Pencarian

Undangan Maut 1

Pendekar Bloon 6 Undangan Maut Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya ke-
betulan belaka.
UDANGAN MAUT Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Undangan Maut
1 Gunung Merbabu selayang pandang hanya
berupa dataran tinggi menjulang ke langit. Di senja hari bagian lerengnya nampak
sunyi. Sebelum mencapai lereng gunung, di bagian lembahnya
terdapat sebuah telaga, dan dari pinggiran telaga itulah jalan satu-satunya
untuk mencapai lereng ataupun puncak Merbabu. Hampir bisa dipasti-kan orang
tidak berani datang ke tempat ini. Selain tempatnya sangat rawan. Daerah ini
merupa- kan tempat kediaman manusia aneh Gajah
Munding alias Gajah Gemuk dan Gajah Kerem-
peng. Pada masa itu tokoh-tokoh persilatan baik dari utara, selatan, timur dan
barat begitu mena-ruh hormat dan takut kepada dua tokoh bersau-
dara ini karena ketinggian ilmu silatnya. Terhitung tokoh angkatan tua namun
memiliki pera- wakan awet muda itu hanya sekali turun gu-
nung. Yaitu ketika terjadinya geger di Gunung
Bromo pada saat menjelang kelahiran seorang
bayi ajaib alias Suro Blondo. Tapi itupun terjadi sekitar delapan belas tahun
yang lalu. Setelah ke-gagalannya mendapatkan bayi ajaib tersebut, ma-
sih ditempat yang sama mereka membawa seo-
rang bayi perempuan yang akhirnya mereka ang-
kat menjadi murid dan mereka beri nama Dewi
Bulan. Kini gadis itu sudah dewasa dan telah turun gunung pula setelah mereka
gembleng den- gan berbagai ilmu olah kanuragan.
Jika dulu Gunung Merbabu selalu diwarnai
dengan suara-suara teriakan seorang gadis yang
sedang melatih ilmu silatnya. Maka kini Gunung
Merbabu berubah sunyi seperti kuburan.
Melihat ke lembah, tepatnya di pinggir tela-
ga. Tampak seorang laki-laki tua duduk menca-
kung. Laki-laki ini memakai baju dari anyaman
daun lontar. Begitu juga dengan topi capingnya.
Dandanannya kedodoran, kedua mata kecil seper-
ti mata ikan lele. Jika ia menarik kailnya ke per-mukaan air. Maka tercium bau
busuk yang me- nusuk. Karena umpan kail itu tidak lain merupa-
kan potongan-potongan tangan manusia yang
sengaja dibusukkan.
Satu dua makhluk panjang melata dari da-
lam air menggelepar dan mengeluarkan suara
mendesis-desis. Jelas yang memakan mata kail-
nya bukanlah ikan ataupun belut, melainkan
ular-ular berbisa yang sangat mematikan.
Ular-ular yang tertangkap mata kailnya itu,
langsung ia masukkan ke dalam kepis. Sebuah
tempat yang terbuat dari anyaman kulit rotan
berpenutup. Sementara gerakan mata kailnya semakin
bertambah cepat. Setiap mata kail disentakkan,
maka yang terlihat hanyalah ular-ular berbisa
yang menggelepar kesakitan. Hampir dua jam ia
berbuat seperti itu sampai kemudian ia menarik
nafas lega. "Kepis ini sudah penuh. Aku Datuk Mam-
bang Pitoka hanya dapat memberikan hadiah se-
perti ini pada Penghulu Iblis alias Datuk Raka Tendra. Duh seandainya aku masih
muda, tentu aku ikut tanding Pibu. Dengan begitu jika aku keluar sebagai pemenangnya. Maka
aku berhak mendapatkan Maya Swari sebagai isteriku yang
sah." kata Buto Terenggi alias Datuk Mambang Pitoka ini sambil mengelus-elus
jenggotnya yang
hanya beberapa helai itu. "Maya Swari adalah lambang keagungan dari seluruh
putri iblis yang cantik. Sayang kini usiaku sudah tidak muda lagi.
Datuk Raka Tendra dengan kebiasaannya yang
aneh tentu telah menyebar undangan. Jika ia
mengundang seluruh kalangan persilatan baik
yang hitam dan yang putih. Tentu ia mempunyai
tujuan yang lain sesekali. Putrinya Maya Swari
juga mempunyai keinginan yang aneh. Ia hanya
mau bersuamikan pemuda yang dapat mengalah-
kannya. Padahal adalah sangat berbahaya jika ia sampai mendapat suami dari
golongan lurus. Ha
ha ha...! Mungkin perlu aku memberi tahu so-
batku itu." Datuk Mambang Pitoka penguasa rimba kegelapan ini tiba-tiba saja
menepuk kening-
nya. "Mengapa harus kuurus" Tokh sebagai sesama iblis kami punya urusan sendiri-
sendiri." Kakek tua bertampang angker ini bangkit
berdiri. Tidak lama ia membalikkan badan dan
baru saja hendak melangkah ketika ia mendengar
suara mendesir. Matanya yang kecil kemudian
mengerjap. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di sekitarnya selain dirinya
sendiri. "Aku ini iblis. Kalau ada setan yang beru-
saha menggodaku. Berarti geblek yang tidak me-
mandang muka pada golongannya sendiri." Datuk Mambang Pitoka menggumam seorang
sendiri. "Kau berani memasuki daerah orang lain
dan berani mencuri ular berkhasiat milik kami.
Kembalikan ular Kayangan milik kami!"
Buto Terenggi terkesiap begitu mendengar
suara seseorang yang disampaikan melalui ilmu
menyusupkan suara tersebut. Cepat sekali ia
berpaling ke arah datangnya suara.
Pada saat itulah ia melihat dua orang laki-
laki hanya mengenakan koteka. Yang satu berba-
dan gemuk luar biasa sehingga mirip gajah bunt-
ing sedangkan yang satunya berbadan kurus ker-
ing macam jerangkong hidup. Anehnya walaupun
laki-laki gemuk itu mempunyai badan besar seka-
li. Tapi gerakannya cepat sedangkan langkahnya
ringan. Berbeda dengan yang berbadan kurus.
Langkah kakinya terasa begitu berat namun man-
tap. Mereka memakai senjata berbentuk gaitan.
Disambung dengan sebuah rantai memanjang ta-
pi hanya diselempangkan di bahu. Buto Terenggi
begitu melihat kehadiran dua tokoh ini agak terkesiap. Namun kemudian tawanya
terdengar. "Majikan Gunung Merbabu. Ah... sudah
lama sekali kita tidak bertemu. Terimalah hormat sesama sahabat!" Buto Terenggi
merangkap kedua tangannya ke depan dada kemudian mem-
bungkukkan kepala sebanyak tiga kali. Dua pen-
datang yang tidak lain adalah Gajah Gemuk alias Gajah Munding dan Gajah
Kerempeng ini saling
pandang sesamanya. Melihat dandanan laki-laki
asing di depan mereka rupanya Gajah kurus
langsung mengenali.
Buto Terenggi adalah tokoh aliran sesat
yang sangat jarang sekali muncul di rimba persilatan. Sekali saja laki-laki yang
sangat ahli dalam mempermainkan senjata toya ini muncul. Pastilah ada sebuah
peristiwa yang sangat besar bakal terjadi. "Kami lihat sejak tadi kisanak
mencang-kung di pinggir telaga tempat kami memelihara
ular Kayangan. Apakah yang anda perbuat?"
"Bukan ingin tapi aku telah mengambil
ular-ular Kayangan ini untuk seorang sahabat
hendak mencarikan jodoh buat anaknya. Apakah
saudara Gajah sudah mendapatkan undangan-
nya?" Gajah gemuk dan Gajah Kerempeng ber-
pandangan sejenak, kemudian sama menggeleng-
kan kepala. "Belum!"
"Kalau begitu anggaplah kedatanganku ini
mewakili keluarga besar Diraja Penghulu Iblis Ra-ka Tendra. Satu purnama
mendatang datanglah
kalian ke gunung Pangrangko. Siapa tahu anda
merupakan orang yang beruntung mendapatkan
putri agung Maya Swari untuk menjadi pendamp-
ing di sini. Selamat tinggal...!"
"Hei tunggu...!" teriak Gajah Krempeng ketika melihat Buto Terenggi bermaksud
meninggal- kan mereka. Tetapi laki-laki berpakaian kedodo-
ran ini sama sekali tidak menghiraukannya. Se-
hingga membuat Gajah Gemuk melompat ke de-
pan menghadang langkah Buto Terenggi. Bukan
main cepatnya gerakan laki-laki dengan berat
hampir dua ratus kali ini. Sehingga dalam waktu sepersekian detik ia telah
berada di depan Buto Terenggi. Buto Terenggi terkejut, tapi kemudian langsung
tertawa membahak.
"Bukan main, sungguh aku tidak percaya
kehebatan sesepuh gunung Merbabu jika tidak
melihatnya sendiri hari ini!"
