Pencarian

Sepasang Manusia Serigala 1

Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Bagian 1


SEPASANG MANUSIA
SERIGALA Oleh Fahri Asiza
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Sepasang Manusia Serigala
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Pagi itu udara cerah. Matahari baru sepengga-
lah. Sinarnya membiasi seluruh dunia dan seba-
gian kecil yang menerpa halaman Perguruan To-
peng Hitam. Di halaman itu, murid-murid pergu-
ruan Topeng Hitam sedang berlatih. Senjata anda-lan perguruan Topeng Hitam
adalah sepasang pe-
dang. Mereka semua mengenakan pakaian hitam-
hitam dengan wajah berselubung topeng hitam.
Di depan mereka, nampak seorang wanita se-
tengah baya sedang memimpin mereka berlatih.
Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa Gumilang atau yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma.
Tahun demi tahun telah membuat wanita se-
tengah baya itu semakin arif. Dan kecantikannya nampak terus terpancar di
wajahnya yang berkulit putih. Tidak seperti murid-muridnya yang berpakaian
hitam-hitam, Ratih Ningrum mengenakan
pakaian warna putih yang ringkas, yang mencetak bentuk tubuhnya yang bagus.
"Bagus! Coba ulangi gerakan yang saya lakukan tadi!" desisnya setelah memberi
contoh. Serentak para muridnya membuat gerakan yang
sama. Kaki kanan dimajukan satu langkah. Posisi kuda-kuda condong ke belakang.
Pedang ditaruh di dada. Dan tiba-tiba pedang itu bergerak dengan cepat ke kanan sambil meloncat
bersalto ke belakang. Lalu berbalik pedang menyabet ke bawah,
disusul dengan jotosan tangan kiri ke arah depan.
"Bagus!" seru Ratih Ningrum puas. Lalu ka-
tanya, "Kalian boleh beristirahat!"
Belum lagi ada yang bergerak dari tempatnya,
terdengar derap langkah kuda bergegas memasuki pintu gerbang perguruan Topeng
Hitam yang ber-tembok cukup tinggi. Di atas punggung kuda itu tergolek sosok
tubuh berpakaian hitam-hitam.
Dengan sekali salto dan satu sentakan, Ratih
Ningrum menghentikan lari kuda itu. Dia menggeram marah ketika mengetahui satu
sosok tubuh itu adalah salah seorang muridnya. Dan telah
menjadi mayat! "Bangsat! Siapa yang telah melakukan perbuatan biadab dan keji ini!" geramnya
marah setelah memperhatikan tubuh yang hancur itu.
Para muridnya yang mengerumuni pun tak ka-
lah geramnya. Ratih Ningrum melihat ada sebilah batang kayu terselip di bawah
mayat itu. Hati-hati dia mengambilnya. Ada huruf bertekan dalam dengan bertintakan darah.
Ratih Ningrum diam-diam mendesah kagum melihat tenaga dalam
yang menuliskan itu sungguh hebat. Hati-hati dia membacanya, Madewa Gumilang,
kini telah tiba aj-al bagimu. Salam perkenalan dari kami Sepasang Manusia
Srigala yang menghadiahkan mayat murid Perguruan Topeng Hitam.
"Sepasang Manusia Srigala?" desah Ratih Ningrum. "Siapa pula mereka" Dan ada
urusan apa dengan suamiku?" Lalu dia berkata pada murid-muridnya, "Tolong kalian
urus mayat saudara seperguruan kalian ini?" Kemudian wanita itu melesat ke dalam
memasuki ruangan utama. Dicarinya suaminya yang nampak sedang bersemedi di
ruang semedi. Ratih Ningrum tidak mau mengganggu ketenan-
gan suaminya, makanya dia hanya duduk bersim-
puh menunggu semedi suaminya selesai.
"Aku sudah selesai, Ratih...." terdengar suara berat dengan nada berwibawa.
Sepasang mata yang terpejam tadi kini membuka, memperlihatkan sorot yang arif dan bijaksana.
"Maafkan istrimu yang telah mengganggu kete-nanganmu, Suamiku," kata Ratih
Ningrum sambil menjura hormat.
"Duduklah! Ada apa gerangan, Dinda Ratih?"
"Maafkan Dinda, Kanda... Ada satu masalah yang penting yang terpaksa harus Dinda
bicarakan dengan Kanda."
"Masalah apakah gerangan?"
"Sepasang Manusia Srigala telah membuat teror di perguruan kita, Kanda..."
"Sepasang Manusia Srigala?"
"Ya, Kanda."
"Apa maksud mereka sebenarnya?"
"Mereka... mereka ingin nyawa Kanda..."
"Mengapa itu yang mereka inginkan" Aku pun belum mengenal siapa mereka. Dan
menurut pera-saanku, aku tak punya salah dengan mereka. Ah, mungkin mereka salah
alamat, Dinda..."
"Apakah dengan kematian salah seorang murid kita yang dibuat hancur secara
mengerikan oleh mereka itu bukan bukti, Kanda" Apakah tulisan di kayu ini yang
ditujukan pada Kanda, membukti-kan mereka salah alamat, Kanda" Dinda pikir
tidak. Mereka datang untuk menteror Kanda...."
Madewa Gumilang tersenyum arif. Usia yang
semakin bertambah membuatnya lebih bijaksana.
Ditatapnya wajah istrinya yang malah semakin
bertambah cantik di matanya. Wanita yang telah menemaninya hampir 25 tahun.
Wanita cantik pu-tri pembesar Biparsena dari desa Bojongronggo
(baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
"Tenanglah, Dinda... Semua akan Kanda hada-pi...!"
"Tetapi, Kanda... yang membuat Dinda sedih, mengapa masih ada orang yang ingin
berbuat jahat kepada Kanda...?"
"Dinda Ratih Ningrum... semakin hari dunia semakin menua. Semakin hari kehidupan
selalu berubah. Dan semakin hari kejahatan di muka
bumi ini semakin meningkat. Ini berarti, kebaikan telah jauh di bawah kejahatan.
Sebagai manusia yang baik, kita harus membasmi setiap kejahatan.
Nah, kita sambutlah kedatangan Sepasang Manu-
sia Srigala itu dengan baik-baik. Kita tidak perlu menampakkan wajah
bermusuhan..."
"Selamat pagi, Ayah dan Ibu..." terdengar seruan di belakang mereka. Pranata
Kumala dan istrinya, Ambarwati menjura di belakang mereka.
"Hahaha... selamat pagi anak dan mantuku,"
sahut Madewa sambil bangkit berdiri. Jubah kebe-sarannya yang berwarna putih
semakin membuat-
nya nampak agung. Pranata Kumala pun diam-
diam semakin mengagumi ayahnya. "Bagaimana kabarnya Laut Selatan?"
"Semakin hari Laut Selatan semakin cantik, Ayah..." sahut Pranata. Memang, dia
dan istrinya tinggal di Laut Selatan. Di rumah istrinya yang du-lu disikat habis oleh
Sengkawung, ketua Partai Pengemis Sakti (baca: Pendekar Kedok Putih). Namun kini
rumah itu telah mereka betulkan kemba-li dan mereka tinggali.
"Dan kau bagaimana kabarnya, Menantuku?"
Kali ini Ratih Ningrum yang bertanya kepada Ambarwati.
Ambarwati menjura dengan hormat. Dia pun
kini tumbuh lebih dewasa, dari gadis manja kini telah mengalami pahitnya hidup
dan kenyataan. "Saya dalam keadaan sehat, Ibu...."
"Tentunya kalian letih, kalian beristirahat saja dulu," kata Ratih Ningrum pula.
Lalu anak dan menantunya itu berpamitan un-
tuk beristirahat. Setelah itu kembali Ratih Ningrum dan suaminya membicarakan
soal Sepasang Manusia Srigala.
Di kamarnya, Pranata Kumala tengah merebah-
kan tubuhnya. Walau sekilas, dia tadi dapat melihat wajah ibunya nampak
menyimpan sesuatu
yang dirahasiakan. Walaupun dia melihat wajah
ayahnya nampak tenang-tenang saja. Ah, ayah
memang seperti biasanya, selalu dapat menyimpan rahasia yang paling berat
sekalipun. Tetapi ada apa gerangan dengan ibunya" Men-
gapa ibu nampak begitu muram dan kesal sekali.
Mendadak Pranata bangkit dari merebahkan tu-
buhnya. Dia harus mencari tahu persoalan ini.
Istrinya yang sedang salin baju melirik, "Ada apa, Kakang?"
"Oh, tidak ada apa-apa, Rayi. Kakang ingin ber-
jalan-jalan di sekitar perguruan. Rayi ingin ikut serta?"
Ambarwati yang tengah kelelahan dan mengan-
tuk karena hampir semalaman mereka menung-
gang kuda, menggeleng pelan. "Pergilah, Kakang...
Saya ingin tidur sejenak."
Memang itu yang diharapkan Pranata Kumala.
Setelah mengecup kening isterinya, lalu dia pun keluar. Melewati pintu samping
untuk menghindari ayah dan ibunya.
Dia langsung menuju ke belakang gedung. Dan
di sana dia melihat ada sedikit keramaian. Ketika dia mendekat, rupanya
keramaian itu disebabkan ada sosok mayat yang tengah dimandikan.
"Hei, mayat siapa ini?" seru Pranata Kumala tak bisa menahan diri.
Beberapa orang murid segera menjura hormat
setelah mengetahui siapa yang bertanya.
"Kawan seperguruan kami, Putra Guru," kata salah seorang.
"Mengapa ini terjadi" Tubuh dan wajahnya hancur mengerikan?"
