Pencarian

Persekutuan Orang Orang Sakti 1

Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti Bagian 1


PERSEKUTUAN ORANG-ORANG SAKTI Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE Setting: M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Persekutuan Orang-orang Sakti
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Sudah sejak ratusan tahun yang silam
bangunan itu berdiri. Dibangun di atas sebuah
bukit. Di sekeliling bukit itu gersang, tidak satu pun pepohonan tumbuh di sana.
Entah siapa yang mendirikan bangunan tersebut tidak seo-
rang pun yang tahu. Ada yang mengatakan konon
bangunan megah dengan empat sisi yang menju-
lang ke langit itu dibangun oleh seorang tokoh
sakti bergelar Ratu Keindahan hanya dalam tem-
po setengah malam. Jika ini merupakan kenya-
taan. Tidak terbayangkan betapa tingginya kesak-
tian yang dimiliki oleh wanita sakti tersebut. Be-
tapa tidak" Salah satu tiang penyangga bagi ber-
dirinya bangunan itu saja besarnya sepelukan la-
ki-laki dewasa. Sedangkan jumlah tiang yang ada
seluruhnya dua puluh buah. Sepuluh berwarna
putih dan sepuluh berwarna hitam. Setiap tiang
berseling antara putih dan hitam. Apa tujuan di-
dirikannya bangunan itu oleh wanita sakti terse-
but tidak ada yang tahu. Bangunan megah terle-
tak di bukit gersang tersebut memang penuh te-
ka-teki bagi orang yang punya pikiran luas. Selain itu, tidak jauh dari bukit
gersang ini. Terdapat
bangunan lain yang lebih besar, walaupun letak-
nya di bukit yang lebih tinggi, namun bentuknya
unik. Bagian depan bangunan condong ke kiri,
seakan ingin menjangkau bangunan megah yang
berada di bukit gersang di sebelahnya. Jumlah
tiang-tiangnya juga dua puluh. Hanya sisinya ber-
jumlah lima. Bangunan tersebut mengalami kere-
takan di sana sini. Konon yang menciptakan ban-
gunan ini adalah seorang tokoh sakti pula. Bukan
wanita, melainkan seorang laki-laki yang gagah
perkasa. Apa maksud yang tersembunyi dibalik ber-
dirinya kedua bangunan tersebut tidak seorang
pun yang tahu. Demikianlah bangunan itu berdiri
selama ratusan tahun tanpa ada yang mengusik-
nya. Sampai pada suatu masa muncul seorang
gadis gagu di daerah Imogiri. Gadis itu cantik se-
kali kulitnya kuning langsat berpakaian hijau se-
perti zambrut. Kemunculan gadis ini tidak akan
mengundang perhatian orang, jika ia tidak menu-
lis syair di sembarang tempat yang dilewatinya.
Terkadang ia menulis syair-syairnya di atas daun
yang menghijau, atau di kulit-kulit kayu dan ti-
dak jarang di pintu-pintu warung.
Sayang gadis gagu dan penyair ini seperti
manusia misterius. Ia muncul di sembarang tem-
pat. Di pasar-pasar, warung, keramaian atau
tempat yang sunyi. Ia pergi tanpa meninggalkan
bekas. Namun apa yang ditulisnya satu purnama
kemudian menimbulkan kegemparan dan men-
gundang rasa ingin tahu berbagai kalangan. Bah-
kan lama-kelamaan bermunculanlah tokoh-tokoh
sakti dari berbagai daerah di tanah Jawa.
Mereka berusaha memecahkan teka-teki
yang terdapat dalam syair si gadis gagu. Namun
tidak satu pun di antara mereka yang dapat me-
mahami arti dari setiap baris kalimat yang mere-
ka jumpai dalam syair-syair itu. Kenyataan ini
menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Men-
jadi bahan diskusi baik pagi maupun petang.
Siang itu seorang laki-laki tua tampak me-
masuki kota Imogiri. Tubuhnya besar luar biasa.
Berpakaian putih dan bercelana putih kedodoran.
Sehingga sesekali ia terpaksa menarik celananya
agar tidak sampai melorot ke bawah. Telanjang.
Orang ini memikul buntalan besar, seperti orang
yang mengungsi karena diusir mertuanya. Bunta-
lan putih, kumal, dekil sebagaimana penampilan
kakek berjenggot putih itu sendiri. Melewati se-
buah warung, ia melihat ada sekelompok orang
sedang berkerumun. Rasa penasaran membuat-
nya datang menghampiri. Matanya berkedip-kedip
ketika dilihatnya orang-orang ternyata hanya
memperhatikan dan membaca syair-syair yang
tertulis di kulit pohon Trembesi (Ambon).
"Jidad orang-orang ini berkerat-kerut se-
perti sedang memecahkan kode buntut saja.
Hanya sepuluh baris kalimat yang dibuat orang
gila," gumamnya dalam hati. "Eeeh... cara meng-gurat kulit kayu itu boleh juga.
Dia pasti punya
tenaga dalam yang cukup lumayan!" Si kakek berambut putih ini memperhatikan
tulisan itu den-
gan seksama. Lalu membacanya.
Aku sering bertanya, siapa aku, buat apa
aku dilahirkan mengapa aku hidup di dunia"
Aku sudah lupa janjiku ketika berada di
alam Rahim Aku bertanya pada matahari, bintang dan
bulan Pada pohon, pada angin, pada air, dan pa-da seluruh makhluk yang punya
nyawa dan jiwa Mereka diam membisu, tanya ku berlalu....
Seperti diriku yang gagu
Lalu kudengar bisikan kalbu, datanglah ke
bukit Keangkuhan!
Kening si kakek mengerenyit. Celananya
yang kedodoran melorot dan ia terpaksa tarik ce-
lananya hingga lewat di atas pusernya.
"Yang membuat syair ini rupanya orang ga-
gu. Mengapa harus datang ke bukit Keangkuhan"
Ada apa rupanya di sana!" pikir si kakek. Si kakek lalu menggamit salah seorang
laki-laki yang berada di sebelahnya.
"Saudara, bukit Keangkuhan itu di mana?"
tanya kakek berpenampilan seperti orang sinting
ini. Orang itu memperhatikan si rambut putih,
ada perasaan ngeri membayang di matanya.
"Sebaiknya Kisanak jangan ke sana. Bukit
Keangkuhan adalah Bukit Keramat. Sudah bera-
tus-ratus tahun tidak seorang pun berani datang
ke sana. Tempat itu mengandung kutuk. Siapa
datang tidak akan pernah kembali ke dunia fana
ini!" jelasnya penuh ketakutan. Si kakek tarik celananya yang melorot.
Sesungguhnya setiap tari-
kan napasnya selalu membuat celananya turun
melulu. Tampaknya ia sangat penasaran sekali.
"Memangnya di sana ada jin tukang makan
manusia. Wah lucu juga ini, coba saudara perha-
tikan. Bukankah syair-syair itu menarik. Orang
bertanya asal-usul, untuk apa ia terlahir ke du-
nia. Wah, saudara. Hal ini bukan main-main. Aku
harus kasih keterangan pada orang gagu itu agar
dia tahu dan tidak membawa pertanyaannya di
liang kubur!" kata si kakek.
"Kisanak, sebaiknya ja...!" Orang ini terpaksa telan ucapannya karena orang yang
diajak- nya bicara sudah minggat dari hadapannya. Laki-
laki itu gelengkan kepala sekaligus takjub.
"Gila! Sekarang sudah mulai bermunculan
orang-orang sakti!" gumamnya dalam hati.
* * * Bukit Keangkuhan jaraknya sekitar seten-
gah hari lagi dari tempat kedua orang ini berada.
Tampaknya kedua laki-laki berpakaian hitam
dengan kancing terbuka ini datang dari sebuah
tempat yang cukup jauh. Yang terasa aneh dari
keduanya adalah di sekeliling pinggang mereka
terdapat buli-buli arak yang jumlahnya tidak ku-
rang dari tiga puluh buah. Arak yang mereka ba-
wa adalah arak yang paling keras. Seandainya sa-
ja arak itu dituangkan ke atas rumput-rumput
menghijau, dapat dipastikan rumput jadi kering
dan terbakar. Laki-laki jangkung dan laki-laki
pendek itu di rimba persilatan dikenal dengan ju-
lukan Iblis Pemabukan dan Setan Arak. Tidak
seorang pun yang tahu siapa nama asli mereka.
Sekarang mereka duduk di bawah pohon
yang sangat rindang. Sambil duduk mereka me-
neguk arak yang diambil dari pinggang masing-
masing. Mata orang-orang ini senantiasa merah
seperti mata orang yang tidak pernah tidur.
"Apa jadinya dengan rimba persilatan jika
iblis dan setan seperti kita muncul" Kita telah ter-tipu hanya karena syair
butut si gagu! Gluk!
Gluk! Gluk! Hmm... sedap betul rasanya arak ini!"
kata Iblis Pemabukan meracau tidak karuan.
"Siapa tahu di bukit Keangkuhan kita da-
pat peruntungan disana, Kakang. Kalau di dalam
bangunan itu terdapat kitab, kitab kita ambil, jika harta, harta pula kita
ambil. Jika perempuan cantik...!" Setan Arak si gendut pendek terdiam sejenak
seakan berpikir. Lalu ia bicara seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Aku lebih suka dalam dua bangunan itu
terdapat arak. Arak lezat yang tersimpan ratusan
tahun. Perempuan bagiku bukan kenikmatan.
Araklah yang nikmat!"
"Aku juga begitu, tapi jangan kita meren-
dahkan perempuan. Walaupun ia kelihatannya
lemah, tapi mulutnya mampu menelan laki-laki
sebesar apapun...!" sahut Iblis Pemabukan. Kemudian mereka berdua tertawa
terkekeh-kekeh.
Mereka meneguk araknya lagi, sehingga terdengar
suara sendawa saling bersahut-sahutan.
"Lihat, Kakang, gunung sudah mulai mir-
ing, nah pohon-pohon mulai berlarian saling ke-
jar. Eh, kita juga berputar-putar, Kakang!" kata Setan Arak sambil tersenyum-
senyum. "Edan kau! Itu tandanya kau sudah mulai
mabuk lagi, sinikan buli-bulimu...!" kata Iblis Pemabukan. Tanpa kata-kata ia
langsung meneguk
arak yang direbutnya, lalu....
Gluk! Gluk! Gluk!
"Hmmm, sedap betul!" desah Iblis Pemabu-
kan, seraya tepuk-tepuk perutnya yang gembung.
Lama mereka dalam keadaan seperti itu,
sampai kemudian muncul sesosok tubuh berpa-
kaian hitam di hadapan kedua orang ini.
"Weh, ada orang, Setan Arak! Siapa dia,
coba kau tanya" Jika ia menginginkan arak kita
sebaiknya kau usir cepat sebelum kesabaranku
habis!" dengus Iblis Pemabukan.
"Hmm, aku mencium bau busuk. Aku sen-
diri tidak suka bau-bauan seperti ini. Biar aku
berdiri dulu!" kata Setan Arak, seraya meneguk araknya. Kemudian ia menghampiri
laki-laki berpakaian hitam itu.
