Pencarian

Setan Selaksa Wajah 1

Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah Bagian 1


1 PUCUK-PUCUK cemara melambai dalam senyuman, menyambut siraman sinar mentari sore
hari. Aneka warna burung parkit berkicau riang bersama
elusan sang bayu. Di antara jajaran manusia yang
berdiri di tepi Telaga Dewa, dua sosok bayangan berkelebat meninggalkan perahu
yang mereka tumpangi.
Kedua bayangan itu berkelebat cepat sekali dan
menimbulkan tiupan angin kencang bergemuruh.
Daun cemara berguguran, jatuh ke tanah bagai ribuan
jarum yang ditebarkan dari angkasa. Ketika melewati
sebuah aliran sungai yang berada di utara Kota Gambiran, sosok bayangan yang ada
di belakang berteriak
keras, "Berhentilah, Sahabat! Kita salah langkah!"
Mendengar teriakan yang dialiri tenaga dalam itu, sosok bayangan yang ada di
depan langsung menghentikan kelebatan tubuhnya. Ternyata, dia seorang kakek
berkepala gundul licin. Tubuhnya yang tinggi besar
terbungkus jubah kuning dan selempang kain merah
bercorak kotak-kotak. Wajahnya yang halus menyiratkan sifat welas asih. Seuntai
tasbih melingkar di
leher kakek yang tampaknya amat pendiam itu.
"Salah langkah bagaimana, Sahabatku Sastrawan Berbudi?" tanya kakek berjubah
kuning yang tak
lain dari Pendeta Tasbih Terbang.
Yang ditanya adalah seorang kakek berwajah
halus, berkumis, dan berjenggot tipis. Tubuhnya kurus
tinggi, mengenakan pakaian serba hijau. Rambutnya
yang telah memutih dibiarkan tergerai bebas. Dia adalah Bagus Tembihi yang lebih
dikenal dengan sebutan
Sastrawan Berbudi.
"Kau berteriak menghentikan langkahku. Kau
katakan bahwa kita telah salah langkah. Aku tak tahu
apa maksudmu, Sahabat...," ujar Pendeta Tasbih Terbang melihat Sastrawan Berbudi
tak segera menjawab
pertanyaannya. "Jangan-jangan pemuda itu mengecoh kita...,"
sahut Sastrawan Berbudi, tidak seyakin teriakannya
tadi. "Mengecoh bagaimana, Sahabat?" Pendeta Tasbih Terbang bertanya lagi dengan
kening berkerut rapat.
"Kita tidak tahu siapa dia. Kita tidak tahu pula
apa maksudnya meninggalkan Telaga Dewa. Kenapa
dia meninggalkan Ikan Mas Dewa yang telah dilukainya" Apakah dia tidak
menginginkan Kodok Wasiat
Dewa?" Mendengar ucapan Sastrawan Berbudi yang
cukup panjang Itu, kerut di kening Pendeta Tasbih
Terbang itu semakin merapat. Setelah berpikir dan
menimbang, si kakek gundul berkata, "Kita memang
tak tahu siapa dia, Sahabat. Tapi, bukankah kita berdua telah mendengar bila
Pendekar Bodoh menyebut
pemuda itu sebagai Mahisa Lodra" Mahisa Lodra adalah Setan Selaksa Wajah! Dia
telah melakukan serangkaian tindakan kejam. Pusaka Pedang Naga yang dibawanya
tentu hasil rampasan atau curian. Bukankah
pedang pusaka itu milik Ksatria Seribu Syair?"
"Benar apa yang kau katakan, Sahabatku Tasbih Terbang," sambut Sastrawan
Berbudi. "Pusaka Pedang Naga memang milik Ksatria Seribu Syair. Semula,
pedang itu adalah salah satu benda pusaka Istana
Mahespati semasa Prabu Darma Sagotra masih memerintah...."
"Ya. Ya, aku tahu riwayat pedang itu, termasuk
riwayat Ksatria Seribu Syair yang sebenarnya adalah
putra Prabu Darma Sagotra," sergap Pendeta Tasbih
Terbang. "Tapi kita tak perlu mengusik-usik riwayat bekas putra mahkota itu walau dia
juga sahabat baik kita. Hanya, aku masih merasa heran atas sikapmu yang
meminta ku berhenti mengejar Mahisa Lodra, Sahabat...."
"Ya. Aku bisa membaca jalan pikiranmu, Sahabatku Pendeta Tasbih Terbang," tukas
Sastrawan Berbudi. "Kau tentu ingin segera menghukum mati Mahisa
Lodra dan merampas kembali Pusaka Pedang Naga milik Ksatria Seribu Syair sahabat
kita itu. Namun... tidakkah kau melihat satu keanehan pada sikap Mahisa
Lodra ini?"
Pendeta Tasbih Terbang terdiam. Jalan pikirannya diputar-putar, tapi apa yang
dimaksud oleh Sastrawan Berbudi tetap tak tertemukan juga. Pendeta
Tasbih Terbang cuma dapat mengerutkan kening, menatap wajah Sastrawan Berbudi
dengan segudang tanda tanya.
"Cobalah kau pikir, Sahabat. Mahisa Lodra telah berhasil melukai Ikan Mas Dewa,
tapi kenapa dia
malah berlari meninggalkan ikan raksasa itu?" lanjut
Sastrawan Berbudi.
"Dia bukan meninggalkannya, Sahabat," tukas
Pendeta Tasbih Terbang. "Kita tahu dengan mata kepala sendiri, Mahisa Lodra
mengejar Ikan Mas Dewa yang
meluncur ke arah timur. Kita juga melihat dengan mata kepala sendiri, Ikan Mas
Dewa menyelam dan tak
muncul-muncul lagi. Mungkin karena itulah Mahisa
Lodra berlari meninggalkan Telaga Dewa."
"Hmmm.... Jalan pikiranmu terlalu sederhana,
Sahabat," sambut Sastrawan Berbudi tanpa bermak-
sud menyinggung perasaan Pendeta Tasbih Terbang.
"Lalu, menurutmu ada apa di balik perbuatan
Mahisa Lodra ini?" tanya Pendeta Tasbih Terbang, benar-benar tak tahu apa yang
terkandung di dalam pikiran Sastrawan Berbudi.
"Mahisa Lodra sengaja meninggalkan Ikan Mas
Dewa yang telah dilukainya. Dia bermaksud menunggu
sampai muncul seseorang yang dapat mengambil Kodok Wasiat Dewa dari dalam perut
Ikan raksasa itu...."
"Ya..., ya! Aku tahu sekarang," sergap Pendeta
Tasbih terbang. "Mahisa Lodra hanya mau membuka
Jalan. Setelah jalan yang dibukanya itu membuahkan
hasil, dia akan muncul lagi untuk merampas benda
yang dia inginkan."
"Kita memang telah terkecoh!" tegas Sastrawan
Berbudi. "Susan payah kita berlari mencari Mahisa Lodra, sementara orang yang
kita cari masih berada di
sekitar Telaga Dewa tanpa sepengetahuan kita."
"Ya! Kalau begitu, kita kembali," cetus Pendeta
Tasbih Terbang tanpa ragu-ragu lagi. "Sungguh aku
merasa ngeri bila harus melihat Telaga Dewa jadi ajang
pertumpahan darah!"
Sastrawan Berbudi mengangguk. Sekali menjejak tanah, tubuh kakek berpakaian
serba hijau ini melayang belasan tombak jauhnya. Bergegas Pendeta
Tasbih Terbang mengikuti. (Agar lebih jelas dalam
mengikuti jalan cerita ini, silakan baca serial Pendekar
Bodoh episode: "Kemelut Di Telaga Dewa").
Namun, belum genap dua ratus tombak jarak
yang ditempuh, mendadak Sastrawan Berbudi menghentikan kelebatan tubuhnya.
Diapit dua batang pohon cemara tinggi menjulang, empat orang kakek berkepala
gundul tampak berdiri tegak menghadang. Mereka sama-sama berwajah garang,
mengenakan rompi
kuning dan celana merah.
"Empat Setan Gundul...," desis Sastrawan Berbudi seraya menghentikan kelebatan
tubuhnya. Pendeta Tasbih Terbang turut terhantam keterkejutan. Serta-merta dia pun
menghentikan kelebatan
tubuhnya. Ditatapnya sosok Empat Setan Gundul dengan
kening berkerut rapat.
"Aku tahu kalian sengaja menghadang. Apakah
peristiwa di Telaga Dewa membuat kalian penasaran?"
tebak Sastrawan Berbudi.
Empat Setan Gundul yang sama-sama memegang golok terhunus tampak maju selangkah
bersamaan. Secara bersamaan pula, mereka mengacungkan
golok ke depan. Sikap mereka begitu kasar dan menyiratkan nafsu membunuh.
Golok yang dibawa Empat Setan Gundul adalah
hasil rampasan. Golok mereka sendiri yang lebih bagus
dan terbuat dari logam pilihan telah tenggelam di dasar Telaga Dewa saat
bertempur dengan Seno Prasetyo
atau Pendekar Bodoh yang dibantu Sastrawan Berbudi
dan Pendeta Tasbih Terbang.
"Jahanam kau, Sastrawan Jelek! Sudah tahu
kenapa bertanya lagi"!" sentak salah satu dari Empat
Setan Gundul yang mengenakan kalung perak. Namanya Surogentini.
Sambil berkata, Surogentini menggerakgerakkan goloknya seakan sedang mencacah wajah
Sastrawan Berbudi. Sementara, ketiga teman Surogentini yang bernama Surogati,
Waraksuro, dan Banyaksuro langsung memasang kuda-kuda.
Namun, Sastrawan Berbudi malah tersenyum.
Ditatapnya wajah Empat Setan Gundul bergantian.
"Kupikir, aneh juga tindakan kalian ini," ujarnya.
"Jauh-jauh kalian datang dari Pesisir Laut Selatan tentu terkandung satu tujuan
untuk mendapatkan Kodok
Wasiat Dewa. Tapi, kenapa kalian malah hendak menantang perkara denganku,
padahal aku tidak membawa benda yang kalian inginkan itu?"
"Jangan banyak mulut kau, Sastrawan Kudisan!" sergap Waraksuro. "Kau dan
temanmu, pendeta
gendeng itu, telah mempermalukan kami di hadapan
sekian banyak orang! Untuk mendapatkan Kodok Wasiat Dewa, kami pikir masih
banyak waktu. Yang terpenting dan yang harus segera kami lakukan adalah
mengembalikan nama besar Empat Setan Gundul. Dan
ketahuilah kau, Sastrawan Kudisan, hanya ada satu
cara untuk mengembalikan nama besar Empat Setan
Gundul, yaitu mencincang tubuhmu beserta pendeta
gendeng itu!"
"Segala puji bagi Tuhan...," sebut Pendeta Tasbih Terbang, menghela napas
panjang. "Apa yang kami
lakukan sebenarnya hanyalah untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sungguh
aku dan sahabatku, Sastrawan Berbudi, tidak bermaksud menjatuhkan nama besar
kalian, apalagi...."
"Cukup!" potong Banyaksuro.
"Tak perlu bersilat lidah!" timpal Surogati. "Segera kau keluarkan senjatamu,
Pendeta Gendeng!
Hiaattt...!"
Bergegas Pendeta Tasbih Terbang membuang
tubuh ke kiri. Golok di tangan Surogati berkelebat
memburu kematian. Sementara, Banyaksuro pun
langsung meloncat untuk membantu serangan Surogati.
