Pencarian

Sepasang Manusia Serigala 2

Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Bagian 2


serangannya. Ajal kini telah berada di depan mata Gaok.
Namun tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, Dewi Murni melompat ke kiri ketika
dirasakannya desiran angin mengarah padanya.
"Bangsat busuk! Siapa gerangan yang pengecut seperti ini"!" geram Dewi Murni
setelah hinggap di bumi.
Dari kegelapan malam, muncul sosok tubuh ga-
gah perkasa. Sosok itu mengenakan pakaian kebe-saran berwarna putih. Sikapnya
arif dan bijaksa-na. "Yang Mulia, Madewa Gumilang!" seru Gaok yang segera
mengenali siapa yang telah menolong-nya.
Sri Kemuning pun berseru yang sama.
Dewi Murni terbelalak. Rupanya manusia inilah
yang bernama Madewa Gumilang. Yang keperka-
saannya menembus langit ketujuh dan ke dasar
bumi. Tetapi Dewi Murni tidak keder dengan nama be-
sar itu. Dia berkata dengan sombong, "Rupanya nama Madewa Gumilang hanya kosong
belaka! Ternyata hanya seorang manusia pengecut!"
Terdengar suara yang berwibawa dan bijaksana,
"Dewi Murni... maafkan kelancanganku yang ikut campur dalam pertarungan ini.
Sejak tadi aku sudah berada di sini melihat jalannya pertarungan ini. Hanya
sayang, kuping kau rupanya tidak ber-fungsi untuk mengetahui kedatanganku...."
Diam-diam Dewi Murni tercekat mendengarnya.
Sungguh demi langit dan bumi, sedikit pun dia tidak mendengar datangnya Madewa
Gumilang. Itu menandakan Madewa memiliki ilmu meringankan
tubuh dalam tingkat maha sempurna. Diam-diam
Dewi Murni mengukur tenaga dalam Pendekar
Bayangan Sukma.
Dia mengirimkannya melalui suaranya, "Sejak tadi sudah kuketahui kedatanganmu,
Madewa. Nah, kini bersiaplah untuk segera mampus di tanganku...."
Madewa cuma tersenyum. Sedikit pun tidak
nampak dia terganggu oleh tenaga dalam yang di-kirimkan Dewi Murni secara diam-
diam. Dia ber- kata, "Mati di tangan Tuhan, Dewi Murni. Bila Tuhan menghendaki aku mati
sekarang, maka mati-
lah. Tetapi agaknya Tuhan pun memberi jalan kepada umatNya agar dia berusaha.
Karena kau mesti ingat, Tuhan yang menentukan, manusia
hanya bisa berusaha."
Mendadak tubuh Dewi Murni bergetar. Keringat
dingin pun keluar dengan deras. Dia merasakan
sekujur tubuhnya menggigil. "Setan! Rupanya tenaga dalam Pendekar Bayangan Sukma
pun sudah dalam tingkat yang maha sempurna," desahnya dalam hati. Dan pelan-pelan dia
mengalirkan hawa murninya ke sekujur tubuhnya. Namun rasa dingin itu seolah
tidak mau lepas, seolah telah mengikatnya erat-erat.
Dewi Murni menjerit hebat untuk mengusir ha-
wa dingin itu. Namun lagi-lagi rasa dingin itu terus mengikatnya. Rupanya Madewa
sudah mengirimkan tenaga dalam Salju Abadi.
"Maafkan aku, Dewi Murni... malam memang
sangat dingin sekali...."
Sementara Gaok dan istrinya semakin bertam-
bah kagum pada Madewa Gumilang. Pendekar
perkasa itu tetap bertingkah arif menghadapi lawannya.
"Madewa!" Sepasang mata itu melotot marah.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu! Hmm... serahkan Seruling Naga padaku! Cepat"!"
"Itu milikku, Dewi Murni...."
"Hhh! Biarpun itu milikmu, tetapi di dalam rimba persilatan siapa yang terkuat,
dialah yang berhak memilikinya dan menguasai rimba persilatan ini! Dan aku akan
merebut seruling pusaka itu da-ri tanganmu, Madewa Gumilang!"
"Hmm... bagaimana bila tidak kuberikan"!" kata Madewa yang kini mengerti duduk
persoalannya. Munculnya Sepasang Manusia Srigala untuk me-
rebut Seruling Naga dari tangannya. Tetapi ba-
ginya berhadapan dengan manusia semacam Se-
pasang Manusia Srigala ini, bukanlah hal yang
menggelisahkan. Namun yang sangat disesalinya, mengapa masih banyaknya orang-
orang serakah dan kejahatan di muka bumi ini. Teror yang dilancarkan Sepasang Manusia Srigala
bukanlah hal yang kecil, karena telah puluhan nyawa manusia mampus di tangannya. Madewa
bahkan yakin, sampai kiamat pun kejahatan tak akan pernah
punah selama iblis masih diberikan hidup yang
panjang. "Nyawamu sebagai gantinya, Madewa!"
"Dewi Murni, dengarlah sebentar... mengapa kau masih membuat teror seperti ini"
Bukankah bila kita hidup berdampingan, semuanya akan
menjadi aman, tenang dan damai?"
"Karena kita berbeda golongan, Madewa. Kau dari golongan putih, sedangkan aku
dari golongan hitam!"
"Tidak bisakah antara golongan putih dan golongan hitam bersatu?"
"Mustahil rasanya kejahatan dan kebaikan bersatu! Keduanya akan terus berperang
selamanya, sampai kapanpun! Sampai dunia kiamat!"
"Tapi...."
"Jangan berkhotbah di depanku, Madewa!" potong Dewi Murni. "Cepat kau berikan
Seruling Na-ga itu padaku!"
"Maaf, Dewi Murni... Seruling Naga itu tidak berada padaku saat ini...."
"Bangsat! Rupanya kau pandai membual pula, Madewa! Baik, bersiaplah, aku akan
memeriksa seluruh tubuhmu dan merebut Seruling Naga itu
dari tanganmu!" Selesai berkata begitu, Dewi Murni langsung menyerang dengan
jurus Srigala Me-
nangkap Mangsa. Buas dan kejam. Serangannya
cepat, beruntun dan berbahaya. Tetapi Madewa
dengan mudah menghindarinya, dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Hal itu membuat
Dewi Murni semakin geram. Dia mempergencar serangannya.
Sampai sepuluh jurus berlangsung, sekalipun De-wi Murni belum bisa menyarangkan
pukulannya pada Madewa. Sementara Madewa sendiri belum
sekalipun pula membalas. Madewa hanya berkein-
ginan, agar Dewi Murni menyadari bahwa dia be-
rada di jalan yang keliru. Tetapi membuat wanita itu insyaf, hanya sia-sia
belaka. Menyadari serangannya tak membawa hasil se-
dikit pun, Dewi Murni menjadi marah karena me-
rasa diremehkan pula, sebab Madewa tidak mem-
balas. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan berdiri sigap. Sepasang matanya
menyala. Bersinar
memerah. Tiba-tiba dia berseru, "Madewa, lihat di sebelah kirimu! Ular berbisa!"
Madewa melihat puluhan ular berbisa bergerak
mendekatinya dan siap membunuhnya. Tetapi dia
tetap berdiri tegak di tempatnya, malah dia berkata, "Sadarlah, Dewi Murni...
kau sangat sesat sekali!" Dewi Murni terbahak. Lebih terbahak lagi ketika
melihat ular-ular itu sudah melilit di tubuh Madewa dan mematuknya berkali-kali.
Tetapi pendekar
itu tetap saja tenang di tempatnya. Sementara Sepasang Walet Putih yang melihat
sekujur tubuh Madewa dililit dan dipatuki ular-ular, hanya bisa menahan nafas. Tegang.
Tetapi sungguh luar biasa, ular-ular yang melilit di tubuh Madewa dan
mematukinya, satu persatu
turun. Dan begitu menyentuh tanah, berubah
kembali ke asalnya, menjadi ranting-ranting pohon kembali.
Dewi Murni terkejut melihatnya. Sangkanya
pendekar sakti itu akan mampus. Ilmu sihirnya
ternyata tidak ampuh bagi Madewa. Tetapi dia belum jera. Dia berseru lagi, kali
ini lebih lantang,
"Lihat pohon di depanmu, Madewa!"
Pohon jati yang berada di depan Madewa men-
dadak bergerak, dan berubah menjadi raksasa
yang mengerikan. Tetapi Madewa hanya terdiam
saja. Dia cuma mengibaskan tangannya. Raksasa
yang menyeramkan itu kembali ke asalnya.
Merasa ilmu sihirnya tidak berguna, Dewi Murni menerjang kembali. Kali ini
disertai pekikan yang hebat. Dan kali ini Madewa tidak hanya menghindar, tetapi
juga balas menyerang dengan jurus
Ular Mematuk Katak.
Serangannya pun cepat dan hebat.
"Des!" sebuah patukan mengenai sasarannya, membuat Dewi Murni menjerit kesakitan
dan merasakan sekujur tubuhnya ngilu. Tetapi tiba-tiba dia menggeram luar biasa
dan menyerang dengan
tenaga kuat dan penuh. Madewa pun segera me-
nyambutnya dengan jurus Tembok Menghalau Ba-
dai. Kembali terjadi benturan yang keras. Suasana
di tempat itu menjadi ramai. Ketika keduanya ber-benturan ada sepercik sinar
yang cukup menyi-
laukan. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Dewi
Murni terhuyung dan muntah darah. Sedangkan
Madewa Gumilang tetap berdiri dengan jubah pu-
tih yang berkibar terkena angin malam!
