Pencarian

Hianat Empat Datuk 1

Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya ke-
betulan belaka.
HIANAT EMPAT DATUK
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Hianat Empat Datuk
http://duniaabukeisel.blogspot.com
SATU Penggoro Bumi adalah manusia licik yang
masih merupakan adik kandung Mapala Brama.
Mereka dulunya berasal dari lereng gunung Ke-
lud. Kemudian mereka pergi ke gunung Lawu dan
berguru dengan kakek sakti Sentala Dewa.
Kakek arif yang tidak pernah meninggalkan
pertapaannya sejak tiga puluh tahun yang silam ini banyak menurunkan ilmu-ilmu
hebat dan juga sifat luhur watak manusia.
Mapala Brama yang masih cucu buyut
Lembu Suro ini memang dapat berubah peran-
gainya menjadi pemuda alim, lemah lembut dan
jujur. Lain halnya dengan Penggoro Bumi, watak pemuda itu semakin keras,
dendamnya pada Tumenggung Kediri tetap membara. Ia bahkan seca-
ra diam-diam berguru pada salah seorang tokoh
sesat yang tinggal tidak jauh duri gunung Lawu.
Tentu saja secara tidak disadari, Penggoro Bumi yang mempunyai dua guru ini
mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dibandingkan saudara tuanya yang cuma
mempunyai satu guru yaitu
almarhum Sentala Dewa
Semakin tinggi ilmu kesaktian yang dimiliki
oleh Penggoro Bumi maka semakin bertambah
besarlah semangat serta keinginannya untuk
membalas dendam pada Tumenggung Kediri.
Pagi itu lereng Lawu dalam keadaan sunyi.
Di angkasa awal tebal menggumpal. Kemudian
petir datang menyambut diawali dengan samba-
ran kilat yang membuat lereng Lawu berubah
menjadi terang benderang seketika. Kemudian gelap lagi.
Pada suasana yang kurang menyenangkan
tersebut. Tiba-tiba saja terlihat sesosok tubuh bergerak menuruni batu-batu
terjal. Sosok tubuh berpakaian hitam yang wajahnya penuh keben-cian ini bergerak
secepat angin. Melihat caranya berlari, orang dapat men-
duga bahwa laki-laki ini pasti memiliki ilmu men-gentengi tubuh yang sangat
sempurna. Di belakang laki-laki itu terlihat pula sosok
bayangan berbaju merah yang tampak terus men-
gejar. Setiap gerakan yang dilakukannya juga tidak kalah mengagumkan.
Jelaslah sudah bahwa kedua laki-laki ini
saling kejar-kejaran. Hanya beberapa saat kemudian terdengar suara bentakan-
bentakan. "Percuma kau melarikan diri, Penggoro
Bumi! Sekali kau meninggalkan lereng Lawu ini
maka kau harus meninggalkan kepalamu!" desis laki-laki di belakangnya.
"Ha ha ha...! Kematian bukan di tanganmu, kakang Mapala Brama. Lebih baik kau
tidak usah menghalangi keinginanku untuk menghancurkan
Tumenggung Kediri. Aku tidak akan berhenti un-
tuk menjalankan amanat kakek Buyut kita Lem-
bu Suro. Sebab hanya dia saja manusia sakti
yang patut menjadi panutan setiap orang. Dengar kakang Mapala, sebelum hilang
kesabaranku se-
baiknya kau kembali saja ke gunung Kelud!" seru Penggoro Bumi.
"Kakek buyut meninggal karena urusan
asmara. Mengapa kau begitu keranjingan mengu-
rusi masalah itu" Sia-sia saja usahamu meme-
rangi Tumenggung Kediri. Apa yang kau dengar
sebagai bisikan buyut Lembu Suro tidak lain
hanya bisikan iblis!" seru si baju merah.
"Ha ha ha...! Tolol di pelihara. Mending
memelihara kambing, bisa dijual. Kakek buyut tidak pernah mati, buyut kita
sedang bertapa, kau dengar" Dia sedang bertapa"! Beliau menjelma
menjadi gunung merupakan sebuah bukti bahwa
beliau mempunyai keagungan dan keperkasaan.
Terbukti beliau juga menyumpah Puteri Prada
yang telah menguruknya dengan batu. Apakah
menurutmu itu bukan sebuah kedigdayaan yang
sangat tinggi Kakang?" desis Penggoro Bumi ju-mawa. Bahkan ia pun mengerahkan
ilmu lari dan meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga
membuat gusar Mapala Brama.
"Kau benar-benar keras kepala! Aku harus
menghentikan mu!" Mapala Brama segera melompat mendahului gerakan laki-laki di
depannya. Hanya dengan sekali lompat saja, maka sampai-
lah Mapala Brama di depan Penggoro Bumi. Tan-
pa basa-basi lagi ia langsung menyerang Penggoro Bumi yang masih terhitung adik
kandungnya sendiri. "Hiyaa...!"
Tangan yang terkepal itu menderu dan
menghantam lambung Penggoro Bumi. Laki-laki
itu tidak sempat menghindar serangan kilat tersebut. Apa lagi ketika ia sedang
dalam keadaan berlari Gusrak!
Penggoro Bumi jatuh tersungkur, isi da-
danya terguncang. Namun bukan main hebat
daya tahan laki-laki angker ini. Hanya dalam beberapa detik ia sudah dapat
berdiri lagi. Wajah Penggoro Bumi berubah kelam
membesi. Rahangnya bergemeletakan. Dari bibir-
nya terdengar suara desisan panjang. Kemudian.
Laksana kilat Penggoro melesat ke depan.
Kedua tangannya menderu ke bagian mata dan
dada lawannya. Betapa hebatnya serangan ini, sehingga
Mapala Brama terpaksa melompat mundur sejauh
satu tombak. Tidak lama ia mempergunakan ju-
rus 'Tabir Awan Biru'
Wuuk! Wuuk! Sheb! "Hemm.!" Penggoro Bumi mendengus disertai seringai mengejek. "Aku telah melihat
ilmu serupa yang pernah diajarkan oleh guru kita. Tapi setelah aku belajar
dengan Setan Pembisik Jiwa, ternyata ilmu itu tidak ada apa-apanya. Sekarang
coba kau lihat jurus 'Malimba Petaka Neraka'!" teriak Penggoro Bumi, suaranya
keras menggelegar.
Mapala Brama tentu menjadi sangat kaget.
Setan Pembisik Jiwa adalah salah satu tokoh sesat yang dulunya berasal dari
daerah kulon. Ti-
dak banyak yang diketahui oleh Mapala Brama
tentang tokoh yang satu itu, terkecuali ia memang pernah mendengar kehebatan
tokoh sesat itu dari almarhum gurunya Sentala Dewa
Benar saja yang diucapkan oleh Penggoro
Bumi. Ternyata hanya dalam sepuluh jurus di depan ia mulai terdesak. Serangan
Penggoro Bumi selain menebar racun yang sangat keji, juga mengandung tipu muslihat yang sangat
kejam. Ketika ia menghantam kakangnya dengan kedua tangan
yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu.
Maka Mapala Brama ini-merasakan adanya teka-
nan yang sangat hebat. Tentu saja Mapala men-
gimbanginya dengan segenap kemampuan yang ia
miliki. Namun ternyata setiap gerakan yang dilakukan oleh Penggoro Bumi hanya
tipuan, yang di-lanjutkan dengan tendangan yang mengarah ke
bagian perut. Mapala sadar betul betapa berba-
hayanya serangan ini. Ia tidak mau mengambil
resiko. Dengan cepat ia dorongkan tangannya untuk menahan serangan lawannya.
Wuuk! Duuk! "Aakh...! Bangsat eduaan...!" Maki Mapala Brama. Tubuhnya terhuyung-huyung dan
terpaksa melompat mundur untuk hindari serangan be-
rikutnya. Tangan Mapala Brama bengkak membi-
ru. Sebaliknya Penggoro Bumi bukan tidak mera-
sakan akibat apa-apa, ia merasa seakan-akan kakinya patah-patah. Sambil
menyeringai ia me-
nyumpah dalam hati.
"Bajingan ini jika tidak kuhentikan sece-
patnya aku khawatir suasana malah merugikan
aku." Setelah memikirkan baik buruknya. Penggoro Bumi kembali menerjang. Gerakan
tubuhnya lebih cepat lagi. Apa yang dilakukannya tampak begitu jelas. Setengahnya
menyerang sedangkan
setengahnya lagi bermaksud melumpuhkan tanpa
melukai. Untuk melaksanakan niatnya itu, Penggoro
Bumi jelas tidak berani gegabah. Karena Mapala Brama juga bukan tokoh angkatan
kedua yang mempunyai kepandaian rendah.
Ia terpaksa mengerahkan jurus-jurus yang
pernah dipelajarinya dari tokoh sesat Setan Pembisik Jiwa.
Jelas sekali Mapala Brama yang menguasai
jurus-jurus dari seorang guru ini kalah jauh dalam hal kelicikan-kelicikan.
Penggoro keluarkan bentakan lantang, je-
mari tangannya berkelebat menyambar laksana
mata pisau yang dapat berubah menjadi banyak.
Mapala miringkan tubuhnya kesamping
sambil menggeser langkah setindak. Serangan
ganas luput. "Hii...!"
Rupanya laki-laki berbaju merah kurang
puas atas kegagalannya. Lima jari tangan kembali menyambar. Namun Mapala sudah
melesat ke udara sambil kirimkan satu tendangan lurus ke
bagian kepala lawannya.
Penggoro berkelit disertai erangan dahsyat.
Tangannya tetap meluncur sedangkan tu-
buhnya melesat pula ke udara.
Mapala Drama sama sekali tidak menyang-
ka serangan balik yang dilakukan oleh lawannya datang terlalu cepat. Sehingga ia
tidak punya kesempatan lagi menyelamatkan kakinya dari toto-
kan lawan. Duk! Tes! Tes! Bruk! Tidak ampun lagi Mapala Brama yang
punya kepandaian tidak rendah ini jatuh terdu-
duk. Diam-diam ia berusaha menggerakkan ka-
kinya. Celaka, kakinya serasa tidak bertenaga. Ia segera menyadari bahwa dirinya
kena diperdaya oleh adik kandungnya yang keras kepala itu.