Menghadapi serangan-serangan yang cukup
berbahaya itu, mau tak mau Pendeta Tasbih Terbang
mesti melepas seutas tasbih yang melingkar di leher-
nya. Tasbih yang terbuat dari jalinan butir-butir kain
yang amat keras itu berputaran di angkasa, menimbulkan suara gemuruh yang
memekakkan gendang telinga.
Melihat dua orang temannya telah terlibat dalam pertarungan sengit, Surogentini
dan Waraksuro tak mau tinggal diam. Kedua kakek yang sama-sama
bertubuh kekar itu langsung menerjang Sastrawan
Berbudi. Sampai tiga jurus, Sastrawan Berbudi masih
dapat bertahan dan membalas serangan tanpa mengeluarkan senjatanya. Namun
setelah Surogentini dan
Waraksuro memainkan jurus-jurus gabungan dan
memperlihatkan serangan yang susul-menyusul, Sastrawan Berbudi terdesak.
Terpaksa dia mengeluarkan
senjata alat tulisnya dari balik pakaian.
Senjata Sastrawan Berbudi berupa sebatang
bambu sepanjang tiga jengkal. Di salah satu ujungnya
terdapat bulu-bulu halus yang terbuat dari bulu beruang. Namun, di balik
kesederhanaan senjata Sastrawan Berbudi itu tersimpan kekuatan luar biasa. Alat
tulis itu telah direndam dalam cairan pengawet selama
dua tahun dan dikeringkan dengan kekuatan panas
bumi selama berbulan-bulan. Sehingga, senjata Sastrawan Berbudi memiliki
kekuatan yang tak kalah jika dibanding dengan sebatang pedang.
Lebih hebat lagi, bila senjata Sastrawan Berbudi dialiri tenaga dalam, maka
bulu-bulu halus di ujung
alat tulis itu dapat mengejang kaku dan menjadi runcing menyerupai alat tusuk
yang cukup mampu untuk
melubangi sebongkah batu kali.
Oleh karena itulah, Sastrawan Berbudi berani
menggunakan alat tulisnya untuk menangkis ketajaman golok Surogentini dan
Waraksuro. Bahkan, mam-
pu membuat kedua kakek berwajah garang itu terperangah. Golok di tangan mereka
mulai rompal di beberapa tempat karena berbenturan dengan alat tulis Sastrawan
Berbudi. Sementara, senjata Pendeta Tasbih Terbang
pun tak kalah hebat. Tasbih kakek berjubah kuning
itu tampak melayang-layang di udara, berusaha menggempur pertahanan Surogati dan
Banyaksuro. Setiap berbenturan dengan batang golok, tasbih
itu akan melenting dan melesat lebih cepat mengincar
bagian-bagian tubuh terpenting lawan. Untaian tasbih
benar-benar dapat terbang ke sana-sini karena Pendeta Tasbih Terbang
mengendalikannya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang bersifat
mendorong dan mengisap.
Maka, pertempuran di sela-sela jajaran pohon
cemara itu semakin lama semakin seru. Batang-batang
cemara pecah dan sebagian malah tumbang akibat tebasan ataupun hantaman senjata
yang nyasar. Aneka
warna burung parkit yang biasa bertengger di pucukpucuk cemara tampak terbang
menjauh, tak tahan
melihat sifat keras manusia... yang haus darah!
*** "Ke mana mereka?" tanya seorang kakek kurus
berpakaian kuning-hitam. Berkali-kali kakek ini memutar tubuh karena sedang
mengedarkan pandangan.
Melihat wajahnya yang menyiratkan kekejaman
itu, siapa lagi dia kalau bukan Iblis Perenggut Roh!
Sementara, kakak seperguruan Iblis Perenggut
Roh, yaitu Iblis Pencabut Jiwa tampak mengedarkan
pandangan pula. Namun, perilaku kakek bertubuh
gemuk bulat itu terkesan lebih tenang dan sangat hati-
hati. "Biarkan saja mereka pergi. Kita cari saja pemuda gemblung berjuluk Pendekar
Bodoh. Aku benarbenar telah dibuat penasaran," sahut Iblis Pencabut
Jiwa. Mendengar ucapan kakak seperguruannya, Iblis Perenggut Roh langsung mengarahkan


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangan ke Telaga Dewa. Namun, sosok yang dicarinya sudah
tak tampak lagi. Iblis Perenggut Roh lalu menatap wajah Iblis Pencabut Jiwa
dengan penuh tanda tanya.
"Dia telah pergi, Goblok!" maki Iblis Pencabut
Jiwa. "Kalau dia masih ada di tempatnya, bagaimana
mungkin aku masih berada di sini"!"
"Ya. Ya! Kita memang harus mencarinya," sambut Iblis Perenggut Roh dengan suara
bergetar. Kakek
kurus ini memang menyimpan rasa takut terhadap
kakak seperguruannya.
"Kau ikuti aku!" ajak Iblis Pencabut Jiwa seraya
menjejak tanah.
Walau tubuh Iblis Pencabut Jiwa gemuk bulat,
tapi dia mampu berkelebat cepat. Hingga, tubuh kakek
yang rambutnya dikelabang itu seakan berubah menjadi bola berwarna kuning-hitam
yang terus melentinglenting di udara. Sementara, Iblis Perenggut Roh yang
mengikuti juga berkelebat tak kalah cepat.
Setelah mengitari Telaga Dewa, kedua kakek
yang juga terkenal dengan sebutan Dua Iblis dari Gunung Batur itu berkelebat ke
utara. Iblis Pencabut Jiwa yang berada di depan tampak mengerahkan seluruh
kemampuan berlari cepatnya.
"Cepatlah!" seru Iblis Pencabut Jiwa. "Aku
mendengar suara pertempuran. Mungkin dia ada di
sana" Iblis Perenggut Roh tak menyahuti. Namun,
bergegas dia mengempos tenaga pula. Dia kerahkan
seluruh kemampuan ilmu peringan tubuhnya untuk
dapat mengimbangi kelebatan Iblis Pencabut Jiwa.
Beberapa tarikan napas kemudian, Iblis Pencabut Jiwa menghentikan kelebatan
tubuhnya. Dia berdiri tegak menatap empat kakek bersenjata golok yang
tengah bertempur dengan dua orang kakek bersenjata
tasbih dan alat tulis.
"Mereka Empat Setan Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Pendeta Tasbih Terbang," beri
tahu Iblis Perenggut Roh yang juga telah menghentikan kelebatan
tubuhnya. "Aku sudah tahu!" sentak Iblis Pencabut Jiwa.
Mengelam paras Iblis Perenggut Roh mendengar
ucapan kasar kakak seperguruannya itu. Namun, dia
tak berbuat apa-apa kecuali terus menatap pertempuran yang tengah berlangsung
sekitar lima puluh tombak dari hadapannya.
Mendadak, Iblis Perenggut Roh mengepal tinju.
Jajaran giginya saling bertautan, mengeluarkan suara
gemelutuk. Iblis Perenggut Roh teringat pada peristiwa
di Kedai Mawar. Gara-gara bertengkar mulut dengan
Sastrawan Berbudi, dia sempat dipermalukan oleh
Dewi Pedang Halilintar.
"Jahanam kau, Sastrawan Bau!"
Iblis Perenggut Roh memekik nyaring. Dia berkelebat cepat sekali. Sepuluh jari
tangannya terkepal
untuk mengirim pukulan 'Merenggut Roh Mencabut
Jiwa'! Sastrawan Berbudi terkesiap mengetahui kelebatan tubuh Iblis Perenggut Roh yang
tiba-tiba datang
menyerangnya. Tanpa pikir panjang, Sastrawan Berbudi menarik dua tusukan alat
tulis yang ditujukan
kepada Surogentini dan Waraksuro. Lalu dia melen-
tingkan tubuhnya jauh ke samping kanan untuk
menghindari pukulan Iblis Perenggut Roh yang datang
bertubi-tubi. Sebenarnya, Sastrawan Berbudi hampir dapat
memukul mundur Surogentini dan Waraksuro. Namun, kedatangan Iblis Perenggut Roh
telah membuat keadaan jadi terbalik. Kelebatan tangan Iblis Perenggut
Roh selalu disertai bau anyir darah yang membuat isi
perut bagai diaduk-aduk. Perhatian Sastrawan Berbudi
jadi terpecah. Hingga sedikit demi sedikit, ganti Sastrawan Berbudi yang
terdesak. "Bagus, Sahabat! Kita cincang saja sastrawan
jelek Itu!" seru Surogentini, menyebut Iblis Perenggut
Roh sebagai 'sahabat' walau belum begitu mengenal.
Iblis Pencabut Jiwa masih berdiri terpaku di
tempatnya. Dia perhatikan Surogati dan Banyaksuro
yang tengah bertempur melawan Pendeta Tasbih Terbang. Walau belum pernah
berjumpa sebelumnya, Iblis
Pencabut Jiwa banyak mendengar kebesaran nama
Empat Setan Gundul sebagai tokoh-tokoh aliran hitam.
Maka, merasa sebagai tokoh satu aliran, Iblis Pencabut
Jiwa berkelebat menerjang Pendeta Tasbih Terbang.
Lupa sudah Iblis Pencabut Jiwa kepada Pendekar Bodoh yang sedang dicarinya. Dia
menerjang Pendeta
Tasbih Terbang seperti orang kesetanan. Seluruh amarah dan kekesalannya
ditumpahkan kepada kakek berjubah kuning itu.
"Segala puji bagi Tuhan...," sebut Pendeta Tasbih Terbang sambil menghindari
pukulan Iblis Pencabut Jiwa.
"Sebut terus nama Tuhan-mu agar kau tak menyesal bila nanti kepalamu
kupecahkan!" ujar Iblis
Pencabut Jiwa. Kedua tangan dan kaki kakek gemuk
bulat ini mengirim serangan-serangan yang amat ber-
bahaya. Seperti Iblis Perenggut Roh, kelebatan tangan
Iblis Pencabut Jiwa juga menebarkan bau anyir darah
yang memualkan perut. Agaknya, Iblis Pencabut Jiwa
pun mengeluarkan ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'!
Melihat ada bantuan datang, Surogati dan Banyaksuro berseru girang dalam hati.
Mereka tadi sudah hampir putus asa karena tak dapat mendesak
Pendeta Tasbih Terbang. Bahkan, beberapa anggota
tubuh mereka telah menjadi sasaran tasbih terbang si
pendeta. Kedatangan Iblis Pencabut Jiwa membuat semangat Surogati dan Banyaksuro menyala
lagi. Mereka bagai mendapat tenaga baru. Hingga, seranganserangan mereka terlihat makin
gencar. "Hei! Kita tak ada urusan! Kenapa kau turut
menyerangku"!" seru Pendeta Tasbih Terbang yang
merasa terdesak.
"Kita memang tak ada urusan. Tapi, pendeta
bau macam kau tak patut dibiarkan hidup terlalu lama!" sahut Iblis Pencabut
Jiwa. Pertempuran berlangsung makin seru. Empat
Setan Gundul dan Dua iblis dari Gunung Batur benarbenar dikuasai nafsu membunuh.
Sementara, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang mesti meloncat ke sana-
sini untuk mempertahankan nyawa.
Kedua kakek beraliran putih itu sama-sama terdesak
hebat. Andai Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih
Terbang tidak mempunyai senjata ampuh, mereka tentu tak akan dapat bertahan lama
menghadapi keroyokan Empat Setan Gundul dan Dua Iblis dari Gunung
Batur. Namun agaknya, malaikat kematian akan sege-
ra menjemput nyawa Sastrawan Berbudi dan Pendeta
Tasbih Terbang.
