Pencarian

Setan Selaksa Wajah 2

Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah Bagian 2


berbuat apa-apa kecuali memperhatikan dan menunggu apa yang akan dilakukan oleh
si Pendekar Bodoh
Seno Prasetyo. "Hei! Semakin lama kau berpikir, semakin pendek waktumu untuk menyelamatkan
Kemuning!" ujar
Setan Selaksa Wajah,
Seno menggeragap seperti baru disadarkan dari
lamunan panjang. Sesaat ditatapnya wajah Mahisa Lodra, lalu tatapannya kembali
ke gumpalan sinar putih
yang berada di telapak tangan kanannya.
"Ikan Mas Dewa...," desis Seno dengan kepala
tetap tertunduk. "Bukan aku tak menghargai benda
pemberianmu ini. Tapi, aku mesti menyelamatkan
nyawa Kemuning. Terpaksa aku menyerahkan Kodok
Wasiat Dewa pemberianmu kepada binatang laknat
itu!" Usai mengucap kata-kata yang ditujukan kepada Ikan Mas Dewa, Pendekar Bodoh
menatap lekat wajah Setan Selaksa Wajah. "Bila kau tak menepati katakatamu,
sampai ke ujung langit pun aku akan mengejarmu untuk membuat perhitungan!"
katanya seraya melemparkan Kodok Wasiat Dewa kepada Setan Selaksa Wajah.
Hup! Cekatan sekali Mahisa Lodra menangkap gumpalan cahaya putih yang dilemparkan ke
arahnya. Benda ajaib yang semula tersimpan di dalam perut
Ikan Mas Dewa itu lalu diamat-amati dengan bola mata berbinar senang.
"Kodok Wasiat Dewa....! Kodok Wasiat Dewa...!"
seru Setan Selaksa Wajah, melonjak girang. "Ha ha
ha...! Aku telah mendapatkannya! Aku telah mendapatkannya! Ha ha ha...!"
Selagi Mahisa Lodra tertawa bergelak-gelak,
Seno mendelikkan mata. Seno khawatir bila Mahisa
Lodra akan mengingkari kata-katanya. Namun, bila hal
itu memang terjadi, Seno bermaksud mengadu jiwa.
Maka tanpa pikir panjang lagi, dia menyiapkan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan
Langit'! Di lain kejap, kedua pergelangan Seno berubah warna menjadi putih
berkilat! "Kau tampak begitu tegang, Seno...," tegur Mahisa Lodra sambil menimang Kodok
Wasiat Dewa. "Aku
tahu kau telah mempersiapkan ilmu pukulan yang berasal dari salah satu bagian
Kitab Sanggalangit. Tapi...,
hemmm..., sudah kubilang tadi, aku tak akan mempermainkan mu. Aku benar-benar
akan mengatakan di
mana letak Lembah Dewa-Dewi. Sekarang buka telingamu baik-baik...."
Semakin tegang hati Seno. Sekujur tubuhnya
gemetaran, tak kuasa menunggu ucapan Mahisa Lodra. Sementara, Mahisa Lodra
sendiri tampak tersenyum-senyum. Perlahan tangannya mengeluarkan sebuah kantong
kain terbuat dari kain putih. Setelah
menyimpan Kodok Wasiat Dewa ke dalam kantong itu,
Mahisa Lodra menyimpannya kembali ke balik baju.
"Cepat katakan!" bentak Seno, tak sabaran.
Mahisa Lodra tersenyum. "Buka telingamu
baik-baik...," katanya. "Aku tak bisa mengatakan secara pasti di mana letak
Lembah Dewa-Dewi...."
"Jahanam!" sela Seno sikapnya seperti hendak
mengirim pukulan jarak jauh.
"Uts! Tunggu!" Mahisa Lodra mengangkat telapak tangan kanannya. "Jangan salah
mengerti! Karena
suatu hal yang sudah menjadi aturan, aku memang
tak bisa mengatakan di mana letak Lembah DewaDewi. Tapi..., buka telingamu baik-
baik, ada kata sandi
yang harus dapat kau pecahkan untuk dapat menyelamatkan jiwa Kemuning. Sandi itu
adalah 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air'...!"
Usai berkata, Setan Selaksa Wajah menjejak
tanah seraya berkelebat pergi. Seno yang masih penasaran tentu saja tak mau
membiarkan kakek berwajah
pemuda itu menyingkir begitu cepat. Namun sebelum
Seno mengerahkan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', mendadak terdengar sebuah
seruan.... "Waktumu sangat singkat! Pecahkan sandi yang
kau dapat! Aku yang akan mengurus Mahisa Lodra!"
Seruan itu dibarengi dengan berkelebatnya sesosok bayangan putih yang langsung
mengejar Setan Selaksa Wajah. Seno tak dapat mengenali si bayangan
karena kelebatan tubuhnya amat cepat luar biasa, tak
kalah dengan ilmu 'Angin Pergi Tiada Berbekas' milik
Setan Selaksa Wajah ataupun 'Lesatan Angin Meniup
Dingin' milik Seno sendiri.
"Hei! Siapa kau?" teriak Seno. Tapi, si pengejar
Mahisa Lodra yang sebenarnya adalah lelaki bertopeng
baja putih, tak menghiraukan teriakan Seno, Namun,
lamat-lamat Seno mendengar sebuah bisikan yang disampaikan dengan ilmu pengirim
suara jarak jauh.
"Suatu saat nanti, aku pasti akan menemuimu.
Ada banyak hal yang ingin kuketahui tentang jati dirimu. Namun, agar kau tak
penasaran, kau bisa mengingat ku dengan sebutan Ksatria Topeng Putih."
Mendengar bisikan itu, untuk beberapa lama
Seno terpaku di tempatnya. "Ksatria Topeng Putih....
Ksatria Topeng Putih...," desisnya. "Siapa dia" Apakah
dia berada di pihakku" Hmmm.... Siapa pun dia, yang
pasti dia mempunyai urusan dengan Mahisa Lodra.
Mudah-mudahan dia bisa menyelamatkan Kodok Wasiat Dewa agar tidak disalahgunakan
oleh Mahisa Lodra...."
Seno menatap sang baskara yang telah naik sejengkal dari garis cakrawala timur.
Teringat akan persoalan pelik yang dihadapinya, Seno cuma dapat cengar-cengir
sampai beberapa saat. Jalan pikirannya jadi
buntu mendadak. Haruskah dia mengejar Mahisa Lodra yang membawa Kodok Wasiat
Dewa" Tapi, bukan-
kah Ksatria Topeng Putih telah berpesan bahwa perihal
Mahisa Lodra akan diurusnya sendiri"
Tangan kanan Seno terangkat, lalu menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Wajah murid Dewa Dungu
ini semakin tampak kebodoh-bodohan.
"Uh! Aku benar-benar bingung!" gumamnya.
"Ksatria Topeng Putih melarangku mengejar Mahisa
Lodra, namun bagaimana kalau dia ternyata kakitangan Mahisa Lodra sendiri"
Hmmm.... Kalau memang begitu, berarti sandi yang diberikan kepadaku
tadi hanya sandi palsu belaka...."
Plok! Plok! Dua kali Seno menepak kepalanya sendiri,
sampai tubuhnya oleh ke kiri. Lalu, dia menggelenggeleng untuk mengusir baying-
bayang yang mengaburi
pandangannya. Begitu pandangannya kembali jernih,
mata Seno tampak berbinar.
"Aku percaya! Aku percaya pada suara hatiku!"
desisnya. "Walau jahat dan licik, tapi kali ini Mahisa
Lodra tidak menipuku. Dan, orang yang mengaku berjuluk Ksatria Topeng Putih itu
pun bukan kaki-tangan
Mahisa Lodra. Aku bisa merasakan adanya hawa amarah yang ditujukan kepada Mahisa
Lodra saat dia membisikkan kata-kata kepadaku. Ya! Aku percaya
pada suara hatiku ini!"
Sekali lagi, Seno menatap wajah sang baskara
yang menandakan hari telah berganti. Keningnya tampak berkerut rapat karena
tengah berpikir keras, mengingat kata sandi yang disampaikan oleh Setan Selaksa
Wajah. "'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...," desis
Seno setelah dapat mengingat kata sandi untuk dapat
pergi ke Lembah Dewa-Dewi.
Kening Seno semakin berkerut rapat. Dia ber-
pikir semakin keras. Perutnya memperdengarkan suara berkeruyukan, pertanda di
tengah terserang rasa
lapar. Namun, kekhawatiran Seno terhadap keselamatan Kemuning mampu mengalahkan
rasa laparnya. Seno memang harus segera dapat memecahkan kata
sandi dari Mahisa Lodra.
"'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...," desis
Seno. "Apakah letak Lembah Dewa-Dewi berada di dalam laut, sehingga ada kata
lanjutan "bernapas dalam
air'" Tapi..., dari cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', aku melihat sosok
Kemuning digantung di atas rawa-rawa. Rawa-rawa itu tak mungkin berada di dasar
laut. Namun..., apa maksudnya Mahisa Lodra memakai kata sandi 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air'?"
Plok! Untuk kesekian kalinya, Seno menepak kepalanya sendiri. "Bodoh sekali aku ini!
'Menembus Laut Bernapas Dalam air'..." Apa artinya" Apakah aku harus menyelam ke dasar laut
seraya bernapas dalam
air" Uh! Kedalaman laut ratusan bahkan ribuan tombak, bagaimana aku dapat
menyelam ke dasarnya" Kalaupun dapat, lalu yang dimaksud Mahisa Lodra itu
laut mana" Di dunia ini banyak laut. Haruskah aku
menyelami semua laut yang ada?"
Seno menatap sang baskara yang sedikit bergeser naik. Merasakan putaran waktu
yang tak mungkin dapat ditahan, Seno jadi kalut. Untuk menyelamatkan jiwa
Kemuning, dua hari. Bila hari keburu
berganti, jiwa Kemuning tak akan dapat diselamatkan
lagi! Seperti orang kehilangan ingatan, Seno lalu
berkata-kata seorang diri, mengulang kata sandi dari
Mahisa Lodra. "'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'....
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...."
Terbawa kekalutannya, Seno sampai tidak menyadari bila tak jauh darinya telah
hadir dua orang
kakek bertampang bengis. Kedua kakek itu memandang Seno dengan bola mata
berkilat-kilat penuh kebencian.
Mereka sama-sama mengenakan pakaian kuning-hitam. Yang satu bertubuh kurus
tinggi dan satunya lagi bertubuh gemuk bulat. Menilik raut wajah
mereka, siapa lagi kalau bukan Dua Iblis dari Gunung
Batur. Iblis Perenggut Roh dan Iblis Pencabut Jiwa!
"Hmmm.... Pemuda gendeng itu menyebutnyebut 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air'..., apakah dia telah mencuri batu mustika itu?" tanya Iblis
Perenggut Roh. "Aku tak tahu," jawab Iblis Pencabut Jiwa, terus mengawasi Seno dari jarak
sepuluh tombak. "Pemuda itu terus memegangi perutnya. Di balik pakaiannya
mungkin saja tersimpan batu mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air'...."