Secara diam-diam ia mengerahkan tenaga
dalam untuk memusnahkan pengaruh totokan.
Sayang usahanya sia-sia. Ia merasa kaget melihat kenyataan pahit yang terjadi
pada dirinya. Jelas di luar sepengetahuannya sendiri sekarang Penggoro Bumi
punya kemajuan yang sangat pesat.
Belum sempat laki-laki baju merah ini ber-
pikir lebih jauh. Penggoro sudah menotok bagian tubuh lainnya disertai tawa
meledak-ledak. "Kalau sudah begini apa yang dapat kau
lakukan kakang"! Aku sudah memperingati jan-
gan campuri urusanku. Jika kau tidak mau me-
lakukan apa yang sering kudengar dalam mimpi,
sebaiknya kakang tinggal disini saja sampai
mampus!" Mapala Brama yang punya sikap penyabar
ini menggelengkan kepala. Karena memang hanya
kepala saja yang dapat ia gerakkan.
"Penggoro Bumi, guru kita Sentala Dewa
sebelum meninggal pernah berpesan agar kita
jangan selalu memperturutkan hawa nafsu dan
dendam. Kau malah sebaliknya. Dendammu tetap
kau pelihara, padahal baik orang yang memberi
amanat maupun orang yang hendak dibunuh su-
dah tiada. Kau malah mau membunuh Tumeng-
gung yang tidak punya kesalahan apa-apa. Aku
lebih senang jika kau membunuhku. Apalagi jika aku harus menyaksikan banjir
darah di Kediri.
Urusan almarhum buyut Lembu Suro adalah
dengan Puteri Prada. Mereka dua-duanya sudah
tiada hampir satu abad lalu. Apakah kau tertarik mencabut nyawa sekian banyak
manusia yang tidak berdosa" Padahal urusan nyawa bukan we-
wenangmu!?" kata Mapala Brama masih berusaha membujuk.
"Bangsat betul! Kau malah mengguruiku.
Aku benci sikap lemahmu. Namun mengingat kita
bersaudara kandung, aku tidak jadi membunuh-
mu kakang! Kuperingatkan jika pengaruh totokan lenyap jangan kau cari aku. Jika
kau tetap ngo-tot, maka aku tidak segan-segan membunuh-
mu...!" "Hh, jika kau tidak mengindahkan peringa-tanku, maka apapun resikonya
tetap aku tang-
gungkan." "Orang gila keras kepala. Apa kau rela
mengorbankan nyawamu hanya karena kebaikan
Tumenggung Dadung Ampel, atau mata tuamu
tertarik dengan kecantikan puteri Tumenggung
Dewi Anggini"!" Penggoro Bumi tersenyum mengejek. "Tutup mulutmu, Penggoro.
Matamu benar-benar buta! Kau terlalu gegabah dalam men-
gartikan kebaikan orang lain." bentak Mapala Brama. Penggoro Bumi tertawa.
Tawanya kemudian melenyap. Wajah laki-laki berbaju hitam ini hanya dalam waktu
singkat telah berubah kelam
membesi. Kemudian ia menghentakkan tangan
kanannya ke arah sebatang pohon.
Wuuusss! Segulung sinar menderu dahsyat dan lang-
sung menghantam pohon tersebut. Tidak terden-


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gar suara ledakan apa-apa, namun akibat yang
ditimbulkannya sungguh sangat luar biasa sekali.
Pohon berikut daun-daunnya yang menghi-
jau menjadi hangus dan berwarna hitam. Mapala
Brama tercengang menyaksikannya. Jelas puku-
lan yang dilepaskan oleh adiknya itu bukan pu-
kulan manapun yang pernah diajarkan oleh gu-
runya. "Seperti itulah keadaanmu nanti, Kakang.
Jika kau masih tetap menghalang-halangi aku!"
Mapala Brama menoleh, namun ia tidak la-
gi melihat adiknya ada disitu. Mapala diam-diam
mengeluh melihat tindak tanduk adiknya yang
semakin tidak terkendali itu.
DUA Plak! Plok! Plok! "Ha ha ha...! Sekali tepuk dua tiga nyawa melayang. Eh... hebat... hebat juga
aku ini. Kalau sudah begini siapa yang berani melawan" Hayo...
maju! Majulah kalian kalau berani!" Pemuda tampan bertumpang tolol itu
menggumam. "Ah, ternyata kalian beraninya hanya main keroyok! Setelah kawan-
kawanmu pada mati. Sekarang kalian
kabur, melarikan diri tidak berani menyerang karena takut mati!"
Pemuda berambut hitam kemerah-
merahan berbaju biru dan memakai ikat kepala
berwarna biru belang-belang kuning ini terdiam pungutnya dari tanah.
"Heran, tidak biasanya di hutan pada
siang-siang begini nyamuk masih berkeliaran. La-gi pula kulihat dari tadi
binatang-binatang berlarian seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Apa mungkin
binatang-binatang itu...!" Suro Blondo alias pendekar Blo'on, pemuda konyol
bertampang kocak ini hentikan ucapannya. Ia menden-
gar suara ranting terinjak kaki.
Sungguhpun suara itu hanya samar-samar
saja bahkan nyaris tidak terdengar. Sebagai pen-
dekar yang indera pendengarannya sudah sangat
terlatih, hal itu sudah cukup baginya bahwa selain dirinya di sekitar tempat ia
melepaskan lelah ada orang lain pula.
"Apa yang dicari orang itu" Ah sekarang
aku sudah tahu! Tapi masa bodoh. Bukan uru-
sanku, tapi urusanmu! Urusanku jelas bukan
urusanmu. Kalau yang datang setan jelek harap
menjauh, tapi kalau bidadari cantik, sebaiknya kita jangan berpisah! Ha ha ha...
dasar gila...! Benar-benar gila!" Suro Blondo garuk-garuk rambutnya, kemudian
tertawa-tawa seperti orang kesurupan.
Mendengar suara tawanya binatang-
binatang hutan berlarian tunggang langgang.
"Manusia kampret kurang waras! Meng-
hancurkan usaha orang adalah perbuatan yang
tercela! Rusa itu hampir saja menjadi santapan panahku. Tapi gara-gara suara
tawamu yang seperti kerbau bunting! Sekarang kau harus mem-
pertanggung jawabkan perbuatanmu!" kata sebuah suara yang disertai dengan
munculnya seo- rang gadis berpakaian mewah dan empat orang
laki-laki berseragam pengawal.
"Eeh... orang itu memaki. Siapa yang di-
makinya" Apakah binatang-binatang itu" Benar-
benar edan, makhluk bernyawa mereka buru.
Mengapa dia celingak-celinguk seperti orang kehilangan jejak. Padahal jika
mereka mencariku kan aku tetap disini sejak tadi. Aku cuma memindah-kan suara
saja. Ha ha ha... pasti para pemburu
itu bingung." kata pendekar Blo'on seorang diri.
"Manusia sinting yang tertawa-tawa seperti orang gila! Lekas tunjukkan diri
tunjukkan tampang jika tidak mampus di ujung panah kami!"
Yang bicara adalah gadis berwajah cantik berbaju kembang kembang. Suro Blondo
menyeka keringat yang mengalir di keningnya. Ia tersenyum-
senyum sendiri.
"Kalau tampang kutunjukkan, berarti aku
tidak dapat menikmati wajahnya yang cantik itu.
Lebih baik aku berdiam disini agar dia penasaran dan pergi dari depanku!"
"Hei, itu dia...!" kata salah seorang dari pengawal tersebut sambil menunjuk ke
arah Pendekar Blo'on berada.
"Mati aku! Monyet botak itu benar-benar
jeli juga matanya." Si Pemuda menggerutu.
"Sebaiknya kau turun untuk mempertang-
gung jawabkan perbuatanmu, kisanak!" kulit gadis berpakaian ringkas warna ungu
ini sambil merentangkan busur ditangannya.
"Nisanak, apakah kau mau meminta du-
rianku. Untung aku masih punya satu lagi. Du-
rian ini benar-benar enak. Karena cuma satu sebaiknya para tuyul yang menyertai
nisanak itu tidak usah dibagi."
"Keparat kau!" maki para pengawal dengan perasaan tersinggung.
Diluar dugaan empat batang anak panah
langsung dilepaskannya. Sementara gadis berpa-
kaian ungu ini bermaksud mencegah tindakan
anak buahnya, tapi sudah terlambat.
Kini dialah yang menjadi kecut. Ia sadar
betul bahwa bidikan anak buahnya tidak pernah
meleset. Apalagi kini ke empat-empatnya mele-
paskan anak panah secara bersamaan.
Tapi apa yang dilihatnya kemudian adalah
sesuatu yang menakjubkan. Gadis berbaju ungu
ini tanpa sadar sempat berdecak kagum. Pemuda
tampan bertampang tolol ini sedikitpun tidak
mengelak. Tangannya dikembangkannya sehingga
tidak jauh bedanya dengan burung yang sedang
mengepak. Hanya dengan sekali lompatan ringan.
Maka dengan gerakan yang sangat sulit diikuti
kasat mata. Dua batang anak panah terjepit di
kedua ketiaknya, satunya lagi digigitnya dan yang lainnya berada dalam jepitan
kakinya. "Sayang kalau panah begini baik dibuang-
buang percuma. Lagipula apa untungnya mema-
nah aku. Dagingku rasanya pahit, darahku juga
seperti kencing kuda. Kalau kalian mau aku bisa mencarikan kalian seratus ekor
nyamuk!" kata Suro Blondo sambil menimang-nimang panah
yang berhasil ditangkapnya secara menakjubkan
tadi. Orang-orang yang melepaskan panahnya
itu rupanya sempat tercengang, termasuk gadis
berbaju ungu juga. Sehingga mereka sama sekali tidak mampu mengucapkan sepatah
katapun. "Ah... rupanya aku berhadapan dengan
orang-orang gagu. Sebaiknya aku pergi secepat-
nya. Karena akupun tidak mau ketularan penya-
kit kalian...!"
Wuus! Sheeb! "Aih... hampir saja badanku jadi sate...!"