Pada saat Sastrawan Berbudi menangkis sabetan golok Surogentini, mendadak Iblis
Perenggut Roh melentingkan tubuhnya ke atas seraya meluruskan
pergelangan tangannya. Dan, kepalannya yang dilambari ilmu pukulan 'Merenggut
Roh Mencabut Jiwa' siap
memecahkan batok kepala Sastrawan Berbudi.
"Eit...!"
Bet...! Sastrawan Berbudi masih dapat menghindari
pukulan Iblis Perenggut Roh dengan menjatuhkan tubuh ke tanah. Tapi..., golok
Waraksuro berkelebat cepat sekali. Dan tampaknya, Sastrawan Berbudi pun
tak punya kesempatan lagi untuk menghindari maut!
Pada saat yang sama, Iblis Pencabut Jiwa berhasil merampas senjata Pendeta
Tasbih Terbang.
Lalu, senjata berupa seuntai tasbih itu digunakan Iblis Pencabut Jiwa untuk
memukul dada sang
empunya sendiri. Selagi Pendeta Tasbih Terbang bergerak menghindar, golok
Surogati dan Banyaksuro mengirim tebasan maut. Golok Surogati mengarah leher.
Golok Banyaksuro mengarah pinggang.
Memucat wajah Pendeta Tasbih Terbang seketika. Dia sadar benar bila dirinya
sudah tak punya waktu lagi untuk menghindari serangan yang begitu cepat.
Tubuh Pendeta Tasbih Terbang akan segera terpotong
menjadi tiga bagian!
"Segala puji bagi Tuhan...," sebut Pendeta Tasbih Terbang, menyadari kematiannya
yang sudah di pelupuk mata. *** 2 "BERHENTI!" Tiba-tiba, terdengar sebuah teriakan keras menggelegar. Hebat sekali
pengaruh teriakan itu. Empat Setan Gundul tampak berdiri kaku di
tempatnya. Golok mereka tertahan di udara. Sementara, Dua Iblis dari Gunung
Batur pun mengalami hal
yang sama. Iblis Perenggut Roh dan Iblis Pencabut Jiwa tampak berdiri kaku pula.
Kepalan tangan mereka
juga tertahan di udara!
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
yang sudah pasrah menerima kematian kontan terhantam keterkejutan.
Namun, di balik keterkejutan itu terkandung
rasa senang karena mereka telah selamat. Padahal, golok Empat Setan Gundul dan
pukulan Dua Iblis dari
Gunung Batur kurang dari sejengkal untuk segera
mengenal sasaran.
"Segala puji bagi Tuhan...," sebut Pendeta Tasbih Terbang seraya menyambar
senjata tasbihnya dari
cekalan Iblis Pencabut Jiwa yang masih berdiri kaku.
Lalu secara bersamaan, Pendeta Tasbih Terbang dan Sastrawan Berbudi meloncat dua
tombak ke belakang. Dan pada saat itulah, Empat Setan Gundul
dan Dua Iblis dari Gunung Batur dapat menggerakkan
anggota-anggota tubuh mereka
kembali. "Jahanam! Siapa yang telah berani pamer kepandaian di hadapanku"!" geram Iblis
Pencabut Jiwa seraya memutar pandangan.
"Kalau memang sengaja ingin unjuk kebolehan
di hadapan Dua Iblis dari Gunung Batur, segera tampakkan batang hidung!" tambah
Iblis Perenggut Roh
penuh rasa penasaran.
Empat Setan Gundul tampak mengedarkan
pandangan pula. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang sudah tak mereka
pedulikan lagi. Surogentini yang sebenarnya adalah pemimpin Empat Setan Gundul
meneriakkan kata-kata tantangan.
"Haram Jadah! Kalau ingin coba-coba membuat
urusan dengan Empat Setan Gundul, kenapa menyembunyikan diri"!"
Namun, teriakan Surogentini itu hanya disambut desau angin. Dua Iblis dari
Gunung Batur berteriak-teriak lebih keras, tapi suara mereka pun hanya
disambut desau angin. Sunyi menggeluti tempat itu.
Sementara, sang baskara telah jauh condong ke barat.
Sinarnya lemah, mengelus hangat.
Memuncak amarah Empat Setan Gundul dan
Dua Iblis dari Gunung Batur. Mereka menggedrukgedruk tanah penuh rasa kesal.
Hingga, bumi bergetar
diiringi suara berdebum keras. Debu mengepul menutupi pandangan mata.
Mendadak, di sekitar tempat itu terdengar lantunan syair. Sastrawan Berbudi dan
Pendeta Tasbih Terbang terkesiap. Demikian pula dengan Empat Setan
Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur. Kontan
enam tokoh beraliran hitam itu berhenti menggedrukgedruk. Mereka memasang
telinga lebar-lebar sambil
mengedarkan pandangan.
Bila nafsu jahat telah merasuk dalam jiwa
Butalah mata batin manusia
Takkan dapat orang membedakan
Mana kebajikan dan mana kebatilan
Namun sesungguhnya....
Setiap manusia mesti ingat
Menanam padi akan menuai padi
Padi tak akan berubah jadi rumput
Rumput pun tak akan berubah jadi padi
Yang baik akan menerima pahala atas budi kebaikannya
Yang jahat akan memetik buah balasan dari kejahatannya
Kalau tidak di dunia
Pastilah nanti di akhirat
Pengadilan Tuhan....
Selalu mengiringi perbuatan manusia
Bila hukuman telah dijatuhkan
Apalah guna penyesalan"
Siapa yang tak percaya adanya pengadilan Tuhan
Adalah seburuk-buruknya manusia yang paling
buruk Oleh karena itu
Tidakkah lebih baik berpikir dulu sebelum bertindak"
Cermin manusia hidup di dunia
Adalah karma dan pengadilan akhirat
Mendengus gusar Empat Setan Gundul dan
Dua Iblis dari Gunung Batur mendengar lantunan
syair yang penuh makna sindiran Itu. Karena hawa
amarah dan rasa penasaran benar-benar telah menguasai jalan pikiran, mereka
menggedruk-gedruk tanah
lagi, bahkan lebih keras. Batang-batang pohon cemara
bergoyang. Daunnya berguguran bagai dihempas tiupan angin kencang.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
saling tatap. Sama-sama menaikkan alis. Mereka pun
mengedarkan pandangan, namun si pelantun syair te-
tap tak terlihat.
"Aku bisa menebak. Aku bisa menebak!" ujar
Sastrawan Berbudi lirih, seperti menggumam.
"Menebak apa, Sahabat?" tanya Pendeta Tasbih
Terbang. "Pelantun syair itu adalah dewa penolong kita.
Dan, aku bisa menebak siapa dirinya!" jawab Sastrawan Berbudi, penuh keyakinan.
"Ksatria Seribu Syair?" cetus Pendeta Tasbih
Terbang. Mengangguk Sastrawan Berbudi. "Tepat. Hanya
Ksatria Seribu Syair yang memiliki daya batin yang
amat kuat. Dengan daya batinnya itu, dia bisa mempengaruhi jalan pikiran orang
lain. Bahkan, dia pun
bisa memerintah orang lain sekehendak hatinya."
"Ya. Semua itu berkat ilmu sihir yang dimilikinya," sahut Pendeta Tasbih


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbang. "Tapi..., bukankah Ksatria Seribu Syair telah mengundurkan diri dari
rimba persilatan sejak lima tahun yang lalu?"
"Kau tidak salah, Sahabatku Pendeta Tasbih
Terbang. Cobalah kau ingat peristiwa di Telaga Dewa
siang tadi...."
Terdiam Pendeta Tasbih Terbang. Selagi si pendeta berpikir-pikir, Sastrawan
Berbudi melanjutkan
kata-katanya. "Tentu masih hangat dalam ingatanmu, Sahabat, ada seorang pemuda berpakaian
serba merah yang mampu melukai Ikan Mas Dewa. Dia membawa
Pusaka Pedang Naga! Sementara, kita telah tahu bersama bila Pusaka Pedang Naga
adalah milik Ksatria
Seribu Syair...."
"Ya. Ya, aku tahu! Pendekar Bodoh menyebut
pemuda berpakaian serba merah itu sebagai Mahisa
Lodra! Dan, dialah orang yang kita kejar-kejar bebera-
pa waktu tadi."
"Kemunculan Ksatria Seribu Syair tentu ada
hubungannya dengan Pusaka Pedang Naga yang telah
dilarikan oleh Mahisa Lodra!"
Sewaktu Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang bercakap-cakap, Empat Setan
Gundul menggeram marah. Seperti orang kesurupan, mereka
menerjang jajaran pohon cemara. Golok mereka berkelebatan dan menimbulkan suara
berdesing yang menyakitkan gendang telinga. Disusul suara berdebum
keras. Empat batang pohon cemara tumbang tertebas
golok Empat Setan Gundul!
Empat kakek berompi kuning dan bercelana
merah itu berbuat lebih gila. Batang pohon cemara
yang telah tumbang mereka cacah-cacah menjadi serpihan kecil yang berpentalan ke
berbagai penjuru!
Sementara, Dua Iblis dari Gunung Batur berbuat tak kalah gila. Mereka terus
menggedruk tanah
hingga menciptakan lubang besar yang cukup untuk
menguburkan dua ekor kerbau. Suara hiruk-pikuk benar-benar menguasai tempat itu.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
meloncat menjauh. Namun, mereka tak mau beranjak
pergi. Karena, kedua kakek yang bersahabat baik itu
ingin melihat kemunculan sang dewa penolong yang
mereka duga sebagai Ksatria Seribu Syair.
"Jahanam! Segera tampakkan batang hidungmu!" teriak Surogentini, sekuat tenaga.
"Jangan buat aku penasaran, Keparat!" timpal
Iblis Pencabut Jiwa.
Mendadak, hembusan angin terasa mengencang. Hawa di sekitar tempat itu berubah
dingin seperti telah terjadi hujan salju. Empat Setan Gundul dan
Dua Iblis dari Gunung Batur terhantam keterkejutan
yang mampu menyesakkan dada mereka. Tanpa sadar,
kegilaan mereka pun terhenti. Dengan bola mata melotot besar, mereka memutar
tubuh, mengedarkan pandangan ke berbagai penjuru.
"Sedari tadi aku berada di tempat ini! Siapa lagi
yang kalian cari, Manusia-manusia Kotor"!"
Empat Setan Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur mendengar ucapan yang amat
pelan dan hampir tak dapat ditangkap indera pendengaran. Namun, akibatnya sungguh luar
biasa. Seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menghantam. Tubuh Empat
Setan Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur terpental ke belakang, lalu jatuh
bergulingan sejauh lima
tombak! "Ksatria Seribu Syair...," kejut Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang.
Tanpa sadar, kedua kakek itu tersurut mundur
selangkah. Tubuh mereka pun bergetar menatap seorang lelaki setengah baya yang
tiba-tiba telah berdiri di
bawah batang pohon cemara yang hampir tumbang.
Lelaki setengah baya bertubuh tinggi tegap itu
mengenakan pakaian putih-putih dengan ikat pinggang kain biru. Berkulit putih
bersih seperti kulit
kaum bangsawan. Rambutnya yang panjang diikat
dengan sehelai sapu tangan sutera merah. Wajahnya
halus tampan. Sorot matanya amat tajam, pertanda
dia memiliki ilmu kesaktian yang sudah cukup sulit
untuk diukur. Dia memang Ksatria Seribu Syair!
"Sahabatku Sastrawan Berbudi dan Pendeta
Tasbih Terbang...," sebut lelaki yang bernama kecil
Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta itu, "Maafkan
aku. Aku telah menutupi diriku dengan 'Sihir Penutup
Raga'. Namun, kuharap kalian jangan salah mengerti.
Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada begundalbegundal yang suka berbuat
kekerasan itu."
"Hmmm.... Pantas aku dan Pendeta Tasbih Terbang tak dapat melihat sosok Ksatria
Seribu Syair. Empat Setan Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur
tak dapat melihat pula. Rupanya, Ksatria Seribu Syair
menyembunyikan dirinya dengan ilmu 'Sihir Penutup
Raga'...," gumam Sastrawan Berbudi.
"Sekali lagi, aku mohon maaf...," tambah Ksatria Seribu Syair.
Melihat bekas putra mahkota Kerajaan Mahespati itu membungkukkan badan,
Sastrawan Berbudi
dan Pendeta Tasbih Terbang jadi tak enak hati. Usia
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang memang lebih tua, tapi ada aturan
tak tertulis di rimba
persilatan bahwa kedudukan seseorang ditentukan
oleh ketinggian ilmunya. Oleh karena itu, Sastrawan
Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang yang merasa berilmu lebih rendah menjadi tak
enak hati melihat sikap
Ksatria Seribu Syair yang membungkuk hormat kepada mereka,
"Eh.... Jangan begitu, Sahabat...," ujar Pendeta
Tasbih Terbang. "Tak ada yang perlu dimintakan maaf.
Aku bernama Sastrawan Berbudi justru harus menghaturkan beribu terima kasih atas
pertolonganmu, Sahabat. Kami menyadari, tanpa pertolongan Sahabat,
mana mungkin kami masih dapat menghirup udara
segar saat ini....."
Tersenyum tipis Ksatria Seribu Syair. Lalu dengan suara lembut, dia berkata,
"Sudah sekian lama kita-kita ini menjalin persahabatan. Walau aku telah lima
tahun mengasingkan diri, rasa persahabatan itu tetap ada. Sungguh, kau jangan
membesar-besarkan
pertolonganku yang tidak ada harganya tadi...."
"Ya. Ya! Kita bertiga adalah sahabat lama. Untuk apa berbasa-basi segala?" sahut
Sastrawan Berbudi untuk melembutkan suasana yang kaku.
"Tepat sekali apa yang kau kata, Sahabatku
Sastrawan Berbudi," sambut Ksatria Seribu Syair.
"Apalah guna basa-basi yang hanya membuat hati jadi
tak enak?"
Usai berkata, Ksatria Seribu Syair menggerakkan bola matanya ke kiri, melirik
Empat Setan Gundul
dan Dua Iblis dari Gunung Batur yang melangkah
mendekatinya. Empat Setan Gundul telah memungut
kembali golok mereka yang terlontar sewaktu jatuh
bergulingan tadi.
"Jahanam kau, Ksatria Seribu Syair!" geram
Surogentini, mengacungkan goloknya. "Lima tahun
kau tidak muncul. Kupikir kau telah mati. Hmmm....
Begitu menampakkan batang hidung, kau sengaja
membuat perkara dengan Empat Setan Gundul! Jangan menyesal kalau nyawamu benar-
benar ku asingkan ke neraka!"
"Aku tidak membuat perkara...," tolak Ksatria
Seribu Syair dengan lembut walau tahu dirinya diancam dengan tudingan golok.
"Sang Pencipta telah menciptakan satu tindak keadilan yang harus diemban
oleh setiap manusia berjiwa lurus. Kejahatan mesti dibasmi. Kekejaman mesti
diberantas. Rimba persilatan
memang penuh kekerasan. Namun, andai dapat, setiap
orang mesti menghindari pertempuran darah.... Aku
hanya sekadar memberi pelajaran kepada kalian. Tidakkah kalian sadar" Kalau aku
mau, sejak dari tadi
nyawa kalian tentu telah melayang ke alam baka."
Ksatria Seribu Syair berkata-kata tanpa punya
maksud menyombongkan diri ataupun pamer kepandaian. Namun, Empat Setan Gundul
dan Dua Iblis dari
Gunung Batur malah merasa terhina. Mereka mendengus gusar, menatap wajah Ksatria
Seribu Syair dengan
mata mendelik. "Walau kau mempunyai kepandaian seperti dewa, tak mungkin Dua Iblis dari Gunung
Batur membiarkan hinaan ini!" dengus Iblis Pencabut Jiwa.
Di ujung kalimatnya, kakek bertubuh gemuk
bulat itu memberi isyarat mata kepada Iblis Perenggut
Roh. Secara bersamaan, mereka langsung menerjang.
Iblis Pencabut Jiwa melayangkan pukulan ke dada
Ksatria Seribu Syair. Sementara, Iblis Perenggut Roh
berusaha menyarangkan pukulan ke kepala. Mereka
sama-sama mengeluarkan ilmu 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'. Hingga, kelebatan
tubuh dua tokoh sesat
itu menebarkan bau anyir darah yang sangat menusuk
lubang hidung! Empat Setan Gundul yang sudah merasa senasib sepenanggungan dengan Dua Iblis
dari Gunung Batur, tak mau ketinggalan. Mereka menerjang kalap.
Golok mereka mendesis ganas. hendak mencacah tubuh Ksatria Seribu Syair!
Namun tampaknya, Ksatria Seribu Syair bersikap acuh tak acuh. Dia seperti tak
mau ambil peduli
walau tahu dirinya dalam bahaya. Sastrawan Berbudi
dan Pendeta Tasbih Terbang terbelalak kaget melihat
sikap bekas putra mahkota itu. Namun..., kekhawatiran di hati Sastrawan Berbudi
dan Pendeta Tasbih
Terbang itu sebenarnya tidak perlu karena....
Wesss...! "Wuahhh...!"
Pelan saja Ksatria Seribu Syair menggerakkan
lengan bajunya. Timbul serangkum angin pukulan
dahsyat, melebihi kekuatan angin topan. Sastrawan
Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terbelalak heran
dan bercampur kagum. Tubuh Dua Iblis dari Gunung
Batur dan Empat Setan Gundul tiba-tiba terlontar
jauh, lalu jatuh terbanting-banting di tanah berbatu.
Keenam tokoh sesat itu memekik kesakitan. Tubuh
mereka yang terbanting terasa remuk. Sementara, rasa
pedih menjalar dari luka-luka lecet akibat berbenturan
dengan batu dan kerikil
"Pergilah!"
Ksatria Seribu Syair mengusir dengan ucapan
lirih. Namun, Dua Iblis dari Gunung Batur dan Empat
Setan Gundul memekik parau lagi. Ucapan Ksatria Seribu Syair terasa menepuk
gendang telinga, hingga
membuat mereka pusing dan semakin merasa kesakitan.
"Lari! Lari!" cetus Iblis Perenggut Roh, meloncat
bangun seraya berlari pergi dengan langkah terpincang-pincang.
"Ya! Ya! Kita lari! Kita lari!" sambut Surogentini,
mengambil langkah seribu pula.
Iblis Perenggut Roh berlari ke utara. Sementara,
Surogentini ngibrit pergi ke selatan. Iblis Pencabut Jiwa yang telah hilang pula
keberaniannya, bergegas
mengekor langkah adik seperguruannya. Banyaksuro,
Waraksuro, dan Surogati pun tak mau ketinggalan.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka mengikuti ke mana
Surogentini pergi. Mereka semua lari terbirit-birit bagai
melihat hantu gentayangan di siang bolong, tak peduli
lagi pada harga diri mereka sebagai tokoh tua yang
punya nama cukup besar di rimba persilatan. Kehebatan Ksatria Seribu Syair
benar-benar membuat mereka
bergidik ngeri!
"Lima tahun tak berjumpa, kiranya kau telah
mendapat kemajuan yang sedemikian pesat, Sahabatku Ksatria Seribu Syair..." puji
Sastrawan Berbudi,
tulus. "Jangan berbasa-basi lagi, Sahabatku Sastrawan Berbudi," sergap Ksatria Seribu
Syair. "Ilmu kepandaianku masih jauh dari kesempurnaan. Aku takut
bila nanti pujian dan sanjungan akan membuatku jadi
pongah dan sombong...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sastrawan Berbudi. "Kau tetap saja tak berubah,
Sahabat. Sungguh
aku benar-benar kagum kepadamu. Kau sangat pandai
merendah. Ha ha ha.... Tahukah kau, Sahabat, sikap
merendah itu justru membuat diriku merasa semakin
kecil dan tak ada apa-apanya bila dibanding dengan
dirimu?" "Benar! Benar apa yang dikatakan Sastrawan
Berbudi," sahut Pendeta Tasbih Terbang. "Aku pun
merasa kecil dan tak berarti sama sekali. Sungguh kau
memang patut dipuji dan disanjung, Sahabatku Ksatria Seribu Syair. Kau memiliki
jiwa besar. Aku tahu
riwayat hidupmu. Kau difitnah orang. Kau diburu
orang. Namun, kau tetap tabah dan tak mendendam
kepada siapa pun...."
"Ya! Ya!" potong Ksatria Seribu Syair, cepat.
"Aku telah melupakan perjalanan hidupku di masa
muda. Kau tak perlu mengungkit-ungkit lagi, Sahabatku Pendeta Tasbih
Terbang...."
Melihat air muka Ksatria Seribu Syair yang berubah kelam, Pendeta Tasbih Terbang
sedikit kaget. Si
pendeta menyadari bila telah kelepasan bicara.
"Maaf.... Maaf, Sahabat...," ujarnya sambil
membungkuk dalam. "Maafkan atas kekeliruan ku tadi...."
Bibir Ksatria Seribu Syair menyungging senyum
pahit. "Sebenarnya, lima tahu lalu aku bermaksud
mengundurkan diri dari kancah rimba persilatan yang
penuh kekerasan. Aku pun bermaksud meninggalkan
segala hal yang berbau keduniawian...," ucapnya seperti mengandung penyesalan,
"Aku benar-benar telah
muak dan tak sudi lagi melihat keangkaramurkaan
manusia yang gila harkat, martabat, atau derajat! Aku
benci dengan semua itu! Namun agaknya..., Sang Pencipta belum merestui maksud
hatiku tersebut. Pusaka
Pedang Naga yang kusimpan di puncak Gunung Arjuna tiba-tiba hilang dicuri
orang...."
Ksatria Seribu Syair menarik napas panjang.
Air mukanya terlihat makin keruh. Sastrawan Berbudi
dan Pendeta Tasbih Terbang diam seribu bahasa. Mereka mendengarkan kata-kata
Ksatria Seribu Syair
dengan penuh perhatian. Sebagai seorang sahabat,
mereka bisa merasakan kesedihan yang tersirat dari


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata-kata bekas putra mahkota yang tergulingkan itu.
"Aku khawatir dan benar-benar sangat khawatir...," lanjut Ksatria Seribu Syair.
"Pusaka Pedang Naga dicuri seorang tokoh sesat. Aku khawatir pedang
pusaka itu akan digunakan untuk mengumbar nafsu
jahat...."
"Benar dugaanku, Kemunculan Ksatria Seribu
Syair ada hubungannya dengan Pusaka Pedang Naga...," kata hati Sastrawan
Berbudi. Kakek tinggi kurus berpakaian serba hijau itu
menatap lekat-lekat wajah Ksatria Seribu Syair. "Aku
tahu siapa yang membawa pedang itu... " cetusnya.
"Benarkah itu?" kesiap Ksatria Seribu Syair
bercampur rasa senang dan setengah tak percaya.
Sastrawan Berbudi mengambil napas dalamdalam, lalu berkata, "Siang tadi, di
Telaga Dewa aku
melihat seorang pemuda berpakaian serba merah
membawa Pusaka Pedang Naga. Dengan pedang itu,
dia berhasil melukai Ikan Mas Dewa...."
