Pencarian

Undangan Maut 2

Pendekar Bloon 6 Undangan Maut Bagian 2


sedang berpesta?"
"Kita lihat apakah dia punya kepandaian?"
Gajah Kurus menimpali.
Sementara Buto Terenggi telah datang
menghampiri. "Kau yang bicara tadi, bocah?"
Suro Blondo garuk-garuk kepala.
"Apakah kau merasa punya kemampuan
sehingga berani menghina orang lain...?"
"Aku tidak tahu. Kulihat putri itu hebat
bukan main. Tapi apa gunanya membuat pang-
gung lawakan yang tidak lucu, kalau orang yang
bermain diatasnya hanya orang-orang seperti ba-
dut!" kata pendekar Blo'on sambil tersenyum-senyum.
Merah wajah Buto Terenggi seketika. Ra-
hangnya terkatup rapat. Ia pun kemudian meng-
geram marah. "Jika kau merasa punya kebiasaan menga-
pa tidak cepat naik keatas panggung?" bentaknya berang.
"Aku baru akan melakukannya!" ujar si pemuda.
Karena merasa tidak sabar. Datuk Mam-
bang Pitoka langsung menyentakkan tangan pen-
dekar Blo'on. Tubuh si pemuda ini langsung me-
layang hingga membuatnya jatuh terduduk diatas
panggung. Semua orang berdecak kagum melihat
besarnya tenaga yang dimiliki oleh Buto Terenggi.
Tapi mereka segera maklum setelah mengetahui
siapa orangnya.
"Lihatlah, orang yang mencuri ular-ular ki-ta ada disitu. Apakah kita gebuk
sekarang?"
"Jangan adik Kurus. Kita harus melihat si-
tuasi, naluriku mengatakan akan terjadi huru ha-ra disini." kata Gajah Gemuk di
tempat persembunyiannya.
Sementara itu Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan juga sudah berada di tempat keramaian.
Hanya ia yang datang bersama Dewi Bulan senga-
ja bersembunyi diatas pohon. Sungguhpun ia da-
tang dengan membawa undangan, tapi kecuri-
gaannya mulai timbul ketika melihat para petugas penerima tamu tewas dalam
keadaan tertotok.
Kecurigaan Ratu Penyair Tujuh Bayangan sema-
kin bertambah kuat melihat orang-orang yang te-
was itu pertama tentunya dalam keadaan terto-
tok, baru sejam kemudian dibunuh. Jelas antara
si penotok dengan si pembunuh merupakan orang
yang berlainan.
Kini diatas pohon itu Ratu Penyair dan De-
wi Bulan yang tertotok urat gerak dan suaranya
dapat menyaksikan ke tengah-tengah panggung
tanpa ada seorangpun yang melihat mereka. Dewi
Bulan yang tidak mampu bicara itu tentu saja
terkesiap melihat Suro Blondo terlempar ke atas panggung. Sungguhpun ia melihat
orang lain yang melemparkannya. Artinya tetap sama saja,
jika pendekar Blo'on yang memenangkan pertan-
dingan ini ia berhak memperistri Maya Swari.
Tanpa terasa jantung Dewi Bulan berdetak ken-
cang dan wajahnya pun bersemu merah.
Dibelakangnya Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan yang melihat kejadian ini hanya tersenyum-
senyum saja. "Pemuda itu meskipun tampangnya tolol
kekanak-kanakan, ganteng bukan?" sindirnya kemudian. Untung Dewi Bulan tidak
dapat bicara, kalau tidak ia pasti sudah menyemburnya dengan
caci maki. Diatas panggung Suro Blondo dengan ter-
pincang-pincang sudah bangkit berdiri. Sesung-
guhnya ia tidak kekurangan sesuatu apa. Ketika
ia dilemparkan tadi ia bahkan telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi
badannya dari pengaruh benturan. Tapi karena kini ia berada di tengah-tengah orang-orang
berkepandaian tinggi
dan terdiri dari para tokoh sesat pula. Mau tidak mau ia mengambil sikap seperti
orang yang tidak punya kepandaian sama sekali.
"Bicaramu selangit, seakan kau mempu-
nyai kesaktian segudang." dengus Maya Swari.
Rupanya setelah melihat ketampanan si pemuda
yang sangat lain dari lainnya, gadis ini merasa tertarik juga.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mela-
wanmu, Nisanak!" kata si pemuda, lalu menyeka keringat yang mengalir
dikeningnya. "Huh... siapa sudi memaafkan kau. Terlan-
jur kau naik kepanggung ini. Kau mau tidak mau, suka tidak suka harus menerima
gebukanku!" ka-ta Maya Swari. Dan entah mengapa kini ia punya
perhatian khusus pada pemuda berambut hitam
kemerah-merahan ini.
6 "Baiklah. Kuterima gebukanmu tapi jangan
kuat-kuat!" Pendekar Blo'on menyeringai. Ini membuat Maya Swari menjadi mangkal.
Cepat ia menggeser langkahnya kesamping kiri. Kaki de-
pan ditekuk, sementara tangan terkembang di
depan dada. Jelas sekali Raka Tendra mengetahui bahwa putrinya mengerahkan salah
satu jurus yang sangat berbahaya. Padahal pemuda itu
sungguhpun anaknya mempergunakan jurus bi-
asa belum tentu lawan dapat menghindarinya.
Raka Tendra segera dapat mengambil kesimpulan
bahwa anaknya memang bermaksud menghabisi
lawannya. "Yeaa...!"
Maya Swari melompat ke depan. Tangan-
nya terkembang menghantam ke dada. Cepat bu-
kan main gerakan ini sehingga orangpun dapat
membayangkan dengan sekali pukul pemuda be-
rambut hitam kemerahan ini roboh dan paling ti-
dak terluka dalam cukup parah.
"Jangan kelewat kejam...!" desis Suro Blondo lalu pencongkan mulutnya. Setelah
itu ia me- lompat ke samping. Ia pergunakan jurus Kera pu-
tih Memilah Kutu. Gerakan menghindar yang di-
lakukannya terkesan asal jadi dan sembarangan.
Tubuhnya terhuyung ke depan, ketika hantaman
tangan lawan datang ia tarik ke kiri, lalu ter-
huyung pula ke kanan. Sedangkan kaki dengan
lincahnya melompat-lompat lalu....
Wuus! Satu liukan indah dilakukannya. Sehingga
serangan beruntun Maya Swari mengenai sasaran
kosong. Para hadirin terlebih-lebih Raka Tendra tertegun. Jurus serta serangan
anaknya itu terkenal cepat dan tidak pernah meleset. Tapi aneh, jika kali ini
lawan dengan gerakan yang kacau
dapat menghindari serangan itu.
Maya Swari kertakan rahangnya. Tangan
kiri diputarnya, lalu tangan kanan menghantam
ke bagian wajah lawan sedang kaki menendang ke
arah perut. Ini merupakan gerakan yang sulit dilakukan oleh orang lain secara
sempurna. Seke-
jap ia melompat lalu lepaskan tendangan dan pu-
kulan secara beruntun. Sambil berjingkrak-
jingkrak Suro Blondo terpaksa melompat ke bela-
kang dan terus ke belakang. Orang memperkira-
kan sebentar lagi pemuda bertampang tolol keka-
nak-kanakan ini pasti jatuh dari panggung. Tapi siapa sangka begitu sampai di
ujung panggung ia bersalto sebanyak tiga kali. Bahkan ia masih
sempat pula melakukan serangan balasan.
Bet!" Tangannya melayang mencakar ubun-ubun
lawan. Maya Swari terpaksa berguling-guling se-
lamatkan kepala.
"Ha ha ha...!" Pendekar Blo'on tertawa nga-
kak. "Hati-hati, Nisanak!"
"Jangan bangga! Heyaa...!" Maya Swari sambil berteriak melompat berdiri
tangannya menghantam lutut si pemuda. Karena serangan
itu bertubi-tubi dan penuh variasi. Suro Blondo kali ini terpaksa melompat lagi,
tangan menghantam kiri kanan dan depan. Ia berjongkok dan se-
perti seekor monyet berjingkrak-jingkrak ia me-
layani serangan lawannya.
Yang aneh dari serangan balasan yang di-
lakukan kali ini adalah setiap menyerang dari
mulutnya keluar suara raungan seperti suara hi-
ruk pikuk monyet di hutan. Suara ini membawa
pengaruh tidak ringan, karena gerakan silat serta konsentrasi lawan jadi
terpecah-pecah.