"Bangsaaat kau, Madewa!" geram Dewi Murni di antara kesakitan. Lalu dia muntah
darah lagi. "Tunggu pembalasanku!"
"Lebih baik kau ajak kembali pulang kawanmu yang bernama Laksamurka ke Bukit
Hantu. Dan katakan padanya untuk mengurungkan niatnya
merebut Seruling Naga!"
"Dendam darah dibalas darah. Dendam nyawa dibalas nyawa. Dendam orang-orang
Bukit Hantu akan abadi!"
"Kau telah diliputi dendam yang amat sangat, Dewi Murni. Lupakanlah semua
itu...." "Tak akan pernah kulupakan, Madewa! Kare-
na... awas serangan!" tiba-tiba saja Dewi Murni melompat dan perlahan-lahan
tubuhnya berubah
menjadi seekor srigala yang buas.
Madewa melompat ke kiri. Namun sungguh luar
biasa, saat lompatan srigala itu tak mengenai sasaran, mendadak saja hewan
jelmaan Dewi Murni
berbalik bersalto memburu Madewa kembali.
"Ilmu sihir!" geram Madewa sambil menyambut dengan pukulan yang keras.
Agaknya Dewi Murni lebih lincah ketika dia be-
rubah menjadi srigala. Serangan Madewa itu dapat dihindarinya, malah hewan itu
menerjang dengan
buas. Sepasang matanya memancarkan sinar yang
mengerikan diiringi air liur yang busuk.
"Hmm... Dewi Murni, kembalilah ke asalmu!"
Tiba-tiba saja, hewan yang tengah menerjang
itu mendadak terjatuh. Dan saat tergeletak di bu-mi berubah kembali menjadi Dewi
Murni. Yang menyeringai antara geram dan kesakitan.
"Ternyata tak sia-sia kau bergelar Pendekar Bayangan Sukma, Madewa! Tapi ingat,
aku akan kembali lagi untuk mengadu jiwa denganmu!"
"Lupakanlah persoalan di antara kita ini, Dewi Murni. Sudah kukatakan tadi,
kembalilah kau dan temanmu ke Bukit Hantu. Janganlah membuat
onar di muka bumi ini!"
"Tapi dendam ini telah membakar sekujur tubuhku!" Selesai berkata begitu, tubuh
itu melesat meninggalkan Madewa dan Sepasang Walet Putih
yang tengah berdiri.
Keduanya mendekati Madewa.
"Terima kasih atas pertolongan Madewa yang agung."
Madewa cuma tersenyum.
"Agaknya pertentanganku dengan Sepasang
Manusia Srigala tidak bisa dihindarkan lagi," sahut Madewa. "Ini bertanda, masih
banyaknya kejahatan yang akan terus merajalela di muka bumi ini."
"Demi keadilan dan kebahagiaan umat manu-
sia, kami, Sepasang Walet Putih akan terus membantu, Yang Mulia," kata Gaok yang
menjura dan diikuti istrinya.
Tetapi Madewa tidak suka karena Sepasang Wa-
let Putih itu nampak seperti bawahan yang sedang menghormati rajanya.
"Gaok dan Sri Kemuning... tingkah apa yang kalian perlihatkan di depanku
sekarang ini" Tak se-patutnya kalian begitu menghormat padaku. Tapi sudahlah, di
mana Pranata Kumala dan istrinya
berada?" Mendengar pertanyaan Madewa Gumilang,
Gaok dan istrinya seperti diingatkan kembali akan Pranata Kumala dan istrinya
yang dihadang oleh Laksamurka. Gaok menduga demikian, karena ta-di saja dia dan
istrinya dihadang oleh Dewi Murni.
Sudah tentu kedua Manusia Srigala itu mengha-
dang mereka sendiri-sendiri. Dan itu berarti kedatangan mereka sudah diciumnya.
Gaok menyadari akan kehebatan Sepasang Ma-
nusia Srigala. Menghadapi yang betinanya saja dia dan istrinya sudah kewalahan,
bahkan maut hampir saja menyambar mereka. Apalagi Pranata Ku-
mala dan istrinya menghadapi Laksamurka" Biar-
pun begitu, Gaok tak mau berpikir yang tidak-
tidak. Tetapi dia pun menyadari akan keselamatan
Pranata Kumala dan istrinya, Gaok pun berkata,
"Kupikir... mereka sudah ditawan oleh Laksamurka, Madewa yang agung."
Kening Madewa berkerut. "Apa maksudmu,
Gaok?" Gaok pun menceritakan apa yang diberitahu
Dewi Murni tadi dan kemungkinan Pranata Kuma-
la dan istrinya bertempur melawan Laksamurka.
Tetapi sebagai tokoh yang sudah banyak makan
asam garam dan pahit manisnya kehidupan, Ma-
dewa hanya menanggapi dengan senyum.
"Baiklah kalau begitu. Aku harus mencari anak dan menantuku. Sepasang Walet
Putih, agaknya untuk sementara kita harus berpisah di sini...."
Belum lagi Gaok dan Sri Kemuning berkata,
bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan.
Secepat angin dan bagai ditelan bumi.
"Tak percuma Madewa dikagumi oleh banyak
jago-jago rimba persilatan," desisnya kagum.
"Dia adalah manusia dewa, Kakang," sambung istrinya.
"Benar, Rayi Sri Kemuning... kekagumanku padanya semakin bertambah saja dan...
awas, Rayi!"
Sebuah sambaran bertenaga besar mengarah
pada mereka. Gaok serentak mendorong tubuh is-
trinya ke samping hingga bergulingan, sedangkan dia sendiri bersalto ke samping
kanan. Dan... "Duarrr!"
Batang pohon yang berada di belakang mereka


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hancur terbakar oleh sambaran besar tadi. Wajah kedua Walet Putih itu pias.
Tahu-tahu di hadapan mereka berdiri kembali Dewi Murni sambil mendekap dadanya
yang terluka. Wajahnya geram dan
penuh dendam. Memancarkan sinar membunuh.
"Sepasang Walet Putih, kini terimalah ajal kalian!" serunya seraya menyerang
kembali, kali ini ke arah Sri Kemuning yang langsung menghindar
melompat dan mengirimkan serangan balasan.
"Des! Duk! Duk!"
Beberapa kali terjadi benturan antara kedua-
nya. Rupanya Dewi Murni hanya bersembunyi,
menunggu Madewa Gumilang pergi dari tempat
itu. Dia tidak puas bila belum membunuh salah
seorang dari mereka, sebagai bayaran dan da-
danya yang terluka karena serangan Madewa Gu-
milang. Dan kini dia pun bertekad untuk mengadu
nyawa. Dia tak perduli dengan lukanya yang nampak cukup parah. Yang penting
baginya adalah membalas! Dan membalas!
Melihat istrinya diserang terus menerus, Gaok
pun menerjang membantu membokong Dewi Mur-
ni dari belakang. Tetapi Dewi Murni bukanlah tokoh golongan hitam yang baru
turun gunung. Dia sudah lama malang melintang bersama Laksamurka. Serangan
bokongan Gaok hanya dihindari
dengan memiringkan tubuhnya saja, lalu tangan-
nya diayunkan menghantam dada Gaok.
"Des!"
Gaok terhuyung ke belakang. Dewi Murni tak
mau menyia-nyiakan kesempatannya lagi. Meski-
pun dia tengah luka parah, serangan-serangannya masih cukup berbahaya.
Dia menerjang memburu Gaok dengan puku-
lannya yang ampuh.
"Awas serangan!"
"Kakaaaangg!" jerit Sri Kemuning yang tidak melihat kemungkinan bagi suaminya
untuk menghindari serangan itu. Dia pun nekat menerjang
dan menghalangi serangan Dewi Murni.
Tanpa ampun lagi pukulan sakti Dewi Murni
menyerang tepat di dadanya.
"Des! Akhhhh...!"
Seruan keras Sri Kemuning terdengar. Tubuh-
nya meluncur deras ke belakang. Dan ambruk
dengan tubuh membiru, tanpa sempat bernapas
sekali lagi. Nyawanya pun meregang dan melayang meninggalkan jasadnya.
"Sri Kemuning!" jerit Gaok seraya memburu. Dia mencoba menyadarkan istrinya,
tetapi istrinya telah mati. Mendadak dia menoleh. Pandangannya
berbahaya dan memancarkan sinar dendam.
"Kau harus membayar semua ini dengan nyawa busukmu, Srigala buas!" geramnya
sengit. Sementara Dewi Murni hanya tertawa, meski-
pun dia sedang menahan luka di dadanya.
"Nyawamu akan segera menyusul istrimu,
Gaok!" "Bangsat hina! Awas serangan!" jerit Gaok seraya meluncur menyerang. Kali ini
dia menggunakan seluruh kepandaiannya untuk membunuh
Dewi Murni. Tetapi Dewi Murni menghindari semua itu den-
gan mudah saja. Dia merasa tidak begitu berat
menghadapi Gaok seorang. Serangan-serangannya
kian dahsyat. Pertempuran kali ini menimbulkan suara bising
yang amat sangat. Debu-debu beterbangan, dan
daun-daun berguguran saat dua tenaga sakti ber-benturan.
