Pencarian

Neraka Neraka 2

Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Bagian 2


Alang Sitepu saja yang tetap bersemedi diruangan khusus bangunan batu tersebut.
Begitu mereka berada diluar. Maka terli-
hatlah oleh mereka seorang laki-laki gemuk bu-
kan main dibantu dengan oleh seorang gadis se-
dang bertarung dengan dua ekor harimau putih
peliharaan Nyanyuk Pingitan.
Perempuan berwajah mengerikan ini terke-
keh-kekeh melihatnya.
"Rupanya kita kedatangan tamu. Biarlah
dua ekor macan putih milikku yang melayaninya.
Sebentar lagi mereka tentu menjadi santapan
yang empuk! Hik hik hik...!"
"Kau begitu yakin, Nyanyuk" Tahukah kau
bahwa laki-laki gemuk itu adalah tokoh dari gu-
nung Merbabu?" tanya Raka Tendra.
"Apakah mereka setan, atau apa. Aku tidak
perduli. Jika mereka tidak mempunyai nyawa
rangkap mengapa begitu takut" Dua macan putih
itu mempunyai keahlian tiga tingkat diatasku.
Karena mereka adalah paman guruku!"
Apa yang dikatakan oleh Nyanyuk Pingitan
memang tidak berlebihan. Selain sangat tangkas, kedua macan putih ini seakan
mengerti ilmu silat.
Setiap serangan yang dilakukannya ganas bukan
main. Apalagi mereka menyerang dengan cara
yang berbeda-beda.
Sebagai orang yang sangat berpengalaman,
Gajah Gemuk bukan tidak menyadari akan hal
ini. Menghadapi dua ekor harimau sekaligus bu-
kan apa-apa baginya. Tapi ia juga harus melin-
dungi muridnya yang baru saja sembuh dari luka
dalam yang dideritanya.
Ini yang membuatnya agak repot. Sebenar-
nya ada satu hal yang membuatnya terheran-
heran. Seingatnya ia sudah dua kali menghantam
kepala harimau putih itu dengan telak dan keras.
Tapi pukulan yang mengandung tenaga dalam
tinggi ini seakan tidak membawa arti apa-apa.
Malah kedua binatang ini semakin liar dan
beringas, sehingga setiap serangan baik berupa
cakaran maupun terjangan mereka semakin ber-
bahaya saja. ENAM Kenyataan ini membuat Gajah Gemuk se-
gera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak
wajar pada kedua harimau itu. Ia merasa tidak
yakin ada harimau kebal terhadap serangan pu-
kulannya. Untuk itu ia mengambil ancang-
ancang. Kedua tangan yang dikepalkannya ke-
mudian dihantamkannya ke tanah. Lalu terden-
gar bentakannya yang sember.
"Jika kau bukan harimau sungguhan, ma-
ka kembalilah ke asalmu!"
Tubuhnya tiba-tiba melesat ke depan, ber-
samaan waktunya dengan sang harimau yang
menerjang ke arahnya.
Begitu cakar sang macan menyambar ke
bagian muka ia miring ke kiri sementara dua tinjunya menggedor dada makhluk buas
tersebut dua-duanya sekaligus.
Buk! Beek! "Graaaumg...!"
Kedua harimau putih itu terlempar dan
mengeluarkan suara menggerung. Begitu me-
nyentuh tanah makhluk ini menggelepar dan se-
cara perlahan kembali ke asalnya.
"Harimau siluman!" desis Dewi Bulan. Seketika ia mencabut pedang pendeknya. Dua
ekor harimau yang telah kembali menjadi manusia ini
bangkit berdiri. Ternyata mereka adalah dua
orang laki-laki berumur kira-kira 56 tahun be-
rambut panjang menjulai berbaju putih dan be-
rambut putih. Ditangan mereka tergenggam se-
buah seruling berwarna kuning keemasan.
"Berani kau datang ke lembah ini, Gendut!
Sama artinya kau dan muridmu membuang nya-
wa percuma." dengus salah seorang diantara mereka. "Ha ha ha! Melihat pada
seruling itu dan juga melihat tampang kalian yang jelek-jelek. Kau pastilah
Sepasang Iblis Seruling Emas" Suruh keluar murid keponakanmu yang pantas menjadi
nenek kalian itu!"
"Kau berada diwilayah kami. Tidak layak
memerintah terkecuali patuh pada perintah ka-
mi!" "Setan! Murid keponakanmu itu telah mencuri Prisma Permata, hingga membuat
sebagian Jawa ini dilanda lautan lahar panas. Ulahnya telah membangkitkan Manusia Merah
dari penjara bumi. Selain itu dengan Prisma Permata itu Nya-
nyuk Pingitan dan kawan-kawannya bermaksud
merajai rimba persilatan dengan mendirikan se-
buah kerajaan."
"He he he! Itu adalah sebuah rencana yang
sangat baik, gendut. Mengapa kau malah iri" Ka-
lau kurang senang mengapa kau dan orang-orang
golongan lurus tidak mendirikan sebuah menara
kematian saja?"
Bukannya marah Gajah Gemuk malah ter-
gelak-gelak. "Aha, betul. Kami juga memang bermaksud
mendirikan sebuah menara sekaligus membuat
lubang besar. Tapi kami persiapkan semua itu
untuk mengubur kalian," kata Gajah Gemuk pu-la.
"Paman Rawa dan Paman Ruwi. Jangan
mengulur-ulur waktu. Lekas bunuh guru dan
murid itu sekarang juga!" teriak Nyanyuk Pingitan yang terus menyaksikan
perdebatan itu bersama
dua orang kawannya. Rawa dan Rawi menanggapi
perintah murid ponakan itu dengan anggukan
kepala. Iblis Seruling Emas ini tiba-tiba membentuk gerakan yang sangat aneh.
Tangan yang me-
megang seruling menuding lurus ke depan. Se-
dangkan tangan kiri menyilang di dada.
"Hiiit!"
Wuuus! Nguuung! Ketika mulut mereka menggembor nyaring.
Tahu-tahu tubuh mereka telah melesat ke depan.
Yang diincar adalah mata dan tenggorokan Dewi
Bulan juga gurunya. Gadis ini kiblatkan pedang-
nya dengan mengandalkan jurus TARIAN KUPU-
KUPU DI ATAS BUNGA MATAHARF. Sedangkan
Gajah Gemuk sendiri pergunakan tangannya un-
tuk menangkis seruling lawan.
"Haiiit!"
Traang! Traaang!
Terlihat ada percikan bunga api ketika pe-
dang ditangan Dewi Bulan membentur seruling
emas ditangan Rawa. Gadis itu sempat terhuyung
mundur, dan tubuhnya bergetar. Jemari tangan-
nya terasa panas bukan main. Jelas dalam hal
tenaga dalam. Dewi Bulan berada beberapa ting-
kat di bawah Rawa.
Gajah Gemuk sendiri yang tangannya
membentur seruling milik Rawi cuma tergetar.
Kalau saja ia tidak melindungi tangannya dengan ajian Wesi Baja. Tentu tangannya
yang dipergunakan untuk menangkis sudah remuk sejak tadi.
Sambil tertawa he he he he, kini Gajah
Gemuk balas menyerang. Sungguhpun badannya
gemuk luar biasa, tapi serangan-serangan yang
dilancarkannya sebat bukan main.
Hanya ia kelihatan lebih berhati-hati, kare-
na ia sendiri juga harus melindungi keselamatan muridnya.
Walaupun Sepasang Iblis Seruling Emas
merupakan tokoh-tokoh yang mempunyai kepan-
daian tinggi. Tapi Gajah Gemuk adalah tokoh an-
gin-anginan yang punya kepandaian sulit dijajaki.
Sehingga tidak mudah bagi Sepasang Iblis
Seruling Emas ini untuk menjatuhkannya begitu
saja. Tidak ayal lagi semakin lama pertarungan itu berlangsung semakin seru.
Sementara itu di dekat bangunan batu juga
terjadi keributan. Rupanya Suro Blondo dan Ga-
jah kurus telah sampai di Lembah Ciruyung juga.
Jika Gajah Kurus langsung bergabung dengan
Gajah Gemuk setelah melihat Dewi Bulan agak
terdesak. Sebaliknya Pendekar Blo'on langsung
berhadapan dengan Nyanyuk Pingitan, Buto Te-
renggi dan juga Diraja Penghulu Iblis.
"Akhirnya kau berani datang juga kemari,
bocah! Manusia tidak tahu membalas guna seper-
timu memang layak mampus. Tapi sebelumnya
kau harus memberitahukan padaku. Dimana
Maya Swari kau sembunyikan"!" Raka Tendra
menggeram. Sedangkan dua orang kawannya te-
lah bersiap-siap untuk mengemplang.
"Aku mana tahu menahu tentang putrimu."
Suro Blondo garuk kepalanya. Lalu tersenyum.
"Bukankah kau telah menjadi suaminya?"
Raka Tendra melotot.
