Pencarian

Gadis Dari Alam Kubur 2

Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Bagian 2


menghindar. Di samping tenaganya yang sudah
melemah, juga posisinya yang tidak menguntung-
kan. Tiba-tiba berkelebat satu sosok tubuh me-
mapaki serangan dari Siluman Dewa Buaya pada
Dewi Kantilaras. Juwita yang sejak tadi melihat pertarungan yang tak seimbang
itu tak bisa menahan diri lagi untuk membantu gurunya. Maka
dia pun menerjang dan memapakinya.
Namun ini merupakan satu kesalahan
yang teramat fatal dilakukannya. Meskipun dia
menangkis dengan pedangnya, namun tak urung
ujung cambuk itu mengenai tangan kirinya. Yang
langsung putus mengeluarkan darah yang ba-
nyak. Terdengar lolongan yang amat keras.
"Aaaaahhhh!!" tubuh Juwita terguling menahan sakit yang teramat sangat. Tangan
kirinya telah buntung. Dan tanpa ada yang melihat, se-percik darah yang muncrat
dari tangan kiri itu, mengenai mayat Eyang Ringkih Dewi!!
Lima "Juwitaaaa!!" pekik Dewi Kantilaras kaget.
Dan memburu Juwita yang pingsan karena ba-
nyak mengeluarkan darah. Dengan gerakan yang
cepat Dewi Kantilaras menotok jalan darah Juwita hingga aliran darah itu pun
berhenti. "Juwita...
Juwita..." panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu.
Namun Juwita yang dalam keadaan ping-
san, tidak mendengar panggilan itu. Wajahnya
pias. Keringat nampak membanjiri sekujur tu-
buhnya. Tiba-tiba Dewi Kantilaras berbalik dan
memandang tajam pada Siluman Dewa Buaya
yang sedang terkekeh.
"Kau harus membalas semua ini!!" bentaknya sambil bangkit perlahan-lahan.
Sepasang ma- tanya memancarkan sinar dendam yang teramat
sangat. Apalagi begitu teringat Juwita luka parah dan lengan kirinya buntung
akibat ingin meno-longnya. Makin murkalah Dewi Kantilaras.
"Hehehe... bukan main! Cambuk Sutra
Sakti ini begitu hebat sekali!"
"Anjing buduk! Kau harus membayar se-
mua atas ulahmu ini!"
"Hehehe.... kau lihat sendiri kesaktian
cambuk ini, Dewi... Baru terserempet sedikit saja, gadis itu telah buntung
tangannya. Bagaimana bi-la terkena benar-benar" Tentunya dia akan mam-
pus berkalang tanah hari ini juga! Bukan main!"
Semakin murkalah Dewi Kantilaras men-
dengar kata-kata itu. Dia akan segera menyerang.
Namun urung karena tiba-tiba terdengar ketaku-
tan Seto Mulia.
"Tolooooong! Mayat itu hidup lagi!!" seru Seto Mulia dan berlari ke arah Siluman
Dewa Buaya. Orang-orang yang berada di sana terkejut sekali, begitu melihat mayat
Eyang Ringkih Dewi yang rusak dan mengeluarkan bau busuk itu perlahan-lahan
bangkit lagi. "Hei!" seru Dewi Kantilaras kaget.
"Mengapa bisa begini"!" seru Siluman Dewa Buaya pula yang tak kalah kagetnya.
Sebenarnya, mayat Eyang Ringkih Dewi itu
hidup kembali karena terkena percikan darah mi-
lik Juwita. Dulu, Eyang Ringkih Dewi memiliki
ilmu yang bernama Ajian Batu Karang. Yang bila
tubuhnya mati, maka tubuh itu menjadi rusak.
Namun tidak hancur dimakan tanah. Dan bila
tubuh itu terkena darah segar dari orang yang
masih hidup, maka secara ajaib tubuh itu akan
bangkit dan hidup kembali. Namun masih dalam
kondisi yang sekarang. Rusak dan menyebarkan
bau busuk! Mayat itu terkikik.
"Hihihi... rupanya aku telah bangun dari
tidurku selama ratusan tahun ini... Hihihi tidur yang teramat panjang dan
melelahkan..."
Dewi Kantilaras dan Siluman Dewa Buaya
saling berpandangan. Kali ini tatapan keduanya
tidak lagi memancarkan sinar permusuhan, ama-
rah dan dendam. Melainkan seolah saling ber-
tanya mengapa mayat itu bisa hidup kembali.
Terdengar lagi mayat hidup itu berkata,
"Ah... aku membutuhkan darah yang segar untuk memulihkan jasadku seperti dulu
lagi... hihihi....
O... rupanya banyak darah segar di sini!" desisnya begitu melihat tiga orang itu
yang berdiri dengan kebingungan. "Hihihi... aku membutuhkan salah seorang dari
kalian... atau hihihi semunya... ya, ya.... semuanya...."
Dewi Kantilaras dan Siluman Dewa Buaya
sadar apa yang akan terjadi. Mayat hidup itu
membutuhkan darah segar untuk mengembalikan
keadaan tubuhnya seperti dulu.
Dan seperti disadari oleh bahaya yang
mengancam, keduanya mendadak bersiap.
Dan amat tiba-tiba sekali, terdengar benta-
kan menggelegar dari mulut mayat hidup itu.
"Manusia keparat! Rupanya kau hendak
mencuri Cambuk Sutra Sakti milikku! Cepat
kembalikan!"
"Mayat hidup bau busuk! Lebih baik kau
kembali ke asalmu sana!" balas Siluman Dewa Buaya berani.
Mayat hidup itu menyeringai.
Amat mengerikan.
"Hihihi... kaulah yang akan membuatku
semakin kuat dan bertahan lama untuk hidup
kembali!" desisnya dan secara tiba-tiba mayat itu menerjang Siluman Dewa Buaya.
Kakek bermata cekung itu amat terkejut
melihat serangan yang dilakukan dengan amat
cepat itu. Dan tanpa dia sadari bagaimana ca-
ranya, tiba-tiba Cambuk Sutra Sakti itu telah berada di tangan mayat hidup yang
kini bersalto ke belakang dan hinggap di tanah.
"Hihihi... inilah senjata saktiku... Hihihi...
kita akan bertualang lagi seperti dulu, Manis...."
ujar mayat itu sambil membelai-belai cambuk itu.
Dan tiba-tiba mayat itu menggerakkan tan-
gannya. Cambuk yang kini di tangannya terarah
pada Seto Mulia yang berdiri amat ketakutan. Secara aneh dan tiba-tiba pula
cambuk itu melilit tubuh Seto Mulia dan dengan cepat ditariknya
hingga Seto Mulia tidak bisa bergerak untuk
membebaskan diri.
Tak ubahnya seperti lilitan ular yang amat
mematikan. "Hihihi... rupanya kaulah orang pertama
yang ditakdirkan Dewata untuk membuat wajah
dan tubuhku seperti dulu lagi..." terkikik mayat itu dan dengan tiba-tiba dia
menghujamkan gigi-giginya ke leher Seto Mulia yang menjerit melo-
long menyayat hati.
