Pencarian

Persekutuan Orang Orang Sakti 2

Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti Bagian 2


daian rendah. Mereka telah hidup selama ratusan
tahun. Dan kesaktiannya tidak dapat kulukiskan
dengan kata-kata!" tegas si gadis. Si Empat Wajah terdiam. Walaupun begitu ia
masih memandang
dengan rasa tidak senang pada Setan Arak, Iblis
Pemabukan dan Si Perusak Raga.
"Duduklah! Sekarang aku ingin menje-
laskan rencana yang harus kita lakukan!" ujar Ratu Keindahan. Empat Wajah
langsung duduk.
"Katakanlah, tanganku sudah gatal ingin
menghancurkan manusia-manusia yang telah
membuatmu sakit hati!" geram Trigada.
"Kurasa Dara Nirmala tinggal di gedung ini.
Cuma aku tidak tahu di ruangan yang mana. Aku
sudah lakukan pemeriksaan tapi tidak menemu-
kannya. Jadi mula-mula yang harus kita lakukan
adalah menghancurkan gedung miring yang bera-
da di sebelah barat itu. Aku yakin di antara mere-
ka sudah terikat suatu perjanjian untuk tidak sal-
ing mengganggu. Jika gedung hancur pasti ma-
nusia yang bernama Lu Jingga bergelar Datuk
Tinggi Raja Di Angin keluar dari tempat persem-
bunyiannya!"
"Setelah itu bagaimana?" tanya Si Empat
Wajah. "Setelah itu, tentu Datuk Tinggi akan melabrak ke sini karena mengira
Dara Nirmala telah
melanggar perjanjian!"
"Bagaimana kau tahu mereka telah saling
berjanji membuat peraturan ini?" tanya Si Perusak Raga.
"Aku mendengar dan mengetahui isi hati
orang! Hi hi hi...!" ketus suara si gadis. Ia kemudian tertawa tergelak-gelak.
6 "Ratu Keindahan, dapatkah kau ceritakan
sedikit mengenai sebab musabab mengapa kau
menanam benih permusuhan pada kedua orang
itu?" tanya Si Perusak Raga. Wajah cantik meng-giurkan itu tampak berubah
memerah. Ada ama-
rah yang berusaha dipendamnya.
"Hei kau, mengapa kau tanyakan hal-hal
yang membuatnya menjadi berduka" Kekasihku,
apakah orang seperti dia pantas menjadi salah
seorang dari suamimu?" protes Si Empat Wajah.
Ia tampak kurang senang sekali melihat Si Peru-
sak Raga, jika di situ tidak hadir orang yang san-
gat dicintainya. Tentu Si Perusak Raga sudah di-
bunuh oleh Trigada.
"Bersabarlah, sebagai orang yang berseku-
tu kita tidak boleh saling serang sesamanya sen-
diri. Dia tidak mengetahui persoalan yang sebe-
narnya. Kurasa tidak salah jika ia bertanya, tapi untuk kau ketahui wahai
Perusak Raga. Saat ini
aku tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Nanti
saja jika urusan dengan musuh-musuh telah se-
lesai. Aku akan menceritakan mengapa aku me-
nyimpan dendam setinggi langit pada kedua
orang itu!" tegas si gadis.
Ia terdiam, pikirannya kini menerawang
pada kejadian beberapa pekan yang lalu. Dalam
pengembaraannya setelah meninggalkan Lembah
Silau Dunia. Bertahun-tahun ia mencari orang-
orang yang sangat dibencinya. Hingga sampailah
ia di daerah yang bernama Seribu Teka Teki. Di
sini ia bertemu dengan manusia setengah mak-
hluk mengerikan bertubuh kurus tinggi berkepala
besar. Orang itu memiliki empat wajah, empat
mulut dan delapan mata. Waktu itu Si Empat Wa-
jah seperti binatang buas yang sedang mencabik-
cabik mangsanya. Orang yang menjadi santapan
sosok mengerikan ini tidak lain adalah anak-anak
berumur belasan tahun. Mereka anak-anak gadis
remaja yang malang.
Melihat kehadiran gadis cantik berambut
panjang ini. Si Empat Wajah langsung terpesona
dan jatuh hati. Ia tergila-gila pada pandangan
pertama. Namun si gadis mengajukan tiga syarat.
Syarat pertama Si Empat Wajah harus menghen-
tikan kebiasaannya dari memakan daging sesa-
manya. Sedangkan syarat kedua, ia harus dapat
mengalahkan gadis cantik itu atau paling tidak
seimbang. Sedangkan syarat ketiga ia harus
membantunya mencari dan membunuh musuh
besarnya. Si Empat Wajah langsung menyanggupi. Ia
bersedia meninggalkan kebiasaan lamanya. Sete-
lah itu ia pun bertarung dengan gadis yang san-
gat dicintainya. Ternyata setelah terlibat pertem-
puran tidak kurang dari tiga hari, tidak ada yang
kalah dan tidak ada yang menang. Sementara itu
kabar mengenai munculnya Penyair Gagu terden-
gar pula oleh si gadis. Sehingga setelah mening-
galkan pesan untuk Si Empat Wajah agar menyu-
sulnya. Gadis itu berangkat ke Imogiri. Ia men-
jumpai banyak syair di sembarang tempat. Salah
satu syair itu dipecahkan rahasianya. Ia pun tahu
bahwa apa yang dimaksud dalam syair tersebut
tidak lain adalah tentang seseorang yang mem-
persoalkan hawa nafsu dan akal. Orang yang se-
lalu dilanda kegelisahan akan datangnya kema-
tian. Sehingga ia tidak menghiraukan tentang se-
gala sesuatu yang bersifat keduniawian. Tidak sa-
lah lagi inilah orang yang dicarinya selama berta-
hun-tahun. "Mereka manusia-manusia munafik! Ka-
tanya tidak peduli dengan segala macam cinta, ti-
dak tahunya bunting malah!" geram si gadis. Ia pun pergi ke Bukit Keangkuhan.
Bibirnya menyunggingkan senyum di kala melihat dua ban-
gunan megah yang ia tahu bagaimana cara mem-
buatnya. Ia pun masuk ke dalam gedung itu ber-
kat kesaktian yang dimiliki. Lalu beberapa hari
kemudian setelah ia mengatur siasat, muncullah
Si Perusak Raga, Setan Arak dan Iblis Pemabu-
kan. Apa yang dilakukannya tidak berlangsung
mulus. Karena gedung itu dijaga oleh para Jin.
Namun berkat kesaktiannya yang sungguh luar
biasa, ia mampu melumpuhkan penjaga-penjaga
dan membelenggunya dengan rantai Kebinasaan.
"Kalau Ratu Keindahan sudah bicara begi-
tu, aku tidak ingin mendesak!" kata Si Perusak Raga. "Beritahukan apa yang harus
kami kerja-kan?" "Nanti selepas senja kalian harus menghancurkan gedung yang di
sebelah barat. Temu-
kan manusia yang bernama Lu Jingga dan seret
ke sini!" tegas si gadis. "Aku sendiri akan mencari orang yang selama ini telah
membuatku menderita lahir batin! Ia pasti masih berada di dalam ge-
dung ini! Ia tidak bisa menghindariku meskipun
bersembunyi di lubang semut!"
Empat sekutu gadis berpakaian ringkas itu
telah sama setuju. Mereka kini hanya tinggal me-
nunggu datangnya waktu yang telah ditetapkan.
* * * "Ha ha ha...! Pemuda tolol, aku telah men-
dapatkannya! Rupanya di sini. Lihatlah...!" teriak Dewa Sinting sambil
berjingkrak-jingkrak dan tarik celananya yang selalu melorot kedodoran. Su-
ro terdiam, memandang pada Dewa Sinting den-
gan kening berkerut-kerut.
"Apa yang telah kau dapatkan, kakek sint-
ing. Kegiranganmu seperti anak kecil. Kau terta-
wa-tawa seperti orang gila"! Tidak sadarkah kau
kita berada di mana?" tegur Suro. Rupanya Pendekar Mandau Jantan ini merasa
khawatir kalau-
kalau suara tawa Dewa Sinting didengar oleh
orang lain. "Lihatlah ke sini!" sahut Dewa Sinting masih dengan suara keras.
"Diamlah, nanti mulutmu ku jahit dengan
jarumku yang tumpul!" dengus Suro dengan mu-
lut terpencong.
"Kau hendak menjahit mulutku dengan ja-
rum yang ada lubangnya! Kau benar-benar pe-
muda edan yang tidak tahu peradatan!" maki De-wa Sinting, suaranya lirih seperti
burung emprit kedinginan. Sama sekali murid si ugal-ugalan
Penghulu Siluman Kera Putih ini tidak menyahu-
ti. Ia mendekati Dewa Sinting. Setelah melihat ke
depan ternyata ada sebuah lubang besar tertutup
batu. Di atas batu tersebut bertuliskan beberapa
bait kata seperti ini....
Jalan ke liang kubur
Di Alam sunyi tiada berteman
Derita sesal tiada berkesudahan
Hidup di dunia dalam waktu lama
Hanya sia-sia, hanya sia-sia
Penantian yang panjang tiada berkesuda-
han Di atas bumi manusia menghamburkan ta-
wa Di perut bumi manusia menghamburkan
tangis Penyesalan, penyesalan....
Tangisku adalah penyesalan
Lalu lidahku kelu dalam tangis
Di sini, di liang kubur ini
Air mata kering
Lidahku kaku dalam tangis
Mulutku gagu, hanya hati yang bisa ber-
kata.... Di atas sana ada dua keangkuhan menya-lahi kodrat
Hidup beratus-ratus tahun
Dan mereka masih manusia juga
Suro golang-golengkan kepala. Dewa Sint-
ing memandang padanya dengan mata berkedap-
kedip. "Bagaimana menurutmu syair ini" Apakah ada orang mati di dalam sana?"
tanya si kakek.
"Kau ini orang tua, rambutmu sudah uba-
nan, kulitmu keriput dan tulang belulangmu su-
dah rapuh. Mana ada orang mati bisa menulis"
Aku yakin penyair gagu bersembunyi di dalam,
atau mungkin ini memang tempat tinggalnya.
Syair ini sedih, mengingatkan aku akan mati. Ku-
rasa dulunya ia bisa bicara, karena banyak me-
nangis ia jadi gagu. Tapi apa yang membuatnya
sedih?" kata Pendekar Blo'on.
"Gadis itu cantik sekali, gadis secantik itu
rasanya tidak tega aku melihatnya bersedih. Ka-
lau saja ia menjadi seorang isteri siapa pun, jan-
gan dikuburin kalau masih ada nafasnya!"