"Kalau benar begitu, kita harus cepat bertindak. Kita bunuh saja pemuda gendeng
itu. Dua kali aku dipermainkannya. Sakit hatiku hanya bisa diobati
oleh cucuran darahnya!"
Usai berkata, Iblis Perenggut Roh meloncat sebat. Seno yang sedang duduk terpaku
sambil memegangi perutnya tampak terkejut. Kekalutan di benak
Seno benar-benar membuat kewaspadaan Seno berkurang. Dia tak tahu kalau sedari
tadi dirinya telah menjadi perhatian Dua iblis dari Gunung Batur.
"Kita berjumpa lagi, Pemuda Gendeng!" seru Iblis Perenggut Roh, berkacak
pinggang. "Sebelum kita
melanjutkan urusan tempo hari, ada baiknya kalau
kau serahkan benda yang ada di balik pakaianmu itu!"
"Ya! Serahkan batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air'...!" teriak iblis Pencabut Jiwa seraya meloncat ke samping
kanan adik seperguruannya.
Seno geleng-geleng kepala sambil nyengir kuda.
Dia tak mengerti apa yang dimaksud oleh Dua Iblis dari Gunung Batur. Hingga
untuk beberapa lama, Seno
cuma dapat menatap tanpa berkata sepatah kata pun.
"Kau memang bodoh atau berlagak bodoh!"
bentak Iblis Pencabut Jiwa. "Walau kau punya kesaktian setinggi dewa pun, jangan
harap kali ini kau dapat
lolos dari tanganku!"
"Serahkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang tersimpan di
balik pakaianmu
itu!" tambah Iblis Pencabut Jiwa.
Dua Iblis dari Gunung Batur sama-sama mengucap kata ancaman. Agaknya, mereka
lupa bila pernah dipecundangi dengan mudah oleh Seno di Telaga
Dewa. Bentrokan dengan Ksatria Seribu Syair pun tak
membuat mereka jadi jera. Kekalahan itu justru membuat mereka semakin ingin
mengumbar hawa amarah.
"Apa maksud kalian?" tanya Seno, tak mengerti.
"Dan kau, Kakek Gendut, kenapa menyebut sandi
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'" Apakah kau ingin membantuku memecahkan sandi
itu?" "Edan!" maki Iblis Pencabut Jiwa. "Jangan berpura-pura! Sedari tadi aku
melihatmu memegangi perut. Batu mustika itu tentu berada di balik pakaianmu!
Cepat serahkan!"
"Batu mustika?" ujar Seno, semakin tak mengerti. "Aku tidak membawa batu
mustika! Aku memegangi perutku karena aku merasa lapar...."
"Jahanam!" geram Iblis Perenggut Roh. "Kau
pasti menyimpan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' karena kau terus
menyebut-nyebut
nama batu milik Raja Penyasar Sukma itu!"
Mendengar tuduhan Dua Iblis dari Gunung Batur yang datang silih berganti, lama-
kelamaan Seno jadi tahu duduk persoalannya. "Hmmm.... Aku tahu sekarang...,"
katanya dalam hati. "Kedua kakek itu menyangka aku membawa sebuah batu mustika
bernama 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' milik seseorang
yang berjuluk Raja Penyasar Sukma. Jadi..., kiranya
kata sandi dari Mahisa Lodra itu berupa nama sebuah
batu mustika...."
Mendadak, Seno bersorak girang. Setitik jalan
terang untuk memecahkan sandi 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' sudah dapat ditemukannya tanpa
sengaja. "Terima kasih, Kek.... Terima kasih, Kek...," ujar
Seno seraya membungkuk hormat ke arah Dua Iblis
dari Gunung Batur. "Aku yang bodoh ini memang harus menghaturkan beribu terima
kasih kepada Kakek
berdua. Kakek berdua telah membantuku memecahkan sebuah sandi yang...."
"Edan!" maki Iblis Pencabut Jiwa. Mendidih
naik darah kakek gemuk bulat ini melihat sikap Seno
yang tampak begitu menghormat. Kakek ini tidak tahu
bahwa penghormatan Seno benar-benar disampaikan
penuh kesungguhan.
"Serahkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'!" seru Iblis Perenggut
Roh, keras menggelegar. "Setelah itu, bolehlah nanti kita bermainmain sampai seribu jurus!"
Melihat kenekatan Iblis Perenggut Roh yang
masih saja memandang rendah, Seno jadi gemas. Seno
sudah dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu kakek kurus itu. Bahkan,


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah pula menadahi
pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa' andalan si
kakek. Maka, terbawa rasa gemasnya, Seno menantang.
"Aku tidak membawa batu mustika yang kau
sebutkan itu. Tapi kalau kau penasaran, majulah! Kuberi kau kesempatan menyerang
sampai tiga jurus! Kalau kau dapat menyentuh sedikit saja salah satu anggota
tubuhku, aku bersumpah akan menjadi budak
pengiring mu seumur hidup!"
Mendengus gusar Iblis Perenggut Roh mendengar tantangan itu. Tanpa sungkan-
sungkan lagi, dia
keluarkan ilmu pukulan 'Merengut Roh Mencabut Jiwa' yang menjadi andalannya.
Lalu, dia menerjang ganas dengan kedua tangan terjulur lurus ke depan. Sesaat,
bau anyir darah menebar ke mana-mana!
"Hiahhh...!"
*** 6 LELAKI bertopeng ini menghentikan kelebatan
tubuhnya di kaki Bukit Pralambang, berjarak hampir
seribu tombak dari Telaga Dewa ke arah selatan. Dari
balik topeng baja putihnya, dia mengedarkan pandangan. Matanya yang tajam
berkilat menatap seksama.
Tak sejengkal pun tempat yang luput dari pengamatannya.
Tapi karena apa yang dicarinya tak juga terlihat, perlahan kakinya melangkah
menaiki bukit. Dilewatinya jajaran pohon jati yang tumbuh dirambati semak
belukar. Tubuhnya tampak bergetar terbawa perasaan tegang. Dia tahu kalau ada
bahaya besar yang
sedang mengintai nyawanya.
"Aku yakin durjana itu masih berada di sekitar
sini...," kata hati lelaki bertopeng yang mengenalkan
diri sebagai Ksatria Topeng Putih. "Aku bisa mengimbangi ilmu peringan tubuhnya
yang bernama 'Angin
Pergi Tiada Berbekas'. Tapi, benar-benar aku tak menyangka bila dia bisa
berkelebat lenyap dari pandanganku. Kini, aku harus selalu waspada dengan
mempertajam indera pendengaran. Bisikan batinku tak
pernah menipu. Durjana itu masih berada di sekitar
sini. Dia pasti sedang menunggu kesempatan untuk
melumpuhkan aku dengan caranya yang licik.
Hmmm.... Awas kau, Mahisa Lodra! Selain mencuri
Pusaka Pedang Naga, rupanya kau pun telah merampas cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa' milik Ratu
Perut Bumi. Hmmm.... Kau benar-benar seorang durjana yang amat licin seperti
belut. Tapi, jangan kau kira aku tak dapat meremukkan tulang-belulang mu!"
Terdesak oleh hawa amarah, jajaran gigi Ksatria
Topeng Putih saling bertaut dan memperdengarkan
suara berkerot-kerot. Di balik topeng baja putih, air
mukanya telah berubah merah padam dengan rahang
mengembung hingga berbentuk balok persegi empat.
Kaki Ksatria Topeng Putih terus melewati jajaran pohon jati. Perlahan namun
pasti, dia pun mulai
menuju ke puncak bukit. Kabut yang belum hilang sepenuhnya membuat hawa di
setiap lereng bukit terasa
dingin. Namun demikian, sekujur tubuh Ksatria Topeng Putih bermandikan keringat.
Bukan karena habis
berlari menempuh jarak ratusan tombak, tapi karena
terbawa rasa tegang.
Setelah melalui jalan berliku-liku berupa tanah
cadas yang dirambati semak berduri, sampailah Ksatria Topeng Putih di sebuah
tebing yang menjulang cu-
kup tinggi. Tebing itu amat kasar dan dipenuhi cekungan-cekungan. Permukaan
tanahnya seperti habis digulung. Anehnya, tebing yang ditemukan Ksatria Topeng
Putih itu senantiasa bergerak mengembung dan
mengempis. Angin yang berhembus tidak seberapa
kencang tidak mungkin dapat menggerakkan tebing
itu. Tapi, kenapa tebing itu senantiasa bergerak mengembung dan mengempis"
Ksatria Topeng Putih menambah kewaspadaannya. Tebing yang ditemukannya jelas
bukan tebing sewajarnya. Apalagi ketika terdengar suara....
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Suara yang didengar Ksatria Topeng Putih itu
mirip suara katak, tapi terdengar amat keras. Karena
kaget, Ksatria Topeng Putih melompat cepat ke belakang. Ringan sekali tubuhnya
mendarat di tanah walau habis melayang tak kurang dari lima tombak.
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Suara aneh itu terdengar lagi. Gerakan pada
tebing terlihat makin kentara. Mengembang makin besar dan mengempis makin dalam.
Agar dapat melihat
puncak tebing, Ksatria Topeng Putih mengibaskan kedua telapak tangannya
Timbul dua larik sinar merah yang melintang di
hadapan Ksatria Topeng Putih. Semak belukar langsung berhamburan ke berbagai
penjuru. Disusul dengan suara berdebum keras. Dua batang pohon jati bergaris
tengah satu depa tiba-tiba tumbang. Akibatnya,
permukaan tanah bergetar. Gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan.
Saat suara hiruk-pikuk sudah reda dan pandangan kembali terang, Ksatria Topeng
Putih tersurut mundur dua langkah. Bola matanya membesar karena
terhantam keterkejutan.
"Ya, Tuhan...," sebut Ksatria Topeng Putih, tersurut mundur lagi dua langkah.
Tebing aneh yang ditemukan oleh Ksatria Topeng Putih ternyata seekor katak
raksasa! Bagian yang tampak terus mengembung dan
mengempis tak lain dari perut katak raksasa itu. Ksatria Topeng Putih menatap
nanar, setengah tak percaya pada penglihatannya sendiri. Namun, Ksatria Topeng
Putih segera mendengus gusar manakala melihat
seorang pemuda berpakaian serba merah yang sedang
duduk menggantungkan kaki di leher katak raksasa.
"Mahisa Lodra keparat...!" dengus Ksatria Topeng Putih.
"Ha ha ha...!" tawa gelak pemuda berpakaian
serba merah yang memang Mahisa Lodra atau Setan
Selaksa Wajah. "Bentuk tubuhmu bagus, bahan pakaianmu pun cukup enak dipandang
mata, tapi aku tak tahu kenapa wajahmu kau tutup dengan topeng"
Siapa kau" Apa hubunganmu dengan pemuda geblek
bergelar Pendekar Bodoh itu" Kenapa kau mengejarku?"