Suro Blondo terpaksa berjumpalitan. Dilain
saat ia telah menjejakkan kedua kakinya tidak
jauh dari tempat gadis itu berdiri. Kenyataan ini tentu saja sangat mengejutkan
gadis berbaju un-gu yang bernama Dewi Anggini ini. Sebab pertama dilihatnya
tadi, pemuda berambut kemerah-merahan ini sejak melesat dari atas dahan langsung
menuju ke arah selatan dan menjauhinya.
Tapi mengapa kini setelah para pengawalnya me-
lepaskan anak panah. Pemuda itu malah berada
tidak jauh darinya"
"Kita tangkap saja pemuda setan ini, Dewi!"
salah seorang pengawalnya mengajukan usul.
"Ya... dia telah membuat keinginan Dewi
untuk mendapatkan menjangan itu tidak terlak-
sana." Salah seorang pengawal yang berdiri disamping kanan Dewi Anggini ikut
mendukung ka- wannya. "Weii... kesalahanku itu apa" Apa hubun-
gannya orang makan durian dengan menjangan?"
bantah Suro Blondo. Sungguhpun ia sudah beru-
saha bersikap serius. Tetap saja tampungnya konyol. "Bukan masalah monyet makan
durian yang kami persoalkan. Tapi tindakanmu karena
berteriak-teriak seperti orang gila, sehingga membuat menjangan yang telah
berada dalam bidikan
Dewi melarikan diri!" kata pengawal berbadan tinggi tegap dengan suara tegas
menusuk. "Persoalan ini bukan salahku. Manjangan
itu tentu saja melarikan diri karena ingin selamatkan nyawanya. Jadi jelas bukan
salahku." "Kisanak." Dewi Anggini yang sudah tertarik melihat ketampanan dan kepolosan
pemuda di depannya angkat bicara. "Siapakah kau yang sebenarnya, hendak pergi
kemana dan mengapa
sampai kesasar di hutan Nomo Keling ini?"
"Aduh..." Banyak amat pertanyaanmu,
mana yang harus kujawab terlebih dulu?"
"Coba kisanak jawab secara berurut!"
"Namaku Suro Blondo." Pendekar Blo'on menyeringai sambil garuk-garuk rambutnya.
"Aku ingin pergi ke Kediri untuk mencari pekerjaan.
Karena tidak tahu jalan, terpaksa aku bermalam di sini."
Dewi Anggini anak Tumenggung Dadung
Ampel kerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya tadi ketika anak buahnya memanah
Suro Blondo. Jelas pemuda ini bukan pemuda sembarangan.
Bukan mustahil ia seorang mata-mata musuh
yang bersikap seperti orang tolol. Bukankah terlalu banyak kejadian-kejadian
aneh di Katemeng-
gungan akhir-akhir ini" Bahkan ada kelompok-
kelompok tertentu yang menginginkan ayahan-
danya tertangkap atau dibunuh. Dewi Anggini
sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan ayah-
nya dimusuhi oleh sekelompok tokoh. Padahal ia tahu ayahnya merupakan seorang
Tumenggung yang sangat bijaksana.
"Suro Blondo. Pekerjaan apakah yang kau
inginkan di Katemenggungan Kediri" Apakah kau
mau menjadi pengurus kuda?"
"Ah, aku baru mau mengatakan pekerjaan
yang kuinginkan jika sudah sampai di depan Tu-
menggung nanti."
"Bocah tolol. Jangan terlalu angkuh untuk mengatakan tujuanmu yang sebenarnya.
Kepada kami pun kau layak mengatakannya. Karena De-
wi punya hak menentukan kau diterima bekerja
disana atau tidak!"
"Biarkan aku bicara, paman." kata Dewi Anggini. Suaranya pelan namun berwibawa.
"Apakah nisanak merupakan Tumenggung
Kediri?" tanya Suro Blondo, lugu. Dewi Anggini tersenyum juga mendengar
pertanyaan si pemuda.
"Bukan. Aku anak Tumenggung Kediri.
Nah, sekarang coba jelaskan apakah kedatan-
ganmu sengaja mencari pekerjaan atau kau mata-
mata yang mendapat tugas untuk mengobrak-
abrik ketenteraman Katemenggungan?" Suro
Blondo sempat terkejut juga mendengar ucapan
Dewi Anggini. Tapi karena tampangnya yang tolol dan konyol. Perubahan wajahnya
tidak sempat terlihat oleh Dewi maupun pengawalnya.
"Maafkan aku Dewi puteri...!" kata Suro Blondo sambil menghaturkan sembah.
"Panggil saja namaku." kata gadis itu merasa tidak enak.
"Aku bukan mata-mata. Demi Langit, bumi,
binatang laut dan harimau di dalam hutan ini.
Aku hanya ingin mencari pekerjaan." jelasnya.
"Kulihat kau bukan orang yang bodoh.
Orang yang dapat menangkap empat batang anak
panah hanya dalam sekali bergerak saja, jelas
merupakan orang yang memiliki kepandaian ting-
gi. Jika kau suka sebaiknya berterus-terang saja kepadaku. Karena bila suatu
saat kau kuketahui sebagai mata-mata yang ingin menghancurkan
ketemenggungan. Maka kepalamu akan kami ca-
but secara paksa." kata Dewi Anggini penuh ancaman. "Sudah kukatakan kepandaian
yang kumiliki hanya kepandaian pasaran. Yang jelas aku tidak ada hubungannya
dengan apa yang kau ka-
takan" "Apakah kau tidak mau berterus terang?"
"Aku bukan penjahat. Sudah kukatakan
pada kalian bahwa aku ingin mencari pekerjaan.
Tapi jika tidak ada mana berani aku memaksa!"
"Pekerjaan selalu ada dan terbuka bagi sia-pa saja yang suka berterus terang.
Namun jika kau tidak suka terus terang, lamaranmu dengan
terpaksa harus kutolak!"
Suro Blondo tersenyum.
"Apakah aku boleh bertemu dengan aya-
handamu?" "Tidak. Bicara denganku sudah cukup."
"Kalau begitu aku harus pergi!" Suro Blondo langsung melangkah meninggalkan Dewi
Ang- gini tanpa menoleh-noleh lagi.
"Eiit. Tunggu...!" Dewi memanggilnya. Tapi Suro Blondo sedikitpun tidak
mengacuhkannya.
Malah ia bersiul-siul seperti orang yang haru
mendapatkan hadiah besar dari raja.
"Kurang ajar! Benar-benar manusia yang
tidak tahu peradatan!" dengus pengawal merasa geram bukan main.
Wut! Wuut! Beberapa batang anak panah mendesing
meluruk ke arah Pendekar Blo'on. Suro Blondo
sempat mendengar datangnya bahaya yang men-
gancam jiwanya. Hanya dengan sekali menjejak-
kan tubuhnya. Pemuda inipun sudah melayang
ke udara. Tidak lama bahkan ia telah bergelan-
tungan diatas pohon dengan gerakan yang sangat indah sekali.
"Jika kalian mau menyadari, apakah kalian kira sejak tadi kalian tidak menjadi
sate mentah. Maaf... aku tidak punya persoalan dengan orang gila seperti pengawal-pengawalmu
itu Dewi. Sekarang aku harus mendapatkan pekerjaan itu di
tempat ayahmu!" kata Sura Blondo lalu tertawa membahak.
"Tunggu...!" teriakan Dewi sia-sia saja. Karena Suro Blondo telah lenyap dari
hadapan me- reka. "Kita harus memberitahukan hal ini pada Tumenggung!" kata Pengawal
berbadan tinggi tegap pada majikannya.
Dewi Anggini menganggukkan kepala setu-
ju. TIGA Katemenggungan Kediri terletak di atas da-


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taran tinggi yang dikelilingi oleh rumah penduduk. Rumah itu tidak ubahnya
seperti sebuah is-tana yang selalu dijaga ketat oleh puluhan pengawal bersenjata
lengkap. Bila malam hari penjagaan lebih ditingkatkan lagi.
Menjelang sore hari seorang pemuda berba-
ju biru berambut hitam kemerah-merahan mema-
suki pintu gerbang utama Katemenggungan Kedi-
ri. Baru saja ia menginjakkan kaki di depan
pintu utama yang dikawal oleh belasan pengawal berseragam ini. Langsung saja
mereka mengurung pemuda berbaju biru yang tidak lain adalah Suro Blondo ini.
Traak...! "Berhenti kau disitu!" kata pengawal kepala memberi perintah.
Suro Blondo langsung berhenti, lalu meng-
garuk rambutnya.
Pada saat itu pengawal-pengawal lainnya
telah mengepungnya dengan senjata terhunus.
"Siapa kau" Dan apa keperluanmu masuk
ke Katemenggungan ini?"
"Aku ingin bertemu dengan Tumenggung
Dadung Ampel. Aku butuh pekerjaan apa saja."
kala pendekar Blo'on berterus-terang. Padahal tu-
juan yang sebenarnya sejak ia mendengar berita rahasia untuk menggulingkan
Tumenggung Kediri
dari orang-orang yang ditemuinya. Suro Blondo
punya keinginan untuk melihat dari dekat apa
yang terjadi selanjutnya.
Tapi manalah pengawal mau tahu. Sebab
sejak mendapat perintah untuk menangkap siapa
saja yang mencoba masuk ke Katemenggungan.
Mereka bertindak lebih tegas lagi.
"Temenggung tidak ingin bertemu dengan
siapa saja. Apalagi orang bertampang tidak meyakinkan seperti kau!"
"Aku tidak punya kepentingan dengan kau,
pengawal. Lebih baik kau beri jalan untuk tuan-mu ini. Sukur aku mendapat
kerjaan. Nantinya
aku pasti tidak lupa dengan jasa baikmu!"
Tanpa banyak bicara, kepala pengawal
langsung memberi isyarat pada kawan-kawannya
untuk meringkus pendekar Blo'on.
Karena pada dasarnya Suro Blondo punya
tujuan tertentu. Maka ia tidak mengadakan per-
lawanan ketika para pengawal itu meringkusnya.
Ia hanya berpura-pura melompat kian kemari ba-
gaikan seekor monyet kebakaran jenggot.
Buuk! Buuk! "Ukh...!"