"Sepasang Manusia Srigala telah membunuh-
nya. Dan siap mencabut nyawa Rama Guru. Tetapi kami, para murid Perguruan Topeng
Hitam akan menyabung nyawa demi Rama Guru!"
"Kapan ini terjadi?" tanya Pranata Kumala kemudian.
"Setelah kami selesai berlatih, Putra Guru."
"Hmm, kalau begitu masalah ini rupanya yang membuat Ibu nampak muram dan kesal,"
kata Pranata dalam hati. Lalu dia pun segera masuk ke
dalam lagi, mencari ayah dan ibunya.
Ayah dan ibunya masih berada di tempat yang
tadi. Pranata Kumala langsung menjura, "Maafkan saya, Ayah dan Ibu, yang telah
mengganggu ketenangan kalian berdua."
"Hahaha... Pranata, ada apakah gerangan?"
tanya Madewa. "Siapakah Sepasang Manusia Srigala yang hendak membuat teror itu, Ayah?" tanya
Pranata tanpa berpura-pura lagi.
Pranata sempat melihat wajah ibunya yang se-
dikit terkejut. "Rupanya anakku dapat menebak apa yang tengah merisaukan
ibunya," desah Ratih Ningrum. Dia lupa, kalau Pranata yang sekarang ini adalah
Pranata yang telah menjadi seorang suami. Pranata yang hampir tujuh tahun
berguru di Gunung Muria.
Madewa pun tertawa. "Hahaha... baiklah, Anakku. Ayah sendiri tidak tahu siapa
Sepasang Manusia Srigala itu. Tetapi teror yang mulai dilancar-kannya tidak
boleh kita anggap remeh. Dan ten-
tunya kita selalu siap sedia menyambut kedatangan mereka."
"Rasanya saya tidak sabar untuk menghajar orang-orang itu, Ayah...."
"Sabarlah, barangkali saja dengan jalan damai kita bisa menghindarkan
kekerasan...."
Lagi Pranata Kumala mengagumi ayahnya yang
semakin arif dan bijaksana.
Tiba-tiba di luar terdengar keributan, seperti orang sedang berkelahi. Serentak
ketiganya me- lompat ke luar dan melihat sepasang manusia sedang dikeroyok oleh murid-murid
Perguruan To- peng Hitam. Kedua orang itu nampak lincah. Mereka bersal-
to ke sana ke mari untuk menghindari serangan-
serangan yang datang. Keduanya mengenakan pa-
kaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna
merah. Sedangkan murid-murid Topeng Hitam
semakin geram karena tak satu serangan mereka
pun yang masuk.
Hal itu membuat Pranata Kumala menjadi ge-
ram. Tiba-tiba dia mengibaskan tangan kanannya.
Dan selarik sinar merah berkelebat ke arah kedua orang itu yang langsung dengan
manisnya bersalto ke kiri dan ke kanan.
Melihat serangannya gagal, Pranata yang men-
duga sepasang manusia itu adalah Sepasang Ma-
nusia Srigala yang juga diduga oleh murid-murid Perguruan Topeng Hitam langsung
melesat ke depan. Dia langsung menyerang dengan jurus Tan-
gan Bayangan, warisan gurunya Ki Ageng Jayasih dari Gunung Muria. Mendadak saja
tangannya bergerak bagaikan seribu. Sungguh cepat dan bertenaga. Kedua manusia itu pun
mengerahkan ke-
mampuan dan kelihaiannya untuk menghindari
serangan Pranata Kumala.
Namun sepasang manusia yang sejak tadi
hanya menghindar saja, kini mulai membalas.
Yang laki-laki sambil bersalto mengirimkan sebuah pukulan ke arah kepala
Pranata. Yang perempuan langsung melompat kembali begitu kakinya men-darat di
bumi dan sambil berputar dia menendang
ke arah perut Pranata.
Menghadapi serangan beruntun itu, Pranata
bersalto ke samping. Disangkanya dia sudah dapat menghindari kedua serangan itu,
sungguh tak dis-angka, di saat keduanya masih di udara mereka
bisa bersalto ke arah Pranata dan mengirimkan serangan kembali.
"Hebat!" pekik Pranata mau tak mau. Menurutnya, bila Sepasang Manusia Srigala
ini tidak hebat, mana mungkin mereka berani menantang ayahnya. Dan mau tak mau
pula dia menjajaki kedua
serangan itu, lalu memapakinya dengan nekat.
"Des! Des!"
Kedua benturan itu menimbulkan suara yang
lumayan keras. Lalu masing-masing hinggap kem-
bali ke bumi dengan manis. Ketika akan saling
menyerang kembali, terdengar suara berwibawa,
"Hentikan!" Madewa Gumilang mengangkat tangan kanannya. Lalu menatap sepasang
manusia itu sambil tersenyum. "Sepasang Walet Putih... selamat datang di kediamanku yang
jelek ini...!"
Yang laki-laki tertawa. "Hahaha... agaknya mata kami ini masih terlalu buta
untuk melihat dalamnya lautan dan tingginya langit, Yang Mulia Madewa
Gumilang...."
"Gaok! Aku tetaplah Madewa Gumilang yang
dulu... hahaha!"
Lalu kedua laki-laki itu saling mendekat dan be-rangkulan. Membuat yang lain
keheranan. Lho,
bukankah mereka itu Sepasang Manusia Srigala"
"Telah lama kudengar nama besar Sepasang


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walet Putih, dan kini aku diberi kesempatan un-
tuk bersua denganmu dan istrimu, Sri Kemun-
ing...." "Madewa... nama besarmu sampai terdengar di pinggiran Gunung Slamet, sehingga
kujajaki dara-tan untuk berjumpa dengan orang yang bergelar
Pendekar Bayangan Sukma...."
Madewa melambaikan tangannya pada Pranata
Kumala. Dia mengenalkannya kepada Gaok dan is-
trinya yang sudah berada di sampingnya. Begitu pula dengan Ratih Ningrum.
"Pranata... mana mampu kau mengalahkan Sepasang Walet Putih, Gaok dan Sri
Kemuning, ma- jikan Gunung Slamet" Kau harus banyak belajar
kembali darinya...."
Pranata langsung menjura hormat dan minta
maaf. "Madewa, kakiku dan kaki istriku memang sengaja kami bawa ke mari untuk
menyambangi orang agung dan besar seperti kau. Namun ketika kami masuk ke sini, sikap para
pengawal dan murid-murid Perguruan Topeng Hitam nampak tidak
bersahabat pada kami. Apakah begini cara pe-
nyambutan Perguruan Topeng Hitam pada ta-
munya?" tanya Gaok setelah mereka berada di ruang perjamuan.
"Hahaha... maafkan aku, hai sahabat. Saat ini kami memang sedang menunggu
kedatangan tamu
yang lain...."
"Apakah kau sedang mengadakan hajatan?"
"Tidak, mereka datang untuk menteror!"
"Siapakah gerangan mereka?"
"Mereka menamakan dirinya Sepasang Manusia
Srigala...."
Mendengar nama itu disebutkan, wajah Gaok
berubah beringas. Begitu pula dengan istrinya, Sri Kemuning. "Kapan, kapan dia
akan datang?" ta-nyanya dengan suara bernafsu.
Madewa melihat ada sesuatu yang telah terjadi
pula pada diri Sepasang Walet Putih.
"Tenang, Sahabatku. Saudara Gaok... katakanlah sejujurnya, bahwa kalian
meninggalkan Gu-
nung Slamet bukan karena ingin menyambangiku.
Nah, katakanlah...!"
"Hahaha... kami memang benar-benar buta, tidak tahu dengan siapa kami
berhadapan. Yang
Mulia... kami akan berterus terang. Di samping ingin menyambangimu, dan istrimu,
kami memang sedang mencari tokoh jahat yang menamakan di-
rinya sebagai Sepasang Manusia Srigala."
"Apa yang mereka telah perbuat?"
"Mereka mengacau di kediaman kami, lereng gunung Slamet. Entah sudah berapa
banyak gadis dan perjaka yang mereka culik untuk memuaskan
nafsu mereka. Mereka sangat kejam. Belum lagi bi-la mereka berubah menjadi
srigala... tingkah mereka benar-benar seperti binatang itu. Rasa belas
kasihannya tak ada sedikitpun juga...."
"Mereka berubah menjadi srigala?" potong Madewa sambil manggut-manggut.
"Betul, Madewa yang agung. Mereka dapat berubah menjadi srigala!"
Kembali Madewa Gumilang manggut-
manggutkan kepala. Dulu dia pernah mendengar
tentang ilmu sihir yang bila sudah sampai pada
tingkat terakhir atau puncaknya bisa menjadi harimau. Atau juga, bagi yang
mempelajari ilmu harimau, lambat laun dengan amalan yang kuat dan ajian yang
hebat, dia pun kadang bisa berubah
menjadi harimau. Orang-orang menyebutnya ma-
nusia harimau. Dan sekarang datang pula orang yang bisa be-
rubah menjadi srigala dengan menamakan dirinya Sepasang Manusia Srigala. Madewa
mendesah. Betapa banyaknya ilmu sesat di dunia ini rupanya.
Menjadi srigala atau berubah menjadi hewan apa pun atau benda apa pun, itu sudah
menyalahkan kodrat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
"Kadang manusia suka melupakan hal itu. Mereka terlalu bernafsu untuk memiliki
suatu ilmu tanpa dipikirkan akibatnya atau efek sampingan-nya setelah ilmu itu
dipelajari dan dikuasai," desah Madewa dalam hati.
Madewa kembali menatap Gaok.
"Lalu apa lagi yang mereka perbuat?"