"Aku suami bohong-bohongan, jadi pen-
gantin juga bohong-bohongan. Eeh... iblis bau
apek! Kulihat setelah kau bergabung dengan ka-
wan-kawanmu menjadi berani unjuk gigi dan
sombong. Apa kau kira kawan-kawanmu itu be-
cus menghadapi Manusia Merah?" Si pemuda
kemudian tergelak-gelak. "Lebih baik kalian se-rahkan saja Prisma Permata yang
telah kalian cu-ri untuk kukembalikan pada yang empunya. Ku-
jamin aku cuma minta tangan dan kaki kalian sa-
ja." "Bocah goblok tidak tahu gelagat! Mulutmu
besar dan kelewat sombong. Apa kau kira kami
akan mengampunimu?"
"Jhe... siapa yang minta ampun?" Si pemuda pegang mulutnya. "Dasar edan mulutku
kecil kalian bilang besar. Sudahlah, bosan aku bicara dengan kalian! Serahkan
saja Prisma Permata itu padaku!"
Sebagai jawabannya Raka Tendra langsung
mengemplang kepala si pemuda. Suro begitu me-
rasakan sambaran angin langsung merundukkan
badannya, sehingga kemplangan lawannya lewat
diatas kepalanya. Geram bukan main Raka Ten-
dra melihat tinjunya luput dari sasaran. Kali ini ditendangnya selangkangan
Suro. Suro melompat
lagi, Ee... lagi-lagi serangan luput pula. Melihat si pemuda berhasil
menghindari serangan. Dua
lainnya menjadi kesal. Tanpa sadar mereka seca-
ra bersama-sama ikut menyerang.
Mendapat serangan dari segala penjuru
arah dan dilakukan oleh tokoh-tokoh yang berke-
pandaian tinggi pula. Maka semakin konyollah gerakan menghindar yang dilakukan
oleh Suro. "Manusia kampret!" Buto Terenggi yang sudah merasakan kehebatan lawannya memaki
sambil mengejar. Bersamaan waktunya dengan
itu Raka Tendra menyerang pula dari samping ki-
ri. Suro terperangah, ia berpikir diantara se-
rangan kedua lawan. Tidak satupun yang dapat
dianggap ringan. Untuk itu ketika ia merasakan
angin menderu menghantam dada, pinggang,
tenggorokan dan juga kepala. Segera ia perguna-
kan jurus 'KACAU BALAU', yaitu salah satu jurus ambang pamungkas yang diwariskan
oleh kakek merangkap gurunya Dewana alias Malaikat Be-
rambut Api. Dengan gerakan yang sangat sulit diper-
caya ia jatuhkan tubuhnya. Pukulan itu luput.
Tapi dari samping tidak terduga menderu tendan-
gan Nyanyuk Pingitan. Tidak sempat lagi Suro
menghindar. Perutnya kena dihantam kaki la-
wannya. Begitu kerasnya tendangan itu hingga
membuat tubuhnya yang bergulung-gulung itu te-
rangkat kemudian terbanting lagi.
Suro merasa perutnya pecah. Panas bukan
main perut yang kena tendangan. Ia menggeliat
sambil terus berguling-guling. "Aduh biung! Moga-moga tempat nasiku tidak
berantakan di dalam.
Nenek jelek itu benar-benar minta nyawaku. Tapi daripada aku memberinya nyawa,
lebih baik ia kuberi tendangan juga." geram Suro dalam hati.
Dengan punggung bertumpu diatas tanah,
Suro memutar tubuhnya. Kaki telentang dan me-
nyambar siapa saja yang mencoba mendekatinya.
Dukk! Bletak! Bletak!
"Anjing!" maki Nyanyuk Pingitan ketika tulang keringnya tersambar tumit
lawannya, hingga membuatnya terpincang-pincang.
"Monyet! Ha ha ha... dasar monyet hitam
jelek!" Suro meledek. Semakin lama tentu ketiga lawannya ini semakin hilang
kesabarannya. "Mundur sobat-sobatku...!" teriak Nyanyuk Pingitan. Suaranya semakin sember dan
bibirnya bertambah dower pertanda kemarahannya sudah
mencapai ubun-ubun. "Biar aku mewakili Diraja Penghulu Iblis mencabut nyawa
bocah gendeng ini." Dua lawan mundur, kini hanya Nyanyuk Pingitan saja yang berhadapan dengan
Suro Blondo. "Aku tidak akan pernah puas sebelum
memakan darah dan dagingmu."
"Dari pada makan darah daging. Bagaima-
na kalau kau minum kencingku saja?" Lagi-lagi ucapan Suro hanya membuat hati si
nenek menjadi semakin panas.


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat. Kau memang pemuda tolol seka-
ligus miring! Kudengar kau punya julukan yang
konyol. Dulu sayang sekali aku tidak sempat me-
nyaksikan malam kelahiranmu yang mengheboh-
kan itu. Otakmu miring, jalanmu sinting. Coba
sebutkan siapa gurumu?" kata Nyanyuk Pingitan.
Diam-diam rupanya ia juga ingin memasti-
kan siapa guru pemuda berambut kemerahan ini.
"Ha ha ha! Kau mau bertarung atau ber-
kotbah didepanku, eeeh..." Kupikir iblis seperti-mu bisa kotbah."
"Anjing buduk!" Nyanyuk Pingitan tiba-tiba mendorong kedua tangannya ke depan.
Seleret sinar hitam menderu dan menghantam Suro.
Sesaat sebelum sinar itu menghantam tu-
buhnya. Ia telah melesat ke udara. Dalam kea-
daan berjumpalitan seperti itu, tidak mau kalah ia juga lepaskan pukulan
'RATAPAN PEMBANGKIT SUKMA'. Deru angin bagaikan di
lautan badai. Bukan main dinginnya udara dis-
ekitar tempat itu. Sinar putih bergulung-gulung bagai awan putih yang siap
memporak-porandakan segalanya.
Nyanyuk Pingitan kejut bukan alang-alang
melihat sinar hitam yang melesat dari telapak
tangannya terbuntal sinar putih laksana salju.
Pukulan Nyanyuk Pingitan yang membalik
ditambah lagi dengan pukulan yang dilepaskan
oleh Suro tindih menindih. Nyanyuk Pingitan be-
rusaha mempertahankan diri dengan melipat
gandakan tenaga dalam sambil melepaskan puku-
lan beruntun. Tapi apa yang dilakukannya ini tidak menolongnya. Secara pelan
namun pasti tu-
buhnya mulai terseret menjauhi kalangan per-
tempuran. Pakaiannya mulai koyak-koyak di be-
berapa bagian terkena hembusan angin yang se-
makin menggila,
Maka goyah juga akhirnya pertahanan
Nyanyuk Pingitan
Blaar! Deer...!
Nyanyuk Pingitan jatuh menimpa dua ka-
wannya. Sungguh aneh jika ia tidak mengalami
akibat apa-apa. Sebagaimana kita ketahui, mere-
ka berada di wilayahnya sendiri. Lembah Ci-
ruyung mempunyai banyak keanehan. Salah satu
diantaranya adalah membuat para penghuni dan
sahabat penghuni bertambah baik dalam hal te-
naga dalam maupun ilmunya.
Kini mereka bertiga bahu membahu. Tan-
gan mereka saling menyatu. Begitu jemari tangan mereka menunjuk ke arah Suro
Blondo. Lima belas sinar hitam melesat ke arah si pemuda. Merasakan sambaran
angin sinar hitam itu saja Suro
merasa tubuhnya seperti terbakar. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana jika
kelima belas sinar
itu menghantam tubuhnya.
Ia menjadi kecut, tapi segera pergunakan
jurus 'SERIBU KERA SAKTI MENGECOH
HARIMAU'. Di samping itu ia juga pergunakan se-
tengah dari tenaga dalamnya untuk memper-
siapkan pukulan 'MATAHARI REMBULAN TIDAK
BERSINAR'. Karuan saja suasana semakin bertambah
seru dan tegang. Tapi Suro tetap berhati-hati karena melihat jumlah lawannya
cukup banyak ju-
ga. Ia tidak ingin konyol sebelum berhasil merebut Prisma Permata yang di
sembunyikan oleh sa-
lah satu tokoh iblis ini.
TUJUH Kita tinggalkan dulu Pendekar Blo'on yang
sedang menghadapi lawan-lawan yang cukup be-
rat. Sementara itu Gajah Gemuk dan Gajah
Krempeng yang kini tengah menghadapi Sepasang
Iblis Seruling Emas tampak mulai berada di atas angin. Saudara sedarah yang
selalu bertarung
dengan mempergunakan tangan kosong ini sejak
mengerahkan jurus 'PARA GAJAH
BERSILATURAHMI' berhasil menekan serangan
lawan-lawannya.
Sungguhpun memang patut diakui Gajah
Gemuk dan Gajah Krempeng juga tidak terlepas
dari luka dalam yang diderita. Namun keadaan
lawan jauh lebih parah lagi.