Langkahnya terhuyung-huyung seperti
orang mau jatuh.
"Kau siapa?" tanya Setan Arak.
Laki-laki bermuka bopeng-bopeng dan ber-
tampang angker ini memandang penuh sinis.
"Aku si Perusak Raga. Ingin bertanya apa-
kah kalian yang menulis syair-syair di atas daun,
di kulit kayu, di atas batu dan di sembarang tem-
pat!" tanya laki-laki muka bopeng tersebut dingin.
"Ha ha ha...! Kau Perusak Raga, pantasan
mukamu bopeng seperti jeruk purut. Ketahuilah,
kami bukan orang yang menulis syair-syair itu.
Sekarang kami malah ingin datang ke bukit
Keangkuhan." sahut Setan Arak.
"Kau dan kawanmu hendak pergi ke sana"
Huh sedangkan jalanmu saja tidak lempang.
Hanya aku yang boleh ke sana!" kata Si Perusak Raga. "Jadi...?" gumam Iblis
Pemabukan tidak jelas. "Jadi kalian berdua harus kubunuh!" dengus Si Perusak
Raga. Mendengar ucapan laki-laki berpakaian hi-
tam tersebut, kedua laki-laki pemabukan ini ter-
gelak-gelak. "Kau ini sedang bicara atau melawak. Ke-
pandaian apa yang kau miliki sehingga berani
menantang kami?" ejek Setan Arak.
"Inilah kepandaian yang ingin kalian lihat!"
teriak Si Perusak Raga.
Tiba-tiba saja ia jentikan tangannya ke
arah Setan Arak dan Iblis Pemabukan. Dari tem-
pat duduknya ia melompat dengan langkah ter-
huyung-huyung. Terlihat sinar hitam berkelebat,
hawa panas menebar seperti memanggang kulit
mereka. Iblis Pemabukan tertawa bekakakan, bi-
birnya mengatup rapat, mulut mengembung. Ke-


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudian ia menyemburkan cairan arak dari mu-
lutnya ke arah sinar yang hampir menghantam
tubuhnya. Cuh! Cuh! Zzzzzst...! Buumm! "Heh...!"
Dua-duanya terdorong mundur. Tampak
asap putih mengepul di udara. Si Perusak Raga
agak terkesiap juga melihat kenyataan ini. Lalu
secara tidak terduga tubuhnya melesat ke depan.
Kaki kanannya yang setengah ditekuk itu meng-
hantam perut Iblis Pemabukan. Sebelum tendan-
gan itu mengena pada sasaran dari samping Se-
tan Arak menyerang dengan tendangan kaki pula.
Bletok! Si Perusak Raga menjerit kesakitan, Setan
Arak berteriak keras. Ia berjingkrak-jingkrak ka-
rena menahan sakit yang luar biasa sekali. Beta-
pa pun ia tadi mengerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya. Hingga beradunya tulang kering mas-
ing-masing lawan sakitnya sampai ke ubun-ubun.
Si Perusak Raga menggeram penuh ama-
rah, jemari tangannya bersilangan. Lalu laksana
terbang ia menerjang kembali dengan serangkaian
serangan beruntun yang tidak ada putus-
putusnya. Angin menderu, debu beterbangan.
Baik Iblis Pemabukan maupun Setan Arak den-
gan terhuyung-huyung menghindari sergapan la-
wannya. Sekarang mereka benar-benar menge-
rahkan jurus-jurus mabuknya. Gerakan meng-
hindar maupun serangan balasan yang dilakukan
dua bersaudara pemabukan ini sudah tidak tera-
tur, namun Si Perusak Raga berulang kali hampir
terkecoh. Laki-laki bermuka bopeng ini tiba-tiba me-
lompat mundur ia kerahkan tenaga dalamnya ke
bagian tangan, sehingga tangan itu dalam waktu
yang sangat singkat telah berubah hitam legam.
"Pukulan Inti Raga!" desis Iblis Pemabukan dengan mata menyipit. "Setan Arak,
hati-hati. Orang gila mulai mengeluarkan pukulan sak-
tinya!" kata laki-laki jangkung ini memperin-
gatkan. "Ha ha ha...! Kau lihat, Kakang. Pohon-
pohon masih berputar, mereka seperti orang bin-
gung. Kenapa kita tidak layani dia dengan ini sa-
ja!" teriak Setan Arak membalas peringatan saudaranya. Tiba-tiba saja Setan Arak
acungkan tin- junya di udara. Tinju itu digerak-gerakkan ke
udara. Apa yang dilakukan Setan Arak diikuti
oleh saudaranya. Begitu tinju itu diayunkan ke
depan. Maka selarik sinar putih menghampar,
menimbulkan suara deru dan bergulung-gulung.
Suasana di sekelilingnya sontak menjadi panas.
Sedangkan pada waktu itu pula Si Perusak Raga
telah lebih dahulu melepaskan pukulan Inti Raga.
Terdengar pula gaung suara seperti badai. Tidak
heran, karena masing-masing lawan adalah to-
koh-tokoh sakti dan termasuk sudah memiliki
kepandaian rata-rata di atas sempurna. Maka di
tengah-tengah suara ribut yang saling tindih me-
nindih dan menyakitkan telinga itu terjadi leda-
kan keras menggeledek. Terlihat ada bunga api
berpijar seperti lintasan kilat. Tiga sosok tubuh
terlempar dan tampak terguling-guling. Perusak
Raga memuntahkan darah segar. Setan Arak dan
Iblis Pemabukan pegangi mulutnya yang mengu-
curkan darah. Walaupun mereka sama-sama
menderita luka dalam yang cukup parah. Dua
saudara pemabukan ini berdiri dan langsung ter-
tawa-tawa seperti orang gila.
Gluk! Gluk! Gluk!
Lagi-lagi Setan Arak dan Iblis Pemabukan
meneguk araknya. Arak membasahi tenggorokan
dan membuat tubuh mereka terasa hangat. Peru-
sak Raga bangkit berdiri dengan wajah berubah
kelam membesi. "Aku tidak akan pernah puas sebelum
memukul remuk batok kepala mereka!" kata Pe-
rusak Raga dalam hati. Kemudian ia mengelua-
rkan senjata andalannya berupa bola rantai baja
berduri. Keunikan senjata ini antara lain pada se-
tiap bagian sisi bola tersebut bila ditekan dapat
mengeluarkan kabut beracun. Racun ganas yang
sangat mematikan sekali.
2 Melihat apa yang hendak dilakukan oleh
lawannya Setan Arak langsung berseru ditujukan
pada saudaranya Iblis Pemabukan.
"Apa jawabmu apabila dia bermaksud
mengadu jiwa dengan kita?"
"Adalah bodoh jika sesama golongan sendi-
ri saling membunuh. Bukankah lebih baik jika ki-
ta bekerja sama Perusak Raga" Kami adalah
orang yang penasaran dan ingin tahu ada rahasia
apa yang terkandung dalam bangunan-bangunan
di bukit Keangkuhan! Apakah kau masih ingin
saling ngotot dan unjuk gigi pada kami?" tanya Iblis Pemabukan ketus.
Laki-laki berbaju hitam itu terdiam. Me-
mang kalau dipikir kedua lawannya itu mempu-
nyai kepandaian seimbang dengannya. Konon
semburan araknya saja dapat melubangi lempen-
gan baja setebal apapun. Dan sejak mereka terli-
bat pertempuran sengit tadi, tampaknya lawan
belum mempergunakan senjata maut dari minu-
man keras tersebut. Walaupun ia sendiri merasa
yakin dengan kehebatan senjata yang dimilikinya.
Kalau dipikir bukankah lebih baik mereka bekerja
sama" Nanti jika keadaan di sana menguntung-
kan bukankah mereka dapat dibunuh secara li-
cik. Berpikir sampai ke sini, Perusak Raga lang-
sung menyimpan senjatanya kembali.
"Bagus, kiranya kau dapat menerima apa
yang kami tawarkan!" ujar Setan Arak, seraya
menarik napas lega.
"Apakah kau mau minum arak kami, so-
bat" Hitung-hitung sebagai tanda persahabatan
kita." Iblis Pemabukan menawarkan sambil me-
nyodorkan buli-buli tuaknya pada Si Perusak Ra-
ga. Tapi tokoh aneh yang satu ini menolaknya.
"Jelaskan padaku apa yang kalian ketahui
tentang Penyair Gagu?" tanya Si Perusak Raga.
Iblis Pemabukan dan Setan Arak berpandangan.
Setan Arak melangkah maju.
"Oh mengenai Penyair itu kami pun sama
butanya dengan engkau. Tapi menurutku ia pasti
tahu banyak tentang bukit Keangkuhan. Terbukti
ia menulis syair-syair itu dan apa yang dikata-
kannya berada tidak jauh lagi dari sini. Cuma
kami tidak tahu arti sepuluh mengalahkan sepu-
luh. Satu mengalahkan sembilan!" ujar Iblis Pemabuk. Bibir Perusak Raga
menggerimit, kening-
nya yang menghitam tampak berkerenyit dalam.
"Itu sebuah misteri. Kurasa ada sesuatu
yang berguna di dalam bangunan itu. Ada hal
yang kurasakan agak janggal dalam syair-syair
itu?" gumam Perusak Raga.
"Apa?" tanya Setan Arak dan Iblis Pemabukan hampir bersamaan.
"Apa hubungannya wanita penyair gagu itu
dengan dua bangunan yang berada di atas bukit
Keangkuhan?"
"Hal ini baru dapat kita cari jawabannya bi-
la kita sudah sampai ke sana!" sahut Setan Arak.
"Nah sekarang setelah kita berserikat tung-
gu apa lagi!" ujar Perusak Raga seakan tidak sabar. "Betul, kita adalah orang-
orang bersekutu.
Mari segera berangkat!" timpal Iblis Pemabukan.
Maka berangkatlah ketiga tokoh-tokoh sakti itu
menuju bukit Keangkuhan yang jaraknya tidak
jauh lagi dari tempat mereka berada.
* * * Pemuda bertampang tolol kekanak-
kanakan itu baru saja mengenakan bajunya. Ia
mengangkat beberapa ekor ikan jurung besar
yang baru didapatnya ketika mandi tadi. Ikan itu
megap-megap karena tidak bisa bernapas. Si pe-
muda baju biru ini garuk-garuk kepala sambil
memperhatikannya.
"Sebenarnya aku sudah kelaparan nih. Ta-
pi setelah melihat mata ikan ini kok jadi tidak te-ga! Baiknya aku lepaskan
saja." pikir si konyol.
Ternyata ia ragu-ragu. "Lepas jangan ya" Jangan apa dilepas?"
Krukuk! "Heh, cacing dalam perutku mengatakan
supaya jangan dilepas." kata Suro. "Tapi bagaimana jika bapak emak ikan ini
mencari anaknya"
Bapak ikan pasti sedih! Weleh masa bodo! Mau
makan saja pakai ragu-ragu segala!"