Lewat sepuluh jurus keduanya masih berim-
bang. Namun tiba-tiba Dewi Murni berseru sambil bersalto ke belakang menghindari
serangan Gaok, "Lihat ada lima ekor ular di sekelilingmu!"
Mendadak Gaok menghentikan serangannya
dan lima ekor ular berbisa mendesis di dekatnya.
"Bangsat! Bisamu hanya menggunakan ilmu sihir saja! Ayo lawan aku!" serunya
sambil menghindari patukan-patukan ular-ular berbisa itu. Dia nampak lebih
kocar-kacir. Karena dengan susah
payah dia harus menghindari serangan ular-ular itu, yang kian ganas dan sangat
gencar. "Hahaha... lucu sekali! Ada badut di sini!" terkekeh Dewi Murni sambil memegangi
dadanya yang terasa amat sakit. Dia mengeluarkan ilmu sihirnya dengan maksud agar dia dapat
beristirahat menahan rasa sakitnya.
"Srigala busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu dan kita bertarung!" seru Gaok sambil
susah payah menghindari ular-ular berbisa itu.
"Hahaha... baiklah, kalau itu maumu!" seru De-wi Murni sambil menerjang di saat
Gaok tengah bersusah payah menghindari serangan ular-ular
itu. Dan sebuah pukulan menggedor dada Gaok
hingga terhuyung dan muntah darah. Di saat dia sedang kesakitan, ular-ular itu
menerjangnya. Tanpa ampun patukan ular berbisa itu secara ber-tubi-tubi menghantamnya.
"Akhhh!" jeritnya kesakitan dan ambruk dengan tubuh yang kering membiru.
Dewi Murni tertawa. Menarik kembali ilmu si-
hirnya. Lalu dia meludah. "Cih! Kau susul sana istrimu!" serunya seraya melesat
meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan Sepasang Walet Putih yang sudah
menjadi mayat dengan tubuh membiru.
*** 6 Sementara itu Pranata Kumala sudah berhenti
mengejar. Bayangan Laksamurka yang berlari
sambil menggendong Ambarwati tiba-tiba lenyap.
Matahari di ufuk Timur sudah menampakkan
biasnya dan sebentar lagi pagi menjelang. Pranata menggeram marah bila mengingat
istrinya yang di-larikan Laksamurka.
"Bila terjadi apa-apa dengan istriku, demi langit dan bumi, aku bersumpah, akan
menghirup darah
Laksamurka!" serunya sambil menengadah ke langit. Dan tiba-tiba saja kilat
menyambar dan bumi yang dipijaknya bergoyang bertanda sumpahnya
telah didengar oleh penguasa langit dan bumi. La-lu Pranata Kumala melangkah
lagi. Dia tiba di sebuah sungai yang airnya mengalir jernih. Tubuhnya yang penat dan
berkeringat di-basahinya dengan air itu. Lalu dia membuka ba-
junya dan berniat hendak mandi.
Mendadak saja telinganya mendengar suara
seorang gadis sedang bernyanyi dari dalam sungai.
Siapakah gerangan" Hati-hati Pranata Kumala
mengenakan pakaiannya kembali dan mengintip
dari balik semak. Di dalam sungai, sesosok tubuh kuning langsat tengah asyik
berendam sambil bersabun.
Serentak Pranata menutup kembali semak itu.
Tubuh yang dilihatnya tadi dalam keadaan telanjang bulat. Pranata memejamkan
matanya. Dia bermaksud hendak meninggalkan tempat itu. Dan
tanpa sengaja kakinya menginjak ranting kering yang membuat gadis yang sedang
mandi itu langsung menoleh dan berenang ke tepian.
"Siapa di situ?"
Pranata terdiam.
"Siapa di situ" Apa yang sedang kau perbuat?"
seru gadis itu lagi dan pelan-pelan keluar dari sungai dan mengenakan kainnya
yang hanya menutup bagian dada dan sebatas lutut. Hati-hati dan takut-takut
gadis itu mengambil bakul yang berisikan pakaian yang baru saja selesai dicu-
cinya. Dia terkejut melihat sosok Pranata Kumala yang masih terpaku di tempatnya.
"Oh... kau... kau mengintip, ya"! Oh, jahat! Jahat!" jerit gadis itu antara malu
dan marah. Pranata menoleh, dia melihat betapa cantiknya
wajah gadis itu. Sepasang matanya bersinar me-
rah. Dan alis yang hitam dan lebat. Hidungnya
bangir dengan dihiasi sepasang bibir mungil yang merah memikat. Dan kini wajah
cantik itu pias karena malu diintip orang sedang mandi.
"Maaf... saya tidak sengaja mengintip...."
"Bohong, bohong! Pemuda ceriwis! Pemuda cabul! Kerjamu hanya mengintip orang
mandi saja!"
seru gadis itu sewot.
Pranata menjadi gelagapan.
"Sungguh, Nona... saya tidak sengaja. Semula saya berniat hendak mandi, tetapi
urung setelah mendengar suara orang bernyanyi. Dan tanpa sa-
dar saya mencoba mencari siapa yang bernyanyi
itu. Kiranya Nona yang... ah, maafkan saya, No-na...." kata Pranata sambil
menundukkan kepalanya.
Tetapi gadis itu masih sewot karena malu yang
tidak terhingga, sebab tubuhnya yang paling dirahasiakan telah dilihat orang.
Dan orang ini pun berada di hadapannya. Namun lama kelamaan dia
bisa memaklumi, setelah merasa bahwa pemuda
ini jujur berkata.
Tetapi tak urung juga wajahnya masih meme-
rah. "Kau...."
"Maafkan saya, Nona...." kata Pranata Kumala tetap menunduk. Perasaannya menjadi
tidak enak. Dan dia menyesali kecerobohan dan kelancangan-
nya. "Kau telah melihat tubuhku!"
"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona...."
Tiba-tiba Pranata mendengar isak di hadapan-
nya. Hati-hati diangkatnya kepalanya. Dan dia melihat gadis itu yang terisak.
"Nona...."
"Pemuda ceriwis! Kau telah melihat tubuhku...
huhuhu!" gadis itu kini terisak. Malunya tak terhingga karena tubuhnya ada yang
melihat. Malu sekali!
"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona...."
"Bohong! Kamu memang pemuda cabul!" gadis itu makin terisak.
Pranata menjadi serba salah. Hati-hati dan ragu
dia melangkah mendekati gadis itu. "Maafkan saya...."
Tiba-tiba saja gadis itu berbalik sambil terisak.
Bersamaan gadis itu berlari, muncul seorang pemuda yang bertelanjang dada. Dia
memegang pa- cul. Sikapnya nampak tidak bersahabat. Dia masih sempat melihat gadis tadi
berlari. "Arum!" serunya.
Gadis itu berhenti melangkah dan berbalik.
"Kang Bayu...."
Pemuda yang bernama Bayu itu menghampiri
gadis yang bernama Arum.
"Ada apa, adikku?"
Arum menubruk pemuda itu dan memeluknya.
Lalu menangis tersedu-sedu di dada pemuda itu.
"Kang Bayu...."
"Ada apa, Arum" Mengapa kau menangis" Apa yang diperbuat pemuda itu padamu?"
Arum masih terisak. Mendadak dia jadi malu
untuk mengadu kepada Bayu yang ternyata ka-
kaknya. Apa kata kakaknya nanti bila tubuh adiknya dilihat orang lain"
"Ti... tidak ada apa-apa, Kakang...."
"Katakanlah, Arum. Kenapa kau menangis?"
"Arum...."
"Saya telah berbuat lancang, Saudara," terdengar suara Pranata. "Nama saya
Pranata Kumala dari Laut Selatan."
"Hmmm... apa yang kau maksud dengan ber-
buat lancang?" suara Bayu terdengar tidak enak.
"Saya...."
"Oh, tidak ada apa-apa, Kakang. Tidak ada apa-
apa," sela Arum dengan wajah yang semakin memerah.
Bayu melirik adiknya tidak percaya. Yang mem-
buatnya heran, mengapa adiknya seperti menutupi sesuatu sedangkan pemuda yang
mengaku bernama Pranata Kumala itu seperti hendak menga-
takan sesuatu. Untuk meyakinkan, maka dipandangnya Prana-
ta Kumala. "Hmmm... ki sanak, melihat dari cara kau berpakaian, rupanya kau bukan orang
sembarangan. Nah, katakanlah apa yang telah terjadi antara kau dan adikku?"
Pranata melirik Arum yang kini menunduk. Dia
mendesah. Haruskah dia mengatakannya, semen-
tara gadis itu menjadi malu" Setelah mempertim-bangkan Pranata mengambil
keputusan untuk ti-
dak mengatakan apa yang telah terjadi.
"Memang tidak terjadi apa-apa di antara kami, Saudara Bayu."
"Hmmm... dari tadi kau nampaknya hendak
mengatakan sesuatu, Ki sanak. Dan kau telah
berkata kau berbuat lancang. Nah, katakanlah...!"
Pranata menjadi semakin ragu, apalagi ketika
sepasang mata yang kini bersinar lembut dan ma-lu-malu mengharapkan dia tidak
mengatakan yang sesungguhnya. Pranata menghela napas.