Mahisa Lodra mengeluarkan rentetan kalimat
panjang. Telapak tangan kanannya tak henti mengelus
katak raksasa yang tengah didudukinya. Sementara,
satwa setinggi sepuluh tombak lebih itu senantiasa
membuka mulut. Lidahnya yang berwarna merah berkilat tampak melelet-lelet.
"Aku mengejarmu karena ada banyak urusan
yang harus kuselesaikan denganmu!" seru Ksatria Topeng Putih.
"Kau belum sepenuhnya menjawab pertanyaanku, Lelaki Bertopeng!" sahut Setan
Selaksa Wajah. "Siapa kau" Apa hubunganmu dengan Pendekar
Bodoh, sehingga kau bersusah payah mengejarku
sampai ke Bukit Pratambang ini?"
Di ujung kalimat Mahisa Lodra, katak raksasa
mengeluarkan suara ngorok dua kali. Tiba-tiba, lidahnya terjulur panjang. Cepat
Ksatria Topeng Putih meloncat ke samping kiri karena lidah katak raksasa
hendak menggulung tubuhnya.
"Sabarlah dulu, Adiguna...," ujar Setan Selaksa
Wajah, menenangkan katak raksasa yang didudukinya. "Biarkan orang itu
memperkenalkan dulu siapa
jati dirinya. Kalau dia memang punya maksud memusuhiku, terserah kepadamu apa
yang akan kau lakukan...."
Usai mengelus-elus katak raksasa yang disebutnya dengan nama Adiguna, Setan
Selaksa Wajah menuding Ksatria Topeng Putih. "Cepat kenalkan siapa
dirimu dan buka topengmu sekarang juga!" bentaknya.
"Tentang siapa diriku, itu tidak begitu penting,"
sahut Ksatria Topeng Putih. "Kau bisa memanggilku
dengan sebutan Ksatria Topeng Putih. Hanya itu yang
boleh kau ketahui. Sementara, yang harus kau lakukan adalah... mengembalikan
Pusaka Pedang Naga
yang kau curi dari puncak Gunung Arjuna...!"
"Huh!" dengus Setan Selaksa Wajah. "Aku sama
sekali tak mengenalmu, hai kau lelaki bertopeng! Tak
ada hujan, tak ada guntur. Bertemu pun baru pertama
kali ini, kenapa tahu-tahu kau hendak meminta Pusaka Pedang Naga"!"
"Kau keliru, Mahisa Lodra! Terlalu banyak hujan ataupun guntur yang menyebabkan
kau mempunyai urusan denganku! Selain telah mencuri Pusaka
Pedang Naga, kau pun telah merampas cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa' milik Ratu Perut Bumi.
Lain itu, aku tahu kau membawa Kodok Wasiat Dewa
yang kau rampas secara licik dari tangan Pendekar
Bodoh. Hmmm.... Melihat begitu banyak urusan yang
harus kau selesaikan denganku, ada baiknya bila kau
segera turun dari leher katak buduk itu!"
Setan Selaksa Wajah tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ucapan Ksatria
Topeng Putih membuat air mukanya berubah amat keruh. Semua
ucapan lelaki bertopeng itu memang benar adanya.
"Heran aku...," kata hati Mahisa Lodra. "Bagaimana dia bisa tahu kalau aku telah
mencuri Pusaka Pedang Naga" Bagaimana pula dia bisa tahu kalau
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' dan Kodok Wasiat Dewa berada di tanganku"
Hmmm.... Dia pasti
seorang tokoh tua yang jati dirinya tak ingin dikenali
orang lain. Tapi..., siapa pun dia, karena sudah terlalu
banyak yang diketahuinya, dia harus mati saat ini juga!"
Lalu, Setan Selaksa Wajah menatap lekat Ksatria Topeng Putih. Dia masih mencoba
mengenali wajah si lelaki yang tersembunyi di balik topeng baja putih. Karena
tak dapat, Setan Selaksa Wajah mengamati
bentuk tubuh si lelaki bertopeng.
"Hmmm.... Warna dan potongan pakaian bisa
dirubah sekehendak hati. Tapi, kau tak mungkin dapat
merubah bentuk tubuhmu, hai kau lelaki bertopeng!
Tanpa ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti' seperti yang
kumiliki, kau tak mungkin dapat menipu penglihatanku...," ujar Setan Selaksa
Wajah. Di balik topengnya, wajah Ksatria Topeng Putih
langsung memucat. Dia merasa jati dirinya dapat dikenali oleh Mahisa Lodra.
"Hmmm.... Kulihat tubuhmu gemetar," lanjut
Setan Selaksa Wajah. "Bertambahlah keyakinanku bila
kau memang seorang tokoh tua yang sengaja menyembunyikan jatidiri. Namun, kau
tak dapat menipuku! Ha
ha ha...! Bukankah kau Ksatria Se...."
"Keparat! Jangan banyak cakap!"
Ksatria Topeng Putih memotong kalimat Setan
Selaksa Wajah dengan geram kemarahan. Mendadak,
lelaki berpakaian putih-putih ini mengibaskan kedua
telapak tangannya.
Wus...! Wus...!
Dua larik sinar merah dalam bentuk lengkungan melesat ganas ke arah Setan
Selaksa Wajah yang
tengah duduk di leher katak raksasa bernama Adiguna.
Tak mau dirinya bersama satwa tunggangannya
celaka, bergegas Setan Selaksa Wajah mengeluarkan
ilmu pukulan 'Pelebur Sukma'. Saat telapak tangan
kanannya mengibas, melesat seberkas cahaya biru
yang menebarkan hawa panas!
Ketika mengeluarkan ilmu pukulannya itu, Setan Selaksa Wajah tak mau tanggung-
tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Selain untuk meredam ilmu pukulan Ksatria
Topeng Putih, Setan Selaksa Wajah juga bermaksud langsung menghabisi riwayat
lelaki bertopeng itu.
Blarrr,..! Blarrr...! Dua ledakan dahsyat menggelegar panjang. Belasan ekor burung yang kebetulan
sedang terbang di
atas pusat ledakan tampak terlontar dengan tubuh
tercerai-berai. Beberapa pohon jati tumbang, dan sebagian tercabut dari dalam
tanah lalu terlontar ke kaki
bukit. Sementara, gumpalan tanah dan bebatuan langsung menutupi pandangan mata!
Beberapa saat kemudian, Ksatria Topeng Putih
tampak berdiri terhuyung-huyung. Kain bajunya yang
berwarna putih telah ternoda oleh cairan darah yang
menyembur dari mulutnya. Rambutnya yang semula
terikat rapi tampak tergerai awut-awutan. Sebagian
malah terlihat mengepulkan asap karena terbakar.
"Ha ha ha...!" tawa pongah Setan Selaksa Wajah. "Kukira Ilmu pukulanmu masih
jauh berada di bawah ku. Hari ini aku berlaku sangat pintar! Kau
akan segera mati! Ha ha ha...! Ksatria Se..."
"Jahanam! Aku belum kalah!" seru Ksatria Topeng Putih, memotong ucapan Mahisa
Lodra. "Kau belum mengaku kalah?" cibir Setan Selaksa Wajah. "Boleh! Boleh saja kau
turuti sifat keras kepalamu! Tapi, apa kau tidak sadar bila isi dadamu telah
terguncang" Kau telah terluka dalam! Lihat sikap
berdiri mu yang sempoyongan itu!"
"Tapi, aku belum kalah!" sahut Ksatria Topeng
Putih. Aneh sekali" Saat Ksatria Topeng Putih bicara,
bibirnya sama sekali tak bergerak. Dan, dari balik topeng baja putih, bola
matanya yang semula bersorot
tajam, kini berubah tanpa sinar sama sekali. Bahkan,
bila diperhatikan dengan seksama, bola mata Ksatria
Topeng Putih telah berubah menjadi dua butir batu
berwarna kelabu!
"Aku belum kalah!" seru Ksatria Topeng Putih
lagi bibirnya tetap tak bergerak.
"Hmmm.... Kau memang keras kepala, Ksatria
Se...." "Aku belum kalah!" Ksatria Topeng Putih berseru kembali, memotong kalimat Mahisa
Lodra. "Aku tak mau membuang tenaga percuma!
Membunuh orang yang sudah luka parah sepertimu,
aku tak memperoleh keuntungan apa-apa!" ujar Setan
Selaksa Wajah, jumawa. "Untuk meladeni kekerasan
kepalamu, kau hadapi saja Lidah Maut satwa tung-
gangan ku ini!"
Usai berkata, Setan Selaksa Wajah menepuk
leher Adiguna. "Khrokkk...! Khrokkk...!"
Katak raksasa berkulit kasar seperti tonjolan
batu itu membuka mulutnya lebar-lebar. Timbul tiupan angin kencang. Beberapa
bongkah batu besar jatuh menggelinding ke kaki bukit. Sementara, gumpalan tanah
bercampur kerikil dan patahan ranting pohon jati tampak beterbangan hendak
menghajar tubuh
Ksatria Topeng Putih!
"Aku belum kalah!"
Ksatria Topeng Putih mengulang lagi kalimatnya. Dia tak berbuat apa-apa untuk
mempertahankan

Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Dia tadahi benda-benda yang hendak menghajar
tubuhnya. Setan Selaksa Wajah tertawa bergelak-gelak
melihat tubuh Ksatria Topeng Putih jatuh berdebam ke
tanah, lalu berguling-guling di lereng bukit.
Namun, begitu Adiguna menutup kembali rongga mulutnya, Ksatria Topeng Putih
bangkit berdiri.
Dengan langkah terhuyung-huyung, dia berjalan mendekati. Pakaiannya semakin
lusuh dan kotor. Selain
noda darah, gumpalan tanah pun turut mengotori.
"Aku belum kalah!"
Sekali lagi, Ksatria Topeng Putih mengulang
ucapannya. Dia terus berdiri terhuyung-huyung sambil
menengadahkan wajahnya. Hingga, topeng baja putihnya tampak berkilat-kilat
tertimpa sinar mentari.
Terkesiap Setan Selaksa Wajah melihat kenekatan Ksatria Topeng Putih. Dilihat
dari keadaan lahirnya, Ksatria Topeng Putih tak mungkin lagi dapat bernapas
panjang, apalagi melakukan pertempuran. Tapi,
kenapa dia tampak begitu nekat"
"Kau telah memberi salam perkenalan kepada
orang itu, Adiguna!" ujar Setan Selaksa Wajah sambil
menepuk leher katak raksasa tunggangannya. "Kini,
tiba saatnya kau keluarkan Lidah Maut-mu!"
Di ujung kalimat Setan Selaksa Wajah, Adiguna
mengeluarkan suara ngorok amat keras yang menyakitkan gendang telinga. Lalu,
dari mulutnya melesat
sebuah benda pipih panjang berwarna merah berkilat.
