Pencarian

Pusaka Pedang Naga 1

Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 PEMUDA remaja berpakaian biru-biru itu mengakhiri semadinya seraya bangkit
berdiri. Dia tekan
pembuluh nadinya sembari menarik napas panjang
beberapa kali. Bola mata si pemuda langsung berbinar
penuh luapan rasa gembira. Detak jantung dan peredaran darahnya sudah normal
kembali. Itu berarti luka dalamnya telah dapat diatasi.
Pemuda tampan yang sinar matanya menyiratkan keluguan itu mengedarkan pandangan
ke berbagai penjuru. Kedua kakinya melangkah seiring tatapan matanya yang
berpindah arah. Sepi menjadi raja
tunggal di alam sekitar. Tak ada makhluk lain yang
terlihat, juga burung-burung yang biasa terbang di
angkasa luas. Sepi benar-benar menjerat dan mengungkung suasana pagi.
"Heran aku...," gumam si pemuda. "Orang itu
baru saja menyembuhkan luka dalamku. Kenapa dia
malah pergi dengan tiba-tiba" Sepertinya..., ada sesuatu yang dikhawatirkannya
apabila dia berdekatan denganku. Hmmm.... Telah beberapa kali dia menanam
budi baik kepadaku. Tapi..., kenapa dia tak mau membuka jati dirinya?"
Pemuda bertubuh tinggi tegap yang tak lain Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh itu
mengedarkan pandangan lagi.
Jauh di sana, terlihat puncak Gunung Lawu
yang tersaput mega putih. Langit cerah berwarna biru
kelabu. Pagi yang baru bangun membuat mentari bersinar lembut, hangat terasa
mengelus jiwa. Butir-butir
embun bergulir dan menetes ke hamparan tanah, bagai untaian mutiara ditebarkan.
Seno berdiri terpaku. Sampai beberapa lama
dia terlena dalam keelokan hari yang baru berganti.
Melihat bukit, ngarai, aliran sungai kecil di antara tonjolan batu cadas, dan
rimbunan bambu yang tumbuh
subur di dekat sungai itu, Seno tahu bila dirinya berada di sebuah tempat
bernama Lembah Bambu.
Lembah Bambu" Ya, Lembah Bambu! Hanya
saja, Seno jadi bertambah heran. Kalau dirinya saat
sekarang ini berada di Lembah Bambu, sama artinya
bila si lelaki bertopeng telah membawanya berlari sejauh ratusan tombak! Untuk
apa dia bersusah payah
semacam itu" Apakah dia punya sifat yang amat baik,
sehingga bersedia menanam banyak budi kepada
orang lain" Ataukah ada suatu maksud tersembunyi di
balik kebaikannya"
Otak Seno Jadi buntu. Tak bisa menjawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.
Ketika mendengar suara berkeruyukan dari dalam perutnya, si
pemuda nyengir kuda sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Rasa lapar
menyerang. Dan, kebetulan sekali pada saat itulah dia mencium aroma harum daging
panggang. "Kalau perut sedang lapar, tak ada yang lebih
baik dilakukan kecuali makan. Ya! Makan! Mudahmudahan orang yang berada di sana
itu mau berbuat
baik kepadaku. Hmmm.... Alangkah nikmatnya...." Seno menelan ludah.
Di kejauhan, terlihat kepulan asap yang membubung ke angkasa. Orang yang sedang
memanggang daging itu tentu berada di sana, pikir Seno. Namun...
sebelum si pemuda melangkahkan kaki, sebuah syair
tiba-tiba menyeruak lepas dari kungkungan sepi....
Seno berdiri terpaku lagi.
Satemene manungsa urip ing alam donya kuwi
darbe wajib wolung prakara, yakuwi:
Siji, mangesti manembah Gusti Wujud Hawa
(gaib) ingkang Maha Suci Gusti ingkang Murba Wasesa
ing dumadi. Loro, manembah lan tuhu tresna maring BapaIbu kang sejati;
Bapak - Whanyaning Surya / Kawasa / Angkasa, Ibu - Bumi suci
Telu, manembah lan ngabekti maring Nyang Sari
Tri Murti/Sari Tri Tunggal (sari tetelu); Sari Samirana,
Sari Taranggana (Tirta), Sari Agni (Dahana); Sari Tri
Murti - anenggih Sang Nyawa utawa huriping manungsa
Papat, manembah mituhu patuh ing reh maring
Rahso Suci diri pribadi-raos Gusti (Rosul) as pandoming
Pribadi Kening Seno semakin berkerut rapat.
Cukup lama murid Dewa Dungu itu berdiri terpaku dengan raut wajah kebodoh-
bodohan. Dia mencoba menyelami untaian kata-kata yang baru didengar,
agar dapat memahami maksudnya. Namun, kepalanya
malah terasa pening. Perutnya pun semakin melilitlilit....
"Uhhh...! Apa maksud orang yang melantunkan
syair itu?" gerutu Seno. "Mungkin dia tahu kalau aku
tak seberapa pintar. Mungkin dia sengaja hendak
membodohiku! Uhhh...!"
Pendekar Bodoh menggaruk pantatnya yang tiba-tiba terasa amat gatal. Ditatapnya
lekat-tekat kepulan asap di antara rimbunan bambu yang terbentang
sekitar lima puluh tombak ke barat. Aroma harum
daging panggang semakin menggelitik selera makannya.
*** Lelaki bertopeng itu memutar-mutar dua panggang kelinci gemuk yang telah
menebarkan aroma harum-gurih. Asap yang mengepul dari perapian membuat aroma
daging panggang semakin menebar.
Sambil terus memutar-mutar daging panggangnya di atas bara api, lelaki bertopeng
yang mengenakan pakaian putih-putih itu melanjutkan kata-kata
syairnya.... Lima, manembah angraketi lan bekti maring
Pancakarsa lan Nawaksara; nunggaling Panca Indriya
lan nunggaling babahan Hawa Sanga
Enem, manembah lan tuhu tresna maring Bapa
lan Ibu kang kinarya lantaran tumitah
Pitu, manembah ngabekti maring Sang Guru
/Whiku Ningrat/Duta Suci/Utusan sipat Kawasa
Wolu, manembah mituhu ing reh maring Sang
Nara Bawana/Bawana Pranata, lan sakabehing Pangreh Negara/Praja
"Silakan duduk...."
Di ujung syairnya, lelaki berkulit putih halus
seperti kulit kaum bangsawan itu mempersilakan Pendekar Bodoh yang telah berdiri
tak jauh darinya. Pendekar Bodoh nyengir kuda sejenak sambil memilinmilin ujung
ikat pinggangnya yang terbuat dari kain
merah. Setelah mengambil tempat duduk beralaskan
dedaunan, di hadapan lelaki bertopeng, mendadak rasa laparnya lenyap begitu
saja. Otaknya bertambah
beku memikirkan makna syair yang baru dilantunkan
lelaki bertopeng.
"Paman sangat baik...," ujar Seno, menatap le-
kat lelaki bertopeng yang masih sibuk memutar-mutar
daging panggangnya. "Entah dengan apa aku akan
membalas kebaikan Paman...."
"Tak perlu berpikir tentang hal itu," sergap lelaki bertopeng. "Dari gurumu, kau
tentu telah mendapat
banyak wejangan. Baik tentang Tuhan dan peribadatan, tentang manusia dan
peradatan, maupun tentang
budi-pekerti, tentang bagaimana bersikap dan bertindak sebagai makhluk ber-Tuhan
yang hidup di antara
sesama makhluk lainnya.... Ketahuilah, Seno, apa
yang telah kulakukan kepadamu tak lebih dari sekadar
melaksanakan ajaran-ajaran seperti itu."
"Paman memang orang yang sangat baik. Paman juga orang yang sangat pintar...,"
puji Seno, tulus.
Lelaki bertopeng diam. Daging panggang hampir matang. Aroma harum dan gurihnya
menebar membangkitkan selera. Namun, Pendekar Bodoh yang
tadinya merasa amat lapar, benar-benar telah hilang
selera makannya. Sesuatu yang ada di benaknya telah
melenyapkan rasa lapar itu.
"Paman...."
"Ya."
"Ketika aku menyelesaikan semadi, kukira Paman telah pergi meninggalkanku.
Kiranya, Paman berada di sini. Apakah Paman memang sengaja menunggu
kedatanganku?"
"Begitulah...," sahut lelaki bertopeng yang tak
lain dari Ksatria Topeng Putih adanya. "Mengingat
umurmu yang belum seberapa, sementara kau telah
banyak terlibat dalam berbagai urusan rimba persilatan, ada sesuatu yang harus
kusampaikan kepadamu.
Aku tahu ilmu kesaktianmu sudah dapat disejajarkan
dengan tokoh-tokoh rimba persilatan jajaran atas. Namun ketahuilah, Seno,
semakin tinggi ilmu kesaktian
seseorang, semakin besar godaan setan yang akan menyeret ke tindak kejahatan.
Semakin tinggi kekuasaan
seseorang maupun semakin banyak kekayaan seseorang, dia akan cenderung melupakan
kodratnya sebagai manusia. Karena, hal itu memang salah satu sifat
manusia, yang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa
melepaskan diri dari khilaf dan lupa...."
Seno mengangguk-angguk. "Ya. Ya, Paman.
Aku mengerti. Guruku sering mengatakan hal itu juga."
"Bagus kalau kau mengerti. Aku sengaja menunggumu di tempat ini, seperti yang
kukatakan tadi,
ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu...."
"Apa itu, Paman?"
"Kau dengar kata-kata syairku tadi?"
"Ya. Bagus sekali, Paman. Hanya saja...,"
"Hanya saja apa?"
"Aku mendengar syair Paman sebagai untaian
kata-kata yang amat merdu didengar telinga. Akan tetapi, aku sama sekali tak
mengerti artinya. Kalau pun
mengerti, hanya sebatas pada arti tiap kata secara terpisah...."
"Kau ingin tahu makna keseluruhannya?"
"Tentu saja."
"Makna yang tersirat dalam kata-kata syairku
itulah yang ingin kusampaikan kepadamu. Walau manusia tak bisa melepaskan diri
dari khilaf dan lupa,
namun apabila kau dapat menyelami makna syairku
yang akan kusampaikan nanti, mudah-mudahan kau
akan menjadi seorang manusia berbudi luhur yang tahu kodratmu sebagai manusia
ber-Tuhan."
Perlahan Ksatria Topeng Putih mengangkat dua
daging panggang yang tampaknya telah matang. Yang
sebuah langsung diangsurkan kepada Seno.
