Pencarian

Perintah Dari Alam Gaib 2

Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib Bagian 2


Apa yang terjadi pada manusia terkadang
karena salahnya sendiri
Baik dan buruk datangnya dari Sang Takdir
Lalu takdir punya siapa"
Alam adalah tempat berguru tempat ber-
tanya Apa yang menjadi keresahan hati karena terlalu banyak bicara menduga-duga
Keinginan terkadang selalu tidak sesuai
dengan kenyataan
Itu tandanya manusia adalah makhluk yang
lemah! Mata Iblis!
Sesuatu yang pergi tidak mungkin kembali
Sesuatu yang hilang jangan cari pengganti
Salahnya langkahmu tidak perlu disesali
Apalagi sampai membunuh diri!
Mata Iblis sempat tertegun mendengar kata-
kata yang diucapkan Manusia Topeng. Tiba-tiba
saja Mata Iblis menangis tersedu-sedu.
"Diriku ini memang bodoh! Sudah hampir
tua bangka masih kena dikadali! Apakah manusia
sepertiku ini masih layak hidup?"
"Tentu saja kau masih sangat layak untuk
hidup. Orang sudah pikun yang giginya sudah ha-
bis semua, yang jalannya bungkuk seperti udang
kering saja masih boleh hidup. Kehidupan ini terus
berjalan sampai takdir dan kematian datang men-
jemput. Tapi jika kau mau tahu hidup ini sebenarnya ada dua!"
"Apa maksudmu?" tanya Mata Iblis.
"Maksudku tidak berguna dan hidup tidak
punya guna sama sekali! Seperti kau, kupikir hi-
dupmu tidak berguna!"
"Apa" Kau berani mengatakan hidup tidak
berguna" Apakah karena aku telah kehilangan
anuku!" tanya Mata Iblis marah.
"Bukan, bukan karena kau kehilangan
anumu! Yang kumaksud dengan hidup berguna
adalah bila hidup seseorang itu dipenuhi dengan kebajikan, sering menjaga
lidahnya dari perkataan-perkataan yang tidak perlu. Suka menolong
orang yang benar-benar membutuhkan pertolon-
gan dan penuh rasa cinta terhadap sesama manu-
sia dan sesama makhluk Tuhan...!"
"Kalau hidup yang tidak berguna bagaimana
menurutmu?" potong Mata Iblis kelihatan mulai tertarik.
"Hidup yang tidak berguna bila seseorang
terlalu mementingkan diri sendiri, tamak, som-
bong, pelit dan besar kepala. Di dalam hatinya tidak terdapat jiwa kasih sayang,
ia cenderung membuat kerusakan dimana-mana. Orang seperti
ini benar-benar tidak disukai Tuhan!"
"Berarti hidupku memang tidak berguna."
ucap Mata Iblis seakan putus asa. "Aku terlalu mementingkan diri sendiri, pelit
dan terkadang ada rasa sombong sedikit terhadap apa yang kumiliki!
Sekarang aku tidak punya anu, harapanku untuk
hidup kecil sekali! Rasanya hari ini kau akan menjadi saksi atas kematian yang
kuperbuat sendiri!"
kata laki-laki berambut gondrong ini.
"Mata Iblis! Sebelum kau mati dengarkanlah
kata-kataku!" cegah Manusia Topeng. "Jika kebai-kanmu masih sedikit, mengapa kau
tidak mena- nam kebaikan di usiamu yang senja. Kau bisa me-
nolong orang lain, kau bisa membantu orang-
orang yang lemah. Lagipula membunuh diri terma-
suk perbuatan yang dibenci Tuhan!" Mata Iblis melotot. "Mengapa dibenci" Aku
membunuh diriku sendiri, bukan orang lain!" seru kakek buta ini sambil melotot.
"Kalau kau kutanya siapa yang mencipta-
kan dirimu?" tanya Manusia Topeng. Ia hampir tidak dapat menahan tawa melihat
kebodohan ka- kek sakti itu. "Yang menciptakan aku" Kalau tidak salah
bapak sama emakku yang sudah almarhum!" ja-
wab Mata Iblis.
"Yang menciptakan kau adalah Tuhan yang
telah menciptakan alam ini! Almarhum ayah dan
ibumu itu hanya main kapal-kapalan saja. Tidak
lebih! Demikian juga yang menciptakan roh adalah Tuhan. Kalau semuanya merupakan
pemberian Tuhan, manusia mana yang berhak menyakiti diri
sendiri?" "Oh, jadi membunuh diri pun tidak boleh"!
Lalu apa yang dapat kukerjakan?"
"Bukankah kau telah kehilangan anumu?"
tanya Manusia Topeng. Mata Iblis anggukkan ke-
pala. "Sesuatu tidak akan hilang terkecuali ada seseorang yang mengambilnya.
Sesuatu yang hilang berarti berpindah tempat! Kau tentu saja masih dapat
menuntut balas pada orang yang telah
mengambil anumu itu?"
Wajah mata Iblis nampak menegang. "Orang
yang membuatku sengsara adalah Ratu Leak. Be-
nar katamu aku harus menuntut balas!" dengus Mata Iblis. "Kau begini baik
padaku, siapakah kau yang sebenarnya Manusia Topeng?" tanya Mata Iblis penuh
rasa terima kasih.
"Ha ha ha...! Aku masih manusia juga."
"Aku ingin menjadi muridmu!" kata Mata Iblis, tiba-tiba ia menjatuhkan diri dan
berlutut. "Weit, jangan!" Manusia Topeng buru-buru mencegah dan menarik Mata Iblis hingga
berdiri kembali. "Mengapa kau menolak" Apakah karena
aku manusia hina?"
"Jangan suka berburuk sangka! Aku tidak
mau menjadi gurumu karena kulihat ilmumu su-
dah tinggi, kita sudah sama-sama tua. Yang diatas dan di bawah sudah sama-sama
beruban! Lagipula
tidak ada ilmu yang harus kau korek dariku!"
Mendengar ucapan Manusia Topeng, untuk
pertama kalinya Mata Iblis tertawa terbahak-
bahak. "Bagaimana kalau kita bersahabat" Sahabat yang baik tentunya!"
"Aku setuju!" sahut Manusia Topeng. "Kalau kau sudah berikrar aku ini sahabatmu
tentu kau setuju membantuku bukan?" pancing Manusia
Topeng cerdik. "Membantu sahabat yang kesusahan tentu
tidak ada salahnya! Katakanlah, jika aku mampu
tentu akan kubantu!" sahut Mata Iblis masih dengan tertawa-tawa.
ENAM "Seperti kukatakan dalam tanduk sakti itu
tersimpan kesaktian Pendekar Blo'on, Dewi Keru-
dung Putih dan juga Si Buta Mata Kejora! Aku
sendiri tidak mampu memegang tanduk itu karena
aku tidak memiliki sarung 'Sutra Kencana'. Untuk mempererat persahabatan kita,
kuharap kau mau
membawakan Tanduk itu menjumpai Pendekar
Blo'on." "Aku sering mendengar kau menyebut Pen-
dekar Blo'on. Siapakah orang yang kau maksud-
kan itu?" tanya Mata Iblis ingin tahu.
"Pendekar Blo'on adalah seorang pemuda
gagah, rambutnya merah seperti rambut jagung.
Orangnya kocak dan konyol, agak telat mikir sedikit, mendekati goblok tapi
cerdik. Kalau sedang
bertarung tingkahnya seperti monyet bunting yang hendak melahirkan!"
"Ha ha ha! Kau ini ada-ada saja sahabatku!
Tapi kurasa aku menyukai pemuda seperti itu! Ka-
sihan sekali dia. Siapa yang telah membuatnya begitu menderita?" tanya Mata
Iblis. "Yang membuatnya menderita adalah orang
yang telah mencopoti perabotanmu juga!" jelas Manusia Topeng.
"Ratu Leak!" desis Mata Iblis dengan mata mendelik. Selalu saja timbul
kemarahannya bila
seseorang menyebut nama yang sangat dibencinya
itu. "Lagi-lagi perempuan keparat itu bikin susah orang lain. Rasanya Pendekar
Blo'on hampir memiliki penderitaan yang sama denganku. Kami sena-
sib, aku tidak ragu menyerahkan tanduk ini pa-
danya!" tegas kakek tua itu mantap. Lega rasanya hati Manusia Topeng mendengar
ucapan Mata Iblis. Tapi di sudut hatinya ia pun merasa ragu, karena ia tidak
tahu dimana Pendekar Malang itu
saat ini berada.
"Tunggu apa lagi, mari kita berangkat!" desak Mata Iblis terkesan tidak sabaran.
Belum sempat Manusia Topeng menyahut.
Tiba-tiba terasa ada sambaran angin yang cukup
keras. Lalu terdengar seruan seseorang....
"Tunggu!"
Manusia Topeng dan Mata Iblis langsung
menoleh ke arah datangnya suara. Tidak jauh di
hadapan mereka tampak berdiri seorang kakek tua
berbadan tegap berpakaian putih, berjambang ser-
ta berambut serta putih. Kumisnya yang menutup
kedua bibir orang ini pun berwarna putih.
Manusia Topeng memperhatikan kakek di
depannya dengan kening berkerut dan mata seten-
gah terpejam. Mata Iblis yang berdiri di samping Manusia Topeng langsung maju
beberapa langkah
ke depan. "Kau siapa lagi, orang tua! Apakah anak
buah Ratu Leak atau kaki tangannya" Percayalah
padaku lekas kau menyingkir atau aku dan saha-
batku ini akan membunuhmu!!" ancam Mata Iblis serius. Yang dibentak sunggingkan
seulas senyum. Melihat mata hitam yang putih seluruhnya. Ia me-
rasa yakin inilah orangnya yang berjuluk Mata Iblis. Orang itu memegang tanduk.
Jadi sudah jelas tanduk sakti itu yang dimaksudkan oleh Si Bayang Bayang.
"Mata Iblis dan sahabatnya yang memakai
topeng seperti orang gila! Dan yang gila cuma Manusia Topeng saja! Kalian hendak
kemana?" tanya si kakek yang tidak lain adalah Penghulu Siluman Kera Putih.
"Sahabat Manusia Topeng, setan ini sudah
mengataimu seperti orang gila sekarang malah
bertanya kita hendak ke mana" Apakah menurut-
mu kita pantas menjawab pertanyaan tua bangka
bertampang kunyuk ini?" teriak Mata Iblis dengan perasaan tidak senang. Mata
Iblis melangkah ma-ju, ia hendak lepaskan pukulan maut, tapi Manu-
sia Topeng sudah mencegahnya.
"Sabar, tunggu dulu!" seru kakek yang tidak pernah meninggalkan ketapel dan
kompeng itu. "Naga-naganya aku seperti mengenalnya.
Yieaaah... tidak salah! Di dunia ini tua bangka
yang mempunyai tampang seperti kunyuk cuma
dia seorang. Penghulu Siluman Kera Putih, benar-
kah dugaanku ini?" tanya Manusia Topeng.
Yang ditanya tersenyum masam. "Memang
aku orangnya. Ah... Manusia Topeng! Setelah se-
kian lama kau tidak menampakkan diri sekarang
kau muncul masih dengan memakai topeng pula.
