putih adalah satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan istrinya dari racun
pukulan Kembang Beracun. Dan orang-orang jahat itu berdiam di sana.
Sudah tentu mereka tak akan membiarkan saja ada orang lain memasuki daerah
kekuasaan mereka. Apa-lagi untuk mengambil Kembang Pasir Putih.
Danusewu dapat menduga kekuatiran yang dialami Pranata. Lalu hati-hati dia
berkata," Kau menghadapi satu persoalan yang teramat besar. Pesanku,
berhati-hatilah menghadapi orang-orang Lembah Pasar Putih. Aku menjadi kuatir
dalam hal ini..."
"Tenanglah, Paman... terima kasih atas kekuatiranmu padaku. Tapi biar bagaimana
pun susahnya, kau akan segera ke sana untuk mengambil Kembang Pasir Putih. Demi
istriku tercinta. Dan sebaiknya, kau tinggalnya bersama istriku di sini. Ajak
pula putrimu serta.
Sepertinya tempat ini cukup aman dari gangguan orang-orang ganas itu..."
Danusewu cuma mengangguk.
Angin berhembus dingin.
Malam telah menjelang.
"Kapan kau akan berangkat, Anak mu-da?"
"Besok, pagi-pagi sekali, Paman..."
*** 4 Desa Glagah Arum malam hari. Suasana sunyi senyap. Desa itu benar-benar seakan
mati. Seakan tak ada tanda-tanda kehidupan. Teror yang dilancarkan orang Lembah
Pasir Putih begitu mencekam.
Rasanya siap mengantar mereka ke akhirat.
Malam kini pula kepala desa itu, Kenconowari, tengah berdiam diri di rumahnya.
Dia tak bisa berbuat banyak untuk menghadapi orang-orang Lembah Pasir Putih.
Rasa-rasanya, Kenconowari pernah mendengar nama seorang pendekar agung yang baik
budi, yang bernama Madewa Gumilang. Ingin rasanya Kenconowari mencari manusia
sakti itu menolong desanya dari gangguan orang-orang Lembah Pasir Putih.
Namun di mana dia harus mencari manusia sakti itu, sedang kan tempatnya saja dia
tidak tahu. Kenconowari hanya bisa berdoa memohon pertolongan Gusti Allah.
Belum lagi dia menuntaskan
keinginannya, tiba-tiba di luar rumah terdengar derap langkah kuda memasuki desa
Glagah Arum. "Orang-orang itu datang lagi, Gusti Allah. Oh tolonglah kami dari cengkraman
yang menakutkan ini..."
Dari luar terdengar bentakan, "Hei, orang-orang Glagah Arum! Cepat ke luar!
Atau... kami bakar desar ini"!"
Tak ada yang keluar. Tak ada yang berani keluar.
Di rumah masing-masing, para
penduduk dicekam ketakutan yang sangat luar biasa.
"Bangsat!Cepat kalian keluar!!"
Tetap tak ada yang beranjak.
Kenconowari yang hendak keluar ditahan oleh istrinya.
"Jangan, Kakang... jangan.."
"Tidak apa-apa istriku. Sebagai kepala desa... aku harus berani
menghadapi semuanya... kau mengerti istriku?"
"Tidak, jangan , Kakang..
Jangan..."
Kepala desa Kenconowari menjadi
serba salah. Terdengar lagi bentakan di luas dengan keras. Dan ancaman yang
mengerikan. "Cepat keluar! Kalian lihat ke sini, api telah berkobar di obor yang kami
pegang! Cepat!!"
Kenconowari menatap kembali
istrinya. "Rayi Sidah... izinkanlah aku keluar... aku harus bicara dengan
mereka. Bila tidak, habislah riwayat desa kita ini..."
"Kakang..." suara istrinya cemas, matanya memohon. Membuat Kenconowari menjadi
tidak tega. Tetapi dia mau tak mau harus keluar. Harus menemui
orang-orang itu, sebelum teror yang dilancarkan mereka terjadi lagi seperti
beberapa hari yang lalu.