"Mereka menghancurkan desa kami. Suatu ketika, kami memergoki saat mereka sedang
beraksi. Manusia yang menamakan diri Sepasang Manusia
Srigala itu terdiri dari sepasang manusia yang amat tangguh dan tinggi ilmu
silatnya. Mereka ju-ga menguasai ilmu sihir yang hebat. Bentrokan
yang terjadi antara kami dengan mereka, kami dapat dikalahkan oleh mereka. Namun
rasa gejolak hati kami yang bersih, yang tidak menyukai kekerasan, dan dari
pihak golongan putih, meskipun kami sudah mengalami kekalahan, setelah sem-buh
kami pun turun dari Gunung Slamet untuk
mencari Sepasang Manusia Srigala yang entah telah melarikan diri ke mana."
"Hmm... sebenarnya, siapakah nama Sepasang Manusia Srigala itu?"
"Yang laki-laki bernama Laksamurka. Sedangkan yang perempuan bernama Dewi
Murni." Madewa terdiam. Merenung. Berpikir. Kini mu-
lai cukup jelas siapa sesungguhnya kedua manu-
sia srigala itu, yang datang dengan segenap teror-nya yang mengerikan.
Lalu Madewa menyuruh beberapa orang pem-
bantunya untuk menyiapkan kamar untuk kedua
tamunya. *** 2 Matahari hampir terbenam, setelah letih menja-
lankan tugasnya selama hampir 12 jam, bias-bias sinar merahnya masih membayang
di ufuk barat. Sebagian sinarnya masih menerangi dunia, dan si-sa-sisa biasnya kini menyinari
pula desa Bojongpanjang. Sebentar lagi malam akan datang.
Biasanya para penduduk desa Bojongpanjang
setiap senja bermain-main di halaman rumah. Mereka sangat menikmati senja yang
indah dan ma- nis. Namun minggu-minggu terakhir ini, keadaan menjelang malam sangat sepi. Tak
seorang pun yang terlihat keluar dari rumah. Semua pintu dan jendela telah tertutup rapat.
Ini terjadi sejak datangnya sepasang manusia
yang mengaku bernama Laksamurka dan Dewi
Murni. Kedatangan mereka semula disambut baik, namun lama kelamaan kelihatan
kedok mereka yang sesungguhnya. Tingkah laku mereka tak be-
radab. Bahkan tidak tanggung-tanggung lagi, Laksamurka memperkosa seorang anak
gadis di ha- dapan kedua orang tuanya. Dan sejak saat itu
keadaan mencekam menyelimuti desa Bojongpan-
jang. Ki Lurah Wiropura tak bisa berbuat apa-apa.
Dia pun sudah mendapat ancaman yang mengeri-
kan bila tak menyediakan seorang gadis dan seorang jejaka. Namun bagi Ki Lurah,
dia lebih baik mati daripada memenuhi permintaan biadab kedua orang itu.
Malam pun mulai turun. Dari kejauhan terden-
gar lolong panjang srigala bersahut-sahutan. Hal itu semakin membuat para
penduduk ketakutan.
Mereka berdoa banyak-banyak semoga tidak terja-di malapetaka yang menimpa
mereka. Tiba-tiba muncul dua sosok makhluk berkaki
empat dari balik hutan. Sepasang mata mereka
bersinar merah mengerikan. Lidah mereka keluar dan meneteskan air liur. Mereka
adalah dua ekor srigala yang nampak kelaparan. Dan pelan-pelan kedua srigala itu
melangkah menuju sebuah rumah kecil.
Penghuni rumah itu adalah sepasang pengantin
baru yang baru tiga hari menikah. Namun teror
Sepasang Manusia Srigala tidak memberikan ke-
sempatan lagi bagi keduanya untuk menikmati bu-
lan madu mereka.
Kedua srigala itu semakin mendekat.
Di dalam rumah, kedua pengantin baru itu sal-
ing dekap dengan erat. Mereka seolah mencium
bau amis yang menjijikkan, semakin lama semakin jelas tercium.
"Kakang...." desis istrinya ketakutan.
Suaminya seorang pemuda gagah perkasa den-
gan wajah tampan. Erat-erat didekapnya istrinya seolah memberikan ketenangan.
Padahal dia sendiri tak lebih sama dengan istrinya.
Tiba-tiba terdengar derak keras pada pintu be-
lakang. Istrinya semakin menggigil dalam deka-
pannya. Hati-hati dia mengambil parang besar
yang tersampir di tembok. Sigap dan siaga dia berusaha untuk menjaga istrinya.
Dan suara derak itu terdengar kembali. Menda-
dak pintu itu hancur berantakan. Bukan main ter-kejutnya mereka berdua begitu
melihat makhluk
apa yang berada di hadapan mereka. Sepasang
srigala dengan wajah buas mengerikan.
Sang suami bergerak dengan cepat mengayun-
kan parang besarnya ke arah kedua srigala itu.
Namun seperti mengerti bahwa parang itu men-
gancam mereka, kedua srigala itu tiba-tiba me-
lompat ke kiri dan menerkam. Buru-buru dia
mengayunkan parangnya.
Laki-laki itu gugup. Dia merasakan tubuh is-
trinya terkulai di dekapannya. Istrinya telah pingsan. Kini dia menjadi siaga.
Kedua srigala itu berdiri menatapnya dengan wajah beringas. Tiba-tiba, sungguh
tiba-tiba, sepasang mata merah itu beru-
bah menjadi putih dan tiba-tiba mengepul asap
putih menyelimuti kedua srigala itu. Laki-laki yang bernama Warto itu bingung.
Apa yang sedang terjadi"
Tiba-tiba asap putih tadi menghilang. Menghi-
lang pula kedua srigala itu. Sebagai gantinya kini berdiri di hadapannya dengan
sikap gagah dan
angkuh sepasang manusia. Dia adalah Laksamur-
ka dan Dewi Murni yang dapat menjelma menjadi
srigala. Laksamurka bertubuh besar dengan bulu-bulu
tangan yang menyeramkan. Wajahnya cukup lu-
mayan. Dengan bulu-bulu halus yang cukup lebat.
Yang menyeramkan darinya adalah pakaiannya
yang terbuat dari kulit srigala. Begitu pula dengan kalung yang berupa taring
srigala. Sedangkan yang berdiri di sampingnya, Dewi
Murni adalah seorang wanita yang cantik dengan tubuh yang indah dan padat.
Pakaiannya pun terbuat dari kulit srigala, namun berpotongan puteri rimba.
Menampakkan pahanya yang indah dan
sepasang buah dadanya bagian atas. Dia pun
mengenakan kalung mirip Laksamurka.
Keduanya tertawa melihat Warto tertegun. Sebe-
lum laki-laki itu berbuat apa-apa, Dewi Murni sudah berkelebat dan menotok urat
kaku laki-laki itu hingga terdiam.
"Hik... hik.. hik... makanan lezat untukku malam ini, Laksamurka...." Wanita itu
terkikik dengan suara yang menakutkan. Dia membelai-belai
pipi Warto yang hanya terbelalak tanpa bisa berbuat apa pun.
Laksamurka tertawa keras. "Aku pun memiliki hidangan yang cukup hangat, hanya
sayang dia masih pingsan...."
"Hik... hik... hik... penciumanmu tajam sekali, Laksamurka...!"
"Dan nafsu seksmu sangat kuat, Dewi Murni....
Sayang, aku harus menunggu gadis itu siuman
dari pingsannya."
"Dan aku sudah bisa memotong hidangan ku, bukan?" kata Dewi Murni sambil
mengerling genit.
Lalu dia melenggang mendekati Warto yang hanya bisa membelalakkan matanya dengan
gusar. Di-usapnya pipi laki-laki itu dengan genit. Warto memejamkan matanya. Dan
semakin memejamkan-
nya ketika Dewi Murni membuka pakaiannya ba-
gian atas sedikit. Pakaian yang minim itu, langsung menampakkan buah dadanya
yang bulat dan montok. "Hihihi.... mengapa kau memejamkan ma-tamu, Manis.... Ayo nikmatilah
tubuhku ini dengan sepuas-puasnya...!"
Dewi Murni menotok urat mata Warto hingga
kedua mata itu terbuka dan tak bisa ditutup lagi.
Dewi Murni semakin tertawa-tawa. Lalu perlahan-lahan dia membuka seluruh bajunya
hingga telanjang bulat di hadapan Warto. Sementara Laksa-
murka hanya terkekeh saja sambil menunggu istri Warto siuman.
Belum lagi musibah menimpa Warto dan is-
trinya, dari luar terdengar teriakan-teriakan keras yang menyuruh kedua orang
itu keluar. "Bangsat!" geram Dewi Murni atau manusia srigala betina sambil mengenakan
pakaiannya lagi.
"Siapa yang berani mengganggu keasyikan Dewi Murni, dia akan mampus dengan mayat
yang mengerikan!"
"Keluar dari sini! Hei, manusia-manusia dajal, keluar!"
"Warto, bagaimana keadaanmu"!"
"Bagaimana dengan istrimu"!"
"Hei, manusia busuk, keluar!"
Seruan-seruan ramai terdengar. Pintu depan
terbuka, muncul sepasang laki-laki dan perem-
puan dengan wajah siap mencabut nyawa. Kedua-
nya menggeram melihat sejumlah penduduk yang
bersenjatakan parang, pisau, tombak, clurit siap mengurung mereka.
Salah seorang di antara mereka adalah Ki lurah Wiropura. Laki-laki setengah baya
itu berkata dengan lantang, "Manusia srigala busuk! Tolong jangan ganggu
ketenangan kami!"
