Pencarian

Bidadari Kuil Neraka 1

Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-
laka. BIDADARI KUIL NERAKA Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
1 Ki Rondo Mayit mengamuk kalap ketika ia
mendengar berita kematian putranya. Tidak ada seo-
rang pun yang dapat meredakan amarahnya. Karena
dalam ruangan itu memang hanya dia sendiri. Seluruh
ruangan itu berderak-derak. Apa yang ada di hada-
pannya dihancurkan. Meja yang penuh dengan perala-
tan terbalik hancur belah hanya dengan sekali ten-
dang. Termasuk juga dua buah peti yang bersandar di
dinding batu. Kedua peti yang tingginya hampir sama
dengan tubuh Ki Rondo Mayit tidak luput dari kemur-
kaannya. Peti-peti hancur, ia menghentikan amukan-
nya. Nafasnya masih memburu menahan amarah. Lalu
ia melangkah ke luar. Rambutnya yang putih kusut
sebatas bahu bergerak-gerak saat ia melangkah.
Udara dingin menghembus tubuhnya saat ia
berdiri di tengah pintu bangunan yang hampir ambruk
itu. Matanya memerah menatap jauh cakrawala. Kedua
telapak tangannya mengepal erat. Terdengar bunyi
gemeretak tulang-tulang jarinya.
"Manusia mana yang mampu membunuh
anakku...! Siapa dia gerangan...! Aku tidak yakin kalau Raden Mas Kinanjar
Swantaka yang melakukannya.
Kematian Wadak Keling maupun dua mayat hidup itu,
aku tak perduli!" katanya geram setelah berada di luar bangunan.
"Tapi untuk kematian anakku, orang itu harus
menerima balasannya!" Tiba-tiba saja kakinya menendang hancur batu yang menonjol
di permukaan tanah.
Lalu tubuhnya melesat berlari kencang. Sebentar saja manusia berambut putih itu
sudah jauh menghilang
dari pandangan mata. Namun teriakannya masih saja
menggelegar terdengar.
"Raden keparat! Orang-orang pilihan keparat!
Kalian tunggu pembalasanku!"
* * * Pagar bambu yang setinggi tiga tombak itu rapi
berderet membatasi tanah lapang yang cukup luas.
Padahal beberapa hari yang lalu tempat itu sempat po-rak poranda. Kerusakan-
kerusakan yang terjadi pada
waktu itu sudah tidak nampak lagi. Orang-orang Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka cepat memperbaiki pagar
bambu itu meskipun keadaan mereka banyak yang lu-
ka-luka. Dan Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri
cukup prihatin terhadap keadaan mereka. Sebelumnya
jumlah mereka lebih banyak dari yang sekarang. Ham-
pir separuh dari mereka tewas akibat serangan men-
dadak yang terjadi di tempat itu.
Meski mereka kehilangan hampir separuh dari
jumlah mereka. Orang-orang itu tetap gigih memban-
gun benteng pertahanan di daerah itu. Mereka setuju
sekali kalau setiap sudut tanah Rogojembangan didirikan benteng-benteng
pertahanan. Dengan adanya ben-
teng pertahanan, Rogojembangan akan tetap aman dan
tentram. Tenda-tenda besar masih berdiri di tengah-
tengah lapangan itu. Di sana sini terdapat bangunan
yang hampir jadi. Meskipun bangunan itu terbuat dari kayu dan setengah batu,
bangunan itu nampak kokoh
dan kuat. Tapi yang jelas pondokan-pondokan yang
hampir jadi itu sudah bisa ditempati. Malah lebih
nyaman daripada di dalam tenda. Di antara sekian ba-
nyak berderetnya pondokan-pondokan, ada sebuah
podokan yang sudah betul-betul rampung.
Raden Mas Kinanjar Swantaka bersama orang-
orangnya berada di situ. Mereka dalam keadaan aman.
Beberapa prajurit menjaganya di luar. Lalu sisanya
meneruskan pekerjaan mereka membangun benteng.
Nampak sekali kesibukan-kesibukan mereka. Raden
Mas Kinanjar Swantaka duduk berderet melihat dari
dalam ruangan pondokan itu. Juga termasuk beberapa
orang yang duduk berderet melingkar ke arahnya. Me-
reka tidak lain adalah Wintara, Umbara Komang dan
Pendekar Wanita Kembar Cambuk Seriti. Beberapa
prajurit berdiri juga di dalam ruangan itu.
Dari kancing bajunya yang terbuka nampak je-
las balutan-balutan yang melilit di tubuh Raden Mas
Kinanjar Swantaka. Sedari tadi pula Wintara memper-
hatikan luka-lukanya. Nampaknya luka-luka itu sudah
berangsur membaik. Umbara Komang duduk bersila
bersandar pada dinding, kedua matanya terpejam
sambil mendengkur. Tapi orang-orang yang ada di
ruangan itu tidak memperdulikannya. Apalagi wanita
kembar yang bersila di sebelahnya, mereka bersikap
masa bodoh terhadap Umbara Komang. "Semestinya
kita sudah harus ada di kerajaan untuk membawa
upeti-upeti ke sana. Tapi mengingat saudara Tangan
Besi dan temannya belum sampai ke sini, kita terpaksa menunggu mereka...." kata
Raden Mas Kinanjar Swantaka mengawali pembicaraan.
"Tapi mereka sudah melewati batas perjanjian,
Raden. Kami khawatir saudara Tangan Besi dan Lang-
kung Daro tewas dalam melakukan tugasnya...." Cambuk Kembar Seriti Kuni
memberikan pendapat.
"Jangan berperasaan khawatir seperti itu, Seriti Kuni.... Mereka berdua bukan
termasuk orang-orang
yang mudah diperdaya." jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Memang betul, Raden... Menurut perintah da-
lam tiga hari mereka harus kembali ke sini. Tapi seka-
rang sudah telat lima hari.... Halangan apa yang membuat mereka begitu telat....
Kalau Raden Mas sengaja menunggu mereka, apa kata orang-orang kerajaan
nanti" Paling tidak mereka akan khawatir juga terha-
dap kita. Tidak pantas kalau orang-orang kerajaan datang ke mari yang mengambil
upeti...." ujar Seriti Kuni yang tidak berbeda dengan Seriti Wuni. Keduanya
menatap Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Jadi bagaimana menurutmu jalan yang ter-
baik...?" "Secepatnya kita berangkat ke kerajaan, kalau-
pun saudara Tangan Besi dan saudara Langkung Daro
masih hidup mereka pasti datang ke sini lagi. Lagipula tanpa mereka apa
halangannya..." Raden Mas Kinanjar
Swantaka orang kepercayaan kerajaan, jangan sampai
Raden kehilangan muka." jawab Seriti Kuni.
"Apa yang dikatakan Seriti Kuni adalah benar.
Upeti harus secepatnya sampai ke kerajaan...." Wintara ikut angkat bicara.
Umbara Komang masih tetap mendengkur.
"Raden Mas Kinanjar Swantaka tak usah ce-
mas! Tentunya Pendekar Kembar Seriti akan bersedia
mengawal, bukankah begitu...?" kata Wintara lagi, matanya berkedip ke arah
wanita kembar itu.
"Kau pun harus ikut serta, Pendekar Muda!"
sahut Seriti Wuni.
"Jangan lupa ajak temanmu itu." Seriti Kuni menunjuk Umbara Komang. Pandangan
Raden Mas Kinanjar Swantaka mengarah ke situ pula, maka ia
tersenyum. Umbara Komang tetap mendengkur pulas. Su-
dah tentu ia tidak mendengar apa yang mereka bicara-
kan. Raden Mas Kinanjar Swantaka mengancingkan
bajunya. Balutan-balutan yang melilit di tubuhnya ter-
tutup. Luka-luka itu masih terasa sakit. Tapi tidak
apa-apa. Hanya luka luar.
"Bukan aku tak percaya dengan kalian...." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, ia
bangkit berdiri. Yang lain tetap bersila pada tempatnya. Lalu....
"Kalau saja Pendekar Tangan Besi dan Lang-
kung Daro ada di sini, kekuatan kita akan lebih terjamin lagi. Sebab daerah yang
akan kita lewati amatlah berbahaya. Tidak ada jalan lain selain melintasi perbu-
kitan tandus yang memanjang sampai ke Ungaran.
Bukit tersebut telah dikuasai oleh perampok-perampok yang tidak kenal ampun.
Apalagi mereka tahu kita
membawa upeti yang tidak sedikit jumlahnya."
"Raden, kita-kita ini bertugas demi kerajaan...
Demi tanah air!. Apapun halangannya kita harus beru-
saha menghadapi. Lebih baik kita mati dalam tugas
daripada diam berpangku tangan di sini." kata Seriti Kuni. Adiknya, Seriti Wuni
diam berpikir. "Aku mengerti.... Kalian memang bermaksud
baik." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, sambil kedua matanya memandang orang-
orang yang bekerja di
luar sana. Kemudian ia berkata lagi,
"Kalau kita-kita semua berangkat, siapa yang
akan mengawasi orang-orang bekerja di sini, siapa pu-la yang akan menjamin bila
terjadi sesuatu..."
Haaaaaaah," Raden Mas Kinanjar Swantaka menarik nafas. Pembicaraan mereka putus.
Ucapan Raden Mas
Kinanjar Swantaka memang betul. Kedua-duanya sa-
ma penting. Orang-orang yang ada di situ dan upeti
yang akan diantar sama-sama memerlukan pengawal.
