Ksatria Seribu Syair 2
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair Bagian 2
Kekuatanku akan berlipat
ganda...," ujar Putri Budukan, mendesis lirih seperti
sedang merapal mantera.
Zing...! Bola mata Dewa Geli langsung melotot besar.
Putri Budukan tiba-tiba menghunus sebilah pedang
panjang. Bilah pedang itu tampak berkilat tertimpa
cahaya api unggun.
Jantung Dewa Geli berdegup amat kencang
manakala melihat Putri Budukan mengambil mangkuk
porselen yang terletak di bawah kakinya. Bayangan
buruk menghantui benak Dewa Geli seketika. Dia yakin bila mangkuk itu akan
digunakan Putri Budukan
untuk menampung cairan darahnya.
"Be... benarkah kau akan menyembelih ku...?"
tanya Dewa Geli, terbata-bata. Lidahnya kelu dan kaku.
"Tentu saja! Tentu saja!" jawab Putri Budukan.
"Sudah kubilang, aku akan menggunakan darahmu
untuk merubah raut wajahku yang amat buruk ini.
Aku sudah bilang pula, cairan darahmu bisa melipat-
gandakan kekuatanku. Oleh karena itu, bersiapsiaplah.... Bila kau punya Iman,
berdoalah dulu kepada Tuhan-mu...."
Dewa Geli hendak berkata lagi. Tapi, kali ini lidahnya sudah amat kaku, sehingga
hanya suara desis
yang keluar dari mulutnya. Suara desis itu pun tak karuan maknanya.
"Tampaknya, kau sudah siap, Bocah Bagus...,"
ujar Putri Budukan, merubah panggilannya pada Dewa
Geli. Dewa Geli menarik napas panjang, lalu menutup kelopak matanya rapat-rapat.
Kematian bocah yang pernah tinggal di kerajaan para siluman itu segera tiba karena Putri
Budukan telah mengangkat pedangnya....
Sampai tiga tarikan napas, pedang Putri Budukan terus mengambang di atas leher
Dewa Geli. Sementara, Putri Budukan sendiri memejamkan mata
dengan mulut terkunci rapat. Entah apa yang sedang
dilakukan oleh wanita jahat itu.
Namun tiba-tiba, Putri Budukan menjerit keras
sekali. Pedang di tangannya terpental jauh, dan memperdengarkan suara berdentang
saat jatuh ke tanah.
Mangkuk porselen di tangan kiri Putri Budukan turut
terjatuh ke tanah.
Karena terkejut mendengar jeritan Putri Budukan, Dewa Geli membuka kelopak
matanya kembali.
Lewat ekor matanya, dia melihat tubuh Putri Budukan
berdiri terhuyung-huyung. Telapak tangan kiri wanita
berwajah buruk penuh bisul bernanah itu menekap
bahu kanannya yang mengepulkan asap!
"Jahanam! Siapa yang telah datang mengganggu pekerjaanku..."!" geram Putri
Budukan sambil mengedarkan pandangan.
Tak ada sahutan.
Suasana sunyi lengang.
"Tampakkan batang hidungmu, Keparat! Kau
telah membokong orang! Apakah ini yang dinamakan
jiwa ksatria"!" seru Putri Budukan, keras menggelegar
karena getaran suaranya dialiri tenaga dalam.
Suasana tetap sunyi lengang.
Namun, ranting pepohonan tampak bergoyang.
Mendadak, Putri Budukan menepukkan telapak
tangannya di atas kepala, memberi isyarat kepada tiga
puluh lelaki kerdil untuk mencari orang yang telah
mencederai bahu kanannya. Tapi sebelum lelaki-lelaki
yang hanya mengenakan cawat itu bergerak berpencar,
tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Tiupan angin
kencang muncul. Ranting dan dahan pohon berpatahan. Bongkah-bongkah batu yang
tak seberapa besar
terangkat dari tanah, lalu melayang jauh dan menggelinding ke kaki bukit.
Sementara, api unggun yang tadi
dinyalakan oleh Putri Budukan langsung padam, sehingga Puncak Kupu-kupu cuma
diterangi pantulan
cahaya rembulan.
"Dasar pengecut! Mana jiwa ksatria mu"!" geram Putri Budukan lagi. "Segera
tampakkan batang
hidungmu, Keparat!"
Tetap tak ada sahutan.
Tak juga ada orang lain yang muncul.
Tanpa diperintah lagi, tiga puluh lelaki kerdil
berloncatan dan bergerak menyebar untuk mencari
orang yang telah mencederai bahu kanan Putri Budukan. Sementara, Putri Budukan
sendiri juga tampak
berlari-lari mengelilingi Puncak Kupu-kupu. Hingga
beberapa lama, mereka jadi lupa pada Dewa Geli yang
masih terbaring lemah di atas bongkah batu persegi.
Namun tiba-tiba..., terdengar suara lembut seo-
rang lelaki yang melantunkan syair. Tanpa sadar, Putri
Budukan dan tiga puluh lelaki kerdil menghentikan
gerak tubuh mereka. Dan, mereka pun langsung menajamkan pendengaran....
kejam" Jika orang berbicara tentang jiwa ksatria
Sedikit banyak pasti ada manfaat yang didapat
Namun, manfaat apa yang bisa didapat
Bila yang berbicara adalah biang pelaku tindak
Sebelum bicara....
Mestinya orang menengok dulu ke dalam
Apakah perilaku sendiri sudah patut dijadikan
suri teladan"
Apakah pikiran dan jiwa sendiri telah bersih dari nafsu rendah"
Oleh karenanya....
Bertindak dan berperilaku punya aturan
Berbicara pun demikian
Agar tak nanti....
Limbah dibuang memercik ke muka sendiri
Mendengus gusar Putri Budukan mendengar
rentetan kata yang penuh makna sindiran itu. Sekali
lagi, dia mengedarkan pandangan. Dan, terkesiaplah
dia ketika melihat seorang lelaki setengah baya tengah
berdiri tegak di dekat tubuh Dewa Geli.
"Heran aku... " kata Putri Budukan dalam hati.
"Bagaimana orang itu bisa muncul tanpa sepengetahuanku" Apakah dia yang telah
mencederai bahu kananku?"
Terbawa rasa penasaran, bergegas Putri Budukan meloncat ke hadapan sosok lelaki
yang baru muncul. Ditatapnya sekujur tubuh lelaki itu penuh curiga.
"Hmmm.... Menilik garis-garis wajahmu, aku
seperti pernah mengenal dirimu...," ujar Putri Budukan, lirih seperti menggumam.
Lelaki yang berdiri di dekat Dewa Geli tersenyum tipis. Rambutnya yang panjang
terayun-ayun dimainkan hembusan angin. Lelaki itu bertubuh tinggi
tegap dan mengenakan pakaian putih-putih dengan
ikat pinggang kain biru. Berwajah tampan rupawan.
Dan, kulit tubuhnya pun tampak putih bersih seperti
kulit kaum bangsawan yang biasa merawat tubuh.
Dia Ksatria Seribu Syair!
"Sebenarnya, sedari tadi aku telah berada di
tempat ini, Putri Budukan...," ujar bekas putra mahkota itu. "Sengaja aku
menyembunyikan tubuhku dengan
ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Karena, aku ingin tahu apa
yang akan kau perbuat terhadap bocah yang tak berdosa ini. Ternyata, kau memang
seorang manusia kejam berdarah dingin, Putri Budukan.... Terpaksa aku
memukul bahu kananmu!"
"Jahanam! Jadi, benar kau yang telah menggangguku"!" sahut Putri Budukan. "Aku
ingat sekarang. Bukankah kau Darma Pasulangit alias Wisnu
Sidharta yang bergelar Ksatria Seribu Syair?"
"Tak salah apa yang kau katakan. Aku yang
rendah ini memang Ksatria Seribu Syair adanya," tegas
Ksatria Seribu Syair. "Kau tadi sempat mengumbar kata-kata, menyebut diriku
dengan sebutan pengecut
yang tak punya sifat ksatria. Kini, aku hendak bertanya, siapakah sebenarnya
yang pengecut dan tak
punya sifat ksatria itu" Aku atau kau" Memang benar
aku telah memukul bahumu secara diam-diam. Tapi,
tidakkah kau sadar bila aku tak melakukannya, satu
nyawa manusia yang tak berdosa akan menjadi korban
nafsu jahatmu" Bila aku menggagalkan niat jahatmu,
bukankah perbuatanku itu sekaligus menghindarkan
dirimu dari dosa?"
Mendengar kalimat panjang Ksatria Seribu
Syair, Putri Budukan tersenyum mengejek. Dia acungkan bilah pedang di tangannya,
lurus ke muka lelaki
berparas tampan itu.
"Kau berkata-kata seakan telah menjadi utusan
para dewa di dunia," cibir Putri Budukan. "Aku tahu,
selama lima tahun kau mengasingkan diri di suatu
tempat. Jika kini kau muncul lagi, aku yakin kau telah
berhasil mendalami sebuah ilmu kesaktian hebat. Tapi, janganlah kau berlaku
sombong di hadapanku! Ibarat sebuah istana, maka Puncak Kupu-kupu ini adalah
istanaku. Kau masuk tanpa permisi dan tanpa izin pula. Kau pun telah mencederai
'sang ratu'. Walau bukan
cedera berat, 'sang ratu' tetap akan menjatuhkan hukuman mati!"
Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit
nyaring. Tiga puluh lelaki kerdil langsung menerjang
berhamburan. Dengan membawa senjata pedang dan
golok, mereka menyerang Ksatria Seribu Syair dari
berbagai penjuru.
Namun, Ksatria Seribu Syair tampak tenangtenang saja. Sambil mengulum senyum,
lelaki tinggi tegap itu memutar tubuh seraya mengibaskan kedua
telapak tangannya!
Wesss...! "Wuahhh...!"
Dari kedua telapak tangan Ksatria Seribu Syair
melesat gelombang angin pukulan dahsyat. Tubuh tiga
puluh lelaki kerdil kontan berpentalan, dan jatuh bergulingan ke lereng bukit.
Pedang dan golok di tangan
mereka terlepas dari cekalan, turut berpentalan ke
berbagai penjuru!
Anehnya, tubuh Dewa Geli yang masih terbaring lemah di atas bongkah batu persegi
tak turut terpental. Bahkan, bergeming pun tidak. Padahal, tubuh
si bocah berada di dekat pusat lesatan gelombang angin ciptaan Ksatria Seribu
Syair. "Keparat!" dengus Putri Budukan.
Tahu kehebatan Ksatria Seribu Syair, wanita
buruk rupa itu langsung menerjang kalap. Pedangnya
berkelebatan, memperdengarkan suara bergemuruh
yang menyakitkan gendang telinga. Namun, Ksatria
Seribu Syair dapat menghindari semua serangan itu
dengan mudah. Maka, semakin memuncaklah amarah Putri
Budukan. Sambil menggembor keras, tiba-tiba dia
menghentikan serangannya seraya meloncat ke belakang. Pedang di tangannya dia
buang begitu saja.
Lewat cahaya rembulan, dapat dilihat bila tubuh Putri Budukan bergetar kencang.
Kedua pergelangan tangannya berubah warna menjadi hijau kemerahan. Agaknya,
wanita buruk rupa itu telah mempersiapkan pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'!
Ksatria Seribu Syair menarik napas panjang
beberapa kali. Dia merasakan suatu hawa aneh yang
tiba-tiba mengelilingi tubuhnya. Dia seperti dibawa ke
suatu tempat yang berada di alam sihir. Namun, lelaki
yang sudah matang pengalaman itu tak menjadi panik
ataupun gentar walau dia tahu kalau Putri Budukan
hendak menyerangnya dengan pukulan 'Sihir Penjerat
Arwah'. Hampir semua tokoh tua di rimba persilatan
tahu kehebatan dan kedahsyatan ilmu pukulan 'Sihir
Penjerat Arwah'. Untuk mendalaminya, setiap orang
harus menghirup suatu hawa udara yang berasal dari
tubuh orang mati. Setelah hal itu dilakukan selama se-
tahun penuh, orang yang bermaksud mendalami ilmu
'Sihir Penjerat Arwah' harus mengadakan upacara penyembahan setan. Dan apabila
upacara itu diterima,
maka dia akan menguasai ilmu 'Sihir Penjerat Arwah'
dengan sempurna.
Salah satu dari kehebatan ilmu hitam itu adalah daya penghancurnya yang dahsyat
dan mampu pula menghisap seluruh kekuatan orang. Jika ada orang
terpukul dengan telak, kalau tubuhnya tidak hancur
luluh, seluruh inti kekuatan tubuhnya pasti akan lenyap. Dan, hal itu telah
dirasakan oleh Dewa Geli.
"Aku tahu kau telah mempersiapkan ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah', Putri
Budukan," ujar Ksatria Seribu Syair. "Heran aku jadinya. Kalau orang masih mau
dikatakan waras, kenapa mesti menyembah
setan" Bukankah setan lebih rendah derajatnya dari
manusia" Untuk mendapatkan sebuah ilmu kesaktian,
kenapa manusia tidak meminta langsung kepada Sang
Penguasa Alam Semesta" Jika percaya akan kebesaran-Nya dan berusaha sekuat
tenaga, keinginan manusia itu akan terkabulkan. Tuhan yang di atas sana
tak pernah tidur. Dia tahu segalanya. Dia maha pemurah. Kepada-Nyalah seharusnya
kita meminta...."
"Tutup mulutmu, Jahanam!" sentak Putri Budukan. "Aku bukan anak ingusan yang
bisa kau bujuk dengan kata-katamu itu! Sudah kubilang tadi, 'sang
ratu' akan menjatuhkan hukuman mati! Terimalah
hukuman itu sekarang! Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Putri Budukan
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Dua larik sinar hijau kemerahan yang amat menggidikkan melesat cepat ke arah
Ksatria Seribu Syair!
"Manusia jahat pasti akan menerima buah kejahatannya!" Seru Ksatria Seribu
Syair. Lelaki yang diam-diam telah mempersiapkan
ilmu 'Pembalik Tenaga Lindungi Jiwa' itu menarik kedua tangannya ke belakang
sejajar pinggang, dan langsung dihentakkan ke depan. Seberkas cahaya putih
kebiruan tiba-tiba melesat, memperdengarkan suara
mendengung seperti ada ribuan lebah sedang terbang!
Lalu.... Blarrrr...! Blarrr...! Dua ledakan terdengar menggelegar di angkasa.
Paduan cahaya warna-warni menyembur ke manamana. Hingga untuk beberapa saat,
suasana malam di
Puncak Kupu-kupu jadi terang benderang. Namun, di
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik keindahan yang sempat tercipta, tampaklah satu
pemandangan menggiriskan.
Gumpalan tanah dan bongkah-bongkah batu
berhamburan ke segenap penjuru. Batang-batang pohon tumbang, lalu melayang
tinggi dan jatuh berdebam di lereng bukit!
Jerit panjang menyayat hati terdengar manakala tubuh Putri Budukan jatuh
bergulingan ke tanah.
Wanita buruk rupa itu hendak bangun, tapi seluruh
kekuatannya telah hilang! Dan, dia pun cuma dapat
berbaring telentang sambil mengaduh-aduh kesakitan.
Ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' yang dilancarkan Putri Budukan terpental
balik, terhantam oleh
kedahsyatan ilmu pukulan 'Pembalik Tenaga Lindungi
Jiwa' Ksatria Seribu Syair. Akibatnya, ilmu pukulan
jahat yang bersumber dari pemujaan setan itu memukul Putri Budukan sendiri tanpa
dapat dielakkan lagi!
"Orang menanam padi tak akan memetik ilalang," ujar Ksatria Seribu Syair dengan
suara lembut berwibawa. "Jika ingin memetik buah kebaikan, berbuatlah baik terlebih dulu.
Kejahatan hanya akan
mendatangkan celaka. Dan, kau telah merasakannya,
Putri Budukan!"
Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih itu
menyambar tubuh Dewa Geli yang masih terbaring lemah di atas bongkah batu
persegi. Di lain kejap, sosok
Ksatria Seribu Syair lenyap dari pandangan. Tinggallah
Putri Budukan yang dikerumuni tiga puluh lelaki kerdil yang juga telah menderita
luka.... 6 KAU jangan ngelantur, Pak Tua!" bentak Kemuning dengan raut wajah merah padam.
"Kalau setiap manusia yang masuk ke tempat ini tak akan bisa
keluar lagi, lalu kenapa kau turut masuk juga"! Apakah kau punya izin dari Raja
Penyasar Sukma hingga
kau dapat keluar dari tempat ini sewaktu-waktu...?"
"Tidak! Tidak!" sahut Setan Bodong, tetap terbaring di cekungan tanah.
"Bagaimana aku bisa keluar
dari tempat terkutuk ini" Menggerakkan jari-jari tangan saja, aku tak mampu!"
Kemuning hendak menyahuti ucapan Setan
Bodong, namun keburu didahului oleh Pendekar Bodoh.
"Katakan dulu kepadaku, Pak Tua, kau ini sebenarnya anak buah Raja Penyasar
Sukma atau justru
malah musuh orang jahat itu?" ujar Seno seraya berjongkok di sisi kiri Setan
Bodong. "Memangnya kenapa?" Setan Bodong balik bertanya. "Kalau aku anak buah Raja
Penyasar Sukma,
apa urusanmu" Kalaupun aku musuh orang itu, apa
pula yang kau inginkan dariku?"
Mendengar kata-kata Setan Bodong yang terdengar menyelidik, Pendekar Bodoh
nyengir kuda sejenak. Dengan tatapan matanya, Pendekar Bodoh memeriksa keadaan
kakek gendut itu.
"Inti kekuatan tubuh kakek ini telah lenyap...,"
kata Seno dalam hati. "Dia tak punya ilmu kesaktian
lagi. Tapi, kenapa dia tampak begitu sombong dan
angkuh?" "Hei! Kenapa kau malah diam saja"!" tegur Setan Bodong.
"Eh, ya, ya! Aku akan menjawab pertanyaanmu, Pak Tua," sahut Seno Prasetyo,
tergagap. "Jika
kau memang anak buah Raja Penyasar Sukma, aku
akan pergi. Biarlah rayap dan cacing tanah yang akan
melumatkan tubuhku.... Tapi, kalau kau musuh orang
jahat itu, kita bisa bekerja sama untuk mencari jalan
keluar...."
Pendekar Bodoh berkata amat lugu, tanpa ada
yang ditutup-tutupi. Setan Bodong yang mendengarnya malah tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Aku tahu kau punya sifat jujur
dan bisa dipercaya, Bocah Bagus. Karena kau telah
berkata apa adanya, ada baiknya bila kukatakan siapa
diriku sebenarnya.... Aku bukan anak buah Raja Penyasar Sukma! Bukan pula
musuhnya!"
"Lalu, apa" Sahabat" Atau barangkali, kau tak
pernah bertemu langsung dengan orang jahat itu" Kau
mendengar nama Raja Penyasar Sukma hanya lewat
desas-desus saja?" kejar Seno, nyerocos panjang.
"Ha ha ha...!" Setan Bodong tertawa lagi. "Siapa
bilang aku tak pernah bertemu langsung dengan Raja
Penyasar Sukma" Justru aku mengenalnya dengan
baik seperti aku mengenal diriku sendiri!"
"Kalau begitu, kau pasti sahabat karibnya!" te-
bak Pendekar Bodoh.
"Bukan!" sergap Setan Bodong.
"Kau jangan bicara bertele-tele, Pak Tua!" sentak Dewi Pedang Kuning. Tiba-tiba.
"Aku dan sahabatku ini sedang dilanda kebingungan! Jangan kau
menambah kebingungan kami!"
"Siapa yang menambah kebingungan kalian,
Anak Manis?" sahut Setan Bodong. "Aku bicara hal
yang sebenarnya. Kalau kalian tak mengerti, itu salah
kalian sendiri! Aku memang bukan anak buah Raja
Penyasar Sukma! Bukan pula musuh ataupun sahabat
orang itu!"
"Lalu, kau apanya?" kejar Pendekar Bodoh dengan sabar. "Kau katakan tadi, kau
mengenal baik Raja
Penyasar Sukma. Apakah kau saudaranya" Atau
mungkin malah bapaknya?"