"Mau percaya atau tidak bukan urusan. Ki-
sanak telah melakukan pencurian barang yang
sangat langka dan berharga. Kau hanya boleh
meninggalkan lereng Merbabu ini setelah men-
gembalikan ular-ular Khayangan milik kami!"
"Wah... masalahnya akan jadi runyam jika
aku melayani gajah bunting dan gajah kurang
makan ini. Walaupun aku tidak merasa ragu
bahwa aku belum tentu kalah menghadapi mere-
ka. Apa yang harus aku lakukan?" batin Buto Terenggi. "Masalah kecil janganlah
diperbesar. Aku mau membayar seratus ular Kayangan dengan seratus uang emas.
Bagaimana" Apakah kalian se-
tuju?" "Kami tidak setuju. Ular Kayangan itu ber-telur selama seratus tahun
sekali. Siapapun yang memakannya, akan menambah kekuatan tenaga
dalamnya menjadi sepuluh kali lipat. Dan kami
tidak pernah memperjual belikannya."
"Kalau tidak dijual dan dibeli. Jika begitu
aku memintanya dari kalian secara hormat hai
orang gagah!" ujar Datuk Mambang Pitoka.
"Tidak bisa. Kembalikan barang itu!" Gajah Krempeng bersikeras.
Merasa tidak punya jalan lain lagi. Datuk
Mambang Pitoka langsung mengebutkan ujung
jubahnya, sehingga terlihat lima sinar merah berbentuk bintang menderu ke arah
kedua Gajah. "Setan alas!" Dua-duanya menggerung, dua tangan melambai ke arah senjata-senjata
rahasia yang menyerang secara cepat ini.
Wuuk! wuus! Tring! Tring! Enam buah senjata rahasia dibuat terpe-
lanting. Bahkan dua diantaranya berbalik menye-
rang tuannya sendiri. Buto Terenggi adalah tokoh sesat berpengalaman bahkan ia
mempunyai julu-kan Datuk Mambang Pitoka, karena dianggap
memiliki kepandaian setingkat dengan para
mambang (Makhluk alam gaib). Dengan tenang
sekali ia acungkan jari telunjuknya ke arah lain.
Sehingga senjata rahasia yang berbalik menye-
rangnya itu melenceng dari sasaran dan menan-
cap di batang pohon di belakangnya.
Hanya lima detik pohon itu berubah layu
dan daun-daunnya langsung berguguran. Gajah
Gemuk dan Gajah Krempeng sempat tercengang
dibuatnya. Namun sebagai orang yang sudah me-
lihat kehebatan setiap datuk. Tentu mereka tidak perlu merasa kagum.
"Datuk, kami akui kehebatan racun yang
terkandung dalam senjata rahasiamu itu. Tapi
kami bukan anak kecil yang dapat kau takut-
takuti. Jika kau tetap tidak mau mengembalikan
ular-ular Khayangan kami ke dalam telaga. Hari
ini kami bersumpah untuk mengikat permusuhan
kepadamu!"
"Urusan ini ada baiknya kalau kita bicara-
kan di gunung Pangrangko satu purnama menda-
tang!" Selesai dengan ucapannya. Tiba-tiba Datuk Mambang Pitoka menyambitkan
sesuatu ke arah Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng. Karena
terkejut dan tidak menyangka datangnya seran-
gan gelap ini. Maka Gajah Krempeng langsung
menyambutnya dengan satu tendangan yang cu-
kup keras. Sehingga membuat benda berbentuk
bulat macam bahan peledak itu mengeluarkan
bunyi mendesis yang disertai dengan menebarnya
asap tebal. Seketika itu juga suasana di sekeliling mereka berubah menjadi gelap
berselimut kabut.
"Bangsat! Iblis itu benar-benar mengecoh
kita." teriak Gajah Gemuk sambil membanting-banting kakinya. Sehingga membuat
tanah yang diinjaknya amblas sampai sebatas dengkul. Ke-
nyataan ini membuat Gajah Krempeng menggeru-
tu. "Seharusnya kita kejar setan itu kakang. Ular-ular berkhasiat milik kita
yang telah ditangkap-nya tentu jumlahnya cukup banyak juga."
"Ya... kurasa tidak ada gunanya. Kalau
memang benar di gunung Pangrangko akan ada
pertemuan yang sangat besar. Mengapa kita tidak ke sana saja" Kita bisa melihat
apa yang akan ter-
jadi disana sekalian mencari tahu bagaimana ka-
barnya murid kita Dewi Bulan sekarang" Apakah
ia telah berhasil menemukan pembunuh orang
tuanya atau belum."
"Tapi... bukankah kita sendiri punya pan-


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan untuk membunuh" Apalagi sampai me-
ninggalkan gunung Merbabu ini?" Gajah Krempeng rupanya teringat akan sumpahnya.
"Sudahlah... lupakan masalah itu. Kita be-
rangkat sekarang...."
Nampaknya Gajah Krempeng memang me-
rasa tidak punya pilihan lain lagi. Ia terpaksa mengikuti keinginan kakang
kandungnya sebagaimana yang terjadi ketika mereka hendak ke
gunung Bromo delapan belas yang lalu.
2 Hujan petir, angin menderu-deru. Goa Da-
rah yang terletak di kaki bukit gunung Gede ini untuk pertama kalinya setelah
lima belas tahun
terkena siram air hujan. Jika orang mengetahui
kejadian ini tentu mereka terheran-heran. Sebab Goa Darah mereka kenal mempunyai
semacam tabir gaib yang melindungi gua sepenuhnya ber-
warna merah darah ini dari hempasan air hujan
terpaan badai. Bahkan masyarakat Jawa bagian
barat merasa yakin sekali bahwa Goa Darah me-
nyimpan misteri gaib hingga saat ini.
Sementara itu dalam keadaan hujan angin
sedemikian rupa di mulut pintu Goa Darah terli-
hat sosok bayangan berpakaian putih berkulit hitam macam arang sedang meneliti
bagian dalam gua yang berwarna kemerah-merahan itu. Petir
menyambar, sehingga sekilas cahaya kuat yang
membersit tadi menerangi wajah hitam legam be-
rambut jarang. Wajah itu tidak ubahnya seperti
tengkorak hidup. Matanya mencorong seperti ma-
ta setan. Betapa mengerikan penampilannya, me-
lebihi buruknya setan penghuni kubur. Ia baru
saja melangkahkan kaki kanannya menuju ke ba-
gian ruangan tengah gua tersebut. Ketika cahaya merah dari dalam gua melabrak
tubuhnya. Cahaya itu sedemikian dahsyat dan dingin membe-
kukan. Namun si pendatang rupanya telah bersi-
kap waspada. Sehingga ia melompat ke samping
kiri. Belum sempat ia menjejakkan kakinya. Dari bagian samping menyambar cahaya
yang sama. Tidak pelak lagi tubuhnya langsung tergontai-
gontai terkena sambaran cahaya merah yang me-
nyerangnya secara aneh ini.
Ia mengeluh pendek. Namun kemudian
mulutnya memaki menumpahkan kata-kata yang
sangat kotor sekali. Dengan cepat ia bangkit berdiri kemudian merapat ke dinding
gua. Sementara matanya tidak pernah lepas dari sebuah benda
bersegi tiga yang terletak di tengah-tengah gua itu. Permata tersebut sejak tadi
terus memancarkan cahaya berwarna putih kemilau. Tapi setiap
cahaya yang melesat meninggalkan permata itu
selalu berwarna merah. Dan cahaya dari prisma
permata persegi tiga itulah yang rupanya telah
menyerang perempuan macam tengkorak hidup
berkulit hitam macam arang. Sungguh ini meru-
pakan sebuah kejadian yang sangat langka. Dan
perempuan berkulit hitam ini juga bukan perem-
puan sembarangan.
Dia adalah tokoh aliran sesat dari daerah
kulon. Ia sangat ditakuti oleh golongan putih, dis-egani oleh golongan hitam
karena memiliki jurus-jurus tongkat hitam yang sangat diandalkannya.
Sudah begitu banyak tokoh-tokoh tingkat tinggi yang tewas di ujung tongkatnya
yang berkepala harimau ini. Terlebih-lebih saat ia malang melintang di rimba persilatan tiga
belas tahun yang la-lu.
Beberapa tahun belakangan ia dikabarkan
telah mengasingkan diri di daerah Labuhan. En-
tah mengapa hari ini ia sengaja muncul ke lereng gunung Gede. Yang jelas hingga
sampai detik ini ia terus berusaha mendekati Prisma permata yang terjepit di
tengah-tengah batu mirip meja altar tersebut. Sekali lagi ia berusaha menggapai
batu Permata dengan mempergunakan tongkatnya. Keringat dingin mengucur di
sekujur wajahnya yang menyerupai tengkorak, perlahan tongkat itu bergerak. Baru
saja menyentuh salah satu sisi Pris-ma tiba-tiba kilat melesat dari Prisma itu
dan menghantam tongkat ditangan Setan Hitam.
