Pencarian

Pertarungan Digunung Tengkorak 1

Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Bagian 1


PERTARUNGAN DI GUNUNG TENGKORAK oleh Fahri A. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta dilindungi undang-undang Dila-
rang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Di ujung selatan pulau Jawa, ada sederetan pe-
gunungan. Jumlahnya amat banyak. Dan di antara
pegunungan itu, ada sebuah gunung yang teramat
sunyi. Yang tak pernah dijamah oleh manusia.
Gunung itu angker dan menyeramkan. Sekilas
bila dipandang dari kejauhan, nampak mirip seperti
tengkorak. Sehingga orang-orang menamakan gunung
itu, Gunung Tengkorak.
Namun sejauh ini, belum ada seorang pun yang
terdengar berani tinggal dan menempati gunung itu.
Karena mereka yakin akan keangkeran Gunung Teng-
korak. Tetapi ada tiga orang pemuda desa yang tidak percaya akan keangkeran
Gunung Tengkorak. Mereka
dengan pongah dan sombongnya berkata hendak ting-
gal di sana "Kalian sungguh-sungguh?" tanya kepala desa di suatu pagi ketika ketiga pemuda
itu tengah bersiap untuk pergi dan tinggal di Gunung Tengkorak
"Jangan kuatir, Ki Lurah," kata yang bertubuh besar dengan kumis melintang.
Kalau diperhatikan
dengan seksama dia berwajah tampan. Namun bila di-
perhatikan sekilas nampak seperti pemuda beranda-
lan. Pemuda itu bernama Baskoro, usianya kira-kira
24 tahun. "Kami tidak percaya dengan keangkeran Gunung Tengkorak."
"Jangan terlalu sombong, Baskoro. Kau masih
muda. Belum banyak memakan asam garam kehidu-
pan," kata Ki Lurah Sangsoko terus memperingatkan.
"Tetapi kalau asam dan garam dapur, aku ser-
ing melakukannya, Ki Lurah!" balas Baskoro dengan
nada mengejek, sambil tertawa.
Kata-katanya disambut tawa pula oleh kedua
temannya. Suseno dan Randumoko. Suseno bertubuh
besar pula, mirip dengan Baskoro. Tetapi ia tidak memiliki kumis setebal
Baskoro. Usia Suseno pun kira-
kira sama dengan Baskoro.
Sedangkan Randumoko seorang pemuda yang
bertubuh kurus. Wajahnya tirus cekung dengan kedua
mata yang seakan mengantuk. Dari bentuk dagunya
yang lancip, menandakan dia seorang laki-laki yang li-cik. Randumoko berusia
lebih tua dua tahun daripada
kedua temannya.
Sebenarnya Ki Lurah Sangsoko tidak heran
dengan sikap pongah dan sombong ketiga pemuda itu.
Mereka memang terkenal sebagai tukang ribut di desa.
Kerja mereka hanya berkelahi, mabuk-mabukan dan
mencuri kecil-kecilan.
Tentunya dengan kenekatan mereka untuk per-
gi dan menetap di Gunung Tengkorak, bukannya un-
tuk menyelidiki keadaan Gunung Tengkorak, tetapi
agar dibilang jago dan digjaya.
Cuma Ki Lurah Sangsoko amat menyayangkan
ketergesaan mereka. Karena sebenarnya Ki Lurah
Sangsoko telah mendengar kabar, kalau Gunung
Tengkorak didiami oleh setan yang amat jahat!
Ketika dia memberitahu hal itu kepada tiga pe-
muda tadi, mereka hanya tertawa.
"Biarpun seribu setan jahat akan menghadang
dan mengganggu kami, akan kami ganyang mereka!"
ujar Baskoro sambil menepuk dada. Di pinggangnya
terselip sebatang golok besar.
"Kalau perlu, kami akan menangkapnya," lanjut Suseno. "Atau... bila setannya
setan perempuan, kami
akan menidurinya dengan kehangatan yang luar bi-
asa... hahaha!" sambung Randumoko sambil terbahak.
Di samping jengkel dan marah yang luar biasa
karena kesombongan ketiga pemuda itu, Ki Lurah
Sangsoko juga merasa kasihan. Dia menganggap, keti-
ganya semata-mata untuk menunjukkan bahwa mere-
ka berani dan jagoan. Tak ada kesan sedikit pun kalau mereka memang benar-benar
hendak menyelidiki keadaan Gunung Tengkorak.
Begitu pula dengan sebagian penduduk yang
hadir di sana. Mereka juga jengkel dan kasihan pada ketiga pemuda itu. Namun
sebagian besar diam saja.
Karena mereka juga ingin memberi pelajaran kepada
ketiganya agar tidak menjadi keras kepala dan som-
bong. "Tak sedikit pun kalian ingin mengurungkan niat kalian?" tanya Ki Lurah
Sangsoko lagi. "Tidak, Ki Lurah! Kami bertiga sudah mantap
untuk melakukannya!" kata Baskoro mewakili kedua temannya.
"Benar?"
"Ya!" sahut ketiganya bersamaan.
"Dengan segala resikonya?"
"Ki Lurah... resiko apa yang akan kami hada-
pi?" seru Randumoko sambil mendengus mengejek.
"Kau masih dipengaruhi oleh ajaran kemustahilan dan peradaban lama! Kami tak
akan menemukan resiko
apa-apa! Bahkan kami menamakan ini sebuah perja-
lanan, sedang berpergian, mengerti?"
"Kau tidak mengerti, Randumoko...." balas Ki Lurah tetap dengan kesabaran.
"Apanya yang tidak ku mengerti" Dari desa kita
ini, Gunung Tengkorak terlihat dengan jelas. Dan di
sana tentunya ada suatu pemandangan yang teramat
indah dan bagus. Ini yang aku tidak mengerti, Ki Lu-
rah?" Merasa tidak ada gunanya untuk menahan ke-pergian mereka, Ki Lurah
Sangsoko hanya mengang-
guk saja. Agak menyesali karena mereka tidak mau
mendengarkan nasehat dan larangannya.
Para orangtua dari ketiga pemuda itu pun tak
sanggup untuk menahan dan melarang mereka. Kali
ini pun para orangtua ketiga pemuda itu hanya mem-
perhatikan saja sambil berdoa banyak-banyak dalam
hati agar tidak terjadi sesuatu yang menimpa putra
mereka. Matahari nampak sudah sepenggalah. Ketiga
pemuda itu pun mengangkat perlengkapan mereka
dan berangkat sambil tertawa-tawa.
Ada yang mengagumi keberanian mereka.
Ada yang menyesali keberanian mereka.
Ada yang jengkel dengan kesombongan mereka.
Dan ada yang merasa kasihan dengan kebera-
nian dan kesombongan mereka.
Tapi tak ada yang bisa mencegah keinginan me-
reka, yang dilakukan semata-mata biar dikatakan jago dan digjaya.
2 Matahari nampak semakin tinggi. Dan panas-
nya terasa makin menyengat. Apalagi ketika ketiga
pemuda itu sudah merasakan tubuh yang teramat pe-
nat dan panasnya terik matahari.
Dari desa mereka, Gunung Tengkorak terlihat
sangat dekat. Namun setelah dituju, sudah hampir li-
ma jam mereka bergerak, belum sedikit pun nampak
Gunung Tengkorak semakin dekat.