Dan dalam sekejap saja tubuh Seto Mulia
berubah menjadi putih seperti kapas. Lalu tubuh itu pun menggelosoh ambruk
dengan tubuh yang
kering darah dan mati secara mengerikan.
Keanehan terjadi pada mayat hidup itu.
Secara perlahan-lahan, tubuhnya yang rusak
dan mengeluarkan bau busuk berubah menjadi
agak berisi. Tubuh itu kini menjadi amat sempur-na, bagus dengan menampilkan
lekuk tubuh yang
aduhai. Karena tubuh itu dalam keadaan telan-
jang bulat. Bila tidak menyadari dan melihat peruba-
han tubuh itu dari mayat yang rusak dan berbau
busuk, birahi Siluman Dewa Buaya akan terang-
sang. Namun karena dia tahu tubuh yang molek
nan aduhai itu berasal dari mayat hidup tadi, dia menjadi jijik melihatnya.
Apalagi ketika menatap wajah itu yang ma-
sih dalam keadaan rusak.
"Hihihi... aku membutuhkan darah segar
lagi untuk memulihkan wajahku!!"
Dan secara tiba-tiba Eyang Ringkih Dewi
menggerakkan tangannya. Cambuknya berkelebat
ke arah sasaran. Siluman Dewa Buaya, yang
langsung melompat karena tak mau darahnya di-
hirup untuk memulihkan kembali jasad itu.
"Hihihi... rupanya kau punya keahlian ju-
ga. Bagus! Sudah ratusan tahun aku tidak berke-
lahi dan menggunakan kepandaianku! Aku ingin
melihat sampai di mana kemampuan dan kepan-
daian yang kau miliki, Kakek peot! Juga kau wa-
nita cantik! Ah, meskipun kalian sudah berumur
tetapi darah kalian masih segar untuk merubah
wajah jasadku menjadi seorang gadis jelita!!"
Dan secara tiba-tiba pula, Eyang Ringkih
Dewi menyerang Siluman Dewa Buaya dan Dewi
Kantilaras secara bersamaan. Sudah tentu kedu-
anya tak mau dijadikan sasaran cambuk Eyang
Ringkih Dewi. Namun akibat tenaga yang telah terkuras
habis dari perkelahian yang memakan waktu
hampir setengah hari, membuat gerakan kedua-
nya tidak selincah tadi. Maka dengan satu bentakan yang cukup kuat, cambuk Eyang
Ringkih Dewi melilit di tubuh Dewi Kantilaras yang tak bi-sa untuk meloloskan diri lagi
"Hihihi.... darah segar! Darah segar!!" desis Eyang Ringkih Dewi.
Seperti yang dilakukannya terhadap Seto
Mulia. Dia pun menghujamkan gigi-giginya pada
leher Dewi Kantilaras yang menolong pula.
Dan tubuh itu pun menggelosoh lemah
dengan keadaan yang tak berbeda seperti yang
dialami oleh Seto Mulia.
Kembali keanehan itu terjadi. Siluman De-
wa Buaya melihat wajah yang rusak dan menye-
ramkan itu berangsur-angsur berubah menjadi
cantik jelita. Dan kini di hadapannya telah berdiri seorang gadis yang teramat
cantik. Siluman Dewa Buaya sempat terpesona
sendiri melihat kecantikan wajah yang terpam-
pang di matanya.
"Hihihi... kakek peot... kau heran bukan
melihat wajahku yang jelita ini?"
Tiba-tiba seperti diingatkan kalau jasad
dan wajah yang cantik merangsang itu berasal
dari sebuah mayat, Siluman Dewa Buaya bergi-
dik. Dan membuang ludah.
"Ciiih! Mayat hidup, kau harus mampus
kembali ke asalmu!" katanya sambil memegang tongkatnya kembali dengan erat. Apa
pun yang akan terjadi, dia akan menghadapi mayat hidup
itu dengan sekuat tenaga. Dia tak mau dirinya dijadikan sasaran untuk memulihkan
seluruh yang ada pada mayat itu.
"Hihihihi... memakilah kau, Kakek Peot!
Karena sebentar lagi ajalmu akan tiba!!"
Lalu kembali Eyang Ringkih Dewi yang kini
berubah menjadi gadis jelita mengayunkan cam-
buknya, mencari sasarannya.
Siluman Dewa Buaya yang sudah bersiap
untuk menghadapi apa pun yang terjadi pun ber-
salto ke belakang. Namun kini yang dihadapinya adalah tokoh sakti dari golongan
hitam yang hidup ratusan tahun yang lalu. Yang kesaktiannya
jauh berada di atasnya. Namun bagi Siluman De-
wa Buaya, tak ada jalan lain kecuali menghada-
pinya. "Kau punya nyali juga rupanya... hihihi...
ketahuilah... engkau tengah berhadapan dengan
Eyang Ringkih Dewi atau si Cambuk Sutra Sak-
ti!!" "Mayat hidup keparat! Sedikitpun aku tak akan mundur dari hadapanmu!"
"Bagus, bagus! Aku pun ingin melemaskan
seluruh otot-otot kaku di tubuhku ini!" sehabis berkata begitu, kembali Eyang
Ringkih Dewi menyerang dengan hebat.
Siluman Dewa Buaya pun sudah mengelu-
arkan jurus-jurus andalannya. Namun tak satu
pun yang berhasil menghentikan serangan Eyang
Ringkih Dewi. Bahkan mayat hidup yang kini te-
lah berubah menjadi seorang gadis jelita, tidak kelihatan terdesak. Malah
serangan-serangannya
menjadi lebih hebat dan dahsyat.
Sadarlah Siluman Dewa Buaya kalau ajal-
nya sudah dekat. Namun dia pantang untuk me-
nyerah begitu saja. Dia masih mencoba untuk
membalas. Tiba-tiba dia menjerit keras seraya men-
gayunkan tongkatnya ke kepala Eyang Ringkih
Dewi. Namun dengan satu tenaga yang kuat dan
hebat, Eyang Ringkih Dewi memapaki serangan
tongkat itu dengan tangan kirinya.
"Traaakk!!"
Terdengar suara berderak yang cukup ke-
ras. Bukan dari tangan Eyang Ringkih Dewi yang
patah, tetapi dari tongkat Siluman Dewa Buaya
yang kini terbagi menjadi dua.
Sungguh luar biasa tenaga dalam Eyang
Ringkih Dewi. Diam-diam Siluman Dewa Buaya
semakin ngeri dan ketakutan. Baginya memang
tak ada jalan untuk meloloskan diri.
Dia kini bersiap untuk menyambut kembali
serangan Eyang Ringkih Dewi dengan potongan
tongkatnya. Tetapi gadis itu malah menghentikan serangannya.
Tiba-tiba dia tersenyum.
Begitu mesra. Memabukkan. Dan amat mempesona.
Siluman Dewa Buaya menjadi terdiam.
Pandangannya berubah menjadi teramat kagum.