"Saya memang telah berbuat lancang, Saudara Bayu. Saya... yah... saya lancang
berani mengutarakan cinta pada adik saudara."
Kali ini Bayu tersenyum.
Arum terbelalak kaget lalu menunduk tersipu.
Sedangkan Pranata sendiri heran mengapa dia
mengatakan hal itu" Dia kuatir bila gadis itu salah tanggap. Pranata tahu, bagi
seorang gadis bila dilihat tubuhnya oleh orang lain lebih baik bunuh diri kalau
tidak laki-laki yang melihatnya itu harus mengawininya. Ah, apakah akan ada
masalah lagi"
Bayu masih tersenyum. Melirik gadisnya yang
tersipu. "Adikku ini memang pemalu, Pranata," katanya yang kini langsung memanggil nama
Pranata. "Hmmm... tapi aku yakin, kau akan bisa menak-lukkan hatinya."
"Wah, agaknya akan ada persoalan lagi ini?" desah Pranata dalam hati.
Tetapi dia tersenyum. Didengarnya lagi Bayu
berkata pada adiknya, "Mengapa kau harus marah, Arum" Bila kau tidak menyukainya
kau kan bisa berkata dengan baik-baik. Tidak perlu ma-
rah." Arum semakin menunduk. Wajahnya kembali
bersemu merah. Dan tiba-tiba saja dia berbalik meninggalkan mereka dengan wajah
tersipu-sipu. Bayu tertawa. "Maafkan adikku, Pranata.
Hmmm... melihat cara kau berpakaian, dan wa-
jahmu yang gelisah, mungkin di samping masalah cinta dengan adikku, tentunya kau
punya masalah lain. Nah, apakah gerangan?"
Pranata ingin berkata bahwa dia tidak mencin-
tai adik Bayu, tetapi malah menjadi tidak. Setelah mendesah lalu dia berkata,


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sedang mencari seseorang, Bayu. Apakah kau melihatnya?"
"Siapakah dia?"
"Dia bernama Laksamurka. Dia mengenakan
pakaian berbulu srigala. Dengan wajah yang sedikit seram dan kalung yang berupa
taring srigala.
Dia pun tengah melarikan seorang gadis," kata Pranata. Lalu melanjutkan dalam
hati, "Gadis itu istriku!"
Bayu terdiam. Lalu menggelengkan kepala. "Aku belum melihatnya. Ada masalah
apakah gerangan?"
"Dia telah berbuat onar di desa Bojongpanjang.
Dia bergelar Sepasang Manusia Srigala."
"Sepasang Manusia Srigala"!" seru Bayu terkejut. "Yah... kalau gelar orang itu
saya pernah mendengarnya. Dia berpasangan dengan seorang wani-ta, bukan?"
"Betul!"
"Kami juga sebenarnya kuatir setelah mendengar teror yang mereka lancarkan di
Bojongpanjang. Dan kami pun sudah bersiaga bila mereka mem-
buat teror di desa kami ini, Kali Putih."
Pranata merasa dia harus bergegas kembali
mencari istrinya. Lalu dia berkata, "Sebaiknya aku permisi saja, Bayu. Nampaknya
matahari sudah semakin tinggi."
"Apakah tidak sebaiknya kau singgah dulu di rumah kami" Barangkali saja ada
sesuatu yang akan kami hidangkan. Nampaknya kau pun lelah
sekali, Pranata. Bukankah kau sebaiknya beristirahat dulu?"
Pranata membenarkan hal itu. Dia memang bu-
tuh istirahat. Tetapi bagaimana dengan nasib istrinya"
"Lain kali mungkin aku bisa mampir. Terima kasih."
"Kalau memang itu kemauanmu, baiklah. Aku tidak bisa memaksa. Kalau soal Arum,
serahkan saja padaku. Dia pasti mau menerimamu."
Pranata kembali hendak membantah, tetapi di-
urungkannya. Lalu dia pun berpamitan pada
Bayu, lalu menerobos hutan yang cukup lebat dan matahari yang terus bersinar.
*** Jauh dari desa Kali Putih, ada sebuah gubuk
tua yang tak terpakai. Suasana di tempat itu pun sunyi dan menyeramkan. Tak jauh
dari sana ada pemakaman yang luas.
Di gubuk buruk itu Laksamurka membawa Am-
barwati dan menawannya. Baginya, ini merupakan kesempatan yang sangat berharga
bisa menawan Ambarwati dan sekaligus menikmatinya.
"Srigala busuk! Lepaskan aku!" seru Ambarwati yang dibaringkan di tanah dalam
keadaan tertotok.
"Ayo bertarung denganku sampai mampus!"
Laksamurka hanya terkekeh.
"Hehehe... sabar, Manis. Sabar. Kau agaknya sudah tidak sabar untuk ke sorga,
ya?" "Srigala busuk! Lepaskan aku!"
"Hehehe... aku akan menikmati dulu tubuhmu yang aduhai montoknya itu."
"Jahanam! Awas kalau kau berani menyentuh tubuhku!"
"Kau bisa berbuat apa, Manis" Di sini hanya
tinggal kita berdua. Di sini kita bisa membagi kehangatan, bukan?"
"Busuk...!"
"Hehehe... sebentar lagi kau akan menikmati sorga dunia bersama orang yang kau
sebut busuk ini."
"Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Aku sudah bersuami, Srigala busuk!"
"Hehehe..."
"Lepaskan! Lepaskan! Hei, kau mau apa?" seru Ambarwati bergidik ketika
Laksamurka mendekatinya dan membelai pipinya. Ambarwati mengge-
leng-gelengkan kepalanya menghindari belaian
Laksamurka. "Hehehe... pipi halus bak pualam, Manis.
Alangkah nikmatnya!" katanya sambil terkekeh.
"Coba kita lihat bagian dalam tubuhmu. Apakah seindah dan sehalus pipimu?"
"Jangan! Jangan!" seru Ambarwati yang hanya bisa berteriak-teriak sedangkan
bagian tubuhnya tak bisa digerakkan karena dalam keadaan tertotok. Dia semakin
bergidik ngeri ketika tangan Laksamurka hendak menggerayangi dadanya.
"Hehehe... dua buah gundukan yang besar dan indah. Tentu bagus bentuknya,
bukan?" "Kubunuh kau, Laksamurka!"
"Dalam keadaan tak berdaya begini bacotmu masih besar juga, Manis...." Tangan
Laksamurka tiba-tiba bergerak cepat merobek baju bagian dada dari Ambarwati.
"Brek!" Terlihatlah dua buah gundukan yang putih halus di hadapannya. Ambarwati
memejam- kan matanya menahan kegeraman yang sangat
luar biasa. Habis, habis sudah. Dia hanya bisa berdoa pada Tuhan akan
pertolonganNya.
Mata Laksamurka langsung nanar melihat buah
dada Ambarwati yang indah. "Benar dugaanku, Manis. Bentuknya bagus dan indah."
"Biadab! Jangan kau lakukan itu padaku!"
"Hehehe..." Laksamurka tertawa. Tetapi tiba-tiba dia menoleh. Telinganya
menangkap suatu gerakan di luar. "Bangsat! Siapa kiranya yang berani mengganggu
ketenangan Laksamurka?"
"Sepasang Manusia Srigala, keluarlah cepat!
Sebelum aku tega untuk membunuhmu!" terdengar suara bernada cempreng dari luar.
"Bangsat!" seru Laksamurka sambil melangkah ke depan. Di hadapannya berdiri
seorang nenek bertubuh bungkuk. Dia mengenakan konde yang
bagus dengan tusukannya yang terbuat dari emas.
Tangan kanannya memegang sebuah tongkat.
"Hmm, siapa gerangan kau kiranya yang berani mengusik Laksamurka?"
"Hihihi... agaknya namaku tidak punya banyak arti untukmu, Laksamurka...."
"Katakan cepat, sebelum aku punya niat untuk membunuhmu!"
Di dalam gubuk Ambarwati menghela napas le-
ga. Agaknya Tuhan mendengar doanya. Dia men-
dengar lagi suara dari luar, "Hihihi... kau begitu ngotot sekali. Baiklah bila
kau ingin mengeta-huinya.... Namaku Rumbila... hihihhi jelek, bukan?"
Tetapi bagi telinga Laksamurka cukup menge-
jutkan pula. Tetapi dengan tenang dia berkata
dengan suara angker, "Ada apa majikan Bukit Ular yang bergelar Dewi Tongkat Ular
keluar dari sarangnya?"
"Hihihi... rupanya kau belum tahu kalau namamu dan Dewi Murni yang bergelar
Sepasang Manusia Srigala sudah terdengar sampai ke Bukit Ular?"
"Hmm... tak kusangka kalau nama itu menarik perhatian Majikan Bukit Ular!"
"Sudah tentu... sudah tentu... telingaku menjadi panas bila mendengar gelar itu.
Apalagi teror yang kau lancarkan. Belum lagi dengan tantangan yang kau lontarkan
pada Pendekar Bayangan Sukma.
Hmm... agaknya kau pun tidak tahu akan kesak-
tian manusia agung itu Madewa Gumilang!"
"Sebentar lagi nama yang kau banggakan itu akan mampus di tanganku, Dewi Tongkat
Ular!" "Hihihi lucu, lucu... Maafkan aku yang telah mengganggu keasyikanmu dengan
seorang gadis di dalam. Namun agaknya aku perlu bertanya pula.
