Pencarian

Pengejaran Ke Masa Silam 2

Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam Bagian 2


berusaha menghindar sedikit pun. Hingga....
Desss...! "Uhhh...!"
Hantaman pemuda berikat pinggang merah tepat
menerpa dada Raja Penyasar Sukma. Tapi..., keluh
kesakitan tidak keluar jdari mulut si kakek, justru malah
keluar dari mulut si pemuda sendiri!
Tubuh pemuda berperawakan kekar itu terpental
balik, lalu jatuh berguling-guling di permukaan tanah.
Sementara, Raja Penyasar Sukma tetap berdiri tegak
berkacak pinggang. Suara tawanya terdengar makin keras.
Akibatnya, daun-daun cemara mulai berguguran, jatuh
luruh bagai hujan jarum yang ditebarkan dari langit.
Terkejut tiada terkira tiga murid Padepokan Tapak
Sakti melihat saudara seperguruan mereka telah tergolek
pingsan dengan tulang siku patah. Mereka merasa ngeri
menyaksikan kehebatan Raja Penyasar Sukma. Namun
karena merasa sedang menjalankan tugas, mereka jadi
nekat. Darah muda mereka menggelegak panas. Hingga
tanpa pikir panjang Eagi, mereka menerjang bersamaan!
Des! Plak! Duk!
Karena Raja Penyasar Sukma tak berusaha mengelak
ataupun berkelit, tendangan dan pukulan ketiga murid Ki
Tunggal Jaladra itu tepat mengenai sasaran. Tapi, persis
seperti yang terjadi pada pemuda berikat pinggning merah,
tubuh mereka juga terpental balik lalu jatuh bergulingan di
atas tanah. Sebagian tulang-belulang tubuh mereka patah. Jerit
kesakitan semakin memecah kesunyian pagi.
Perlahan Raja Penyasar Sukma beranjak pergi
meninggalkan tempat. Suara tawanya masih terdengar
sampai beberapa lama.
Tampak kemudian, Raja Penyasar Sukma menghentikan langkah. L.alu dia menengadahkan wajah
seraya berterlak lantang....
"'Dewa Angkasa'...! 'Sinar Kuning Penyamar Raga'...!"
Raja Penyasar Sukma menyebut dua macam ilmu
kesaktiannya. Setelah menggedruk tanah tiga kali,
mendadak tubuh kakek itu dlselubungi cahaya kuning yang
berpendar menyilaukan mata!
Wusss...! Tubuh Raja Penyasar Sukma yang terselubungi
cahaya kuning meiesat ke angkasa amat cepat. Sesekali
mendarat di tanah, tapi segera melesat Iagi..., menuju ke
Bukit Takeran yang terletak di sebelah timur Gunung Lawu!
* * * Belasan murid Padepokan Tapak Sakti yang sedang
berusaha menolong ernpat saudara seperguruan mereka,
yang tengah tergeletak pingsan di tanah, tampak melonjak
kaget. tatapan mereka sama- sama nyalang, tertuju ke satu
tempat. Di antara jajaran pohon cemara teri hat segumpal
cahaya biru yang berpendar amat kuat. Gumpalan cahaya
itulah yang membuatterkejut beiasan murid Padepokan
Tapak Sakti. VVuusss.,.! Pendaran cahaya yang muncul dengan tiba-tiba itu
menimbulkan tiupan angin kencang. Ranting- ranting
pohon cemara terhempas keras, membuat daun-daunnya
rontok berguguran. Gumpalan tanah berhamburan.
Bahkan, beberapa murid Padepokan Tapak Sakti tampak
jatuh terpeleset karena terdorong tiupan angin yang
ditimbuikan pendaran cahaya biru.
Splash...! "Astaga...!"
Seluruh anak murid Padepokan Tapak Sakti memekik
kaget. Gumpaian cahaya biru yang mereka lihat tiba-tiba
lenyap. Namun, sebagai gantinya, di tempat itu muncul
seorang pemuda remaja berparas tampan. Tubuhnya yang
tinggi tegap terbungkus pakaian blru-biru dengan Ikat
pinggang kain merah. Si pemuda tampak berdiri sambli
cengar-cengir dengan lagak-lagu kebodoh-bodohan.
Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh!
"Kakang Gagak ireng...," seru salah seorang anak
murid Padepokan Tapak Sakti kepada Gagak Ireng yang
berada di antara saudara-saudara seperguruannya. "Ketika
datang ke tempat ini, aku tadi sempat melihat keempat
saudara seperguruan kita dibuat pingsan oleh seorang
kakek berpakaian serba kuning. Mungkin pemuda itu
temannya. Kita hajar saja dia, Kakang...."
Gagak Ireng tak menyahuti.
Pemuda gagah brewokan yang mengenakan pakalan
serba hitam itu menatap tajam sosok Pendekar Bodoh,
yang kini tampak menggaruk-garuk pantat. "Siapa kau?"
seiidiknya, keras membentak.
Seno cengar-cengir Iagi saat menyadarl dlrlnya berada
di hadapan belasan anak murid Padepokan Tapak Sakti.
"Eh.... Bukankah kau Tuan Gagak Ireng...," ujarnya, sedikit
kaget. "Ya! Aku memang Gagak ireng, Ketua Padepokan
Tapak Sakti yang baru...," sahut Gagak ireng. "Kau dapat
mengenaliku. Siapa kau sebenarnya?"
"Aku.... Ah! Apa perlunya aku memperkenalkan dirl...,"
tukas Seno. "Aku sedang mencari seorang kakek
berpakaian serba kuning, kulit tubuhnya berwarna kuning
pula seperti dilumuri air perasan kunyit. Apakah Tuan
Gagak Ireng melihat orang yang kucarl itu?"
"Trondol! Ditanya tidak menjawab, malah balik
bertanya! Hmmm.... Agaknya, kauteman kakek jahanam
itu! Karena dia telah melukai empat saudara
seperguruanku, ada baiknya blla kau turut diberi
pelajaran!"
Usai berkata, Gagak Ireng member! Isyarat kepada
adik-adik seperguruannya untuk menyerang Seno. Tentu
saja Seno terkejut. Dia tidak bersalah, kenapa mesti
diserang" "Uh! Aku tak punya maksud jahatl Aku hanya mencari
seorang kakek berpakaian serba kuning!" seru Seno sambil
berkelit ke sana-sini.
"Orang yang kau cari pergi ke timur!" sahut salah
seorang pengeroyok Seno. "Kalau ingin mencarinya,
terimalah hukumanmu dulu!"
Belasan pemuda yang mengeroyok Seno semakin
menyerang ganas. Ketika Gagak ireng turut menerjang,
semangat mereka jadi berkobar-kobar untuk segera dapat
meringkus Seno. Tanpa pikir panjang lagi, mereka
mengeiuarkan jurus-jurus andalan yang pernah mereka
pelajari dari Ki Tunggul Jaladara.
"Bagaimana ini" Bagaimana ini!" seru Seno berulang
kali, menyimpan rasa panik.
Walau diserang dari segenap penjuru dengan jurus-
jurus berbahaya, Seno tetap tak mau balas menyerang. Dia
cuma mengeiuarkan ilmu 'Tiupan Angin Meniup Dingin'
agar dapat menghindari semua serangan.
Namun, hati Seno tiba-tiba jadi berdebar tak karuan
setelah mendengar perkataan salah seorang pengeroyoknya tadi. Benarkah Raja Penyasar Sukma pergi
ke arah timur" Kalau memang benar begitu, berarti Raja
Penyasar Sukma tengah menuju ke Bukit Takeran! Hal itu
harus cepat dicegah!
"Maaf, Aku harus cepat pergi!" teriak Seno kemudian
seraya berkelebat cepat menuruni lereng gunung.
Karena murid Dewa Dungu itu berkelebat dengan
menggunakan Ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', belasan
murid Padepokan Tapak Sakti yang rata-rata masih hijau
dalam pengalaman Jadi bergidik ngeri. Mereka seakan
melihat tubuh Seno berubah jadi segumpal asap biru yang
tiba-tiba terbang meiesat ke timurl
Di mata mereka, kedatangan dan kepergian Seno
memang tampak aneh dan penuh keajaiban. Sehingga
mereka meneriaki Seno dengan sebutan setan, dan
berbagai sebutan makhluk halus lainnya. Sementara,
Gagak Ireng cuma berdiri kesal, mendengus-dengus bagal
seekor banteng yang sedang marah....
* ** 5 BUKIT Takeran....
Dengan duduk berjongkok dl antara bongkah-
bongkah batu besar, Raja Penyasar Sukma menatap tak
berkedip dua sosok manusia yang tengah bertempur mati-
matian. Sementara, di dekat ajang pertempuran itu terlihat
sebuah gubuk bambu yang terus mengepulkan asap
karena beberapa tiang dan sebagian dinding biliknya
terjilati lidah-lidah api.
"Hiahhh...!"
Trang! Trang! Terjadi benturan senjata tajam dua kail. Disertai
suara berdentang keras, bunga api memercik ke mana-
mana. Dua sosok tubuh yang tengah bertempur tampak
melenting tinggi. Setelah berjumpaiitan di udara, kedua
anak manusia itu mendarat sigap di tanah dalam waktu
hampir bersamaan.
Untuk beberapa lama, mereka berdiri diam dan saling
menatap dengan sinar mata sama berkilat.
Yang menghadap ke selatan seorang lelaki setengah
baya berperawakan kekar, mengenakan pakaian kunlng-
hijau. Rambutnya yang panjang diikat dengan sehelai kain
merah. Dan, yang menghadap ke utara adaiah seorang
wanita tiga puluhan tahun,berwajah canlik, tubuhnya yang
sintal-montok terbungkus pakaian serba putlh. Rambutnya
hiiam ber- kllau, dlgelung ke atas.
Kedua tokoh yang sama-sama mencekal pedang di
tangan kanan itu adalah Banyak Langkir dan Dewi
Ambarsari atau Putri Bunga Putih. Banyak Langkir yang
sedang mengemban tugas dari Prabu Wira Parameswara
itu kuiit tubuhnya masih berwarna sawo matang, seperti
kulit orang Jawa pada umumnya.