Dia tidak tahu, kalau semua itu terjadi karena
Eyang Ringkih Dewi mengeluarkan ilmu pemikat
laki-lakinya, ajian Bidadari Turun dari Kahyan-
gan. Dan tanpa disadari oleh Siluman Dewa
Buaya, dia menjadi amat tertarik dengan Eyang
Ringkih Dewi. Apalagi pandangannya kini menjadi nanar melihat tubuh Eyang
Ringkih Dewi yang telanjang bulat menggiurkan.


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemarilah, Kakang..." terdengar suara Eyang Ringkih Dewi yang halus dan mesra.
Dan tanpa disadarinya pula, seperti telah
terhipnotis, perlahan-lahan Siluman Dewa Buaya
berjalan mendekati tubuh telanjang itu dengan
kedua tangan yang terbuka lebar. Menantang
Dan memperlihatkan sepasang buah dada
yang ranum dan indah.
Bersamaan dengan itu, Juwita tersadar da-
ri pingsannya. Pertama-tama yang dirasakannya
ada rasa sakit dari lengan kirinya.
Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Dan amat terkejut ketika melihat tubuh Seto Mu-
lia atau si Orang jelek dan tubuh Dewi Kantilaras gurunya telah tergeletak
menjadi mayat dengan
wajah dan tubuh kering seputih kapas, seolah tak ada setitik darah pun yang
mengaliri tubuh keduanya. Pertama yang diingatnya ini adalah hasil perbuatan
kakek bermata cekung atau Siluman
Dewa Buaya. Apalagi dia teringat kala menolong
gurunya untuk memapaki serangan Siluman De-
wa Buaya dan tangan kirinya tersambar oleh
Cambuk Sutra Sakti yang diayunkan oleh kakek
itu. Teringat itu, dia melirik tangan kirinya.
Dan seperti disambar geledek sepasang mata yang indah itu terbelalak melihat
tangannya telah ku-tung. Bangkitlah amarah Juwita dan dendam
pada Siluman Dewa Buaya.
Tetapi dia amat terkejut ketika melihat Si-
luman Dewi Buaya tengah mendekati seorang ga-
dis jelita yang bertelanjang bulat. Siapakah gadis itu" desis Juwita dalam hati.
Sepertinya tadi dia tidak melihat gadis itu ada.
Dan Juwita merasakan ada satu hal yang
tidak wajar sedang terjadi pada Siluman Dewa
Buaya. Karena sorot mata dan langkahnya begitu
kaku dan penurut tertuju pada gadis itu.
Dia juga melihat gadis itu semakin mem-
buka kedua tangannya, seolah siap menerima da-
tangnya tubuh Siluman Dewa Buaya.
Senyum gadis itu begitu memabukkan.
Sepasang matanya amat memancarkan
gairah. "Kemarilah, Kakang..." desisnya.
"Oh, Dewi.... begitu cantik sekali kau..."
terdengar suara Siluman Dewa Buaya di tenggo-
rokan. "Cepatlah kemari, Kakang... aku sudah tidak sabar lagi... Lihatlah senja
telah datang yang akan memayungi kita dengan keteduhannya...
Kemarilah, Kakang..."
Bagai robot belaka tubuh Siluman Dewa
Buaya semakin mendekat.
"Cepatlah, Kakang... aku sudah tak ta-
han... ayo, cepat lah..."
Dan tubuh itu bergerak dengan cepat. Lalu
menubruk tubuh gadis itu yang terkikik. Kedua
tubuh itu jatuh ke rumput yang basah.
Juwita memejamkan matanya melihat per-
tunjukan birahi didepannya. Sebagai gadis rema-
ja, mendadak saja jiwa mudanya bergolak.
Namun mendadak dia membuka matanya
ketika mendengar jeritan yang menyayat dari Si-
luman Dewa Buaya. Dia melihat Siluman Dewa
Buaya sedang menggeliatkan tubuhnya seakan
menahan sakit yang teramat sangat.
Semula Juwita menganggap mulut gadis
itu yang berada di leher Siluman Dewa Buaya se-
dang mencium. Namun begitu menyadari kalau
Siluman Dewa Buaya menjerit kesakitan, dia me-
lihat ada sesuatu yang ganjil telah terjadi.
Rupanya gadis itu bukan sedang mencium
leher Siluman Dewa Buaya. Melainkan tengah
menggigit dan menghisap darah. Karena terlihat
kemudian tubuh Siluman Dewa Buaya menggelo-
soh ambruk. Dengan wajah seputih kipas.
Juwita pun melihat bibir gadis itu berda-
rah. Rupanya sisa darah yang dihisapnya dari
leher Siluman Dewa Buaya.
Menyadari hal itu, Juwita teringat akan tu-
buh gurunya dan orang jelek itu yang telah men-
jadi mayat. Dia pun melihat ada luka di leher keduanya dan tubuh mereka pun
putih seperti ka-
pas seperti yang terjadi pada Siluman Dewa
Buaya. Kini Juwita sadar, kalau guru dan orang jelek itu pun mati sama seperti
yang dialami oleh Siluman Dewa Buaya.
Hati-hati dia mengintip dan melihat peru-
bahan kembali pada gadis itu. Secara tiba-tiba sa-ja tubuh gadis itu menjadi
semakin montok dan
seksi. Begitu pula dengan wajahnya yang kini
nampak berseri-seri. Rupanya darah segar yang
telah dihisapnya mengembalikan bentuk keadaan
tubuhnya selagi muda dulu.
Juwita masih belum tahu siapa gadis itu.
Namun mendadak dia tidak melihat mayat rusak
dan bau itu di sana. Apakah gadis itu jelmaan da-ri mayat tadi"
Dugaan Juwita menjadi kenyataan, karena
dia mendengar suara gadis itu berkata sambil
menengadah menatap langit yang tiba-tiba beru-
bah menjadi hitam.
"Hihihi... kini telah hidup kembali Eyang
Ringkih Dewi yang telah terkubur selama ratusan tahun... Hihihi... aku akan
memulai lagi petua-langanku sebagai si penyebar maut di mana sa-
ja.... akan kucari darah-darah segar untuk mem-
buat hidupku lebih lama... hihihihi..."
Lalu tubuh itu pun melesat meninggalkan
puncak Gunung Setan. Cepat, ringan dan seperti
angin. Tanpa menyadari kalau seseorang melihat
semua perbuatannya.
Orang itu adalah Juwita yang berpura-pura
mati ketika gadis itu meninggalkan tempat itu.
Lalu dengan hati gundah dan pilu Juwita bangkit mendekati mayat gurunya.
"Bibi..." hanya desisan itu yang terdengar.
Pada angin yang berhembus dingin.
*** Enam Laki-laki berjubah putih yang tersenyum
arif dan bijaksana itu, tiba di sebuah desa di lereng kaki Gunung Setan. Laki-
laki itu kira-kira berusia 35 tahun. Dia selalu tersenyum pada siapa saja yang
dijumpainya. Namun setiap kali dia mengerutkan ke-
ningnya, karena orang-orang yang disapanya sela-lu melengos dan buru-buru
meninggalkannya.