Plok! Suro terhuyung-huyung. "Ehh, apa kau
sudah gila" Mengapa kau menamparku"!" protes Suro. "Kau ini semakin gila.
Pengemis sekalipun mana tega menguburkan bininya selama masih
bernafas. Sudahlah, ayo kita geser batu ini!" perintah Dewa Sinting.
Buuk! "Kurang ajar!" maki Dewa Sinting sambil
berusaha bangun. Rupanya Suro telah menen-
dang pantatnya sebagai balasan tamparan tadi.
Ini sudah menjadi kebiasaan pemuda ini. Ia selalu
membalas perlakuan orang bila ia merasa tidak
bersalah. Tidak peduli siapa orangnya. Si kakek
sewot hendak membalas lagi. Tapi Pendekar
Blo'on angkat tangannya.
"Eiit... sekarang kedudukan satu-satu. Ka-
lau kau menyerangku, aku bersumpah akan me-
nempurmu sampai salah seorang di antara kita
ada yang mampus!" ancam si konyol. Dewa Sint-
ing terdiam, ia tarik celananya. Tanpa bicara ia
segera menggeser batu tersebut. Tapi sampai
ngeden (setengah mati) ia berusaha menggeser
batu tersebut sedikit pun batu tidak bergeming.
Setiap Dewa Sinting berusaha menggeser batu
disertai pengerahan tenaga dalam, Suro termo-
nyong-monyong meledek.
"Kau ini manusia angkuh. Sampai keluar
taik ijo dari punggungmu, batu itu tidak mungkin
dapat bergerak. Sini biar kubantu!" kata Suro Blondo merasa tidak tega.
"Pemuda gila, mengapa tidak dari tadi!"
maki Dewa Sinting.
Pendekar Mandau Jantan hanya menyerin-
gai. Lalu ia segera membantu si kakek mendorong
batu tersebut. Begitu beratnya batu tersebut
sampai mata mereka melotot seperti orang yang
saling menantang. Barulah setelah Pendekar
Blo'on mengerahkan setengah dari tenaga dalam
yang dimilikinya batu tersebut dapat tergeser.
"Ayo masuk, tunggu apa lagi!"
"Jangan sembarangan! Biar aku yang di
depan!" hardik Dewa Sinting yang menyangka dalam lorong itu terdapat jebakan
yang mungkin sa-
ja dibuat oleh penghuninya.
Suro mengikuti Dewa Sinting tidak jauh di
belakangnya. Lorong ini termasuk panjang juga.
Sampai-sampai Dewa Sinting beranggapan pasti-
lah jalan rahasia itu berhubungan dengan gedung
megah yang terdapat di atas bukit. Jika benar,
berarti hanya orang yang memiliki kesaktian ting-
gi saja yang dapat membuatnya. Lalu siapa"
"Awas!" Suro berteriak memberi peringatan.
Ia menyambar bahu Dewa Sinting hingga dua-
duanya rebah. Enam buah senjata rahasia ber-
bentuk anak panah mendesing di atas kepala me-
reka. "Kau di depan, tapi melamun! Untung aku tadi sempat melihat, kalau tidak
tubuhmu sudah ditembus anak-anak panah itu!" gerutu Suro lalu bangkit berdiri.
"Tapi ternyata aku tidak mati, bukan?" De-wa Sinting menyeringai, wajahnya
sempat pucat juga. "Biar aku yang di depan! Kau kurang was-pada!" "Bagus! Kalau ada apa-apa


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau mampus duluan!" ejek si kakek. Dan Dewa Sinting tidak berusaha
menghalanginya di saat Suro lewat di
sampingnya. Tanpa bicara sepatah kata pun mereka me-
lanjutkan langkahnya. Mereka ternyata masih
terhalang jebakan-jebakan lain, hingga membuat
baik Suro maupun Dewa Sinting harus berhati-
hati. Ternyata lorong rahasia tersebut berliku-
liku. Hingga akhirnya mereka menemukan se-
buah pintu. Pada pintu terdapat tulisan berupa
syair. Selamat datang di gerbang nestapa
Di sini kubur abadi dari orang, yang telah
membuatku terlahir di dunia pana.
Ia berdiri dalam prinsip abadi.
Dalam satu harap, Surga....
Nestapaku, nestapa bumi
Hidupku, air, udara, api dan tanah
Sekarang aku berada dalam perutnya
Merintih dari hari ke hari
Dari orang yang kurindu namun tidak dapat
kusentuh Kupandangi dia selalu dalam tidur
panjang abadi Aku tinggal sendiri....
Menghirup udara dunia di antara
makhluk-makhluk yang angkuh menyombongkan
diri. Aku tidak tahan, hingga kutuliskan kata ha-ti
Akhirnya orang-orang sakti datang kemari
Bersekutu lupa diri....
Suro garuk-garuk rambutnya. Dewa Sint-
ing memperhatikan tulisan-tulisan itu lebih de-
kat. Kemudian ia mendorong pintu yang terbuat
dari lempengan batu. Pintu tidak bergeming.
"Kita telah mendatangi kuburan, kakek
sinting. Sebaiknya kita kembali saja!" celetuk Pendekar Blo'on dengan perasaan
resah. "Tolol kowe. Coba kau renungi kalimat de-
mi kalimat itu. Di balik pintu ini pasti ada orang hidup yang menunggui orang
mati! Ayo bantu
aku!" perintah Dewa Sinting. Suro akhirnya terpaksa menurut. Didorongnya pintu
lempengan batu itu bersama-sama. Sayang sedikit pun tidak
bergerak, padahal baik Suro maupun Dewa Sint-
ing sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
"Kalau begini caranya, sampai mencret pun
kita tidak bakal dapat masuk ke dalam." dengus Pendekar Blo'on sinis.
"Sebaiknya aku lepaskan pukulan dulu!"
usul Dewa Sinting.
"Hei jangan, apa kau mau kita terkubur hi-
dup-hidup di sini" Sebaiknya aku hantam pintu
ini dengan senjataku!" ujar Suro.
Lalu pemuda berambut hitam kemerahan
cabut senjatanya. Dewa Sinting terkesiap ketika
melihat senjata Suro yang sangat aneh bentuknya
dan memancarkan sinar hitam tersebut.
"Mandau"!" desisnya. "Aku jarang sekali melihat senjata aneh seperti yang
dimiliki oleh pemuda konyol ini!" Perlahan Suro mengerahkan tenaga dalam ke bagian hulu Mandau
yang berbentuk seorang pertapa berkepala gundul ini. Si-
nar hitam berkelebat, terdengar suara ringkik su-
ara tangis dan suara tawa yang tidak ada putus-
putusnya dan silih berganti.
Byaar! Pintu batu hancur berkeping-keping.
Dewa Sinting berdecak kagum. Lalu terdengar se-
ruan penuh pujian.
"Senjata aneh, bisa meringkik, bisa menan-
gis bisa tertawa! Sungguh kau pemuda sinting
dengan senjata yang penuh kegilaan pula! Coba
lihat dulu!" pinta si kakek. Suro menggelengkan kepala. "Dalam suasana seperti
ini masihkah kau bertingkah seperti anak kecil" Bukankah lebih baik jika kita
masuk ke dalam"!" hardik cucu Malaikat Berambut Api.
"Tapi...?"
Si pemuda ajaib yang terlahir pada malam
satu Asyuro ini sama sekali tidak menanggapi,
untuk lebih jelasnya (Dalam episode Neraka Gu-
nung Bromo), ia segera masuk ke dalam melalui
pintu yang berantakan. Sesampainya di dalam
Suro tercengang, matanya melotot.
"Dewa Sinting! Lihat kemari"!" panggil si pemuda dengan suara pelan hampir tidak
terdengar. Tergesa-gesa Dewa Sinting datang mengham-
piri. 7 Dewa Sinting memperhatikan dengan sek-
sama. Di tengah-tengah ruangan terdapat sosok
tubuh berpakaian putih terbujur di atas batu
marmar hitam. Wanita itu berwajah cantik, ada
senyum menghias di bibirnya yang mungil. Di
atas batu marmar lain berwarna putih, kelihatan
seorang gadis cantik berbaju hijau duduk berlutut
menghadap ke arah wanita yang terbaring. Yang
mengejutkan wajah keduanya, antara wanita yang
terbaring dengan gadis baju hijau sangat mirip
satu sama lain. Mereka tidak bedanya seperti pi-
nang dibelah dua.
"Siapa orang yang ditunggui oleh gadis
itu?" bertanya Suro Blondo dengan suara berbisik. "Kurasa itu kakaknya atau
adiknya?" sahut Dewa Sinting.
"Kita sudah masuk tanpa diundang, kita
telah hancurkan pintu. Apakah pantas kita men-
gusiknya?"
"Kalau dia memang penyair itu. Sekaran-
glah waktunya bagi kita untuk menanyakan sega-
la sesuatu yang tidak kita ketahui!" tegas Dewa Sinting. Suro angguk-anggukan
kepala. Ia bergerak mendekati gadis baju hijau. Belum sempat ia
mengucapkan sepatah kata dan ketika tangannya
hendak menyentuh bahu si gadis. Sinar merah
menyambar ke arah lengan Pendekar Blo'on. Begi-
tu cepatnya sinar yang berasal dari wanita terbu-
jur itu menyambar, sehingga Suro tidak sempat
selamatkan tangannya.
Zzzzts! "Akh...!"
Suro menjerit sambil pegangi lengannya
yang melepuh. Jeritannya telah mengejutkan ga-
dis baju hijau, hingga serentak ia menoleh dan
memandang dengan penuh rasa kaget pada kedua
laki-laki ini. Ia menggerak-gerakkan tangannya.
Tapi Suro tidak mengerti apa arti isyarat tangan
tersebut. Hanya Dewa Sinting yang memperhati-
kan gerakan tangan si gadis, ia bicara pada Pen-
dekar Blo'on. "Katanya, kita tidak boleh mendekat, kita
tidak boleh mengganggu!" jelas si kakek. Ia memperhatikan bahasa isyarat si
gadis. Lalu Dewa
Sinting menterjemahkan isyarat itu. "Yang terbaring itu adalah ibunya. Meninggal
dua tahun yang lalu. Ia Ratu Keindahan, orang yang mendirikan
gedung megah di atas!" Dewa Sinting memperha-
tikan gerak tangan si gadis. "Dia mengakui dirinya penyair. Ia tidak bisa
bicara! Katanya, kalau kita orang baik-baik, ia minta tolong pada kita
untuk mengusir musuh-musuh ibunya dari da-
lam gedung. Tempat ini suci, ia minta bantuan ki-
ta sedapat apa yang kita lakukan!"