Itu sungguh mengerikan.
Orang-orang itu tak segan-segan
membunuh. Bahkan mencincang orang yang berani membangkangnya. Atau juga
memperkosa beberapa anak gadis sekaligus di hadapan orang-orang desa yang hanya
bisa menyaksikan dengan hati pilu tanpa bisa berbuat apa-apa sementara anak
gadis yang diperkosa merintih-rintih kesakitan.
Dan Kenconowari tak mau hal ini
berulang kembali.
Lalu dia berkata lagi pada istrinya,
"Kumohon, Rayi... kumohon sekali..."
Akhirnya dengan perasaan yang berat istrinya pun mengizinkan suaminya ke luar
menemui orang-orang berkuda itu.
Setelah berdoa sekali lagi,
Kenconowari pun bersiap.. Setelah melihat wajah istrinya yang makin cemas,
Kenconowari tersenyum.
"Tenanglah, Rayi Sidah. Tak akan terjadi apa-apa atas diriku.." kata Kenconowari
sambil tetap tersenyum.
Terlihat istrinya pun tersenyum walau sangat dipaksakan.
"Hati-hati, Kakang..."
"Baik, Rayi..."
Dari luar dengar bentakan
lagi,"Cepat kalian keluar! Hei Kepala Desa! Cepat keluar! Bila tidak, kubakar
desa ini!"
"Aku pergi dulu, Rayi..."
Bagai menghadapi malaikat maut,
Kenconowari hati-hati membuka pintu. Dan melihat enam sosok menunggang kuda
tegap berdiri di tengah-tengah desa Glagah Arum.
Rayi Sidah memperhatikan dari balik Jendela dengan hati yang luar biasa cemas-
nya. "Hahaha... akhirnya kau keluar juga, Kepala Desa!" seru salah seorang dari
penunggang kuda itu sambil terbahak begitu melihat sosok Kenconowari. Dia adalah
Martungga, datuk yang berjuluk Manusia Bengis dari Timur. Sedangkan kelima
temannya masing-masing, Baruna si Tombak Maut, Kumpala si Iblis Tangan Delapan.
Sirat Alis si Macan Hitam, Sulawaya si Cambuk Api. Dan Wiro Manik si Tongkat
Seribu. Keenam manusia itu berasal dari
tempat yang berlainan. Namun nasib mereka sama. Masing-masing telah dikalahkan
oleh Puji Wening alias Iblis Berbaju Hijau yang memang sengaja mencari anak buah
dan menebarkan teror kematian sesuai dengan janjinya pada Malaikat Pedang Sakti.
Keenam orang itu tak bisa
menanggulangi kehebatan Puji Wening yang datang dengan sejuta kemurkaan dan
mengalahkan mereka.
Di bawah kekuasaan Iblis Berbaju Hijau, keenamnya disuruh membuat teror dengan
menebar kematian di setiap desa.
Bagi mereka orang-orang golongan hitam, tanpa disuruh untuk kedua kalinya mereka
langsung mengiyakan saja.
"Kisanak..." terdengar suara Kenconowari dengan sikap yang luar biasa tenangnya.
"Sudah beberapa kali Kisanak sekalian membuat teror di desa ini.
Apakah Kisanak tak punya belas kasihan dan tenggang rasa yang tinggi terhadap
kami, penduduk Glagah Arum yang lemah?"
"Hahaha... pintar nian kau bicara, Kenconowari! Tapi ketahuilah, kami datang
kembali karena ingin meminta beberapa orang perawan cantik untuk menemani kami
berpesta! bukan begitu, teman-teman"!"
Yang lain tertawa. Suara tawa mereka seakan menebar jarum tajam berbisa yang


Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa membunuh siapa saja yang tertusuk.
"Benar, saudara Martungga!" kata Kumpala. "Kita memang membutuhkan kehangatan
malam ini!"
"Dan perlu diingat Martungga, kata Baruna. "Kita pun akan meminta setoran dari
hasil bumi desa ini, bukan?"