"Hiiik!" Maya Swari rupanya segera menyadari apa yang harus dilakukannya untuk
menghi- langkan pengaruh suara pendekar Blo'on. Sehing-
ga ia berteriak keras sekali. Pertarungan itu semakin lama berlangsung semakin
seru. Semua pihak berdecak kagum. Termasuk juga orang-
orang yang bersembunyi di balik pohon maupun
yang diatas pohon.
"Anak itu tampangnya tolol dan kekanak-
kanakan. Tapi siapa sangka ia mempunyai ilmu
silat yang sangat langka." komentar Buto Terenggi seakan memuji.
"Aku seperti pernah mengenal jurus-jurus
aneh seperti itu. Tapi aku lupa kapan dan dima-
na." Raka Tendra menimpali.
"Tenaga dalamnya berada diatas tenaga da-
lam Maya Swari" Nyanyuk Pingitan buka suara.
"Sayang kita tidak tahu dia berasal dari golongan mana!"
"Kita lihat dulu apakah ia mampu mengha-
dapi ilmu pedang putriku. Jika dia lolos dari kematian. Nanti kita dapat
bertanya darimana asal pemuda itu."
Sementara itu Gajah Gemuk dan Gajah
Kurus juga sedang berembuk dan membicarakan
Pendekar Blo'on.
"Kurasa di kolong langit ini hanya Penghu-
lu Siluman Kera Putih Batara Surya saja yang
memiliki ilmu kera semacam ini. Tapi apakah kau yakin dia muridnya Batara
Surya?" "Aku kurang tahu, Kakang. Menurut apa
yang kudengar Batara Surya tidak pernah me-
mungut seorang murid pun. Ia lebih suka ber-
kumpul dengan monyet-monyet siluman kaum-
nya." "Tapi... ah, ini lebih gila lagi. Lihatlah jurus yang dimainkannya itu.
Lima puluh tahun yang
lalu aku seperti pernah melihat jurus yang sangat kacau sebagaimana yang
dimainkan oleh pemuda
itu. Tidak! Jurus ini lebih dahsyat dari jurus-
jurus kera putih." Bantahnya sendiri.
"Kacau balau" Bukankah jurus itu hanya
dimiliki oleh Malaikat Berambut Api?"
Gajah Gemuk manggut-manggut. "Benar...
aku baru ingat jurus yang sekarang dimainkan
oleh pemuda itu sama persis dengan jurus Kacau
Balau ciptaan Malaikat Berambut Api. Tapi apa
hubungannya" Apakah dia muridnya" Konon Ma-
laikat Berambut Api manusia sakti mandraguna
itu tinggal di Pulau Seribu Satu Malam dan tidak punya seorang murid pun."
"Ya... dan gadis itu walaupun kini bersenja-ta pedang mungkin tidak sampai lima
jurus di- muka segera menjadi pecundang!" kata Gajah Gemuk menimpali.
Apa yang dikatakan oleh Gajah Kurus me-
mang bukan hanya sekedar bualan saja. Sung-
guhpun Maya Swari telah menggerakkan jurus
pedang yang paling sangat diandalkannya. Hingga sejauh itu ia masih belum dapat
menciderai lawannya. Jangankan melukainya, sedangkan me-
robek pakaian si pemuda saja ia tidak mampu.
Ketika Suro Blondo melancarkan serangan
balik dengan perpaduan dua jurus, yaitu jurus
Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau dan Jurus
Kacau Balau. Maka Maya Swari segera terdesak.
Gadis cantik ini semakin memperhebat gerakan
pedangnya dan juga melipat gandakan tenaga da-
lamnya. Sejauh itu ia masih belum mampu me-
nembus pertahanan lawannya. Bahkan setiap se-
rangan-serangan yang dilancarkannya selalu ter-
tahan. Permainan pedangnya terbatas dan selalu
membalik nyaris mengenai diri sendiri.
Diatas pohon Dewi Bulan yang turut me-
nyaksikan pertempuran itu diam-diam mulai ce-
mas. Ia bukan mengkhawatirkan keselamatan
pemuda itu, tapi jauh di lubuk hatinya jika Pendekar Blo'on dapat memenangkan
pertandingan ini berarti dia akan menjadi suami Maya Swari.
Siapa yang tidak sedih melihat pemuda yang di-
cintainya secara diam-diam menjadi suami orang
lain. Secara kebetulan itupun tengah dipikirkan oleh Suro Blondo. Kalau dia mau
tentu sejak tadi Maya Swari dapat dijatuhkannya. Tapi konsek-wensinya ia harus
menjadi suami Maya Swari.
Padahal inilah yang tidak dikehendakinya. Bukan karena Maya Swari jelek rupa.
Dibandingkan De-wi Bulan, Kecantikan Maya Swari tidak ubahnya
bagai pinang di belah kampak. Artinya sama-
sama cantik dan menawan. Mengingat Maya Swa-
ri merupakan putri dari tokoh sesat, hal ini tidak sejalan dengan jalan hidup
yang ditempuhnya.
Lagipula ia masih harus mencari musuh besar
orang tuanya yang hingga kini belum ketahuan
dimana rimbanya.
Sekarang ia harus mencari jalan lain, pal-
ing tidak ia harus mengalah. Tapi jika itu dilakukannya, ia pasti mati ditangan
si gadis yang begitu ganas. Dalam keadaan bingung begitu rupa,
serangan-serangan Maya Swari semakin bertam-
bah gencar kembali. Tokh sebagai orang berpen-
galaman Diraja Penghulu Iblis, Buto Terenggi dan Nyanyuk Pingitan sudah dapat
mengetahui bahwa
pemuda berambut hitam kemerahan itu kini sen-


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gaja mengalah. Dalam arti sebenarnya ia sudah
memenangkan pertarungan sejak beberapa jurus
tadi. Apapun alasannya, pemuda itu sudah pan-
tas menjadi pendamping Maya Swari sebagaimana
isyarat gadis itu kepada ayahnya.
Celakalah bagi Suro Blondo karena usa-
hanya ini tidak mendatangkan hasil. Ketika Diraja Penghulu Iblis bertepuk tangan
dan angkat bendera putih. Maka Maya Swari melompat mundur.
Tidak lama penguasa gunung Pangrangko ini me-
lompat ke atas panggung, memandang untuk be-
berapa saat lamanya, lalu tersenyum ditujukan
pada Maya Swari anaknya.
"Sesungguhnya kau telah kalah, Anakku.
Pemuda ini pantas menjadi pendampingmu. Ba-
gaimana apakah kau mau mungkir?" pertanyaan ini membuat wajah Maya Swari yang
putih susu berubah memerah seperti tomat masak. Ia sendiri harus mengakui bahwa Suro Blondo
memang hebat, kalau dia mau mungkin sejak tadi ia sudah
menjadi pecundang. Dihatinya ia beranggapan
bahwa pemuda berambut hitam kemerahan itu
sengaja mengalah karena takut kepada orang tu-
anya. Kini setelah ayahnya naik ke atas panggung maka semakin bertambah jelaslah
persoalannya. "Siapakah namamu, anak muda?" tanya
Raka Tendra dengan suara keras.
Suro Blondo menjadi bingung sebentar, la-
lu garuk-garuk kepala. Mungkinkah ia harus ber-
terus terang" Sedangkan ia berhadapan dengan
orang-orang yang tidak satu golongan.
"Jika keadaan sangat memaksamu untuk
berdusta karena kau merasa ragu menilai kebai-
kan orang lain. Berbohongpun tidak akan ada sa-
lahnya!" kata-kata yang pernah diucapkan oleh gurunya seakan mengiang kembali di
telinganya. "Mengapa kau diam?"
Pertanyaan ini membuat si pemuda tersen-
tak kaget. "Na.. namaku, namaku Pangeran Lin-
glung." jawab si pemuda sekenanya. Raka Tendra kerutkan kening sedangkan Maya
Swari sebagaimana tamu lainnya ikut tertawa. Dibalik tempat
persembunyiannya Gajah Gemuk bicara
"Bocah itu ternyata hanya orang gendeng
yang memiliki kepandaian tinggi."
"Tenanglah, kita lihat saja apa yang akan
terjadi!" Gajah Kurus Krempeng menimpali.
Pembicaraan diatas panggung terus ber-
langsung. "Apakah kau tidak berdusta?"
"Tidak."
"Siapa gurumu?" tanya Raka Tendra dengan sorot mata penuh selidik.
Suro Blondo nyengir lagi. "Aku tidak per-
nah berguru. Aku hanya melihat gerak gambar di-
tebing batu lalu kutiru."
"Benarkah begitu?"
"Ya..."
"Apa pekerjaanmu?"