Dari pancaran matanya, orang itu nampak keta-
kutan sekali. Laki-laki berjubah putih itu mendesah.
"Apa yang telah terjadi di desa ini?" desisnya heran. Lalu dia pun mulai
melangkah lagi memasuki keramaian desa. Namun lagi-lagi hal
yang sama dialaminya. Tak satu pun penduduk
yang menyahuti ucapannya atau pun membalas
senyumnya. Membuat laki-laki berjubah putih itu semakin keheranan.
"Ada apa sebenarnya?" desisnya. Lalu dia memasuki sebuah rumah makan yang cukup
ramai dikunjungi tamu.
Dia mengambil tempat yang cukup di pojok
dan memesan makanan. Baginya orang-orang di
desa ini adalah orang-orang yang baik hati. Na-
mun mengapa mereka tidak mau menyahuti sa-
paannya dan tersenyum padanya.
Ketika pelayan itu menghidangkan pesa-
nannya pun tak sedikit pun pelayan itu mengu-
capkan silahkan makan atau pun sesuatu untuk
sekadar berbasa-basi.
Bahkan ketika laki-laki berjubah putih itu
mengucapkan terima kasih, pelayan itu malah
buru-buru menghindar.
"Aneh! Ada apa sebenarnya?" desisnya
sambil memulai makan.
Namun baru beberapa kali dia menyendok,
tiba-tiba dia melihat enam orang pemuda telah
berdiri mengurungnya. Di tangan enam pemuda
itu terdapat senjata golok yang cukup tajam.
Tetapi laki-laki berjubah putih itu mencoba
tersenyum. Kesannya arif dan bijaksana.
"Bila kalian ingin menemaniku makan, si-
lahkan," ucapnya dengan nada bersahabat.
"Iblis busuk!" terdengar salah seorang membentak.
"Kami tidak ingin menemani makan, tetapi
kami ingin meminta tanggung jawab dari semua
yang telah kau lakukan!!"
Sudah tentu laki-laki berjubah putih itu
heran. Dia mengerutkan keningnya.
"Hmm.... apa yang telah aku lakukan?"
"Jangan banyak omong! Kau telah menjadi
seorang pembunuh yang tak punya belas kasi-
han!!" "Saudara... apa yang telah aku lakukan?"
"Hhhhh! Masih mencoba mungkir pula!"
"Saudara... katakanlah apa yang telah aku
lakukan hingga kalian berenam nampak marah
dan tidak senang padaku?" tanya laki-laki berju-
bah putih itu tetap dengan suara bersahabat.
Bahkan sedikit pun dia tidak nampakkan kejeng-
kelan dan kemarahan karena orang-orang ini
main tuduh begitu saja padanya.
"Orang asing... kami masih mencoba ber-
tenggang rasa padamu! Tentunya kau sendiri ta-
hu apa yang telah kau lakukan" Tapi baiklah...
biar kau menjadi teringat akan dosa-dosa yang telah kau perbuat. Hhh! Sudah
hampir tujuh orang
korban dari desa sini kau ganyang, Iblis busuk!"
"Maaf..." kata laki-laki berjubah putih itu memotong pembicaraan pemuda yang
nampak marah itu. "Apa yang telah kulakukan" Tujuh orang korban" Dan apa hubungannya
dengan-ku?" "Orang asing... kau amat pandai bermain kata-kata dan bersandiwara.
Baiklah... tujuh korban yang kami temukan itu mati dengan sekujur
tubuh pucat pasi karena kehabisan darah. Dan di leher mereka ada bekas luka
gigitan. Sudah berulangkali kami mencari siapa yang bertindak sungguh kejam dan
sadis ini. Namun sampai sejauh
ini orang itu belum kami temukan juga. Dan ak-
hirnya kau berani menampakkan diri juga penja-
hat busuk! Sungguh punya nyali juga kau ini!!"
"Maaf, Saudara... kalau bisa saya simpul-
kan dari kata-katamu itu, berarti saat ini ada seorang penjahat yang dengan
kejamnya membunuhi
korbannya dengan jalan mengisap darah dengan
menggigit leher korbannya" Benar begitu?"
"Ya!" Keenam pemuda itu menyahut se-
rempak. "Lalu kalian menuduhku sebagai pela-
kunya?" "Ya! Dan kau sekarang tak akan bisa lari
dari kami!" ancam salah seorang sambil mene-gakkan goloknya.
Tetapi laki-laki yang memakai jubah putih
itu cuma tersenyum.
"Maafkan aku, Saudara-saudara... agaknya
kalian salah paham dan salah menuduh aku.
Apakah dengan datangnya aku yang secara tidak
sengaja berkunjung ke desa ini dikatakan sebagai pembunuh?"
"Ya! Karena kaulah satu-satunya orang as-
ing yang berada di sini!!"
Sebelum laki-laki berjubah putih itu me-
nyahut, seseorang telah berdiri dari duduknya.
Sosok itu berpakaian ramping.
"Apakah aku bukan orang asing di sini?"
serunya sambil menatap keenam orang itu.
Dan serentak enam pemuda itu menoleh ke
orang yang berseru tadi, yang ternyata seorang
gadis berwajah cantik. Sayang. Lengan kiri gadis itu buntung tangannya.
"Hei, gadis cantik! Siapa kau"!" orang itu kini membentak gadis cantik itu.
"Hmm... namaku Juwita..."
"Nona Juwita... kau orang asing di sini?"
tanya orang itu lagi.
Dan semua itu telah menarik perhatian pa-
ra tamu di rumah makan itu.
"Ya! Baru kemarin aku tiba di sini!"
"Hhh! Lalu apakah kau yang melakukan
semua ini"!" desis orang itu yang bernama Kelana lagi. "Bukan aku! Bukan pula
laki-laki yang memakai jubah putih itu?"
"Hhh!" geram Kelana. "Aku tak percaya!
Paling tidak salah seorang di antara kalian yang telah melakukannya! Atau kalian
berdua yang melakukannya!"
"Orang bodoh!" bentak gadis yang memang Juwita itu. Setelah menguburkan mayat
gurunya, lalu dia pun kembali ke tempat asalnya di lereng Gunung Kidul. Setelah itu
dendamnya pada Eyang Ringkih Dewi atau si mayat hidup menjadi-
jadi. Akhirnya Juwita memutuskan untuk menca-
ri dan membalas dendam pada Eyang Ringkih
Dewi. Sasarannya langsung pada desa yang terletak di lereng Gunung Setan. Karena
Juwita men- duga, Eyang Ringkih Dewi akan mencari sasaran
di desa lereng gunung itu.
Hari pertama di sini, sebenarnya dia sudah
mendengar tentang kematian beberapa penduduk
desa secara mengerikan. Mengingat luka di leher dan tubuh yang seputih kapas
pada yang meninggal, sudah tentu Juwita yakin itu perbuatan Eyang Ringkih Dewi.
Namun sampai sejauh ini dia tidak mau
menggembar-gemborkan siapa yang telah melan-
carkan teror mengerikan itu.
Hingga laki-laki yang mengenakan jubah
putih itu dituduh oleh orang-orang desa.