"Uuh...!"
Tangan yang kurus kering itu bergetar ke-
ras, hawa dingin menusuk menyengat bagian je-
marinya. Untung ia memiliki tenaga dalam yang
sudah mencapai tarap diatas sempurna. Sehingga
senjata yang sangat diandalkannya itu tidak sampai terlepas dari tangannya.
"Gelo betul. Apa yang kudengar selama ini
ternyata bukan omong kosong belaka. Terlanjur
aku mendapat undangan merah. Aku harus
memperlihatkan sesuatu yang sangat luar biasa
di depan Diraja Penghulu Iblis. Dan Prisma gaib kini telah berada di depan mata.
Aku harus segera mengambilnya." Setelah berkata begitu, dengan segenap
kecerdikan yang dimilikinya ia melepaskan baju putihnya. Di balik baju ia tidak
memakai apa-apa, sehingga terlihatlah buah da-
danya yang peot menggelantung seperti karung
basah. Baju itu kemudian dilemparkannya ke arah Kristal dengan pengerahan tenaga
dalam yang tinggi. Spontan cahaya merah menyambar. Baju
yang dilemparkan oleh Setan Hitam alias Nya-
nyuk Pingitan langsung disambar oleh cahaya
merah. Hingga membuat baju tersebut terbakar.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Setan Hitam. Seraya langsung melompat dan
berguling- guling. Di lain kejap ia sudah menyambar Kristal Permata tersebut.
Sedetik kemudian di tengah-tengah hujan
yang membadai terdengar suara menggemuruh
yang begitu dahsyat. Nyanyuk Pingitan tercekat.
Sementara ia terpaksa memasukkan Prisma Kris-
tal yang telah dicurinya ke dalam kantong kulit
yang telah dipersiapkannya.
"Oh... mengapa jadi begini" Apakah karena
kekuatan gua ini tergantung pada Prisma Kristal yang baru saja kuambil?" Setan
Hitam menggumam dalam hati. Tokh ia sudah tidak sempat
berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu langit-langit gua mulai runtuh.
Batu-batu berjatu-
han. Sementara altar tempat bersemayamnya
Prisma Kristal tadi mulai menunjukkan keretakan disana-sini.
Krraaaak....! Setan Hitam laksana kilat melompat keluar
dari dalam gua. Pada saat yang sama pula ter-
dengar suara dahsyat menggelegar.
Bumm! Buum! Gua runtuh. Setan Hitam tercengang keti-
ka melihat sinar merah menerangi reruntuhan
gua. Sinar merah itu seperti muncul dari dalam
bumi. "Aku tidak mau mengambil resiko. Aku harus meninggalkan tempat ini
segera!" Belum selesai dengan ucapannya ia telah
melesat pergi sambil membawa Prisma Permata
Sakti curian. Tidak sampai sepuluh menit setelah Nya-
nyuk Pingitan meninggalkan Gua Darah. Dari re-
runtuhan gua yang memancarkan cahaya merah
menyala bagaikan lava gunung ini muncul tangan
berwarna kemerah-merahan. Batu-batu yang be-
rasal dari reruntuhan gua berpelantingan.
"Hoaaarkh...! Hraaaakk...!"
Brol! Bool! Muncullah sosok tubuh. Tingginya menca-
pai lima meter. Sekujur badannya yang berwarna
merah bagaikan darah ditumbuhi bulu-bulu le-
bat. Bukan main besarnya makhluk ini. Yang cu-
kup mengherankan, kepala manusia berbulu ini
berujud kepala harimau. Mempunyai dua pasang
taring yang panjang. Matanya mencorong bagai-
kan mata binatang malam.
"Gila... siapa orangnya yang berani mencuri Kristal Sakti milikku. Siapa
orangnya yang telah membuat hancur istanaku. Kristal diambil. Dunia benar-benar
hendak kiamat. Seluruh Jawa ini bi-sa tenggelam menjadi lumpur api." Serak dan
berat suara manusia merah ini. Matanya yang liar
itu memandang ke sekelilingnya. Dan hidungnya
mulai mengendus-endus. Tiba-tiba ia tertawa, ta-pi dalam tawanya mengandung
kesedihan. Gu- nung Gede bergetar hebat karena pengaruh suara
tawanya itu. Sementara goa Darah kini telah be-
rubah menjadi lautan lumpur panas yang mengo-
barkan api menyala-nyala. Panas yang ditimbul-
kannya menyebar ke seluruh tempat-tempat yang
berdekatan dengan bekas Goa Darah tersebut.
Sehingga mengundang ketakutan siapa saja.
"Benar-benar keterlaluan. Benda penjaga
keseimbangan bumi telah diambil oleh orang pin-
tar tapi bodoh. Aku tidak melihat orangnya, tapi melihat baunya. Aku harus
mencarinya... harus...!" Dengan langkah-langkah kakinya yang be-
rat menggetarkan setiap jengkal tanah yang dipi-jaknya. Ia melangkah menuju arah
matahari ter- bit. Hanya malam hari saja ia berjalan. Pada siang hari ia tidur disembarang
tempat yang tersembunyi dari perhatian orang.
Siapakah Manusia Merah dengan tinggi li-
ma meter ini" Sekitar dua abad yang silam. Seo-
rang Kyai Sakti mandraguna yang tinggal di gu-
nung Jati sering melakukan perjalanan ke daerah Banten. Dalam perjalanan yang
berulang itu, ter-kadang ia singgah di tempat-tempat tertentu se-
belum mencapai tempat tujuan. Karena beliau
masih begitu muda dan belum punya istri pula.
Di daerah Jampang kulon kebetulan ia kenal seo-
rang gadis bernama Restu Abadi. Gadis cantik ini anak seorang bajingan besar
bernama Malim Kuswara. Cinta diantara mereka ternyata ber-
sambut. Setelah dua tahun mereka menjalin hu-
bungan. Akhirnya mereka menikah. Ketika Restu
Abadi hamil, maka terjadi banyak keanehan. Se-
tiap malam istri Kyai Tapa ini sering menggerunggerung seperti harimau. Suatu
malam Kyai Tapa
bermimpi bahwa anak yang akan terlahir dari ra-
him istrinya ini akan terlahir dengan dua rupa.
Yaitu kepala harimau sedangkan badan seperti
manusia biasa cuma ditumbuhi bulu.
Dengan kesaktiannya yang sangat tinggi,
sang Kyai mulai menyelidiki keanehan kehamilan
yang terjadi pada isterinya. Akhirnya diketahui, rupanya sebelum malam pertama.
Ada raja Jin yang datang kepada Restu Abadi, dan menggau-
linya sebagaimana layaknya suami isteri. Dalam
hal ini, Kyai tidak dapat menyalahkan istrinya.
Karena Raja Jin itu telah menyaru sebagai diri
sang Kyai. Dengan tekunnya ia meminta pada
sang khalik agar dipertemukan dengan Raja Jin
yang dia anggap telah mencoreng harga dirinya.
Dalam pertempuran yang berlangsung se-
lama seratus hari tidak ada henti itu. Ternyata tidak ada yang kalah dan tidak
ada yang menang.
Mereka akhirnya sama-sama mengangkat ikrar
agar tidak bermusuhan lagi. Sebagai imbalannya.
Bila anak itu terlahir kelak ia harus ditempatkan di dalam sebuah gua yang tidak
pernah didatangi manusia. Sedangkan istrinya harus rela dibuang
ke pulau Andalas.
Raja Jin ternyata setuju. Sungguhpun Res-
tu Abadi yang merasa tidak bersalah tidak menye-tujuinya. Demikian juga halnya
dengan Malim Kuswara ayah kandung Restu Abadi. Pertempu-
ran antara anak menantu dengan mertua ini ti-
dak dapat dihindari lagi. Tapi karena begitu tingginya ilmu kesaktian yang
dimiliki oleh Kyai Tapa.
Malim Kuswara tewas di tangan menantunya. Be-
gitu anak mereka terlahir, maka pergilah Restu
Abadi meninggalkan Jampang Kulon dengan
membawa luka hati dan dendam membara. Ia ti-
dak lagi menghiraukan anaknya yang terlahir
dengan keadaan yang sangat mengguncangkan
hatinya itu. Kyai Tapa sendiri setelah membawa anak
Jin itu ke Goa Darah langsung mengasingkan diri
ke Gunung jati. Tidak ada yang tahu, anak Jin
alias manusia Merah yang diberi nama Soma Sa-
sra ini selalu memberontak dan menimbulkan
guncangan di sekitar pulau Jawa. Khususnya di
daerah Jawa Barat. Raja Jin diam-diam meletak-
kan sebuah Kristal Permata di tengah-tengah al-
tar untuk meredam gerakan sang anak yang se-
tengah manusia dan setengah binatang ini. Tapi
siapa sangka hari ini setelah dua ratus tahun
mendekam di dasar perut bumi Prisma Permata
itu ada yang mengambilnya. Karena memang ti-
dak ada yang tahu bagaimana tabiat dan sepak
terjang Manusia Merah ini. Alangkah baiknya jika kita ikuti sepak terjang Soma
Sasra selanjutnya.