Mendengar ucapan Seno, Setan Bodong tertawa
terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Sedari tadi tebakanmu
tak ada yang benar! Ha ha ha...! Baiklah, daripada
nanti kau bertambah penasaran, kukatakan saja bila
aku adalah guru Raja Penyasar Sukma!"
"Jahanam!" geram Seno tiba-tiba. "Kalau begitu,
aku harus membunuhmu, Pak Tua! Raja Penyasar
Sukma adalah pembunuh ibuku! Kau pasti orang jahat
juga! Kau pantas dihukum mati!"
"Uts tunggu dulu!" cegah Setan Bodong yang
melihat Seno hendak menjatuhkan pukulan ke kepalanya. "Aku bukanlah orang yang
takut mati. Siksaan
yang sedang ku rasakan ini pun sebenarnya sudah lebih menyakitkan dari kematian.
Tapi..., cobalah dengar
dulu penjelasanku.... Aku tahu kau amat jujur, Bocah
Bagus. Tapi..., kau harus dapat berpikir lebih dewasa.
Jangan sampai kejujuranmu itu justru akan mencelakakan dirimu...."
"Apa maksudmu, Pak Tua"!" dengus Seno, teringat sosok ibunya yang telah dibunuh
oleh Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma.
"Sebagai manusia yang dikaruniai akal budi,
mestinya kau selalu mengasah otak, agar pikiran wawasan mu bertambah luas...,"
ujar Setan Bodong penuh kesungguhan, tanpa punya maksud mengolokolok Seno.
"Tidak semua penjahat punya guru orang
jahat. Tidak semua orang baik, gurunya juga baik.
Dunia ini sudah tua dan rapuh. Kalau ada banyak kejadian aneh, itu tandanya
dunia akan segera kiamat.
Tapi..., bukanlah suatu keanehan kalau ada seorang
guru yang baik punya murid orang jahat. Bukankah
manusia punya sifat teledor sehingga salah dalam
menjatuhkan pilihan?"
"Hmmm.... Tampaknya, kau memang pandai
memutar lidah, Pak Tua," sahut Seno. "Aku bisa mengerti apa yang kau katakan.
Tapi, tentu saja aku tak
mau percaya begitu saja! Katakan asal-usulmu lebih
jelas! Kalau memang kau orang baik-baik, mungkin
aku bisa menolongmu. Dan mungkin pula, kau pun
bersedia menolongku...."
Mendengar ucapan Pendekar Bodoh yang terus
terang itu, Setan Bodong tertawa untuk kesekian kalinya.
"Ha ha ha...! Dunia ini memang seringkali tidak
adil. Aku sudah memperkenalkan diri. Tapi, dua orang
yang ada di hadapanku ini terus saja bertanya tanpa
terlebih dulu menyebutkan nama dan gelar. Ya! Dunia
ini memang seringkali tidak adil! Ha ha ha...!"
Berkerut kening Seno seketika. Ditatapnya lekat-lekat wajah Setan Bodong yang
masih terbaring telentang di cekungan tanah.
Karena merasa tak enak hati mendengar sindi-
ran kakek gendut itu, akhirnya Seno berkata, "Aku
bernama Seno Prasetyo. Kalau ingin tahu gelarku, aku
akan mengatakan. Tapi, harap kau tak menertawakan...."
"Hmmm.... Apa pun gelar orang, itu hanya sebuah sebutan untuk memudahkan orang
mengenal dan memanggil. Yang terpenting adalah perbuatan si
pemilik gelar itu...," ujar Setan Bodong.
"Benar. Tapi, sekali lagi, kuharap kau tak akan
menertawakan. Gelarku tak enak didengar. Orangorang telanjur menyebutku sebagai
Pendekar Bodoh...," beri tahu Seno.
"Seno Prasetyo?" ulang Setan Bodong.
Kakek berkepala gundul licin itu hendak tertawa, tapi cepat ditahannya keinginan
itu karena tak mau menyinggung perasaan Seno.
"Ya! Ya, aku bisa mengerti...," ujar Setan Bodong kemudian. "Orang-orang
menyebut mu sebagai
Pendekar Bodoh, mungkin karena kau tampak begitu
jujur dan lugu.... Dunia yang sudah uzur ini memang
telah ternoda oleh tipu muslihat manusia. Kalau orang
tidak bisa menipu, seringkali dia malah dikatakan bodoh.... Mungkin itu yang
terjadi pada dirimu, Bocah
Bagus...."
Kakek gendut itu mengalihkan pandangan ke
wajah Dewi Pedang Kuning seraya bertanya, "Lalu, kau
siapa, Anak Manis?"
"Aku Kemuning," jawab Kemuning, singkat.
"Gelarmu?"
"Perlukah itu kukatakan?" Kemuning berkata
ketus dan tampak tak bersahabat.
Setan Bodong menyungging senyum getir, lalu
berkata, "Kalau tak mau memperkenalkan diri, aku
pun tak akan memperkenalkan diri pula. Pergilah....
Lebih baik aku menunggu ajal di tempat ini tanpa seorang teman...."
"Jangan marah dulu, Pak Tua...," sergah Pendekar Bodoh. "Sahabatku itu bergelar
Dewi Pedang Kuning.... Oleh karena kau sudah tahu siapa kami
berdua, sekarang katakan dengan jelas asal-usulmu.
Cepat saja! Karena, ada puluhan makhluk jahat yang
sedang mengejar kami...."
Setan Bodong menarik napas panjang beberapa
kali. Setelah menatap wajah Seno dan Kemuning bergantian, dia berkata, "Aku tak
tahu dosa apa yang telah kuperbuat.... Aku tak habis mengerti, kenapa suratan
ini terjadi pada diriku...?"
"Hei! Apa yang kau katakan"!" tegur Seno. "Aku
ingin kau menceritakan asal-usulmu! Aku tak mau
mendengar keluh kesah mu! Aku sedang bingung, Pak
Tua. Kau tadi tertawa terus, sekarang tampak begitu
sedih.... Sebenarnya, apa yang ada di hatimu, Pak
Tua?" "Hmmm.... Kalau kau ingin tahu asal-usulku,
tentu saja kau harus mau mendengar cerita sedih ku,"
sahut Setan Bodong. "Tapi, kuharap kau tidak salah
mengerti. Aku bukan sedang berkeluh-kesah...."
Usai mengatakan kalimat itu, Setan Bodong
menatap lekat wajah Seno. Lewat sorot matanya, dia
seakan sedang melongok isi hati Seno.
"Seperti kukatakan tadi, aku memang guru Banyak Langkir yang lebih kau kenal
dengan sebutan Raja Penyasar Sukma...," lanjut Setan Bodong. "Namun,
aku menjadi guru Banyak Langkir baru lima tahun
yang lalu. Sebelumnya, dia berguru kepada Iblis Racun
Kembang. Tentang guru pertama Banyak Langkir itu,
aku tak bisa bercerita banyak. Hanya saja, bisa kukatakan bila dia masih hidup
dan tinggal di Lembah Ra-
cun...." Tiba-tiba, sinar mata Setan Bodong meredup.
Air mukanya berubah kelam. Sesaat, dia pejamkan
matanya seperti tengah merasakan himpitan yang sangat menyakitkan hati. Seno dan
Kemuning jadi iba ketika kakek gendut itu batuk-batuk.
"Aku tak apa-apa.... Jangan kalian pandangi
aku seperti itu," tegur Setan Bodong.
"Aku tahu ilmu kesaktianmu telah lenyap, Pak
Tua," ujar Pendekar Bodoh. "Tapi, aku tak tahu apakah kau sedang menderita luka
dalam?" "Tak salah apa yang kau katakan. Ilmu kesaktianku memang telah lenyap," sahut
Setan Bodong. "Tapi, sekali lagi, kau jangan menatap ku seperti itu.
Aku tidak terluka dalam.... Lagi pula, aku tak mau ada
orang yang menaruh iba atas penderitaan ku ini...."
"Tapi, Pak Tua, tampaknya kau tersiksa sekali...," desah Pendekar Bodoh yang
tiba-tiba merasa
amat kasihan pada Setan Bodong. "Siapa yang telah
melenyapkan Ilmu kesaktianmu, Pak Tua?"
"Muridku sendiri."
"Raja Penyasar Sukma?"
"Ya. Lima tahun yang lalu, Banyak Langkir menemuiku di Pulau Kayangan. Dia
datang dengan membawa Kitab Tiga Dewa...."
Setan Bodong menghentikan bicaranya untuk
menarik napas panjang. Wajahnya terlihat semakin
muram. Lalu dengan suara bergetar, dia lanjutkan ceritanya.
"Banyak Langkir meminta ku untuk membantunya mempelajari tiga macam ilmu
kesaktian yang terdapat dalam Kitab Tiga Dewa. Karena dia menunjukkan sikap baik dan tampak
penuh semangat dalam
mempelajari ilmu kesaktian, aku bersedia memban-
tunya. Kebetulan pula aku belum punya murid. Walau
umur Banyak Langkir sudah hampir setengah abad,
kupikir tak ada salahnya bila aku mengangkatnya sebagai murid. Lalu....
Terjadilah peristiwa yang membuatku amat menderita ini.... Aku teledor....
Inilah buah dari kesalahanku sendiri...."
Seno dan Kemuning saling pandang. Keketusan
Kemuning sudah tak tampak lagi. Seperti Seno, gadis
cantik itu juga larut dalam suasana sedih. Namun, mereka tak hendak berkata apa-
apa. Mereka cuma menunggu Setan Bodong untuk melanjutkan ceritanya
kembali. "Tiga purnama yang lalu, Banyak Langkir benar-benar dapat menguasai tiga ilmu
kesaktian yang terdapat dalam Kitab Tiga Dewa...," tutur Setan Bodong kemudian. "Kesadaranku
datang terlambat. Aku
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru menyadari kesalahanku ketika Banyak Langkir
berniat membunuhku.... Niatnya itu tak kesampaian
karena aku mempunyai sebuah ilmu mukjizat yang
bernama 'Jiwa Rangkap Perpanjang Usia'. Tapi..., dia
tahu kelemahan ku.... Dia tak berhasil membunuhku,
tapi seluruh kesaktianku dimusnahkannya...."
"Dengan cara apa, Pak Tua?" tanya Seno, penasaran. Pemuda remaja ini segera
ingat Mahisa Lodra
atau Setan Selaksa Wajah yang juga telah mengkhianati gurunya sendiri dengan
membuat lumpuh kedua
kaki Dewa Dungu.
Untuk kesekian kalinya, Setan Bodong menatap
lekat wajah Pendekar Bodoh. Lalu katanya, "Kau sudah tahu kalau aku bergelar
Setan Bodong, bukan"
Kau lihat sekarang ini, perutku memang gendut, tapi
tidak bodong, bukan" Pusar ku biasa-biasa saja...."
"Apa hubungannya tindakan Banyak Langkir
dengan gelarmu itu?" tanya Seno, penasaran.
"Ketahuilah, Bocah Bagus..., sebenarnya aku
punya pusar sebesar buah terong tua. Oleh karena itulah orang-orang memberi ku
gelar Setan Bodong. Tapi..., seperti yang kau lihat sekarang, pusar ku telah
hilang. Banyak Langkir telah mencopotnya...."
"Mencopotnya?" kejut Seno.
"Ya. Setelah gagal membunuhku, dia mencopot
pusar ku saat aku sedang bersemadi. Akibatnya, seluruh ilmu kesaktianku
lenyap...."
"Astaga! Kejam benar muridmu itu, Pak Tua,"
dengus Seno. "Bukan hanya itu perlakukan kejam Banyak
Langkir," sahut Setan Bodong. "Karena takut aku akan
dapat mengembalikan ilmu kesaktianku, tubuhku
yang sudah tak bisa digerakkan lag dibawanya ke tempat ini..."
"Jadi, selama tiga purnama penuh kau berada
di tempat ini, Pak Tua" Siapa yang memberimu makan?"
"Aku tak makan ataupun minum. Hanya berkat
kebesaran Tuhan, jika kau dapat menemukan aku dalam keadaan bernyawa."
Usai berkata mendadak kakek gendut itu menatap tajam perut Pendekar Bodoh.
"Ada apa, Pak Tua?" tanya Seno, heran.
"Walau ilmu kesaktianku telah lenyap, tapi
penglihatanku masih tajam," ujar Setan Bodong penuh
kesungguhan. "Aku tahu di dalam perutmu ada batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."
"Benar!" tegas Seno. "Tapi, aku tak dapat mengeluarkannya lagi."
"Hmmm.... Begitu" Karena itukah kau tidak bisa keluar dari tempat ini?"
"Ya!" sahut Seno.
"Sebelum batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' masuk ke perutmu,
apakah kau menelan suatu benda ajaib lainnya?"
Kening Seno berkerut rapat. Dia berusaha
mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sebelum
masuk ke Lembah Rongga Laut. Tak lama kemudian,
dia berkata....
"Ya! Ya, Pak Tua.... Sebelum batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' masuk ke perutku, aku telah menelan Kodok
Wasiat Dewa."
"Kodok Wasiat Dewa?" ulang Setan Bodong.
Seno mengangguk
"Astaga! Berarti kau punya satu keberuntungan
besar, Bocah Bagus. Kalau tidak berjodoh, siapa pun
tak akan pernah bisa mendapatkan benda ajaib itu...."
"Lalu, apa hubungannya Kodok Wasiat Dewa
yang ku telan dengan batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air', Pak Tua?" tanya Seno, semakin
penasaran. "Kedua benda yang sama-sama sulit dapatkan
itu telah menyatu di dalam perutmu!" ujar Setan Bodong.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh dengan
wajah pucat pasi. Bayangan buruk segera berkelebatan
di benak pemuda lugu ini.
"Andai ilmu kesaktianku tidak musnah, aku
pasti bisa memisahkan lagi kedua benda ajaib yang
ada di dalam perutmu itu, Bocah Bagus...," kata Setan
Bodong, lirih seperti tengah mengharap sesuatu yang
tak akan pernah didapatkannya.
"Adakah suatu cara untuk mengembalikan ilmu
kesaktianmu, Pak Tua?" tanya Kemuning yang sedari
tadi cuma diam. Ucapannya terdengar ramah dan tak
ketus lagi. "Ada!" jawab Setan Bodong. "Seluruh ilmu kesaktianku akan kembali seperti
sediakala jika ada
orang yang dapat memasangkan kembali pusar ku..."
"Aku pasti bisa! Aku pasti bisa!" tawar Seno
tanpa pikir panjang. "Tapi..., kalau Banyak Langkir telah menghancurkan pusar
mu, uh....,"
Pendekar Bodoh menggaruk kepalanya yang tak
gatal seraya cengar-cengir. Sementara, Kemuning langsung mengajukan pertanyaan
pada Setan Bodong.
"Benarkah Banyak Langkir telah menghancurkan pusar mu, Pak Tua?"
"Itu memang yang dia inginkan," jawab Setan
Bodong. "Tapi, di dunia ini tak satu pun senjata tajam
yang dapat menghancurkan pusar ku...."
"Berarti, pusar mu masih ada?" tebak Kemuning.
"Begitulah. Tapi, Banyak Langkir menyembunyikan di suatu tempat."
"Kau tahu di mana?"
"Aku tak tahu."
Kemuning terdiam.
Seno cengar-cengir terus.
Setan Bodong menatap lekat wajah Seno.
"Hmmm.... Begini saja, Bocah Bagus..., kau
ajak sahabatmu itu mencari pusar ku. Kalau sudah
ketemu, kau bantu aku lagi memasang kembali pusar
ku itu. Lalu, ganti aku yang akan membantumu memisahkan dua benda ajaib yang ada
di dalam perutmu.
Bagaimana?" cetus Setan Bodong yang penuh harapan.
Seno menggaruk kepalanya lagi. Dia heran
mendengar cerita Setan Bodong. Kenapa pusar kakek
gendut itu bisa dicopot dan dipasang lagi"
"Ya! Ya! itu gagasan yang bagus, Pak Tua,"
sambut Seno kemudian. "Tapi, di mana aku harus
mencari pusar mu?"
"Aku yakin Banyak Langkir menyembunyikannya di Lembah Rongga Laut ini," ujar
Setan Bodong. "Bila kau menemukan sebuah mata air yang menyemburkan air merah dan terasa amat
dingin, di situlah
pusar ku berada."
"Aku tahu!" seru Seno tiba-tiba.
"Ya! Aku juga tahu!" seru Kemuning pula.
Setan Bodong cuma membelalakkan mata penuh rasa tak percaya....
7 PERLAHAN kelopak mata Dewa Geli terbuka.
Diedarkannya pandangan beberapa saat. Namun, yang
terlihat hanya keremangan malam dan sepi suasana
kaki bukit. Dalam keadaan tetap duduk bersila, bocah berambut tipis itu mencoba mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke bagian-bagian tubuh yang diinginkannya.
Semua berjalan dengan baik. Itu berarti inti kekuatan
tubuhnya telah kembali. Pengaruh pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' Putri Budukan
telah lenyap. Tentu saja Dewa Geli merasa girang. Bukan saja telah lolos dari lubang maut, dia
pun telah lepas dari
siksaan yang membelenggunya. Namun, kening si bocah berkerut rapat. Ada sesuatu
yang tak mengenakkan hatinya.
Tanpa bangkit dari duduk bersilanya, bocah
berpakaian kedodoran itu mengedarkan pandangan lagi. Kerut di keningnya makin
rapat. Apa yang tengah
dia cari tak terlihat olehnya.
"Aku tahu jiwaku yang cuma selembar ini baru
saja diselamatkan orang...," ujar Dewa Geli dengan suara bergetar. "Aku tahu,
bukan saja jiwaku telah terselamatkan inti kekuatan tubuhku pun telah kembali
seperti sediakala. Oleh karenanya, patutlah aku menghaturkan beribu terima kasih
atas budi baik ini. Namun..., kepada siapa aku berkata, dan kepada siapa
pula aku akan membalas budi di kelak hari" Tidakkah
sang pendekar budiman sudi menampakkan diri. Agar
dapat aku yang buruk rupa ini berkenalan. Agar tak
nanti aku yang hina ini terbelenggu rasa penasaran...."
Mendadak, tiupan angin berdesir aneh. Hawa
bukit yang sudah dingin menjadi lebih dingin. Dewa
Geli terkesiap manakala mendengar lantunan syair
yang terasa begitu dekat dengan telinganya....
Di antara sesama manusia....
tak ada istilah menanam budi
Apa yang telah kulakukan tak lain dari
kewajiban di antara sesama umat
Yang Kuasa menciptakan manusia adalah untuk
tolong-menolong dan bantu-membantu
Andai ada seorang manusia sanggup memberi
uluran tangan Tapi tak memberi bantuan
Berdosalah orang itu
Karena, dia telah lupa pada kodratnya
Sebagai makhluk Tuhan yang harus selalu
berbuat baik kepada sesama
Kenapa tenaga mesti disimpan dan tangan
disembunyikan bila ada yang memerlukan"
Ketahuilah, Bocah....
Merasa berhutang budi itu bagus
Agar perbuatan baik dapat kau jadikan suri te-
ladan rimu Tapi, sungguh aku tak mengharap apa-apa daSyukurlah bila aku telah dapat
membantu Tuhan yang tahu
Dia-lah jua tempatku memohon sesuatu....
Melonjak kaget Dewa Geli. Tiba-tiba, dia melihat seorang lelaki setengah baya
tengah duduk bersila
di atas lempengan batu, tak seberapa jauh dari hadapannya. Semula, Dewa Geli tak
melihat siapa-siapa,
tapi kenapa orang itu bisa mendadak berada di tempat
ini" "Menilik makna yang tersirat dalam bait syair
mu, aku tahu kaulah dewa penolongku...," ujar Dewa
Geli, bangkit berdiri seraya membungkuk hormat. "Merasakan makna yang tersirat
dari bait syair mu pula,
aku tahu kau seorang pendekar berbudi luhur. Aku
yang hina-dina ini patut menghaturkan beribu terima
kasih dan berjuta rasa hormat..."
Sosok lelaki berpakaian putih-putih yang tengah duduk di lempengan batu tampak
tersenyum tipis.
Rambutnya yang tergerai panjang berkibar dipermainkan hembusan angin. Dengan
suara lembut berwibawa, dia berkata...
"Wujud mu hanya seorang bocah sepuluh tahunan, tapi kau telah memiliki peradatan
dan sopansantun yang sedemikian tinggi. Mungkinkah dalam tubuhmu tersimpan jiwa
seorang tokoh tua...?"