"Makanlah.... Perut kosong biasanya membuat
otak sulit untuk diajak berpikir maupun menerima
pengertian. Oleh karena itu, makanlah dulu. Kita bicara setelah perutmu
kenyang...."
Seno mengangguk seraya menerima daging
panggang yang diangsurkan Ksatria Topeng Putih.
"Makanlah.... Yang sebuah ini Juga kusediakan
untukmu." Ksatria Topeng Putih menunjuk daging
panggang satunya lagi, yang masih berada dalam cekalannya.
"Ah, Paman.... Mana aku bisa makan kalau
Paman tidak turut makan?" sahut Seno, tak enak hati.
"Dua ekor kelinci ini kutangkap dan kupanggang memang sengaja untuk kuberikan
kepadamu, Seno. Tak perlu kau sungkan dan merasa tak enak hati. Makanlah.... Aku sudah
makan beberapa macam
buah sesaat lalu."
Seno nyengir kuda.
Namun ketika mencium aroma harum daging
panggang di tangannya, selera makan pemuda bertubuh tinggi tegap itu tiba-tiba
muncul lagi. "Baiklah kalau begitu, aku makan sendiri, Paman. Terima kasih
atas semua kebaikan, termasuk jerih payah Paman
yang telah menyediakan sarapan untukku ini...."
Pemuda remaja yang di ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat pendek berwarna
putih itu mengalirkan sedikit kekuatan Pukulan Inti Dingin. Sehingga hanya dalam
dua tarikan napas, daging panggang di
tangannya sudah tak panas lagi. Dan, mulailah dia
menggigit.... Tapi, dalam hati Seno berkata, "Agaknya Paman
yang baik hati ini masih ingin menyembunyikan siapa
jati dirinya kepadaku. Tentu saja dia tak mau makan
bersamaku. Kalau makan, berarti dia harus membuka
topengnya terlebih dahulu. Dia tak mau wajahnya kukenali...."
"Makanlah sepuasmu, Seno. Lepaskan dulu
masalah yang mungkin mengganjal dalam benakmu...," ujar Ksatria Topeng Putih
dengan suara lembut.
"Ya! Ya, Paman. Aku memang lapar sekali..."
Merasakan nikmatnya daging panggang pada
gigitan pertama, Seno jadi tampak rakus. Dia menggigit, mengunyah, menggigit
lagi, mengunyah lagi.... Tak
sadar dari mulutnya terdengar suara kecapan yang
cukup keras. Ksatria Topeng Putih tersenyum.
Entah apa arti senyuman itu,
*** "Sebenarnya, untaian kata-kata syair yang kulantunkan beberapa saat tadi adalah
petikan dari isi
Kitab Pustaka Raja," beri tahu Ksatria Topeng Putih.
Pendekar Bodoh mengangguk beberapa kali.
Dua daging panggang hanya tinggal tulang-belulang.
Seno telah melahapnya sampai tandas. Murid Dewa
Dungu itu duduk bersila dengan perut menggembung
karena kekenyangan.
"Kitab Pustaka Raja?" desis Seno, mengulang
ucapan Ksatria Topeng Putih.
"Ya, Kitab Pustaka Raja. Aku yakin kau belum
pernah mendengar nama kitab yang banyak mengajarkan tentang budi pekerti luhur
itu. Memang, hanya
orang-orang tertentu saja yang pernah membacanya
secara langsung. Dari merekalah isi kitab itu tersebar...."
"Siapa orang-orang tertentu itu?"
"Hal itu tidak seberapa penting."
"Kenapa?"
"Sudahlah. Yang perlu kau ketahui, Kitab Pustaka Raja ditulis oleh seorang
tetua, yang di dalam kitab itu namanya tertulis sebagai Sang Whikuningrat
Rangga Puspita Kresna...,"
"Hmmm.... Sebuah nama yang amat bagus dan
terkesan gagah, sekaligus menyiratkan kewibawaan."
"Dan, kata-kata syairku tadi adalah bagian Kitab Pustaka Raja yang bernama
Mustika Manik Hasta


Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aksara. Di situ disebutkan bahwa sesungguhnya manusia hidup di dunia ini
mempunyai delapan kewajiban...."
"Ya. Ya, aku tahu, Paman. Paman telah mengatakannya dalam bentuk syair...."
"Kau paham artinya?"
Seno menggeleng. "Seperti yang kukatakan,
mungkin aku hanya paham arti setiap katanya secara
terpisah. Sementara, arti keseluruhannya masih amat
samar-samar."
Ksatria Topeng Putih menatap wajah Pendekar
Bodoh lekat-lekat. Setelah menarik napas panjang, dia
berkata, "Kewajiban manusia yang pertama menurut
Mustika Manik Hasta Aksara adalah mangesti manembah Gusti Wujud Hawa ingkang
Maha Suci. Itu artinya
bahwa setiap manusia wajib menyembah dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tentang hal ini,
tentu kau telah tahu, Seno."
"Ya, Paman. Guruku, Dewa Dungu, memang telah mengajarkan hal itu. Semua makhluk
di bumi ini ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Oleh karenanya,
manusia memang wajib menyembah dan beribadah
kepada-Nya."
"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih. "Selalu
mengingat kebesaran Tuhan adalah salah satu ciri
manusia berbudi luhur. Ingat hal ini baik-baik, Seno...."
Pendekar Bodoh mengangguk.
Ksatria Topeng Putih menghela napas seraya
melanjutkan perkataannya. "Kewajiban manusia yang
kedua adalah manembah lan tuhu tresna maring BapaIbu kang sejati. Yang dimaksud
Bapa dan Ibu sejati
adalah matahari dan bumi. Namun, jangan salah mengerti. Manembah yang dimaksud
bukan mewajibkan
manusia untuk menyembah dalam arti memuja dan
mengharapkan perlindungan dari kedua benda itu. Kita tahu bahwa matahari dan
bumi pun ciptaan Tuhan.
Kita harus mencintainya karena matahari dan bumi
adalah sumber kehidupan di antara sumber-sumber
kehidupan lainnya."
"Ya, aku tahu, Paman," sahut Seno. "Tanpa sinar matahari, tanpa bumi tempat kita
berpijak yang menjadi tempat tumbuh berkembangnya berbagai jenis
tumbuhan, kita memang tak akan dapat hidup."
"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih lagi. "Lalu,
kewajiban manusia yang ketiga adalah manembah lan
ngabekti maring Nyang Sari Tri Murti. Nyang Sari Tri
Murti adalah angin, air, dan api. Manusia juga tak
akan bisa hidup tanpa ketiga unsur itu. Sementara,
kewajiban manusia yang keempat adalah manembah
mituhu patuh ing reh maring Rahso Suci diri pribadi.
Rahso adalah sesuatu yang lebih lembut dari nurani
dan lebih halus dari perasaan. Rahso akan selalu
mendampingi hidup seseorang selama orang itu masih
hidup. Rahso banyak membantu kehidupan manusia
dalam bentuk firasat, petunjuk yang muncul dari diri
sendiri, atau hal-hal semacam itu. Oleh karenanya,
manusia wajib berterima kasih kepada rahso-nya masing-masing."
Ksatria Topeng Putih mendongak, menatap
sang baskara yang telah beranjak naik. Sinarnya yang
semula menyapa hangat, kini mulai sedikit garang.
Beberapa ekor burung dadali mulai tampak melesat di
angkasa. Di pucuk-pucuk bambu pun muncul sekelompok burung manyar. Kehidupan
makhluk bersayap
di Lembah Bambu itu rupanya baru terawali kembali
saat hari menjelang siang.
"Bagaimana, Seno" Kau dapat menyelami arti
yang kuberikan tadi?" tanya Ksatria Topeng Putih.
"Ya, Aku bisa mengerti, Paman," jawab Seno.
"Lanjutkan, Paman. Masih ada empat pengertian lagi,
bukan?" Mengangguk Ksatria Topeng Putih. "Kewajiban
manusia yang nomer lima menurut Mustika Manik
Hasta Aksara adalah manembah angraketi lan bekti
maring Pancakarsa lan Nawaksara. Pancakarsa adalah
panca indera kita, yang tak lain indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa. Bisa
dibayangkan, andai manusia tak memiliki salah satu
saja dari lima indera itu, dia akan menjadi manusia
cacat, yang tentu saja akan memiliki lebih banyak kekurangan jika dibanding
dengan manusia yang tak cacat secara lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan
Nawaksara adalah sembilan unsur kehidupan lainnya
yang menjadi teman manusia hidup. Kau tentu telah
tahu sembilan unsur apa itu, Seno."
"Ya. Aku pernah mendapat ajaran dari guruku.
Menurutnya, sembilan unsur kehidupan itu adalah
kayu, batu, tanah, dan lain sebagainya," ujar Send.
"Walau benda mati, tapi benda-benda itu juga amat
penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kayu berasal dari tumbuhan. Sementara,
tumbuhan adalah
salah satu sumber makanan manusia. Batu, tanah,
dan lain sebagainya adalah bagian dari bumi. Sementara, bumi adalah tempat
manusia menjalani kehidupan...."
"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih untuk kesekian kalinya. "Oleh karena itulah
manusia harus tahu
diri dan berterima kasih kepada Pancakarsa dan Nawaksara."
"Lalu, kewajiban manusia yang keenam apa,
Paman?" tanya Pendekar Bodoh yang menjadi sangat
kagum dan suka sekali melihat kepintaran serta kearifan Ksatria Topeng Putih.
"Manembah lan tuhu tresna maring Bapa lan Ibu
kang kinarya lantaran tumitah. Di sini sudah jelas pengertiannya. Tanpa ayah dan
Ibu, kita berdua ini tak
akan pernah ada. Ayah dan ibu adalah lantaran atau
perantara atau asal muasal keberadaan kita sebagai
manusia. Oleh karena itu, kita dan manusia-manusia
lainnya wajib berbakti kepada kedua orangtua."
Ketika mengucapkan kalimat itu, suara Ksatria
Topeng Putih terdengar lebih mantap dan penuh tekanan. Ksatria Topeng Putih
memang menginginkan
Pendekar Bodoh mengerti benar bagian itu.
"Ya! Ya, Paman," sambut Seno. "Kalau ada anak
yang tak berbakti kepada orangtuanya, sama artinya
dia telah melakukan dosa besar."
"Bagus! Camkan itu baik-baik. Kau harus dapat
menjalankan apa yang kau ucapkan sendiri."