Raja Penyasar Sukma yang mengintai dari bai k
bongkahan batu tersenyum tipis manakala melihat sosok
dlrinya sendiri yang lima tahun iebih muda. Sesaat,
pemimpin Komplotan Lembah Dewa-Dewi itu menunduk,
mellhat keadaan tubuhnya yang telah berkulit kuning
seperti dilumuri air perasan kunyit Warna kuning di sekujur
tubuhnya muncul setelah dia berhasl mendalami isi Kltab
Tlga Dewa berkat petunjuk Setan Bodong di Pulau
Kayangan. Raja Penyasar Sukma tak menyesali perubahan
warna kullt tubuhnya yang menjadikannya bertampang
seram dan jauh berbeda dengan keadaan manusia pada
umumnya. Bagi Raja Penyasar Sukma, untuk apa
menyesali perubahan warna kulit kalau sebagai gantlnya
dia mendapatkan tiga ilmu kesaktian yang maha hebat"
Saat mendengar suara tawa Banyak Langkir muda,
bergegas Raja Penyasar Sukma mengarahkan pandangan
ke depan lagl. Kali ini sinar matanya terlihat tajam
menusuk. Hatinya tiba-tiba diliputi debar-debar yang tak
mengenakkan. "Ha ha ha."!" tawa gelak Banyak Langkir muda.
"Susah-payah aku mencarimu, kiranya kau berada di sinl.
Setelah kubakar rumahmu, masihkah kau berkeras hati
untuk tetap tak mau mengatakan di mana suamimu
berada" Hayo, cepat katakan, di mana Darma Pasulangit
berada"! Atau, ketajaman pedangku ini akan segera
mencincang tubuhmu!"
Melihat Banyak Langkir mengacungkan pedang ke
arahnya, Dewi Ambarsari mendengus gusar seraya balas
mengacungkan pedangnya.
"Banyak Langkir Keparat!" hardik Dewi Ambarsari
yang memang istri Darma Pasulangit atau Ksatria Seribu
Syair, bekas putra mahkota Kerajaan Mahespati yang telah
tergulingkan. "Jahanam kau kaki tangan raja liclk,
Parameswara! Siapa takut menghadapi ketajaman
pedangmu" Kalau memang mampu, segera kau buktikan
kata-katamu itul"
"Setan alas! Kuntilanak edan!" maki Banyak Langkir
muda. "Rupanya, kau manusia yang tidak mau diberi belas
kasihan! Baiklah kalau begitu, makan pedangku Ini!
Hiaahh...!"
Wuttt.,.! Banyak Langkir muda menerjang ganas. Bilah pedang
di tangannya berkeiebat cepat, mengincar jalan kematian
di tubuh Dewi Ambarsari.
Tentu saja, Dewi Ambarsari tak mau tinggal diam.
Sambil berkelit ke sana-sini, dia balas menyerang. Bilah
pedang di tangannya berkeiebat tak kalah cepat. Setiap
menebas ataupun menusuk selalu mengeluarkan suara
berdesing keras yang menyakitkan gendang tellnga.
Maka, pertempuran sengit antara Banyak Langkir dan
Dewl Ambarsari segera berlangsung kembali. Mereka
sama-sama bernafsu untuk segera menyudahi perlawanan
lawan. * ** "Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh daiam hati. "Apa
yang harus kuperbuat" Apa yang harus kuperbuat"
Haruskah aku menghentikan pertempuran itu" Atau, aku
membantu ibuku" Tapi..., kalau aku membantu ibuku,
bukankah itu sama artinya dengan aku mengubah takdir
seseorang?"


Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Pendekar Bodoh menggigil daiam perasaan
kalut. Butlr-butlr peluh jatuh bercucuran dari wajahnya.
Keringat dingin turut keluar, hingga membasahi kain
bajunya. Dan tanpa dlsadarl oleh Pendekar Bodoh, aroma
harum kayu cendana terclum di sekitarnya. Aroma harum
itu menebar dari kain baju Pendekar Bodoh yang terkena
cairan keringat.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh Iagi, dalam hatl.
"Aku tahu..., sebentar Iagi Ibuku akan jatuh terkapar
bermandikan darah. Sungguh aku tak kuasa melihat
adegan yang akan segera berlangsung itu...."
Pendekar Bodoh yang tengah mengintai dari balik
semak-semak menundukkan kepala. Jantungnya berdegup
amat cepat, membuat dadanya terasa sesak. Benaknya
digeluti perasaan galau dan bingung tak menentu.
Murid Dewa Dungu itu tahu bila pertempuran yang
tengah berlangsung di hadapannya tak akan berlangsung
iama. Kemenangan berada di pihak Banyak Langkir. Dan...,
Dewi Ambarsari ibunya akan terluka parah oleh tusukan
dan tebasan pedang lawannya itu!
Sebagai manusia biasa yang juga punya hati dan
perasaan, tentu saja Pendekar Bodoh tak sampai hati
melihat orang jahat meiukai ibunya. Oleh karena itu,
Pendekar Bodoh hendak meloncat keluar dari tempat
persembunyiannya untuk menyelamatkan jiwa ibunya.
Namun mendadak, kata-kata Ratu Perut Bumi mengiang di
telinganya.... "Sebeium kau gunakan kekuatan gaib cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa', satu pesanku, jangan
pernah kau lupakan. Kau jangan mengubah sesuatu yang
telah terjadi..."
Teringat akan pesan wanita berdarah si uman itu,
Pendekar Bodoh tak jadi melaksanakan niatnya. Dia cuma
menunduk dengan hati perih teriris-iris....
"ibu... Ibu...," desis Pendekar Bodoh, berulang kali.
Pemuda lugu itu memejamkan kelopak matanya
rapat-rapat. Seiain tak kuasa melihat pertempuran yang
tengah beriangsung di hadapannya, dia pun berusaha
menahan air mata yang hendak tumpah.
Dia tak boleh menangis. Kalau sampai menangis,
berarti dia tidak tabah. Kaiau tidak tabah, berarti dia tak
sanggup menjaiani hidup yang memang penuh cobaan dan
tantangan. Dengan mengingat pengertian yang ditanamkan
ibunya sejak dia masih kanak-kanak itu, Pendekar Bodoh
bisa bersikap sedikit tenang. Namun, tetap saja hatinya
perih bagai tersayat sembilu. Dan... mendadak, pemuda
remaja itu memekik kaget. Boia matanya tiba-tiba melotot
besar dengan tatapan nyaiang....
Sekitar sepuiuh tombak dari hadapan Pendekar
Bodoh, Dewi Ambarsari tampak berdiri terhuyung- huyung.
Cairan darah segar menodai pakaian putih- putih yang
dikenakan wanita bergeiar Putri Bunga Putih itu. Bilah
pedang Banyak Langkir telah menusuk tembus dada
kanannya dan membuat luka lebar di pinggang klri!
Saat meilhat Dewi Ambarsari jatuh tak berdaya di
tanah, tak dapat lagi Pendekar Bodoh menekan
perasaannya yang berdebar tak karuan. Dia meloncat
dengan Tongkat Dewa Badai tercekal di tangan kanan.
Hendak dibabatnya leher Banyak Langkir sampai tanggal!
Raja Penyasar Sukma yang tengah bersembunyi di
tempat lain tampak membelalakkan mata. Bagaimana
mungkin Pendekar Bodoh bisa muncul di tempat itu"
Namun, mengetahui ada bahaya maut yang tengah
mengancam Banyak Langkir muda, cepat dia halau rasa
terkejutnya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, dia
berkelebat keluar dari tempat persembunyiannya.
Langsung dia papaki lesatan tubuh Pendekar Bodoh
dengan pukulan jarak jauh!
Wuusss...! Terkejut tiada terkira Pendekar Bodoh melihat selarik
sinar kuning yang meluruk deras ke arahnya. Tak mau
celaka, cepat dia tarik kembali Tongkat Dewa Badainya
untuk dibuat menghalau sinar kuning wujud pukulan jarak
jauh Raja Penyasar Sukma itu!
Wesss...! Kibasan senjata andalan Pendekar Bodoh yang
berupa tongkat putih sepanjang dua jengkal, menimbulkan
gelombang angin pukulan dahsyat. Hingga....
Blarrr...! Terdengar ledakan amat keras. Selarik sinar kuning
yang melesat dari telapak tangan kanan Raja Penyasar
Sukma tertahan di udara, lalu melesat tegak lurus ke atas,
kemudian hilang tanpa bekas. Sementara, gelombang
angin pukulan yang dibuat oleh Pendekar Bodoh telah
berkurang puia kekuatannya, sehingga hanya mampu
menerbangkan debu tanah dan daun-daun kering yang
bertebaran di atasnya.
"Siapa kalian...?" kesiap Banyak Langkir muda,
menatap sosok Raja Penyasar Sukma dan Pendekar Bodoh
bergantian. "Kau tak perlu tahu," sahut Raja Penyasar Sukma.
"Tapi, kau jangan pergi dulu. Ada satu pekerjaan lagi yang
harus kau lakukan!"
Banyak Langkir muda mengerutkan kening. Tersirat
rasa ngeri pada sinar matanya melihat wujud Raja
Penyasar Sukma yang tampak aneh. Karena, sekujur tubuh
Raja Penyasar Sukma berwarna kuning seperti di umurl air
perasan kunyit.
"Aku tidak mengenalmu. Kenapa aku harus menuruti
perintahmu?" dengus Banyak Langkir muda kemudian.
"Jangan salah mengerti. Aku tidak memerintah. Aku
hanya menyarankan apa yang Iebih balk kau lakukan...,"
tukas Raja Penyasar Sukma yang berada di samping kiri
Banyak Langkir muda. "Sebentar Iagi, anak wanita yang
teiah kau lukai itu akan datang. Agar di kelak kemudian
hari dia tak menyusahkanmu, bunuhlah dia!"