Itulah Lidah Maut sang katak raksasa!
Swik...! Swik...!
"Wuahhh...!"
Agaknya, Ksatria Topeng Putih memang sudah
tak mempunyai daya kekuatan apa-apa lagi. Dengan
mudah tubuhnya dibelit Lidah Maut Adiguna. Lalu,
ringan sekali tubuh lelaki bertopeng itu diangkat, sementara mulut Adiguna
terbuka lebar! "Tunggu...!"
Setan Selaksa Wajah berteriak lantang untuk
mencegah Adiguna yang hendak menelan tubuh Ksatria Topeng Putih. Maksud Setan
Selaksa Wajah adalah
untuk membuka topeng dan mengenali wajah Ksatria
Topeng Putih, Adiguna pun mengerti perintah tuannya.
Ketika tubuh Ksatria Topeng Putih telah menempel di
rongga mulut, katak raksasa itu menghentikan gerakannya. Tapi, tiba-tiba...
"Khrokkk...!"
Sang katak raksasa menggeliat kesakitan. Belitan lidahnya terlepas. Tubuh
Ksatria Topeng Putih jatuh di antara jajaran giginya. Dan tanpa didugaduga...,
Ksatria Topeng Putih melompat masuk ke kerongkongan Adiguna!
"Apa yang terjadi" Apa yang terjadi?" seru Setan
Selaksa Wajah yang tak dapat melihat peristiwa yang
baru berlangsung.
Adiguna menggoyang-goyangkan kepalanya,
hingga tubuh Setan Selaksa Wajah bergerak naikturun. Cepat kakek berwajah pemuda
itu menenangkan Adiguna dengan mengelus-elus leher sang katak
raksasa. "Tenanglah! Tenanglah.... Apa yang terjadi?"
ujar Setan Selaksa Wajah dengan raut wajah sedikit
memucat. "Khrokkk...!"
Adiguna mengeluarkan suara ngorok keras. Lidahnya terjulur panjang ke depan.
Kontan mata Setan
Selaksa Wajah terbelalak karena tak melihat tubuh
Ksatria Topeng Putih dalam belitan lidah sang katak
raksasa. "Aku tahu benar watak dan tabiat Adiguna. Dia
akan selalu menuruti apa pun yang kuperintah tanpa
membantah...," gumam Setan Selaksa Wajah. "Tapi,
kenapa tubuh lelaki bertopeng itu tak ada lagi dalam
belitan lidahnya" Apakah Adiguna telah telanjur menelannya?"
Telapak tangan kanan Setan Selaksa Wajah
mengelus-elus leher Adiguna. Tapi, Adiguna terus
mengeluarkan suara ngorok amat keras. Setan Selaksa
Wajah jadi curiga bila telah terjadi apa-apa pada satwa
tungganngannya.
"Aku tahu sekarang!" seru Setan Selaksa Wajah
dengan bola mata melotot besar. "Adiguna tidak menelan tubuh Ksatria Topeng
Putih! Justru lelaki bertopeng itulah yang meloncat masuk ke dalam perutnya!"
Mendadak, Setan Selaksa Wajah tertawa bergelak-gelak. Suara tawanya panjang dan
keras sekali, hingga terdengar seantero Bukit Pralambang.
"Lelaki bertopeng itu masuk ke perutmu, Adiguna.'" seru Setan Selaksa Wajah
kemudian, menepuk
leher sang katak raksasa. "Cepat kau kerahkan tenaga
'Mengolah Api Guncangkan Bumi'...!"
"Khrokkk...!"
Sambil mengangkat kedua kakinya, Adiguna
mengeluarkan suara ngorok yang lebih keras. Tibatiba, dari perut satwa
tunggangan Mahisa Lodra itu
terdengar suara bergemuruh seperti suara kawah gunung berapi.
"Bagus! Bagus, Adiguna!" puji Satan Selaksa
Wajah. "Kau telah mengerahkan tenaga 'Mengolah Api
Guncangkan Bumi'! Gumpalan api yang ada dalam perutmu akan segera membakar
hancur tubuh lelaki itu!
Ha ha ha...!"
Selagi Setan Selaksa Wajah tertawa bergelak,
Adiguna menengadah. Mulutnya terbuka, lalu... gumpalan api menyembur-nyembur ke
angkasa bagai hendak membakar langit!
Rupanya, di dalam perut Adiguna benar-benar
tersimpan api! Melihat kehebatan satwa tunggangan
Mahisa Lodra itu, agaknya Ksatria Topeng Putih harus
merelakan nyawanya melayang ke alam baka!
*** 7 KEDUA telapak tangan Iblis Perenggut Roh berputar sebentar. Pada saat bau anyir
darah membuat kepala Seno jadi pening, kedua telapak tangan kakek
yang dilambari ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa' itu melesat lurus ke
depan. Telapak tangan
kiri hendak menampar pecah kepala Seno, sementara
telapak tangan yang kanan hendak mengarah ke dada.
Rupanya, Iblis Perenggut Roh benar-benar ingin menyudahi riwayat. Seno pada
gebrakan pertama.
Pada saat yang sama, tiba-tiba Iblis Pencabut
Jiwa menggembor keras. Dengan gerakan 'Mencari Roh
Mengirim ke Neraka', telapak tangan kanannya yang
dimiringkan berusaha membabat putus pinggang Seno.
Sudah puluhan nyawa melayang akibat babatan telapak tangan kanan Iblis Pencabut
Jiwa yang juga dilambari ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut
Jiwa' itu. Batang pohon sepelukan manusia dewasa
pun akan terbabat pula, apalagi tubuh seorang anak
manusia yang cuma terdiri dari susunan tulang dan
daging empuk! Serangan Dua Iblis dari Gunung Batur itu amat
cepat dan tangkas sekali. Tiga gelombang serangan
yang berasal dari tiga telapak tangan berpusat ke satu
jurusan. Sesaat, Seno mendelikkan mata melihat serangan Dua Iblis dari Gunung
Batur yang teramat ganas dan penuh nafsu membunuh. Pandangan Seno jadi kabur
akibat rasa pening di kepalanya. Bau anyir
darah telah memenuhi tempatnya berdiri.
Namun, percuma saja Seno digembleng keras
oleh Dewa Dungu selama lima tahun andai dia tak dapat meredam serangan Dua iblis
dari Gunung Batur
itu. Ketika tiga telapak tangan yang mengandung hawa
kematian hampir mengenai sasaran, Seno mengibaskan telapak tangan kirinya.
Timbul serangkum angin pukulan yang cukup hebat walau Seno cuma mengerahkan
sepertiga bagian tenaga dalamnya. Kibasan
telapak tangan kiri pemuda berjuluk Pendekar Bodoh
itu bukan saja mampu mengusir bau anyir darah yang
menebar dari telapak tangan Dua Iblis dari Gunung
Batur, bahkan mampu menahan lesatan tubuh dua
tokoh sesat itu.
Dan pada saat tubuh Dua Iblis dari Gunung
Batur masih tertahan di udara, Pendekar Bodoh membungkuk seraya melakukan
gerakan 'Dewa Badai
Menghitung Bintang Menyapa Bulan', salah satu gerakan hebat yang dipelajarinya
dari Kitab Sanggalangit.
Tuk! Tuk! Tuk! Des...! Bola mata Iblis Pencabut Jiwa tiba-tiba melotot
besar seperti hendak keluar dari rongganya. Mulut kakek gemuk bulat itu pun
terbuka lebar dan tak bisa
dikatupkan lagi. Totokan Pendekar Bodoh tepat bersarang di beberapa jalan darah
penting di tubuhnya.
Akibatnya, tubuh Iblis Pencabut Jiwa jatuh terduduk
dan tak bisa bergerak-gerak lagi!
Akibat yang diterima oleh Iblis Perenggut Roh
Jauh lebih menggiriskan bila dibanding dengan kakak
seperguruannya. Ketika Seno bangkit dari sikap membungkuknya, cepat sekali
tangan kiri si pemuda
menghantam ke depan. Dada Iblis Perenggut Roh terkena bogem mentah dengan telak.
Jerit parau yang
amat menyayat hati terdengar manakala tubuh Iblis
Perenggut Roh terlontar lalu jatuh berdebam di tanah
keras. Dari mulut, lubang hidung dan telinga Iblis Perenggut Roh mengucur darah kental
kehitaman. Dia masih mencoba bangkit sambil memegangi dadanya.
Namun, kesadarannya keburu hilang. Tubuh Iblis Perenggut Roh jatuh terjengkang
dan tak bergerak-gerak
lagi. Kain bajunya tampak terbakar di bagian dada.
Sementara, dua tulang iganya patah!
Pendekar Bodoh cuma cengar-cengir melihat
basil gerakan 'Dewa Badai Menghitung Bintang Me-
nyapa Bulan' yang baru saja dilakukannya. Pemuda
remaja berpakaian biru-biru itu menatap tubuh Iblis
Perenggut Roh yang terkapar tak berdaya di tanah.
"Aku cuma mengerahkan seperdelapan tenaga
dalam. Kalau kukerahkan sepenuhnya, jangan harap
tubuhmu masih berwujud utuh seperti itu..." ujar Pendekar Bodoh, terus menatap
tubuh Iblis Perenggut
Roh. "Tapi..., kukira kau tentu sudah kapok untuk tak
mengulangi perbuatan jahatmu. Aku tahu ada dua tulang igamu yang patah. Untuk
memulihkannya seperti
sediakala, kau butuh waktu tiga tahun lebih! Rasakan
itu, Kakek jelek tukang bunuh orang!"
Seno berkata-kata seakan Iblis Perenggut Roh
dapat mendengar ucapannya, padahal dia sudah tahu
kalau kakek kurus tinggi itu telah hilang kesadarannya karena jatuh pingsan.
Sementara, Iblis Pencabut
Jiwa cuma dapat melenguh-lenguh seperti seekor lembu yang baru dicocok
hidungnya. Teringat kata sandi yang diterimanya dari Mahisa Lodra, cepat Seno menghampiri
Iblis Pencabut Jiwa. Melihat langkah kaki Seno yang tampak tergesagesa, Iblis
Pencabut Jiwa langsung dihantui rasa takut. Bola matanya semakin melotot besar.
Keluh yang keluar dari mulutnya yang terbuka semakin terdengar
jelas. "Uhhh...!"
Iblis Pencabut Jiwa melenguh keras sekali saat
melihat ujung telunjuk jari tangan kanan Seno berkelebat cepat mengarah ke
wajahnya. Iblis Pencabut Jiwa
menyangka bila Seno hendak mencongkel bola matanya. Tapi ternyata, Seno malah
membebaskan pengaruh totokan yang bersarang di pangkal lehernya.
"Kau dan saudara seperguruanmu tadi menuduhku membawa batu mustika 'Menembus
Laut Ber- napas Dalam Air'...," ujar Pendekar Bodoh. "Kenapa
kau menuduh begitu" Dan, apa yang kau ketahui tentang batu mustika itu?"