"Ya, Paman," angguk Seno, tak begitu memperhatikan ucapan Ksatria Topeng Putih
yang berubah tekanan.
"Kewajiban manusia yang ketujuh dan kedelapan adalah manembah mituhu maring Sang
Guru dan Sang Nara Bawana. Kalau manusia berbakti dan menuruti perintah gurunya, itu
sudah merupakan keha-
rusan. Begitu juga dengan menuruti aturan yang telah
ditetapkan oleh Sang Nara Bawana atau seseorang
yang menjadi penguasa negara di mana manusia itu
tinggal. Kau mengerti, Seno?"
Pendekar Bodoh mengangguk.
Ksatria Topeng Putih tersenyum tipis, lalu
bangkit berdiri seraya berkata, "Cukup sampai di sini
pertemuan kita, Seno. Ingat baik-baik apa yang telah
kukatakan tadi. Mudah-mudahan setiap tindak perbuatanmu selalu didasari sikap
adil bijaksana."
Usai berkata, tiba-tiba lelaki yang seluruh wajahnya tertutup topeng baja putih
itu menjejak tanah.
Cepat sekali tubuhnya berkelebat, lalu menghilang di
balik rimbunan bambu di seberang.
Tinggallah Pendekar Bodoh duduk termangu.
Cengar-cengir sambil menatap sisa daging panggang
yang hanya berupa tulang-belulang...
*** 2 UH! Masih ada urusan yang harus segera kuselesaikan. Kenapa aku malah duduk
bengong di tempat
ini"!" rutuk Pendekar Bodoh kepada dirinya sendiri.
Bergegas pemuda remaja itu bangkit berdiri.
Namun sebelum kakinya melangkah, mendadak terdengar tiupan angin berkesiur.
Ketika menoleh, berbinarlah bola mata si pemuda.
Di tempat itu telah muncul dua sosok manusia.
Mereka dua orang wanita yang sama-sama mengenakan pakaian serba kuning. Rambut
mereka pun samasama digelung ke atas. Namun usia kedua wanita itu
terpaut cukup jauh. Yang satu seorang nenek berumur
sekitar lima puluh tahun. Sementara, yang satunya lagi seorang gadis remaja
berwajah cantik.
Mereka adalah Nini Kembangsari atau Dewi Pedang Halilintar dan muridnya yang
bernama Kemuning
atau Dewi Pedang Kuning.
"Kemuning...," desis Seno, menatap lekat wajah
cantik Dewi Pedang Kuning.
"Ya. Ini aku, Seno," sahut Kemuning. "Sedang
apa kau di sini?"
Pendekar Bodoh tak segera menjawab. Murid
Dewa Dungu itu merasakan getar aneh pada nada
ucapan Kemuning. Ketika diperhatikan lebih seksama,
sinar mata Kemuning pun tampak lain dari biasanya.
Apa yang telah terjadi pada diri Si gadis"
Karena itu, Pendekar Bodoh hendak mengutarakan rasa herannya. Namun Dewi Pedang
Halilintar keburu berkata, "Kalau cuma untuk berbasa-basi, sebaiknya kita segera
meninggalkan tempat ini, Kemuning!"
"Uh! Kau galak benar, Nek!" tegur Seno. "Kemuning sahabatku, Nek. Walau kau
punya urusan amat penting, apa tidak boleh kalau aku bercakapcakap beberapa lama dengan
muridmu itu?"
"Sudahlah, Seno. Aku dan guruku memang harus segera pergi ke Pondok Matahari.
Kebetulan aku melihatmu di sini. Kau sedang apa" Melihat bekas tapak kaki di hadapanmu itu,
kau tentu tidak seorang
diri." Seno diam saja.
Setelah memperhatikan beberapa lama, pemuda remaja itu jadi tahu bila tatapan
Kemuning menyiratkan kekhawatiran. Namun, kekhawatiran apa itu"
Seno belum dapat menerkanya.
Mendadak, peristiwa yang pernah dialami bersama Kemuning berkelebatan kembali di
benak Seno. Dan..., debar-debar di hati Sena juga kembali muncul.
Membuat si pemuda menatap tak berkedip wajah gadis
itu, yang memang cantik jelita.
"Dasar bocah gemblung!" semprot Dewi Pedang
Halilintar. Lalu, nenek keras kepala yang biasa bersikap
ketus itu berkata kepada muridnya, "Kita harus segera
pergi, Kemuning. Tak perlu banyak cakap dengan pemuda geblek itu!"
Seno nyengir kuda, menatap wajah Dewi Pedang Halilintar yang tampak garang.
"Uh! Kau bukan harimau, Nek! Kenapa begitu
galak"!" sembur murid Dewa Dungu itu.
Dewi Pedang Halilintar mendengus gusar. Wajahnya terlihat makin garang. "Aku
bukan tak tahu kalau kau pernah menyelamatkan jiwa Kemuning. Tapi
saat ini, waktu bagiku amat berharga," sergapnya seraya menggamit lengan
Kemuning. "Ayo kita pergi!"
"Tapi, Eyang,..," tolak Kemuning.
"Hus! Kita harus segera sampai ke Pondok Matahari. Lain itu, kita pun harus
menghindari Sabit
Maut!" Mendengar ucapan Dewi Pedang Halilintar yang
tiba-tiba menyiratkan kekhawatiran, Kemuning menghela napas. "Ya, Eyang. Kita
memang harus segera
pergi." "Eh! Tunggu dulu!" cegah Seno. "Aku ingin berbicara denganmu beberapa lama,
Kemuning. Kalau
ada masalah, katakan saja. Barangkali aku bisa membantumu."
"Lain waktu saja!" sahut Kemuning.
Usai berkata, Kemuning menjejak tanah seraya
berkelebat meninggalkan Seno. Dewi Pedang Halilintar
langsung mengikuti langkah kaki muridnya itu.
"Uuuuhhhh...!" dengus Seno, menumpahkan
kekecewaannya. Kaki Seno menggedruk tanah, lalu menyepak
tulang-belulang kelinci panggang yang berada di dekatnya. Tampak kesal dan
kecewa bukan main pemuda remaja itu.
Sejak pertemuannya di kaki Gunung Lawu,
Kemuning telah menjadi kembang mimpi Seno. Walau
belum begitu kenal Kemuning secara mendalam, namun gadis itu telah menciptakan
harapan-harapan indah dalam benak Seno.
Apa yang membuat Kemuning dan gurunya
tampak begitu khawatir" Di manakah Pondok Matahari
yang hendak mereka tuju" Dan, siapa itu Sabit Maut
yang tampaknya ditakuti oleh Dewi Pedang Halilintar"
Seno terus terpaku memikirkan hal itu. Sambil
nyengir kuda, dia geleng-geleng kepala beberapa lama....
*** "Celaka!" kesiap Dewi Pedang Halilintar.
Nenek yang tubuhnya masih tampak sintal itu
menghentikan kelebatan tubuhnya. Kemuning bertindak serupa. Dengan sinar mata
nyalang, mereka menatap seorang lelaki pendek gemuk yang berdiri menghadang.
Lelaki itu seorang kakek-kakek berumur sekitar
enam puluh tahun, mengenakan pakaian putih ketat.
Rambutnya panjang tergerai, berwarna putih meletak.
Di tangannya tercekal sebuah cangkul bergagang panjang.
"Cangkul Sakti...," desis Dewi Pedang Halilintar,
menyebut julukan kakek pendek gemuk yang menghadang di pinggir hutan kecil itu.
Menarik napas panjang Dewi Pedang Halilintar,
mencoba menenangkan hatinya yang berdebar-debar
tak karuan. Cangkul Sakti adalah tokoh jahat yang
mempunyai ilmu kesaktian amat tinggi. Walau Dewi
Pedang Halilintar tak pernah berurusan langsung dengan Cangkul Sakti, tapi
melihat sikap dan tatapan mata kakek bersenjata cangkul itu, Dewi Pedang
Halilintar merasa giris dan ngeri. Apalagi, dia tengah menghindari pertemuan
dengan Sabit Maut. Sementara, Sabit Maut adalah saudara seperguruan Cangkul
Sakti! "Kita balik saja, Eyang," cetus Kemuning yang
mendadak juga terserang rasa gentar.
Dewi Pedang Halilintar tak berucap
Nenek itu segera menggamit lengan muridnya
untuk diajak berkelebat pergi. Namun... ketika membalikkan badan, sekitar


Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepuluh tombak di belakang
guru dan murid itu, ternyata telah berdiri seorang kakek kurus kerempeng dengan
tatapan tajam berkilat
menyiratkan nafsu membunuh.
Si kakek mengenakan pakaian putih kedombrongan, mencekal senjata berupa tongkat
panjang yang di bagian ujungnya terdapat best pipih bengkok
mirip sabit. Dia berdiri angkuh, menyeringai dingin.
Membuat Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning melangkah mundur.
"Ha ha ha...!" tawa gelak kakek berjuluk Sabit
Maut itu, berjalan mendekati Dewi Pedang Halilintar.
"Mau lari ke mana kau, Nenek Bengal"! Hantu Pemetik
Bunga menyerahkan urusannya kepadaku! Ha ha
ha...!" Selagi Sabit Maut tertawa panjang, si kakek
pendek gemuk Cangkul Sakti berjalan mendekati Dewi
Pedang Halilintar juga.
Dewi Pedang Halilintar yang biasanya amat keras kepala dan cenderung sombong,
kali ini tampak
mati kutu. Jantung si nenek berdegup keras sekali.
Dia sadar bila bahaya besar tengah mengintai nyawanya.
Kemuning yang berdiri di dekat nenek itu pun
tampak memucat wajahnya. Keberanian yang selalu ditunjukkan Kemuning tiba-tiba
hilang entah ke mana.
Si gadis tampak bergidik ngeri, menatap bergantian
sosok Sabit Maut dan Cangkul Sakti.
Guru dan murid itu tahu benar bila Sabit Maut
dan Cangkul Sakti punya sifat licik serta amat kejam.
Kedua kakek itu saudara seperguruan. Jika mereka
bermaksud membunuh seseorang, dapat dipastikan bila mereka akan melakukan
siksaan terlebih dulu. Senjata mereka yang berupa sabit dan cangkul akan
mencincang dan mencerai-beraikan tubuh sang korban!
"Bagaimana ini, Eyang?" desis Kemuning. "Mestinya tadi kita tak perlu
meninggalkan Pendekar Bodoh...."