"Ya, ya! Nah, kau dengar itu, Kenconowari" Gepat sediakan enam orang perawan
malam ini juga! Kalau tidak, akan kami obrak-abrik desa ini!!"
Kenconowari mencoba bersabar dan menahan diri. "Kisanak, bukankah perbuatan
kalian itu sungguh kejam dan tak berbudi?"
"Persetan dengan semua ucapanmu itu! cepat carikan untuk kami! Kami tak bisa
menunggu terlalu lama!"
"Bila itu keinginan kalian, kalian harus langkahi dulu mayatku selaku kepala
desa di sini!"
"Apa" Melangkahi mayatmu?" seru Martungga geli. "Kami bahkan akan meludahi dan
mencincang mayatmu, Kenconowari!"
"Lakukanlah daripada kebiadaban kalian terus menerus meraja di muka bumi ini"
Sulawaya atau si Cambuk Api yang terkenal berangasan dan tidak sabaran
mengayunkan cambuknya ke arah
Kenconowari. Sungguh di luar dugaannya, dikiranya dengan sekali mengayunkan
cambuknya tubuh Kenconowari akan hancur.
Namun tubuh itu tiba-tiba melenting ke atas dan bersalto ke belakang lalu
hinggap di bumi dengan ringannya.
"Hei, pantas kau berani berlagak"
Rupanya kau punya mainan juga!" seru Martungga yang tadi pun yakin tubuh itu
akan hancur terkena sabetan cambuk api milik Sulawaya.
"Kalau begitu baik, kami tidak akan sungkan-sungkan lagi dan punya belas kasihan
padamu! Tahan serangan!!"
Habis berkata begitu, Martungga mengempos tubuhnya bersalto menyerang kearah
Kenconowari yang berguling menghindar. Kesal karena serangannya gagal, Martungga
semakin membabi buta.
Dan kecepatan gerakannya kini sukar ditandingi oleh Kenconowari . Lepas dari
sepuluh jurus, sasaran pukulan dan tendangan Martungga pun mengenai sasarannya.
"Des! Des!!"
Tubuh tua Kenconowari itu pun
terhuyung ke belakang. Dadanya bagai dihantam godam yang sangat keras.
"Huak!!" Dia pun muntah darah.
"Hahaha... tak bisa lagi kau berlagak sekarang, Orang tua! Bah!"
Martungga meludah.
Kenconowari mendengus. Tatapan
matanya marah dan garang. Dan ada tersirat kepedihan karena tak mampu membalas.
Apalagi kini yang
dicemaskannya mulai terjadi.
Orang-orang bengis itu melempar
obor yang mereka bawa ke atas rum ah penduduk. Hingga para penduduk pun
berlarian keluar dengan ketakutan.
Mereka pontang-panting dan
menjerit-jerit. Sementara orang-orang itu tertawa terbahak-bahak melihat
penderitaan penduduk.
"Kau lihat atas ulahmu,
Kenconowari!" geram Martungga sambil tertawa. "Nah, camkanlah ucapanku sebelum
desa ini kubuat menjadi
neraka!!" "Hhh!" Orang tua itu mendengus melihat penderitaan warganya. Berasa sekali
irisan pisau di hatinya.
Memilukan. "Tak akan pernah aku penuhi permintaan kau, Setan!!"
"Anjing buduk! Di kasih ampun, minta mati! Baik! Rasakan ini!! Mampuslah kau!!"
geram Martungga sambil menurun-kan tangannya ke batok kepala Kenconowari.
"Brakk!! Kepala itu hancur hingga mengeluarkan cairan putih bening.
Di dalam rumahnya, Nyai Sidah hanya bisa menangis pilu tanpa berani berbuat apa-
apa. Sementara api terus berkobar dan rakyat menjerit-jerit ketakutan.
Melihat beberapa gadis cantik keluar dari rumah mereka untuk menyelamatkan diri
dari sambaran api yang menyengat, tertawalah orang-orang bengis dan kejam itu.