Kau apakan gadis itu, hah" Nampaknya dia berada di bawah kekuasaanmu."
"Jangan ikut campur urusanku!"
"Karena kau tidak menerangkannya aku akan ikut campur!"
"Hmmm... agaknya majikan Bukit Ular usil ju-ga. Baik, aku pun ingin tahu sampai
di mana kehebatan namamu, Rumbila!"
"Hihihi... mengapa tidak sejak tadi"!"
Ditantang dan diejek begitu, membuat darah
Laksamurka mendidih. Tiba-tiba saja dia berkata,
"Hmmm... tongkat yang kau pegang itu ular betu-lan rupanya!"
Tiba-tiba saja tongkat yang dipegang Dewi
Tongkat Ular berubah menjadi ular. Tetapi nenek itu hanya tertawa saja.
"Hihihi... keluarkanlah il-mu sihirmu, Laksamurka. Dan ciptakan berbagai
macam ular jejadian!"
Sungguh aneh, ular jejadian dari ilmu sihir Laksamurka tidak berbuat apa-apa
pada Dewi Tong-
kat Ular. Tidak sia-sia dia menjadi Majikan Bukit Ular.
"Bangsat!" Laksamurka menggeram dan menarik kembali ilmu sihirnya yang membuat
tongkat itu berubah kembali ke asal. "Baik, kita lihat sekarang!"
Setelah berkata begitu, Laksamurka langsung
menerjang dengan jurus Srigala Menangkap Mang-
sa. Rumbila cuma tertawa. Dia malah memapaki
serangan itu dengan ayunan tongkatnya. Terden-
gar desir angin yang cukup kuat saat tongkat itu diayunkan. Laksamurka menarik
kembali serangannya dengan jalan bersalto. Namun belum lagi dia hinggap di bumi,
Rumbila sudah menyodokkan tongkatnya.
"Bangsat!" geram Laksamurka. Dan sungguh luar biasa, saat tubuhnya tengah
melenting itu ti-ba-tiba melinting kembali.
"Bagus!" seru Dewi Tongkat Ular kagum. Dia kembali menyerang. Dalam sekejap saja
tempat itu sudah menjadi ajang pertarungan dua tokoh sakti.
Berpuluh jurus sudah berlangsung namun belum
ada tanda-tanda ada yang kalah dan menang. Ke-
duanya berimbang.
Laksamurka bersalto ke belakang. "Sekarang kau tahan seranganku, Rumbila!"
Tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi see-
kor srigala dengan sepasang mata yang menyalang buas. Rumbila agak terkejut
melihatnya. Belum
lagi dia sadar apa yang tengah terjadi, srigala jelmaan Laksamurka itu sudah
menerkam. Reflek
Rumbila mengayunkan tongkatnya. Namun srigala
jelmaan itu masih terus menerjang, membuat
Rumbila terpaksa melompat menghindar.
Dan kini srigala itu siap untuk memangsanya.
Tiba-tiba Rumbila melempar tongkatnya ke arah
srigala jelmaan itu. Mendadak tongkat tadi berubah menjadi seekor ular cobra.
Dan langsung hendak mematuk srigala jelmaan itu. Tentunya Lak-
samurka yang tengah menjelma menjadi srigala tidak mau mati konyol. Dia
menghindar ke samping dan menerkam dari belakang.
Terjadilah pertarungan antara srigala dan ular jelmaan itu. Keduanya bertarung
dengan sengit diiringi suara lolong dan desisan. Sementara Rumbila duduk
bersila, mempertahankan ilmu sihirnya pada tongkatnya yang kini menjelma menjadi
seekor ular. Namun mendadak srigala itu menjelma kembali
menjadi Laksamurka. Sambil bersalto menghindari serangan ular jejadian itu, dia
melontarkan senjata rahasianya yang berbentuk taring. Dewi Tongkat Ular yang
sedang berkonsentrasi tidak mengetahui serangan licik itu.
Tiga buah senjata rahasia Laksamurka menan-
cap pada sasarannya membuat Dewi Tongkat Ular
terjengkang ke belakang dengan muntah darah.
Sementara ularnya kembali menjadi tongkat.
"Hahaha... hanya begitu saja kehebatan nama besar majikan Bukit Ular!"
"Bangsat pengecut!" geram Dewi Tongkat Ular sambil menahan sakit yang mulai
menjalari tubuhnya.
"Untuk mengalahkan manusia sombong seperti kau segala cara dihalalkan!"
Laksamurka terbahak-bahak. "Nah, kau nikmatilah rasa sakitmu itu, Dewi. Dalam
waktu lima belas menit, kau akan
mampus dengan tubuh yang mengerikan bagai di-
cincang oleh ribuan srigala! Hahaha...."
Dewi Tongkat Ular menahan rasa sakit dan ma-
rahnya. Laksamurka masuk kembali ke gubuk itu.
Dia berkata pada Ambarwati yang masih dalam
keadaan tertotok, yang hanya bisa melotot geram melihat munculnya Laksamurka.
"Kita pindah dari tempat ini, Manis. Tempat ini sudah diketahui orang," katanya
sambil membo-pong tubuh Ambarwati yang menjerit-jerit namun tak bisa berbuat
apa-apa ketika dibopong. Laksamurka cuma terkekeh.
Lalu dia keluar lagi. Dan berkata pada Dewi
Tongkat Ular, "Selamat tinggal, Dewi. Nantikanlah ajalmu yang sebentar lagi akan
menjemputmu dengan kereta emasnya yang sangat indah dan bagus... hehehe!"
Bersamaan dia selesai berkata begitu, muncul
Dewi Murni yang terengah-engah. Tangan kanan-
nya mendekap dadanya. Wajahnya berkeringat
dan pucat. "Laksamurka!" rintihnya sebelum ambruk.
"Dewi Murni!" seru Laksamurka terkejut dan menurunkan tubuh Ambarwati lalu
bergegas menghampiri Dewi Murni. "Apa yang telah terjadi, Dewi" Siapa yang berani berbuat
begini, hah" Siapa, Dewi" Katakan, katakan padaku! Biar kulumat habis manusia
yang membuatmu menderita begini!" Mata itu terbuka. Sinarnya redup. Dewi Mumi
menahan sakit di dadanya. Suaranya terputus-putus, "Aku... aku sudah bertemu
dengan... Pendekar Bayangan Sukma, Laksa... dia... dia maha sakti, Laksa...."
"Tahan, Dewi! Di mana dia sekarang?"
"Entahlah... aku tidak tahu... Laksa... sakit sekali... Akh... Laksa... aku
telah membunuh... Sepasang Walet Putih dari Gunung Slamet...."
"Bagus! Sekarang kau tahan, biar aku obati!"
kata Laksamurka sambil merobek baju bagian da-
da Dewi Murni. Nampaklah buah dadanya yang
bulat dan montok. Putih bersih. Dalam keadaan
begini, Laksamurka tidak bernafsu untuk menik-
mati sesaat pemandangan yang mengasyikkan di
depan matanya. "Keluarkan hawa murnimu. Dan tahan sebentar...." katanya pula
seraya mengalirkan hawa murni dan tenaga dalamnya melalui
tangannya. Cukup lama hal itu terjadi. Tubuh De-wi Murni nampak menggigil.
Keringat dingin men-gucur dengan deras. Begitu pula dengan Laksa-
murka. Mendadak saja Dewi Murni muntah darah.
"Huak!"
"Tahan, Dewi. Tahan... sebentar lagi...."
Tiba-tiba saja dari samping kiri mereka sebuah sinar berwarna merah berkelebat
ke arah mereka.
Serentak Laksamurka bersalto menghindar. Se-
dangkan Dewi Murni yang sedang terluka, harus
bersusah payah menggulingkan tubuhnya. Ter-
lambat dua detik, mampuslah srigala betina itu.
"Bangsat!" bentak Laksamurka. "Siapa yang kerjanya hanya berani membokong saja!
Ayo keluar! Tampakkan wajah jelekmu!"
Tak ada sosok yang keluar.
Laksamurka memberikan pil pemulih tenaga
pada Dewi Murni. Lalu menyuruhnya untuk ber-
semedi. Kali ini dia berdiri di dekat Dewi Murni, kuatir ada serangan gelap
lagi. Tiba-tiba melompat sesosok tubuh dari balik
semak dan hinggap di tanah dengan ringannya.
"Aku memenuhi panggilanmu yang menyuruh-
ku keluar, Laksamurka!" kata sosok tubuh itu gagah.
"Hhh! Rupanya kau bocah jelek! Punya nyali pu-la kau untuk menyerang secara
gelap begitu!"
"Aku datang untuk membebaskan istriku, Laksamurka! Dan mencabut nyawa iblismu
serta sri- gala betina itu!"
Terdengar seruan dari samping sosok yang baru
datang itu, "Kakang Pranata...!"
Serentak sosok yang tak lain Pranata Kumala
menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Rayi Ambar...." serunya seraya ingin


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekat. Tetapi Laksamurka menghalanginya dengan
mengirimkan satu tendangan yang cukup berisi,
membuat Pranata Kumala mengurungkan niatnya
dan menghindar. "Bagus!" serunya.
"Hhh! Bocah jelek, kau hanya mengantarkan nyawamu ke sini rupanya!"