"Hus!" sergap Dewi Pedang Halilintar. "Aku tahu
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Tapi, kau mesti tahu bahwa kehormatan di
atas segala-galanya. Kehormatan lebih berharga dari nyawa!"
"Jadi..., kita akan melawan mereka, Eyang?"
"Apa boleh buat...."
Cekatan sekali Dewi Pedang Halilintar menghunus bilah pedang yang terselip di
punggungnya. Kemuning pun berbuat serupa.
Set! Pedang guru dan murid itu sama-sama terbuat
dari logam pilihan berwarna kuning. Tampak tajam
berkilat-kilat tertimpa sinar matahari.
"Hmmm.... Kalian dua orang dungu!" dengus
Dewi Pedang Halilintar, menetapkan hatinya. "Sejak
semula aku sudah menduga, kalian mengejarku hanya
karena permintaan Hantu Pemetik Bunga. Huh! Dasar
sama-sama iblis!"
"Sungguh bagus pedangmu, Nenek Bengal...,"
cibir Sabit Maut. "Tapi sayang..., keindahan pedangmu
justru akan merenggut nyawamu beserta muridmu itu!
Ha ha ha...!"
"Ya! Tapi sebelum kalian mati, tampaknya aku
dan kakak seperguruanku akan bersenang-senang dulu! Ha ha ha...!" timpal Cangkul
Sakti. Dewi Pedang Halilintar tak memperhatikan
ucapan kedua kakek itu. "Jika nanti kau melihat kesempatan, larilah...,"
bisiknya kepada Kemuning.
"Untuk apa Kemuning lari kalau Eyang tetap di
sini?" tolak Kemuning. "Aku rela mati bersama
Eyang...."
"Hus! Kau masih muda! Kau tidak boleh mati
sia-sia! Pergilah ke Pondok Matahari. Katakan pada
Hati Selembut Dewa kalau kau muridku. Mintalah petunjuk darinya. Kau mengerti,
Kemuning?"
"Tidak, Eyang! Kalau pergi, Eyang harus bersamaku. Kalau Eyang di sini, aku pun
di sini. Mati dalam pertempuran melawan orang jahat bukan mati siasia,
Eyang...."
"Ha ha ha...!" tawa gelak Cangkul Sakti. "Benar
kata muridmu, Nenek Bengal! Kalian berdua harus tetap di sini. Kematian kalian
memang akan sangat menyenangkan hati kami! Ha ha ha...!"
"Hmmm.... Walau sudah tua, tubuhmu masih
boleh juga, Kembangsari...," sahut Sabit Maut. "Sebelum mati, bolehlah nanti kau
kuberi kesenangan dulu!"
Lelaki kurus kerempeng itu menelan ludah,
hingga jakunnya yang besar tampak naik-turun. Sinar
matanya berubah kurang ajar, membuat Dewi Pedang
Halilintar muak dan jijik.
"Bangsat!" geram si nenek, menghalau rasa
gentar di hatinya. "Kalian berdua bandot tua yang tak
tahu malu! Kalau kalian memang ingin bersenangsenang, makan pedangku ini!
Hiattt...!"
Menggembor keras Dewi Pedang Halilintar.
Nenek itu pada dasarnya memang bukan seseorang yang takut mati ataupun berjiwa
pengecut. Walau
sadar dan tahu benar bila dirinya bukanlah lawan
yang seimbang bagi Sabit Maut maupun Cangkul Sakti, dia malah mendahului
menerjang. Melihat keadaan
yang sudah tak memungkinkan lagi untuk berlari menyelamatkan diri, si nenek jadi
nekat dan bermaksud
mengadu nyawa. "Kita hadapi mereka bersama, Eyang...!" seru
Kemuning. Sementara Dewi Pedang Halilintar menyerang
Sabit Maut, gadis cantik itu menerjang Cangkul Sakti.
Pedang si gadis berkelebat cepat sekali. Tusukan ataupun sabetannya senantiasa
menimbulkan ledakan keras yang memekakkan gendang telinga. Agaknya, Kemuning
menyerang Cangkul Sakti dengan jurus
'Pedang Halilintar Rontokkan Awan'.
"Jangan nekat, Kemuning!" teriak Dewi Pedang
Halilintar sambil mengirim tusukan ke dada Sabit
Maut. "Ingat kata-kataku tadi!"
"Tidak, Eyang! Aku akan tetap di sini bersama
Eyang!" sahut Kemuning seraya menyerang Cangkul
Sakti lebih gencar.
Mendengus gusar Dewi Pedang Halilintar. Kenekatan Kemuning membuatnya kalap. Si
nenek me- nyerang Sabit Maut dengan membabi buta. Dia keluarkan jurus-jurus andalannya,
hingga bilah pedangnya
berubah menjadi selarik sinar kuning yang terus menusuk dan membabat amat
berbahaya. Namun, tampaknya sabit bergagang. panjang di
tangan Sabit Maut dapat meredam semua serangan
Dewi Pedang Halilintar. Setiap terjadi benturan, Dewi
Pedang Halilintar selalu meringis kesakitan. Pedang si
nenek bergetar kencang, membuat jemari tangannya
terasa amat ngilu dan kesemutan.
"Hiahhh...!"
Dewi Pedang Halilintar menggeram marah. Dikeluarkannya seutas tali putih pipih
dari balik baju.
Begitu dialiri kekuatan tenaga dalam, tali itu langsung
diselubungi lidah-lidah api yang menebarkan hawa
amat panas! "Cambuk Api Neraka...!" seru Sabit Maut, menyebut nama senjata di tangan kiri
Dewi Pedang Halilintar.
"Ya! Ini memang Cambuk Api Neraka! Makanlah...!" sahut Dewi Pedang Halilintar
seraya menyabetkan cambuknya ke muka.
Jderrr...! "Ih...!"
Sambil berkelit, bergegas Sabit Maut mengirim
serangan balasan. Senjata di tangannya berkelebat cepat dan mengeluarkan suara
berdesing, mengincar jalan kematian di tubuh Dewi Pedang Halilintar.
Sementara, pertempuran antara Dewi Pedang
Kuning dan Cangkul Sakti berjalan berat sebelah. Walau Kemuning telah
mengeluarkan jurus terhebatnya,
dia tak dapat meredam kehebatan senjata Cangkul
Sakti yang berupa cangkul bergagang panjang. Selain
kalah tenaga, Kemuning juga kalah pengalaman. Bebe-
rapa kali dia terkecoh oleh gerak tipu Cangkul Sakti.
Hingga akhirnya....
Bret...! "Ah...!"
Terkejut tiada terkira Dewi Pedang Halilintar
mendengar jeritan Kemuning. Namun, nenek itu dapat
bernapas sedikit lega. Senjata Cangkul Sakti hanya
mengoyak kain baju Kemuning. Tubuh si gadis sama
sekali tak terluka.
"Jangan tengak-tengok seperti monyet kehilangan ekor!" ejek Sabit Maut. "Lihat
serangan!"
Tak dapat Dewi Pedang Halilintar melihat keadaan Kemuning lagi. Karena, Sabit
Maut telah mengirim serangan yang amat berbahaya. Senjata si kakek
berkelebat ganas hendak membelah kepalanya. Serangan itu masih dibarengi dengan
tendangan maut yang
mengincar ulu hati!
Bret...! "Ah...!"
Kembali Kemuning menjerit. Kain bajunya terkoyak lagi oleh sabetan senjata
Cangkul Sakti. Sementara, si kakek tampak tertawa terkekeh-kekeh melihat
bagian tubuh Kemuning yang terbuka. Agaknya, kakek
pendek gemuk itu sengaja hendak mempermainkan
Kemuning. "Jahanam...!"
Sembari menghindari serangan Sabit Maut,
Dewi Pedang Halilintar yang tak tega melihat muridnya
dipermainkan, meloncat sebat. Ujung pedangnya meluncur deras, mengarah batok
kepala Cangkul Sakti.
Dan, Cambuk Api Neraka pun bergeletar hendak membabat pinggang si kakek!
Tapi.... Des...! "Argh...!"
Tendangan Sabit Maut keburu bersarang di
punggung Dewi Pedang Halilintar. Akibatnya, si nenek
jatuh tersungkur lalu bergulingan di atas tanah. Cambuk Api Neraka-nya terlepas
dari cekalan. Saat menyentuh tanah, karena tak teraliri kekuatan tenaga dalam
lagi, lidah-lidah api yang menyelubungi senjata itu
langsung hilang. Hingga, Cambuk Api Neraka berubah
ke wujudnya semula, yaitu seutas tali putih berbentuk
pipih. Darah segar keluar dari sudut bibir Dewi Pedang Halilintar. Napasnya terasa
buntu. Dan, tenaganya pun telah banyak berkurang. Melihat wajah si
nenek yang pucat pasi, jelas bila dia menderita luka
dalam. Ketika meloncat bangkit, melototlah bol mata
nenek itu. Sekitar tujuh tombak dari hadapannya, senjata Cangkul Sakti
berkelebat cepat sekali. Lagi-lagi
Kemuning menjerit ngeri. Namun, tubuhnya tetap tak
terluka. Hanya kain bajunya yang semakin terkoyakkoyak.
"Ha ha ha...!" tawa senang Cangkul Sakti. "Tubuhmu mulus sekali, Anak Manis.
Tahukah kau, aliran darahku jadi berdesir tak karuan" Ha ha ha...! Aku
ingin... aku ingin...."
Mendadak, kakek bertubuh pendek gemuk itu
menerkam. Tak dia pedulikan ujung pedang Kemuning
yang terjulur lurus ke dadanya!
"Mati kau!" seru Kemuning.
Dan..., tusukan gadis itu benar-benar mengenai
sasaran! Tapi, dia sendiri malah memekik keras. Sementara, Sabit Maut terus
tertawa. Kedua tangannya
membuka untuk segera memeluk tubuh sintal Kemuning!
Sabit Maut sama sekali tak terluka walau pe-
dang Kemuning tampak telah menusuk tembus dadanya. Tak ada darah yang menguour.
Bahkan, kain baju si kakek tak robek sedikit pun!
Apa yang terjadi"
Kemuning terpaku memikirkan keanehan itu!
Tiba-tiba, pedang Kemuning terpental lepas dari
cekalan karena terbentur senjata Cangkul Sakti. Dalam keterkejutannya, gadis itu
merasakan tubuhnya
limbung, seperti terjepit balok baja yang amat kuat!
Kemudian..., ada suatu benda lunak yang menelusuri pipi dan bibir Kemuning.