"Kita istirahat saja dulu, Bas," kata Suseno yang sudah merasa kepayahan.
"Baiklah, kita cari tempat yang teduh!" kata Baskoro yang juga sudah lelah.
Tak lama kemudian, ketiganya pun sudah be-
ristirahat dengan membuka bekal mereka masing-
masing. Namun belum sempat mereka mencicipi hi-
dangan apa yang mereka bawa, tiba-tiba di hadapan
mereka berdiri seorang dara jelita berbaju kuning. Ma-ta ketiganya terbelalak.
Di samping dara itu teramat cantik, juga pa-
kaiannya yang tembus pandang. Yang memperlihatkan
lekuk tubuh yang padat dan montok.
Ketiganya berpandangan. Tersenyum. Dan ber-
gegas berdiri. "Selamat siang, Nona...." sapa ketiganya bersamaan. Merasa
ketiganya mengucapkan kata-kata
bersamaan mereka jadi saling pandang. Lalu Baskoro
yang terlihat bicara, "Ada apa gerangan Nona, hingga Nona sampai di sini?"
Dara jelita itu tersenyum, berkesan genit. Dia
melangkah mendekati mereka. Saat melangkah itu se-
luruh tubuhnya yang tembus pandang bergerak. Mem-
buat ketiganya menelan ludah.
"Tubuh indah luar biasa," desis ketiganya dalam hati.
Ketiganya memang dikenal sebagai berandalan
di kampungnya. Ketiganya juga sering mendatangi
tempat pelesiran dan kompleks pelacuran. Makanya
ketika melihat satu sosok yang terpampang indah di
depan mata, ketiganya bergerak bagaikan seekor kuc-
ing melihat ikan.
Dan ikannya kali inilah yang kelihatan menan-
tang. Membuat ketiga kucing itu semakin buas dan
mendengus-dengus.
"Hihihi... aku" Yah... cuma berjalan-jalan saja.
Kalian sendiri sedang apa?" tanya dara berbaju kuning itu.
"Kami?" ulang Baskoro sambil menunjuk di-
rinya dan diri kedua temannya. Mengingat rencana
mereka hendak mendaki dan menetap di Gunung
Tengkorak, maka dengan pongahnya dia berkata, "Ka-mi hendak menginap di Gunung
Tengkorak."
"Gunung Tengkorak?" Dara itu memekik. Wa-
jahnya seketika pias.
Melihat wajah yang nampak pucat ketakutan
itu, Baskoro menjadi semakin pongah. Pikirnya, dara itu tentu akan menaruh rasa
kagum atas keberanian-nya, Dan dia pun tak mau melepaskan kesempatan
yang ada di depan mata ini.
"Benar, kami akan pergi dari menginap di sa-
na," kata Baskoro sambil menunjuk Gunung Tengkorak yang meskipun siang hari
tetap kelihatan angker
dan menyeramkan.
"Kalian berani sekali," kata Dara berbaju kuning dengan suara kagum.
"Tentu. O iya, namaku Baskoro. Ini kedua te-
manku, Suseno dan Randumoko. Siapa namamu, Ma-
nis?" kata Baskoro yang sudah kelihatan belangnya.
"Namaku... hihihi... namaku Saraswati..." kata dara itu sedikit tersipu. Namun
kegenitannya masih
nampak. "Namamu indah sekali, Saraswati..." kata
Baskoro memancing. Dia yakin, gadis yang bernama
Saraswati ini mudah sekali diajak berkencan. Melihat
dari cara berpakaiannya yang tembus pandang, juga
sikapnya yang begitu genit.
"Hihihi... kalianlah yang gagah perkasa. Aku
senang berkenalan dengan pemuda-pemuda gagah se-
perti kalian. O iya, siapakah yang mempunyai ide un-
tuk mendaki dan menginap di Gunung Tengkorak?"
kata Saraswati sambil mengerling genit.
"Aku!" kata Baskoro sambil menepuk dada dengan sikap congkak.
Memang benar. Usul untuk mendaki dan men-
ginap di Gunung Tengkorak memang datang dari
Baskoro. Sedang Suseno dan Randumoko hanya
mengikuti saja, karena mereka sebagai teman yang
akrab. Namun di depan gadis manis ini, Suseno dan
Randumoko menjadi sedikit kesal karena Baskoro
nampak bisa menjual lagak. Berarti mereka tentunya
tak akan mendapatkan perhatian dari Saraswati.
Di tempat sepi dan seram ini, tentunya bila di-
temani oleh seorang gadis dapat, membuat hangatnya
suasana. Randumoko sudah memikirkan satu cara un-
tuk mendapatkan Saraswati.
Sekarang dia membiarkan saja.
Dia melihat wajah Saraswati memandang pe-
nuh kekaguman pada Baskoro.
"Kau hebat sekali, Kakang... Kau sungguh ga-
gah berani...."
Wajah Baskoro memerah karena bangga. Ba-
ginya, gadis ini harus menjadi miliknya. Sedikit pun dia tak akan membagi dengan
Suseno dan Randumoko
seperti yang biasa mereka lakukan di tempat pelesiran atau pun kompleks
pelacuran. Agaknya Suseno dan Randumoko pun tahu
akan niat Baskoro. Mereka tak akan mau membiarkan
gadis itu jatuh ke tangan Baskoro.
"Kau sendiri mau ke mana, Ni mas?" tanya
Randumoko sambil menatap cantiknya wajah Saras-
wati. Dadanya berdebar. Hmm... tak akan kubiarkan
kau jatuh ke tangan Baskoro, Saraswati.
"Kau" Hihihi... aku tinggal di sekitar sini."
"Kau tinggal di sini?"
"Ya."
"Di lembah itu!" sahut Saraswati sambil menunjuk sebuah lembah yang cukup dalam
dilihat dari tempat mereka berada.
"Dengan siapa kau tinggal?"
"Sendiri."
"Sendiri"!" Kali ini terdengar suara ketiganya serempak dan melihat Saraswati
dengan mata membu-lat. Seorang gadis cantik bertubuh sintal seperti Saraswati
tinggal seorang diri di lembah itu" Oh, bukankah ini suatu kesempatan yang tak
boleh disia-siakan.
"Ya, aku sendiri. Apa anehnya?"
"Tidak, tidak ada yang aneh," kali ini Baskoro yang kembali mengambil alih
pembicaraan, membuat
Randumoko melirik jengkel.
"Hihihi... memang tidak ada yang aneh!" terkikik Saraswati.
Tiba-tiba berkesiur angin besar ke arah mereka.
Sigap mereka merunduk. Dan kala mereka berdiri den-
gan posisi sempurna kembali, mereka melihat dua so-
sok tubuh berdiri di hadapan mereka.
Dua orang itu laki-laki berwajah seram. Wajah
keduanya dipenuhi dengan bulu-bulu. Keduanya men-
genakan pakaian warna hitam terbuka di dada dengan


Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

celana panjang warna hitam pula. Di dada keduanya
terlihat ada sebuah kalung tengkorak.
Salah seorang berkata dengan suara angker,
"Dewi Baju Kuning... ke mana pun kau lari akan kami kejar! Dan kami tangkap
untuk dihadapkan kepada
Ketua!" Ketiga pemuda yang berdiri di dekat Saraswati langsung meliriknya.