Dewa Geli membungkuk hormat lagi. Lain dari
biasanya, tak hendak dia tertawa. Karena kalau hal itu
dia lakukan, jelas tak pada tempatnya.
"Terimalah salam hormatku...," sahut bocah
berkulit hitam itu. "Tepatlah apa yang kau katakan,
wahai Pendekar Budiman. Aku yang rendah ini memang telah berusia seratus tahun.
Karena lebih dari
separuh umurku ku habiskan di Istana Abadi, negeri
para siluman, jadilah aku tetap berwujud seorang bocah seperti ini. Aku bernama
Jaka Tunggal. Namun sejak setahun yang lalu, orang-orang biasa menyebutku
sebagai Dewa Geli...."
"Dewa Geli?" ulang lelaki berpakaian putihputih. "Hmmm.... Tampaknya, selama ini
aku tak pernah mendengar gelarmu itu, Bocah. Maafkan aku bila
belum mengenalmu. Sebenarnya, sejak lima tahun
yang talu, aku telah mengasingkan diri. Hanya karena
ada satu urusan penting, terpaksa aku keluar lagi dari
tempat pengasingan ku untuk berbaur dengan sesama
manusia...."
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu bangkit dari
duduknya. Setelah menarik napas panjang, dia lanjutkan lagi ucapannya.
"Kupikir, kau sudah tak lagi membutuhkan
bantuanku. Inti kekuatan tubuhmu telah kembali. Tiba saatnya untukku undurkan
diri...." "Tunggu...," cegah Dewa Geli saat melihat dewa
penolongnya hendak meninggalkan tempat. "Seumur
hidup aku akan terus terbelenggu rasa penasaran
apabila Pendekar Budiman tak menyebutkan nama
ataupun gelar...."
"Hmmm.... Nama dan gelarku kurasa tak begitu
penting. Untuk apa kau tahu nama dan gelarku kalau
aku tak mengharap apa-apa darimu. Apa yang kulakukan hanyalah suatu kebetulan
yang tak pernah lepas dari takdir Sang Penguasa Tunggal...."
Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih
menjejak lempengan batu. Namun sebelum tubuhnya
berkelebat lenyap, terdengar suara berdesing karena
ada sabetan senjata tajam. Lelaki berpakaian putihputih cepat mengelakkan
tubuhnya karena sabetan
senjata tajam itu sengaja ditujukan kepada dirinya.
"Mau pergi ke mana kau, Darma Pasulangit"!"
Terdengar sebuah bentakan. Di tempat itu ternyata telah muncul seorang nenek
berpakaian serba
kuning. Di tangan kanannya tercekal sebilah pedang
yang terbuat dari logam pilihan berwarna kuning. Nenek itulah yang baru saja
menyerang lelaki berpakaian
putih-putih. Dia tak lain dari Dewi Pedang Halilintar!
"Nini Kembangsari...," desis lelaki berpakaian
putih-putih, kaget. "Kedatanganmu sungguh mengejutkan aku. Lebih terkejut lagi
aku melihatmu marahmarah, bahkan menyerangku.... Ada apakah gerangan,
Nini Kembangsari?"
"Jangan bermanis mulut atau bersilat lidah lagi, Darma Pasulangit!" bentak Dewi
Pedang Halilintar
yang punya nama kecil Nini Kembangsari. "Aku tahu
kelicikan dan kebusukan hatimu. Sejak aku dapat
membuka kedokmu tadi siang, aku terus mencarimu.
Kini, jangan kau lari lagi! Dunia akan semakin kacau
apabila tubuhmu masih menyimpan nyawa!"
Di ujung kalimatnya, Dewi Pedang Halilintar
memasang kuda-kuda. Sikap dan tatapan matanya
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan bahwa nenek itu benar-benar bermaksud membunuh lelaki berpakaian
putih-putih yang tak
lain dari Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta alias
Ksatria Seribu Syair
"Tunggu!" seru Dewa Geli seraya meloncat ke
hadapan Dewi Pedang Halilintar. "Selama ini, aku
mengenalmu sebagai seorang pendekar wanita yang
selalu membela kaum lemah. Tapi, kenapa malam ini
aku melihatmu telah berubah sebagai seorang manusia yang haus darah, Dewi Pedang
Halilintar" Lelaki
berpakaian putih-putih itu adalah dewa penolongku.
Kenapa kau hendak membunuhnya?"
Dewi Pedang Halilintar menatap tajam wajah
Dewa Geli. "Kau jangan terkecoh oleh segala ucapan
dan tingkah laku baiknya, Bocah! Bukankah kau ingin
menjatuhkan hukuman terhadap Hantu Pemetik Bunga" Kalau memang begitu maumu,
segera bantu aku
membinasakan lelaki busuk itu!"
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan...,"
sahut Dewa Geli dengan kening berkerut rapat.
"Ketahuilah, Bocah, siang tadi di tepi aliran
sungai yang tak seberapa jauh dari Kota Gambiran,
aku melihat lelaki busuk itu duduk bersila dalam sikap semadi. Dia itu Hantu
Pemetik Bunga! Aku membuka topengnya! Tahulah aku bila dia ternyata Darma
Pasulangit yang sebelumnya bergelar Ksatria Seribu
Syair!" Kaget tiada terkira Dewa Geli mendengar keterangan Dewi Pedang Halilintar.
Setengah tak percaya,
Dewa Geli mengarahkan pandangan ke sosok Ksatria
Seribu Syair. (Untuk mengetahui asal mula timbulnya
rasa benci Dewi Pedang Halilintar terhadap Ksatria Seribu Syair, silakan simak
serial Pendekar Bodoh dalam
episode: "Ratu Perut Bumi").
"Benarkah kau Hantu Pemetik Bunga?" tanya
Dewa Geli dengan tatapan nanar.
"Aku... aku bukan orang yang kau sebutkan
itu...!" tolak Ksatria Seribu Syair, agak tergagap. Pikirannya melayang ke
peristiwa tadi slang. Waktu itu, dirinya yang berada dalam penyamaran sebagai
Ksatria Topeng Putih tengah menerapkan ilmu 'Mencari Jejak
Tunjukkan Tempat' untuk mencari jejak Pendekar Bodoh. Karena rohnya telah lepas
dari badan kasarnya,
dia tak dapat mengelak ketika Dewi Pedang Halilintar
membuka topeng yang dikenakannya. Dan karena topeng itu sama persis dengan
topeng yang dikenakan
Hantu Pemetik Bunga, Dewi Pedang Halilintar menyangkanya benar-benar sebagai
Hantu Pemetik Bunga.
"Jahanam kau!" geram Dewi Pedang Halilintar.
"Kau tak perlu mungkir, Darma Pasulangit! Dosa-dosa
mu telah bertumpuk. Kini tiba saatnya kau mempertanggungjawabkan seluruh dosamu
itu!" "Nini Kembangsari!" bentak Ksatria Seribu Syair
yang tentu saja tak mau dituduh sembarangan. "Aku
bukan Hantu Pemetik Bunga! Aku tahu kau menyimpan dendam kesumat terhadap orang
itu. Tapi, aku benar-benar bukan Hantu Pemetik Bunga!"
"Jahanam! Rupanya, kau hendak mungkir lagi!"
Dewi Pedang Halilintar balas membentak. "Aku bisa
membuktikan bila kau memang Hantu Pemetik Bunga!
Keluarkan benda yang menonjol di balik pakaianmu
itu!" "Apa hubungannya Hantu Pemetik Bunga dengan benda milikku ini?" ujar Ksatria
Seribu Syair, meraba benda bulat gepeng yang berada di balik bajunya.
"Aku tahu benda itu adalah topeng putih yang
biasa kau gunakan untuk melakukan perbuatan jahatmu sebagai Hantu Pemetik
Bunga!" seru Dewi Pedang Halilintar, amat yakin.
Dewa Geli yang sejak lama ingin menghukum
Hantu Pemetik Bunga tampak geleng-geleng kepala.
Walau dalam dirinya masih tersimpan rasa kagum dan
hormat kepada Ksatria Seribu Syair, dia menatap dengan pandangan penuh selidik.
"Hi hi hi...," kali ini Dewa Geli tak dapat menahan tawanya. "Dunia ini
tampaknya sudah edan! Hi hi
hi...! Banyak orang baik tiba-tiba berubah jadi jahat,
itu karena dunia memang sudah edan! Hi hi hi...! Agar
semuanya lebih jelas, turuti saja apa yang dikatakan
Dewi Pedang Halilintar itu, Pendekar Budiman...!"
Ksatria Seribu Syair yang tak mau penyamarannya sebagai Ksatria Topeng Putih
diketahui orang
tentu saja menolak. Dia cekal erat benda bulat gepeng
yang berada di balik pakaiannya.
"Hmmm.... Kau lihat sendiri, Bocah..," ujar Dewi Pedang Halilintar kepada Dewa
Geli. "Dia tak mau
mengeluarkan topeng itu karena takut kebusukannya
akan terbongkar! Tapi, percayalah kepadaku, Bocah,
dia itu memang Hantu Pemetik Bunga!"
"Hi hi hi...!' Dewa Geli tertawa lagi. "Kalau semuanya belum jelas, mana aku
berani turun tangan"
Agar aku mendapat keyakinan, hi hi hi..., begini saja..."
Sambil tertawa mengikik, tiba-tiba bocah berpakaian kedodoran itu menghadangkan
telapak tangannya ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam yang
bersifat mengisap tiba-tiba melesat ke arah Ksatria Seribu Syair!
Berseru kaget Ksatria Seribu Syair. Dia sama
sekali tak menyangka bila Dewa Geli akan berbuat seperti itu. Hingga, tanpa
dapat dicegah lagi, tiba-tiba
benda bulat gepeng yang berada di balik pakaiannya
tertarik keluar!
Prang...! Benda yang ternyata berupa topeng baja putih
itu jatuh ke tanah. Ksatria Seribu Syair mendengus
gusar. Dewi Pedang Halilintar tersenyum sinis karena
merasa dapat membuktikan bila Ksatria Seribu Syair
memang Hantu Pemetik Bunga. Sementara, Dewa Geli
tampak membelalakkan mata.
Lewat pantulan cahaya rembulan, Dewa Geli
dapat mengenali topeng yang jatuh ke tanah itu sebagai topeng yang biasa
dikenakan oleh Hantu Pemetik
Bunga. "Tak kusangka.... Tak kusangka...," desis bocah
berpakaian kedodoran itu. "Dunia memang sudah
edan! Manusianya pun turut edan!"
Dewa Geli menatap tajam wajah Ksatria Seribu
Syair, lalu dia tertawa mengikik. "Hi hi hi.... Sudah jelas bila kau Hantu
Pemetik Bunga! Walau kau baru saja menyelamatkan nyawaku, hukuman itu harus
tetap kujatuhkan! Untuk mengurangi dosa-dosamu, paling
tidak aku harus mematahkan sebelah tanganmu!"
Usai berkata, Dewa Geli langsung menerjang
Ksatria Seribu Syair. Dewi Pedang Halilintar turut menerjang pula dengan sabetan
dan tusukan pedang!
"Tunggu!" teriak Ksatria Seribu Syair. "Dengar
dulu penjelasanku!"
"Semua sudah jelas! Tak perlu kau bermanis
mulut lagi! Lihat serangan!" sahut Dewi Pedang Halilintar. Pedangnya berkelebat
cepat, mengincar jalan kematian di tubuh Ksatria Seribu Syair.
"Hi hi hi.... Sebenarnya, aku ingin memotong
habis 'milik'-mu itu,?" ujar Dewa Geli. "Tapi karena kau
baru berbuat baik kepadaku, ku potong saja tangan
kirimu! Hi hi hi...!"
Tiba-tiba tubuh bocah berambut tipis itu berkelebat cepat sekali. Dengan ilmu
'Menangkap Naga Mematahkan Tulang', dia benar-benar hendak membuat
tanggal tangan kiri Ksatria Seribu Syair!
"Terpaksa aku melawan!" seru Ksatria Seribu
Syair seraya berkelit dan membalas serangan kedua
lawannya. "Hiahhh...!"
Trang...! Luar biasa! Sambil menghindari cengkeraman
sepuluh jari tangan Dewa Geli, Ksatria Seribu Syair
menjentik bilah pedang Dewi Pedang Halilintar. Gerakan itu dilakukan cepat
sekali. Dan karena jari-jari
tangan kanan Ksatria Seribu Syair dialiri kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi,
bilah pedang Dewi Pedang
Halilintar langsung lepas dari cekalan, lalu terlontar
jauh dan menimbulkan suara berdentang keras saat
jatuh ke tanah.
"Haram jadah!" maki Dewi Pedang Halilintar
dengan darah menggelegak naik sampai ke ubunubun.
Tanpa pikir panjang lagi, bergegas nenek yang
tubuhnya masih tampak sintal itu mengeluarkan seutas tali putih dari balik
bajunya. Begitu dialiri tenaga
dalam, tali sepanjang dua depa lebih itu langsung berubah merah membara dan
diselubungi api biru yang
panas menyala-nyala!
"Makan Cambuk Api Neraka ini!"
Sambil berseru demikian, Dewi Pedang Halilintar menyabetkan cambuk pusaka di
tangannya. Timbul ledakan keras. Suhu udara yang semula dingin
menusuk tulang berubah panas menyengat!
Terkejut Ksatria Seribu Syair mengetahui kehebatan cambuk pusaka di tangan Dewi
Pedang Halilintar. Sementara, sepuluh jari tangan Dewa Geli harus
berkelebat dan mengeluarkan suara menderu ganas.
Tak mau mendapat celaka, terpaksa Ksatria Seribu Syair mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaiannya. Hingga, pertempuran seru pun tak dapat dihindari lagi....
*** 8 KAU tunggu saja di sini, Kemuning...," pinta
Seno. Kemuning yang hendak mengikuti langkah Seno
tampak cemberut.
"Aku ikut!" tolaknya.
"Jangan seperti anak kecil.... Kau ingat makhluk-makhluk ganas yang mengejar
kita tadi" Aku tak
ingin melihat kau celaka...."
"Aku juga tak ingin melihat kau celaka. Eh...,"
Kemuning menekap mulutnya karena kelepasan bicara.
Sebenarnya, murid Dewi Pedang Halilintar itu
tak mau memperlihatkan isi hatinya kepada Pendekar
Bodoh. Tapi melihat Pendekar Bodoh yang hendak menempuh perjalanan berbahaya,
tercetus juga rasa
khawatirnya terhadap pemuda tampan itu.
"Hmmm...," Seno tersenyum. "Kau tak perlu
mengkhawatirkan aku. Kau tetaplah di sini. Jaga Kakek Setan Bodong. Aku akan
segera kembali...."
Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Seno berkelebat
meninggalkan halaman rumah batu. Dewi Pedang
Kuning menatap kepergian si pemuda dengan hati
berdebar. Haruskah dia menyusul"
"Tak perlu...," ujar Kemuning dalam hati, menjawab pertanyaan yang berkecamuk di
benaknya. "Aku
percaya pada ilmu kesaktian Seno. Sebaiknya, aku
kembali...."
Kemuning berusaha menghilangkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Seno.
Dengan langkah berat, dia lalu berjalan masuk kembali ke rumah batu.
Ditemuinya Setan Bodong yang masih terbaring lemah
di cekungan tanah.
Sementara itu, Seno berlari cepat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama
'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Seno tampak tergesagesa sekali. Dia memang tak
mau kehilangan waktu.
Pusar Setan Bodong harus segera didapatkannya. Agar
dia bersama Kemuning dapat secepatnya pergi meninggalkan Lembah Rongga Laut.
Sesampai di sebuah aliran sungai, Seno menghentikan kelebatan tubuhnya. Dengan
naik ke bongkahan batu besar, dia mengedarkan pandangan. Seno
berusaha menemukan kembali mata air yang pernah
dijumpainya beberapa saat tadi bersama Kemuning.
Tak lama kemudian, bola mata Seno berbinar.
Raut wajahnya langsung berubah cerah.
"Itu dia!" seru Pendekar Bodoh dalam hati. Di
kejauhan, dia melihat sumber air yang memancarkan
air berwarna merah seperti darah. "Aku harus segera
ke sana! Pusar Kakek Setan Bodong pasti disembunyikan di tempat itu!"
Dengan menyimpan rasa girang di hati, Seno
meloncat turun dari bongkah batu. Namun sebelumnya murid Dewa Dungu itu
mengerahkan lagi ilmu
'Lesatan Angin Meniup Dingin' sampai ke puncak.
Hingga, kelebatan tubuh pemuda berpakaian biru-biru
itu amat sulit diikuti pandangan mata. Tubuh si pemuda seakan telah sulit
diikuti pandangan mata.
Tubuh si pemuda seakan telah berubah menjadi segumpal asap yang terbang tertiup
angin kencang! "Ini dia! Ini dia!" seru Seno seraya menghentikan kelebatan tubuhnya.
Jantung Pendekar Bodoh berdegup lebih kencang. Rasa senang dan khawatir
bercampur aduk jadi
satu. Sesaat, pikirannya jadi linglung. Yang dapat dila-
kukannya hanyalah cengar-cengir sambil menatap mata air yang memancarkan air
merah seperti darah.
Plok! Plok! Pendekar Bodoh menepak kepalanya sendiri
dua kali. "Bodoh benar aku!" rutuknya kepada diri
sendiri. "Sudah tahu diburu waktu, kenapa malah
bengong saja"!"
Pemuda remaja itu menarik napas panjang untuk menenangkan rasa hatinya yang tak
karuan. Lalu, dia berjongkok mengamati mata air di hadapannya.
"Mungkinkah pusar Kakek Setan Bodong ditanam di lubang ini?" tanya Seno dalam
hati. "Ah! Lebih
baik langsung kubuktikan saja!"
Sekali lagi, Seno menarik napas panjang. Dengan hati tetap berdebar-debar, dia
masukkan tangan
kanannya ke lubang mata air.
Namun.... "Uhhh...!"
Murid Dewa Dungu itu melonjak kaget. Dia tak
dapat menahan rasa dingin yang keluar dari lubang
mata air. Bergegas dia tarik tangan kanannya kembali
"Bagaimana ini" Bagaimana Ini?" seru Pendekar
Bodoh, mulai panik.
Mendadak, pemuda bertubuh tinggi tetap itu
menepak kepalanya lagi. "Uh! Aku memang bodoh! Aku
memang dungu! Kenapa tak ku lindungi tanganku
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tenaga dalam?"
Pergelangan tangan Seno tampak bergetar manakala teraliri kekuatan tenaga dalam.
Tak mau kehilangan waktu, kembali Seno memasukkan tangan kanannya ke lubang mata
air. Rasa dingin yang keluar dari lubang mata air
itu tetap menyengatnya. Tapi, Seno sudah bertekad
bulat. Dia tak mau menarik lagi tangan kanannya.
Hingga di lain kejap, pergelangan tangan kanan pemuda itu amblas masuk ke lubang
mata air hingga mencapai ketiak.
Sekuat tenaga Seno menahan rasa dingin yang
menyiksanya. Rasa dingin itu membuatnya menggigil
hebat. Jajaran giginya saling bertautan dan memperdengarkan suara gemeletukan.
Bahkan, otaknya pun
terasa beku. Akibatnya, tak dapat lagi berpikir jernih.
Kewaspadaannya jadi berkurang. Padahal, dia telah
terkepung oleh puluhan makhluk mengerikan!
Puluhan makhluk yang nyaris hanya berupa
kepala itu bergerak semakin dekat ke arah Seno. Dengan menotolkan tangan atau
kaki mereka yang amat
kecil dan pendek, mereka terus bergerak mengancam
jiwa sang pendekar!
Sementara, Pendekar Bodoh yang terus didera
rasa sakit akibat kedinginan tiba-tiba berseru girang.
Jari-jari tangan kanannya yang berada di dalam lubang mata air menyentuh suatu
benda kenyal yang
menjadi sumber rasa dingin.
"Aku yakin! Ya! Aku yakin sekali! Inilah pusar
Kakek Setan Bodong!" seru Seno seraya mencabut tangan kanannya dari dalam lubang
mata air. "Hiaaah...!"