"Siapa di antara kalian yang mau mengawal
upeti dan mengawal di sini...?"
"Aku...!" jawab mereka serempak. Hanya Umba-ra Komang yang tetap mendengkur.
"Ah! Itu sama bodohnya...! Dalam hal ini kalian
akan ku bagi menjadi dua bagian. Hanya itu jalan terbaik. Kalian tinggal mencari
keputusan." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka tersenyum ramah. Semuanya
diam. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah me-
nuju ke sudut ruangan. Di situ terdapat sebuah meja.
Di atasnya terdapat empat buah peti ukuran kecil.
Orang itu mengusap-usap salah satu peti.
"Kalau kalian tetap diam biarlah aku yang akan
memberi keputusan... Menurut pemikiran ku, Pende-
kar Cambuk Seriti Kembar tetaplah di sini. Sebenarnya bukan aku merendahkan
kalian. Bukan sama sekali...
Dalam hal ini aku sengaja memilih Wintara dan saha-
bat silumannya...."
"Apa" Aku bukan siluman! Aku Umbara Ko-
mang!" Tiba-tiba saja Umbara Komang bangkit. Setelah ia berkata begitu, ia
meneruskan tidurnya.
* * * 2 Panas terik matahari menggarang ketiga orang
yang menunggangi kuda menyusuri lembah sunyi. Ke-
tiga ekor kuda itu berjalan tenang membawa tuannya.
Paling tengah duduk tegak sosok Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Tubuhnya bergoyang-goyang saat kuda-
kudanya melangkah tenang menyusuri jalan itu. Win-
tara dan Umbara Komang mengiringi di samping kiri
dan kanan Masing-masing kuda mereka membawa dua
buah peti. Peti-peti diikat erat menyatu dengan pelana.
Tebing-tebing curam di kedua sisi jalan. Umbara Ko-
mang tidak bisa diam di atas pelananya.
"Dewa.... Sebenarnya mau ke mana kita ini"
Rasanya kita menyusuri lorong maut yang sangat pan-
jang." kata Umbara Komang kesal. Tingkah lakunya sangat aneh.
"Tenanglah, Umbara.... Akan kubawa kau ke
sarang siluman jahat. Pasti kau akan senang...." kata Wintara menghibur.
"Apa" Mendengar adanya siluman jahat tan-
ganku jadi gatal...! Di mana mereka?"
"Masih jauh... Tenang saja jangan ribut! Pelan-
pelan saja kita berjalan... Awas jangan sampai mereka terbangun, kita akan
celaka...." Raden Mas Kinanjar Swantaka menakut-nakuti. Tapi Umbara Komang malah
kegirangan. "Siluman-siluman jahat mesti dimusnahkan!
Biar saja mereka bangun semua! kenapa harus ta-
kut...!" Lalu Umbara Komang memacu kudanya berjalan paling depan. Sebentar saja
kuda itu berada jauh.
Nampak kuda itu berputar-putar ke sekeliling lembah.
"Keluar siluman...! Keluar! Ayo keluar kalian
semua! Aku siluman, Eh bukan! Aku bukan siluman!
Tapi Umbara Komang raja dari para siluman akan
menggorok leher kalian!" Umbara Komang berteriak-teriak. Tidak ada jawaban.
Hanya suaranya yang ber-
gema di sekeliling lembah. Umbara Komang berhenti
berteriak. Lalu ia memberi aba-aba pada Wintara dan
Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mulai mendeka-
tinya. "Sssst... Siluman-siluman itu benar ada. Mereka bersembunyi di sekeliling
sini! Kalian dengar tadi mereka mengikuti suara ku!" katanya sambil menutup
bibirnya dengan jari telunjuk. Kedua orang yang
menghampiri hanya tersenyum. Mereka mengerti apa
yang dimaksudkan Umbara Komang. Laki-laki berpe-
nyakit saraf itu mengira gema suaranya adalah suara
para siluman. Mereka berjalan beriringan lagi.
"Biar saja mereka bersembunyi.... Itu karena
mereka takut!" ujar Wintara.
"Siluman yang suka sembunyi adalah siluman
yang baik!" Raden Mas Kinanjar Swantaka menimpali.
Umbara Komang manggut-manggut sok mengerti. Kini
ia duduk dengan gagah di atas kudanya. Memandang
ke atas penuh keangkuhan.
"Siluman jahat tidak ada yang berkeliaran di
sini... Nanti tak lama kita akan menjumpai siluman-
siluman jahat... Tapi aku rasa mereka takut melihat
kita. Karena raja dari para siluman ada di sini...!" kata Raden Mas Kinanjar
Swantaka lagi. Umbara Komang
makin kembang kempis hidungnya. Bibirnya mencibir
sombong. Mereka kembali berjalan dengan menunggangi
kuda-kudanya. Lembah-lembah di situ tidak begitu cu-
ram lagi. Udara masih dapat berhembus meski mata-
hari bersinar terik. Mereka baru merasakan kalau hari itu begitu cerah. Namun


Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu mereka tetap waspada
akan bahaya yang bakal dari kedua sisi jeram. Para
perampok biasanya di sana. Dan mereka memang te-
lah memastikan wilayah rawan.
Mereka bertiga mendadak berhenti ketika men-
dengar banyak derap kaki kuda dari arah belakang.
Ketiganya serempak menoleh ke arah kuda-kuda yang
berlarian di belakangnya. Kuda-kuda itu makin lama
makin dekat. Nampak dua ekor kuda menarik sebuah
kereta yang amat bagus. Kuda-kuda lainnya mengirin-
gi berderet di depan dan belakang.
Melihat kuda-kuda yang begitu banyak, Winta-
ra segera menepi ke pinggir jalan. Umbara Komang
maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka mengikuti.
Kuda-kuda mereka berjajar di pinggiran jalan. Mereka memberi jalan kepada
belasan kuda yang berlari terbu-ru-buru. Kereta kuda yang berada paling tengah
pada barisan itu nampak tenang melaju. Di dalam kereta itu nampak jelas sekali
seorang perempuan muda duduk
sendirian. Mereka melaju terus tidak memperdulikan
ketiga orang yang menunggangi kudanya di pinggiran
jalan. Ketiga orang itu pun dapat melihat wajah pe-
rempuan muda di dalam kereta itu. Wajah yang ayu
nan anggun. Sinar matanya penuh kelembutan yang
jarang dimiliki oleh perempuan manapun. Siapa saja
yang melihatnya pasti tergetar. Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka
saat itu. Kedua matanya
tidak berkedip ketika mereka beradu pandang.
Umbara Komang hampir melompat menyerang
mereka, tapi cepat Wintara dapat menahannya.
"Mereka bukan siluman jahat, Umbara... Mere-
ka siluman baik-baik!" sergah Wintara. Umbara Komang tenang kembali. Rombongan
kuda itu telah men-
jauh. Yang mereka lihat hanyalah segumpalan asap
mengepul di antara kaki-kaki kuda mereka.
Raden Mas Kinanjar Swantaka masih meman-
dangi kepergian kereta yang kian lama kian jauh
menghilang. Sedari tadi ia tidak berkedip. Wintara dapat memperhatikannya,
betapa Raden Mas Kinanjar
Swantaka terpesona pada perempuan muda itu.
Wintara pun mengakui akan keanggunannya,
kecantikannya bahkan kelembutan yang memancar
dari kedua sinar mata yang indah. Tapi bagi Wintara
hanya cukup untuk mengagumi saja. Lain tidak!
"Dia memang sangat cantik, Raden... Dan pan-
tas untuk dijadikan selir." Wintara menggoda. Raden Mas Kinanjar Swantaka
tersentak dari lamunannya. Ia
sudah merasa dengan sindiran itu. Maka ia cepat-
cepat mengendalikan kudanya meneruskan perjala-
nan. Namun dalam hatinya masih membayang seraut
wajah yang sangat menawan.
"Begitu banyak para pengawalnya, pastilah ga-
dis itu bukan orang sembarangan. Apalagi berani me-
lintasi lembah ini. Bagaimana kalau sampai di bukit
sana?" kata Wintara yang menyusul di belakang bersama Umbara Komang.
"Mudah-mudahan saja mereka selamat dalam
perjalanan... Kuharap sekali...." Raden Mas Kinanjar Swantaka berkata pelan.
Ketiganya tidak lagi berjalan perlahan. Raden
Mas Kinanjar Swantaka yang memimpin di depan me-
macu kudanya lebih cepat. Wintara maupun Umbara
Komang hanya mengikuti berusaha mengimbangi.
Sengaja Wintara membiarkan orang ningrat itu berja-
lan paling dulu. Membiarkan dirinya bersama angan-
nya yang kasmaran.
Setengah harian penuh sudah mereka melintasi
daerah lembah. Kini mereka mengarungi dataran ker-
ing berbatu. Di mana pada dataran itu banyak meng-
hampar tulang belulang berserakan. Namun bagi me-
reka bertiga pemandangan semacam itu tidak berarti
sama sekali. Malah tulang berulang itu hancur berde-
rak-derak terinjak oleh kaki-kaki kuda mereka.