Karena hanya dialah di sini seorang gadis; Dan dia pun mengenakan baju berwarna
kuning seperti yang diserukan oleh laki-laki berwajah seram itu.
Mereka juga terkejut ketika Saraswati berkata,
"Bangsapati! Kau memang pengawal Ketua yang teramat patuh! Begitu pula dengan
adik seperguruanmu,
Bimapati! Kalian berdua adalah pengawal-pengawal
yang teramat patuh! Tentunya kalian tak akan mele-
paskan ku begitu saja! Yah, aku yakin sampai ke mana pun dan kapan pun kalian
akan tetap mencariku! Dan
mempersembahkan kepalaku kepada Ketua! Bukankah
begitu, Bangsapati dan Bimapati"!"
"Kau betul, Dewi!" kata Bangsapati. "Bila kau tidak kembali dan menyerahkan
diri, kamilah yang
akan membawa pulang... atau pun membunuhmu dan
mempersembahkan penggalan kepalamu kepada Ke-
tua! Kau mengerti"!"
"Yah... dan aku pun siap menghadapi kalian la-
gi!" kata Saraswati yang kini maju setindak.
Ketiga pemuda yang tidak mengerti apa yang
sesungguhnya sedang terjadi itu saling berpandangan.
Sebenarnya apa yang telah terjadi"
Tetapi dasar ketiganya sudah terpengaruh oleh
kecantikan Saraswati atau yang dipanggil Dewi Baju
Kuning oleh Bangsapati, langsung maju tiga langkah
dan berdiri di depan Saraswati. Seolah mereka melin-
dungi gadis itu.
Baskoro berkata, "Ki sanak... apa sebenarnya
yang telah terjadi antara kalian dengan Saraswati" Je-
laskan!" Bangsapati mendengus. "Anak muda... sebaik-
nya kau dan kedua temanmu menyingkir dari hadapan
kami. Dan jangan turut campur dengan urusan kami
ini! Kami paling tidak suka bila urusan kami ada yang mencampurinya!"
"Bangsapati...." panggil Baskoro yang mengenal langsung karena Saraswati
menyebutkan nama laki-laki itu Bangsapati dan di sebelahnya Bimapati. "Tentunya
sebagai laki-laki, kalian pantang mengeroyok
seorang wanita bukan" Dan sebagai seorang laki-laki, kalian tentunya akan
melindungi seorang wanita yang
dalam keadaan kesulitan, bukan" Nah, kami akan me-
lakukan hal seperti itu untuk Saraswati!"
"Anak muda!" geram Bangsapati. "Sekali lagi kukatakan, jangan turut campur dalam
urusan ini! Kau akan mendapatkan ganjaran yang teramat me-
nyakitkan, Anak muda!"
"Bangsapati... sedikit pun aku tak akan berges-
er dari tempatku berdiri, bila kau belum menjelaskan ada urusan apa kau dengan
Saraswati?" seru Baskoro yang di samping ingin dipuji, juga menjadi keheranan
karena nampak gadis itu punya urusan yang teramat
pelik. Mengingat kata-kata Baskoro tadi, yang bila tidak menyerahkan diri kepada
Ketua, maka dia akan
membunuhnya. Entah siapa ketua itu dan berada di mana.
"Anak muda!" bentak Bangsapati. "Kau mem-buatku muak!" Lalu serunya pada
Saraswati, "Dewi...
cepat kau menyerahkan diri sebelum kesabaran kami
habis! Cepat! Hei... kau pun telah membuang kalung
tengkorak dari partai kita!"
Saraswati mengangguk. "Yah... karena aku su-
dah tidak mau lagi ikut dengan partai sesat itu!"
"Bangsat! Kau berani menghina partai kita"
Partai Tengkorak yang berpusat di Gunung Tengkorak"
Saraswati, dosamu sudah tak terampun lagi! Aku pun
tak segan-segan untuk membunuhmu! Nah, Dewi Baju
Kuning! Bersiaplah untuk menerima kematianmu!"
dengus Bangsapati sambil membuka jurusnya untuk
menyerang. Namun lagi-lagi terdengar suara dari Baskoro,
"Tahan! Bila kalian ingin membunuhnya, hadapilah kami terlebih dahulu!"
"Dewi... katakan padanya, kalau dia akan sia-
sia menghadapiku!"
Saraswati alias Dewi Baju Kuning pun menghe-
la nafas. Dia kagum dengan keberanian Baskoro
meskipun tadi dia berkesan pemuda itu terlalu som-
bong. Namun sekarang dia merasa kagum. Cuma
sayang, keberanian Baskoro itu akan sia-sia belaka.
Malah akan mengundang maut bagi dirinya
sendiri. Sebenarnya, siapakah Saraswati ini"
3 Sebenarnya, dugaan orang-orang terhadap Gu-
nung Tengkorak tak berpenghuni salah besar. Di atas
puncak Gunung Tengkorak terdapat sebuah partai
yang terdiri dari orang-orang kejam, buas dan sadis.
Mereka menamakan diri dengan sebutan Partai Teng-
korak. Partai Tengkorak dipimpin oleh seorang manu-
sia yang sakti mandraguna. Dia bertubuh cebol. Den-
gan tubuh bulat. Di pergelangan kedua tangannya ter-
dapat gelang yang jumlahnya banyak. Orang cebol itu
bernama Tunggul Petaka, dan berjuluk Si Cebol Pe-
nyebar Petaka. Tunggul Petaka seorang yang amat ditakuti
oleh para anak buahnya karena kekejamannya. Tak
seorang pun yang berani membantah perintahnya.
Bahkan di Partai Tengkorak ada sebuah peraturan
yang menyatakan, siapa saja yang sudah masuk ke
Partai Tengkorak tak akan bisa melepaskan diri. Bila nekat pula untuk keluar
dari Partai Tengkorak, maka
matilah taruhannya.
Dan orang-orang yang telah tinggal di sana, tak
satu pun yang berani memberontak. Mereka begitu
menurut dan patuh pada Tunggul Petaka.
Kerja Partai Tengkorak adalah membunuh, me-
rampok dan memperkosa. Tapi akhir-akhir ini, pimpi-
nan mereka, Tunggal Petaka menghendaki agar di se-
tiap malam Jumat disediakan orok yang baru lahir.
Dan tugas itu jatuh kepada Saraswati alias De-
wi Baju Kuning. Semula Saraswati melakukannya den-
gan enak saja. Tanpa rasa segan, mencoba menentang
atau pun marah.
Namun pada suatu malam, ketika dia hendak
menculik seorang orok yang baru dilahirkan lagi, ada sebuah kejadian yang
membuat hatinya menjadi terenyuh dan ragu-ragu.
Malam itu purnama bersinar terang. Namun
mendadak langit berubah hitam. Awan-awan hitam
bergerak dihembus angin. Dan langit yang cerah tadi
berubah menjadi gelap. Guntur pun terdengar dan hu-
jan pun turun dengan derasnya.
Samar-samar satu sosok bergerak lincah me-
nembus hujan hinggap dari genting ke genting. Gera-
kannya ringan dan cepat.
Sosok itu adalah Saraswati atau Dewi Baju
Kuning, yang malam ini harus beroperasi lagi untuk
memenuhi keinginan Tunggul Petaka yang sedang
memperdalam sebuah ilmu.
Tadi siang Saraswati sudah mencari tahu di
mana orang yang hendak melahirkan. Dan kini dia
tengah menuju ke rumah orang itu.