Benarkah dia hanya ingin mencari Kristal sakti
miliknya itu atau punya maksud lain setelah ia
terbebas dari penjara perut bumi selama ratusan tahun. Pada saat yang sama,
sebuah perahu kecil meluncur menyeberangi selat Sunda. Pemandan-gan senja yang
remang-remang dengan latar bela-
kang gunung Krakatau yang terus mengepulkan
asap, merupakan keindahan tersendiri bagi yang
melihatnya. Tapi bila melihat ke arah orang yang sedang meluncur kencang dengan
perahunya ini sangat jauh bertolak belakang. Wajah laki-laki ini hanya sebagian saja yang
tertutup kulit. Sedangkan bagian lainnya tertutup daging busuk berna-
nah. Matanya juga hanya sebelah, sedangkan ma-
ta kirinya membentuk lubang yang sangat dalam.
Sesekali bibirnya yang rusak bopeng-
bopeng dan hampir tanggal ini menyunggingkan
seulas senyum. Namun senyum itu malah sede-
mikian menyeramkan.
"Jauh sudah jalan kutempuh. Akhirnya
aku menjadi bosan. Ha ha ha...! Letih nian aku
mencari akhirnya aku diam sendiri. Ha ha ha...
Undangan merah undangan maut. Tanah Jawa


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama tidak kudatangi, masihkah kini para iblis
ingat pada Alang Sitepu. Mudah-mudahan Bung-
kuk Lima tetap di kenang. Aku akan datang...
ya... datang atas undang merah...!"
Alang Sitepu alias Bungkuk Lima berdiri di
atas perahunya yang terus meluncur kencang.
Tokoh hitam yang kondang karena ilmu sihirnya
ini kemudian tertawa-tawa.
"Gunung Sibayak telah jauh di belakang
sana. Gunung Pangrangko kini menjadi tujuan.
Ha ha ha... apa kabar orang Jawa?"
Wajah yang sangat mengerikan dengan ma-
ta yang cuma tinggal sebelah ini memandang ke
satu arah. Kini Labuhan telah terlihat olehnya. Ia pun menyeringai, kemudian
tertawa. Gemuruh
suara tawanya menggema diantara deburan om-
bak yang kian menggila.
3 Gadis berbaju kuning gading memakai ikat
kepala warna putih ini tiba-tiba hentikan lang-
kah. Wajahnya yang cantik rupawan dengan tahi
lalat di dagu tampak tertutup oleh anak-anak
rambutnya. Ia sibakkan anak rambut yang terge-
rai diwajahnya. Setelah itu ia melangkah lagi. Pa-da saat berjalan seperti
itulah ia teringat dengan orang-orang yang telah membunuh ayah dan
ibunya. Balung Raja, Braja Musti dan Baja Geni
semuanya sudah mati. Hanya Ki Rambe Edan sa-
ja yang luput dari kematian. Teringat akan mu-
suh-musuh besarnya yang sudah mampus. Ter-
bayang pula oleh si gadis seorang pemuda. Pemu-
da tampan berambut kemerah-merahan namun
bertampang tolol. Dialah Suro Blondo,
Entah mengapa akhir-akhir ini ia selalu te-
ringat pada pemuda itu. Bahkan setiap tidur ia
sering bermimpi bertemu dengan Suro Blondo. Ke
mana perginya pemuda yang dikaguminya ini ia
tidak tahu. Mungkin ia masih memburu musuh
besarnya yang hingga sampai detik ini Suro Blon-do tidak tahu dimana rimbanya.
"Angin oh angin. Mengapa hatiku selalu
bergetar" Matahari-matahari, dimana dia geran-
gan?" Dewi Bulan gadis rupawan ini menggumam dalam hati. Tiba-tiba saja wajahnya
berubah memerah. Ia menjadi malu pada dirinya sendiri. Bukankah ketika bersama
Suro Blondo dulu tidak
pernah mengatakan bahwa ia mencintai dirinya"
Mengapa kini ia seperti orang yang kasmaran sa-
ja" Dengan wajah masih tetap memerah, Dewi
Bulan tiba-tiba memutar langkah dan bermaksud
meninggalkan Cisarua. Tapi gerakannya segera
tertahan ketika ia mendengar suara nyanyian seseorang. Oh, ternyata bukan
nyanyian. Tapi orang yang sedang melantunkan bait-bait syair.
Dengan seksama Dewi Bulan mulai mencari-cari,
kemudian terlihatlah olehnya seorang perempuan
cantik berumur sekitar tiga puluh tahun. Bajunya berwarna kembang-kembang. Namun
tipis, sehingga lekuk lengkung tubuhnya yang menggiur-
kan itu terlihat dengan jelas.
Bibir si perempuan yang kemerahan selalu
menyunggingkan senyum sedih. Di tanah Jawa
tidak seorang pun yang kenal dengan dirinya terkecuali hanya tokoh-tokoh
tertentu saja. Karena sesungguhnya ia berasal dari tanah
seberang. Di tanah Andalas orang mengenalnya
sebagai Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Ahli dalam penyamaran sedangkan ilmu
kepandaiannya sangat sulit diukur.
Dewi Bulan dengan seksama memperhati-
kan perempuan yang berdiri membelakanginya itu
untuk beberapa saat lamanya. Kemudian ia men-
dengar suaranya yang begitu merdu menggetar-
kan hati. Tidak kering dilanda panas, tidak lekang dilanda hujan. Jawa dan Sumatera hanya
dipisahkan oleh sebuah selat. Dua golongan terjebak dalam tradisi, kemunafikan
dan angkara murka. Undangan merah yang disebar para setan telah ku-dapatkan.
Undangan maut untuk para iblis. Di Gunung Pangrangko huru hara akan berlangsung.
Sayang pengantin yang diharap hanyalah iblis busuk yang menipu mata. Orang-orang
sakti datang sendiri. Jodoh yang diharap ternyata hanya seorang pemuda
bertampang tolol. Maya Swari putri cantik. Kecantikannya melebihi putri-putri
raja. Dasar celaka... hik... hik... hikk...!! Malang benar gadis yang mencinta.
Dewi Bulan terkejut sekali mendengar ka-
ta-kata yang terlontar dari bibir si perempuan.
Entah mengapa jantungnya berdetak lebih ken-
cang lagi. Seingatnya pemuda bertampang tolol
hanyalah pendekar Blo'on seorang. Apakah
mungkin Suro Blondo yang dimaksudkan oleh pe-
rempuan itu. Atau ada pemuda tolol lainnya" Tapi siapa yang dimaksudkannya
dengan gadis yang
mencinta" Adakah dirinya" Kalau memang benar
berarti perempuan berbaju kembang-kembang itu
tahu segala. Sudah menjadi adat Dewi Bulan. Ia
serba ingin tahu, wataknya keras dan tidak mau
mengalah. Tapi bila ia sudah merasa jatuh cinta kepada seseorang, maka ia akan
mempertaruh-kan nyawanya demi orang yang sangat dikasihi.
Kini rasa penasaran itu telah membuatnya
melompat ke depan menghampiri perempuan baju
kembang-kembang. Sungguhpun gerakan Dewi
Bulan begitu pelan bahkan kehadirannya tidak
menimbulkan suara sedikit pun. Namun perem-
puan itu cepat membalikkan badannya. Ketika
melihat kehadiran orang lain disitu, perempuan
baju kembang-kembang ini mengerutkan kening-
nya. Tatapan matanya yang mempesona penuh
rasa curiga. "Siapakah kau bocah cantik?" tanya perempuan baju kembang-kembang.
Dewi Bulan malah cemberut.
"Seharusnya akulah yang bertanya siapa,
Nisanak! Karena orang yang berpakaian seperti-
mu tidak lain hanyalah sebangsanya memedi atau
perempuan murahan. Sebagaimana syair-syair
yang Nisanak ucapkan barusan tadi!" Entah mengapa Dewi Bulan merasa tidak dapat
mengendali- kan kata-katanya. Apa yang diucapkannya me-
luncur begitu saja tanpa terpikirkan sebelumnya.
"Aku datang memenuhi undangan merah!
Datuk Nan Gadang Paluih abangku. Ngarai Sia-
nok tempat tinggalku. Wahai Dara, mengapa kau
menjadi marah. Kulihat matamu memancarkan
gejolak hasrat cinta. Katakanlah padaku Ratu penyair Tujuh Bayangan...!!"
Dewi Bulan tentu saja terkesiap mendengar
ucapan perempuan baju kembang-kembang ini.