"Kakang! Kita sebenarnya terlalu banyak
mengulur waktu dan menguras tenaga...!" Gajah Krempeng mulai mengisiki
saudaranya. Sebaiknya kita habisi saja. Lihatlah bocah itu kelihatannya jadi
bulan-bulanan. Kita harus menolong-
nya." "Apa yang kau katakan memang benar. Ta-pi orang ini seperti punya nyawa
rangkap saja. Aku sudah membantingnya, tapi tidak mampus!
Lihatlah murid kita nampaknya gelisah sekali melihat pemuda itu jadi keroyokan."
"Tapi mengapa dia tidak turun tangan
membantu kawannya?"
"Aku telah menotoknya tolol! Kalau tidak
sejak tadi dia pasti telah bergabung dengan pe-
muda itu."
"Sebaiknya lepaskan saja. Biar dia bantu
Suro Blondo."
"Edan... Dewi Bulan belum sembuh benar
dari luka dalam yang dideritanya. Biarkan dia istirahat, kalau perlu kita-kita
yang sudah pada tua bangka ini selesaikan urusan disini, lalu bantu disana."
"Huuuup!"
Seruling ditangan Rawa menderu pada saat
Gajah Gemuk saling mengirimkan isyarat pada
sesamanya. Apa yang dilakukan oleh Rawa bukan sem-
barangan serangan. Karena ia telah mengerahkan
jurus 'HARIMAU MERANGKUH LEMBAH'.
Gajah Gemuk terpaksa tarik pulang puku-
lan lalu menyampok senjata Rawa. Tapi hanya
membelokkannya sedikit saja tangkisan Gajah
Gemuk luput. Serangan ganas ini tampaknya
akan membuat remuk wajah lawan jika Gajah
Gemuk tidak cepat merundukkan wajahnya ke
samping lalu sambar tangan kanan lawan yang
memegang senjata.
"Dewa Bergabung Gajah menjerit!" teriak-nya sambil mematahkan tangan lawannya.
Kraak! Tangan Rawa patah mengeluarkan suara
berderak, namun Rawa sama sekali tidak menje-
rit. Seruling jatuh, langsung dipungut Gajah Gemuk. Dengan sekuat tenaga
langsung dipukulkan
ke kepala Rawa.
Praak! Darah dan otak Rawa berhamburan. Ba-
dannya langsung menggelosor ke tanah. Melihat
kematian saudara seperguruannya. Ruwi menjerit
bagai orang kesurupan. Tiba-tiba ia mengangkat
tangannya tinggi-tinggi, sementara seruling ditangannya dia lemparkan ke udara.
Mulut Ruwi berkomat-kamit. Dari telapak
tangannya menebar kabut tipis dan menimbulkan
bau kayu cendana.
Dari atasnya seruling yang dilemparkannya
keluar suara aneh. Ketika Gajah Gemuk dan Ga-
jah Krempeng mendongak ke langit. Maka terlihat oleh puluhan bahkan ratusan
seruling yang sa-ma. Seruling dengan ujung runcing itu kemudian
meluruk ke tanah bagaikan anak panah yang di-
lepaskan dari langit.
Tentu saja suasana menjadi gempar. Gajah
Gemuk dan adiknya langsung putar tangan diatas
kepala dengan kecepatan bagaikan titiran. Maka
terdengar suara tung ting tang disertai berpenta-lannya puluhan seruling yang
kena disampok ke
berbagai arah. Sepuluh seruling kena dihalau, yang da-
tang dua puluh menyerang. Dua puluh berhasil
dienyahkan yang datang empat puluh. Begitulah
yang terjadi seterusnya.
Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng berjin-
grak-jingrak bagai orang yang diserang lebah.
"Wuaaaah.... Tipuan mata gombal!" teriak-nya. Teriakan yang sangat keras itu
tentu saja membuat kosentrasi lawannya buyar. Praktis seruling yang sedang
menari-nari di atas udara pun
berubah menjadi tunggal dan jatuh ke bawah.
Sebelum seruling itu menyentuh tanah, Rawi be-
rusaha menggapainya. Kesempatan lengah Ruwi
dipergunakan oleh Gajah Krempeng dan Gajah
Gemuk untuk melepaskan pukulan.
Braak! Raaaak! "Aaaaa...!"
Dihantam dari depan dan belakang oleh
Gajah bersaudara. Dada Rawi remuk. Ia hanya
mampu menjerit pendek, tulang-tulang rusuknya
melesak dan menyatu. Ketika Gajah Gemuk dan
adiknya sama-sama tarik tangannya. Maka Rawi
yang sudah tidak bernyawa itu ambruk tergontai-
gontai. Keduanya saling berpandangan setelah itu mereka berpaling ke arah Suro
Blondo dan lawan-lawannya yang tampak mulai letih. "Sebaiknya ki-ta bantu dia?"
"Mari. Eeeh... tapi tunggu dulu.
Lembah ini seperti diguncang gempa!" Gajah Gemuk memasang telinganya baik-baik.
Kemudian ia memandang ke satu arah dimana suara itu be-
rasal. "Lihat bukan gempa! Tapi manusia merah!"
Benar saja yang datang ternyata manusia
merah. Ia tidak datang sendiri, melainkan bersa-ma seorang perempuan berpakaian
kembang- kembang. Sekali lihat kedua Gajah bersaudara sudah
dapat mengenali perempuan itu. Namun mereka
jadi heran. Bagaimana mungkin Ratu Penyair Tu-
juh Bayangan dapat menjinakkan Manusia Me-
rah. Semakin mendekati tengah lembah suara
mereka semakin menggemuruh. Batu-batu dis-
ampingnya di tendang oleh manusia dengan tinggi lima meter ini sehingga hujan
batu di tengah-tengah lembah sudah tidak dapat dihindari. Praktis mereka yang
sedang bertarung keluar dari kalangan pertempuran. Manusia Merah berdiri te-
gak di tengah-tengah mereka.
Cuping hidungnya mengendus-endus. Lalu
matanya tiba-tiba melotot mendelik pada Nya-
nyuk Pingitan. "Kau...!" Telunjuk Manusia Merah langsung menuding pada Nyanyuk Pingitan. Sinar
merah laksana darah menyembur dari telapak tangan
Soma Sastra. Sinar itu menderu kencang. Nya-
nyuk Pingitan tahu gelagat dan langsung meng-
hindari serangan yang tidak disangka-sangka ini.
Serangan luput, pohon dibelakangnya jadi korban langsung terbakar bagaikan pohon
kering. "Kau yang telah mencuri Prisma Permata
dari Goa Darah. Goa Darah hancur. Aku terbebas
dari dalamnya, tapi bukan malah merdeka, seba-
liknya sangat tersiksa! Terimalah kematianmu...!"
Manusia Merah kembali tudingkan telunjuknya.
Dua leret sinar laksana bara melesat dari ujung kuku Manusia Merah. Lagi-lagi
Nyanyuk Pingitan
berusaha menghindarinya sambil lontarkan caci
maki. Tapi rupanya Manusia Merah ini tidak beri kesempatan lagi. Sepuluh jari
direntangkannya.
Maka dari sepuluh jari itu secara berturut-turut menderu sinar yang sama.
Diserang sedemikian
rupa, Nyanyuk Pingitan jadi pontang-panting ju-
ga. Sungguh pun patut diakui ia punya tenaga
dalam tinggi dan juga ilmu mengentengi tubuh
yang sudah sangat sempurna.
Tapi ternyata Manusia Merah bukan saja
hanya menyerang Nyanyuk Pingitan. Raka Tenda-
ra, Buto Terenggi dan kawan-kawan. Suro Blondo
tidak luput dari serangannya. Melihat ini Pendekar Blo'on jadi kebat kebit juga.
Karena Serangan Manusia Merah itu disamping sangat ganas juga
mematikan dan menimbulkan kobaran api dima-
na-mana. Suasana di Lembah Ciruyung saat itu be-
nar-benar telah berubah menjadi Neraka.
"Manusia Merah sobatku! Jangan kau bu-
nuh kawan-kawanku. Bunuh saja manusia jelek
itu!" teriak Suro Blondo.
"Heeh... bukankah kawanku hanya dua.
Kau dan juga perempuan baju kembangan ini...!"
Manusia Merah menyahuti.
"Tidak manusia gendut perut macam kuali
tengkurap itu juga kawan kita. Juga yang kurus
kurang makan itu kawan. Mengamuk ya menga-
muk, tapi jangan bunuh kawan sendiri!"
"Baik. Dan kalian cukup menonton di ping-
gir saja. Ketiga orang ini bagianku...!"