"Hmm... agaknya ibu muda itu sudah melahir-
kan," gumamnya ketika samar-samar dia mendengar suara jerit bayi baru lahir.
Saraswati menjadi bergegas.
Dia kini berada tepat di atas genting rumah ibu
muda yang baru melahirkan itu.
Hujan tetap turun dengan deras.
Hati-hati Saraswati membuka sedikit genting.
Dan jelas dia melihat ibu muda itu baru melahirkan.
Kini bayinya sedang dimandikan oleh seorang dukun
yang membantunya. Sementara di pojok sana dia me-
lihat seorang laki-laki muda nampak tengah berdoa
dengan wajah gembira menyambut bayinya dan gembi-
ra karena istrinya selamat. Karena menurut orang, melahirkan itu adalah antara
hidup dan mati bagi seo-
rang wanita. Saraswati tersenyum. "Hmm... bagus, mandikanlah bayi itu dengan
cepat, Nyai Dukun. Biar
aku dengan mudah membawanya...." desisnya sambil menutup genting itu kembali.
Lalu dia bersalto turun.
Ditunggunya sampai dukun yang menolong itu
meninggalkan tempat itu. Tak berapa lama, dukun itu
pun keluar. Lalu Saraswati mendekati rumah itu dan
mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok! "Siapa?" terdengar suara laki-laki. Pasti suami ibu muda itu.
"Saya... saya kedinginan di luar. Hujan turun
dengan deras sekali. Bolehkah saya mampir untuk
menumpang berteduh?"
Suami istri muda itu adalah orang-orang yang
polos dan jujur. Tentu saja mereka mengizinkan,
meskipun keadaan istrinya masih lemah karena baru
melahirkan. Pintu itu pun dibuka
"Silahkan masuk," kata laki-laki itu.
Saraswati masuk. Matanya memandang berke-
liling. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak dengan cepat, memukul tengkuk
laki-laki itu hingga pingsan
seketika. "Hei!" terpekik ibu muda yang baru melahirkan itu. Kagetnya bukan main. Dan
seketika timbul rasa
takutnya. Dia hendak memburu suaminya, namun ra-
sa sakit yang ditimbulkan setelah melahirkan, amat
menyiksanya dan membuatnya hanya bisa terlentang
dengan hati pedih, galau dan takut bercampur satu.
Saraswati menyeringai.
"Tak perlu takut denganku, Ibu muda. Hmm...
siapa namamu?"
Ibu muda itu menelan ludahnya. Dalam kea-
daan seperti ini siapa yang tidak takut" Suaminya di-pukul hingga keadaan
pingsan. Dan wanita itu menye-
ringai padanya. Siapa yang tidak takut"
Dipandangnya wanita yang cantik itu dan ba-
sah kuyub. "Saya... Narsih...."
"Hmm, bagus. Bagus sekali! Narsih, malam ini,
aku datang ke sini cuma ingin meminta sesuatu pa-
damu," kata Saraswati.
"Apa... apa yang kau hendaki?"
Saraswati tersenyum.
"Bayimu."
"Oh! Bayiku! Tidak, tidak... jangan ambil bayi-
ku! Kau tidak boleh mengambilnya!" jerit Narsih panik.
Dia hendak menjangkau-jangkau bayinya, namun rasa
sakitnya habis melahirkan masih terasa sekali.
Saraswati terkekeh.
"Hehehe... biarpun kau melarangnya... aku te-
tap tak akan perduli!"
"Jangan... jangan ambil bayiku! Jangan... ku
mohon, jangan ambil bayiku!"
"Hehehe...."
"Tolong, Dewi... tolong jangan ambil bayiku. Ku mohon padamu, Dewi... Demi
tuhan, jangan ambil
bayiku. Tolong aku, tolong aku...."
"Tenanglah, Narsih. Bayimu akan aman dalam
gendongan ku."
"Tidak, biar dia ada padaku! Dia bayiku, Dewi!
Bayiku!!" "Narsih... kulihat kau miskin sekali. Suamimu
juga hanya seorang petani. Bagaimana kau bisa meng-
hidupi bayimu, hah"!"
"Jangan Dewi... dia milikku. Dia darah daging
ku... apa pun akan kulakukan untuknya... asal perbu-
atan halal. Dia milikku, milikku, Dewi...."
"Aku minta padamu, Narsih... kalau tidak,
bayimu akan kubunuh!"
"Oh, jangan, jangan bunuh bayiku! Bunuhlah
aku lebih dulu, Dewi... Bunuh aku!" rintih Narsih. Dia tak perduli dengan rasa
sakitnya yang amat menyengat. Dia lebih memperdulikan bayinya.
Saraswati terkikik sambil mendekati bayi yang
sedang terpejam itu. Pulas tertidur.
"Hmm... bayi yang mungil sekali..." desisnya.
"Jangan ambil bayiku, jangan, Dewi... aku mo-
hon, aku mohon padamu...."
"Hehehe... bayi yang montok," desis Saraswati, kali ini dia sangat jujur. Dan
entah kenapa tangannya terulur hendak memegang pipi bayi itu.
Terdengar suara Narsih berteriak, "Jangan sen-
tuh bayiku! Jangan sentuh dengan tanganmu yang ko-
tor!" "Bangsat!" geram Saraswati. Tangannya melayang menampar pipi Narsih. Yang
tidak mengaduh atau pun memekik kesakitan. Malah matanya melotot
dengan gusar. "Dewi... kau seorang perempuan... sama seperti
aku... Apakah kau tidak pernah merasakan sakitnya
mengandung dan melahirkan?" kata Narsih dengan
mata berlinang. Pilu.
Dan entah kenapa tiba-tiba Saraswati terdiam.
Melihat wanita itu terdiam dan seperti hendak
mendengarkan kata-katanya, Narsih melanjutkan,
"Dewi... mengandung dan melahirkan bagi seorang wanita amat menyakitkan sekali.
Sekaligus membaha-giakan. Karena inilah satu-satunya jalan kesempur-
naan bagi dirinya yang berstatus wanita. Melahirkan.
Mempunyai anak yang keluar dari rahimnya sendiri.
Darah dagingnya sendiri. Bila kau merasakan hal itu...
betapa cintanya kau begitu melihat anakmu... Anak
yang kau dambakan... Anak yang kau impikan... Begi-
tu pula denganku. Aku amat mencintai bayiku... bayi
yang baru saja keluar dari rahim ku. Dan kau sebagai seorang wanita... betapa
jahatnya hendak mengambil
anakku... mengambil bayiku... Di mana perasaanmu


Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai seorang wanita, Dewi" Di mana" Apakah kau
akan memberikan begitu saja seandainya aku hendak
mengambil bayimu baik secara halus maupun secara
paksa" Tentunya kau akan mempertahankan sekuat
tenagamu, bahkan nyawamu sendiri akan rela kau le-
paskan untuk mempertahankan bayimu. Begitu pula
aku, Dewi... aku akan mempertahankannya meskipun
nyawa harus ku korbankan.... "
Saraswati terdiam. Tiba-tiba dia trenyuh men-
dengar kata-kata itu. Dan tanpa disadarinya air ma-
tanya menetes. Tiba-tiba saja dia berbalik menatap
Narsih, "Narsih... maaf aku!" Hanya itu yang dikatakannya, lalu dia melesat keluar
menerobos hujan yang masih deras.
