Pencarian

Ksatria Seribu Syair 1

Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 MANAKALA guliran mentari hampir mencapai
bentangan kaki langit barat, senja hari mempersiapkan
diri untuk segera rebah memeluk bumi. Kelopak bunga
mekar tersenyum dalam kesunyian. Kupu-kupu tak lagi bercanda menggoda. Hanya
desau sang bayu yang
masih setia menemani.
"Puncak Kupu-kupu kan kudatangi.
Menuruti hasrat hati,
ku langkahkan kaki ini.
Namun..., bukan dewi pujaan hati
yang kan kutemui.
Hi hi hi... Hanya untuk seorang Putri Budukan
aku berjalan mengusik sepi.
Putri Budukan, di manakah kau sembunyikan diri.
Dewa Geli telah datang
di hari janji. Hihihi..."
Lamat-lamat terdengar senandung sebuah lagu
yang diiringi suara tawa mengikik. Senandung lagu
yang tak karuan iramanya itu amat pelan. Namun
anehnya, bisa menebar rata di seantero bukit. Bahkan,
sampai terdengar di Puncak Kupu-kupu yang tinggi
menjulang. "Puncak Kupu-kupu kan kudatangi.
Menuruti hasrat hati.
Tuk menemui Putri Budukan
pengundang janji.
Tapi..., kenapa tatapan Dewa Geli
hanya temui sepi.
Hi hi hi.... Kepada langit dan bumi
Dewa Geli berjanji.
Bila benar Putri Budukan
ingkar janji, jangan menyesal
jangan sedih. Dewa Geli tetap akan menemui
Dengan membawa keranda mati.
Hi hi hi..."
Alunan lagu berirama datar itu terdengar lagi.
Tapi, kali ini dari Puncak Kupu-kupu muncul alunan
lagu lain yang menyahut. Menilik dari warna suara si
pelantun lagu yang berada di Puncak Kupu-kupu, dapat dipastikan bila di seorang
wanita. "Tak perlu risau,
tak perlu pula merasa ragu.
Datang ke Puncak Kupu-kupu,
Dewa Geli akan segera bertemu.
Soal nanti dijamu
dengan racun ataupun madu,
sikap Dewa Geli
juga yang akan jadi penentu....
Telah lama Putri Budukan
bersedih pilu. Bila nanti Dewa Geli
bukan cuma memberi harapan semu,
alangkah bahagia
rasa hati di kalbu...."
Begitu lantunan lagu yang berasal dari Puncak
Kupu-kupu terhenti, langsung terdengar suara tawa
mengikik panjang. Tepatnya berasal dari punggung
bukit sebelah utara. Di antara jajaran pohon yang dirambati sulur-sulur berbunga
aneka warna, terlihat
seorang bocah lelaki sepuluh tahunan tengah berjalan
dan melompat-lompat. Raut wajah si bocah tampak jenaka dan amat menggemaskan.
Tubuhnya yang tidak
seberapa besar terbungkus pakaian putih kembangkembang. Penampilan si bocah jadi
lebih menggemaskan lagi karena pakaian yang dikenakannya terlihat kedodoran.
Kedua telapak tangannya tak terlihat
karena tertutup oleh kain lengan bajunya yang kepanjangan.
Dia Dewa Geli! "Hi hi hi..." bocah lelaki berambut tipis itu terus
tertawa mengikik panjang. Lalu dengan suaranya yang
cempreng, sekali lagi dia lantunkan sebuah lagu.
"Wahai Putri Budukan
yang sedang menanti
kehadiran Dewa Geli....
Apa pun yang akan
kau berikan kepadaku nanti,
Patutlah orang bersikap hati-hati.
Siapa tak tahu Putri Budukan
pemuja sifat iri dengki"
Dewa Geli datang
bukan dengan sembunyi-sembunyi,
Tentu saja Dewa Geli mengharap
sambutan sepenuh hati...."
Usai melantunkan lagu itu, si bocah gelenggeleng kepala sambil mengerjap-
ngerjapkan matanya.
Kakinya terus melangkah naik menuju Puncak Kupukupu. Sementara, dari puncak
bukit yang hijau subur
terdengar alunan lagu lain yang menyahuti.
"Cepat-cepatlah datang
Dewa Geli yang kutunggu.
Putri Budukan sudah tak sabar
untuk segera melepaskan sedih pilu.
Dewa Geli pastilah membawa
obat penawar kedukaan itu...."
Dewa Geli tertawa mengikik. Setelah mengarahkan pandangan ke puncak bukit,
ujung-ujung jari
kakinya menotol tanah. Cepat sekali tubuh bocah yang
terbungkus pakaian kedodoran itu berkelebat. Di lain
kejap, dia sudah berada di Puncak Kupu-kupu yang
sunyi. "Ini aku sudah datang penuhi undangan. Segeralah tampakkan batang hidungmu,
Putri Budukan....
Hi hi hi..."
Si bocah berteriak lantang diiringi suara tawa
yang panjang mengikik. Tapi, teriakan itu segera tertelan desau angin. Tak ada
sosok manusia lain yang menampakkan diri.
Sambil menggerutu panjang pendek, Dewa Geli
mengedarkan pandangan. Dia rundukkan kepalanya
untuk dapat melihat tempat-tempat yang tersembunyi
di antara semak belukar. Sebentar saja dia berbuat seperti itu. Bola matanya
segera berbinar. Suara tawa
pun lepas berderai pula.
"Hi hi hi... aku melihat pemandangan yang....
hmmm.... Jantungku dak-dik-duk-plas... karena aku
merasa... hmmm..... Kalau saja aku tidak... hmmm...
aku pasti akan... hmmm...."
Entah apa makna ucapan bocah berpakaian
kedodoran itu. Dia berjongkok sambil terus mengarahkan pandangan ke balik semak
belukar. Untuk beberapa lama, suara tawanya tak terdengar lagi.
Rupanya, si bocah sedang asyik masyuk menatap sesuatu yang amat menarik
perhatiannya. Di balik semak belukar, sekitar empat tombak
dari hadapan Dewa Geli, terlihat sesosok tubuh tengah
terbaring telentang di tanah berumput tebat. Bagian
atas sosok tubuh itu tertutup sulur-sulur tumbuhan
merambat. Sementara, tubuh bagian bawahnya benarbenar mampu menggerakkan hasrat
hati kaum lelaki.
Pantas saja bila Dewa Geli tak bosan mengarahkan
pandangan ke tempat itu....
Walau berada di balik semak belukar, dapatlah
dilihat dengan jelas bila ada sepasang kaki panjang
semampai berkulit halus mulut tanpa noda. Kaki yang
sebelah kiri menekuk ke atas, sehingga kain yang dikenakan oleh si pemilik kaki
jadi tersingkap. Dari situ
terciptalah satu pemandangan yang sudah cukup
mampu untuk mengacaukan aliran darah setiap lelaki
yang menatapnya....
"Hi hi hi...," mendadak Dewa Geli tertawa mengikik geli. "Bodoh benar aku ini!
Aku mengintip 'milik'
perempuan, hingga aku merasa hk.... Sementara, aku
tak tahu apakah yang ku intip itu 'milik' Putri Budukan atau bukan. Kalau milik
Putri Budukan, celakalah
aku seumur-umur. Hk.... Menyesal aku telah pelototkan mata dan menahan napas.
Bila tahu wajah Putri Budukan, manalah aku mau mengintip. Hiii...!"
Si bocah bangkit berdiri dengan kepala menggeleng-geleng. Sikap seperti orang
merasa jijik. Namun
begitu, bola matanya terus saja memelototi sepasang
kaki mulus yang terpampang dari balik semak belukar.
"Milik' Putri Budukan atau bukan...?" desis
Dewa Geli. "Kalau bukan 'milik' Putri Budukan, justru
aku akan lebih menyesal lagi. Aku laki-laki..., mana bisa melewatkan kesempatan
ini...?" Menuruti pikiran di benaknya, Dewa Geli berjongkok lagi. Kembali dipelototinya
sepasang kaki yang
berada di antara sulur-sulur tumbuhan merambat.
Kali ini sepasang kaki berkulit halus mulus itu bergerak perlahan. Ganti kaki
yang sebelah kanan yang menekuk. Dan..., semakin berdebar-debarlah jantung
Dewa Geli manakala mendengar suara desahan seorang wanita....
"Mendekatlah kemari...," ajak suara wanita si
pemilik kaki indah.
Dewa Geli tampak tertegun. Bola matanya semakin melotot besar. Tanpa sadar,
mulutnya pun ikut
terbuka lebar. "Walau wujud lahir mu hanya seorang bocah
sepuluh tahunan, aku tahu jiwamu seorang lelaki dewasa...," lanjut suara wanita
sambil menggerakgerakkan sepasang kakinya dengan lemah gemulai.
"Oleh karena itu, segeralah kau mendekat kemari, Dewa Geli yang manis...."
"Ya! Ya...," sambut bocah yang memakai baju
kedodoran. Sambil menelan ludah, bocah berambut tipis
itu berjalan mendekat. Dengan tatapan matanya, dia
menelusuri lekuk liku tubuh si wanita. Karena si wanita hanya mengenakan pakaian
yang terbuat dari kain
tipis, Dewa Geli jadi bebas mengarahkan pandangan.
Hingga, tak bosan Dewa Geli berdiri berjongkok dengan
kepala terjulur lurus ke depan mirip seekor bangau
menunggu mangsa untuk segera dipatuk.
Tapi... ketika tatapan Dewa Geli menerpa wajah
si wanita, maka memekik kagetlah bocah lelaki itu. Bola matanya semakin melotot
besar, namun raut wajahnya berubah pucat!
"Astaga!" seru si bocah seraya meloncat jauh ke
belakang. Sementara Dewa Geli menggeleng-gelengkan
kepalanya penuh rasa ngeri dan jijik, dari balik semak
belukar muncul seraut wajah menggiriskan. Wajah itu
dipenuhi bisul-bisul bernanah! Maka, hilang sudah
semua keindahan yang dilihat oleh Dewa Geli.
"Ha ha ha...! Kau kagum melihat keindahan
kakiku. Kau tertarik melihat kemulusan tubuhku. Tapi..., kini kau merasa ngeri
dan jijik melihat raut wajahku. Hmmm.... Tak jadi apa. Tak jadi apa.... Memang
beginilah wujud Putri Budukan...."
Terdengar suara seorang wanita ditujukan kepada Dewa Geli. Lalu, dari balik
semak belukar melesat sesosok tubuh. Setelah mendarat di tanah, dapatlah dilihat
dengan jelas bila dia seorang wanita bertubuh tinggi semampai dengan dada montok
menggiurkan. Kulitnya pun halus mulus tanpa sedikit pun noda
ataupun cacat. Lekuk liku tubuh si wanita dapat dilihat dengan jelas karena di
hanya mengenakan pakaian
tipis berwarna putih ungu. Namun, Dewa Geli menatapnya dengan pandangan ngeri
dan jijik karena si
wanita berwajah amat buruk, penuh bisul bernanah!