Suro Blondo mengeluh, tubuhnya limbung
dan langsung terduduk. Tidak lama kemudian
pengawal-pengawal lainnya langsung mengikat-
nya. Pada saat itulah terdengar suara bentakan
keras menggelegar.
"Seret kemari!"
Suro Blondo mencuri pandang kearah
orang yang baru saja bicara. Laki-laki itu berbaju kuning menyolok. Bersenjata
golok besar berkepala botak dan berkumis serta berjenggot tebal.
Di samping laki-laki tinggi besar ini berdiri tiga laki-laki berpakaian sama.
Cuma mereka ada
yang bersenjata pedang, rantai bola berduri dan juga keris berwarna kuning
keemasan. Kepada merekalah Suro Blondo diserah-
kan. Dalam keadaan terikat seperti itu, tentu sa-ja Suro Blondo tidak dapat
berbuat banyak, satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah pasrah
tanpa mampu melakukan sesuatu.
"Kau siapa" Dan mengapa begitu berani
masuk ke Katemenggungan ini?" bentak laki-laki berbadan paling tinggi
dibandingkan tiga lainnya.
"Empat laki-laki botak ini sesungguhnya
mirip tuyul. Tapi mengapa tampang mereka se-
perti tampang setan penghuni neraka?" Suro Blondo menggumam dalam hati.
"Manusia dungu bertampang tolol. Kurasa
kau tidak budek, lekas jawab pertanyaanku atau kau ingin agar aku membuatmu
babak belur?"
"Aku adalah aku" sahut Suro Blondo kesal.
"Sedangkan kau bukan aku."
Buuk! Tendangan keras menghantam punggung
Pendekar Blo'on, sehingga membuatnya menga-
duh kesakitan dan terguling-guling menjauhi si botak. "Lekas jawab!"
Yang membentak adalah si botak kedua.
Manusia yang satu ini selalu memegang rantai
bola berduri di tangan kanannya. Ketika bicara suaranya serak macam suara tikus
kejepit pintu. "Aku Suro Blondo ingin mencari pekerjaan
di Katemenggungan ini!"
"Pekerjaan" Ha ha ha...! Kawan-kawan, ki-
ra-kira pekerjaan apa yang pantas untuk pemuda bego seperti dia?"
"Paling membersihkan pantat kuda!" sahut si botak ketiga. Lalu mereka tertawa
tergelak-gelak. Sesungguhnya Pendekar Blo'on sendiri merasa kesal mendengar
ucapan mereka. Tapi aneh-
nya ia malah ikut tertawa-tawa.
"Membersihkan pantat kuda aku mau.
Jangankan pantat kuda, pantat kalian pun kalau memang kalian berkenan akan ku
bersihkan. Tentu saja setelah memetik buah jambu kramat
yang kalian punya. Ha ha ha...!"
Buk! Buuk! Dua tendangan keras menghantam dada
dan punggung Suro Blondo hingga membuat pe-
muda tampan berambut kemerah-merahan ini
menjadi babak belur.
"Aha... siapa kalian. Aku datang dengan
membawa niat baik. Mengapa kalian bertindak
sewenang-wenang padaku?"
"Apa niatmu, anak cakep" Bukankah kau
ingin menjadi jongos di ketemenggungan ini" Sebagai calon pembantu, tidak ada
salahnya kalau kami menguji sampai dimana daya tahanmu."
dengus Datuk satu.
"Kurasa kalian empat Datuk yang telah
mengabdi di Katemenggungun ini. Empat Datuk!
Maafkan kesalahanku kesalahanku jika aku ku-
rang sopan dalam bertata krama, "ujar Pendekar Blo'on. Ia berusaha menghaturkan
hormat pada Keempat laki-laki tersebut. Tapi karena dalam
keadaan terikat, tentu saja sikapnya seperti orang yang mengejek.
"Kurang ajar, benar-benar kurang ajar!"
maki Datuk Empat. Ia mencabut kerisnya. Den-
gan cepat dihampirinya Suro Blondo. Pemuda ini melihat nyawanya dalam keadaan
terancam tentu saja tidak tinggal diam. Dalam keadaan berjongkok seperti itu ia memasang kuda-
kuda. Namun pada saat seperti itu tiba-tiba terdengar suara seseorang tidak jauh di belakang
mereka. "Ada apa, paman-paman sekalian?" tanya laki-laki itu. Melihat penampilannya,
Suro Blondo sudah merasa yakin bahwa inilah orangnya yang
bernama Tumenggung Dadung Ampel!
"Maafkan kami gusti Tumenggung. Orang
ini mengaku sebagai pemuda yang ingin mencari
pekerjaan disini. Tapi ia tidak mau menyebutkan namanya!" Datuk satu memberi
laporan Tumenggung Dadung Ampel memandang
Suro Blondo untuk beberapa saat lamanya Ke-
mudian ia memberi isyarat pada beberapa orang
pengawal yang mengurung Suro Blondo.
Dengan cepat, mereka membuka tali ikatan
yang membelenggu pemuda berambut hitam ke-
merahan. Begitu terbebas ia langsung menjura hor-
mat pada Tumenggung Dagung Ampel. Tumeng-
gung menganggukkan kepala. Sementara Suro
Blondo sendiri segera menyeka darah yang mele-
leh di bibirnya.
"Benar namamu Suro Blondo?"
"Benar Tumenggung." sahut pemuda ini.
"Apakah kau ingin bekerja disini?"
"Ya...!"
"Pekerjaan apa yang kau inginkan?"
"Apa saja yang penting bekerja!"
"Bagaimana kalau kau kutugaskan mengu-
rusi kuda-kuda milik Katemenggungan?" tanya Dadung Ampel.
"Gusti Tumenggung. Sebaiknya anak ini
diperiksa kebenarannya. Apakah dia mata-mata
atau bukan." Datuk satu memprotes tidak senang. Tumenggung Dadung Ampel
tersenyum. "Apa yang paman katakan selalu kami
utamakan. Kita lihat saja bagaimana hasilnya
nanti!" kata Tumenggung dengan bijaksana. Kemudian ia berpaling pada Suro
Blondo. "Nah sekarang pergilah kau menunaikan
tugasmu, Suro!" kata sang Tumenggung dengan penuh wibawa.
Dengan diantar oleh dua orang pengawal
yang sempat meringkusnya. Suro Blondo segera
menuju kandang kuda yang berderet-deret di luar kediaman Tumenggung.
"Kuda-kuda sialan! Hanya karena keingi-
nanku untuk membela tumenggung dari orang-
orang yang hendak menggulingkannya! Aku ter-
paksa berteman dengan kuda. Kampret, mana
taiknya besar-besar lagi!" gerutu Pendekar Blo'on saat pengawal memberinya
petunjuk untuk membersihkan kotoran kuda yang berada di dalam
kandang. Sementara itu Dewi Anggini yang baru saja
pulang dari berburu nampak membedal kudanya
dengan kecepatan penuh. Beberapa pengawal Ka-
temenggungan yang mengikutinya tampaknya
tidak mau kalah. Apalagi pengawal utama yang
bernama Kartawirya yang memang sudah lama
menaruh hati pada putri majikannya ini. Ia terus menempel ketat Dewi bagaikan
lem perekat. Melewati jalan yang berbukit-bukit, entah
darimana datangnya. Tahu-tahu seorang laki-
laki berpakaian compang-camping telah mengha-
dang di tengah-tengah jalan yang akan mereka la-lui.
Melihat kehadiran laki-laki yang tidak di-
kenal ini, Dewi segera mengurangi kecepatan kudanya.
"Huup!"
Kuda langsung berhenti persis di depan la-
ki-laki bersenjata tongkat hitam ini. Dewi Anggini
terkejut bukan main, karena ternyata laki-laki bertopi caping ini bermata buta.
Dua rongga besar yang begitu menjijikkan terpampang dengan jelas.
Selain itu tercium pula bau busuk yang
angat menyengat. Dewi Anggini terpaksa tutup
hidungnya. Sementara itu pengawal ketua yang
bernama Kartawirya langsung mendekati laki-laki tua bermata buta ini sambil
meludah ke tanah.
"Menyingkirlah kau hai orang buta! Kami
dalam keadaan tergesa-gesa."
Kelopak mata yang berongga ini mengerjab.
Bibirnya yang tertutup kumis berwarna putih
menyunggingkan seulas senyum sinis. Seakan
melihat siapa yang membentaknya, ia kemudian
berkata pelan namun penuh ancaman.
"Kau sembunyi dibalik seragam pengawal-
mu. Padahal aku tahu isi hatimu, Kartawirya!
Apakah kau kira aku akan menyingkir hanya ka-
rena melihat tingginya kedudukan yang kau mili-ki" Atau aku harus merasa segan
menghadapi seorang gadis putri Tumenggung?"
Bukan hanya Kartawirya saja yang terke-
jut, namun Dewi Anggini pun tampak tersentak.
Ia seakan tidak percaya dengan apa yang diden-
garnya. "Siapakah kau yang sesungguhnya, kisa-
nak?" tanya Dewi Anggini.
Bukan menjawab, sebaliknya kakek berma-
ta buta dan memiliki hidung bagaikan parau bu-
rung kakak tua ini malah tergelak-gelak.
Suara tawanya mengandung tenaga dalam
sangat tinggi. Sehingga membuat kuda-kuda
tunggangan mereka menjadi liar hampir tidak
terkendali. Dewi Anggini berikut para pengawalnya terpaksa mengerahkan tenaga
dalam untuk menghilangkan pengaruh suara tawa si kakek.
"Aku... ha ha ha...! Aku si Mata Iblis dari Nusa Kambangan. Datang jauh-jauh ke
timur Ja-wa ini tentu dengan membawa satu maksud.
Mengenai maksudku kalian anak ingusan tentu
tidak layak mengetahuinya. Yang jelas untuk ke-sepuluh kalinya setelah menempuh
perjalanan, hari ini aku akan meminta nyawa para penga-
walmu sebagai obat hausku akan darah orang-
orang berpangkat!"
Kartawirya adalah laki-laki pemberani.
Apalagi didepan gadis yang diam-diam dicin-
tainya. Tapi ia sempat terkejut juga mendengar keinginan Mata Iblis.