Dia berlari. Berlari dan berlari. Kata-kata Nar-
sih tadi membangkitkan akan satu ingatan di masa la-
lunya. Dulu dia adalah seorang gadis yang baik dan
cantik. Dan betapa senangnya ketika dia dilamar oleh pemuda idamannya. Semuanya
bagaikan suatu kehi-dupan baru yang mempesona.
Namun ketika dia sedang hamil enam bulan,
suaminya main serong dengan wanita lain. Dia sedih
dan putus asa. Dalam keputusasaannya itu dia me-
ninggalkan rumahnya. Pergi jauh karena malu me-
nanggung semua itu.
Malu pada orang tuanya. Malu pada keluar-
ganya. Dan malu pada para tetangganya. Karena pe-
muda yang amat dibanggakannya dan dicintainya ter-
nyata hanya pemuda hidung belang.
Dalam mengandung tua itu dia pergi entah ke
mana. Berjalan sekehendak hatinya. Dan saat dia me-
lahirkan tanpa pertolongan siapa pun, dia pun mera-
sakan hal yang sama dengan wanita lain setiap mela-
hirkan. Antara hidup dan mati.
Namun begitu anaknya lahir, dia bukannya ba-
hagia. Malah membencinya. Karena anak itu juga da-
rah daging pemuda yang telah membuatnya sakit hati,
kecewa dan putus asa.
Dengan geram dibunuhnya anak itu. Lalu
mayatnya dibuang ke sungai. Saat itulah dia bertemu
dengan seorang nenek yang kemudian memungutnya
sebagai anak. Dan dari nenek itu pulalah dia mempe-
roleh pelajaran ilmu silat.
Sampai nenek itu meninggal. Lalu dia mening-
galkan tempat itu dan secara tidak sengaja dia sampai di Gunung Tengkorak dan
terlibat pada Partai Tengkorak. Saraswati tergugah dari lamunannya. Tubuh-
nya dibasahi hujan yang makin, lebat.
Dari kejadian itulah dia bermaksud ingin me-
ninggalkan Partai Tengkorak. Untuk kembali ke sana,
tak mungkin karena pasti nyawalah taruhannya.
Maka dia memutuskan untuk pergi malam itu
juga. Sementara Tunggul Petaka yang menunggu ke-
datangan Saraswati sampai esok paginya, menjadi
murka karena wanita itu tidak muncul juga.
Lalu dia pun menyuruh Bangsapati dan Bima-
pati untuk mencarinya.
Berkali-kali keduanya menjumpai Saraswati
dan terlibat perkelahian yang hebat. Namun Saraswati selalu berhasil meloloskan
diri. Dia juga selalu menggoda laki-laki ataupun
menjeratnya hingga laki-laki itu mau membantunya
untuk menghadapi Bangsapati dan Bimapati.
Dan bila laki-laki atau pemuda yang dijerat itu
terlibat perkelahian dengan keduanya, kesempatan itu selalu dipergunakannya
untuk meloloskan diri.
"Kau harus menyerahkan diri, Dewi!" geram
Bangsapati. "Ke mana pun kau lari pasti akan kami temu-
kan! Kau harus dihukum sesuai hukum yang berlaku
di Partai Tengkorak!" lanjut Bimapati.
Saraswati atau pun Dewi Baju Kuning terus
melarikan diri. Di samping tidak mau terbunuh oleh
kedua orang itu, juga tak mau dihukum di Gunung
Tengkorak. Dia tahu kekejaman Tunggul Petaka.
Hingga bertemulah dia dengan Baskoro, Suseno
dan Randumoko. Sesuai dengan rencananya yang sela-
lu menjerat setiap laki-laki untuk menghadapi Bang-
sapati dan Bimapati.
Benar saja, ketika laki-laki itu seakan ingin
berlomba menunjukkan kejantanannya. Bahkan siap
mempertaruhkan nyawa untuk membelanya.
Inilah yang diharapkan Saraswati ketika dia
bertemu dengan ketiga pemuda itu.
Baginya, tak ada jalan lain buat menghadapi
Bangsapati dan Bimapati selain memanfaatkan tenaga
orang lain yang telah dijeratnya.
Dan dia pun akan berbuat yang sama seperti
yang sudah-sudah dilakukannya. Melarikan diri ketika pemuda atau laki-laki yang
dijeratnya sedang bertarung melawan Bangsapati dan Bimapati.
Biasanya dia pun tak memperdulikan nyawa
mereka. Karena baginya, jiwa dan keselamatannyalah
yang terpenting.
Persetan dengan nyawa orang lain! Karena di
samping itu, dia amat dendam dengan laki-laki. Dalam bayangannya semua laki-laki
itu sama seperti suaminya dulu.
4 Terdengar suara Bangsapati membentak, "Anak
muda... menyingkirlah kalian dari sini! Karena ini bukan urusan kalian!"
"Perdulilah dengan katamu, Bangsapati! Kami
tetap akan membela wanita ini!"
Bangsapati terbahak.
"Hahaha... nasibmu sama dengan laki-laki atau
pun pemuda lain yang dijeratnya! Hanya dijadikan ta-
meng oleh wanita itu demi nyawanya! Cepat menying-
kir dari sini, sebelum kemarahanku beralih kepadamu
dan juga kedua temanmu itu!!"
Tetapi tiga pemuda itu tetap terpaku di tempat-
nya, siap menghadapi kedua manusia seram ini. Kini
mereka seakan melupakan tentang keirian di hati mas-
ing-masing untuk mencari muka di depan Saraswati.
Mereka kembali bersatu. Dan merasakan kedua
manusia yang berdiri di hadapannya ini adalah lawan
yang harus mereka basmi.
"Kami akan melayani kemauan kalian berdua!"
dengus Baskoro sambil mencabut goloknya.
Begitu pula yang dilakukan Suseno dan Ran-
dumoko. Kini ketiganya memegang golok terhunus di
tangan kanan. Dan siap bergerak. Melihat hal itu,
Bangsapati menjadi makin marah. Sambil menggeram
dia menerjang, "Bangsat kalian semua! Kalian membangkitkan marah ku!"
Serangannya cepat dengan diiringi satu tenaga
angin yang cukup kuat. Menderu.
Ketiganya yang bersiap pun segera menghindar
dengan jalan melompat dan balas menyerang.
Bangsapati bukanlah jago baru muncul, tetapi
dia adalah jago kawakan yang telah mengabdi lama
pada Tunggul Petaka. Dan kekejamannya hampir sama
dengan Tunggul Petaka. Maka dia tidak tanggung-
tanggung lagi menyerang ketiganya.
Tetapi rupanya ketiga pemuda itu pun memiliki
ilmu silat yang cukup tinggi. Mereka ternyata dapat mengimbangi Bangsapati.
Melihat hal itu, Bimapati yang hendak menye-
rang Saraswati menjadi berbalik. Dia datang memban-
tu. Langsung menyerang Baskoro.
Baskoro terkejut. Dia cepat mengibaskan go-
loknya ke angin yang datang ke arah kepalanya. Bima-
pati menarik jotosannya dan mengirimkan satu ten-
dangan. "Des!"
Tendangan yang dilancarkan cepat itu tidak bi-
sa dielakkan Baskoro. Dadanya terhantam tendangan
itu. Cukup sakit. "Bangsat!"