"Kau berani memakiku, Gadis buntung!!"
seru Kelana dengan wajah merah padam. "Aku ingin melihat apakah kau punya
kemampuan ju-ga, hah"!"
Sehabis berkata begitu dia menghunus go-
loknya ke arah Juwita. Tetapi Juwita dengan mu-


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahnya mendorong sebuah kursi hingga orang itu
melompat. Dan saat orang itu melompat, Juwita
mengayunkan kakinya menendang.
"Des!"
Tubuh Kelana terhuyung ke belakang.
Tetapi pemuda itu langsung bangkit den-
gan marah karena baru satu gebrak dia sudah di-
pecundangi. Tetapi lagi-lagi dia terus terhuyung ke belakang.
"Tahan!" terdengar suara dari laki-laki berjubah putih itu. "Jangan lakukan
serangan!"
Sedangkan Kelana yang terjatuh dua kali
berseru pada teman-temannya. "Hei, mengapa kalian diam saja" Tangkap kedua orang
itu dan bu- nuh! Karena merekalah yang menyebarkan petaka
ini!!" Serentak lima pemuda temannya menyerang Madewa. Dua orang dengan dibantu
Kelana menyerang Juwita.
Serentak di rumah makan itu terjadi perke-
lahian. Laki-laki yang mengenakan jubah putih
itu dengan enak dan santainya menghindari se-
tiap serangan. Tetapi dia tak membalas sedikit
pun. Malah tiba-tiba dia bergerak dengan cepat
dan tiga buah golok kini berpindah tangan.
Ketiga pemuda itu terkejut, karena mereka
sedikit pun tak melihat gerakan yang dilakukan
orang berjubah putih itu. Kini mereka sadar kalau orang berjubah putih itu bukan
orang sembarangan. Sebenarnya siapakah laki-laki yang men-
genakan jubah putih yang selalu tersenyum arif
dan bijaksana itu dan telah dituduh menebarkan
teror" Dia tak lain adalah Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma.
Pendekar budiman
atau juga sering dijuluki sebagai manusia dewa.
Sudah tentu pendekar yang welas asih itu tidak
menurunkan tangan pada para penyerangnya,
karena dia tahu saat ini antara dirinya dengan
para pemuda itu telah terjadi salah paham.
Sementara itu Juwita sendiri menggebrak
dengan hebat. Tidak seperti yang dilakukan Ma-
dewa Gumilang, dia menghantam setiap penye-
rangnya. Karena Juwita jengkel terhadap pemu-
da-pemuda ini yang tak mau berkompromi lagi,
asal menyerang saja dan menuduh sembarangan!
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Tinju tangan kanannya menghantam ketiga
penyerangnya yang terhuyung ke belakang den-
gan dada terasa sakit.
"Tahan!" seru Juwita ketiga-tiganya hendak
bangkit lagi menyerang.
"Iblis betina! Kami akan mengadu jiwa den-
ganmu!" bentak Kelana jengkel dan marah.
"Pemuda bodoh! Biar ku jelaskan dulu du-
duk permasalahnya biar tak terjadi salah paham
di antara kita lagi!"
"Apa lagi yang hendak kau terangkan, pal-
ing tidak sekarang kami tahu siapa yang menye-
barkan teror keji dan jahat itu!!"
"Benar-benar bodoh!" seru Juwita jengkel.
"Majulah bila kau masih penasaran!"
Ditantang seperti itu sudah tentu Kelana
yang marah dan menganggap Juwita sebagai pe-
nyebar teror, menyerang lagi dengan goloknya.
Kali ini benar-benar beringas.
Dan siap mengancam nyawa Juwita.
"Tahan serangan!"
"Kau yang harus menahan seranganku!"
bentak Juwita sambil berkelit ketika golok itu
menyambar lehernya.
Dan dengan satu gerakan yang manis, tiba-
tiba dia menerobos golok itu dan, "des!"
Sebuah pukulannya kembali mengenai sa-
saran. Tubuh Kelana sempoyongan. Dan kali ini
Juwita tak mau lagi bertindak tanggung, dia me-
lesat dan menempeleng Kelana hingga pemuda itu
pingsan. "Pemuda bodoh dan sombong! Tak mau
mendengarkan pendapat orang!!" geramnya.
Lalu dia berkata pada lima orang pemuda
teman Kelana, "Apakah kalian tidak ingin men-
dengarkan penjelasanku dan bertindak bodoh se-
perti kawan kalian ini?"
Kelima pemuda itu hanya terdiam. Tak ada
yang berani buka mulut, dan tak ada yang berani membangkang.
Juwita mendesah.
"Bagus, nah kalian dengarkan dulu kata-
kataku ini! Setelah itu, kalian harus minta maaf pada laki-laki berjubah putih
itu! Mengerti"!"
Lima kepala itu mengangguk.
Lalu Juwita pun menceritakan apa yang te-
lah dialaminya di puncak Gunung Setan beberapa
waktu yang lalu. Orang-orang itu mengangguk-
angguk mengerti apa yang telah terjadi.
Madewa Gumilang sendiri paham bahwa
kini ada seorang gadis dari alam kubur yang telah hidup kembali dan menebarkan
teror. Gadis itu
hanya bisa hidup bila telah menghirup darah se-
gar. "Nah, terserah kalian mau percaya atau tidak!" kata Juwita kemudian. "Tapi
atas nama Dewata, cerita ku ini bukan bohong atau khaya-lan belaka! Tetapi
memang benar-benar terjadi!"
Orang-orang yang mendengarkan terdiam.
"Hei!" terdengar Juwita membentak pada lima pemuda itu. "Mengapa kalian tidak
meminta maaf pada laki-laki berjubah putih itu" Ayo cepat lakukan, atau aku yang
harus memaksa kalian"!"
Secara serempak kelima pemuda itu pun
meminta maaf pada Madewa Gumilang yang su-
dah tentu memaafkannya. Biar pun mereka tidak
meminta maaf, Madewa sudah sejak tadi me-
maafkan karena dia tahu semua ini terjadi akibat salah paham saja.
Lalu dia berkata pada Juwita, "Nona... siapakah nama Nona sebenarnya?"
Juwita menjura, "Namaku Juwita, Kisa-
nak..." "Jangan panggil aku Kisanak. Namaku Madewa Gumilang..."
"Madewa Gumilang?" ulang Juwita dengan kening berkerut.
"Ya, itu memang namaku. Pemberian ke-
dua orang tuaku dulu..." kata Madewa tersenyum.
Dia jadi teringat pada Ambarwati menantunya
yang telah dinikahi putranya, Pranata Kumala
yang saat ini tengah melakukan satu petualangan entah di mana. Tiba-tiba Madewa
jadi rindu pada putra dan anak menantunya itu.
Juwita masih terdiam. Kalau tidak salah
ingat, dia pernah mendengar cerita dari gurunya Dewi Kantilaras tentang seorang
pendekar sakti yang budiman yang bernama Madewa Gumilang
dan berjuluk Pendekar Bayangan Sukma.