Apa yang dikatakan oleh Manusia Merah
bukan hanya sekedar omongan belaka. Karena di-
lain saat ia telah menyerang Nyanyuk Pingitan,
Buto Terenggi dan juga Diraja Penghulu Iblis sekaligus Ketiga tokoh iblis ini
tentu saja gembira sekali. Melihat lawan-lawannya yang lain tidak ikut
mengeroyok mereka. Itu sebabnya mereka ini
langsung mengerubuti Manusia Merah dengan
berbagai tipu muslihat yang ada. Tidak segan-
segannya mereka mengeluarkan senjata andalan
dan juga melepaskan pukulan-pukulan yang san-
gat mematikan. Tapi putra titisan Jin ini selain kebal senja-
ta juga tidak mempan pukulan sakti. Sehingga
apa yang mereka lakukan hanya sia-sia saja.
Karena yang menjadi incaran pertama ada-
lah Nyanyuk Pingitan. Maka Manusia Merah lang-
sung mencecarnya tanpa menghiraukan serangan


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua orang lawan lainnya yang juga berbahaya tapi tidak berakibat pada Soma
Sastra. "Hiya..."
Nyanyuk Pingitan yang sudah semakin ter-
desak walaupun dibantu oleh kawan-kawannya
ini tiba-tiba cabut tusuk kondai perak dari batok kepalanya. Laksana kilat
sambil melesat ke udara ia sambitkan tusuk konde itu ke arah mata Manusia Merah.
Tapi Soma Sastra ini sambil menggeram
murka segera tepis sambitan lawan dengan tela-
pak tangannya. Traang! Suara berkrontangan terdengar. Sambitan
itu luput, sementara tangan Manusia Merah yang
terulur terus menyambar ke arah pinggangnya.
Nyanyuk Pingitan berusaha berkelit dari
jangkauan tangan lawannya. Tapi sudah tidak
ada lagi kesempatan baginya, karena begitu tan-
gan kiri luput. Maka tangan kanannya kembali
menyambar. Dan....
Kreepkkk...! Kini Nyanyuk Pingitan berada dalam geng-
gaman Manusia Merah. Dua kawannya yang be-
rusaha menolong dengan menusukkan senjata
masing-masing ke paha lawannya tidak membawa
akibat apa-apa.
Tusukan tidak mempan, maka mereka
memukul. Tapi pukulan yang mereka arahkan ke
kaki lawan ini malah berbalik dan menyerang diri mereka sendiri.
Cengkeraman pada pinggang Nyanyuk Pin-
gitan memang begitu kerasnya. Malah semakin
lama Nyanyuk Pingitan merasakan tekanan yang
membuat isi perutnya mau pecah dan dada sea-
kan meledak. "Cepat kau katakan dimana Prisma Perma-
ta itu kau sembunyikan!" bentak Manusia Merah hingga membuat Nyanyuk Pingitan
yang telah melindungi telinganya dengan tenaga dalam saja
menggelepar. "Ak... aku tidak menyimpannya! Benda itu
sekarang berada ditangan Raja Penyihir!" jawab Nyanyuk Pingitan sambil megap-
megap. Dalam hidupnya barulah kali ini ia merasa
ngeri menghadapi lawan.
"Cepat panggil keluar mereka!"
"Bukan mereka tapi cuma ahli sihir itu saja yang berada didalam bangunan
batu...!" "Ak-ku - tidak bisa..,!"
Tekanan pada perut Nyanyuk Pingitan se-
makin mengeras. Sehingga dari mulut dan hidung
perempuan berwajah angker itu menyembur da-
rah bercampur kotoran.
Sementara itu dari balik pintu bangunan
batu melompat keluar seorang laki-laki berbadan bungkuk berwajah rusak sebelah
menebar bau busuk dan bermata merah bagaikan bara. Laki-
laki itu berbadan bungkuk dan memegang tong-
kat berwarna hitam dengan hulu berukir kepala
ular cobra. Begitu melihat kemunculan laki-laki ini,
maka Suro Blondo, Gajah Gemuk dan Gajah Ku-
rus menghambur ke sana.
Ratu Penyair Tujuh Bayangan yang baru
mau menyusul langkahnya segera dihadang oleh
Diraja Penghulu Iblis. Rupanya setelah mereka
kehabisan akal untuk menjatuhkan Manusia Me-
rah, Diraja Penghulu Iblis menjadi marah bukan
kepalang. "Aku tidak akan ikut main keroyokan se-
perti kalian! Raka Tendra rupanya kau lebih suka mengurusi persoalan Prisma
Permata itu dari pa-da mengurusi Putrimu yang hampir saja diperko-
sa oleh Datuk Alang Sitepu?"
"Ratu Penyair! Mengapa kau berpihak pada
musuh" Lagipula apakah mungkin Datuk Alang
berani melakukan itu?"
"Turut kata-kataku. Lebih baik kau kemba-
li ke gunung Pangrangko untuk hindari kematian
bersamaku."
Raka Tendra yang dalam keadaan terkejut
ini tidak dapat mengambil keputusan secepatnya.
Ratu penyair Tujuh Bayangan jadi tidak sabar.
Disambarnya tangan sahabatnya ini. Kemudian
tanpa menoleh-noleh lagi mereka pergi dengan
kecepatan laksana terbang...
Sementara itu Datuk Alang Sitepu malah
tersenyum-senyum begitu melihat Pendekar
Blo'on serta dua gajah bersaudara. Tidak lupa ia-pun memandang tajam pada
Manusia Merah yang
sedang mengadili Nyanyuk Pingitan.
"Kalian sudah pada datang kemari semua-
nya. Berarti kalian telah datang ke neraka tanpa diundang. Kau manusianya yang
bernama Suro Blondo. Dan kalian berdua tentu dua Gajah yang
tidak berguna!" Datuk Alang Sitepu menggeram dahsyat. "Kalian segera mampus dan
jadi bangkai percuma!"
Laki-laki bertampang menjijikkan dan ber-
badan bungkuk ini angkat tongkatnya tinggi-
tinggi. Tongkat itu kemudian menebar bau bu-
suknya bangkai. Dari hulu tongkat keluar kabut
tipis berwarna kelabu. Kabut itu membentuk
bayangan dan kemudian berubah menjadi manu-
sia yang sama persis dengan Gajah Gemuk dan
Gajah Kurus. "Mundur anak muda!" teriak Gajah Gemuk dan Gajah Kurus. Ia sendiri kemudian
melompat ke depan. Setelah itu mengebutkan jubah yang
menggelantung di pundak mereka ke arah kem-
baran tiruan. Terdengar suara letusan yang sangat keras.
Gajah yang tercipta atas kekuatan sihir itu le-
nyap. Tubuh Datuk Alang Pitoka sempat tergetar.
Gajah Gemuk dan Gajah Kurus asli tertawa men-
gekeh. "Masih banyakkah permainan sulapmu"
Jangan sungkan-sungkan, keluarkan saja semu-
anya!" Datuk Alang Sitepu hanya tersenyum mengejek. Ia goyang-goyangkan kepala
tongkatnya. Kali ini kabut merah yang menebar. Kabut itu
semakin lama membubung setinggi lima meter.
Maka terciptalah manusia merah tiruan. Manusia
Merah ini langsung menyerang Gajah Gemuk dan
Gajah Kurus. Pendekar Blo'on tentu saja tidak dapat
tinggal diam. Tiba-tiba ia menerjang ke arah Datuk Alang Sitepu.
Sementara itu Manusia Merah yang se-
sungguhnya benar-benar sedang mengadili Nya-
nyuk Pingitan yang membuat Jawa bagian Barat
telah tenggelam oleh lumpur lava. Mula-mula ia
mencopoti tangan Nyanyuk Pingitan. Perempuan
renta berkulit hitam legam ini menjerit-jerit kesakitan. Kemudian ketika kedua
kakinya ditarik lepas dari badannya. Maka darah menyembur ke-
luar dari luka-luka yang sangat mengerikan ini.
Sampai disini Nyanyuk Pingitan sudah tidak
mampu menjerit lagi. Suaranya habis bersama hi-
langnya seluruh tenaga yang mengalir ditubuh-
nya. Setelah itu sambil menggeram. Manusia
Merah menginjak tubuh yang sudah tidak ber-
daya ini hingga hancur dan melesak ke dalam ta-
nah. "Ha ha ha...! Mati... malingnya sudah ma-ti...!" teriak Manusia Merah
sambil tertawa-tawa.
Suara tawa laki-laki ini benar-benar membuat
Lembah Ciruyung seperti dilanda gempa.
Buto Terenggi meskipun tubuhnya sempat
terguncang-guncang menjadi murka sekali meli-
hat kematian Nyanyuk Pingitan.
DELAPAN Ia sambil menggembor bagaikan kerbau
yang marah karena nggak mau disembelih lang-
sung mencabut kailnya yang dapat berubah me-
manjang itu. Begitu kail ada ditangannya, ia langsung menyerang Manusia Merah
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tentu saja apa
yang dilakukannya ini mendapat perlawanan yang
sengit dari Manusia Merah. Laki-laki berbadan
luar biasa tinggi ini tiba-tiba membuka mulutnya.