Sungguh kau manusia palsu yang pemalu!" cibir Penghulu Siluman Kera Putih sambil
tertawa. "Apakah kau mengenalnya, sahabat Manu-
sia Topeng" Katakan terus terang, mataku sudah
gatal untuk menghajarnya!"
"Ha ha ha! Aku kenal padanya, jangan kau
hajar! Jika dia mati sulit dicari pengganti. Lebih baik kita tanya apa
keperluannya menjumpai kita!"
Tanpa menunggu lebih lama Barata Surya
segera menjawab: "Aku sedang bingung memikirkan nasib muridku yang seperti
harimau kehilan-
gan taringnya. Kulihat Mata Iblis memegang tan-
duk sakti! Perlu kalian ketahui di dalam tanduk
itu tersimpan kesaktian muridku Pendekar Blo'on.
Sekarang aku meminta pada kalian agar ikut den-
ganku ke Lembah Nirwana!" jelas Barata Surya.
Mata Iblis dan Manusia Topeng saling pan-
dang. "Untuk apa?" tanya Mata Iblis curiga. "Tanduk ini akan kami bawa untuk
seseorang yang bergelar Pendekar Blo'on juga! Kau jangan coba-
coba menipu kami!" bentak si kakek buta.
"Di dunia ini orang yang bergelar Pendekar
Blo'on cuma muridku saja. Mengapa kau masih
meragukannya, Mata Iblis?"
"Aku tergantung bagaimana pendapat Ma-
nusia Topeng. Jika di kolong langit ini Pendekar Blo'on memang cuma itu, tentu
aku bersedia ikut
denganmu. Karena tujuan kami pun ingin men-
gembalikan kesaktian Pendekar Bodoh yang kena
dikadali oleh Ratu Leak!"
Mata Iblis memandang pada Manusia To-
peng seakan menunggu pendapat orang itu.
"Aku ingin bertanya bagaimana muridmu
bisa sampai ke Lembah Nirwana" Bukankah tem-
pat itu diselimuti tabir gaib berlapis-lapis...?"
Barata Surya sempat kaget juga melihat ke-
nyataan Manusia Topeng ternyata mengetahui se-
luk beluk daerah itu.
"Yang membawa muridku kesana adalah Si
Bayang Bayang!"
"Si Bayang Bayang" Benarkah manusia se-
tengah gaib itu masih ada?" tanya Manusia Topeng kaget. "Begitulah
kenyataannya!"
"Maksudmu Si Bayang Bayang menculik
muridmu?" "Bukan menculik cuma di pinjam sebentar!"
"Dan manusia seperti Si Bayang Bayang ti-
dak sanggup menyembuhkan muridmu" Padahal
nama besarnya sudah sangat lama aku dengar!"
"Kurasa ia mampu mengembalikan kesada-
ran dan memunahkan racun yang mengeram di
tubuh muridku, persoalannya cuma tinggal waktu
saja!". tegas Penghulu Siluman Kera Putih.
"Hmm...!" Mata Iblis mengguman tidak jelas.
"Ayolah sebaiknya sekarang juga kita berangkat!"
perintah Manusia Topeng. Mata Iblis dan Barata
Surya sama anggukkan kepala. Sekejap saja tubuh
mereka berkelebat lenyap dari pandangan mata.


Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka kelihatannya sama-sama mengerahkan il-
mu lari cepat yang mereka miliki. Hingga gerakan mereka sekilas bagai gerakan
setan bergentayangan.
*** "Masih jauh lagikah tempat itu dari sini,
kakak!" tanya gadis berpakaian ungu itu sambil menyeka keningnya yang basah
karena keringat.
Gadis baju putih yang berlari cepat di depannya
menoleh ke belakang sebentar tanpa mengurangi
kecepatan larinya.
"Ada apa adik kecil?" sahut gadis baju putih yang pada sangkul rambutnya
berhiaskan anggrek
kala putih. "Aku sudah mulai letih!"
"Apakah kau ingin istirahat" Tebing Akherat tidak begitu jauh lagi dari sini.
Menurut Guru, kita mesti mencapai tempat itu sebelum matahari ter-benam. Ular
Kepala Empat akan lebih ganas bila
malam hari!"
"Tapi aku sudah sangat letih sekali, kakak!"
keluh gadis berkulit putih bermata sipit ini dengan rengekan manja. Gadis di
depannya dan tampak
lebih dewasa dan tidak kalah cantiknya terpaksa
hentikan langkah. Ia melihat adik seperguruannya sudah terduduk sambil memegangi
lututnya. "Adikku Bunga Seloka! Untuk pertama ka-
linya kita meninggalkan Lembah Nirwana. Sebe-
narnya belum waktunya kau meninggalkan Lem-
bah. Tapi kau tetap ngotot hendak ikut juga! Tidak biasanya kau bertindak
seperti ini!"
"Kakak, bukankah pemuda itu patut kita
selamatkan?" jawab gadis bermata sipit yang ber-nama Bunga Seloka itu merdu.
"Memang! Menolong orang lain yang dalam
kesusahan sudah menjadi kewajiban semua peng-
huni Lembah Nirwana. Tapi benarkah karena ala-
san itu kau ikut melakukan perjalanan bersama
aku?" Bunga Seloka tundukkan wajahnya yang kemerahan. "Kakak, engkau jahat
sekali. Menuduh orang yang bukan-bukan...!" Bunga Seloka jadi cemberut.
"Hi hi hi! Kukira engkau sedang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pemuda
itu. Ingat adik, umurmu belum pun genap delapan belas
tahun!" kata gadis baju putih yang lebih akrab dengan panggilan Bunga Bidadari.
Dialah gadis paling cantik diantara gadis-gadis yang berada di Lembah Nirwana. Seraya
berpura-pura memandang ke jurusan lain. Sedangkan wajah Bunga Se-
loka semakin bertambah merah seperti tomat ma-
tang. "Kau jahat! Aih, kakak! Tidak bolehkah seseorang jatuh cinta?"
"Tentu saja boleh. Tapi kau belum wak-
tunya!" "Aku mengerti. Yang tidak dapat kumengerti bagaimanakah rasanya jatuh
cinta itu?"
"Hi hi hi! Kau bertanya terlalu jauh. Lebih baik kita teruskan perjalanan
kita!!" ajak Bunga Bidadari. Bunga Seloka gelengkan kepala. Adik seperguruannya
yang satu ini memang teramat man-
ja. Walau terkadang ia tegas dalam pendirian. Sikapnya lemah lembut dan
penyabar, tidak heran
jika saudara-saudara seperguruan yang lain me-
nyukainya. "Aku tidak akan ikut kakak jika kakak tidak mau menerangkan padaku bagaimana
rasanya jatuh cinta!" kata Bunga Seloka sambil bersungut-sungut. Bunga Bidadari
tersenyum-senyum. Ia
sendiri merasa belum pernah jatuh cinta dengan
laki-laki mana pun. Jika Bunga Seloka bertanya
tentang yang satu itu tentu sulit bagi gadis ini untuk menjawabnya. Sehingga
jawaban Bunga Bida-
dari itu pun jadi ngawur.
"Rasanya jatuh cinta itu, hmmm...! Kepala
sakit berdenyut, hati gatal-gatal gitu. Lalu kalau perasaan cinta semakin
menjadi-jadi, mulailah rasanya ingin berak-berak dan kencing melulu! Hi hi
hi...!" "Ihh... kakak jahat sekali. Masa' rasanya jatuh cinta seperti itu"!"
Bunga Seloka mendelik sambil cemberut.
"Akh... aku tidak tahu yang sebenarnya.
Sudahlah, sekarang lebih baik kita teruskan perjalanan ini!" ajak Bunga
Bidadari. Tanpa berkata apa-apa, Bunga Seloka sege-
ra mengikuti kakak seperguruannya yang telah
berlari mendahuluinya.
Kira-kira sepemakan sirih, maka sampailah
kedua gadis yang cantik-cantik ini di tebing Bukit Petir. Tebing itu sebenarnya
lebih dikenal dengan nama Tebing Akherat. Suatu tempat yang memiliki
kedalaman lebih dari dua ratus batang tombak.
Sulitnya di tebing itulah Bunga Arum Dalu tum-
buh. Sementara di samping tumbuhnya bunga
terdapat sebuah lubang gelap yang besar. Di da-
lam lubang gelap itu terdapat dua bintik sinar
kuning menyala. Dan penghuninya adalah Ular
Berkepala Empat.
"Tempat ini mengerikan sekali, aku men-
cium bau amis yang begitu menusuk! Dan jurang
itu... hmmm... rasanya gemuruh angin tiada henti-hentinya menampar bibir
tebing!" desis Bunga Seloka dan matanya yang sipit itu semakin menyipit.
Sedikit pun Bunga Bidadari tidak menjawab. Den-
gan hati-hati ia mendekati bibir tebing. Tengkuknya tiba-tiba meremang berdiri.
"Ini adalah tantangan pertama yang cukup
berat bagi kita! Kita tidak mungkin dapat menuru-ni tebing maut itu!" kata Bunga
Bidadari. "Bukankah kita ada membawa Tali Alas Pi-
tu?" tanya Bunga Seloka. Tali alas pitu panjangnya tidak lebih dari tiga tombak.
Tapi ia dapat mulur (memanjang) dan punya kelenturan yang luar biasa. "Dua ratus
tombak ke bawah mungkin bisa kita jangkau dengan tali ini. Tapi tali Alas Pitu
tidak dapat menahan pagutan gigi Ular Berkepala
Empat!" jelas si cantik Bidadari.
"Nggiiiiingkh...!"
"Suara apa itu, kakak?" tanya Bunga Seloka saking kagetnya.
Bunga Bidadari memandang tegang. "Itulah
suara Ular Berkepala Empat! Tampaknya ia sudah
mengendus kehadiran manusia di sini!"
Baru saja Bunga Bidadari selesai bicara, ti-
ba-tiba saja tanah yang mereka pijak bergetar hebat seperti dilanda gempa.
"Celaka!" Bunga Seloka belalakkan mata
dan wajahnya jelas-jelas tidak dapat menyembu-
nyikan perasaan paniknya. Dalam suasana seperti
itu justru Bunga Bidadari terkesan lebih tenang
dan dewasa. "Tebing bukit ini rasanya mau runtuh. Bagaimana, kakak"!" tanya
Bunga Seloka bingung.
"Tenang saja, Ular Kepala Empat tidak
mungkin meninggalkan sarangnya. Getaran yang
terjadi ini akibat gerakan ular itu!"
"Apakah kita turun ke bawah sekarang?"
tanya Bunga Seloka.
"Tidak ada yang harus ditunggu! Kematian
demi tugas bagiku lebih mulia daripada kembali ke Lembah Nirwana dengan membawa
malu besar!"
tegas gadis bersanggul itu mantap. Melihat ke-
sungguhan kakak seperguruannya, Bunga Seloka
jadi lebih serius.
"Aku siap membantumu, kakak!" Bunga Bidadari anggukkan kepala. Ia melepas tali
Alas Pitu sepanjang tiga tombak. Tali itu kemudian di-ikatkannya pada sebatang
pohon jambu batu yang
terdapat tidak begitu jauh dari bibir tebing.
"Bunga Seloka, kau berjaga-jaga di dekat ta-li ini. Aku khawatir jika ada
sesuatu yang tidak dingin mengganggu pekerjaan kita!" pesan Bunga Bidadari.