"Kakek Sinting, coba tanyakan siapa mu-
suh ibunya?" seru Suro.
Si kakek menggerak-gerakkan tangannya
yang dijawab oleh si gadis dengan gerakan tangan
pula. "Musuh ibunya adalah adiknya sendiri,
namanya Dara Alindi! Sekarang orang itu sedang
mencari-cari ibunya. Katanya bukan hanya Dara
Nirmala saja yang ia musuhi, tapi juga termasuk
laki-laki yang bernama Lu Jingga. Dia tokoh sakti
pendiri gedung miring yang terletak di sebelah ba-
rat!" jelas si kakek sesuai isyarat dan gerakan tangan gadis baju hijau.
"Coba tanya apa yang membuat mereka
bermusuhan?"
Sesuai dengan keinginan Suro, maka Dewa
Sinting menanyakan perihal yang sebenarnya.
"Oh, sudahlah. Masalahnya menyangkut
persoalan cinta, cinta yang tidak terbalas. Lu
Jingga mencintai ibunya, ibu gadis ini tidak cinta karena selalu bingung
memikirkan kematiannya.
Lalu adik ibu gadis ini mencintai pemuda itu. Ta-
pi pemuda itu sama sekali tidak menanggapinya.
Ia pun mengatakan bahwa usia ibunya sudah ra-
tusan tahun!" jelas si kakek mengartikan gerakan-gerakan tangan gadis baju
hijau. Suro go-
lang-golengkan kepala dan nyaris tidak dapat
menahan tawa. "Dewa Sinting aku hampir tidak percaya,
jika tidak menyaksikannya sendiri. Wanita yang
terbaring di atas marmar hitam itu sangat muda.
Bahkan semula aku menyangka ia kembarannya
gadis ini. Jika gadis ini mengaku ibunya orang
suci, mengapa ia sampai punya anak?" tanya Su-ro dengan perasaan aneh.
"Suro, dia orang yang sangat sakti. Hidup-
nya tidak wajar karena kesaktiannya itu. Bahkan
gedung di atas sana menurut gadis ini diciptakan
dalam waktu satu malam. Yang membangunnya
adalah para Jin! Jika orang sudah dapat meme-
rintah Jin, kesaktiannya sudah setara dengan pa-
ra Dewa. Gadis ini terlahir karena mimpi orang
tuanya yang telah melakukan hubungan suami
isteri dengan pemuda yang bernama Lu Jingga.
Banyak kejadian aneh di dunia ini yang sulit di-
jangkau akal dan susah diterima pikiran. Tapi ini
adalah kenyataan." jelas Dewa Sinting.
Pendekar Blo'on jadi merasa bodoh sambil
garuk-garuk kepala dalam kebimbangan. Semen-
tara gadis baju hijau yang bernama Andini mulai
bicara lagi dengan isyarat-isyaratnya.
"Katanya ia malu untuk menceritakan se-
mua kejadian di sini. Ia sendiri sejak terlahir tidak pernah disentuh oleh
ibunya. Yang mengu-
rusnya adalah para Jin. Ia tidak pernah tersentuh
kasih sayang. Ia bertanya apakah dirinya anak
jadah?" "Katakan saja ia gadis baik-baik dan tidak
perlu menyesali diri. Semua orang yang terlahir di dunia punya guna, paling
tidak untuk dirinya
sendiri!" kata Suro Blondo. Dewa Sinting me-
nyampaikan apa yang dikatakan oleh Suro pada
Andini. "Coba tanyakan mengapa dia menulis
syair-syair di setiap tempat yang dilaluinya?" De-wa Sinting menggerak-gerakkan
jarinya. "Katanya itu dilakukannya sebagai pelam-
piasan hatinya yang sepi. Karena ia tidak tahu
apa yang harus diperbuat, di samping ia ingin ta-
hu siapa bibinya yang sangat membenci ibunya
itu!" "Kakek sinting sebaiknya kita ajak dia keluar dari sini!" saran si konyol.
Rupanya Andini melihat gerak bibir Suro, dan dengan cepat ia
menggelengkan kepala.
"Ternyata ia tidak mau. Mungkin karena
melihat tampangmu yang bodoh, sehingga ia ta-
kut ketularan!" kali ini Dewa Sinting bicara disertai suara tawa bergelak.
"Kurang ajar! Katakan padanya apakah ia
akan menunggui mayat ibunya sampai gedung di
atas sana dihancurkan oleh musuh-musuh
ibunya?" Dewa Sinting yang ternyata sangat memahami bahasa isyarat itu
menggerak-gerakkan
tangannya. Andini melirik pada Suro, lirikan seki-
las tapi cukup membuat jantung pemuda seten-
gah mata keranjang ini berdebar keras.
"Tidak! Ia menjawab tidak, nanti juga ia
akan keluar bila ibunya telah memberi izin!" Suro garuk-garuk kepala. Ia
mendelik pada Dewa Sinting menyangka kakek itu sengaja mempermain-
kan dirinya. "Dewa Sinting, jangan kau kelabui aku ka-
rena tidak tahu bahasa isyaratnya. Mana mung-
kin orang yang sudah mati dapat bicara dan
memberi izin. Kalau otakmu sudah tidak betul
pasti jalan pikiranmu sesuai dengan julukanmu!
Hay bicaralah yang betul. Waktu kita sudah san-
gat sempit sekali!"
"Aku bicara sesuai apa yang dikatakannya.
Kalau kau tidak percaya tanyalah sendiri, hayo
tanya?" kata Dewa Sinting sambil bersungut-
sungut. "Kau jangan ngeledek. Kau tahu aku tidak
bisa memahami bahasanya. Sekarang aku per-
caya. Kurasa orang sakti mati banyak punya ke-
lebihan. Terbukti tadi aku hampir hangus dihajar
sinar yang keluar dari ujung kaki jenazah ibu An-
dini. Sudahlah, sekarang kita keluar dari sini!"
Pendekar Blo'on berbalik langkah hendak
menuju tempat semula. Tapi di belakangnya ter-
dengar suara....
"Bbb... buu... babu... auuu...!" Ternyata yang barusan bicara adalah Andini.
Suro terpaksa menahan tawa agar tidak membuat gadis itu jadi
tersinggung. Dua-duanya berbalik.
"Kakek sinting dia menyebut-nyebut babu"
Apa maksudnya?"
"Babu mbahmu! Ia mengatakan agar aku
tinggal di sini menghadapi segala kemungkinan
yang tidak disangka-sangka!" jelas si kakek.
"Ha ha ha...! Ternyata tua bangka seperti-
mu masih laku juga. Dia tidak sudi pada pemuda


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepertiku yang masih perjaka ting-ting dan tong-
tong! Seleranya selera kelapa, Dewa Sinting. Be-
tapa kau manusia beruntung. Aku khawatir me-
nemani gadis secantik dia celanamu melorot te-
rus. Nah... lihat, celanamu bergerak-gerak,
mungkin ularnya sudah bangun kakek sinting!"
ejek Suro. Suaranya lirih hingga si gagu tidak da-
pat mendengarnya.
"Bocah edan! Otakmu selalu dipenuhi den-
gan pikiran-pikiran kotor. Aku tidak segila apa
yang kau bayangkan!" maki Dewa Sinting kesal.
"Kalau pun kau menjadi orang gila siapa
yang mau peduli! Ha ha ha...!" Suro menimpali disertai tawa tergelak-gelak.
Pemuda itu meninggalkan Dewa Sinting. Si kakek tidak henti-
hentinya menggerutu sambil menaikkan cela-
nanya yang selalu melorot turun.
Seperginya Pendekar Blo'on, Andini menga-
jak Dewa Sinting untuk memasuki lorong lain.
Tapi di belakangnya tiba-tiba saja terdengar suara memanggil.
"Tunggu dulu, dengar apa yang ingin kuka-
takan padamu Dewa Sinting!" Si kakek kaget setengah mati dan keluarkan keringat
dingin di se- kujur tubuhnya. Apabila ia melihat ke arah semu-
la ternyata tidak ada siapa-siapa di situ terkecuali mayat ibu si Penyair Gagu.
Jadi siapa yang barusan tadi" Ia memandangi Andini, gadis itu mem-
beri isyarat dengan gerakan-gerakan tangannya.
"Hmm, jadi yang bicara barusan adalah roh
ibu Andini" Apa yang ingin dikatakannya?" batin Dewa Sinting. Andini mendekati
di mana jenazah
terbaring. Lalu suara gaib kembali terdengar den-
gan jelas seakan datang dari setiap penjuru ruan-
gan. "Dewa Sinting! Andini adalah putriku yang terlahir karena hubungan dengan
seorang laki-laki dalam mimpi. Di atas orang-orang sakti di
atas bumi ini, kamilah orangnya. Ucapan dan ka-
ta hati kami lebih tajam dari seribu mata pedang.
Manusia dikarunia akal dan nafsu, sepuluh akal
sepuluh nafsu. Itu hampir dapat kukalahkan jika
saja Lu Jingga alias Datuk Tinggi Raja Di Angin
tidak menggodaku. Aku tidak pernah berbuat nis-
ta, karena mimpi itulah Andini terlahir ke dunia
ini. Kejadian ini memang sulitnya diterima akal
waras manusia. Namun perlu kiranya kau keta-
hui, alam nyata dan alam gaib bagi kami hampir
tidak mempunyai dinding. Apa yang aku miliki di
atas manusia umum. Semuanya berlangsung an-
tara nyata dan gaib. Sekarang orang yang sangat
membenciku telah berada di gedung ini, dialah
Dara Alindi. Ia masih terhitung adik kandungku
sendiri. Ia mendendam karena menyangka aku
orang yang ingkar dan merebut orang yang dicin-
tainya, yaitu Lu Jingga. Ia sangat sakti, kesak-
tiannya hampir sama dengan kesaktian yang ku-
miliki. Artinya anakku yang selama ini berada da-
lam didikan para Jin yang berada di bawah perin-
tahku tidak mungkin mampu mengatasinya. Kau
tidak perlu heran, karena aku akan merasuk da-
lam jiwa anakku untuk melindunginya sekaligus
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi!"
kata suara gaib tersebut.