"Sejak jadi yatim piatu aku menggembala
kuda milik orang kaya di Banyuwangi. Karena
kuda-kuda itu beranak terus, aku kewalahan dan
lari hingga ke sini...." Jawaban Suro Blondo yang tenang itu membuat Raka Tendra
harus percaya, walau dihatinya curiga. Sebaliknya para undan-
gan tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawa-
ban yang sangat polos itu.
"Tahukah kau bahwa kau memenangkan
pertandingan ini?"
Suro Blondo menggeleng.
"Kau menang, berarti kau berhak menjadi
pendamping putriku. Kurasa Maya Swari setuju
bukankah begitu?" Raka Tendra menoleh pada putrinya. Maya Swari menundukkan
kepala malu-malu, padahal memang setuju.
"Tapi... ee... bagaimana ini...!"
"Menolak pinangan iblis berarti mati. Tidak sadarkah kau bahwa ini merupakan
satu kehormatan bagimu!" ketus sekali suara Diraja Penghulu Iblis.
Sementara di atas pohon Dewi Bulan yang
dalam keadaan tertotok dan terus didampingi oleh Ratu Penyair Tujuh Bayangan
segera palingkan
mukanya ke arah lain. Tapi satu permintaan Suro Blondo yang diajukan kepada Raka
Tendra paling tidak membuat hatinya lega.
"Kehormatan itu dapat kuterima. tapi aku
punya satu syarat. Jika syaratku diterima tentu bukan halangan bagiku untuk
menjadi suami putri yang cantik ini."
"Apakah syaratmu?"
"Karena aku seorang Pangeran, walaupun
hanya Pangeran Linglung. Aku punya pembantu
paling setia. Kelak dia akan datang sendiri bila melihat majikannya ada disini."
"Ha ha ha...! Jangankan hanya satu ka-
cung, sepuluh kacung pun jika kau punya tidak
mengapa kalau kau mau membawanya kemari."
"Terimakasih-terimakasih...!"
"Jadi kau telah setuju untuk menjadi man-
tuku?" Pendekar Blo'on tersenyum-senyum, lalu anggukan kepala. Melihat ini tentu
Maya Swari gi-rang bukan main. Sebaliknya Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng memaki-maki.
"Anak tolol! Kepandaian tinggi. tapi mau
menjadi menantu iblis. Dasar edan!"
"Tenanglah Adik Krempeng. Kurasa ia
punya tujuan tertentu. Kita lihat saja." kata Gajah Gemuk.
Di atas panggung Raka Tendra mulai men-
gumumkan pertunangan Maya Swari dengan
Pendekar Blo'on yang mengaku sebagai Pangeran
Linglung. Sementara itu Buto Terenggi dan Nya-
nyuk pingitan sedang berbincang-bincang dengan
seorang tamu yang baru saja datang. Tamu itu
memiliki badan agak bungkuk, matanya cuma
sebelah, wajahnya mengerikan karena membusuk
disana sini. Melihat cara Buto Terenggi yang bermata kecil seperti ikan lele itu
menghormat. Jelas tamu yang datang bukan tamu sembarangan. Dia
tidak lain Si Bungkuk Lima alias Datuk Alang Sitepu dari gunung Sibayak.
"Maaf, kami terlambat menyambut tamu
yang datang dari jauh. Silakan mengambil tempat Raja Penyihir. Sebentar lagi
pesta besar segera di-adakan!" Nyanyuk Pingitan mempersilahkan manusia bungkuk
bau bangkai ini mengambil tem-
pat tidak jauh dari panggung.
"Hmm, Inikah orangnya yang akan menjadi
mantu Raka Tendra?" tanya Datuk Alang Sitepu sambil tersenyum. Tapi senyumnya
itu dimata orang lain tidak ubahnya seperti seringai mena-
kutkan. Dan bibir itu sendiri seperti hendak tanggal ketika ia sedang bicara.
"Benar Datuk Alang." yang menjawab adalah Buto Terenggi.
"Hanya seseorang badut mengapa harus di-
jadikan mantu...?" Datuk Alang yang sangat dikenal di pulau Jawa karena ilmu
sihirnya yang hebat-hebat, meludahkan air sirihnya ke tanah.
Rumput yang terkena air ludah laki-laki ini langsung hangus menebar asap berbau
busuk sekali. "Lagi pula pemuda itu belum mampu menotok calon pengantin perempuan. Mengapa adu
kepan- daian dihentikan?" Datuk Alang Sitepu protes.
"Pemuda itu mungkin takut melakukan-
nya, Datuk. Mungkin pula ini caranya dalam
menghormati calon istrinya. Ia tidak mau mem-
permalukan calon isteri di depan orang banyak."
Pembicaraan antar tokoh ini terus berlang-
sung. Sementara Maya Swari dan Suro Blondo te-
lah digiring meninggalkan panggung untuk dirias di kamar pengantin.
7 Pada saat yang sama Satu Penyair Tujuh
Bayangan sudah melepaskan totokan pada bagian
jalan suara Dewi Bulan. Begitu terbebas dari totokan gadis ini langsung bicara.
"Sebenarnya aku sudah memenuhi keingi-
nanmu. Sekarang bebaskan aku! Pemuda itu per-
lu ditolong. Aku tidak suka ia kawin dengan anak iblis!" semburnya.
Ratu Penyair Tujuh Bayangan tersenyum.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kulihat tatapan matamu dan kau menyukainya.
Tapi jangan khawatir aku pasti akan membantumu.
Kini niatku telah berubah setelah melihat Raja
Penyihir ada disini. Kurasa ada yang tidak beres bakal terjadi!"
Dewi Bulan terkejut bukan main menden-
gar Ratu Penyair Tujuh Bayangan menyebut-
nyebut tentang ahli sihir.
"Nisanak, siapakah kau sesungguhnya.
Kau berdiri dipihak mana?"
"Di tengah-tengah. Iblis juga sahabatku,
walau tidak jarang aku juga berkawan dengan
orang-orang lurus. Tapi jangan takut. Aku paling tidak bisa melihat kekejian."
desah Ratu Penyair.
"Kudengar tadi pemuda itu menyebut ten-
tang kacung. Kalau kau bisa menyamar, sebaik-
nya menyamarlah sebagai kacung. Sementara aku
sendiri akan menyelidik apa yang tersembunyi dibalik undangan merah ini!"
Tees! Tees! Ratu Penyair Tujuh Bayangan membe-
baskan totokan Dewi Bulan. Sebelum berkelebat
pergi ia masih sempat berpesan.
"Hati-hati kau bertindak. Sekali langkahmu tercium oleh mereka. Maka setiap
jengkal tanah disini akan mendapat pengawasan yang sangat
ketat dari anggota mereka!"
Dewi Bulan yang semula merasa curiga
atas kehadiran Ratu Penyair Tujuh Bayangan, ki-
ni hanya menganggukkan kepala. Secara diam-
diam ia meninggalkan pohon yang mereka jadikan
tempat bersembunyi sejak tadi.
Sementara itu sepasang mempelai telah
disandingkan. Dandanan Pendekar Blo'on sangat
lucu sekali. Tidak jauh dari kursi pengantin, para hadirin kini sedang berpesta
pora. Tidak lupa ular Kayangan yang telah dimasak dengan cara khusus disajikan.
Bau arak wangi dan aneka roma
berbagai jenis makanan berbaur menjadi satu.
Kenyataan ini membuat Gajah Gemuk merasa
menjadi lapar seketika.
"Kita harus ikut mencicipi hidangan itu sekaligus menyelidik apakah ular-ular
berkhasiat milik kita telah menjadi hidangan ini!"
"Jangan...!" cegah Gajah Krempeng. "Aku seperti mencium bau sesuatu yang sangat
khas. Kurasa inilah yang dinamakan Racun Pelumpuh
akal." "Apa?" Gajah Gemuk belalakkan mata.
"Racun Pelumpuh Akal" Aku tahu kini. Bukankah racun itu gunanya untuk
menghilangkan akal sehat seseorang. Siapakah yang memakannya ia
akan menjadi patuh pada orang yang mengua-
sainya. Tapi untuk apa Diraja Penghulu Iblis melakukannya?"
"Kurasa ada rencana besar dibalik semua
ini. Jika orang-orang itu telah keracunan, tentu mereka tidak ubahnya seperti
orang bodoh. Mereka akan menjadi penurut dan melakukan semua
perintah orang yang telah meracunnya. Dan ku-
rasa ini ada hubungannnya dengan ular Khayan-
gan milik kita yang dicuri oleh Buto Terenggi. Jika ular-ular itu sekarang telah
diolah dan dihidang-kan, bukankah para undangan yang telah terkena
racun akan memiliki tenaga cukup besar untuk
membantu Diraja Penghulu Iblis. Tenaga mereka
yang berlipat ganda itu akan sangat berguna se-
kali. Tidak ada orang yang dapat menghentikan
mereka...!"