Sama sekali ia tidak menyangka bahwa perem-
puan itu tidak lain adalah Ratu Penyair Tujuh
Bayangan. Jelas ia berasal dari Sumatera. Seba-
gaimana yang pernah dikatakan oleh gurunya du-
lu. Bahwa di negeri seberang itu ada beberapa tokoh sakti yang benar-benar
sangat ditakuti bahkan mempunyai kepandaian selaksa ilmu. Dian-
tara mereka adalah, Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan, Datuk Nan Gadang Paluih, setelah itu Datuk Panglima Kumbang, dan juga Datuk
Alang Sitepu. Laki-laki yang disebutkan terakhir ini merupakan seorang ahli sihir kenamaan
yang sangat ditakuti oleh golongan sesat dan golongan lurus. Masih
ada satu lagi tokoh yang tidak dapat dianggap
remeh. Dialah si Dewa Kudu dari Indera Giri Hilir.
Cuma tokoh yang satu ini konon hanya tinggal le-genda saja. Bahkan kabarnya
sudah meninggal
sekitar lima belas tahun yang lalu. Tapi kuburannya tidak seorangpun yang dapat
menyamban- ginya. Sekarang Dewi Bulan berhadapan dengan
salah satu tokoh dari tanah seberang. Namun me-
lihat penampilannya, rupanya gadis ini tidak percaya bahwa Ratu Penyair Tujuh
Bayangan ini me-
rupakan tokoh kosen sebagaimana yang pernah
diceritakan oleh gurunya. Apalagi bila melihat perempuan ini masih sangat muda
sekali. Tapi untuk membuat persoalan bukanlah
kebiasaannya. Lagipula diantara mereka baru kali ini bertemu. Rasanya tidak
pantas jika ia mencari-cari perkara hanya karena ingin mengetahui
kehebatan orang lain.
"Ternyata anda Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan. Datang memenuhi undangan merah" Siapa-
kah yang mengundangmu?"
"Hik hik hik! Tahukah kau dimana gunung
Pangrangko, anak baik?" tanya Ratu Penyair Tujuh Bayangan tanpa menghiraukan
pertanyaan Dewi Bulan. Sehingga membuat gadis berwatak
keras ini merasa diabaikan.
"Kalaupun aku tahu, tidak nantinya aku
tunjukkan padamu!" dengusnya kesal bukan
main. "Ratu Penyair Tujuh Bayangan tidak bisa ditolak, anak manis! Di puncak
Pangrangko akan
terjadi peristiwa besar. Jawa ini bisa menjadi lautan lumpur api seluruhnya jika
prisma Permata tidak dapat dikembalikan ke asalnya."
"Siapa percaya dengan bualan seorang pe-
nyair?" Sikap yang sungguh meremehkan ini
membuat Ratu Penyair Tujuh Bayangan menjadi
dongkol. "Aku tahu kau ingin mengujiku. Tapi baik-
lah jika kau tidak mau bekerja sama secara baik-baik denganku. Aku akan
mengajarimu untuk
bersikap baik pada orang tua sepertiku. Lima jurus kuberikan padamu. Jika kau
kalah maka kau harus menuruti apa yang aku mau!"
Dewi Bulan tentu saja tertawa lebar. Ba-
gaimanapun ia seorang murid dua tokoh sakti.
Ilmu kepandaiannya sudah hampir mencapai ta-
rap sempurna. Bagaimana mungkin Ratu Penyair
Tujuh Bayangan dapat memastikan lamanya se-
buah pertarungan"
"Kau terlalu sombong, Ratu Penyair. Se-
baiknya selalulah kau ingat bahwa diatas langit selalu masih ada langit lagi!"
"Hik-hik-hik! Jangan keburu marah. Uru-
sanku di puncak Pangrangko tidak bisa ditunda.
Sekarang lihat serangan...!"
Ratu Penyair Tujuh Bayangan tiba-tiba
menyambar ranting kayu yang tergeletak tidak
jauh di bawah kakinya. Ranting kayu kering yang semula kaku itu kini berubah
melemas bagaikan
rambut. Ketika ranting itu dikebutkan menuju delapan penjuru jalan darah. Maka
angin pun ber- gelung-gelung melabrak Dewi Bulan.
Gadis ini terkesiap dibuatnya, ia segera da-
pat mengetahui hanya orang yang memiliki tena-
ga dalam diatas sempurna saja yang mampu me-
lakukannya. Sementara itu Dewi Bulan terpaksa
melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri
dari totokan lawannya. Tapi baru saja ia menje-
jakkan kakinya diatas tanah. Ranting kayu yang
kini telah berubah keras seperti asalnya telah me-luruk deras ke arah urat besar
pada bagian pe-
rutnya. Hanya dengan mengandalkan jurus
'Kupu-kupu Menari di Atas Bunga' saja ia masih
mampu menghindari serangan lawannya.
"Keluarkan senjata yang kau punya!" perintah Ratu Penyair Tujuh Bayangan sambil
berge- rak lagi. Dewi Bulan merasa nafasnya semakin me-
nyesak, sedangkan jantungnya seolah-olah ber-
henti berdenyut. Apalagi ketika Gatri Kencana ini memutar ranting ditangannya
melebihi kecepatan
titiran. Tidak ayal lagi Dewi Bulan terdorong
mundur. Kini sadarlah gadis berwatak keras itu
bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya Gajah
Gemuk dan Gajah Kurus bukan hanya sekedar
omong kosong belaka.
Sebaliknya pada saat tengah berfikir dan
sambil menghindari serangan lawannya ini. Dewi
Bulan dikejutkan lagi oleh suara Ratu Penyair Tujuh Bayangan yang seakan datang
dari delapan penjuru arah. "Melihat jurus-jurus silatmu. Rasanya ti-
dak salah jika kau sesungguhnya murid dua Ga-
jah di tanah Jawa!"
"Huh, bagaimana kau tahu?"
"Hik-hik-hik! Aku adalah penyair yang da-
pat membaca isi kepala orang. Gerakan tubuhmu
adalah duplikat gerakan Gajah Kurus dan Gajah
Gemuk. Apakah kau mau mungkir?"
Sebagai jawabannya Dewi Bulan langsung
mencabut pedang pendek yang terselip di ping-
gangnya. Sing! Wuut! Wuut! Pedang itu berputar sedemikian cepat. Ter-
dengar suara menderu-deru. Di tangan Dewi Bu-
lan pedang andalan itu seakan berubah menjadi
banyak. Menusuk membabat bahkan menyodok
ke arah empat jalan darah. Rupanya ketika ia
Dewi telah mengerahkan jurus 'Tarian Sang Wa-
let'. Salah satu jurus ciptaan bersama kedua gurunya. Untuk beberapa jurus Gatri
Kencana tam- pak terdesak mundur. Namun hanya beberapa
saat saja, begitu ia telah melihat jurus-jurus lawannya. Maka ia bergerak maju
menerobos per- tahanan Dewi dengan serangan ranting ditangan-
nya yang dapat melentur seperti oyot kayu dan
dapat berubah kaku seperti baja. Cepat bukan
main serangan itu. Hingga tahu-tahu salah satu
ujung ranting sudah berada di depan hidung De-
wi. Gadis ini tentu saja tidak menghendaki hi-


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dungnya hancur. Ia menangkis sambil melompat
mundur. Traang! Dewi Bulan terkejut, tangannya terasa sa-
kit bagai ditusuk ribuan batang jarum. Tidak disangka kesempatan yang singkat
itu dipergunakan
oleh lawannya. Tutts...! Gadis bertahi lalat di dagu ini mengeluh
tanpa mampu menggerakan tubuhnya lagi. Sa-
darlah ia bahwa Ratu Penyair Tujuh Bayangan ini telah menotoknya.
"Bagaimanapun kau kalah pengalaman dan
umur bila dibandingkan aku. Empat jurus kau te-
lah takluk, sekarang antar aku ke puncak Pan-
grangko!" "Kau telah bertindak curang. Kalau guruku
tahu, kau pasti hanya tinggal nama saja!" maki Dewi Bulan tanpa mampu
menggerakan tubuhnya ketika Gatri Kencana memanggulnya.
"Gurumu datang gurumu kugebuk mam-
pus! Jangan pamer guru di depanku!" dengusnya.
Sekali berkelebat, maka Dewi Bulan merasakan
tubuhnya dibawa lari laksana terbang.
4 Di lereng gunung Pangrangko ada sebuah
puri bertingkat yang cukup tinggi. Di belakang
puri itu ada sebuah bangunan lainnya. Bangunan
besar dikelilingi tembok tinggi ini pada hari-hari sebelumnya terasa sepi. Hanya
para penghuninya
saja yang keluar masuk melaksanakan tugasnya
masing-masing. Diluar kedua bangunan ini ada
sebuah panggung yang tampaknya baru saja di-
persiapkan. Panggung yang cukup luas ini dihiasi dengan bermacam-macam janur.
Tidak jauh dari
panggung tersusun kursi-kursi terbuat dari ba-
han jati. Adapula sebuah podium lainnya. Dis-
amping podium terdapat dua buah kursi mempe-
lai yang dihiasi dengan beraneka bunga-bungaan.