"Lalu bagaimana dengan jasadmu?" tanya
Dewa Sinting. "Jasadku tidak membutuhkan perlindun-
gan. Ia tidak akan hancur! Aku telah berada di
alam gaib. Iringi anakku, karena aku akan mengi-
ringi kalian. Kau tidak perlu berhadapan dengan
Dara Alindi, karena dia bukan tandinganmu. Dia
lawanku dan lawan Lu Jingga. Aku tidak ingin ia
merusak gedung di sebelah barat itu. Karena aku
khawatir Datuk Tinggi Raja Di Angin menyangka
aku yang melakukannya. Padahal kami sudah te-
rikat perjanjian untuk tidak saling mengganggu.
Dia telah bertobat untuk menjauhi segala sesuatu
yang bersifat keduniawian!"
"Baiklah, aku sanggupi permintaanmu. Se-
karang apa yang harus kulakukan?" tanya si kakek. "Berjalanlah kau, naiki anak
tangga itu. Karena dengan demikian kalian akan sampai ke
ruangan utama gedung ini. Mungkin di sana kau
akan bertemu dengan Dara Alindi, umurnya su-
dah ratusan tahun, namun ia tetap awet muda
seperti jenazah yang kau lihat!"
"Baiklah, aku merasa senang karena eng-
kau mengawal kami, Ratu Keindahan!" ujar Dewa Sinting. Si kakek memberi isyarat
pada Andini alias Si Penyair Gagu untuk mengikutinya. Si ga-
dis menurut disertai dengan anggukan kepala.
* * * Apabila hari menjelang senja terbukalah
pintu gedung megah yang terdapat di atas bukit
sebelah timur itu. Keluar dari dalamnya Si Empat
Wajah, Setan Arak, Iblis Pemabukan dan Si Peru-
sak Raga. Mereka dengan dipimpin oleh Si Empat
Wajah langsung bergerak ke gedung yang terda-
pat di sebelah barat. Sesampainya di depan ge-
dung Si Empat Wajah langsung berteriak-teriak.
"Datuk Tinggi Raja Di Angin, keluarlah!
Apakah kau sekarang ingin menjadi manusia
munafik yang sangat pengecut"!"
Tidak terdengar suara sahutan apa-apa,
gema suara Si Empat Wajah lenyap ditelan lem-
bah. Menunggu bagi orang ini lama kelamaan
hanya menimbulkan kegeraman saja. Sehingga
untuk kedua kalinya Si Empat Wajah berteriak
lagi. "Hmm, kiranya kau lebih memilih aku
menghancurkan gedung ciptaanmu ini Lu Jing-
ga!" desis sosok berbadan kurus berkepala besar tersebut. "Hancurkan gedung
dengan pukulan-pukulan sakti!" perintahnya pada Setan Arak, Iblis Pemabukan dan
Si Perusak Raga.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
orang-orang ini segera melepaskan pukulan-
pukulan dahsyat ke arah gedung. Terdengar sua-
ra gelegar bagai petir di, sana sini. Namun pada
waktu itu dari dalam gedung terdengar suara ber-
gemuruh seperti air bah. Dari pintu dan jendela
yang tertutup bermunculan para Jin penjaga yang
melindungi bangunan. Terkecuali Si Empat Wa-
jah, orang lainnya langsung bersurut mundur dua
langkah. Makhluk-makhluk alam gaib tersebut
bertubuh tinggi bukan main. Wajah mereka ang-
ker, beberapa di antaranya ada yang memakai
anting di hidung atau di sebelah telinga. Jemari
tangan mereka lebih besar dari pisang ambon.
"Siapa kalian" Mengapa bikin keonaran di
sini?" bertanya salah satu dari Empat Jin penjaga. Si Empat Wajah melangkah maju
tidak diikuti oleh tiga sekutunya.
"Kau bertanya siapa kami! Akulah orang-
nya yang akan menghancurkan gedung milik
tuanmu, dan memenggal kepalanya apabila dia
muncul di sini!" sahut Si Empat Wajah.
"Kau setengah manusia setengah iblis!
Dengan apa kau akan menghancurkan kami?"
"Ha ha ha...! Mungkin di antara sekian ba-
nyak manusia, hanya aku yang mengetahui kele-
mahan makhluk seperti kalian! Aku hancurkan
para Jin dengan pukulan 'Banas Pati'!" kata Si Empat Wajah. Mendengar ucapan
lawannya, Empat Jin itu langsung bersurut mundur dengan wa-
jah pucat seperti kehilangan cahaya.
"Bagaimana kau dapat mengetahui kele-
mahan kami"!" bertanya Jin yang sosoknya agak lebih pendek.
"Ha ha ha...! Bertanya jawab bukanlah ke-
mauan Si Empat Wajah, sekarang terimalah kebi-
nasaan kalian!" teriak Si Empat Wajah. Lalu seraya putar-putar tangannya di atas
kepala. Se- hingga angin kencang panas luar biasa menderu-
deru. Hanya dalam waktu sekejap kedua tangan
Si Empat Wajah telah berubah merah laksana ba-
ra. Ketiga kawannya tercengang melihat kesaktian
yang dimiliki oleh sekutunya. Empat Jin tidak
tinggal diam, sebelum lawan benar-benar mele-
paskan pukulan Banas Pati yang sangat dahsyat
itu. Serentak mereka melakukan serangan dari
empat penjuru arah sekaligus.
8 Begitu mereka menghembuskan nafas dari
mulutnya, maka menghamburlah lidah api dari
masing-masing mulut itu. Api yang panas mem-
bakar itu menghantam ke arah Si Empat Wajah,
namun Trigada juga bertindak cepat, empat mu-
lutnya menyemburkan udara yang kemudian be-
rubah menjadi air yang sangat dingin. Api yang
keluar dari mulut empat Jin itu segera padam.
Empat Jin penjaga gedung serentak bersurut
mundur sambil keluarkan seruan kaget. Lalu Si
Empat Wajah hentakkan kedua tangannya ke
empat penjuru arah. Empat larik sinar, biru kun-
ing merah dan hitam menggebu-gebu meluruk de-
ras ke arah empat Jin penjaga. Tetapi para Jin ti-
dak bodoh, mereka menciptakan gelombang angin
puyuh yang berkekuatan dua kali kekuatan topan
yang paling dahsyat.
Si Perusak Raga berseru kaget dan hampir
terpelanting. Sedangkan Setan Arak dan Iblis Pe-
mabukan terseret-seret oleh badai angin puyuh
tersebut, walaupun mereka telah keluarkan tena-
ga dalam ke bagian kaki. Kedua orang ini tersan-
dar di batu besar yang terdapat di belakang me-
reka. Lalu terdengar suara ledakan beruntun
yang sangat dahsyat luar biasa. Si Empat Wajah
sempat tergetar tubuhnya, dadanya seakan re-
muk. Empat Jin penjaga gedung terguling-guling,
wajah mereka berubah menghitam. Mereka segera
bangkit berdiri. Namun sebelum mereka siap pa-
da posisi serangan berikutnya. Si Empat Wajah
sudah lepaskan pukulan dahsyat 'Banas Pati' ke
arah mereka. Gelombang panas melanda dengan
telak dan secepat kilat serangan ini menghantam
Jin-Jin itu. Dentuman keras terjadi disertai teriakan melengking direjam sakit
yang luar biasa.
Keempat Jin hancur lebur menjadi asap. Di ke-
jauhan di angkasa sana terdengar suara jerit ber-
kepanjangan saling bersahut-sahutan.
Melihat ke empat lawannya sudah binasa,
Si Empat Wajah memberi isyarat pada sekutu-
sekutunya untuk menghancurkan gedung miring
tersebut. Maka orang-orang ini saling bahu mem-
bahu melepaskan pukulan-pukulan dahsyat ke
arah bangunan tersebut. Kiranya usaha itu tidak
mudah, ada beberapa tiang dan dindingnya yang
tidak dapat dihancurkan, terlebih-lebih bagian
tiang dan dinding yang berwarna putih. Bangu-
nan itu guncang seperti dilanda gempa. Hal ini
tentu dapat dirasakan oleh penghuninya. Di salah
satu ruangan di mana Aripati Ujudana alias Si
Muka Setan dan Datuk Tinggi Raja Di Angin tam-
pak saling berpandangan. Waktu itu seperti hari-
hari yang lalu Datuk Tinggi Raja Di Langit dalam
keadaan menangis.
"Aku merasakan terjadi gempa di sini, Da-
tuk"!" berkata Si Muka Setan dengan perasaan
cemas. Lu Jingga seka air matanya, mata kakek
ini memandang ke langit-langit. Hidungnya yang
memerah kembang kempis. Seakan mengendus
sesuatu. "Empat Jin pengawalku telah binasa. Siapa
yang melanggar sumpah untuk tidak saling
mengganggu" Ini bukan gempa, tapi perbuatan
orang-orang yang berusaha merusak gedung me-
gah ini. Gedung pengasingan tempat pelebur do-
sa." sahut Datuk Tinggi Raja Di Angin. "Muka Setan, sekutuku. Cobalah kau lihat
keluar. Hancur-
kan siapa saja yang telah merusak gedung. Aku
akan menyusulmu tidak lama begitu kau berada
di luar sana!" kata Datuk Tinggi Raja Di Angin.
"Aku akan menghancurkan siapa saja yang
bikin kerusakan di luar sana, sekutuku!" sahut Si Muka Setan. Aripati Ujudana
segera memanggul
senjata roda bergerigi yang dikenal dengan nama
Petala Langit. Dengan langkah tegap ia mening-
galkan ruangan itu. Pintu di bagian depan terbu-
ka dan kemudian menutup kembali dengan cepat.
Aripati Ujudana terkesiap melihat separoh ban-
gunan hancur dan pada bagian yang lain terbakar
dimakan api. Si Muka Setan yang memiliki ajian Sabdan-
ing Geni itu berjalan melalui api yang menyala.
Aneh memang karena seujung rambutnya pun ti-
dak ada terbakar, pakaiannya pun tetap utuh.
Melihat ada orang keluar dari kobaran api terse-
but Si Empat Wajah terkesiap. Setan Arak, Iblis
Pemabukan dan Si Perusak Raga sempat melom-
pat mundur. "Inikah orangnya"!" berseru Si Perusak Ra-ga. Seruannya ditujukan pada Si Empat
Wajah. "Huh, aku sendiri tidak tahu yang bagai-
mana rupanya kunyuk bergelar Datuk Tinggi Raja
Di Angin itu. Siapa pun yang keluar dari bangu-
nan itu harus kita binasakan!"
"Baik, kalau begitu biar kami bertiga yang
menyelesaikan orang ini!" kata Setan Arak.


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak! Sebaiknya kita maju satu-satu
menjajal kehebatannya!" bantah Si Perusak Raga.