Lalu dengan hati-hati dia bertanya, "Apa-
kah... Anda yang berjuluk Pendekar Bayangan
Sukma?" Madewa tersenyum.
"Orang-orang rimba persilatan menjuluki
aku Pendekar Bayangan Sukma..."
"Oh, Tuan Pendekar... tak kusangka aku
akan bertemu dengan Pendekar yang sering gu-
ruku ceritakan itu... Salam hormatku untukmu,
Madewa Gumilang..."
Juwita menjura penuh rasa hormat.
"Juwita... tak usahlah kau begitu meng-
hormat padaku. Ceritakanlah sekali lagi tentang munculnya Eyang Ringkih Dewi..."
Kembali Juwita menceritakan kejadian
yang telah dialaminya.
"Jadi... gurumu Dewi Bunga Biru tewas di
tangannya?"
"Benar, Kakang Madewa... guruku tewas di
tangannya..."
"Begitu pula dengan Siluman Dewa
Buaya?" "Ya, keduanya mati secara. mengerikan.
Dengan dihisap darahnya melalui leher mereka
oleh Eyang Ringkih Dewi yang kejam itu..."
"Mengerikan sekali." Madewa mendesah
sambil geleng kepala. "Lalu apa kerjamu di sini?"
"Aku hendak menuntut balas pada kema-
tian guruku, Madewa."
"Seorang diri?"
"Tadi aku sendiri..."
"Sekarang?"
"Aku berdua!"
"Dengan siapa?"
"Dengan siapa lagi kalau bukan denganmu,
Kakang Madewa Gumilang... Apakah kau hanya
berpangku tangan saja melihat kebiadaban yang
dilakukan oleh Eyang Ringkih Dewi?"
Madewa tersenyum.
"Sudah tentu tidak, Juwita. Aku pun hen-
dak menyelidiki siapa dan di mana Eyang Ringkih Dewi berada. Bukankah kita satu
tujuan, Juwita?" Juwita tersenyum.
"Betul, Kakang Madewa... aku yakin, se-
mua sepak terjang dari Eyang Ringkih Dewi akan
berhenti."
"Kenapa?"
"Karena dengan bantuanmu, kupikir se-
muanya akan menjadi lancar..."
Madewa tersenyum. Lalu dia segera menca-
ri penginapan. Begitu pula halnya dengan Juwita, yang tak menyangka akan bertemu
dengan pendekar budiman ini.
Tujuh Malam mulai larut.
Rembulan menerangi desa di bawah lereng
Gunung Setan itu. Suasana desa itu sepi. Sejak
kejadian demi kejadian yang mengerikan terjadi
dan berulang lagi, tak satu pun penduduk desa
yang berani menampakkan diri.
Apalagi tersebar kabar bahwa penghuni
Puncak Gunung Setan yang telah melakukan se-
mua ini. Semakin membuat mereka lebih baik be-
rada di dalam rumah. Sejak semula mereka pun
sudah percaya akan keangkeran Gunung Setan,
dan kini semuanya terbuka dan terbukti.
Di keremangan malam yang pekat, nampak
satu sosok telanjang bulat melompat dari satu
atap ke atap rumah lainnya. Gerakan sosok itu
ringan dan lincah. Di tangannya terdapat sebuah cambuk yang nampak terbuat dari
sutra. Sosok itu tak lain adalah Eyang Ringkih
Dewi yang tengah mencari mangsa lagi. Kali ini
sasarannya pada sepasang pengantin baru yang
baru dua minggu melangsungkan pernikahan.
Sebagaimana layaknya pengantin baru,
malam hari adalah satu saat yang paling indah
dan mesra untuk dinikmati. Tetapi karena keja-
dian yang mengerikan itu, keduanya tak bisa me-
nikmati kehidupan yang sesungguhnya dalam arti
menikmati arti hubungan suami istri secara sah.
"Kakang aku takut, Kakang..." terdengar desisan yang perempuan.
"Tenang, Rayi.... malam ini tidak akan ada kejadian apa-apa... Bukankah kau tahu
sendiri, pemuda-pemuda di sini siang dan malam selalu
menjaga..."
"Tapi, Kakang..."
"Kenapa, Rayi?"
"Perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak
enak. Aku takut, Kakang...."
"Jangan risau.. tak usah dipikirkan, Rayi...
Semuanya akan berlangsung dengan aman..."
Tiba-tiba satu tubuh turun dari atap den-
gan ringannya. Dan berdiri tegak di hadapan ke-
dua orang itu. Sang istri langsung memeluk suaminya
erat-erat dan melihat satu sosok bertelanjang bulat telah berdiri di hadapannya.
Sang suami membentak, "Siapa kau"!"
"Hihihi... aku adalah Dewi Pencabut Nyawa
dan datang pada kalian!"
"Tolong.. jangan ganggu kami!"
"Hihihi... aku tidak mengganggu.. aku
hanya meminta sedikit darah segar dari kalian..."
Sang pria menjadi sadar kalau wanita in-
ilah yang telah menebarkan teror pada kematian
beberapa penduduk.
"Iblis betina! Rupanya kaulah biang keladi dari semua ini!" geramnya dan
tangannya bergerak cepat meraih pedang yang terpajang di dind-
ing. "Hihihi... untuk apa pedang itu! Apakah kau tidak tertarik dengan tubuhku?"
Eyang Ringkih Dewi terkikik lagi.
"Cuuuuh! Aku tak pernah sedikit pun ter-
tarik dengan manusia laknat macam kau!"
Eyang Ringkih Dewi tersenyum. "Benar kau
bicara begitu?"
"Ya! Menyingkirlah dari sini! Sebelum pe-
dangku memakan tubuhmu itu!"
"Hihihi... apakah benar ucapanmu tadi"
Aku jadi ingin membuktikannya!"
Tiba-tiba Eyang Ringkih Dewi tersenyum
yang begitu mempesona dan memikat.
Dan mendadak saja laki-laki yang galak itu
terdiam. Dan tiba-tiba dia pun tersenyum.
"Rayi..."
"Hihihi... kau memanggilku Rayi, Kakang?"
kikik Eyang Ringkih Dewi.
"Ah, kau cantik sekali, Rayi..."
"Benar kakang... nah.. mendekatlah kau
kemari... aku sudah tidak tahan ingin lelap dalam pelukan mu, Kakang..."
Laki-laki itu pun bergerak mendekati


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Ringkih Dewi yang telah membentangkan
kedua tangannya. Bagai robot belaka dan diba-
wah pengaruh hipnotis Eyang Ringkih Dewi, laki-
laki itu bergerak mendekatinya.
Hal ini membuat istrinya jadi bingung.
"Kakang..." desisnya.
Tetapi laki-laki itu terus berjalan mendeka-
ti Eyang Ringkih Dewi.
Dan tiba-tiba saja Eyang Ringkih Dewi ber-
gerak menyergap. Dengan satu gerakan yang ce-
pat dan di saat laki-laki itu bergerak bagai robot belaka, dia menghujamkan
giginya ke leher laki-laki itu. Dan terhisaplah darah segar dari laki-laki itu
masuk ke tubuhnya.