Lidahnya yang kemerah-merahan ini terjulur. Api
tiba-tiba melesat bergulung-gulung dari mulut
Manusia Merah yang terbuka lebar. Tidak pelak
lagi Buto Terenggi terpaksa melepaskan pukulan
saktinya. Seleret sinar kuning keperakan mencelat
dari telapak tangan Buto Terenggi. Sinar kuning itu menyambar bola api yang
bergulung-gulung
dari mulut Manusia Merah.
Zzssst...! "Hiiih...!"
Tampaknya usaha Buto Terenggi hanya
sia-sia saja. Tidak lama kemudian pukulan itu
membalik dan menghantam diri Buto Terenggi.
Hanya dalam waktu singkat, jika saja laki-
laki ini tidak cepat menghindar sudah terkena
pukulannya sendiri, ditambah lagi dengan samba-
ran lidah api yang keluar dari mulut Manusia Merah. Paling tidak tubuhnya bisa
gosong. Namun pada saat-saat yang sangat kritis
itu dari arah samping menggerung pula suara
lainnya. Manusia Merah terkejut bukan alang ke-
palang. Ketika ia memandang ke arah itu. Maka
dilihatnya Datuk Alang Sitepu tengah menga-
cungkan Prisma Permata ditangannya tinggi-
tinggi. Dari Prisma itu pula mencuat keluar Ma-
nusia Merah yang sama persis dengan Manusia
Merah yang asli. Mati-matian Suro Blondo beru-
saha menghalangi. Tapi apa yang dilakukannya
tampaknya tidak mendatangkan hasil. Tubuhnya
bahkan terpelanting tunggang langgang terkena
pengaruh getaran kehadiran Manusia Merah baru
yang muncul dari salah satu sisi Prisma.
"Hraaaakhhh...!"
Terwujudlah kembaran manusia merah ini.
Maka Manusia Merah dengan Manusia Merah
bertarung. Keadaan di lembah Ciruyung semakin ber-
tambah mengerikan sekali.
"Paman Gajah berdua. Mundurlah! Hadapi
manusia Buto yang satu itu!" teriak Pendekar Blo'on. Gajah Krempeng dan Gajah
Gemuk segera melompat dari kalangan pertempuran.
Mereka langsung berhadapan dengan Buto
Terenggi yang kini telah mempergunakan kailnya
sebagai senjata.
Sementara itu Suro Blondo kini telah ber-
hadapan dengan Datuk Alang Sitepu. Laki-laki
ahli sihir ini kembali menggerak-gerakkan tongkat ditangannya. Dari telapak
tangan kiri tiba-tiba meluncur pukulan ekor ular Cobra yang langsung
menyerang Suro Blondo.
"Heaaa...!"
Pemuda ini sambil berteriak nyaring segera
lepaskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir' Inilah
untuk yang pertama kalinya Pendekar Blo'on me-
lepaskan pukulan Maha Dahsyat yang diwariskan
oleh kakek gurunya Malaikat berambut Api.
Seketika terdengar suara jeritan dimana-
mana. Angin kencang menderu-deru menerbang-
kan batu-batu sebesar kambing jantan. Sinar Hi-
tam dan merah melesat dari telapak tangan laki-
laki ini. Dan suasana disekitar lembah berubah
panas bagai di neraka.
Duuum! Duuum! Terjadi ledakan dahsyat ketika pukulan
yang melesat dari telapak tangan Suro Blondo
membentur tongkat ditangan Datuk Alang Sitepu.
Ular-ular cobra, jadi-jadian tersapu bersih. Tubuh Datuk Alang Sitepu tergontai-
gontai. Kedua Manusia Merah yang sedang berta-
rung terkejut bukan kepalang. Sedangkan Gajah
Gemuk dan Gajah Krempeng terpaksa menyingkir
jauh-jauh. "Aduh tauubaat. Biyung... bocah gemblung
itu ternyata hendak membuat mampus kita se-
mua!" desis Gajah Krempeng sambil leletkan lidah. Sementara itu Datuk Alang
Sitepu sudah bangkit berdiri. Wajahnya berubah pucat. Bibir-
nya yang menggelambir itu bergoyang-goyang dan
seperti mau copot dari tempatnya.
"Kau ternyata pemuda yang tangguh. Tapi
kau tidak mungkin dapat mengalahkan raja Sihir
dari seberang...." dengusnya.
Tongkat di tangannya kemudian diangkat-
nya tinggi-tinggi. Menyusul Prisma Permata yang berwarna merah berkilauan.
Begitu kedua benda
ini diadu. Maka tercipta pula Suro Blondo-Suro
Blondo yang lain.
Si Pemuda meskipun geram tapi tertawa
ngakak. Ia menggabungkan pukulan 'Ratapan
Pembangkit Sukma' dan 'Neraka Hari Terakhir'
menjadi satu. Sebaliknya untuk menghindari se-
rangan lawannya ia menggabungkan jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu' dan 'Jurus Seribu Kera Sakti Mengecoh Harimau'.
Pukulan beruntun dilepaskannya ke arah
dirinya yang palsu, tidak lupa ia juga melepaskan pukulan ke arah Datuk Alang
Sitepu.

Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari ini Pendekar Blo'on benar-benar harus
menguras tenaga habis-habisan dan juga terpak-
sa mengerahkan segenap kemampuan dan kesak-
tian yang ia miliki.
Pukulan-pukulan beruntun yang dile-
paskannya membuat ciptaan Datuk Alang Sitepu
musnah terbakar. Tapi satu menghilang yang ter-
cipta bisa dua, tiga dan berlipat ganda. Inilah yang membuat Pendekar Blo'on
menjadi repot sekali. Dalam keadaan seperti itu ia tidak sempat lagi mengingat
petuah-petuah yang pernah dibe-rikan oleh gurunya. Kini ia telah bersiap-siap
untuk mencabut senjata pusakanya Mandau Jantan
yang terselip dibalik bajunya.
Tapi pada saat-saat yang menegangkan itu-
lah, seakan datangnya dari langit terlihat cahaya berwarna putih. Cahaya putih
itu berpendar-pendar dan langsung menyambar ke arah tangan
kiri Datuk Alang Sitepu yang sedang bertarung
melawan Suro Blondo.
Hanya dalam waktu sekedipan mata saja.
Prisma Permata telah berpindah tangan.
"Benda celaka ini hanya membuat geger
dunia dan isinya!" terdengar suara tanpa rupa.
Semua orang langsung menghentikan pertempu-
ran. Terkecuali Buto Terenggi yang kini telah di totok oleh Gajah Gemuk dan
menjadi tawanan-nya. Manusia Merah sendiri menjadi terheran-
heran melihat lawannya yang menyerupai dirinya
jadi menyusut. Bahkan kemudian hilang begitu
saja. Sementara diantara Datuk Alang Sitepu
dan Suro Blondo kini telah berdiri- seorang laki-laki berbaju putih, berambut
putih dan pokoknya semuanya serba putih. Ditangan kakek itu meng-genggam sebuah
Prisma Permata milik Manusia
Merah. Anehnya Manusia Merah sendiri langsung
bersujud di depan si kakek yang tidak lain adalah Penghulu Siluman Kera Putih
alias Barata Surya
dan merupakan guru pendekar Blo'on.
"Aha... guru, telah datang rupanya. Hore
guru telah datang...!" Suro Blondo tanpa sadar bertepuk tangan sambil
berjingkrak-jingkrak sehingga mengundang tawa yang lainnya.
"Cah geblek! Jangan kau berjingkrak-
jingkrak seperti anak kecil." kata kakek yang sekujur badannya memancarkan
cahaya putih ini
penuh teguran. Suro Blondo langsung terdiam
sambil garuk-garuk kepalanya.
Sementara itu Datuk Alang Sitepu yang te-
lah menderita luka dalam parah akibat pukulan si pemuda yang terakhir tadi
langsung tahu gelagat.
Ia sadar meskipun ia merupakan raja penyihir
namun ia tidak mungkin mengkadali tokoh tua
yang satu ini. Itu sebabnya begitu orang-orang
lengah. Ia langsung ambil langkah seribu.
Tapi apa yang dilakukannya ini terlihat
oleh Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng sehingga
ia mereka langsung melakukan pengejaran.
"Tinggalkan kepalamu yang bau busuk!
Jangan lari! He he he he... malah lari...!" Maki Gajah Gemuk sambil menggendong
muridnya Dewi Bulan ia tertawa-tawa.
"Guru... mengapa guru malah menyusul
kemari?" tanya Suro Blondo. Matanya meman-
dang tajam pada Prisma Permata yang berada di
tangan gurunya.
"Ketololanmu selalu membuatku kuatir.
Kalau kau mati digebuk orang mana aku perduli.
Tapi jika hanya setengah mati saja apa aku tidak repot!" dengus Barata Surya
yang sama konyolnya dengan sang murid ini tanpa senyum.
"Ah... guru. Kawanku Manusia Merah apa-
kah harus dibiarkan mendekam seperti itu. To-
long kembalikan Prisma Permata itu padanya
guru...! Kasihan dia."