Swosss...! Melonjak kaget Pendekar Bodoh. Jari-jari tangan kanannya yang telah tercabut
tampak mencekal
gumpalan daging sebesar buah terong tua. Anehnya,
gumpalan daging berwarna merah itu dapat bergerakgerak seperti punya nyawa!
Karena yakin benda yang dipegangnya adalah
pusar Setan Bodong, Pendekar Bodoh tak mau melepaskannya walau dia merasa jijik
dan ngeri bukan
main. Mata Pendekar Bodoh tampak berbinar saat rasa
dingin yang menjalar dari gumpalan daging di tangannya lenyap perlahan-lahan.
Sementara, mata air tempat tersimpannya gumpalan daging langsung berhenti
mengucurkan air merah!
Tapi..., Seno tak dapat menikmati kegembiraannya karena tiba-tiba di belakangnya
berkelebat sebuah bayangan bulat. Dan, tepat menerpa punggung
pemuda itu! Bukkk...! "Hkkk...!"
Karena benturan benda bulat yang tak lain
makhluk gundul itu mempunyai tenaga yang amat
kuat, tubuh Seno langsung terlontar jauh. Setelah bergulingan beberapa lama,
pemuda itu terbaring telentang. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun,
gumpalan daging merah di tangan pemuda itu tetap
tercekal di tangan kanan.
Pendekar Bodoh jelas menderita luka dalam.
Tapi, untunglah jiwanya tak sampai terenggut. Tenaga
dalam pemuda itu sudah sedemikian tingginya sehingga dapat melindungi tubuhnya
agar tak hancur berantakan.
"Celaka! Celaka!" seru Pendekar Bodoh. Matanya nanar menatap puluhan makhluk
gundul yang berloncatan ke arahnya.
Tanpa mempedulikan rasa sakitnya, bergegas
murid Dewa Dungu itu meloncat bangkit. Gumpalan
daging merah yang masih bergerak-gerak dia pindahkan ke tangan kiri. Sementara,
tangan kanannya langsung mencabut Tongkat Dewa Badai.
Wesss...! Brummm...! Kibasan senjata mustika di tangan Pendekar
Bodoh menimbulkan tiupan angin kencang. Karena ki-
basannya dilakukan sambil memutar tubuh, semua
makhluk gundul langsung berpentalan ke berbagai
penjuru! Tubuh mereka melayang seringan kapas. Bongkah-bongkah batu yang tertimpa kontan
hancur berkeping-keping. Dan, tentu saja menimbulkan ledakanledakan keras yang
amat menyakitkan gendang telinga.
Hebatnya, semua makhluk bertangan dan berkaki kecil pendek itu tak cedera
sedikit pun! Mereka
langsung bangkit diiringi geram kemarahan aneh mirip
lolongan serigala!
Namun..., hanya kekecewaan yang mereka dapatkan karena sosok Pendekar Bodoh
telah lenyap dari
pandangan.... *** "Alirkan tenaga dalam dengan lembut, lalu
tempelkan di tengah perutku. Hei! Hei! Jangan terbalik! Yang harus ditempelkan
adalah bagian ujungnya
yang besar itu!"
Setengah berteriak Setan Bodong memberi petunjuk pada Pendekar Bodoh yang telah
kembali ke rumah batu. Sementara, Kemuning tak berani menatap gumpalan daging di tangan
Pendekar Bodoh karena merasa jijik dan ngeri.
"Nah! Nah! Begitu! Bergegaslah!" seru Setan
Bodong, tak sabaran.
Pendekar Bodoh yang sebenarnya juga menyimpan rasa jijik dan ngeri, tak mau
membuang waktu. Tergesa-gesa sekali murid Dewa Dungu itu mengikuti petunjuk yang
diberikan Setan Bodong.
Tatkala pusar Setan Bodong yang berupa gum-
palan daging merah telah ditempelkan ke tempatnya,
Seno dan Kemuning tampak melonjak kaget. Kulit tubuh Setan Bodong yang semula
kuning pucat berubah
merah matang seperti warna buah tomat masak. Warna merah itu menjalar dari
gumpalan daging yang telah melekat di tengah perut si kakek.
Sesaat kemudian, dari kepala Setan Bodong
mengepul asap tipis yang juga berwarna merah. Semakin lama semakin tebal, dan
menyebarkan bau sangit
seperti bau bulu burung yang terbakar.
Saat asap merah itu telah berhenti mengepul,
berangsur-angsur warna kulit Setan Bodong berubah
kuning lagi seperti kulit manusia pada umumnya.
Anehnya, warna gumpalan pusar Setan Bodong berubah menjadi putih seperti kapur!
"Ilmu kesaktianmu sudah kembali, Pak Tua?"
tanya Seno, kebodoh-bodohan.
Setan Bodong tak menjawab.
Kakek berkepala gundul licin itu memejamkan
mata beberapa saat. Lalu, perlahan-lahan dia bangkit
dari tidurnya. Begitu kelopak matanya terbuka, dia
langsung tertawa bergelak....
"Ha ha ha...! Telah sirna siksa ini! Telah pergi
derita ini! ilmu kesaktianku kembali lagi! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa bergelak, Setan Bodong
memungut dua kepal batu yang tergeletak di tanah.
Lalu.... Pruk...! Pruk...! Setan Bodong menghantamkan dua kepal batu
di tangannya ke kepala. Kedua batu yang amat keras
itu langsung hancur menjadi serbuk halus!
"Ha ha ha...! Kekuatanku telah kembali! Murid
murtad itu harus dihukum mati! Ha ha ha...!"
Melihat Setan Bodong terus tertawa senang,
Pendekar Bodoh cuma nyengir kuda. Sementara, Kemuning menatap dengan kening
berkerut rapat. Gadis
cantik itu tak suka melihat sikap Setan Bodong yang
mirip orang gila.
"Pak Tua! Pak Tua!" tegur Seno kemudian. "Aku
dan Kemuning harus segera pergi dari tempat ini. Kau
harus menepati janjimu tadi. Keluarkan batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang ada di dalam perutku!?"
Mendengar desakan Pendekar Bodoh itu, Setan
Bodong kontan menghentikan tawanya. Matanya yang
tajam menatap lekat wajah si pemuda. Sementara,
Pendekar Bodoh sendiri tampak menahan tawa karena
melihat gumpalan pusar Setan Bodong bergerak-gerak
seperti ekor binatang.
"Tampaknya, kau terluka dalam, Bocah Bagus..,," ujar Setan Bodong, tak
mempedulikan gumpalan pusarnya yang terus bergerak-gerak.
"Ya," sahut Seno. "Tapi, hanya luka ringan.
Nanti juga akan sembuh dengan sendirinya."
"Jangan sembrono!" ujar Setan Bodong lagi.
"Ah! Sudahlah, Pak Tua. Tak usah kau perhatikan luka dalamku. Yang penting kau
harus segera mengeluarkan batu mustika yang ada di dalam perutku!" desak Seno penuh
kesungguhan. "Ya! Ya! Aku tahu!" sambut Setan Bodong.
"Membungkuklah...."
"Membungkuk" Untuk apa?"
"Turuti saja perintahku...."
Seno menatap sebentar wajah Setan Bodong.
Walau masih ragu, akhirnya dia turuti juga perintah
kakek berperut gendut itu.
Dan..., begitu Pendekar Bodoh membungkuk-
kan badan, Setan Bodong mengangkat telapak tangan
kanannya yang telah terkepal. Dia hendak menghantam tengkuk Pendekar Bodoh!
"Tunggu!"
Zing...! Dengan mata terbelalak lebar, Kemuning
menghunus bilah pedang yang terselip di punggungnya. Lalu, pedang yang terbuat
dari logam pilihan berwarna kuning itu dia acungkan ke dada Setan Bodong!
"Jika kau hendak meneruskan niatmu, jantungmu akan ku congkel keluar!" ancam
Kemuning. "Eh! Eh! Ada apa ini"!" seru Setan Bodong, kaget.
Pendekar Bodoh yang mendengar seruan Kemuning langsung menegakkan tubuhnya
kembali. Melihat gadis itu mengancam Setan Bodong dengan ujung
pedang, Seno cuma nyengir kuda dengan tatapan tak
mengerti. "Kau kenapa, Kemuning?" tanya pemuda lugu
itu. "Hati-hati, Seno!" sahut Kemuning. "Dia hendak
menghantam tengkukmu!"
Seno nyengir kuda lagi. Setengah tak percaya,
dia berkata, "Benar itu, Pak Tua?"
"Ya," jawab Setan Bodong, singkat.
"Benar kau hendak menghantam ku?"
"Ya! Apa kau tuli?"
"Astaga! Apa kau hendak ingkar janji, Pak
Tua"!"
"Tidak! Hanya ada satu cara untuk mengeluarkan batu mustika di dalam perutmu
itu. Aku harus memukul tengkukmu dengan 'Tenaga Inti Es Biru'," jelas Setan Bodong.
"Benar begitu?" tanya Pendekar Bodoh untuk
menegaskan. "Apa untungnya aku membunuhmu, Tolol! Kalau kau mati, batu mustika yang ada di
dalam perutmu itu akan lenyap begitu saja tanpa bekas! Kalau sudah begitu,
bagaimana aku akan keluar dari tempat
terkutuk ini"!"
Mendengar penuturan Setan Bodong yang tampak sungguh-sungguh, Kemuning
menurunkan ujung
pedangnya yang menempel di dada kiri si kakak. Namun, Kemuning tetap waspada.
Siapa tahu Setan Bodong cuma bersilat lidah.
"Ya! Ya! Aku percaya padamu, Pak Tua..." ujar
Pendekar Bodoh kemudian sambil menggaruk-garuk
pantatnya yang gatal.
"Membungkuklah kembali...," perintah Setan
Bodong dengan suara berat berwibawa.
Sambil tetap menggaruk pantatnya yang masih
gatal, Pendekar Bodoh menuruti perintah kakek berperut gendut itu. Dan... sesaat
kemudian, Setan Bodong
benar-benar menghantam tengkuk Pendekar Bodoh!
Buk...! "Hukkk...!"
Kemuning berseru kaget melihat Seno jatuh
tersungkur. "Apa yang kau lakukan, Pak Tua"!" bentak gadis itu, menyimpan rasa khawatir.
Ujung pedangnya
terangkat, dan benar-benar hendak mencongkel keluar
jantung Setan Bodong.
Namun, Setan Bodong tak mau ambil peduli.
Matanya tak berkedip menatap tubuh Pendekar Bodoh
yang masih terbaring tertelungkup di tanah.
Perlahan tubuh murid Dewa Dungu itu mulai
dilapisi bunga-bunga es berwarna biru. Kekhawatiran
di hati Kemuning semakin bertambah karena tubuh
Pendekar Bodoh sama sekali tak menampakkan tandatanda kehidupan!
"Kau membunuhnya! Kau membunuhnya!" seru
Kemuning, Dengan tatapan nyalang, murid Dewi Pedang
Halilintar itu menusukkan ujung pedangnya sekuat
tenaga! Tapi..., dada Setan Bodong amat keras bagai
balok baja. Bilah pedang Kemuning sampai memercikkan bunga api dan melengkung ke
atas! Tak setetes pun darah keluar dari dada Setan
Bodong. Agaknya, si kakek punya ilmu kebal yang
membuat tubuhnya tak mempan senjata tajam.
"Jangan turuti hawa marah mu! Lihat itu!" seru
Setan Bodong kemudian.
Lewat ekor matanya, Kemuning melihat tubuh
Seno yang masih tergeletak di atas tanah. Namun, kini
tubuh pemuda itu tampak bergerak-gerak. Kedua pergelangan tangannya menekuk
dengan jari-jari terkepal.
Bunga-bunga es biru langsung rontok.
"Uh...!"
Pendekar Bodoh mengeluh pendek. Perlahan
dia bangkit. Dan..., melototlah bola mata Kemuning. Di
atas tanah tempat terbaringnya tubuh Seno tadi, telah
tergeletak batu berbentuk limas segitiga berwarna biru.
"Itukah batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...?" desis Kemuning.
Setan Bodong tak menjawab.
"Ya, Tuhan...," sebut Seno seraya memungut
sekepal batu yang tergeletak di dekat tubuhnya.
Bergegas pemuda itu meloncat ke arah Kemuning. Tanpa sadar dia memeluk dan
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencium pipi si gadis.
"Kita akan segera kembali ke dunia bebas, Kemuning!" seru Seno. "Inilah batu
mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air'!"
Kemuning yang masih merasa jengah karena
ciuman Seno, cuma diam tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Terima kasih, Pak Tua! Terima kasih!" seru
Seno lag! kepada Setan Bodong. "Tapi..., bagaimana
batu ini bisa keluar dari perutku?"
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya," sahut
Setan Bodong. Kemuning menatap lekat wajah Seno yang
tampak kebodoh-bodohan. Melihat pemuda itu terus
cengar-cengir, Kemuning bertanya, "Kau tak apa-apa,
Seno?" "Seperti yang kau lihat. Aku tak apa-apa. Pukulan Kakek Setan Bodong tak
membuatku celaka," jawab Pendekar Bodoh.
"Ambil obor-obor itu!" perintah Setan Bodong
tiba-tiba, keras membentak.
"Ada apa?" tanya Seno, heran.
"Makhluk-makhluk itu mengepung kita."
"Astaga!"
Seno dan Kemuning melonjak kaget bersamasama. Mereka yang sudah percaya benar
pada Setan Bodong bergegas mengambil obor-obor yang terpasang
di dinding rumah batu, walau mereka belum tahu kegunaannya.
"Yang memasang obor-obor itu adalah Raja Penyasar Sukma...," beri tahu Setan
Bodong. "Mungkin
tak pernah terpikir oleh murid murtad itu bila oborobornya itu akan sangat
berguna sekarang ini."
Usai berkata, Setan Bodong turut menyambar
salah satu obor di dinding seraya berkelebat keluar.
Seno dan Kemuning saling pandang sejenak. Tapi, mereka segera mengekor langkah
Setan Bodong. Di luar rumah batu ternyata telah berkumpul
puluhan makhluk bertangan dan berkaki kecil pendek.
Makhluk-makhluk buruk rupa itu tampak menyeringai
dingin penuh nafsu membunuh!
Namun sebelum mereka menyerang....
"Bakar mereka!" perintah Setan Bodong.
Mendadak, kakek berperut gendut itu meniup
api obor di tangannya.
Wusss...! Karena tiupan Setan Bodong dialiri tenaga dalam, lidah-lidah api yang berasal
dari obor langsung
menyembur. Puluhan makhluk berkepala gundul memekik parau. Mereka lari serabutan
penuh rasa takut!
Seno dan Kemuning langsung meniru tindakan
Setan Bodong. Tak ayal lagi, lidah-lidah api menyerbu.
Beberapa makhluk gundul yang kurang cepat menghindar langsung terbakar!
Agaknya, tubuh mereka tak kebal terhadap api.
Mereka mati dengan tubuh kering kerontang. Sementara, yang lainnya terus lari
tunggang-langgang mencari selamat.
"Kita pergi sekarang juga!" ujar Setan Bodong
kemudian. "Cium batu mustika di tanganmu! Tapi,
jangan asal cium! Gunakan perasaan seperti kau sedang mencium kekasihmu!"
Setelah nyengir kuda sejenak, Seno mendekatkan batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' ke bibirnya.
"Pegang lengannya, Anak Manis...," perintah
Satan Bodong pada Kemuning.
Tanpa pikir panjang lagi, Kemuning langsung
memegang lengan kiri Seno. Sementara, Setan Bodong
sendiri menempelkan telapak tangan kanannya ke
tengkuk si pemuda.
"Bergegaslah kau cium batu itu!" seru Setan
Bodong. Pendekar Bodoh yang merasa geli karena tengkuknya dipegang Setan Bodong tampak
nyengir kuda lagi. Lalu, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' benar-benar
diciumnya. Saat mencium, Pendekar Bodoh membayangkan bibir Kemuning yang merah
merekah penuh daya pesona....
Dan..., perlahan-lahan sosok Seno, Kemuning,
dan Setan Bodong mulai mengabur, lalu lenyap dari
pandangan.... *** "Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh.
Tentu saja Seno terkejut bukan alang kepalang.
Murid Dewa Dungu itu telah berada di sebuah kaki
bukit. Seno mengucak-ucak mata karena merasa pandangannya tak jelas. Setelah
otaknya kembali jernih,
tahulah dia bila dirinya berada di keremangan malam.
Lalu, Seno melihat sosok Kemuning dan Setan
Bodong yang tengah berdiri di kanan kirinya. Kontan
pemuda lugu itu melonjak girang.
"Kemuning! Kemuning! Kita telah berada di dunia bebas!" seru Pendekar Bodoh.
"Kita telah berada di
dunia bebas, Pak Tua!" beri tahunya kepada Setan Bodong.
"Aku sudah tahu!" sahut Setan Bodong. "Jangan melonjak-lonjak seperti anak
kecil! Lihat itu!"
Pendekar Bodoh mengarahkan pandangan ke
tempat yang ditunjukkan Setan Bodong. Lewat siraman cahaya rembulan, dia melihat
tiga sosok bayangan yang tengah bertempur seru. Seorang lelaki berpakaian putih-
putih tengah dikeroyok oleh seorang bocah
sepuluh tahunan yang dibantu seorang nenek berpakaian serba kuning.
"Dewi Pedang Halilintar...!" desis Seno, menyebut gelar nenek berpakaian serba
kuning. "Eyang...!" teriak Kemuning, keras sekali.
Dewi Pedang Halilintar yang tengah menyerang
Ksatria Seribu Syair dengan Cambuk Api Neraka tampak terkesiap. Tanpa sadar, dia
menghentikan serangannya. Melihat sosok Kemuning yang sejak beberapa
hari yang lalu hilang diculik orang, nenek itu langsung
meloncat keluar dari ajang pertempuran.
Agaknya, rasa cinta dan kasih sayang di hati
Dewi Pedang Halilintar mampu mengalahkan rasa bencinya terhadap Ksatria Seribu
Syair. Lidah-lidah api
yang menyelubungi Cambuk Api Neraka langsung lenyap ketika Dewi Pedang
Halilintar menarik lagi aliran
tenaga dalamnya. Dan..., meloncatlah nenek itu penuh
rasa girang. "Kemuning...!" seru Dewi Pedang Halilintar seraya memeluk erat Kemuning
muridnya. Sementara, Ksatria Seribu Syair yang melihat
kehadiran Pendekar Bodoh langsung merasakan jantungnya berdegup amat kencang.
Penyesalan dan rasa
bersalah tiba-tiba menghantui benaknya.
Tanpa pikir panjang lagi, bekas putra mahkota
yang tergulingkan itu berkelebat menyambar topeng
baja putihnya yang masih tergeletak di tanah. Dia lalu
mengempos tenaga untuk dapat secepatnya meninggalkan tempat....
Tahu Ksatria Seribu Syair mengambil langkah
seribu, Dewa Geli tak mau mengejar. Dia cuma berdiri
mematung, menatap sosok bayangan Ksatria Seribu
Syair yang segera lenyap tertelan kegelapan malam.
"Biar saja orang itu pergi...," kata hati Dewa Ge-
li. "Melihat sepak terjangnya yang sedemikian hebat,
aku jadi tak yakin kalau dia memang Hantu Pemetik
Bunga...."
"Astaga! Jahanam itu lari!" seru Dewi Pedang
Halilintar, melepas pelukannya pada Kemuning.
"Siapa dia, Eyang?" tanya Kemuning.
"Dia Ksatria Seribu Syair," jawab Dewi Pedang
"Apa" Ksatria Seribu Syair?" seru Pendekar Bodoh.
Tentu saja pemuda lugu itu amat terkejut karena dia tahu kalau Ksatria Seribu
Syair adalah ayah
kandungnya! "Benar dia Ksatria Seribu Syair?" ulang Pendekar Bodoh.
"Ya," jawab Dewi Pedang Halilintar.
"Keparat! Walau dia ayahku, aku harus menuntut pertanggungjawabannya! Dia
berdosa besar pada
mendiang ibuku!"
Usai berkata, Pendekar Bodoh berkelebat cepat.
Dengan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', dia berusaha menyusul kelebatan tubuh
Ksatria Seribu Syair!
Sementara, semua yang masih tinggal di kaki
bukit itu cuma diam membisu. Mereka tak tahu apa
yang ada di hati sang pendekar....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Aneh Naga Langit 14 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Tugas Rahasia 1
Kekuatanku akan berlipat
ganda...," ujar Putri Budukan, mendesis lirih seperti
sedang merapal mantera.