Dialah yang disebut sebagai Putri Budukan!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Putri Budukan. "Kenapa kau masih mengunci mulut, Dewa
Geli" Tatapan
matamu beda benar dengan tadi. Sebelum kau tahu
raut wajahku, kau begitu terpesona melihat bagian
bawah tubuhku. Tapi sekarang... hmmm... tatapan mu
tampak begitu menghina. Tahukah kau, Dewa Geli, sikap yang kau tunjukkan itu
benar-benar amat me-
nyinggung harkat pribadiku sebagai seorang wanita...?"
"Ya! Ya, eh...," Dewa Geli gelagapan. "Aku sudah datang. Aku sudah datang, Putri
Budukan...."
"Aku sudah tahu," sahut Putri Budukan dengan
tatapan tajam berkilat. "Terima kasih. Itu berarti, aku
akan segera terbebas dari belenggu siksa ini. Ha ha
ha...!" Selagi Putri Budukan tertawa bergelak-gelak,
Dewa Geli mengerutkan kening.
"Apa maksudmu?" tanya bocah berambut tipis
itu. "Maksudku" Hmmm.... Apa kau tidak dapat
menebak makna yang tersirat dari balik kalimat ku tadi?"
"Ada hubungannya dengan Hantu Pemetik
Bunga?" tebak Dewa Geli sambil menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ha ha ha...!" Putri Budukan tertawa panjang
bergelak. Buah dadanya yang ranum terlihat naik turun. Andai wanita ini tidak
berwajah sedemikian buruk, pasti banyak lelaki yang akan bertekuk lutut di
bawah kakinya. "Hei! Kenapa kau tertawa"!" tegur Dewa Geli.
"Kau pikir, cuma kau saja yang bisa tertawa!"
sergap Putri Budukan seraya tertawa bergelak lagi.
Kembali Dewa Geli menggaruk kepalanya yang
tak gatal. Melihat ulah Putri Budukan, hati bocah lelaki Itu tergelitik. Dan...,
turut tertawalah dia dengan
suara mengikik panjang.
"Hei! Hei!" ganti Putri Budukan yang menegur.
"Aku menertawakan kebodohanmu! Kenapa kau malah
ikut tertawa"!"
"Menertawakan kebodohan ku?" sahut Dewa


Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Geli. "Aku tidak bodoh! Aku tertawa karena melihat
kau salah menerka dan menduga. Hi hi hi.... Siapa
yang bodoh" Aku" Hi hi hi.... Aku tidak bodoh! Hi hi
hi...." "Bocah gemblung! Tutup mulutmu! Atau, ku tarik lidahmu keluar hingga putus saat
ini juga!"
Melihat Putri Budukan naik pitam, Dewa Geli
geleng-geleng kepala. Namun setelah mengangkat bahu, dia tertawa lagi. "Hi hi
hi.... Aku bicara karena aku
punya mulut. Aku tertawa karena aku merasa senang.
Mumpung mulutku masih utuh, mumpung masih ada
rasa senang di hatiku, siapa pun tak dapat melarang
aku untuk bicara dan tertawa. Hi hi hi.... Tak juga
kau, Putri Budukan! Kau tak punya hak untuk melarangku bicara dan tertawa! Hi hi
hi.... Kalau ada orang
yang punya hak melarang orang lain untuk bicara
ataupun tertawa, maka berakhirlah usia dunia ini. Hi
hi hi...."
Mendengus gusar Putri Budukan. "Apa yang
kau katakan memang ada benarnya, Bocah Edan!"
ujarnya. "Tertawalah sepuas hatimu sebelum dunia
mu kubuat kiamat!"
"Hi hi hi.... Kau bicara seolah sedang mewakili
turunnya takdir Sang Pencipta. Mana dapat kau membuat duniaku jadi kiamat" Hi hi
hi.... Jangan jual bualan di hadapanku, Putri Budukan! Hi hi hi...."
"Hmmm.... Teruskan tawa jelek mu itu, Bocah
Gemblung! Biar kau tak menyesal nantinya bila harus
melihat cairan darahmu mengucur masuk ke lambungku!"
"Kau membunuhku" Hi hi hi.... Apa salahku"
Apa kau sangat tidak suka melihat ulah ku yang hendak memotong habis 'senjata'
Hantu Pemetik Bunga"
Hi hi hi...."
"Persetan dengan Hantu Pemetik Bunga!" sentak Putri Budukan. "Dia sudah
kuselamatkan. Tak ada
urusan lagi aku dengannya!"
"Lalu, untuk apa kau mengundangku kemari?"
tanya Dewa Geli sambil menarik celananya yang hendak melorot lepas.
"Hmmm.... Kau pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu?" selidik Putri
Budukan. Melihat kesungguhan wanita buruk rupa itu,
Dewa Geli menahan keinginan tawanya. Setelah menggaruk kepalanya yang tak gatal,
dia berkata, "Seribu
macam dugaan, aku bisa mencetuskan. Seribu macam
terkaan, aku bisa menyampaikan. Tapi..., aku tak mau
menduga dan menerka yang hanya akan mengulur
waktu. Aku ingin kepastian dari mulutmu, Putri Budukan. Setelah kau katakan apa
yang menjadi tujuanmu, ganti aku yang akan mengutarakan isi hatiku...."
Putri Budukan menatap lekat wajah Dewa Geli.
Walau Dewa Geli hanya berupa seorang bocah lelaki
berumur sepuluh tahunan, Putri Budukan tahu bila
bocah itu telah berusia seratus tahun. Dan, Putri Budukan pun tahu bila si bocah
memiliki sesuatu yang
tak dimiliki oleh manusia kebanyakan. Karena menginginkan sesuatu dari Dewa Geli
itulah, Putri Budukan memancing si bocah untuk datang ke Puncak Kupu-Kupu.
(Untuk mengetahui riwayat Dewa Geli dan
asal mula pertemuannya dengan Putri Budukan, silakan simak serial Pendekar Bodoh
dalam episode: "Ratu
Perut Bumi").
"Aku tahu, selama sembilan puluh tahun, kau
tinggal di Istana Abadi di negeri para siluman. Karena
puluhan tahun tinggal di suatu tempat yang tak mengenal putaran waktu itu,
darahmu mengandung satu
kekuatan gaib yang luar biasa ampuh...," ujar Putri
Budukan kemudian. "Siapa pun yang meminum cairan
darahmu juga mempunyai khasiat menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Ketahuilah kau, Bocah
Gemblung, aku sengaja mengundangmu kemari karena aku menginginkan cairan darahmu
itu. Ha ha ha....
Aku akan segera mendapat kekuatan maha hebat! Wajahku akan berubah cantik
jelita! Ha ha ha...!"
"Ngaco belo!" dengus Dewa Geli. "Siapa bilang
cairan darahku mempunyai khasiat seperti yang kau
katakan itu, Putri Budukan"!"
"Siapa bilang" Hmmm.... Aku tak tahu siapa
yang menyiarkan kabar itu pertama kali. Tapi, aku
percaya akan kebenarannya. Bahkan sangat mempercayainya! Maka, sekaranglah aku
membuktikan...."
Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit
nyaring. Dari segenap penjuru, tiba-tiba berlesatan
manusia-manusia kerdil, dan langsung mengepung
Dewa Geli. Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh
orang. Semuanya hanya mengenakan cawat berwarna
hitam. Tangan kanan membawa tombak panjang dan
tangan kirinya mencekal jala lebar yang terbuat dari
jalinan tali putih berkilat!
"Hi hi hi...," Dewa Geli tertawa mengikik melihat
dirinya dikitari manusia-manusia kerdil. "Rupanya,
Putri Budukan punya piaraan tuyul-tuyul dekil. Hi hi
hi.... Mereka semua laki-laki. Hi hi hi... Mereka pasti
juga senang mengintip. Hi hi hi.... Sayang, yang dapat
mereka intip hanya Putri Budukan yang buruk rupa.
Hi hi hi..."
Dewa Geli terus tertawa mengikik. putri Budukan mendengus gusar. Ketika wanita
yang wajahnya penuh bisul bernanah itu bersuit nyaring lagi, tiga pu-
luh manusia kerdil langsung menerjang. Suara mereka
bercelotehan seperti puluhan kera yang sedang mengamuk.
Melihat ujung-ujung tombak yang hendak menyate tubuhnya, Dewa Geli terus saja
tertawa panjang
mengikik. Sikapnya seolah tak mau peduli pada bahaya yang tengah mengancam
jiwanya. Dan ternyata...,
sikap yang ditunjukkan si bocah bukan tanpa alasan
karena... Trang! Trang! Bltak! Bltak! Tusukan tombak datang silih berganti bagai siraman air bah. Namun, silih
berganti pula batangbatang senjata itu berpatahan. Dada dan punggung
Dewa Geli yang tertusuk tombak memperdengarkan
suara berdentang seperti perisai baja yang tak tembus
senjata tajam. Lebih hebat lagi, batang-batang tombak
di tangan tiga puluh manusia kerdil patah jadi dua walau sebenarnya batang-
batang tombak itu terbuat dari
sejenis kayu rotan yang amat kuat.
Putri Budukan yang sudah tahu kehebatan
Dewa Geli tak menjadi terkejut. Sekali lagi, dia bersuit
nyaring lagi. Tiga puluh manusia kerdil menerjang lebih berani. Patahan batang
tombak mereka buang begitu saja. Mereka menyerang dengan jala.
"Hi hi hi.... Aku bukan ikan. Kenapa kalian
hendak menjala ku" Hi hi hi.... Kalau masih nekat, kalian sendirilah yang akan
ku jala! Hi hi hi...."
Dewa Geli membiarkan tubuhnya dihujani puluhan jala. Namun, begitu ketiga puluh
jala di tangan manusia kerdil telah lengkap menerpa tubuhnya, Dewa
Geli bergerak cepat sekali. Tubuhnya menggeliat-liat
seperti orang kepanasan. Sementara, kedua tangannya
berkelebatan memperdengarkan suara bergemuruh ke-
ras! Di lain kejap, tiga puluh manusia kerdil berteriak-teriak dengan bahasa aneh
yang tak bisa dimengerti. Tubuh mereka semua telah terbaring di tanah
tanpa dapat bangun lagi karena terjerat oleh jala sendiri!
Melihat kehebatan Dewa Geli yang dapat dengan mudah menaklukkan tiga puluh
manusia kerdil,
barulah Putri Budukan membelalakkan mata karena
terkejut. "Jahanam kau, Bocah Edan!" geramnya dengan
sinar mata berapi-api.