"Suro Blondo. Aku lebih tahu apa yang ti-
dak kau ketahui." Penghulu Siluman Kera Putih lalu berpaling pada manusia merah.
"Kau bocah malang. Sebaiknya bangkit!"
Manusia Merah bangkit berdiri. Ia tidak be-
rani memandang pada Barata Surya secara lang-
sung. "Prisma Permata ini memang milikmu. Untuk itu akan kukembalikan padamu.
Tapi sebe- lumnya ingat-ingatlah pada pesanku ini. Kau ha-
rus kembali ke gunung Gede bersama Prisma ini.
Jika kau sayang dengan nyawa manusia. Tentu
kau akan menolong mereka dari kehancuran.
Hanya dengan kau kembali ke sana saja amukan
lahar panas akan berhenti dengan sendirinya."
"Baik paman mulia."
"Aku bagaimana guru" Apakah juga harus
kembali ke tempat tinggal guru"!" tanya Suro sambil cengar-cengir.
"Kau bocah geblek, mana kau boleh kem-
bali ke puncak Mahameru" Rimba persilatan ma-
sih membutuhkan uluran tanganmu, demikian
juga manusia lain yang hidup dalam kekejaman
jaman. Lagipula kau harus mencari musuh besar
orang tuamu, maka teruskanlah pengembaraan-
mu!" "Apakah guru hendak ikut aku?"
"Siapa sudi, jalan bersama denganmu bisa
membuat aku semakin goblok!"
"Guru sendiri memang sudah geblek, su-
dah miring dan setengah edan dari sananya, kok.
Ha ha ha...!"
"Anak Setan! Jangan kau berani kurang
ajar padaku, ya?" bentak Barata Surya dengan mata melotot.
"Guru muka monyet. Nyiet-nyiet... ha ha
ha...! Urusilah kera-kera silumanmu!" dengus si konyol. Kalaulah Penghulu
Siluman Kera Putih tidak hapal betul bagaimana tabiat murid yang
sangat disayangnya itu. Tentu Si Bocah Ajaib sudah di kemplangnya sejak tadi-
tadi. Kini sikap Barata Surya berubah serius. Ia
berpaling pada Manusia Merah yang terus men-
dekam seperti ayam betina mau nelor.
"Terima prisma Permata ini, jangan kau sa-
lah pergunakan lagi." pesan si kakek.
Manusia Merah menerima Kristal Permata
tersebut, kemudian....
"Budi baik paman pasti selalu ku kenang!"
kata Manusia Merah dengan penuh rasa hormat.
"Jangan lupa, kau pun harus mengenang-
ku, sobat!" kata Suro tidak mau ketinggalan.
"Ya, aku juga akan mengenangmu, sahabat
tolol sepertimu di dunia ini mana ada duanya.
Tapi terus terang aku suka, aku suka padamu!"
"Hus, kau pikir aku perempuan apa?"
"Sudahlah, jangan pula kalian saling bersikeras. Pergilah Titisan Jin!" perintah
Barata Surya. Maka tanpa bicara apa-apa lagi, Manusia
Merah langsung meninggalkan Lembah Ciruyung
yang porak poranda.
Suro Blondo memperhatikan kepergian sa-
habatnya itu sambil geleng-gelengkan kepala. Ketika Suro menoleh ke arah
gurunya, maka Peng-
hulu Siluman Kera Putih itu telah kembali beru-
bah menjadi cahaya putih, cahaya itu membentuk
sosok Barata Surya, sayup-sayup Suro menden-
gar suara gurunya....
"Hati-hatilah kau membawa diri, muridku!
Kerjakanlah apa yang semestinya kau kerjakan,
jangan tunda sampai besok apalagi sampai tua.
Pesanku jangan cengeng, jangan tinggi hati, jangan mata keranjang dan jangan
pula ngompol. Ha
ha ha...!"
"Si edan itu dari dulu sampai sekarang te-
tap saja edan. Ah, guruku aku pasti merindu-
kanmu!" desis Suro.
Pendekar Mandau Jantan alias Si Bocah
Ajaib celingak-celinguk. Ia sekarang hanya tinggal seorang diri.
"Weleh, dunia ini sekarang kurasakan sepi
sekali. Sekarang aku tinggal sendiri. Buto Terenggi dibawa kabur untuk terima
hukuman dari pa-
man Krempeng. Sunyi sungguh sunyi." desah Su-ro, seraya kemudian melangkah
meninggalkan Lembah Ciruyung. Sampai di bibir lembah yang
mulai berselimut kabut terdengar sayup-sayup
suara si pemuda konyol seperti orang sedang bersair. Lembah ini sunyi, tapi
hatiku lebih sunyi lagi. Aku sendiri kau tidak sendiri. Aku rindu apakah kau
juga rindu"
Bulan... oh kau bulan, lirikanmu membuat
hatiku berbunga-bunga.
Senyumanmu membuat jantungku nyut-
nyutan. Adakah hatimu semanis empedu"
Bulan oh bulan, dimanakah dikau"
Ha ha ha. Aku disini....
Suara si pemuda tiba-tiba terputus ketika
mendengar suara bergemerisik tidak jauh di sam-
pingnya. SEMBILAN "Hi hi hi...! Pemuda goblok lagi kasmaran.
Manusia paling tolol di kolong langit. Sair picisan begitu apa hebatnya?" kata
sebuah suara dari balik semak belukar.
Suro nyengir, lalu garuk-garuk kepala.
"Ee... kau siapa, manusia usilan perempuan jelek kayak hantu. Atau kuntilanak
kawannya almar-hum Nyanyuk Pingitan atau kau saudara kem-
barnya?" cibir Suro Blondo.
"Hi hi hi...! Jika kau melihat diriku, aku yakin kau akan tergila-gila karena
diriku memang cantik!" sahut si gadis.
"Siapa mau percaya, orang yang selalu
sembunyikan diri biasanya punya wajah buruk
seperti beruk (monyet). Tentu saja beruk yang
paling jelek di dunia. Ha ha ha...!"
"Hmm, bicaramu sungguh keterlaluan.
Apakah setelah kawan-kawanmu pergi kau masih
mau jual lagak di depan si Cantik?" dengus suara di balik semak-semak itu.
"Kalau kau memang cantik, mengapa tidak
perlihatkan diri?" tanya Suro.
Suasana berubah sunyi, Pendekar Bloon
garuk-garuk kepala. Semak belukar di samping-
nya sedikit pun tidak bergoyang.
"Hei, mengapa kau diam?" tanya Suro. Di-am-diam hatinya mulai gelisah. Kembali
tidak terdengar jawaban apa-apa. Suro penasaran, lalu mendekati semak-semak belukar
dimana suara tadi berasal. Daun-daun disibakkannya.
"Tidak ada, apa tadi rohnya Nyanyuk Pingi-
tan yang mulai gentayangan ya...?" pikir Si Bocah Ajaib.
Kemudian ia menyingkap semak-semak di
sampingnya. Tiba-tiba saja sebuah tangan meng-
hantamnya. Buaak...! "Ekh...!"
Suro jatuh terduduk, pukulan tadi cukup
keras juga, apalagi pemuda ini dalam keadaan tidak waspada. Pemuda itu merasa
beribu kunang- kunang menari di matanya, nafasnya sesak. Na-
mun dengan cepat ia bangkit berdiri.
Pendekar Mandau Jantan hendak lepaskan
pukulan, namun di balik semak belukar terlihat
sesosok tubuh melesat ke udara, dilain waktu telah menjejakkan kakinya tanpa
menimbulkan su-
ara sedikit pun
Suro cepat berbalik. Maka terlihatlah oleh-
nya seorang gadis berpakaian ketat. Sehingga bagian-bagian yang menonjol
bertonjolan dengan jelas. Namun wajah gadis ini ternyata jelek bukan
main. Mukanya benjol-benjol seperti tumbuh pe-
nyakit bisul yang tidak terhitung.
"Gadis ini bersuara merdu, aku mengapa
tidak yakin kalau dia gadis yang jelek. Padahal kenyataannya benar-benar jelek."
guman Suro dalam hati.
"Pemuda geblek berambut seperti rambut
jagung! Kau telah membuat bencana di lembah
Ciruyung. Tahukah kau hal itu hanya akan me-
nyengsarakan dirimu sendiri?" dengus si gadis.
Suro tertawa dengan mulut terpencong.
"Betulkan begitu, kalau begitu aku menjadi sedih.
Tapi aku lebih sedih lagi melihat wajahmu yang
jelek. Ha ha ha!"
"Kau boleh bicara apa saja. Yang perlu kau ketahui jika guruku datang kesini.
Pasti jiwamu tidak akan tertolong!"
"Siapa gurumu" Apakah masih punya hu-
bungan dengan Nyanyuk Pingitan?" tanya si konyol. "Guruku adalah kakang
seperguruan dengan bibi guru Nyanyuk Pingitan! Nah sekarang
sudah jelas bagimu! Bersiap-siaplah untuk mam-
pus! Heaa...!" Gadis yang sekujur tubuhnya dipenuhi dengan benjolan-benjolan itu
langsung me- nyerang Suro Blondo. Pemuda berambut hitam
kemerahan ini berkelit.