Orang ini melompat ke depan.
Memperhatikan Si Muka Setan yang dia
sangka sebagai Datuk Tinggi Raja Di Angin. "Kau orangnya yang mendirikan
bangunan ini. Huh,
kau manusia munafik yang membuat calon isteri-
ku menderita lahir batin!" dengus orang ini sinis.
"Bicaramu ngelantur! Apa yang dapat kau
andalkan?" hardik Si Muka Setan.
"Kesaktianku untuk mengantar kematian-
mu!" teriak Si Perusak Raga. Selesai dengan ucapannya. Si Perusak Raga melesat
ke depan kirim-
kan jotosan berkekuatan lima tenaga kuda. Angin
bersiut dan menderu, sambarannya saja mem-
buat kulit terasa seperti dibeset-beset. Si Muka
Setan orang yang selalu nekad dan tidak takut
mati ini sama sekali tidak menghindar. Pukulan
langsung dipapaknya. Sehingga terjadilah bentu-
ran keras. Buungg...! "Akh...!"
"Ukh!"
Dua-duanya terdorong mundur. Tangan Si
Perusak Raga menggembung merah. Si Muka Se-
tan usap-usap sikunya yang kesemutan, namun
sama sekali ia tidak berusaha mundur. Sekarang
ia membalas serangan Si Perusak Raga.
Wut! Wut! Si Perusak Raga berkelit. Secepat kilat ber-
balik dan terangkat ke atas.
Plak! "Heh...!"
Perusak Raga lagi-lagi terjajar. Dadanya
kini mendenyut sakit dan kaki yang berbenturan
dengan kaki lawan seakan remuk. Untuk pertama
kalinya ia melompat mundur. Tenaga dalam dike-
rahkannya ke arah dua belah tangan. Orang ini
kiranya nekad melepaskan pukulan 'Inti Raga'
Tangan yang memerah itu kemudian dikibaskan.
Segulung angin panas disertai pijaran bunga api
melabrak Si Muka Setan. Laki-laki ini sama sekali
tidak menghindar namun lindungi tubuhnya den-
gan tenaga dalam tinggi. Praktis pukulan tersebut
menghantam tubuhnya dengan telak. Terdengar
suara ledakan yang sangat dahsyat hingga mem-
buat sisa bangunan berguncang. Si Muka Setan
ternyata hanya terdorong mundur, ia tertawa ter-
gelak-gelak. Setan Arak dan Iblis Pemabukan sal-
ing berbisik. Sedangkan Si Empat Wajah keliha-
tan acuh dan terus menghancurkan sisa bangu-
nan yang ada. "Rasanya ia kebal terhadap pukulan! Kura-
sa matanya nanti dapat kita hancurkan dengan
arak kita!"
Sementara itu tidak jauh dari pertempu-
ran, di balik batu tampak bersembunyi seseorang.
Sekarang ia sudah melihat siapa sebenarnya yang
mula-mula membuat keonaran di bangunan ter-
sebut. Ia telah memutuskan untuk membantu
Muka Setan bila laki-laki itu terdesak.
"Hanya begitu sajakah hebatnya pukulan
yang kau miliki" Kalian telah berkomplot dengan
Ratu Keindahan dalam menghancurkan gedung
ini. Perjanjian telah dilanggar. Sekutuku menga-
takan agar aku menghancurkan kalian!" dengus
Si Muka Setan. "Bah, jadi kau hanya cecunguknya saja.
Mana Datuk Tinggi Raja Di Angin" Apakah dia
sudah berubah menjadi pengecut tidak berani
tunjukkan diri?" ejek Si Perusak Raga yang diam-diam merasa kaget juga melihat
kesaktian yang dimiliki oleh lawannya.
"Hiyaa...!"
Perusak Raga sambil berteriak keras cabut
kapak besarnya. Kapak bermata satu itu bergerak
cepat terarah ke bagian kepala Si Muka Setan.
Namun laki-laki berbaju hitam ini tidak tinggal
diam. Ia segera lepaskan senjata roda bergerigi Si Petala Langit. Begitu senjata
mendesing di udara,
ia membelah menjadi tiga bagian. Tiga-tiganya
melabrak Si Perusak Raga. Lawan terkesiap
menghadapi senjata aneh. Ia terpaksa bersalto ke
belakang, sambil kibaskan kampaknya untuk
menangkis senjata maut tersebut.
Tring! Sebuah roda maut berbalik dan hampir
melibas pemiliknya. Namun duanya lagi terus
mengejar Si Perusak Raga. Mati-matian orang ini
jungkir balik sedangkan kampaknya menghantam
ke segala penjuru disertai suara mendengung-
dengung. Tring! Satu roda maut mental berbalik menghan-
tam mata kampak Perusak Raga. Tapi yang sa-
tunya lagi sudah menerabas pinggangnya.
Treces! "Augkh!"
Perusak Raga menjerit keras. Petala Langit
sudah kembali pada Si Muka Setan. Ujudnya
menjadi tunggal lagi. Terhuyung-huyung Perusak
Raga bangkit berdiri sambil mendekap luka di ba-
gian sisi kiri perutnya. Melihat kawannya dalam
keadaan terluka, maka Setan Arak dan Iblis Pe-
mabukan menjadi cemas dan mulai bertindak.
Dalam pada itu terdengar seruan keras dari Tri-
gada. "Manusia tolol, hanya menghadapi kunyuk bersenjata roda saja tidak becus.
Keroyok dan bunuh dia!!" perintahnya.
"Bagus! Majulah kalian semua!" tantang Si Muka Setan begitu mendengar ucapan
Empat Wajah. "Mari kita gebuk setan keparat itu sampai menjadi serbuk, kakang!"
teriak Setan Arak ditu-
jukan pada Iblis Pemabukan
Tanpa bicara lagi Iblis Pemabukan lang-
sung melancarkan serangan-serangan dahsyat
dengan mengerahkan jurus-jurus mabuk yang
dimilikinya. Ternyata menghadapi kedua lawan
yang baru menerjunkan diri ke medan pertempu-
ran ini jauh lebih sulit dibandingkan ketika
menghadapi Si Perusak Raga tadi. Apalagi Si Mu-
ka Setan sekarang mendapat tekanan dari tiga
arah sekaligus. Muka Setan melompat keluar dari
kalangan pertempuran. Dalam pada itu ia sudah
melepaskan Petala Langit. Kini roda bergerigi ini
membagi pada tiga sasaran. Satu mengarah pada
Perusak Raga, satu ke arah Setan Arak dan yang
satunya lagi menghantam Iblis Pemabukan.
Serangan roda terbang menjadi tidak ba-
nyak berarti bagi kedua pemabuk ini. Karena
dengan gerakan-gerakan terhuyung maupun li-
ukan-liukan tubuh mereka roda bergerigi tidak
dapat menyentuh lawannya. Terkecuali yang sa-
tunya lagi langsung menghantam dada Si Perusak
Raga hingga tembus ke jantung. Tewaslah orang
ini dihantam Petala Langit. Namun pada kesem-
patan itu pula bahaya lain mengancam Si Muka
Setan. Semburan arak lawan-lawannya yang sela-
lu mengarah ke bagian matanya membuat ia tidak
leluasa melakukan serangan balasan. Serangan
roda bergerigi menjadi tidak terarah dan berulang
kali nyaris menghantam dirinya sendiri.
"Heaaa...!"
Setan Arak menerobos ke depan, lawan be-
rusaha mundur akan tetapi dari arah samping
menghantam cairan arak yang disemburkan Iblis
Pemabukan ke bagian matanya. Si Muka Setan
berjumpalitan. Sebagian arah menghantam tu-
buhnya, hingga membuat pakaian laki-laki ini
hancur. Kini sudah tampak jelas Si Muka Setan
terdesak hebat. Setan Arak tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Arak kembali berhamburan dari mu-
lutnya dan.... Cuh! "Akkh...!"
Tidak terelakkan lagi mata kiri lawan han-
cur. Muka Setan menjerit-jerit sambil mendekap
matanya yang menyemburkan darah.
"Bunuh!" teriak Iblis Pemabukan.
Maka Setan Arak menghantamkan buli-
bulinya ke kepala lawannya. Kalang kabut Muka
Setan lindungi kepala disamping harus lindungi
matanya yang hanya tinggal sebelah agar tidak
mengalami kebutaan total. Namun pada detik-
detik yang sekritis itu, terlihat bayangan biru berkelebat. Kaki orang ini
menghantam lengan Setan
Arak. Setan Arak menjerit dan jatuh terpelanting,
buli-buli di tangan hancur. Sedangkan lengannya
sendiri seraya remuk seperti dihantam pentungan
besi. Baik Iblis Pemabukan yang sempat mundur,
maupun Setan Arak dengan mata melotot dapat
melihat seorang pemuda berpakaian biru beram-
but hitam kemerahan tampak bertolak pinggang
tidak jauh di depan mereka dengan mulut termo-
nyong-monyong. Sedangkan Si Muka Setan begitu melihat
ada orang yang telah menolongnya langsung am-
bil senjata dan melarikan diri dari pertempuran.
"Begitu beraninya kau mencampuri urusan
kami! Siapakah kau ini kunyuk tolol?" bentak Iblis Pemabukan. Ia jelas merasa
kesal, karena la-
wan yang sudah berada di ambang maut telah
melarikan diri karena campur tangan si pemuda.
Suro garuk-garuk kepala. "Sudah kalian tahu aku ini hanya kunyuk tolol. Mengapa
kalian masih bertanya-tanya" Apakah kalian bapak para mo-
nyet yang merasa kehilangan anaknya" Yang jelas
aku bukan anak para monyet mabuk yang bikin
keonaran di sini!" ejek Suro seenaknya.
"Sebutkan apa gelarmu, agar malaikat ti-
dak lupa mencacat namamu di akherat nanti!"
maki Setan Arak. Seraya langsung berdiri.
"Ha ha ha...! Gelarku monyet brewok tu-
kang mabuk. Malaikat pasti tidak salah catat, ka-
rena neraka sudah mengabarkan aku bahwa
kalian berdua adalah calon penghuni abadi di sana!" kata Pendekar Blo'on.
Melihat lagak si pemuda yang seperti orang sinting, rasanya ia tidak
punya kepandaian apa-apa. Tapi mengingat Setan
Arak dapat dijatuhkannya. Bukan mustahil ia
punya kelebihan dibalik wajahnya yang tolol itu.
"Adik Setan Arak! Mari kita rencah tubuh
pemuda edan ini dengan arak kita!" seru Iblis Pemabukan.