Namun saat wanita berpakaian tipis tembus
pandang itu hendak menerjang, Dewa Geli berseru lantang.
"Tunggu! Kau sudah mengatakan apa maksudmu mengundangku kemari. Tak adil rasanya
bila aku tak mengatakan terlebih dulu apa maksud kedatanganku ini. Aku senang
memenuhi undanganmu karena sebenarnya aku punya urusan denganmu, Putri
Budukan...."
"Segera katakan urusan apa itu"!" sentak Putri
Budukan. "Hi hi hi.... Kau ingat Hantu Pemetik Bunga?"
ujar Dewa Geli sambil mengulum senyum.
"Ada apa dengan dia?" selidik Putri Budukan.
"Kau sudah tahu bukan kalau aku bermaksud
memotong habis 'senjata' durjana busuk yang suka
mengumbar nafsu kelelakiannya itu" Nah! Beberapa
pekan lalu, Hantu Pemetik Bunga berkata kepada ku
bila kau juga seorang durjana busuk. Bukankah kau
juga suka mengumbar nafsu tak baikmu pada para lelaki?"
Mendelik mata Putri Budukan. Namun, dia tak
berkata apa-apa. Matanya tajam menatap Dewa Geli
yang tertawa cekikikan.
"Hi hi hi.... Andai kau dikaruniai wajah cantik,
tak perlu kau memaksa banyak lelaki untuk memuaskan nafsu setanmu. Tapi karena
kau kebetulan tak
mendapat karunia itu, kau sering memaksakan kehendak. Banyak lelaki yang telah
mati karena tak mau
meladeni kemauanmu. Hmmm.... Mereka yang telah
mati itu adalah kaum ku, Putri Budukan. Aku turut
merasakan penderitaan mereka sebelum kau bunuh.
Dan.... Hi hi hi.... Kau tahu bukan apa yang akan segera kuperbuat kepadamu"
Kalau Hantu Pemetik Bunga
hendak ku potong 'senjata'-nya sampai habis, aku
hendak memotong... hi hi hi... sampai habis pula.... Hi
hi hi...!"
"Keparat! Laksanakan bila kau mampu!"
Menggembor keras Putri Budukan. Tiba-tiba,
dia mengeluarkan sebuah senjata berupa bola bergerigi. Bola sebesar kepala
manusia dewasa itu langsung
dilemparkan ke atas!
Glarrr...! Bersama munculnya suara ledakan, bola bergerigi lenyap tanpa bekas. Dan...,
terkejutlah Dewa Geli
saat melihat tubuh tiga puluh manusia kerdil tampak
membesar. Tali-tali jala yang membelit tubuh mereka
putus berantakan!
Dewa Geli mengucak-ngucak matanya penuh
rasa tak percaya. Tubuh ketiga puluh manusia kerdil
terus membesar hingga sebesar gajah!
"Sihir...!" desis Dewa Geli.
Bocah berpakaian kedodoran itu bergegas
menghimpun kekuatan batinnya untuk mengusir pengaruh sihir Putri Budukan. Tapi,
tetap saja tubuh ketiga puluh manusia kerdil yang telah sebesar gajah tetap
tak berubah. Tubuh mereka benar-benar dapat berubah menjadi raksasa!
2 KITA tinggalkan dulu pertarungan Dewa Geli
dan Putri Budukan. Sekarang kita ikuti perjalanan Seno menyelamatkan Kemuning di
Lembah Rongga Laut.
"Ceritanya panjang sekali, Seno...," ujar seorang
gadis cantik berpakaian serba kuning. "Aku baru tahu
siapa sebenarnya yang telah membawaku ke tempat
mengerikan ini setelah orang itu memperkenalkan diri
sebagai Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah....
Rupanya, durjana culas itu benar-benar mampu merubah wajah dan bentuk tubuhnya,
hingga aku sama
sekali tak dapat mengenali."
"Ya. Ya, aku tahu kelicikan durjana itu...,," sahut seorang pemuda berpakaian
biru-biru dengan ikat
pinggang kain tebal berwarna merah.
"Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau aku disekap Mahisa Lodra di tempat ini?"
tanya si gadis yang
tak lain dari Kemuning atau Dewi Pedang Kuning
"Ceritanya juga panjang, Kemuning...," beri tahu pemuda berpakaian biru-biru,
lirih seperti menggumam.
Pemuda yang duduk di hadapan Kemuning itu
berparas tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya pun
tampak tegap berisi. Dengan sepasang alis yang salah
satu ujungnya melintang ke atas bak sayap elang menukik, bola mata si pemuda
memperlihatkan sorot tajam menusuk, menandakan ketinggian ilmunya yang
sudah cukup sulit untuk diukur. Namun demikian,
wajah tampan si pemuda menyiratkan sinar keluguan
dan kejujuran. Menilik ciri-ciri pemuda yang rambutnya panjang tergerai itu, siapa lagi dia
kalau bukan Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh!
"Sebetulnya, Mahisa Lodra hendak menukar dirimu dengan Kodok Wasiat Dewa yang
telah berhasil kudapatkan...," lanjut Seno. "Karena durjana itu amat
licik dan culas, dia tak mau memberi tahu secara langsung di mana kau
disekapnya. Dia cuma memberi ku
sebuah kalimat sandi berbunyi: 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air....'"
"Dan, kau bisa memecahkan kalimat sandi itu?"
tanya Kemuning penuh haru.
Seno mengangguk. "Kalimat sandi dari Mahisa
Lodra itu ternyata nama sebuah batu mustika, yaitu
batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."
"Sebentar, Seno, kau katakan tadi bila Mahisa
Lodra hendak menukar diriku dengan Kodok Wasiat
Dewa. Apakah benda ajaib yang berada di dalam perut
Ikan Mas Dewa itu memang telah berhasil kau dapatkan?"
Seno mengangguk lagi.
"Kau memberikannya?" tanya Kemuning, seperti menyesali perbuatan Pendekar Bodoh.
"Jiwamu jauh lebih penting, Kemuning...," jawab Seno penuh keyakinan. "Aku rela
memberikan Kodok Wasiat Dewa kepada durjana itu asal kau selamat."
"Tapi, Seno..., bila benda ajaib itu ditelan oleh
Mahisa Lodra, tidakkah dia akan menjadi momok yang
amat menakutkan bagi kaum rimba persilatan" Dia
akan semakin mengumbar keangkaramurkaannya!"
"Aku tahu hal itu," sergap Seno. "Tapi, kau tak
perlu khawatir. Kau dapat kuselamatkan. Kodok Wa-
siat Dewa pun berhasil kudapatkan kembali."
"Benarkah itu?"
"Untuk apa aku berbohong" Ada seorang pendekar budiman yang telah berhasil
merampas Kodok

Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wasiat Dewa dari tangan Mahisa Lodra. Benda ajaib
itu lalu diberikan lagi kepadaku...."
"Hmmm.... Baik benar orang itu. Siapa dia?"
tanya Kemuning, penasaran.
"Namanya aku tak tahu. Dia hanya memperkenalkan diri dengan sebutan Ksatria
Topeng Putih," jawab Seno tanpa melepas pandangan dari wajah cantik
Kemuning. "Ksatria Topeng Putih" Tampaknya, julukan itu
masih sangat asing bagiku...."
"Ah, sudahlah...," sergah Seno. "Kita harus segera pergi dari tempat ini.
Bukankah tadi kau bilang
bahwa kau amat ngeri dan takut berada di tempat ini?"
"Ya! Kita memang harus segera pergi," sambut
Kemuning seraya bangkit berdiri.
Pendekar Bodoh turut bangkit. Sejenak, dia
mengedarkan pandangan. "Ketahuilah, Kemuning,
tempat ini bernama Lembah Rongga Laut...," ujarnya.
"Aku telah mendengarnya dari mulut Mahisa
Lodra," sahut Kemuning. "Kata durjana keparat itu,
tempat ini tak mungkin dapat dijamah oleh manusia
lain, kecuali Raja Penyasar Sukma dan Mahisa Lodra
sendiri." "Buktinya aku bisa," ujar Pendekar Bodoh seperti menggoda.
"Hmmm.... Kalau tidak salah aku menebak, apa
yang dapat kau lakukan ini tentu berkat kekuatan gaib
batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'..."
"Begitulah.... Ah! Kita tak perlu omong banyak
di tempat ini. Aku khawatir ada marabahaya yang ma-
sih mengintai. Kita harus segera...."
Mendadak, ucapan Seno terhenti. Bola mata
murid Dewa Dungu itu melotot besar dengan mulut
ternganga lebar. Agaknya, dia tengah terhantam keterkejutan.
"Kau... kau lihat itu, Kemuning...?" ujar Pendekar Bodoh, gelagapan.
Dewi Pedang Kuning mengarahkan pandangan
ke tempat yang ditunjukkan Seno. Dan, keterkejutan
turut menghantam isi dada murid Dewi Pedang Halilintar itu!
"Astaga...!" seru Kemuning dengan raut wajah
berubah pucat. Sejurus dengan pandangan Seno dan Kemuning, terdapat sebuah bukit yang menjulang
tinggi. Puncak bukit itu tidak berbentuk sewajarnya karena
dipenuhi lidah api yang menebarkan cahaya putih berkilat. Cahaya itu mampu
menerangi seluruh tempat di
Lembah Rongga Laut.
Ketika Seno dan Kemuning mendongak, tahulah mereka bila wujud matahari tak
tampak barang secuil pun, apalagi sinarnya. Yang terlihat di atas kepala
hanyalah lapisan kabut putih yang menebar rata. Keadaan Lembah Rongga Laut bisa
sedemikian terang karena disinari cahaya aneh yang berasal dari puncak
bukit yang berjarak puluhan tombak dari tempat Seno
dan Kemuning berada.
"Ini bukan tempat yang aman, Kemuning. Kita
harus segera pergi," cetus Pendekar Bodoh, menyimpan rasa khawatir.
"Ya! Ya, Seno. Tampaknya, tempat ini tidak berada di dunia manusia," sambut
Kemuning. "Dari mana kau datang, Seno" Kita harus melalui tempat itu lagi agar
kita dapat pergi."
"Tidak! Aku datang dengan bantuan kekuatan
gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air'. Dengan batu mustika itu, aku bisa bernapas di
dalam air untuk menempuh perjalanan cukup jauh
menelusuri lorong-lorong gua dalam laut. Kau tak
mungkin dapat melakukan seperti apa yang telah kulakukan...."
"Lalu, aku harus bagaimana?"
"Tenanglah. Kita bisa memanfaatkan lagi kekuatan gaib batu mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air'. Kau tak perlu mengikuti jejak ku dengan menempuh
perjalanan di dalam air..."
"Caranya?"
"Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah masuk ke perutku. Aku
harus mengeluarkannya terlebih dulu."
Usai berkata, Seno mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke telapak tangannya.
Telapak tangan yang
telah dialiri tenaga dalam yang bersifat mengisap itu
lalu ditempelkan ke pusar. Di lain kejap, sekujur tubuh Seno tampak bergetar....
Namun, perlahan wajah Seno berubah pucat.
Tatapan matanya menyiratkan rasa bingung dan khawatir.
"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning yang tak begitu mengerti apa yang tengah
dilakukan oleh Pendekar Bodoh.
"Menurut Ratu Perut Bumi, tindakan inilah
yang harus kulakukan...," desis Seno. "Tapi..., kenapa
batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'
tak mau keluar dari perutku" Bahkan... uh! Kenapa isi
perutku yang malah hendak tersedot keluar" Astaga!"
Sinar mata Pendekar Bodoh semakin menyiratkan rasa bingung dan khawatir. Walau
dia telah mengerahkan sebagian besar kekuatan tenaga dalamnya, batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' tetap tak mau keluar dari perutnya. Tentu saja Seno tak mau menambah
kekuatan tenaga dalamnya
sampai ke puncak karena kalau hal itu dilakukan, justru perutnya lah yang akan
jebol! Dan, hanya kematianlah akibatnya!
"Ratu Perut Bumi! Ratu Perut Bumi!" seru Seno, menyebut nama orang yang telah
memberi petunjuk bagaimana cara mengeluarkan batu mustika yang
berada di dalam perutnya.
Seruan pemuda lugu itu tak ada yang menyahuti. Ratu Perut Bumi memang tak berada
di Lembah Rongga Laut. Maka, semakin pucatlah wajah Seno.
Apakah petunjuk Ratu Perut Bumi salah"
Sebenarnya, tanpa diketahui oleh Seno, batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah
menyatu dengan Kodok Wasiat Dewa yang lebih dulu
ditelan oleh murid Dewa Dungu itu. Penyatuan dua
benda yang amat langka itu pada mulanya memberikan manfaat besar kepada Seno.
Kekuatan dahsyat
yang terbentuk mampu menghancurkan delapan tangan makhluk mengerikan yang
menghadang Seno di
gua dalam laut. (Baca serial Pendekar Bodoh dalam episode : "Ratu Perut Bumi").
Tapi sekarang ini, penyatuan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' dengan Kodok Wasiat Dewa justru mendatangkan
bahaya. Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang tak dapat
dikeluarkan dari perut Seno
tentu saja menghalangi si pemuda untuk dapat keluar
dari Lembah Rongga Laut. Seno masuk ke Lembah
Rongga Laut dengan menggunakan kekuatan gaib batu
mustika itu. Untuk keluar, dia pun harus menggunakan kekuatan gaib batu mustika
itu juga! Tapi, bagai-
mana mungkin Seno dapat menggunakan kekuatan
gaib batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' kalau batu mustika itu tak dapat dikeluarkan dari
dalam perutnya"
"Seno! Seno!" seru Kemuning, mengingatkan,
karena melihat wajah Pendekar Bodoh semakin memucat seperti orang kehabisan
tenaga. "Aku harus dapat mengeluarkan batu mustika
di dalam perutku ini, Kemuning...," tekad Seno. "Aku
harus berhasil! Kalau tidak, kita akan terkurung di
tempat terkutuk ini seumur hidup!" Pendekar Bodoh
mencoba lagi. Dikerahkannya tenaga dalam lebih banyak. Namun, hanya rasa sakit
yang didapatkannya.
Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' tetap tak dapat dikeluarkan dari
perutnya! "Seno! Seno!" seru Kemuning lagi. "Hentikan
perbuatanmu! Lihatlah di sana itu!"
Mendengar seruan Kemuning kali ini, Seno melepas aliran tenaga dalamnya. Lalu,
dia mengarahkan
pandangan ke tempat yang ditunjukkan oleh si gadis.
Puluhan tombak dari hadapan kedua anak manusia berlainan jenis itu tampak benda-
benda bulat menggelinding dari punggung bukit. Benda-benda bulat itu terus menggelinding
dengan cepat, mendekati
Seno dan Kemuning....
"Benda apa itu?" tanya Kemuning dengan mata
terbelalak lebar.
"Entahlah. Tampaknya, cuma batu...," tebak
Seno. "Bukan!"
"Lalu, apa?"
"Aku juga tak tahu. Tapi, kalau batu, kenapa
bisa melompat-lompat seperti itu?" Seno terdiam.
Kemuning turut terdiam. Ketika benda-benda
bulat yang tengah menggelinding dan melompatlompat sudah dekat di hadapan
mereka, memekik paraulah kedua muda-mudi itu penuh rasa nyeri dan giris. Benda-
benda bulat itu ternyata kepala manusia!
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. Sementara, Kemuning langsung memeluk si
pemuda dengan perasaan takut tak karuan!
Kepala-kepala manusia yang bergerak mendekati Seno dan Kemuning itu berjumlah
lebih dari dua puluh buah! Semuanya gundul tanpa rambut dengan
raut wajah kehitaman. Bola mata melotot. Batang hidung besar. Dan, mulutnya
menyeringai dingin, memperlihatkan sepasang taring runcing panjang!
Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya
makhluk hidup berbentuk bulat itu juga mempunyai
tangan dan kaki. Hanya saja, tangan dan kaki mereka
amat kecil dan pendek sehingga hampir tak terlihat.
Mereka bergerak menggelinding dan melompat-lompat
dengan menekankan tangan ataupun kakinya bergantian.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh lagi.
"Tempat ini benar-benar tempat terkutuk!"
"Sebelum mereka menyerang, lebih baik kita
menyerang lebih dulu, Seno!" cetus Kemuning yang
mulai timbul keberaniannya.
"Ya!" sambut Seno seraya meloloskan Tongkat
Dewa Badal dari ikat pinggangnya.
Tanpa pikir panjang lagi, murid Dewa Dungu
itu mengibaskan senjata mustika di tangannya sekuat
tenaga, Timbul tiupan angin kencang laksana topan.
Puluhan makhluk gundul kontan terhempas, lalu terlontar tinggi di angkasa. Ada
yang tercebur ke rawarawa, ada pula yang membentur bongkah batu besar.
Gemuruh angin yang timbul dari kibasan Tong-
kat Dewa Badai segera ditimpali suara pekik kesakitan
makhluk-makhluk gundul. Hebatnya, mereka semua
dapat menggelinding dan melompat-lompat lagi. Bola
mata mereka melotot besar penuh hawa amarah. Mulut mereka pun terbuka lebar
seperti hendak memangsa Seno dan Kemuning mentah-mentah
"Aku ke sini tidak dengan maksud buruk!" seru
Pendekar Bodoh. "Jangan ganggu aku! Biarkan aku
membawa sahabatku pergi!"
Seruan pemuda lugu itu cuma disahuti suara
geram kemarahan makhluk-makhluk gundul. Dengan
menunjukkan seringai dingin, mereka bergerak mengepung.
"Aku harus mengambil pedangku, Seno..," ujar
Dewi Pedang Kuning,
"Di mana kau simpan pedangmu?" tanya Pendekar Bodoh.
"Mahisa Lodra menancapkan pedangku di pinggir rawa itu!"
Dengan hati berdebar-debar, Pendekar Bodoh
mengarahkan pandangan ke sebuah rawa yang ditunjukkan Dewi Pedang Kuning. Di
belakang empat makhluk gundul, di bawah pohon kering tanpa daun, terlihat oleh
Pendekar Bodoh sebatang pedang yang menancap di tanah.
Pedang yang menancap lengkap dengan sarungnya itu milik Dewi Pedang Kuning.
Setan Selaksa Wajah-lah yang telah menancapkannya di tempat itu.
"Minggir kau!" seru Seno tiba-tiba.
Pemuda remaja berparas tampan itu membarengi seruannya dengan kibasan Tongkat
Dewa Badai. Empat makhluk gundul yang berada di hadapan si
pemuda langsung terpental. Pekik parau kesakitan
mengiringi lontaran tubuh mereka.
Pada saat itulah Seno meluruskan tangan kirinya ke depan. Dari telapak tangan
murid Dewa Dungu itu keluar satu kekuatan tenaga dalam yang bersifat
mengisap! Wusss...! Tep! Di lain kejap, pedang Kemuning yang menancap di tanah, sekitar dua puluh tombak
dari hadapan Seno, tercabut lalu melesat dan menempel di telapak
tangan kiri Seno!
"Ini pedangmu!" ujar Pendekar Bodoh, menyodorkan pedang di tangannya.
"Terima kasih, Seno," sambut Dewi Pedang
Kuning. Murid Dewi Pedang Halilintar itu langsung
menghunus bilah pedang kuningnya. Seno pun tampak bersiap siaga untuk menghadapi
segala kemungkinan yang terjadi. Dan tiga tarikan napas kemudian,
apa yang dikhawatirkan Seno benar-benar menjadi kenyataan. Makhluk-makhluk
gundul bertangan dan
berkaki pendek menerjang dari segala jurusan!
Suara hiruk-pikuk terdengar memekakkan
gendang telinga. Sambil menyerang, makhluk-makhluk
berbentuk bulat seperti bola itu mengeluarkan suara
geram aneh yang mirip lolongan serigala. Mereka berusaha membenturkan tubuh
mereka yang nyaris hanya
berupa kepala ke dada Seno ataupun Kemuning. Jangan dikira benturan tubuh
makhluk-makhluk itu tidak
berbahaya. Sebongkah batu sebesar kerbau pun akan
meledak hancur bila terkena benturan tubuh mereka!
Namun tampaknya, maksud mereka untuk
membinasakan Seno dan Kemuning menemui kesulitan. Kibasan Tongkat Dewa Badai dan
pedang kuning di tangan Kemuning benar-benar mampu membuat
mereka mesti berpikir dua kali untuk terus bergerak
mendekat. Crash...! "Wuahhh...!"
Terdengar pekik kesakitan menyayat hati. Tubuh salah satu makhluk gundul
tertebas ketajaman
pedang Kemuning. Tubuh si makhluk yang bulat langsung terbelah jadi dua. Tapi
anehnya, belahan tubuh
makhluk itu dapat terus bergerak! Bahkan, perlahan
namun pasti wujud belahan tubuh itu berubah jadi
wujud semula seperti sebelum kena tebas pedang.
Dengan kata lain, belahan tubuh si makhluk dapat
menjadi sesosok makhluk lain dengan wujud yang sama!


Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Astaga...!" kejut Dewi Pedang Kuning.
Dalam keterkejutannya, gadis bertubuh sintal
itu mengirim serangan membabi buta. Dia keluarkan
jurus-jurus pedang andalan. Hingga tak seberapa lama
kemudian, dua makhluk gundul lainnya tertebas lagi.