Membuat si gadis
bergidik jijik. Cangkul Sakti telah menindih dan mendaratkan ciuman ganas
bertubi-tubi! "Setan alas!" gembor Dewi Pedang Halilintar
yang melihat Kemuning digumuli Cangkul Sakti.
Tak peduli pada luka dalamnya, nenek itu meloncat cepat. Pedangnya berkelebat
hendak membabat
kepala Cangkul Sakti sampai tanggal. Tapi....
Trang...! Pedang si nenek keburu lepas dari cekalan.
Senjata Sabit Maut telah mengait dan melontarkannya!
Ketika Dewi Pedang Halilintar berdiri terpaku,
Sabit Maut berkelebat menerkam. Dan..., tubuh dua
anak manusia yang sudah tak muda lagi itu jatuh bergulingan di tanah. Apa yang
terjadi pada Kemuning,
terjadi pula pada diri Dewi Pedang Halilintar....
*** 3 BURUNG-BURUNG menceracau parau. Terbang
melesat dari pucuk dedaunan. Mereka tak sampai hati
melihat adegan yang tengah berlangsung di pinggir hutan kecil itu. Hembusan
angin yang mendesau seakan
turut mengutuk perbuatan tak senonoh Sabit Maut
dan Cangkul Sakti.
"Jahaham! Lepaskan aku!"
"Ha ha ha....! Kenapa minta dilepaskan" Bukankah aku hendak membuatmu senang?"
"Jangan! Tak tahu malu!"
"Hmmm.... Kau cantik sekali, Anak Manis. Ayolah, kita pergi ke surga bersama-
sama. Ha ha ha...!"
Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning menyumpah serapah. Mereka memberontak,
berusaha melepaskan diri....
Namun..., kedua tangan Sabit Maut dan Cangkul Sakti merengkuh erat sekali. Walau
Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning telah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya, mereka tetap tak dapat melepaskan
diri dari cengkeraman nafsu kedua kakek itu.
Napas Sabit Maut dan Cangkul Sakti terdengar
memburu, seiring hasrat mereka yang memuncak. Mereka seperti tengah berpesta


Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pora, menjadikan Dewi
Pedang Halilintar dan Kemuning sebagai barang mainan.
Burung-burung semakin banyak yang terbang
meninggalkan tempat di pinggir hutan kecil itu. Mereka benar-benar tak kuasa
melihat kebiadaban manusia....
*** Lelaki berpakaian putih-putih yang tengah
mengintai dari balik batang pohon besar itu mendengus gusar. Tubuhnya bergetar
karena menahan hawa
amarah. "Biadab!" geramnya. "Keterlaluan sekali perbuatan Sabit Maut dan Cangkul Sakti
itu! Aku harus bertindak!"
Tanpa pikir panjang, lelaki yang wajahnya tertutup topeng baja putih itu
menjejak tanah, hendak
berkelebat menerjang Sabit Maut dan Cangkul Sakti
yang terus berusaha melepas gairahnya.
Namun... sebelum keluar dari tempat persembunyiannya, dia mendengar suara
berkesiur halus.
Cepat dia arahkan pandangan ke asal suara. Dan..., lelaki yang tak lain Ksatria
Topeng Putih itu tak jadi berkelebat keluar dari tempat persembunyiannya karena
melihat sesosok bayangan yang mendahului menyerang Sabit Maut dan Cangkul Sakti!
Tep...! Tep...!
Sosok bayangan yang muncul dari kelokan jalan setapak di pinggir hutan kecil itu
langsung menjambret tengkuk Sabit Maut dan Cangkul Sakti. Cepat
sekali gerakan si bayangan. Tahu-tahu tubuh Sabit
Maut dan Cangkul Sakti terlontar tinggi ke udara, lalu
jatuh terbanting di tanah!
Bresss...! Brukkk...!
"Wuahhh...! Uhhh...!"
Memekik parau kedua kakek seperguruan itu
dalam rasa gusar dan amarah. Mereka benar-benar
kecewa karena gagal melampiaskan hasrat hati mereka
terhadap Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning.
"Jahanam...! Berani benar kau menggangguku!"
geram Sabit Maut sambil membenarkan letak pakaiannya yang sedikit kedodoran.
"Keparat...! Kau pasti telah bosan hidup!"
Cangkul Sakti turut menggeram marah.
Dengan tatapan beringas, Sabit Maut dan
Cangkul Sakti menatap seorang pemuda remaja yang
tengah berdiri tegak tak seberapa jauh dari hadapan
Dewi Pedang Halilintar dan muridnya. Pemuda itu berparas tampan, mengenakan
pakaian biru-biru dengan
ikat pinggang kain merah.
Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh!
"Ajak Kemuning menyingkir dulu, Nek...," ujar
si pemuda, tak mempedulikan Sabit Maut dan Cangkul
Sakti. "Aku tak bisa melihat Kemuning dalam keadaan
seperti ini...."
"Ya..., ya!" sahut Dewi Pedang Halilintar sambil
meringis kesakitan. Luka dalam akibat tendangan di
punggung membuat sekujur tubuhnya amat nyeri.
Kemuning tak dapat mengucap sepatah kata
pun melihat Pendekar Bodoh telah menyelamatkan kehormatannya. Bibir si gadis
tampak bergetar, namun
tetap tak ada suara yang keluar. Walau begitu, sinar
matanya jelas menyiratkan rasa syukur dan ucapan
terima kasih mendalam.
Gadis cantik itu baru menyadari keadaan saat
Dewi Pedang Halilintar menuntunnya untuk diajak
berlalu dari hadapan Seno.
"Kau dan muridmu jangan pergi jauh-jauh dulu, Nek...," pinta Seno. "Aku tahu kau
terluka dalam. Aku pun tak ingin pertemuanku dengan Kemuning kali
ini berlalu dengan cepat."
"Aku tahu kau memiliki kesaktian hebat. Tapi,
jangan remehkan kemampuan kedua kakek itu," sahut
Dewi Pedang Halilintar.
"Jangan khawatir.... Aku bisa mengukur kemampuan orang."
Mendengar perkataan Pendekar Bodoh yang
tampak penuh keyakinan, Dewi Pedang Halilintar tak
menyahuti. Dia terus berjalan sambil berpegangan pada pinggang Kemuning.
"Bocah edan! Siapa kau"!" bentak Sabit Maut,
mendekati Pendekar Bodoh seraya memungut senjatanya yang berupa sabit bergagang
panjang. "Siapa aku" Hmmm.... Justru kaulah yang harus menjawab pertanyaan itu!" sergap
Seno. "Melihat
perbuatan busukmu tadi, gatal tanganku untuk segera
menghadiahkan bogem mentah!"
"Sontoloyo!" maki Cangkul Sakti yang juga telah
memungut senjata andalannya. "Berani benar kau
berkata seperti itu! Apa kau tidak tahu bila sedang
berhadapan dengan Cangkul Sakti dan Sabit Maut"!"
"Hmmm.... Cangkul Sakti dan Sabit Maut" Julukan yang terdengar ganjil. Tapi...,
kukira pantaslah
kalian berdua berjuluk seperti itu. Mungkin karena tak
dapat lagi menggarap sawah-ladang di saat kemarau
panjang, kalian lalu berkeliaran menjadi durjana hinadina!"
"Jahanam! Makan kesombonganmu itu!"
Sambil berteriak lantang, Sabit Maut melompat
ke depan. Senjata sabit bergagang panjang di tangannya berkelebat cepat untuk
mengait dan menebas leher Pendekar Bodoh!
Wuttt...! Serangan Sabit Maut hanya mengenai tempat
kosong karena Pendekar Bodoh telah melompat ke belakang. Namun sebelum kaki si
pemuda menginjak
permukaan tanah, Cangkul Sakti menyambung serangan saudara seperguruannya yang
gagal. Cangkul bergagang panjang kakek pendek gemuk itu menderu ganas untuk
mengemplang kepala!
Bergegas Pendekar Bodoh meloloskan Tongkat
Dewa Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Dan...,
begitu senjata berupa tongkat putih sepanjang dua
jengkal itu dikibaskan, terbelalaklah mata Cangkul
Sakti. Wuttt...! Tas...! Gagang cangkul yang sebenarnya terbuat dari
kayu pilihan tak kuasa menahan benturan senjata
Pendekar Bodoh. Patah menjadi dua bagian! Mata
cangkulnya terpental ke udara lalu jatuh berdentang di
tanah. Sementara, tiupan angin yang ditimbulkan oleh
kibasan Tongkat Dewa Badai mampu membuat tubuh
Cangkul Sakti terhempas, dan jatuh terbantingbanting!
Sabit Maut turut terkejut bagai disambar petir.
Bola matanya melotot besar dengan mulut terbuka lebar. Dia seperti tak percaya
pada penglihatannya sendiri. Bagaimana mungkin Cangkul Sakti bisa dipecundangi
begitu mudah pada gebrakan pertama"
"Kau tampak sangat terkejut, Kek. Apa kau sedang melihat hantu di siang bolong
begini?" ejek Seno
dengan suara datar.
"Keparat...!" geram Sabit Maut.
Mengikuti hawa amarahnya, kakek kurus kerempeng itu menerjang kalap. Senjatanya
berkelebat lagi, mengeluarkan suara menderu ganas, menyakitkan gendang telinga dan terasa
mengiris kulit.
Pendekar Bodoh yang sempat melihat perlakuan Sabit Maut terhadap Dewi Pedang
Halilintar, tak
mau memberi hati. Saat senjata Sabit Maut berada tepat di depan matanya, dia
kibaskan Tongkat Dewa Badai dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyambar Pisang'
yang dipelajarinya dari Dewa Dungu.
Wesss...! Sabit Maut tahu kehebatan senjata di tangan
Seno. Dia tarik senjata sabit bergagang panjangnya.
Namun, walau senjata itu dapat diselamatkan, tubuh
si kakek tetap saja terhempas oleh gelombang angin
pukulan yang tercipta dari kibasan Tongkat Dewa Badai!
"Wuahhh...!"
Brukkkk...! Diiringi pekik panjang, tubuh Sabit Maut jatuh
terbanting tepat di sebelah kanan Cangkul Sakti yang
masih duduk mengelus-elus punggung. Sementara Sabit Maut mengaduh-aduh
kesakitan, Cangkul Sakti
tampak terlongong bengong.