Zing...! Bola mata Dewa Geli langsung melotot besar.
Putri Budukan tiba-tiba menghunus sebilah pedang
panjang. Bilah pedang itu tampak berkilat tertimpa
cahaya api unggun.
Jantung Dewa Geli berdegup amat kencang
manakala melihat Putri Budukan mengambil mangkuk
porselen yang terletak di bawah kakinya. Bayangan
buruk menghantui benak Dewa Geli seketika. Dia yakin bila mangkuk itu akan
digunakan Putri Budukan
untuk menampung cairan darahnya.
"Be... benarkah kau akan menyembelih ku...?"
tanya Dewa Geli, terbata-bata. Lidahnya kelu dan kaku.
"Tentu saja! Tentu saja!" jawab Putri Budukan.
"Sudah kubilang, aku akan menggunakan darahmu
untuk merubah raut wajahku yang amat buruk ini.
Aku sudah bilang pula, cairan darahmu bisa melipat-
gandakan kekuatanku. Oleh karena itu, bersiapsiaplah.... Bila kau punya Iman,
berdoalah dulu kepada Tuhan-mu...."
Dewa Geli hendak berkata lagi. Tapi, kali ini lidahnya sudah amat kaku, sehingga
hanya suara desis
yang keluar dari mulutnya. Suara desis itu pun tak karuan maknanya.
"Tampaknya, kau sudah siap, Bocah Bagus...,"
ujar Putri Budukan, merubah panggilannya pada Dewa
Geli. Dewa Geli menarik napas panjang, lalu menutup kelopak matanya rapat-rapat.
Kematian bocah yang pernah tinggal di kerajaan para siluman itu segera tiba karena Putri
Budukan telah mengangkat pedangnya....
Sampai tiga tarikan napas, pedang Putri Budukan terus mengambang di atas leher
Dewa Geli. Sementara, Putri Budukan sendiri memejamkan mata
dengan mulut terkunci rapat. Entah apa yang sedang
dilakukan oleh wanita jahat itu.
Namun tiba-tiba, Putri Budukan menjerit keras
sekali. Pedang di tangannya terpental jauh, dan memperdengarkan suara berdentang
saat jatuh ke tanah.
Mangkuk porselen di tangan kiri Putri Budukan turut
terjatuh ke tanah.
Karena terkejut mendengar jeritan Putri Budukan, Dewa Geli membuka kelopak
matanya kembali.
Lewat ekor matanya, dia melihat tubuh Putri Budukan
berdiri terhuyung-huyung. Telapak tangan kiri wanita
berwajah buruk penuh bisul bernanah itu menekap
bahu kanannya yang mengepulkan asap!
"Jahanam! Siapa yang telah datang mengganggu pekerjaanku..."!" geram Putri
Budukan sambil mengedarkan pandangan.
Tak ada sahutan.
Suasana sunyi lengang.
"Tampakkan batang hidungmu, Keparat! Kau
telah membokong orang! Apakah ini yang dinamakan
jiwa ksatria"!" seru Putri Budukan, keras menggelegar
karena getaran suaranya dialiri tenaga dalam.
Suasana tetap sunyi lengang.
Namun, ranting pepohonan tampak bergoyang.
Mendadak, Putri Budukan menepukkan telapak
tangannya di atas kepala, memberi isyarat kepada tiga
puluh lelaki kerdil untuk mencari orang yang telah
mencederai bahu kanannya. Tapi sebelum lelaki-lelaki
yang hanya mengenakan cawat itu bergerak berpencar,
tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Tiupan angin
kencang muncul. Ranting dan dahan pohon berpatahan. Bongkah-bongkah batu yang
tak seberapa besar
terangkat dari tanah, lalu melayang jauh dan menggelinding ke kaki bukit.
Sementara, api unggun yang tadi
dinyalakan oleh Putri Budukan langsung padam, sehingga Puncak Kupu-kupu cuma
diterangi pantulan
cahaya rembulan.
"Dasar pengecut! Mana jiwa ksatria mu"!" geram Putri Budukan lagi. "Segera
tampakkan batang
hidungmu, Keparat!"
Tetap tak ada sahutan.
Tak juga ada orang lain yang muncul.
Tanpa diperintah lagi, tiga puluh lelaki kerdil
berloncatan dan bergerak menyebar untuk mencari
orang yang telah mencederai bahu kanan Putri Budukan. Sementara, Putri Budukan
sendiri juga tampak
berlari-lari mengelilingi Puncak Kupu-kupu. Hingga
beberapa lama, mereka jadi lupa pada Dewa Geli yang
masih terbaring lemah di atas bongkah batu persegi.
Namun tiba-tiba..., terdengar suara lembut seo-
rang lelaki yang melantunkan syair. Tanpa sadar, Putri
Budukan dan tiga puluh lelaki kerdil menghentikan
gerak tubuh mereka. Dan, mereka pun langsung menajamkan pendengaran....
kejam" Jika orang berbicara tentang jiwa ksatria
Sedikit banyak pasti ada manfaat yang didapat
Namun, manfaat apa yang bisa didapat
Bila yang berbicara adalah biang pelaku tindak
Sebelum bicara....
Mestinya orang menengok dulu ke dalam
Apakah perilaku sendiri sudah patut dijadikan
suri teladan"
Apakah pikiran dan jiwa sendiri telah bersih dari nafsu rendah"
Oleh karenanya....
Bertindak dan berperilaku punya aturan
Berbicara pun demikian
Agar tak nanti....
Limbah dibuang memercik ke muka sendiri
Mendengus gusar Putri Budukan mendengar
rentetan kata yang penuh makna sindiran itu. Sekali
lagi, dia mengedarkan pandangan. Dan, terkesiaplah
dia ketika melihat seorang lelaki setengah baya tengah
berdiri tegak di dekat tubuh Dewa Geli.
"Heran aku... " kata Putri Budukan dalam hati.
"Bagaimana orang itu bisa muncul tanpa sepengetahuanku" Apakah dia yang telah
mencederai bahu kananku?"
Terbawa rasa penasaran, bergegas Putri Budukan meloncat ke hadapan sosok lelaki
yang baru muncul. Ditatapnya sekujur tubuh lelaki itu penuh curiga.
"Hmmm.... Menilik garis-garis wajahmu, aku
seperti pernah mengenal dirimu...," ujar Putri Budukan, lirih seperti menggumam.
Lelaki yang berdiri di dekat Dewa Geli tersenyum tipis. Rambutnya yang panjang
terayun-ayun dimainkan hembusan angin. Lelaki itu bertubuh tinggi
tegap dan mengenakan pakaian putih-putih dengan
ikat pinggang kain biru. Berwajah tampan rupawan.
Dan, kulit tubuhnya pun tampak putih bersih seperti
kulit kaum bangsawan yang biasa merawat tubuh.
Dia Ksatria Seribu Syair!
"Sebenarnya, sedari tadi aku telah berada di
tempat ini, Putri Budukan...," ujar bekas putra mahkota itu. "Sengaja aku
menyembunyikan tubuhku dengan
ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Karena, aku ingin tahu apa
yang akan kau perbuat terhadap bocah yang tak berdosa ini. Ternyata, kau memang
seorang manusia kejam berdarah dingin, Putri Budukan.... Terpaksa aku
memukul bahu kananmu!"
"Jahanam! Jadi, benar kau yang telah menggangguku"!" sahut Putri Budukan. "Aku
ingat sekarang. Bukankah kau Darma Pasulangit alias Wisnu
Sidharta yang bergelar Ksatria Seribu Syair?"
"Tak salah apa yang kau katakan. Aku yang
rendah ini memang Ksatria Seribu Syair adanya," tegas
Ksatria Seribu Syair. "Kau tadi sempat mengumbar kata-kata, menyebut diriku
dengan sebutan pengecut
yang tak punya sifat ksatria. Kini, aku hendak bertanya, siapakah sebenarnya
yang pengecut dan tak
punya sifat ksatria itu" Aku atau kau" Memang benar
aku telah memukul bahumu secara diam-diam. Tapi,
tidakkah kau sadar bila aku tak melakukannya, satu
nyawa manusia yang tak berdosa akan menjadi korban
nafsu jahatmu" Bila aku menggagalkan niat jahatmu,
bukankah perbuatanku itu sekaligus menghindarkan
dirimu dari dosa?"
Mendengar kalimat panjang Ksatria Seribu
Syair, Putri Budukan tersenyum mengejek. Dia acungkan bilah pedang di tangannya,
lurus ke muka lelaki
berparas tampan itu.
"Kau berkata-kata seakan telah menjadi utusan
para dewa di dunia," cibir Putri Budukan. "Aku tahu,
selama lima tahun kau mengasingkan diri di suatu
tempat. Jika kini kau muncul lagi, aku yakin kau telah
berhasil mendalami sebuah ilmu kesaktian hebat. Tapi, janganlah kau berlaku
sombong di hadapanku! Ibarat sebuah istana, maka Puncak Kupu-kupu ini adalah
istanaku. Kau masuk tanpa permisi dan tanpa izin pula. Kau pun telah mencederai
'sang ratu'. Walau bukan
cedera berat, 'sang ratu' tetap akan menjatuhkan hukuman mati!"
Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit
nyaring. Tiga puluh lelaki kerdil langsung menerjang
berhamburan. Dengan membawa senjata pedang dan
golok, mereka menyerang Ksatria Seribu Syair dari
berbagai penjuru.
Namun, Ksatria Seribu Syair tampak tenangtenang saja. Sambil mengulum senyum,
lelaki tinggi tegap itu memutar tubuh seraya mengibaskan kedua
telapak tangannya!
Wesss...! "Wuahhh...!"
Dari kedua telapak tangan Ksatria Seribu Syair
melesat gelombang angin pukulan dahsyat. Tubuh tiga
puluh lelaki kerdil kontan berpentalan, dan jatuh bergulingan ke lereng bukit.
Pedang dan golok di tangan
mereka terlepas dari cekalan, turut berpentalan ke
berbagai penjuru!
Anehnya, tubuh Dewa Geli yang masih terbaring lemah di atas bongkah batu persegi
tak turut terpental. Bahkan, bergeming pun tidak. Padahal, tubuh
si bocah berada di dekat pusat lesatan gelombang angin ciptaan Ksatria Seribu
Syair. "Keparat!" dengus Putri Budukan.
Tahu kehebatan Ksatria Seribu Syair, wanita
buruk rupa itu langsung menerjang kalap. Pedangnya
berkelebatan, memperdengarkan suara bergemuruh
yang menyakitkan gendang telinga. Namun, Ksatria
Seribu Syair dapat menghindari semua serangan itu
dengan mudah. Maka, semakin memuncaklah amarah Putri
Budukan. Sambil menggembor keras, tiba-tiba dia
menghentikan serangannya seraya meloncat ke belakang. Pedang di tangannya dia
buang begitu saja.
Lewat cahaya rembulan, dapat dilihat bila tubuh Putri Budukan bergetar kencang.
Kedua pergelangan tangannya berubah warna menjadi hijau kemerahan. Agaknya,
wanita buruk rupa itu telah mempersiapkan pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'!
Ksatria Seribu Syair menarik napas panjang
beberapa kali. Dia merasakan suatu hawa aneh yang
tiba-tiba mengelilingi tubuhnya. Dia seperti dibawa ke
suatu tempat yang berada di alam sihir. Namun, lelaki
yang sudah matang pengalaman itu tak menjadi panik
ataupun gentar walau dia tahu kalau Putri Budukan
hendak menyerangnya dengan pukulan 'Sihir Penjerat
Arwah'. Hampir semua tokoh tua di rimba persilatan
tahu kehebatan dan kedahsyatan ilmu pukulan 'Sihir
Penjerat Arwah'. Untuk mendalaminya, setiap orang
harus menghirup suatu hawa udara yang berasal dari
tubuh orang mati. Setelah hal itu dilakukan selama se-
tahun penuh, orang yang bermaksud mendalami ilmu
'Sihir Penjerat Arwah' harus mengadakan upacara penyembahan setan. Dan apabila
upacara itu diterima,
maka dia akan menguasai ilmu 'Sihir Penjerat Arwah'
dengan sempurna.
Salah satu dari kehebatan ilmu hitam itu adalah daya penghancurnya yang dahsyat
dan mampu pula menghisap seluruh kekuatan orang. Jika ada orang
terpukul dengan telak, kalau tubuhnya tidak hancur
luluh, seluruh inti kekuatan tubuhnya pasti akan lenyap. Dan, hal itu telah
dirasakan oleh Dewa Geli.
"Aku tahu kau telah mempersiapkan ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah', Putri
Budukan," ujar Ksatria Seribu Syair. "Heran aku jadinya. Kalau orang masih mau
dikatakan waras, kenapa mesti menyembah
setan" Bukankah setan lebih rendah derajatnya dari
manusia" Untuk mendapatkan sebuah ilmu kesaktian,
kenapa manusia tidak meminta langsung kepada Sang
Penguasa Alam Semesta" Jika percaya akan kebesaran-Nya dan berusaha sekuat
tenaga, keinginan manusia itu akan terkabulkan. Tuhan yang di atas sana
tak pernah tidur. Dia tahu segalanya. Dia maha pemurah. Kepada-Nyalah seharusnya
kita meminta...."
"Tutup mulutmu, Jahanam!" sentak Putri Budukan. "Aku bukan anak ingusan yang
bisa kau bujuk dengan kata-katamu itu! Sudah kubilang tadi, 'sang
ratu' akan menjatuhkan hukuman mati! Terimalah
hukuman itu sekarang! Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Putri Budukan
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Dua larik sinar hijau kemerahan yang amat menggidikkan melesat cepat ke arah
Ksatria Seribu Syair!
"Manusia jahat pasti akan menerima buah kejahatannya!" Seru Ksatria Seribu
Syair. Lelaki yang diam-diam telah mempersiapkan
ilmu 'Pembalik Tenaga Lindungi Jiwa' itu menarik kedua tangannya ke belakang
sejajar pinggang, dan langsung dihentakkan ke depan. Seberkas cahaya putih
kebiruan tiba-tiba melesat, memperdengarkan suara
mendengung seperti ada ribuan lebah sedang terbang!
Lalu.... Blarrrr...! Blarrr...! Dua ledakan terdengar menggelegar di angkasa.
Paduan cahaya warna-warni menyembur ke manamana. Hingga untuk beberapa saat,
suasana malam di
Puncak Kupu-kupu jadi terang benderang. Namun, di
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik keindahan yang sempat tercipta, tampaklah satu
pemandangan menggiriskan.
Gumpalan tanah dan bongkah-bongkah batu
berhamburan ke segenap penjuru. Batang-batang pohon tumbang, lalu melayang
tinggi dan jatuh berdebam di lereng bukit!
Jerit panjang menyayat hati terdengar manakala tubuh Putri Budukan jatuh
bergulingan ke tanah.
Wanita buruk rupa itu hendak bangun, tapi seluruh
kekuatannya telah hilang! Dan, dia pun cuma dapat
berbaring telentang sambil mengaduh-aduh kesakitan.
Ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' yang dilancarkan Putri Budukan terpental
balik, terhantam oleh
kedahsyatan ilmu pukulan 'Pembalik Tenaga Lindungi
Jiwa' Ksatria Seribu Syair. Akibatnya, ilmu pukulan
jahat yang bersumber dari pemujaan setan itu memukul Putri Budukan sendiri tanpa
dapat dielakkan lagi!
"Orang menanam padi tak akan memetik ilalang," ujar Ksatria Seribu Syair dengan
suara lembut berwibawa. "Jika ingin memetik buah kebaikan, berbuatlah baik terlebih dulu.
Kejahatan hanya akan
mendatangkan celaka. Dan, kau telah merasakannya,
Putri Budukan!"
Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih itu
menyambar tubuh Dewa Geli yang masih terbaring lemah di atas bongkah batu
persegi. Di lain kejap, sosok
Ksatria Seribu Syair lenyap dari pandangan. Tinggallah
Putri Budukan yang dikerumuni tiga puluh lelaki kerdil yang juga telah menderita
luka.... 6 KAU jangan ngelantur, Pak Tua!" bentak Kemuning dengan raut wajah merah padam.
"Kalau setiap manusia yang masuk ke tempat ini tak akan bisa
keluar lagi, lalu kenapa kau turut masuk juga"! Apakah kau punya izin dari Raja
Penyasar Sukma hingga
kau dapat keluar dari tempat ini sewaktu-waktu...?"
"Tidak! Tidak!" sahut Setan Bodong, tetap terbaring di cekungan tanah.
"Bagaimana aku bisa keluar
dari tempat terkutuk ini" Menggerakkan jari-jari tangan saja, aku tak mampu!"
Kemuning hendak menyahuti ucapan Setan
Bodong, namun keburu didahului oleh Pendekar Bodoh.
"Katakan dulu kepadaku, Pak Tua, kau ini sebenarnya anak buah Raja Penyasar
Sukma atau justru
malah musuh orang jahat itu?" ujar Seno seraya berjongkok di sisi kiri Setan
Bodong. "Memangnya kenapa?" Setan Bodong balik bertanya. "Kalau aku anak buah Raja
Penyasar Sukma,
apa urusanmu" Kalaupun aku musuh orang itu, apa
pula yang kau inginkan dariku?"
Mendengar kata-kata Setan Bodong yang terdengar menyelidik, Pendekar Bodoh
nyengir kuda sejenak. Dengan tatapan matanya, Pendekar Bodoh memeriksa keadaan
kakek gendut itu.
"Inti kekuatan tubuh kakek ini telah lenyap...,"
kata Seno dalam hati. "Dia tak punya ilmu kesaktian
lagi. Tapi, kenapa dia tampak begitu sombong dan
angkuh?" "Hei! Kenapa kau malah diam saja"!" tegur Setan Bodong.
"Eh, ya, ya! Aku akan menjawab pertanyaanmu, Pak Tua," sahut Seno Prasetyo,
tergagap. "Jika
kau memang anak buah Raja Penyasar Sukma, aku
akan pergi. Biarlah rayap dan cacing tanah yang akan
melumatkan tubuhku.... Tapi, kalau kau musuh orang
jahat itu, kita bisa bekerja sama untuk mencari jalan
keluar...."
Pendekar Bodoh berkata amat lugu, tanpa ada
yang ditutup-tutupi. Setan Bodong yang mendengarnya malah tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Aku tahu kau punya sifat jujur
dan bisa dipercaya, Bocah Bagus. Karena kau telah
berkata apa adanya, ada baiknya bila kukatakan siapa
diriku sebenarnya.... Aku bukan anak buah Raja Penyasar Sukma! Bukan pula
musuhnya!"
"Lalu, apa" Sahabat" Atau barangkali, kau tak
pernah bertemu langsung dengan orang jahat itu" Kau
mendengar nama Raja Penyasar Sukma hanya lewat
desas-desus saja?" kejar Seno, nyerocos panjang.
"Ha ha ha...!" Setan Bodong tertawa lagi. "Siapa
bilang aku tak pernah bertemu langsung dengan Raja
Penyasar Sukma" Justru aku mengenalnya dengan
baik seperti aku mengenal diriku sendiri!"
"Kalau begitu, kau pasti sahabat karibnya!" te-
bak Pendekar Bodoh.
"Bukan!" sergap Setan Bodong.
"Kau jangan bicara bertele-tele, Pak Tua!" sentak Dewi Pedang Kuning. Tiba-tiba.
"Aku dan sahabatku ini sedang dilanda kebingungan! Jangan kau
menambah kebingungan kami!"
"Siapa yang menambah kebingungan kalian,
Anak Manis?" sahut Setan Bodong. "Aku bicara hal
yang sebenarnya. Kalau kalian tak mengerti, itu salah
kalian sendiri! Aku memang bukan anak buah Raja
Penyasar Sukma! Bukan pula musuh ataupun sahabat
orang itu!"
"Lalu, kau apanya?" kejar Pendekar Bodoh dengan sabar. "Kau katakan tadi, kau
mengenal baik Raja
Penyasar Sukma. Apakah kau saudaranya" Atau
mungkin malah bapaknya?"
Mendengar ucapan Seno, Setan Bodong tertawa
terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Sedari tadi tebakanmu
tak ada yang benar! Ha ha ha...! Baiklah, daripada
nanti kau bertambah penasaran, kukatakan saja bila
aku adalah guru Raja Penyasar Sukma!"