"Ternyata kau memang benar-benar iblis
yang baru terlepas dari belenggu neraka. Kalau memang itulah keinginanmu. Apakah
kau menyangka aku takut padamu?" geram Kartawirya Tidak lama kemudian ia memberi
isyarat pada anak buahnya untuk melakukan penyeran-
gan. Tidak menunggu lebih lama lagi Kartawirya dan belasan orang anak buahnya
langsung menerjang laki-laki bertopi caping tersebut dari delapan penjuru arah.
"Hea...!"
"Haiit...!" Mata Iblis tertawa membahak.
Seakan dapat membaca dan mengetahui dimana
posisi lawannya. Maka laki-laki bermata buta ini langsung melompat ke udara.
Tongkat di tangannya kemudian berkelebat
menyambar ke arah para pengawal yang menye-
rangnya dengan mempergunakan senjata pedang
ini. Sekali bergebrak. Tiga pengawal tersungkur
roboh dengan perut robek bermandikan darah.


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak pelak lagi jeritan-jeritan kematian
pun terdengar. Ternyata bukan main cepat serangan yang dilakukan oleh Mata
Iblis. Selain itu gerakan silat serta jurus-jurus yang dimainkannya sulit
terbaca. Sehingga membuat pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian jauh
dibawah Mata Iblis ini menjadi sasaran empuk senjata
tongkatnya. "Ha ha ha! Kalian memang layak mampus
di tangan iblis sepertiku!" dengus Mata Iblis. Ucapannya belum juga selesai,
namun tongkat ditan-ganya sudah berkelebat lebih dulu sehingga
membuat korban semakin bertambah banyak sa-
ja. "Haiii...!"
"Crat! Craat!"
"Wuaaakh...!"
Tiga orang pengawal terbabat bagian ping-
gang dan perutnya, sehingga membuat usus me-
reka memburai keluar. Kenyataan ini tentu saja membuat Kartawirya menjadi murka.
Laki-laki berbadan gempal ini langsung
mencabut pedangnya. Ia mengerahkan jurus
'Menggapai Matahari Membakar Bintang".
Bet! Wuuuk! Sinar putih dalam waktu singkat telah
mengurung Mata Iblis. Tapi laki-laki bermata bu-ta yang hanya mengandalkan
ketajaman naluri
dan dapat membaca gerakan lawannya ini mem-
pergunakan tongkatnya untuk menghindari teba-
san dan sabetan pedang ditangani lawannya.
Benturan keras sesekali terjadi, Kartawirya terhuyung-huyung. Tangannya yang
memegang pe- dang terasa sakit dan seperti menggenggam bara panas. Dalam keadaan sedemikian
rupa, Mata Iblis melepaskan tendangan beruntun ke bagian ulu hati dan dagu
Kartawirya. Duk! Des! Dess!
"Huukh...!"
Sraak! Ditengah-tengah jeritan suaranya Karta-
wirya jatuh terguling-guling. Dua tulang rusuknya patah. Dagunya remuk tidak
berbentuk. Laki-laki muda yang dalam keadaan sekarat ini ternyata
menerima akibat tidak hanya sampai disitu saja.
Mata Iblis memburunya sambil menghun-
jamkan tongkatnya ke dada Kartawirya. Laki-laki malang ini tidak punya
kesempatan lagi untuk
menghindarinya. Tongkat hitam berujung runcing ditangan Mata Iblis telah
menghantam perutnya.
Karta Wirya menjerit kesakitan. Matanya melotot, lidahnya terjulur pula. Dewi
Anggini yang telah menyaksikan keganasan laki-laki buta ini sesungguhnya tidak
tinggal diam. Tapi ketika ia me-
lompat dari punggung kudanya, untuk menolong
pengawalnya. Gerakan yang dilakukannya kalah
cepat dengan gerakan Mata Iblis. Akibatnya ia
hanya berhasil menghantam punggung laki-laki
dari Nusa Kambangan ini. Namun ia menyeringai
kesakitan. Tangannya yang dipergunakan untuk
meremukkan tulang punggung lawannya lang-
sung membengkak. Rasanya ia tidak jauh beda
dengan menghantam sebongkah karang. Padahal
ia telah mengerahkan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya
Dalam keadaan kesakitan itu, selain mera-
sa marah karena para pengawalnya tewas semu-
anya di tangan Mata Iblis, tentu juga ia merasa penasaran. Ia tahu lawan
tampaknya kebal terhadap pukulan, namun dalam benaknya terlintas
pikiran mustahil lawan kebal pula terhadap senjata pedang.
Sring! Senjata berwarna putih mengkilat karena
ketajamannya ini digenggamnya dengan erat. Se-
telah mengerahkan tenaga dalam yang dimili-
kinya. Maka tidak sampai lima detik kemudian ia telah memutar senjata
ditangannya sehingga me-nimbulkan deru angin dingin!
"Jurus Matahari Bersembunyi di Balik Pe-
langi. Jurus yang cukup lumayan. Tapi jurus
yang kau punya tidak sampai seperempat dari seluruh kehebatan yang kumiliki.
Kuperingatkan kepadamu, lebih baik kau melaporkan kehadi-
ranku pada ayahandamu. Sebelum aku benar-
benar berubah pikiran untuk memperkosa dan
membunuhmu!" dengus Mata Iblis. Ancamannya itu bukan hanya pepesan kosong
belaka. Karena begitu melihat kenyataan Dewi
Anggini tidak mundur mendengar ancamannya.
Sambil menggeram murka ia langsung memapaki
serangan senjata Anggini.
Traang! Traang!
Ketika pedang ditangan Dewi dan tongkat
hitam di tangan Mata Iblis beradu. Dengan jelas terlihat bunga api memijar. Dewi
Anggini terpaksa melompat ke belakang untuk menghindari tusu-kan ujung tongkat
yang menderu ke bagian da-
danya. Dewi kibaskan tangannya yang terasa pa-
nas dan melepuh dibeberapa bagian. Ternyata dalam hal tenaga dalam. Dewi Anggini
kalah jauh dibandingkan lawannya. Menyadari lawannya un-
ggul dalam segala-galanya. Apalagi bila mengingat ancaman Mata Iblis yang ingin
memperkosanya. Maka Dewi Anggini yang telah kehilangan penga-
walnya ini semakin bersikap waspada.
"Mumpung masih ada kesempatan bagimu,
pergilah dari hadapanku. Lain kali jika aku pergi ke Katemenggungan Kediri.
Tidak seorangpun keluarganya yang ku sisakan!" ancam Mata Iblis.
Dewi Anggini menyadari dalam keadaan te-
rancam terpaksa menghampiri kudanya. Tidak
lama setelah itu membedal kudanya tanpa meno-
leh-noleh lagi. Sekarang tinggallah mayat-mayat yang bergelimpangan serta Mata
Iblis di tempat
itu. Kedua matanya yang mengorek lebar me-
mandang ke atas langit. Kemudian terlihat pula bagaimana bibirnya yang
menyunggingkan seulas
senyum. "Ha ha ha...! Para murid-muridku! Kuharap kalian berhasil menjalankan tugas yang
kuberi-kan kepadamu. Inilah sebuah kesempatan yang
kutunggu-tunggu selama bertahun-tahun untuk
melakukan pembalasan pada orang-orang yang
telah mencelakai diriku!" gumam Mata Iblis.
"Tunggu... tunggulah, Dadung Ampel. Kematianmu dan kehancuran Katemenggungan
Kediri su- dah berada diambang mata!" Sambil meneruskan langkahnya Mata Iblis dari Nusa
Kambangan ini terus tertawa-tawa.
EMPAT Langit suram, bulan purnama tertutup
mendung hitam. Hanya sesekali saja terlihat si-narnya untuk kemudian bersembunyi
lagi di balik awan. Katemenggungan Kediri dalam keadaan
malam hari memang terasa sepi. Sungguhpun be-
gitu bukan berarti luput dari penjaga. Kegiatan ronda tetap dilakukan, bahkan
akhir-akhir ini
terkesan ditingkatkan. Mereka, para peronda itu pada umumnya menempati posisi-
posisi yang strategis. Sehingga jikapun ada orang jahat ber-
maksud menyatroni, maka posisi mereka tidak
dikelabui oleh lawannya.
Di malam yang dingin sebaliknya Suro
Blondo merasa gerah, pemuda berambut kemera-
han ini tidak dapat tidur. Pikirannya menerawang pada kejadian-kejadian di
Katemenggungan yang
dirasakannya sangat aneh. Sungguhpun ia me-
nyamar sebagai pengurus kudu. Namun pada ma-
lam hari secara diam-diam Suro Blondo melaku-
kan penyelidikan.
Dan kini ia mulai menyadari bahwa di da-
lam Katemenggungan itulah sesungguhnya pe-
nyakit yang dapat membahayakan Tumenggung
Dadung Ampel berasal.
"Empat Datuk! Siapapun mereka dan dari
mana usulnya aku tidak perduli. Tapi mengapa
Tumenggung malah memelihara anak macan ini"
Padahal mereka jelas-jelas orang dari golongan sesat. Aku yakin ada sesuatu yang
tersembunyi dibalik kehadiran empat Datuk persilatan. Cuma siapa yang berdiri di belakang
mereka dan apa tujuan mereka setelah menggulingkan Tumenggung
Dadung Ampel yang bijaksana, hingga sampai
saat ini aku pun tidak tahu."
Suro Blondo membaringkan tubuhnya di
atas balai-balai terbuat dari anyaman bambu.
Kemudian ia mematikan lampu di dalam kamar
yang ditempatinya. Tidak lama setelah itu ia berusaha memejamkan matanya.
"Ki Marunda... menurut pengurus anak
kuda merupakan orang baru di Katemenggungan
ini. Gerak-geriknya begitu mencurigakan. Apa
hubungannya orang ini dengan Empat Datuk"!
Apakah dia juga punya keinginan yang sama un-
tuk melenyapkan Tumenggung?" batin Pendekar Blo'on seraya kemudian menyeka
keningnya yang berkeringat
Dalam keadaan gelisah begitu rupa. Tiba-
tiba ia mendengar suara ketukan halus pada
daun pintu. Aneh, Suro sama sekali tidak men-
dengar suara langkah kaki. Padahal ia tidak tidur sejak tadi. Apakah mungkin
orang yang datang ini merupakan orang yang mempunyai kepandaian
tinggi atau karena ia memang banyak melamun.