"Lihat, lihat!" seru Sulawaya.
"Mereka berlarian mirip anjing dan ini memudahkan kita untuk memangsanya!"
"Ayo kita segera menjemput
Nona-nona kita!" seru Baruna sambil menghentakkan kudanya yang menggebrak
langsung. Dan hanya sekali gaet, tersambarlah seorang perawan manis yang
menjerit-jerit ketakutan dan
meronta-ronta hendak turun.
Namun semua itu hanya disambut tawa oleh orang-orang liar tadi. Yang langsung
menggebrak kuda-kuda mereka menuju lembah Pasir Putih.
Meninggalkan kobaran api yang terus mengganas membakar desa Glagah Arum.
Meninggalkan hasil kejahatan
mereka. *** 5 Seperti diceritakan sebelumnya,
lembah Pasir Putih merupakan lembah yang terdiri dari lautan pasir berwarna
putih yang banyak memenuhi seluruh permukaan lembah. Tak ubahnya bagai sebuah
lautan. Di tengah-tengah lembah itu,
terdapat sebuah bangunan yang cukup besar dan mirip istana. Di sanalah Puji
Wening atau yang sekarang bergelar Iblis Berbaju Hijau berdiam. Bangunan itu
dibuat oleh tangan-tangan penduduk yang mereka culik secara paksa dan mereka
paksa untuk bekerja. Sistem kerja paksa itu hanya berlangsung dalam waktu enam
bulan, lalu berdirilah sebuah bangunan yang megah di tengah-tengah Lembah Pasir
Putih. Penduduk yang mereka culik untuk tenaga secara paksa tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena bila mereka berani membangkang, maka hukuman dan siksaan yang pedih
mereka terima. Atau pun dibunuh. Dan mayat mereka digantung di tengah-tengah
keramaian agar yang melihat tidak berani membuat
membangkang, atau pun melarikan diri.
Saat mereka dipaksa untuk mengabdi pada Iblis Berbaju Hijau pun mereka hanya
mandah saja. Sedangkan yang kaum perempuan,
di-jadikan pemuas nafsu anak buah Iblis Berbaju Hijau. Puji Wening hanya tertawa
melihat kenyataan ini. Gadis yang manja, periang dan sedikit genit itu, kini
menjadi buas, liar, jahat dan sadis.
Tanpa disadari-nya pengaruh aneh yang terpancar dari pedangnya yang selalu
tersamping di pung-gungnya, semakin mengikatnya.
Semakin membuatnya haUs kejahatan dan membunuh.
Dia tak perdulikan lagi mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan anak buahnya
diperintahkannya untuk menyerbu desa Glagah Arum. Desa yang permai di mana dia
dilahirkan di sana dari rahim seorang ibu dua puluh tahun yang lalu.
Dia kini bak ratu belaka yang
memimpin sebuah negara. Dan ini semakin membuatnya merajalela.
Telinganya yang peka menangkap
derap kuda memasuki Lembah Pasir Putih.
Dengan sekali lompat Puji Wening sudah berada di luar dan melihat kedatangan
enam anak buahnya.
"Hahaha... ada apa gerangan, Sang Ratu keluar dari istana?" sapa Martungga
begitu melihat sosok berbaju hijau yang tipis merangsang berdiri di hadapannya.
Puji Wening tersenyum tipis. Namun di balik senyum itu, dia bisa berubah menjadi
iblis yang jahat.
"Martungga... bagaimana dengan kerjamu?"
"Beres, Ratu. Semua sudah kami laksanakan
sesuai dengan perintah
Ratu..." "Bagus! Dan untuk teror pertama, kalian buatlah desa-desa yang ada di sekitar
sini menjadi lautan api.
Sebarkan hawa maut yang mengundang kematian. Aku yakin, akan banyak tokoh-tokoh
dari golongan putih dan golongan hitam yang berdatangan.Untuk golongan putih,
bunuh mereka semua!
Sedangkan untuk golongan hitam, ajak mereka untuk bergabung dengan kita!
paham"!"