Iblis Pencabut Jiwa tak langsung menjawab.
Dia menelan ludah beberapa kali. Ditatapnya wajah
Seno lekat-lekat. Melihat wajah si pemuda yang tampak kebodoh-bodohan,
keberanian Iblis Pencabut Jiwa
timbul kembali.
"Lepaskan aku! Kita bertempur lagi sampai di
antara kita ada yang mati!" tantang Iblis Pencabut Jiwa.
"Aku tidak mengikatmu!. Kenapa minta dilepaskan?" ujar Pendekar Bodoh sambil
nyengir kuda. "Yang ku maksud adalah melepas pengaruh totokanmu ini, Geblek!" bentak Iblis
Pencabut Jiwa. "Akan ku turuti permintaanmu asal kau jawab
dulu pertanyaanku!" seru Seno, balas membentak.
"Aku tak sudi!"
"Aku akan menyiksamu!"
"Aku tak takut!"
"Hmmm.... Begitu?"
Pendekar Bodoh geleng-geleng kepala sebentar.
Ditatapnya lekat-lekat wajah Iblis Pencabut Jiwa. Lalu,
dia berjongkok seraya....
Tuk! tuk! Tuk! Seno menotok beberapa jalan darah Iblis Pencabut Jiwa yang terletak di tengkuk
dan iga. Dan saat
itu juga, Iblis Pencabut Jiwa menjerit keras sekali. Tubuhnya bergetar karena
terserang rasa sakit hebat. Jeritan Iblis Pencabut Jiwa begitu keras dan
terdengar amat menyayat hati. Dari sudut matanya menitik air
bening. Tak kuasa menahan sakit yang merejam sekujur tubuhnya, Iblis Pencabut
Jiwa menangis menggerung-gerung.
"Ampun.... Ampun.... Jangan kau siksa aku,
Pendekar...," iba Iblis Pencabut Jiwa, memelas.
"Kau mau menjawab pertanyaanku atau tidak?"
tanya Pendekar Bodoh.
"Ya! Ya, aku mau menjawab, Pendekar! Lepaskan pengaruh totokanmu! Aku tak tahan!
Aku tak tahan...."
Mendengar kesanggupan Iblis Pencabut Jiwa,
bergegas Seno melepas pengaruh totokannya. Namun,
beberapa totokan dia biarkan, sehingga Iblis Pencabut
Jiwa tetap duduk mendeprok di tanah tanpa dapat
berbuat apa-apa.
"Jawab pertanyaanku?" bentak Seno. "Apa yang
kau ketahui tentang kata 'Menembus Laut Bernapas
Dalam Air?"


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Pencabut Jiwa menghela napas panjang.
Air matanya masih jatuh berlelehan ke kedua pipinya.
Merasa tak mungkin dapat membebaskan diri dan melakukan perlawanan, dia berkata,
"'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' adalah
nama sebuah batu mustika milik Raja Penyasar Sukma...."
"Ya. Ya! Aku tahu!" bentak Seno memasang wajah ketus, tapi raut wajahnya yang
lugu malah semakin tampak kebodoh-bodohan, "Apa kegunaan batu
mustika itu" Dan, siapa itu Raja Penyasar Sukma?"
Iblis Pencabut Jiwa menelan ludah, lalu berkata, "Aku tidak tahu apa kegunaan
batu mustika itu.
Yang ku tahu bahwa sejak satu candra yang lalu batu
mustika itu telah hilang dicuri orang....."
"Hmmm..... Jadi, karena itulah kau menuduh
aku telah mencuri batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'?"
Iblis Pencabut Jiwa tak menjawab. Dia cuma
menatap wajah lugu Seno. Tapi, Seno sudah dapat nenangkap arti dari tatapan
kakek gemuk bulat itu.
"Ketahuilah, Kakek Gendut, aku tidak pernah
mencuri benda yang kau sebutkan itu," ujar Pendekar
Bodoh kemudian. "Aku mengucap 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' karena kata-kata itu adalah kata
sandi pemberian Setan Selaksa Wajah. Tokoh jahat itu
telah menyandera seorang sahabatku. Dan, aku harus
dapat memecahkan kata sandi itu agar aku dapat
memberi pertolongan...."
Seno berkata dengan sejujurnya. Nada ucapannya jelas menyiratkan bahwa dia sudah
tak punya sakit hati lagi kepada Iblis Pencabut Jiwa. Sementara, Iblis Pencabut
Jiwa yang mendengar Seno menyebut
nama Setan Selaksa Wajah cuma diam saja. Padahal,
dia punya hubungan dengan kakek yang pandai merubah wajah dan bentuk tubuhnya
itu. "Sekarang, katakan siapa Raja Penyasar Sukma
yang kau katakan sebagai pemilik batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' itu"! Dan, apakah dia pun tak tahu siapa yang
telah mencuri batu
mustikanya?" tanya Pendekar Bodoh dengan nada suara sedikit dilembutkan.
Kening Iblis Pencabut Jiwa langsung berkerut
rapat, tak segera menjawab pertanyaan Seno.
"Kau tak mau menjawab" Apa kau ingin punya
nasib sama dengan saudara seperguruanmu itu?" ancam Seno sambil menggeser tubuh
Iblis Pencabut Jiwa, sehingga kakek gemuk bulat itu dapat melihat tubuh Iblis
Perenggut Roh yang terbujur telentang di tanah dengan baju bersimpah darah.
"Ya! Ya, aku jawab pertanyaanmu...," ujar Iblis
Pencabut Jiwa, merasa ngeri melihat keadaan adik seperguruannya yang sudah tak
punya daya apa-apa.
"Bagus! Katakan siapa itu Raja Penyasar Sukma!" sambut Pendekar Bodoh.
"Dia... dia seorang tokoh sakti yang tiada tandingannya. Kau akan mati bila
berani melawannya...."
"Bukan itu yang ingin ku tahu!" bentak Pendekar Bodoh seraya menekan bahu kanan
iblis Pencabut Jiwa. "Uh...!"
Mengeluh kesakitan iblis Pencabut Jiwa. Bahu
kanannya terasa bagai ditindih batu sebesar gajah.
Maka, matanya langsung mendelik dengan mulut terbuka lebar.
"Ya.... Ya, kukatakan siapa Raja Penyasar
Sukma sebenarnya...," ujar Iblis Pencabut Jiwa sambil
merintih kesakitan.
"Bagus!" sambut Pendekar Bodoh, menarik telapak tangan kirinya yang menekan bahu
kanan Iblis Pencabut Jiwa. "Raja Penyasar Sukma tentu punya
nama kecil. Siapa nama kecilnya itu?"
Iblis Pencabut Jiwa tampak berpikir sejenak.
Lalu dengan tatapan menyiratkan rasa takut, dia berkata, "Nama kecilnya Banyak
Langkir." Pelan sekali suara yang keluar dari mulut Iblis
Pencabut Jiwa, tapi akibatnya sungguh membuat Iblis
Pencabut Jiwa sendiri terkejut. Begitu mendengar nama Banyak Langkir, Pendekar
Bodoh melonjak kaget.
Tanpa sadar, pemuda itu meloncat satu tombak ke belakang!
"Banyak Langkir" Banyak Langkir" Kau tadi
berkata Banyak Langkir?" desis Pendekar Bodoh, berjalan mendekati Iblis Pencabut
Jiwa lagi. Melihat wajah Seno yang jadi tegang dengan bola mata melotot besar, Iblis
Pencabut Jiwa terhantam
rasa takut. Tubuhnya langsung gemetaran karena me-
nyangka Seno hendak melepaskan tangan maut.
"Apa aku tidak salah dengar" Kau katakan tadi,
Raja Penyasar Sukma punya nama kecil Banyak Langkir?" ujar Pendekar Bodoh,
menatap tajam wajah Iblis
Pencabut Jiwa. "I... iya...," jawab Iblis Pencabut Jiwa, masih
bergidik ngeri.
Mendadak, Pendekar Bodoh menengadahkan
wajahnya. Di atas langit luas berwarna biru, pemuda
lugu ini seakan dapat melihat sosok ibunya yang telah
meninggal. Lalu, dia berkata-kata seorang diri.
"Ibu..., tanpa sengaja aku telah menemukan satu petunjuk untuk mencari orang
yang telah menyengsarakan mu, Bu. Aku akan segera menuntut balas, Bu!
Berbahagialah Ibu di surga. Dendam di hati Ibu akan
segera terbalaskan...."
Pendekar Bodoh berkata-kata penuh kesungguhan. Di antara rasa kalut karena
memikirkan keselamatan Kemuning, terbersit setitik rasa senang di hati
Pendekar Bodoh mengetahui Raja Penyasar Sukma
punya nama kecil Banyak Langkir. Sementara, sejak
lima tahun yang lalu di hati Pendekar Bodoh telah bersemayam dendam kesumat
terhadap seorang tokoh
bernama Banyak Langkir. Banyak Langkir adalah
pembunuh Dewi Ambarsari atau Putri Bunga Putih
yang tak lain dari ibu kandung Pendekar Bodoh. (Tentang peristiwa terbunuhnya
Dewi Ambarsari, silakan
simak serial Pendekar Bodoh dalam episode : "Tongkat
Dewa Badai").
"Apa lagi yang kau ketahui tentang Banyak
Langkir"!" seru Pendekar Bodoh kemudian.
Terbawa rasa takut, agak terbata-bata Iblis
Pencabut Jiwa menjawab. "Dia... dia penguasa Lembah
Dewa-Dewi...."
Untuk kedua kalinya, Seno melonjak kaget. Dia
terkejut bagai disambar petir. Namun, di antara keterkejutannya, terbersit pula
setitik rasa senang. Kiranya,
Lembah Dewa-Dewi benar-benar ada. Berarti Setan Selaksa Wajah tidak berdusta.
Kemuning atau Dewi Pedang Kuning memang berada di tempat itu.
"Kau tahu di mana letak Lembah Dewa-Dewi
itu?" tanya Pendekar Bodoh setelah menghela napas
beberapa kali. Iblis Pencabut Jiwa menggeleng lemah. Melihat
raut wajah kakek gemuk bulat itu, Seno mempercayainya. Namun, dia masih ingin
mengorek beberapa
keterangan lagi.
"Kau sendiri punya hubungan apa dengan Banyak Langkir?"
"Aku... aku...."
Iblis Pencabut Jiwa ragu-ragu untuk menjawab.
Menilik dari sikap dan nada ucapan Seno, dia tahu kalau Seno menyimpan rasa
benci terhadap Banyak
Langkir. Oleh karena itu, dia takut untuk berkata terus terang.
"Kau tak mau menjawab pertanyaanku" Kau
ingin tulang igamu juga kupatahkan seperti saudara
seperguruanmu itu?" ancam Pendekar Bodoh.