Tubuh itu pun menggelosoh dengan warna
seputih kapas. Yang perempuan memekik ngeri
melihatnya. "Kakaaaaang!!"
Tetapi tubuh itu telah menjadi mayat.
Eyang Ringkih Dewi terkikik melihat kor-
bannya telah tewas. Lalu dengan hati-hati dia
mendekati yang perempuan yang mundur ketaku-
tan. "Hihihi... kau mau lari ke mana, Manis...
mari... mendekatlah padaku..."
"Jangan... jangan... tolooooongg!!"
"Hihihi... berteriaklah sekuat tenagamu!
Bukankah dengan yang berdatangan ke sini tak
menyulitkan aku untuk mencari mangsa lagi, bu-
kan"!" Dan tiba-tiba saja terdengar suara ramai di luar rumah itu.
"Bangsura! Ada apa"!"
"Komalaaaa! Apa yang terjadi"!"
"Buka pintu!"
"Biar kami masuk!"
"Katakan, ada apa Komala"!"
Orang-orang di luar bersuara ramai. Dan
mereka pun mencoba menerobos masuk ketika
mendengar jeritan keras dari Komala.
"Aaaaahhhhh!!"
Dan serentak pintu terbuka, lalu berham-
buranlah masuk para penduduk dengan memba-
wa senjata. Mereka terkejut melihat satu sosok
tubuh di hadapan mereka. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat mayat Bangsura
dan Komala yang
tergeletak dengan tubuh seputih kapas.
Dan mereka makin terkejut melihat sosok
yang berhadapan dengan mereka ternyata seo-
rang gadis yang bertelanjang bulat.
"Hai, rupanya inilah iblis keparat itu!"
"Benar! Tangkap!"
"Gayangan!"
"Bunuh!"
"Kuliti!"
"Bakar hidup-hidup!"
Dan serentak orang-orang menerjang ke
arah Eyang Ringkih Dewi. Tetapi mendadak pula
mereka berjumpalitan dan sebagian memekik ke-
ras dengan tubuh hancur. Karena Cambuk Sutra
Sakti milik Eyang Ringkih Dewi telah berkelebat dan memporakporandakan barisan
orang-orang itu. "Hati-hati! Dia ternyata iblis yang sakti!"
Dan orang-orang itu pun berhamburan ke
luar karena tak mau dijadikan sasaran cambuk
Eyang Ringkih Dewi.
Tubuh Eyang Ringkih Dewi tiba-tiba mele-
sat. Bersalto. Dan telah berdiri di hadapan orang-orang itu yang menjadi
terkejut. "Hihihi... kalian tak akan bisa lari dari tanganku!"
"Iblis busuk! Kami akan mengadu jiwa
denganmu!"
"Hihihi.... majulah kalian, kalian tentunya memang sudah ingin mati, bukan?"
"Bangsat! Serang!!"
Lalu orang-orang yang marah itu pun me-
nyerang dengan hebat. Tetapi mereka bukanlah
tandingan dari Eyang Ringkih Dewi yang meski-
pun dikeroyok oleh puluhan orang tetapi masih
nampak santai saja.
"Kalian hanya membuang-buang nyawa
dengan percuma!" desisnya sambil mengayunkan kembali cambuknya.
Dan terdengarlah kembali jeritan.
Dan tubuh hancur.
"Hihihi... mampuslah kalian semua!"
Tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat ke
arah orang-orang itu. Dan yang mengenakan ju-
bah berwarna putih mengibaskan tangannya,
hingga orang-orang itu berhempasan bagaikan di-
terpa angin yang kuat.
Kini kedua orang itulah yang berdiri di ha-
dapan Eyang Ringkih Dewi.
"Hihihi... rupanya kalian berdua memang
sengaja datang mengantarkan nyawa..."
"Eyang Ringkih Dewi... kami datang untuk
menghentikan sepak terjang mu!" geram Juwita murka karena melihat sepak terjang
dari Eyang Ringkih Dewi. Dan dia kembali teringat pada kematian
gurunya. "Hihihi... kalau tak salah ingat, bukankah kau gadis yang telah mati di puncak
Gunung Setan"!" "Aku tidak mati, Manusia cabul!"
"Hihihi... bagus, bagus... agaknya darahmu cukup segar untuk ku nikmati..."
"Manusia cabul! Kau harus mengganti
nyawamu dengan nyawa guruku!"
"Hihihi... rupanya kau murid dari salah
seorang yang kubunuh itu. Bagus, bagus! Nah,
kau siapa Laki-laki berjubah putih?"
"Dewi... namaku Madewa Gumilang... Aku
tidak menginginkan sepak terjang mu ini berlangsung terus...."
"Madewa! Kau rupanya datang untuk men-
gantarkan nyawa padaku! Nah, kau lihatlah ma-
taku, Madewa!"
Madewa menatap mata yang tiba-tiba me-
mancarkan pesona itu. Dia merasakan ada satu
getar aneh yang mengalir dari pancaran mata itu yang menghujam ke bola matanya.
Madewa pun menjadi paham ketika dirasa-
kannya dirinya seakan dimasuki oleh sinar yang
mempesona. Buru-buru Madewa mengalirkan te-
naga dalam dan hawa murninya. Dan mengalir-
kan ke matanya.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari mulut
Eyang Ringkih Dewi.
"Aaaaahhh!"
Lalu dia mengusap-ngusap matanya kare-
na dia merasa matanya bagai dihujam oleh se-
buah senjata. "Bangsat! Rupanya kau berisi juga, Made-
wa!" "Karena akulah yang akan menghentikan sepak terjang mu, Eyang!!"
"Hhhh! Anjing busuk!" Lalu Eyang Ringkih Dewi menggebrak menyerang dengan hebat.
Dan gerakannya begitu berbahaya.
Madewa pun dapat merasakan desiran an-
gin yang cukup kuat menerpanya saat tubuh itu
melayang. Dan tenaga itu dirasakannya akan
mampu mendorong sebuah pohon hingga tum-
bang. Namun kali ini yang dihadapi oleh Eyang
Ringkih Dewi adalah seorang pendekar sakti. Dan yang dihadapi Madewa pun seorang
tokoh sakti. Hingga pertempuran yang terjadi selanjut-
nya teramat dahsyat dan hebat. Juwita hanya bi-
sa memperhatikan dengan dada bergetar. Ru-
panya masih ada lagi orang-orang jago di rimba
persilatan ini. Memang, di atas langit masih ada langit lagi!
Pertarungan antara kedua tokoh sakti itu
demikian hebat dan mengerikannya. Madewa
sendiri sudah menggunakan jurus Ular Melo-
loskan Diri, untuk menghindari serangan-
serangan berbahaya yang dilancarkan oleh Eyang
Ringkih Dewi. Gebrakan demi gebrakan yang dilancarkan
oleh Eyang Ringkih Dewi begitu dahsyat. Sejenak Madewa seperti kehilangan arah
karena setiap langkahnya seperti dicegat dan dihalangi oleh jurus Pusaran Angin milik Eyang
Ringkih Dewi. Setiap kali tubuhnya berkelebat, menim-
bulkan hawa dingin yang cukup kuat.