Plok! Plok! Dan tiga ekor ikan jurung itu dihem-
paskannya di atas batu. Ikan menggelepar dan
mati. Suro segera membuat api dari ranting-
ranting kering yang dikumpulkannya. Tidak lama
kemudian terciumlah bau harum daging pang-
gang yang lezat.
Suro Blondo murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan Malaikat Berambut Api ini mulailah si-
buk menggerogoti ikan panggang tersebut. Sedang
asyik-asyiknya ia menikmati santapannya. Tiba-
tiba telinganya yang sudah sangat terlatih itu me-
nangkap ada suara langkah-langkah kaki mende-
kati ke arahnya. Tanpa membuang waktu lagi Su-
ro melompat ke atas dahan pohon. Sayang ia
hanya dapat menyambar salah satu ikan pang-
gang, sedangkan sisanya tertinggal di pinggir pe-
rapian. "Wiih, ikan ini padahal gurih. Sayang aku cuma sempat membawanya satu.
Kalau sedang makan enak begini rasanya mertua lewat pun ti-
dak kelihatan. Goblok, siapa mertuaku" Satu-
satunya gadis yang aku suka hanya Putri Kilat
Bayangan. Entah di mana dia!" ujar si konyol seperti orang berbisik-bisik
seperti orang kurang
waras. "Rasanya lebih baik aku turun mengambil ikan itu!" katanya memutuskan.
Namun belum sempat ia melakukan sesuatu, tiba-tiba ia melihat
seorang gadis berkulit kuning langsat berwajah
ayu berpakaian hijau. Suro berdecak kagum me-
lihat kecantikan gadis itu. "Untung dia datang bukan pada waktu aku lagi mandi.
Kalau sampai ketahuan, weleh-weleh, aku bisa sial empat puluh
hari!" desah Suro.
Lalu Suro memperhatikan gadis itu agak
lama. Ternyata gadis baju hijau tertarik melihat
ikan bakar yang terletak di pinggir perapian ter-
sebut. Setelah celingak-celinguk memperhatikan
sekelilingnya. Ikan bakar milik Pendekar Blo'on
dimakannya tanpa rasa curiga, sikapnya santai.
Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang
tipis kemerahan.
"Enak saja ikanku diambil. Mana boleh be-
gitu?" gumam Suro dalam hati. Ia garuk kepala lagi. Tiba-tiba saja melompat
turun. "Hei... ikanku...!" tegas Suro cemberut.
Sepontan gadis baju hijau melengak dan
langsung melompat mundur ketika melihat keha-
diran pemuda berambut hitam kemerahan ini. Se-
jenak lamanya ia memperhatikan Pendekar
Blo'on. Lalu sisa ikan di tangannya ia buang.
"Eii, jangan dibuang mubazir!" kata Suro.
Pemuda itu memungut sisa ikan yang dibuang
gadis baju hijau. Ketika Suro bangkit berdiri ia
melongo. Gadis berbaju hijau sudah menghilang
dari hadapannya.
Namun ada sesuatu yang membuatnya me-
rasa aneh. Ia melihat bendera terbuat dari kain
putih. Bendera tersebut diikatkan pada ranting
kayu, pangkal ranting menancap di tanah.
"Bendera putih" He he he...! Seperti orang
kalah perang aja!" ujar Suro sambil menghampiri.
Merasa penasaran ia langsung mencabut ranting
kayu tersebut. "Ugkh...!"
Dan pemuda ini terbelalak kaget. Ranting
kayu itu tidak dapat dicabut dengan tenaga ka-
sar. Keningnya mengerenyit. Jika gadis baju hijau
itu dapat melakukan hal seperti ini pasti ia memi-
liki tenaga dalam yang sudah sempurna sekali.
"Trondolo! Ini sih bukan main-main!" gu-
mam si pemuda. Seraya garuk-garuk kepala. Se-
karang ia mengerahkan tenaga dalamnya.
"Huup!"
Broll! "Wadoow...!"
Begitu kerasnya ia mencabut sampai mem-
buatnya jatuh terduduk, sialnya lagi pantatnya
terhempas di atas batu runcing. Pemuda berbaju
biru ini meringis kesakitan. Ia usap-usap pantat-
nya. "Untung bukan pedangku yang kena. Kalau sampai itu yang tertusuk batu, jika
anu yang tertusuk. Bisa-bisa masa depanku jadi suram!" geru-tunya sambil


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyengir. Bendera putih yang tergu-
lung dibukanya. Mata pemuda konyol ini membu-
lat lebar. Di bolak-baliknya bendera tersebut, mu-
lutnya termonyong-monyong. Tulisan itu cukup
indah, tapi Suro yang sudah diajar tulis baca dan
berhitung oleh kedua gurunya dulu masih sulit
membaca tulisan tersebut. Kening Suro berkerat-
kerut lagi, eeh, kemudian monyong lagi.
"Sialan, ini tulisannya kok susah amat di-
bacanya!" desahnya. Ia garuk-garuk kepala. Sesungguhnya bahasa pada tulisan itu
sebagaimana bahasa umum, namun rupanya gadis tadi adalah
seorang ahli hias tulisan, sehingga arti huruf yang samar-samar membuat kepala
Suro puyeng. Setelah memperhatikannya agak lama dan lebih teliti
barulah Suro menyeringai kegirangan.
"Ini syair yang bagus! Isinya kok aneh,
ya...?" batin Suro dalam hati. Sebentar saja pemuda ini sudah menelitinya baris
demi baris ka- limat yang tertulis pada bendera putih itu.
Manusia dilahirkan berjodoh
Laki-laki dengan perempuan
Bumi berdampingan dengan langit,
Namun tidak pernah menyatu
Siapa yang menjunjung langit"
Siapa yang memegang bumi"
Manusia banyak belajar agar jangan bodoh
Ternyata semakin belajar semakin bodoh
Tambah ilmu tambah bodoh
Tambah pintar tambah goblok
Sesungguhnya manusia itu teramat bodoh-
nya sangat tololnya, semakin gobloknya!
Sedikit kepandaian manusia mengatakan
dirinya sakti Kemudian terlahir keangkuhan, satu ingin
memiliki, satunya lagi ketakutan, akan ditem-
patkan dimana bila ia mati
Luh Jingga ingin jodoh
Ia menciptakan kemegahan dalam waktu
semalam Tapi kemegahan itu miring, karena hatinya
condong pada wanita
Rata Keindahan, Dara Nirmala
Ia tidak ingin jodoh
Hatinya eondong pada maut
Orang-orang sakti
Orang-orang sakti
Kemegahanmu berdiam di bukit Keangku-
han! Suro seka keringatnya, ia leletkan lidah.
Hanya sedikit saja makna dari baris-baris kata
yang tertulis di atas kain putih itu. Kemudian ia
ingat ketika lewat di daerah Imogiri beberapa hari yang lalu. Ia juga banyak
melihat syair-syair yang selalu dikerumuni orang. Syair yang konon ditulis
oleh seorang penyair wanita. Penyair Gagu! Suro
sekarang tepuk-tepuk keningnya.
"Kurasa gadis itu tadi penyair gagu yang
dimaksud oleh orang-orang di Imogiri. Tololnya
aku mengapa tidak kukejar" Padahal aku bisa
bertanya padanya apa yang terjadi di bukit
Keangkuhan" Aneh, dia sendiri punya hubungan
apa dengan Ratu Keindahan?" Pendekar Blo'on
golang-golengkan kepala pertanda bingung.
"Apapun yang terjadi di sana bukankah le-
bih baik jika aku mengetahuinya!" pikir Pendekar Mandau Jantan. Pemuda berambut
kemerahan ini selanjutnya berlari meninggalkan tepian sun-
gai. Dikejauhan terdengar suara sayup-sayup, se-
perti memaki dirinya sendiri.
Tololnya aku, begonya Suro! Punya ilmu la-
ri Kilat Bayangan, kok malah berlari seperti mo-
nyet-monyet terbirit-birit!"
Wueees! Brebet! Setelah mengarahkan ilmu lari Kilat
Bayangan, tubuh si pemuda berkelebat-kelebat di
antara pohon-pohon yang dilaluinya. Jika saja
ada orang yang mengetahui perjalanan pendekar
konyol itu, pastilah mereka terkagum-kagum.
* * * Aripati Ujudana termasuk salah seorang
tokoh kondang, sakti, serakah di daerah gunung
Ceremai. Ia bergelar Si Muka Setan. Bukan kare-
na wajahnya yang buruk. Wajah laki-laki itu cu-
kup tampan, sisa-sisa ketampanannya itu masih
ada walaupun kini umurnya sudah mencapai
hampir 60 tahun. Ia menjadi manusia yang paling
ditakuti di daerah gunung Ceremai, karena selain
kesaktiannya yang tidak terukur, ia memiliki sen-
jata ampuh yang terkenal dengan nama Petala
Langit. Senjata itu berupa roda-roda terbang yang
apabila melayang di udara dapat berubah jadi ba-
nyak bagaikan bintang bertaburan.
Munculnya Penyair Gagu telah menimbul-
kan heboh dan kegemparan di mana-mana. Sam-
pai-sampai kabar itu tersebar di daerah Ceremai.
Aripati Ujudana sebagai pentolan gunung Ceremai
dan telah pula mengasingkan diri, terdorong oleh
rasa keingintahuan akhirnya meninggalkan pen-
gasingan. Pagi itu ketika kabut menyelimuti bukit
Keangkuhan ia sudah sampai di sana. Ia tercen-
gang melihat kedua bangunan megah yang letak-
nya berdampingan tersebut. Antara kedua ban-
gunan itu ia melihat batu besar di atas tanah. Ba-
tu tersebut berbentuk aurat laki-laki lengkap
dengan buah jambunya. Ujung batu yang berben-
tuk aurat itu menghadap ke arah bangunan indah
yang memiliki empat sisi pada bagian atapnya.
Aripati Ujudana atau Si Muka Setan adalah orang
yang paling jarang tertawa dalam hidupnya. Na-
mun kali ini tawanya meledak, ia tertawa seperti
orang kurang waras. Perutnya terguncang air ma-
tanya bercucuran akibat tawanya yang tiada hen-
ti. Ternyata batu berbentuk aurat itu mem-
punyai suatu kekuatan gaib yang dapat mempen-
garuhi jiwa orang yang melihatnya. Seperti Aripati Ujudana ini. Si Muka Setan
sama sekali tidak
menyadari bahwa dirinya telah terpengaruh ke-
kuatan gaib dari apa yang dilihatnya. Sementara
dari bangunan di sebelah barat, yaitu bangunan
yang condong dimana setiap tiang penyangganya
retak di sana sini seperti mau ambruk. Ada satu
kekuatan yang kemudian menggerakkan Si Muka
Setan. Laki-laki berambut panjang ini sambil ter-
tawa-tawa memasuki bangunan yang condong
tersebut. Pintunya yang tertutup langsung mem-
buka secara aneh, Si Muka Setan masuk melalui
pintu itu. Setelah ia berada di ruangan dalam,
pintu menutup kembali. Aripati Ujudana tercen-
gang-cengang melihat keindahan yang terdapat di
bagian dalam bangunan tersebut. Pada setiap
dindingnya terdapat gambar seorang perempuan
cantik luar biasa. Lukisannya memang sungguh
indah. Rasanya tidak seorang pelukis pun di du-
nia ini yang mampu melukis wanita sesempurna
itu. 3 Aripati Ujudana tidak berhenti sampai di
situ saja. Tubuh serta langkah kakinya seperti
tertarik untuk memeriksa ruangan demi ruangan
bangunan yang luas dan memanjang ke belakang
tersebut. Sementara itu suara tawa terus terden-
gar, tidak pernah berhenti hingga membuat sua-
ranya serak sekali. Sampai di sebuah ruangan
lain ia tertegun. Di sana ia melihat sebuah luki-
san lain yang langsung menempel pada dinding.