Seno mengucap ancaman dengan penuh kesungguhan. Terdesak oleh rasa hatinya yang
tak enak, Seno lupa pada nasihat ibunya bahwa dia harus selalu
berlaku sopan dan menghormat kepada siapa saja terutama kepada orang yang lebih
tua. Tapi kali ini, Seno benar-benar membuat Iblis Pencabut Jiwa yang sudah tua
bangkotan benar-benar mati kutu karena rasa
takut. Seno benar-benar lupa pada nasihat ibunya,
hingga dia tak memberi rasa hormat sedikit pun kepada Iblis Pencabut Jiwa.
"Cepat katakan! Kau punya hubungan apa dengan jahanam itu"!" bentak Pendekar
Bodoh melihat Iblis Pencabut Jiwa tak segera menjawab pertanyaannya.
"Ya.., ya! Aku adalah anak buah Banyak Langkir..." aku Iblis Pencabut Jiwa.
"Anak buah?" kesiap Pendekar Bodoh.
"Ya..., ya.... Eh...!"
"Anak buah atau bukan"!"
"Ya. Ya, aku anak buahnya...."
"Hmmm.... Kau ini aneh, Kakek Gendut...," ujar
Seno, menepuk-nepuk bahu Iblis Pencabut Jiwa. "Kau
mengaku anak buah Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma penguasa Lembah Dewa-
Dewi, tapi kenapa
kau tidak tahu di mana letak tempat itu"! Hayo! Jangan bohong! Ku tonjok
hidungmu baru tahu rasa nanti!"
"Aku benar-benar tak tahu di mana letak Lembah Dewa-Dewi," sahut Iblis Pencabut
Jiwa yang melihat Seno mengepal tinju. "Selain Mahisa Lodra dan beberapa orang
kepercayaannya yang lain, tidak ada
yang pernah menjamah tempat itu...."
"Kau tidak bohong?"
"Sungguh! Sumpah! Aku tidak bohong!"
"Hmmm.... Kau tadi menyebut nama Mahisa
Lodra. Apakah kakek jelek itu juga anak buah Banyak
Langkir?" "Ya... ya!"
"Kalau Mahisa Lodra bisa mendatangi Lembah
Dewa-Dewi, kenapa kau tidak?"
"Karena dia dipinjami batu mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air'...."
"Hmmm.... Jadi, untuk mendatangi Lembah
Dewa-Dewi, setiap orang harus membawa batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air'...." Bersorak girang Seno dalam hati. Sandi dari
Mahisa Lodra sedikit demi sedikit mulai dapat dipecahkannya. Hingga, Seno
berkesimpulan bahwa untuk
menyelamatkan Kemuning, dia harus mendapatkan
dulu batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air'. Tapi, di mana dia harus mendapatkannya" Bukankah batu mustika milik Raja
Penyasar Sukma itu
telah dicuri orang"
"Aku bertanya sekali lagi...," ujar Seno kemudian. "Tahukah siapa yang telah
mencuri batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'?"
"Pemiliknya sendiri pun tak tahu, apalagi
aku...," jawab Iblis Pencabut Jiwa.
"Menurut pendapatmu, siapa kira-kira pencurinya?" buru Seno.
"Aku tak tahu."
"Tapi, bagaimana kau bisa tahu kalau batu
mustika itu dicuri orang?"
"Raja Penyasar Sukma sendiri yang berkata kepadaku. Aku dan adik seperguruanku
diperintahkannya untuk turut mencari batu mustika yang hilang
itu." Pendekar Bodoh tak bertanya lagi. Otaknya diputar untuk dapat menyerap arti
semua ucapan Iblis
Pencabut Jiwa. Sesaat, ditatapnya sang baskara yang
terus bergeser naik. Waktunya untuk dapat menyelamatkan jiwa Kemuning semakin
singkat. Merasa tak ada keterangan lain yang dapat dikorek dari mulut Iblis Pencabut
Jiwa, Pendekar Bodoh
melepas pengaruh totokannya. Dan, begitu dapat
menggerakkan tangan dan kakinya, Iblis Pencabut Jiwa yang sudah jera dan ngeri
melihat kehebatan Pendekar Bodoh langsung meloncat menjauhi.
"Pergilah! Gendong tubuh saudara sepergu-
ruanmu itu!" seru Pendekar Bodoh. "Ingat kata-kataku
ini! Jika ternyata apa yang kau katakan tadi hanya suatu kebohongan, tak segan-
segan aku meremukkan seluruh tulang-belulang mu!"
Seno mengancam penuh kesungguhan. Tapi,
wajahnya yang lugu malah semakin tampak kebodohbodohan. Iblis Pencabut Jiwa yang
benar-benar sudah
jera dan ngeri bergegas menghampiri tubuh Iblis Perenggut Roh yang masih
tergeletak pingsan di tanah.
Tanpa menoleh-noleh lagi. Iblis Pencabut Jiwa
membopong tubuh adik seperguruannya seraya lari
terbirit-birit. Sementara, Pendekar Bodoh menatap kepergian kakek gemuk bulat
itu sambil nyengir kuda.
"Aku harus segera mendapatkan batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...," tekad Seno.
"Aku harus segera mendapatkannya! Tapi..., aku tak
tahu batu mustika itu dibawa siapa?"
Pendekar Bodoh menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Perutnya yang lapar memperdengarkan suara
berkeruyukan. Tapi, Pendekar Bodoh tak mau ambil
peduli. Dia terus memutar otak. Namun, tetap saja akal pikirannya menemui jalan
buntu. Siapa yang membawa batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air'" Pertanyaan itu tidak pernah bisa dijawab oleh
Pendekar Bodoh!
"Astaga...!"
Mendadak, Pendekar Bodoh berseru kaget. Tanah tempatnya berpijak tiba-tiba
bergetar. Suara gemuruh terdengar dari dalam tanah. Batang-batang pohon di
sekitar tempat Pendekar Bodoh berdiri tampak
bergerak-gerak bagai terserang gempa. Akibatnya, butiran kerikil dan gumpalan
batu menggelinding berpindah tempat. Lalu....
Brolll...! "Ya, Tuhan...."
Sekali lagi, Pendekar Bodoh berseru kaget. Sekitar lima tombak dari hadapan
pemuda lugu ini, permukaan tanah ambrol, dan dari dalamnya muncul sesosok
manusia! *** 8 "CUKUP! Cukup, Adiguna!" seru Setan Selaksa
Wajah. "Kukira tubuh lelaki jahanam yang masuk ke
perutmu itu telah hancur luluh!"
Katak raksasa bernama Adiguna yang sedang
menyembur-nyemburkan gumpalan api ke angkasa
langsung menghentikan perbuatannya. Untuk beberapa lama, hawa di lereng Bukit
Pralambang jadi panas.
Daun-daun jati yang semula masih hijau segera telah
menguning. Sebagian malah terbakar hangus. Sementara, bau sangit menebar ke
mana-mana karena ada
puluhan ekor burung yang turut terbakar hangus. Semua itu akibat tenaga
'Mengolah Api Guncangkan
Bumi' yang baru saja dikeluarkan oleh satwa tunggangan Setan Selaksa Wajah.
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Adiguna mengeluarkan suara ngorok sambil
menggeser-geser dua kakinya yang menginjak tanah.


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah yang duduk di
leher katak raksasa itu tampak menengadahkan wajahnya ke angkasa, sementara
tangan kirinya mengelus-elus leher satwa tunggangannya.
"Ha ha ha...!" tawa pongah Setan Selaksa Wa-
jah. "Lelaki bertopeng itu sudah mati dengan tubuh
hancur luluh menjadi abu! Tidak ada lagi orang yang
mengejarku untuk merampas kembali Pusaka Pedang
Naga. Tidak ada pula yang akan mengungkit-ungkit
masalah cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Aku
bebas melangkahkan kaki ke mana aku suka. Kodok
Wasiat Dewa pun telah berada di tanganku! Kini, aku
bisa mewujudkan cita-citaku. Ha ha ha..,!"
Selagi Setan Selaksa Wajah tertawa senang,
kembali Adiguna menggeser-geser dua kakinya yang
menginjak tanah. Tubuh Setan Selaksa Wajah tampak
bergoyang-goyang.
"Ya! Ya, aku tahu kemauanmu, Adiguna!" ujar
Setan Selaksa Wajah, menepuk-nepuk leher satwa
tunggangannya. "Kita memang harus segera menghadap sang pemimpin...."
Usai berkata, Setan Selaksa Wajah memperkeras tepukannya. Adiguna mengeluarkan
suara ngorok tiga kali seraya memutar tubuh. Tiba-tiba terdengar
suara berdebum keras. Timbul tiupan angin kencang
yang menyertai berguncangnya permukaan tanah. Kiranya, hal itu akibat perbuatan
Adiguna yang menjejakkan dua kakinya ke tanah.
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Bummm...! Di lain kejap, tubuh raksasa Adiguna melayang
tinggi di udara dan melesat sebat ke utara. Terdengar
lagi suara berdebum keras manakala tubuh Adiguna
mendarat di tanah. Dengan cara meloncat-loncat, katak raksasa itu membawa Setan
Selaksa Wajah untuk
pergi ke suatu tempat.
Namun, tanpa diketahui oleh Adiguna dan Setan Selaksa Wajah, sesosok bayangan
muncul dari balik pohon jati seraya berkelebat menguntit. Sesosok
bayangan itu terus menguntit di belakang Adiguna
dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya yang
hebat luar biasa.
Satu kali loncatan Adiguna dapat menempuh
jarak sekitar seratus tombak. Bahkan, tubuh katak
raksasa itu dapat melesat cepat sekali laksana menyatu dengan hembusan angin.
Namun demikian, sosok
bayangan yang menguntit dapat mengimbangi lesatan
tubuh Adiguna. Itu pertanda bahwa si penguntit memang bukan tokoh sembarangan.
Saat Adiguna menghentikan loncatannya di sebuah padang tandus bernama Padang
Angin Malaikat,
si penguntit menghentikan pula kelebatan tubuhnya
seraya bersembunyi di balik bongkahan batu besar.
Ternyata, dia seorang lelaki berpakaian putih-putih
dan mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih.
Ksatria Topeng Putih!
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu memang belum
mati. Tenaga 'Mengolah Api Guncangkan Bumi' yang
dikeluarkan oleh Adiguna sama sekali tidak membuat
hancur tubuhnya. Ksatria Topeng Putih memang
mempunyai ilmu kesaktian yang hampir tidak masuk
akal pikiran. "Gatal tanganku melihat kesombongan durjana
laknat itu...," kata hati Ksatria Topeng Putih dalam hati. "Dia benar-benar seorang manusia yang
kelewat sombong, padahal dia baru saja ku kelabui...."