"Siapa dia?" kejar Ksatria Seribu Syair. "Pendekar Bodoh dapat mengenali pemuda
itu sebagai Mahisa
Lodra." "Mahisa Lodra?" kejut Ksatria Seribu Syair.
"Benarkah lelaki bergelar Setan Selaksa Wajah itu
membawa Pusaka Pedang Naga" Dan, siapa itu Pendekar Bodoh?"
"Benar apa yang dikatakan Sastrawan Berbudi,"
tukas Pendeta Tasbih Terbang. "Aku berani mempertaruhkan kepalaku. Mahisa Lodra
atau Setan Selaksa
Wajah memang membawa Pusaka Pedang Naga. Dia
berkelebat pergi setelah berhasil melukai Ikan Mas
Dewa." "Jadi, dia belum mendapatkan Kodok Wasiat
Dewa?" tebak Ksatria Seribu Syair yang tentu saja juga
mendengar khasiat benda ajaib yang selalu jadi rebutan tokoh-tokoh rimba
persilatan setiap tanggal satu
Suro itu. "Ya," angguk Pendeta Tasbih Terbang.
Menarik napas lega Ksatria Seribu Syair. Andai
Mahisa Lodra mendapatkan Kodok Wasiat Dewa, amatlah sulit untuk menghentikan
kejahatan murid murtad
Dewa Dungu itu. Apalagi, dia telah membawa Pusaka
Pedang Naga. "Lalu, siapa yang kau sebut sebagai Pendekar
Bodoh tadi?" tanya Ksatria Seribu Syair kepada Sastrawan Berbudi.
"Dia seorang pemuda remaja berumur sekitar
tujuh belas tahun. Aku mengenalnya sehari yang lalu,"
jawab Sastrawan Berbudi. "Namun demikian, dia memiliki ilmu kepandaian hebat.
Dia pernah menadahi
pukulan Iblis Perenggut Roh yang bernama 'Merenggut
Roh Mencabut Jiwa' tanpa mendapat luka apa-apa.
Malah membuat tubuh Iblis Perenggut Roh terlontar,
padahal dia tak bergerak sedikit pun...."
"Lain itu, dia pun berhasil menaklukkan Ikan
Mas Dewa. Dengan dua tali baja, dia menjerat tubuh
Ikan mas raksasa itu, hingga menjadi jinak. Namun
kemudian, dia melepaskannya...," tambah Pendeta
Tasbih Terbang.
"Kenapa?" tanya Ksatria Seribu Syair, heran.
"Apakah dia tak menginginkan Kodok Wasiat Dewa
yang tersimpan di dalam perut ikan raksasa itu?"
"Entahlah," Pendeta Tasbih Terbang mengangkat bahu "Tapi kupikir..., dia
sebenarnya juga menginginkan Kodok Wasiat Dewa. Mungkin karena kasihan,
dia lalu melepaskan Ikan Mas Dewa yang telah berhasil ditaklukkannya."
Ksatria Seribu Syair mengangguk-angguk. Cerita tentang Pendekar Bodoh benar-
benar merasuk dalam hati, hingga membuatnya jadi penasaran.
"Cobalah kalian katakan kepadaku bagaimana
ciri-ciri pemuda bergelar Pendekar Bodoh itu...," pinta
Ksatria Seribu Syair kemudian.
"Dia bertubuh tinggi tegap. mengenakan pakaian biru-biru dan berikat pinggang
kain merah. Rambutnya panjang tergerai. Wajahnya tampan, namun terkesan amat lugu," jelas
Sastrawan Berbudi.
Pendeta Tasbih Terbang menatap lekat wajah
Ksatria Seribu Syair. Si pendeta menatap terus tanpa
berkedip, sehingga membuat Ksatria Seribu Syair jengah.
"Ada apa, Sahabatku Pendeta Tasbih Terbang?"
tegur Ksatria Seribu Syair.
"Pendekar Bodoh. Pendekar Bodoh...," ujar
Pendeta Tasbih Terbang, lirih.
"Kenapa dengan dia?" selidik Ksatria Seribu
Syair yang melihat sikap aneh si pendeta.
"Segala puji Tuhan seru sekalian alam...," sebut
Pendeta Tasbih Terbang tiba-tiba. "Wajah Pendekar
Bodoh mirip sekali denganmu, Sahabat...."
"Ya! Aku tadi juga hendak ,m mengatakan itu!"
tegas Sastrawan Berbudi.
Kening Ksatria Seribu Syair langsung berkerut
rapat. Mendadak, keringat dingin bercucuran dari sekujur tubuhnya. Dia teringat
masa lalunya. Rasa sedih, senang, sesal, dan haru menyeruak masuk dalam
hati sanubarinya.
"Maafkan aku kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu, Sahabat..." ujar
Pendeta Tasbih Terbang yang melihat perubahan sikap Ksatria Seribu
Syair. "Ah, tidak! Aku tidak tersinggung. Aku malah
senang, tapi aku.... Ah!" tergagap Ksatria Seribu Syair.
Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang
saling pandang. Mereka tak mengerti maksud ucapan
Ksatria Seribu Syair yang menggantung.
"Maafkan aku. Aku harus pergi," ujar Ksatria
Seribu Syair seraya berkelebat pergi.
Cepat sekali gerakan bekas putra mahkota itu.
Dia seakan sosok hantu yang dapat menghilang. Sementara, Sastrawan Berbudi dan
Pendeta Tasbih Terbang terlihat saling pandang lagi. Mereka mengangkat
bahu bersama-sama.
"Dia kenapa?" tanya Sastrawan Berbudi kemudian,
"Aku tak tahu," jawab Pendeta Tasbih Terbang.
"Tersinggungkah dia?"
"Kukira tidak."
"Lalu?"
"Barangkali dia teringat pada putranya yang hilang ketika masih kecil."
"Bukankah putranya itu dibawa oleh istrinya
yang bernama Dewi Ambarsari atau Putri Bunga Putih?"
"Ya. Tapi sejak saat itu, dia tak pernah bertemu
lagi dengan putra atau istrinya itu."
"Mungkinkah Pendekar Bodoh adalah putranya?"
Pendeta Tasbih Terbang tak menjawab. Dia
cuma menarik napas panjang. Sementara, hari telah
bergeser ke waktu petang. Keadaan jadi remangremang.
"Kita tinggalkan tempat ini," cetus Pendeta Tasbih Terbang.
Sastrawan Berbudi mengangguk.
*** 3 ANGIN berhembus cukup kencang, membuat
dingin malam semakin menusuk tulang. Seorang pemuda remaja keluar dari Kota
Gambiran dengan tergesa-gesa, meninggalkan kerumunan orang yang masih
ramai membicarakan peristiwa di Telaga Dewa. Pemuda berparas tampan itu berjalan
sambil menutupi sebagian wajahnya dengan ujung lengan baju. Agaknya,
dia tak ingin dikenali orang.
Setelah sampai di sebuah jalan sepi, cukup
jauh dari Kota Gambiran, si pemuda melangkah pelan.
Ditatapnya rembulan sabit yang berwarna pucat tembaga. Rambut dan kain bajunya
yang berwarna biru
tampak berkibar dipermainkan hembusan angin. Ke-
dua ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari kain merah melambai-lambai pula,
seperti mengajak si pemuda agar segera melanjutkan langkah kembali.
Namun, sepasang kaki si pemuda tetap tegak
kaku mencengkeram tanah. Tubuhnya yang tinggi tegap tak bergeming sedikit pun,
tak bosan menatap bulan sabit yang dikerumuni bintang.
Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh! Setiap
kali merasa melakukan kesalahan murid Dewa Dungu
itu memang punya kebiasaan menengadahkan wajah
ke langit. Di atas sana, dia seakan dapat melihat sosok
ibunya, Dewi Ambarsari atau Putri Bunga Putih, yang
telah meninggal.
"Ibu...," sebut Seno dengan suara lirih bergetar,
"Sejak sore tadi, aku berlari berputar-putar untuk
mencari orang jahat bernama Mahisa Lodra atau Setan
Selaksa Wajah. Tapi, aku tak dapat menemukannya...."
Pemuda yang wajahnya menyiratkan sinar keluguan dan kejujuran itu menarik napas
panjang beberapa kali. Dia sangat sedih karena usahanya tidak
membuahkan hasil. Dengan kepala terus tengadah, dia
tumpahkan segala isi hatinya.
"Ibu..., Mahisa Lodra itu benar-benar orang jahat! Dia telah membuat lumpuh
kedua kaki Kakek
Dewa Dungu. Dia pun telah melarikan dua bagian Kitab Sanggalangit milik Kakek
yang amat baik itu. Bahkan, dia telah melakukan serangkaian pembunuhan
kejam! Aku benar-benar benci kepadanya, Bu! Aku benar-benar ingin menghentikan
semua perbuatan jahatnya! Dia telah membunuh Sepasang Nelayan Sakti
yang juga sangat menyayangi ku! Dia pun telah menculik Kemuning, Bu!"
Kusut masai wajah Seno. Tanpa mempedulikan
rasa lapar yang melilit-lilit, dia tumpahkan semua kata
hatinya. Ketika angin malam telah bercampur dengan
embun pagi, barulah Seno menyadari keadaan. Dingin
terasa membuat tubuh jadi beku.
Perlahan Seno menurunkan wajah. Dia raba
pakaiannya yang menjadi basah. Mendadak, Seno terkesiap. Telapak tangannya
menyentuh sebuah benda
lembek namun terasa hangat. Dengan mata tak berkedip, bergegas Seno mengeluarkan
benda itu dari saku
bajunya. Ternyata, benda itu berupa gumpalan sinar putih sebesar buah kedondong. Di
dalamnya terdapat sebentuk katak kecil berwarna emas. Semula, gumpalan
sinar itu tak terlihat dari luar karena saku baju Seno
terbuat dari kain yang cukup tebal
"Kodok Wasiat Dewa...!" desis Seno dengan mata berbinar, menyebut nama benda di
telapak tangan kanannya. Mendadak, Seno menepak kepalanya sendiri seraya merutuk, "Uh! Bodoh sekali aku
ini! Kenapa aku
bisa lupa pada benda pemberian Ikan Mas Dewa ini"!
Kalau benda ini sampai jatuh dan hilang, alangkah
meruginya aku!"
Untuk beberapa lama, Seno menatap tak berkedip wujud Kodok Wasiat Dewa. Benda
berwujud gumpalan sinar putih itu adalah salah satu dari benda-benda ajaib yang selalu
menjadi incaran tokohtokoh rimba persilatan.
Sama seperti Capung Kumala yang pernah diberikan Dewa Dungu kepada Seno, Kodok
Wasiat Dewa juga mempunyai khasiat melipat gandakan hawa sakti
dalam tubuh, sehingga dapat pula melipat gandakan
kekuatan tenaga dalam. Barang siapa menelan benda
itu, maka sama halnya dengan berlatih ilmu sifat selama dua puluh tahun!
Sungguh suatu keberuntungan yang tak dapat
lagi dinilai harganya bila kali ini Seno juga berhasil
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa.
Namun... "Ada orang mendatangi ku...," bisik Seno kepada dirinya sendiri.
Indera pendengaran Seno yang tajam mendengar suara kelebatan bayangan yang
datang dari arah
belakang tubuhnya. Cepat Seno menyimpan lagi Kodok
Wasiat Dewa ke saku bajunya di bagian dalam.
"Malam yang indah. Dingin namun menyenangkan. Kenapa kau menyendiri, Pendekar
Bodoh?" Terdengar sebuah bisikan lembut di antara desau angin malam. Seno membalikkan
badan. Ternyata,
di belakangnya telah berdiri seorang gadis berpakaian
putih-hijau dengan pernik-pernik gemerlap bak putri
bangsawan tinggi kerajaan.