Pandangan mereka membentur pada sebuah
bangunan yang hampir roboh. Bangunan itu pula yang
bakal mereka lewati. Setelah mereka menyeberangi se-
buah jembatan kayu yang menghubungkan ke mulut
jurang yang membentang di hadapan mereka, barulah
mereka dapat melihat jelas bangunan yang telah ter-
makan usia. Perlahan sekali mereka melintasi halaman muka bangunan tersebut.
Mata Raden Mas Kinanjar Swantaka terbelalak
ketika ia melihat ke bawah di depan pintu. Sosok tu-
buh terkapar membiru dan menyebarkan bau busuk.
Tubuh itu penuh dengan pisau-pisau kecil menembus
di kulitnya. Ia langsung turun dari kuda yang di tung-
gangi. Wintara dan Umbara Komang hanya memperha-
tikan. "Langkung Daro! Astaga...!" Keluar pekikan dari mulut Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Ia sendiri tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Wintara turun da-ri kudanya mendekat. Tapi
Raden Mas Kinanjar Swan-
taka melangkah lebih dulu masuk ke dalam bangunan
itu. Sebelum orang itu masuk, tubuh Umbara Komang
melesat dan tiba-tiba saja menghalangi langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka....
"Tahan.... Jangan masuk ke sini! Aku tahu be-
tul kalau di sini sarang siluman jahat!" Begitu katanya.
Melihat tindakan Umbara Komang, orang ningrat itu
hampir marah. Tapi ia segera dapat menguasai ama-
rahnya.... "Justru itu, Umbara... Kita mesti membasminya
sekarang!" kata Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil menyingkirkan tubuh Umbara
Komang yang menghalangi langkahnya. Umbara Komang membiarkan orang
itu masuk tapi ia sendiri pun ikut masuk pula ke da-
lam. Pada ruangan pertama mereka tidak melihat apa-
apa. Namun pada ruangan kedua, mereka hanya meli-
hat barang-barang serta papan-papan yang telah han-
cur berkeping-keping. Tidak ada satu manusiapun di
dalam sana. Lalu mereka keluar lagi. Wintara masih
menunggu di luar.
"Tidak ada tanda-tanda orang tinggal di sini....
Apa sebenarnya yang terjadi pada Langkung Daro!"
Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap mayat itu.
Umbara Komang termangu. Sepertinya ia teringat akan
sesuatu yang pernah dialaminya. Terbayang sekali wa-
jah seram seseorang berambut putih kusut dengan gu-
si tanpa gigi di saat menyeringai. Wajah itu kian
menghantui perasaannya. Membuat dirinya kalap. Ti-
ba-tiba saja ia berteriak dan mengamuk seperti ingin
menghancurkan bangunan itu.
* * * 3 Setiap pukulan Umbara Komang mampu
menghancurkan dinding batu. Tendangannya pun de-
mikian. Kalau saja Wintara tidak cepat menahannya,
mungkin bangunan itu akan hancur. Terhadap Winta-
ra, Umbara Komang sangat takluk. Ia menghentikan
amukannya. "Kau melakukan tindakan yang salah, Umbara
Komang. Kalau kau menghancurkan bangunan ini, sa-
lah-salah kau sendiri yang akan terkubur hidup-hidup di sini!" bentak Wintara.
Umbara Komang tertunduk, sepertinya ia menyesali perbuatannya. Tidak terasa
kedua tinjunya mengalirkan darah.
Sekarang ia menatap angkuh ke arah bangu-
nan itu. Kedua matanya memancarkan sinar keben-
cian. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka me-
mandang aneh. "Aku ingat sekarang. Istana ini tempat berdiamnya Siluman Berambut
Putih! Hati-hati terhadap dirinya! Dia banyak menguasai siluman!" kata Umbara
Komang dengan tiba-tiba.
"Siluman Berambut Putih?" Wintara bergumam.
"Yahhhh. Nanti kalau ketemu Siluman Putih ki-
ta bereskan dia! Sekarang kita kubur saja jasad Langkung Daro ini...."Raden Mas
Kinanjar Swantaka mulai menggali lubang, sebelumnya ia meraih tonggak kayu
yang digunakan untuk menggali. Wintara datang
membantu. Umbara Komang tidak berdiam diri. Kedua
tangannya ikut membantu menggali tanah. Maka den-
gan sebentar saja lubang itu sudah siap.
Selesai menguburkan jasad Langkung Daro,
mereka meneruskan perjalanan. Kali ini mereka nam-
pak serius. Ketiganya nampak hanyut dengan pikiran
masing-masing. Apalagi sekarang mereka melewati pa-
dang tandus. Angin yang berhembus bercampur den-
gan debu. Keringat mereka berbaur dengan debu-debu
yang beterbangan.
Perjalanan mereka memang masih sangat jauh.
Untuk mencapai daerah kerajaan mereka harus me-
nempuh setengah harian lagi. Untunglah mereka
membawa banyak perbekalan. Tiap-tiap kuda mereka
terdapat kantong perbekalan. Mereka lebih banyak
membawa persediaan air. Nampak pula mereka sese-
kali meneguk pundi-pundi air mereka.
Tebing-tebing tegar nampak menakutkan. Tidak
ada tumbuhan yang kelihatan menghijau. Semuanya
kering serba tandus. Batang-batang pohon banyak
tumbuh di atas tebing-tebing itu. Cabang-cabangnya
yang plontos tanpa daun bagai cakar-cakar makhluk
yang amat mengerikan. Dari situ pula, tiba-tiba saja berjatuhan batu-batu
sebesar kepala menghujani ketiga orang yang berjalan menunggangi kuda.
Batu-batu tersebut menggelinding bersuara ba-
gai gemuruh. Ketiga orang yang berada di bawahnya
cepat menoleh ke atas. Lalu dengan sigap mereka
menghindari hujan batu yang datangnya dari atas teb-
ing. Kuda-kuda mereka meringkik ketakutan. Debu-
debu pasir menutup bagai asap tebal. Dan ketika batu-batu itu berhenti
menghujani mereka. Asap debu per-
lahan pudar. Pandangan mereka masih samar tertutup asap
debu. Meskipun demikian mereka dapat melihat pulu-
han sosok berdiri di atas tebing menatap garang ke
bawah. Puluhan orang itu melihat betapa repotnya me-
reka menghindari batu-batu yang masih menggelinding
nyaris menimpa. Tidak satupun batu-batu itu yang
berhasil menyentuhnya. Ketiga orang itu meskipun
duduk di atas kuda dapat menghindarinya dengan
mudah. Separuh dari orang-orang yang berdiri di atas tebing meluruk turun ke
arah tiga orang yang masih
berusaha menghindari hujan batu. Suara-suara mere-
ka begitu ribut, mendengar dari nada teriakan mereka pastilah mereka akan
menyerang. Mereka juga nampak
mengacung-acungkan senjatanya! Dari pisau, golok,
pedang, bahkan panah sekalipun nampak jelas di tan-
gan mereka. "Tangkap mereka hidup-hidup dan ambil semua upeti yang mereka
bawa...!" terdengar teriakan seseorang dari atas tebing sana. Sosok itu berdiri
pada tonjolan batu yang paling tinggi. Tubuh hitam itu berdiri tegak menyaksikan
anak buahnya menyerang keti-
ga orang yang berada di bawahnya. "Kita juga perlu kuda-kuda mereka!" Sosok yang
berdiri paling tinggi teriak lagi.
"Itu perampok-perampok yang kuceritakan
tempo hari, Wintara... Dan kita memang memasuki wi-
layah kekuasaannya. Mereka pasti menginginkan upe-
ti-upeti yang kita bawa...." Raden Mas Kinanjar Swantaka melirik peti-peti kecil
di belakang kuda Wintara dan Umbara Komang. Ia khawatir dan tidak ingin upeti-
upeti itu jatuh ke tangan mereka. Wintara tetap tenang menatap para perampok itu
mendekat berdatan-
gan. "Wueeeeh...! Inikah siluman-siluman jahil itu"
Bagus!" kata Umbara Komang ia membawa kudanya
maju ke depan. Wintara membiarkannya, ia melihat
Umbara Komang melompat dari kudanya dan maju
menyerang para perampok yang sudah turun. Tendan-
gannya menjatuhkan tiga orang sekaligus....
"Hayo kalian turun semua...! Siluman-siluman
jelek yang jahat harus lenyap dari muka bumi...!
Heaaaaaaat!" Lengannya berputar. Kembali dua orang bergelimpangan dengan muka
yang berlumuran darah.
Para perampok itu tidak hanya menyerang Um-
bara Komang, mereka berpencar mencari sasaran lain.
Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai tu-
run menyambut serangan-serangan mereka. Senjata-
senjata mereka berkelebat, namun Wintara dapat den-
gan mudah mengatasi. Bahkan setiap kali Wintara me-
lakukan serangan balasan, tubuh-tubuh banyak yang
berpentalan. Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swan-
taka, meskipun ia dalam keadaan yang terluka ia ma-
sih bisa menyambut serangan-serangan itu. Sekalipun
para perampok itu tahu tiga orang itu memiliki ilmu
yang sangat luar biasa, mereka tidak gentar sedikit-
pun. "Bantu mereka. Cepat.... Tangkap mereka hidup-hidup!" Terdengar lagi
teriakan sosok yang berdiri tegap. Maka menghamburanlah sisa orang-orang yang
masih berdiri atas tebing. Mereka meluruk ke bawah
bagai air bah. Dengan disertai suara-suara teriakan
orang-orang itu maju menerjang. Beberapa orang be-
rusaha mendekati dua ekor kuda yang membawa peti-
peti kecil. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang
sempat melihat mereka langsung melompat dan me-
lancarkan tendangan...