"Hei... kau sudah jelek main serang saja.
Sebutkan dulu namamu, nanti baru boleh kau
membunuhku!"
"Kau segera tahu siapa namaku setelah di
neraka nanti!" dengus si Cantik.
"Aih...!"
Suro terpaksa merundukkan tubuhnya ke-
tika tinju lawan menghantam mukanya. Si gadis
mendengus geram. Dalam hati ia merasa kaget
juga melihat keanehan gerak yang dimiliki oleh
lawan. Tiba-tiba saja ia melompat mundur, lalu
bergerak ke samping, sedangkan tangannya me-
lakukan gerakan seperti menggaruk dada.
"Wah kalau gatal biarkan aku saja yang
menggaruk kau punya dada, Cantik. Pasti aku ti-
dak akan menolak! Tapi aku yakin di atas kau
punya bisul masih ada bisul-bisul yang lain
dan...!" "Anak setan!" maki si gadis. Kemudian ia melompat tangannya terpentang
mencakar mulut Suro. Suro katupkan mulut dan selamatkan ke-


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pala. Tangan kanan di angkat, sehingga terjadi
benturan keras.
Duuk! "Ukh...!"
Suro sempat terhuyung, telapak tangannya
memerah, mulut si pemuda termonyong-
monyong. Kemudian ia memutar tubuhnya, ten-
dangan lawan bersiut keras. Suro berjongkok, la-lu melompat-lompat sambil garuk
sana sini. Keti-ka tendangan pertama lolos, maka si gadis meng-
hujaninya dengan pukulan dan tendangan.
Pendekar Blo'on tampak semakin sibuk. Si
Cantik, namun jelek kelihatannya semakin mem-
babi buta. Tiba-tiba saja ia melompat, ee... Suro terpeleset. Tidak ayal lagi
tinju lawannya menghantam tubuh si konyol...
Buk! Buk! "Adow...!"
Pendekar Mandau Jantan terguling-guling.
Ia jatuh tengkurap, lawan sekali lagi melompat
bermaksud menginjak punggung Suro dengan sa-
tu hentakan yang sangat keras. Tapi Suro sudah
menggelinding lagi, sehingga injakan si Cantik
meleset. Kaki gadis itu sampai amblas sampai se-dalam mata kaki. Ia cabut
kakinya, begitu terbebas tubuhnya melesat, tangan meluncur men-
cengkeram leher Suro. Belum kena Suro sudah
melotot seperti orang yang tercekik. Bukan main geramnya si Cantik melihat
tingkah si konyol. Ia kemudian mengerahkan jurus 'Pancaran Surya',
sungguh aneh. Tubuh gadis itu kemudian berpu-
tar-putar. Di bibirnya terdengar pekikan-pekikan seperti suara nyanyian-nyanyian
sumbang. Tubuhnya berkelebat, lalu tubuhnya meluncur lagi.
Suro ketika itu segera mengerahkan jurus
'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
Suro melompat-lompat, pantatnya ber-
goyang-goyang dengan gerakan yang tidak tera-
tur, ia menjerit-jerit seperti hewan buas yang me-lolong. Lalu disaat serangan
beruntun menghuja-
ni dirinya. Pemuda ini langsung memapakinya.
Des! Des! "Heh...!"
Si cantik terhuyung-huyung, namun Suro
hanya tergetar saja. Gadis itu menggeram. Lalu
tanpa terduga-duga lepaskan pukulan ke arah si
konyol. "Edan. Dia benar-benar menghendaki nya-
waku. Bukan main-main"!" gerutu Suro.
Serangan yang menghampar hawa dingin
itu melabrak Suro, tapi pemuda ini tidak tinggal diam. Dengan mulut termonyong-
monyong sebagai tanda keseriusannya. Pendekar Mandau Jan-
tan hentakkan tangannya. "'Kera Sakti Menolak Petir'! Heaaa...!" Sinar putih
menderu. Lalu terjadi benturan persis di depan Suro Blondo.
Buuuum...! "Hekh!"
Suro menjerit sambil terhuyung-huyung.
Tangannya mendekap wajahnya yang panas se-
perti tercebur ke dalam air mendidih. Si Cantik tergelak-gelak.
"Goblok, sebenarnya aku tidak goblok. Aku
cerdik, namun selalu agak telat mikir!" gerutu Su-ro mencaci diri sendiri.
"Sebentar lagi kau benar-benar mampus,
Pendekar Geblek. Hutang nyawa bibi guruku ha-
rus dibayar lunas dengan tampang konyolmu!"
geram Si Cantik.
"Hh, Cantik namun jelek. Silakan jika kau
mampu melakukannya. Jika aku mati, arwahku
gentayangan. Aku akan mencari manusia jelek
sepertimu, aku akan menghantui hidupmu hingga
kau minta ampun dan terkencing-kencing!" sahut Suro.
"Dasar Setan!"
"Kau juga biangnya setan."
"Haiiiit!"
Sambil membentak keras, Cantik menca-
but senjata dari balik pinggangnya. Senjatanya
unik juga, sebuah keris berkeluk tujuh berwarna hitam. "Kau punya senjata
bentuknya berliku-liku. Sungguh unik, tapi racun yang terkandung
di dalamnya sangat keji. Kalian golongan sesat
memang orang-orang yang selalu haus darah. Ke-
tahuan Nyanyuk Pingitan bersalah, kalian masih
tetap membelanya!" kata Suro.
Sebagai jawaban Cantik gerakkan senjata
di tangannya. Sinar hitam menderu, lalu menu-
suk lambung Suro. Pemuda ini pergunakan jurus
'Kacau-balau', dan yang namanya jurus ini- me-
mang benar-benar kacau sekali. Setiap serangan
balik maupun gerakan menghindar yang dilaku-
kan Suro tidak pakai aturan sebagaimana
umumnya jurus-jurus silat biasa. Kaki si pemuda bergerak lincah, tubuhnya meliuk
ke kanan atau ke kiri seperti pohon yang di tiup angin.
Di lain waktu ia sudah berputar, lalu keti-
ka tusukan untuk yang kesekian kalinya mence-
car tubuhnya, maka Suro berkelebat dan berpu-
tar ke belakang. Seluruh tenaga dalam di alirkan ke tangan, hingga tangan itu
bergetar. Lalu....
Braak! "Akh...!"
Pukulan keras itu membuat tubuh Cantik
terpelanting. Keris di tangannya tercampak jauh.
Ia langsung tidak sadarkan diri, sedangkan darah tampak mengalir deras di
mulutnya. SEPULUH Suro Blondo yang semula memang tidak
punya niat membunuh gadis yang mengaku seba-
gai si Cantik ini langsung datang menghampiri.
Entah mengapa ada perasaan lain di hatinya. Ru-
panya itulah yang membuatnya terdorong untuk
mengusap darah yang mengalir di sudut-sudut
bibir yang dipenuhi dengan benjolan-benjolan itu.
Eeh, benjolan tersingkap. Ternyata di balik benjolan tersebut tampak begitu
halus. "Orang ini ternyata memakai topeng!" desis Suro. Ia kemudian menyingkapkan
topeng yang sangat mirip dengan kulit itu. Begitu topeng tipis ini terkelupas seluruhnya.
Maka terbelalaklah
mata Suro lebar-lebar.
"Astaga! Wajahnya sangat cantik sekali.
Mengapa dia lebih suka menyaru seperti orang
buruk" Aku sungguh tidak menyangka dan hati-
ku mengapa deg-degkan begini" Padahal dia jelas-jelas musuhku!" guman Pendekar
Blo'on. Ia menggaruk-garuk rambutnya hingga tampak
acak-acakkan. Sebentar diperiksanya keadaan Si Cantik.
Ternyata nafasnya masih ada, jantungnya berde-
nyut satu-satu. Gadis itu pun ditelungkupkan-
nya. Setelah menelungkup ia berusaha mengalir-
kan tenaga dalam agar jalan darah gadis itu menjadi lancar.
Sayang belum sempat Suro menyempurna-
kan peredaran darah di tubuh gadis itu terasa
ada angin dingin bersiut. Ketika Suro menoleh ke belakang, maka tubuhnya
tersungkur. Rupanya orang yang baru datang itu me-
nendangnya. Bukan hanya sekali tendangan saja,
melainkan berulang-ulang. Tubuh si konyol ter-
banting dan terangkat, lalu terbanting lagi.
Perut Bocah Ajaib ini seperti hancur dada
terasa remuk. Dengan gerakan seperti monyet
yang kalah perang ia menghindar setengah berla-
ri. Kemudian ia menoleh, dilihatnya seorang
kakek tua berambut putih bermata juling dan
menggendong buntalan di punggungnya telah
berdiri bertolak pinggang.