Gajah Krempeng bergidik seram.
"Aku hampir tidak percaya mereka punya
rencana besar. Rencana apa?" desis Gajah Gemuk. "Itu gunanya jika kita mau
menyelidik. Sebelum kita pergi apakah kau melihat ada bayan-
gan berkelebat dari atas pohon tadi?"
"Aku tidak melihatnya, perhatianku selalu
tertuju pada pemuda itu."
"Sudahlah, sekarang sudah waktunya kita
bergerak!"
Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng kemu-
dian keluar dari tempat persembunyiannya. Ke-
mudian dengan mengendap-endap mereka mulai
mengitari bangunan besar itu dari belakang.
Tepat seperti yang dikatakan oleh Gajah
Krempeng. Para undangan yang terdiri dari tokoh-tokoh aliran hitam ini setelah
menyantap hidan-
gan tampak berubah lain. Tatapan mereka tam-
pak kosong, sementara keringat terus bercucuran di kening dan tubuh mereka.
Anehnya tidak seorangpun diantara mereka yang berani bicara. Saat itu hari sudah
berubah senja. Matahari hanya
tinggal bayang-bayang merah yang menyeruak di
celah-celah dedaunan.
Suro Blondo yang duduk di samping Maya
Swari tentu saja merasa heran sekali melihat perubahan ini. Cuma ia tidak mau
menanyakan pa- da Maya Swari. Saat malam tiba, pengantin ma-
suk ke dalam kamar mereka. Sementara para un-
dangan sekarang malah bertindak menjadi pen-
gawal di luar bangunan yang cukup besar itu.
Kenyataan ini memang sangat mengherankan.
Bagaimana mungkin orang-orang yang mempu-
nyai kepandaian tinggi ini bisa takluk bahkan kini seperti telah berubah menjadi
para abdi yang paling setia pada Diraja Penghulu Iblis.
Hanya orang-orang yang mempunyai otak
cerdas saja yang tahu, bahwa Diraja Penghulu Iblis telah mempergunakan cara yang
paling halus untuk membuat tokoh-tokoh golongan menjadi
tunduk padanya. Itulah kunci dari kehebatan
'Racun Pelumpuh Akal'. Melihat gelagat yang ti-
dak menguntungkan ini mulai bertindak dengan
sangat hati-hati. Sedikit banyak ia menjadi lega juga ketika melihat seorang
pengawal merangkap
murid Diraja Penghulu Iblis mengantar seorang laki-laki berkumis tipis dengan


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahi lalat di dagu ke kamarnya. Walaupun sebenarnya Suro Blondo
merasa kaget atas kemunculan Dewi Bulan yang
tidak disangka-sangka ini. Tapi ia telah bertekad untuk membicarakan masalah
yang sedang dihadapinya. Ia lalu tertawa melihat sang kacung ini yang sempat
mendelik padanya.
"Ah.... Maya... inilah kacung yang kumak-
sudkan itu. Dia sangat setia dan jujur. Aku mau saat ini ia mendampingi aku!"
"Aku tentu saja tidak keberatan, Kakang
Pangeran...!" Maya Swari memperhatikan kacung yang berkumis tipis dan berpakaian
kedodoran ini. "Siapa namamu?"
"Margonda, Gusti Putri."
"Margonda nama yang cukup bagus. Tolong
sediakan hidangan buat kami malam ini, Margon-
da!" kata Maya Swari lembut. Dan sebenarnya walaupun ia anak dedengkotnya para
iblis Maya Swari sebenarnya berhati lembut, polos dan pe-
nuh pengertian.
"Baik, segera hamba kerjakan." Margonda alias Dewi Bulan berlalu meninggalkan
ruangan pengantin itu dengan dikawal oleh seorang pen-
gawal bersenjata tombak. Pengawalan ini sesung-
guhnya membuat Margonda tidak dapat bergerak
dengan leluasa. Apalagi sebelumnya ia telah mendapat kisikan dari Ratu Penyair
Tujuh Bayangan bahwa semua makanan disitu telah dibubuhi Ra-
cun Pelemah Akal. Apapun alasannya yang jelas
tuan rumah punya maksud-maksud yang tidak
baik. Ketika ia sampai di dapur tidak tahunya hidangan itu untuk pengantin telah
disediakan. Ja-di Margonda hanya tinggal membawanya seka-
rang. Hidangan ini jelas tidak boleh dimakan oleh Suro Blondo kalau ingin
dirinya selamat. Tapi bagaimana membuang nya dan menggantikannya
dengan hidangan lain. Sedangkan pengawal itu
terus mengawasi gerak geriknya.
Bagi Dewi Bulan alias Margonda sebenar-
nya tidak sulit untuk merobohkan seorang pen-
gawal. Tapi setiap sudut selalu dijaga oleh orang-orang tertentu. Jika ia nekad
membungkam pen-
gawal yang terus mengikutinya. Bukan mustahil
penyamarannya akan terbongkar. Dalam keadaan
bingung seperti itu tiba-tiba Dewi Bulan teringat sesuatu. Ia menyelipkan
sepotong ubi di tengah-tengah nampan tanah. Di tengah-tengah poton-
gan ubi rebus itu ia susupkan dua butir pil berwarna putih. Dua obat mujarab
pemberian gu- runya ini bukan sembarang obat. Karena diambil
dari bisa ular merah dicampur ramuan lain.
Fungsinya akan melumpuhkan pengaruh racun
lainnya didalam tubuh seseorang setelah itu racun ular merah itu setelah bekerja
tidak akan membahayakan keselamatan jiwa yang mema-
kannya. Tidak lama kemudian ia telah sampai kem-
bali di kamar pengantin. Maya Swari tentu saja
terheran-heran ketika melihat Suro Blondo me-
nyambar potongan ubi itu lalu memakannya den-
gan lahap. "Aih... Kakang, mengapa makan ubi. Bu-
kankah hidangan lainnya cukup lezat?" tegurnya.
"Biasanya sebelum makan yang enak-enak
kacungku ini memang kuminta menyediakan se-
potong ubi. Kalau tidak manalah makanku la-
hap!" Maya Swari yang sesungguhnya benar-
benar sangat mencintai Suro Blondo sejak pan-
dangan pertama langsung tersenyum. Dengan di-
bantu oleh Margonda ia meletakkan hidangan itu
diatas meja kecil. Sikap Maya Swari yang begitu manja membuat Dewi Bulan selalu
menundukkan kepala. Hidangan telah tersedia Margonda meninggalkan ruangan pengantin. Ketika
Suro Blondo hendak mencicipi salah satu hidangan. Tiba-tiba Maya Swari mencegahnya.
"Kakang sebaiknya makanan ini kita bu-
buhkan penyedap khusus." desah gadis itu. Tapi diam-diam keningnya berkerut.
Dalam aroma hidangan dia seperti mencium bau Racun Pelemah
Akal. Siapa yang telah membubuhkannya" Sung-
guhpun ia kebal terhadap racun itu. Tapi bagai-
mana jika racun yang berbau harum sebagai
aroma masakan ini termakan oleh suaminya" Un-
tuk menghindari kecurigaan Suro Blondo ia ber-
pura-pura untuk membubuhkan penyedap khu-
sus. Padahal ia ingin membubuhkan penangkal
racun itu agar Suro Blondo terhindar dari bahaya.
Maya Swari menjadi curiga pada ayahnya. Jan-
gan-jangan sang ayah sengaja meracuni Suro
Blondo. Tapi apa tujuannya"
Sementara itu Suro Blondo sudah menco-
mot salah satu masakan dan memakannya sebe-
lum Maya Swari membubuhkan penyedap seba-
gaimana yang dikatakannya tadi.
"Kakang mengapa dimakan?" tanya Maya
Swari dengan terkejut.
"Bukankah hidangan ini khusus disedia-
kan buatku?"
Mendengar ucapan Suro Blondo, gadis itu
jadi kehilangan kata-kata. Mereka pun makan
bersama-sama. Tentu saja setelah Maya Swari
membubuhkan menyedap berwarna merah di da-
lam botol. Selesai makan Maya Swari tidak lang-
sung tidur. Ia pamitan untuk bicara dengan
ayahnya sebentar. Ini kesempatan baik Dewi Bu-
lan untuk bicara dengan Suro Blondo.
"Aku benci melihat kau berdekatan dengan
gadis itu. Walaupun aku tahu kau hanya berpu-
ra-pura menjadi suaminya. Kesempatan itu tidak
akan kau dapatkan bila kau tidak makan obat di-
dalam ubi tadi. Tahukah kau bahwa hidangan ini
telah dibubuhi Racun Pelemah Akal?"