"Hahaha... Ki Lurah, sungguh besar nyalimu!"
desis Laksamurka. "Namun agaknya sia-sia keberanianmu dan kenekatan seluruh
penduduk desa ini untuk menghalangi sepak terjang Sepasang
Manusia Srigala!"
"Kami lebih rela mati daripada menjadi budak iblismu!" geram Ki Lurah marah.
"Ki Lurah... berpikirlah baik-baik sebelum kau membuang nyawa tuamu dengan
percuma...." berdesis Dewi Murni sambil mengerling genit.
"Malam ini, aku Wiropura, akan menyabung
nyawa dengan kalian berdua!"
Kedua manusia itu tertawa ngakak. Membaha-
na. Membelah malam yang semakin kelam.
"Ki Lurah... Ki Lurah..." berkata Laksamurka.
"Kau lihat dulu apa yang kau pegang itu"! Ular berbisa!"
Ki Lurah terkejut kaget ketika mendengar suara berdesis di tangannya. Tombak
yang dipegangnya telah berubah menjadi ular berbisa dan siap me-magut kepalanya.
Sigap Ki Lurah membuang ular
itu yang ketika jatuh ke tanah berubah kembali menjadi tombak.
"Ilmu sihir!" desisnya.
"Hahaha... dengan kepandaian seperti itu kau hendak mengalahkan bahkan membunuh
kami"!"


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tekadku sudah bulat untuk membasmi orang-orang seperti kalian!" seru Ki Lurah
mantap. Lalu melirik warganya yang kelihatan agak ketakutan.
"Jangan takut! Saudara-saudara! Kita bunuh kedua manusia ini beramai-ramai!
Serbuuuuu!"
Serentak warga yang agak ragu-ragu itu bangkit kembali semangat mereka. Mereka
menyerbu dengan mengacungkan senjata yang mereka pegang.
"Lihat apa yang kalian pegang"!" seru Laksamurka.
Para penduduk yang menyerbu serentak ber-
henti melangkah, dan masing-masing melihat senjata yang mereka pegang. Mendadak
semuanya be- rubah menjadi ular berbisa. Mereka menjadi pa-
nik. Beberapa orang tak sempat membuangnya
hingga mereka pun harus menemui ajal. Dan ular-ular itu terus menyerang mereka
dengan buas diiringi tawa menyeramkan dari kedua orang itu.
"Hahaha... lucu, lucu sekali!" seru Laksamurka tertawa.
Orang-orang itu menyabetkan batang kayu yang
mereka raih untuk mengusir ular-ular itu. Namun ular-ular itu sangat buas.
Sebentar saja hanya tinggal Ki Lurah dan beberapa orang yang masih sibuk
mengusir ular-ular itu. Sedangkan yang lain terkapar dengan tubuh membiru dan
mulut mengeluarkan ludah berbusa.
"Kalian jangan coba-coba menghalangi perbuatan kami!" seru Laksamurka.
"Dan hari ini kalian lebih mengenal siapa Sepasang Manusia Srigala, yang siap
untuk mencabut nyawa siapa saja! Juga nyawa Madewa Gumilang,
Pendekar Bayangan Sukma!" sambung Dewi Mur-ni. Berkat kegigihan Ki Lurah dan
beberapa warga yang masih hidup, mereka dapat membasmi ular-ular jejadian itu.
Yang setelah terpotong dua kembali ke asalnya menjadi senjata-senjata yang
mereka pegang tadi.
Ki Lurah melotot marah pada sepasang manusia
itu. Wajahnya berkeringat. Dia tidak menjadi gen-tar menyaksikan kehebatan kedua
orang itu. Ma- lah kemarahannya dan dendamnya semakin naik
memuncak. Walau apapun yang terjadi, dia tetap akan berusaha mengusir kedua
manusia dajal ini.
"Manusia-manusia iblis, kami siap menyabung nyawa dengan kalian!" serunya seraya
maju menyerang dengan parang di tangan kanannya ke
arah Laksamurka.
Melihat kenekatan Ki Lurah, Laksamurka hanya
tertawa. Dia cukup menggeser tubuhnya sedikit
hingga tebasan parang itu tidak menemui sasaran.
Dan tangannya bergerak dengan cepat menghan-
tam punggung Ki Lurah Wiropura yang terhuyung
ke depan dan muntah darah. Di samping pukulan
Laksamurka yang mengandung cukup tenaga, dia
pun terdorong oleh tenaganya sendiri saat men-
gayunkan parangnya.
Ki Lurah merasakan dadanya seakan remuk.
Bagai dihantam pukulan godam yang tiba-tiba
mengenai dadanya.
"Huak!" sekali lagi Ki Lurah Wiropura muntah darah, dan merasakan pusing yang
teramat sangat. Matanya berkunang-kunang. Dan mual pun
mulai menyiksanya.
Melihat hal itu beberapa warganya menjadi ma-
rah dan ikut menyerang. Serangan-serangan me-
reka ganas karena diliputi marah dan dendam.
Namun mereka bukanlah tandingan kedua manu-
sia itu. Yang dengan seenaknya menghabisi setiap gerakan mereka. Dan kelojotan
dengan tubuh hancur tak berbentuk.
Ki Lurah Wiropura yang masih sekarat, betapa
sedihnya menyaksikan warganya yang kembali te-
was di tangan kedua manusia itu.
Dia mencoba bangkit untuk membalas. Namun
tubuhnya terasa sakit dan berat sekali. Tetapi di-usahakannya juga untuk
bangkit. Dia harus
membalas. Harus! Harus!
Belum lagi dia tegak berdiri, mendadak Dewi
Murni menendang sebilah parang yang tergeletak di tanah. Bagai bernyawa, parang
yang ditendang itu meluncur dengan deras ke arah Ki Lurah yang terbeliak kaget
melihat datangnya parang itu.
Dan... "Aaakhh! Bless!"
Tak ampun lagi parang itu menancap menem-
bus dadanya diiringi dengan jeritan yang menyayat hati.
Memilukan. Dan mampuslah Ki Lurah Wiropura yang gagah
perkasa itu. Terdengar tawa kedua manusia srigala.
"Hahaha... orang-orang tak berguna!" seru Laksamurka. "Dewi, mari kita nikmati
lagi hidangan yang telah tersedia! Hahaha... untungnya hidangan kita ini tak
akan pernah basi! Bukan begitu, Dewi?"
"Betul! Betul!"
Dalam keremangan malam, terdengar dengusan
nafas dan ringkik kenikmatan diiringi desah kesakitan dan rintih kepedihan Warto
dan istrinya yang belum sempat menikmati apa artinya malam pengantin itu bagi
mereka. *** 3 Teror yang dilancarkan Sepasang Manusia Sri-
gala di desa Bojongpanjang pun menyebar ke seluruh rimba persilatan. Sepak
terjang keduanya
sangat mengerikan dan tak mengenal batas kasi-
han. Mereka tak segan-segan menurunkan tangan
telengas untuk mendapatkan apa yang mereka in-
ginkan. Banyak tokoh-tokoh dari golongan putih yang
mencoba menghalangi perbuatan mereka. Namun
mereka pun tak bisa berbuat banyak. Sebagian besar malah mampus di tangan
keduanya. Namun malam itu, beberapa sosok tubuh men-
dekati sebuah bangunan yang terletak di ujung
desa Bojongpanjang. Bangunan itu didiami oleh
Sepasang Manusia Srigala. Dengan mengambil
pengawal, pelayan, pembantu dan beberapa orang pemuas nafsu yang mereka culik
secara paksa dari beberapa desa.
Malam ini pun Laksamurka baru saja meraih
kenikmatan dengan menggumuli seorang perawan
cantik yang diculik tadi sore. Dia terkekeh melihat perawan itu menangis
meratapi nasibnya yang
sangat malang. "Hehehe... mengapa harus bersedih, Manis"
Bukankah kau sudah kuajak berkeliling ke sorga yang indah... hehehe...."
Wajah perawan itu pias. Ketakutan, sedih, ma-
rah, malu, dan kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa saat manusia iblis itu
menjarah tubuhnya.
Di luar bangunan itu, sosok-sosok tubuh yang
mendekat, mulai berpencar. Mereka terdiri dari li-ma orang. Di pinggang masing-
masing nampak ada sebilah pedang tipis yang tajam. Mereka adalah Lima Pedang Maut. Orang-orang
golongan pu- tih dari Timur. Mereka pun sudah mendengar se-
pak terjang dan kekejaman sepasang manusia srigala itu. Dan mereka bertekad
untuk menghenti-
kan aksi kekerasan yang mereka lakukan.
Para pengawal yang menjaga, dengan mudah
sekali dibungkamkan. Dan mereka pun bersalto
masuk ke dalam.
Tiba-tiba salah seorang berseru: "Hei, Sepasang Manusia Srigala! Muncullah
kalian di hadapan
kami!" Suaranya menggema. Menyentak telinga Lak-
samurka yang tengah bersiap menikmati tubuh
gadis itu lagi. Menjarah telinga Dewi Murni yang baru saja meraih kenikmatan
yang panjang dari
pemuda yang dipaksanya untuk melayaninya.
Dia pun bergerak cepat untuk berpakaian. Lalu
melesat keluar melalui jendela. Di ruang tengah nampak di hadapannya lima orang
berpedang berdiri gagah dengan tangan kiri mendekap di dada dan tangan kanan
memegang pedang yang ujung-nya berada di kaki kanan bawah.
Sikap mereka gagah dan jantan. Penuh perhi-
tungan. Dewi Murni terkekeh, "Hihihi... siapa rupanya kalian yang berani-beraninya
mengganggu Sepasang Manusia Srigala, hah!?"