"Hu hu hu...! Aku paling suka berhadapan
dengan manusia gila seperti dia!" sahut Setan Arak. Dua lawan sama-sama
menerjang ke arah
Suro. Satu lancarkan jotosan ke arah leher dan
mulut, sedangkan yang satunya lagi lepaskan
tendangan menggeledek ke arah perut dan sa-
puan pada bagian kaki.
"Ala emak, para setan mabuk sudah mulai
mengamuk!" pekik Suro dan ia langsung jatuhkan diri. Tendangan maupun jotosan
tidak mengena pada sasaran yang diinginkan. Tapi kedua lawan
pemabuk ini cukup cerdik. Mereka pun berguling-
guling, tangan mencakar atau siku menghantam
tubuh Suro. Dalam keadaan berguling-guling ini
Suro memang mendapat serangan dari dua arah
sekaligus. Hal ini membuatnya cukup repot juga.
Dengan cepat ia melompat bangkit, sambil ber-
jingkrak-jingkrak ia menginjak-injak tubuh la-
wannya yang masih belum punya kesempatan
berdiri. Tapi injakan selalu meleset, bahkan ka-
kinya secepat kilat dapat dihantam oleh Iblis Pe-
mabukan hingga membuatnya terpelanting roboh.
"Wadoooh, orang mabuk ini memang sudah
pada edan semuanya!" maki Pendekar Blo'on. Ia cepat jungkir balik, ketika kedua
kakinya membentuk kuda-kuda di atas tanah. Mulailah ia me-
lakukan gerakan-gerakan yang sangat aneh hing-
ga membuat lawan-lawannya terheran-heran. Mu-
lutnya termonyong-monyong, terdengar suara
ngak ngik nguk tidak ubahnya seperti suara see-
kor monyet. Kakinya bergerak dengan gesit seper-
ti kaki monyet yang sedang menari-nari, tangan-
nya menggaruk ke sana sini. Itulah jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu' yang dipadukan dengan ju-
rus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
"Jurus Siluman Kera Putih"!" sentak Setan Arak yang rupanya cepat dapat memahami
apa yang dilakukan oleh pemuda rambut kemerahan
tersebut. "Hiaa...!"
Setan Arak yang sedikit banyaknya pernah
mendengar kehebatan jurus-jurus ini segera te-
guk araknya. Tiba-tiba saja ia sudah melompat ke
depan, serangan rangkaian bertubi-tubi dilaku-
kannya. Plak! Plak! Plak!
Hantaman buli-buli arak maupun sodokan
lututnya membentur tangan si pemuda. Suro
mundur, terdengar suara lolongannya. Suara lo-


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

longan yang kemudian disertai gerakan si konyol
yang terkesan serampangan dan tidak mengenal
aturan silat sama sekali.
Nguk! Nguk! Nguk!
"Hia...!"
Tiba-tiba saja Suro jungkir balik, kepala di
bawah kaki menendang perut lawan. Gerakan ini
terkesan asal-asalan, sebelah tangannya didorong
ke arah paha lawan. Melihat angin bergulung-
gulung, Setan Arak menangkis, tapi tendangan
kaki ternyata lebih dulu menghantam perutnya.
"Hegkkkh...!"
Setan Arak terjengkang, dari samping me-
nyambar serangan. Dan tahu-tahu Iblis Pemabu-
kan telah mengemplang kepalanya. Suro menge-
luh, ia terhuyung-huyung dan miring-miring se-
perti ayam sakit ayan. Selagi langkahnya goyah
dan pandangan matanya berkunang-kunang. Tin-
ju Iblis Pemabukan sudah menghantam dadanya.
Dieegkh...! "Uhuk! Hoek-hoekh...! Setan betul! Bang-
sat...!" maki si pemuda sambil pegangi dadanya.
Setelah diurut-urut keluar darah dari sudut-
sudut bibirnya.
Setan Arak yang sudah berdiri bersama Ib-
lis Pemabukan langsung menyerang Pendekar
Blo'on dengan semburan araknya. Untunglah Su-
ro bertindak gesit sambil menggelindingkan tu-
buhnya. Setiap batu yang terkena semburan arak
berlubang mengepulkan asap, rumput kena sem-
bur, rumput langsung terbakar. Bukan main-
main memang! Suro sendiri tidak sanggup mem-
bayangkan bagaimana batok kepalanya yang ter-
kena semburan arak tersebut. Pasti langsung bo-
long menembus otaknya.
Pontang-panting pemuda ini selamatkan
diri. Tapi lawan-lawannya ini benar-benar para
pemabuk yang sudah penuh keedanan. Hingga
Pendekar Blo'on bolak-balik hampir mati konyol.
"Setan sompret! Huuh... huuh... huu,
heaa...!" Pemuda baju hijau melontarkan kata-
kata yang tidak jelas. Lalu terdengar suara ta-
wanya yang bekakakan. Tubuhnya berkelebat le-
nyap. Rupanya ia saking gusarnya sudah menge-
rahkan jurus 'Tawa Kera Siluman'. Kemudian se-
cara cepat ia menyusup ke arah pertahanan la-
wan. Pukulan beruntun dilakukannya.
Buk! Buk! Pruh! Meskipun sempat terbanting terkena haja-
ran Suro yang telak itu, tapi Iblis Pemabukan ma-
sih dapat semburkan araknya. Semburan arak di-
tangkis oleh Suro, sehingga membuat bajunya
terbakar sebagian. Kulitnya melepuh dadanya me-
lepuh dan pusernya juga ikut melepuh. Suro
hampir-hampir mati konyol. Hilang kesabaran-
nya, maka ia lepaskan pukulan 'Ratapan Pem-
bangkit Sukma'. Suro angkat tangannya tinggi-
tinggi kedua lengannya hanya dalam waktu seke-
jap telah berubah memutih laksana salju. Setan
Arak dan Iblis Pemabukan sadar betul dengan
bahaya yang mengancam jiwa mereka. Sehingga
ia pun lepaskan pukulan 'Nyanyian Setan Mabuk
Di Tengah Malam'.
Dua-duanya dalam waktu bersamaan hen-
takkan kedua tangannya ke arah lawan. Tapi Su-
ro sudah mendahuluinya. Detik itu juga meluncur
segulung sinar putih disertai angin menderu-
deru. Sinar kuning meluncur pula memapak se-
rangan Pendekar Blo'on. Terjadi pertemuan dua
serangan sakti di udara. Lalu....
Buum! Buum! "Aukh...!"
Tiga suara jeritan terdengar berturut-turut.
Masing-masing lawan sudah terlempar sejauh tiga
tombak. Tampaknya Setan Arak dan Iblis Pema-
bukan hanya menderita luka ringan. Sedangkan
Pendekar Blo'on megap-megap. Kepalanya benjut
terhantam akar pohon.
"Sekarang tibalah saatnya bagimu untuk
berjalan-jalan ke neraka!" teriak Iblis Pemabukan.
Tanpa berpikir lebih lama lagi tubuhnya melesat.
Kakinya menginjak kepala Suro. Pemuda ini me-
nyeringai, tapi tangannya mencabut Mandau Jan-
tan dengan cepat.
"Hiiiiik! Huuuuu! Haaaaaa...!"
"Awas, kakang!" teriak Setan Arak ketika melihat lawan mencabut senjata.
Peringatan ini sudah terlambat. Senjata yang dapat meringkik,
merintih dan tertawa itu berkelebat dan....
Craas! Tenggorokan Iblis Pemabukan terputus. Ia
jatuh tersungkur di samping Suro. Melihat sauda-
ranya roboh, seperti setan gila Setan Arak mener-
kam Pendekar Blo'on. Namun Mandau di tangan
Suro menembus perutnya. Laki-laki ini menjerit,
roboh menimpa Pendekar Blo'on. Pendekar Blo'on
sentakkan senjatanya.
Sesaat ia mengitarkan pandangan matanya
berkeliling. Ketika itu ia melihat bangunan sudah
rata menjadi tanah. Dari reruntuhan bangunan
muncul seorang laki-laki tua dalam keadaan me-
nangis. Sedangkan tidak jauh darinya Si Empat
Wajah sudah menunggunya dengan perasaan
gembira. Suro yang dalam keadaan terluka ini ku-
rang menghiraukan perdebatan sengit yang terja-
di di antara mereka. Ia pejamkan matanya setelah
menelan tiga pil berwarna-warni. Dikerahkannya
tenaga dalam untuk menghilangkan luka-luka
yang ia derita. Lama sekali murid Penghulu Silu-
man Kera Putih dan Malaikat Berambut Api ini
memejamkan matanya. Tubuhnya pun mandi ke-
ringat. Saat mana ia membuka matanya kembali.
Maka kakek yang keluar dari reruntuhan bangu-
nan tadi dengan sosok tinggi kurus berkepala be-
sar dan punya wajah empat sudah saling berha-
dap-hadapan. "Dara Nirmala tidak kusangka berani me-
langgar perjanjian. Kau datang ke sini tentu atas
suruhannya, bukan?" tanya si kakek yang tidak lain adalah Lu Jingga atau yang
lebih kesohor dengan julukan Datuk Tinggi Raja Di Angin. Si
Empat Wajah tertawa membahak. Karena empat
mulutnya tertawa semuanya maka terdengarlah
suara rentetan yang menggelegar bagai halilintar.
9 Suro sendiri terpaksa lindungi telinga agar
tidak terpengaruh tawa Si Empat Wajah. Tawa ti-
ba-tiba terhenti Suro masih duduk bersila di tem-
patnya sambil bengong.
"Kau salah tua bangka, Lu Jingga! Kurasa
kau masih ingat dengan Dara Alindi bukan" Nah
gadis itu yang menyuruhku untuk memenggal
kepalamu...!" sahut laki-laki bertubuh kurus cek-ing berkepala besar tersebut
sambil gelengkan
kepala. Air mata yang mengalir dari kelopak mata
Datuk Tinggi Raja Di Angin mendadak berhenti
dengan sendirinya. Ia memang sempat terkejut,
hanya rasa kagetnya tidak sempat terlihat oleh
lawannya. Ia kemudian bicara dengan suara din-
gin. "Jadi di mana perempuan itu sekarang?"
"Dia tentu saja mencari saudaranya yang
sangat dibencinya dalam gedung megah itu. Kau
mampus di tanganku, sedangkan Dara Alindi
akan membunuh orang yang sangat kau gila-gilai
itu!" ejek Si Empat Wajah. Suro mendengarkan
perdebatan itu sambil garuk-garuk kepala.