"Kakak, mana mungkin aku hanya berdiam
diri di sini, sementara kakak di bawah sana ber-
juang menempuh bahaya! Bukankah lebih baik
aku menyertaimu?"
"Jangan jadi orang bodoh! Jika kita berdua
berada di bawah, bagaimana nanti kalau muncul
orang jahat dan memutuskan tali ini. Kita berdua bisa celaka!"
"Betul juga! Baiklah aku akan menjaga dis-
ini. Aku akan menarikmu ke atas bila ada bahaya
yang mengancammu!"
Bunga Bidadari acungkan jempolnya. Lalu
ia memegang ujung Tali Alas Pitu. Setelah itu ia keluarkan senjata aneh yang
berbentuk gaitan tetapi memiliki ketajaman pada kedua sisinya.
"Kau siap?"
"Yaaa...!" jawab Bunga Seloka mantap.
Wuuut! Wiiiing! Dan melayanglah tubuh Bunga Bidadari
melampaui bibir tebing. Ketika Bunga Bidadari
hampir mencapai Bunga Arum Dalu yang melekat
erat di pertengahan tebing. Dari dalam lubang setinggi orang dewasa menggerung
suara Ular Kepala Empat. Dari dalam lubang itu sekonyong-konyong
menyembur uap putih berbau amis. Bunga Bida-
dari sadar betul uap yang menyembur keluar dari
dalam lubang tidak lain adalah racun yang disem-
burkan oleh ular pemangsa manusia ini. Sehingga
ia tutup pernafasannya, lalu senjata gaitan di tangan langsung ia putar hingga
menimbulkan suara
deru yang membuat bising telinga.
Racun yang menyatu dalam uap beracun
itu bubar. Di atas tebing terjadi gerakan seperti gempa. Ternyata ular itu
sekarang sudah mengeluarkan kepalanya ke depan mulut lubang. Lidah-
nya yang bercabang tiga dan berwarna biru terung bergerak-gerak liar seakan
hendak melibat.
Bunga Bidadari langsung hantamkan gaitan
panjang di tangannya. Seperti manusia saja, Ular Kepala Empat mengelak dengan
menarik kepalanya ke atas.
"Hmm, aku hanya melihat satu kepala, Tiga
kepala ular ini entah dimana?" desis Bunga Bidadari. Ia merasa kecut juga
melihat betapa besarnya ular yang harus dihadapinya. Tetapi, dia bukanlah gadis
lemah yang mudah menyerah dalam menghadapi situasi berbahaya seperti sekarang.
Melihat serangan pertamanya luput, Bunga Bidadari tiba-tiba saja berayun-ayun di
atas tali, kemudian
jungkir balik dengan gerakan yang manis. Ular
Kepala Empat menyambar punggungnya.
Wuuut! Dengan meminjam kelenturan tali yang di-
pegangnya, tubuh gadis ini melesat lebih ke atas.
Sehingga serangan itu luput dan Bunga Bidadari
menghantam mata makhluk melata itu dengan
mempergunakan gaitannya. Serangan kilat ini be-
nar-benar tidak pernah disangka oleh Ular Kepala Empat. Mata kirinya kena
ditambus gaitan Bunga.
Tidak terkirakan betapa marahnya makhluk mela-
ta itu. Sekejap tubuh serta kepalanya masuk ke
dalam lubang. Kesempatan ini tidak disia-siakan
oleh Bunga. Ia meluncur deras dengan mempergu-
nakan ayunan tali dan....
"Haaap...!!"
Breellh! "Tarik!" pekik Bunga Bidadari ditujukan pa-da adik seperguruannya. Dengan cepat
dan cemas sekali Bunga Seloka menarik Tali Alas Pitu. Ter-
nyata Bunga Arum Dalu telah berhasil diambil
oleh gadis rupawan ini.
"Kau berhasil kakak?" seru Bunga Seloka kelihatan gembira sekali.
"Bunga Putih inilah yang dibutuhkannya!"
sahut Bunga Bidadari. Dalam hati gadis ini ia
menjadi bimbang. "Semudah itukah aku menak-
lukkan Ular Kepala Empat" Padahal sudah sekian
banyak nyawa yang melayang begitu saja di mulut
ular itu" Apakah dia sebangsa siluman?"" batin-nya. Sambil berpikir Bunga
Bidadari menggu-
lung Tali Alas Pitu yang dapat melentur tidak bedanya dengan karet itu. Ia tidak
tahu kalau sejak tadi secara diam-diam Bunga Seloka memperhati-kannya.
"Kakak, mengapa sejak kau berhasil men-
gambil Bunga Arum Dalu itu kelihatannya kau ti-
dak gembira?"
"Seloka!" tegasnya serius. "Tidakkah menurutmu aneh, Bunga Arum Dalu adalah
bunga langka yang hanya berbunga seratus tahun sekali.
Menurut guru kita, Bunga ini dijaga oleh Ular Kepala Empat. Dibawah sana aku
melihat ular kepa-
la tunggal. Bagaimana aku tidak heran jika aku
merasa mudah mengalahkan Ular itu. Ini sulit
kumengerti!"
"Mengapa hal itu merisaukan hatimu! Kita
sudah mendapatkannya! Mengapa sekarang kita
tidak membawa bunga ini ke Lembah Nirwana se-
cepatnya?" usul Bunga Seloka.
"Penunggu bunga ini konon kudengar me-
minta korban bila ada seseorang mengambilnya.
Aku yang telah mengambil, aku harus bertang-
gung jawab!"
"Bertanggung jawab pada siapa?" tanya
Bunga Seloka. "Aku merasakan ada perubahan di bawah
kita! Mustahil aku dapat melarikan diri daripa-
danya!" "Jangan bodoh! Ayo lari!!" Bunga Seloka tanpa perduli lagi langsung
menarik lengan Bunga Bidadari. Di saat mereka sedang sibuk begitu ru-pa. Tiba-
tiba terjadi ledakan-ledakan keras di sisi Tebing Akherat. Tanah pun runtuh di
sana sini. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan Bun-
ga Bidadari segera berlari bersama Bunga Seloka
menjauhi bibir tebing. Dan hanya beberapa saat
saja setelah kepergian mereka, bibir tebing runtuh.
"Kakak...!" pekik Bunga Seloka di saat tubuhnya terhempas kian kemari. Bidadari
berusaha bersikap tabah. Dengan mengandalkan ilmu me-
ringankan tubuhnya ia melompat kian kemari,
hingga tubuhnya tidak sampai terhempas.
"Kiamat, kakak!" seru Bunga Seloka dengan wajah pucat dan tubuh dibasahi
keringat dingin.
"Ini bukan kiamat! Sesuatu yang sangat he-
bat sedang terjadi!" jawab Bunga Bidadari. Untuk membesarkan hati adik
seperguruannya, gadis ini
tersenyum. "Ha ha ha...! Hemm, kelancangan biasanya
membawa malapetaka! Anak-anak kurcaci yang
cantik! Kalian benar-benar berani mati mengusik
satu-satunya bunga langka di sini!" kata sebuah


Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara di tengah-tengah gemuruhnya suara tebing
yang runtuh. TUJUH Bunga Bidadari hentikan langkah. Melihat
kakak seperguruannya berhenti mau tidak mau
Bunga Seloka berhenti pula. Bidadari cepat mengi-tarkan pandangan mata ke
sekelilingnya. Saat itu ia tidak melihat apa-apa. Gemuruh suara tebing
yang runtuh semakin menggila. Hingga suasana
menjadi hingar bingar menyeramkan.
"Sebaiknya tinggalkan tempat ini, Seloka!"
seru Bunga Bidadari dengan teriakan keras. Tam-
pak Bunga Seloka jadi bingung.
"Kakak sendiri bagaimana" Bukankah se-
baiknya kita tinggalkan tempat ini bersama-
sama?" "Kuakui betapa besarnya rasa sayangmu padaku! Tapi kuharap kau mau
menyelamatkan bunga itu demi kepentingan Pendekar rambut me-
rah! Cepatlah sebelum terlambat!" perintah Bunga Bidadari setengah membentak.
"Tidak! Kita datang kesini bersama-sama,
apa-pun resikonya harus kita tanggung bersama!"
bantah Bunga Seloka tetap bersikeras.
"Kau terlalu keras kepala atau memang in-
gin mengingkari perintah guru!" teriak Bunga Bidadari. Melihat cara saudara
seperguruannya bica-ra, sadarlah Bunga Seloka bahwa Bunga Bidadari
tidak suka dibantah. Dengan berat hati gadis ber-
kulit putih bermata sipit ini terpaksa meninggalkan Bunga Bidadari. Ia berlari
secepat terbang,
dan memang patut diakui semua murid-murid
Lembah Nirwana memang memiliki ilmu lari yang
sulit dicari tandingannya.
Namun sebelum Bunga Seloka benar-benar
lenyap dari pandangan mata. Dari arah samping
kiri menderu angin kencang disertai hawa dingin
luar biasa. Angin itu menghantam si gadis. Hingga sambarannya saja membuat Bunga
Seloka terhuyung-huyung. Melihat hal ini Bunga Bidadari tidak tinggal diam. Ia
dorongkan kedua tangannya
ke arah serangan gelap yang hampir mencelakai
adiknya. Wuut! Wuut! Buuum! "Aikh...!"
Murid tertua Lembah Nirwana ini sempat
terhuyung ke belakang dua langkah. Ia pegangi
dadanya yang mendenyut sakit. Bunga Bidadari
merasa ada sesuatu yang sangat dingin dan gatal
sekali menusuk-nusuk tenggorokannya. Bunga Se-
loka memang terbebas dari ancaman maut. Akan
tetapi sekarang di depan gadis itu berdiri sesosok tubuh yang panjang luar
biasa. Apa yang dilihat
Bunga Bidadari tidak lain adalah seekor ular hi-
tam. Yang mengerikan dari makhluk ini, badannya
berbentuk ular, tiga kepalanya juga kepala ular.
Hanya satu kepala yang lain saja yang berbentuk
kepala manusia biasa.
Tiga kepala yang berbentuk ular mulutnya
terbuka lebar dengan lidah bercabang. Taring-
taringnya meranggas buas siap mencabik-cabik
tubuh yang halus itu. Satu kepala pada bagian
matanya tampak terluka dan meneteskan darah.
Bunga Bidadari ingat betul, mata itu terluka kare-na senjata gaitannya.
Sedangkan bagian kepala
yang tegak lurus sejajar dengan badannya meru-
pakan manusia, tetapi tampangnya angker, kulit
hitam. Diam menatap Bunga Bidadari dalam gelo-
ra buas ingin cepat melahapnya.
"Kau lihat hasil perbuatanmu?" dengus Ular Kepala Empat. Suaranya dingin menusuk
membuat sekujur tubuh si gadis meremang berdiri.
"Rasanya tidak kau katakan pun aku sudah
mengerti!" sahut Bunga Bidadari dengan suara bergetar.
"Hemm, Tebing Akherat yang menjadi tem-
pat tinggalku porak poranda. Bunga Arum Dalu ti-
dak mungkin pernah tumbuh lagi setelah bunga
berikut pohonnya kau cabut! Sekarang kau harus
kujadikan tumbal untuk penangkal perutku! Aku
harus membuat rumah baru, untuk itu dibutuh-
kan tenaga berganda. Jika ternyata dirimu masih
perawan suci, berarti aku juga mendapat kesak-
tian baru. Dan mungkin setahun lagi aku baru
membutuhkan korban baru!"