"Kami, Lima Pedang Maut dari Timur yang akan menghentikan sepak terjang kalian!"
kata salah seorang yang bernama Suro Japara.
"Hihihi... rupanya malam ini aku kedatangan orang pemimpi... lucu, lucu!"
"Hhh! Jangan banyak bacot, Dewi Busuk! Kau akan merasakan kehebatan ilmu pedang
kami!" "Oh, ya" Hihihi... pemimpi-pemimpi yang ingin bermimpi dan bisa bermimpi lagi.
Kalian tentunya telah bermimpi bukan, kalau kepala dan tubuh ka-
lian terpisah akibat tanganku?"
Wajah Suro Jingga memerah. Tangannya makin
mengepal pedangnya. Geram.
Terdengar tawa Dewi Murni lagi. "Hihihi... bagus, bagus sekali. Jadi kalian
tidak terkejut bila kepala dan tubuh kalian terpisah!"
"Dewi... siapa yang datang malam-malam begini dengan sengaja untuk mengganggu
kenikmatanku, hah"!" terdengar suara di belakang Dewi Murni.
Laksamurka muncul dengan gagah.
Kelima orang itu segera memasang tenaga da-
lam mereka. Karena dalam suara yang dilontarkan Laksamurka mengandung tenaga
dalam yang bisa
menyerang mereka.
Diam-diam kelima orang itu pun kagum pada
Laksamurka. Mereka menjadi bersiap dan semakin berhati-hati.
"Laksamurka... aku pun merasa terganggu dengan kedatangan orang-orang tak
diundang ini. Ah, aku jadi bingung... mereka hendak kita suguhi
dengan apa, Laksamurka?"
"Itu tugas kau sebagai perempuan, Dewi!"
"Laksamurka, bagaimana bila mereka kita suguhi kotoran anjing saja! Kan banyak
terdapat di belakang!"
"Hahaha... betul, betul... mereka kita beri kotoran anjing! Karena mereka tak
ubahnya seperti
anjing!" Disindir sedemikian rupa, wajah Lima Pedang
Maut itu memerah. Dan tanpa dikomando lagi me-
reka segera mengurung kedua manusia itu yang
seakan tak sadar akan bahaya mengancam, kare-
na keduanya masih asyik bercakap-cakap.
"Wah, anjing-anjing itu mengurung kita, Dewi!"
"Itu lebih baik, Laksamurka. Mereka saja yang kita jadikan kotoran dan kita
berikan pada anjing."
"Betul, betul... heit!" Laksamurka langsung bersalto karena pedang dari kelima
orang itu sudah menyambar kakinya. Dan serentak di dalam bangunan itu terjadi
pertempuran yang sengit.
Ilmu pedang kelima Pedang Maut itu tak bisa
dianggap ringan. Mereka bergerak dengan cepat
dan tangkas. Permainan pedang mereka pun sam-
bung-menyambung tak putus. Satu menyerang,
yang lain menunggu. Lepas dari serangan itu, mereka pun menyambung.
Hal ini cukup membuat kedua manusia itu se-
dikit kewalahan.
Tiba-tiba Laksamurka membentak, "Awas se-
rangan!" Tubuhnya melenting ke atas dan menyerang ke arah Suro Japara. Sedetik
Suro Japara tidak menunduk, habislah riwayatnya. Serangan
yang mengandung tenaga dalam yang hebat itu lewat di kepala Sura Japara.
Melihat hal itu, Suro Japara semakin marah.
Serentak dia membentak, "Saudara-saudara! Bentuk Lima Barisan Menutup Lautan!"
Seketika empat temannya yang sedang menye-
rang, bersalto mendekatinya. Dan segera membentuk Lima Barisan Menutup Lautan.
"Hhh! Ilmu apa yang kalian pamerkan di hadapan Sepasang Manusia Srigala, hah"!"
tertawa Laksamurka.
Tetapi kelima orang itu tidak perduli. Barisan
itu pun dilakukan. Suro Japara berdiri di depan.
Di belakangnya dua orang berdiri dengan pedang yang seorang di tangan kiri dan
seorang lagi di tangan kanan. Begitu pula yang di belakang mereka. Dua orang
dengan posisi pedang yang sama.
Jarak mereka masing-masing dua meter. Memben-
tuk barisan sepanjang enam meter.
"Nah, silahkan kalian berdua tembus barisan ini!" seru Suro Japara, sambil
bersiap. Sepasang Manusia Srigala itu saling melirik. La-lu tanpa dikomando lagi keduanya
menyerang, memasuki barisan yang ketat itu.
Luar biasa. Barisan itu sukar untuk ditembus.
Setiap kali Laksamurka atau Dewi Murni menye-
rang, pedang-pedang itu pun menyambar hingga
mengurungkan niat mereka untuk menyerang te-
rus. Kalaupun mereka menyerang dari kiri, dua
buah pedang menyambut. Menyerang dari kanan,
begitu pula. Bila menyerang dari belakang, barisan itu memutar menutup barisan.
Bila menyerang Suro Japara yang berada di depan, serentak
keempat temannya maju membentuk horisontal
dengan pedang yang menyerang secara bergantian.
Sampai sekian jurus, Sepasang Manusia Srigala
itu pun belum mampu menembus pertahanan dan
serangan dari Lima Pedang Maut, yang benar-
benar tangguh dan hebat.
Mendadak pula barisan itu berpencar dan me-
nyerang dengan cepat. Namun setiap kali diserang, mereka kembali merapat dan
membentuk jurus
tadi, Lima Barisan Menutup Lautan.
Tiba-tiba Laksamurka berseru sambil bersalto
mundur, "Dewi Murni, hentikan serangan!"
Dewi Murni pun menarik tangannya pulang dan
bersalto berdiri bersisian dengan Laksamurka.
Lima Pedang Maut tertawa. Suro Japara menge-
jek, "Kalian jeri melihat pertahanan dan serangan kami, bukan" Nah, sebelum
mampus lebih baik
kalian berlutut! Atau kalian bunuh diri saja karena kami sudah muak melihat
tampang dan sepak terjang kalian semua!"
"Hahaha... jangan merasa di atas angin dulu, Anjing-anjing dari Timur! Kalian
harus ingat, dengan siapa kalian berhadapan sekarang ini! Kalian tengah berada
di sarang srigala! Dan srigala-srigala itu tak akan puas bila belum mencabik-
cabik tubuh kalian!"
"Srigala busuk! Buktikan ucapanmu!" bentak Suro Japara.
"Hahaha... rupanya kau tak sabar ingin cepat-cepat mampus. Baik, jangan sesali
nasibmu!" Sehabis membentak demikian, Laksamurka terdiam
sejenak. Lalu tertawa, "Lima Pedang maut, kalian lihat apa yang tengah kalian
pegang itu! Ular berbisa!"
Serentak kelima orang itu melihat pedang mere-


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ka yang telah berubah menjadi ular berbisa. Masing-masing segera melempar pedang
yang ada di tangan mereka. Selagi pedang tak ada di tangan mereka, mener-
janglah Laksamurka dan Dewi Murni. Tanpa am-
pun lagi dua jeritan terdengar. Dan dua nyawa melayang.
Melihat hal itu Suro Japara menjadi gusar dan
marah karena dia hanya ditipu oleh ilmu sihir. Tetapi ular-ular jejadian itu
terus mendekat dan menyerang mereka.
Dua orang lagi pun tewas dipatuk ular berbisa
hingga tubuh mereka membiru. Kini tinggallah Su-ro Japara yang dengan sebisanya
menghindari serangan patukan dari ular-ular itu.
Tiba-tiba dia bersalto dan menyambar salah
seekor ular itu. Dan menyabetkannya pada ular-
ular yang lain. Aneh, begitu tubuh ular-ular itu saling menyentuh, mereka
berubah kembali menjadi pedang.
Sigap Suro Japara menyambar sebuah pedang
yang tergeletak dan bersalto kembali. Lalu hinggap di tanah dengan ringannya.
Wajahnya memancarkan sinar pembunuhan, dendam dan sakit hati.
Apalagi dilihatnya empat mayat sahabatnya yang kini tergeletak tak jauh darinya
dengan tubuh luka parah dan wajah yang mengerikan mengeluarkan
darah. "Sepasang Manusia Srigala!" geramnya dengan wajah memerah karena menahan geram
yang sangat luar biasa. "Hari ini kau akan mampus mene-bus nyawa empat
saudaraku, hah!"
"Kini kau tinggal sendiri, Suro Japara! Ternyata kau masih besar mulut pula!"
kata Laksamurka sambil tertawa.
"Lebih baik kau menjadi pengawal kami, dan setiap malam... kau harus memberikan
kehangatan padaku!" terkikik Dewi Murni. Lalu mengerling genit. "Suro Japara... kau padahal
cukup ganteng, dan... ah, tubuhmu nampak begitu menggairah-
kan! Mengapa kau begitu bodoh hendak mem-
buang nyawamu dengan percuma menghadapi
kami" Kau sudah tahu bukan, tak ada seorang
pun yang dapat membunuh kami!"
"Hhh! Kau melupakan seseorang rupanya, Manusia Srigala!"
"Siapa dia"!"
"Kau melupakan manusia maha sakti yang bisa disejajarkan dengan manusia dewa,
Madewa Gumilang! Pendekar Bayangan Sukma! Kalian ru-
panya tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya langit, Manusia Srigala!"
"Hahaha... Madewa Gumilang" Tak lama lagi nama dia pun akan terkubur dalam-dalam
di dasar bumi!"
"Hhh! Rupanya kalian memang manusia-
manusia iblis! Baik, kini tinggal aku seorang dari Lima Pedang Maut. Tapi aku
bukanlah pengecut
yang suka melarikan diri sementara keempat saudaraku tewas di tangan kalian!