"Kami paham sekali, Ratu. Usul dan perintah Ratu, akan kami laksanakan dengan
senang hati."
"Hmm... sejak semalam aku belum melihat Roro Dewi melapor ke sini. Apakah kalian
melihatnya?"
"Belum, Ratu."
"Atau dia lupa untuk melapor?"
"Tidak mungkin, Ratu."
"Atau dia lupa dengan sanksi yang kuturunkan bila berani mencoba membantah dan
membangkang perintahku?"
"Tidak mungkin, Ratu. Roro Dewi tentu ingat akan sanksi yang ratu berikan?"
"Kau masih ingat sanksinya, Martungga ?" kali ini sepasang mata Iblis Berbaju
Hijau bersinar berbahaya.
"Kami akan selalu ingat terus, Sang Ratu."
"Apa sangsinya, Martungga?"
"Yang berani membantah dan
membangkang perintah ratu, dia akan mati secara mengerikan. Dan dikubur
hidup-hidup di pasir putih sesudah disiksa."
Puji Wening terbahak. Tawanya
mengandung tenaga dalam yang tinggi, membuat keenam anak buahnya mengalirkan
tenaga dalamnya ke telinga mereka.
"Bagus! Nah, kalian nikmatilah ayam-ayam tangkapan kalian!" seru Puji Wening.
Dan "wuuuuut!!" Tubuhnya pun lenyap dari pandangan anak buahnya.
Keenam orang itu maklum akan
kehebatan dan kesaktian Iblis Berbaju Hijau yang akan membantu mereka!
Tak lama kemudian dari beberapa tempat atau kamar yang ada di dalam istana,
terdegar tawa kenikmatan orang-orang itu diiringi dengan rintih dan jerit
kesakitan para perawan yang mereka culik.
*** 6 Pagi sudah menjelang dan matahari sudah memayungi seluruh isi dunia dengan
sinarnya yang berpijar keemasan. Suara kicau dan nyanyian burung-burung yang
terdapat di hutan itu, menambah
keindahan panorama pagi.
Pagi yang cerah dan indah, begitulah menurut Pranata Kumala yang tengah bersiap-
siap untuk berangkat menuju Lembah Pasir Putih. Sepanjang malam isterinya selalu
mengigau. Dan keringatnya mengucur dengan deras.
Hal ini semakin membingungkan
Pranata. Yang dia sesali, mengapa dia harus bentrok
dengan Roro Dewi.
Lagipula, mengapa dia tidak bisa menolong istrinya dari pukulan maut Roro Dewi.
Dan sepanjang malam pula dia menyesali diri. Sedetik pun dia tidak tertidur.
Padahal Danusewu sudah menyuruhnya untuk tidur dan menyuruhnya jangan terlalu
menyesali diri, karena mungkin sudah suratan Ambarwati.
"Hati-hati, Kakang..." pesan istrinya ketika Pranata Kumala
berpamitan. "Iya, Rayi..."
"Kakang... aku sudah mendengar cerita dari Wiranti, kalau Lembah Pasir Putih
didiami oleh gerombolan orang jahat yang dipimpin oleh seorang wanita muda yang
bergelar Iblis Berbaju Hijau.
Aku cemas memikirkanmu, Kakang..."
"Tenanglah, Rayi... yang penting, aku harus bisa mendapatkan Kembang Pasir
Putih..." tersenyum Pranata.
"Sebentar lagi kau akan pulih kembali..."
"Jaga baik-baik dirimu, Kakang...
bila kau tidak sanggup mendapatkan kembang itu, janganlah kau memaksakan diri.
Ingat kakang, gerombolan iblis itu tengah melancarkan terornya..." kata
Ambarwati yang dalam keadaan sakit masih memikirkan akan keselamatan suaminya.
"Doakan saja, Rayi... semoga aku berhasil..."