"Hi hi hi! Ha ha ha...!" Bunga Bidadari tertawa nyaring. Kini wajahnya tidak
memperlihatkan rasa takut sedikit pun juga.
"Kau tertawa. Apakah berarti kau sudah
siap menjadi tumbalku"!" tanya bagian kepala ular yang berbentuk wajah
mengerikan sosok manusia.
"Aku datang jauh dari Lembah Nirwana.
Mencari bunga demi menolong orang lain. Adalah
perbuatan bodoh jika aku rela mati tanpa ada
usaha menyelamatkan diri! Jawabku sudah jelas,
mungkin aku baru bisa masuk ke perutmu bila di-
riku sudah menjadi bangkai!" sahut Bunga Bidadari tegas. Jawaban ini hanya
membuat Ular Ke-
pala Empat menjadi marah.
"Kau gadis lancang, tidak tahu betapa ting-
ginya Mahameru! Kesalahan sudah begitu nyata,
tapi kau tetap mencari dalih dan keras kepala!
Hiiing...!" Ular Kepala Empat menjerit. Suaranya menyempitkan pembulu darah dan
menulikan telinga. Sekali ia meliukkan tubuhnya, maka tiga
buah lidahnya yang berjabang menyambar laksana
mata pedang yang begitu ganas serta mengelua-
rkan suara angin bersiut.
"Binatang menjijikkan!" dengus Bunga Bidadari sambil melompat menghindar. Cepat
bukan main gerakan gadis ini, namun sebelum kedua ka-
kinya menginjak tanah. Binatang sebesar dua kali pohon kelapa ini sudah
menghantam kembali dengan kepalanya yang lain. Bunga terpaksa melom-
pat lagi, ia putar gaitan panjang di tangan. Makhluk ini terus bergerak memburu
dan kelihatan- nya sudah tidak lagi menghiraukan ketajaman
senjata lawan. "Kau tidak mungkin lolos!" geram Ular Kepala Empat. Sekonyong-konyong lidahnya
terjulur memanjang dengan gerakan melipat. Jika tidak
cepat membantingkan tubuhnya dan diteruskan
dengan berguling-guling. Niscaya Bunga Bidadari
sudah tersambar jilatan makhluk mengerikan itu.
Lidah bercabang itu terus terjulur, melihat
bahaya ini Bunga Bidadari kibaskan gaitannya.
Claang! "Heh, lidah ular dibacok kok bunyinya,
clang"!" batin si gadis. Secepatnya ia jungkir balik.
Kemudian ia memainkan jurus-jurus Lembah Nir-
wana yang dikenal mempunyai banyak keanehan
ini. "Hiiiing! Hiiigkh!"
Ular Kepala Empat tiba-tiba dorongkan tiga
kepalanya ke depan sekaligus. Dalam pada itu
Bunga Bidadari demi melihat lawan kebal senjata
langsung buang gaitannya. Sebagai gantinya ia lepaskan pukulan 'Badai Langit'.
Wuuuut! Ada semacam kabut melesat dari pori-pori
Bunga Bidadari. Kabut itu langsung bergulung-
gulung menghantam habis sosok besar di depan
Bunga Bidadari. Gadis itu merasa yakin benar se-
rangan ini mampu paling tidak melukai lawannya.
Tetapi kenyataannya setelah badai kabut itu le-
nyap, Ular Kepala Empat masih tegak kokoh sete-
gar karang. "Ha ha ha! Dengan apa kau hendak menga-
kaliku" Aku adalah makhluk yang kebal senjata
kebal pukulan. Jika kau punya seribu senjata se-
ribu pukulan, cepat kau keluarkan sebelum kebu-
ru kasib!" teriak Ular Kepala Empat dengan suara lantang menggeledek.
Bunga Bidadari tidak menyahut. Kedua
tangannya lurus di bentang persis di bagian atas kepalanya. Tubuh si gadis
bergetar, bibirnya yang
mungil kemerahan tanpa polesan berkemak-
kemik. Ketika kedua tangannya merangkap sejajar
dengan ubun-ubun. Maka tubuh Bunga Bidadari
berubah mengembar menjadi banyak. Rupanya
Bunga Bidadari telah mempergunakan ilmu langka
"Barisan Bidadari Berangkat Ke Bumi'. Ular Kepala Empat sekejap tampak terkesiap
juga. Tapi beberapa saat setelah itu, tiga kepalanya sudah kemba-li menyerang
dengan patukan-patukan ganas bu-
kan main. Dalam hal ini ternyata Ular Kepala Empat
tidak dapat lagi membedakan mana Bunga Bida-
dari yang asli dengan yang palsu. Bila Bunga Bi-
dadari yang palsu kena dipatuknya, maka seran-
gan Ular Kepala Empat langsung nyeplos meng-
hantam angin. Sedangkan pukulan-pukulan dah-
syat terus menghujani sekujur tubuhnya. Betapa-
pun kerasnya tubuh Ular Kepala Empat. Tetapi se-
rangan yang bertubi-tubi itu membuat bagian da-
lamnya terluka juga. Ia pun menggeliat, kini seluruh tubuhnya meninggalkan
sarang. Sehingga be-
kas yang ditinggalkannya membentuk sebuah lu-
bang besar yang tidak diketahui dalamnya.
"Hiiiing!"
Ular Kepala Empat lagi-lagi memekik keras.
Empat kepala sama tertegak. Sebagian tubuhnya
berdiri. Lalu diluar dugaan Bunga Bidadari Ular
itu menyemburkan bisanya yang ganas.
"Pruuskh...!"
Kalang kabut si gadis berusaha selamatkan
diri dari hujan bisa. Memang ia selamat dari han-taman cairan bisa yang berwarna
putih itu. Tetapi
sayang dalam keadaan yang terdesak itu ia lupa
menutup jalan nafasnya. Sehingga sebagian kecil
kabut bisa terhirup olehnya.
"Hukh! Celaka!!" pekik Bunga Bidadari. Mu-la-mula ia merasakan kepalanya jadi
sakit mende- nyut. Langkahnya limbung dan tidak teratur, perut dirasakannya sangat mual
sekali. Bunga Bidadari
tidak dapat bertahan. Ia jatuh tidak sadarkan diri.
"Hemm, sudah kubilang. Tidak ada manusia
mana pun yang mampu menentangku! Kau sangat
cantik, kukira sebelum kujadikan tumbal alangkah baiknya jika aku mencicipi
kehangatan tubuhmu!"
desis Ular Kepala Empat. Kepalanya yang tegak itu kemudian merendah. Lidahnya
terjulur dengan
maksud merengkuh. Sedangkan ekornya tampak
dikibas-kibaskan.
Bunga Bidadari benar-benar berada dalam
bahaya besar. Sesaat lagi lidah Ular Kepala Empat menggapai pinggang Bunga. Saat
itu pula tampak
melesat sinar kuning yang disertai berkelebatnya bayangan merah. Sinar kuning
itu langsung menghunjam ke bagian ujung lidah. Lidah tersebut putus hingga terdengarlah suara
jeritan panjang
mengerikan. Kepala Ular Kepala Empat tertegak,
darah menetes-netes dari bagian lidah yang terputus itu. Ketika ia memandang
lurus ke depan den-
gan kemarahan berkobar-kobar. Maka tidak jauh
dari sisi si gadis yang nyaris menjadi mangsanya berdiri tegak sosok kakek tua
berpakaian dan berambut serba merah. Tatapan kakek ini penuh wi-
bawa. Ditangan kirinya tergenggam sepotong bam-
bu runcing berwarna kuning. Ular Kepala Empat
langsung dapat menduga bambu itu tadilah yang
telah melukainya. Melihat bambu tersebut nyali
Ular Kepala Empat langsung menciut. Akan tetapi
rasa penasarannya membuat kemarahan makhluk
melata ini tidak dapat dipadamkan.
"Kau ada hubungan apa dengan gadis ini,
orang tua" Sehingga kau begitu lancang mencam-
puri urusan orang lain"!" bentak Ular Kepala Empat. Suaranya tidak lagi segarang
tadi. Namun jelas menyimpan dendam.
"Hubunganku dengannya adalah rasa ke-
manusiaan antar sesama manusia. Tindakanmu
sudah melampaui batas. Aku Malaikat Berambut
Api akan membunuhmu jika kau tetap bersikeras
hendak menjadikannya sebagai tumbal!" tegas kakek Dewana penuh ancaman.
"Huh, kau lihatlah! Tebing Akherat! Tempat
ini merupakan tempat tinggalku selama puluhan
tahun. Bunga Arum Dalu akar-akarnya merupa-
kan kunci sekaligus benteng keruntuhan Tebing
Akherat. Bunga Arum Dalu sekarang telah dilari-
kan oleh adik seperguruannya. Adalah suatu tra-
disi, siapa yang berani memetik Bunga Arum Dalu, sebagai tebusannya ia harus
mengorbankan nyawa
dan raganya sebagai ganti!" kata Ular Kepala Empat. "Ha ha ha! Jika kau
menginginkan tumbal, silakan kau ambil tubuhku yang tua dan lapuk ini.
Tapi sebelum itu kita harus bertarung sampai sa-
lah seorang diantara kita ada yang mampus!" kata kakek Dewana. Ular Kepala Empat
kembali melirik
ke arah bambu kuning yang dipegang lawannya.
Malaikat Berambut Api bukan tidak menyadari
benda yang dipegangnya itu merupakan sumber
kelemahannya. Bambu itu terbukti dapat memu-
tus lidahnya. Kekebalan yang ia miliki menjadi tidak berarti karena bambu celaka
itu. "Aku pantang dihina! Apapun keinginanmu
akan kulayani. Huuuk!" Ular Kepala Empat tiba-tiba julurkan kepalanya ke depan.
Kepala yang lain menyerang dari samping kiri dan kanan. Serangan
itu termasuk cepat di samping sangat berbahaya
sekali. Kakek Dewana tampak tenang-tenang saja,
namun hanya sepersekian detik lagi salah satu
moncong binatang melata ini menelan dirinya.
Bambu kuning ditangan langsung dikibaskan den-
gan posisi mendatar.


Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuuut! Bet! Bet! Ssssst! Ular Kepala Empat terpaksa tarik ketiga ke-
palanya secara serentak. Terdengar desisan pan-
jang. Kemudian kepala itu terhuyung-huyung. Di-
luar dugaan bagian ekor Ular Kepala Empat men-
gibas. Buuung! "Haiiit...!"
Kibasan itu membuat tumbang sepuluh ba-
tang pohon. Malaikat Berambut Api melompat
tinggi, setelah itu tubuhnya menukik ke bawah.