Gadis berusia dua puluh tahunan itu bertubuh
tinggi semampai dan berparas cantik menawan. Rambutnya yang hitam kemilau
digelung ke atas dengan
hiasan tiga tusuk konde emas. Sorot matanya tajam,
tapi bibirnya menyunggingkan senyum yang amat
menggemaskan. Kening Seno berkerut rapat. Dia heran melihat
kehadiran si gadis. Namun, Seno tak berbuat apa-apa
kecuali menatap dengan pandangan menyelidik.
"Aku telah menyaksikan kehebatanmu tadi
siang di Telaga Dewa. Kau layak diacungi jempol. Tapi,
kenapa lagak lagu mu tampak begitu tolol?"
Usai berkata, gadis berpakaian bangsawan tertawa mengikik. Suara tawanya lepas
bebas, memecah keheningan malam. Seno mendesah panjang. Mendengar kata-kata si gadis yang
ceplas-ceplos, Seno teringat
pada Kemuning. Kontan hatinya jadi sedih. Rasa kehi-
langan menggeluti sanubarinya.
"Apa kau bisu" Kenapa diam saja?" tegur gadis
berpakaian bangsawan yang melihat Seno terus berdiam diri.
Kerut di kening Seno semakin merapat. Setelah
nyengir kuda, dia berkata, "Malam-malam begini, kenapa kau datang ke tempat
sepi" Apa kau tidak takut
diganggu orang jahat?"
Mendengar ucapan Seno yang begitu lugu, si
gadis tertawa panjang. "Kau pikir aku ini siapa?" ujarnya sambil melempar
kerlingan. "Walau aku hanya
seorang wanita, siapa pun akan berpikir seribu kali kalau mau berbuat jahat
kepadaku."
"Ya, ya! Aku percaya kau punya ilmu bela diri
yang bisa diandalkan, tapi tak sepantasnya bila... bila
seorang gadis cantik sepertimu keluyuran di ma...."
"Hus!" potong gadis berpakaian bangsawan.
"Aku tidak keluyuran! Aku sengaja keluar malam untuk menemuimu!"
"Menemuiku" Kita tidak punya urusan. Masingmasing dari kita tidak saling
mengenal. Apa yang harus dibicarakan" Aku tak punya waktu. Aku tak mau
ada orang memergoki kita! Bukankah kau seorang gadis dan aku seorang pemuda?"
"Ya. Aku gadis dan kau pemuda. Memangnya
kenapa?" "Ah! Aku...."
Seno tak melanjutkan kalimatnya. Seno tak tahu apa yang harus diucapkan. Dia tak
tahu kata-kata

Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang harus dikeluarkan untuk mengutarakan rasa
canggung dan risih di hatinya.
Melihat Seno yang menjadi salah tingkah, gadis
berpakaian bangsawan malah tertawa senang. Ditatapnya wajah Seno lekat-lekat
seraya berkata, "Orang-
orang menyebut mu sebagai Pendekar Bodoh. Sikap
dan tingkah lakumu memang kelihatan amat bodoh.
Tapi, aku yakin kau tidak benar-benar bodoh. Aku yakin kau punya otak cemerlang.
Oleh karena itu, aku
jadi tak enak hati kalau memanggilmu dengan sebutan
Pendekar Bodoh. Katakanlah siapa namamu, agar
nanti lebih enak kalau bicara...."
"Namaku Seno. Seno Prasetyo. Tapi..., kukira
tak ada satu pun masalah yang harus kita bicarakan...."
Seno berkata sambil mundur selangkah. Tatapan matanya seperti menyuruh pergi.
Namun, gadis berpakaian bangsawan tersenyum manis. Dia lemparkan kerlingan yang penuh makna.
"Seno Prasetyo...," desis gadis berpakaian bangsawan. "Sebuah nama yang cukup
enak didengar telinga. Bila kau ingin tahu namaku, panggil saja Kenanga."
"Kenanga?"
Bibir Seno bergetar mengucap nama itu. Sebuah nama yang sama artinya dengan nama
salah satu bunga. Kenanga! Kontan Seno teringat lagi pada sosok Kemuning.
Kemuning juga nama bunga. Apa hubungannya Kemuning dengan Kenanga" Atau, hanya
suatu kebetulan bila mereka mempunyai nama yang
sama-sama memakai nama bunga"
Tanpa sadar, Seno tersurut mundur selangkah
lagi. Kenanga mengerjapkan matanya beberapa kali.
Lalu, kakinya melangkah untuk mendekati Seno. Namun mendadak... tubuh si gadis
terhuyung dan hendak jatuh terjerembab!
Seno terkejut. Cepat dia bentangkan kedua
tangannya untuk menyambut tubuh Kenanga yang
hendak jatuh ke arahnya.
"Eh! Eh! Kau kenapa?" seru Seno dengan tangan melingkar di pinggang ramping
Kenanga. Merasa tipuannya berhasil, Kenanga bersorak
girang dalam hati. Dengan membuka sedikit kelopak
mata, tangan kanannya melingkar ke leher Seno. Sementara, jemari tangan kirinya
mengelus mesra dada
si pemuda. "Eh! Kau kenapa?"
Seno menegur, tapi tak melepaskan dekapannya karena takut tubuh Kenanga akan
jatuh ke tanah.
Sementara, bibir Kenanga pun tak henti merintihrintih.
Bersentuhan kulit seperti itu, gejolak jiwa muda
Seno tiba-tiba bergelora. Apalagi, aroma wangi yang
menebar dari tubuh Kenanga benar-benar bisa membuat hati siapa pun jadi lupa
diri. Jantung Seno berdegup kencang. Dadanya terasa sesak karena jalan nafasnya tiba-
tiba terasa buntu. Dan mendadak..., Kenanga memeluk erat sekali...,
lalu mencium bibirnya dengan segenap hasrat menggebu!
Namun, ciuman itu justru menyadarkan Seno.
Bukan kenikmatan yang dirasakan Seno, tapi justru
dia terhantam keterkejutan seperti disengat kalajengking!
"Kau pergilah, Kenanga!" seru Seno, berusaha
melepaskan diri dari pelukan si gadis.
Tapi, Kenanga malah memeluk semakin erat.
Tangan kirinya terus meraba-raba. Hingga, si gadis
pun merasakan adanya sebuah benda bulat yang tersimpan di saku baju Seno bagian
dalam. Seno tersentak kaget. Dengan kasar, dia mendorong tubuh Kenanga. "Pergilah!
Jangan buat aku
marah!" usirnya.
Bagai baru saja melakukan pekerjaan yang
sangat melelahkan, Kenanga melepas pelukannya dengan lemas lunglai. Namun, dia
tak mau menjauh. Dicekalnya kedua pergelangan tangan Seno sambil menatap wajah
si pemuda lekat-lekat.
Seno merasa jijik dan amat muak. Ingin rasanya dia melemparkan tubuh Kenanga
sekuat tenaga. Tapi, itu tak dilakukannya. Dia tak mau menyakiti hati
Kenanga walau si gadis telah menunjukkan sikap tak
baik. "Maafkan aku, Seno..." ujar Kenanga dengan
suara bergetar, mengandung penyesalan.
"Ya. Aku memaafkanmu. Kau lekaslah pergi...,"
sahut Seno. "Aku akan segera pergi bila kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku,"
Kening Seno berkerut lagi mendengar ucapan
Kenanga. Tanpa sadar, dia menarik tangannya seraya
nyengir kuda. "Pertanyaan apa" Aku tidak tahu apaapa. Aku orang bodoh," ujarnya,
tidak senang. Kenanga tersenyum tipis. Ditatapnya saku baju
Seno yang di dalamnya terdapat Kodok Wasiat Dewa.
Tatapan gadis itu seperti tak sengaja, hingga Seno tak
menjadi curiga.
"Aku tahu kau pemuda hebat, Seno," ujar Kenanga kemudian. "Kau jangan terlalu
merendah. Kau memiliki ilmu peringan tubuh tingkat tinggi bernama
'Lesatan Angin Meniup Dingin'. Kau pun memiliki ilmu
pukulan dahsyat bernama 'Dewa Badai Rontokkan
Langit'. Cobalah jawab pertanyaanku dengan jujur.
Siapa yang telah menurunkan kedua ilmu itu kepadamu?"
Mendengar pertanyaan Kenanga yang diutara-
kan dengan penuh kesungguhan, tiba-tiba hati Seno
digeluti perasaan tak enak. Tiba-tiba pula, bibirnya
terkunci rapat dan tak bisa lagi membuka suara.
"Kenapa diam?" tegur Kenanga. "Kenapa kau
tampak begitu keberatan menjawab pertanyaanku"
Kau takut bila aku punya maksud buruk?"
Seno tetap diam. Matanya menatap penuh selidik.
"Kalau tidak mau menjawab, ya sudah! Kenapa
malah bengong?" seru Kenanga. Setelah berpikir sebentar gadis cantik ini
melanjutkan perkataannya,
"Hei, Seno, aku ingin mengajak mu ke suatu tempat
yang sangat indah. Di sana banyak sekali orang berkepandaian tinggi yang punya
sifat dan perilaku yang
menyenangkan. Di sana kau akan merasa aman dan
tenteram...."
Kepala Seno menggeleng. "Terima kasih atas
ajakan mu. Tapi, aku banyak urusan. Aku tak bisa
memenuhi ajakan mu...."
"Jangan begitu, Seno! Kalau kau telah mendengar nama tempat itu, aku yakin kau
pasti menerima ajakan ku...."
"Hmmm.... Walau kau menyebutkan nama sebuah tempat yang melebihi keindahan
surga, aku tetap
tak bisa memenuhi ajakan mu."
"Hmmm.... Bagaimana kalau tempat yang akan
kutunjukkan itu bernama Lembah Dewa-Dewi?"
Terkejut Seno mendengar ucapan Kenanga. Matanya terbelalak, tak percaya pada
pendengarannya sendiri. Dari Kemuning dan Sepasang Nelayan Sakti,
Seno pernah mendengar nama Lembah Dewa-Dewi.
Menurut mereka, lembah itu terkenal sebagai tempat
bermukim para tokoh berilmu tinggi dari berbagai golongan. Namun kemudian,
timbul satu gerombolan
orang jahat yang menamakan diri dengan sebutan
Komplotan Lembah Dewa-Dewi, yang tentu saja mempunyai hubungan dengan Lembah
Dewa-Dewi. Tapi
sampai saat ini, tak seorang pun tahu di mana letak
Lembah Dewa-Dewi itu. Hingga, Sepasang Nelayan
Sakti pun jadi ragu, apakah Lembah Dewa-Dewi itu
benar-benar ada atau hanya isapan jempol belaka.
"Bagaimana, Seno" Kau tetap menolak ajakan
ku?" kejar Kenanga.
Seno tampak berpikir-pikir. Lalu, dia teringat
pada Mahisa Lodra yang dicurigai Sepasang Nelayan
Sakti sebagai anggota Komplotan Lembah Dewa-Dewi.
"Benarkah Lembah Dewa-Dewi itu ada?" tanya
Seno kemudian. Bibir Kenanga menyungging senyum manis.
"Kenapa kau begitu bodoh, Seno"!" tegurnya dengan
suara lembut. "Bagaimana aku bisa mengajak mu ke
suatu tempat yang cuma disebut sebagai khayalan
orang" Atau barangkali, kau curiga bila aku akan menipumu?"
"Tidak! Aku tidak boleh punya prasangka buruk
kepada siapa pun!" sahut Seno, tegas.