"Sudah kukatakan, akulah yang hendak men-
cabut nyawamu!"
"Besar pula ucapanmu!"
"Karena kau tak akan lama lagi untuk hidup di muka bumi ini! Begitu pula dengan
kawanmu yang nampak terluka parah! Maaf, kalau tadi aku harus membokong kalian!"
"Pandai sekali kau berucap, Bocah jelek! Kau hanya mengantarkan nyawamu saja ke
sini!" "Hahaha... mengapa tidak sejak tadi kau maju ke sini! Ayo, majulah, Laksamurka!
Biar kuhantam perutmu dan kuburai isi perutmu!" Lalu disusul dengan tawa Pranata
Kumala yang menyakitkan
telinga. "Kulumat tubuhmu, bocah jelek!"
"Majulah, Srigala busuk!"
Laksamurka yang tengah murka karena ditan-
tang seperti itu tak mau banyak omong lagi. Dia serentak menerjang dengan hebat
diiringi peki-kannya yang keras. Serangan-serangannya man-
tap dan mengundang maut. Pranata mengimban-
ginya dengan jurus menghindarnya Kijang Kumala dan jurus Tangan Bayangannya.
Pertempuran itu hebat.
Ambarwati berdoa dalam hati demi keselamatan
suaminya tercinta. Dia sudah gembira melihat suaminya mendadak muncul. Tetapi
kini hatinya cemas melihat dan mengingat betapa hebatnya
Laksamurka. Sedangkan Rumbila berharap, Pranata Kumala
mampu mengalahkan Laksamurka dan segera
mengobatinya. Pertempuran antara keduanya berlangsung
dengan seru. Masing-masing mengeluarkan sege-
nap kemampuannya. Dan seluruh tenaga mereka.
"Des!"
"Des!"
"Des!"
Berkali-kali benturan terjadi. Namun keduanya
terus saling menyerang berupaya untuk segera
menjatuhkan lawannya.
"Awas serangan, bocah jelek!"
"Hahaha... kulayani sampai seribu jurus sekali pun, Srigala busuk!"
Lagi keduanya saling menerjang.
"Des!"
"Des!"
Lagi terjadi benturan yang hebat.
Tiba-tiba Laksamurka menjerit, "Lihat sekelilingmu, Bocah! Ular berbisa!"
Mendadak saja ranting-ranting pohon yang be-
rada di dekat berubah menjadi ular berbisa. Dan mendesis-desis siap
menyerangnya. "Kau hanya berani dengan ilmu sihir!" seru Pranata Kumala memaki sambil
menghindari patukan
ular-ular itu. Sambil menghindar dia kembali melontarkan pukulan sinar merahnya
ke arah ular- ular itu. Sebentar saja ular-ular itu mati dan berubah
kembali menjadi sebatang ranting.
Melihat serangannya gagal, kembali Laksamur-
ka menerjang. Dengan dahsyat dan diiringi dengan pekikan mengerikan. Terjadilah
pertarungan yang hebat antara keduanya.
Dewi Murni yang merasa tubuhnya mulai mem-
baik, dan kesal serta marah dibokong sedemikian rupa, mulai membantu setelah
mengalirkan hawa
murninya ke sekujur tubuhnya.
Pertempuran tak seimbang pun terjadi.
Ambarwati ngeri melihat suaminya dikeroyok
begitu. Rumbila atau Dewi Tongkat Ular hanya bisa
menonton saja dengan hati geram tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan perlahan-lahan
dia merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Rumbila tidak yakin dia
bisa bertahan untuk hidup lebih lama.
Sementara pertempuran itu semakin seru ber-
langsung. Pranata mengeluarkan segenap kemam-
puannya dengan sekali-sekali melontarkan puku-
lan sinar merahnya.
Dia merasa beruntung karena Dewi Murni se-
dang terluka. Bila tidak, dia merasa tak mungkin mampu menahan gempuran-gempuran
dahsyat yang dilancarkan keduanya.
Tiba-tiba dia menjerit, "Lihat serangan!"
Pukulan sinar merahnya pun dilontarkan den-
gan membabi buta, membuat kedua manusia itu
harus memperlihatkan kelincahan mereka. Dan ti-ba-tiba selagi Dewi Murni
meloncat, Pranata menyerang masuk.
"Des!"
Pukulannya bersarang di dada Dewi Murni yang
terhuyung ke belakang.
Melihat hal itu Laksamurka melemparkan obat
pemunah rasa sakit yang langsung ditelan oleh
Dewi Murni dan segera bersemedi. Memulihkan
hawa murninya dan menyalurkan segenap tenaga
dalamnya ke seluruh tubuhnya.
Sementara Laksamurka terus menyerang den-
gan gencar dan nafsu untuk membunuh lawan-
nya. Kali ini Pranata Kumala yang cukup kerepotan dibuatnya.
Tiba-tiba saja Laksamurka menjerit dan menye-
rang. "Des!"
Tendangannya mengenai sasaran!
Membuat Pranata Kumala terhuyung beberapa
tindak. Lalu menyeka bibirnya yang mengeluarkan darah.
"Kakang...." jerit Ambarwati pilu. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena
tubuhnya masih dalam keadaan tertotok.
Laksamurka terbahak.
"Itulah akibatnya bila berani menantang Sepasang Manusia Srigala."
Pranata Kumala menyeka kembali bibirnya. Ma-
tanya nyalang. "Bangsat! Majulah, Srigala busuk! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Hahaha... sudah dalam keadaan sekarat kau masih berani untuk menantangku"
Baiklah, bila itu maumu! Nah, tahan serangan!"
Tubuh itu berkelebat lagi. Kali ini dengan puku-
lan lurus ke muka. Pranata menghindarkan kepa-
lanya ke kiri, tiba-tiba saja pukulan yang berbentuk bogem itu berubah menjadi
cakar srigala. "Bret!"
Baju bagian bahu Pranata terkoyak oleh samba-
ran jari yang berbentuk cakar.
"Hahaha... sebentar lagi jantungmu yang akan kukorek ke luar dan kucabik-cabik,
Bocah!" Dewi Murni yang sudah merasa pulih tenaganya
membuka matanya dan siap membantu Laksa-
murka. Begitu dilihatnya Laksamurka sedang be-
rada di atas angin, diurungkannya niatnya.
Dia berseru, "Jangan kau kasih bernapas lagi manusia tak tahu diuntung itu,
Laksa!" "Baik, Dewi! Dia pun harus membalas perla-kuan yang telah dibuatnya terhadapmu!"
seru Laksamurka sambil terbahak. "Nah, Pranata Kumala... bersiaplah untuk
mampus!" Sehabis berkata demikian, Laksamurka mener-
jang dengan hebat. Pukulannya mengandung te-
naga dalam yang penuh, siap menjemput nyawa
Pranata Kumala. Sebisanya Pranata bertahan,
namun satu benturan keras membuatnya mati
langkah dan ambruk ke tanah.
Laksamurka tak mau membuang waktu lagi.
Dia menjerit menerjang untuk menghabisi nyawa
Pranata Kumala. Pranata hanya memejamkan ma-
tanya menyambut pukulan itu.
Tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Des!"
Tubuh Laksamurka terhuyung karena dia me-
rasa menghantam sebuah tembok besar. "Bangsat, siapa yang berani menghalangi
perbuatanku ini"!"
Tak jauh darinya berdiri sosok tubuh gagah ber-jubah putih.
"Madewa Gumilang!" seru Dewi Mumi.
"Ayah!" Ambarwati dan Pranata Kumala berseru bersamaan.
"Hhh! Nama besar Madewa hanya bisa membo-
kong rupanya!" bentak Laksamurka dengan geram.
"Tapi sayang, hari ini nama besar itu akan terkubur selama-lamanya!"
Madewa tersenyum arif. "Laksamurka, hendaknya kau kembalilah ke tempat asalmu.
Dan ajak pasanganmu itu. Janganlah kau terus menerus
membuat onar!"
"Hhh! Kau harus mampus di tanganku, Made-
wa!" geram Laksamurka. "Nah, cepat serahkan Seruling Naga padaku!"
"Ingatlah Laksamurka, janganlah kau menjadi manusia laknat!"
"Itu urusan ku! Cepat serahkan Seruling Naga sebelum kucabut nyawamu!"
"Kau tak ubahnya binatang haus darah, Laksamurka!"
Dikatakan seperti binatang, kemarahan Laksa-
murka langsung naik. "Aku memang binatang yang haus darah! Terutama darah kau,
Madewa!" serunya seraya menerjang. Madewa sudah mem-
perkirakan serangan itu. Dia menghindar dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
Melihat serangannya gagal, Laksamurka kemba-
li mempergencar serangannya. Serangannya begitu cepat dan bertenaga. Dia tidak
tanggung lagi, langsung menghimpun tenaga dalamnya dalam tingkat
tinggi. Madewa pun kali ini tidak hanya menghindar,
dia juga membalas dengan jurus Tembok Mengha-
lau Badai. Hal itu membuat Laksamurka cukup
kewalahan. Dewi Murni yang merasa kesehatan-
nya cukup pulih, menerjang membantu. Tidak lagi mempersoalkan Pranata yang
menghantamnya ta-di. Kini jadilah mereka kembali Sepasang Manusia Srigala.