Bambu kuning di tangan langsung dihantamkan-
nya ke bagian ekor yang melecut bagaikan cambuk
raksasa itu. Wuuut! Cepat sekali Ular Kepala Empat menarik ba-
lik ekornya, bagian kepala kemudian menyambar
ganas ke dada si kakek, sementara kepala yang
lain mematuk bagian leher dan perutnya. Malaikat Berambut Api putar tongkat
bambu di tangan dengan kecepatan bagai titiran. Pada waktu itu juga ia
pergunakan jurus 'Kacau Balau'. Gerakan yang tidak teratur dan terkesan asal-
asalan segera terlihat. Ular Kepala Empat yang semula mengira ka-
kek tua itu tidak becus ilmu silat sekarang dibuat terperangah. Tidak satu pun
dari sekian banyak
serangan-serangannya yang ganas itu mengenai
sasaran yang diharapkan. Malah kini lawan tam-
pak berusaha terus mendesaknya. Gempuran he-
bat segera dilakukan oleh masing-masing lawan-
nya. Suara pekik dan jerit menggeledek mewarnai
pertempuran sengit itu. Berulangkali Ular Kepala Empat hampir berhasil
mencelakai lawan. Sayang
gerakannya selalu terhalang bambu kuning yang
sangat ditakutinya itu.
DELAPAN "Aku harus punya satu cara, agar bambu
celaka itu tidak sampai mengenai tubuhku!" batin Ular Kepala Empat sinis. Kini
ia berdiri dengan
bertumpu pada pertengahan tubuhnya. Setelah itu
ia berputar, praktis kepala dan bagian ekornya sekarang mengibas kian kemari.
Malaikat Berambut
Api tiba-tiba merasakan tubuhnya terdorong ke
belakang. Ia memperkuat kuda-kudanya. Sedang-
kan tangan kiri lepaskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir'.
Wuuuk! Mula-mula terdengar suara gaung disertai
jeritan di sana-sini. Sinar merah hitam melesat
menyertai suara-suara aneh tersebut. Udara di sekelilingnya berubah panas bukan
kepalang. Untuk
pertama kalinya Ular Kepala Empat merasa ada
tenaga dorong yang hampir memusnahkan seran-
gannya. Ia lipat gandakan tenaga dalam. Udara
panas dan dingin saling dorong tumpang tindih.
Wajah kakek Dewana menegang dan benturan ti-
dak dapat dihindari lagi.
Duuum! Ledakan keras itu membuat Malaikat Ram-
but Api terpental, tubuhnya jungkir balik namun
dapat berdiri lagi dengan kedua kakinya. Si kakek memijit dadanya yang
mendenyut. Bila ia memandang ke depan, dilihatnya Ular Kepala Empat ma-
sih tertegak sedangkan salah satu moncongnya
meluncur deras mengincar bagian ubun-ubun si
kakek. "Hem...!?" Malaikat Rambut Api mengguman pendek. Ia berpura-pura
terkejut. Di luar dugaan ujung bambu di tangan menerobos persis di bagian bawah
moncong ular tersebut.
Crook! "Haiiiing!"
Ular Kepala Empat menguik keras. Darah
mengucur dari bagian luka yang tertusuk bambu.
Tiga kepala lainnya meronta memperlihatkan ke-
marahannya. Lalu sekonyong-konyong dari mulut-
nya menyembur bisa. Malaikat Berambut Api lang-
sung bergerak menjauh sambil selamatkan Bunga
Bidadari dari semburan bisa. Bila bisa Ular Kepala Empat jatuh di atas
rerumputan yang menghijau.
Maka rumput-rumput itu langsung layu lalu ke-
mudian hangus. "Dia benar-benar sangat berbahaya sekali!"
batin Malaikat Berambut Api. "Aku harus bertindak lebih cepat!"
Selesai ia bicara dengan diri sendiri, disertai
dengan jeritan melengking tinggi. Kakek Dewana
tampak melesat ke udara. Tongkat bambu kuning
segera ditusukkannya ke bagian kepala lawan se-
cara beruntun sambil melompat kian kemari.
Jrooos! "Hiiiikng!"
Ular Kepala Empat meraung keras. Dua ke-
palanya dapat ditembus senjata lawan hingga jebol sampai ke otak-otaknya.
Makhluk mengerikan ini
tampak membabi buta karena didera kemarahan
dan rasa sakit yang bukan kepalang. Sementara
darah semakin banyak yang mengucur keluar,
menjadikan Ular Kepala Empat kehilangan banyak
tenaga. "Ular Kepala Empat! Akui kekalahanmu biar aku sudahi serangan!" teriak
Malaikat Berambut Api merasa iba.
"Belum pernah makhluk sebangsa kami
menyerah pada manusia. Perlawanan sampai titik
darah penghabisan jauh lebih baik daripada pergi berkalang malu!" sahut Ular
Kepala Empat. Dua
kepalanya yang tertusuk bambu tampak terkulai.
Yang satunya lagi sudah tidak dapat melihat kare-na matanya kena dicelakai oleh
Bunga Bidadari.
Hanya kepala yang berbentuk kepala manusia saja
yang masih utuh. Secepat kilat ekornya yang besar bagaikan pecut raksasa
melibaskan Malaikat Berambut Api.
Dess! "Hukh!"
Orang tua dari Pulau Seribu Satu Malam itu
sempat tersentak ke belakang. Malaikat Berambut
Api tarik nafas dalam-dalam. Tanpa diduga-duga
ia bersalto, kedua tangannya memegang erat bam-
bu kuning tersebut. Satu loncatan tinggi dilaku-
kannya. Dengan tenaga penuh ia tusukkan senjata
itu. Ular Kepala Empat tidak sempat lagi menghindar untuk selamatkan diri.
Akibatnya bambu kun-
ing itu menembus punggung hingga ke bagian sisi
perutnya. Ia menggelepar disertai raungan menukik
telinga. Ekornya dikibas-kibaskan. Gerakan ular
besar itu kemudian melemah.
"Kkk... kau...!" Hanya itu kata-kata yang te-rucap dari mulut Ular Kepala Empat.
Matanya me- redup lalu kepala terkulai mengikuti ambruknya
badan binatang itu.
Malaikat Berambut Api langsung meng-
hampiri Bunga Bidadari. Setelah meneliti keadaan gadis itu tahulah ia bahwa
racun yang mengidap
di tubuh si gadis belum sampai menjalar ke bagian jantung.
Kakek itu segera mengeluarkan dua buah
obat pemunah racun kemudian memasukkan obat
itu ke mulut Bunga Bidadari. Setelah melakukan
pemijatan di beberapa tempat, kira-kira sepenanakan nasi lamanya Bunga Bidadari
mulai sadarkan diri. "Di manakah aku?" Bunga Bidadari menggeram lirih. Ia kedip-kedipkan
matanya yang indah itu. "Kau berada di tempat yang aman!"
"Siapakah anda?" tanya si gadis. Rupanya ia kaget juga melihat ada orang lain
berdiri tidak jauh darinya.
"Aku Dewana, gurunya pemuda yang hen-
dak ditolong oleh Si Bayang Bayang!" jelas Malaikat Berambut Api.
"Oh...!" Gadis cantik jelita itu menarik na-pas lega. "Ular itu menyerangku!"
kata si gadis mengadukan perihal yang dialaminya.
"Ular itukah yang kau maksud?"" Kakek
Dewana menunjuk ke arah bangkai ular yang ter-
geletak tidak jauh dari mereka.
"Siapa yang melakukannya?"
"Aku!"
"Kalau begitu aku sedang berhadapan den-
gan tokoh berkepandaian tinggi?" puji Bunga Bidadari penuh rasa takjub.
"Tidak juga. Menghadapi sesuatu bila kita
tahu titik kelemahannya akan mempermudah pe-
kerjaan kita!" tegas si kakek. "Sebaiknya kita ke Lembah Nirwana secepatnya!
Tapi kalau kau masih merasa belum kuat berjalan aku akan mendu-
kungmu!" "Kukira aku sudah sanggup berjalan sendi-
ri!" Bunga Bidadari kemudian bangkit berdiri.
"Ayolah, kita tidak perlu membuang-buang waktu!"
Bunga Bidadari melangkah mendahului Malaikat
Berambut Api. Sementara kakek berambut merah
itu mengikuti tidak jauh di belakangnya.
*** Tubuh kaku Suro Blondo dibaringkan di
atas dipan kayu yang telah berumur ratusan ta-
hun. Karena urat bicaranya telah terbebas dari totokan, maka ia bebas bicara apa
saja. "Ratu Leak! Ternyata aku tidak sanggup me-
lenyapkan musuh besarmu. Utusan macam apa
diriku ini. Huk huk huk! Aku terpaksa menangis,
sedih bukan karena tubuhku dalam keadaan terto-
tok. Aku menangis karena merasa percuma menja-
lani hidup dan percuma juga sebagai laki-laki!
Apakah orang sepertiku ini masih pantas hidup!
Uhk... hidup yang menyedihkan!!" kata Pendekar Blo'on yang masih berada di bawah
pengaruh Ratu Leak sedih. Sosok tua renta yang terlihat hanya seperti
baying-bayang sama sekali tidak menanggapi. Ia
malah menghampiri pintu saat didengarnya suara
ketukan pada pintu depan.
Ketika pintu terbuka muncul seorang gadis
bermata sipit yang tidak lain adalah Bunga Seloka.
Gadis ini langsung membungkukkan badannya.
"Guru, aku datang dengan membawa kabar baik dan kabar buruk!" lapor Bunga
Seloka. Si tua angguk-anggukkan kepala. "Kabar
apa yang kau bawa wahai muridku yang bungsu"
Katakanlah segera!"
"Bunga Arum Dalu berhasil diambil oleh
kakak Bunga Bidadari. Aku diperintahkannya
membawa bunga ini pada guru. Tetapi...!" kata-kata Bunga Seloka tiba-tiba
terhenti. Air mata ber-linangan dan isak tangisnya pun terdengar.
"Katakanlah, segala sesuatu yang menimpa
manusia harus selalu kau ingat adalah merupakan
kehendak yang Maha Kuasa!" desak Si Bayang-
Bayang alias Tangan Biru.
"Kakak... kakak Bunga Bidadari terpaksa
menghadapi Ular Kepala Empat seorang diri!" lapor Bunga Seloka. "Untuk kesalahan
ini aku bersedia dihukum berat guru!"
Sosok yang berdiri tegak dan merupakan
bayangan yang samar-samar ini elus jenggot pan-
jangnya. "Kau pulang dengan membawa Bunga
Arum Dalu karena menuruti perintah kakak se-
perguruan. Itu adalah tindakan yang cukup terpu-
ji. Tidak ada hukuman apapun yang patut kuja-
tuhkan padamu!"
Bukan merasa senang, Bunga Seloka malah
menangis tersedu-sedu. Si Bayang-Bayang ke-
rutkan keningnya. Seraya memegang bahu murid-
nya, sentuhan itu tidak terasakan oleh si gadis, karena tangan-tangan gurunya
seakan-akan terbuat dari angin.
"Mengapa kau menangis?"
"Guru, aku menangis karena tidak dapat
membantu kakak seperguruan!" sahut Bunga Se-
loka. "Sudahlah, jangan kau pikirkan. Berdoa semoga Tuhan selalu melindunginya!
Sekarang lebih baik kau tunggui pemuda itu, jangan kau sen-
tuh atau kabulkan apapun permintaannya!"
"Baik, guru!"