Kakek pendek gemuk itu sangat terkejut bercampur heran. Dia dan saudara
seperguruannya adalah dua tokoh tua yang telah punya nama besar di
rimba persilatan. Tapi, kenapa menghadapi seorang
pemuda yang tampak masih bau kencur saja, mereka
mudah sekali dirobohkan"
"Kita gunakan ilmu 'Pengganda Raga'...," bisik
Sabit Maut seraya bangkit berdiri dan menyambar senjatanya yang kebetulan jatuh
tak seberapa jauh.
Bergegas Cangkul Sakti melompat ke depan. Di
lain kejap, pergelangan tangan kakek pendek gemuk
itu berubah warna menjadi hitam kehijauan. Bau amis
menebar ke mana-mana, amat menusuk lubang hidung!
Walau Cangkul Sakti telah kehilangan senjatanya, tapi kedua tangan si kakek tak
kalah berbahaya. Dia menyerang Seno dengan ilmu pukulan yang
mengandung hawa beracun.
Sementara, Sabit Maut pun telah menerjang
ganas. Senjata di tangan kakek kurus kerempeng itu
berseliweran, mengincar bagian-bagian terpenting di
tubuh Pendekar Bodoh!
Dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyembah
Dewa', Seno selalu dapat menghindari serangan Sabit
Maut. Dan, kibasan Tongkat Dewa Badai yang mempunyai khasiat pemusnah racun juga
selalu dapat menawarkan pengaruh hawa beracun yang menebar dari
kedua pergelangan tangan Cangkul Sakti.
Bahkan, setelah tiga jurus berlalu, Seno dapat
menekan pertahanan Sabit Maut dan Cangkul Sakti.
Kedua kakek itu jadi amat kerepotan. Semua serangan
mereka selalu dapat dimentahkan. Batang Tongkat
Dewa Badai dan kepalan tangan Seno berkelebatan,
mengurung mereka dari berbagai penjuru. Hingga
sampai akhirnya....
Wuttt...! Cusss...! Pukulan Pendekar Bodoh yang hanya dialiri sebagian kecil kekuatan tenaga dalam
tepat bersarang di
dada Sabit Maut. Namun, Pendekar Bodoh malah memekik kaget.
"Ya, Tuhan...."
Murid Dewa Dungu itu sama sekali tak menyangka melihat kepalan tangan kirinya
yang tembus sampai ke punggung Sabit Maut!
Kontan Pendekar Bodoh menyesal bukan main,
karena merasa telah menjatuhkan maut.
Tapi, keterkejutan kembali menghantam diri
Pendekar Bodoh. Tubuh Sabit Maut ternyata tak bergeming sedikit pun! Si kakek
tetap berdiri tegak tanpa
setetes darah yang keluar dari dadanya. Tubuh si kakek seakan telah berubah jadi
bayangan yang tahan
pukulan. Selagi Seno terpaku dalam keterkejutan, terdengar suara berdesing keras. Cepat
pemuda remaja itu menyadari keadaan. Dia rundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran
senjata Sabit Maut. Na-
mun, tak urung tendangan Cangkul Sakti menerpa
bahu kirinya! Des... "Uhhh...!"
Tubuh Seno jatuh terguling ke tanah. Ringis
kesakitan segera menghiasi bibirnya. Belum sempat
dia meloncat bangkit, tubuh Cangkul Sakti tampak
melesat cepat sekali. Tangan kanan kakek pendek gemuk itu meluncur deras dari
atas untuk menggedor
dada Seno. Jelas bahaya maut tengah mengintai nyawa Seno, karena kepalan tangan
Cangkul Sakti mengandung hawa beracun, amat mematikan!
Ksatria Topeng Putih yang mengintai dari balik
batang pohon membelalakkan mata. Tentu saja dia tak
ingin melihat Pendekar Bodoh mati di tangan Cangkul
Sakti. Namun, sekali lagi dia membatalkan niatnya untuk keluar dari tempat
persembunyian. Dia melihat
Pendekar Bodoh mengacungkan tangan kanannya ke
atas. Salah satu ujung Tongkat Dewa Badai yang runcing hendak memapaki luncuran
tubuh Cangkul Sakti!
Wuttt...! Cusss...! Kalau ada orang disengat kalajengking selagi tidur nyenyak, begitulah kira-kira
keterkejutan yang
tengah dirasakan Seno. Ujung Tongkat Dewa Badai tepat menancap di dada Cangkul
Sakti. Tapi..., tongkat
mustika itu seperti menusuk sebuah bayangan. Tak
ada suara jerit kesakitan yang keluar dari mulut
Cangkul Sakti. Tak ada pula darah yang menetes. Jerit
kesakitan justru keluar dari mulut Seno!
Punggung pemuda berparas tampan itu terbenam setengah jengkal ke tanah. Walau
masih sempat berkelit, bahu kirinya yang tadi telah kena tendang,
menjadi sasaran pukulan Cangkul Sakti!
Tanpa pikir panjang, Seno mengempos tenaga.
Dengan menggunakan Ilmu 'Lesatan Angin Meniup
Dingin', dia buang tubuhnya jauh-jauh. Setelah bersalto tiga kali di udara, dia
mendarat sigap di tanah.
Namun, ringis kesakitan terus menghiasi bibir
Seno. Bahu kirinya terasa amat panas dan pedih luar
biasa! Cepat pemuda itu nenyingkapkan kain baju.
Ternyata, kulit bahunya yang kena pukulan Cangkul
Sakti berubah warna menjadi hitam kehijauan.
"Racun...," desis Seno.
Mengetahui ada hawa beracun yang bersarang
di tubuhnya, bergegas di tempelkan Tongkat Dewa Badai ke bahu kiri. Di lain
kejap, Tongkat Dewa Badai
yang semula berwarna putih bersih menjadi hitam kehijauan. Dan, bahu kiri Seno
kembali ke warna aslinya, putih kemerahan. Itu berarti hawa beracun akibat
pukulan Cangkul Sakti telah tersedot oleh batang
tongkat mustika Dewa Badai.
"Phuhhh...!"
Wesss...! Seno meniup. Warna hitam kehijauan pada
Tongkat Dewa Badai langsung pudar, kembali putih


Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersih tanpa noda.
Namun..., murid Dewa Dungu itu tampak tersurut mundur saat melihat Sabit Maut
dan Cangkul Sakti berjalan mendekatinya.
"Kepalan tanganku..., bahkan Tongkat Dewa
Badai telah menembus tubuh kedua kakek itu. Tapi,
kenapa mereka sama sekali tak terluka?" kata hati
Pendekar Bodoh, mencetuskan rasa heran. "Apakah
mereka mempunyai nyawa rangkap" Atau mungkin,
mereka dapat mengelabuiku" Tapi, mengelabui bagaimana?"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sabit Maut. "Wajahmu
pucat sekali, Bocah Edan! Kau terkejut melihat kesaktian kami, bukan" Baiklah,
aku akan menghilangkan
keterkejutanmu itu. Tapi, tentu saja lewat cara menukarnya dengan nyawamu!"
Senjata Sabit Maut berkelebat lagi. Cangkul
Sakti turut menerjang kembali. Cepat Pendekar Bodoh
menghalau rasa gentarnya. Dia pun balas menyerang.
Akan tetapi..., pukulan ataupun tusukan Tongkat Dewa Badai yang mengenal
sasaran, tetap tak mampu
merobohkan Sabit Maut dan Cangkul Sakti. Pendekar
Bodoh seperti memukul ataupun menusuk bayangan!
Sementara, Sabit Maut dan Cangkul Sakti terus menyerang gencar....
Melihat Seno terdesak hebat, Ksatria Topeng
Putih yang masih mengintai jalannya pertempuran, tak
mau tinggal diam. Sebagai seorang tokoh yang sudah
matang pengalaman, Ksatria Topeng Putih tahu rahasia kehebatan ilmu kesaktian
Sabit Maut dan Cangkul
Sakti. Maka, dia buka rahasia itu kepada Seno dengan
membisikkannya melalui ilmu mengirim suara dari jarak jauh.
"Kau Jangan terkecoh! Kedua lawanmu itu
menggunakan ilmu sihir bernama 'Pengganda Raga'
Yang senantiasa kau serang hanya bayangan mereka.
Cepat himpun kekuatan batinmu!"
Sambil berkelit ke sana-sini, Seno mengedarkan
pandangan untuk mencari orang yang telah memberi
petunjuk. Namun, dia tak melihat siapa-siapa. Ksatria
Topeng Putih telah menyembunyikan tubuhnya di balik batang pohon besar.
"Aku tak tahu siapa yang telah memberi petunjuk kepadaku. Tapi, ada baiknya bila
kucoba...," kata
hati Pendekar Bodoh kemudian.
Sambil terus menghindari serangan Sabit Maut
dan Cangkul Sakti, Pendekar Bodoh berusaha menghimpun kekuatan batinnya. Begitu
dapat, dia lentingkan tubuhnya cepat sekali. Lalu dengan jurus 'Dewa
Badai Turun ke Bumi', dia jatuhkan pukulan ke dada
Cangkul Sakti! Desss...! "Argh...!"
Bersorak girang Seno dalam hati. Dia melihat
tubuh Cangkul Sakti terlontar jauh diiringi pekik kesakitan. Kekuatan batin Seno
ternyata memang dapat
mengatasi ilmu 'Pengganda Raga' Cangkul Sakti.
Di lain kejap, senjata Sabit Maut pun terlepas
dari cekalan dan terpental tinggi ke udara. Tubuh kakek kurus kerempeng itu juga
mencelat jauh, menyusul Cangkul Sakti yang telah rebah di tanah!
Namun... sambil menahan rasa sakit yang merejam tubuh, mereka meloncat bangkit,
lalu menyerang nekat dengan tangan kosong!
Pendekar Bodoh yang sudah tahu rahasia ilmu
kesaktian kedua kakek itu, bersikap tenang-tenang saja. Terjangan Sabit Maut dan
Cangkul Sakti dibalasnya
dengan kibasan Tongkat Dewa Badai!
Wesss...! Bresss...! Sekali lagi, tubuh Sabit Maut dan Cangkul Sakti terlontar ke udara, lalu jatuh
terbanting di tanah.
Wajah mereka pucat pasi dengan darah segar merembes dari sudut bibir. Kedua
kakek itu hanya dapat
duduk mendeprok sambil menatap takut-takut sosok
Pendekar Bodoh.
Saat si pemuda mengacungkan Tongkat Dewa
Badai-nya, Sabit Maut dan Cangkul Sakti beringsut
mundur. Sinar mata mereka jadi amat nyalang. Rasa
takut dan gentar telah merajai akal pikiran mereka.