"Deeeeees."
Orang-orang yang baru saja mengambil peti-
peti itu memekik dengan tubuh-tubuh yang terbanting
keras. Namun masih saja orang-orang berwajah garang
datang merebut peti-peti itu. Sudah tentu Raden Mas
Kinanjar Swantaka tidak akan mengijinkannya. Orang-
orang itupun harus menyingkirkannya lebih dahulu.
Tapi mana mampu mereka menyingkirkan Raden Mas
Kinanjar Swantaka"
Para perampok itu berdatangan seperti tidak
pernah ada habisnya. Mereka memang berilmu tinggi,
tapi menghadapi puluhan orang secara keroyokan ma-
na mungkin mereka bisa bertahan lama. Wintara sen-
diri selalu mundur-mundur mengatur siasat. Setiap ia mundur melangkah,
hantamannya selalu memakan
korban. Selalu saja begitu. Karena Wintara tidak


Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin berdiri di situ terus menghadapi para peram-
pok-perampok itu, sementara mereka menyerang dari
segala arah. "Kau raja siluman keparat...! Akulah lawan-
mu...!" Umbara Komang berlari menanjak ke atas tebing. Namun tidak mudah! para
perampok berdatangan
menghalanginya. Babatan-babatan senjata mereka
hampir merencah tubuhnya. Sosok hitam berdiri te-
nang melihat pertempuran itu. Sinar ma tanya me-
mancar sinar amarah yang luar biasa terhadap Umba-
ra Komang. Maka ia pun melesat ke bawah ke arah
Umbara Komang. Laki-laki itu tidak tahu sama sekali
bahaya yang akan datang. Karena Umbara Komang
tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya. Sampai-
sampai ia lalai. Dan tahu-tahu saja sebuah tendan-
gan menghantam kepalanya... "Der!"
Sudah tentu Umbara Komang memekik berge-
lintingan. Setelah melancarkan tendangan, sosok hi-
tam itu melesat lagi. Gerakannya cepat bagai kilat. Ia tidak lagi naik ke atas
tebing. Tubuhnya yang gesit me-luncur deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Ringan sekali ia melesat di udara, sebelah tangannya berkelebat menyambar...
Saat Raden Mas Kinanjar Swantaka membe-
reskan lawan-lawannya, matanya sempat melihat so-
sok hitam berkelebat melancarkan serangan...
"Weeees!" Serangan itu luput. Karena Raden Mas Kinanjar Swantaka keburu
merunduk. Dalam keadaan
tubuh masih di udara sosok hitam itu masih sempat
melancarkan tendangannya.... "Deeees!"
Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak sempat
menghindar lagi. Tubuhnya bergulingan. Mulutnya
mengeluarkan darah. Sosok hitam itu tidak berhenti
menyerang, sekali kakinya menghentak tubuhnya me-
lesat lagi dan tahu-tahu tubuh Raden Mas Kinanjar
Swantaka dalam bekukannya. Sebelah lengannya
mengarahkan pedang pendek ke tenggorokkan laki-laki
ningrat itu. Ujung pedangnya menggores kulit leher.
Terasa sekali perihnya.
"Hentikan...! Kalian lihat ke mari!" teriak sosok hitam itu. Maka segera saja
Wintara melompat jauh
menghindari serangan-serangan dan melihat keadaan
Raden Mas Kinanjar Swantaka terancam. Umbara Ko-
mang masih sibuk menjatuhkan lawan-lawannya...
"Hei manusia gila...! Kau ingin majikan mu ini
mampus?" teriak sosok hitam lagi.
* * * 4 Kuil itu berdiri kokoh pada dataran berbatu.
Setiap sudut-sudutnya terdapat nyala api yang berko-
bar-kobar. Membuat seluruh kuil itu nampak terang
benderang. Kuil itu hampir mirip dengan sebuah can-
di. Bentuknya bertingkat-tingkat. Dan pada tingkat
paling atas berdiri sebuah patung. Entah patung apa.
Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Kepala patung
itupun sudah tidak ada. Pada tingkat atas tersebut
nampak sebuah ruangan yang sangat terang. Belasan
pelita dari kuningan tergantung pada tiap-tiap tiang penyanggah. Dalam ruangan
itu pula ada dua orang
duduk bersila saling berhadapan.
Di luar sangat dingin dan gelap. Terdengar
sayup-sayup rintih kesakitan. Suara itu berasal dari halaman kuil di mana banyak
berdiri tonggak-tonggak kayu tinggi yang berderet mengelilingi halaman tersebut.
Tiap-tiap tonggak itu pula terikat sosok-sosok tubuh yang sudah berlumuran
darah. Dari situ rintihan
kesakitan berasal. Pada tingkat kedua ruangan itu mirip sebuah tempat
persembahan korban, sekeliling
ruangan itu terdapat altar-altar yang berukuran cukup besar. Di atas altar itu
masing-masing terdapat sosok tubuh seorang perempuan telanjang bulat. Mereka
terlentang pasrah dengan kedua lengan dan kaki terikat
rantai mengangkang.
Pada beberapa altar yang sudah tak tampak te-
rurus, nampak beberapa kerangka tulang manusia
yang terlentang dengan rantai-rantai yang erat membelenggu. Ruangan itu nampak
suram. Seluruhnya ham-
pir dipenuhi dengan asap keputihan. Namun tempat
itu tetap dingin dan selalu terdengar dari mulut-mulut para wanita yang
terbelenggu membugil.
Rintihan-rintihan kesakitan yang sangat meng-
ganggu itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh
apa-apa bagi kedua orang-orang yang tetap duduk ber-
sila berhadapan. Satu dari kedua orang itu berambut
putih kusut. Satu lagi seorang lelaki berambut meng-
gulung di atas kepalanya, ia mengenakan jubah pan-
jang berwarna hitam. Keduanya terlibat satu pembica-
raan yang serius. Beberapa pelayan yang mengenakan
pakaian serba hitam pula datang menghidangkan ma-
kanan. Setelah itu mereka ke luar lagi. Lalu kedua
orang ini melanjutkan pembicaraannya.
"Bukannya aku tak mau membantu mu, Ki
Rondo Mayit.... Masalahnya sangat berbahaya. Kau
terlalu berangan-angan muluk. Kita-kita ini berdiri pa-da jalan hitam, siapapun
tidak ada yang akan mendu-
kung kita. Apalagi dengan caramu yang tidak benar
itu... Pantas saja putra mu tewas di tangan orang-
orang Raden Mas Kinanjar Swantaka." kata orang ber-jubah hitam sambil meraih
pundi arak. Diapun me-
nenggaknya. "Semua yang telah terjadi ya memang harus
terjadi. Tapi paling tidak aku harus membalas dendam.
Raden keparat itu harus mampus di tanganku... Kare-
na dia harus membayar darah anakku yang tertum-
pah! Aku harap kau mau membantuku, Kama Lo-
dra!" Ki Rondo Mayit menatap orang yang duduk bersila di hadapannya. Setelah
meminum beberapa kali
tenggakan Kama Lodra menjawab.
"Aku bersedia membantumu, tapi ada satu
permintaanku... Aku tidak mau berurusan dengan
orang-orang kerajaan!"
"Berarti kau takut!" Ki Rondo Mayit mencela.
Kama Lodra tersenyum, lalu....
"Bukannya takut.... Kehidupan di sini serba
cukup! Aku tidak kurang satu apapun! Dan aku cukup
mengerti apa yang tengah kau pikirkan sekarang. Ten-
tunya kau sendiri yang merasa takut terhadap orang-
orang yang melindungi Raden Mas Kinanjar Swanta-
ka... Bukankah begitu...?" jawab Kama Lodra.
"Kau salah! Pendapatmu sangat salah! Terha-
dap siapapun aku tidak takut! Apalagi hanya membu-
nuh raden keparat itu, Huh! Apa susahnya.... Aku
hanya kurang dukungan..."
"Lalu kau akan meminta dukungan kepada-
ku..." Ha ha ha ha sungguh cerdik kau Ki Rondo
Mayit. Aku mengakui pernah berutang budi padamu...
Kau memojokkan aku...! Ha ha ha ha. Kelak kalau su-
dah menguasai Rogojembangan jangan melupakan
aku!" Keduanya tertawa. Ruangan tingkat atas jadi riuh oleh tawa-tawa mereka.
* * * Sementara itu di luar kuil nampak puluhan
kuda berjalan mendekat. Suara derap kaki kuda mere-
ka memecah kesunyian malam yang gelap dan dingin.
Seseorang bertopeng hitam dan berpakaian serba hi-
tam pula berjalan membawa kudanya paling depan.
Beberapa anak buahnya di belakang mengiring tiga
orang tawanan yang terikat dengan tambang berhu-
bungan. Rombongan memasuki halaman kuil yang pe-
nuh dengan sosok-sosok tubuh terikat pada sebatang
tonggak yang mengelilingi halaman itu.
Ketiga tawanan itu dapat melihat tubuh-tubuh
tergantung bermandikan darah sambil mengerang-
erang menahan sakit. Pastilah mereka korban-korban
dari perampokan mereka. Sungguh biadab, pikir Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka yang terikat paling tengah.
Di lehernya mengancam sebilah dang yang setiap saat
dapat merenggut nyawa.