Si Bayang Bayang berjalan meninggalkan
Bunga Seloka, gerakannya ringan dan kedua kaki
hampir tidak menyentuh lantai. Bunga Seloka
memeriksa Bunga Arum Dalu yang terdapat di sa-
kunya. Ternyata bunga tersebut sudah tidak ada
di tempatnya. "Dia telah mengambilnya!" desis Bunga Seloka. Ia kemudian menghampiri Pendekar
Blo'on yang dalam keadaan telentang diam tidak berku-
tik. Diperhatikannya pemuda itu dengan malu-
malu. Sementara itu di dalam ruangan pribadinya Si Bayang Bayang sedang berusaha
mencampur beberapa ramuan untuk memunahkan Racun Pe-
lumpuh Akal Pelemah Jiwa yang telah mengeram
lama di tubuh Pendekar Blo'on. Ia memasukkan
ramuan tersebut ke dalam kendi. Terakhir kali di-ambilnya Kuntum Bunga Arum Dalu
yang berwar- na putih itu. Sekejap ia mengerahkan tenaga mur-
ni ke bagian bunga. Kuncup bunga tidak lama ke-
mudian mengembang. Dari setiap sudutnya men-
gepul kabut putih yang menebarkan bau wangi
semerbak. "Bunga Arum Dalu, keharumanmu yang
semerbak hanya terasa bila malam telah larut.
Atas kuasa Tuhan, moga khasiatmu yang besar
pemunah dari raja-raja racun berguna untuk me-
nyembuhkan ingatan yang pernah hilang! Semo-
ga... semoga...!" desis Si Bayang Bayang. Hanya dengan sekali remas, bunga
mukjizat itupun hancur menjadi serbuk putih. Tangan Biru menabur-
kan serbuk bunga tersebut ke dalam campuran
ramuan. Ketika serbuk bunga tercampur dengan
ramuan lain yang sudah mendidih. Maka terden-
gar suara letupan-letupan kecil disana sini. Air pun bergolak.
Gluk! Glebuk! Buuk!


Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah campuran ramuan menyatu dengan
serbuk bunga Arum Dalu. Maka Si Bayang Bayang
mengangkat kendi tersebut. Kendi panas diletak-
kan di atas tangannya. Aneh, kedua telapak tan-
gan Si Bayang Bayang alias Si Tangan Biru tidak
melepuh. Kakek aneh yang sosoknya seperti
Bayang-Bayangan ini selanjutnya menghampiri
Pendekar Blo'on.
"Pendekar Bodoh! Kini saatnya kau kembali
dari mimpi-mimpimu yang teramat buruk. Aku
Tangan Biru akan membantumu!"
"Kau siapa manusia jelek"!" sahut Suro Blondo. "Aku adalah anak buah sekaligus
utusan Ratu Leak! Bebaskan aku dan aku akan menempurmu hingga tubuhmu jadi
lumat!" maki Suro.
"Guru, mulut pemuda ini keterlaluan sekali
biarkan aku yang akan mengajarinya adat!" sergah Bunga Seloka. Ia bangkit
berdiri dan hendak menampar pemuda itu.
Si Bayang Bayang memberi isyarat pada
muridnya agar tetap diam di tempatnya. "Biarkan
saja, dia sekarang sedang sakit dan linglung. Kau bukalah mulutnya biar ramuan
dalam kendi ini
dapat masuk semua ke dalam mulutnya!" perintah Manusia Tangan Biru.
"Orang-orang celaka, aku hendak kalian
apakan?" teriak Suro Blondo yang masih berada dalam pengaruh racun Pelumpuh Akal
Pelemah Jiwa dengan suara lantang.
"Kau mau dimampusin biar hilang kebodo-
hanmu!" Bunga Seloka menyahuti. Seraya langsung membuka mulut si pemuda. Pemuda
itu ten- tu tidak dapat berontak karena tubuhnya dalam
keadaan tertotok. Tidak ayal lagi seluruh cairan yang terdapat dalam kendi
itupun masuk ke dalam
mulut Suro seluruhnya. Mula-mula yang dirasa-
kan oleh Suro adalah rasa panas yang menjalari
tenggorokannya, lalu kebagian perut. Dan bebera-
pa waktu berikutnya ia menjerit-jerit dengan mata melotot ketika hawa panas
menyerang sekujur tubuhnya. Bagian yang paling parah mendapat de-
raan hawa panas itu adalah bagian kepala dan
otaknya. "Kaarrrhk!"
Jeritan Pendekar Blo'on melengking tinggi.
Sekujur tubuhnya bermandikan keringat. Kulit-
kulitnya menjadi merah. Ada sesuatu yang mende-
sak-desak mencari jalan keluar di sekujur tubuh
pemuda ini. "Arhk... waduh.... arrrkh... bagaimana aku
ini, bagaimana diriku ini?"" pekik pemuda rambut merah ini bagaikan orang yang
meregang ajal. Ia
terus menjerit dan menjerit. Hingga pemuda ko-
nyol ini pada akhirnya tidak sadarkan diri.
"Dia mati, guru!!" desis Bunga Seloka ketika dilihatnya Pendekar Blo'on sudah
tidak bergerak-gerak lagi.
"Tidak mati, dia hanya pingsan saja!" sahut Si Bayang Bayang. Kakek renta ini
tetap berdiri di tempatnya sambil tetap mengawasi perkembangan
yang terjadi pada Suro selanjutnya.
Ketika itu Suro memang sudah tidak berge-
rak-gerak lagi, tubuhnya panas bukan main.
Mungkin ini terjadi akibat perlawanan racun yang mengeram di tubuhnya dengan
obat yang bercam-bur bunga Arum Dalu yang baru saja diberikan
oleh Si Bayang Bayang. Tidak berselang lama, terlihatlah darah berwarna hitam
keluar dari seluruh pori-pori di sekujur tubuh pemuda itu. Darah kehitam-hitaman
ini berbau busuk bukan main. Ti-
dak bedanya seperti bau bangkai orang yang telah meninggal tujuh hari.
Bunga Seloka tutup hidungnya, ia ter-
huyung mundur satu langkah dengan wajah tidak
kuasa menyembunyikan perasaan ngerinya. Sete-
lah darah kehitam-hitaman tersebut tidak menetes lagi, maka Si Bayang Bayang
melangkah mendekati. Kedua tangannya ditekankan ke dada si pemu-
da. Seraya lalu memejamkan matanya. Bunga Se-
loka sadar betul kalau gurunya sedang mengerah-
kan tenaga dalam ke tubuh Pendekar Mandau
Jantan. Tubuh yang dalam keadaan tidak sadarkan
diri itu tampak bergetar hebat. Kemudian menyu-
sul dari seluruh pori-pori si pemuda keluar darah
berwarna agak hitam kemerahan. Jelaslah sudah
bahwa Si Bayang Bayang sengaja membuat sisa-
sisa racun Pelumpuh Akal Pelemah Jiwa hilang se-
luruhnya dari tubuh Suro.
Si Bayang Bayang setelah melihat darah
berwarna merah segera angkat kedua tangannya.
Tangan itu selanjutnya dipindahkan ke bagian ke-
pala. Untuk yang kedua kalinya Si Bayang Bayang
mengerahkan tenaga dalam. Hal ini dilakukannya
semata-mata untuk memperbaiki sel-sel otak Suro
yang sempat dikacaukan oleh Racun Pelumpuh
Akal Pelemah Jiwa. Tubuh Pendekar Mandau Jan-
tan itu tidak lagi terasa panas, tetapi terjadi perubahan dingin yang begitu
mendadak. Di saat itu
Suro Blondo sudah sadarkan diri. Karena ia me-
mang tidak punya kekuatan untuk membang-
kitkan tenaga dalamnya. Praktis perubahan udara
dingin yang terjadi pada dirinya membuat tubuh
pemuda itu tampak membiru keseluruhannya.
"Oh... hhooo... dingiiin... aaaah...!" Pemuda konyol ini menjerit-jerit seperti
orang gila. Suaranya bergetar pertanda ia hampir-hampir tidak
kuasa menahan hawa dingin yang menderanya
bertubi-tubi. Si Bayang Bayang tampak tenang-tenang
saja. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi pada diri pemuda itu. Apa yang
dirasakan oleh Suro tidak lain karena hawa murni yang disalurkan oleh
Si Bayang Bayang mulai menyapu habis sisa-sisa
racun yang mengalir dalam darah pemuda ini. Un-
tuk yang kedua kalinya Suro jatuh pingsan lagi.
SEMBILAN Pendekar Blo'on dibiarkan dalam keadaan
pingsan cukup lama juga. Pada waktu yang ber-
samaan tiba-tiba terdengar suara panggilan dari
luar tabir gaib yang mengelilingi seluruh lembah.
Untuk diketahui selain murid-murid Lembah Nir-
wana tidak ada yang tahu bagaimana caranya da-
pat ke luar masuk lembah dengan aman.
"Kepada pengusaha lembah, harap sudi
memberi jalan masuk! Kami datang dengan tan-
duk-tanduk yang komplit termasuk tanduk milik
Sang Pelucut Segala Ilmu Segala Daya...!"
"Jika kau Penghulu Siluman Kera Putih!
Sebaiknya masuk dari pintu utara. Saat ini hanya pintu itu saja yang terbuka!"
jawab Manusia Tangan Biru.
Sementara itu di pinggir lembah, tepatnya di
luar tabir lingkaran gaib yang menjadi pelindung lembah, Mata Iblis kelihatan
sudah tidak sabar.
"Mengapa kita berdiri di sini terus" Tadi kau bicara dengan suara perut. Bicara
dengan siapa?"
tanya Mata Iblis.
"Dengan penghuni lembah ini!" jawab Barata Surya.
"Penghuni lembah sejenis hantu kepompong
barangkali. Hingga tempat tinggalnya saja diselimuti tabir!" Laki-laki pendek
yang tidak lain adalah Manusia Topeng menimpali.
"Entahlah, kalian ribut melulu. Daripada ribut-ribut sebaiknya kita pergi ke
sebelah utara lembah ini! Aku ingin cepat-cepat melihat bagai-
mana keadaan muridku hingga saat ini!" ujar Barata Surya.
"Mataku yang buta ini memang tidak meli-
hat. Tetapi kukira yang namanya sebelah utara
lembah cukup jauh dari sini. Aku tidak mau men-
gikuti peraturan gila penghuni lembah. Sebaiknya kuterabas saja dari sini!"
dengus Mata Iblis sambil bersungut-sungut. Dengan cepat ia melesat ke
arah lembah. Wuuk! Duuuk! "Aduh...!"
Seakan ada sebuah tenaga besar yang tidak
terlihat yang mendorongnya. Mata Iblis terjeng-
kang. Ulah kakek sakti namun mempunyai kepin-
taran tidak lebih tinggi dari keledai ini membuat Manusia Topeng dan Barata
Surya tertawa terbahak-bahak.
Dengan muka merah padam Mata Iblis
bangkit kembali. Ia mengerahkan tenaga dalam ke
bagian tangannya. Tapi tindakan yang akan dila-
kukan oleh Mata Iblis segera dicegah oleh Manusia Topeng.
"Sahabatku! Mengapa hendak merusak
dinding rumah orang" Pintu sudah tersedia, tuan
rumah sudah mempersilahkan masuk! Bercapai-
capai sedikit tidak mengapa. Siapa tahu di dalam sana gadis-gadis cantik sudah
menunggu kita"!"
"Betul. Kalau peruntungan lebih baik bukan
mustahil seorang gadis telanjang menyambut ke-
hadiran kita di luar pintu!" Barata Surya menim-
pali. Manusia Topeng tertawa mendengar gurauan
Barata Surya yang ngawur tidak keruan itu.