"Jahanam!" geram Pendekar Bodoh yang berdiri di sisi
kanan Banyak Langkir muda. "Untuk mewujudkan
keinginan busukmu itu, tidak semudah yang kau
bayangkan, Keparat!"
"Ha ha ha...!" Raja Penyasar Sukma tertawa bergelak-
gelak. "Aku tahu.,., kau bisa mengejarku ke tempat ini tentu
berkat kekuatan gaib cermin 'Terawang Tempat Lewati
Masa' milik Ratu Perut Bumi. Hmmm.... Rupanya, kau
punya 'hubungan khusus' dengan manusia setengah ular
itu! Ha ha ha.... Tapi, kau akan tetap binasa karena Seno
kecil sebentar lagi pasti menemui ajainya di tempat ini! Ha
ha ha...!"
"Selagi aku masih berada di hadapanmu, kau tak
akan bisa meiaksanakan niatmu itu, Keparat!"
"Bisa atau tidak, akan segera kita buktikan bersama!
Ha ha ha...!"
Raja Penyasar Sukma tertawa bergelak lagi.
Dewi Ambarsari yang telah terluka parah mencoba
bangkit. Dia cekal hulu pedangnya erat-erat. Mendengar
ada orang berniat membunuh Seno putranya, tentu saja
wanita itu tak mau berpangku tangan. Namun..., luka-luka
yang dideritanya telah membuat tenaganya lenyap
terkuras. Hingga, dia jatuh terkuiai ke tanah lagi!
"Ibu...!" pekik Pendekar Bodoh dengan tatapan
nyalang. Pemuda lugu itu meloncat ke sisi Dewi Ambarsari
seraya memeluknya dengan segenap rasa sedih dan haru.
"Kau siapa" Kau... kau siapa?" kesiap Dewi
Ambarsari. "Ke... kenapa memanggilku 'Ibu'...?"
"Aku Seno, Bu! Aku Seno...!" seru Pendekar Bodoh,
kalut. Menggeleng lemah Dewi Ambarsari. "Kau bukan
Seno. Seno masih kecil. Tapi..., wajahmu memang mirip
dengan putraku itu. Kalau kau bersedia, jangan biarkan
putraku dibunuh orang.... Aku mohon...."
Pendekar Bodoh menggigit biblr kuat-kuat. Tak kuasa
menahan debar-debar di hatinya melihat Dewi Ambarsari
yang tengah berjuang melawan maut. Perasaan Pendekar
Bodoh semakin kaiut tak karuan manakala....
"Ibuuu...!"
Terdengar sebuah pekik parau. Dari sisi kanan gubuk
bambu yang hampir musnah termakan si jago merah
tampak seorang bocah Ielaki berlari kencang ke arah Dewi
Ambarsari, yang tengah terbaring lemah daiam pelukan
Pendekar Bodoh. Bocah Seiaki itu berumur sekitar dua
beias tahun, berwajah tampan namun tampak kotor dan
dekil. Tubuhnya yang kurus kering terbungkus pakaian
compang-camping.
Dia Seno Prasetyo kecil!
"Celaka!" seru Pendekar Bodoh.
"Bunuh dia!" teriak Raja Penyasar Sukma.
Banyak Langkir muda yang masih mencekal pedang
terhunus, berdiri terpaku sejenak. Tapi setelah tahu bila
bocah Ielaki yang datang adaSah Seno Prasetyo, putra
Dewi Ambarsari, bergegas dia melompat. Bilah pedangnya
berkelebat cepat, hendak membelah kepala Seno kecil!
Wuuttt...! "Heaaa...!"
Namun... sebeluim cairan darah segar kembali
menodai permukaan tanah di lereng Bukit Takeran,
Pendekar Bodoh meiesat cepat sekali. Tubuh Seno kecil
disambarnya seraya mendaratkan tendangan ke dada
Banyak Langkir muda!
Wuuttt...! Desss...! Tebasan pedang Banyak Langkir muda hanya
mengenal tempat kosong. Orang kepercevaan Prabu Wira
Parameswara itu .rnemekik kesakitan saat tendangan
Pendekar Bodoh tepat bersarang di dadanya.
Karena Pendekar Bodoh tak berniat membunuh, dia
cuma menyertai tendangannya dengan sebagian keci!
kekuatan tenaga dalam. Mamun demikian, tendangan itu
sudah cukup mampu untuk membuat tubuh Banyak
Langkir mencelat lima tombak ke udara, lalu jatuh
berdebam di tanah. Malangnya, kepala Banyak Langkir
membentur sebongkah batu kasar. Bukan saja
kesadarannya jadi hilang, tapi dahlnya juga robek
sepanjang jari kelingking....
Mendadak Raja Penyasar Sukma menjerit lirih.
Kakek berperawakan kekar itu tersurut mundur
dengan iangkah terhuyung-huyung. Telapak tangan
kanannya menekap dahi. Oantatkata dibuka, ternyata di
dahi si kakek telah terdapat bekas luka sepanjang jari
kelingking! "Haram jadah!" geram Raja Penyasar Sukma dengan
dengus napas memburu, terbawa desakan hawa amarah.
Ditatapnya sosok Banyak Langkir muda yang rebah
telentang dalam keadaan tak sadarkan diri. Ditatapnya
pula sosok Pendekar Bodoh yang tengah membopong Seno
kecil. "Setan alas...!" geram Raja Penyasar Sukma lagi.
"Kubunuh kalian semua! Kubunuh. kalian semua...!"
Suara yang keluar dari mulut Raja Penyasar Sukma
terdengar keras menggelegar. Si kakek menggeieng-
gelengkan kepala dengan keras. Kedua kakinya bergeser-
geser di permukaan tanah, sehingga debu tebal
berhamburan ke mana-mana.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh, setengah tak
percaya pada pengi hatannya sendiri.
Murid Dewa Dungu itu benar-benar terhantam
keterkejutan, Dari balik debu tebai, dia melihat sosok Raja
Penyasar Sukma membesar..., dan terus membesar,
hingga berukuran tiga kali lepat ukuran manusia biasa!
Rupanya, karena terdesak oleh hawa amarah yang
meluap-luap, Raja Penyasar Sukma mengeluarkan i mu
'Raja Tiwikrama', warisan leluhurnya. Andai tempo hari Raja
Penyasar Sukma berhasil mendapatkan 'Kodok Wasiat
Dewa' kemudian menelannya, maka iimu 'RajaTiwikrama'
akan mencapal taraf sempurna. Dan apabila hal itu terjadi,
ketika Raja Penyasar Sukma mengeluarkan i mu itu, maka
tubuhnya akan membesar puluhan kali dari ukuran
semula. ' Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh Iagi. "Walau
ilmu 'Raja Tiwlkrama' belum dikuasai dengan sempurna
oleh kakek itu, tapi kehebatannya sungguh membuatku
jadi giris.,.," katanya daiam hati. "Aku harus bertindak
cepat. Apa boleh buat..., aku harus membawa pergi tubuh
ibuku dari tempat Ini...."
Bergegas Pendekar Bodoh memindahkan tubuh Seno
kecil ke punggungnya. Laiu, dia berkelebat menyambar
tubuh Dewi Ambarsari yang masih tergeletak di atas tanah.
Dengan menggendorjg Seno kecil dan membo pomg
Dewi Ambarsari, murid Dewa Dungu itu mengempos
tenaga. Dia berlari cepat meninggalkan Bukit Takeran.
Karena berlari menggunakan ilmu peringan tubuh 'Lesatan
Angin Meniup Dingin', sebentar saja sosok Pendekar Bodoh
telah lenyap dari pandangan!
"Jahanam! Mau lari ke mana kau"!"
Raja Penyasar Sukma berteriak lantang.
Teriakan kakek yang tubuhnya telah membesar
hingga hampir sebesar gajah itu mengandung daya
penghancur dahsyat. Batang-batang pohon yang berada di
kanan-kiri si kakek tiba-tiba tercabut dari dalam tanah, ialu
berpentalan ke berbagas penjuru. Bongkah-bongkah batu
besar turut berpentalan, sebagian malah hancur berkeping-
keping menjadi kerikil!
Tubuh Banyak Langkir muda pun tampak terlontar
tinggi ke udara. Namun sebelum jatuh berdebam ke tanah,
Raja Penyasar Sukma telah menyambarnya, ialu
meletakkannya kembai ke permukaan tanah.
Melihat sosok Pendekar Bodoh sudah tak tampak lagi
di hadapannya, Raja Penyasar Sukma melepas ilmu 'Raja
Tiwikrama'-nya. Sebentar kemudian, tubuh kakek itu


Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengecil kembai ke ukuran semuia.
"Jahanam! Tunggu kedatanganku...!" geram Raja
Penyasar Sukma lagi.
Kakek yang tengah dlkuasai hawa amarah itu
menggedruk tanah tiga kali. Seketika itu juga, tubuhnya
langsung terbungkus cahaya kuning karena dia
mengeluarkan ilmu 'Sinar Kuning Penyamar Raga'
Lalu dengan menggunakan Iimu 'Dewa Angkasa',
salah satu Iimu kesaktian yang berasal dari Kitab Tiga
Dewa, dia meninggalkan Bukit Takeran untuk mengejar
Pendekar Bodoh!
* ** 7 SETELAH berlarl selama hampir sepenanakan nasi,
Pendekar Bodoh menurunkan tubuh Seno kecil dan Dewi
Ambarsari di lantai gua. Gua Itu berada di sebuah lembah
yang tertutupl tebing- tebing tinggi, berjarak ratusan
tombak dari Bukit Takeran. Sengaja Pendekar Bodoh
mencari tempat tersembunyi agar Raja Penyasar Sukma
tak dapat menemukannya.
Seno kecil yang terllhat amat polos dan lugu,
langsung memeluk Ibunya penuh rasa khawatlr.
Sementara, cairan darah segar masih terus mengalir dari
kedua luka dl tubuh Dewi Ambarsari, yang terbaring lemah
dengan wajah pucat.
"Ibuuu...l ibuuu...l" sebut Seno kecil dengan tatapan
nyalang. "Siapa yang teah berbuat kejam, Bu" Siapa yang
teah melukalmu, Bu?"