Namun..., mereka pun tak mati. Bahkan, menjadi berlipat dua! Akibatnya, semakin
lama makhluk-makhluk
yang tengah mengeroyok Seno dan Kemuning menjadi
berlipat ganda!
"Seno! Seno! Bagaimana ini?" seru Kemuning,
panik terbalut rasa ngeri.
"Tenanglah, Kemuning...," sahut Pendekar Bodoh sambil mengibaskan Tongkat Dewa
Badai-nya berulang kali.
Wesss...! Wesss...! Kibasan Tongkat Dewa Badai menimbulkan tiupan angin maha dahsyat. Hampir semua
makhluk gundul terlontar jauh. Sebagian tercebur ke rawarawa. Sebagian lagi terbanting
ke tanah ataupun
membentur bongkah batu besar. Tapi..., mereka menggelinding dan melompat lagi.
Sepertinya, mereka mempunyai nyawa rangkap! Bahkan, kali ini mereka menyerang
lebih ganas! "Tempat terkutuk! Tempat terkutuk!" seru Pendekar Bodoh terbawa rasa kalutnya.
Mendadak, murid Dewa Dungu itu menyambar
tubuh Kemuning seraya dibawa berkelebat pergi. Dia
kerahkan ilmu peringan tubuhnya yang bernama
'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Di lain kejap, sosok
dua anak manusia itu telah menghilang dari pandangan.
Namun..., makhluk-makhluk gundul yang jumlahnya telah berlipat ganda tak mau
membiarkan Seno
dan Kemuning lolos. Diiringi suara hingar-bingar, mereka menggelindingkan tubuh
dan melompat-lompat
untuk dapat mengejar calon mangsa mereka itu!
3 PENDEKAR BODOH menghentikan kelebatan
tubuhnya di sebuah lekukan tanah berbatu.
Tempat itu cukup tersembunyi karena permukaannya bergelombang-gelombang,
sehingga menyulitkan pandangan orang.
Sebelum menurunkan tubuh Dewi Pedang Kuning, Seno melompat tinggi untuk
meyakinkan bahwa
tak ada makhluk gundul yang mengejarnya.
"Kita aman...," desis Seno seraya menurunkan
tubuh Kemuning yang semula dibopongnya.
"Kita tetap belum aman, Seno," sahut Kemuning. "Selama kita masih berada di
tempat ini, bahaya
akan selalu mengintai...."
Seno nyengir kuda. Hatinya ikut berdebardebar melihat kekhawatiran yang
terpancar dari tatapan mata Kemuning. Namun, bagaimana dia mesti berusaha untuk
membawa gadis itu keluar dari Lembah
Rongga Laut" Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas
Dalam Air' yang bersemayam di dalam perutnya tak
dapat dikeluarkan lagi!
"Kenapa diam saja?" tanya Kemuning, menyadarkan Seno dari lamunannya.
"Aku bingung...," desis Seno, mengambil tempat
duduk di atas bongkahan batu. Kemuning terdiam.
Murid Dewi Pedang Halilintar itu dapat menebak apa yang ada di dalam benak
Pendekar Bodoh. Si
pemuda pasti sedang memikirkan cara untuk dapat
keluar dari Lembah Rongga Laut. Hal itu juga yang
menjadi pikiran di benaknya.
Namun, Kemuning yang banyak akal segera
menepuk bahu Seno seraya berkata, "Jika kita cuma
diam merenung, kita tetap akan terkubur di tempat
ini...." "Maksudmu?" tanya Seno, kebodoh-bodohan.
"Kita harus mencari jalan keluar!" cetus Kemuning.
"Caranya?"
"Uh! Bodoh benar kau, Seno!" sentak Dewi Pedang Kuning, sebal.
"He, kenapa kau marah" Aku cuma bertanya.
Apa aku salah?" kilah Pendekar Bodoh.
"Aku tahu! Tapi, kurasa otakmu itu terlalu bebal!"
"Benarkah?" ujar Seno sambil cengar-cengir seperti bayi yang tak punya dosa.
"Uh! Sebal! Kau amat sulit untuk diajak bicara
sungguh-sungguh! Kau ikuti aku saja!"
"Ke mana?"
Kemuning tak menjawab.
Saat gadis itu melangkahkan kaki, bergegas
Seno mengikuti. Berulang kali Seno menanyakan tujuan si gadis, tapi tak sekali
pun mendapat jawaban.
Kemuning terus melangkah dan sesekali meloncati
bongkah-bongkah batu.
"Kita kemana?" tanya Seno untuk kesekian kalinya.
Pertanyaan pemuda remaja itu tidak mainmain. Karena sangat mengkhawatirkan
keselamatan Kemuning, dia berusaha mencegah kepergian si gadis.
"Diamlah!" bentak Dewi Pedang Kuning, tak
menoleh ataupun menghentikan langkah.
"Kemuning!" Seno balas membentak. "Jangan
buat aku jadi penasaran! Katakan kau hendak ke mana"!"
"Tentu saja mencari jalan keluar, Tolol! Apa kau
mau terkurung seumur hidup di tempat terkutuk semacam ini"!"
Seno nyengir kuda seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya! Ya, kita harus
keluar dari tempat ini...," sahutnya, lirih.
Tak mau tertinggal, bergegas Seno meloncat
mengejar Kemuning. Sementara, Kemuning terus saja
melangkah. Dilewatinya semak belukar. Diedarkannya
pandangan ke segenap penjuru. Tapi hingga beberapa
lama, jalan yang menuju ke dunia luar belum dapat ditemukannya. Karena lelah dan
putus asa, Kemuning
menghentikan langkah kakinya di pinggir aliran sungai.
"Kau lelah, Kemuning?" tanya Seno, sudah tahu
tapi masih saja bertanya.
Kemuning tak menjawab.
"Pedang yang terselip di punggungmu itu tampaknya cukup berat. Biar aku yang
membawanya," tawar Pendekar Bodoh.
"Terima kasih," tolak Kemuning, pendek.
Tak bosan gadis yang rambutnya digelung ke
atas itu mengedarkan pandangan. Tapi, yang dilihatnya cuma tanah tandus berbatu-
batu. Lain itu, pandangannya hanya bertumbuk pada tanah berawa-rawa
yang dikitari semak belukar.
"Kau lihat itu!" ujar Kemuning kemudian.
Seno mengarahkan pandangan ke tempat yang
ditunjukkan Kemuning. Dan, melengak heranlah dia.
Di tepi aliran sungai, agak tertutup oleh gundukan batu cadas, terlihat mata air
yang memancar cukup deras. Anehnya, air yang memancar dari mata air itu
berwarna merah seperti darah!
"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pendekar
Bodoh seraya berjalan mendekati.
Seno meraup air berwarna merah. Mendadak,
dia berjingkat. Kedua telapak tangannya terasa amat
dingin seperti beku. Hingga, tanpa sadar Seno menjerit
kaget dan membuang air merah yang menggenang di
telapak tangannya.
"Ada apa, Seno?" tanya Kemuning penuh rasa
ingin tahu. "Air ini.... Air ini...," ujar Seno, tak jelas apa
maksudnya. "Kenapa dengan air itu?" kejar Kemuning, semakin penasaran.
"Air ini dingin sekali...."
Dewi Pedang Kuning mengerutkan kening.
Hendak dicelupkannya jari-jari tangan kanannya ke
sumber air merah. Tapi sebelum hal itu terlaksana, ti-
ba-tiba Seno mencekal bahunya kuat-kuat, hingga dia
memekik kaget. "Ada apa, Seno?" tanya Kemuning lagi, kali ini
terdengar ketus dan penuh rasa kesal.
"Kita harus pergi!" seru Seno.
"Sebentar..., aku mau melihat dulu, kenapa air
ini bisa berwarna merah...."
"Hus!" tolak Pendekar Bodoh. "Aku mendengar
suara gedebukan seperti puluhan kaki tengah bergerak
melompat-lompat. Itu pasti suara makhluk-makhluk
aneh yang mengejar kita!"
Mendengar penjelasan murid Dewa Dungu itu,
Kemuning langsung menajamkan pendengaran. Dan,
benarlah apa yang dikatakan Seno. Kemuning juga
mendengar suara langkah kaki banyak sekali.
"Kita pergi sekarang!"
Tanpa menunggu persetujuan lagi, Pendekar
Bodoh menyambar tubuh Kemuning. Dan, Kemuning
pun menurut saja ketika tubuhnya dibopong si pemuda untuk dibawa berkelebat
pergi. Kemuning sadar bila
ilmu peringan tubuhnya jauh di bawah Pendekar Bodoh.
*** "Sudahlah! Sudahlah!" seru Kemuning. "Aku
merasa amat ngeri jika kau ajak berlari seperti ini, Seno!"
Pendekar Bodoh tahu kalau Kemuning berada
dalam bopongannya merasa tersiksa. Tapi karena dia
harus segera berlari sejauh mungkin tak didengarkannya seruan Kemuning itu.
Pendekar Bodoh terus berlari mengempos tenaga. Dengan ilmu peringan tubuh
'Lesatan Angin Meniup Dingin', sosok Pendekar Bodoh
seakan berubah menjadi setan gentayangan!
"Turunkan aku! Turunkan aku!" seru Kemuning lagi.
Gadis bertubuh sintal itu merasakan hembusan
angin menghajar sekujur tubuhnya. Telinganya menjadi pekak. Dan, aliran darahnya
pun berdesir tak karuan.
Seno tetap tak mau peduli!
Menurut pikiran Seno, sambil menghindari kejaran makhluk-makhluk gundul, dia
bisa mencari jalan keluar untuk dapat pergi dari Lembah Rongga
Laut. Tapi, apakah gagasan Seno itu membuahkan hasil"
Ternyata tidak! Tanpa disadari oleh Seno, dia
cuma berlari berputar-putar. Jalan yang telah dilalui,
dia lalui lagi. Sementara, Seno pun tak berani mendekati bukit yang puncaknya
terdapat semburan api karena di sekitar tempat itu suhu udara amat panas luar
biasa. Hingga beberapa lama kemudian, saat tenaga
Seno mulai terkuras, si pemuda mulai sadar bila usahanya sia-sia belaka.
Kemuning tak henti-henti berteriak minta diturunkan.
"Kita berhenti di sini saja!" ujar Pendekar Bodoh kemudian, menurunkan tubuh
Kemuning dengan
lembut. Dewi Pedang Kuning yang masih kesal tak mau
menatap wajah Seno. Dia mengedarkan pandangan.
Dan, berkerutlah kening gadis itu penuh rasa heran.
"Kau tadi membawaku berlari sedemikian jauh.
Kukira tak kurang dari lima ratus tombak kau tempuh.