"Jahanam!" geram Seno tiba-tiba. "Kalau begitu,
aku harus membunuhmu, Pak Tua! Raja Penyasar
Sukma adalah pembunuh ibuku! Kau pasti orang jahat
juga! Kau pantas dihukum mati!"
"Uts tunggu dulu!" cegah Setan Bodong yang
melihat Seno hendak menjatuhkan pukulan ke kepalanya. "Aku bukanlah orang yang
takut mati. Siksaan
yang sedang ku rasakan ini pun sebenarnya sudah lebih menyakitkan dari kematian.
Tapi..., cobalah dengar
dulu penjelasanku.... Aku tahu kau amat jujur, Bocah
Bagus. Tapi..., kau harus dapat berpikir lebih dewasa.
Jangan sampai kejujuranmu itu justru akan mencelakakan dirimu...."
"Apa maksudmu, Pak Tua"!" dengus Seno, teringat sosok ibunya yang telah dibunuh
oleh Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma.
"Sebagai manusia yang dikaruniai akal budi,
mestinya kau selalu mengasah otak, agar pikiran wawasan mu bertambah luas...,"
ujar Setan Bodong penuh kesungguhan, tanpa punya maksud mengolokolok Seno.
"Tidak semua penjahat punya guru orang
jahat. Tidak semua orang baik, gurunya juga baik.
Dunia ini sudah tua dan rapuh. Kalau ada banyak kejadian aneh, itu tandanya
dunia akan segera kiamat.
Tapi..., bukanlah suatu keanehan kalau ada seorang
guru yang baik punya murid orang jahat. Bukankah
manusia punya sifat teledor sehingga salah dalam
menjatuhkan pilihan?"
"Hmmm.... Tampaknya, kau memang pandai
memutar lidah, Pak Tua," sahut Seno. "Aku bisa mengerti apa yang kau katakan.
Tapi, tentu saja aku tak
mau percaya begitu saja! Katakan asal-usulmu lebih
jelas! Kalau memang kau orang baik-baik, mungkin
aku bisa menolongmu. Dan mungkin pula, kau pun
bersedia menolongku...."
Mendengar ucapan Pendekar Bodoh yang terus
terang itu, Setan Bodong tertawa untuk kesekian kalinya.
"Ha ha ha...! Dunia ini memang seringkali tidak
adil. Aku sudah memperkenalkan diri. Tapi, dua orang
yang ada di hadapanku ini terus saja bertanya tanpa
terlebih dulu menyebutkan nama dan gelar. Ya! Dunia
ini memang seringkali tidak adil! Ha ha ha...!"
Berkerut kening Seno seketika. Ditatapnya lekat-lekat wajah Setan Bodong yang
masih terbaring telentang di cekungan tanah.
Karena merasa tak enak hati mendengar sindi-
ran kakek gendut itu, akhirnya Seno berkata, "Aku
bernama Seno Prasetyo. Kalau ingin tahu gelarku, aku
akan mengatakan. Tapi, harap kau tak menertawakan...."
"Hmmm.... Apa pun gelar orang, itu hanya sebuah sebutan untuk memudahkan orang
mengenal dan memanggil. Yang terpenting adalah perbuatan si
pemilik gelar itu...," ujar Setan Bodong.
"Benar. Tapi, sekali lagi, kuharap kau tak akan
menertawakan. Gelarku tak enak didengar. Orangorang telanjur menyebutku sebagai
Pendekar Bodoh...," beri tahu Seno.
"Seno Prasetyo?" ulang Setan Bodong.
Kakek berkepala gundul licin itu hendak tertawa, tapi cepat ditahannya keinginan
itu karena tak mau menyinggung perasaan Seno.
"Ya! Ya, aku bisa mengerti...," ujar Setan Bodong kemudian. "Orang-orang
menyebut mu sebagai
Pendekar Bodoh, mungkin karena kau tampak begitu
jujur dan lugu.... Dunia yang sudah uzur ini memang
telah ternoda oleh tipu muslihat manusia. Kalau orang
tidak bisa menipu, seringkali dia malah dikatakan bodoh.... Mungkin itu yang
terjadi pada dirimu, Bocah
Bagus...."
Kakek gendut itu mengalihkan pandangan ke
wajah Dewi Pedang Kuning seraya bertanya, "Lalu, kau
siapa, Anak Manis?"
"Aku Kemuning," jawab Kemuning, singkat.
"Gelarmu?"
"Perlukah itu kukatakan?" Kemuning berkata
ketus dan tampak tak bersahabat.
Setan Bodong menyungging senyum getir, lalu
berkata, "Kalau tak mau memperkenalkan diri, aku
pun tak akan memperkenalkan diri pula. Pergilah....
Lebih baik aku menunggu ajal di tempat ini tanpa seorang teman...."
"Jangan marah dulu, Pak Tua...," sergah Pendekar Bodoh. "Sahabatku itu bergelar
Dewi Pedang Kuning.... Oleh karena kau sudah tahu siapa kami
berdua, sekarang katakan dengan jelas asal-usulmu.
Cepat saja! Karena, ada puluhan makhluk jahat yang
sedang mengejar kami...."
Setan Bodong menarik napas panjang beberapa
kali. Setelah menatap wajah Seno dan Kemuning bergantian, dia berkata, "Aku tak
tahu dosa apa yang telah kuperbuat.... Aku tak habis mengerti, kenapa suratan
ini terjadi pada diriku...?"
"Hei! Apa yang kau katakan"!" tegur Seno. "Aku
ingin kau menceritakan asal-usulmu! Aku tak mau
mendengar keluh kesah mu! Aku sedang bingung, Pak
Tua. Kau tadi tertawa terus, sekarang tampak begitu
sedih.... Sebenarnya, apa yang ada di hatimu, Pak
Tua?" "Hmmm.... Kalau kau ingin tahu asal-usulku,
tentu saja kau harus mau mendengar cerita sedih ku,"
sahut Setan Bodong. "Tapi, kuharap kau tidak salah
mengerti. Aku bukan sedang berkeluh-kesah...."
Usai mengatakan kalimat itu, Setan Bodong
menatap lekat wajah Seno. Lewat sorot matanya, dia
seakan sedang melongok isi hati Seno.
"Seperti kukatakan tadi, aku memang guru Banyak Langkir yang lebih kau kenal
dengan sebutan Raja Penyasar Sukma...," lanjut Setan Bodong. "Namun,
aku menjadi guru Banyak Langkir baru lima tahun
yang lalu. Sebelumnya, dia berguru kepada Iblis Racun
Kembang. Tentang guru pertama Banyak Langkir itu,
aku tak bisa bercerita banyak. Hanya saja, bisa kukatakan bila dia masih hidup
dan tinggal di Lembah Ra-
cun...." Tiba-tiba, sinar mata Setan Bodong meredup.
Air mukanya berubah kelam. Sesaat, dia pejamkan
matanya seperti tengah merasakan himpitan yang sangat menyakitkan hati. Seno dan
Kemuning jadi iba ketika kakek gendut itu batuk-batuk.
"Aku tak apa-apa.... Jangan kalian pandangi
aku seperti itu," tegur Setan Bodong.
"Aku tahu ilmu kesaktianmu telah lenyap, Pak
Tua," ujar Pendekar Bodoh. "Tapi, aku tak tahu apakah kau sedang menderita luka
dalam?" "Tak salah apa yang kau katakan. Ilmu kesaktianku memang telah lenyap," sahut
Setan Bodong. "Tapi, sekali lagi, kau jangan menatap ku seperti itu.
Aku tidak terluka dalam.... Lagi pula, aku tak mau ada
orang yang menaruh iba atas penderitaan ku ini...."
"Tapi, Pak Tua, tampaknya kau tersiksa sekali...," desah Pendekar Bodoh yang
tiba-tiba merasa
amat kasihan pada Setan Bodong. "Siapa yang telah
melenyapkan Ilmu kesaktianmu, Pak Tua?"
"Muridku sendiri."
"Raja Penyasar Sukma?"
"Ya. Lima tahun yang lalu, Banyak Langkir menemuiku di Pulau Kayangan. Dia
datang dengan membawa Kitab Tiga Dewa...."
Setan Bodong menghentikan bicaranya untuk
menarik napas panjang. Wajahnya terlihat semakin
muram. Lalu dengan suara bergetar, dia lanjutkan ceritanya.
"Banyak Langkir meminta ku untuk membantunya mempelajari tiga macam ilmu
kesaktian yang terdapat dalam Kitab Tiga Dewa. Karena dia menunjukkan sikap baik dan tampak
penuh semangat dalam
mempelajari ilmu kesaktian, aku bersedia memban-
tunya. Kebetulan pula aku belum punya murid. Walau
umur Banyak Langkir sudah hampir setengah abad,
kupikir tak ada salahnya bila aku mengangkatnya sebagai murid. Lalu....
Terjadilah peristiwa yang membuatku amat menderita ini.... Aku teledor....
Inilah buah dari kesalahanku sendiri...."
Seno dan Kemuning saling pandang. Keketusan
Kemuning sudah tak tampak lagi. Seperti Seno, gadis
cantik itu juga larut dalam suasana sedih. Namun, mereka tak hendak berkata apa-
apa. Mereka cuma menunggu Setan Bodong untuk melanjutkan ceritanya
kembali. "Tiga purnama yang lalu, Banyak Langkir benar-benar dapat menguasai tiga ilmu
kesaktian yang terdapat dalam Kitab Tiga Dewa...," tutur Setan Bodong kemudian. "Kesadaranku
datang terlambat. Aku
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru menyadari kesalahanku ketika Banyak Langkir
berniat membunuhku.... Niatnya itu tak kesampaian
karena aku mempunyai sebuah ilmu mukjizat yang
bernama 'Jiwa Rangkap Perpanjang Usia'. Tapi..., dia
tahu kelemahan ku.... Dia tak berhasil membunuhku,
tapi seluruh kesaktianku dimusnahkannya...."
"Dengan cara apa, Pak Tua?" tanya Seno, penasaran. Pemuda remaja ini segera
ingat Mahisa Lodra
atau Setan Selaksa Wajah yang juga telah mengkhianati gurunya sendiri dengan
membuat lumpuh kedua
kaki Dewa Dungu.
Untuk kesekian kalinya, Setan Bodong menatap
lekat wajah Pendekar Bodoh. Lalu katanya, "Kau sudah tahu kalau aku bergelar
Setan Bodong, bukan"
Kau lihat sekarang ini, perutku memang gendut, tapi
tidak bodong, bukan" Pusar ku biasa-biasa saja...."
"Apa hubungannya tindakan Banyak Langkir
dengan gelarmu itu?" tanya Seno, penasaran.
"Ketahuilah, Bocah Bagus..., sebenarnya aku
punya pusar sebesar buah terong tua. Oleh karena itulah orang-orang memberi ku
gelar Setan Bodong. Tapi..., seperti yang kau lihat sekarang, pusar ku telah
hilang. Banyak Langkir telah mencopotnya...."
"Mencopotnya?" kejut Seno.
"Ya. Setelah gagal membunuhku, dia mencopot
pusar ku saat aku sedang bersemadi. Akibatnya, seluruh ilmu kesaktianku
lenyap...."
"Astaga! Kejam benar muridmu itu, Pak Tua,"
dengus Seno. "Bukan hanya itu perlakukan kejam Banyak
Langkir," sahut Setan Bodong. "Karena takut aku akan
dapat mengembalikan ilmu kesaktianku, tubuhku
yang sudah tak bisa digerakkan lag dibawanya ke tempat ini..."
"Jadi, selama tiga purnama penuh kau berada
di tempat ini, Pak Tua" Siapa yang memberimu makan?"
"Aku tak makan ataupun minum. Hanya berkat
kebesaran Tuhan, jika kau dapat menemukan aku dalam keadaan bernyawa."
Usai berkata mendadak kakek gendut itu menatap tajam perut Pendekar Bodoh.
"Ada apa, Pak Tua?" tanya Seno, heran.
"Walau ilmu kesaktianku telah lenyap, tapi
penglihatanku masih tajam," ujar Setan Bodong penuh
kesungguhan. "Aku tahu di dalam perutmu ada batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."
"Benar!" tegas Seno. "Tapi, aku tak dapat mengeluarkannya lagi."
"Hmmm.... Begitu" Karena itukah kau tidak bisa keluar dari tempat ini?"
"Ya!" sahut Seno.
"Sebelum batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' masuk ke perutmu,
apakah kau menelan suatu benda ajaib lainnya?"
Kening Seno berkerut rapat. Dia berusaha
mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sebelum
masuk ke Lembah Rongga Laut. Tak lama kemudian,
dia berkata....
"Ya! Ya, Pak Tua.... Sebelum batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' masuk ke perutku, aku telah menelan Kodok
Wasiat Dewa."
"Kodok Wasiat Dewa?" ulang Setan Bodong.
Seno mengangguk
"Astaga! Berarti kau punya satu keberuntungan
besar, Bocah Bagus. Kalau tidak berjodoh, siapa pun
tak akan pernah bisa mendapatkan benda ajaib itu...."
"Lalu, apa hubungannya Kodok Wasiat Dewa
yang ku telan dengan batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air', Pak Tua?" tanya Seno, semakin
penasaran. "Kedua benda yang sama-sama sulit dapatkan
itu telah menyatu di dalam perutmu!" ujar Setan Bodong.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh dengan
wajah pucat pasi. Bayangan buruk segera berkelebatan
di benak pemuda lugu ini.
"Andai ilmu kesaktianku tidak musnah, aku
pasti bisa memisahkan lagi kedua benda ajaib yang
ada di dalam perutmu itu, Bocah Bagus...," kata Setan
Bodong, lirih seperti tengah mengharap sesuatu yang
tak akan pernah didapatkannya.
"Adakah suatu cara untuk mengembalikan ilmu
kesaktianmu, Pak Tua?" tanya Kemuning yang sedari
tadi cuma diam. Ucapannya terdengar ramah dan tak
ketus lagi. "Ada!" jawab Setan Bodong. "Seluruh ilmu kesaktianku akan kembali seperti
sediakala jika ada
orang yang dapat memasangkan kembali pusar ku..."
"Aku pasti bisa! Aku pasti bisa!" tawar Seno
tanpa pikir panjang. "Tapi..., kalau Banyak Langkir telah menghancurkan pusar
mu, uh....,"
Pendekar Bodoh menggaruk kepalanya yang tak
gatal seraya cengar-cengir. Sementara, Kemuning langsung mengajukan pertanyaan
pada Setan Bodong.
"Benarkah Banyak Langkir telah menghancurkan pusar mu, Pak Tua?"
"Itu memang yang dia inginkan," jawab Setan
Bodong. "Tapi, di dunia ini tak satu pun senjata tajam
yang dapat menghancurkan pusar ku...."
"Berarti, pusar mu masih ada?" tebak Kemuning.
"Begitulah. Tapi, Banyak Langkir menyembunyikan di suatu tempat."
"Kau tahu di mana?"
"Aku tak tahu."
Kemuning terdiam.
Seno cengar-cengir terus.
Setan Bodong menatap lekat wajah Seno.
"Hmmm.... Begini saja, Bocah Bagus..., kau
ajak sahabatmu itu mencari pusar ku. Kalau sudah
ketemu, kau bantu aku lagi memasang kembali pusar
ku itu. Lalu, ganti aku yang akan membantumu memisahkan dua benda ajaib yang ada
di dalam perutmu.
Bagaimana?" cetus Setan Bodong yang penuh harapan.
Seno menggaruk kepalanya lagi. Dia heran
mendengar cerita Setan Bodong. Kenapa pusar kakek
gendut itu bisa dicopot dan dipasang lagi"
"Ya! Ya! itu gagasan yang bagus, Pak Tua,"
sambut Seno kemudian. "Tapi, di mana aku harus
mencari pusar mu?"
"Aku yakin Banyak Langkir menyembunyikannya di Lembah Rongga Laut ini," ujar
Setan Bodong. "Bila kau menemukan sebuah mata air yang menyemburkan air merah dan terasa amat
dingin, di situlah
pusar ku berada."
"Aku tahu!" seru Seno tiba-tiba.
"Ya! Aku juga tahu!" seru Kemuning pula.
Setan Bodong cuma membelalakkan mata penuh rasa tak percaya....
7 PERLAHAN kelopak mata Dewa Geli terbuka.
Diedarkannya pandangan beberapa saat. Namun, yang
terlihat hanya keremangan malam dan sepi suasana
kaki bukit. Dalam keadaan tetap duduk bersila, bocah berambut tipis itu mencoba mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke bagian-bagian tubuh yang diinginkannya.
Semua berjalan dengan baik. Itu berarti inti kekuatan
tubuhnya telah kembali. Pengaruh pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' Putri Budukan
telah lenyap. Tentu saja Dewa Geli merasa girang. Bukan saja telah lolos dari lubang maut, dia
pun telah lepas dari
siksaan yang membelenggunya. Namun, kening si bocah berkerut rapat. Ada sesuatu
yang tak mengenakkan hatinya.
Tanpa bangkit dari duduk bersilanya, bocah
berpakaian kedodoran itu mengedarkan pandangan lagi. Kerut di keningnya makin
rapat. Apa yang tengah
dia cari tak terlihat olehnya.
"Aku tahu jiwaku yang cuma selembar ini baru
saja diselamatkan orang...," ujar Dewa Geli dengan suara bergetar. "Aku tahu,
bukan saja jiwaku telah terselamatkan inti kekuatan tubuhku pun telah kembali
seperti sediakala. Oleh karenanya, patutlah aku menghaturkan beribu terima kasih
atas budi baik ini. Namun..., kepada siapa aku berkata, dan kepada siapa
pula aku akan membalas budi di kelak hari" Tidakkah
sang pendekar budiman sudi menampakkan diri. Agar
dapat aku yang buruk rupa ini berkenalan. Agar tak
nanti aku yang hina ini terbelenggu rasa penasaran...."
Mendadak, tiupan angin berdesir aneh. Hawa
bukit yang sudah dingin menjadi lebih dingin. Dewa
Geli terkesiap manakala mendengar lantunan syair
yang terasa begitu dekat dengan telinganya....
Di antara sesama manusia....
tak ada istilah menanam budi
Apa yang telah kulakukan tak lain dari
kewajiban di antara sesama umat
Yang Kuasa menciptakan manusia adalah untuk
tolong-menolong dan bantu-membantu
Andai ada seorang manusia sanggup memberi
uluran tangan Tapi tak memberi bantuan
Berdosalah orang itu
Karena, dia telah lupa pada kodratnya
Sebagai makhluk Tuhan yang harus selalu
berbuat baik kepada sesama
Kenapa tenaga mesti disimpan dan tangan
disembunyikan bila ada yang memerlukan"
Ketahuilah, Bocah....
Merasa berhutang budi itu bagus
Agar perbuatan baik dapat kau jadikan suri te-
ladan rimu Tapi, sungguh aku tak mengharap apa-apa daSyukurlah bila aku telah dapat
membantu Tuhan yang tahu
Dia-lah jua tempatku memohon sesuatu....
Melonjak kaget Dewa Geli. Tiba-tiba, dia melihat seorang lelaki setengah baya
tengah duduk bersila
di atas lempengan batu, tak seberapa jauh dari hadapannya. Semula, Dewa Geli tak
melihat siapa-siapa,
tapi kenapa orang itu bisa mendadak berada di tempat
ini" "Menilik makna yang tersirat dalam bait syair
mu, aku tahu kaulah dewa penolongku...," ujar Dewa
Geli, bangkit berdiri seraya membungkuk hormat. "Merasakan makna yang tersirat
dari bait syair mu pula,
aku tahu kau seorang pendekar berbudi luhur. Aku
yang hina-dina ini patut menghaturkan beribu terima
kasih dan berjuta rasa hormat..."
Sosok lelaki berpakaian putih-putih yang tengah duduk di lempengan batu tampak
tersenyum tipis.
Rambutnya yang tergerai panjang berkibar dipermainkan hembusan angin. Dengan
suara lembut berwibawa, dia berkata...
"Wujud mu hanya seorang bocah sepuluh tahunan, tapi kau telah memiliki peradatan
dan sopansantun yang sedemikian tinggi. Mungkinkah dalam tubuhmu tersimpan jiwa
seorang tokoh tua...?"