Lukisan seorang gadis yang sama dalam bentuk
samar sementara ada seorang laki-laki yang se-
dang melambaikan tangannya seakan ingin
menggapai gadis itu. Di belakang si laki-laki yang tidak jelas wajahnya itu
terlihat seorang gadis pu-la memakai baju putih. Wajahnya hampir sama
dengan wajah gadis yang satunya lagi. Cuma yang
di belakang laki-laki itu tampak cemberut. Berbe-
da dengan perempuan yang satunya lagi yang
seakan berlari menjauhi si laki-laki. Sedangkan
yang di belakang laki-laki seakan mengejarnya.
Aripati Ujudana semakin keras tawanya
melihat lukisan tersebut. Padahal tidak ada sesu-
atu yang lucu. Demikianlah sambil tertawa-tawa
seperti orang gila itu terus bergerak ke arah ruangan lainnya. Hingga ia melihat
tumpukan batu- batu jambrut serta mutiara yang bertebaran di
atas lantai. Si Muka Setan bermaksud mengambil
barang-barang berharga itu. Ia berpikir jika ia da-
pat membawa barang-barang itu keluar, ia pasti
akan menjadi orang paling kaya. Namun baru sa-
ja jemari tangannya hendak menyentuh salah sa-
tu dari mutiara dan batu jambrut tersebut ada si-
nar putih menyambar tangannya.
Sinar itu membuat tangannya melepuh,
Aripati Ujudana menjerit keras. Ia memandang ke
arah datangnya sinar tadi. Ternyata tidak ada
siapapun di belakangnya. Aripati memaki, ta-
wanya terhenti. Lalu terdengar suara seseorang
yang seakan datang dari ruangan lainnya.
"Jangan kau sentuh barang yang bukan
milikmu! Kau telah memasuki bangunan tandin-
gan yang kuciptakan dalam waktu semalam. Be-
rarti kau tidak dapat keluar dari tempat ini sela-
manya. Kau harus bersekutu denganku!" kata sebuah suara.
"Mana bisa, aku Si Muka Setan tidak dapat
bekerja sama dan bersekutu dengan siapapun!"
bantah Aripati.
"Setiap pintu terkunci, tidak pernah terbu-
ka tanpa seizinku. Kau tidak mungkin dapat me-
nembusnya tanpa bantuanku. Walau kau mem-
punyai kesaktian setinggi gunung!"
"Siapa kau" Tunjukkanlah wajahmu dan
datang kepadaku!"
"Datanglah kau kemari! Kau segera melihat
siapa aku yang sebenarnya!" sahut suara itu.
Seumur hidupnya Aripati tidak pernah diperintah
orang lain. Biasanya dialah yang memberi perin-
tah. Itu sebabnya ia tetap bertahan pada tempat-
nya. Namun tanpa disangka-sangka seakan ada
kekuatan gaib yang menyeretnya. Aripati bergerak
diluar kehendak hatinya. Ia tetap berusaha berta-
han, tapi malah ia tersungkur bahkan seperti ada
suatu kekuatan yang menyeretnya. Jika saja to-
koh berkepandaian tinggi seperti Aripati ini tidak berdaya melawan kekuatan gaib
tersebut, dapat
dibayangkan betapa kesaktian orang yang bicara
tadi. Gluduk! Aripati terguling-guling di sebuah ruangan
yang sangat luas. Pada setiap bagian dinding ter-
dapat gambar-gambar laki-laki yang sedang me-
nangis. Gambar laki-laki itu sama persis dengan
lukisan yang di depan tadi. Aripati bangkit berdiri dengan perasaan terheran-
heran. Ketika ia
layangkan pandangan matanya. Di tengah-tengah
ruangan, tepatnya di atas batu pualam putih ber-
bentuk empat persegi duduk seorang laki-laki.
Pakaiannya hancur lapuk dimakan waktu, Aripati
tidak dapat melihat wajah orang ini karena posi-
sinya memunggungi. Laki-laki itu mengelilingi ba-
tu tersebut, bergerak ke depan untuk melihat wa-
jah orang yang rambutnya menjuntai ke lantai.
Dan Si Muka Setan pun terkesiap, dari ke-
dua mata orang ini ternyata mengucur air mata
yang tidak kunjung henti. Sungguh pun kedua
kelopak matanya dalam keadaan terpejam, na-
mun air mata yang keluar tidak pernah berku-
rang. Apa yang membuat laki-laki ini menangis
sepanjang masa, itulah yang membuat Aripati
terheran-heran.
"Ternyata aku hanya melihat seorang laki-
laki cengeng. Huh... aku harus keluar dari tempat
ini untuk memeriksa bangunan yang di sebelah
timur!" dengus Si Muka Setan. Mendengar kata-
kata Aripati. Sosok yang duduk di atas batu tam-
pak bergetar. Matanya membuka seketika. Me-
mandang pada Aripati dengan sorot tajam menge-
rikan. "Kau anak manusia, kutahu namamu, ge-
larmu, bapak moyangmu, umurmu dan sampai
dimana kesaktianmu! Kau telah memasuki ban-
gunan megah yang kuciptakan semalam. Berada
di sini berarti kau tidak akan keluar, kau harus
bersekutu denganku. Manusia sakti yang tidak
ada duanya. Kau tidak boleh pergi ke bangunan
yang terletak di sebelah timur itu. Karena di sana tinggal manusia suci, wanita
yang dulu sangat
aku cintai. Namun ternyata ia lebih cinta pada
kematiannya! Laki-laki sepertiku punya banyak
kekurangan dan kelebihan. Manusia diberi sepu-
luh akal, sembilan untuk laki-laki, satu untuk pe-
rempuan. Manusia diberi sepuluh nafsu, satu un-
tuk laki-laki, sembilan untuk perempuan. Tapi
sembilan nafsu yang dimiliki wanita tertutup oleh
rasa malu. Tahukah kau bahwa aku terjebak da-
lam cinta! Ini yang mengalahkan sembilan akal


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kumiliki. Aku runtuh oleh satu nafsu yang
ada padaku. Aku teramat sangat mencintainya,
tapi ia tidak mencintaiku. Ia teramat sibuk memi-
kirkan kematiannya, karena sesungguhnya ia cin-
ta pada mati. Sementara itu ada perempuan lain
yang mencintaiku, tapi aku tidak suka padanya.
Nah perempuan itulah yang menjadi musuhku
dan musuhnya!" kata si kakek tua. Kemudian ia mengulang-ulangi ucapannya.
"Ia perempuan suci, jangan kau pergi ke
sana! Aku tidak suka melanggar janji! Aku tidak
suka!" kata orang ini.
"Siapa kau" Mengapa begitu lemahnya kau
menjadi manusia?" sentak Si Muka Setan. Kakek tua itu mengangkat wajahnya dan
memandang ke langit. Air mata semakin deras menetes memba-
sahi pipi. Walaupun memang tangisnya tidak
pernah terdengar.
"Aku Lu Jingga, bergelar Datuk Tinggi Raja
Di Angin. Kau mungkin pernah mendengar na-
maku, atau mungkin tidak bukanlah soalan...!"
Aripati langsung memotong. "Aku pernah
mendengar kakekku dulu bercerita ada seorang
tokoh sakti yang memiliki umur ratusan tahun.
Orang itu bisa menciptakan gedung-gedung me-
gah hanya dalam waktu semalaman. Konon ia di-
bantu oleh masyarakat Jin untuk mewujudkan
sesuatu. Jika benar kau Datuk Tinggi Raja Di An-
gin. Aku ingin tahu berapa umurku sekarang dan
dapatkah kau menciptakan apa yang kau bangun
ini dalam bentuk yang sangat kecil sebagai ti-
ruannya?" Datuk Tinggi Raja Di Angin memperhatikan
Si Muka Setan. Kemudian terdengar suaranya
seakan berseru dan ditujukan pada makhluk-
makhluk yang tidak terlihat.
"Ada anak manusia yang memintaku agar
membuat duplikat bangunan ini. Wahai anak bu-
ahku yang berada di alam gaib. Adakan segera
dalam waktu sekedipan mata!" kata Lu Jingga.
Aripati melotot memperhatikan kemungkinan
yang terjadi. Namun ia tidak kuat menentang ma-
ta hingga membuat matanya berkedip. Tahu-tahu
di depan kakek rambut putih bersenjata roda ber-
gerigi ini telah tercipta sebuah bangunan yang
sama persis dengan bangunan besar tersebut.
"Ternyata kau benar! Kau Datuk Tinggi Ra-
ja Di Angin. Tapi mengapa kau mengurung diri
seperti ini dan dalam keadaan selalu menangis
pula?" bertanya Si Muka Setan. Lu Jingga seka air matanya, seraya menarik nafas
dalam-dalam. Ekspresi wajahnya sulit dibaca. Setelah itu ia bi-
cara dengan perasaan segan.
"Panjang ceritanya! Ini sebenarnya adalah
suatu rahasia yang memalukan. Tapi jika kau in-
gin tahu, sebagai orang yang pertama datang ke
sini. Aku ingin kau mendengarnya baik-baik." ka-ta Datuk Tinggi Raja Di Angin.
Kemudian ia sege-
ra menuturkan segala sesuatunya secara jelas.
Sekitar dua ratus tahun yang lalu, ada seo-
rang pemuda memiliki kepandaian sangat tinggi.
Ia mempelajari ilmu silat dan berbagai kesaktian
dari satu negeri ke negeri lainnya. Sampai kemu-
dian kesaktiannya setara dengan para dewa. Na-
mun ia tetap berpetualang, hingga sampailah ia di
Lembah Silau Dunia. Di lembah itu tinggal dua
orang kakak beradik, dua-duanya berwajah can-
tik bagai bidadari. Yang paling tua bernama Dara
Nirmala sedangkan adiknya bernama Dara Alindi.
Pemuda itu jatuh cinta pada Dara Nirmala dalam
pandangan pertama. Cinta sejati, sebaliknya adik
gadis itu yang bernama Dara Alindi jatuh cinta
pada pemuda itu. Tentu saja dia tidak menangga-
pi, karena cintanya hanya untuk Dara Nirmala.