Tapi, kenapa kita masih berada di tempat ini?" kata
Kemuning, lirih seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.
Seno nyengir kuda. "Aku juga tak tahu...," sahutnya. "Tempat ini aneh sekali.
Aku memang telah
membawamu berlari lima ratus tombak lebih. Tapi
tanpa kusadari, aku cuma berlari berputar-putar, dan
kembali lagi ke tempat ini...."
"Celaka! Kita benar-benar akan terkubur di
tempat terkutuk ini, Seno...."
Usai berkata, mendadak Kemuning menghambur ke arah Seno. Sebagai seorang
pendekar yang sudah biasa menghadapi tindak kekerasan dan kekejaman, Kemuning
tidak takut mati. Pengalaman hidupnya bersama Dewi Pedang Halilintar telah
membuat Kemuning berjiwa baja. Tapi, dia tak kuasa membayangkan keadaan dirinya yang
akan terus terkurung
di sebuah tempat aneh yang dihuni makhluk-makhluk
menyeramkan. Sebagai manusia biasa yang juga
punya hati dan perasaan, Kemuning pun merasa ngeri.
Karena bingung dan kalut, dia cuma dapat menyandarkan kepalanya di dada Seno.
Bola matanya mulai
berkaca-kaca....
"Kita akan mati di tempat ini, Seno...," desah
gadis itu. "Kau jangan punya pikiran macam-macam,
Kemuning...," tegur Pendekar Bodoh, berdebar-debar
hatinya bersentuhan kulit dengan gadis yang menjadi
bunga mimpinya. "Aku pernah mendapat nasihat dari
Dewa Dungu Guruku. Selama otak kita masih dapat
digunakan untuk berpikir, selama kita masih punya
tenaga untuk berusaha, berdosa apabila kita putus
asa..." "Aku tahu, Seno. Tapi, dalam keadaan seperti
ini siapa yang tak akan merasa takut dan ngeri?"
"Ah, sudahlah...," potong Seno, menepuk bahu
Kemuning. "Kita jalan ke arah sana...."
Dewi Pedang Kuning menghapus air matanya
yang hendak menitik jatuh. Walau dengan setengah
hati, dia turut juga ajakan Pendekar Bodoh.
Lalu, mereka berjalan tanpa tujuan. Tak ada
lagi kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka
diam membisu. Namun, di dalam hati mereka berbicara amat banyak. Otak mereka
berputar, memikirkan
segala sesuatu yang akan terjadi. Tapi, pada akhirnya
rasa takut dan ngeri itu makin menebal. Dan, hanya
satu kata yang masih tersisa di benak mereka, yaitu
'mati'! Namun, benarkah kedua pendekar muda itu
akan menemui ajalnya di Lembah Rongga Laut"
"Hei! Kau lihat itu!" seru Pendekar Bodoh tibatiba
"Rumah batu!" seru Kemuning pula.
"Kita ke sana. Ada rumah, pasti ada penghuninya. Aku tahu kau amat lapar.
Barangkali di dalam
rumah itu ada makanan..."
Seno berlari tak sabaran. Kemuning hendak
mengikuti langkah pemuda itu, tapi tiba-tiba dia jadi
ragu. "Tunggu, Seno!" cegah Kemuning.
Pendekar Bodoh melengak heran. Langkahnya
berhenti. "Ada apa" " tanyanya tak mengerti.
"Kita sama-sama lelah. Otak kita sama-sama
buntu. Tapi, kita tak boleh ceroboh, Seno..." ujar Kemuning.
"Memangnya ada apa?" Pendekar Bodoh bertanya lagi.
"Uh! Kau ini memang tolol atau pura-pura tolol,


Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seno"!" sentak Kemuning, muncul lagi sifat ketusnya.
"Kita tidak tahu siapa yang menghuni rumah batu itu.
Bagaimana kalau penghuninya malah makhluk-
makhluk aneh yang lebih menyeramkan?"
Seno terdiam. Setelah berpikir-pikir, mendadak
murid Dewa Dungu itu menepak kepalanya sendiri.
"Uh! Aku memang tolol! Kenapa tidak berpikiran sampai di situ?" rutuknya kepada
diri sendiri. Kemuning tersenyum kecut melihat kekonyolan
Seno. Anehnya dia malah melangkah mendekati rumah
batu. "Hei! Kau hendak ke mana"!" tanya Seno.
"Menyelidiki rumah itu!" jelas Kemuning
"Menyelidiki?"
"Ya! Kalau Tuhan memberikan nasib baik, siapa
tahu kita bisa mendapatkan sesuatu di rumah itu"
"Sesuatu apa" Bukankah kita tidak boleh ceroboh?"
"Uh! Tolol benar kau, Seno! Siapa yang ceroboh" Apa kau tidak dengar" Aku hendak
menyelidiki, Tolol!" "Ya! Ya, aku memang tolol..." sambut Seno kebodoh-bodohan. Pertanda ia tak marah
walau berkalikali kena damprat.
Akhirnya, Seno dan Kemuning melangkah berdampingan. Setindak-dua tindak, mereka
berjalan mendekati rumah batu yang baru mereka temukan.
Rumah yang terbuat dari susunan bongkah-bongkah
batu besar itu bagian atasnya ditumbuhi sulur-sulur
bunga beraneka warna. Sementara, di bagian depannya terdapat kolam kecil namun
sudah tak berair lagi.
Ketika langkah Seno dan Kemuning kurang dua
tindak untuk mencapai pintu, mendadak dari dalam
rumah terdengar lantunan syair...
Di sini aku tak dapat menghitung waktu
Aku tak tahu siang atau malam yang menema-
niku Dulu bahagia bersemayam di kalbu
Dulu semua berjalan tanpa ada sedih pilu.
Namun... kini patutlah aku menangis tersedu.
Bahagia ku hilang entah ke mana
Penderitaan datang menggantikannya
Kering sudah rasa air mata
Yang kutemui hanya duka-lara
Oh, Dewa Penguasa Jagat di atas sana...
Bila ajalku telah tiba
Beri aku kesempatan menanamkan buah pahala
Biar dosa tak menyeret ke neraka...
Lantunan syair itu terdengar amat memilukan.
Sepertinya, dicetuskan dari buah hati orang yang amat
menderita. Hingga untuk beberapa lama, Seno dan
Kemuning cuma berdiri terpaku di depan pintu. Mereka tak berani melangkah lagi.
ini mah Aku mendengar langkah kaki mendekati
Aku tahu ada orang hendak memasuki rumah
Bila memang punya maksud baik
Kenapa mesti ragu berpikir"
Masuklah.... Empu rumah tak dapat memberi sambutan raTapi, bergegaslah lanjutkan langkah....
Seno dan Kemuning saling pandang. Lantunan
syair itu jelas menyiratkan persahabatan. Tapi, tidakkah si pelantun syair bukan
sedang memasang jebakan"
Seno menggaruk kepalanya yang tak gatal. Di-
cekalnya erat-erat Tongkat Dewa Badal yang terselip di
ikat pinggang. Tanpa meminta persetujuan Kemuning,
dia melangkah memasuki rumah batu. Dan tampaknya, pikiran Kemuning pun sejalan
dengan pikiran Seno. Gadis itu juga melangkah memasuki rumah batu.
Kening Buyung berkerut rapat. Keadaan di dalam rumah batu cukup terang, tapi dia
melihat ada banyak obor di tempat itu. Sebenarnya, cahaya yang
menyorot masuk dari luar sudah mampu memberi penerangan yang cukup. Jelasnya,
obor-obor yang dipasang di rumah itu tak berguna sama sekali. Asapnya
malah mengganggu pernapasan.
Dan..., terhenyaklah langkah Seno akhirnya.
Kakinya hampir saja menginjak sesosok tubuh manusia. Semula, Seno tak melihatnya
karena sesosok tubuh itu terbaring dalam cekungan tanah dan tertutup
sulur-sulur tumbuhan kering.
"Jangan terkejut.... Bila kau telah melihat keadaan tubuhku yang buruk ini, itu
berarti kau punya
jodoh...," ujar sosok tubuh yang terbaring di tanah.
"Kau... kau siapa?" tanya Seno, tergagap.
"Aku Setan Bodong. Singkirkan dulu kotoran
yang menutupi tubuhku. Jangan takut! Aku bukan
orang jahat...."
Pendekar Bodoh yang amat lugu dan mudah
percaya pada orang lain bergegas membersihkan sulur-sulur tumbuhan kering yang
menutupi tubuh orang yang dijumpainya. Sementara, Kemuning cuma
diam. Namun, gadis cantik itu bersiap-siaga menghadapi segala kemungkinan buruk
yang mungkin akan
terjadi. Jemari tangan kanannya siap menghunus bilah pedang.
Tampak kemudian, di dalam cekungan tanah
terbaring seorang kakek bertubuh gemuk bulat. Kepa-
lanya gundul licin. Walau tua namun wajahnya tampak amat jenaka. Dia mengenakan
rompi dan celana
pendek berwarna putih. Perutnya bulat besar. Apabila
kakek itu berdiri, dapat dipastikan bila perutnya akan
menggantung. "Kau... kau manusia...?" ujar Seno sambil
nyengir kuda. "Ha ha ha...," kakek yang memperkenalkan diri
sebagai Setan Bodong tertawa bergelak. "Tentu saja
aku manusia!"
"Bukan begitu. Aku melihat banyak sekali
makhluk aneh di tempat ini. Barangkali saja kau teman mereka...," kilah Seno.
"Hmmm.... Begitu" Lalu, kau dan temanmu itu
manusia atau bukan?" tanya Setan Bodong tanpa
bangkit dari sikap terbaring telentangnya.
"Aku juga manusia...," jawab Seno, lirih
"Manusia" Ha ha ha...! Siapa pun manusia
yang masuk ke Lembah Rongga Laut tanpa seizin Raja
Penyasar Sukma, sampai mati tak akan bisa keluar
dari tempat terkutuk ini!"
"Benarkah itu?" seru Seno, kaget.
4 KITA kembali ke pertarungan Dewa Geli melawan Putri Budukan. Puncak bukit yang
menjadi ajang pertempuran itu terguncang-guncang seakan telah berubah menjadi gunung berapi
yang hendak meletus.
Bongkah-bongkah batu besar pecah berkeping-keping.
Puluhan batang pohon tumbang dan hancur pula menjadi serpihan-serpihan kecil.