Kekuatan mereka berpadu. Madewa cukup merasakan gempuran yang hebat. Apalagi
ketika keduanya menggunakan jurus Sepasang Srigala
Melompat. Madewa bukan hanya dibuat kerepotan
sekarang, tetapi harus membuatnya menghindar
dengan lincah. Tiba-tiba terdengar jeritan Dewi Tongkat Ular,
"Aaaahh!"
Serentak pertarungan itu terhenti. Semuanya
menoleh pada Dewi Tongkat Ular yang meringis-
ringis kesakitan.
Seketika Madewa mengetahui kalau Dewi Tong-
kat Ular terkena senjata rahasia salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala.
Tanpa diketahui oleh keduanya, Madewa mengirimkan tenaga dalamnya
melalui mata untuk menghentikan aliran racun
yang sudah hampir mencapai jantung.
"Lihat Madewa, sebentar lagi kau pun akan sekarat seperti Dewi Tongkat Ular!"
seru Laksamurka. "Aku pun harus membalas apa yang telah kau lakukan padaku
semalam, Madewa!" geram Dewi Murni.
Masih mengirimkan tenaga dalamnya melalui
matanya kepada Dewi Tongkat Ular, Madewa ter-
tawa pada Laksamurka dan Dewi Murni.
"Kalian rupanya pemimpi-pemimpi yang luar biasa!"
"Jangan besar mulut kau, Madewa!"
"Hahaha... agaknya hari ini aku pun tak boleh bermurah hati lagi!" kata Madewa
yang sengaja mengulur waktu untuk menolong Dewi Tongkat
Ular yang merasa heran karena tubuhnya dirasa-
kan agak berkurang sakitnya.
"Bacotmu besar juga, Madewa!"
"Lakukanlah bila kau mampu untuk membung-
kam bacotku!"
"Baik! Bersiaplah!" Laksamurka bersalto ke dekat Dewi Murni. Tubuh keduanya
berapat pung- gung. Tangan mereka membentuk cakar. Agaknya
keduanya tengah menyiapkan jurus mereka yang
paling ampuh. "Hari ini kau harus mampus di tangan kami, Sepasang Manusia
Srigala, Madewa!"
Madewa yang merasa sudah cukup menolong
Dewi Tongkat Ular pun segera meladeni kedua
Manusia Srigala itu.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras yang meng-
gema di seluruh tempat, dua manusia itu mener-
jang dengan masing-masing tangan membentukcakar dan mengeluarkan sinar merah.
Madewa pun segera memapaki dengan pukulan
Tembok Menghalau Badai yang dipadukan dengan
jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Terjadilah benturan antara kedua tenaga yang
menimbulkan su-
ara seperti letusan.
"DUUARRR!"
Sungguh di luar dugaan, Madewa terhuyung li-
ma tindak ke belakang dengan mulut mengelua-
rkan darah! Sementara Sepasang Manusia Srigala itu hanya terhuyung dua tindak
dan kini sudah berdiri dengan gagahnya.
"Hahaha... nama besar Pendekar Bayangan
Sukma ternyata tak punya banyak arti hari ini!"
seru Laksamurka. "Hmmm... Madewa keluarkan pukulan Bayangan Sukma yang kau
banggakan!"
Dewi Murni yang sangat mendendam sekali dan
melihat keadaan Madewa yang sudah di bawah
angin akibat benturan tadi, tiba-tiba memekik menerjang dengan kedua tangan
mengembang ke arah jantung Madewa.
Ambarwati menutup matanya ngeri.
Dewi Tongkat Ular hanya bisa mendesah tanpa
bisa membantu karena tubuhnya masih lemah.
Laksamurka terbahak-bahak karena mem-
bayangkan tubuh Madewa akan hancur tercabik-
cabik. Namun sungguh di luar dugaan, tubuh Dewi
Murni yang meluncur dengan keras tiba-tiba terpental ke belakang sambil
mengeluarkan jeritan kesakitan. Dan ambruk setelah terhuyung beberapa tindak.
"Huak!" dia muntah darah.
"Dewi!" pekik Laksamurka kaget sambil memburu. Sebenarnya Dewi Murni telah
membuat kesalahan yang teramat fatal. Dalam kondisi yang turun emosinya, Madewa


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa membuat lawannya yang
dalam keadaan marah berbalik sendiri terkena pukulannya. Itu semua berkat rumput
Kelangkamak- sa yang tanpa sengaja dimakannya dan tanpa di-
duganya telah menghasilkan tenaga gaib yang keluar dari tubuhnya (baca: Dendam
Orang-orang Gagah). Melihat Dewi Murni dalam keadaan kesakitan,
murkalah pasangannya. Laksamurka berdiri ga-
gah, dan matanya memancarkan nafsu untuk
membunuh. "Hari ini kau harus mampus di tanganku, Madewa!" serunya kembali menerjang.
Madewa berkelit ke kiri. Dan mengirimkan serangan balasan.
Kembali tempat itu terjadi pertarungan yang sengit. Entah sudah berapa puluh
jurus yang dikeluarkan oleh keduanya. Namun sampai sejauh itu
Madewa tidak telengas menurunkan tangan. Tadi
pun dia hanya memakai separuh tenaganya ketika terjadi benturan sehingga dia
harus terhuyung li-ma tindak.
Diam-diam pun Madewa mengalirkan tenaga
dalam Salju Abadi ke tangan kanannya. Dan keti-ka tangan kanannya menyentuh
tubuh Laksamur-
ka, tubuh itu langsung menggigil. Laksamurka
mengeluarkan seluruh tenaga dalam dan hawa
murninya untuk mengusir rasa dingin yang me-
nyengat. "Bangsat!"
"Keluarkan ilmu simpananmu, Laksamurka! Keluarkan semuanya!"
Pelan-pelan hawa dingin itu terusir darinya.
Laksamurka langsung menerjang kembali dan me-
lemparkan senjata rahasianya. Madewa berkelit
sambil membalas.
Tiba-tiba selarik sinar putih menerpa ke arah
Madewa yang sigap bersalto ke samping.
"Duar!"
Sinar putih itu menghantam pohon di bela-
kangnya hingga hangus. Dan kembali Laksamurka
dengan gencar mengirim serangan jarak jauhnya
yang berupa sinar putih. Dengan menggunakan
jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa menghindari serangan itu.
"Nama besar Madewa Gumilang ternyata cuma bisa menghindar saja!" seru Laksamurka
sambil tetap dengan gencar menyerang secara membabi
buta. "Rupanya kau menginginkan aku membalas"!"
"Hanya ingin kulihat keberanianmu!"
"Baik! Lihat serangan!" seru Madewa sambil melompat menghindari sinar putih itu,
dia bersalto dua kali di atas dan menukik hendak menyambar
kepala Laksamurka. Serentak Laksamurka bergul-
ing ke tanah menghindari serangan itu.
"Hebat!" serunya kagum.
Madewa telah bangkit tegak kembali.
"Rupanya rasa belas kasihanku sudah habis, Laksamurka. Hari ini terpaksa aku
harus mencabut nyawamu!"
"Hahaha... sudah hampir seratus jurus kau menghadapiku, Madewa... tetapi sampai
sejauh itu kau belum mengalahkanku juga."
"Baik! Kita sudahi pertarungan ini!" selesai ber-
kata demikian, Madewa menyerang. Kali ini sungguh aneh. Serangannya nampak tidak
bertenaga dan lemah. Namun Laksamurka sudah curiga me-
lihat serangan seperti itu. Dia tidak berani memapaki. Dan sungguh di luar
dugaannya. Batu besar yang berada di belakangnya hancur menjadi pasir ketika
tangan Madewa menyentuhnya.
"Pukulan Bayangan Sukma!" seru Dewi Tongkat Ular.
Mendengar nama pukulan itu dijeritkan oleh
Dewi Tongkat Ular, Laksamurka menjadi sedikit
keder. Ngeri dibuat oleh Madewa Gumilang. Dalam hati dia mengakui, betapa
hebatnya pukulan
Bayangan Sukma yang dimiliki oleh Madewa.
Tetapi dia tetaplah manusia sombong. Dia ber-
kata dengan pongah, "Ingin kulihat sampai di ma-na kehebatan pukulan itu,
Madewa!" "Bagus! Kini terimalah!" seru Madewa. Kali ini dengan jurus Tembok Menghalau
Badai. Dan Laksamurka tetap tak berani memapaki karena kuatir pukulan Bayangan
Sukma yang sedang dilancarkan Madewa.
Karena terlalu berhati-hati, dia terkena juga gempuran di dadanya yang
membuatnya serasa
dihantam gada yang besar. Napasnya menjadi se-
dikit sesak. "Aku akan mengadu jiwa denganmu!" serunya marah dan kembali menyerang. Kali ini
Madewa tak memberi ampun lagi. Dia memapaki. Dan ter-
jadilah benturan yang teramat hebat.
Madewa terhuyung ke belakang dua tindak.
Sementara Laksamurka ambruk dengan tubuh
hancur. Nyawanya langsung lepas dari raganya.
Dia tidak mengira kalau Madewa akan mengelua-
rkan Pukulan Bayangan Sukma-nya kembali. Dia
salah perhitungan. Musnahlah salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala.
Melihat Laksamurka menemui ajal, Dewi Murni
yang dalam keadaan kesakitan menjadi kalap. Dia menerjang Madewa dengan sepenuh
tenaga. "Tunggu!" seru Madewa.