Benar! Setan Selaksa Wajah memang telah termakan tipu muslihat Ksatria Topeng
Putih. Pada waktu Setan Selaksa Wajah melepas pukulan 'Pelebur Sukma' untuk
menyelamatkan diri sekaligus memukul balik Ksatria Topeng Putih yang
mengirim pukulan 'Sinar Merah Perontok Jiwa', dia tidak tahu kalau Ksatria
Topeng Putih mengeluarkan
pula ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Ketika terjadi ledakan
dahsyat akibat bentrokan dua ilmu pukulan tingkat
tinggi itu, Ksatria Topeng Putih berkelebat lalu berlindung di balik bongkahan
batu besar. Karena Ksatria
Topeng Putih mengeluarkan ilmu 'Sihir Penutup Raga',
maka kelebatan tubuhnya tidak diketahui oleh Setan
Selaksa Wajah maupun sang katak raksasa Adiguna.
Kemudian, dengan menggunakan ilmu 'Sihir
Penghidup Benda Mati', Ksatria Topeng Putih menipu
pandangan Setan Selaksa Wajah dan Adiguna. Mereka
melihat sosok Ksatria Topeng Putih yang telah terluka
dalam tengah berdiri terhuyung-huyung. Padahal, sosok yang mereka lihat itu
sebenarnya hanyalah sebatang ranting pohon jati yang digerakkan oleh Ksatria
Topeng Putih dengan tenaga dalam yang bersifat mendorong dan menarik.
Berkat kekuatan tenaga dalam itu, Ksatria Topeng Putih berhasil memasukkan
ranting pohon jati
yang telah disihirnya ke dalam perut Adiguna. Dan, Setan Selaksa Wajah pun
benar-benar tertipu. Dia menyangka bila benda yang masuk ke perut Adiguna adalah
tubuh Ksatria Topeng Putih.
Karena takut terjadi apa-apa, Setan Selaksa
Wajah lalu memerintahkan Adiguna untuk mengerahkan tenaga 'Mengolah Api
Guncangkan Bumi'. Tentu
saja ranting pohon jati terbakar hangus oleh gumpalan
api yang tersimpan di dalam perut Adiguna. Dan, Setan Selaksa Wajah pun
menyangka Ksatria Topeng Putih benar-benar telah dijemput ajal. Murid murtad
Dewa Dungu itu tidak tahu bila Ksatria Topeng Putih tengah bersembunyi di balik
bongkahan batu besar dan
sedang menunggu kesempatan untuk dapat melaksanakan rencana yang telah
disusunnya. *** "Melihat sikap durjana laknat itu, agaknya dia
sedang menanti kehadiran seseorang yang amat diseganinya," kata hati Ksatria
Topeng Putih, terus memperhatikan Setan Selaksa Wajah yang masih duduk di
leher sang katak raksasa Adiguna.
Sementara itu, Setan Selaksa Wajah tengah digeluti perasaan tegang. Berkali-kali
dia mendesah panjang seraya meraba-raba Kodok Wasiat Dewa yang tersimpan di
balik bajunya. Pandangan kakek berwajah pemuda itu terus
tertuju ke satu arah. Sementara, jauh di depan sana,
yang tampak hanyalah butir-butiran pasir yang diterbangkan angin. Sapuan angin
di Padang Angin Malaikat memang senantiasa menerbangkan butiran pasir
yang bisa membuat orang tersesat karena pandangannya terhalang. Padang Angin
Malaikat amat jarang dijamah manusia. Angin yang tertiup di tanah tandus
berpasir itu seringkali berubah menjadi angin puting
beliung yang mempunyai kekuatan luar biasa untuk
menelan kemudian melontarkan tubuh manusia sampai ratusan tombak jauhnya.
Seorang tokoh silat tingkat atas pun akan mati dengan tubuh hancur terceraiberai
apabila dilontarkan angin puting beliung yang
muncul di Padang Angin Malaikat. Oleh karena itulah,
Setan Selaksa Wajah tak berani memerintahkan Adiguna untuk memasuki Padang Angin
Malaikat lebih jauh. "Agaknya, durjana laknat itu tak membawa Pusaka Pedang Naga...," kata hati
Ksatria Topeng Putih
yang masih mengintai dari balik bongkahan batu besar. "Namun, itu pun tak jadi
apa. Yang paling penting,
aku harus bisa merampas Kodok Wasiat Dewa. Kalau
durjana itu menelannya, rimba persilatan benar-benar
akan menjadi ajang pertumpahan darah. Aku khawatir, durjana itu akan terus
mengumbar keangkaramurkaannya.... "
Tubuh Ksatria Topeng Putih bergetar saat melihat butiran pasir yang beterbangan
semakin tebal. Sementara kemudian, tiupan angin berubah arah, lalu
berputar-putar amat cepat. Butiran pasir menyembur
ke satu titik di angkasa, kemudian jatuh menebar ke
berbagai penjuru.
"Angin puting beliung...," desis Setan Selaksa
Wajah, menatap nanar putaran angin yang semakin
lama semakin cepat.
Sebenarnya, angin puting beliung yang muncul
itu berjarak sekitar seratus tombak dari hadapan Setan Selaksa Wajah. Namun,
Setan Selaksa Wajah dapat merasakan kekuatan angin yang punya daya hisap
dahsyat itu. Maka, tanpa pikir panjang lagi Setan Selaksa Wajah menepuk bahu
Adiguna dengan telapak
kakinya. Dia memberi isyarat agar Adiguna memperkuat cengkeraman kakinya di
tanah. Sementara dia
sendiri berpegangan pada gerigi kuat leher katak raksasa itu.
Ksatria Topeng Putih, yang berada sekitar tiga
puluh tombak di sebelah kanan Adiguna tampak pula
berpegangan erat pada bongkahan batu yang dijadikannya sebagai tempat
berlindung. Karena daya isap
angin puting beliung semakin kuat, Ksatria Topeng Putih melindungi dirinya
dengan ilmu memperberat tubuh.
Glarrr...! Wusss,..! Mendadak dari pusat putaran angin putih beliung terdengar ledakan keras yang
disusul dengan melesatnya segumpal cahaya kuning menuju ke hadapan Adiguna. Begitu menyentuh ke
permukaan tanah
berpasir, gumpalan cahaya itu berubah menjadi sosok
manusia! Sosok manusia yang muncul dari pusat putaran angin puting beliung itu seorang
kakek berpakaian
serba kuning. Bahkan, kulit dan rambutnya pun berwarna kuning seperti dilumuri
air perasan kunyit!
Anehnya, si kakek duduk di atas batu persegi pipih
yang terus melayang di udara!
"Raja Penyasar Sukma...," desis Setan Selaksa
Wajah, menyebut julukan si kakek yang duduk di atas
batu terbang. Sementara, Ksatria Topeng Putih tampak membelalakkan mata melihat kemunculan
Raja Penyasar Sukma. Di balik topeng baja putihnya, wajah lelaki
berpakaian putih-putih itu langsung menegang kaku.
"Tak kusangka! Benar-benar tak kusangka bila
orang bernama Banyak Langkir itu memiliki ilmu kesaktian yang sedemikian hebat.
Kukira, semua itu berkat Kitab Tiga Dewa yang dicurinya dari Istana Mahespati
lima tahun yang lalu...," pikir Ksatria Topeng Putih. Banyak Langkir adalah nama
kecil Raja Penyasar
Sukma. Sementara Ksatria Topeng Putih terbawa perasaan tegang yang membuat hatinya
berdebar-debar,
Raja Penyasar Sukma tertawa bergelak panjang sekali.
"Ha ha ha...! Aku tahu kedatanganmu ini membuahkan hasil seperti yang
kuinginkan, Mahisa Lodra!
Ha ha ha...! Aku tahu kau membawa Kodok Wasiat
Dewa. Cepat serahkan benda itu!"
Mendengar perintah Raja Penyasar Sukma, bola
mata Setan Selaksa Wajah langsung berkilat tajam.
Namun, cepat meredup lagi manakala Raja Penyasar
Sukma menggerendeng marah.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Mahisa Lodra"!"
bentak Raja Penyasar Sukma, keras menggelegar. "Bila
kau sengaja mengundang hawa amarahku, apa kau
pikir kau punya nyawa rangkap, heh"!"
"Bukan! Bukan begitu!" sahut Setan Selaksa
Wajah. "Mana aku berani melawanmu, Raja Penyasar
Sukma. Aku tadi hanya terkejut melihat kedatanganmu yang sangat berlainan dari
biasanya...."
Raja Penyasar Sukma tertawa bergelak lagi. Batu persegi yang didudukinya
meluncur turun hingga
menyentuh permukaan tanah berpasir, lalu melesat
naik lagi. "Tidak percuma aku mempelajari Kitab Tiga
Dewa selama lima tahun...," ujar Raja Penyasar Sukma, bangga. "Kini, aku telah
menguasai seluruh bagian
kitab itu. Setahun yang lalu, kau tentu sudah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, bagaimana aku telah menguasai ilmu 'Dewa Penghancur' dan 'Dewa
Pelanglang Jagat'. Bagian lain yang telah ku kuasai dari
Kitab Tiga Dewa adalah apa yang sedang kau saksikan
ini. Aku telah menguasai ilmu 'Dewa Angkasa'. Ha ha
ha...! Cepatlah! Cepat kau serahkan Kodok Wasiat Dewa agar aku dapat pula
menyempurnakan ilmu warisan leluhur ku yang bernama 'Raja Tiwikrama'!"
Mendengar Raja Penyasar Sukma menyebut Ilmu 'Raja Tiwikrama', Ksatria Topeng
Putih terhantam
keterkejutan. Jantung lelaki bertopeng itu langsung
berdegup lebih kencang. Sepanjang pengetahuannya,
ilmu 'Raja Tiwikrama' hanya ada pada masa dua ratus
tahun silam. Orang yang dapat menguasai ilmu itu secara sempurna, mampu
memperbesar tubuhnya hingga puluhan kali lipat. Dengan kata lain, ilmu 'Raja
Tiwikrama' adalah ilmu merubah tubuh menjadi raksa-
sa. "Aku tahu Banyak Langkir adalah seorang tokoh yang amat licik dan kejam. Amat
berbahaya apabila dia menguasai ilmu 'Raja Tiwikrama' dengan sempurna...," gumam
Ksatria Topeng Putih. "Aku harus
mencegahnya! Aku harus dapat merampas Kodok Wasiat Dewa! Soal Pusaka Pedang Naga
biarlah nanti kuurus di lain waktu. Tentang cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' biar Ratu
Perut Bumi sendiri yang
mengurusnya...."
"Ayo, tunggu apa lagi"!" seru Raja Penyasar
Sukma, semakin tak sabaran.
"Hmmm.... Soal menyerahkan Kodok Wasiat
Dewa adalah suatu hal yang amat mudah...," sahut Setan Selaksa Wajah. "Tapi,
dapatkah kau memegang kata-kata yang kau ucapkan dulu, Ba... eh, Raja Penyasar
Sukma?" "Kata-kataku yang mana, heh"!" bentak Raja
Penyasar Sukma. "Apa kau lupa bila Adiguna yang kau
tunggangi itu adalah milikku yang kini telah kuserahkan dan ku jinakkan
untukmu?" "Ya! Ya, aku tetap ingat bila katak raksasa yang
maha hebat ini adalah pemberianmu. Aku hanya ingin
mengingatkan bahwa sebelum kau memerintahkan
aku mencari Kodok Wasiat Dewa, kau berjanji akan
memberikan pula Kitab Tiga Dewa kepadaku...."