Sambil menggeram panjang, Baskoro mener-
jang hebat ke arah Bimapati. Goloknya mengayun den-
gan cepat. Di samping sebuah pukulan yang dilancar-
kan tangan kirinya, lurus ke wajah Bimapati. Bimapati merasakan tenaga yang kuat
tersalur di tangan Baskoro. Dia mengelak ke samping dan membalas dengan
sapuan ke kaki Baskoro.
Baskoro cepat melompat. Dan saat melompat
dia kembali menukik dengan golok lurus ke wajah Bi-
mapati. Sedetik Bimapati tidak menunduk, mampuslah
dia! Hal itu membuatnya menjadi geram. Dia pun
membalas dengan serangan-serangan cepat dan hebat.
Sementara itu Saraswati yang hendak kabur
seperti rencananya menjadi ragu. Karena tiba-tiba saja dia melihat Baskoro
begitu mati-matian membelanya.
Dan tiba-tiba pula dia merasakan ada sesuatu di ha-
tinya terhadap Baskoro.
Mendadak saja dia masuk ke pertarungan anta-
ra Baskoro dan Bimapati.
"Hahaha... bagus, Dewi! Mengapa tidak sejak
tadi kau bantu dia, hah"!" ejek Bimapati sambil bersalto. Dan begitu kakinya
hinggap di tanah, tubuhnya
melenting kembali.
Kali ini kedua tangannya terbuka, membentuk
cakar macan. Hebat. Sadis dan kejam.
Kelebatan kedua tangannya menimbulkan an-
gin dingin, terasa di kulit.
Baskoro cepat mengayunkan goloknya ketika
cakaran itu siap menghujam ke jantungnya.
"Wuuut!!"
Golok itu tak mengenai sasaran karena Bima-
pati cepat menarik tangannya kembali. Namun tangan
yang satunya lagi menyusul ke wajah Baskoro.
Baskoro terkejut.
Kecepatan yang diperlihatkan Bimapati sung-
guh mengejutkannya. Sangat cepat dan hebat.
Dia merasa sukar untuk menghindar atau pun
menangkis. Karena jaraknya dengan Bimapati begitu
dekat. Dia menjadi pasrah saja dan cakaran itupun
siap menghunjam di wajahnya
Namun mendadak terdengar benturan yang cu-
kup kuat. "Des!"
Seketika Baskoro membuka matanya ketika di-
rasakannya angin cakaran Bimapati melenceng. Dia
melihat Saraswati sedang bertarung hebat dengan Bi-
mapati. Merasa jiwanya diselamatkan oleh Saraswati,
Baskoro kembali membantu. Dengan ayunan golok,
yang cepat dan hebat.
Sementara itu, pertarungan antara Bangsapati
dengan Suseno dan Randumoko berlangsung seru.
Meskipun Bangsapati dikeroyok berdua, namun lama
kelamaan dia nampak berhasil menguasai keadaan.
Dua kali pukulannya mengenai sasaran pada
Suseno. Begitu pula halnya dengan Randumoko. Da-
danya dihantam satu pukulan yang cukup kuat. Mem-
buatnya muntah darah. Dia merasa dadanya bagai di-
hantam sebuah godam besar.
Bangsapati terbahak.
"Hahaha... itulah akibatnya bila berani mem-
bangkang perintahku! Dan semua ini bukan salahku...
karena kalianlah yang tak mau pergi, padahal aku su-
dah memperingatkan tadi!"
Randumoko mengusap darah yang mengalir di
bibirnya. "Bangsat busuk! Majulah! Kami akan mengadu
jiwa denganmu!" geramnya marah.
Tetapi kegeramannya hanya disambut tawa
oleh Bangsapati.
"Hahaha... kalian tidak tahu dalamnya lautan
dan tingginya langit! Baik, ke marilah... biar kuhabisi kalian sekaligus!"
Randumoko dan Suseno berpandangan. Lalu
mengangguk. Keduanya jelas sudah sepakat untuk
mengadu jiwa dengan Bangsapati. Lalu diiringi pekikan yang cukup kuat, keduanya
bergerak maju menyerang.
Bersamaan dengan golok yang terhunus.
Tetapi Bangsapati hanya tertawa saja, dia ber-
salto ke belakang dan melenting kembali begitu ka-
kinya hinggap. "Des!"
"Des!"
Kedua telapak tangannya masing-masing
menghantam punggung Suseno dan Randumoko se-
hingga mereka tersuruk ke depan.
Bangsapati bersalto dua kali lalu hinggap den-
gan mulusnya. "Hahaha... itulah jawaban dari yang kalian min-
ta! Kini... bersiaplah kalian untuk mampus!" geram Bangsapati sambil merangkum
kedua tangannya menjadi satu.
Lalu terlihatlah asap berwarna merah keluar
dari kedua tangannya.
Terdengar jeritan Saraswati, 'Telapak Darah'!!"
"Jangan ribut, Dewi... biarlah kedua temanmu
ini menikmati kematiannya! Hahahaha...."
Saraswati bersalto. Di samping buat menghin-
dari serangan Bimapati juga untuk bergerak ke arah
Bangsapati. Dia hinggap di depan Bangsapati.
"Jangan bunuh dia!" serunya gagah.
"Hahaha... biasanya kau membiarkan saja
orang-orang yang telah kau jerat mampus di tangan ku atau di tangan Bimapati!
Kenapa sekarang kau berubah, Dewi" Apa kau hendak menyerahkan diri" Haha-
ha... bagus, bagus sekali!"
"Jangan bermimpi aku akan menyerah, Bang-
sapati!" balas Saraswati geram. "Kaulah yang harus mampus di tanganku hari ini!"
"Hahaha... sejak meninggalkan Partai Tengko-
rak kau menjadi gila rupanya! Sinting!"
"Kita lihat Bangsapati, kau atau aku yang


Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampus hari ini!"
"Hahaha..." tertawa Bangsapati. Tetapi tiba-tiba dia bersalto, karena Saraswati
udah menderu menyerang. "Tahan serangan, Bangsapati!"
"Keluarkan semua yang kau miliki, Saraswati!!"
seru Bangsapati sambil mulai membalas.
Terlihatlah pertarungan yang hebat antara ke-
duanya. Saraswati sendiri sudah mengeluarkan ilmu
simpanannya. Menanggulangi Bara Api. Karena menu-
rutnya, Telapak Darah Bangsapati amat berbahaya se-
kali. Bagi yang terkena Sentuhan telapak tangan itu, bisa hangus tubuhnya dan
langsung mengeluarkan
darah. Bila beradu tenaga dalam dan tenaga dalam la-
wannya kurang kuat, bisa disedotnya.
Sementara Suseno dan Randumoko tak kuat
untuk membantu. Mereka merasakan punggung mere-
ka sakit luar biasa. Bahkan mereka yakin, tulang
punggung mereka ada yang patah.
Tiba-tiba terdengar jeritan Baskoro keras. Bahu
kirinya telah terhantam cakaran Bimapati.
"Hahaha... ketahuilah, Anak muda... cakaran
ku mengandung racun yang mematikan!"
"Bangsat!" Baskoro menggeram marah. "Lebih baik aku mati sekalian daripada
sekarat dimakan racun mu, Bimapati!"
Lalu dengan sekuat tenaga dia menyerang lagi.