Dewi Ambarsari mencoba tersenyum. Direnggangkannya pelukan Seno kecil seraya berkata,
"Seno..., luka Ibu sangat parah. Ibu tidak bisa Iagi
menemani Seno. Namun..., Seno tak perlu sedih. Seno
masih ingat semua pesan dan nasihat Ibu, bukan?"
"Ya, Bu! Seno tak akan pernah melupakannya.... Tapi,
Ibu tak boleh pergl! Seno tak mau hidup sendiri!"
"Hus! Jangan berkata begitu!" tegur Dewi Ambarsari
sambi! menekap kedua lukanya. "Kepergian ibu nanti
jangan kau anggap sebagai musibah! Semua kejadian di
dunia ini, baik yang mendatangkan kesenangan maupun
kesusahan, memberikan banyak manfaat kepada manusia.
Seno harus pandai- pandai memetik hikmah dari peristiwa
ini...." "Tapi, Bu...."
"Hayo! Seno tidak boleh bersikap seperti ini!" tegur
Dewi Ambarsari lagi saat melihat Seno kecil tampak panik.
"Seno harus tegar. Seno harus berjiwa besar. Kalau
memang Seno masih ingat semua pesan dan nasihat Ibu,
mestinya Seno bisa menahan dirl. Seno tidak boleh
menangis...."
"Ya.... Ya, Bu.... Seno tak akan menangis...," desah
Seno kecil, menahan air mata yang hendak menitik jatuh.
"Seno memang tidak boleh menangis. Kalau menangis,
berarti Seno tidak tabah...."
"Bagus! itu tandanya Seno anak yang baik...," puji
Dewi Ambarsari, mencoba mengulum senyum lagi.
"Sekarang, sampaikan rasa hormat dan terima kasihmu
kepada pendekar muda yang duduk di sampingmu itu...."
Seno kecil menatap lekat wajah Pendekar Bodoh.
Melihat tatapan si bocah yang menyiratkan kesedihan
mendalam, hati Pendekar Bodoh semakin tersayat perih.
Hingga, dia menunduk dengan rasa gundah-guiana.
Pendekar Bodoh juga tahu bila nyawa Dewi Ambarsari
tak mungkin dapat diselamatkan Iagi. Luka- luka di tubuh
pendekar wanita itu memang teramat parah.
"Tuan Pendekar...," ucap Seno kecil dengan suara
bergetar. Pendekar Bodoh mengangkat wajah kembail.
Dibalasnya tatapan Seno keciS. Namun, kini ganti Seno
kecil yang menundukkan kepaia dengan badan
terbungkuk. Agaknya, si bocah tengah menyampaikan rasa
hormatnya kepada pendekar Bodoh.
"Tak perlu...,' ujar Pendekar Bodoh. "Aku tak biasa
menerima penghormatan seperti ini...."
Perlahan Seno kecil menegakkan tubuh kembali.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Tuan Pendekar telah
menyelamatkan nyawa saya...."
Pendekar Bodoh tak menyahuti. Telapak tangan
kanannya mengusap-usap rambut Seno kecil. Lalu,
tatapahnya beralih ke sosok Dewi Ambarsari.
"Maafkan aku, Bu...," desah Pendekar Bodoh, penuh
haru. "Aku tidak bisa menemani Ibu di sini. Ada .orang jahat
yang mengejar. Aku harus mencegahnya sebelum dia
datang ke tempat ini...."
"Sebentar..,," tukas Dewi Ambarsari. "Kau seialu
menyebutku 'Ibu', siapa kau sebenarnya?"
Mendengar pertanyaan Itu, benak Pendekar Bodoh
jadi keruh. Di lereng Bukit Takeran beberapa waktu tadi,
dia kelepasan bicara dan memperkenalkan diri sebagai
Seno Prasetyo. Naruskah sekarang ini dia memperkenaikan dirinya lagi sebagai Seno Prasetyo, putra
pendekar wanita yang hampir dijemput maut itu" Apakah
hal itu tidak akan membuat persoalan jadi lebih rumit"
"Aku dan Seno Prasetyo putraku mengucapkan
banyak-banyak terima kasih atas pertolonganmu, Anak
Muda..,,"'ujar Dewi Ambarsari saat melihat Pendekar Bodoh
diam termenung. "Namun..., agar dl akhir hayatku, aku tak
menjadi penasaran..., jawablah pertanyaanku. Siapakah
kau Ini sebenarnya" Dan, kenapa kau selalu menyebutku
'Ibu'?" Melihat tatapan Dewi Ambarsari yang memohon
jawaban tak dapat Pendekar Bodoh berdiam diri terlalu
lama. Tapi, benak pemuda remaja itu diliputi keraguan
bercampur bingung. Jika berterus terang, dia takut
dianggap berdusta. Keberadaan Pendekar Bodoh di tempat
itu memang amat sulit untuk diterima akal sehat.
'Tentang siapa aku, tidaklah penting...," ujar Pendekar
Bodoh kemudian. "Maafkan aku.... Aku harus segera pergi
dari tempat ini...
Dengan perasaan tak karuan, Pendekar Bodoh
menatap wajah Dewi Ambarsari. Ditatapnya pula wajah
Seno kecil. Lalu..., dia bangkit berdiri seraya berkelebat
keluar gua. "Tunggu...!" teriak Seno kecil untuk mencegah
kepergian Pendekar Bodoh.
"Sudahlah...," tegur Dewi Ambarsari. Seno kecil duduk
bersimpuh lagi di sisi ibunya. Sementara, sang ibu
menatap tak berkedip bayangan Pendekar Bodoh yang
segera lenyap dl balik jajaran pohon di iuar gua.
"Karena suatu alasan tertentu, mungkin pemuda itu
menganggap kita tak perlu tahu perihal siapa dirinya...,"
ucap Dewi Ambarsari kemudian, lirih seperti menggumam.
"Biarkan dia pergi. Doakan agar Tuhan selalu
melindunginya, Seno. Bagaimanapun, dia telah berbuat
baik kepada kita...."
Mengangguk lemah Seno Prasetyo yang masih
seorang bocah. Dewi Ambarsari meraih bahu putranya itu
seraya memeluk erat-erat....
* ** Dari arah Bukit Takeran, segumpal cahaya kuning
melesat cepat menuju ke timur, memperdengarkan suara
mendesis keras seperti desis puluhan ular yang sedang
meleletkan i dah. Walau matahari sedang terik, gumpalan
cahaya itu terlihat amat menyilaukan mata. Manakala
melesat di atas pepohonan, timbul suara gemeretakan.
Ranting-ranting patah, membuat dedaunan rontok
berguguran. "Aku di sini, Banyak Langkii r...!" seru Pendekar Bodoh
yang tengah berdiri tegak di atas bongkahan batu besar.
Mendadak, lesatan gumpaian cahaya kuning berhenti
di udara, lalu turun perlahan-lahan sekitar lima tombak dari
hadapan Pendekar Bodoh. Begitu menyentuh permukaan
tanah, gumpalan cahaya itu langsung lenyap. Namun
sebagai gantinya, muncul seorang kakek yang sekujur
tubuhnya berwarna kuning seperti dilumuri air perasah
kunyit. Dia Raja Penyasar Sukma!
"Aku tahu kau menyimpan dendam kemarahan
terhadapku. Aku tahu kau ihgin membuat perhitungan
denganku. Tapi..., kau harus tahu juga..., aku pun punya
niat yang sama denganmu. Banyak Langkir...!" ujar
Pendekar Bodoh, menggeram marah. "Oleh sebab itulah
aku setigaja ntenungguinu di tempat ini! Myawa saiah
seorang di antara kita adalah akhir dari perhitungan ini!
Bersiaplah, Banyak Langkir! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!"
Raja Penyasar Sukma menatap sosok Pendekar
Bodoh dengan sinar mata berkilat-kiiat penuh nafsu
membunuh. Cairan darahnya menggelegak panas naik
sampai ke ubun-ubun. Hawa kemarahan menjerat erat,
membuat otaknya turut mendidih panas. Tak dapat dia
menyahuti tantangan Pendekar Bodoh dengan kata-kata,
karena lidahnya turut menjadi kelu.
Namun mendadak, Raja Penyasar Sukma tertawa
bergelak-gelak. Diam-diam dia menyertai suara tawanya
dengan ilmu'Dewa Penghancur', sebuah ilmu pukulan
dahsyat yang djdapat dari Kitab Tiga De?wa!
"Hhhh...!"
Tersurut mundur Pendekar Bodoh beberapa langkah.
Tubuhnya tampak terhuyung-huyung hendak jatuh.
Murid Dewa Dungu itu menekap dada kirinya dengan
wajah memucat. Jantungnya terasa sakit luar biasa, bagai
dijepit dua baiok baja yang amat kuat! Hingga, tanpa sadar
dia memekik parau....
Dan tiba-tiba..., Pendekar Bodoh jatuh terbanting di
tanah! Kedua tangan dan kakinya, serta kepala, terasa
hendak tanggai karena dibetot oleh kekuatan maha
dahsyat yang tak tampak!
Sebelum sesuatu yang mengerikan terjadi atas
dirinya, cepat Pendekar Bodoh menyadari keadaan,
Dikeluarkannya iimu kebal 'Perisaf Dewa Badai', Karena
tempo hari dia telah menelan 'Kodok Wasiat Dewa',
kekuatan tenaga daiamnya menjadi berlipat ganda. Dan
tentu saja, kekuatan i mu 'Perisai Dewa Badai'-nya turut
berlipat ganda. Sehingga, serangan tak kasat mata ilmu
'Dewa Penghancur' Raja Penyasar Sukma tak terasakan
Iagi oleh Pendekar Bodoh.
"Jahanam...!" geram Raja Penyasar Sukma, jengkel
tiada terkira. "Jangan keburu senang kau, Bocah gemblung!
Terimalah pukulan 'Dewa Penghancur' tingkat kesepuluh
ini! Hiaahhh.,.!"
Sambil menggembor keras, Raja Penyasar Sukma
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua
larik sinar kuning yang amat menyilaukan mata langsung
menyerbu ganas ke arah Pendekar Bodoh!