"Aku semakin jelas sekarang. Kiranya per-
soalan yang mereka ributkan cuma persoalan
asmara." gerutu Suro merasa tidak betah. Dalam kesempatan itu terdengar suara
Datuk Tinggi Ra-ja Di Angin menggerung keras.
"Sembilan akalku dulu memang pernah ka-
lah dan dijadikan pecundang oleh satu nafsuku.
Tapi sekarang semuanya sudah tidak bersebab.
Aku sudah tidak menghiraukan apa yang terjadi
dan yang akan terjadi pada dunia dan isinya. Ke-
tahuilah Dara Alindi itu jika tidak punya ilmu
awet muda dia sudah menjadi nenek-nenek renta
seperti diriku. Aku sekarang tahu dia tentu me-
nawarkan tubuhnya padamu, bukan?" dengus Lu
Jingga. "Lalu kepandaian apa yang kau miliki un-
tuk menghadapi aku" Sedangkan jika Dara Alindi
saja yang menghadapi langsung, ia belum tentu
dapat mengalahkan aku!" kata si kakek bersungguh-sungguh.
"Hmm, bangsat sombong! Aku Empat Wa-
jah, akan kupatahkan lehermu dengan kedua
tanganku ini!" teriak Trigada.
Hanya dalam tempo yang teramat singkat,
kedua orang ini sudah saling lancarkan serangan.
Gerakan mereka sangat cepat luar biasa, sehingga
jika hanya ahli-ahli silat berkepandaian biasa-
biasa saja tentu akan menjadi pusing melihat per-
tempuran yang berlangsung sangat cepat ini.
Bentakan disertai hantaman keras silih berganti.
Inilah pertemuan dua tokoh sakti yang memiliki
kepandaian luar biasa. Si Empat Wajah sang
Makhluk Tanpa Pendirian mulai melancarkan ju-
rus-jurusnya yang paling hebat. Sehingga setiap
gerakan tubuhnya mengeluarkan deru angin dah-
syat yang disertai beterbangannya batu dan pasir.
Dalam sebuah kesempatan ia menghantam tulang
rusuk lawan dengan pukulan 'Perempuk Raga Bi-
nasa Jiwa'. Dan tangan yang telah berubah
menghitam tersebut meluncur. Datuk Tinggi me-
nepis dengan lima jari tangannya.
Dess! "Hukh...!"
Si Empat Wajah malah terdorong mundur,
padahal Datuk Tinggi Raja Di Angin belum men-
gerahkan tenaga seutuhnya. Dari sini saja sudah
jelas kakek ini tampaknya memang bukan lawan
Si Empat Wajah. Setelah mengetahui kedudukan
yang sebenarnya, maka Suro segera meninggal-
kan tempat itu untuk mencari Dewa Sinting dan
Andini yang telah berada di dalam gedung di se-
belah timur. Sementara kedua orang yang diting-
galkan Pendekar Blo'on terus bertarung, bahkan
Si Empat Wajah sendiri sudah mulai melepaskan
pukulan 'Empat Bintang Saling Bertubrukan'.
Spontan kedua tangan Trigada menjadi biru me-
mancarkan sinar kemilau.
Dibarengi dengan lesatan tubuhnya ke de-
pan. Ia dorong kedua tangannya. Sinar biru mele-
sat dari telapak tangan Si Empat Wajah saling
susul dan berantai. Manusia sakti setara dengan
Dewa ini tekuk kaki kirinya ke depan, lalu ia do-
rongkan pula kedua tangannya ke depan. Do-
rongan itu tidak menimbulkan akibat apa-apa. Ini
menandakan tenaga sakti si Kakek sudah jatuh
berada di atas sempurna. Tahu-tahu terjadi den-
tuman, tiga sinar lain berbalik dan menghantam
Si Empat Wajah. Jika laki-laki berkepala besar ti-
dak cepat membanting tubuhnya ke samping, ia
dapat dipastikan hangus dilanda pukulunnya
sendiri. Sambil memaki, Empat Wajah masih
sempat berpikir bahwa serangannya tadi seakan
menghantam dinding gaib yang begitu halus tapi
punya daya pantul tiga kali dari kekuatan seran-
gannya. "Keluarkan seluruh kepandaianmu, manu-
sia Empat Wajah. Tegas kukatakan kalau pun
kau belajar seratus tahun lagi, kesaktianmu be-
lum bisa dikatakan seimbang dengan yang kumi-
liki!" kata Datuk Tinggi.
Merasa diremehkan, Si Empat Wajah men-
jadi gusar. Empat mulutnya membuka. Empat
buah lidah terjulur panjang dikobari api. Lidah
itu mengejar Lu Jingga. Justru ini yang ditunggu-
tunggu si kakek. Saat dua lidah membelit tubuh-
nya. Ia lenyapkan hawa panas itu dengan penge-
rahan tenaga dalam. Dan jemari tangannya yang
berkuku runcing, menerabas.
Tes! Tes! Dua lidah terpotong. Si Empat Wajah me-
raung, darah mengucur. Ia berjingkrak-jingkrak
kesakitan. Dua lidah lainnya masuk ke dalam
mulutnya. Empat Wajah dalam kepanikannya
menjadi nekad. Ia menerjang lawan pada jarak
yang sangat dekat. Datuk Tinggi Raja Di Angin
berkelit, serangan itu lewat di sampingnya. Kaki
si kakek terangkat...
Set! Gubrak! Empat Wajah tersungkur, dengan segera
Lu Jingga menghampiri, tidak disangka-sangka
lawan berbalik dan menerkamnya. Sehingga ter-
jadilah saling cekik. Datuk Tinggi Raja Di Angin
kerahkan seluruh tenaga sakti yang dimilikinya
ke dua belah tangannya. Tubuhnya bergetar ke-
ras. Empat Wajah mulai merasa kepitan yang


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat tenggorokannya serasa putus. Ia beron-
tak, setelah mengerahkan seluruh kemampuan-
nya ternyata ia tidak mampu melepaskan cekikan
si kakek, malah cekikannya pada leher lawan
semakin mengendor.
Kreek! Terdengar suara tulang leher berderak pa-
tah. Si Empat Wajah sudah tidak mampu lagi
menjerit. Lima kuku Lu Jingga berkelebat, kemu-
dian menancap di tenggorokan lawan. Ketika ka-
kek itu menyentakkan tangannya maka batang
tenggorokan lawan itu terbetot keluar. Si Empat
Wajah langsung dihempaskannya. Orang ini tidak
dapat berkutik lagi. Datuk Tinggi Raja Di Angin
menyeka air mata, pandangannya beralih pada
gedung di sebelah timur. Ada sesuatu yang me-
nyentak-nyentak hatinya, hingga membuat laki-
laki tua ini menjadi sedih.
"Mungkin ini sudah takdir. Apa pun yang
terjadi aku harus masuk ke gedung itu. Aku ingin
melihat anakku dari hubungan mimpi terkutuk
itu. Aku ingin menyampaikan permintaan maaf
pada Dara Nirmala!" batin si kakek.
* * * "Sial, kemana perginya Dara Nirmala! Aku
tidak yakin ia meninggalkan gedung ini. Ia adalah
orang yang paling tidak suka berkeliaran dan ber-
jumpa dengan orang-orang yang bertebaran di
permukaan bumi. Hampir semua kamar telah ku-
periksa. Aneh, sama sekali aku tidak mene-
muinya?" desis gadis berpakaian ringkas yang
umur sesungguhnya hampir tiga ratus tahun ini
dengan perasaan kesal. Ia berjalan mondar-
mandir dan melakukan pemeriksaan di sana sini.
Tiba-tiba gadis ini hentikan langkah.
"Kurasa ada ruangan rahasia di sini!" pikir si gadis yang tidak lain adalah Dara
Alindi. Belum sempat ia menentukan langkah selanjutnya, tiba-tiba saja pintu di
ruangan sebelah berderit terbu-
ka, muncul seorang kakek gendut membawa bun-
talan di punggungnya disertai seorang gadis can-
tik yang disangka oleh Dara Alindi adalah Dara
Nirmala karena wajahnya yang mirip betul
"Kucari kemana-mana ternyata kau baru
keluar dari tempat persembunyianmu, perem-
puan ingkar!" dengusnya langsung melompat ke
depan. Dewa Sinting yang sudah mengetahui du-
duk persoalan yang sebenarnya dari roh Ratu
Keindahan langsung menjawab.
"Dia bukan perempuan yang kau sangka-
kan! Saudaramu sudah meninggal, sedangkan ini
putrinya!" jelas si kakek.
Meledaklah suara tawa Dara Alindi. "Hi hi
hi...! Jadi dia sudah mampus! Anak jadah ini pu-
trinya. Huh, tidak kulihat di mana bapaknya! Ba-
giku tetap saja. Dia harus kubunuh!"
Andini menggerakkan tangannya memberi
isyarat pada Dewa Sinting. Maka tahulah si gadis
bahwa Andini tidak bisa bicara alias gagu. Kenya-
taan ini menjadi bahan tertawaannya.
"Benar-benar anak yang malang! Sudah
terlahir dari hubungan mimpi terkutuk, gagu pu-
la! Hmm, kepalang basah, tidak dapat kubunuh
ibunya. Jika aku dapat membunuh anaknya me-
rupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagiku...!"
"A... au... aaah...!" Si Penyair Gagu coba bicara, namun hanya Dewa Sinting saja
yang dapat mengetahui arti isyaratnya itu. Sehingga ia pun
bicara ditujukan pada Dara Alindi.
"Menurutnya dendammu membabi buta.
Pikiranmu picik, kau pantas menjadi santapan
cacing tanah!"
"Begitu kata gadis gagu itu! Kita buktikan
siapa yang tersungkur mampus di sini lebih du-
lu!" dengus Dara Alindi dengan rahang bergemele-tukan. Gadis berumur ratusan
tahun ini tiba-tiba
hantamkan kedua tangannya ke arah si gadis dan
kakek gendut. Serangan ini cepat luar biasa, dan
dikenal dengan nama 'Merampas Sukma Cam-
pakkan Raga Darah'. Si kakek hendak sela-
matkan si gadis. Namun serangan lawannya lebih
awal menghantam.
Buuk! Buuk! Andini sempat tersungkur dengan kepala
menghantam tembok. Dewa Sinting terjengkang.
Ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi da-
ri tenaga dalam yang dimiliki oleh si kakek mau-
pun Andini. Dewa Sinting lepaskan toya yang selalu di-
pergunakan untuk membawa buntalan. Sambil
menggerung marah ia lancarkan serangan bala-
san. Toya menderu-deru menimbulkan gelombang
angin kencang yang saling tindih menindih. Dari
samping kiri Andini sudah bergebrak pula. Meng-
hadapi serangan yang tidak dapat dipandang en-
teng ini Dara Alindi kelihatan masih tenang-
tenang saja. Tubuh gadis dari Lembah Silau Du-
nia ini mencelat ke langit-langit. Serangan toya si kakek nyaris menggebuk
kepala Andini. Dewa
Sinting membelokkan toyanya, kemudian dis-
odorkannya ke langit-langit. Ternyata lawannya
cukup cerdik. Toya disambarnya, melalui toya itu
ia meluncur turun, kemudian kakinya menen-
dang. Dhaak! Dewa Sinting menjerit dan terguling-guling.
Ia dalam keadaan terluka masih sempat lepaskan
pukulan. Namun Dara Alindi berkelit dan puku-
lan Dewa Sinting menghantam tembok. Hancur-
lah tembok tersebut. Melihat Dewa Sinting dalam
keadaan terdesak, Andini tidak tinggal diam.
Tubuhnya tiba-tiba saja melesat. Jemari
tangannya mencakar wajah yang cantik itu dan
kakinya menendang.
Sambil memaki lawan selamatkan wajah-
nya, namun kaki Andini menghantamkan tepat di
dada kiri lawan. Dara Alindi terhuyung-huyung,
hanya sampai sebatas itu tidak sempat terluka.
Dengan penuh kegeraman ia lepaskan pukulan
'Seribu Bala Lembah Silau Dunia'. Ini adalah se-
rangan yang paling mematikan yang pengaruh si-
narnya saja sudah membuat Dewa Sinting menje-
rit kesakitan. Si gadis jelas dalam keadaan teran-
cam, pada detik-detik yang sangat kritis itu ada
kabut tipis berujud sosok perempuan menyapu ke
arah ubun-ubun Andini. Tubuh si gadis sempat
tergetar, roh Dara Nirmala kiranya sudah mera-
suk dalam diri putrinya. Tanpa membuang-buang
waktu lagi Andini yang telah dirasuki roh ibunya
langsung hantamkan tangannya ke depan. Se-
hingga terjadilah ledakan yang membuat sebagian
bangunan runtuh. Dua tiang hancur, sebagian re-
runtuhannya menimpa Dewa Sinting. Hingga si
kakek teriak tertolong-tolong.
"Kau turunkan pukulan paling keji pada
putriku! Aku bisa mengantarmu ke alam barzah!"
Arwah Dara Nirmala yang merasuk dalam diri pu-
trinya bicara. "Hmm, rupanya kau mendampingi anak-
mu! Kau akan mengalami dua kali kematian beri-
kut anakmu! Kau manusia munafik, munafik...!"
teriak Dara Alindi semakin bertambah kalap.
"Tuduhanmu tidak beralasan! Cemburumu
membabi buta hingga membuat langkahmu se-
makin bertambah sesat saja! Hia...!" Sang Roh yang berada dalam diri Andini
tiba-tiba melesat
ke depan. Kemudian tangan si gadis yang dirasu-
ki arwah ibunya berubah-rubah warnanya dari
merah, hitam, kuning dan biru. Dara Alindi tidak
berusaha mengelak, malah ia memapak. Hingga
kedua tangannya melekat pada telapak tangan
Andini. Dua tenaga sakti saling berusaha menin-
dih, mendorong dan himpit menghimpit. Tampak-
lah sudah waktunya mereka sama-sama mengadu
jiwa. Dewa Sinting tidak berani mengambil kepu-
tusan apa-apa. Tubuh Andini yang dirasuki ar-
wah ibunya mulai bergetar dan keluarkan kerin-
gat dingin. Demikian pula dengan lawan, sudut-
sudut bibir Dara Alindi meneteskan darah. Dari
hidung Andini mengucur darah pula. Suasana
semakin bertambah tegang. Kini telinga Dara
Alindi dan juga hidungnya tampak meneteskan
darah. Nafasnya mulai tersendat-sendat. Dalam
keadaan yang sangat gawat antara hidup dan ma-
ti. Sosok bayangan berkelebat, lalu terdengar sua-
ra.... Plak! Plak!
"Wuaaakh...!"
Baik Dara Alindi maupun Andini yang di-
kendalikan arwah sang ibu sama-sama terjeng-
kang dengan darah berbusaian dari mulut mas-
ing-masing. Sebaliknya bayangan biru setelah
terpental menabrak tembok, tampak meringkuk
sambil pegangi dadanya.
"Bocah gendeng! Kau benar-benar mencari
mampus!" seru Dewa Sinting yang melihat Suro
Blondo juga dalam keadaan terluka akibat beru-
saha memisah orang yang sedang mengaduh ke-
saktian tadi. "To-lo-ng dia...!" perintah Suro setengah merintih. Ia terbungkuk-bungkuk, tapi
tidak bisa berdiri tegak, ia merasa isi dalamnya mengisut
termasuk usus-ususnya.
Dewa Sinting tidak tinggal diam, melihat
Dara Alindi dalam keadaan tidak berdaya ia han-
tamkan toyanya ke bagian kepala. Sejengkal lagi
toya sampai pada sasaran. Dara Alindi menghan-
tam ke depan. Tentu saja Dewa Sinting tidak
sempat menghindar. Akibatnya....
"Akhckh...!"
Kakek itu mengeluh dan roboh tidak sa-
darkan diri dengan luka berat yang ia derita. An-
dini bangkit berdiri, detik itu juga ia lepaskan pukulan 'Seribu Bala Lembah
Silau Dunia', Dara
Alindi coba bangkit, sebelum ia sempat menghin-
dar pukulan lawan telah menghantam tubuhnya.
Terjadi suara ledakan tiga kali berturut-turut,
terdengar suara jeritan menyayat, Dara Alindi
membentur tembok. Kepalanya retak, sebagian
tubuhnya hangus. Dalam keadaan begitu pun ia
masih hidup. Suro yang berada di sampingnya le-
paskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir'. Sinar hi-
tam merah bergulung-gulung menyapu tubuh la-
wannya. Lolongan panjang menggidikkan menyer-
tai tercabutnya nyawa Dara Alindi. Suro bangkit
berdiri, memandang ke samping kiri Andini tam-
pak tersenyum, senyum manis walaupun wajah-
nya pucat. "Kau Andini atau arwah ibunya?" tanya Su-ro bingung.
"Aku ibunya! Tapi aku segera meninggal-
kan anakku, terima kasih atas bantuanmu dan
bantuan kawanmu! Ada orang datang, aku harus
pergi!" kata arwah ibu Andini. Tubuh gadis itu bergetar, dari ubun-ubunnya
tampak kabut membentuk sosok tubuh wanita melesat ke uda-
ra. Andini tergagap-gagap seakan bingung, ia bi-
cara dengan isyarat tangannya. Namun Suro go-
lang-golengkan kepala.
"Aku nggak ngarti! Akh.... Dewa Sinting
pun pakai klenger segala!" gerutu Suro. Ia menghampiri si kakek. Kemudian
ditekan-tekannya
nadi besar di tubuh si kakek. Karena tidak sadar juga, Suro terpaksa masukkan
tangannya di balik baju. Setelah itu tangannya ditempelkan ke
hidung Dewa Sinting. Orang tua ini langsung ber-
sin-bersin. "Tua gila! Kau diketeki dulu baru mau sa-
dar!" kata Suro sambil tertawa. Dewa Sinting merintih-rintih. Lalu memaki....
"Kau dan gurumu sama saja gilanya, tidak
mengenal adat dan kurang ajar!" maki si kakek. Ia seka hidupnya yang bau ketiak
Suro. "Dara Alindi"!"
Tiba-tiba terdengar suara seruan. Ketiga
orang ini sama menoleh. Yang datang ternyata
kakek tua. Orang ini melangkah dengan air mata
bercucuran. Suro yang sudah mengenali Datuk
Tinggi Raja Di Angin segera berkata.
"Dia bukan Dara Alindi, gadis ini anaknya,
Andini namanya. Dia putrimu, orang tua...!"
"Anakku!!" seru si kakek, ia memeluk An-
dini. Ayah dan anak saling bertangisan.
"Datuk Tinggi Raja Di Angin, putrimu tidak
bisa bicara! Sedangkan isterimu sudah meninggal
dan ada di ruang bawah!" jelas Dewa Sinting.
"Semua ini salahku, semua ini karena ke-
saktian, cintaku cinta bisu, asmara gagu. Satu
nafsuku telah mengalahkan sembilan akalku. Apa
yang kuperbuat telah membuatnya menderita.
Dia anak yang terlahir dari hubungan mimpi. Ka-
lian telah membantu kami, jangan usik perte-
muan ini. Kami telah menetapkan untuk meng-
habiskan masa hidup di Lembah Silau Dunia!"
kata Datuk Tinggi Raja Di Angin terisak-isak.
"Mari kita pergi kakek sinting! Aku tidak


Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang Orang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau ikut terharu dan ikut-ikutan menangis! Me-
reka orang yang sudah banyak menderita, mende-
rita karena ilmunya!" ujar Pendekar Blo'on.
"Aku juga tidak ingin sedih. Melihat tam-
pangmu saja sudah menyedihkan. Ayolah...!" katanya Dewa Sinting menyahuti.
Keduanya lalu ke-
luar meninggalkan bangunan yang hampir runtuh
seluruhnya. Suro sempat nyengir melihat Andini
Si Penyair Gagu mengedipkan matanya yang in-
dah. Tangannya melambai seakan tidak rela di-
tinggalkan. Sampai di luar gedung mereka saling
berpandangan. "Orang tua gila, kau hendak kemana?"
tanya Suro. "Pergi kemana" Baru sekarang aku teringat
hendak pergi kemana" Kurasa aku pergi kemana
saja. Oh ya, kalau ketemu gurumu sampaikan sa-
lamku padanya dua ikat." Ternyata Dewa Sinting bicara seorang diri, karena yang
diajaknya bicara
sudah lenyap dari sampingnya. Di kejauhan
sayup-sayup terdengar suara.
"Orang sinting itu sama dengan gila, miring
otaknya. Aku tidak suka berkawan dengan orang
gila, apalagi sudah tua dan bau tanah. Mendingan
aku sendiri agar tidak ikut menjadi gila! Ha ha
ha...!" kata Suro.
"Bocah goblok! Pendekar Bodoh, kapan-
kapan aku akan mencarimu!" gerutu Dewa Sint-
ing sambil melangkah pergi.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kaki Tiga Menjangan 45 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Dendam Empu Bharada 11
^