"Kau apakan muridku?" Dingin suara si kakek. Namun mata julingnya terus
berputar-putar tidak mau berhenti.
"Tidak diapa-apakan, dia sendiri yang me-
nyerangku. Karena muridmu hendak menusukku,
maka aku terpaksa membela diri. Mana mungkin
aku berdiam diri"
"Hmm, agar kau tahu. Aku adalah Nya-
nyuk Buyutan, saudara tua Nyanyuk Pingitan
yang telah kau bunuh. Asalku dari Cijulang, nah apa jawabmu hingga kau berani
membunuh Nyanyuk Pingitan?" geram Nyanyuk Buyutan. Suro tergelak-gelak, lalu
pegang mulutnya hingga tertutup rapat-rapat.
"Nyanyuk Buyutan, ketahuilah... adikmu
itu telah bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat melarikan Prisma Permata. Sedangkan
Prisma itu sendiri milik Manusia Merah. Dia bersalah, tentu saja. Karena Prisma itu sangat
penting artinya
bagi keseimbangan tanah Jawa ini. Nah kalau da-
ratan sudah tenggelam, kita semua akan hidup di mana, Ki?"
"Aku sudah mendengar kabar itu. Tapi aku
tetap tidak puas hati. Bagaimana pun darah ha-
rus dibayar darah!"
"Kalau begitu dendammu terlalu membabi
buta. Sungguh setan telah menyesatkanmu!"
"Diam!" bentak Nyanyuk Buyutan. "Menyesal sekali aku harus membunuhmu!"
"Apa artinya kau bunuh aku, tokh daging-
ku tidak enak, orang jelek mata juling! Ha ha
ha...!" "Tertawalah kau sepuasmu. Katakan apa julukanmu anak Setan bertampang
tolol"!"
"Ak... eh, mau membunuh atau diskusi,
Ki" Kalau kau tanya julukan gelar atau apa saja namanya. Kalau nggak salah
'Pendekar Blo'on'
itulah julukanku. Nah apakah engkau juga ingin
kukasih julukan, Ki?" tanya Suro dengan mulut terpencong.
Nyanyuk Pingitan terdiam, namun matanya
mendelik. "Kalau kau mau gelar dariku, bagaimana
kalau julukanmu Orang Sinting Mata Juling?" ka-ta Suro sambil cengar-cengir.
"Bangsat betul kau! Anak setan sepertimu
pantasnya kukirim ke neraka. Kau hanya mem-
buat gatal tanganku!"
"Masih mending, Ki. Pantatku sendiri su-
dah gatal-gatal sejak tadi!" sahut Suro.
Jawaban si konyol ini benar-benar mem-
buat jengkel Nyanyuk Buyutan. Tanpa menghi-
raukan muridnya yang masih belum juga sadar-
kan diri. Si kakek langsung lepaskan pukulan
dahsyat ke arah Suro.
Segulung sinar biru kehitam-hitaman
menggebu menghamparkan hawa panas yang
sangat luar biasa sekali.
"Wuaaak...!"
Dengan gerakan yang tidak terduga-duga,
Suro Blondo melenting ke udara. Tangannya
langsung ditetapkan ke depan memapas serangan
lawan dengan pukulan 'Ratapan Pembangkit
Sukma'. Angin kencang dingin, menghamparkan
hawa dingin laksana es menderu-deru dan terja-
dilah benturan keras bukan main-main.
Buuuum...! "Waaa...!"
"Heeew...!"
Terjengkang Suro Blondo tunggang lang-
gang. Untung punggungnya duluan yang meng-
hempas ke tanah. Jika kepalanya duluan, nasib si geblek semakin bertambah konyol
saja. Nyanyuk Buyutan sendiri sebagai salah sa-
tu tokoh berpengalaman sempat kaget. Ia sempat
merasakan tangannya kesemutan, laki-laki kurus
ini terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Suro leletkan lidah, kepalanya digeleng-
gelengkan berulang-ulang. Mulutnya cemberut.
"Kau ternyata boleh juga Pendekar geblek.
Melihat pukulanmu tadi rasanya kau ada hubun-
gan dengan Malaikat Berambut Api! Benarkah?"
tanya si juling dan matanya terus berputar-putar seperti mata yang bingung.
"Syukur, Ki. Kau kenal kakekku, mestinya
kita salaman dulu!" kata Suro lalu ia mendekat berpura-pura salaman. Di luar
dugaan tangannya
menghantam dada Nyanyuk Buyutan.
Tokoh sesat yang telah kenyang makan
asam garam persilatan ini tentu tidak kena dikadali. Ia berkelit, tangannya
menyampok, sedang-
kan kakinya menendang.
Kini situasi berbalik, Suro terpaksa ber-
jingkrak. Lalu ia pergunakan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau',
tubuhnya pun berkelebat. Namun ujung kakinya tersangkut kaki la-
wannya. Si konyol jatuh, tapi kakinya dengan cepat berputar. Kini punggung
lawannya yang jadi
sasaran. Dees! Gubraak! "Bangsat!"
Begitu memaki Nyanyuk Buyutan melom-
pat dan berdiri lagi. Kemudian ia cabut senja-
tanya. Senjata berbentuk kebutan yang dapat me-
lemas atau berubah kaku sesuai dengan pengera-
han tenaga dalam tersebut menghantam dada Su-
ro. Pemuda ini tidak dapat mengelakkannya
lagi. Dadanya terhantam kebutan. Bajunya han-
cur daging dadanya robek dan Suro menjerit-jerit kesakitan.
Wajah si Bocah Ajaib berubah tegang, per-
lahan namun pasti rambutnya yang hitam keme-
rah-merahan ini berubah merah laksana bara.
"Gila, inikah si bocah Ajaib itu?" pikir Nyanyuk Buyutan. "Tidak dapat disangkal
bila di balik wajahnya yang ketolol-tololan ia memiliki berbagai keanehan yang
sungguh mengagumkan!"
"Huuuuuk...!"
"Ha ha ha...!" Suro tertawa-tawa, tapi tubuhnya berkelebat lenyap. Itulah jurus


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Tawa Ke-ra Siluman'. Tawa si konyol tidak kunjung henti, sedikit banyaknya
kosentrasi lawan jadi tergang-gu. Tiba-tiba saja Suro menerjang ke depan
gerakannya ini dua kali kecepatan biasa. Melihat pemuda ini nekad mengadu nyawa.
Nyanyuk Buyu- tan kebutkan senjata di tangannya.
Senjata itu berubah kaku dan tegang se-
perti kawat besi. Yang menjadi sasaran adalah
bagian muka Suro. Pemuda ini mendengus ge-
ram, kepalanya dirundukkan. Setengah berjong-
kok, tangannya terangkat tinggi menghantam si-
ku lawan. Tak! Senjata terlepas, namun kaki lawan meng-
hantam dadanya. Pemuda ini menjerit. Bibirnya
mengucurkan darah. Ia jatuh terduduk, di saat
itulah lawan mencoba menghabisi jiwanya.
Dalam keadaan terluka dalam, Suro tidak
mungkin menghindar. Sementara jiwanya benar-
benar dalam keadaan terancam bahaya. Tidak
ada pilihan lain. Pendekar Blo'on raba pinggangnya, lalu tangan bergerak. Saat
tangan bergerak, terdengar suara jerit, tawa bercampur suara ring-kikan kuda.
Ternyata pemuda ini telah mencabut Man-
dau Jantan. Terlihat sinar hitam menyambar tan-
gan Nyanyuk Buyutan.
Tess! Ada sepotong tangan terpental, terdengar
pula jeritan. Jeritan yang kemudian semakin
menjauh, ternyata Nyanyuk Buyutan melarikan
diri sambil menyambar tubuh muridnya.
"Suatu saat kau akan merasakan bagaima-
na dahsyatnya pembalasanku!" kata Nyanyuk
Buyutan sayup-sayup di kejauhan.
Suro tidak menyahuti, ia batuk-batuk, ma-
lah darah yang keluar. Setelah menelan dua obat pulung sambil mengembalikan
tenaga dalamnya.
Maka rasa sakit itu agak berkurang.
"Ekh... gila, hampir saja aku mampus!"
maki Pendekar Blo'on.
Pelan-pelan ia berdiri, namun ketika ia
mendengar suara sayup-sayup suara seorang ga-
dis, maka tersentaklah ia....
"Kakang Pangeran Linglung... suamiku ke-
kasihku...!"
"Celaka, itu kan suaranya Maya Swari!
Wah sudah tidak betul lagi. Siapa mau menjadi
suaminya putri iblis! Mendingan aku ngacir saja!"
guman Suro. Tanpa menunggu kedatangan Maya Swari,
Suro langsung lari tunggang langgang.
"Kakang Pangeran... Pangeran Linglung...
tega nian dikau... hu hu hu...!" tangis si gadis meledak Semakin di panggil
Pendekar konyol ini
semakin ngibrit. Meskipun ketika itu dadanya
masih mendenyut.
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Medali Naga 23 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 10
^