Pukulan jarak jauh yang
nyasar benar-benar menciptakan kiamat di Puncak
Kupu-kupu. Walau dikeroyok tiga puluh manusia bertubuh
raksasa menyamai gajah. Dewa Geli tetap berada di
atas angin. Tubuh mungil bocah berpakaian kedodoran itu dapat melenting ke sana-
sini dengan amat lincah. Tiga puluh raksasa pengeroyoknya semakin dikuasai hawa
amarah karena tak sekali pun mereka dapat
menyentuh tubuh si bocah, apalagi menyarangkan pukulan. Pukulan mereka hanya
menerpa permukaan
tanah hingga menciptakan lubang besar. Tak jarang
pula cuma dapat menghancurkan batu atau menumbangkan batang pohon.
"Hi hi hi...," tawa mengikik Dewa Geli. "Aku tadi
sempat terkejut dan merasa ngeri. Hi hi hi... Ternyata,
tubuh kalian cuma besar..., tapi tak berisi kekuatan
apa-apa. Hayo! Terus serang aku! Hayo! Terus turuti
perintah tuanmu!"
Tiga puluh manusia bertubuh sebesar gajah
menggeram bersamaan. Jemari tangan mereka yang
menyamai paha kerbau terus berkelebatan, berusaha
menangkap dan meremukkan tubuh Dewa Geli.
Namun, Dewa Geli yang mempunyai ilmu peringan tubuh luar biasa hebat selalu
dapat berkelebat
lebih cepat. Dan tampaknya, Dewa Geli bermaksud
mempermainkan mereka. Bocah berkulit hitam itu tak
pernah balas menyerang dengan sungguh-sungguh.
Jika ada kesempatan, si bocah cuma menjewer telinga
ataupun menonjok hidung lawan-lawannya. Perbuatannya itu selalu diiringi derai
tawa yang tak kunjung
habis. "Jahanam kau, Bocah Edan!" maki Putri Budukan. "Agaknya, kau benar-benar bocah
keparat yang amat pantas untuk dibinasakan!"
Tak mau melihat Puncak Kupu-kupu yang
menjadi tempat tinggalnya meledak hancur karena pukulan dahsyat tiga puluh
manusia raksasa, Putri Budukan meloncat cepat. Dia turut maju menyerang Dewa
Geli. Di tangannya telah tercekal sebuah bola bergerigi.
Sambil mengirim tendangan ke kepala, Putri
Budukan menghantamkan bola bergerigi yang dibawanya ke dada Dewa Geli. Namun,
serangan wanita
buruk rupa itu hanya mengenai angin kosong. Tubuh
Dewa Geli dapat berkelebat amat cepat. Gerakan si bocah licin bagai belut, dapat
berpindah tempat dengan
cepat bagai siluman
"Hi hi hi.... Keluarkan semua kepandaianmu,
Putri Budukan...," ejek Dewa Geli. "Setelah lelaki-lelaki
piaraan mu itu kubuat lebam-lebam wajahnya, ganti
tubuhmu yang akan kubuat lebam-lebam! Hi hi hi...!"
Cepat sekali tubuh Dewa Geli bergerak. Terdengar suara tamparan mengenai sasaran
lima kali. Disusul suara pekik parau kesakitan. Tubuh lima manusia raksasa
terasa pusing karena kena tempeleng. Tubuh mereka lalu jatuh berguling-guling ke
lereng bukit! "Hi hi hi...," Dewa Geli tertawa lagi. "Lima orang
sudah merasakan halusnya telapak tangan Dewa Geli.
Lima lagi akan menyusul...."
Dan..., Dewa Geli benar-benar dapat membuktikan ucapannya. Lima tubuh manusia
raksasa lainnya ikut pula kena tempeleng. Tubuh mereka yang sebesar gajah itu
lalu jatuh bergulingan ke lereng bukit.
Kontan timbul suara berdebam amat keras manakala
tubuh manusia-manusia yang hanya mengenakan cawat itu jatuh berdebam di tanah.
Permukaan bukit terguncang hebat. Gempa maha dahsyat seakan terjadi di
Puncak Kupu-kupu.
Anehnya, sepuluh manusia raksasa yang telah
jatuh ke lereng bukit tak dapat bangkit berdiri lagi.
Kaki dan tangan mereka cuma meronta-ronta. Sementara, punggung mereka yang
menempel di permukaan
tanah seperti diberi perekat yang amat kuat.
Lalu..., tubuh raksasa sepuluh manusia bercawat itu mengecil..., dan terus
mengecil, hingga menjadi
manusia kerdil lagi!
"Pukulan 'Tapak Suci Pemunah Sihir'...!" kejut
Putri Budukan yang dapat mengenali Ilmu pukulan
yang dilancarkan oleh Dewa Geli.
"Ya! Benar apa yang kau ucapkan itu, Putri
Budukan," sahut Dewa Geli sambil mengulum senyum.
"Kau tak perlu penasaran. Jika ingin merasakan kehebatan pukulan 'Tapak Suci
Pemunah Sihir', aku akan
berbaik hati. Siapa tahu wajahmu yang buruk itu bisa
berubah cantik" Hi hi hi...."
"Jahanam...!"
Menggembor keras Putri Budukan. Bola bergerigi di tangannya hendak dibuat
memukul hancur kepala Dewa Geli. Tapi, si bocah cuma tertawa mengikik.
Dan tanpa disangka-sangka oleh Putri Budukan, si bocah melentingkan tubuhnya
seraya merampas bola
bergerigi di tangan wanita berpakaian tipis itu!
Wutttt...! "Heh"!"
Tak dapat digambarkan lagi betapa kesalnya
Putri Budukan. Raut wajahnya yang buruk bertambah
buruk. Dengan bahu naik turun terbawa desakan
amarah, dia menatap Dewa Geli yang mengangkat
tinggi bola bergerigi yang telah berhasil dirampas si
bocah. "Daripada mendapat repot dan mengeluarkan
tenaga terlalu banyak, lebih baik kuhancurkan benda
jelek ini!" ujar Dewa Geli.
"Jangan...!" cegah Putri Budukan.
Tapi, mana mau Dewa Geli mendengarkan teriakan wanita buruk rupa itu. Sambil
tertawa panjang
mengikik, bola bergerigi dibantingnya ke tanah!
Blammm...! Ledakan keras mengiringi hancurnya bola bergerigi milik Putri Budukan. Manusia-
manusia bertubuh raksasa yang masih berada di Puncak Kupu-kupu
memekik parau. Tubuh mereka jatuh terjengkang, lalu
menyusut kecil, dan berubah kerdil lagi!
"Kalau cuma mengandalkan ilmu sihir macam
ini, kau tak mungkin dapat menangkapku, Putri Budukan," cibir Dewa Geli, tangan
kanannya menarik
naik celananya yang melorot.
"Keparat! Kau boleh berkata sombong. Tapi jika
kau mampu menahan pukulanku ini, aku bersumpah
untuk tak keluar dari Puncak Kupu-kupu ini seumur
hidupku!" ujar Putri Budukan.
"Boleh! Hi hi hi...," sambut Dewa Geli. "Tapi taruhannya bukan cuma sumpahmu
itu. Bukankah kau
sudah tahu bila tujuanku datang kemari adalah untuk
memotong habis... hi hi hi... 'milik'-mu itu! Hi hi hi...!"
Putri Budukan tak mau lagi mendengarkan
ucapan Dewa Geli. Dia alirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke kedua telapak
tangan. Di lain kejap,
kedua pergelangan tangan wanita buruk rupa itu berubah warna menjadi hijau
kemerahan. Anehnya, suasana di Puncak Kupu-kupu menjadi amat sunyi dan
terasa aneh seperti diliputi hawa di alam sihir!
"Pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'...!" kesiap Dewa
Geli. Bola mata bocah berambut tipis itu kontan melotot besar menatap Putri Budukan
yang telah bersiap
siaga untuk melancarkan pukulan jarak jauh. Dewa
Geli yang sudah telanjur menerima tantangan Putri
Budukan tentu saja tak dapat menarik kata-katanya


Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Walau sedikit ragu akan daya tahan tubuhnya dalam menerima ilmu pukulan
Putri Budukan, Dewa Geli
tak mau beranjak dari tempatnya berdiri. Diam-diam
dia keluarkan ilmu kebalnya yang bernama 'Benteng
Pelindung Jiwa'.
Hingga akhirnya....
"Hiahhh...!"
Wusss...! Putri Budukan menggembor keras sekali. Dua
telapak tangannya dihentakkan ke depan dengan sekuat tenaga. Dua larik sinar
hijau kemerahan wujud
dari ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' melesat cepat.
Dan.... Blarrr...! Dua larik sinar yang memendarkan hawa aneh
itu tepat menerpa dada Dewa Geli. Begitu ledakan keras hilang di pendengaran,
Dewa Geli tertawa panjang
mengikik sambil menepuk-nepuk dadanya yang terpukul.
Bocah berkulit hitam itu tak mengalami cedera
sedikit pun. Bahkan, kain bajunya tak robek ataupun
terbakar. Dia tetap berdiri tegak di tempatnya dengan
bibir terus mengulum senyum!
"Astaga...!" kejut Putri Budukan. Untuk beberapa saat, wanita buruk rupa ini tak
dapat menarik napas karena dadanya sesak terhantam keterkejutan.
"Hi hi hi...," tawa mengikik Dewa Geli. "Kau sudah puas, bukan" Kau lihat
sendiri, bukan" Ilmu pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' tak dapat menembus Ilmu
kebal 'Benteng Pelindung Jiwa'. Hi hi hi.... Sebenarnya,
aku hendak memotong habis 'sesuatu' di tubuhmu itu.
Tapi, biarlah kau kuberi ampun, asal kau tepati sum-
pahmu! Aku pergi...."
Usai berkata, Dewa Geli membalikkan badan
seraya melangkah perlahan menuruni Puncak Kupukupu. Sementara, Putri Budukan
cuma dapat menatap
punggung si bocah penuh rasa penasaran dan amarah.
*** Senja terusir....
Malam berkuasa di atas mayapada. Kesunyian
terasa amat mencekam manakala terdengar tekur burung hantu yang tersahuti
lolongan serigala. Namun,
gelap tak seberapa pekat karena bintang yang bertaburan senantiasa berkedip
jenaka. Sang candra pun tersenyum memancarkan sinar keemasannya.
Dewa Geli terus berjalan menuruni Puncak Kupu-kupu. Sebentar-sebentar dia
menoleh ke belakang
seperti ada sesuatu yang dikhawatirkannya.
Saat mencapai pertengahan bukit, Dewa Geli
menghentikan langkah. Sekujur tubuhnya amat lemah
dan tak bertenaga. Wajahnya pun terlihat memucat
karena dia merasa seluruh tenaganya telah hilang entah ke mana.
Perlahan-lahan sepasang kaki Dewa Geli menekuk. Lalu, dia jatuh terduduk. Kain
baju yang dikenakannya basah kuyup oleh cairan keringat yang terus
keluar, padahal hawa udara cukup dingin menusuk.