Wintara dan Umbara Komang tak dapat ber-
buat apa-apa. Mereka bertiga terdorong terus oleh beberapa mata tombak yang
mengarah di punggung.
"Ra-ra-raden...." Terdengar rintihan dari sosok tubuh yang tergantung di antara
tiang tonggak. Merasa ada yang memanggilnya Raden Mas Kinanjar Swantaka
menoleh ke arah suara itu, dan bukan main terkejut-
nya. Sosok tubuh itu nampak jelas diterangi dengan
api yang berkobar-kobar di sudut kuil.
"Pendekar Tangan Besi...!" Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik tak percaya.
"Maafkan aku, Raden.... aku gagal dalam men-
jalankan tugas.... Mereka menghadang dalam perjala-
nan," suara itu lemah sekali. Begitu juga dengan tubuhnya yang tergantung.
"Kau tidak gagal, Pendekar Tangan Besi.... Bala Tlenges sudah tewas di tangan
kita...! Sekarang dibu-nuh mereka pun aku puas!" jawab Raden Mas Kinanjar
Swantaka menatap iba.
Sebatang tombak mendorong punggung, Raden
Mas Kinanjar Swantaka melangkah lagi. Tapi baru saja ia melangkah tiga kali
matanya tertuju pada sebuah
kereta yang amat bagus. Ia masih ingat betul kereta
tadi yang dijumpainya dalam perjalanan. Ia pun belum lupa dengan wanita muda
yang berada dalam kereta
itu. Apakah ia juga telah tertawan di sini" Kalau ya wanita muda itu tentunya
akan celaka. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah membayangkan kengerian
yang pasti akan dialami si cantik jelita itu. Ia tidak merasakan tusukan-tusukan
mata tombak di punggung-
nya. Rasa sakit itu seakan-akan tak berarti setelah melihat kereta kuda diam
berdiri tak bergeming. Wintara yang memperhatikannya langsung menarik tali
pengi-katnya. Wintara tidak ingin tombak itu menembus le-
bih dalam di tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Para perampok itu turun dari kuda-kudanya
dan langsung menambatkannya berjajar di halaman
kuil yang sangat luas. Suara-suara mereka ribut dan
tempat itupun menjadi gaduh. Setelah menambatkan
kudanya sosok bertopeng itu melepaskan ikatan-
ikatan tali yang mengikat empat buah peti berukir. Mereka pun menaiki anak
tangga memasuki ruangan.
Anak buah yang lain menggiring ketiga tawanan me-
masuki ruangan bawah.
Dari luar pintu yang terkunci ketiga tawanan
mendengar rintihan-rintihan beberapa perempuan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lebih cepat
mendekati ruangan itu. Pintu dengan gembok sebesar
kepalan tangan itu dibuka, maka ketiganya melihat altar-altar yang berderet di
sekeliling ruangan. Mereka melihat pula sosok-sosok perempuan bugil terlentang
terbelenggu rantai di atasnya. Para perampok mendo-
rong tubuh ketiganya masuk ke dalam. Kemudian
mengunci kembali pintu itu.
"Di mana ini... Di mana...?" Umbara Komang celingukkan.
"Di istana siluman! Kita jadi tawanan mereka.
Lihat itu para siluman baik pun tertawan di sini bersama kita...." jawab Wintara
sambil memoncongkan mulutnya ke arah wanita-wanita yang terlentang di
atas pilar. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah
mengitari seluruh altar. Matanya menatapi satu persa-tu wajah wanita-wanita itu.
Mereka memang rata-rata
berwajah menarik. Bentuk tubuh mereka pun aduhai.
tapi tidak satupun wanita yang mirip dalam angan-
angannya. Sampai ia melangkah ke ruangan sudut, ia
melihat di atas altar seonggrokan kerangka tulang terbelenggu rantai. Dan wanita
yang ditemuinya tadi
siang betul-betul tidak ada. Raden Mas Kinanjar Swantaka makin cemas. Wintara
melangkah mendekat.
"Keparat! Mereka pasti telah berbuat kotor atau membunuhnya!"
"Belum tentu, Raden... Wanita itu teramat isti-
mewa. Mungkin mereka menawannya di ruangan lain.
Berdoa saja, mudah mudahan dia tak kurang satu apa
pun!" ujar Wintara di sebelahnya. Umbara Komang nampak mengelilingi melihat satu
persatu wanita-wanita yang terlentang di atas altar Iapun bergidik.
Namun ia masih saja berkeliling menatap tubuh-tubuh
bugil itu. * * * 5 Esok paginya ketika matahari menyembul dari
balik bukit, ketiga tawanan itu diseret ke luar. Halaman kuil telah penuh dengan
perampok. Namun saat
tiga tawanan memasuki halaman, mereka semua me-
nyingkir ke pinggir. Membiarkan ketiganya berdiri di tengah-tengah halaman. Tak
lama muncul pula sosok
hitam bertopeng menuruni anak tangga. Ia bersama
dua orang laki-laki yang setengah tua. Mereka pun
memasuki halaman kuil.
"Ayah, Paman... Itulah tawanan-tawanan kita
yang baru." kata sosok hitam bertopeng. Kedua orang yang berjalan di sebelahnya
membelalakkan mata. Terlebih-lebih pada seorang yang berambut putih kusut.
Ia tidak percaya melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka dan Umbara Komang berada di
situ terikat. Ki Rondo
Mayit segera melompat. Dan ketika ia berada dekat
Raden Mas Kinanjar Swantaka, lengannya siap terang-
kat memecahkan kepala. Namun cepat sosok berto-
peng itu menepis.... "Plaak!" Hantaman Ki Rondo Mayit melenceng.
"Apa yang hendak Paman lakukan...?" Sosok
bertopeng itu menggenggam lengan Ki Rondo Mayit.
"Serahkan manusia keparat ini padaku! Juga
manusia gila yang di sebelahnya!"Ki Rondo Mayit geram. Sebelah tangannya
bergerak lagi siap menghan-
tam. "Tunggu, Paman! Mereka tawananku! Paman
tidak bisa berbuat semaunya di sini! Paman hanya ta-
mu, kami akan menghormati jika Paman bersikap so-
pan terhadap tuan rumah." Mereka saling tatap. Ki Rondo Mayit makin geram. Lalu
ia menoleh ke arah
Kama Lodra. "Aku tak bisa berbuat apa-apa! Di sini anakku
yang berkuasa." jawab Kama Lodra sambil mengangkat bahu. Tiba-tiba saja Umbara
Komang berteriak....


Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hey... Kerak Neraka! Siluman ompong, kita ke-
temu lagi... He he he he...." ucapan itu tertuju pada Ki Rondo Mayit. "Anjing-
anjing siluman mu sudah jadi abu semua. Apa kau tidak ingin menyusul mereka" He
he he he... Aku khawatir mereka tidak bisa nenen!"
ejek Umbara Komang. Muka Ki Rondo Mayit memerah.
Sosok bertopeng berjalan mengelilingi kereta kuda
yang masih berada di pinggir halaman. Umbara Ko-
mang bersikap aneh memandang sosok bertopeng yang
berjalan mengelilingi mereka. Manusia bertopeng itu
berdiri di hadapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia
menatap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Mana gadis itu.... Kau boleh berbuat sesuka
hatimu, asal kau bebaskan dia!" Kata Raden Mas Kinanjar Swantaka. Manusia
bertopeng mengangkat wa-
jahnya. "Boleh saja! Tapi langkahi dulu mayat ku...!"
"Jangan percaya, Raden.... Mereka semua pe-
rampok laknat!" Beberapa orang yang tergantung di tiang nampak berteriak-teriak.
Mereka masih hidup
meskipun telah berlumuran darah.
"Siapapun tak ada yang hidup di sini! Mereka
akan membantai kita satu persatu!" Pendekar Tangan Besi yang ikut tergantung itu
ikut berteriak. Mendengar teriak-teriakan itu sosok bertopeng menghentak-
kan kedua kakinya, maka tubuhnya lentur berputar di
udara. Dalam pada itu ia menarik gagang pedangnya.
Lalu.... "
Breeet..! Breet!"
Kepala dua orang yang tergantung menggelind-
ing di tanah bersamaan dengan hinggapnya kedua ka-
ki manusia bertopeng. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang
tergantung kelojotan. Dari leher mereka yang kutung
memancur deras darah merah bagai air mancur.
Bagi para perampok kejadian semacam itu ada-
lah hal yang biasa. Tapi bagi ketiga tawanan ini, tindakan itu sangatlah di luar
kemanusiaan. Ketiganya
nampak diam saat sosok bertopeng mendekati lagi.
"Aku pun hendak melakukan hal yang sama
terhadap kalian!" kata manusia bertopeng.
"Tentunya kau pun telah membunuh gadis itu!
Biadab!" Kinanjar Swantaka geram.
"Yang kau tanyakan selalu gadis itu, kau cem-
buru?" Umbara Komang menyahut. Manusia bertopeng itu gelagapan, Lalu tangannya
melayang menampar pi-pi Umbara Komang. Terasa sekali tamparan itu. Tapi
Umbara Komang malah mencibir. Nampak sosok ber-
topeng itu mengangkat pedangnya lagi, lalu dengan secepat kilat....