"Aku tidak ikut. Sampai di sini aku malah
teringat pada Ratu Leak. Hatiku rasanya belum
tenteram sebelum membalaskan rasa sakit hati
yang sudah lama berkarat!" dengus Mata Iblis tiba-tiba. Manusia Topeng dan
Penghulu Siluman Ke-
ra Putih saling pandang. Lalu Barata Surya berka-ta. "Kurasa hanya Manusia
Topeng saja yang tidak punya kepentingan langsung dengan Ratu Leak.
Aku sendiri seperti yang kau lihat, jelas punya kepentingan dengan Ratu Leak.
Karena perbuatan-
nya muridku jadi linglung dan bermaksud mem-
bunuh guru sendiri. Rasa penasaranku adalah
siapa sesungguhnya iblis yang menamakan dirinya
Ratu Leak itu. Hingga ia begitu bernafsu ingin
membunuhku. Sialnya lagi ia memperalat murid-
ku...!" "Kalau pun kau punya kepentingan dengan Ratu Leak. Kau tidak boleh turun
tangan membunuhnya. Terkecuali aku sudah mengambil anunya.
Ini terpaksa kulakukan karena ia telah mengambil barangku, bukan itu saja
barangku konon dije-murnya untuk dijadikan pajangan!" dengus Mata Iblis sambil
bersungut-sungut.
"Mengenai siapa nanti yang berhak mem-
bunuh Ratu Leak tidak usah kita persoalkan. Yang penting sekarang kita harus
masuk ke lembah!"
ujar Barata Surya.
"Bagaimana pendapatmu, sahabatku?"
tanya Mata Iblis. Seraya memandang tajam pada
Manusia Topeng.
"Aku memutuskan untuk menunggu di si-
ni!" tegas Manusia Topeng.
"Kalau sahabatku ini menunggu di sini. Aku
juga ikut menunggu disini!"
"Jadi siapa yang akan membawa tanduk
sakti itu?" tanya Barata Surya.
"Kau saja.!"
"Tanpa sarung Sutra Kencana?" Mata Penghulu Siluman Kera Putih melotot.
"Bagaimana sahabatku, apakah sarung Su-
tra Kencana ini harus kupinjamkan padanya"
Apakah manusia muka kunyuk ini bisa diper-
caya"!" "Kau sudah kehilangan barangmu, manusia terlahir punya bakat mencuri.
Kalau sarungmu di-tukarnya. Atau dia melarikan sarung sakti itu apa bukan kau
yang repot. Kau bisa kehilangan barang untuk yang kedua kalinya. Untuk itu
sebaiknya kau ikut dia dulu. Antarkan tanduk celaka kepada penghuni lembah. Aku bisa
menunggumu disini!"
"Kau jangan bicara sembarangan dan ber-
perasangka yang bukan-bukan Manusia Topeng.
Jika aku marah, nanti kurobek-robek topengmu
baru kau rasa!" maki Penghulu Siluman Kera Putih.
Manusia Topeng hanya tertawa bergelak.
Barata Surya kemudian menarik tangan Mata Iblis
menuju pintu utara.
Ternyata benar di sebelah utara terdapat
sebuah pintu yang samar-samar dan tembus pan-
dang. Kedua orang ini segera masuk melalui pintu
yang berwarna seputih salju itu. Semua pintu terdiri dari tujuh buah. Ketika
mereka melewati pintu terakhir, maka tercium bau harum semerbak yang
khas. Kedua tokoh tua ini sekarang melewati ta-
naman bunga yang terdapat di lembah. Tidak lama
sampailah mereka di depan sebuah bangunan se-
derhana terbuat dari bahan kayu jati. Pintu ban-
gunan di depan mereka tiba-tiba terbuka. Dua
orang murid Lembah Nirwana yang lain menyam-
but kedatangan orang-orang ini.
Barata Surya mengisiki. "Wah rugi kau jadi
orang buta. Gadis-gadis yang menyambut kita can-
tiknya bukan main...!" puji si kakek konyol sambil senyum-senyum.
"Sial kau! Kalau pun aku dapat melihat ra-
sanya percuma saja, barangku sudah tidak ada.
Paling jempolku yang tegang!" dengus Mata Iblis.
"Kepada tetamu Lembah Nirwana harap sa-
bar menunggu! Guru kami sekejap lagi berkenan
menjumpai anda berdua!" kata salah seorang dari kedua gadis itu dengan ramah dan
senyum ma-nisnya tetap menghias di bibir. Mereka baru saja hendak meninggalkan
ruangan tamu. Namun
Penghulu Siluman Kera Putih menahannya saat ia
mendengar suara bak bik buk di ruangan sebelah.
"Ada apa kakek tua?" tanya gadis kedua.
"Eeh... aku mendengar suara seperti anjing
dipukuli, sesungguhnya siapakah yang sedang
menjalani penyiksaan itu?" tanya Barata Surya.
"Bukan apa-apa. Guru kami sedang beru-
saha membuat sadar seekor anak kelinci yang
pingsan." sahut kedua gadis itu hampir serentak.
Mereka pun akhirnya berlalu meninggalkan ruan-
gan tamu. Baru saja murid-murid Lembah Nirwa-
na meninggalkan mereka. Mata Iblis berbisik pada Barata Surya.
"Mengapa tolol amat" Bagaimana kalau
yang digebuki itu muridmu?"
"Heii... apa betul. Kalau dia berani-berani menggebuk muridku, akan kubalas
murid-muridnya yang cantik itu akan kugebuk pula!" geram Barata Surya sewot.


Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Iblis hanya terse-
nyum. "Bicara seenak perutmu! Padahal kau tidak bedanya dengan harimau ompong
yang cuma pandai berkaor saja!"
"Kita lihat saja nanti!" kata Barata Surya semakin tidak senang melihat sikap
Mata Iblis yang terlalu meremehkannya.
"Ah... maaf aku telah membiarkan kalian
menunggu terlalu lama!" Sebuah suara tiba-tiba terdengar di samping mereka
membuat kedua orang tua ini tersentak kaget. Adalah sesuatu yang sangat mengherankan jika
Barata Surya dan Mata
Iblis tokoh berkepandaian tinggi ini sampai tidak mendengar suara langkah orang
yang baru saja bicara tadi.
Penghulu Siluman Kera Putih cepat meno-
leh. Seorang laki-laki tua renta berpakaian putih tipis tampak tersenyum. Tubuh
orang ini begitu
kurusnya, kulitnya yang keriput tidak beda den-
gan lembaran kain tipis pembalut tulang. Satu kenyataan lain yang membuat Barata
Surya terkejut setengah mati. Orang ini kedua kakinya sama se-
kali tidak menyentuh tanah. Tubuhnya tipis seper-ti bayang-bayang.
"Andakah yang bergelar Si Bayang Bayang
alias Manusia Tangan Biru?" tanya Barata Surya.
Sambil bertanya ia melirik ke bagian kedua tangan si kakek renta. Ternyata kedua
tangan yang kurus kering itu berwarna biru sepenuhnya.
"Seperti yang kau lihat, saudara Barata
Surya!" "Tapi bagaimana dengan aku yang tidak bi-sa melihat!" Mata Iblis
langsung protes.
"Aku memang Manusia Tangan Biru. Dan
saudara yang buta ini tentu Mata Iblis!" desah Si Bayang Bayang. Keistimewaan
orang ini setiap bicara membuat terkesima orang yang mendengar-
nya. "Sekarang aku ingin bertanya bagaimana keadaan muridku!" kata si kakek baju
putih langsung pada pokok persoalan.
Orang yang ditanya tidak langsung menja-
wab. Tangannya malah menggapai, dan tiba-tiba
saja tanduk sakti yang berada di tangan Mata Iblis telah berpindah ke tangan
Manusia Tangan Biru.
Yang mengejutkan kedua tangan orang ini tidak
melepuh. "Muridmu dalam keadaan aman-aman saja.
Ingatannya kembali pulih. Barusan aku memuku-
linya hingga babak belur untuk memperlancar pe-
redaran darahnya. Tapi sampai sekarang ia belum
sadar. Kesempatan ini dapat kita pergunakan un-
tuk mengembalikan kesaktiannya yang tertahan
dalam tanduk ini!" jelas Si Bayang Bayang. Selan-
jutnya ia bicara ditujukan pada Mata Iblis. "Saudara yang tidak bisa melihat.
Tanduk telah kuambil, terima kasih atas bantuanmu. Jika kau berkenan
mari silahkan mengikuti aku untuk melihat pen-
gembalian kesaktian serta tenaga dalam Pendekar
Blo'on!" Satya Gama alias Mata Iblis gelengkan ke-
pala. "Mataku tidak melihat, apa guna menyaksikan pengembalian kesaktian
Pendekar Bodoh. Ka-
wanku di luar sana sudah menunggu. Aku takut
dia meninggalkan aku! Sebaiknya aku permisi sa-
ja!" Kakek berambut panjang itu bangkit berdiri.
"Apakah kau perlu diantar ke pintu depan
Mata Iblis" Jika perlu muridku Bunga Seloka da-
pat mengantarkanmu!"
"Perlu... he he he... perlu sekali...!" sahut Mata Iblis sambil tertawa-tawa.
"Jangan!" cegah Barata Surya. "Mata Iblis walau pun buta tapi dapat menentukan
jalan keluar sendiri. Tidak perlu pakai penuntun, ia tua bangka genit yang suka
menggatal. Sayang dia tidak punya pedang! Ha ha ha...!"
"Penghulu Siluman keparat! Jangan kau be-
rani membongkar barang orang lain... eeh, mak-
sudku rahasia orang lain! Aku bisa lupa diri dan membunuhmu!" Sambil mengomel
tidak jelas, Ma-ta Iblis berkelebat pergi melewati pintu demi pintu tabir
pelindung yang ada.
Sementara itu Barata Surya dan Manusia
Tangan Biru telah sampai di dalam ruangan dima-
na Pendekar Blo'on dirawat. Melihat keadaan Suro, Barata Surya langsung mendekat
dan berbisik di
dekat telinga si pemuda yang masih belum sadar-
kan diri. "Murid gendeng, tolol bego. Sudah mengu-
rus diri sendiri tidak becus. Guru yang tidak tahu apa-apa malah mau dibikin
celaka! Pemuda macam kau ini pantasnya dibikin mampus saja. Ta-
pi...!" Penghulu Siluman garuk-garuk kepala. "Ma-na aku berani dengan kakek
rambut merah itu.
Jangan-jangan ia membantai seluruh penghuni
gunung Mahameru. Lagipula mustahil aku bunuh
pemuda konyol ini. Lah wong kadang-kadang aku
yang sudah tua bangka ini tidak betul dalam bica-ra kok...!"
"Apa yang kau pikirkan saudara" Sekarang
saatnya untuk mengembalikan kesaktian murid-
mu!" suara Manusia Tangan Biru menyadarkan si kakek dari lamunannya. Bila Barata
Surya memandang ke depan. Maka dilihatnya Si Bayang
Bayang yang telah duduk bersila tampak meng-
genggam tanduk sakti yang mengandung hawa
panas luar biasa itu sambil mengerahkan tenaga
dalamnya. "Apa yang harus kulakukan?"
"Yang harus saudara lakukan adalah du-
dukkan Suro. Saudara duduk di belakangnya den-
gan posisi kepala tidak lebih tinggi dari kepala pemuda itu. Jika kepalamu lebih
tinggi aku takut
pengembalian kesaktian malah nyasar melalui
ubun-ubunmu! Sudahkah saudara mengerti?""