Kali ini sambaran goloknya cepat dan hebat. Setiap
kali goloknya berkelebat menimbulkan suara angin
yang cukup keras.
"Hahaha... keluarkan semua kepandaianmu,
Anak muda!" ejek Bimapati.
"Mampuslah kau, Orang busuk!" maki Baskoro sambil mengayunkan goloknya ke arah
Bimapati. Bimapati cepat merunduk. Dan tangan kanan-
nya bergerak hendak mencakar kemaluan Baskoro.
Baskoro cepat berguling melihat bahaya yang
mengancam. Namun Bimapati yang bertekad untuk
menyudahi pertarungan itu, memburunya. Cakaran-
cakarannya siap mencabut nyawa Baskoro.
Dan Baskoro pun makin terdesak.
Dia terpojok ketika satu tendangan dari Bima-
pati mengenai sasarannya.
"Mampuslah kau, Pemuda sok tahu!" geram
Bimapati dan siap melancarkan serangan cakarannya.
Baskoro memejamkan matanya melihat ajal
yang sudah di depan mata.
Namun mendadak terdengar jeritan Bimapati,
dan disusul dengan ambruknya tubuhnya. Di belakang
tubuhnya menancap dua buah golok.
"Akkkhhh!!"
Jeritannya keras. Darah menyembur dari tubuh
bagian belakangnya. Lalu ambruk.
Baskoro membuka matanya. Dia melihat Suse-
no dan Randumoko sedang tersenyum padanya dan
meringis kesakitan. Rupanya dalam keadaan genting
itu, keduanya masih sempat menolong Baskoro dengan
melemparkan golok mereka secara berbarengan.
Dan tepat mengenai sasarannya.
Mendengar jeritan dan melihat kawannya mati
dengan dua buah golok menancap, Bangsapati meng-
geram marah. Dia menyerang Saraswati secara mem-
babi buta. Saraswati menjadi sedikit kewalahan.
Namun mendadak Bangsapati bersalto, mele-
wati tubuh Saraswati. Dan kedua telapak tangannya
terbuka ke arah Suseno dan Randumoko yang hanya
menatap pasrah.
Tanpa ampun lagi Telapak Darah Bangsapati
mengenai sasarannya.
"Aaaaaakhhh!!"
"Aaaaakhhhh!"
Dua buah jeritan keras terdengar. Lalu am-
bruknya tubuh Suseno dan Randumoko dalam kea-
daan hangus. "Mokoooo! Senoooo!!" seru Baskoro pilu dan bergegas menghampiri keduanya yang
telah menjadi mayat. Saraswati sendiri tidak menyangka kalau kedua pemuda itu yang menjadi
sasaran Bangsapati. Entah
kenapa dia menjadi sedih dan merasa bersalah.
Lalu sambil memekik dia bergerak menyerang
Bangsapati. "Kau harus mampus menyusul Bimapati, Bang-
sapati!" geramnya.
"Atau kau yang akan mati, Dewi!"
Keduanya kembali terlibat dalam pertarungan
hebat. Saraswati sendiri menggempur dengan jurusnya
Menggulung Bara Api. Namun sampai sejauh itu belum
menemui sasarannya.
Begitu pula halnya dengan Bangsapati yang se-
jak tadi belum berhasil mendaratkan pukulannya, Te-
lapak Darah! Hal ini semakin membuatnya geram mengingat
matinya adik seperguruannya. Dia bertekad untuk
membunuh Saraswati sebagai balasan kematian adik
seperguruannya sendiri.
Sedangkan Baskoro bangkit perlahan-lahan.
Matanya nyalang melihat Bangsapati. Kedua kawan
akrabnya harus mampus di tangan manusia itu. Un-
tuk kali ini Baskoro menyesali kesombongannya dan
mengajak kedua kawannya untuk mendatangi Gunung
Tengkorak. Andaikata mereka tidak jadi pergi dan dia tidak
punya ide gila itu, tentunya Suseno dan Randumoko
belum mati. Mengingat itu, dendamnya pada Bangsapati
menjadi-jadi. Dia bertekad untuk membalas kematian
kedua sahabatnya.
Lalu perlahan-lahan diambilnya goloknya yang
tergeletak di tanah saat dia menyaksikan mayat Suse-
no dan Randumoko. Digenggamnya golok itu erat-erat.
Matanya nyalang memperhatikan Bangsapati.
Tiba-tiba dia merasakan sakit yang luar biasa
di bahu kirinya. Rupanya racun dari cakaran Bimapati mulai berfungsi.
Mengingat itu, tekad Baskoro semakin bulat
untuk membalas kematian kedua sahabatnya. Bahkan
dia bertekad untuk mengadu jiwa dengan Bangsapati.
"Bangsapati... kau harus membayar kematian
kedua sahabatku ini!!" geramnya murka dan menerjang memasuki pertarungan.
Goloknya berkelebat den-
gan hebat. Cepat dan tangguh.
"Bagus! Majulah kau sekalian! Biar cepat mam-
pus di tanganku dan aku tak membuang waktu lagi?"
sahut Bangsapati sambil melompat menghindari sam-
baran golok Baskoro yang menderu cepat.
"Mampus kau, Bangsapati!" geram Baskoro
meneruskan serangannya secara beruntun.
"Hahaha... keluarkan semua kepandaianmu,
Anak muda!" tertawa Bangsapati.
Menghadapi serangan Baskoro yang membabi
buta, baginya bukanlah suatu hal yang berbahaya. Te-
tapi serangan yang dilancarkan Saraswatilah yang
membuatnya berhati-hati. Namun dengan datangnya
serangan-serangan dari Baskoro, bukannya membantu
Saraswati, malah mengacaukannya. Dia jadi bingung
untuk menyerang Bangsapati, karena Baskoro telah
mendahuluinya. "Baskoro... minggirlah!" serunya.
"Tidak, Ni mas... Aku harus membalas kema-
tian kedua temanku!"
"Tapi kau malah mengacaukan seranganku!"
Baskoro bergerak ke samping kiri dengan mak-
sud memberi kesempatan pada Saraswati untuk me-
nyerang. Namun Bangsapati yang sudah melihat gela-
gat itu, cepat bergerak ke kiri pula sehingga kembali dia berhadapan dengan
Baskoro yang membelakangi
Saraswati. Tiba-tiba Saraswati bersalto, melewati kepala
Baskoro. Dan dia terus menyerang Bangsapati yang te-
lah siap menyambutnya.
"Des!!"
Terjadilah benturan antara kedua pukulan sak-
ti itu. Keduanya terhuyung ke belakang dan berdiri si-gap kembali. Tak ada yang
terluka, menandakan ke-
duanya seimbang dan sama-sama kuat.
Tetapi Bangsapati tak mau lagi membuang
waktu, kali ini sasarannya adalah Baskoro yang nam-
pak kian lemah karena pengaruh racun cakaran Bi-
mapati. "Mampuslah kau, Anak muda!" geramnya.
Namun di saat yang genting itu, Saraswati ce-
pat bergerak dan menyambar tubuh Baskoro lalu me-
larikan diri. "Bangsat kau, Dewi!" geram Bangsapati marah.
Namun bayangan tubuh Saraswati yang mem-
bopong tubuh Baskoro telah lenyap dari pandangan-
nya. Bangsapati menggeram marah
Lalu dia mendekati mayat adik seperguruan-
nya. Dan membopongnya. Lalu melesat kembali ke
Gunung Tengkorak.