Setelah menyiapkan segala
sesuatunya, Pranata pun segera
meninggalkan tempat itu. Danusewu pun berpesan agar berhati-hati. sementara
Wiranti nampak cemas melihat
kepergiannya. Dan lebih cemas lagi memikirkan nasib Mbakyunya, Ambarwati.
Lalu berangkatlah Pranata Kumala menembus pagi menuju ke Lembah Pasir Putih. Dia
harus melalui desa Glagah Arum untuk tiba di sana. Karena kudanya dipacu dengan
cepat, hanya dalam tempo satu setengah jam dia tiba di desa Glagah Arum.
Betapa terkejutnya Pranata Kumala melihat desa yang porak poranda. Yang sangat
berlainan sekali dengan apa yan telah dilihatnya semalam. Terlalu mengerikan.
Sisa-sisa api yang membakar rumah masih mengepulkan asap,
meninggalkan bara yang botasal dari rumah-rumah yang terbakar.
"Oh, teror apakah yang telah melanda desa ini," gumamnya sambil melangkah
kudanya perlahan-lahan.
Dia menekap hidungnya ketika
tercium bau anyir dari mayat yang terbakar.
"Ya, Tuhan... setan mana yang tega berbuat kejam dan maut seperti ini?"
Pranata melihat seorang ibu yang tengah meratapi mayat suaminya yang mati
terbakar. Dan sekali sekali dia menyebut nama seorang gadis yang sudah tentu
anaknya. "Mengapa kau harus mati dengan mengenaskan begini, Pakne... mengapa"
Oh, Tuhan... mengapa ini harus
terjadi... huhuhu... betapa kejamnya...
huhuhu... dan kau, Wulan... mengapa nasibmu demikian buruk, Nak... mengapa kau
harus dijadikan sebagai pemuas nafsu manusia-manusia liar itu... huhuhu
mengapa?" Pranata menjadi trenyuh mendengar ratapan dari ibu itu, hati-hati dia turun dari
kudanya. Lalu berjalan
mendekatinya. "Bu..." panggilnya pelan. Kepala wanita setengah baya itu berputar, menatap
Pranata. Yang ditatap dapat melihat penderitaan dari pancaran kedua mata wanita
itu. Begitu menyedihkan dan memprihatinkan. Betapa beratnya! Sarat dengan duka
yang sangat dalam. Bahkan tak ada sinar gembira sedikit pun di mata itu. Baik
dalam arti sesungguhnya mau pun berpura-pura.
Pranata Kumala mendesah.
"Apa yang telah terjadi di desa ini, Bu" Mengapa desa ini jadi hancur terbakar
bagai lautan api?" tanyanya dengan suara hati-hati.
"Huhuhu... orang-orang bengis itu yang berbuat begini, Nak... Mereka datang
bagai iblis yang tengah
menebarkan hawa maut... lihat, kau lihatlah keadaan desa kami ini... yang
terbakar dengan mayat-mayat yang bergelimpangan... kejam, kejam
sekali... huhuhu..."
"Siapa yang telah melakukan semua ini, Bu?"
"Iblis-iblis kejam!"
"Siapa, Bu?"
"Manusia-manusia tak punya belas kasihan! Mereka membuat kekejaman di sini!
Mereka membunuh, menculik, bahkan membakar desa kami! Oh... sungguh kejam
mereka, sangat kejam!!"
Pranata Kumala maklum mengapa
omongan ibu ini terdengar sangat kacau.
Tentunya karena dia tengah
mengalami tekanan mental yang sangat dalam akibat kematian suaminya yang
mengenaskan. Dan sedih memikirkan nasib putrinya yang dilarikan orang-orang liar
itu ke Lembah Pasir Putih.
Yang sudah dapat diduga, tentunya putrinya dijadikan pemuas nafsu
orang-orang dajal itu!
Pranata menunggu sampai ibu ini bisa kembali pada pola berpikir semula.
Setelah nampak ibu itu puas
melampiaskan emosinya, barulah dengan hati-hati Pranata kembali bertanya,
Raja Naga 7 Bintang 4 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Seruling Sakti 7
^