"Mengerti!" jawab Barata Surya. Dalam hati ia jadi jengkel juga melihat cara Si
Bayang Bayang yang memperlakukannya seperti anak kecil. Peng-
hulu Siluman Kera Putih melakukan apa yang di-
perintahkan Manusia Tangan Biru. Sebelum ma-
nusia setengah gaib di depannya melakukan apa
yang seharusnya ia lakukan. Barata Surya yang
usil bertanya....
"Ee... tunggu dulu. Apakah Bunga Arum
Dalu sudah didapat dan dimakan oleh muridku?"
"Jangan bawel! Bunga Seloka membawakan
bunga itu ke sini. Barang sudah didapat dan di-
makan muridmu. Kesadarannya pulih seperti se-
mula, dan kekuatan sekaligus kesaktian titipan
Ratu Leak telah musnah! Ada lagi yang ingin kau
tanyakan kakek bawel!"
"Ya sudah! Cuma itu saja kok!" sahut Barata Surya sambil senyum-senyum.
"Pusatkan kosentrasimu, jangan lengah jika
tidak ingin pekerjaan kita ini mengalami kegaga-
lan!" pesan Si Bayang Bayang. Suaranya pelan namun tegas.
Tidak lama kemudian. kedua tokoh sakti ini
sudah mulai tenggelam dalam kosentrasi penuh.
Sosok tubuh Manusia Tangan biru yang samar-
samar itu kelihatan menggeletar. Tanduk sakti
yang tergenggam di kedua tangannya yang semula
hanya memancarkan sinar merah redup sekarang
mulai menyala dan berpijar-pijar. Bagian ujung
tanduk diarahkan kebagian ubun-ubun Pendekar
Blo'on. Barata Surya yang berada di belakang Suro dapat merasakan adanya hawa
hangat yang begitu
kuat mengalir ke tubuh Suro. Wajah Si Bayang
Bayang semakin lama semakin menegang. Lalu....
"Huuup!"
Diawali dengan terdengarnya pekikan terta-
han. Dari ujung tanduk terdengar desiran halus.
Terlihat empat sinar, merah putih kuning dan
jingga melesat bagaikan lompatan bunga api ke
arah bagian ubun-ubun Suro Blondo.
Jsssssst! Sampai di atas kepala Suro sinar itu beru-
bah jadi kabut. Kabut warna warni selanjutnya
tersedot sepenuhnya ke dalam ubun-ubun Suro.
Seakan ada sebuah kekuatan dari dalam tubuh
Suro yang menariknya. Pemuda itu menggelepar.
Dengan kuat Barata Surya tetap memegangi mu-
ridnya agar tetap pada posisi semula.
Untuk sekian saat lamanya tanduk tetap
memancarkan empat sinar sakti ke bagian ubun-
ubun Suro. Sampai sinar itu akhirnya semakin
melemah, lama kelamaan bertambah lemah dan
hilang tidak berbekas.
Si Bayang Bayang menyimpan tanduk di
balik pakaiannya. Suro terus menggeliat. Setelah itu terdengar suara jeritannya
yang panjang me-nyakitkan telinga.
"Kau dengar suaranya, kesaktian muridmu
sudah pulih sebagaimana sediakala!" kata Manusia Tangan Biru.
Mata Pendekar Blo'on yang semula terpejam
rapat, kini secara perlahan mulai terbuka. Ia lalu celingak celinguk seperti
orang bingung. Ketika
melihat Penghulu Siluman Kera Putih berada di
belakangnya, pemuda ini jadi kaget.
"Guru" Mengapa kau dan aku sama-sama
berada di sini" Tempat apakah ini?" seru pemuda
itu. Seraya meraih tangan Barata Surya lalu men-
ciumnya. Kakek berambut putih itu malah cembe-
rut. Suro semakin heran, ia memandang ke de-
pannya. Melihat Manusia Tangan Biru pemuda ini
langsung nyerocos. "Guru... siapa orang tua keri-putan macam jerangkong ini?""
Plang! "Waduuuh...!" Suro menjerit, ia jatuh ter-jengkang. Secepatnya pemuda itu
bangkit berdiri.
Barata Surya memandang dengan mata melotot
kepadanya. "Mengapa kau memukulku, guru! Apakah
kau sudah gila?" kata pemuda itu sambil cen-gengesan.
"Pemuda sontoloyo! Yang gila itu kau. Cepat kau beri penghormatan pada kakek
yang telah menolongmu itu, cepaat...!" perintah Penghulu Siluman. Karena Pendekar Blo'on
masih bengong sa-
ja. Si Kakek hantamkan kakinya ke betis Suro
hingga membuat pemuda itu jatuh terduduk se-
perti orang yang menghaturkan hormat.
"Maafkan aku orang tua! Aku bingung apa
yang telah terjadi dengan diriku. Mengapa tiba-tiba aku sudah berada di sini!"
Manusia Tangan Biru tersenyum. "Kau
hampir dapat diperalat Ratu Leak. Kami baru saja berhasil mengobatimu juga
mengembalikan kesadaran serta kesaktianmu!" jelas Si Bayang Bayang.
Suro langsung terdiam. Ia mencoba men-
gingat-ingat kejadian terakhir kali selama ia tersadar. Mula-mula bayangan
seorang gadis yang tidak lain adalah Dewi Kerudung Putih. Lalu Si Buta
Mata Kejora. Waktu itu Ratu Leak mengancam
akan membunuh gadis misterius itu jika ia tidak
mau meminum cairan merah pekat yang diberikan
oleh Ratu Leak. Demi menyelamatkan Dewi Keru-
dung Putih akhirnya ia meminum cairan yang ter-
dapat di dalam cangkir tengkorak itu. Sebelum itu ia juga ingat bahwa Sang
Pelucut Segala Ilmu Segala Daya telah memupus habis seluruh tenaga
sakti yang dimilikinya. Apa yang terjadi pada dirinya selanjutnya Suro benar-
benar tidak tahu.
"Kau sudah mengingatnya, Suro?" tanya
Manusia Tangan Biru.
"Ya...! Coba tolong ceritakan apa yang aku
lakukan selama dalam keadaan tidak dapat men-
gingat apa-apa?" pinta Suro ditujukah pada gurunya. Secara gamblang Barata Surya
lalu mence- ritakan segala sesuatu yang terjadi atas diri pemuda itu. Wajah Pendekar Mandau
Jantan sebentar
memerah sebentar memucat mendengar penutu-
ran gurunya. "Ratu Leak benar-benar perempuan iblis!
Segala tindakannya patut dihentikan. Aku harus
mencarinya, guru!" Suro tiba-tiba meraba ping-gangnya. Ia terheran-heran ketika
mendapati ke- nyataan senjata andalannya sudah tidak ada lagi
di situ. "Kakekmu yang membawa senjata itu!" jelas Barata Surya.
Suro garuk-garuk kepala lagi. "Sungguh
memalukan jika aku benar-benar hampir membu-
nuh guru sendiri." desis Suro Blondo geram.
"Bukan kau yang memalukan. Ratu Leak-
lah yang sengaja hendak mempermalukan kami!"
ujar Barata Surya.
"Sebenarnya ada persoalan apa antara guru
dengan Ratu Leak hingga ia begitu bernafsu ingin membunuh guru?" Pendekar Blo'on
bertanya dengan tatapan mata menyelidik.
"Mana aku tahu. Mendengar namanya saja
baru kali ini!" jawab si kakek.
"Lalu sekarang aku berhutang nyawa den-
gan kakek ini" Bagaimana aku harus membalas
semua kebaikan ini"!" tanya si konyol sambil garuk-garuk kepala.
"Untuk sementara waktu kau harus tinggal
di Lembah Nirwana ini! Aku akan menjelaskan du-
duk persoalan yang sebenarnya pada kedua guru-
mu!" tegas Manusia Tangan Biru. Tidak lama kakek renta ini mendekati Barata
Surya. Seraya berbisik-bisik di telinga kakek berpakaian putih itu.
Barata Surya angguk-anggukkan kepala. Entah
apa yang dikatakan oleh Manusia Tangan Biru,
Suro tidak dapat mendengarnya. Yang jelas Peng-
hulu Siluman Kera Putih setelah itu bangkit berdi-ri dan bersiap-siap hendak
pergi. "Guru" Hendak kemana?" tanya Suro terheran-heran.
"Kau diam saja disini. Urusan di luar tam-
paknya bertambah gawat! Kau tidak usah banyak
cing-cong, ikuti saja apa yang diperintahkan oleh kakek ini?" pesan Barata
Surya. "Mana bisa begitu! Aku...!" terlambat bagi pemuda ini, karena Penghulu Siluman
Kera Putih sudah melesat meninggalkan pintu depan.
"Diamlah kau di sini! Hari ini hari istirahat untukmu. Nanti setelah itu ada
rahasia besar yang akan kusampaikan padamu!" kata Manusia Tangan Biru. Suro jadi
ragu-ragu. Urusannya dengan
Ratu Leak membuatnya tidak dapat tenang. Tetapi
ketika melihat seorang gadis cantik luar biasa me-nyediakan makanan untuknya.


Pendekar Bloon 20 Perintah Dari Alam Gaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Blo'on
jadi terperangah.
"Bagaimana, tidakkah kau terima tawaran-
ku ini?" suara Si Bayang Bayang membuyarkan lamunan pemuda itu.
"Baiklah, mengingat budi baikmu rasanya
aku malu membantah!" sahut Pendekar Blo'on.
Dalam hatinya berkata lain. "Siapa sih orangnya yang tidak sudi dilayani oleh
gadis-gadis secantik bidadari?"
"Sekarang istirahatlah! Nanti malam kau
akan melihat rahasia besar yang telah kukatakan
padamu itu!" janji Si Bayang Bayang. Kakek renta itu kemudian meninggalkan
Pendekar Blo'on seorang diri. Nah rahasia besar apakah yang akan
disampaikan oleh Manusia Tangan Biru" Siapakah
kakek setengah manusia setengah gaib ini" Apa
yang akan terjadi dengan Malaikat Berambut Api,
Mata Iblis, Manusia Topeng dan Datuk Nan Ga-
dang Paluih" Bagaimana pula dengan Ratu Leak"
Siapa yang dapat merampas Batu Lahat Bakutuk
pangkal dari segala bencana itu"
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Serial Pendekar Blo'on
1. Neraka Gunung Bromo
2. Bayang-Bayang Kematian
3. Pemikat Iblis
4. Betina Dari Neraka
5. Memburu Manusia Setan
6. Undangan Maut
7. Neraka Neraka
8. Khianat Empat Datuk
9. Anak Langit & Pendekar Lugu
10. Sang Maha Sesat
11. Lima Utusan Akherat
12. Perjalanan ke Alam Baka
13. Jodoh di Gunung Kendeng
14. Pendekar Kucar Kacir
15. Api di Puncak Sembuang
16. Rahasia Pedang Berdarah
17. Persekutuan Orang-Orang Sakti
18. Batu Lahat Bakutuk
19. Nagari Batas Ajal
20. Perintah dari Alam Gaib
21. Tokoh Tokoh Kembar
Kisah Pedang Di Sungai Es 8 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Rajawali Emas 14
^