Nah, bersiaplah!
Aku akan mengadu jiwa dengan kalian!"
"Hihihi... lebih baik kau pikirkan tawaranku, Suro Japara! Pikirkanlah lagi...
hei!" Belum lagi selesai ucapan Dewi Murni, Suro Ja-
para sudah maju menyerang dengan tenaga pe-
nuh. Dewi Murni serentak melompat ke kiri dan
balas menyerang.
Sigap Suro Japara melompat dan kembali me-
nerjang. Tetapi kali ini Dewi Murni menjajakinya.
Ujung pedang Suro Japara yang hampir mengenai
dadanya, dia kibaskan dengan ujung jari telunjuk-nya. Lalu tangannya menghantam
ke arah dada Suro Japara, yang cepat menangkis. Namun sung-
guh di luar dugaannya, tenaga yang tersalur dari tangan Dewi Murni demikian
besar. Tangan Suro Japara terasa ngilu dan terdengar suara "krak!"
yang menandakan tangan-tangan itu patah.
Suro Japara terhuyung.
Laksamurka berseru, "Dewi, habisi saja! Jangan membuang waktu lagi!"
Dengan satu sentakan, tubuh Dewi Murni mele-
sat ke depan. Dan kepalannya menghantam dada
Suro Japara yang kini muntah darah. Dan tangan Dewi Murni bergerak cepat,
menyambar leher Suro Japara dan memuntirnya.
"Krek!"
Leher itupun patah!
Dewi Murni meludah sambil melemparkan tu-
buh. "Orang-orang tak tahu diuntung!" geramnya.
Sementara Laksamurka terbahak-bahak.
*** 4 Sepak terjang Sepasang Manusia Srigala yang
membuat onar serta membunuh Lima Pedang
Maut, cepat tersebar ke rimba persilatan.
Saat ini pun di ruang pertemuan perguruan To-
peng Hitam, sedang terjadi dialog antara Madewa Gumilang dengan Sepasang Walet
Putih. Di sana juga hadir Ratih Ningrum, Pranata Kumala dan is-
trinya Ambarwati.
"Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut, Madewa," kata Gaok pada
Madewa Gumilang.
"Benar, Ayah. Sebaiknya kita segera mencegah dan membasmi Sepasang Manusia
Srigala sebelum
mereka terus menerus membuat teror!" kata Pranata Kumala. "Atau sebaiknya...
biar saya yang mencari kedua manusia dajal itu, Ayah..." kata Pranata lagi yang
kali ini langsung dipegang tangannya oleh istrinya. Seperti memahami perasaan
istrinya yang nampak cemas, yang jelas terlihat dari pancaran kedua bola matanya
yang bening, Pranata Kumala membalas memegang lengan Am-
barwati. Madewa pun merasa sudah saatnya sepak ter-
jang kedua manusia itu dihentikan. Selama ini dia tidak mau bergerak karena
berharap kedua manusia itu akan insyaf dan menyadari kalau perbuatan mereka
sangat keliru. Namun tunggu punya tunggu keinsyafan itu tak
muncul pula. Madewa mendesah panjang. "Sampai kapan kejahatan ini akan
berlangsung?"
"Yah... kita memang harus segera menghentikan sepak terjang keduanya. Hal ini
tak bisa berlarut-larut. Baik, Pranata... kuijinkan kau bersama beberapa murid
Perguruan Topeng Hitam untuk
mencari jejak kedua manusia itu,..." kata Madewa dengan suara yang terdengar
arif dan bijaksana.
Pranata menjura. "Terima kasih, Ayah."
"Dan kau ingat, kau harus berhati-hati menghadapi mereka, Pranata!"
"Hmm... jangan kuatir, Madewa. Kami akan
menemani perjalanan Anak mas Pranata Kumala,"
kata Gaok yang melirik istrinya yang kemudian
mengangguk. Sudah tentu Ambarwati tidak mau membiarkan
suami pergi sendiri. Meskipun ditemani Sepasang Walet Putih, Ambarwati tetap
menyebutnya Pranata Kumala pergi sendiri, karena tanpa dirinya. Bila pergi
bersamanya, bolehlah dikatakan itu ditemani. Ambarwati sangat menyintai
suaminya. Lalu dia pun minta diijinkan ikut.
Bagi Madewa dan istrinya, Ratih Ningrum, hal
itu boleh saja untuk mereka. Yang penting Pranata Kumala sendiri memperbolehkan
istrinya menemaninya.
Sebenarnya Pranata hendak melarang istrinya
ikut, karena dia tidak mau istrinya terlibat kesuli-tan. Tetapi tatapan
Ambarwati yang begitu memohon dan kekeras-kepalaannya, sukar bagi Pranata untuk
menolak. Keesokan paginya, berangkatlah empat orang
itu beserta beberapa murid Perguruan Topeng Hitam dengan menunggang kuda.
Perjalanan yang
masih membuat tanda tanya di manakah dan ke
manakah mereka harus mencari sepasang manu-
sia iblis itu. Selama dua hari dalam perjalanan, tibalah me-
reka di desa Bojongpanjang. Begitu memasuki de-sa itu, semua menjadi keheranan.
Betapa su- nyinya. Hening. Desa itu bagai mati belaka. Desa yang dulu terdengar begitu
makmur, kini bagai
kuburan saja. Sepi, bahkan tak ada tanda-tanda
kehidupan yang dapat dikenali di sana.
Mereka beristirahat di pinggiran desa itu.
"Kakang Gaok... ada baiknya kita berpencar di sini," kata Pranata Kumala
kemudian, setelah mereka selesai bersantap siang. "Kupikir, bila kita selalu
bersama, akan susah adanya mencari Sepa-
sang Manusia Srigala. Waktu yang kita butuhkan akan lebih banyak. Jadi kupikir
pula, sebaiknya kita berpisah. Kita datang dari Utara, maka sebaiknya aku dan
istriku ke Barat, sedangkan Kakang dan Mbakyu Sri Kemuning ke arah Selatan.
Bagaimana, Kakang?"
"Kalau itu kemauanmu, Dimas... bolehlah. Kupikir usulmu itu baik sekali.
Pesanku, berhati-hatilah menghadapi manusia-manusia itu...." kata Gaok.
Dua jam kemudian mereka pun berpisah. Se-
perti yang sudah disepakati, Pranata Kumala dan istrinya serta beberapa murid
Perguruan Topeng Hitam pun berangkat ke Barat. Sedangkan Gaok
dan Sri Kemuning berangkat ke Selatan.
Namun tanpa setahu mereka, kedatangan me-
reka sebenarnya sudah dicium oleh Sepasang Ma-
nusia Srigala. Keduanya pun berpencar mencegat perjalanan mereka, sedangkan Dewi
Murni mengi-kuti jejak Gaok dan istrinya.
Malam hari, Pranata Kumala memerintahkan
untuk bermalam di sebuah hutan, yang terdapat
di desa Bojongpanjang.
"Agaknya di sini cukup aman," katanya kemudian. "Sampai sejauh ini kita belum
mencium tempat tinggal Sepasang Manusia Srigala itu. Tetapi
kita tetap harus waspada dan berhati-hati, karena keduanya adalah tokoh-tokoh
yang sakti!"
Mereka pun bermalam dengan penjaga bebera-
pa murid Perguruan Topeng Hitam.
Tengah malam tak jauh dari mereka bermalam,
sepasang mata nampak memperhatikan rombon-
gan kecil itu. Dia adalah Laksamurka. Dia menghi-tung hanya lima orang yang
menjaga, itu pun
nampak sudah terkantuk-kantuk akibat perjala-
nan yang jauh. Laksamurka memetik lima lembar daun di de-
katnya. Dan secara serempak kelima daun itu di-lemparkannya ke arah para
penjaga. Luar biasa, kelima murid Perguruan Topeng Hitam ambruk
dengan urat nadi di leher berdarah.
Tanpa mengeluarkan suara, Laksamurka keluar
dari persembunyiannya. Saat itu Pranata Kumala belum bisa memejamkan matanya
karena memikirkan di mana tempat persembunyian Sepasang
Manusia Srigala berada. Sementara istrinya sudah terlelap di sampingnya.
Pendengarannya yang cukup terlatih menang-
kap gerakan mendekati mereka. Sigap Pranata
Kumala berdiri. Dia merasakan ada desir angin
yang datang ke arah mereka. Serentak Pranata
berguling sambil mendorong tubuh istrinya. Tiga buah senjata rahasia berbentuk
taring srigala menancap di tanah.
"Bangsat keji!" geram Pranata.
Istrinya yang terbangun langsung bertanya,
"Ada apa, Kakang?"
"Bersiap-siaplah, Rayi... manusia srigala itu su-
dah mengetahui kedatangan kita...."
Ambarwati mengambil pedangnya yang tergele-
tak di sampingnya.
Pranata Kumala melompat ke depan. "Manusia busuk! Keluar kau dari
persembunyianmu!"
Seruan Pranata Kumala membangunkan bebe-
rapa murid Perguruan Topeng Hitam yang tertidur dan menjadi waspada melihat
Pranata Kumala nampak bersiaga.
Dari balik semak muncul Laksamurka dengan
sikap gagah. Dia tertawa melihat orang-orang itu dalam posisi siap tempur.
Matanya langsung nanar memerah melihat Ambarwati. Gairahnya mun-
cul. "Hahaha... kalian ternyata punya nyali juga!
Hmm, perkenalkan aku adalah Laksamurka salah
seorang dari Sepasang Manusia Srigala, yang
muncul untuk mencabut nyawa kalian!"