Rupanya akan ada pesta besar-besaran
disini. Terbukti dengan mulai hadirnya para ta-
mu-tamu undangan. Setiap tamu selalu menun-
jukkan undangan yang diberikan untuk para un-
dangan sekitar satu purnama yang lalu. Jadi ti-
dak sembarang orang dapat menghadiri pesta ter-
sebut. Tanpa undangan merah yang dibuat oleh
tuan rumah. Maka orang itu tidak dapat mengi-
kuti acara pibu. Dan siapapun yang dapat menga-
lahkan putri Maya Swari dalam acara unjuk kebo-
lehan itu. Maka dialah yang akan menjadi sua-
minya. Kini para undangan itu mulai memenuhi
bangku-bangku yang kosong. Sementara itu dida-
lam sebuah ruangan besar di dalam bangunan
yang terletak dibelakang puri tampak seorang la-
ki-laki berpakaian seperti seorang raja dan bertampang bengis sedang menerima
kehadiran dua orang tamu. Tamu pertama adalah laki-laki tua
pembawa kepis berpakaian anyaman daun lontar
sedangkan capingnya terbuat dari daun lontar
pula. Sedangkan tamu yang kedua adalah seo-
rang nenek renta berkulit hitam bermuka bopeng.
Kulitnya tipis, sehingga dilihat sepintas lalu
hanya berupa jerangkong hidup. Tatapan mata
perempuan ini mencorong, rambutnya jarang dan
ada beberapa tusuk kundai dari perak yang lang-
sung menancap di batok kepalanya. Agaknya ke-
dua tamu ini merupakan sahabat terdekat tuan
rumah. Terbukti laki-laki bengis berpakaian
bangsawan ini menerima mereka secara khusus
pula. "Sudah lama kita tidak bertemu Datuk Mambang Pitoka dan Nyanyuk Pingitan.
Setelah dua puluh tahun, bagaimana kabar anda seka-
lian?" Tuan rumah yang tidak lain adalah Raka Tendra berjuluk Penghulu Iblis ini
memulai pembicaraan dengan suaranya yang serak berat se-
perti dicekik setan. Buto Terenggi angkat wajahnya. Setan Hitam alias Nyanyuk
Pingitan tertawa mengikik,
"Sebagaimana yang Datuk lihat, kami da-
lam keadaan sehat dan semakin berisi." kata Nyanyuk Pingitan kemudian. "Dua
puluh tahun yang lalu putrimu masih orok. Tidak disangka ki-ni telah dewasa dan
cantik. Selain itu tentu ia
mewarisi semua ilmu yang kau miliki Datuk?"
Buto Terenggi menimpali "Diraja Penghulu
Iblis pasti memberikan yang terbaik untuk pu-
trinya. Apalagi Maya Swari adalah anak tunggal.
Ha ha ha...!"
"Dengan kehadiran sahabat berdua. Aku
Diraja Penghulu Iblis dengan rendah hati tentu
berharap agar Anda membantu keamanan disini
kalau terjadi sesuatu yang tidak kita ingini dalam acara Pibu nanti."
"Ah... Diraja terlalu berlebihan. Kami tentu saja membantu tanpa diminta
sekalipun. Tapi
menurutku, siapa orangnya yang berani mengu-
sik ketenteraman anda, terkecuali orang-orang
yang ingin cepat mampus?"
"Lagipula kepandaian kami manalah ada
apa-apanya bila dibandingkan Ahda Diraja Peng-
hulu Iblis. Untuk itu demi kehormatan persaha-
batan kita. Hanya dapat membawakan oleh-oleh
ular Kayangan untuk acara penentuan pilihan
suami bagi putri Anda." Datuk Mambang Pitoka kemudian menurunkan anyaman rotan
yang berbentuk kepis di mana didalam kepis itu penuh
berisi ular-ular Kayangan yang terus mendesis-
desis. "Hmm, ular Kayangan ini kudengar punya khasiat yang sungguh sangat luar
biasa. Ia dapat melipat gandakan tenaga dalam seseorang dalam
waktu hanya beberapa jam saja. Selain itu darahnya membuat kita tetap awet muda.
Sungguh ini merupakan suatu pemberian yang tidak ternilai
harganya."
"Anda terlalu berlebihan, Sahabat. Aku
hanya dapat berpartisipasi. Menurutku sebelum
acara dimulai sore nanti. Bukankah lebih baik ji-ka ular-ular itu diolah
secepatnya. Dengan begitu para tamu undangan dapat merasakan khasiat-nya." kata
Datuk Mambang Pitoka.
"Betul. Aku setuju." sahut Raka Tendra. Ia kemudian bertepuk tangan. Seorang
pengawal masuk ke dalam ruangan dan mengambil kepis
berisi ular-ular itu.
Sementara Nyanyuk Pingitan kini telah
mengeluarkan sebuah tabung bambu yang sudah
tua dan kusam. Di dalam tabung bambu itu ter-
dapat ratusan ekor lebah beracun. Yang tentu sa-ja sudah sangat terlatih dengan
baik. Ia kemudian menyerahkannya pada Diraja Penghulu Iblis. Seraya berkata:
"Aku tidak dapat memberikan kado barang-barang berkhasiat selain mainan yang
tidak ada guna ini. Terimalah Diraja...!"
Raka Tendra tercenung dengan alis berke-
rut dalam. "Ah... sahabat terlalu merendah. Ta-won merah siapa yang tidak kenal.
Bisanya san- gat mematikan. Dikolong langit ini hanya Anda
saja yang memilikinya. Pemberian ini merupakan
satu kehormatan pula yang tidak mungkin terlu-
pakan." Tokoh golongan sesat itu kemudian terta-
wa-tawa. Rupanya mereka selalu cocok dalam
berbagai hal. Pada saat yang sama di jalan utama pada
penerima tamu undangan yang terdiri dari murid-
murid Raka Tendra sendiri semakin sibuk me-
layani para tamu yang datang. Sampai menjelang
tengah hari pemeriksaan berjalan dengan cukup
lancar. Tapi tidak lama kemudian ketika muncul
seorang pemuda berambut kemerahan berwajah
tampan namun berkesan tolol kekanak-kanakan.
Maka suasanapun berubah menjadi lain.
"Mana bendera undangan merah yang se-
harusnya kau bawa hari ini?" tanya petugas penerima tamu pada pemuda berbaju
biru ini dengan
mata melotot. Pendekar Blo'on nyengir kuda, lalu garuk-garuk kepalanya. Akal
cerdiknya segera
berjalan. Karena ia memang tidak pernah diun-
dang oleh siapapun. Tentu ia tidak dapat menun-
jukkan bendera merah yang dimaksudkan. Sebab
apa yang dilakukannya saat ini adalah mencari
musuh besar yang telah membunuh kedua orang
tuanya. Tapi ketika di tengah jalan ia melihat banyak orang yang menuju ke
gunung Pangrangko
ini, mau tidak mau ia menjadi heran ada apakah
gerangan" Dan ia jadi ingin mengetahuinya.
"Undangan itu hilang ketika aku sedang
mandi di kali. Maafkan aku kawan."
"Jika kau tidak dapat menjaga keselamatan
undangan itu. Berarti kau tidak dapat menjaga
kehormatan penghulu kami. Bagaimana mungkin
manusia sepertimu dipandang muka oleh ketua
dan raja kami!" dengus sang penerima tamu. Sedangkan kawan si penerima tamu
sedikitpun ti- dak menghiraukan Suro Blondo. Ia malah sibuk
memeriksa identitas tamu-tamu yang lainnya.
Kesempatan lengah yang cuma sekejap ini
langsung dimanfaatkan oleh Suro Blondo. Dita-
riknya penerima tamu itu ke tempat yang aman.
Seraya kemudian berbisik.
"Tenanglah, aku sahabat baik putri Maya
Swari. Jika kau melarangku masuk ke ruangan
tamu. Tentu ia akan mencari-cari aku. Bagaima-
na kalau kita berdamai saja. Aku bisa meminta-
kan bagimu dua keping emas untuk kebaikanmu
itu." Penerima tamu tentu saja terkejut mendengar keterus terangan si pemuda.
Padahal yang sesungguhnya Suro Blondo sendiri mendengar
Maya Swari dari orang-orang yang dijumpainya di jalan. "Benarkah kau kawannya?"
tanya penerima tamu ragu-ragu.
"Tentu saja. Apakah kau perlu kupanggil-
kan puteri. Tapi jika dia sampai marah. Harap resiko ditanggung sendiri."
Rupanya penerima tamu yang masih terhi-
tung murid Diraja Penghulu Iblis begitu takluk
pada anak gurunya. Sehingga tanpa banyak kata
lagi ia segera menyuruh pendekar Blo'on berlalu.