"Treeees!" Ia membabat ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Semua orang termasuk
anak buah- nya berdecak kagum. Tubuh Raden Mas Kinanjar
Swantaka maupun pakaiannya tidak robek segores-
pun. Padahal tadi babatannya sangat kencang dan te-
rarah. Hanya tambang-tambang pengikat tubuhnya sa-
ja yang putus. Itu bukan berarti Raden Mas Kinanjar
Swantaka memiliki ilmu kebal. Bukan sama sekali.
Sosok bertopeng sengaja memutuskan tambang
pengikat dengan cara itu. Hal itu berarti ia menunjukkan ilmu pedang yang sangat
luar biasa. Dan tanpa
basa basi ia melangkah ke arah salah seorang anak
buahnya yang berdiri di pinggir halaman. Sebelum so-
sok bertopeng mendekat, anak buahnya itu menyerah-
kan pedangnya. Sosok bertopeng menerimanya lalu
melemparkan pedang itu ke arah Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Dengan sigap pula laki-laki itu menyam-
barnya. Pedang itu telah terhunus dalam genggaman-
nya. "Aku akan membebaskan kalian ke luar dari sini bila kau mampu melumpuhkan
aku, Raden. Per-gunakanlah pedang itu baik-baik! Nyawa kedua
orangmu itu berada di tanganmu...!" kata sosok bertopeng yang sudah mulai
mengeluarkan jurus pedang-
nya. "Bagaimana dengan gadis itu" Apakah kau juga akan membebaskannya?" jawab
Raden Mas Kinanjar
Swantaka. "Jangan kau pikirkan gadis itu, Raden. Dia ti-
dak apa-apa.... Pikirkan saja bagaimana caranya kau
dapat melumpuhkan aku! Ayo kita mulai!"
Keduanya berhadapan. Raden Mas Kinanjar
Swantaka belum mengeluarkan jurusnya. Wintara me-
narik tubuh Umbara Komang ke samping halaman.
Mereka bersatu dengan para perampok. Kama Lodra
dan Ki Rondo Mayit menyaksikan di atas deretan anak
tangga.... Dan tanah lapang itu menjadi sunyi dengan seketika. Di tengah-tengah
halaman berdiri dua sosok tubuh menggenggam pedang. Mereka siap bertarung.
Kedua mata Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap
pedang lawannya berkilat bergerak-gerak. Kini iapun mulai mengeluarkan jurus
pedangnya. Dengan garang sosok bertopeng maju. Pedang-
nya menjurus ke depan.... "Traaaang!" Raden Mas Kinanjar Swantaka bergeser
menyambar tusukan itu
dengan pedangnya. Lalu pedang itu berkelebat di atas kepalanya menangkis sinar
yang siap membelah
kepalanya.... "Traaang." Kembali pedang mere-
ka beradu. Cukup kewalahan juga ia menghadapi seran-
gan-serangan sosok bertopeng yang datang bertubi-
tubi. Kalau saja ia lengah sedikit, sudah pasti tubuhnya akan mendapat luka yang
tidak ringan. Apalagi
sekarang pedang itu berputar-putar deras bagai selaret sinar yang amat
menyilaukan. Dan babatan-babatan
pedang itu menjurus ke bagian-bagian lemah Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itupun dengan sigap
menyambar babatan-babatan pedang itu.
Setiap gerakan pedangnya disertai teriakan-
teriakan nyaring. Begitu juga dengan dentingan bera-
dunya senjata mereka. Benturan itu sampai mengelua-
rkan percikan- percikan api. Gerakan mereka sendiri terlihat seperti dua ekor
harimau yang saling terjang menjatuhkan. Bukan hanya pedang mereka yang
bergerak, tangan serta kaki mereka pun mencari sasaran.
Hantaman- hantaman mereka tidak jarang saling be-
radu. Sosok hitam menghantam keras pedangnya,
namun dengan sekali samber Raden Mas Kinanjar
Swantaka berhasil menepisnya. Karena babatan pe-
dang itu keras, tubuhnya sampai terhuyung sewaktu
menangkis. Kesempatan itu digunakan baik-baik oleh
sosok bertopeng. Tendangannya berhasil menjatuhkan
lawan. Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat
bangkit, sosok bertopeng datang lagi dengan seran-
gannya yang lebih gencar. Babatan pedangnya me-
nyambar bagai kilatan sinar. Namun Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka cepat menghentakkan tubuhnya. Se-
hingga babatan pedang itu luput. Saat tubuh itu melesat ke atas, ia membalas
serangan.... "Deees!" Hantaman itu telak mengena bagian punggung sosok berto-
peng. Tubuhnya terhuyung.
Melihat hantaman yang begitu dahsyat, para
anak buahnya beringsut hendak menyerang. Tapi me-
reka segera menghentikan langkah-langkahnya saat
melihat sosok hitam itu bergerak maju dengan disertai babatan pedang lebih
keras. Sambil menjatuhkan tubuhnya Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambar
babatan pedang itu dengan pedangnya.... "Trlaaak"!
Benturan itu sangat keras, pedang mereka terlepas.
Tubuh mereka pun bergulingan di tanah.
Keduanya sama-sama bangkit berbareng. Kini
mereka bertarung tanpa senjata. Hantaman-hantaman
mereka berkelebat.
Teriakan mereka pun makin menggelegar. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka cepat menunduk saat so-
sok bertopeng mengarahkan tendangannya ke arah
kepala. Ia cepat pula menangkis dengan kedua tan-
gannya... "Plaak!" Namun ketika laki-laki itu bangkit berdiri untuk membalas
serangan, tahu-tahu sebuah
jotosan mengenai dadanya. Raden Mas Kinanjar Swan-
taka terjungkal ke belakang, pada saat itu kakinya
masih sempat menyambar keras ke wajah sosok berto-
peng. Tubuh itupun nampak sempoyongan.
Namun ia masih saja maju menyerang. Kedua
lengannya bergerak cepat menghantam.
Raden Mas Kinanjar Swantaka bergulingan
menghindarinya.
* * * 6 Asap-asap debu mengepul saat tubuh Raden
Mas Kinanjar Swantaka bergulingan. Namun seran-
gan-serangan sosok bertopeng belum juga berhenti,
manakala lelaki yang bergulingan itu semakin terde-
sak. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk bangkit
berdiri. Ia hanya menangkis serangan-serangan itu
dengan kedua kakinya.
Wintara yang masih terikat menganggap perta-
rungan itu seimbang. Sosok bertopeng maupun Raden
Mas Kinanjar Swantaka sama-sama mengeluarkan il-
mu andalan mereka. Dalam mengeluarkan ilmu-ilmu
pukulannya sosok bertopeng tidak tanggung-tanggung
lagi. Meski dalam keadaan bergulingan di tanah, tubuh Raden Mas Kinanjar
Swantaka dapat menghindar dengan gesit. Dan sungguh di luar dugaan saat ada ke-
renggangan di antara mereka, Raden Mas Kinanjar
Swantaka menghentakkan kedua lengannya. Maka se-
bentar saja ia sudah bersalto di udara. Keadaan seperti itu pula tidak di-sia-
siakan oleh sosok bertopeng. Dengan tiba-tiba tendangannya memutar ke belakang
ke arah tubuh lelaki yang baru menginjak tanah...
"Deees!" Tepat mengenai bagian pinggang. Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik.
Tubuhnya tetap tegar berdiri menanti serangan berikutnya.
Terdengar lagi suara teriakan dari sosok berto-
peng. Tubuhnya melesat menerjang. Sebelah lengan-
nya menyambar lalu sebelah lagi bergantian menye-
rang. Raden Mas Kinanjar Swantaka menangkis berka-
li-kali serangan itu sampai terasa berdenyut seluruh tulang lengannya. Iapun
tidak tinggal diam. Saat-saat ia menangkis ia sempat melancarkan jotosannya.
Meskipun tidak mengenai, cukup membuat sosok ber-
topeng kehilangan kontrol. Maka cepat sekali tubuh
Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar. Telapak tan-
gannya menampar keras ke muka. Lalu dengan bahu
dan bermaksud akan membanting. Namun sosok ber-
topeng keburu me runduk. Raden Mas Kinanjar Swan-
taka tidak dapat mencekal kedua bahu itu. Kesepuluh
jarinya hanya dapat menarik topeng penutup wajah-
nya. Wintara tersentak kaget, apalagi Umbara Ko-
mang. Tampangnya yang blo'on menganga lebar. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka sendiri hampir tak per-
caya dengan penglihatannya. Darahnya seperti terke-
siap melihat sosok berpakaian hitam tanpa topeng.
Berdiri di hadapan dengan rambut yang tergerai ter-
tiup angin. Wajahnya yang anggun jelita menatap jelas ke arahnya.
Mimpikah ia" Kenapa justru lawannya seorang
perempuan cantik. Perempuan itu tidak lain penum-
pang kereta kuda yang di temuinya kemarin siang. As-
taga...! Si cantik yang anggun mempesona kini berha-
dapan dengannya. Perempuan muda itu tersenyum.
Betapa trenyuh hati Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia
masih memandangi tidak percaya. Tahu-tahu saja ga-
dis itu melancarkan serangan paling dahsyat... Der!
Tendangan memutarnya menggedor dada. Lalu me-
nyusul lengannya menghantam tulang tenggorokan...
"Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka jatuh
dengan seketika. Kedua matanya masih memandang
wajah anggun Wintara dan Umbara Komang berontak. Tapi
beberapa bilah pedang telah menempel di leher mereka terlebih dahulu. Mereka
diam kembali. Tak mampu
berbuat apa-apa. Mereka tak dapat menolong Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya memalingkan mu-
ka ia tidak berani menatapnya. Manakala kaki perem-
puan itu telah menginjak tubuh yang masih terlentang menahan sakit.
"Kau sudah kalah, Raden... Itu berarti menetap
tinggal di sini untuk kemudian kukirim ke akherat seperti lainnya!" kata gadis
itu menyeringai. Lalu ia memberi aba-aba pada seluruh anak buahnya. Mereka
cukup mengerti dan patuh. Serempak mereka memba-
wa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka. Wintara dan
Umbara Komang di giring kembali ke dalam ruangan di
mana banyak altar berderet dengan tubuh-tubuh pe-
rempuan bugil di atasnya.
"Untuk yang satu ini... Pisahkan dari mereka!"
Sebelum Raden Mas Kinanjar Swantaka dibawa, gadis
itu memberi perintah. Orang-orang yang membawa
Raden Mas Kinanjar Swantaka membelok ke kiri. Di
sana ada lagi sebuah ruangan. Nampaknya ruangan
itu cukup bersih terawat.
Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit masih berdiri
pada anak tangga yang berderet ke atas. Mereka me-
nunggu kedatangan gadis itu yang melangkah ke arah
mereka. Setelah dekat mereka, gadis itu memeluk Ka-
ma Lodra. "Kau hampir saja celaka, Dewi Rakuntili... Un-
tunglah kau cerdik!" sapa Kama Lodra.
"Dan nampaknya ia terpesona sekali dengan
kecantikanmu itu." katanya lagi.
"Dewi Rakuntili... Aku mengerti akan kekerasan
watak mu. Tapi kuharap kau mau mengerti... Raden
Mas Kinanjar Swantaka adalah musuhku. Ia telah
membunuh anak ku. Aku harus membalaskan dendam
mumpung ia ada di sini...." Ki Rondo yang berdiri di sebelah Kama Lodra angkat
bicara. Mendengar ucapan
itu Dewi Rakuntili cemberut lalu....
"Ucapan Paman seperti seorang pengecut! Ke-
napa Paman tidak melaksanakannya sewaktu dia be-
lum jadi tawananku! Tidak bisa, Paman! Sudah kubi-
lang, Paman hanya seorang tamu di sini dan tidak da-
pat sewenang-wenang kalau masih di mau hormati...!"
Setelah berkata begitu Dewi Rakuntili menanjak ke
atas. Langkah-langkahnya cepat menjajaki tiap-tiap
anak tangga. "Dewi!" Kama Lodra, ayahnya memekik me-


Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manggil. Namun Dewi Rakuntili tidak peduli. Ia mema-
suki ruangan paling atas. Kama Lodra menggelengkan
kepala. "Kalau ia mempertahankan tawanannya, berarti ia mendapatkannya dengan
susah payah juga. Penda-patnya memang benar. Aku tidak bisa menyalahkan
anakku." kata Kama Lodra. Ki Rondo Mayit tertunduk.
Sejak tadi ia memang sudah dibuat malu oleh seorang
gadis yang muda belia.
"Beginikah caranya membantu diriku..." Tidak
sangka kau pandai mendidik anak!" kata Ki Rondo menyindir. Lalu keduanya
melangkah ke atas. Kama
Lodra hanya diam. Mereka berjalan berdampingan. Tak
berapa lama sampailah mereka pada ruangan atas.
Dewi Rakuntili sudah berada di situ. Pakaiannya su-
dah tidak serba hitam lagi. Kini ia mengenakan pa-
kaian sebagaimana layaknya seorang perempuan.
Rambutnya yang tadi kusut kini rapi terjuntai sebatas pinggang. Setelah ia
menatap Ki Rondo Mayit, ia membuang muka lagi.
"Hasil rampokan ada di sana... Rupanya mere-
ka hendak mengantarkan upeti. Isinya pun lumayan,
aku sudah melihatnya." Kata Dewi Rakuntili sikapnya acuh di hadapan cermin.
Kedua tangannya sibuk me-masang anting-anting di kedua daun telinganya. Ia
pun dapat menatap kedua orang itu lewat cermin.
"Ayah pasti tidak percaya kalau kukatakan
uang emas semua." katanya lagi.
"Ayah percaya." jawab Kama Lodra sambil turun duduk bersila di lantai yang
berlapis karpet sulaman indah. Ki Rondo Mayit mengikuti.
"Lalu kenapa ayah nampak murung" Kurang
puaskah atas hasil yang kudapatkan kemarin?" Dewi Rakuntili selesai berdandan.
Ia pun melangkah men-
dekati ke arah mereka yang duduk bersila saling ber-
hadapan. Kama Lodra tersenyum saat putrinya yang
tangguh itu duduk di sebelahnya. Tercium aroma yang
sangat harum. "Kau telah membuat Ki Rondo Mayit kehilangan
muka, Anakku... Aku yang merasa tidak enak. Apalah
artinya segelintir nyawa untukmu. Serahkan saja Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka pada Ki Rondo Mayit. Di
tanganmu atau di tangan Ki Rondo Mayit akan sama
saja hasilnya. Laki-laki itu pasti mati...." Suara Kama Lodra datar. Mata Dewi
Rakuntili membelalak.
"Itukah yang membuat ayah nampak murung
hari ini" Kalau hanya untuk menguasai tanah Rogo-
jembangan sekarang sudah sangat mudah. Raden Mas
Kinanjar Swantaka sudah berada di sini. Apa lagi yang menjadi halangan?" jawab
Dewi Rakuntili.
"Ini bukan soal menguasai daerah, Dewi. Tapi
soal dendam!" Kama Lodra mendelik.
"Apa ayah pikir Ki Rondo Mayit mampu meng-
hadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka?" Mendengar itu Ki Rondo Mayit hampir bangkit
dari duduknya. Tapi ia cepat menguasai diri. Ia berusaha tetap tenang sekalipun
ucapan itu sangat menyakitkan. Dewi Rakuntili
tersenyum sinis. Kama Lodra menghela nafas.
"Berfikirlah yang matang, Anakku... Ayah per-
nah berhutang budi pada Ki Rondo Mayit. Sekaranglah
saatnya untuk membalasnya...." kata Kama Lodra.
Dewi Rakuntili mengernyitkan alis seperti tidak men-
gerti dengan apa yang diucapkan ayahnya.
"Hutang budi..." Hutang budi apa" Kupikir se-
lama ini Ayah tidak pernah berhutang budi terhadap
siapapun...."
"Ada anakku! Dulu sewaktu ibumu hendak me-
lahirkan kau, aku titipkan ibumu ke pada Ki Rondo
Mayit agar bisa mengurusnya.... Sementara itu aku
melanglang buana untuk mencari daerah kekuasaan...
Aku sudah bayangkan betapa repotnya Ki Rondo Mayit
mengurus ibumu saat itu dan aku menganggap tidak
akan pernah melupakan budinya...." tutur Kama Lodra. Dewi Rakuntili diam. Dalam
pikirannya berkeca-
muk selaksa uneg-unegnya yang tak terpecahkan. Ke-
dua bola matanya menatap nanar ke arah laki-laki be-
rambut putih tak terurus. Lalu ia bangkit berdiri menunjukkan wataknya yang
keras. "Baik. Sebagai balas budi aku serahkan Raden
Mas Kinanjar Swantaka padamu! Tapi dengan satu
syarat, kau harus membunuh laki-laki itu di hadapan-
ku. Itupun setelah ia sembuh dari luka-lukanya... Ku-rasa itu cukup adil!"
Setelah bicara lantang begitu ia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar
itu berderak menutup.
* * * 7 Dewi Rakuntili melangkah menuju sebuah
ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka terku-
rung. Ia membawa sebuah cawan dari batok kelapa
yang telah hitam mengkilat. Dalam batok itu terisi penuh cairan berwarna
kehitaman. Melihat pintu terkuak lebar, Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ke
arah pintu. Ia melihat gadis yang telah menghajarnya sam-
pai luka-luka begini. Pandangannya tidak lepas mena-
tap wajah yang demikian anggunnya. Gadis itu mema-
suki ruangan. Pakaiannya yang gemerlapan membuat
gadis itu seperti lemah lembut. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia gadis yang sangat
sadis dan liar. Semuanya
tidak nampak pada dirinya. Walaupun baru saja ia
menghadapi seorang gadis berilmu tinggi yang nyaris
merenggut nyawanya. Gadis itu menatap tajam menye-
rahkan batok hitam berkilat. Mereka saling tatap. Seperti ada getaran....
"Borehkan seluruh luka-lukamu dengan ini...."
"Aneh! Kenapa tidak dengan mata pedang kau
mengobati luka-luka ini. Bukankah kau menginginkan
nyawaku...." Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak mau menerima batok kelapa itu.
Dewi Rakuntili tidak me-maksa, ia meletakkannya di atas meja.
"Bagianmu memang harus mati. Tapi jangan
harap kau akan mendapat kematian dengan mudah.
Sekarang kau sudah mengenalku, bukan" Bagaimana
menurut pendapatmu?"
"Bagiku kau tidak lebih iblis jahanam berkedok
bidadari. Tapi aku yakin bahwa kau masih punya pe-
rasaan. Terbukti sekarang kau memberi aku ramuan
obat untuk luka-lukaku."