Gadis suci yang selama hidupnya memikirkan ha-
ri kematiannya. Dara Nirmala selalu bertanya-
tanya bila ia mati nanti masuk surga atau nera-
ka" Sehingga ia tidak pernah menghiraukan cinta
pemuda itu. Walaupun pemuda itu telah duduk
bersimpuh di dekat pemujaan sang gadis selama
bertahun-tahun.
Sebaliknya gadis yang bernama Dara Alindi
selalu datang menggoda dan merayunya. Gadis
ini juga punya kesaktian yang tidak terukur. Pe-
muda itu ternyata tetap teguh pada pendiriannya.
Ia menunggu Dara Nirmala, hingga pakaiannya
lapuk dimakan panas dan hujan. Dara Nirmala
tersentuh juga hatinya, ia menjumpai pemuda itu
sehingga terjadilah pembicaraan yang cukup pan-
jang. "Wahai pemuda gagah, apa perlumu me-
nungguku" Padahal kau telah mengetahui pendi-
rianku. Keputusanku tidak berubah! Kau manu-
sia sakti, aku juga wanita sakti. Apa yang kau
bayangkan tentang diriku, sama artinya kau me-
lakukan sesuatu sebagaimana yang ada dalam
hatimu. Perkataan hatimu ataupun perkataan
mulutmu selalu didengar oleh Gusti Allah. Manu-
sia sakti seperti kita kata-katanya manjur, uca-
pan hatinya terkabul. Tidakkah kau berpikir
bahwa itu akan membahayakan dirimu dan diri-
ku. Kalau kau suka mengapa kau tidak mau ber-
dampingan dengan adikku, ia mencintaimu!" kata Dara Nirmala dengan kata-kata
yang sangat halus
dan merdu. "Cinta tidak dapat dibantah, kata hati jeri-
tan jiwa tidak dapat kudustai. Cintaku hanya un-
tukmu!" "Kau tetap ngotot. Bicaramu dan apa yang
kuucapkan terkabul. Tidakkah kau takut?"
"Cinta sejati tidak mengenal rasa takut!"
sahut si pemuda.
"Baiklah! Aku akan mempertimbangkan
pertanyaanmu! Sebagai orang yang tidak berdus-
ta. Aku akan mengajukan dua pertanyaan pada-
mu, jika kau dapat menjawabnya. Aku bersedia
menjadi isterimu! Jika kau tidak mampu menja-
wabnya, maka sebaiknya kau pergi dari sini!"
"Syaratmu aku penuhi, sekarang tanyalah
apa yang ingin kau tanyakan!"
"Karena aku kurang suka tinggal di dunia
ini. Pertanyaanku pertama bila aku mati dan di-
kubur. Apakah di alam kubur aku mendapat sik-
sa atau tidak?"
"Itu persoalan gaib, hanya Gusti Allah yang
dapat menjawabnya!" jawab si pemuda dengan jujur. "Apa pertanyaan yang kedua?"
"Pertanyaanku yang terakhir. Setelah aku
mati apakah aku masuk surga atau neraka?"
"Itu juga urusan Tuhan, aku tidak bisa
menjawabnya!" kata si pemuda.
"Kalau begitu pergilah cepat! Jangan kau
duduk di depan pintu tempat aku memuja kebe-
saran-Nya!"
"Berilah aku tangguh hingga besok. Pagi-
pagi sekali aku pasti meninggalkan tempat ini!"
Dara Nirmala sama sekali tidak menyahut,
ia menutup pintu rapat-rapat, sedangkan pemuda
sakti itu tetap duduk di situ menunggu datangnya
pagi. Malamnya baik Dara Nirmala maupun si
pemuda sama-sama bermimpi melakukan hu-
bungan suami isteri. Dara Nirmala merasa sea-
kan-akan dirinya menjadi hamil akibat mimpi itu.
Sebagai orang suci yang sakti, mimpi bukan
hanya sekedar mimpi karena bisa berubah men-
jadi sebuah kenyataan.
Terdorong oleh perasaan bingung dan rasa
bersalah yang sangat mendalam. Malam itu juga
Dara Nirmala yang merasa dirinya telah ternoda
meninggalkan tempat pemujaannya. Kejadian ini
diketahui oleh si pemuda. Ia pun menyusul, ke-
jar-kejaran pun terjadi di sepanjang pulau Jawa.
Hingga dua-duanya merasa letih dan Dara Nirma-
la tersusul setelah berada di puncak bukit yang
terletak di sebelah barat daya Imogiri.
Di sini perdebatan sengit terjadi.
"Kau terlalu keras kepala! Kau pasti mem-
bayangkan sedang melakukan hubungan cinta
denganku!" tuduh Dara Nirmala sambil menangis.
"Bayangan itu hanya terlintas sepintas sa-
ja!" Si pemuda mengakui.
"Tidakkah kau ingat bahwa apa yang kau
bayangkan sering menjadi kenyataan" Aku benci
pada manusia lemah sepertimu! Kau punya sem-
bilan akal, namun kesembilan akalmu tidak
mampu mengendalikan nafsumu yang cuma satu.
Aku punya sembilan nafsu, tapi sembilan nafsu-
ku dapat dikendalikan oleh akalku yang cuma sa-
tu! Akibat mimpi itu telah membuatku ternoda.
Kini aku hamil, memalukan sungguh memalu-
kan!" teriak Dara Nirmala.
"Tapi bukankah kau dan aku hanya ber-
mimpi saja"!"
"Kau manusia bodoh, orang sakti tolol.
Mimpi adalah lebih berbahaya dari kenyataan.
Bertaubatlah kau, jangan ganggu aku! Kelak anak
ini akan terlahir. Malam nanti akan kuciptakan
sebuah gedung tempat tinggalku dan mengurung
diri!" tegas Dara Nirmala.
"Aku bersedia bertanggungjawab atas se-
mua yang terjadi!" kata si pemuda yang tidak lain adalah Lu Jingga.
"Tidak! Sebaiknya bertaubatlah kau mulai
hari ini. Dan ciptakan sebuah gedung untuk pen-
gasinganmu jika kau punya kemampuan!" tan-
tang si gadis. "Aku dapat melakukannya. Bukit ini ku-
namakan bukit Keangkuhan. Sebagai rasa penye-
salanku aku akan menangisi segala apa yang ter-
jadi pada dirimu!"
"Itu lebih baik, dan jangan kau ganggu aku
lagi. Seandainya hal itu kau lakukan, jalan terak-
hir aku terpaksa membunuhmu!" ancam Dara
Nirmala. Benar saja malamnya dengan kesaktian
yang dimiliki masing-masing mereka membangun
sebuah gedung. Hanya para Jin yang membantu
Dara Nirmala lebih banyak dan lebih cepat. Se-
dangkan Jin yang berada di bawah pimpinan Lu
Jingga jumlahnya terbatas. Hingga kokok ayam
terdengar dua bangunan telah berdiri. Bangunan
milik si pemuda tidak sempurna betul, bahkan
miring ke arah bangunan Dara Nirmala. Beberapa
tiangnya retak-retak. Konon ada salah satu Jin
yang iseng dan meletakkan batu berbentuk aurat
laki-laki. Dan mengandung kekuatan gaib yang
dapat mempengaruhi orang lain. Siangnya ban-
gunan itu jadi sunyi, Dara Nirmala maupun Lu
Jingga sudah tidak terlihat lagi.
Di luar kesadaran mereka, rupanya Dara
Alindi yang tertinggal di Lembah Silau Dunia
menjadi marah dan menyimpan dendam terlebih-
lebih pada Lu Jingga alias Datuk Raja Di Angin, ia telah bertekad untuk
melakukan pembalasan terhadap saudara dan pemuda yang telah mem-
buatnya sakit hati tersebut.
"Tidak disangka, Kak Nirmala minggat ber-
sama Lu Jingga! Katanya tidak suka, tapi kulihat
dalam mimpiku Dara Nirmala bunting malah!
Orang munafik! Kalian berdua nanti akan mera-
sakan pembalasan yang setimpal!" geramnya pe-
nuh rasa dendam yang menyala-nyala. Untuk di-
ketahui, mereka ini punya ajian yang membuat
diri mereka tetap awet muda walaupun usia su-
dah melewati ratusan tahun. Terlebih-lebih Dara
Nirmala dan Dara Alindi ini. Sejak saat itu Dara
Alindi yang merasa dikhianati kakaknya mulai
melakukan persiapan-persiapan yang cukup ma-
tang. Ia bahkan terus memperdalam kesaktian
yang dimilikinya. Beberapa tahun kemudian ia
mulai bergentayangan mencari kakaknya juga
pemuda yang telah membuatnya kecewa.
"Aku sudah bercerita banyak, apakah kau
sudah memahaminya?" tanya Datuk Raja Di An-
gin kemudian. Si Muka Setan anggukkan kepala
dengan perasaan takjub.
"Kesaktian yang dimiliki oleh orang dulu
sangat luar biasa sekali. Bagaimana dengan
anakmu dari hasil hubungan dalam mimpi itu?"
tanya Aripati ingin tahu.
"Kurasa sekarang ia sudah dewasa. Aku ti-
dak pernah keluar meninggalkan gedung ini. Itu
sudah menjadi kesepakatan. Anakku mungkin di-
asuh oleh para Jin. Untuk itu kuminta padamu!
Jangan kau pergi ke bangunan di sebelah timur
itu setelah datang ke gedung ini, apa yang kau la-
kukan dapat menimbulkan fitnah. Sebab aku me-
rasa yakin cepat atau lambat Dara Alindi pasti
datang ke sini untuk menghancurkan aku atau
kakaknya sebagai pelampiasan rasa sakit hati
yang dialaminya!"
"Baiklah, aku turuti permintaanmu, mulai
saat ini aku bersedia bersekutu denganmu!" tegas Aripati Ujudana.
4 Si tua berpakaian putih dan membawa-


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawa buntalan seperti orang yang mau pindah te-
rus mendekam di semak-semak kering yang terle-
tak tidak jauh dari bukit Keangkuhan. Ia sudah
melihat paling tidak tiga orang laki-laki dan ke-
marinnya lagi seorang laki-laki bersenjata roda
bergerigi. "Sudah dua hari aku mendekam di tempat
ini. Tapi tidak satu pun di antara mereka yang be-
rangkat ke sana kembali. Seingatku kalau tidak
salah orang bersenjata roda masuk ke dalam ge-
dung condong yang terletak di sebelah barat itu.
Kemudian orang itu tertawa seperti orang gila!
Sebenarnya apa yang membuatnya tertawa" Dan
tiga laki-laki lainnya menuju gedung yang megah
tersebut. Dua di antara mereka jalannya seperti
mau jatuh! Itu pasti Iblis Pemabukan dan Setan
Arak, yang satunya aku tidak kenal. Setelah ma-
suk, mereka pun kulihat tidak pernah keluar.
Eeh... apa mereka menemukan harta karun, ya"
Atau mungkin di dalam gedung mewah itu ber-
diam gadis-gadis cantik! Aku sih tidak ngiler, aku cuma ingin tahu rahasia di
balik syair-syair si ga-
gu. Gadis misterius itu sebenarnya siapa?" kata si kakek. Ia bangkit berdiri,
kemudian tarik celananya yang selalu melorot ke bawah bila ia mena-
rik nafas. Kakek rambut putih ini kemudian me-
nyandarkan punggungnya di bawah sebatang po-
hon kering. Melihat ke atas pohon yang gersang ia
jadi bosan sendiri.