Ketukan pada daun pintu kembali terden-
gar, dengan sangat hati-hati sekali Suro Blondo bangkit dari tempat tidurnya.
"Malam-malam begini. Kalau gadis cantik
yang datang. Tentu peruntungan berada di pi-
hakku. Tapi kalau nenek-nenek jelek, sebaliknya tidur dikandang kuda saja!"
gerutu sang pendekar. "Siapa?" tanya Suro Blondo kemudian.
"Aku Dogma...!"
"Perempuan atau laki-laki?"
"Tentu saja laki-laki, sobat! Aku kawanmu penjaga anak kuda." sahut orang di
luar. "Huh... yang datang ternyata cap lonceng
singa, tapi tidak apa. Yang penting loncengnya dan loncengku tidak bunyi." kata
Suro Blondo dalam hati.
Kemudian pintu dibukanya, suasana di
luar ternyata sama gelapnya dengan di dalam
ruangan. Suro mengendus-endus. Sebentar saja
ia sudah dapat mencium bau keringat Dogma,
sungguhpun ia tidak dapat melihat wajah Dog-ma dalam kegelapan tapi ia yakin
sang penyusup tidak lain merupakan pengurus anak-anak kuda
Katemenggungan.
"Ada apa kau datang pada malam-malam
begini?" "Banyak yang ingin kusampaikan padamu,
sobat." kata Dogma dengan suara pelan dan nyaris tidak terdengar.
Suro Blondo langsung mengajak Dogma
untuk duduk dialas balai-balai.
"Aku tahu dinding dan atap dapat menden-
gar pembicaraan. Tapi kurasa jika tidak kusam-
paikan kepadamu. Keselamatan Tumenggung Da-
dung Ampel dan keluarganya dalam keadaan te-
rancam." kata Dogma dengan suara lirih.
"Mengapa kau tidak langsung menyampai-
kannya pada Tumenggung, mengapa malah da-
tang kepadaku. Padahal kau tahu aku tidak
punya kepandaian apa-apa." ujar Suro Blondo.
"Aku tidak tahu, tapi entah mengapa aku
merasa begitu yakin bahwa kau dapat melakukan
sesuatu untuk menyelamatkan Katemenggungan
ini." Suro Blondo terdiam. Ia sendiri harus berhati-hati dalam bicara, sebab ia
tidak tahu secara persis mana yang kawan dan mana yang lawan.
"Apa yang kau ketahui tentang ancaman di
Katemenggungan ini" Apakah kau melihat adanya
gerakan tersembunyi disini?"
"Demi Tuhan, Suro. Beberapa waktu yang
lalu penasehat Katemenggungan, para jago se-
tingkat panglima perang dan juga orang-orang
terdekat tewas secara misterius. Sampai sekarang tidak seorangpun yang
mengetahui siapa yang telah membunuh mereka. Lalu muncul empat da-
tuk yang menawarkan diri untuk menjadi pelin-
dung Katemenggungan ini dari ancaman musuh
berselimut. Tapi Empat datuk ini kulihat sering melakukan pertemuan-pertemuan
rahasia dibela-kang kandang kuda. Lalu datang pula Ki Marun-
da yang mengaku sebagai orang yang berpenga-
laman dalam mengurus makanan kuda. Lalu da-
tang...!" "Aku...!" potong Pendekar Blo'on.
"Ya, kehadiranmu disini membuat rasa
waswas dihatiku berkurang. Terus terang aku ju-ga mencurigai Ki Marunda. Aku
sering mengawa-
sinya, tapi aku terkadang merasa kehilangan jejak." jelas Dogma yang bentuk
potongan tubuhnya lebih langsing dari laki-laki manapun. Dilihat sepintas lalu
ia tidak jauh bedanya dengan banci
"Lalu apa yang kau inginkan dariku, Dog-
ma?" tanya si pemuda.
"Cobalah cari tahu, mengapa Tumenggung
Dadung Ampel begitu penurut pada Empat Datuk
yang telah mendukungnya itu!"
"Apakah kau tidak tahu dari mana asal
usul mereka"
"Aku kurang mengetahuinya."
"Lalu bagaimana urusan Ki Marunda?"
tanya Suro Blondo.
"Ki Marunda berada dalam pengawasanku"
Dogma menyanggupi.
Pendekar Bloon mengeluh. "Untuk urusan-
urusan berbahaya seperti ini tentu membuat aku khawatir. Apalagi mengingat aku
tidak punya kemampuan apa-apa. Tapi kalau urusan perem-
puan aku mau sekali."
"Apa maksudmu?" tanya Dogma. Diluar sepengetahuan Pendekar Bloon wajah Dogma
beru- bah merah padam.
"Maksudku jika aku disuruh berhadapan
dengan Dewi Anggini untuk mengabarkan berita


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat penting ini tentu saja aku tidak merasa was-was."
"Huh... tumpangmu seperti orang bego be-
gitu, mana ada perempuan yang mau kau de-
katkan!" dengus Dogma. Suaranya bergetar dan tidak teratur, seakan ada sesuatu
yang disembu-nyikannya.
"Di balik ketololanku sesungguhnya wajah-
ku tidak kalah tampan dengan pemuda manapun.
Kuda saja sampai jatuh hati paduku, apalagi manusia?"
"Sudahlah, sobat. Sudah waktunya aku
kembali ke kamarku. Aku takut ada orang lain
yang mengetahui pertemuan ini!"
"Hati-hati kau. Musuh berkeliaran diantara kita. Tapi sejauh ini kau dan aku
belum tahu sia-
pa orangnya. Sebaiknya selalulah bersikap was-
pada. Aku membutuhkan keterangan-keterangan
penting yang kau ketahui."
"Aku tahu, sebaiknya kita saling menjaga
diri masing-masing!" Dogma mengakhiri ucapannya. Sepergi laki-laki berbadan
ramping ini, Su-ro Blondo sempat tertegun. Ia merasa Dogma se-
perti memakai parfum perempuan. Memang benar
suaranya seperti laki-laki, demikian pula tingkah dan cara jalannya. Dan lebih
aneh lagi ia seperti pernah mencium bau parfum yang sama. Entah
wangi lawannya atau kawan sendiri.
"Dimana ya... apakah mungkin bau wangi
kuntilanak, sundel bolong, setan Wewe atau peri"
Rasanya semua serba kebetulan. Tapi tidak ada
salahnya jika aku mencurigai setiap orang" Si Pemuda membatin di hati.
"Kurasa lebih baik malam ini aku mulai
meneliti siapa adanya Empat Datuk yang pernah
mempecundangi aku ketika dalam keadaan teri-
kat beberapa waktu yang lalu."
Suro Blondo keluar tidak melewati pintu
depan, melainkan melompat ke atas wuwungan
pondok, setelah menyingkap atapnya yang hanya
terbuat dari genteng merah.
Ia memperhatikan suasana disekelilingnya.
Dari tempat Suro berdiri tembok Katemenggun-
gan tidak begitu jauh lagi jaraknya. Selanjutnya setelah memastikan bahwa
suasana dalam keadaan aman-aman saja, Suro Blondo mengerahkan
ilmu meringankan tubuh dan lari cepat Kilat
Bayangan untuk mencapai tembok tersebut tanpa
diketahui oleh orang lain
"Huuup!"
Wueees...! Pendekar Blo'on langsung me-
lompati tembok benteng tersebut. Sampai akhir-
nya ia berada di atas atap bangunan besar Katemenggungan. Pemuda ini mengendap-
endap mendekati tempat istirahat Empat Datuk yang
terletak tidak jauh dari bangunan utama.
Selanjutnya ia mulai mendengarkan suara
apapun disekitarnya. Mula-mula yang didengar-
nya adalah suara mendengkur orang yang sedang
tertidur, kemudian dengung suara nyamuk, se-
lanjutnya suara nyamuk dan yang paling akhir
adalah suara orang yang berbisik-bisik
Bila Suro Blondo bergerak ke arah itu, ma-
ka dibagian lain ia melihat para pengawal Katemenggungan tampak sedang meronda
ke arah- nya. Suro Blondo segera mencari tempat persem-
bunyian. "Tidak ada orang didalam setiap ruangan
ini, tapi mengapa aku mendengar seperti ada
orang yang sedang merundingkan sesuatu" Eeh...
siapa itu...?"
Pendekar Blo'on melengak kaget ketika me-
lihat tiga sosok bayangan tubuh bergerak melompati pagar.
"Sungguhpun tempat ini gelap. Aku yakin
orang-orang berkepala gundul yang melompati
pugar tadi bukanlah hantu gundul, tapi anggota
Empat Datuk. Mau kemana mereka malam-
malam begini" Mustahil hanya sekedar jalan-
jalan. Sebaiknya aku ikuti mereka!"
Kemudian Pendekar Blo'on bergerak men-
gejar. Sampai di luar pagar ia terus melakukan pengejaran ke arah lenyapnya tiga
bayangan yang sempat dilihatnya tadi.
Sementara itu di sebuah tempat yang san-
gat rahasia di luar kota Kediri seorang laki-laki memegang tongkat dan
berpakaian compang
camping duduk diatas sebongkah batu.
Wajah laki-laki memakai topi caping ini ter-
tunduk, sehingga wajahnya serta matanya yang
sangat mengerikan karena membentak rongga ti-
dak kelihatan. Tapi siapapun dapat merasakan
bau busuk yang menebar di sekitarnya. Bau bu-
suk bangkai itu berasal dari orang ini.
Entah sudah berapa lama ia dalam kea-
daan bersila seperti itu, Yang jelas kepalanya yang senantiasa tertunduk itu
langsung terangkat begitu mendengar suara gemerisik tidak jauh di sebelah
kirinya. "Kau datang murid-muridku!" Dalam kesu-nyiannya suaranya tidak lebih baik dari
suara auman harimau lapar. Sehingga terasa begitu
menyeramkan. "Benar guru! Kami agak terlambat me-
nyambut kedatanganmu. Tapi percayalah seka-
rang ini suasana di pihak kita." kata salah seorang dari ketiga laki-laki
berkepala gundul ini sambil menjura hormat diikuti oleh dua orang
lainnya. Tiga Datuk duduk persis didepan laki-
laki bercaping yang tidak lain mata Iblis. Sama sekali mereka tidak menghiraukan
bau busuk yang menyengat.