Tetapi tubuh itu sudah melesat dengan deras.
Dengan pukulan lurus ke depan, ke arah wajah
Madewa. Yang diserang hanya terdiam. Tidak ber-geming. Malah menurunkan
emosinya. Dan hal itu membuat fatal bagi Dewi Murni. Da-
lam keadaan emosi saat menyerang Madewa, akan
terjadi serangan balik yang mendadak. Semua itu berkat rumput Kelangkamaksa yang
dihisap sa-rinya oleh Madewa tanpa disengaja.
Benar saja, tiba-tiba saja tubuh Dewi Murni ter-lontar ke belakang dengan deras.
Tanpa ampun la-gi tubuh itu berkelojotan dan mampus sekarat!
Madewa mendesah panjang.
"Dua nyawa kurenggut hari ini," desahnya pilu.
"Tetapi bila tak kulakukan, kejahatan pasti akan terus berlangsung."
Lalu Madewa menghampiri Ambarwati dan me-
lepaskan totokannya. Ambarwati langsung me-
rangkul ayah mertuanya. "Terima kasih, Ayah... terima kasih atas pertolongan
Ayah...." "Hmm... duduklah, Ambar," kata Madewa lalu mendekati Pranata Kumala yang tengah
terduduk sambil meringis kesakitan.
"Ayah...."
"Kau harus banyak belajar lagi, Anakku...." kata Madewa sambil mengalirkan
sedikit tenaga dalamnya pada Pranata, yang langsung merasa lebih
enak dari tadi.
"Ya, Ayah...."
Sementara Madewa menghampiri Rumbila, Pra-
nata Kumala mendekati istrinya. Ambarwati langsung memeluk suaminya dengan
sukacita. "Pranata...."
"Ambar...."
Keduanya saling tersenyum.
Bahagia. Sedangkan Madewa tengah berkata pada Rum-
bila, "Bagaimana keadaanmu, Rumbila?"
"Terima kasih, Yang Agung Madewa Gumilang,"
kata Dewi Tongkat Ular sambil menjura. "Aku yang sudah tua ini ternyata masih
diberi kesempatan untuk mengenal namamu yang telah menjulang
menembus langit, sebagai pendekar sakti yang bu-diman, Pendekar Bayangan Sukma!"
"Hmm... kulihat kau masih lemah sekali. Ulur-kanlah telapak tanganmu, Dewi...."
Dewi Tongkat Ular mengulurkan kedua tangan-
nya. Madewa menindih telapak tangan itu dengan telapak tangannya. Matanya
perlahan-lahan terpejam. Dewi Tongkat Ular merasakan ada hawa an-
gin hangat mengaliri tangannya dan mengaliri sekujur tubuhnya. Menormalkan
kembali aliran da-
rahnya. Tiba-tiba tiga buah senjata rahasia berbentuk
taring srigala copot dari tempatnya. Dewi Tongkat
Ular mendesah, rasa sakitnya telah lenyap.
Madewa membuka matanya dan menarik kem-
bali tangannya.
"Kau sudah aman, Rumbila...."
Rumbila alis Dewi Tongkat Ular langsung men-
jura di depan Madewa.
"Saya yang tua ini, rasanya tidak pantas berla-ma-lama lagi di hadapan Madewa
yang agung. Se-
baiknya saya mohon diri. Terima kasih atas pertolongan dan petunjuk yang Madewa
lakukan." "Sikapmu ini seolah-olah aku seorang dewa, Rumbila... aku hanyalah manusia
biasa...."
"Karena saya menganggap yang mulia adalah manusia dewa," kata Rumbila sambil
memungut tongkatnya. "Amit mundur, Madewa!" Dan...
"Wuuuttt!" Tubuhnya lenyap bagai dibawa angin.
Setelah Rumbila pergi, muncul di tempat itu
dua sosok tubuh. Yang satu seorang gadis dan
yang satunya seorang pemuda. Keduanya adalah
Bayu dan adiknya, Arum. Saat ini keduanya me-
mang sengaja hendak mencari Pranata Kumala.
Bagi Arum, dia sangat rindu dengan pemuda itu, pemuda yang mengutarakan
cintanya. Hal itu
membuatnya menjadi sakit dan setelah Bayu tahu apa yang menyebabkan sakit
adiknya, dia pun
meminta ijin pada ayahnya untuk meninggalkan
desa Kali Sunyi.
Sudah tentu Arum sangat gembira mengetahui
dia diperbolehkan mencari Pranata Kumala. Maka dengan ditemani kakaknya, dia pun
melangkah-kan kakinya dengan gembira.
Hampir empat hari keduanya mencari, dan se-
karang secara tidak sengaja mereka bertemu dengan Pranata Kumala.
Kening Arum berkerut melihat Pranata Kumala
tengah merangkul seorang wanita. Dan wanita itu membalas pula merangkulnya.
"Arum! Bayu!" seru Pranata setelah mengenali siapa yang datang. Sambil menarik
tangan istrinya dia mendekati mereka, "Ada apa kalian sampai meninggalkan
rumah?" Bayu tersenyum, walau heran siapa wanita di
sisi Pranata"
Sementara Arum merasakan dadanya sesak.
Napasnya jadi tidak teratur. Dia hanya menunduk, tak mampu menyaksikan kemesraan
yang sedang terpampang di depannya.
"Apa kabar, Saudara Pranata?" tanya Bayu.
"Oh, kabar baik. Kau bagaimana, Bayu?"
"Kabar baik pula."
"Kau bagaimana, Rayi Arum?"
"Saya... saya baik-baik saja, Kakang...." desis Arum masih tetap menunduk. Siapa
gadis di sebe-lahnya itu"
Pranata mengenalkan mereka pada ayahnya.
Madewa hanya tersenyum. Lalu Pranata berkata,
"Saudara Bayu dan Rayi Arum... perkenalkan... ini istriku...."
Ambarwati tersenyum.
Bayu terperangah.
Arum terkejut dan terpekik. Istrinya" Dia is-
trinya" Mengapa dia mengutarakan cintanya pa-
daku bila ternyata dia sudah beristri"
Tiba-tiba saja Arum berlari meninggalkan mere-
ka dengan hati pedih dan terluka.
"Rayi!" panggil Bayu.
Tetapi gadis itu terus berlari.
Pranata menjadi serba salah. Sedikit banyaknya dia tahu apa yang menyebabkan
Arum menjadi begitu. Pasti dirinya. Dirinya yang kini dianggap-nya sebagai penipu. Buaya
darat, yang kerjanya hanya mempermainkan para gadis-gadis saja. Dan salah satu
di antaranya Arum!
Pranata mendesah. Madewa heran. Ambarwati
apalagi. Mengapa gadis itu seperti kaget mengetahui dia istrinya Pranata Kumala"
Apakah... gadis itu mencintai suaminya"
Berpikiran demikian, Ambarwati memegang len-
gan suaminya erat-erat.
Pranata menjadi tidak enak pada Bayu. Lalu dia menceritakan apa yang telah
terjadi sesungguhnya.
"Benar Saudara Bayu, saya tidak sengaja melihatnya. Karena saat itu pikiran saya
hanya terpaku pada Sepasang Manusia Srigala dan pada istri-ku ini. Di samping
itu, saya tidak menceritakan kejadian yang sesungguhnya, karena tak ingin
membuat malu Rayi Arum...."
Bayu mengangguk mengerti. Paham akan du-
duk permasalahannya.
"Kalau begitu maafkan aku dan adikku, Saudara Pranata. Biar adikku aku yang
mengurus dan memberikan penjelasan."
"Sampaikan maafku padanya, Saudara Bayu...."
"Tak perlu kau suruh aku akan melakukannya, Saudara Pranata. Aku mohon pamit.
Rayi Ambar dan Paman Madewa, saya amit mundur."
Lalu Bayu pun berlalu.
Ambarwati memeluk suaminya erat-erat. Bila
saja saat itu suaminya tidak sedang mencemaskan dirinya dan kuatir akan Sepasang
Manusia Srigala, tentu dia akan marah besar.
Madewa mendehem.
Keduanya menoleh.
"Sebaiknya kita kembali ke Perguruan Topeng Hitam sekarang...."
"Ayah...." kata Pranata kemudian.
"Ada apa, Anakku?"
"Sebenarnya... kedatangan kami ke Perguruan Topeng Hitam, untuk minta restu pada
ayah dan ibu, kalau aku dan istriku hendak pergi bertualang...."
"Maksudmu?"
"Kami akan bertualang, mencari pengalaman...."
"Kalau itu maumu, lakukanlah. Karena aku dan ibumu dulu adalah para petualang.
Lakukanlah!"
"Terima kasih, Ayah," kata Pranata.
"Terima kasih, Ayah," kata Ambarwati pula.
"Tolong sampaikan salam kami pada ibu,
Ayah...." kata Pranata.
"Baiklah... pergilah. Pesan Ayah berhati-
hatilah...!" Sehabis berkata begitu tubuh Madewa pun melesat.
Lalu Pranata Kumala dan Ambarwati pun berja-
lan. Memulai petualangannya.
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Fujidenkikagawa


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PDF: Abu keisel
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Document Outline
*** 2 *** *** 4 *** 5 *** 6 TAMAT Pendekar Jembel 6 Tugas Rahasia Karya Gan K H Memanah Burung Rajawali 32
^