"Manusia dajal, maksud apa kau sesungguhnya membuat teror seperti ini"!" seru
Pranata Kumala.
"Anak muda, aku mengenali kau sebagai putra Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum!
Bagus, tidak dapat orang tuanya, anaknya pun sudah lu-
mayan! Hitung-hitung tak ada rotan akar pun ja-di!" "Laksamurka, omonganmu
begitu besar! Seperti kau begitu yakin mampu mengalahkan aku, hah"!"
"Hahaha... sebelum tubuhmu berkalang tanah, akan kuberitahukan mengapa aku
membuat teror seperti ini" Tak lain untuk memancing Madewa
Gumilang atau ayahmu keluar dari sarangnya.
Bukan sebagai seorang yang pengecut, yang bera-
ninya hanya bercokol di rumah!"
"Hmm... ada masalah apakah kau dengan
ayahku" Dari nada ucapanmu sangat terdengar
sekali nafsumu untuk membunuh ayahku!"
"Benar, aku dan Dewi Murni, Sepasang Manusia Srigala memang akan membunuh mampus
ayahmu! Dan merebut Seruling Naga dari tangannya!"
Pranata Kumala tercekat. Seruling Naga" Bu-
kankah seruling sakti itu berada di tangannya, di-hadiahkan ayahnya sebelum dia
menjadi murid Ki Ageng Jayasih tiga belas tahun yang lalu (baca: Kakek Sakti
dari Gunung Murid). Lalu ada apa gerangan dan kenapa Sepasang Manusia Srigala
ini hendak merebutnya"
"Laksamurka, Seruling Naga itu milik ayahku!
Mengapa kau hendak merebutnya?"
"Karena bukan dialah yang berhak memili-
kinya!" "Hei, apa maksudmu" Seruling itu pemberian dari Kakek Guru Ki Rengsersari atau
Pendekar Ular Sakti guru ayahku! Nah, dari fakta sejarah itu sudah jelas ayahku berhak
memiliki seruling sakti itu!"
Seruling Naga yang mempunyai kesaktian luar
biasa, dan bila ditiup bagi yang memiliki tenaga dalam pas-pasan akan hancur
telinganya karena
tak tahan mendengar suara seruling itu. Sedangkan bagi yang bertenaga dalam
besar, dia pun akan tersiksa sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.
Bentuk seruling itu sama dengan seruling bisa, hanya bedanya pada Seruling Naga
ada gambar sepasang naga. Seruling Naga itu memang pembe-
rian Ki Rengsersari kepada Madewa (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
"Hahaha... puluhan tahun yang lalu, seruling itu telah menjadi rebutan. Dan
sekarang pun tetap menjadi rebutan... hahaha! Nah, bersiaplah untuk mampus di


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanganku!" Laksamurka membuka jurusnya. Sebelum dia menyerang Pranata Kumala,
beberapa murid Perguruan Topeng Hitam mengu-
rungnya dengan pedang di tangan. Tanpa diko-
mando lagi pedang-pedang itu pun berkelebatan ke arah Laksamurka, yang
menghindar ke sana ke
mari dengan gerakan cepat.
"Manusia keparat! Kami datang untuk menun-tut balas pada nyawa kawan seperguruan
kami yang kau bunuh secara mengerikan!" seru salah seorang murid.
"Bagus! Majulah kalian, akan kubuat kalian menjadi sate!"
Pedang-pedang itu pun berkelebat kembali.
Laksamurka tidak hanya menghindar sekarang,
dia pun balas menyerang. Suaranya kini berubah menjadi mengerikan, seperti
lolong srigala yang sedang marah.
Tangannya bergerak dengan cepat membentuk
cakar srigala. Beberapa jeritan terdengar dengan menyayat hati disusul tubuh
yang ambruk dengan luka yang mengerikan. Tergores dalam hingga ke tulang sumsum.
Belum lagi yang terkena cakaran pada wajahnya, sangat menakutkan. Wajah itu
robek tak berbentuk.
Namun murid-murid Perguruan Topeng Hitam
sudah bertekad untuk membunuh manusia itu.
Mereka tidak takut mati. Tetapi mereka pun tak bisa berbuat banyak menghadapi
Laksamurka. Beberapa menit kemudian semua ambruk bergeli-
mang darah dan tanah.
Laksamurka tertawa. "Pranata, lebih baik kau bunuh diri saja sebelum kurobek-
robek wajahmu!"
"Bangsat keji!" yang berseru Ambarwati. "Malam ini pun aku bersabung nyawa
denganmu!"
"Hahaha... gadis manis. Siapakah kau sebenarnya?"
"Aku dan suamiku akan membunuhmu, Lak-
samurka!" "Suamiku" Hahaha... berarti kau istri manusia sombong ini" Bagus! Bersiaplah kau
untuk mene-maniku melewati malam yang dingin!"
Ambarwati tidak tahan mendengar omongan
yang kotor itu. Sambil menggeram dia menerjang dengan tusukan pedangnya ke arah
dada. Laksamurka hanya tertawa. Masih tertawa dia menghindari serangan itu dan
tangannya menepak lengan kiri Ambarwati yang langsung merasa kesemutan.
Melihat istrinya kena tampar, Pranata Kumala
menjadi marah. Dia merangkum kedua tangannya.
Dan menghentakkan ke depan. Muncullah selarik
sinar merah ke arah Laksamurka.
"Pukulan Sinar Merah!" seru Laksamurka sambil menghindar. Sinar merah itu
menghantam po- hon di belakangnya yang langsung hangus bera-
sap. "Ada hubungan apa kau dengan majikan Gunung Muria?"
"Dia adalah guruku! Nah, bersiaplah untuk mampus!" Kembali Pranata Kumala
melancarkan pukulan sinar merahnya, membuat Laksamurka
menjadi sedikit kerepotan.
Sambil bersalto dia melemparkan senjata raha-
sianya yang membuat Pranata Kumala menghenti-
kan serangannya dan menghindari senjata rahasia itu.
Kesempatan itu dipergunakan Laksamurka un-
tuk menyerang. Terjadilah bentrokan tangan ko-
song yang cukup hebat. Pranata pun mengelua-
rkan jurus Tangan Bayangannya. Sepuluh jurus
pertempuran itu telah berlangsung.
"Tidak sia-sia kau berguru pada Ki Ageng Jayasih!" seru Laksamurka yang mau tak
mau dibuat kagum juga oleh Pranata. "Tapi coba tahan seranganku kali ini!"
Sambil bersalto dua kali ke belakang, Laksa-
murka merangkum kedua tangannya di dada dan
hinggap di bumi dengan manisnya. Dia membuka
jurus Srigala Menangkap Mangsanya yang sangat
hebat. Sambil menggeram dia kembali menyerang. Kali
ini Pranata Kumala yang dibuat sibuk untuk me-
nahan serangan-serangan yang datang secara be-
runtun. Cepat dan penuh tenaga. Cakar-cakar
maut Laksamurka bisa mendatangkan petaka bagi
Pranata Kumala bila dia lengah sedikit.
Melihat suaminya cukup terdesak, Ambarwati
pun melesat menerjang Laksamurka dengan ayu-
nan pedangnya. Laksamurka yang siap hendak
menyabetkan cakarnya ke wajah Pranata Kumala,
jadi berbalik dan menepis pedang Ambarwati.
"Des!"
Disusul dengan sebuah jotosan ke arah perut
Ambarwati. "Des!"
"Aduh!"
Tubuh itu terhuyung ke belakang. Karena terla-
lu marah dan emosi melihat suaminya terdesak,
Ambarwati tidak memperhitungkan kesaktian Lak-
samurka, salah seorang dari Sepasang Manusia
Srigala. Melihat hal itu, Pranata Kumala menjadi marah
sekali. "Bangsat hina! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Hahaha... kau hanya mengantarkan nyawa secara sia-sia," desis Laksamurka sambil
ngakak. "Bangsat! Lihat serangan!" Kembali Pranata melesat dengan jurus Tangan
Bayangannya dan Sa-
puan Kaki Membelah Langit. Dia bertekad untuk
mengadu jiwa. Dipadukannya dua jurusnya yang
hebat itu. Benar saja, Laksamurka kini yang terdesak setelah lewat sekian jurus.
"Kunyuk! Jahanam!" serunya kocar-kacir. Dan Pranata sempat menghadiahkan sebuah
tendangan yang tepat bersarang di dada Laksamurka.
Laksamurka menggeram. "Bangsat cilik, kau berani-beraninya menendangku, hah"!"
"Sudah kubilang, aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Baik, jangan sesali kata-katamu itu!" geram Laksamurka. "Hmm... lihat di
sampingmu, Anak muda! Hahaha... lihatlah... betapa banyaknya
ular-ular berbisa yang akan siap menelanmu dengan bisanya!"
Pranata menoleh ke kirinya dan mendadak dia
melihat sepuluh ekor ular berbisa yang mendesis-desis dan siap menyerangnya.
Serentak Pranata
melompat ketika ular-ular itu mematuknya dan
mengejarnya dengan serentak. Ular-ular itu seakan mengerti perintah tuannya
hanya dia yang diserang, karena Ambarwati tidak diserang. Pe-
rempuan itu sedang menahan rasa sakit di da-
danya dan bergidik ngeri melihat suaminya yang diserang ular-ular itu. Rasa
cemas dengan cepat menyergap perempuan itu.
Dia melirik Laksamurka yang terkekeh-kekeh
melihat Pranata Kumala melompat ke sana ke ma-
ri. Ambarwati merasa, bila Laksamurka berhasil dikalahkannya, niscaya ilmu
sihirnya akan punah.