"Hmm, mana saudaramu yang tertua, Da-
tuk Satu?"
Seandainya mereka bukanlah murid-murid
Mata Iblis, tentu menjadi terkejut karena laki-laki di depan mereka ini
sungguhpun buta tapi dapat mengetahui jumlah mereka yang tidak lengkap
"Kakang Datuk Satu tidak dapat datang
kemari. Karena beliau terpaksa mempengaruhi
rakyat disekitarnya untuk melakukan pemberon-
takan di hari yang akan kita tentukan malam ini!"
"Sebegitu berbahayakah Tumenggung Da-
dung Ampel dimata kalian" Bukankah ia hanya
seorang Tumenggung yang mempunyai kekuatan
jauh di bawah kalian?" desah si Mata Iblis.
"Memang benar, tapi kakang Datuk Satu
lebih senang perampasan kekuasaan terlihat dan berkesan seperti kehendak rakyat
daripada kehendak sendiri." jelas Datuk dua.
Mata Iblis mengangguk senang. Selanjut-
nya ia berkata pelan namun penuh dendam. "Tiga belas tahun aku sengsara dan
kehilangan mata
pula. Pembuangan ke Nusa Kambangan oleh ke-
luarga Tumenggung Dadung Ampel dan dia sendi-
ri kuanggap sebagai suatu berkah dan malapeta-
ka. Aku kehilangan mata yang paling kupuja di
dunia ini. Aku ingin Tumenggung keparat itu dan keluarganya menerima pembalasan
yang setimpal dariku. Itu sebabnya kupesankan pada kalian untuk Tumenggung Dadung Ampel,
kematiannya adalah aku yang menentukannya!"
"Pesan guru segera kami laksanakan dan
secepatnya akan kami sampaikan pada kakang
Datuk Satu. Cuma guru ada beberapa hal yang
mengganjal dihati kami. Pertama adalah menge-
nai kehadiran seorang laki-laki yang mengaku sebagai Ki Marunda. Kami rasa ia
mempunyai tu- juan-tujuan tertentu. Cuma sampai sekarang ini kami tidak berhasil mengetahui
siapa dia yang sesungguhnya." kata datuk empat.
"Apakah dia tinggal di lingkungan Kate-
menggungan" Apa tugasnya?"
"Ki Marunda tidak tinggal di wilayah Katemenggungan. Ia tinggal disekitar
peternakan ku-da. Disamping itu selain orang yang baru dikatakan oleh adik Datuk
Empat. Ada lagi seorang pemuda bertampang tolol yang baru diterima men-
jadi pengurus kuda."
"Pemuda bertampang tolol?" desis Mata Iblis, Ia berusaha mengingat-ngingat ciri-
ciri seperti yang disebutkan oleh muridnya. Tapi ia merasa
tidak mengenal pemuda itu. "Apakah telah me-nyelidikinya?"
"Sudah." Datuk Tiga yang menjawab. "Bagi kami ia merupakan pemuda asing yang
tidak ka-mi ketahui asal usulnya."
"Kalau begitu kalian harus berhati-hati.
Bukan mustahil disuatu saat kelak ia akan me-
nyusahkan kita!"
Pembicaraan selanjutnya terdengar tidak
lebih hanya berupa suara bisikan-bisikan saja.
Sungguhpun begitu, sepasang mata jenaka yang
sejak tadi ikut mendengar rencana penggulingan Katemenggungan ini dapat
mendengarkannya.
Karena sudah merasa begitu jelas atas rencana
terkutuk Empat Datuk itu. Maka secara diam-
diam pemilik sepasang mata itu meninggalkan
tempat persembunyian dan kembali ke Kate-
menggungan dengan dibekali pikiran kacau.
"Kau yakin pembicaraan kita tidak diketa-
hui oleh orang lain, muridku?" tanya Mata Iblis tiba-tiba.
"Saya kira tidak, guru." Datuk Tiga menjawab. "Mudah-mudahan begitu, tapi aku
merasakan ada orang lain baru saja meninggalkan tem-
pat ini." Datuk Dua, Tiga dan Empat terkejut bukan
main. Sejak tadi mereka merasa yakin tidak ada orang lain disitu terkecuali
mereka sendiri. Jika guru mereka mengatakan ada orang lain yang
ikut mendengar pembicaraan mereka. Tentulah
orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang cu-
kup tinggi. "Lalu bagaimana, guru?" tanya Datuk Dua was-was. Datuk Tiga dan Empat hanya
dapat me-nelan ludah.
"Jangan kalian hiraukan segala macam ce-
curut. Sekarang kembalilah kalian ke Katemeng-
gungan!" perintah Mata Iblis tegas.
Ketiga Datuk dari utara ini tanpa banyak
cingcong lagi langsung mengundurkan diri dan
bergegas pergi.
LIMA Pengurus kuda yang bernama Dogma itu
pada kesempatan yang sama terus mengikut Ki
Marunda yang baru saja meninggalkan tempat
kediamannya. Laki-laki tua berbadan setengah
bongkok itu ternyata pergi ke bagian kamar pribadi Dewi Anggini yang bersebelah
letaknya dengan kamar pribadi yang ditempati oleh Tumeng-
gung Dadung Ampel.
Namun baru saja ia melompat diatas gen-
teng. Tiba-tiba beberapa orang pengawal yang sedang meronda memergokinya.
"Kurung ada pengacau di atas genteng!" teriak pengawal-pengawal itu hingga
membangun- kan Tumenggung Dadung Ampel dan putrinya
Dewi Anggini. Laki-laki berbadan jangkung ini
langsung menyambar senjata ya terletak di depan pintu. Sedangkan Dewi bertindak
lebih cepat lagi.
Hanya dalam waktu sebentar saja ia sudah sam-
pai di halaman samping.
Sampai disana ia melihat belasan orang
pengawal sedang mengurung seorang laki-laki
memakai penutup wajah. Beberapa diantara pen-
gawal itu terkapar bermandikan darah.
"Menyingkir!" teriak Tumenggung Dadung
Ampel. Ia segera maju ke tengah-tengah kalangan pertempuran. Para pengawal yang
mengeroyok la-ki-laki berbadan bongkok ini langsung menjaga
jarak tanpa menghilangkan kewaspadaan. Se-
dangkan di dekat Tumenggung sendiri kini telah berdiri Empat Datuk dan Dewi
Anggini. "Tumenggung yang mulia. Tidak usah
mengotori tangan dengan darah kambing kurap
ini. Biarkan kami empat datuk meringkusnya. Karena kami tahu siapa yang
bersembunyi di balik kedok tersebut!" kata Datuk Satu suaranya keras
menggeledek. "Laksanakanlah paman apa saja yang se-
harusnya paman kerjakan. Jangan lupa jika ter-
tangkap nanti hadapkan dia padaku. Aku ingin
tahu apa kesalahanku padanya sehingga ia begitu berani ingin menyatroni
kamarku!" ujar Tumenggung Ampel.
Belum sempat ia bergerak. Tidak terduga-
duga laki-laki bertopeng ini membuka penutup
wajahnya. "Tumenggung keparat!"
Para pengawal maupun Datuk Empat tidak
terkecuali Dewi Anggini melengak kaget. Selama menjadi pengawal mereka sama
sekali belum pernah mendengar ada orang lain yang begitu berani memaki
Tumenggung Kediri. Tapi sekarang sebuah kenyataan yang tidak pernah mereka duga
terjadi didepan mata mereka. Sebaliknya Tu-
menggung Dadung Ampel sendiri memandang ta-
jam pada lawannya. Ketika laki-laki berbadan
bongkok itu membuka kedoknya. Maka semua
mata jadi terbelalak.
"Ki Marunda!" desis Tumenggung Dadung Ampel. "Marunda bukan namaku yang
sesungguhnya, Tumenggung. Aku Penggoro Bumi! Untuk
lebih jelasnya aku masih punya hubungan darah
dengan Lembu Suro! Tahukah kau mengapa aku
datang ingin meminta nyawa seluruh keturunan-
mu?" dengus Penggoro Bumi
Tumenggung Dadung Ampel tidak segera
menjawab. Keningnya berkerut dalam pertanda
bahwa ia sedang memikirkan hubungan antara
Penggoro Bumi dengan Lembu Suro.
"Sudahkah pikiranmu terbuka, Tumeng-
gung?" Penggoro Bumi membentak.
"Hmm, seingatku Lembu Suro telah beru-
bah menjadi gunung. Dulu ia begitu tergila-gila dengan eyang putri Prada.
Sehingga Lembu Suro
mengejarnya kemanapun eyang putri pergi. Pa-
dahal Lembu Suro kakek buyutmu itu tahu bah-
wa eyang putri tidak mencintainya."


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya... tapi putri Prada telah bertindak pengecut dengan memerintahkan kakek
buyutku membuatkan sumur untuknya. Setelah sumur itu
hampir selesai, eyang putrimu menimbun kakek
buyutku dengan batu."
"Semua itu telah berlalu, Penggoro Bumi.
Itu adalah kelakuan terburuk dari para sesepuh yang tidak patut ditiru. Dan
kurasa tidak ada gu-nanya kau memusuhi aku!"
"Puih... dendam lama harus terbalas. Aku
sering mendengar eyang buyut Lembu Suro me-
nemuiku dalam mimpi bahwa aku sebagai ketu-
runannya harus menuntut balas atas perlakuan
nenek moyangmu yang tidak adil itu!" dengus Penggoro Bumi.
"Ayah, mulut laki-laki busuk ini sungguh
sangat keterlaluan sekali!" teriak Dewi Anggini merasa tidak senang melihat
ayahnya dihina sedemikian rupa. Ia kemudian melompat kedepan,
namun Datuk Empat telah menghalangi sambil
memberi isyarat agar Dewi mundur.
"Kisanak, sesungguhnya kau datang kema-
ri hanya membesar-besarkan persoalan. Lembu
Suro setahu kami kini hanya tinggal berupa gu-
nung. Mengapa kau ributkan. Apakah kau ingin
pamer kekuatan didepan kami hai tukang gemba-
la anak kuda?" kata Datuk Tiga sambil tertawa mengakak.