"Jangan...!" desis Sabit Maut dan Cangkul Sakti, hampir bersamaan.
Seno menghentikan langkahnya seraya berkata,
"Aku masih mau memberi kesempatan kepada kalian
untuk menghirup udara segar. Jadilah orang baikbaik. Tapi, ingat! Lain kali
kalau aku masih melihat
kalian berbuat jahat, tak akan ada ampunan lagi! Pergilah...!"
Di ujung kalimatnya, Pendekar Bodoh mengibaskan Tongkat Dewa Badai. Gelombang
angin pukulan yang tercipta membuat tubuh Sabit Maut dan
Cangkul Sakti terangkat dari permukaan tanah. Setelah jatuh bergulingan, mereka
langsung lari lintangpukang....
Seno melihat kepergian kedua kakek itu sambil
nyengir kuda beberapa lama. Sesaat kemudian, dia
mengedarkan pandangan. Dicarinya orang yang telah
membisikkan rahasia ilmu kesaktian Sabit Maut dan
Cangkul Sakti. Tapi, Ksatria Topeng Putih telah berkelebat pergi meninggalkan
tempat. Namun, Seno tak jadi kecewa. Matanya berbinar-binar saat melihat Kemuning
berjalan mendatanginya.
"Seno...!" seru gadis itu seraya menghambur.
Cepat Pendekar Bodoh menyelipkan kembali
Tongkat Dewa Badai-nya ke ikat pinggang. Lalu, dia
sambut kedatangan Kemuning dengan pelukan hangat.
"Terima kasih, Seno...," desis Kemuning, balas
memeluk. Pendekar Bodoh tak berkata apa-apa. Tapi di
dalam hati, dia berseru girang bukan main. Kembang
mimpinya telah berada dalam pelukan. Tak ada keba-
hagiaan yang melebihi kebahagiaan Seno saat itu....
*** 4 MENYESAL aku telah berlaku sombong...," desah Pendekar Bodoh. "Kalau saja tidak
ada orang yang membantuku, kemungkinan besar aku akan mati di
tangan mereka."
"Membantumu" Aku tak melihat siapa-siapa...,"
ungkap Kemuning.
"Ada orang yang mengirim bisikan dengan ilmu
mengirim suara. Dia membuka rahasia ilmu kesaktian
Sabit Maut dan saudara seperguruannya."
"Siapa dia?" tanya Dewi Pedang Halilintar.
Kepala Seno menggeleng lemah. "Entahlah. Aku
juga tak melihat siapa-siapa, Aku hanya mendengar
bisikan yang tak kukenali warna suaranya." Percakapan terhenti.
Ketiga anak manusia yang tengah duduk di
bawah naungan pohon besar itu larut dalam pikiran
masing-masing. Tercetus dalam benak Seno keinginan
mengantar Kemuning dan gurunya ke Pondok Matahari.
Tapi, teringat akan kejahatan Setan Selaksa
Wajah yang telah membuat lumpuh kedua kaki Dewa
Dungu, Seno jadi ragu. Jika kewajiban belum tertunaikan, tak pada tempatnya bila
dia bersenang-senang.
Bukankah masih banyak waktu untuk dapat membuat
perjumpaan lagi dengan Kemuning"
Sepi berkuasa penuh atas suasana siang di
pinggir hutan kecil itu. Tak ada kicau burung yang
terdengar. Satwa-satwa yang berada di dalam hutan
pun membisu. Hanya desau angin yang mampu menggetarkan gendang telinga. Ranting
pepohonan meliuk
lemah, melambai malas dalam kejenuhan.
Sepi terpecah manakala Kemuning tertawa geli
mengikik. Kontan Seno tersentak dari lamunannya, lalu mengangkat wajah dengan
tatapan tak mengerti.
Dewi Pedang Halilintar juga menatap wajah muridnya
dengan kening berkerut rapat.
"Kau menertawakan apa, Kemuning?" Seno
mendahului bertanya.
"Tentu saja aku menertawakan sesuatu yang
menggelikan," jawab Kemuning, tersenyum-senyum.
"Apa?" buru Seno.
"Bukan apa' tapi 'siapa'!"
"Maksudmu?"
"Kaulah yang ku tertawakan! Hik hik hik...."
"Aku?"
"Hik hik hik...."
"Uh! Kenapa kau menertawakan aku"!"
"Wajahmu itu!"
"Kenapa?"
"Amat polos, bahkan terkesan amat tolol! Hik
hik hik.... Tak salah bila aku dulu memberimu julukan
Pendekar Bodoh!"
"Uuuh!" sungut Seno.
"Kau jangan main-main, Kemuning!" tegur Dewi
Pedang Halilintar yang merasa tak enak hati melihat
sikap muridnya. Seno baru menyelamatkan kehormatan dan juga nyawa mereka. Sangat
tak terpuji kalau
Seno malah diolok-olok.
"Ah! Tak jadi apa. Aku memang tolol! Otakku
memang bebal!" seru Seno kemudian. Namun, walau
mulutnya berkata begitu, hatinya mengatakan lain.
Mana ada orang yang suka disebut bodoh ataupun tolol"
"Hik.... Aku cuma bercanda, Seno. Kenapa diambil hati?" sahut Kemuning,
tampaknya dapat merasakan isi hati Pendekar Bodoh. "Aku tahu kau berkalikali
menanam budi kepadaku. Dan sekarang, kau telah menanam budi pula kepada guruku.
Bagaimana mungkin kalau aku malah mengejekmu?"
"Ya! Ya, aku tahu kau bercanda," sambut Seno,
namun bibirnya masih merengut kesal
Dewi Pedang Halilintar beringsut mendekati
Kemuning. Luka dalam nenek itu sudah tak membahayakan jiwanya lagi. Beberapa
waktu lalu, Pendekar
Bodoh telah membantu mengatasi luka dalam si nenek.
"Kalau bicara di hadapannya, kau jangan ceplas-ceplos!" tegur Dewi Pedang
Halilintar, berbisik di
telinga Kemuning.
"Setelah memperhatikan wajahnya. Hik hik....
Aku juga ingin tertawa, tapi ku tahan. Hik hik hik...."
Mendengar bisikan itu, Kemuning malah tertawa lebar. Badannya sampai terbungkuk-
bungkuk. Agaknya, Kemuning amat mudah melupakan peristiwa
yang baru dialaminya. Perbuatan Cangkul Sakti yang
tak senonoh sepertinya telah hilang dari benak Kemuning.
Bibir Seno makin merengut. Bola matanya
mendelik menatap wajah Kemuning. Tapi, hal itu justru membuat raut wajahnya
makin tampak menggelikan. Dewi Pedang Halilintar pun tak dapat lagi menahan
tawanya. "Uuuhhh...! Seballl...!" sungut Seno. "Orang waras biasa menertawakan orang
gila. Sebaliknya, orang
gila juga biasa menertawakan orang waras. Sekarang
aku melihat dua orang menertawakan aku. Karena aku
merasa tak gila, berarti merekalah yang gila!"
Sindiran Pendekar Bodoh tepat mengenai sasaran. Dewi Pedang Halilintar dan
Kemuning langsung
menghentikan tawanya.
"Silakan kalau kalian hendak berangkat ke
Pondok Matahari sekarang," ujar Pendekar Bodoh kemudian. "Aku juga hendak
meninggalkan tempat ini.
Ada banyak urusan yang harus segera kuselesaikan."
"Kau marah?" tanya Kemuning, tak main-main
lagi. "Aku tak akan marah pada orang yang kucin...
eh...." "Eh... apa?"
Pendekar Bodoh yang merasa hampir kelepasan
bicara tampak memerah wajahnya. Namun, cepat dia
alihkan pembicaraan. "Aku harus segera membuat
perhitungan dengan Setan Selaksa Wajah! Aku juga
harus mencari Ksatria Seribu Syair!"
"Ksatria Seribu Syair?" sergap Dewi Pedang Halilintar tampak kaget.
"Ya. Kenapa dengan dia" Bukankah tempo hari
sudah kukatakan bila Ksatria Seribu Syair adalah
ayahku" Namun, walau begitu, aku punya perhitungan
tersendiri dengan orang itu. Dia telah membuat Ibuku
hidup sengsara!"
Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning terdiam.
Mendengar nada ucapan Pendekar Bodoh yang meninggi, sedikit-banyak mereka dapat
mengetahui apa yang tengah dirasakan si pemuda saat itu.
"Maaf...," ujar Dewi Pedang Halilintar. "Sering
kali harapan sangat jauh berbeda dengan kenyataan.
Banyak kejadian atau peristiwa di dunia ini yang
membuat manusia jadi kecewa. Tapi kukira, kau akan
dapat menerima kenyataan ini dengan dada lapang,
Seno. Ksatria Seribu Syair memang bukan orang baikbaik.... Dia suka mengumbar
nafsu buruknya kepada
gadis-gadis yang tak berdosa!"
"Eyang!" tegur Kemuning, keras sekali. "Maaf,
Eyang. Bukan aku hendak mengajari Eyang. Tuduhan
yang tidak ada bukti adalah fitnah. Dan kukira, memfitnah adalah perbuatan yang
amat jahat!"
Dewi Pedang Halilintar tersenyum tipis. Ditatapnya lekat-lekat wajah Kemuning
seraya berkata,
"Lebih dari separo usiamu kau selalu bersamaku, Kemuning. Aku mengenal watak dan
tabiatmu dengan
baik. Aku pun yakin bila kau juga mengenal watak dan
tabiatku dengan baik. Selama bersamaku, pernahkah
kau melihat aku menjatuhkan fitnah kepada orang
lain?" Kemuning menunduk.
Seno membuka telinga lebar-lebar, mendengarkan ucapan Dewi Pedang Halilintar
dengan seksama.
Dia memang perlu mengorek keterangan perihal Ksatria Seribu Syair sebanyak-
banyaknya. "Walau sikapmu terhadap Seno tampak acuh
tak acuh bahkan terkesan meremehkan, tapi aku tahu
kalau kau sebenarnya menaruh hati kepadanya," lanjut Dewi Pedang Halilintar.
"Mendengar kata-katamu
tadi, aku pun dapat menduga apa yang ada di hatimu.
Kau tentu tak sampai hati atau mungkin sangat tak


Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya bila orang yang kau cintai sesungguhnya adalah keturunan orang
jahat...."
Begitu blak-blakan Dewi Pedang Halilintar.