Dewa Geli membungkuk hormat lagi. Lain dari
biasanya, tak hendak dia tertawa. Karena kalau hal itu
dia lakukan, jelas tak pada tempatnya.
"Terimalah salam hormatku...," sahut bocah
berkulit hitam itu. "Tepatlah apa yang kau katakan,
wahai Pendekar Budiman. Aku yang rendah ini memang telah berusia seratus tahun.
Karena lebih dari
separuh umurku ku habiskan di Istana Abadi, negeri
para siluman, jadilah aku tetap berwujud seorang bocah seperti ini. Aku bernama
Jaka Tunggal. Namun sejak setahun yang lalu, orang-orang biasa menyebutku
sebagai Dewa Geli...."
"Dewa Geli?" ulang lelaki berpakaian putihputih. "Hmmm.... Tampaknya, selama ini
aku tak pernah mendengar gelarmu itu, Bocah. Maafkan aku bila
belum mengenalmu. Sebenarnya, sejak lima tahun
yang talu, aku telah mengasingkan diri. Hanya karena
ada satu urusan penting, terpaksa aku keluar lagi dari
tempat pengasingan ku untuk berbaur dengan sesama
manusia...."
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu bangkit dari
duduknya. Setelah menarik napas panjang, dia lanjutkan lagi ucapannya.
"Kupikir, kau sudah tak lagi membutuhkan
bantuanku. Inti kekuatan tubuhmu telah kembali. Tiba saatnya untukku undurkan
diri...." "Tunggu...," cegah Dewa Geli saat melihat dewa
penolongnya hendak meninggalkan tempat. "Seumur
hidup aku akan terus terbelenggu rasa penasaran
apabila Pendekar Budiman tak menyebutkan nama
ataupun gelar...."
"Hmmm.... Nama dan gelarku kurasa tak begitu
penting. Untuk apa kau tahu nama dan gelarku kalau
aku tak mengharap apa-apa darimu. Apa yang kulakukan hanyalah suatu kebetulan
yang tak pernah lepas dari takdir Sang Penguasa Tunggal...."
Usai berkata, lelaki berpakaian putih-putih
menjejak lempengan batu. Namun sebelum tubuhnya
berkelebat lenyap, terdengar suara berdesing karena
ada sabetan senjata tajam. Lelaki berpakaian putihputih cepat mengelakkan
tubuhnya karena sabetan
senjata tajam itu sengaja ditujukan kepada dirinya.
"Mau pergi ke mana kau, Darma Pasulangit"!"
Terdengar sebuah bentakan. Di tempat itu ternyata telah muncul seorang nenek
berpakaian serba
kuning. Di tangan kanannya tercekal sebilah pedang
yang terbuat dari logam pilihan berwarna kuning. Nenek itulah yang baru saja
menyerang lelaki berpakaian
putih-putih. Dia tak lain dari Dewi Pedang Halilintar!
"Nini Kembangsari...," desis lelaki berpakaian
putih-putih, kaget. "Kedatanganmu sungguh mengejutkan aku. Lebih terkejut lagi
aku melihatmu marahmarah, bahkan menyerangku.... Ada apakah gerangan,
Nini Kembangsari?"
"Jangan bermanis mulut atau bersilat lidah lagi, Darma Pasulangit!" bentak Dewi
Pedang Halilintar
yang punya nama kecil Nini Kembangsari. "Aku tahu
kelicikan dan kebusukan hatimu. Sejak aku dapat
membuka kedokmu tadi siang, aku terus mencarimu.
Kini, jangan kau lari lagi! Dunia akan semakin kacau
apabila tubuhmu masih menyimpan nyawa!"
Di ujung kalimatnya, Dewi Pedang Halilintar
memasang kuda-kuda. Sikap dan tatapan matanya
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan bahwa nenek itu benar-benar bermaksud membunuh lelaki berpakaian
putih-putih yang tak
lain dari Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta alias
Ksatria Seribu Syair
"Tunggu!" seru Dewa Geli seraya meloncat ke
hadapan Dewi Pedang Halilintar. "Selama ini, aku
mengenalmu sebagai seorang pendekar wanita yang
selalu membela kaum lemah. Tapi, kenapa malam ini
aku melihatmu telah berubah sebagai seorang manusia yang haus darah, Dewi Pedang
Halilintar" Lelaki
berpakaian putih-putih itu adalah dewa penolongku.
Kenapa kau hendak membunuhnya?"
Dewi Pedang Halilintar menatap tajam wajah
Dewa Geli. "Kau jangan terkecoh oleh segala ucapan
dan tingkah laku baiknya, Bocah! Bukankah kau ingin
menjatuhkan hukuman terhadap Hantu Pemetik Bunga" Kalau memang begitu maumu,
segera bantu aku
membinasakan lelaki busuk itu!"
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan...,"
sahut Dewa Geli dengan kening berkerut rapat.
"Ketahuilah, Bocah, siang tadi di tepi aliran
sungai yang tak seberapa jauh dari Kota Gambiran,
aku melihat lelaki busuk itu duduk bersila dalam sikap semadi. Dia itu Hantu
Pemetik Bunga! Aku membuka topengnya! Tahulah aku bila dia ternyata Darma
Pasulangit yang sebelumnya bergelar Ksatria Seribu
Syair!" Kaget tiada terkira Dewa Geli mendengar keterangan Dewi Pedang Halilintar.
Setengah tak percaya,
Dewa Geli mengarahkan pandangan ke sosok Ksatria
Seribu Syair. (Untuk mengetahui asal mula timbulnya
rasa benci Dewi Pedang Halilintar terhadap Ksatria Seribu Syair, silakan simak
serial Pendekar Bodoh dalam
episode: "Ratu Perut Bumi").
"Benarkah kau Hantu Pemetik Bunga?" tanya
Dewa Geli dengan tatapan nanar.
"Aku... aku bukan orang yang kau sebutkan
itu...!" tolak Ksatria Seribu Syair, agak tergagap. Pikirannya melayang ke
peristiwa tadi slang. Waktu itu, dirinya yang berada dalam penyamaran sebagai
Ksatria Topeng Putih tengah menerapkan ilmu 'Mencari Jejak
Tunjukkan Tempat' untuk mencari jejak Pendekar Bodoh. Karena rohnya telah lepas
dari badan kasarnya,
dia tak dapat mengelak ketika Dewi Pedang Halilintar
membuka topeng yang dikenakannya. Dan karena topeng itu sama persis dengan
topeng yang dikenakan
Hantu Pemetik Bunga, Dewi Pedang Halilintar menyangkanya benar-benar sebagai
Hantu Pemetik Bunga.
"Jahanam kau!" geram Dewi Pedang Halilintar.
"Kau tak perlu mungkir, Darma Pasulangit! Dosa-dosa
mu telah bertumpuk. Kini tiba saatnya kau mempertanggungjawabkan seluruh dosamu
itu!" "Nini Kembangsari!" bentak Ksatria Seribu Syair
yang tentu saja tak mau dituduh sembarangan. "Aku
bukan Hantu Pemetik Bunga! Aku tahu kau menyimpan dendam kesumat terhadap orang
itu. Tapi, aku benar-benar bukan Hantu Pemetik Bunga!"
"Jahanam! Rupanya, kau hendak mungkir lagi!"
Dewi Pedang Halilintar balas membentak. "Aku bisa
membuktikan bila kau memang Hantu Pemetik Bunga!
Keluarkan benda yang menonjol di balik pakaianmu
itu!" "Apa hubungannya Hantu Pemetik Bunga dengan benda milikku ini?" ujar Ksatria
Seribu Syair, meraba benda bulat gepeng yang berada di balik bajunya.
"Aku tahu benda itu adalah topeng putih yang
biasa kau gunakan untuk melakukan perbuatan jahatmu sebagai Hantu Pemetik
Bunga!" seru Dewi Pedang Halilintar, amat yakin.
Dewa Geli yang sejak lama ingin menghukum
Hantu Pemetik Bunga tampak geleng-geleng kepala.
Walau dalam dirinya masih tersimpan rasa kagum dan
hormat kepada Ksatria Seribu Syair, dia menatap dengan pandangan penuh selidik.
"Hi hi hi...," kali ini Dewa Geli tak dapat menahan tawanya. "Dunia ini
tampaknya sudah edan! Hi hi
hi...! Banyak orang baik tiba-tiba berubah jadi jahat,
itu karena dunia memang sudah edan! Hi hi hi...! Agar
semuanya lebih jelas, turuti saja apa yang dikatakan
Dewi Pedang Halilintar itu, Pendekar Budiman...!"
Ksatria Seribu Syair yang tak mau penyamarannya sebagai Ksatria Topeng Putih
diketahui orang
tentu saja menolak. Dia cekal erat benda bulat gepeng
yang berada di balik pakaiannya.
"Hmmm.... Kau lihat sendiri, Bocah..," ujar Dewi Pedang Halilintar kepada Dewa
Geli. "Dia tak mau
mengeluarkan topeng itu karena takut kebusukannya
akan terbongkar! Tapi, percayalah kepadaku, Bocah,
dia itu memang Hantu Pemetik Bunga!"
"Hi hi hi...!' Dewa Geli tertawa lagi. "Kalau semuanya belum jelas, mana aku
berani turun tangan"
Agar aku mendapat keyakinan, hi hi hi..., begini saja..."
Sambil tertawa mengikik, tiba-tiba bocah berpakaian kedodoran itu menghadangkan
telapak tangannya ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam yang
bersifat mengisap tiba-tiba melesat ke arah Ksatria Seribu Syair!
Berseru kaget Ksatria Seribu Syair. Dia sama
sekali tak menyangka bila Dewa Geli akan berbuat seperti itu. Hingga, tanpa
dapat dicegah lagi, tiba-tiba
benda bulat gepeng yang berada di balik pakaiannya
tertarik keluar!
Prang...! Benda yang ternyata berupa topeng baja putih
itu jatuh ke tanah. Ksatria Seribu Syair mendengus
gusar. Dewi Pedang Halilintar tersenyum sinis karena
merasa dapat membuktikan bila Ksatria Seribu Syair
memang Hantu Pemetik Bunga. Sementara, Dewa Geli
tampak membelalakkan mata.
Lewat pantulan cahaya rembulan, Dewa Geli
dapat mengenali topeng yang jatuh ke tanah itu sebagai topeng yang biasa
dikenakan oleh Hantu Pemetik
Bunga. "Tak kusangka.... Tak kusangka...," desis bocah
berpakaian kedodoran itu. "Dunia memang sudah
edan! Manusianya pun turut edan!"
Dewa Geli menatap tajam wajah Ksatria Seribu
Syair, lalu dia tertawa mengikik. "Hi hi hi.... Sudah jelas bila kau Hantu
Pemetik Bunga! Walau kau baru saja menyelamatkan nyawaku, hukuman itu harus
tetap kujatuhkan! Untuk mengurangi dosa-dosamu, paling
tidak aku harus mematahkan sebelah tanganmu!"
Usai berkata, Dewa Geli langsung menerjang
Ksatria Seribu Syair. Dewi Pedang Halilintar turut menerjang pula dengan sabetan
dan tusukan pedang!
"Tunggu!" teriak Ksatria Seribu Syair. "Dengar
dulu penjelasanku!"
"Semua sudah jelas! Tak perlu kau bermanis
mulut lagi! Lihat serangan!" sahut Dewi Pedang Halilintar. Pedangnya berkelebat
cepat, mengincar jalan kematian di tubuh Ksatria Seribu Syair.
"Hi hi hi.... Sebenarnya, aku ingin memotong
habis 'milik'-mu itu,?" ujar Dewa Geli. "Tapi karena kau
baru berbuat baik kepadaku, ku potong saja tangan
kirimu! Hi hi hi...!"
Tiba-tiba tubuh bocah berambut tipis itu berkelebat cepat sekali. Dengan ilmu
'Menangkap Naga Mematahkan Tulang', dia benar-benar hendak membuat
tanggal tangan kiri Ksatria Seribu Syair!
"Terpaksa aku melawan!" seru Ksatria Seribu
Syair seraya berkelit dan membalas serangan kedua
lawannya. "Hiahhh...!"
Trang...! Luar biasa! Sambil menghindari cengkeraman
sepuluh jari tangan Dewa Geli, Ksatria Seribu Syair
menjentik bilah pedang Dewi Pedang Halilintar. Gerakan itu dilakukan cepat
sekali. Dan karena jari-jari
tangan kanan Ksatria Seribu Syair dialiri kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi,
bilah pedang Dewi Pedang
Halilintar langsung lepas dari cekalan, lalu terlontar
jauh dan menimbulkan suara berdentang keras saat
jatuh ke tanah.
"Haram jadah!" maki Dewi Pedang Halilintar
dengan darah menggelegak naik sampai ke ubunubun.
Tanpa pikir panjang lagi, bergegas nenek yang
tubuhnya masih tampak sintal itu mengeluarkan seutas tali putih dari balik
bajunya. Begitu dialiri tenaga
dalam, tali sepanjang dua depa lebih itu langsung berubah merah membara dan
diselubungi api biru yang
panas menyala-nyala!
"Makan Cambuk Api Neraka ini!"
Sambil berseru demikian, Dewi Pedang Halilintar menyabetkan cambuk pusaka di
tangannya. Timbul ledakan keras. Suhu udara yang semula dingin
menusuk tulang berubah panas menyengat!
Terkejut Ksatria Seribu Syair mengetahui kehebatan cambuk pusaka di tangan Dewi
Pedang Halilintar. Sementara, sepuluh jari tangan Dewa Geli harus
berkelebat dan mengeluarkan suara menderu ganas.
Tak mau mendapat celaka, terpaksa Ksatria Seribu Syair mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaiannya. Hingga, pertempuran seru pun tak dapat dihindari lagi....
*** 8 KAU tunggu saja di sini, Kemuning...," pinta
Seno. Kemuning yang hendak mengikuti langkah Seno
tampak cemberut.
"Aku ikut!" tolaknya.
"Jangan seperti anak kecil.... Kau ingat makhluk-makhluk ganas yang mengejar
kita tadi" Aku tak
ingin melihat kau celaka...."
"Aku juga tak ingin melihat kau celaka. Eh...,"
Kemuning menekap mulutnya karena kelepasan bicara.
Sebenarnya, murid Dewi Pedang Halilintar itu
tak mau memperlihatkan isi hatinya kepada Pendekar
Bodoh. Tapi melihat Pendekar Bodoh yang hendak menempuh perjalanan berbahaya,
tercetus juga rasa
khawatirnya terhadap pemuda tampan itu.
"Hmmm...," Seno tersenyum. "Kau tak perlu
mengkhawatirkan aku. Kau tetaplah di sini. Jaga Kakek Setan Bodong. Aku akan
segera kembali...."
Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Seno berkelebat
meninggalkan halaman rumah batu. Dewi Pedang
Kuning menatap kepergian si pemuda dengan hati
berdebar. Haruskah dia menyusul"
"Tak perlu...," ujar Kemuning dalam hati, menjawab pertanyaan yang berkecamuk di
benaknya. "Aku
percaya pada ilmu kesaktian Seno. Sebaiknya, aku
kembali...."
Kemuning berusaha menghilangkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Seno.
Dengan langkah berat, dia lalu berjalan masuk kembali ke rumah batu.
Ditemuinya Setan Bodong yang masih terbaring lemah
di cekungan tanah.
Sementara itu, Seno berlari cepat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama
'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Seno tampak tergesagesa sekali. Dia memang tak
mau kehilangan waktu.
Pusar Setan Bodong harus segera didapatkannya. Agar
dia bersama Kemuning dapat secepatnya pergi meninggalkan Lembah Rongga Laut.
Sesampai di sebuah aliran sungai, Seno menghentikan kelebatan tubuhnya. Dengan
naik ke bongkahan batu besar, dia mengedarkan pandangan. Seno
berusaha menemukan kembali mata air yang pernah
dijumpainya beberapa saat tadi bersama Kemuning.
Tak lama kemudian, bola mata Seno berbinar.
Raut wajahnya langsung berubah cerah.
"Itu dia!" seru Pendekar Bodoh dalam hati. Di
kejauhan, dia melihat sumber air yang memancarkan
air berwarna merah seperti darah. "Aku harus segera
ke sana! Pusar Kakek Setan Bodong pasti disembunyikan di tempat itu!"
Dengan menyimpan rasa girang di hati, Seno
meloncat turun dari bongkah batu. Namun sebelumnya murid Dewa Dungu itu
mengerahkan lagi ilmu
'Lesatan Angin Meniup Dingin' sampai ke puncak.
Hingga, kelebatan tubuh pemuda berpakaian biru-biru
itu amat sulit diikuti pandangan mata. Tubuh si pemuda seakan telah sulit
diikuti pandangan mata.
Tubuh si pemuda seakan telah berubah menjadi segumpal asap yang terbang tertiup
angin kencang! "Ini dia! Ini dia!" seru Seno seraya menghentikan kelebatan tubuhnya.
Jantung Pendekar Bodoh berdegup lebih kencang. Rasa senang dan khawatir
bercampur aduk jadi
satu. Sesaat, pikirannya jadi linglung. Yang dapat dila-
kukannya hanyalah cengar-cengir sambil menatap mata air yang memancarkan air
merah seperti darah.
Plok! Plok! Pendekar Bodoh menepak kepalanya sendiri
dua kali. "Bodoh benar aku!" rutuknya kepada diri
sendiri. "Sudah tahu diburu waktu, kenapa malah
bengong saja"!"
Pemuda remaja itu menarik napas panjang untuk menenangkan rasa hatinya yang tak
karuan. Lalu, dia berjongkok mengamati mata air di hadapannya.
"Mungkinkah pusar Kakek Setan Bodong ditanam di lubang ini?" tanya Seno dalam
hati. "Ah! Lebih
baik langsung kubuktikan saja!"
Sekali lagi, Seno menarik napas panjang. Dengan hati tetap berdebar-debar, dia
masukkan tangan
kanannya ke lubang mata air.
Namun.... "Uhhh...!"
Murid Dewa Dungu itu melonjak kaget. Dia tak
dapat menahan rasa dingin yang keluar dari lubang
mata air. Bergegas dia tarik tangan kanannya kembali
"Bagaimana ini" Bagaimana Ini?" seru Pendekar
Bodoh, mulai panik.
Mendadak, pemuda bertubuh tinggi tetap itu
menepak kepalanya lagi. "Uh! Aku memang bodoh! Aku
memang dungu! Kenapa tak ku lindungi tanganku
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tenaga dalam?"
Pergelangan tangan Seno tampak bergetar manakala teraliri kekuatan tenaga dalam.
Tak mau kehilangan waktu, kembali Seno memasukkan tangan kanannya ke lubang mata
air. Rasa dingin yang keluar dari lubang mata air
itu tetap menyengatnya. Tapi, Seno sudah bertekad
bulat. Dia tak mau menarik lagi tangan kanannya.
Hingga di lain kejap, pergelangan tangan kanan pemuda itu amblas masuk ke lubang
mata air hingga mencapai ketiak.
Sekuat tenaga Seno menahan rasa dingin yang
menyiksanya. Rasa dingin itu membuatnya menggigil
hebat. Jajaran giginya saling bertautan dan memperdengarkan suara gemeletukan.
Bahkan, otaknya pun
terasa beku. Akibatnya, tak dapat lagi berpikir jernih.
Kewaspadaannya jadi berkurang. Padahal, dia telah
terkepung oleh puluhan makhluk mengerikan!
Puluhan makhluk yang nyaris hanya berupa
kepala itu bergerak semakin dekat ke arah Seno. Dengan menotolkan tangan atau
kaki mereka yang amat
kecil dan pendek, mereka terus bergerak mengancam
jiwa sang pendekar!
Sementara, Pendekar Bodoh yang terus didera
rasa sakit akibat kedinginan tiba-tiba berseru girang.
Jari-jari tangan kanannya yang berada di dalam lubang mata air menyentuh suatu
benda kenyal yang
menjadi sumber rasa dingin.
"Aku yakin! Ya! Aku yakin sekali! Inilah pusar
Kakek Setan Bodong!" seru Seno seraya mencabut tangan kanannya dari dalam lubang
mata air. "Hiaaah...!"