"Aku sudah tahu, tapi tidak tahu nama dan
jenis racunnya. Reaksi obat yang kau berikan sudah kurasakan sejak tadi.
Bagaimana kau bisa
sampai kemari. Dan apa sesungguhnya rencana
Diraja Penghulu Iblis?"
"Yang tidak penting jangan ditanya dulu.
Yang jelas seseorang telah membawaku kemari
dan sekarang sedang menyelidik. Kurasa Diraja
Penghulu Iblis dan kawan-kawannya punya ren-
cana besar dan keji. Kuharap kau tidak tidur
dengan anak gadis itu malam ini!"
"Kau cemburu?" tanya si pemuda sambil cengengesan.
Dewi Bulan merengut. "Jangan banyak
omong. Kau mempunyai kepandaian lebih tinggi
dariku. Sebaiknya kau mulai menyelidik sebagai-
mana yang dilakukan oleh kawanku!"
"Kalau begitu kau harus menyamar menja-
di aku sedangkan aku menggantikanmu!"
"Bagaimana dengan rambutku" Apakah
kau dapat menirunya?"
Dewi Bulan membuka penutup kepalanya.
Rambutnya yang tergerai dan berwarna hitam ki-
ni telah berwarna kemerah-merahan. Rupanya
sebelum masuk ke dalam ruangan pengantin ia
telah mewarnai rambutnya dengan sejenis daun
yang ditumbuk halus
Tanpa bicara lagi ia langsung merias wajah
Pendekar Blo'on. Cara kerjanya cekatan sekali.
Karena sesungguhnya Dewi Bulan sangat ahli da-
lam menyamar. Hanya sebentar Suro Blondo te-
lah berganti rupa seperti Morganda sang pelayan.
Sedangkan Dewi Bulan sendiri segera bertukar
pakaian dengan si pemuda. Karena pakaiannya
berlapis-lapis, tentu auratnya tidak terlihat. Tidak sampai sepuluh menit Dewi
Bulan telah berubah
seperti Suro Blondo pemuda ini berdecak kagum
atas keahlian yang dimiliki oleh Dewi Bulan.
"Bukan main. Kau hebat. sayang kini aku
harus menjadi seorang kacung!"
"Jangan cerewet!" kata Dewi Bulan ketus.
"Sekarang bukan saatnya bersenda gurau. Sekali terbongkar, maka celakalah kita
semua!" Dewi Bulan yang telah menyaru sebagai
Suro Blondo ini segera menyuruh Pendekar Blo'on yang telah bertukar menjadi
Morganda sang kacung keluar meninggalkan kamar. Ia sendiri ke-
mudian enak-enakan merebahkan tubuhnya yang
terasa penat diatas kasur empuk.
"Sialan. Balas dendam dia rupanya. Aku
hampir saja mendapatkan yang enak diatas enak.
Nggak tahunya sekarang harus menjadi kacung!"
Pemuda ini hampir saja menggaruk rambutnya.
Namun ketika ia teringat sedang berada dalam
penyamaran. Maka keinginannya itu diurungkan.
Tidak lama setelah melewati beberapa kamar yang cukup banyak jumlahnya. Secara
mengendap-endap ia menembus kegelapan malam yang pekat.
Di sebuah ruangan pribadi, Maya Swari
rupanya pada saat yang bersamaan sedang ber-
debat dengan ayahnya. Gadis pengantin baru ini
memandang tajam pada sang ayah yang tampak
duduk tenang-tenang.
"Ayah... aku tidak menyangka ayah begini
tega!" Maya Swari terisak. "Pangeran Linglung siapapun dia adalah pemuda
pilihanku. Mengapa
ayah memberinya racun Penghilang Ingatan?"
"Tokh bukan kau yang ayah racuni. Ayah
hanya ingin membuat semua orang patuh dan
tunduk pada ayah, terkecuali tiga tokoh yang sedang menunggu di ruangan
pertemuan."
"Apa tujuan Ayah yang sebenarnya?" tanya Maya Swari heran.
"Ayah belum dapat mengatakannya,
meskipun pada anaknya sendiri. Yang jelas Ayah
curiga pada Pangeran Linglung."
"Apa yang Ayah curigai" Ia begitu lugu, polos dan bersahaja."
"Dunia ini penuh dengan tipu-tipu Anakku.
Kau tidak tahu karena kau belum matang benar.
Kalau ada apa-apa, sebaiknya bicarakan saja be-
sok. Ayah harus menjumpai mereka sebelum ke-
sempatan besar ini hilang!" Raka Tendra bangkit berdiri. Tanpa menghiraukan
kemarahan Maya Swari ia meninggalkan sang anak termenung sen-
dirian. Di dalam ruangan pertemuan pembicaraan
mulai berlangsung. Buto Terenggi, Nyanyuk Pingitan dan Datuk Alang Sitepu dan
Raka Tendra berkumpul membentuk lingkaran.
"Jadi Prisma Permata itu telah dida-
patkan?" Yang bertanya adalah laki-laki hancur sebelah bermata satu.
"Sudah. Aku yang telah mencurinya dari
Goa Darah!" jawab Nyanyuk Pingitan membang-gakan diri. "Goa Darah yang sangat
ditakuti itu ternyata tidak ada apa-apanya. Kuakui memang
Prisma Permata yang konon mengandung kekua-
tan magis itu sempat merepotkan aku. Tapi ke-
nyataannya kau dapat mengatasinya."
"Kurasa gua itu sekarang sudah hancur.
Bukankah begitu, Nyanyuk Pingitan?" tanya Buto Terenggi was-was.
"Ya... gua itu telah hancur karena kekua-
tan yang menjaganya sudah kuambil. Dengan
Prisma Permata di tangan kita, siapa lagi yang tidak tunduk pada kita" Kita
dapat mendirikan se-
buah kerajaan besar setelah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Hik hik hik!"
"Sungguhpun begitu masih ada bahaya lain
yang mengancam kita. Kita tidak boleh lengah!"
kata Raka Tendra.
"Apa itu?" Nyanyuk Pingitan dan Datuk Alang Sitepu bertanya.
"Menurut yang kudengar. Konon Prisma
Kristal Permata itu sebenarnya adalah sebuah
kunci yang menentukan kebebasan setengah
anak manusia dan setengah anak jin. Dengan di-
bukanya Prisma Permata itu. Berarti Soma Sastra si Manusia Merah terbebas dari
hukuman Kyai Tapa. Tidak seorangpun tahu bagaimana perangai
manusia setengah jin itu. Karena selama ini ia
memang tidak pernah muncul. Dan lagipula, jika
Goa Darah hancur. Pulau Jawa ini terancam
tenggelam dalam bahkan menjadi lautan lumpur
api. Ini adalah sebuah sumpah yang pernah ditu-
turkan oleh nenek moyangku dulu!"
"Tidak usah khawatir Diraja Penghulu Iblis.
Semua yang Anda dengar hanyalah dongeng. Jika
kerajaan telah kita bangun, siapa yang tidak tunduk pada kita?" desis Datuk
Alang Sitepu. "Kau
punya Racun Pelemah Akal. percobaanmu terha-
dap para undangan saja telah terbukti. Jadi apa lagi yang kau risaukan. Seratus
datang seratus tunduk dan patuh di bawah perintah. Kita semua
punya keahlian masing-masing. Jadi apa yang di-
takutkan?"
"Memang. Untuk lebih meyakinkan lagi.
Kurasa tidak ada salahnya sekarang ini Nyanyuk
Pingitan menunjukkan Prisma Kristal yang telah Anda curi dari Goa Darah itu!"
"Jangan!" Datuk Alang Sitepu mencegah.
"Jika Prisma Permata itu sampai keluar dari kantung kulit beruang milik Nyanyuk
Pingitan. Kekuatannya akan menyerang orang-orang disekeli-
lingnya. Terkecuali aku yang memegangnya."
Apa yang dikatakan oleh Datuk Alang itu
memang tidak dipungkiri oleh Nyanyuk Pingitan.
Sehingga tanpa merasa curiga lagi ia menyerah-
kannya pada raja Penyihir. Mata Datuk Alang
yang cuma sebelah itu terpejam, ia kemudian
membaca mantra hitam yang dimilikinya. Setelah
itu dengan tangan-tangan yang bergetar ia men-
geluarkan Prisma Kristal dari kantung kulit be-
ruang. Begitu Prisma Kristal dikeluarkan. Maka
terpancarlah cahaya merah. Ini merupakan kea-
nehan tersendiri. Karena sebetulnya Prisma Per-


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata itu berwarna putih kemilau.