Wusss...! Melihat ada bahaya besar mengancam jiwanya,
bergegas Pendekar Bodoh bangkit berdiri seraya
mempersiapkan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'
yang terdiri dare dua bagian, yaitu 'Pukuian inti Dingin' dan
'Pukulan inti Panas'.
Saat murid Dewa Dungu itu melepas pukulan jarak
jauhnya, dua berkas sinar meluruk ke dapan. Yang satu
berwarna putib berkilat terselubungi lidah-i dah api panas
membara. Dan, yang satu lagi berwarna kuning keemasan
terselubungi lapisan salju dingin luar biasa. Hingga...,
bentrokan dua ilmu pukuian tingkat tinggi tak dapat
dihindari lagi!
Blammm...! Sebuah ledakan yang amat keras luar biasa,
membuat gumpaian tanah berhamburan. Bongkah-
bongkah batu dan belasan batang pohon yang berada di
dekat pusat ledakan, hancur luluh menjadi serbuk halus
yang menebar ke herhagai penjuru. Semehtara, tepat dl
pusat ledakan, di permukaan tanah terbentuk sebuah
lubang besar dan sangat dalam, nyaris mirip danau yang
telah mengering. Dl kanan lubang terlihat lapisan saiju
berwarna kuning keemasan. Dan di kiri lubang, permukaan
tanah dipenuhi lidah-lidah api yang terus menjiiat-jilat
sampai beberapa lama.
Saat terjadi bentrokan dua ilmu pukulan tadi, tubuh
Pendekar Bodoh dan Raja Penyasar Sukma sama-sama
terpental jauh. Setelah jatuh terbanting di tanah, kedua
anak manusia itu mencoba bangkit, namun darah segar
keburu menyembur dari mulut. Hingga, mereka cuma
dapat duduk terbungkuk dengan napas tersengai-sengal.
Meni ik dari akibat yahg diterima Pendekar Bodoh dan
Raja Penyasar Sukma, jelas bila i mu pukulan mereka
seimbang. Hanya saja, keadaan Raja Penyasar Sukma
sediklt Iebih parah. Luka-luka akibat tusukan bendera
'Benteng Rajah Abadi' mengucurkan darah Iagi. Dan, si
kakek pun tampak menggigit bibir kuat-kuat untuk
menahan rasa sakit yang merejam sekujur tubuhnya.
"Jahanam...!" gerarn Raja Penyasar Sukma kemudian.
"Kita ianjutkari perhitungan ini di lain waktu!"
Dalam keadaan tubuh berlumuran darah segar, Raja
Penyasar Sukma mengeluarkan ilmu 'Dewa Pelanglang
Jagat'. Hingga di lain kejap, sosok kakek berkui t kuning
seperti dilumuri air perasan kunyit itu lenyap tanpa bekas!
"Dia tidak boleh lolos.... Aku harus mengejarnya...!"
tekat Pendekar Bodoh, penasaran.


Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda remaja itu menarik napas panjang berulang
kali. Jantungnya yang berdegup amat kencang terasa
menyesakkan dada. Sambil tetap duduk mendeprok di
tanah, dia pejamkan keiopak mata. Dikeluarkannya i mu
'Getaran Raga Pelacak Jejak' yang baru didapat dari Setan
Bodong. Murid Dewa Dungu itu berusaha mencari jejak
Raja Penyasar Sukma.
Setelah mengetahui di mana si kakek berada,
Pendekar Bodoh memhuka kelopak matanya kembali, lalu
mengeluarkan cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' dari
lipatan baju bagian daiam. Dengan menggunakan
kekuatan gaib cermirn milik Ratu Perut Bumi itu, Pendekar
Bodoh hendak menyusul kepergian Raja Penyasar,Sukma.
Dan tak lama kemudian, sosok Pendekar Bodoh pun
lenyap dari pandangan...
* ** 8 GEDUNG Partai Naga Timur....
Aji Pamenak yang tengah bersemadi di kamar
pribadinya terkesiap kaget. Kelopak matanya terbuka,
jelaiatan mengedarkan pandangan. Mendadak, dia
menggigil ketakutan seperti sedang melihat sesuatu yang
amat mengerikan.
Dengan raut wajah pucat-pasi, dia beringsut mundur
sampai punggungnya menyentuh dinding kamar. Sinar
matanya semakin nyalang. Rasa takut bercampur kal ut
semakin menjerat erat hati sanu barinya! Hingga....
"Wuaaa.,.! Aaaa...!"
Ketua partai yang bergelar Naga Dari Timur itu
menjerit panjang. Mitfutnya terbuka lebar dengan tubuh
semakin menggigil ketakutan. Keringat dingin mengucur
berleEehan, membasahi pakaiannya yang berwarna putih-
kuning. Sementara, baju luarnya yang mirip jubah merah
hampir tanggal dari tubuhnya karena dia terus beringsut
dan meronta-ronta, seakan ada orang yang hendak
meringkus dan merantainya.
Aji Pamenak menjerit lagi....
Menjerit keras sekali!
"Apa itu?"
Tuan Aji Pamenak..."!"
"Sesuatu teiah terjadi atas diri sang ketua!"
"Ayo, masuk!"
Mendengar jeritan keras dari daiam gedung, yang
menyiratkan perasaan giris, belasan anggota Partai Naga
Timur yang tengah berjaga-jaga di pintu gerbang menjadi
kasak-kusuk. Karena mengkhawatirkan keselamatan Aji
Pamenak, para pemuda yang rata-rata bertubuh kekar itu
langsung iari berserabutan ke dalam gedung.
Di dalam gedung, ternyata para anggota partai iainnya
juga tampak panik. Mereka berkumpul di depan pintu
kamar pribadi sang ketua Aji Pamenak.
"Ada apa di dalam?" tanya salah seorang dari mereka.
"Mana aku tahu," sahut temannya.
"Kalian mendengar jeritan Tuan Aji Pamenak, bukan?"
ujar pemuda lain.
"Tentu saja. Karena mendengar jeritan itulah, kami
semua datang ke tempat ini," tukas yang Iainnya iagi.
"Mungkinkah Tuan Aji Pamenak dalam bahaya?"
"Yah! Mungkin sekali!"
"Kita masuk!"
"Mendobrak pintu?"
Sampai di situ percakapan terhenti. Mendobrak pintu!
Tak ada yang berani melakukannya. Mereka amat hormat
dan segan kepada Aji Pamenak. Jika mendobrak pintu,
mereka takut akan membuat marah sang ketua, walau
sebenarnya mereka bermaksud baik.
"Wuaaa...! Aaaa...!"
Jerltan panjang Aji Pamenak terdengar kembali. Para
pemuda yang berada dl luar kamar pribadi sang ketua
tampak saling pandang. Rasa khawatir jelas terpancar dari
sinar mata mereka.
"Apa boleh buat, pintu harus didobrak!" cetus salah
seorang pemuda yang menyelipkan sebatang pedang
berukir di punggungnya.
Tanpa pikir panjang, tanpa menanti persetujuan
teman-temannya pufa, anggota partai yang merasa
bertanggung jawab atas keseiamatan Aji Pamenak itu
menghantam daun pintu sekuat tenaga.
Brakkk.,.! Daun pintu yang terbuat dari kayu jati tebal tak kuasa
menahan hantaman si pemuda. Pecah berkeping-keping!
Aji Pamenak yang tengah duduk meringkuk di sudut
kamar, menjerit panjang lagi saat melihat belasan pemuda
berserabutan masuk ke kamar pribadinya. Namun setelah
mengetahui bila yang masuk adalah para pemuda
bawahannya, lelaki tegap berumur sekitar lima puluh tahun
itu jadi bias bersikap sedikit tenang.
"Kalian dengar..." Kalian dengar suara itu...?" tanya
Aji Pamenak, keras parau seperti menegur.
"Ya! Ya, kami mendengar.... Kami mendengar jeritan
Tuan...," jawab salah seorang pemuda yang tadi
mendobrak pintu.
"Bukan! Bukan itu yang.kumaksud!"
"Lalu..., apa, Tuan?"
"Suara bergemuruh keras sekali...."
"Suara bergemuruh?"
"Ya! Suara bergemuruh! Sesekali muncul suara
seorang Ielaki yang memanggil namaku! Kalian
mendengarnya?"
"Tidak, Tuan...," ungkap beberapa pemuda yang
berada di dalam kamar, sementara yang Iainnya
menggeleng. "Tidak!" seru Aji Pamenak, seperti menyelidik.
"Saya rasa kami semua memang tidak mendengar
suara-suara yang Tuan katakan itu," cetus pemuda yang
memegang tombak pendek. "Kami hanya mendengar suara
jeritan Tuan.... Keras sekal!...."
"Aku menjerit" Aku menjerit keras sekaii...?" ujar Aji
Pamenak, lirih seperti menggumam.
Sampai beberapa lama, ketua Parta! Naga Timur itu
tetap duduk meringkuk d! sudut ruangan. Keningnya
berkerut rapat. Agaknya, dia tengah berpikir keras. Namun
tlba-tiba.... "Suara itu...! Suara Itu muncul Iagi!" seru Aji Pamenak,
terkesiap dengan bola mata melotot.
"Suara apa, Tuan?" tanya empat orang pemuda, tak
mengerti. "Suara itu...!"
"Suara apa, Tuan" Saya tak mendengar apa- apa..."
"Suara itu...! Oh! Wuaaa...! Ya! Ya, aku segera datang!"
Aji Pamenak yang tampak amat panik mendadak
menggerlgap bangun..., lalu meloncat sebat meninggalkan
kamar pribadinya!
"Tuaaan...!" teriak para pemuda yang berada di
tempat itu untuk mencegah kepergian sang ketua.
Tapi..., Aji Pamenak terus berlari..., dan terus berlari
sekuat tenaga. Karena berlari dengan menggunakan ilmu
peringan tubuh, maka sebentar saja ketua Partai Naga
Timur itu telah jauh mnninggalkan tempat kediamannya....