"Aneh, pohon di sini tidak ada yang tum-
buh. Benar kata orang-orang di Imogiri bahwa
daerah ini merupakan daerah keramat dan ang-
ker!" Si kakek mengomel lagi. Orang ini julurkan kepala lagi, memandang ke arah
kedua bangunan tersebut terasa sepi-sepi saja. Selagi ia sibuk
memperhatikan gedung-gedung itu. Tanpa dis-
adarinya seseorang telah berdiri di situ. Jika seorang tokoh seperti Dewa
Sinting yang punya se-
gudang ilmu saja tidak dapat mengetahui kehadi-
ran orang itu, dapat dibayangkan betapa ting-
ginya tingkat kepandaian pendatang yang tidak
diundang ini. "Apa kerjamu di sini! Apakah kau tamu sa-
lah satu dari pemilik gedung mewah itu" Mengapa
tidak cepat masuk?" tegur orang itu, suaranya dingin menusuk.
"Edan, ada orang datang aku sampai tidak
tahu! Jika ia membawa maksud tidak baik tentu
sejak tadi aku sudah mampus!" maki Dewa Sint-
ing ditujukan pada dirinya sendiri. Cepat ia me-
noleh, terlihat olehnya seorang laki-laki setinggi satu setengah batang tombak.
Orang ini memiliki
empat wajah. Masing-masing wajah mempunyai
empat mulut. Matanya berjumlah delapan, hi-
dungnya sumplung.
Kepala cuma satu, tapi besarnya bukan
main. Hampir tujuh kali kepala orang biasa.
Hanya badannya yang tinggi itu kurus kering, bila
mulutnya yang satu membuka, maka mulut
yang lainnya ikut membuka pula.
"Aku bukan tamu dari pemilik gedung itu.
Di sini aku cuma melihat-lihat saja. Aku tertarik
dengan kata-kata yang terdapat dalam syair si
wanita gagu! Engkau sendiri siapa orang aneh,
apa maksud tujuanmu datang ke tempat ini?"
tanya Dewa Sinting.
"Apa perlumu bertanya apa tujuanku. Yang
boleh kau ketahui, aku si Empat Wajah, namaku
Trigada." jelas laki-laki berkepala besar berwajah empat tersebut disusul dengan
tawa tergelak-gelak. "Heh...!" Dewa Sinting melengak kaget.
"Bukankah kau makhluk tanpa pendirian?" sahut Dewa Sinting sambil melangkah
mundur. Terus terang ia sendiri memang baru sekali ini bertemu
dengan Trigada, namun dari apa yang didengar-
nya selama puluhan tahun lalu. Laki-laki di de-
pannya adalah makhluk yang tidak punya pendi-
rian dan terkadang dapat melakukan pembunu-
han tanpa diduga-duga.
"Kau kelihatannya kaget! Adakah sesuatu
yang kau ketahui tentang diriku ini?" tanya Si Empat Wajah delapan biji matanya
tampak melo- tot. Dewa Sinting gelengkan kepala.
"Hmm, ketahuilah di dalam gedung itu ada
kekasihku. Mungkin saat ini ia sudah berada di
sana. Aku ini makhluk paling cepat cemburu! Aku
tidak ingin melihat ia berdua-duaan dengan orang
lain!" tegas Trigada.
"Apakah kekasihmu itu seperti dirimu?"
Si Empat Wajah menggeleng.
"Tidak! Dia manusia seperti golonganmu,
wajahnya cantik. Aku bersedia membantunya
mengatasi persoalan yang membuatnya susah.
Untuk itulah ia bersedia menjadi kekasihku! Apa-
kah kau melihatnya lewat di sekitar sini?"
"Sama sekali aku tidak melihat siapa-siapa.
Kurasa di dalam bangunan itu ada setannya, se-
hingga ketika aku berdiri di sini, tengkukku me-
rinding!" kata Dewa Sinting setengah bergurau.
"Akulah setan! Kau jangan bicara semba-
rangan. Bagaimanapun aku harus segera ke sana.
Untuk keterangan yang kau berikan, inilah oleh-
oleh untukmu...!" kata Trigada. Kemudian sambil melangkah lebar-lebar ia
kibaskan tangannya.
Dari jemari tangan tersebut menderu gelombang
hawa panas luar biasa. Dewa Sinting jungkir balik
selamatkan diri. Tidak urung serangan mendadak
itu membuat hangus buntalan di punggungnya.
Dewa Sinting memaki-maki sambil padam-
kan api. Ia memandang ke arah perginya Si Em-
pat Wajah. Namun orang itu sudah tidak keliha-
tan lagi. "Duh sialan! Keparat tidak tahu rasa terima
kasih. Seharusnya aku kejar dia dan buat perhi-
tungan! Tapi...!" Dewa Sinting meragu dan tarik celananya yang melorot.
"Aku belum pernah bentrok dengan mak-
hluk bermulut empat itu. Kudengar dulu ia memi-
liki kesaktian luar biasa. Sebaiknya aku tunggu
lagi di sini. Suasana pasti bakal ramai. Tapi aku
haus, tidak ada air terkecuali kali yang di bela-
kang sana." pikir Dewa Sinting. Baru saja ia hendak melakukan sesuatu, terdengar
suara di bela- kangnya. Gluk! Gluk! Gluk!
Cepat sekali Dewa Sinting menoleh. Ter-
nyata tidak jauh di belakangnya tampak seorang
pemuda berpakaian biru berambut hitam keme-
rahan sedang meneguk air dari dalam kendi. Ter-
bit selera dahaga Dewa Sinting, jakunnya turun
naik. Si pemuda bersikap acuh tak acuh. Ia ma-
lah memamerkan kendinya dan menuangkan isi
kendi sambil garuk-garuk kepala.
"Hmm, enak betul. Tidak ada yang lebih
berharga di tempat segersang ini terkecuali air.
Apalagi yang kubawa mengandung rasa madu,
gula, berbau sedikit arak dan bermacam-macam
lagi rasa yang tidak ada duanya!" kata si pemuda yang tidak lain adalah Suro
Blondo. "Betulkah apa yang kau katakan?" sahut
Dewa Sinting, seraya menelan ludah sambil tarik
celananya yang melorot.
"Hmm, luar biasa enaknya!" Suro meneguk
air dalam kendinya.
"Heh, apakah kau tidak mendengar kata-
kataku?" bentak Dewa Sinting. Kakek tua ini melompat ke depan sambil berusaha
merampas ken- di di tangan Suro. Si konyol bersikap acuh tak
acuh, ketika tangan Dewa Sinting hampir berhasil
menjangkau kendi di tangan Suro. Pemuda ini
meliukkan tubuhnya dengan gerakan seperti see-
kor monyet menari.
Wuees! "Heh...!"
Terperanjatlah Dewa Sinting. Sama sekali
ia tidak menyangka pemuda ini dapat menghinda-
ri serangannya. Penasaran ia melompat lagi, kali
ini tangannya menampar wajah Suro sedangkan
kaki menendang ke bagian pantat pemuda itu.
Serangan itu memang cukup berbahaya, selain
sangat cepat sekali. Suro berjingkrak mundur.
Ketika tangan dan kaki Dewa Sinting hampir
menjangkau sasaran. Suro melompat sambil
jungkir balik seperti monyet yang sedang main
sirkus. "Sialan! Berikan kendi itu padaku!! Apa kau memilih mampus!" bentak
Dewa, Sinting sewot. Suro termonyong-monyong. "Kau hendak
merampok atau minta, kakek gendut! Kalau min-
ta silakan ambil sendiri, jika mau merampok
sampai botak ubanan kau tidak bakalan menda-
patkan kendi ini! Ha ha ha...!"
"Kurang ajar! Kau hendak mempermainkan
aku!" teriak Dewa Sinting marah.
Dewa Sinting mulai mengerahkan jurus-
jurus mautnya. Sesuai dengan julukannya yang
sinting. Ketika ia hendak melancarkan serangan-
nya, si kakek menari-nari sambil berputar-putar.
Setelah itu sambil tarik celananya ia berteriak keras. Tubuhnya yang besar itu
tiba-tiba saja mele-
sat ke arah Suro. Si konyol kerahkan jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu'. Bertarunglah kedua orang
ini seperti orang gila tidak karuan juntrungnya.
Yang satu berusaha selamatkan kendi sambil ber-
jingkrak, berjongkok atau berguling-guling. Se-
dangkan yang satunya lagi melakukan serangan
sambil menari-nari. Tarian Dewa Sinting berubah
menjadi serangan-serangan yang sangat dahsyat.
Suro kalang kabut. Namun tidak berlang-
sung lama, segera pemuda ini lipat gandakan te-
naga dalamnya. Sekarang ia sudah mengerahkan
jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Bet! Deb! Bet! Tanpa berubah dari gerakan dan langkah
monyet. Tiba-tiba saja Suro Blondo tampak berke-
lebat lenyap dari pandangan Dewa Sinting. Tubuh
pemuda ini seakan menjadi banyak dan bergerak
cepat mengelilingi Dewa Sinting. Berulang kali
Sure menerobos pertahanan lawan sambil laku-
kan serangan bertubi-tubi.
Dewa Sinting bersurut mundur. Dalam hati
diam-diam memaki di samping ia sendiri merasa
takjub. Jurus-jurus monyet Suro adalah jurus
langka yang seingatnya hanya dimiliki oleh Peng-
hulu Siluman Kera Putih. Ada hubungan apa pe-
muda bertampang ketololan ini dengan Penghulu
Siluman itu" Dan Dewa Sinting sudah tidak ber-
pikir lebih jauh. Posisinya kini bukan menyerang,
malah dia didesak mati-matian. Si kakek tidak
tinggal diam, ia tarik celananya lagi yang melorot sambil mempergunakan jurus
lebih ampuh. Jurus itu dikenal dengan nama 'Menggapai Langit
Dilamun Rindu'.
"Hea...!"
Tiba-tiba saja si kakek melesat ke udara.
Di udara ia melakukan tarian kilat. Lalu tubuh-
nya meliuk-liuk dan meluncur cepat ke bawah.
Tangan menghantam bahu lawan. Sedangkan ka-
ki menendang pinggang Suro. Pendekar Mandau
Jantan berkelit. Sayang gerakannya kalah cepat.
Bahu kirinya kena dihantam Dewa Sinting,
meskipun merasa sakit bukan main. Ia berbalik
hindari tendangan kaki. Tangan kanannya me-
nyambar asal-asalan.
Srosot! Plak! "Keekh...!"
Tidak pelak lagi pemuda ini jatuh terduduk
pegangi kendi. Bibirnya mengucur darah. Walau-
pun ia merasa seperti hendak mampus dan ba-
hunya seakan remuk. Namun akhirnya tertawa-
tawa melihat Dewa Sinting seperti orang kebaka-
ran jenggot dan memaki-maki.