"Hanya sebentar aku dapat menahannya.
Apakah semua yang hadir disini telah puas meli-
hatnya?" "Cukuplah, Datuk!" kata Raka Tendra.
Datuk Alang Sitepu memasukkan kembali
Prisma Permata itu ke dalam kantungnya. Mereka
baru saja hendak melanjutkan pembicaraan keti-
ka secara tiba-tiba terdengar suara jerit kematian diluar gedung itu.
8 Tapi entah karena apa, atau mungkin pula
karena pengaruh kekuatan Prisma Kristal itu. Mereka yang berada di dalam ruangan
pertemuan itu sama sekali tidak bergerak. Malah terus melanjutkan pembicaraan.
Dua bayangan yang ikut
mengintip pembicaraan mereka berkelebat menu-
ju arah yang berlawanan. Yang satu ke belakang
yang satunya lagi ke depan. Selain itu masih ada lagi dua bayangan lainnya yang
bergerak ke arah bagian depan bangunan.
Apakah sesungguhnya yang telah terjadi"
Entah darimana datangnya sosok serba merah
dengan tinggi lima meter dan hanya memakai ko-
teka ini muncul begitu saja. Begitu datang ia
langsung membantai orang-orang yang bertugas
jaga malam. Kakinya menendang, tangan mence-
keram siapa saja yang terdekat dengannya.
Bila telah berada dalam genggamannya,
maka pengawal Diraja Penghulu Iblis ini langsung dibantingnya. Korban mulai
berjatuhan. Pasukan
pemanah yang berada di atas bangunan tidak
tinggal diam. Mereka melepaskan anak-anak pa-
nah kearah manusia merah ini. Tapi sungguh
sayang sekali. Manusia merah ini ternyata kebal terhadap semua jenis senjata.
Suro Blondo yang
telah menyamar sebagai Margonda melihat keja-
dian ini dengan mata melotot.
"Betul-betul edan. Apakah dia juga iblis da-ri neraka" Tapi mengapa malah
membunuh orang-orang Diraja Penghulu Iblis?"
Di sudut lain Gajah Gemuk dan Gajah
Krempeng juga sama tercekat. Tapi sebagai tokoh angkatan tua mereka langsung
teringat sesuatu.
"Manusia merah itu bukankah anak raja
jin yang menitis di rahim istri Kyai Tapa?"
"Kau tidak salah Kakang. Ternyata kabar
yang pernah kita dengar dulu bukan dongengan
anak-anak. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehing-ga ia terbebas dari penjara Gua
Darah." "Bagaimana" Apakah kita tinggalkan tem-
pat ini?" "Tidak bisa! Apakah Kakang tidak dengar
rencana gila para tokoh sesat itu" Kita harus
menghentikan mereka!"
"Bagaimana dengan manusia merah?"
"Kita tidak tahu dia berada dipihak mana.
Tapi aku yakin dia datang kemari untuk men-
gambil Kristal Permata itu."
"Apakah kita harus turun sekarang?"
"Jangan!" cegah Gajah Krempeng. Walaupun Kakang punya badan tidak kalah besar
den- gan manusia merah. Tapi tingginya Kakang kalah.
Lebih baik kita pancing agar Raka Tendra dan
kawan-kawannya keluar."
Belum sempat kedua manusia Gajah ini
bergerak. Tiba-tiba terdengar suara teriakan
menggelegar. Angkasa bagai terbelah. Kegelapan
malam berubah terang benderang karena dari
mulut manusia merah menyembur lidah api pada
saat ia bicara.
"Siapa yang merasa telah mencuri Perisma
Permata harap segera menyerahkan diri kepada-
ku! He... anak-anak setan apakah kalian tidak
mendengar seruanku?"
Jangankan orang yang bisa mendengar,
orang tuli sekalipun bila mendengar gelegar suara manusia merah itu pasti akan
terkejut. Karena tidak seorangpun ada yang menja-
wab pertanyaannya. Manusia merah Soma Sastra
langsung mengamuk. Para undangan yang seka-
rang berada dalam posisi menjadi pengawal lang-
sung bergerak mengeroyok manusia merah dari
empat penjuru arah. Tentu saja serangan mereka
cukup berarti dan berbahaya sekali karena orang-orang ini terdiri dari tokoh-
tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan tentu saja mempunyai
pengalaman dalam bertarung pula.
Anak Jin ini bukan sembarangan. Selain
mempunyai kekebalan tubuh yang sangat luar bi-
asa. Juga setiap bacokan lawan hanya menim-
bulkan pyaran bunga api.
"Serang terus jangan beri kesempatan bagi
si raksasa ini hidup!"
Teriakan-teriakan seperti itu terus terden-
gar di tengah-tengah suara denting senjata yang tidak ada habis-habisnya.
Tapi apa yang mereka lakukan hanya sia-
sia saja karena tubuh Manusia Merah alotnya
bukan main. Di lain pihak Manusia Merah ini se-
lain menginjak-injak para pengeroyoknya juga
menendang dan melempar. Mereka yang dibant-
ing langsung mati tanpa mampu bangkit lagi. Ada yang lehernya patah, tulang
iganya remuk dan
ada juga yang isi perutnya hancur. Lebih celaka lagi, manusia merah Soma Sastra
ini hanya memporak porandakan lawan-lawannya tapi juga
mulai membakar bangunan besar milik Diraja
Penghulu Iblis. Hanya dalam waktu singkat tem-
pat itu menjadi lautan api. Sebenarnya kemana-
kah perginya Diraja Penghulu Iblis dan kawan-
kawannya" Marilah kita lihat di ruangan perte-
muan. Ketika terjadi keributan di luar. Rupanya Nyanyuk Pingitan dipersilahkan
untuk melihatnya. Sedangkan tiga tokoh perencana lainnya te-
tap melanjutkan pembicaraan didalam ruangan
pertemuan. Sampai di depan pintu Nyanyuk Pingitan
melihat mayat-mayat bergelimpangan. Sementara
mereka yang masih bertahan hidup adalah para
undangan yang kini telah menghambakan diri se-
cara sukarela karena pengaruh Racun Pelemah
Akal. Sungguh khasiat Ular Kayangan benar-
benar terbukti dengan berlipatnya tenaga yang
mereka miliki, sungguhpun mereka ini mendesak
sosok tinggi besar berwarna merah dengan tinggi lima meter ini bagaikan banteng.
Tetap saja mereka tidak berdaya untuk menjatuhkan Soma Sa-
stra. Setelah mengetahui siapa manusia merah
itu. Maka Nyanyuk Pingitan perempuan kering
seperti mayat hidup ini langsung melaporkan ke-
jadian ini pada kawan-kawannya.
Disini Datuk Alang Sitepu punya peranan.
Mereka mengambil keputusan kilat untuk menye-
lamatkan Prisma Permata dan bangunan milik Di-
raja Penghulu Iblis dari kehancuran.
"Hanya dengan selubung tipuan pandang,
kurasa Soma Sastra untuk sementara dapat ter-
kecoh. Kita harus menciptakan bangunan tiruan
dan para pengawal tiruan pula. Sementara sing-
gasanamu yang asli berada dalam lingkup tabir
gelap yang kuciptakan."
"Apakah anak raja Jin itu tidak mengetahui tipuanmu?" Diraja Penghulu Iblis
ragu-ragu. "Dia tidak akan tahu. Paling tidak untuk
sementara waktu. Kita berempat, mari kita ga-
bungkan seluruh kekuatan kita untuk mencipta-
kan sebuah kehendak!" kata Datuk Alang Sitepu merasa yakin.
Laki-laki tua berwajah rusak ini kemudian
meletakkan Prisma Permata dibawah telapak tan-
gannya. Secara teratur telapak tangan Diraja
Penghulu Iblis, Nyanyuk Pingitan dan juga Buto
Terenggi saling tindih menindih. Ketika mereka
mengerahkan tenaga dalamnya sementara Raja
Penyihir membaca mantra-mantra. Maka terjadi-
lah perubahan yang begitu halus dan tidak terlihat oleh kasat mata. Gedung
tiruan yang sama
persis, tercipta. Sedangkan gedung yang aslinya terselubung kabut kegelapan.
Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng tidak merasakan perubahan ini.
Dapat dibayangkan jika tokoh-tokoh ber-
kepandaian tinggi seperti mereka sempat terke-
coh. Tentu kekuatan sihir di bantu dengan kekuatan Prisma Permata itu sangat
hebat sekali. Sebaliknya manusia merah pun begitu juga. Hanya
Pendekar Blo'on saja yang sempat merasakan pe-
rubahan mendadak ini.