"Berarti kau menerima ajakan ku?" Seno nyengir kuda seraya menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
Mendadak, dia jadi ragu. Dia tidak tahu siapa Kenanga
sebenarnya, tapi kenapa gadis itu mengajaknya pergi
ke Lembah Dewa-Dewi" Apa maksud Kenanga" Seno
memang tidak mencurigai Kenanga sebagai orang jahat, tapi Seno tetap harus
bersikap hati-hati. Bukankah saat ini dia sedang membawa Kodok Wasiat Dewa
yang menjadi incaran kaum rimba persilatan" Apakah
ajakan Kenanga tidak ada hubungannya dengan benda
ajaib yang mempunyai khasiat luar biasa itu"
Terlalu banyak tanda tanya yang menggeluti
benak Seno. Hingga sampai beberapa lama, Seno cuma
dapat berdiri termenung tanpa menyampaikan keputusannya. Seno baru tersadar
manakala Kenanga menepuk bahunya.
"Kau terlalu lama berpikir! Aku jadi tak sabaran
lagi!" Di ujung kalimatnya, Kenanga menjejak tanah.
Cepat sekali tubuhnya berkelebat.
"Hei! Tunggu!" cegah Seno, berteriak keras sekali.
Tapi, tubuh Kenanga telah hilang menyatu
dengan kegelapan malam. Tinggallah Seno merutuk
dan menyesali kebodohannya sendiri
*** 4 PENYESALAN selalu datang terlambat. Seno
merasakan kebenaran ungkapan itu. Tidakkah lebih
baik mengejar Kenanga" Kalau mungkin, malah memaksa gadis itu untuk mengatakan
di mana letak Lembah Dewa-Dewi! Bukankah Lembah Dewa-Dewi
mempunyai komplotan yang telah terbukti melakukan
serangkaian pembunuhan kejam"
"Astaga!" seru Seno tiba-tiba, mengarahkan
pandangan ke arah hilangnya sosok Kenanga. "Aku
dapat mengenali gerakan Kenanga tadi! Dia pergi dengan menggunakan ilmu 'Angin
Pergi Tiada Berbekas'!
Ya! Dia berkelebat dengan menggunakan ilmu 'Angin
Pergi Tiada Berbekas'!"
Plok! Seno menepak kepalanya sendiri. Tanpa sadar,
dia mengeluarkan tenaga terlalu banyak, sehingga tubuhnya terhuyung ke kiri.
"Uh! Bodoh benar aku ini!" rutuknya sambil
menepuk-nepuk kening. "Ilmu 'Angin Pergi Tiada Berbekas' berasal dari salah satu
bagian Kitab Sanggalangit yang telah dilarikan oleh Mahisa Lodra! Ya! Kenanga
pasti tak lain dari Mahisa Lodra yang bisa merubah
wajah dan bentuk tubuhnya! Jahanam! Aku telah terkecoh! Tapi, apa maksud
penyamarannya tadi...?"
Kening Seno semakin berkerut rapat. Terbawa
rasa penasaran yang menggeluti benaknya, dia menjejak tanah. Secepat kilat,
tubuhnya berkelebat untuk
mengejar Kenanga. Tentu saja sosok si gadis tak dapat
dia temukan lagi. Kesadaran dan tindakan Seno benarbenar telah terlambat.
Namun, Seno tak putus asa. Dia terus berlari
dan terus berlari. Dimasukinya lagi Kota Gambiran
yang kini telah sepi karena malam telah larut. Sementara, lamat-lamat mulai
terdengar kokok ayam. Fajar
akan segera menyingsing. Hari akan segera berganti
Rasa lelah dan lapar membuat Seno menghentikan langkah kakinya di tepi sungai,
tak seberapa jauh dari Kota Gambiran. Seno duduk terpekur di atas
tonjolan batu. Dia menahan rasa kantuk. Pikirannya
terus melayang-layang, tak henti mengingat berbagai
peristiwa yang baru dialaminya. Dan ketika ingat akan
Kodok Wasiat Dewa, Seno tersentak kaget, meloncat
dari tempat duduknya.
"Syukurlah! Syukurlah!" seru Seno, mengetahui
Kodok Wasiat Dewa masih berada di saku bajunya bagian dalam.
Seno mengeluarkan benda ajaib pemberian
Ikan Mas Dewa itu. Ditatapnya beberapa saat. "Aku
harus menelan benda ini...," katanya dalam hati. "Aku
harus menelan seperti aku menelan Capung Kumala
lima tahun yang lalu... "
Mengikuti pikiran di benaknya, Seno mengangkat Kodok Wasiat Dewa ke dekat
mulutnya. Hendak ditelannya benda itu, tapi....
"Tahan!"
Sebuah teriakan memecah kesunyian. Seno meloncat karena kaget. Sekitar lima
tombak di sisi kanannya telah berdiri seorang gadis berpakaian putih
hijau dengan pernik-pernik gemerlap bak putri seorang
bangsawan tinggi.
"Kenanga...!" desis Seno, terbelalak menatap
sosok si gadis.
"Serahkan benda di tanganmu itu!" seru Kenanga. Suara gadis ini tiba-tiba
berubah menjadi suara
seorang lelaki setengah baya. Sikap berdirinya pun
tampak gagah mirip lelaki.
Seno yang sudah dapat menduga siapa Kenanga sebenarnya, cepat mengatas
keterkejutannya. "Kau
Mahisa Lodra, bukan..."!" tebaknya, menyiratkan kebencian.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau tak sebodoh yang
kukira, Seno! Ha ha ha...! Bolehlah kubuka penyamaran ku karena kurasa memang
sudah tak ada gunanya
lagi!" Ketika tertawa, kelopak mata kiri gadis berpakaian bangsawan selalu tertutup
rapat. Hal itu menambah keyakinan Seno bila gadis itu memang Mahisa
Lodra atau Setan Selaksa Wajah!
Dan tampaknya, si gadis pun benar-benar ingin
membuktikan kata-katanya yang ingin membuka penyamaran. Perlahan telapak tangan
kanannya mengusap wajah tiga kali. Lalu....
"Astaga...!"
Seno berseru kaget. Walau telah menduga apa
yang akan terjadi, namun tetap saja dia terhantam keterkejutan. Matanya
terbelalak menatap sosok gadis
berpakaian gemerlap yang telah berubah menjadi sosok seorang kakek. Tubuh si
gadis yang semula tinggi


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semampai berubah tinggi besar dan tampak gagah
berwibawa. "Mahisa Lodra..." desis Seno, teringat wajah kakek berikat kepala batik yang
pernah melakukan pembunuhan di Penginapan Asri.
Melihat keterkejutan Seno yang membuat wajahnya tampak kebodoh-bodohan itu,
sosok kakek yang baru berubah wujud langsung tertawa panjang
bergelak. Sanggulan rambutnya dilepaskan, hingga jatuh tergerai ke punggung.
Karena masih ingin pamer kepandaian, kakek
yang memang benar Mahisa Lodra atau Setan Selaksa
Wajah itu mengusap lagi wajahnya tiga kali. Di lain kejap, wajah si kakek telah
berubah menjadi wajah tampan seorang pemuda dua puluh lima tahunan.
"Jahanam!" geram Seno.
Mahisa Lodra yang telah berubah wajahnya
menjadi seorang pemuda tampan mengingatkan Seno
pada sosok pemuda berpakaian serba merah yang telah membunuh Sepasang Nelayan
Sakti. Bahkan, pemuda itu juga melukai Ikan Mas Dewa dengan menggunakan sebatang
pedang pusaka. Geram dan amarah di hati Seno hendak meledak manakala dia teringat akan Kemuning
atau Dewi Pedang Kuning yang diculik oleh pemuda berpakaian
serba merah. Maka dengan pandangan tajam menusuk, Seno berteriak lantang.
"Jahanam kau, Mahisa Lodra! Kau telah membunuh Sepasang Nelayan Sakti. Kau bawa
lari Kemun- ing! Bila terjadi apa-apa dengan murid Dewi Pedang
Halilintar itu, tak akan segan aku mengadu nyawa
denganmu!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Mahisa Lodra, kelopak
mata kirinya terpejam rapat. "Aku tahu isi hatimu, Seno! Ha ha ha...! Boleh-
boleh saja kau meminta gadis
itu. Tapi..., serahkan dulu Kodok Wasiat Dewa kepadaku! Ha ha ha...!"
Mendengus gusar Seno. Dicekalnya erat Kodok
Wasiat Dewa di tangannya. "Jahanam kau, Mahisa Lodra!" umpatnya untuk kesekian
kali. "Apa hakmu meminta Kodok Wasiat Dewa"! Justru kaulah yang harus
menyerahkan dua bagian Kitab Sanggalangit! Murid
murtad kau, Mahisa Lodra! Setan kejam kau! Bagaimana kau bisa tega membuat
lumpuh gurumu sendiri"!"
"Ha ha ha...! Lupakan dulu urusan Kitab Sanggalangit dan Dewa Dungu! Kalau kau
terlalu banyak mulut, Kemuning akan segera mati dengan tubuh tercerai-berai!"
"Apa maksudmu" Lepaskan gadis itu, Keparat!"
Mahisa Lodra tersenyum. Sedikit kasar, dia
tanggalkan pakaian putih-hijau yang membungkus tubuhnya. Di dalam pakaian mahal
itu terdapat pakaian
serba merah yang juga terbuat dari bahan mahal.
Setelah melemparkan pakaian putih-hijaunya,
Mahisa Lodra mengeluarkan sebuah benda persegi dari
balik baju merahnya. Benda itu berupa cermin selebar
telapak tangan. Keempat sisinya berukir indah seperti
cermin putri istana.
"Lihatlah baik-baik...!" seru Mahisa Lodra seraya menghadapkan cerminnya ke arah
Seno. Tersurut mundur Pendekar Bodoh dan langsung memasang kuda-kuda. Tapi ternyata,
Mahisa Lo- dra tidak menyerang. Tangan kanan Mahisa Lodra
yang membawa cermin terjulur lurus. Seno menatap
cermin itu tanpa berkedip. Bagaimanapun, dia harus
mewaspadai segala kemungkinan yang terjadi. Mahisa
Lodra adalah tokoh jahat. Dia bisa berlaku licik dan
culas tanpa memperhitungkan peradatan di rimba persilatan.
"Cermin ini bernama 'Terawang Tempat Lewati
Masa'!" seru Mahisa Lodra lagi. "Lihatlah baik-baik!
Kau akan segera tahu apa yang tengah terjadi pada
Kemuning!"
Usai berkata, Mahisa Lodra menyipitkan kelopak matanya. Sebentar kemudian, dari
mulut lelaki tua berwajah pemuda ini keluar suara ceracau tak karuan, mirip sekelompok lebah
yang sedang mengamuk.
Namun, Seno bisa menduga bila Mahisa Lodra sedang
merapal mantra guna mengeluarkan salah satu ilmu
kesaktiannya. "Jahanam itu, sedang merapal mantra, tapi aku
tak tahu apa yang akan dilakukannya...," desah Seno.
"Aku harus siap siaga. Ada baiknya bila aku mengeluarkan ilmu 'Perisai Dewa
Badai'...."
Terbawa perasaan tegang, Seno mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke berbagai tempat penting di
tubuhnya. Di lain kejap, sekujur tubuh Seno memancarkan cahaya putih
berkeredapan. Agaknya, tanpa
sadar Seno telah mengerahkan ilmu 'Perisai Dewa Badai' sampai pada tingkat
tertinggi. Sementara Mahisa Lodra merapal mantra, perlahan sinar mentari pagi mulai
menyembur di ufuk timur. Cahaya Jingga mengusir kegelapan.