"Bangsat! Berani-beraninya kau memper-
malukan aku! Anak setan! Pasti gurumu lebih se-
tan lagi!" teriak Dewa Sinting. Ia tarik celananya yang sempat melorot sebatas
lutut. Suro tertawa-tawa seperti orang kurang waras. Ia memukul-
mukulkan tangannya ke tanah. Kakinya bergerak-
gerak seperti anak kecil. Ia lupa dengan rasa sakit yang dideritanya.
"Ki, rupanya Tuhan adil! Kalau rambut
yang di atas putih yang di bawah ikut memutih
juga. Kau sudah tua bangka, Ki. Sudah mendeka-
ti mampus mungkin, tapi kau memakai celana sa-
ja tidak becus!"
"Bangsat! Hii...!"
Disertai kemarahan yang meluap-luap,
Dewa Sinting menerkam leher si konyol sambil
berusaha merampas kendi di tangannya. Suro
menggeser pantatnya. Sayang gerakan pemuda ini
kalah cepat. Hingga lehernya kena dicekik lawan
dan kendi sekarang jadi rebutan. Suro mendelik,
lehernya seperti dijerat kawat baja. Namun ia ma-
sih dapat memaki.
"Kau benar-benar sudah gila, Ki! Kau hen-
dak memperkosaku, padahal kau tahu kita punya


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama. Apakah kau menantangku bermain tong-
kat"!" "Anak setan! Aku akan mengirimmu ke neraka!" teriak Dewa Sinting tidak
ubahnya seperti orang yang sedang bertarung dengan musuh be-buyutannya saja.
Buk! "Hukh...!"
Dewa Sinting meninju perut Suro, pemuda
itu menjerit. Andai saja si konyol tidak lindungi
perutnya dengan tenaga dalam. Isi perutnya pasti
cerai berai. Sementara kendi hampir saja dapat
dirampas. Akal cerdik Suro dalam keadaan terde-
sak seperti itu timbul. Ia menggeser kakinya, den-
gan mempergunakan lutut ditendangnya selang-
kangan Dewa Sinting.
Brot! "Huagkh...!"
Dewa Sinting terhempas ke belakang, jeri-
tannya seakan merobek langit. Perutnya mulas
bukan main. Ia pegangi anunya sambil berguling-
guling akibat menahan sakit yang sangat luar bi-
asa. Suro usap-usap lehernya yang masih me-
merah, kemudian terdengar suara tawanya terke-
keh-kekeh. "Ha ha ha...! Apes betul nasibmu hari ini,
Ki. Mimpi apa kau semalam" Pernahkah kau
bermimpi kejatuhan bintang, kejatuhan bulan,
kemudian kejatuhan durian" Katanya pertanda
baik, Ki."
Dewa Sinting sama sekali tidak menyahut.
Ia duduk mendekam seperti ayam mau nelor. Dia
urut-urut bagian itu. Tiba-tiba tangannya menye-
linap di balik celana. Setelah ia raba-raba ternya-ta yang bulat-bulatnya masih
ada dan potongan
tebu yang cuma sejengkal pun masih ada, walau-
pun agak bengkak. Sebenarnya jika ia mau mem-
balas ulah pemuda berambut kemerahan itu, De-
wa Sinting mampu. Rasanya ia tidak bakalan
kalah, namun bila mengingat jurus-jurus yang
dipergunakan Suro. Ia khawatir pemuda itu ma-
sih punya hubungan tertentu dengan Penghulu
Siluman Kera Putih. Di samping pemuda ini juga
tampaknya dari kalangan baik-baik. Hanya wa-
taknya saja yang konyol terkesan seperti orang
kurang waras. Si kakek tarik celananya setelah berdiri.
Memperhatikan Suro sejenak lamanya, kemudian
terdengar suaranya agak sinis.
"Punya hubungan apa kau dengan Penghu-
lu Siluman Kera Putih?"
Pendekar Mandau Jantan melengak kaget.
Matanya berkedap-kedip, seraya seka keringat
yang menetes di keningnya.
"Engkau hendak minum, Ki. Mintalah baik-
baik! Air dalam kendi ini masih setengah dan
akan kuberikan padamu!" kata Suro seakan tidak menghiraukan pertanyaan Dewa
Sinting. "Jawab pertanyaanku atau kau meminta
aku mengirimmu ke liang lahat?" bentak si kakek.
Pendekar Blo'on menggumam. Namun kemudian
bicara secara tegas.
"Penghulu Siluman Kera Putih yang seten-
gah edan itu guruku, Ki. Aku heran bagaimana
kau bisa mengetahui aku muridnya?" tanya Suro.
"Ha ha ha....! Melihat jurus-jurusmu, dan
setelah melihat keedananmu. Tentu saja du-
gaanku tidak melesat, ketahuilah aku Dewa Sint-
ing! Datang ke sini berhubungan dengan syair-
syair yang menarik itu! Lalu kau bocah goblok
untuk urusan apa kau datang ke bukit Keangku-
han ini?" bertanya Dewa Sinting sambil senyum.
"Salaman dulu, Ki. Kita punya tujuan yang
sama!" jawab Suro, ia datang menghampiri den-
gan tangan terulur bermaksud salaman. Tapi De-
wa Sinting menepis tangannya. Tangan lain me-
nyambar dan kendi berisi air telah berpindah ke
tangan Dewa Sinting.
Gluk! Gluk! Gluk!
Dengan nikmat Dewa Sinting meneguknya
hingga tuntas. "Jangan kau habiskan!" teriak Suro mencegah. Percuma saja ia berteriak. Kendi
telah ko- song. Kesudahannya si kakek memukulkan kendi
tersebut ke kepalanya hingga hancur berantakan.
Tidak lama terdengar suara tawa puas si kakek.
5 "Kalau sudah begini kau bisa apa. Untung
tidak kupecahkan kepalamu sebagai balasan atas
sikapmu yang kurang ajar karena telah membuat
bengkak adikku!" hardik Dewa Sinting.
Suro terkekeh, "Apakah sudah kau periksa,
Ki. Barangkali adikmu terbang meninggalkanmu"
Bukankah tempat persembunyiannya yang me-
nyeramkan itu telah kuketahui!" Seenaknya saja Pendekar Blo'on menyahuti
"Pemuda gila" Aku pernah mendengar si-
kapmu yang konyol, keedananmu dan juga keti-
dak warasan otakmu. Kuharap hari ini kau tidak
bicara seenak perutmu. Kau lihatlah kedua ban-
gunan itu!" Dewa Sinting menunjuk ke arah bangunan. Suro memperhatikan dengan
mulut ter- monyong-monyong saking seriusnya.
"Memang ada apa dalam bangunan itu
orang tua sinting?" bertanya Suro tanpa menga-lihkan perhatiannya dari kedua
bangunan terse-
but. "Sudah dua hari aku mendekam di sini!
Aku sudah melihat ada empat orang yang masuk
ke dalam bangunan yang terletak di sebelah timur
itu dan satunya lagi masuk ke dalam bangunan
yang berada di sebelah barat! Sampai sekarang
tidak seorang pun di antara mereka ada yang ke-
luar!" "Siapa sebenarnya penghuni gedung itu?"
tanya Suro ingin tahu.
"Aku kurang tahu. Kurasa satu-satunya
orang yang bisa memberi jawaban adalah Penyair
Gagu itu!"
"Hmm, aku pernah melihatnya, sekarang
pun aku sampai ke sini karena mengejarnya.
Sayang aku kehilangan jejak."
"Apakah kau sempat bicara dengannya?"
tanya Dewa Sinting.
"Aku belum sempat. Lagipula bagaimana
aku bisa bicara dengan orang gagu. Kau sendiri
apakah pernah bertemu dengan gadis baju hijau
itu?" Dewa Sinting menggeleng.
"Ada yang kurasakan menarik di sini. Kau
lihatlah tidak satu pun pohon dapat tumbuh di
sini." "Lalu apa yang akan kau lakukan" Menunggu sampai ubanan atau sampai
mampus" Kalau menurutku sebaiknya kita melakukan pe-
nyelidikan di sana. Apakah kau setuju, kakek
sinting?" tanya Suro merasa lebih cepat akrab dengan kakek tua yang celananya
yang selalu melorot terus itu.
"Banyak kejadian aneh di sana, jangan-
jangan kita terjebak. Aku melihat seorang laki-
laki yang berada di gedung sebelah barat tertawa-
tawa seperti orang gila. Kurasa ia melihat sesuatu yang lucu, tapi yang
kuherankan tawanya seperti
tidak wajar."
"Apakah tidak sebaiknya kita cari dulu ga-
dis baju hijau yang pernah ku lihat beberapa hari
yang lalu"!" Suro mengajukan usul.
"Kau yakin dia berlari ke arah sini?"
"Yakin sekali!" jawab Suro mantap.
"Tapi aku tidak melihatnya selain orang
yang kusebutkan tadi!"
"Mungkin ada jalan rahasia lain yang aman
untuk mencapai gedung itu, Kek. Bagaimana jika
kita mulai mencarinya?"
Dewa Sinting terdiam dan tampak sedang
mempertimbangkan usul Pendekar Blo'on.
"Dua hari di sini selain cuma mendekam
aku memang tidak pernah pergi ke mana-mana.
Kalau aku menuruti keinginanmu berarti aku se-
tuju. Tapi aku kurang yakin apakah ada jalan lain
di sekitar sini."
"Jangan pakai dipikir dan dikira-kira. Ka-
lau kau tidak mau biarkan aku jalan sendiri!" ka-ta Suro sewot.
"Ayolah, aku setuju-setuju saja!" sahut
Dewa Sinting. Ia mengambil buntalan besar beri-
kut kayu yang menyanggahnya. Tidak lama ia su-
dah mengikuti Pendekar Blo'on yang berjalan ti-
dak jauh di depannya.
Gedung megah yang mempunyai tiang pe-
nyanggah sebanyak dua puluh buah itu bagian
dalamnya memang indah. Pada bagian dinding-
nya berhiaskan intan permata gemerlapan. Si Pe-
rusak Raga yang lebih dikenal dengan julukan
Sang Maut bersama Setan Arak dan Iblis Pema-
bukan begitu sampai di dalam langsung tercen-
gang. Iblis Pemabukan dan Setan Arak memun-
guti mutiara-mutiara yang melekat di dinding itu.
Namun barang-barang berharga tersebut tidak
lama dicampakkan oleh mereka kembali ketika
hidung mereka mengendus bau yang sangat khas,
bau arak wangi.
"Itu kesukaan kita, apakah kau mencium
baunya, Kakang?" bertanya Setan Arak dengan
mata belingsatan.
"Betul. Baunya dari ruangan ini! Mari kita
cari!" sahut Iblis Pemabukan.
Tanpa menghiraukan Si Perusak Raga yang
sibuk melakukan pemeriksaan. Setan Arak dan
Iblis Pemabukan menuju ke kamar sebelah. Den-
gan sekali dorong pintunya langsung terbuka. Me-
lihat kendi-kendi arak yang jumlahnya mencapai
puluhan, terbelalaklah mata kedua orang ini.