"Jangan kau cerita pada siapapun karena
kau tidak membawa bendera undangan. Diraja
Penghulu Iblis bisa menghukumku."
"Jangan takut, kalau ada apa-apa tentu
Maya Swari akan membelamu." pemuda ini me-
nyeringai. Sambil bersiul-siul ia melangkah pergi.
Ketika Pendekar Blo'on sampai di bagian
penerima tamu terakhir dilihatnya semua kursi
yang tersedia telah penuh terisi. Kalaupun ada
kursi yang kosong letaknya jauh dari panggung
laga dan juga panggung kehormatan. Karena ter-
dorong oleh rasa keingin tahuannya. Maka Pe-
muda ini terpaksa duduk di tempat terpisah de-
kat beberapa ekor kuda yang ditambatkan dan
juga dikelilingi ayam.
"Ha ha ha...! Duduk dengan kuda lebih
baik daripada dengan para iblis bertampang ma-
can. Eeh... ada pula yang gundul seperti tuyul
dan ada pula yang jelek seperti hantu. Ha ha ha...
masa bodoh. Menunggu acara dimulai aku jadi
mengantuk nih!" kata pemuda itu. Ia bersandar di batang pohon di mana bangku
yang didudukinya
berada. Tapi aneh ia tidak dapat memejamkan
matanya. Apalagi ketika melihat para tamu sema-
kin banyak saja jumlahnya.
Setengah jam kemudian Suro Blondo meli-
hat seorang gadis berpakaian pengantin berwajah cantik luar biasa menuju
singgasana pelaminan
yang terletak di samping podium. Pemuda ini
mementang matanya lebar-lebar. Ia memang ha-
rus mengakui bahwa gadis itu cantik luar biasa.
Tidak seperti tampang para tamu undangan, ka-
laupun ada yang perempuan tetap saja jelek me-
nakutkan. "Luar binasa... eh, luar biasa. Gadis itukah yang ingin menjadi pengantin" Tapi
sungguh aneh, pengantin pria masih belum ketahuan siapa orangnya. Sekarang ia sudah
memakai gaun pen-
gantin. Apakah dengan pakaian itu ia akan bertarung dengan orang-orang gagah
untuk menentu- kan siapa yang dapat mengalahkannya?"
Suro Blondo garuk-garuk kepala. Ia terus
memandang ke arah gadis cantik bergaun pen-
gantin kini mulai duduk di pelaminan tunggal.
Melihat kecantikan gadis itu, tiba-tiba saja ia teringat pada Dewi Bulan. Ia
tidak tahu entah ke-
mana gadis itu sekarang. Sejak pertemuan terak-
hir mereka (Dalam Episode Hianat Empat Datuk).
Konon Dewi Bulan ingin menyambangi gurunya di
gunung Merbabu.
Lamunan pemuda ini seketika buyar saat
ia melihat seorang laki-laki berpakaian bangsa-
wan menuju ke podium yang terletak disebelah
pelaminan tunggal. Dibelakang laki-laki itu me-
nyertai pula seorang laki-laki dan perempuan
yang rupanya sengaja mengawalnya.
Acara di tempat yang terbuka itu kemudian
dimulai. Seluruh hadirin yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh golongan sesat
terdiam. "Saudara-saudara!" Diraja Penghulu Iblis membuka ucapannya. "Hari ini saya
sengaja mengundang saudara-saudara kemari. Pertama-
tama adalah untuk bertatap muka dan saling
mengenal secara lebih dekat lagi. Sedangkan yang kedua adalah untuk menentukan
siapa yang paling pantas untuk menjadi calon pendamping pu-
triku. Inilah peraturan yang ditetapkan oleh putriku sendiri. Itu sebabnya saya


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminta saudara dari setiap perguruan membawa murid terbaik-
nya. Siapa tahu ia mempunyai keberuntungan
berjodoh dengan murid sekaligus putri tunggalku.
Putriku tidak menghendaki harta benda, tapi ia ingin punya suami yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dari kepandaian yang dimiliki-nya.
Sambil mengikuti acara tanding untuk menentu-
kan siapa yang pantas menjadi pendamping pu-
triku. Sebaiknya nikmati hidangan yang telah
kami sediakan!" Diraja Penghulu Iblis meninggalkan podium, seraya menghampiri
putrinya yang duduk lengkap dengan pakaian pengantin. Mere-
ka kemudian terlibat pembicaraan serius.
Maya Swari meninggalkan pelaminan. Se-
kejap ia menghilang di ruangan ganti setelah itu muncul lagi lengkap dengan
pakaian ringkas berwarna biru pula.
Ia melompat keatas panggung kayu dengan
gerakan yang sangat ringan sekali. Sementara itu seorang pembawa acara mulai
membacakan tata
cara dan aturan main di atas panggung. Para ha-
dirin berdecak kagum melihat kecantikan sang
dara. Bahkan diantara mereka ada yang bertepuk
tangan segala. Suasana yang hiruk pikuk itu terhenti begitu tata cara permainan
dibacakan. "Peserta dinyatakan kalah, bila jatuh sam-
pai ke luar arena. Sedangkan putri Maya Swari
dinyatakan kalah bila peserta dapat menotoknya.
Peserta diperkenankan memakai senjatanya mas-
ing-masing. Pertandingan ini digelar selama dua hari. Siapapun punya kesempatan
untuk menco-ba. Terkecuali mereka yang telah berumur diatas
tiga puluh tahun. Sekian...!"
Pembawa acara melompat turun dari pang-
gung. Posisinya digantikan oleh seorang pemuda
berkepala gundul, mukanya bopeng-bopeng me-
nakutkan. Hidungnya bengkok seperti paruh bu-
rung kakaktua dan badannya tegap berisi. Sebe-
lum bicara ia membungkuk hormat pada hadirin
dan pada Maya Swari.
"Aku murid pertama perguruan Alam ku-
bur. Bagus Indrajit namaku. Semoga Anda berke-
nan main-main denganku barang sejurus dua ju-
rus!" Maya Swari tersenyum, namun hatinya mendongkol karena lawan yang
dihadapinya mempunyai tampang begitu buruk. Dalam hati ia
bertekad ingin secepatnya menjatuhkan laki-laki itu. "Silahkan saudara!"
Dengan tenangnya Maya Swari memperha-
tikan setiap gerakan Bagus Indrajit. Dimatanya
pemuda ini ternyata memang memiliki tenaga
yang cukup besar, gerakannya lincah dan setiap
serangan yang dilancarkannya terarah pada ba-
gian-bagian yang sangat berbahaya. Tidak salah
ketika itu si pemuda telah mempergunakan jurus
'Semilir Senja Dalam Sepi'. Ini merupakan jurus tingkat kedua yang pernah
diajarkan oleh gurunya Bageng Jaliteng. Rupanya ia sadar bahwa
Maya Swari merupakan anak seorang tokoh besar
rimba persilatan. Sehingga ia tidak mau mere-
mehkan lawannya. Sebaliknya Maya Swari sendiri
hanya dengan mengandalkan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah mencapai tarap sempurna
tampak berkelebat menghindari setiap serangan
yang datang tidak ubahnya seperti burung walet
yang menghindari tetesan air hujan. Hanya dalam waktu singkat lima jurus telah
terlewati. Keringat telah membasahi sekujur tubuh Bagus Indrajit.
Namun sampai sejauh itu ia belum berhasil men-
jatuhkan lawannya. Jangankan menjatuhkan,
menyentuh salah satu pakaian lawan saja ia tidak mampu.
Suara-suara sumbang mulai terdengar.
Maya Swari semakin lama semakin cepat dalam
menghindar. Disatu kesempatan dengan diawali
teriakan melengking tinggi. Gadis cantik ini me-nerjang ke depan. Tendangan
kilat dilakukannya
disusul dengan pukulan beruntun. Tendangan itu
dapat dihindari oleh Bagus Indrajit. Bahkan pu-
kulan yang dilepaskan oleh Maya dapat dielak-
kannya. Tapi ketika Maya meneruskannya dengan
tendangan susulan. Pemuda ini jadi terdesak.