Bocah yang pernah tinggal di kerajaan siluman
itu masih mencoba untuk tertawa. Tapi, tawanya kali
ini terdengar sengau dan sama sekali tak menyiratkan
kegembiraan. Apa yang terjadi"
"Apa yang ku khawatirkan telah terjadi kini.
Pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' telah membuatku lumpuh...," gumam Dewa Geli
dengan tatapan kosong.
"Untung saja aku dapat mengelabuhi perempuan jahat
itu. Dia tidak tahu kalau ilmu pukulannya mampu
menembus ilmu 'Benteng Pelindung Jiwa'-ku. Hmmm.... Mudah-mudahan dia tak mengikutiku...."
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Dewa Geli merangkak mencari tempat yang
lebih tersembunyi. Keadaan bocah yang biasanya tampak amat jenaka itu kini jadi
amat mengenaskan. Untuk menempuh jarak sepuluh tombak saja, dia mesti merangkak
selama sepeminuman teh. Dia jatuh berulang kali. Wajah dan kain bajunya jadi
ternoda oleh kotoran tanah.
Dahinya pun telah terhiasi benjolan-benjolan karena
beberapa kali dia jatuh membentur batu.
Setelah mendapatkan tempat seperti yang diharapkannya, sebuah tempat tertutup
semak belukar dan terlindungi bongkah batu besar, Dewa Geli mengambil sikap semadi. Dia
mencoba menghimpun hawa
saktinya yang berpencar tak karuan. Namun, berkalikali dia mengeluh kesakitan.
Bukan saja hawa saktinya tak dapat disatukan lagi, jantungnya pun terasa
diremas-remas. Aliran darahnya kacau. Tubuhnya semakin lemah. Untuk dapat duduk
menegakkan punggung saja, dia mesti membulatkan tekad dan mengumpulkan segenap
tenaganya yang masih ada.
Tapi..., sebentar saja Dewa Geli dapat duduk
bersila. Tak lama kemudian, tubuh bocah berpakaian
kedodoran itu menekuk ke depan, lalu jatuh terjerembab. Wajahnya semakin kotor.
Benjolan di dahinya
bertambah lagi.
"Ya, Tuhan...," sebut Dewa Geli. "Kalau ada
orang bersedia membantuku mengatur aliran darah,
aku akan segera dapat mengumpulkan lagi hawa sakti
ku. Aku tak akan lumpuh. Tapi..., mana ada orang lain
di tempat seperti ini" Di malam hari pula...."
Susah payah Dewa Geli mencoba untuk mengambil sikap semadi lagi. Namun, kali ini
dia malah jatuh terjengkang. Dalam keadaan rebah telentang, tak
ada lagi yang dapat dilakukannya, kecuali berpikir dan
memeras otak. "Hawa sakti ku tidak lenyap. Walau berputarputar tak karuan, tapi inti kekuatan
tubuhku itu masih ada...," kata hati Dewa Geli. "Aku yakin..., aku tak
akan lumpuh selamanya. Keadaanku akan pulih seperti sedia kala. Tapi, kapan"
Kalau cuma menunggu
seperti ini, paling tidak aku butuh satu purnama agar
hawa sakti ku dapat mengumpul lagi dengan sendirinya...."
Dewa Geli menatap langit hitam yang ditebari
bintang. Pantulan sinar keemasan sang candra memberi satu harapan kepadanya. Dia
harus mencoba lagi.
Dia tak boleh pasrah menerima keadaan yang tak
menguntungkan itu.
Tapi..., mana dapat Dewa Geli mengambil sikap
semadi lagi untuk mengumpulkan hawa saktinya"
Menggerakkan jemari tangannya saja dia tak bisa!
"Aku bukan orang yang takut mati. Usiaku sudah seratus tahun. Aku memang pantas
untuk dijemput ajal...," ujar Dewa Geli dalam hati. "Tapi..., kalau
aku mesti mati dengan cara disembelih oleh Putri Budukan, alangkah buruknya cara
kematianku nanti.
Aku khawatir, cairan darahku benar-benar mempunyai
khasiat seperti yang dituturkan oleh perempuan Jahat
itu. Bila orang jahat mendapat tambahan kekuatan,
biasanya dia akan semakin mengumbar kejahatannya.... Itu tak boleh terjadi!
Putri Budukan tak boleh
tahu aku berada di sini dalam keadaan lumpuh seperti
ini!" Dewa Geli membulatkan tekadnya kembali. Dia
harus bangkit duduk mengambil sikap semadi. Dia tak
boleh lumpuh. Namun..., tenaganya yang tersisa cuma
dapat untuk menggerakkan kelopak mata. Tubuh si
bocah benar-benar telah lumpuh tiada daya!
Mendadak, bola mata bocah berambut tipis itu
membelalak seperti menyimpan kekhawatiran hebat.
Telinganya menangkap suara berisik semak-semak
tersibak. Lalu, terdengar suara kaki melangkah....
"Kalau ada binatang buas di tempat ini, matilah
aku...," pikir Dewa Geli. "Tapi, hal itu lebih baik asal
aku tidak jatuh ke tangan Putri Budukan...."
Bola mata Dewa Geli semakin terbelalak. Beberapa saat nafasnya terhenti karena
terbawa perasaan
tegang. Suara langkah kaki itu semakin mendekat.
Kemudian..., semak belukar di depan Dewa Geli tersibak! Dan, muncullah seraut
wajah mungil milik seorang manusia kerdil!
"Celaka! Anak buah Putri Budukan!" kejut Dewa Geli.
Bocah berkulit hitam itu hendak meloncat
bangkit. Tentu saja maksudnya tak kesampaian karena tenaganya benar-benar telah
lenyap. Yang dapat dilakukannya hanyalah memelototkan mata, menatap
penuh ancaman! "Kau... kau...," ujar lelaki kerdil, menunjuk hidung Dewa Geli.
Mendadak, lelaki yang tubuhnya lebih pendek
dari Dewa Geli itu membalikkan badan. Dewa Geli jadi
panik. Dia dapat menduga bila lelaki kerdil itu hendak
melaporkan apa yang telah dilihatnya kepada Putri
Budukan. Dan, itu berarti malapetaka bagi Dewa Geli!
Dewa Geli berteriak mencegah kepergian si lelaki kerdil. Tapi, suaranya tersekat
di tenggorokan! Dia
cuma dapat mengeluh pendek, merutuk keadaannya
yang tak menguntungkan....
Sebentar kemudian, Dewa Geli melihat sepasang kaki putih mulus yang berdiri di
dekat kepalanya.
Sepasang kaki itu berdiri tegak dan tak bergerakgerak. Pemiliknya sama sekali
tak mau mengeluarkan
suara. Terkejutlah Dewa Geli bagai disambar petir. Setelah dia mengarahkan pandangan ke
atas, tahulah dia
bila pemilik sepasang kaki itu tak lain dari Putri Budukan!
"Celaka! Celaka!" keluh si bocah dalam hati.
"Ha ha ha...!" mendadak Putri Budukan tertawa
bergelak-gelak. "Kini, kau tahu kehebatanku, bukan"
Kau tahu pula kepintaran ku, bukan" Ha ha ha...! Kau
telah termakan pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'. Sebentar lagi, cairan darahmu
akan menjadi anugerah kejayaan ku! Ha ha ha...!"
Usai tertawa bergelak, wanita buruk rupa itu
bersuit. Dari balik semak belukar, muncul sepuluh
manusia kerdil. Mereka langsung mengangkat tubuh
Dewa Geli beramai-ramai
"Matilah aku...," desah Dewa Geli, menutup
mata rapat-rapat.
5 DI BAWAH siraman cahaya rembulan, tubuh
Dewa Geli terbaring telentang di atas bongkah batu
persegi. Tubuh bocah berpakaian kedodoran itu lemah
lunglai tiada daya. Seluruh kekuatannya telah lenyap
tersedot oleh pengaruh pukulan 'Sihir Penjerat Arwah'
Putri Budukan. Sementara, batu persegi tempat terba-
ringnya tubuh si bocah tampak rata dan licin. Karena
tiupan angin malam yang membawa lapisan kabut,
hawa dingin batu itu terasa menusuk tulang dan amat
menyiksa. Namun, Dewa Geli tak dapat berbuat apaapa lagi, kecuali pasrah pada
keadaan. Tiga puluh lelaki kerdil menari berputar-putar
mengelilingi tubuh Dewa Geli. Sambil menari, mereka
menyanyi pula dengan diiringi tabuhan tambur dan
genderang. Lelaki-lelaki kerdil yang cuma mengenakan
cawat itu tampak begitu larut dalam kegembiraan. Sepertinya, mereka tengah
mengadakan pesta yang amat
meriah. Sekitar dua tombak dari batu persegi tempat
terbaringnya Dewa Geli, Putri Budukan berdiri tegak
mengenakan jubah hitam. Tatapan matanya tajam
menusuk, tertuju ke tumpukan ranting kering yang
berada di hadapannya. Lidah api segera menjilat menyala-nyala saat Putri Budukan
melemparkan obor ke
tumpukan ranting kering itu. Lalu, di seantero Puncak
Kupu-kupu terdengarlah ucapan aneh Putri Budukan
yang melengking tinggi. Ucapan wanita buruk rupa itu
penuh getaran yang mampu menciutkan nyali siapa
saja yang mendengarkan.
"Roh-roh yang tersesat dalam gelap..., jiwa-jiwa
manusia mati yang masih belum rela meninggalkan
dunia..., setan gentayangan, jin peri perayangan, uluulu banaspati..., yang
telah menjatuhkan kutuk atas
diriku..., malam ini ku persembahkan satu tebusan
atas kutuk yang ada pada diriku. Walau aku tak menentukan hari terbaik, walau
aku tak melakukan upacara penghormatan..., tapi sudilah kalian melepas kutuk
ini. Kembalikan wajahku dalam kecantikan. Tambahlah kekuatanku dalam
kedahsyatan. Darah seorang manusia pilihan akan menjadi tebusan...."
Usai mengucapkan kata-kata itu, Putri Budukan mengangkat telapak tangan
kanannya. Tabuhan
tambur dan genderang langsung terhenti. Terhenti pula tarian dan nyanyian tiga
puluh lelaki kerdil. Mereka
berjalan satu persatu dalam kebisuan, lalu membentuk barisan bersap tiga di
belakang Putri Budukan.
Setelah keadaan hening berlalu beberapa saat,
Putri Budukan berjalan perlahan mendekati Dewa Geli
yang masih terbaring tanpa daya di atas bongkah batu
persegi. Tatapan Dewa Geli tampak nyalang karena
menyadari bila dirinya akan dijadikan tumbal oleh Putri Budukan.
"Kutuk akan segera sirna.... Wajahku akan segera berubah ayu jelita....
Si Kumbang Merah 16 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 12
^