Dia harus menyerang. Berpikiran seperti itu, dia menjadi nekat. Tanpa memikirkan
lukanya dan akibatnya, dia menerjang.
"Iblis busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu!"
Tubuhnya berkelebat. Laksamurka menyambut
dengan menghindar ke kiri. Tetapi perempuan itu bukanlah tandingannya yang
berarti, karena sebentar saja dia sudah berhasil mematahkan se-
rangan-serangan Ambarwati. Bahkan meringkus
perempuan itu. Dan menotoknya.
"Hahaha... kau berani-beraninya berbuat lancang dengan Laksamurka, Manis... kau
akan me- rasakan akibatnya nanti... hahaha!" Lalu ia berseru pada Pranata Kumala: "Anak
muda... kau lihat istrimu, bukan" Hahaha... sebentar lagi akan menjadi hidangan
makan malamku yang sangat men-
gasyikkan! Kulihat tubuhnya sangat montok den-
gan dada yang aduhai!"
"Anjing buduk! Jangan kau ganggu istriku?"
bentak Pranata sambil melontarkan pukulan sinar merahnya pada ular terakhir yang
menyerangnya, yang kemudian menjadi ranting. Dia bermaksud
hendak menyerang Laksamurka dengan pukulan
sinar merahnya, tetapi urung karena istrinya berada dalam kekuasaan manusia
srigala itu. Prana-ta hanya bisa menggeram marah. Lebih marah lagi ketika
Laksamurka menjawil dagu istrinya. "Lepaskan istriku, Srigala busuk!"
"Hahaha... mana aku mau melepaskan hidan-
gan makan malamku ini"!"
"Lepaskan! Bertarung denganku sampai mati kalau kau berani!"
"Hahaha... Anak muda, carilah istrimu ini bila kau memang ingin mendapatkannya!"
seru Laksamurka sambil menggendong Ambarwati. Lalu
tubuhnya melompat menerobos kepekatan malam.
Hanya suaranya saja yang terdengar menggema
membelah malam.
"Tungguuu! Jangan kau ganggu istriku!" seru Pranata Kumala sambil mengejar. Ke
mana pun akan dicarinya istrinya. Dan dia bertekad akan mengadu nyawa dengan Laksamurka
bila istrinya diganggu, dan demi istrinya, Ambarwati!
*** 5 Sementara itu, Sepasang Walet Putih baru saja
turun dari kuda-kuda mereka. Melihat malam
yang semakin larut, keduanya bermaksud untuk
bermalam saja. "Agaknya tempat ini cukup aman, Rayi," kata Gaok setelah mengikat kudanya.
"Ya, Kakang. Aku pun sudah terlalu lelah."
"Kau tidurlah... biar aku yang menjaga...."
"Tapi kondisimu, Kakang...."
"Tidak apa-apa."
"Bangunkanlah aku bila kau benar-benar men-gantuk...." kata Sri Kemuning sambil
hendak mengikat kudanya pula. Tiba-tiba saja dia menangkap ada desir angin yang
datang kepadanya. Dengan
sigap dia bersalto ke belakang.
"Cep! Cep! Cep!"
Tiga buah senjata rahasia menancap di ku-
danya yang langsung meringkik dan kemudian terjengkang mampus.
Gaok menjadi siaga.
"Bangsat busuk! Siapa yang berani menyerang istriku secara pengecut seperti ini,
hah"! Cepat keluar dari persembunyianmu, sebelum kuobrak-
abrik hutan ini"!"
Mendadak melenting sesosok tubuh dengan
manis dan hinggap di bumi dengan anggunnya.
Dewi Murni mengikik di hadapan keduanya.
"Hihihi... rupanya Sepasang Walet Putih yang berkeliaran malam-malam begini..."
"Wanita iblis! Akhirnya kau nongol juga rupanya!" bentak Gaok marah.
"Kalian sengaja mencariku, ya" Hmm... rupanya kalian belum kapok menghadapi
Sepasang Manusia Srigala."
"Kami akan mencabut nyawa iblismu. Di mana kawanmu itu, Iblis Betina?"
"Hihihi... rasa-rasanya dia tengah menikmati ranumnya tubuh Ambarwati sekarang.
Dan telah mengganyang habis menjadi mayat Pranata Kuma-
la...." Sadarlah kedua tokoh dari golongan putih itu
akan bahaya yang sedang menimpa Pranata Ku-
mala dan istrinya. Mereka dapat menduga kalau
Pranata Kumala dan istrinya akan menjadi sasa-
ran empuk salah seorang dari Sepasang Manusia
Srigala. Tetapi tentu saja mereka tidak menam-
pakkan kekuatiran itu.
"Hmm.. Dewi Murni, kawanmu yang bernama
Laksamurka yang kukira sudah menemui ajalnya
di tangan murid tunggal Ki Ageng Jayasih!" seru Gaok yang sengaja membawa nama
majikan Gunung Muria itu.
"Hihihi... kalian rupanya sedang bermimpi di siang bolong! Kalian berdua yang
dikukuhkan sebagai majikan Gunung Slamet harus kocar-kacir
menghadapi kami! Apalagi anak yang masih kema-
rin sore untuk unjuk gigi di rimba persilatan bisa mengalahkan salah seorang
dari Sepasang Manusia Srigala! Kalian memang tengah bermimpi!"
"Omongan manusia ini memang kenyataan," desis Gaok. Rasanya terlalu berat buat
Pranata Ku- mala dan istrinya untuk menang dari Sepasang
Manusia Srigala.
Sri Kemuning rupanya sudah bosan untuk ber-
basa-basi segala, dia langsung menyerang dengan jurus Sambaran Walet Ke Sarang
Musuh. "Hihihi... rupanya istrimu pemarah sekali!" kikik Dewi Murni sambil menghindar
ke kiri dan membalas dengan sebuah cakaran ke arah buah dada
Sri Kemuning yang langsung menarik pulang tan-
gan kanannya dan menangkis serangan itu.
"Des!"
Keduanya terpental ke belakang karena masing-
masing tangan sudah dialiri tenaga dalam yang
lumayan. Begitu hinggap di tanah, Sri Kemuning kembali melancarkan serangannya.
Kali ini Dewi Murni langsung memapaki dengan kecepatan yang
sama. Kembali kedua benturan terjadi.
"Des! Des!"
Kali ini Sri Kemuning yang terhuyung ke bela-
kang sementara Dewi Murni telah berdiri gagah
sambil terkikik-kikik. Melihat hal itu, Gaok pun langsung menyerang.
"Kenapa tidak sejak tadi kau bantu istrimu, hah"!" seru Dewi Murni sambil
menghindar dan menyerang. "Ayo kalian keroyok aku! Biar tidak memakan waktu lama
untuk menghabisi kalian!"
Diejek seperti itu membuat Sri Kemuning men-
jadi marah teramat sangat. Dia langsung mener-
junkan diri. Menurutnya, bila mereka menyerang berdua, manusia ini akan lebih
mudah dilumpuh-kan.
"Bagus!" seru Dewi Murni sambil menghindari serangan Sri Kemuning. "Tapi sayang,
agaknya dua orang majikan Gunung Slamet harus menemui ajal di malam yang buta
ini!" Setelah berkata begitu dia menyerang dengan
membabi buta. Cakar-cakar srigalanya siap men-
cabut nyawa masing-masing. Dia pun sudah
menggunakan jurus Srigala Menangkap Mangsa
yang juga dimiliki oleh Laksamurka. Jurus Srigala Menangkap Mangsa memang
diciptakan oleh mereka yang lebih dahsyat bila dimainkan oleh seorang wanita.
Dan jurus yang berada di tangan De-wi Murni ini kini kian merajalela dengan
hebat. Sepasang Walet Putih pun sudah menggunakan
jurus berkelit mereka, Walet Terbang Ke Langit.
Dan sekali-sekali masih mencoba untuk membalas menyerang.
Namun gempuran-gempuran Dewi Murni begitu
dahsyat, sementara kemudian terdengar seruan
Sri Kemuning mengaduh. Tangannya tersayat
hingga mengeluarkan darah. Hal ini semakin
membuat geram Gaok. Dia menyerang sambil


Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan jeritan yang keras.
Karena diliputi dendam dan amarah, serangan
Gaok menjadi membabi-buta. Dia tidak bisa lagi mengontrol serangan-serangannya.
Apalagi ketika mengetahui istrinya merintih-rintih kesakitan.
Gaok pun melihat kalau tangan istrinya berubah menjadi memerah. Itu bertanda
serangan Dewi Murni mengandung racun yang luar biasa.
"Hihihi... sebentar lagi ajal akan menjemput istrimu, Walet jelek!" kata Dewi
Murni sambil balas
menyerang. Dan baginya kini hal yang mudah. Karena serangan Gaok di luar
kontrol. Tiba-tiba Dewi Murni menjerit dan melompat
menerkam. Sambaran tangan kanannya yang ber-
bentuk cakar menjambret dada Gaok dan mengi-
barkan sebagian pakaiannya yang terkoyak.
"Kali ini pakaianmu, Walet jelek! Sebentar lagi dadamu yang akan kurobek!"
Kemarahan Gaok semakin memuncak. Seran-
gannya semakin membabi-buta. Dan ini memu-
dahkan Dewi Murni untuk segera menghabisinya.
Setelah lima jurus kembali berlalu, Dewi Murni semakin mudah menghabisi langkah
lawannya. "Des! Des!"
Dua pukulannya secara beruntun mengenai sa-
sarannya. Gaok terhuyung. Selagi dia terhuyung, Dewi Murni meneruskan
Pendekar Remaja 3 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Tamu Dari Gurun Pasir 7
^