"Kita panen, kita panen! Sungguh berun-
tung sekali kita. Pemilik gedung ini ternyata suka menyimpan minuman!" kata
Setan Arak. Ia mengambil salah satu kendi, dengan serakah ia me-
neguknya. Gluk! Gluk! "Ha ha ha...! Enak! Ini arak paten yang be-
lum pernah kita jumpai seumur hidup!" Karena
penasaran Iblis Pemabukan. juga ikut-ikutan me-
neguk arak tersebut. Rasanya memang lain dari
pada yang lain, harumnya beda dari yang ada.
Jago-jago mabuk ini lama kelamaan mulai mera-
sakan kepalanya sakit mendenyut. Padahal yang
mereka minum baru satu kendi besar dan itu pun
berdua. Tidak terbayangkan betapa sangat keras-
nya arak itu. Dengan langkah terhuyung-huyung
kedua laki-laki bersaudara keluar dari kamar
dengan membawa masing-masing satu kendi
arak. Maksudnya mereka hendak menawarkan-
nya pada Si Perusak Raga. Namun sekutu mereka
tidak ada di tempat itu. Akhirnya sambil duduk
ngjelepok di lantai marmar mereka menikmati
arak keras itu berdua saja. Sementara itu Si Pe-
rusak Raga telah sampai di sebuah ruangan lain.
Ruangan indah penuh kejutan. Di tengah ruan-
gan tersebut terdapat sebuah ranjang tertutup ke-
lambu. Di atas ranjang terbaring seorang perem-
puan cantik berpakaian warna putih tipis me-
rangsang. Perempuan ini kelihatannya seperti sedang
tidur, bibirnya menyunggingkan seulas senyum
yang menawan menggairahkan. Si Perusak Raga
menelan ludah. Tubuh padat wanita itu mem-
bayang di balik pakaiannya yang tipis tembus
pandang. Sepasang pahanya yang menjuntai,
buah dadanya yang menonjol bergerak-gerak
mendebarkan sesuai dengan tarikan nafasnya.
"Siapa dia" Sudah berapa lama berada di
sini! Andai saja aku memilikinya" Aku akan pa-
tuh dengan setiap perintahnya!" kata Si Perusak Raga dalam hati. Cukup
mengejutkan memang,
karena begitu laki-laki berpakaian hitam ini sele-
sai bicara dalam hati. Tiba-tiba wanita itu meng-
geliat dan matanya langsung terbuka. Sepasang
matanya yang indah itu memandang tajam pada
Si Perusak Raga. Orang gemetaran, bukan karena
dilanda ketakutan. Melainkan karena dilanda gai-
rah yang berkobar-kobar dan nyaris tidak terben-
dung. "Betul apa yang kau katakan tadi?" bertanya si wanita seakan menuntut.
Si Perusak Raga kaget. Ia merasa tidak dan
belum bicara apa-apa terkecuali apa yang baru
saja diucapkannya dalam hati.
"Aku tidak tahu apa maksudmu!" katanya
dengan suara bergetar.
Orang ini tersenyum, ia menyilangkan ka-
kinya yang mulus seenaknya. Sehingga dua
pangkal pahanya terlihat dengan jelas.
"Bukankah kau mengatakan dalam hatimu
bahwa kau ingin memiliki aku dan setelah itu kau
bersedia menuruti perintahku! Hi hi hi...!" Laki-laki itu telan ludah. Ia tidak
mampu bicara, tapi
kepalanya mengangguk.
"Hmm, masih ada waktu!" gumamnya en-
tah ditujukan pada siapa. "Kau boleh memiliki tubuhku sesuka hatimu. Setelah
itu, kau harus patuh pada perintahku sebagaimana Si Empat
Wajah!" ujarnya.


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa Si Empat Wajah?" tanya Si Perusak Raga. "Dia pembantuku, kekasihku!"
sahut si gadis tanpa merasa bersalah.
"Lalu siapa kau ini?"
"Hi hi hi...! Aku pencipta gedung ini. Nah
sekarang kemarilah, kau harus mendekat padaku
jika ingin tahu betapa hangatnya pelukanku!" katanya. Kelambu disingkapkan oleh
tangan-tangan mungil si gadis. Senyumnya merekah mendebar-
kan. Si Perusak Raga tanpa ragu-ragu segera
mendatangi. Sampai di depan si gadis. Seperti
seekor singa jantan yang kelaparan ia langsung
memeluk dan menjatuhkan ciuman bertubi-tubi.
Gadis itu menyambutnya dengan hangat.
"Cuma sebatas inikah" Bukankah kau
menginginkan diriku seutuhnya! Nah tidak ingin-
kah kau melepaskan pakaianku ini?" desah si gadis sambil merebahkan tubuhnya di
atas ranjang. Si Perusak Raga ragu-ragu, lalu ia berbisik. "Di luar kamar ini ada sekutuku.
Bagaimana jika mereka mengetahui perbuatan kita?" katanya berbisik. Gadis itu
tersenyum, senyum yang membuat
Si Perusak Raga menggelegak darahnya terbakar
birahi. "Mengapa takut! Menurutku sekarang mereka sudah mabuk di ruangan depan.
Mengang- kat kepala pun mereka sudah tidak mampu. Bila
nanti mereka sadar, kawan-kawanmu itu sudah
patuh pada perintahku! Ayo...!" kata wanita misterius itu sambil mengedipkan
matanya. Jemari
tangan yang gemetaran itu pun melepaskan pa-
kaian tipis si gadis. Di balik pakaian itu ternyata ia tidak mengenakan apa-apa
lagi. Betapa ini merupakan sebuah pemandangan yang indah. Gadis
itu benar-benar menggairahkan dan penuh se-
mangat berkobar-kobar.
Maka terjadilah hubungan terkutuk. Si ga-
dis melayaninya dengan penuh semangat. Si Pe-
rusak Raga mengerang-ngerang dalam kenikma-
tan yang belum pernah didapatkannya dari gadis
mana pun yang pernah diajaknya tidur bersama.
Sehingga di ujung pendakian itu Si Perusak Raga
merasakan ada sesuatu yang berubah dalam di-
rinya. Ia terkapar, tubuhnya lemah lunglai seakan
tidak bertenaga. Gadis itu tersenyum, ia bangkit
berdiri dan sekarang mengenakan pakaian ring-
kas warna hitam.
"Kenakanlah pakaianmu! Sekarang sudah
waktunya bagiku untuk membicarakan urusan
yang sebenarnya!" ujar gadis misterius bersemangat. Laki-laki itu tanpa
membantah segera menu-
ruti apa yang diperintahkan padanya. Ia mengiku-
ti wanita yang telah memberinya kepuasan menu-
ju ke ruangan di mana Setan Arak dan Iblis Pe-
mabukan terkapar dalam keadaan mabuk.
"Inikah kawan-kawanmu?"
"Ya...!"
Gadis itu menuangkan cairan berwarna
putih dari dalam kendi ke wajah Setan Arak dan
Iblis Pemabukan. Keduanya tampak gelagapan
ketika mencium sesuatu yang keras menyengat.
"Eeh... eeh, apa ini! Lho kita berada di ma-
na adik Setan Arak?" tanya Iblis Pemabukan
terkesan bingung. Ketika itu ia sudah duduk dan
memandang pada si gadis dengan penuh rasa
takjub sekaligus terheran-heran.
"Kurasa kita berada di sorga. Lihat ada bi-
dadari cantik! He he he...! Kita sudah sampai di
sorga!" Setan Arak menjawab dengan ngawur.
"Kalian bukan di sorga, tapi dalam gedung
tempat kediamanku! Aku yang berkuasa di sini!"
"Kkk... kau siapa gadis cantik?" tanya Setan Arak sambil menelan ludah.
"Siapa aku tidak perlu kalian tahu. Satu
hal yang harus kalian lakukan sesuai dengan pe-
rintahku. Kalian harus mencari perempuan yang
bernama Dara Nirmala! Perempuan itu harus ka-
lian bunuh! Selain itu kalian juga harus meng-
hancurkan gedung yang di sebelah barat itu. Te-
mukan laki-laki yang bergelar Datuk Tinggi Raja
Di Angin. Orang itu harus kalian bunuh. Jika ka-
lian berhasil melakukannya. Maka kalian semua
di samping Si Empat Wajah berhak menjadi sua-
miku. Ketahuilah aku tidak pernah mengalami
ketuaan. Aku tetap awet muda selama ratusan
tahun. Nah kalian akan beruntung bila menda-
patkan aku. Siapa yang ingin minum arak, arak
telah kusediakan. Jadi kurang apa lagi?" Setan Arak dan Iblis Pemabukan saling
berpandangan. Sebenarnya hati kecil mereka tidak setuju tapi en-
tah mengapa jalan pikiran mereka seperti sudah
tidak dapat mengendalikan mulut.
"Bagaimana?"
"Kami mau menerima asal engkau paling
tidak bersedia menyebutkan siapa kau!" tanya Setan Arak.
"Hi hi hi...! Aku adalah Ratu Keindahan!"
kata si gadis seenaknya.
"Hmm, kalau begitu kau adalah orang yang
disebut-sebut oleh Si Penyair Gagu. Kalau begitu
aku bersedia membantu!" kata Iblis Pemabukan.
"Bagus! Hi hi hi...!" Gadis yang mengaku sebagai Ratu Keindahan ini tertawa
renyah. Gigi-giginya yang putih tampak berkilauan. Namun
tawanya terhenti ketika terdengar suara ketukan
pada pintu depan. Si Perusak Raga bermaksud
membukakan pintu tersebut. Namun gadis itu
memberi isyarat agar tetap duduk di tempatnya.
Ia sendiri kemudian yang membuka pintu. Saat
pintu terbuka tampaklah sosok tubuh kurus ting-
gi. Tingginya kurang lebih satu setengah tombak.
Kepalanya besar dan memiliki empat wajah. Setan
Arak, Iblis Pemabukan dan Si Perusak Raga ter-
sentak kaget dan sempat timbul perasaan ngeri di
hati mereka. Si Empat Wajah langsung masuk dan me-
mandang penuh rasa cemburu pada ketiga laki-
laki itu. "Siapa mereka?" tanyanya dengan perasaan tidak senang.
"Mereka adalah para sekutu kita yang siap
menghancurkan musuh-musuhku! Kau tidak per-
lu cemburu kekasihku. Jika kalian semua berha-
sil menghancurkan musuh-musuhku, kalian
akan menjadi suamiku!" kata si gadis.
"Apakah kau tidak yakin dengan kesak-
tianku?" tanya Si Empat Wajah tidak senang.
"Aku tentu saja merasa yakin. Tapi alang-
kah baiknya jika kita bersatu padu untuk mem-
peroleh suatu kemenangan"!"
"Aku tidak suka diduakan!" protes Trigada.
"Jangan takabur dan serakah. Orang yang
kita hadapi bukan manusia-manusia berkepan-
Pahlawan Dan Kaisar 25 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Perjodohan Busur Kumala 21
^