Wuuk! Buuk! Buuk! "Wuaakh...!" Bagus Indrajit terpelanting dan jatuh ke bawah panggung tanpa mampu
mempertahankan diri. Seketika terdengarlah ge-
muruh suara hadirin mengeluk-elukan Maya
Swari. Dalam pada itu dari bawah panggung me-
lesat seorang pemuda berompi cokelat. Wajahnya
cukup lumayan. Sebagaimana yang dilakukan la-
wan terdahulu, kini pemuda berompi cokelat in-
ipun menjura hormat setelah itu tanpa basa basi langsung menyerang dengan
mempergunakan sepasang pedang pendek. Keadaan tentu semakin
bertambah seru, sedangkan Suro Blondo yang
menyaksikan pertandingan itu hanya geleng-
geleng kepala. Sejenak mari kita tinggalkan pertarungan
diatas panggung itu. Kita lihat apa yang terjadi di jalan utama menuju tempat
keramaian itu. 5 "Berhenti...!" salah seorang petugas penerima undangan tiba-tiba membentak
garang. La- ki-laki gemuk luar biasa dan laki-laki kurus
nggak ketulungan terpaksa menghentikan lang-
kahnya. Dengan cepat dua orang penerima tamu
yang bertugas digerbang utama datang meng-
hampiri. "Tunjukkan bendera undangan pada kami!"
kata salah seorang diantaranya. Gajah Gemuk
dan Gajah Kurus saling pandang. Lalu dua-dua
tersenyum. "Undangan itu terpaksa kami buang kare-
na ada orang-orang tertentu yang menghendaki
nyawa kami. Bukankah begitu adik Gajah Ku-
rus?" Gajah Gemuk kemudian memberi isyarat pada adiknya. Dengan gerakan cepat
dan tidak terduga-duga, tiba-tiba Gajah Kurus menotok
urat gerak di tubuh penerima tamu sehingga
membuat kedua pemuda itu menjadi kaku tidak
mampu bergerak-gerak lagi.
"Ha ha ha...!"Begini lebih baik bagi kalian!"
kata Gajah Gemuk. "Bagaimana Adikku?"
"Kalau sudah tidak ada aral melintang, se-
baiknya kita naik ke gunung Pangrangko seka-
rang juga." desah Gajah Kurus.
"Mari...!"
Kedua tokoh aliran lurus ini kemudian me-
lanjutkan perjalanannya. Karena jalan yang akan mereka lewati selalu dijaga
ketat oleh anak buah Diraja Penghulu Iblis. Maka Gajah Gemuk dan
Gajah Kurus terpaksa bekerja keras merobohkan
orang-orang itu tanpa membunuhnya.
Ternyata mereka berhasil menyusup juga.
Karena mereka ini bukan termasuk orang-orang
yang diundang. Mau tak mau mereka terpaksa
menyaksikan adu ketangkasan itu dari sebuah
tempat bersembunyi tidak jauh dari panggung.
"Banyak juga orang-orang yang datang un-
tuk mengikuti acara pemilihan calon suami ini,
Kakang." "Diraja Iblis memang mempunyai seorang
putri yang aneh. Kalau cuma untuk menentukan
siapa suaminya. Mengapa harus orang yang me-
miliki kepandaian silat tinggi dan dapat menga-
lahkannya. Tokh diatas ranjang nanti ia tetap
akan kalah dan selalu berada di bawah. Kurasa
faktor yang terpenting bukan itu adikku. Siapa
tahu ia punya niat untuk mengumpulkan seluruh
orang-orang persilatan agar sudi bergabung den-
gan mereka."
"Bagaimana Kakang bisa beranggapan se-
perti itu?" tanya Gajah Kurus sambil terus memantau pertarungan yang sedang
berlangsung di-
atas panggung antara Maya Swari dengan seorang
pemuda berbaju putih bersenjata kampak.
"Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya
hati para iblis siapa yang tahu?"
Gajah Kurus menganggukkan kepala.
"Urusan kita kemari hanyalah untuk men-
gambil ular Kayangan yang telah dicuri oleh Buto Terenggi. Apakah kita akan
mencampuri urusan
Raka Tendra?"
"Tergantung. Kalau ini menyangkut urusan
rimba persilatan dan mengancam kaum golongan
putih. Masa' kita hanya menjadi penonton saja.
Coba sekarang perhatikan ke bawah pohon itu!"
"Ya... aku sudah melihatnya. Seorang pe-
muda berambut hitam kemerahan berbaju biru
itu kan?" "Betul. Ia bukan bergabung sebagaimana
undangan lainnya, dia malah berkumpul dengan
kuda. Tampangnya tolol kekanak-kanakan, apa-
kah kau tidak tertarik untuk mengetahuinya apa
sesungguhnya yang ia cari di tempat ini...?"
"Tampangnya tolol begitu, apakah dia bu-
kan anggota para iblis?" Gajah Kurus tampak me-ragu. "Hmm, tatapan matanya
begitu lain. Aku yakin dia bukan undangan Diraja Penghulu Iblis.
Tapi sebaiknya kita lihat apa yang akan dilaku-
kannya." Gajah Kurus mengangguk setuju.
Sementara itu diatas panggung Pibu, kini
Maya Swari telah berhadapan dengan seorang
pemuda lain bertelanjang dadanya. Badannya ke-
kar berotot. Kulitnya hitam legam macam pantat kuali. Ia menjura hormat sebelum
memperkenal-kan diri.
"Nisanak. Aku Pito Lukito ingin minta pe-
tunjukmu!"
"Katakan dari mana asal usulmu!"
"Aku dari tanah seberang, tidak punya
guru...!" "Hmm, majulah!"
"Heaaa...!"
Diawali dengan suara bentakan keras
menggelegar, Pito Lukito yang sudah melihat ke-
handalan lawannya ini langsung melancarkan se-
rangan-serangan yang mematikan. Sungguhpun
pemuda ini mengaku tidak pernah berguru, tapi
serangan-serangan yang dilancarkannya cukup
dahsyat dan terarah. Maya Swari menyadari ke-
nyataan ini. Tanpa mengenal rasa lelah setelah
menjatuhkan sepuluh lawan terdahulu kini ia be-
rusaha merangsak dan menembus pertahanan
lawannya. Perlu diketahui ketika mengalahkan sepu-
luh lawannya tadi. Tidak seorangpun yang mam-
pu menyentuh badannya. Kini dengan senjatanya
berbentuk sebuah celurit ia merangsa dengan ga-
nasnya. Angin serangan menderu-deru. Sung-
guhpun begitu dengan kecepatan sulit diikuti kasat mata, Maya Swari masih sempat
menghajar perut Pito Lukito dengan satu tendangan keras.
Deek! Wees! Pito Lukito terjajar tapi tidak sampai keluar
dari kalangan pertempuran. Tepuk sorai hadirin
terdengar. Tapi hanya sesaat, karena mereka se-
gera melihat bahwa pita biru pengikat rambut
Maya Swari kena ditebas putus. Gadis itu sempat ciut nyalinya. Buru-buru ia
merapikan rambutnya yang tergerai.
"Bukan main!" Raka Tendra, Buto Terenggi dan Nyanyuk Pingitan berseru memuji.
Dalam pada itu Maya Swari telah bergerak
lagi. Tubuhnya mencelat ke depan jemari tangan
terkembang mencengkeram batok kepala. Se-
dangkan kaki menendang kearah lambung.
Gerakan ini dikenal dengan jurus
'Memagut Bisa Mencabut Kepala'. Tidak semba-
rang orang dapat menghindar dari kematian jika
tidak berpengalaman benar dalam menghindar.
"Huup! Heaa...!"
Pito Lukito rupanya sadar benar akan hal
ini. Ia miringkan setengah badannya, celurit ia goyang ke kiri dan menghantam ke
kanan. Rupanya serangan dahsyat ini hanya tipuan saja.
Ketika Pito Lukito membalasnya dengan tipuan
pula. Ia malah tertipu mentah-mentah. Benar
lambungnya dapat diselamatkan. Tapi kepalanya
yang gondrong berhasil dicengkeram oleh Maya
Swari. Dengan kekuatannya yang tidak terduga-
duga diputarnya Pito Lukito dengan kaki terayun di udara. Dalam keadaan berputar
seperti itu ia hadiahkan satu pukulan ke bagian tengkuk.
Dhakk...! "Waaakh...!"
Mulut Pito Lukito menyembur darah. den-
gan keadaan setengah mampus tubuhnya dilem-
parkan keluar panggung. Pemuda ini jatuh terguling-guling dibawah panggung dalam
keadaan se- karat. Seruan memuji terdengar. Dalam pada itu
terdengar suara seseorang yang begitu lantang.
"Putri Diraja memang hebat. Sayang tidak
ada lawan yang tangguh. Semua cap lonceng dis-
ini jadi pecundang, huh sungguh memalukan!"
ucapan bernada mengejek ini tentu mengundang
perhatian setiap orang. Tidak terkecuali tuan rumah Diraja Penghulu Iblis.
Mereka segera mencari-cari asal datangnya
suara. Maka terlihatlah oleh mereka seorang pe-
muda berbaju biru duduk ongkang-ongkang di-
bawah pohon sambil mengelus-elus pantat kuda.
Buto Terenggi berbisik pada Raka Tendra.
"Bocah tolol itulah yang tadi bicara!"
"Sebaiknya suruh dia maju ke panggung!"


Pendekar Bloon 6 Undangan Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balas Raka Tendra sambil menganggukkan kepa-
la. Buto Terenggi maju menghampiri Suro
Blondo. Di tempat persembunyiannya Gajah Ge-
muk berbisik pada Gajah Kurus.
"Bocah itu lancang sekali mulutnya. Tidak
tahukah dia sedang berada di sarang macan yang
Pedang Langit Dan Golok Naga 16 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 17
^