Swosss...! Melonjak kaget Pendekar Bodoh. Jari-jari tangan kanannya yang telah tercabut
tampak mencekal
gumpalan daging sebesar buah terong tua. Anehnya,
gumpalan daging berwarna merah itu dapat bergerakgerak seperti punya nyawa!
Karena yakin benda yang dipegangnya adalah
pusar Setan Bodong, Pendekar Bodoh tak mau melepaskannya walau dia merasa jijik
dan ngeri bukan
main. Mata Pendekar Bodoh tampak berbinar saat rasa
dingin yang menjalar dari gumpalan daging di tangannya lenyap perlahan-lahan.
Sementara, mata air tempat tersimpannya gumpalan daging langsung berhenti
mengucurkan air merah!
Tapi..., Seno tak dapat menikmati kegembiraannya karena tiba-tiba di belakangnya
berkelebat sebuah bayangan bulat. Dan, tepat menerpa punggung
pemuda itu! Bukkk...! "Hkkk...!"
Karena benturan benda bulat yang tak lain
makhluk gundul itu mempunyai tenaga yang amat
kuat, tubuh Seno langsung terlontar jauh. Setelah bergulingan beberapa lama,
pemuda itu terbaring telentang. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun,
gumpalan daging merah di tangan pemuda itu tetap
tercekal di tangan kanan.
Pendekar Bodoh jelas menderita luka dalam.
Tapi, untunglah jiwanya tak sampai terenggut. Tenaga
dalam pemuda itu sudah sedemikian tingginya sehingga dapat melindungi tubuhnya
agar tak hancur berantakan.
"Celaka! Celaka!" seru Pendekar Bodoh. Matanya nanar menatap puluhan makhluk
gundul yang berloncatan ke arahnya.
Tanpa mempedulikan rasa sakitnya, bergegas
murid Dewa Dungu itu meloncat bangkit. Gumpalan
daging merah yang masih bergerak-gerak dia pindahkan ke tangan kiri. Sementara,
tangan kanannya langsung mencabut Tongkat Dewa Badai.
Wesss...! Brummm...! Kibasan senjata mustika di tangan Pendekar
Bodoh menimbulkan tiupan angin kencang. Karena ki-
basannya dilakukan sambil memutar tubuh, semua
makhluk gundul langsung berpentalan ke berbagai
penjuru! Tubuh mereka melayang seringan kapas. Bongkah-bongkah batu yang tertimpa kontan
hancur berkeping-keping. Dan, tentu saja menimbulkan ledakanledakan keras yang
amat menyakitkan gendang telinga.
Hebatnya, semua makhluk bertangan dan berkaki kecil pendek itu tak cedera
sedikit pun! Mereka
langsung bangkit diiringi geram kemarahan aneh mirip
lolongan serigala!
Namun..., hanya kekecewaan yang mereka dapatkan karena sosok Pendekar Bodoh
telah lenyap dari
pandangan.... *** "Alirkan tenaga dalam dengan lembut, lalu
tempelkan di tengah perutku. Hei! Hei! Jangan terbalik! Yang harus ditempelkan
adalah bagian ujungnya
yang besar itu!"
Setengah berteriak Setan Bodong memberi petunjuk pada Pendekar Bodoh yang telah
kembali ke rumah batu. Sementara, Kemuning tak berani menatap gumpalan daging di tangan
Pendekar Bodoh karena merasa jijik dan ngeri.
"Nah! Nah! Begitu! Bergegaslah!" seru Setan
Bodong, tak sabaran.
Pendekar Bodoh yang sebenarnya juga menyimpan rasa jijik dan ngeri, tak mau
membuang waktu. Tergesa-gesa sekali murid Dewa Dungu itu mengikuti petunjuk yang
diberikan Setan Bodong.
Tatkala pusar Setan Bodong yang berupa gum-
palan daging merah telah ditempelkan ke tempatnya,
Seno dan Kemuning tampak melonjak kaget. Kulit tubuh Setan Bodong yang semula
kuning pucat berubah
merah matang seperti warna buah tomat masak. Warna merah itu menjalar dari
gumpalan daging yang telah melekat di tengah perut si kakek.
Sesaat kemudian, dari kepala Setan Bodong
mengepul asap tipis yang juga berwarna merah. Semakin lama semakin tebal, dan
menyebarkan bau sangit
seperti bau bulu burung yang terbakar.
Saat asap merah itu telah berhenti mengepul,
berangsur-angsur warna kulit Setan Bodong berubah
kuning lagi seperti kulit manusia pada umumnya.
Anehnya, warna gumpalan pusar Setan Bodong berubah menjadi putih seperti kapur!
"Ilmu kesaktianmu sudah kembali, Pak Tua?"
tanya Seno, kebodoh-bodohan.
Setan Bodong tak menjawab.
Kakek berkepala gundul licin itu memejamkan
mata beberapa saat. Lalu, perlahan-lahan dia bangkit
dari tidurnya. Begitu kelopak matanya terbuka, dia
langsung tertawa bergelak....
"Ha ha ha...! Telah sirna siksa ini! Telah pergi
derita ini! ilmu kesaktianku kembali lagi! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa bergelak, Setan Bodong
memungut dua kepal batu yang tergeletak di tanah.
Lalu.... Pruk...! Pruk...! Setan Bodong menghantamkan dua kepal batu
di tangannya ke kepala. Kedua batu yang amat keras
itu langsung hancur menjadi serbuk halus!
"Ha ha ha...! Kekuatanku telah kembali! Murid
murtad itu harus dihukum mati! Ha ha ha...!"
Melihat Setan Bodong terus tertawa senang,
Pendekar Bodoh cuma nyengir kuda. Sementara, Kemuning menatap dengan kening
berkerut rapat. Gadis
cantik itu tak suka melihat sikap Setan Bodong yang
mirip orang gila.
"Pak Tua! Pak Tua!" tegur Seno kemudian. "Aku
dan Kemuning harus segera pergi dari tempat ini. Kau
harus menepati janjimu tadi. Keluarkan batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang ada di dalam perutku!?"
Mendengar desakan Pendekar Bodoh itu, Setan
Bodong kontan menghentikan tawanya. Matanya yang
tajam menatap lekat wajah si pemuda. Sementara,
Pendekar Bodoh sendiri tampak menahan tawa karena
melihat gumpalan pusar Setan Bodong bergerak-gerak
seperti ekor binatang.
"Tampaknya, kau terluka dalam, Bocah Bagus..,," ujar Setan Bodong, tak
mempedulikan gumpalan pusarnya yang terus bergerak-gerak.
"Ya," sahut Seno. "Tapi, hanya luka ringan.
Nanti juga akan sembuh dengan sendirinya."
"Jangan sembrono!" ujar Setan Bodong lagi.
"Ah! Sudahlah, Pak Tua. Tak usah kau perhatikan luka dalamku. Yang penting kau
harus segera mengeluarkan batu mustika yang ada di dalam perutku!" desak Seno penuh
kesungguhan. "Ya! Ya! Aku tahu!" sambut Setan Bodong.
"Membungkuklah...."
"Membungkuk" Untuk apa?"
"Turuti saja perintahku...."
Seno menatap sebentar wajah Setan Bodong.
Walau masih ragu, akhirnya dia turuti juga perintah
kakek berperut gendut itu.
Dan..., begitu Pendekar Bodoh membungkuk-
kan badan, Setan Bodong mengangkat telapak tangan
kanannya yang telah terkepal. Dia hendak menghantam tengkuk Pendekar Bodoh!
"Tunggu!"
Zing...! Dengan mata terbelalak lebar, Kemuning
menghunus bilah pedang yang terselip di punggungnya. Lalu, pedang yang terbuat
dari logam pilihan berwarna kuning itu dia acungkan ke dada Setan Bodong!
"Jika kau hendak meneruskan niatmu, jantungmu akan ku congkel keluar!" ancam
Kemuning. "Eh! Eh! Ada apa ini"!" seru Setan Bodong, kaget.
Pendekar Bodoh yang mendengar seruan Kemuning langsung menegakkan tubuhnya
kembali. Melihat gadis itu mengancam Setan Bodong dengan ujung
pedang, Seno cuma nyengir kuda dengan tatapan tak
mengerti. "Kau kenapa, Kemuning?" tanya pemuda lugu
itu. "Hati-hati, Seno!" sahut Kemuning. "Dia hendak
menghantam tengkukmu!"
Seno nyengir kuda lagi. Setengah tak percaya,
dia berkata, "Benar itu, Pak Tua?"
"Ya," jawab Setan Bodong, singkat.
"Benar kau hendak menghantam ku?"
"Ya! Apa kau tuli?"
"Astaga! Apa kau hendak ingkar janji, Pak
Tua"!"
"Tidak! Hanya ada satu cara untuk mengeluarkan batu mustika di dalam perutmu
itu. Aku harus memukul tengkukmu dengan 'Tenaga Inti Es Biru'," jelas Setan Bodong.
"Benar begitu?" tanya Pendekar Bodoh untuk
menegaskan. "Apa untungnya aku membunuhmu, Tolol! Kalau kau mati, batu mustika yang ada di
dalam perutmu itu akan lenyap begitu saja tanpa bekas! Kalau sudah begitu,
bagaimana aku akan keluar dari tempat
terkutuk ini"!"
Mendengar penuturan Setan Bodong yang tampak sungguh-sungguh, Kemuning
menurunkan ujung
pedangnya yang menempel di dada kiri si kakak. Namun, Kemuning tetap waspada.
Siapa tahu Setan Bodong cuma bersilat lidah.
"Ya! Ya! Aku percaya padamu, Pak Tua..." ujar
Pendekar Bodoh kemudian sambil menggaruk-garuk
pantatnya yang gatal.
"Membungkuklah kembali...," perintah Setan
Bodong dengan suara berat berwibawa.
Sambil tetap menggaruk pantatnya yang masih
gatal, Pendekar Bodoh menuruti perintah kakek berperut gendut itu. Dan... sesaat
kemudian, Setan Bodong
benar-benar menghantam tengkuk Pendekar Bodoh!
Buk...! "Hukkk...!"
Kemuning berseru kaget melihat Seno jatuh
tersungkur. "Apa yang kau lakukan, Pak Tua"!" bentak gadis itu, menyimpan rasa khawatir.
Ujung pedangnya
terangkat, dan benar-benar hendak mencongkel keluar
jantung Setan Bodong.
Namun, Setan Bodong tak mau ambil peduli.
Matanya tak berkedip menatap tubuh Pendekar Bodoh
yang masih terbaring tertelungkup di tanah.
Perlahan tubuh murid Dewa Dungu itu mulai
dilapisi bunga-bunga es berwarna biru. Kekhawatiran
di hati Kemuning semakin bertambah karena tubuh
Pendekar Bodoh sama sekali tak menampakkan tandatanda kehidupan!
"Kau membunuhnya! Kau membunuhnya!" seru
Kemuning, Dengan tatapan nyalang, murid Dewi Pedang
Halilintar itu menusukkan ujung pedangnya sekuat
tenaga! Tapi..., dada Setan Bodong amat keras bagai
balok baja. Bilah pedang Kemuning sampai memercikkan bunga api dan melengkung ke
atas! Tak setetes pun darah keluar dari dada Setan
Bodong. Agaknya, si kakek punya ilmu kebal yang
membuat tubuhnya tak mempan senjata tajam.
"Jangan turuti hawa marah mu! Lihat itu!" seru
Setan Bodong kemudian.
Lewat ekor matanya, Kemuning melihat tubuh
Seno yang masih tergeletak di atas tanah. Namun, kini
tubuh pemuda itu tampak bergerak-gerak. Kedua pergelangan tangannya menekuk
dengan jari-jari terkepal.
Bunga-bunga es biru langsung rontok.
"Uh...!"
Pendekar Bodoh mengeluh pendek. Perlahan
dia bangkit. Dan..., melototlah bola mata Kemuning. Di
atas tanah tempat terbaringnya tubuh Seno tadi, telah
tergeletak batu berbentuk limas segitiga berwarna biru.
"Itukah batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...?" desis Kemuning.
Setan Bodong tak menjawab.
"Ya, Tuhan...," sebut Seno seraya memungut
sekepal batu yang tergeletak di dekat tubuhnya.
Bergegas pemuda itu meloncat ke arah Kemuning. Tanpa sadar dia memeluk dan
Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencium pipi si gadis.
"Kita akan segera kembali ke dunia bebas, Kemuning!" seru Seno. "Inilah batu
mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air'!"
Kemuning yang masih merasa jengah karena
ciuman Seno, cuma diam tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Terima kasih, Pak Tua! Terima kasih!" seru
Seno lag! kepada Setan Bodong. "Tapi..., bagaimana
batu ini bisa keluar dari perutku?"
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya," sahut
Setan Bodong. Kemuning menatap lekat wajah Seno yang
tampak kebodoh-bodohan. Melihat pemuda itu terus
cengar-cengir, Kemuning bertanya, "Kau tak apa-apa,
Seno?" "Seperti yang kau lihat. Aku tak apa-apa. Pukulan Kakek Setan Bodong tak
membuatku celaka," jawab Pendekar Bodoh.
"Ambil obor-obor itu!" perintah Setan Bodong
tiba-tiba, keras membentak.
"Ada apa?" tanya Seno, heran.
"Makhluk-makhluk itu mengepung kita."
"Astaga!"
Seno dan Kemuning melonjak kaget bersamasama. Mereka yang sudah percaya benar
pada Setan Bodong bergegas mengambil obor-obor yang terpasang
di dinding rumah batu, walau mereka belum tahu kegunaannya.
"Yang memasang obor-obor itu adalah Raja Penyasar Sukma...," beri tahu Setan
Bodong. "Mungkin
tak pernah terpikir oleh murid murtad itu bila oborobornya itu akan sangat
berguna sekarang ini."
Usai berkata, Setan Bodong turut menyambar
salah satu obor di dinding seraya berkelebat keluar.
Seno dan Kemuning saling pandang sejenak. Tapi, mereka segera mengekor langkah
Setan Bodong. Di luar rumah batu ternyata telah berkumpul
puluhan makhluk bertangan dan berkaki kecil pendek.
Makhluk-makhluk buruk rupa itu tampak menyeringai
dingin penuh nafsu membunuh!
Namun sebelum mereka menyerang....
"Bakar mereka!" perintah Setan Bodong.
Mendadak, kakek berperut gendut itu meniup
api obor di tangannya.
Wusss...! Karena tiupan Setan Bodong dialiri tenaga dalam, lidah-lidah api yang berasal
dari obor langsung
menyembur. Puluhan makhluk berkepala gundul memekik parau. Mereka lari serabutan
penuh rasa takut!
Seno dan Kemuning langsung meniru tindakan
Setan Bodong. Tak ayal lagi, lidah-lidah api menyerbu.
Beberapa makhluk gundul yang kurang cepat menghindar langsung terbakar!
Agaknya, tubuh mereka tak kebal terhadap api.
Mereka mati dengan tubuh kering kerontang. Sementara, yang lainnya terus lari
tunggang-langgang mencari selamat.
"Kita pergi sekarang juga!" ujar Setan Bodong
kemudian. "Cium batu mustika di tanganmu! Tapi,
jangan asal cium! Gunakan perasaan seperti kau sedang mencium kekasihmu!"
Setelah nyengir kuda sejenak, Seno mendekatkan batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' ke bibirnya.
"Pegang lengannya, Anak Manis...," perintah
Satan Bodong pada Kemuning.
Tanpa pikir panjang lagi, Kemuning langsung
memegang lengan kiri Seno. Sementara, Setan Bodong
sendiri menempelkan telapak tangan kanannya ke
tengkuk si pemuda.
"Bergegaslah kau cium batu itu!" seru Setan
Bodong. Pendekar Bodoh yang merasa geli karena tengkuknya dipegang Setan Bodong tampak
nyengir kuda lagi. Lalu, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' benar-benar
diciumnya. Saat mencium, Pendekar Bodoh membayangkan bibir Kemuning yang merah
merekah penuh daya pesona....
Dan..., perlahan-lahan sosok Seno, Kemuning,
dan Setan Bodong mulai mengabur, lalu lenyap dari
pandangan.... *** "Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh.
Tentu saja Seno terkejut bukan alang kepalang.
Murid Dewa Dungu itu telah berada di sebuah kaki
bukit. Seno mengucak-ucak mata karena merasa pandangannya tak jelas. Setelah
otaknya kembali jernih,
tahulah dia bila dirinya berada di keremangan malam.
Lalu, Seno melihat sosok Kemuning dan Setan
Bodong yang tengah berdiri di kanan kirinya. Kontan
pemuda lugu itu melonjak girang.
"Kemuning! Kemuning! Kita telah berada di dunia bebas!" seru Pendekar Bodoh.
"Kita telah berada di
dunia bebas, Pak Tua!" beri tahunya kepada Setan Bodong.
"Aku sudah tahu!" sahut Setan Bodong. "Jangan melonjak-lonjak seperti anak
kecil! Lihat itu!"
Pendekar Bodoh mengarahkan pandangan ke
tempat yang ditunjukkan Setan Bodong. Lewat siraman cahaya rembulan, dia melihat
tiga sosok bayangan yang tengah bertempur seru. Seorang lelaki berpakaian putih-
putih tengah dikeroyok oleh seorang bocah
sepuluh tahunan yang dibantu seorang nenek berpakaian serba kuning.
"Dewi Pedang Halilintar...!" desis Seno, menyebut gelar nenek berpakaian serba
kuning. "Eyang...!" teriak Kemuning, keras sekali.
Dewi Pedang Halilintar yang tengah menyerang
Ksatria Seribu Syair dengan Cambuk Api Neraka tampak terkesiap. Tanpa sadar, dia
menghentikan serangannya. Melihat sosok Kemuning yang sejak beberapa
hari yang lalu hilang diculik orang, nenek itu langsung
meloncat keluar dari ajang pertempuran.
Agaknya, rasa cinta dan kasih sayang di hati
Dewi Pedang Halilintar mampu mengalahkan rasa bencinya terhadap Ksatria Seribu
Syair. Lidah-lidah api
yang menyelubungi Cambuk Api Neraka langsung lenyap ketika Dewi Pedang
Halilintar menarik lagi aliran
tenaga dalamnya. Dan..., meloncatlah nenek itu penuh
rasa girang. "Kemuning...!" seru Dewi Pedang Halilintar seraya memeluk erat Kemuning
muridnya. Sementara, Ksatria Seribu Syair yang melihat
kehadiran Pendekar Bodoh langsung merasakan jantungnya berdegup amat kencang.
Penyesalan dan rasa
bersalah tiba-tiba menghantui benaknya.
Tanpa pikir panjang lagi, bekas putra mahkota
yang tergulingkan itu berkelebat menyambar topeng
baja putihnya yang masih tergeletak di tanah. Dia lalu
mengempos tenaga untuk dapat secepatnya meninggalkan tempat....
Tahu Ksatria Seribu Syair mengambil langkah
seribu, Dewa Geli tak mau mengejar. Dia cuma berdiri
mematung, menatap sosok bayangan Ksatria Seribu
Syair yang segera lenyap tertelan kegelapan malam.
"Biar saja orang itu pergi...," kata hati Dewa Ge-
li. "Melihat sepak terjangnya yang sedemikian hebat,
aku jadi tak yakin kalau dia memang Hantu Pemetik
Bunga...."
"Astaga! Jahanam itu lari!" seru Dewi Pedang
Halilintar, melepas pelukannya pada Kemuning.
"Siapa dia, Eyang?" tanya Kemuning.
"Dia Ksatria Seribu Syair," jawab Dewi Pedang
"Apa" Ksatria Seribu Syair?" seru Pendekar Bodoh.
Tentu saja pemuda lugu itu amat terkejut karena dia tahu kalau Ksatria Seribu
Syair adalah ayah
kandungnya! "Benar dia Ksatria Seribu Syair?" ulang Pendekar Bodoh.
"Ya," jawab Dewi Pedang Halilintar.
"Keparat! Walau dia ayahku, aku harus menuntut pertanggungjawabannya! Dia
berdosa besar pada
mendiang ibuku!"
Usai berkata, Pendekar Bodoh berkelebat cepat.
Dengan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', dia berusaha menyusul kelebatan tubuh
Ksatria Seribu Syair!
Sementara, semua yang masih tinggal di kaki
bukit itu cuma diam membisu. Mereka tak tahu apa
yang ada di hati sang pendekar....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Aneh Naga Langit 14 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Tugas Rahasia 1