Mengapa hanya Suro Blondo saja yang da-
pat merasakan perubahan ini" Sebagaimana kita
ketahui, anak ajaib ini terlahir pada malam satu Suro. Dalam hitungan hari dan
bulan, malam sa-tu Asyuro adalah malam tertinggi dari sekian ba-nyaknya hari.
Satu Asyuro malam keramat yang
penuh berkah dan keajaiban. Salah satu keajai-
ban itu ia tidak mempan sirep dan segala sesua-tu yang berbau sihir. Tapi akibat
matanya yang tidak dapat ditipu itu, kini ia terheran-heran sendiri. Hatinya
bertanya-tanya, siapakah yang telah menciptakan bangunan tiruan itu. Mengapa
manusia merah yang sedang mengamuk membabi
buta itu tidak mengetahuinya" Pertanyaan-
pertanyaan ini tentu saja tidak terjawabkan jika ia tidak mendengar suara
seseorang seperti men-
gingatkannya. "Pengantin baru! Aku tahu kau hanya me-
nyamar, sekarang kau berubah menjadi kacung
pula. Sedangkan pacarmu menjadi dirimu dan ti-
dur di kamar pengantin menggantikan dirimu.
Aku adalah orang yang berdiri dipihakmu. Untuk
itu kau harus dengar ucapanku yang tidak per-
nah kuulang ini."
Jelas orang yang bicara itu siapapun
adanya adalah orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi dan mempunyai ilmu mengirimkan suara
pula. "Apa yang kau lihat barusan adalah permainan sihir. Datuk Alang Sitepu
penyihir kelas satu. Belum lagi di bantu oleh Nyanyuk Pingitan, Buto Terenggi
dan juga Diraja Penghulu Iblis
orang tua Maya Swari. Sungguhpun Maya Swari
cinta padamu, dan kau tentunya tidak berminat
kawin dengannya. Kau dan tokoh-tokoh aliran lu-
rus harus bahu membahu menghancurkan Raja
penyihir bersama kawan-kawannya. Memang
agak sulit, apalagi Prisma Kristal Permata yang menjadi kunci keseimbangan tanah
Jawa ini telah jatuh di tangan mereka. Kedudukan mereka akan
menjadi kuat. Kau harus dapat mempengaruhi
Manusia Merah itu agar dapat kau tarik di pi-
hakmu. Perlu kau tahu manusia merah itu mem-
punyai pendirian yang tidak menentu. Ia mudah
terpengaruh meski oleh musuh besarnya sekali-
pun." "Apakah Prisma Permata itu miliknya?" potong Suro Blondo tiba-tiba.
"Prisma permata itu sesungguhnya kunci
pintu tempat dipenjarakan di Goa Darah. Kau ti-
dak usah tanya siapa yang telah memenjarakan-
nya. Yang jelas kini Goa Darah tempat bernaung-
nya selama satu abad telah hancur. Lumpur pa-
nas di mana-mana. Tanah yang keras pun akan
menjadi leleh. Dan gara-garanya karena Prisma
itu juga."
"Tapi... apa dayaku. Yang ku tahu disini
aku hanya bersama Dewi Bulan. Kalau kulihat
Manusia Merah itu saja rasanya aku akan repot
menaklukannya belum lagi menghadapi Raja Pe-
nyihir, Datuk Mambang Pitoka, Nyanyuk Pingitan
dan juga Diraja Penghulu Iblis?"
"Jangan takut, gurunya Dewi Bulan juga
ada disini."
"Apa maksudmu?"
"Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng tidak
jauh dari sini. Aku sudah memberitahukan hal ini pada mereka. Kalau manusia
merah sudah dapat
kujatuhkan, tentu kalian tinggal menyeretnya di tempat yang aman dan
membujuknya?"
"Bagaimana dengan Dewi Bulan! Aku takut
penyamarannya terbongkar dan dia akan menda-
pat kesulitan!" ujar Pendekar Blo'on sambil garuk-garuk kepalanya.
"Ah... rupanya kau selalu mengkhawatir-
kan pacarmu, kau tidak perlu merisaukannya.
Lagipula aku akan selalu memantau keadaan di
sini. Yang terpenting kalian bertiga harus dapat meyakinkan bahwa kau berada di
pihak manusia merah." "Ah, Manusia Merah macam apakah dia?"
"Jangan garuk-garuk melulu macam mo-
nyet. Sudah kubilang ia anak Raja Jin yang ma-
lang. Nah... sekarang bersiap-siaplah kau untuk menyeretnya ke tempat yang
aman!" Bisikan yang didengar oleh Pendekar Blo'on
tiba-tiba lenyap. Angin kencang disertai bau harum semerbak bergerak cepat ke
arah manusia merah yang sedang membantai anak buah Diraja
Penghulu Iblis. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang Suro Blondo.
"Edan... benar-benar edan! Angin wangi
malah membuatku mengantuk!" Karena merasa
yakin rasa kantuk itu diciptakan oleh seseorang yang sempat mengirimkan pesan
padanya tadi. Maka Suro Blondo segera mengerahkan hawa
murninya untuk menghilangkan rasa kantuk
yang menyerangnya.
Kini tatapan matanya tertuju pada Manu-
sia Merah itu. Dengan jelas ia dapat melihat sisa-sisa anak buah Diraja Penghulu
Iblis bergelim-


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangan. Terakhir Manusia Merah yang tergelim-
pang dengan disertai suara berdebum. Suro Blon-
do langsung meninggalkan tempat persembu-
nyiannya. Satu dua lawan Manusia Merah yang
masih berusaha bertahan dihajarnya hingga
tunggang langgang. Begitu sampai ia tercengang.
"Ya ampun, Manusia Merah ini besarnya
tidak ketulungan. Bagaimana aku bisa mengang-
katnya?" pikir Pendekar Blo'on.
Si bocah Ajaib yang terlahir pada malam
satu Asyuro ini mengangkat tubuh Manusia Me-
rah. "Hekh...!"
Sampai mata si konyol mendelik, sedikit-
pun tubuh Manusia Merah ini tidak bergeming.
Mulut si pemuda termonyong-monyong, ia menge-
lilingi tubuh raksasa tersebut sambil menggelengkan kepala terus.
"Orang ini besarnya seperti tiga ekor gajah yang lagi bunting. Kalau pun
kukeluarkan tenaga dalam seluruhnya sampai aku mencret mana
mungkin aku dapat mengangkatnya?"
Suro berjongkok dan termenung dengan
dagu menopang di kedua tangannya. Ia tidak ha-
bis pikir bagaimana caranya menyeret orang ini.
"Sekarang ia dalam keadaan pulas karena pengaruh pembius. Tentu tidurnya tidak
akan lama. Sebaiknya aku tarik tangannya!" pikir Suro.
Maka ia pun memegang lengan Manusia
Merah yang hampir sebesar pahanya. Tenaga da-
lam dikerahkan, niat segera dilaksanakan. Na-
mun hasilnya tetap seperti tadi.
"Gila betul!" Suro Blondo menggerutu, lalu garuk-garuk kepalanya.
Pendekar Blo'on memutar lagi, lalu kali ini
bagian kaki yang ditariknya. Dasar Suro Pendekar geblek, kalau tangannya saja
tidak dapat diseret apalagi kakinya.
"Goblok, tolol, bego dll. Bagaimana mung-
kin aku dapat mengangkat manusia macam ikan
paus ini?" gerutu Pendekar Blo'on. Ia mendekati kepala Manusia Merah, menarik
kuping dan hidungnya namun tetap tidak membuat Manusia
Merah terjaga. "Mana katanya guru Dewi Bulan akan
membantuku" Apakah orang tadi cuma membo-
hongiku?" Selagi Pendekar Blo'on tercenung seperti
itulah, tiba-tiba saja terdengar suara, maka Pendekar Blo'on malah tercengang
pula. "Anak perempuan orang. Dalam keadaan
seperti ini tidak cukup waktu bagi kita. Cepat
bantu kami menyeretnya ke tempat yang aman.
Cepatlah, sebelum pengaruh Sirep Ratu Penyair
Tujuh Bayangan punah!"
"Walah, aku sudah menyeretnya tadi, tapi
tubuhnya berat bukan main. Bagaimana kalau ki-
ta bangunkan saja!"
"Goblok betul! Kalau dia bangun nanti
mengamuk lagi. Apakah kau becus menghada-
pinya?" "Tentu saja kita bersama-sama. Tapi aku
merasa yakin dia bakal menjadi sahabatku...!" ka-ta Suro sambil nyengir.
"Hei... jangan cengengesan...!" teriak si gemuk macam raksasa.