"Hihihi.... kau tak akan lari dari tanganku, Madewa Gumilang!"
"Dosa-dosamu sudah sulit untuk diampu-
ni, Eyang! Sebaiknya kau kembali ke alam ku-
burmu sana, dan jangan lagi membuat onar di
muka bumi ini!!"
"Kerja ku memang membuat onar, Madewa!
Dan itu akan kulakukan sampai akhir hayatku!"
"Kau sudah mati, Eyang!"
"Hihih... kenyataannya kau melihat, bu-
kan" Aku masih hidup dan segar bugar?"
"Karena kau telah menyedot darah segar
dari tubuh manusia dan hawa murni yang mere-
ka miliki!"
"Ya, sebentar lagi darah dan hawa murni-
mulah yang menjadikan aku hidup lebih lama!"
seru Eyang Ringkih Dewi sambil terus mencecar
Madewa dengan jurus Pusaran Anginnya.
Madewa sebisanya menghindar kepungan
jurus itu dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Dan secara tiba-tiba dia mencoba
menerobos kepungan angin itu dengan jurus Ular Mematuk Katak
yang disusul dengan Ular Cobra Bercabang Tiga.
Pertama tangannya bergerak mirip seekor
ular yang hendak mematuk mangsanya. Sigap,
cepat dan licin. Dan begitu tangan itu lolos dari Pusaran Angin milik Eyang
Ringkih Dewi, tangan
itu bergerak dengan cepat dan tiba-tiba saja tangan itu berubah menjadi banyak.
Cepat dan tang-
guh. "Des!"
Satu patukan tangan berbentuk ular
menghantam keras dada Eyang Ringkih Dewi. Te-
tapi yang Madewa heran, tangannya seperti
menghantam kapas. Kosong dan hampa.
Eyang Ringkih Dewi tertawa melihat wajah
Madewa yang keheranan.
"Hihihi... kau tak akan bisa membunuhku,
Madewa! Nah, kau rasakanlah ilmu cambuk Sutra
Saktiku ini!" Lalu tangannya pun memainkan cambuk itu, hingga menimbulkan bunyi
yang cu- kup keras. "Madewa... " Juwita berseru. "Hati-hati dengan cambuk itu!"
"Tenanglah, Nona..." desis Madewa sambil bersalto menghindari ujung cambuk yang
sudah berkelebat. Melihat serangan pertamanya gagal,
Eyang Ringkih Dewi semakin menjadi ganas. Dia
mengeluarkan permainan cambuknya yang dina-
makan Menjilat Lidah Api!
Sambaran-sambaran cambuk itu teramat
dahsyat. Dan setiap kali luput dari sasarannya
dan menghantam pohon yang tumbuh di halaman
rumah itu, maka tumbanglah pohon itu dalam
keadaan hancur.
"Hihihi... kau tak akan bisa lari, Madewa!"
Sambaran-sambaran cambuk itu memang
amat menyusahkan Madewa. Kali ini satu pertun-
jukkan yang teramat fantastis diperlihatkan oleh Madewa Gumilang. Ilmu
meringankan tubuhnya
yang teramat sempurna diperlihatkannya untuk
menghindari sambaran-sambaram cambuk itu.
Gerakannya sungguh teramat cepat dan hebat,
yang dipadukan dengan jurus Ular Meloloskan
Diri. Dan tiba-tiba Madewa menggerakkan tan-
gan kanannya. Dia tengah melepaskan pukulan
Angin Salju. Dan serangkum angin dingin berge-
rak menerpa Eyang Ringkih Dewi. Wanita iblis itu tak menyangka kalau Madewa bisa
melancarkan serangan balasan. Dan tubuhnya menjadi meng-
gigil karena angin yang amat dingin itu.
Secara otomatis serangan cambuk terhenti.
Saat itulah Madewa Gumilang bergerak cepat
sambil melancarkan pukulan Tembok Menghalau
Badai. "Des!"
Lagi-lagi dia merasakan pukulannya men-
genai ruangan kosong dan hampa. Seperti kapas.
Ini membuat Madewa menjadi geram.
Sementara Eyang Ringkih Dewi terkikik.
"Kau tak akan mampu membunuhku, Ma-
dewa!" Lalu perlahan-lahan Madewa pun mencoba dengan pukulan andalannya. Dia
merangkum kedua tangannya di dada. Dan perlahan-lahan terlihat asap putih
mengepul dari kedua tangannya.
Itulah Pukulan Bayangan Sukma warisan gu-
runya Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti.
Kala Eyang Ringkih Dewi menerjang den-
gan ayunan cambuknya, Madewa pun menerjang
memapaki. "Duaaarrrr!!"
Benturan bagai ledakan terjadi. Madewa
terhuyung beberapa tombak dan merasakan da-
danya amat sakit. Sementara Eyang Ringkih Dewi
masih tegak berdiri tak kurang suatu apa. Melihat keadaan lawannya yang sudah
agak parah, Eyang
Ringkih Dewi pun menyerang bermaksud meng-
habisi nyawa Madewa Gumilang!
"Haaaiiiittt!!" Dia menerjang.
Sulit bagi Madewa untuk meloloskan diri.
Dan "Aaaahhh!!"
Terdengar satu jeritan keras. Bukan dari
mulut Madewa Gumilang. Melainkan dari mulut
Eyang Ringkih Dewi. Tubuhnya terpental ke bela-


Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kang. Dan cambuk Sutra Saktinya melilit tubuh-
nya mengikat, membuat Eyang Ringkih Dewi kelo-
jotan dan mencoba melepaskan diri.
Namun lilitan cambuk itu seperti makan
tuan. Dan kembali terdengar jeritan keras,
"Aaaaaahhh!" Lalu tubuh itu pun meledak hancur. Mengapa bisa terjadi seperti
itu. Tak lain adalah berkat sari ajaib rumput kelangkamaksa
yang tak sengaja dihisap Madewa (Baca: Pedang
Pusaka Dewa Matahari).
Madewa mendesah. Karena dia merasa ter-
tolong dengan tenaga tak terlihat itu. Dia melihat mayat Eyang Ringkih Dewi
hancur. Dan secara
perlahan-lahan cambuk sutra saktinya ikut han-
cur. Juwita mendesah panjang. Dia bermaksud
hendak mendekati Madewa. Tetapi sosok itu telah lenyap dari pandangannya.
Malam pekat dan semakin larut.
*** S E L E S A I IKUTI SERIAL PENDEKAR BAYANGAN SUKMA SELANJUTNYA:
Iblis Berbaju Hijau
Racun Kelabang Putih
Pertarungan di Gunung Tengkorak
Undangan Berdarah
Sumpit Nyai Loreng
Serikat Kupu-kupu Hitam
Maut buat Madewa Gumilang
Prahara di Laut Selatan
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Bloon Cari Jodoh 3 Biang Ilmu Hitam Hek Hoat Bo Karya Rajakelana Pedang Naga Kemala 2
^