Mahisa Lodra melebarkan kelopak matanya.
Dia tersenyum mengejek ketika tahu Seno mengeluarkan ilmu 'Perisai Dewa Badai'.
Dengan tangan kanan
tetap diluruskan ke depan, dia berkata, "Aku tak akan
menyerangmu. Tanpa menyerang pun, aku bisa membuatmu bertekuk lutut. Lihatlah!"
Tangan kanan Mahisa Lodra yang memegang
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' tampak bergetar. Dan terkesiaplah Seno saat
melihat bayangan tubuh di cermin itu
Bayangan di cermin 'Terawang Tempat Lewati
Masa' berupa seorang gadis berpakaian serba kuning.
Mulutnya tertutup sehelai sapu tangan yang diikatkan
ke belakang kepalanya. Sementara, kedua tangannya
terikat tali yang terbuat dari akar pepohonan. Tubuh
gadis itu digantung di sebuah dahan pohon yang melintang ke sebuah rawa-rawa.
Yang mengerikan, di bawah kaki si gadis, terdapat belasan buaya yang siap
mencabik-cabik!
"Kemuning...!" seru Seno, memanggil nama gadis yang berada di gantungan.
"Lihat terus cermin ini, Seno!" seru Mahisa Lodra, keras menggelegar.
Semakin terbelalak Seno melihat sosok Kemuning yang berada di bayangan cermin
'Terawang Tempat
Lewati Masa'. "Lepaskan dia! Jangan siksa dia!" pintanya, kalut dan khawatir.
Terbawa rasa hatinya yang tak menentu, Seno
melepas aliran tenaga dalamnya. Dan, lepas pula ilmu
'Perisai Dewa Badai' yang tengah digunakan untuk melindungi tubuhnya. Tapi
tampaknya, Mahisa Lodra
memang tidak bermaksud menyerang pemuda lugu
itu. Dia cuma tersenyum sinis dan tertawa bergelak
panjang sekali.
"Lepaskan Kemuning! Lepaskan dia!" pinta Seno, semakin khawatir.
Seno tahu apa yang ditunjukkan oleh cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa' adalah wujud asli Kemuning. Sementara, dalam
bayangan cermin ajaib itu,
Kemuning tampak tak berdaya sama sekali. Jiwa Kemuning benar-benar dalam intaian
maut! "Lihatlah lebih teliti, Seno!" perintah Mahisa
Lodra. "Kau lihat ujung tali yang menggantung gadis
itu!" Bola mata Seno kontan melotot besar. Ujung tali yang digunakan untuk menggantung
Kemuning ternyata sedang digerogoti seekor tikus kecil berbulu kuning! Tikus itu
tampak sangat rakus, berusaha mengganyang habis tali penggantung Kemuning. Dan
kalau tali yang terbuat dari akar itu sampai terputus, tubuh
Kemuning akan tercebur ke rawa-rawa yang tengah ditunggui belasan buaya!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Mahisa Lodra, penuh
kemenangan. "Kulihat tubuhmu gemetaran, Seno. Tak
sadarkah kau bila bola matamu turut melotot besar
dan mulut pun ternganga lebar"! Ha ha ha...!"
"Jahanam! Licik sekali kau, Mahisa Lodra!" geram Pendekar Bodoh. "Di mana kau
gantung Kemuning"! Kalau terjadi apa-apa dengan gadis itu, ke mana
pun kau pergi, aku akan terus memburumu!"
"Hmmm.... Kau mengancam bagai harimau tak
punya taring, Seno! Kau tak akan pernah dapat mewujudkan ancamanmu itu. Ha ha
ha...!" ejek Mahisa Lodra seraya tertawa bergelak, tangan kanannya yang
membawa cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' tetap
diluruskan ke depan. Lalu dengan penuh kesungguhan, murid murtad Dewa Dungu ini
berkata, "Bila
sampai matahari tenggelam tiga kali terhitung dari
senja nanti kau tidak dapat menemukan di mana beradanya Kemuning berada, maka
gadis itu benar-benar
akan menjadi santapan buaya-buaya ganas. Si tikus
mungil memutuskan tali penggantungnya lebih dulu.
Lalu tubuh Kemuning yang sintal montok akan tercebur ke rawa-rawa. Kemudian...,
hemmm... kukira kau
sudah tahu sendiri apa yang akan terjadi pada gadis
itu, Seno."
"Jahanam!" maki Seno untuk kesekian kalinya.
Ingin rasanya Seno membunuh Mahisa Lodra saat itu
juga. Tapi dia tak mungkin menyerang kakek berwajah
pemuda itu. Kalaupun Mahisa Lodra dapat dibunuh,
Kemuning tetap saja akan menemui nasib naas. Maka,
tak ada jalan lain bagi Seno kecuali meminta Mahisa
Lodra mengatakan di mana sebenarnya Kemuning berada. Oleh karena itulah, Seno
berusaha menekan luapan hawa amarah. Dengan suara yang dilembutkan,
dia berkata, "Tampaknya, hari ini aku harus mengikuti
kemauanmu, Mahisa Lodra. Aku memang harus menurut, tapi katakan dulu di mana
Kemuning berada!"
Bibir Mahisa Lodra menyungging senyum senang. Kelopak matanya menyipit.
Mendadak, sosok
Kemuning yang terdapat pada bayangan cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa' lenyap tanpa bekas. Di
cermin itu, Seno cuma dapat melihat pancaran cahaya
mentari berwarna jingga.
Perlahan Mahisa Lodra menyimpan kembali
cermin ajaibnya ke balik pakaian merahnya. "Kau masih punya waktu sampai sore
nanti, Seno," ujarnya.
"Tapi, jangan sampai keduluan matahari tenggelam.
Bila terlambat, kau hanya akan menemukan tubuh
Kemuning hanya berupa tulang-belulang di dasar rawa-rawa...."
"Jangan banyak mulut, Mahisa Lodra!" sergap
Seno. "Segera katakan di mana Kemuning!"
Mahisa Lodra tersenyum lagi. Pelan saja dia
menjawab, "Lembah Dewa-Dewi."
Kontan kening Seno berkerut rapat. Dia tidak
tahu di mana letak Lembah Dewa-Dewi. Terbawa rasa
panasan, Seno membentak.
"Aku tak pernah menginjakkan kaki di Lembah
Dewa-Dewi! Aku tak tahu di mana letak lembah itu!
Jangan kau permainkan aku, Mahisa Lodra!"
"Tahan amarah mu, Seno! Kau keliru bila menganggap Lembah Dewa-Dewi cuma kabar
angin. Lembah Dewa-Dewi benar-benar ada! Kalau kau ingin tahu
di mana letaknya, demi menyelamatkan nyawa Kemuning, tentu saja kau harus
memenuhi syarat ku...."
"Aku tahu apa permintaanmu!" sahut Seno.
"Bukankah kau menginginkan Kodok Wasiat Dewa...?"
"Ha ha ha...!" Mahisa Lodra terus tertawa pongah. "Kalau sudah tahu, kenapa tak
segera kau serahkan benda di tanganmu itu?"
Seno menarik napas panjang. Sesaat benaknya
jadi kalut. Pikirannya berputar bingung. Bila Mahisa
Lodra menelan Kodok Wasiat Dewa, maka dia akan
mendapatkan tambahan hawa sakti. Ilmu kesaktiannya akan berlipat ganda seperti
telah dilatih selama
dua puluh tahun! Kalau sudah begitu, amatlah sulit
untuk menghentikan nafsu jahat Mahisa Lodra!
Namun, sosok Kemuning yang telah mencuri
hatinya sanggup mengalahkan kekhawatiran Seno terhadap kesesatan Mahisa Lodra.
Seno harus dapat menyelamatkan Kemuning! Apalagi, di benak Seno terbayang
peristiwa manis yang pernah dilaluinya bersama Kemuning. Beberapa hari yang
lalu, di tengah malam, Seno pernah merasakan ciuman dan dekapan
Kemuning. Dan, hal itu membuat Seno mengambil keputusan bahwa nyawa Kemuning
lebih berharga dari
Kodok Wasiat Dewa!
"Baik! Aku menuruti apa syaratmu!" ujar Seno
kemudian. "Kodok Wasiat Dewa akan kuberikan kepadamu, tapi beritahukan lebih
dulu di mana letak Lembah Dewa-Dewi!"
"Kau lemparkan benda di tanganmu itu kepadaku, baru nanti kukatakan tempat
Kemuning berada...," tawar Mahisa Lodra.
"Jahanam! Kau hendak berlaku culas lagi!"
"Tidak! Aku tahu kau saudara seperguruanku.
Oleh karena itu, aku tak akan mempermainkan mu.
Aku benar-benar akan mengatakan di mana letak
Lembah Dewa-Dewi kalau Kodok Wasiat Dewa telah
berada di tanganku!"
Mendengar ucapan Mahisa Lodra yang penuh
kesungguhan, Pendekar Bodoh tampak terpaku di
tempatnya. Benarkah Mahisa Lodra akan menepati kata-katanya" Ataukah dia akan
berlaku licik"
*** 5 Di balik semak belukar yang tumbuh menebar
di tepi sungai, sosok manusia berpakaian putih-putih
ini memandang nanar. Tubuhnya bergetar, seperti tengah menyimpan hawa amarah
ataupun rasa khawatir.
Sosok manusia yang sedang mengintai ini seorang lelaki bertubuh tinggi tegap.
Raut wajahnya tak bisa dikenali karena dia mengenakan topeng yang terbuat dari
baja putih. "Aku bisa merasakan kebingungan pemuda berjuluk Pendekar Bodoh itu," kata hati
lelaki bertopeng.
"Dia harus menentukan pilihan yang sama-sama berat
bak makan buah simalakama. Sebagai seorang pendekar, tentu saja dia tak
merelakan Kodok Wasiat Dewa
jatuh ke tangan orang jahat. Namun sebagai manusia
biasa yang punya rasa sayang dan cinta, dia tak
mungkin membiarkan orang yang dikasihinya celaka."
Lelaki bertopeng ini terus mengarahkan pandangan ke sosok Mahisa Lodra dan Seno
Prasetyo. Getaran tubuhnya semakin terlihat manakala Seno mengangkat Kodok
Wasiat Dewa di depan dada. Agaknya,
pengintai ini juga menyayangkan apabila Kodok Wasiat
Dewa sampai jatuh ke tangan Mahisa Lodra yang sudah terbukti sebagai seorang
tokoh beraliran sesat.
"Seno.... Seno...," mendadak lelaki bertopeng
menyebut nama kecil Pendekar Bodoh. Tapi karena
suaranya amat pelan, tak ada orang lain yang dapat
mendengarkannya. Tak juga Pendekar Bodoh yang sebenarnya punya indera
pendengaran amat tajam. "Seno.... Seno...," sebut lelaki bertopeng lagi. "Wajah
pemuda itu mirip sekali.... Yah! Mirip sekali! Benarkah
dia Seno Prasetyo, putra Dewi Ambarsari...?"
Sementara Pendekar Bodoh dan Mahisa Lodra


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling tatap dalam perasaan tegang, lelaki yang wajahnya tertutup rapat ini
mendesah panjang berulang
kali. Rasa senang, sedih, kalut, dan tegang tiba-tiba
menggeluti batinnya. Namun saat keempat rasa itu
berperang, rasa sedihlah yang menang. Hingga, dari
balik topeng baja putihnya, bola mata si pengintai
tampak berkaca-kaca. Namun, lelaki ini tak hendak
Manusia Harimau 2 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Pedang Keadilan 17
^