* ** Pada waktu yang sama, namun di tempat berlainan,
tiga keturunan Pendekar Naga Iainnya mengalami hal
serupa dengan Aji Pamenak. Ketiga orang itu adalah Aji
Baguskara, Aji Kembarapati, dan Aji Rangsang. Masing-
masing dari mereka adalah ketua Parta! Naga Barat, Partai
Naga Selatan, dan Partai Naga Utara.
Mereka mengalami hal yang sama persis dengan Aji
Pamenak. Ketiga lelaki Itu juga menjerit- jerit tanpa sebab
yang pasti, hingga membuat terkejut dan bingung anak
buah mereka. Lalu, tanpa sebab yang pasti pula, mereka
bertiga beriar! keluar dari tempat tinggal masing-masing.
Anehnya, antara Aji Pamenak dan ketiga saudaranya
mempunyai tujuan yang sama. Mereka lari ke kaki Bukit
Pralambang sebelah timur!
* ** Diatas tonjolan tanah terlapls! rumput kering, leiakl
berpakaian merah-merah itu duduk berslla dengan mata
terpejam rapat. Kain baju dan anak-anak rambutnya
berkibaran tertlup angin bukit. Namun, walau wajahnya
berupa seorang pemuda berparas tampan, sebenarnya
umur lelaki itu telah lebih dari enam puluh tahun. Dia
dapat mengubah raut wajahnya karena memiliki i mu
'Selaksa Wajah Berganti- ganti'. Ya! Dia memang Mahisa
Lodra atau Setan Selaksa Wajah!
Di hadapan kakek yang tampaknya tengah ber
semadi itu terdapat sebilah pedang terhunus. Ujung
pedang berdiri menancap dl tanah sampai seperempat
bagian. Anehnya, pedang berukuran besar dan panjang
melebihi ukuran pedang biasa itu bilahnya berlekuk-lekuk
seperti keris, dan memancarkan sinar merah berkilat!
Pedang itu adalah Pusaka Pedang Naga. Sementara,
Setan Selaksa Wajah sedang membangkitkan kekuatan
gaibnya untuk tnempengamhi jalan pikiran empat
keturunan Pendekar Naga!
Pendekar Naga adaiah pendiri Partai Naga yang
pernah berjaya pada masa pemerintahan Darma Saksana,
ayah Darma Sagotra, atau kakek dari Darma Pasulangit
Hampir seluruh perjalanan hidup Pendekar Naga,
disumbangkan untuk satu tujuan, yaitu menegakkan
keadilan. Sehingga, nama Pendekar Naga kala itu sangat
harum dan termashyur. Rakyat Mahespati mengelu-
elukannya sebagai seorang pendekar sejati yang sangat
ringan tangan dalam membela kaum lemah yang tertindas.
Saat usia tua datang menggerogoti, Pendekar Naga
mengundurkan diri dari kancah rimba persilatan. Namun,
rakyat Mahespati tetap mengelu-elukan keperkasaannya
karena sang pendekar menyumbangkan sisa hidupnya
dengan berdarma bakti kepada kerajaan.
Prabu Darma Saksana pun menerima maksud balk
Pendekar Naga dengan senang hati. Oleh karenanya,
Pendekar Naga diangkat sebagai kepala pengawal istana.
Ketika itu usia Pendekar Naga telah mencapai tujuh puluh
tahun. Hidup daiam kemewahan istana yang banyak dihuni
wanita cantik, Pendekar Naga tak dapat melepaskan
kodrat dirinya sebagai manusia biasa. Walau usianya telah
lanjut, dia jatuh cinta kepada salah seorang dayang. Dan,
Prabu Darma Saksana pun menyetujui dayang itu disunting
oleh Pendekar Naga, karena sang pendekar telah banyak
menunjukkan jasa baiknya kepada kerajaan,
Dari perkawinannya dengan sang dayang, Pendekar
Naga memperoleh empat orang putra. Mereka diberi nama
Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati, dan Aji
Rangsang. Ketika tampuk pimpinan di Kerajaan Mahespati
beralih ke masa pemerintahan Prabu Darma Sagotre,
Pendekar Naga yang sudah sangat tua mengundurkan dirl.
Lalu, mengajak keempat putranya berdiam di suatu tempat
untuk mendalami iimu kesaktian. Namun, Aji Pamenak dan
ketiga adiknya yang sudah berangkat dewasa sama-sama
bernafsu untuk memii ki Pusaka Pedang Naga yang
menjadi senjata andalan sang ayah.
Tentu saja, Pendekar Naga yang biasa bertindak adil
dan bijaksana tak mau melihat adanya permusuhan di
antara putra-putranya. Oleh karena itu, Pusaka Pedang
Naga diserahkan kepada Prabu Darma Sagotra untuk
djjadikan sebagai salah satu benda kekayaan istana.
Aji Pamenak dan ketiga adiknya mau menerima dan
dapat memahami tindakan sang ayah itu. Dan, ketika
Pendekar Naga dipanggil Yang Kuasa, mereka tetap saling
kasih-mengasihi
sebagaimana layaknya saudara sekandung. Namun sebelum Pendekar Naga meninggal,
dia memberikan wasiat kepada keempat putranya agar
mendirikan kembai Partai Naga yang pernah jaya semasa
sang pendekar masih muda.
Berkat usaha yang tak kenal lelah dan segenap
perjuangan yang tak kenal putus asa, keempat putra
Pendekar Naga dapat mewujudkan wasiat sang ayah. Aji
Pamenak berhasii mendirikan Partai Naga Timur. Aji
Baguskara berhasii mendirikan Partai Naga Barat.
Sementara, Aji Kembarapati dan Aji Rangsang berhasil pula
mendirikan Partai Naga Selatan dan Partai Naga Utara.
Kemudian saat Senopati Raksa Jalinti melaku kan
pemberontakan dan berhasii membunuh Prabu Darma
Sagotra, Pusaka Pedang Naga yang mempunyai kekuatan
gaib sangat ampuh dibawa lari oleh Darma Pasulangit,
putra sang prabu yang kemudian bergelar Ksatria Seribu
Syair. Dalam perjalanan hidup Darma Pasulangit, putra
mahkota yang tergulingkan itu banyak sekali menemui
cobaan yang membuatnya amat kecewa, dan tentu saja
juga mendatangkan penderitaan. Darma Pasulangit selalu
dikejar-kejar oleh kaki-tangan Senopati Raksa Jalinti yang
teiah menduduki takhta Mahespati. Akhirnya, Darma
Pasulangit bermaksud mengasingkan dlrl dengan hidup
sebagai seorang pertapa. Namun, haru beberapa tahun dia
mengasingkan diri, Pusaka Pedang Naga yang disimpan-
nya di puncak Gunung Arjuna lenyap dicuri Mahisa Lodra
atau Setan Selaksa Wajah.
Setelah Pusaka Pedang Naga disimpan di Gua
Secawan selama dua pekan, Setan Selaksa Wajah
bermaksud membangkitkan kekuatan gaib pedang
curiannya itu untuk mempengaruhi jalan pikiran keempat
ketua Partai Naga. Dengan cara itu, Setan Selaksa Wajah


Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakin bila dia akan bisa mewujudkan cita-cita besarnya,
yaitu menggulingkan takhta Raksa Jalinti yang teiah
mengubah namanya menjadi Wira Parameswara!
* * * "Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa Wajah
seraya bangkit berdiri. "Mereka akan segera datangl
Mereka akan segera datang...! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa, murid murtad Dewa Dungu. Itu
mencabut bilah Pusaka Pedang Naga dari tanah. Begitu
tersentuh tangan, sinar merah yang memancar dari bilah
pedang itu langsung lenyap.
Sebentar kemudian, dari arah yang berlainan,
berkelebat empat sosok bayangan. Keempat orang itu
langsung menghentikan kelebatan tubuh di hadapan Setan
Selaksa Wajah dengan kepala tertunduk. Mereka adalah
Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati, dan Aji
Rangsang! Melihat kedatangan empat ketua Partai Naga itu,
Setan Selaksa Wajah tertawa bergelak lagi. Suara tawanya
iepas panjang berderai, menyiratkan perasaan puas tiada
terkira. Lalu..., sambii mengacungkan biiah Pusaka Pedang
Naga di atas kepala, kakek berwajah pemuda itu berkata,
"Akulah Pendekar Naga! Kalian harus tunduk kepada
perintahku! Ayo, semua berlutut dan cium telapak kakiku!"
Aneh sekali! Seperti kerbau dicocok hidungnya, Aji
Pamenak dan ketiga adiknya yang sebenarnya belum
pernah bertatap muka dengan Setan Selaksa Wajah
tampak berlutut bersamaan. Kemudian, satu persatu dl
antara mereka merunduk maju dan mencium telapak kaki
Setan Selaksa Wajah!
Sekali lagi, Setan Selaksa Wajah tertawa bergelak-
gelak. Ketika Aji Pamenak dan ketiga adiknya usai
mencium telapak kakinya, dia memerintah, "Bangkitlah...!"
Dan..., empat Ketua Partai Naga yang punya nama
besar dan harum, benar-benar menuruti perintah Setan
Selaksa Wajah! Mereka bangkit berdiri. Namun, kepala
mereka menunduk dalam, tak berani menatap Pusaka
Pedang Naga yang berada dalam cekalan tangan kanan
Setan Selaksa Wajah.
"Kini, dengar baik-balk...," ujar Setan Selaksa Wajah
kemudian. "Kumpulkan seluruh anggota partai kalian!
Ingat! Jangan sampai ada yang tertinggal, terutama yang
punya ilmu kepandaian tinggi! Bawa mereka semua ke
tempat ini tiga hari Iagi!"
Aji Pamenak dan ketiga adiknya membungkuk daiam
sebagai tanda persetujuan. Mellhat itu, kembali Setan
Selaksa Wajah tertawa bergelak-gelak....
"Jalankan tugas kalian sekarang juga!" perintah Setan
Selaksa Wajah kemudian.
. Aji Pamenak dan ketiga adiknya membungkuk
hormat Iagi. Lalu..., mereka membalikkan badan seraya
herkelebat pergi!