5 Pagi cerah. Matahari baru sepenggalah. Di tepi
sungai nampak satu sosok sedang asyik mencuci. Uda-
ra berhembus dingin. Burung-burung bernyanyi gem-
bira melihat matahari muncul.
Sosok tubuh yang asyik mencuci itu pun nam-
pak gembira. Dia bernyanyi-nyanyi kecil.
Gadis itu bernama Pitaloka. Usianya kira-kira
17 tahun. Dia berkulit kuning langsat. Mulus. Wajah-
nya bulat. Dengan sepasang mata yang besinar cerah.
Hidungnya bangir di atas mulutnya kecil dengan sepa-
sang bibir yang memerah.
Sungguh besar karunia Tuhan padanya. Dia
adalah seorang dara manis dari desa di pinggiran Gu-
nung Tengkorak.
Pagi ini, seperti biasanya Pitaloka selalu men-
cuci. Dan dia selalu gembira.
Namun tiba-tiba dia mendengar suara kekehan
dari belakangnya. Dan bukan main terkejutnya Pitalo-
ka ketika melihat satu sosok cebol telah berdiri di belakangnya.
Belum pernah dia melihat wajah manusia se-
perti itu. Kecil dan bulat. Dan selain kecil dan bulat, yang dilihatnya ini
begitu menakutkan. Dengan kalung tengkorak di dadanya.
Pitaloka menjadi takut. Dia buru-buru membe-
reskan cuciannya yang belum selesai dicuci.
"Hehehe... mengapa buru-buru, Manis?" si Cebol yang tak lain Tunggul Petaka
ketua Partai Tengkorak terkekeh. "Kulihat... kau belum selesai mencuci.
Bukankah benar ucapanku?"
Wajah Pitaloka makin pucat.
"Si... siapa kau?" tanyanya gemetar.
"Hehehe... aku adalah Kangmas mu yang telah
lama memperhatikan mu, Manis..."
Pitaloka semakin ngeri. Apalagi ketika si Cebol
itu bergerak perlahan mendekatinya.
"Oh, jangan... jangan dekati aku..." rintih Pitaloka memohon.
"Kenapa, Manis" Bukankah kau pun telah lama
menunggu Kangmas mu ini" Hehehe... ayolah... jangan takut padaku...."
"Jangan, jangan..,."
"Hehehe... mengapa takut" Ayo, sini...! He-
hehe... kau akan menjadi permaisuri ku di Partai
Tengkorak. Pasti kau suka sekali...."
"Tidak, aku tidak mau...." sahut Pitaloka sambil bergegas berlari.
Tetapi Tunggul Petaka dengan sekali loncat su-
dah berada di hadapannya. Dia menyeringai yang
membuat Pitaloka semakin ketakutan.
"Hehehe... kau mau ke mana?"
"Tolong... tolonglah aku... jangan dekati aku...."
rintih Pitaloka.
"Kau mau ke mana" Aku suka padamu, Ma-
nis..." kata Tunggul Petaka mendekati.
"Jangan, jangan...." Pitaloka mundur. "Kalau tidak, aku akan berteriak..."
"Hehehe... berteriaklah sekuat tenagamu. Siapa
yang akan mendengar teriakan mu, hah"!"
Pitaloka menyadari hal itu. Dia menjadi makin
ketakutan. Siapa pula yang akan mendengar teriakan-
nya. Rumahnya cukup jauh dari tepi sungai ini. Dan di sini pun tak ada siapa
pun. Menyadari hal itu, Pitaloka berbalik dan berlari.
"Hehehe... ke mana pun kau lari tak akan bi-
sa...." terkekeh Tunggul Petaka sambil bersalto mengejar.
Dan kembali dia sudah berada di depan Pitalo-
ka yang melirik-lirik sekelilingnya dalam keadaan bingung. Dan mendadak dia
menjerit ketika Tunggul Pe-
taka memburu dan mendekapnya.
"Tolong, tolong!!"
"Hehehe...."
"Jangan, jangan lakukan itu..."
"Hehehe... tubuhnya montok dan padat! Kau
membangkitkan gairah ku... he... he... he...."
"Jangan, jangan... " Pitaloka mencoba berontak.
Namun sia-sia karena tenaganya jauh kalah besar
dengan tenaga Tunggul Petaka.
"Hehehe... kau sungguh-sungguh menggairah-
kan aku...." terkekeh Tunggul Petaka sambil merobek baju di bagian dada
Pitaloka. "Breeek!" Dan terlihatlah sepasang buah dada yang putih mulus, gempal.
Tunggul Petaka menelan ludahnya.
"Bukan main... tak sia-sia aku menemukanmu,
Manis... Hehehe...."
"Jangan... jangan...."
"Ya, ya... aku mengerti. Jangan dilepaskan
maksudmu bukan?" tawa Tunggul Petaka. Dan dengan buas menciumi bagian dada
Pitaloka yang menjerit-jerit sambil berusaha meronta.
"Jangan, jangan.... ahhh!!" Karena terlalu ngeri dan takutnya, Pitaloka jatuh
pingsan.

Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunggul Petaka terkekeh. "Sialan! Tapi biar-
lah... yang penting tubuhnya begini montok dan ha-
lus...." Ketika dia hendak membuka seluruh pakaian Pitaloka, terdengar suara
bernada wibawa dari belakangnya, "Lepaskan gadis itu...!"
Tunggul Petaka menoleh. Dia melihat sesosok
tubuh berjubah putih dengan tersenyum arif dan bi-
jaksana. "Siapa kau, heh"!" serunya yang merasa ter-ganggu. Dihadapinya sosok berjubah
putih itu. "Aku adalah aku...." kata si Jubah putih dengan tersenyum.
"Kau mempermainkan aku rupanya!"
"Kau tidak bertanya siapa namaku, kau hanya
bertanya siapa aku! Tadi sudah kujawab. Aku adalah
aku." "Bangsat! Sebutkan nama jelek mu! Hari ini kau tengah berhadapan dengan
Tunggul Petaka yang
berjuluk si Cebol Penyebar Petaka!" seru Tunggul Petaka sombong. Dan
kegeramannya makin menjadi-jadi
karena orang itu berani-beraninya mengganggu kea-
syikannya. Tetapi laki-laki setengah baya yang mengena-
kan jubah putih itu hanya tersenyum arif dan bijaksa-na.
"Aku hanyalah orang biasa yang kebetulan le-
wat di tempat ini dan melihat perbuatan busukmu itu!"
"Apa kau tidak tahu, bahwa mengganggu kese-
nangan ketua Partai Tengkorak sama saja dengan
mencari mati!" seru Tunggul Petaka.
"Maaf... aku tidak mencari mati. Aku hanya in-
gin memperingatkan bahwa perbuatanmu itu salah."
"Salah atau benar itu urusan ku! Dan matilah
sebagai ganjaran mu!"
"Mati di tangan Tuhan, Tunggul Petaka. Bila
Tuhan menghendaki nyawaku saat ini, tentu saja aku
akan mati. Tapi bila tidak, hari ini pun aku akan tetap hidup," kata laki-laki
berjubah putih itu dengan suara wibawa. Dan senyumnya yang arif dan bijaksana.
Patung Emas Kaki Tunggal 2 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Bu Kek Kang Sinkang 6
^