Pendekar Bodoh tersinggung, tapi dia dapat menahan
diri. Lain lagi dengan Kemuning....
"Eyang...!" jerit si gadis dengan mata berkaca-
kaca. "Eyang jangan berkata seperti itu. Aku...."
"Ah! Sudahlah, Kemuning...," sela Pendekar
Bodoh. "Tak perlu berkata kasar kepada gurumu. Jangan buat dosa. Aku tahu siapa
diriku. Untuk apa dibela" Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Mungkin peribahasa itulah yang membuatmu tak enak
hati. Tapi, harap kau tahu, Kemuning. Kalau pun kelak ayahku memang terbukti
sebagai orang jahat, kau
akan tetap mengenalku sebagai pribadi Seno yang sekarang ini. Orang jahat tak
selamanya mempunyai keturunan jahat. Orang berbudi luhur tak selamanya
mempunyai keturunan orang yang baik budi pula. Dunia ini ada banyak macam
keanehan, Kemuning. Tapi,
semuanya tak lepas dari kehendak Tuhan juga. Harap
kau mengerti dan menyadarinya.... Aku bukan orang
jahat, dan tak pernah berpikir dalam benakku untuk
berbuat jahat. Kau tentu tahu itu, Kemuning...."
Pendekar Bodoh bicara cukup panjang. Katakata yang keluar dari mulutnya
terdengar runtut. Ketika dia berkata penuh kesungguhan itulah, wajahnya
tak lagi tampak kebodoh-bodohan. Namun, hal itu justru membuat air mata Kemuning
mengalir deras bagai
bendungan yang jebol.
Kemuning sangat terharu mendengar kata-kata
Pendekar Bodoh. Walau dia membisu seribu bahasa,
tapi dalam hatinya telah tercetus satu keyakinan. Siapa pun Seno, bagaimanapun
Seno, rasa hatinya terhadap pemuda itu tetap tak akan berubah ataupun berkurang
sedikit pun. Memang, sebagai manusia biasa Kemuning pun
tak dapat menipu dan mengelabui rasa hatinya sendiri.
Apalagi, si gadis masih begitu muda. Gejolak jiwa mudanya lebih berperan dalam
mengambil keputusan.
"Nek...," sebut Pendekar Bodoh kemudian, me-
natap tak berkedip wajah Dewi Pedang Halilintar.
"Sampai sekarang aku belum pernah bertemu
dengan Ksatria Seribu Syair. Tempo hari ketika aku
mengejarnya, aku kehilangan jejak. Dapatkah kau
memberiku petunjuk, Nek?"
"Sebetulnya tidak seberapa sulit untuk mencari
keterangan tentang ayahmu itu. Saat ini, dia sudah jarang sekali muncul dengan
memakai gelar Ksatria Seribu Syair. Tapi kalau kau mendengar gelar Hantu Pemetik
Bunga, itulah dia."
"Hantu Pemetik Bunga?" kesiap Seno. Julukan
yang didengarnya sudah jelas menyiratkan suatu tindak kejahatan.
"Ya! Dalam setiap kemunculannya, dia selalu
mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih."
"Hah"! Apa, Nek" Topeng baja putih?"
"Aku tahu kau terkejut. Kau pasti telah mendengar julukan Ksatria Topeng Putih,
atau mungkin malah sudah pernah berjumpa langsung dengan orang
itu. Ketahuilah Seno, Ksatria Seribu Syair, Hantu Pemetik Bunga, dan Ksatria
Topeng Putih adalah tiga julukan atau gelar yang hanya dimiliki oleh satu orang
saja. Ayahmu itu!"
"Tak mungkin...," desis Seno, menggelenggeleng.
"Apanya yang tak mungkin" Sebenarnya, aku
punya dendam permusuhan terhadap Hantu Pemetik
Bunga. Dan, aku pernah membuka topeng lelaki itu.
Aku tak salah lihat. Dia memang Darma Pasulangit
atau Ksatria Seribu Syair!" (Tentang peristiwa yang dialami oleh nenek ini, bisa
diikuti pada serial Pendekar
Bodoh dalam episode : "Ratu Perut Bumi").
"Ah! Benarkah itu, Nek?" sahut Seno, masih
meragu. "Untuk apa aku berbohong" Apa untungnya
aku memberimu pengertian yang menyesatkan?"
"Tapi..., aku mengenal Ksatria Topeng Putih sebagai seorang pendekar budiman.
Dia telah banyak
menolongku. Bahkan, tadi pagi dia memberiku banyak
sekali nasihat. Aku tak percaya kalau dia orang jahat...."
"Kau tak percaya, itu hakmu. Aku tak akan
memaksamu untuk percaya. Aku hanya mengatakan
apa yang kuketahui. Namun... kalau kau menganggap
Ksatria Seribu Syair adalah orang yang berbeda dengan Ksatria Topeng Putih
ataupun Hantu Pemetik
Bunga, pernahkah kau melihat wajah mereka?"
Seno menggeleng. "Aku tak tahu bagaimana rupa ayahku. Aku pun tak tahu bagaimana
wajah Ksatria Topeng Putih. Memang benar aku telah beberapa
kali bertemu dengan Ksatria Topeng Putih, tapi aku
tak dapat melihat wajahnya karena dia selalu mengenakan topeng...."
"Nah! Di situlah letak kuncinya. Dia selalu
mengenakan topeng karena tak mau wajahnya dikenali
orang. Mungkin dia masih merasa sebagai Ksatria Seribu Syair yang terkenal
sebagai pendekar budiman.
Kalau dia orang baik-baik, kenapa malah menyembunyikan jati dirinya" Aku yakin,
kau pasti belum mengenal sama sekali orang itu! Karena memang dia bermaksud
menyembunyikan jati dirinya kepadamu"
Pendekar Bodoh terdiam. Kali ini dia dapat merasakan kebenaran kata-kata Dewi
Pedang Halilintar.
Oleh karena itu, tatapan Seno jadi beringas. Sinar matanya berkilat-kilat dengan
segudang hawa amarah di
hati. "Jahanam!" geram si pemuda. "Dasar serigala
berbulu domba! Di depanku kau selalu memperli-
hatkan sikap baik. Tapi..., siapa sangka kalau kau seorang durjana! Keparat!"
Seno berteriak marah seakan melihat Ksatria
Seribu Syair berada di hadapannya. Tak kuasa Seno
menekan perasaannya yang galau dan kalut tak karuan. Dia bangkit dari duduknya,
lalu berkelebat pergi
dengan meninggalkan suara,
"Jahanam! Sampai ke ujung langit pun, aku
akan terus mengejarmu!"
Pendekar Bodoh memang terlalu lugu untuk
dapat menerima kenyataan itu. Jalan pikirannya terlalu sederhana. Hingga, begitu
mudahnya dia larut dalam rasa benci dan dendam.
"Seno...!" seru Kemuning dengan air mata masih menganak sungai.
Tapi, Pendekar Bodoh tak mau peduli. Dia terus
berlari dan terus berlari....
"Seno...!" teriak Kemuning lagi seraya meloncat
bangkit untuk mengejar.
"Tak perlu!" cegah Dewi Pedang Halilintar. "Kita
harus segera sampai ke Pondok Matahari!"
Kemuning terpaku menatap wajah ketus gurunya. Dan, semakin menjadi-jadilah
tangis gadis itu.
Walau Kemuning punya sifat keras kepala dan sering
tak mau peduli pada urusan orang lain, tapi apa yang
baru dilihat dan didengarnya sanggup memukul telak
perasaan hatinya. Membuat dia jadi amat sedih dan teramat sedih....
*** 5 Di bawah siraman sinar mentari pagi, barisan
pemuda berseragam putih-biru tampak berjalan menuju kaki Bukit Pralambang.
Mereka bersenjata lengkap
seperti hendak mengawali sebuah pertempuran besar.
Debu mengepul tebal seiring derap langkah yang
membuat sunyi terpecah
Pemimpin mereka adalah seorang lelaki berperawakan kekar, mengenakan pakaian
putih-kuning dengan baju luar seperti jubah berwarna merah. Lelaki
itu berumur sekitar lima puluh tahun. Berwajah halus
tampan. Matanya menatap lurus ke depan, amat jarang terkedipkan.
Dia Aji Pamenak, ketua Partai Naga Timur! Aji
Pamenak menunggang kuda putih. Di kanan-kirinya
berjajar kuda lain yang ditunggangi enam pemuda berpakaian ketat putih-kuning.
Salah seorang di antaranya membawa umbul-umbul biru bergambar seekor
naga yang disulam dengan benang emas. Itulah simbol
Partai Naga Timur!
Sekitar dua ratus anggota partai yang berjalan
di belakang, tak tahu sama sekali apa maksud Aji Pamenak mengajak mereka
berkumpul di kaki Bukit Pralambang. Di sepanjang perjalanan, hati mereka
senantiasa tergeluti berbagai tanda tanya. Tapi, mereka tak
berani kasak-kusuk. Wibawa Aji Pamenak memang
mampu menciutkan nyali para pemuda anggota partai
yang dipimpinnya.
Di tempat lain, pada waktu yang hampir bersamaan, tiga kelompok barisan pemuda
juga tampak bergerak menuju ke kaki Bukit Pralambang sebelah
timur. Masing-masing barisan itu berseragam putih-
hijau, putih-merah, dan putih-hitam.
Tiga umbul-umbul dibawa salah seorang dari
mereka, yang menunggang kuda. Umbul-umbul itu
semuanya bergambar naga tersulam dari benang emas.
Hanya saja, kain umbul-umbul berbeda warna, yaitu
hijau, merah, dan hitam.
Barisan pemuda yang juga bersenjata lengkap
itu adalah para anggota Partai Naga Barat, Partai Naga
Selatan, dan Partai Naga Utara. Aji Baguskara, Aji
Kembarapati, dan Aji Rangsang yang menjadi ketua
masing-masing partai tampak menunggang kuda di
depan barisan. Anehnya, seperti Aji Pamenak, ketiga lelaki gagah itu tatapan matanya sama-sama
tertuju lurus ke
depan dan nyaris tak pernah berkedip. Jika diperhatikan dengan seksama, dapat
dilihat bila keadaan mereka sangatlah tidak wajar.
Memang, mereka telah terkena pengaruh kekuatan gaib Pusaka Pedang Naga yang
sanggup membelokkan jalan pikiran mereka. Pusaka Pedang Naga adalah sebuah
senjata bertuah andalan Pendekar Naga
Jala Pedang Jaring Sutra 1 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Bende Mataram 37
^