Tinggal ah Setan Selaksa Wajah dengan tawa
kemenangannya....
* * * 9 DALAM keadaan terluka parah, Raja Penyasar Sukma
kembali ke masa kehidupan yang sebenarnya. Kini, kakek
yang telah termakan tipu muslihat Setan Selaksa Wajah itu
berjalan tertatih di sebuah dataran berbatu-batu. Cairan
darah si kakek teriihat masih mengucur keluar lewat luka-
luka di tubuhnya, membuat keadaannya jadi amat lemah.
Berkali-kali dia jatuh terduduk. Tulang-belulangnya
terasa telah remuk Kulit tubuhnya pun seperti dibeset,
hingga mendatangkan rasa perih luar biasa.
"Aku harus segera bersembunyi! Aku harus
menghindari pertemuan dengan bocah gemblung itu!" pikir
Raja Penyasar Sukma seraya mempercepat iangkah.
Kakek yang sekujur tubuhnya berwarna kuning
seperti dilumuri air perasan kunyit itu mencoba berlari
cepat dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh. Dia
hendak mencari tempat persembunyian agar Pendekar
Bodoh tak dapat menemukannya. Tapi..., karena terlalu
banyak mengempos tenaga, cairan darah yang keluar dari
luka-lukanya semakin mengucur deras. Hingga sampai
akhirnya, si kakek jatuh terkulai di tanah. Napasnya
tersengal-sengai dan muiutnya pun tak henti mengeluarkan
suara rintih kesakitan.
"Aku harus cepat bersembunyi! Aku tak mau mati!"
seru Raja Penyasar Sukma, membulatkan tekadnya.
Kakek berperawakan kekar itu bergegas bangkit. Dia
berlari dan berlari lagi. Jauh di depan matanya, samar-
samar dia melihat sebuah hutan belantara. Ya! Hutan
belantara, tempat yang amat cocok untuk bersembunyi.
Karena itulah semangat hidup dalam diri Raja
Penyasar Sukma berkobar dan menyala-nyala lagi. Cepat
sekali kakinya melangkah. Tak peduli cairan darah segar
terus mengalir dari luka-lukanya. Tak peduli rasa sakit
terus merejamnya. Dia harus segera bersembunyi di hutan
belantara yang telah terlihat di depan matanya itu!
Namun, dapatkah Raja Penyasar Sukma meloloskan
diri dari kejaran Pendekar Bodoh" Tidak! Ke mana pun dia
pergi, Pendekar Bodoh tetap akan dapat menemukan
jejaknya. Karena, sang pendekar memiliki ilmu 'Getaran
Raga Pelacak Jejak'. Dan..., hal itu terbukti manakala....
"Pengecut! Hendak lari ke mana kau, Banyak
Langkir..."!"
Terdengar sebuah teriakan keras, membuat Raja
Penyasar Sukma melonjak kaget. Di belakang si kakek
ternyata telah berdiri seorang pemuda tampan bertubuh
tinggi tegap, mengenakan pakasan biru-biru dengan ikat
pinggang kain merah. Dia tak lain dari Seno Prasetyo Atau
Pendekar Bodohl
"Jahanam! Kenapa kau mengikuti langkahku"!" geram
Raja Penyasar Sukma, mencoba berdiri tegak dan bersikap
garang. "Sama seperti dirimu, aku juga terluka daiam, Banyak
Langkir...," sahut Pendekar Bodoh. "Namun, walau kau lari
ke ujung iangit pun, aku akan tetap mengejarmu! Kau
membunuh ibuku! Aku harus membalas tindakan
biadabmu itu!"
Mendelik mata Raja Penyasar Sukma saat melihat
Pendekar Bodoh meloloskan Tongkat Dewa Badai yang
terselip diikat pinggangnya. Sebagai seorang tokoh tua
yang sudah matang pengaiaman, Raja Penyasar Sukma
tahu bila senjata Pendekar Bodoh yang berupa tongkat
pendek itu merupakan senjata mustika, yang tentu saja
mempunyai banyak kelebihan jika dibanding dengan
senjata biasa. Membayangkan apa yang akan segera terjadi atas
dirinya, bergetar tubuh Raja Penyasar Sukma seketika.
Keringat dingin keluar berlelehan bersama cairan darah
yang masih saja mengucur dari luka-lukanya. Bola mata si
kakek semakin melotot besar, seperti hendak melompat
dari rongganya. Dalam kekalutannya itu, tiba-tiba Raja
Penyasar Sukma menggembor keras. Kedua tangannya
diangkat sejajar pinggang seraya dialiri hawa beracun
'Peremuk Jantung'. Hingga, kedua telapak tangannya yang
telah berwarna kuning semakin bertambah kuning. Lalu...,
dia menerjang nekat!
"Hiahhh...!"
Bergegas Pendekar Bodoh mengibaskan Tongkat
Dewa Badai nya. Maka, saat itu juga timbul gelombang
angin pukuian dahsyat. Namun, Raja Penyasar Sukma tak
mau menghentikan terjangannya. Dia hentakkan kedua
teiapak tangannya ke depan!
Wesss...! Dari telapak tangan Raja Penyasar Sukma melesat
gelombang angin pukuian yang tak kalah dahsyat. Bahkan,
angin pukulan itu mengandung hawa beracun yang sangat
mematikan, sanggup merenggut nyawa siapa saja yang
menghirupnya! Blarrr...! Bentrokan dua gelombang angin pukulan menimbulkan ledakan amat keras. Tubuh Pendekar Bodoh
dan Raja Penyasar Sukma sama-sama terpental lalu jatuh
terbanting di tanah berbatu-batu!
Untung, Tongkat Dewa Badai memiliki khasiat
pemusnah racun. Sehingga, nyawa Pendekar Bodoh tidak
sampai terenggut oleh hawa racun 'Peremuk Jantung'. Si
pemuda dapat bangkit berdiri lagi walau dengan beberapa
luka lecet di tubuhnya.
Sementara, Raja Penyasar Sukma tampak meringis
kesakitan. Susah-payah dia bangkit. Keadaan tubuhnya
semakin tak memungkinkan Iagi untuk diajak bertempur,
Tapi, kakek itu tetap nekat.
Tanpa pikir panjang, dia menyerang Pendekar Bodoh
dengan jurus-jurus maut. Kedua telapak tangannya yang
masih dialiri hawa racun 'Peremuk Jantung' berkelebatan
ke sana-sini, mengincar jalan kematian di tubuh Pendekar
Bodoh. Setiap telapak tangan Raja Penyasar Sukma
berkelebat untuk menghantam ataupun menjatuhkan
pukulan, timbul suara bersiut keras yang amat
menyakitkan gendang telinga. Sementara, hawa racun
'Peremuk Jantung' menebar ke segala penjuru.
Namun, Tongkat Dewa Badai yang berada dalam
cekalan tangan kanan Pendekar Bodoh benar- benar dapat
menunjukkan kehebatannya sebagai sebuah senjata
mustika. Babatan maupun tusukan senjata itu senantiasa
menimbulkan tiupan angin yang sanggup meredam
pengaruh racun 'Peremuk Jantung' yang menebar dari
telapak tangan Raja Penyasar Sukma.
Dan... saat Pendekar Bodoh memainkan jurus 'Dewa
Badai Menyibak Awan' yang digabung dengan jurus 'Dewa
Badai Menari di Angkasa', terdesak hebatlah Raja Penyasar
Sukma. Walau babatan dan tusukan Tongkat Dewa Badai
tidak mengenai sasaran, tapi tendangan Pendekar Bodoh
beberapa kaii mendarat di tubuh Raja Penyasar Sukma.
Meski begitu, ternyata Raja Penyasar Sukma tetap
dapat bertahan sampai beberapa lama. Si kakek memang
memiliki daya tahan yang luar biasa. Lima kali dia jatuh
terbanting akibat tendangan Pendekar Bodoh, lima kali
pula dia bangkit seraya menyerang lagi.
Namun... ketika dada si kakek terhantam kepalan
tangan kiri Pendekar Bodoh yang teraliri tenaga 'Pukulan
Inti Panas', dia memekik keras sekaii. Tubuhnya terpental
jauh, lalu jatuh berguling-guiing di tanah. Kain baju dan
sebagian kulit dadanya hangus terbakarl
"Jahanam...!" geram Raja Penyasar Sukma, me nahan
rasa sakit. Tak mau dipecundangi oieh seorang tokoh
muda macam Pendekar Bodoh, tanpa pikir panjang Iagi
kakek itu mengeluarkan iimu 'Raja Tiwikrama'. Sehingga,
tubuh si kakek membesar seperti baton ditiup!
"Ibu..., hari ini Seno hendak membalaskan sakit hati
ibu. Semoga ibu dapat hidup tenang di alam Sana...," desis
Pendekar Bodoh saat melihat tubuh Raja Penyasar Sukma
bertambah besar tiga kali lipat dari ukuran semuia.
Pemuda remaja itu berkata-kata seorang diri sambi
mendongak menatap ke atas. Dia seakan dapat melihat
sosok ibunya yang telah meninggal di antara tebaran mega
di langit biru.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" seru Raja Pe?nyasar
Sukma, keras menggelegar.
Tapi sebelum kakek itu berbuat sesuatu, tiba-tiba dia
menjerit kesakitan. Karena tubuh nya bertambah ukuran,
luka-luka akibat tusukan bendera 'Benteng Raja Abadi*
turut membesar. Akibatnya, cairan darah si kakek mengaiir
Iebih deras, seperti mata air yang baru dibuka. Tentu saja,
hal itu mendatangkan rasa sakit luar biasa!
"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" seiru Raja Penyasar
Sukma Iagi, menatap nyalang sosok Pendekar Bodoh
penuh nafsu membunuh.
Agaknya, hawa amarah dalam diri Raja Penyasar
Sukma telah membuat si kakek lupa diri. Dia jadi kalapidan
nekat sekali. Dia hlmpun seluruh daya kekuatannya yang
masih tersisa. Lalu..., dia melangkah lebar mendekati
Pendekar Bodoh. Kedua tangannya siap meremukkan
tubuh si pemuda!