Wus! Wuus! Ucapan Datuk Tiga dijawab oleh Penggoro
Bumi dengan dua pukulan jarak jauh ke arah me-
reka. Seleret sinar merah ungu melesat cepat
dan membuat suasana malam yang dingin itu
menjadi terasa panas membakar.
Datuk Satu, Dua, Tiga dan Empat tentu
sempat terkejut juga karena mereka tidak me-
nyangka bahwa Penggoro Bumi yang selama ini
menyaru sebagai tukang gembala anak kuda ter-
nyata memiliki kesaktian pula.
Dengan cepat demi menjaga pamor mereka
di depan Tumenggung Dadung Ampel. Keempat
Datuk ini hentakkan tangannya memapaki puku-
lan dahsyat yang dilepaskan oleh lawan.
Sementara itu, Dewi Anggini dan Tumeng-
gung Dadung Ampel telah bergerak menjauhi ka-
langan pertempuran. Prajurit dan pengawal terus mengurung kalangan pertempuran
sungguh pun dari jarak yang cukup jauh
Empat leret sinar biru datang menggebu
hingga membuat suasana malam yang hanya ber-
penerangan obor itu menjadi terang benderang.
Empat lawan satu tenaga sakti yang mele-
sat dari telapak tangan masing-masing kemudian bertemu di udara.
Blaar! Dum! Duum! Terjadi ledakan keras menggelegar. Empat
Datuk sempat terguncang tubuhnya. Sedangkan
Penggoro Bumi jatuh terduduk, jika saja mereka berhadapan satu persatu. Tentu
salah seorang dari Datuk Empat telah terkapar tanpa nyawa.
Sebab walau bagaimanapun Penggoro Bumi ter-
nyata memiliki tenaga dalam beberapa tingkat diatas lawannya.
Namun karena ia harus menahan empat
serangan sekaligus. Tidak pelak lagi ia sempat terdorong.
Dengan cepat ia bangkit berdiri. Tiba-tiba
tubuhnya melesat ke depan, lalu lancarkan se-
rangan kilat ke arah empat lawannya.
Serangan dengan mempergunakan jurus
'Membelah Badai' ini memang bukan serangan
sembarangan-sembarangan. Karena jurus ini me-
rupakan jurus tingkat kedua yang dipelajarinya dari tokoh misterius yang berdiam
di bukit setan.
Satu tendangan kilat dilakukannya. Sete-
lah itu tangannya yang bergerak sangat cepat ini menghantam ke bagian dada
lawannya empat kali
berturut-turut.
Duk! Des! Des! Des! "Wuaakh...!"
Datuk Satu sempat kehilangan keseimban-
gannya, sedangkan Datuk Dua, Tiga dan Datuk
Empat sempat jatuh terguling-guling. Inilah untuk yang pertama kalinya
kepandaian sang Datuk teruji. Dan tentu saja sebagai tokoh yang mengaku ingin
mengabdi pada Temenggung Dadung
Ampel mereka tidak ingin kehilangan muka.
Sambil menyeka darah yang mengalir dari
hidung dan bibir mereka, secepatnya ke Empat
Datuk ini bangkit berdiri.
Sing! Sreek! Senjatanyapun tercabut dari warangkanya
masing-masing. Melihat semua ini Penggoro Bumi hanya menyeringai.
Ia sendiri kemudian mencabut senjata an-
dalannya yang berbentuk aneh berupa mata tom-
bak bergagang panjang dengan bagian lainnya
berbentuk bulan berongga. Senjata ini kemudian
diputarnya sedemikian rupa. Sehingga dalam
waktu tidak begitu lama terjadilah pertempuran seru yang cukup menegangkan.
"Hiyaa...!"
"Huup!"
"Traang!"
"Traak!"
Benturan-benturan keras dari senjata mas-
ing-masing lawan terjadi. Bunga api berpijar dan menerangi kegelapan malam.
Namun hingga sejauh itu masih belum ada
tanda-tanda pihak mana yang akan keluar seba-
gai pemenang. Sebaliknya di pihak Penggoro Bumi sendiri
agak kesulitan juga untuk melakukan tekanan di pihak lawannya. Karena ia
menghadapi empat lawan sekaligus, sementara kepandaian serta ke-
saktian yang mereka miliki tidak jauh berbeda
dengan kemampuannya.
Satu dua tendangan berhasil menghantam
bagian tubuh lawannya. Di tengah-tengah hujan
senjata yang kian menghebat itu Penggoro Bumi
sudah mulai dapat memperhitungkan kekuatan-
nya. Paling tidak ia harus merobohkan lawannya satu demi satu jika memang ingin
menguasai keadaan. Tapi untuk melakukan apa yang ada dalam
benaknya juga tidak mudah. Sebab begitu Peng-
goro Bumi mendesak salah seorang dari Empat
Datuk. Maka yang lainnya segera melakukan se-
rangan balik dan menusukkan senjatanya ke ba-
gian dada maupun perut lawan. Laki-laki berbaju hitam ini menyumpah dalam hati.
Ia merasa kehilangan waktu dan kesempatan untuk menjatuh-
kan lawannya. Sementara itu Tumenggung Da-
dung Ampel yang menjadi incarannya malah te-
nang-tenang saja menyaksikan pertempuran yang
sedang terjadi,
"Huup...!"
Tubuh Penggoro Bumi tiba-tiba saja mele-
sat ke udara. Dilain saat ia telah menyodokkan senjatanya yang berbentuk aneh
itu kebagian leher Datuk Satu. Tentu saja kecepatannya dalam
mempergunakan senjata tidak diragukan lagi. Datuk Satu terpaksa menarik balik
serangannya, ia menangkis dengan golok besar ditangannya. Tapi serangan mendadak
itu ternyata hanya tipuan sa-ja. Penggoro Bumi merubah gerakannya sehingga
jadi menebas. Datuk Satu terkejut bukan main. Tapi da-
lam keadaan yang sangat keritis itu senjata Datuk Dua dan Datuk Tiga menebas ke
bagian pangkal lengan lawannya.
Wuut! Traak! Cres! "Aaaa...!"
Penggoro Bumi terpaksa bersalto ke bela-
kang. Tangan kanannya sempat tergores senjata
ditangan Datuk Tiga.
Sambil menggeram hebat ia lepaskan em-
pat pukulan secara berturut-turut. Lalu....
Bumm! Buum! Ledakan-ledakan keras terdengar ketika
pukulan yang dilepaskan oleh Penggoro Bumi
membentur pertahanan lawannya.
"Mampuslah kau sekali ini!" Datuk Satu mendengus. Tiba-tiba ia simpan golok
besar ditangannya.
Tangan kiri menyilang di depan dada, di-
ikuti oleh kawan-kawannya yang lain dan masih
terhitung saudara seperguruan. Secara bersama-
sama mereka menghimpun tenaga dalam.
Sebentar saja tangan-tangan mereka telah
berubah menjadi biru. Melihat kenyataan ini
Penggoro Bumi sudah maklum bahwa lawan be-
nar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang mereka miliki. Ini sama artinya bahwa ia tidak mungkin mampu membendungnya.
Sehingga tanpa menunggu lagi ia merogoh
sesuatu dibalik bajunya. Benda berwarna kecok-
lat-coklatan ini dilepaskannya ke tengah-tengah kalangan pertempuran.
Bldaar...! Keadaan kemudian berubah menjadi gelap
gulita. Datuk Satu memaki dengan kata-kata
yang sangat kotor.
"Bangsat itu melarikan diri!" dengusnya ketika melihat keadaan di sekelilingnya
menjadi gelap gulita.
Ternyata dugaan Datuk Satu meleset.
Penggoro Bumi bukannya melarikan diri melain-
kan dalam kegelapan yang diciptakannya dengan
asap penghilang jejak ia mencari kesempatan untuk melakukan serangan balik.
Seketika itu juga dari balik kegelapan asap
terlihat empat larik sinar merah hitam dan biru.
Keempat larik sinar itu langsung melesat meng-
hantam Datuk Satu, Dua, Tiga dan Empat. Se-
rangan yang sangat mendadak dan cepat luar bi-
asa ini sulit sekali dihindari. Hanya Datuk Satu saja yang sempat membanting
tubuhnya ke samping. Bumm! Buum! "Hugkh...!"
Ketiga Datuk itu memekik tertahan. Tubuh
mereka terlempar. Darah menyembur dari sudut-
sudut bibir mereka. Jika Empat Datuk yang
mempunyai kepandaian sulit dijajaki ini saja dapat dibuat tunggang langgang,
tentu dapat kita bayangkan betapa tinggi kesaktian yang dimiliki oleh Penggoro
Bumi. Melihat tiga lawannya roboh dalam kea-
daan payah. Maka Penggoro Bumi langsung men-
gambil kesempatan. Tiba-tiba ia menerjang Tu-
menggung Dadung Ampel sambil sabetkan senja-
ta di tangannya. Sang Tumenggung tentu saja tidak menyangka datangnya serangan
ini. Ia coba menghindar, namun gerakan yang dilakukannya
sudah terlambat.
Pedang merobek perutnya. Tumenggung
terhuyung-huyung sambil menjerit dan mendekap
perutnya yang mengucurkan darah.
"Kau segera mampus, Tumenggung!" teriak
Penggoro Bumi kalap.
Ia kembali kibaskan senjatanya. Namun di
waktu itu Datuk Satu sudah menghadangnya dari
arah samping. Senjata miliknya pun berkiblat.
Traang! Terjadi benturan sangat keras sekali. Dua-
duanya tampak terhuyung-huyung. Penggoro
Bumi mengeram marah, senjata di tangan dipu-
tarnya dengan sebat. Tetapi dari arah samping
Datuk Dua yang sudah dapat menguasai diri
menghantam punggungnya dengan senjata yang
aneh itu. Bokongan ini tentu sulit dihindari oleh
Penggoro Bumi. Tidak ayah lagi....
Des! "Akkk...!"
Laki-laki itu berteriak kesakitan. Lukanya
cukup parah juga, menyadari dirinya terancam
Mutiara Hitam 8 Si Dungu Karya Chung Sin Jodoh Rajawali 14
^