"Ya! Aku ingat! Cepat kau serahkan Kodok Wasiat Dewa yang tersimpan di balik
bajumu itu!"
"Tapi, aku ingin melihat Kitab Tiga Dewa dulu...."
"Jahanam! Apa kau tak percaya kepadaku,
heh"!"
"Bukan aku tak percaya, tapi...."
Kalimat Setan Selaksa Wajah terpotong oleh ge-
ram kemarahan Raja Penyasar Sukma. Dan, Setan Selaksa Wajah pun melonjak kaget


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika Raja Penyasar
Sukma bersuit nyaring.
Bergegas Setan Selaksa Wajah meloncat turun
dari leher Adiguna. Karena, tiba-tiba katak raksasa itu
mengangkat kedua tangannya seperti hendak menangkap dan meremas tubuh Setan
Selaksa Wajah. Namun, begitu kaki Setan Selaksa Wajah menginjak tanah berpasir, dia langsung
menjerit parau.
Dari lubang hidung dan sudut bibirnya meleleh darah
segar! "Sadarkah kau, Mahisa Lodra, dengan Ilmu pukulan 'Dewa Penghancur' tingkat
kesepuluh, aku bisa
membunuhmu hanya melalui pandangan mata" Dan
kini, kau pun telah merasakannya, bukan?" cibir Raja
Penyasar Sukma.
Setan Selaksa Wajah menyeka cairan darah
yang mengotori mukanya. Dia tak menyangka sama
sekali bila akan diserang oleh pukulan kasat mata Raja
Penyasar Sukma. Saat menarik napas panjang, tahulah Setan Selaksa Wajah bila
dirinya telah menderita
luka dalam. "Keparat kau, Banyak Langkir!" umpat Setan
Selaksa Wajah dalam hati. "Dulu, kau dan aku adalah
sahabat baik. Tapi, kenapa sekarang kau menjadikan
aku sebagai budak" Huh! Kau benar-benar manusia
laknat, Banyak Langkir! Tunggu saja nanti! Kau akan
merasakan pembalasanku! Telah lama aku menyusun
siasat untuk menggulingkan kekuasaanmu!"
"Hei! Kenapa kau diam saja, Mahisa Lodra"!"
sentak Raja Penyasar Sukma. Batu persegi yang didudukinya melayang mendekati
Setan Selaksa Wajah
yang tampak memegangi dada.
Walau Raja Penyasar Sukma berada di keting-
gian karena duduk di lempengan batu yang melayang,
tapi dia tak melihat sosok Ksatria Topeng Putih yang
tengah berlindung di balik bongkahan batu besar. Ksatria Topeng Putih memang
menyamarkan sosok tubuhnya dengan ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Ilmu 'Sihir
Penutup Raga' selain bisa menyamarkan wujud badan
kasar manusia, juga mampu menghilangkan suara desah napas, detak jantung, dan
semua tanda kehidupan
lainnya. "Baik! Baiklah, akan kuserahkan Kodok Wasiat
Dewa kepadamu. Tapi, kuharap kau tidak lupa akan
janjimu...," ujar Setan Selaksa Wajah kemudian.
Raja Penyasar Sukma langsung tertawa panjang bergelak melihat Setan Selaksa
Wajah mengeluarkan sebuah kantong kain putih dari balik bajunya.
"Kantong ini berisi Kodok Wasiat Dewa yang
kau inginkan," ucap Setan Selaksa Wajah. "Setelah
kau terima nanti, kau harus segera menyerahkan Kitab Tiga Dewa kepadaku...."
Mendengar ucapan kakek berwajah pemuda
dua puluh lima tahunan itu. Raja Penyasar Sukma tertawa bergelak lagi. Tapi,
dalam hati dia berkata, "Enak
betul! Kalau Kodok Wasiat Dewa telah berada di tanganku, tak bakalan aku
menyerahkan Kitab Tiga Dewa! Kalau orang tua bodoh itu nekat meminta, dia
akan kubunuh!"
Dari jarak lima tombak, Setan Selaksa Wajah
menatap lekat sosok Raja Penyasar Sukma yang masih
duduk di batu terbang. Keadaan memang tidak menguntungkan bagi Setan Selaksa
Wajah. Maka, untuk
sementara waktu dia masih mau mengalah lagi kepada
Raja Penyasar Sukma.
"Terimalah...!" seru Setan Selaksa Wajah seraya
melemparkan kantong putih berisi Kodok Wasiat De-
wa. Namun, ketika benda ajaib yang semula tersimpan di perut Ikan Mas Dewa itu
melayang di udara,
Ksatria Topeng Putih meluruskan telapak tangan kanannya ke depan. Dengan ilmu
'Sihir Penghisap Bulan'
dia menyedot Kodok Wasiat Dewa, hingga menempel di
telapak tangannya!
Raja Penyasar Sukma yang sudah sangat gembira karena merasa akan mendapatkan
Kodok Wasiat Dewa tampak membelalakkan mata karena kaget. Demikian pula dengan Setan Selaksa
Wajah. Mereka berdua melihat kantong putih berisi Kodok Wasiat Dewa
tiba-tiba lenyap begitu saja.
"Jahanam! Siapa yang berani main-main di hadapan Raja Penyasar Sukma"!" geram
Raja Penyasar Sukma. Kakek yang rambut dan kulit tubuhnya berwarna kuning seperti dilumuri air
perasan kunyit itu
menempelkan kedua telapak tangannya di permukaan
batu persegi yang didudukinya. Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah sangat
sulit diukur, dia
mengeluarkan ilmu 'Dewa Angkasa' pada tingkatan tertinggi. Di lain kejap, tubuh
Raja Penyasar Sukma dan
batu persegi yang didudukinya berubah menjadi segumpal cahaya berwarna kuning
yang berputar-putar
di angkasa. Raja Penyasar Sukma bermaksud mencari
orang yang telah merampas Kodok Wasiat Dewa.
Setan Selaksa Wajah pun tak mau tinggal diam.
Dia langsung meloncat naik ke leher Adiguna yang sudah menjadi jinak lagi. Kakek
berpakaian serba merah
itu turut mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
Tapi, orang yang telah merampas Kodok Wasiat Dewa
tetap tak terlihat!
"Haram jadah! Mencari gara-gara dengan Raja
Penyasar Sukma, berarti mencari mati!"
Terdengar suara keras Raja Penyasar Sukma
yang tergeluti hawa amarah. Gumpalan cahaya kuning
terus melayang berputar-putar di angkasa.
Setan Selaksa Wajah pun terus mengedarkan
pandangan. Namun..., mereka berdua hanya mendapatkan rasa kecewa dan penasaran
yang tak kunjung
habis.... *** "Ya, Tuhan...," Pendekar Bodoh menyebut nama
Sang Penguasa Tunggal sekali lagi. Tubuhnya gemetaran dengan jantung berdegup
kencang. Tanpa terasa,
keringat dingin bercucuran. Kain bajunya segera menebarkan aroma harum kayu
cendana. Di hadapan pemuda remaja berwajah lugu itu,
nampak sesosok tubuh manusia yang sungguhsungguh bisa membuat siapa saja yang
melihatnya menjadi bergidik ngeri. Wujud manusia yang baru
muncul dari dalam tanah itu merupakan perpaduan
antara manusia dengan ular!
Dari pinggang ke atas, sosok tubuh itu berupa
seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju merah gemerlap seperti layaknya
seorang ratu. Di kepalanya bertengger sebuah mahkota emas bertahtakan
intan berlian. Sementara, dari pinggang ke bawah, sosok tubuh itu berbentuk ekor
ular yang panjang melingkar dan berwarna hijau berkilat!
"Jangan takut!" seru sosok tubuh itu. "Aku adalah Ratu Perut Bumi. Aku bukan
makhluk jahat! Kedatanganku justru untuk menolongmu."
"Ratu... Ratu Perut Bumi...," desis Pendekar
Bodoh, tergagap. Karena keringat dingin semakin ba-
nyak bercucuran, baju pemuda ini semakin menebarkan aroma wangi kayu cendana.
"Hmm... Baju pemuda itu menebarkan aroma
aneh yang membuat gairahku bangkit...," kata hati sosok tubuh yang mengenalkan
diri sebagai Ratu Perut
Bumi. "Aku tidak boleh terlena. Aku harus melindungi
diriku dengan ilmu 'Melebur Nafsu Membersihkan Jiwa'...."
Sesaat, Ratu Perut Bumi memejamkan kelopak
matanya. Ketika terbuka kembali, aroma harum yang
membangkitkan gairahnya tak mampu mempengaruhinya lagi.
"Hai, kau Pendekar Bodoh, dari dalam tanah
aku dapat mendengar apa yang baru terjadi di tempat
ini," ujar Ratu Perut Bumi kemudian. "Aku dapat menolongmu
untuk mendapatkan batu mustika 'Menembus Langit Bernapas Dalam Air'...."
"Apa" Benarkah itu?" kesiap Pendekar Bodoh,
lalu nyengir kuda hingga wajahnya tampak seperti
orang berotak sangat bebal.
"Orang yang membawa batu mustika itu adalah
orang yang telah mencuri cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa' milikku,..," lanjut Ratu Perut Bumi. "Dia
Setan Selaksa Wajah! Sebenarnya, aku tadi bisa saja
langsung merampas kembali cermin sakti milikku, tapi
ada orang lain yang turut mengintai semua gerak-gerik
Setan Selaksa Wajah. Aku tak mengenal pengintai itu
karena dia mengenakan topeng, hingga aku tak berani
bertindak gegabah."
"Mungkin orang yang kau maksud adalah Ksatria Topeng Putih, Ratu...," ujar
Pendekar Bodoh. Pemuda lugu ini masih belum menyadari bila kain bajunya
menebarkan aroma harum kayu cendana yang
dapat membangkitkan gairah orang lain.
"Ksatria Topeng Putih...?" desis Ratu Perut Bumi seraya berpikir-pikir. Namun
tak lama kemudian,
sosok manusia setengah ular ini berkata, "Naiklah ke
punggungku. Kita akan menemui Setan Selaksa Wajah...."
Aneh! Seperti kerbau dicocok hidungnya, tibatiba Pendekar Bodoh berjalan
mendekati seraya meloncat naik ke punggung Ratu Perut Bumi! Lalu....
Werrr...! Blussss...! Tubuh Ratu Perut Bumi melenting, kemudian
berputar cepat laksana gangsing! Di lain kejap, tubuh
manusia setengah ular itu amblas ke dalam tanah
dengan membawa Pendekar Bodoh!
SELESAI Ikuti kisah selanjutnya:
RATU PERUT BUMI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Latah 18 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Lembah Nirmala 7
^