"Ssst... kalau bicara jangan keras-keras,
nanti orang ini bangun!" desis si Kerempeng.
"Habis bocah ini goblok banget!" kata si gemuk bersungut-sungut.
Suro walaupun cengengesan tapi tidak bi-
cara apa-apa. Manusia dengan berat lebih dari
dua ratus kati itu cemberut.
"Benar-benar gila! Makan apa manusia
yang satu ini" Ia hampir sama besar dengan Ma-
nusia Merah, cuma kalah tinggi saja." batin Pendekar Blo'on terkagum-kagum.
Dengan mengerahkan tenaga biasa mana
mereka kuat mengangkat Manusia Merah. Mereka
terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk
menggotong Manusia Merah itu untuk dipindah-
kan ke tempat yang aman.
9 Maya Swari masuk ke kamar pengantinnya
lagi. Di lihatnya Suro Blondo alias Pangeran Linglung tidur di atas ranjang.
Sampai sejauh itu
Maya Swari tidak tahu bahwa suaminya telah di
gantikan oleh Dewi Bulan alias pelayan Margon-
da. "Kakang Pangeran Linglung, apakah kau
sudah tidur?" tanya si gadis bermanja-manja.
"Uaah... aku penat sekali. Habis makan,
habis minum langsung mengantuk...!" sahut Pangeran linglung si Dewi Bulan.
Maya merebahkan tubuhnya di samping
Pangeran Linglung palsu. Di pandanginya pemu-
da bertampang ketolol-tololan itu. Tiba-tiba ia mengecup bibir Pangeran Linglung
dengan sepenuh gejolak hasrat cinta yang menggebu-gebu.
Pangeran Linglung ini tentu memerah wajahnya.
Tapi dalam hati geli juga.
"Gadis tolol, kalau kau tahu bahwa aku
punya dua mulut juga, punya dua bukit. Tentu
tidak begini jadinya?" gerutu Dewi Bulan.
"Kakang..."!" Maya Swari memeluk Pangeran Linglung. Untung tangannya melingkar
di ba- gian perut gadis yang tengah menyamar tersebut.
Coba kalau di bagian dada, Wah celaka...
"Ada apa?"
"Kakang, aku jadi teringat ketika kakang
mengatakan pernah jadi tukang mengurus kuda.
Mengapa mau-maunya kakang bekerja seperti
itu?" tanya Maya dan nafasnya yang harum me-nyapu wajah Pangeran Linglung palsu
"Mencari pekerjaan itu sulit. Banyak ka-
langan berpendidikan tinggi saja menganggur
sampai sekarang. Aku hanya yatim piatu...!" kata Pangeran Linglung ngawur.
"Tidak sekolah terkecuali hanya tulis baca dan berhitung. Sedangkan kau anak
orang kaya, segala kebutuhanmu ter-cukupi, tentu kau tidak pernah merasakan ba-
gaimana pahitnya penderitaan!"
"Aku kasihan melihat nasibmu Kakang, co-ba kalau kita bertemu sejak kecil, tentu kehidu-panmu tidak jelek-jelek amat!"
"Goblok, kalau kau tahu siapa aku. Kau
tentu akan mengamuk membabi buta bahkan
mungkin membunuhku!" maki Dewi Bulan dalam hati. "Ya, nasib orang sendiri-
sendiri. Manusia
hidup punya cobaan yang berbeda-beda. Kalau
semua orang jadi kaya, tentu tidak ada yang
miskin, kalau semua jadi raja siapa rakyatnya?"
jawab Pangeran Linglung.
"Ahk, ternyata kau pandai juga Kakang!"
puji Maya. Tiba-tiba ia menggeliatkan tubuhnya. Ge-
rakannya sangat menarik, dadanya yang kenyal
tampak menantang. Dewi tidak dapat mem-
bayangkan bagaimana jika si konyol itu yang be-
rada di samping Maya.
"Kakang, ah..,!" Mata Maya setengah terpejam. Sebagai gadis yang sudah dewasa
dan cu- kup matang. Tentu Dewi mengerti apa yang diin-
ginkan oleh Maya. Walau pun ia belum punya
pengalaman sama sekali. Nalurinyalah yang men-
gatakan begitu.
Untuk tidak menimbulkan kecurigaan
Maya, maka meskipun dengan rasa jijik Pangeran
Linglung mendekap-dekap dan membelai.
"Kakang, rupanya kau belum punya penga-
laman sama sekali dalam bercinta,
ya...?" "Wah, belum tuh." kata pengantin laki-laki tersipu.
"Bohong! Biasanya laki-laki suka menipu.
Terkadang mereka belum menikah, tapi pengala-
mannya dengan perempuan bermacam-macam.
Apakah Kakang mau mungkir?"
"Itu laki-laki lain. Laki-laki iseng hidung
belang-belang. Mereka memang suka jajan. Lalu
terkena penyakit kotor, nah nanti kalau keturu-
nan rusak, anak yang disalahkan, Tuhan yang
diomeli. Padahal buah setiap pohon selalu jatuh tidak jauh dari batangnya."
"Aih, Kakang... ternyata walaupun tam-
pangmu bego Kakang sangat pintar sekali!" puji Maya. Tiba-tiba ia mencium bibir
Pangeran Linglung palsu. Mula-mula Dewi hanya diam saja.
Namun karena kemudian ia mengingat penyama-
rannya agar tidak terbongkar. Maka Dewi dengan
terpaksa membalas ciuman Maya. Nafas putri ib-
lis ini mulai tersengal-sengal. Lampu di dalam
ruangan dipadamkannya.
"Jangan dimatikan, aku tidak bisa tidur,
takut hantu!" protes Dewi Bulan si Pangeran Linglung palsu.
"Kakang penakut!" Maya Swari menggerutu namun penuh kemanjaan.
Ia memeluk Pangeran Linglung, bibirnya
yang kemerah-merahan mendesis dan merengek.
Dengan terpaksa Pangeran Linglung menyeli-
napkan tangannya di dada Maya. Gadis itu merin-
tih ketika jemari tangan sang Pangeran membelai lembut dadanya. Tanpa malu-malu
gadis Maya melepaskan kancing-kancing kemejanya. Sehing-
ga dada Maya yang putih itu tersembul dari balik pakaiannya. Ternyata Maya
memang mengingin-kan suasana sebagaimana yang terjadi pada pen-
gantin baru umumnya.
Dewi Bulan kelabakan, bagaimana mung-
kin hal itu dapat terjadi. Sedangkan antara di-
rinya dengan Maya sama saja. Tidak dapat di
bayangkan Dewi bagaimana seandainya Pangeran
Linglung yang berada di samping Maya. Tentu se-
tabah-tabahnya laki-laki akan bobol juga ben-
dungan Maya. Duh, Cemburunya Dewi Bulan.
Untunglah Pangeran Linglung ini punya
otak yang cerdik. Sehingga dengan caranya yang
tentu saja rahasia ia dapat memuaskan Maya
Swari. Malam pengantin pun terasa hangat meng-
gebu-gebu. Suasana di luar genting dan kamar
pengantin berubah sunyi. Waktu berlalu seba-
gaimana hari-hari sebelumnya.
Keesokan harinya ketika Maya terjaga tan-
pa busana. Dilihatnya Pangeran Linglung masih
mendengkur di sampingnya. Pakaiannya rapi se-
bagaimana pakaian orang yang baru saja pulang
dari pesta. Maya melihat dirinya sendiri. Sprei yang berwarna putih itu masih
tetap bersih. Tidak ada noda-noda darah disitu. Maya pun tidak merasakan sakit
pada bagian bawah perutnya. Maya
tiba-tiba merasa ada sesuatu yang ganjil tidak sebagaimana mestinya. Padahal
waktu menikah ia
masih suci, gadis ting ting. Lalu siapa yang salah"
Diam-diam Maya jadi curiga, kecurigaannya itu
tetap ia pendam. Ia harus menyelidik siapa se-
sungguhnya Pangeran Linglung" Setelah menge-
nakan pakaiannya kembali yang berantakan, ma-
ka Maya segera bergegas ke kamar mandi. Ia sen-
gaja tidak mau membangunkan suaminya.
Apa yang bakal terjadi" Terbongkarkah pe-
nyamaran Dewi Bulan" Bagaimana jika Manusia
Merah tersadar. Mampukah Suro dan guru Dewi
Bulan mempertahankan diri" Ketegangan sema-
kin memuncak, keserakahan, ambisi dan nafsu
jelek manusia menimbulkan angkara murka. Ba-
gaimana nasib si konyol ini"
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pukulan Naga Sakti 6 Tokoh Besar Karya Khu Lung Tongkat Rantai Kumala 5
^