Pendekar Bodoh menarik napas panjang untuk
menetapkan hati. Melihat Raja Penyasar Sukma
melangkah ke arahnya, si pemuda tak menjadi giris
ataupun gentar, walau tubuh kakek itu telah berukuran
nyaris sebesar gajahl
Saat sosok Raja Penyasar Sukma telah berada tiga
tombak dari hadapannya, Pendekar Bodoh mendahului
menyerang. Tongkat Dewa Badai nya membabat dan
menusuk dengan gerakan 'Dewa Badai Menghajar Lautan'!
Dan..., tampaknya pada saat itu Raja Penyasar Sukma
bukanlah iawan yang seimbang bagi Pendekar Bodoh.
Hanya. dalam beberapa gebrakan, Raja Penyasar Sukma
teiah dibuat kerepotan. Apalagi setelah Pendekar Bodoh
memainkan jurus 'Dewa Badai Turun ke Bumi'. Tubuh
raksasa Raja Penyasar Sukma menjadi bulan-bulanan.
Pukulan dan tendangan Pendekar Bodoh berkaIi-kali
mendarat telak. Hingga kemudian....
Jjrusss...! "Wuaahh...!"
Diiringi jerit panjang menyayat hati, tubuh raksasa
Raja Penyasar Sukma jatuh berdebam di tanah.
Tusukan Tongkat Dewa Badai tepat bersarang di
pangkai tenggorokannya!
Akan tetapi, kakek itu bangkit lagi!


Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Bodoh tampak tersurut mundur. Bukan
karena gentar, melainkan karena ngeri dan jijik melihat
tubuh raksasa Raja Penyssar Sukma yang berlepotan
darah segar! Sementara, Raja Penyasar Sukma berusaha
menumpahkan seluruh kekesalan dan hawa amarahnya
dengan kata-kata. Namun, karena pita suaranya teiah
rusak, suara yang keluar dari mulut si kakek tak terdengar
jelas. Dia hanya dapat mengorok seperti ayam yang habis
disembelih! Namun mendadak, kakek yang benar-benar telah
lupa diri itu menerjang lebih nekat. Terpaksa Pendekar
Bodoh pun mesti melayani lagi.
Pertempuran berjalan tak seimbang. Hanya dalam
tiga gebrakan, tubuh raksasa Raja Penyasar Sukma jatuh
berdebam ke tanah untuk kedua kalinya. Kali Ini dia tak
berkutik Iagi. Tongkat Dewa Badai teiah menusuk hancur
jantung si kakek!
Perlahan..., tubuh raksasa Raja Penyasar Sukma yang
telah terbaring tanpa nyawa, mengecil lagi hingga menjadi
ukuran semula. Suasana berubah sunyi. Hanya desau
angin yang terdengar. Sementara, matahari teiah jatuh
condong he garis cakrawaia barat. Sinarnya menyiram
hangat, terasa sampai ke relung sukma....
"Ibu...," desas Pendekar Bodoh, menengadahkan
wajah. "Aku telah menjalankan kewajiban. Semoga Ibu
dapat hidup tenang dan damai di sana...."
Setelah membersihkan noda darah yang menempel di
batang Tongkat Dewa Badai, Pendekar Bodoh menyelipkan
kembali senjata mustika itu ke ikat pinggang. Ditariknya
napas panjang berkali- kali untuk menenangkan perasaan
hatinya yang masih berdebar-debar tak karuan.
Tapi tiba-tiba..., cairan darah segar menyembur dari
mulut sang pendekar! Perlahan..., tubuh murid Dewa
Dungu itu terguling ke tanah, lalu jatuh pingsan!
Pendekar Bodoh yang sebenarnya masih menderita
luka dalam, terlalu banyak mengeluarkan tenaga saat
bertempur dengan Raja Penyasar Sukma tadi. Aliran darah
yang kacau membuat jantungnya terpukul. Sehingga,
cairan darah segera terdorong keluar dari mulut. Jantung
yang berdegup lebih cepat juga membuat dada si pemuda
terasa amat sesak, sampai kemudian membuat
kesadarannya hilang.
Dan... pada saat Pendekar Bodoh tak sadarkan diri
itulah bahaya besar datang mengancam jiwa. Seorang
lelaki berpakaian merah-merah mendadak datang dengan
sebilah pedang besar. Lelaki yang sorot matanya
menyiratkan kekejaman dan kelicikan itu adalah Setan
Selaksa Wajahi "Hhmmm.... Suara pertempuran yang kudengar
kiranya membawa berkah kepadaku. Ya! Membawa berkah
kepadaku! Kedatanganku ke tempat ini memang tidak sia-
sia! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak-gelak, Setan Selaksa Wajah
menatap tubuh Raja Penyasar Sukma yang terbaring kaku
di tanah. "Ha ha ha...! Aku tahu nyawa Ielaki busuk yang pernah
menjadikan aku sebagai budaknya itu telah dijemput ajai!
Ha ha ha."! Kau memang tak pantas untuk hidup terlalu
iama. Banyak Langkir...! Ha ha ha...!"
Tatapan Setan Selaksa Wajah beralih ke tubuh
Pendekar Bodoh yang juga rebah terkapar di tanah. Sekali
lihat, Setan Seiaksa Wajah tahu kalau Pendekar Bodoh
masih hidup. Dia tahu bila sang pendekar cuma pingsan.
Maka..., Setan Selaksa Wajah berjalan mendekati tubuh
murid Dewa Dungu itu!
"Tempo hari..., kau selalu berkata sombong hendak
menjatuhkan hukuman terhadapku. Huh! Kini, mata dunia
akan terbuka. Di antara kau dan aku, siapa sebenarnya
yang lebih berhak menjatuhkan hukuman! Ha ha ha...I"
Tertawa bergelak lagi Setan Selaksa Wajah. Tertawa
lepas berderai seakan tak punya beban apa-apa.
Ditatapnya lekat-lekat tubuh Pendekar Bodoh yang
terbaring tak berdaya. Lalu..., dia menghunus Pusaka
Pedang Naga! Bilah pedang berlekuk-lekuk seperti keris itu tampak
berkilauan tertimpa sinar matahari. Siap membelah
ataupun mencincang tubuh Pendekar Bodoh!
Tapi sebelum malaikat kematian benar-benar
menjemput nyawa Pendekar Bodoh, sesosok bayangan
berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu tubuh Pendekar Bodoh
sudah tak berada di tempatnya Iagi!
"Haram jadah! Keparat laknat!" umpat Setan Selaksa
Wajah, menumpahkan seluruh kekesalannya.
Sekitar lima tombak dari hadapan Setan Selaksa
Wajah, telah berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi tegap,
mengenakan pakaian putih-putih dengan ikat pinggang
kain biru. Rambutnya hitam panjang, terikat sehelai kain
sutera merah. Namun, wajah lelaki itu tak dapat dikenali
karena dia mengenakan topeng yang terbuat dari baja
putih. Menilik dari ciri-ciri lahirnya, siapa lagi dia kalau
bukan Ksatria Topeng Putih!
Tubuh lemah Pendekar Bodoh yang masih tak
sadarkan din tampak terbaring daiam bopongan tangan
kekar lelaki itu. Sementara, Setan Selaksa Wajah
menatapnya dengan sinar mata berkiiat-kiiat penuh
dendam kesumat.
Tempo hari, Ksatria Topeng Putih pernah membuat
Setan Selaksa Wajah mendapat celaka. Karena ingat
perbuatan Ksatria Topeng Putih itulah, Setan Selaksa
Wajah jadi tampak sangat bernafsu untuk menjatuhkan
tangan maut. Dengan bola mata melotot besar, rahang Setan
Selaksa Wajah menggembung,Hingga berbentuk balok
persegi. Bahunya naik turun terbawa dengus napasnya
yang memburu. Cairan darahnya menggelegak naik sampai
ke ubun-ubun. Hingga, pergelangan tangan kanannyn yeng
mencekal bilah Pusaka Pedang Naga tampak bergetar
kencang. "Aku tahu kau amat marah. Aku tahu kau sangat
bernafsu untuk membunuhku...," ujar Ksatria Topeng Putih,
tenang berwibawa. "Tapi..., kau pun harus tahu jika" aku
juga merasakan apa yang tengah kau rasakan sekarang ini,
Mahisa Lodra, Bukan saja kau hendak berbuat licik,
membunuh orang yang tak dapat melakukan jperlawanan,
kau pun teiah mencuri Pusaka Pedang Nagal Kalau saja
keadaan memungkinkan, sekarang ini aku pasti
menantangmu untuk bertempur sampai seribu jurus....
Seiamat tinggal, Mahisa Lodra.... Di lain waktu, aku benar-
benar akan mengadu jiwa denganmu!"
Di ujung kalimatnya, mendadak lelaki bertopeng itu
berkelebat. Tubuh Pendekar Bodoh dibawa berlari cepat
dengan mengerahkan iimu peringan tubuhnya yang
terhebatl Menggeram marah Setan Selaksa Wajah. Dia
babatkan bilah Pusaka Pedang Naga ke depan!
Bet...! Wuusss...! Seberkas sinar merah menggidikkan tiba-tiba melesat
dari bilah pedang pusaka itu. Namun, sosok Ksatria Topeng
Putih telah. jauh meninggalkan tempat. Hingga, seberkas
sinar merah yang keluar dari bilah Pusaka Pedang Naga
hanya membentur bongkah batu besar. Akibatnya,
bongkahan batu itu langsung hancur luluh menjadi serbuk
halus. "Jahanam! Akan kulayani tantanganmu kapan saja
kau mau, Monyet Keparat!" teriak Setan Selaksa Wajah.
Tapi, suara kakek itu segera lenyap tertelan desau
angin. Tak ada yang menyahuti. Tinggallah Setan Selaksa
Wajah dengan segudang hawa amarah....
SELESAi Segera terbit!!!
PUSAKA PEDANG NAGA
Tembang Tantangan 4 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Medali Wasiat 8
^