"Lalu kau pikir aku berbaik hati terhadapmu..."
Hih! Lucu...! Sekalipun kau sembuh dari luka-lukamu
mana mungkin aku membiarkan kau pergi begitu saja.
Itu perbuatan tolol! Kalau kau lepas dari sini, tentunya kau akan datang kembali
bersama pasukanmu ke ma-ri...!" "Sudah tahu akan bahayanya, kenapa tidak
langsung membunuhku saja!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat.
"Sekarang jangan banyak tanya! Borehi saja lu-
ka-lukamu itu. Nanti setelah kau sembuh kau akan
tahu sendiri...." Dewi Rakuntili bicara pelan.
"Sama sekali tak akan kusentuh ramuan obat
itu! Biar aku cepat-cepat mati!"
"Keras kepala...! Heaaat...!" Tiba-tiba saja Dewi Rakuntili menghantam bagian
belakang kepala...
"Deees!" Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka ambruk tak sadarkan diri di atas
tumpukan rumput kering sebagai alas tidur. Dewi Rakuntili membuka baju yang
dikenakan laki-laki yang terbaring pingsan. Cepat pula ia memborehi tubuh kekar
Raden Mas Kinanjar Swantaka dengan cairan kental kehitaman. Telapak tangan-
nya yang halus itu menyusuri seluruh tubuh yang ter-
baring itu. Setelah selesai ia sengaja tidak menutup baju itu kembali. Lalu ia
pun keluar dan mengunci
pintu ruangan. la tidak langsung melangkah, Dewi Ra-
kuntili berdiri di balik pintu itu dengan kedua lengan merapat di dada.
"Kau jangan pura-pura pingsan, Raden.., Kan-
cingkan kembali bajumu itu, nanti masuk angin...!"
Dewi Rakuntili membentak. Di dalam ruangan Raden
Mas Kinanjar Swantaka memicingkan matanya. Lalu....
"Aku pura-pura pingsan, karena ingin mem-
buktikan bahwa kau gadis yang lembut! Ternyata du-
gaanku semua benar! Kalau boleh ku tahu, siapa na-
mamu...!" Terdengar jawaban dari dalam ruangan itu.
Dewi Rakuntili tidak menjawab. Ia tertunduk menden-
gar ucapan itu. Kemudian ia melangkah meninggalkan
ruangan yang mengurung Raden Mas Kinanjar Swan-
taka. Di ruangan bawah semua anak buahnya sudah
lama menunggu. Mereka semua menunduk hormat ke-
tika Dewi Rakuntili melewati. Langkahnya semakin te-
nang saat ia mendekati pintu ruangan. Ia dapat meli-
hat keadaan di dalam ruangan bawah melalui lubang
berterali besi pada pintu. Wintara nampak duduk di
lantai. Umbara Komang berjalan berkeliling menatap
perempuan-perempuan yang tidak pernah berhenti
merintih di atas altar-altar.
"Langit mau runtuh! Bumi bakal goncang!
Sayang aku tidak dapat membebaskan bidadari-
bidadari yang tertawan ini... Menyebalkan !" Umbara Komang menggerutu.
Bagi Wintara ini merupakan suatu pengalaman
pahit. Selama ia mendapatkan julukan Pendekar Kela-
na Sakti baru kali ini merasa terkurung begini. Apalagi harus bercampur dengan
para tawanan wanita bugil.
Tidak adakah ruangan yang lebih pantas untuk mere-
ka berdua..."
Wintara mengawasi setiap sudut ruangan itu.
Ia tidak menyadari kalau Dewi Rakuntili mengawasi
pula dari lubang pengintai pada pintu. Mereka masih
nampak terikat dengan tambang sebesar ibu jari melilit di sekujur tubuh.
* * * Menjelang gelap kedua orang dalam ruangan
itu nampak duduk bersandar pada dinding. Umbara
Komang tidak bisa memejamkan matanya, karena se-
dari tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi.
Nampak pula ia menggaruk-garuk perutnya. Tiba-tiba
saja Wintara bangkit berdiri. Ia melangkah menuju
pintu yang terkunci dari luar. Dari lubang pengintai ia dapat melihat beberapa
orang berjaga di luar. Dan di halaman yang diterangi api unggun berkobar-kobar
nampak pula puluhan orang berpesta pora. Kemudian
matanya mengarah pada Umbara Komang. Ia seperti
duduk serba salah.
"Kita harus melakukan sesuatu, Umbara Ko-
mang... Cepat berbaring." bisik Wintara sambil melangkah mendekati. Umbara
Komang dapat menden-
gar, namun ia tidak bereaksi.
"Sebentar lagi mereka datang ke mari untuk
mengantarkan makanan... Cepat berbaring." bisik Win-
tara lagi. Kali ini ia harus mendorong tubuh sahabatnya sampai terguling.
"Diam dan jangan mengeluarkan suara...." Umbara Komang masih belum mengerti.
Wintara ikut ber-
baring di belakangnya. Mulutnya mengarah pada ika-
tan yang ada di belakang Umbara Komang. Gigi-giginya berusaha membuka ikatan-
ikatan itu. Memang tidak
gampang melakukannya. Apalagi ikatan itu demikian
kuat. Namun berkat usaha yang gigih Wintara berhasil juga membuka ikatan-ikatan
itu. Tulang rahangnya terasa kaku. Umbara Komang baru mengerti. Ia pun
bangkit melepaskan diri dari lilitan tambang. Lalu mereka bergantian melepaskan
ikatan-ikatan itu.
"Cepat...! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam
bahaya...." Wintara tidak sabar. Dari luar ruangan terdengar langkah beberapa
orang mendekati ruangan di
mana Wintara dan Umbara Komang berusaha membu-
ka tambang-tambang yang membelit sekujur tubuh
mereka. Terdengar pula langkah-langkah itu berhenti
di depan pintu, lalu suara gembok yang gemeretak
berbarengan dengan itu pintupun membuka lebar.
Nampaklah tiga orang memasuki ruangan. Dua orang
masuk dengan membawa dua buah nampan berisi
makanan. Seorang lagi berkacak pinggang sambil me-
mainkan anak kunci.
Ruangan itu tetap sepi. Tubuh-tubuh bugil di
atas tiap-tiap altar nampak lemas. Ada yang sudah
membiru, mungkin mati. Wintara dan Umbara Komang
duduk seolah-olah tenang bersandar pada dinding.
Umbara Komang cengengesan. Tapi ketika kedua
orang itu merunduk meletakkan makan di atas lantai,
tahu-tahu... "Bleduk...! Bleduk!" Kedua kepala mereka beradu dengan lutut Umbara
Komang. Kedua orang
itupun langsung menggelosoh pingsan dengan masing-
masing kepala retak. Seorang lagi yang tadi asyik me-
mainkan anak kunci, membelalakkan mata. Ia berjing-
kat langsung kabur. Mulutnya hampir membuka, tapi
sebelum ia berteriak.... Sebuah pukulan menghantam
di belakang kepalanya... "Deer!" Orang itu langsung mati. "Ambil kunci-
kuncinya...." teriak Wintara. Ternyata Wintara belum terbebas dari ikatan-ikatan
tam- bangnya. Tanpa buang waktu Umbara Komang meraih
kunci-kunci yang berkumpul jadi satu itu di lantai.
Sebelum Umbara Komang menyerahkan kunci-kunci
itu, Wintara berjalan mendekat. Ia membalikkan tu-
buhnya di hadapan Umbara Komang. Laki-laki berpe-
nyakit saraf itu mengerti maksudnya. Maka ia menggi-
git gantungan kunci-kunci itu. Kedua tangannya sibuk membuka tambang-tambang
pengikat yang membelit
di tubuh Wintara. Sekarang Umbara Komang dapat
membuka ikatan-ikatan itu dengan cepat. Setelah Win-
tara terbebas ia cepat menyambar gantungan kunci
dari mulut lelaki itu.
Wintara mendekati salah satu perempuan bugil
yang nampak merintih-rintih terlentang di atas altar.
Dan ia berusaha membuka gembok yang mengunci
rantai-rantai itu.
"Buka juga gembok-gembok yang membelenggu
teman-temanmu, Ingat jangan ribut! Di sana ada ma-
kanan." kata Wintara setelah membuka belenggu rantai salah seorang tawanan
perempuan. Telunjuknya
mengarah pada dua buah nampan berisi makanan
yang tergeletak di atas lantai. Wanita itu mengangguk.
Iapun menerima kunci dan langsung bangkit menuju
ke sebelah altar. Iapun mulai membuka gembok yang
membelenggu teman-teman senasibnya.
"Kalian tetap diam di sini. Sampai aku kembali
baru aku membawa kalian ke luar." kata Wintara


Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperingatkan. Umbara Komang berjaga-jaga di ba-
lik pintu. Di luar halaman memang banyak para pe-
rampok yang tengah berpesta pora. Dan sekeliling
tempat itu cukup terang.
Wintara menutup pintu tahanan itu dan mem-
biarkan para perempuan-perempuan bugil terkurung
di dalamnya. Lalu keduanya berjalan perlahan-lahan
di samping dinding. Langkah mereka hati-hati sekali.
Dan hampir tidak mengeluarkan suara.
* * * 8 Di depan halaman kuil itu terang benderang
oleh api unggun yang meletup-letup berkobar. Begitu juga dengan suara-suara tawa
mereka. Seluruh halaman jadi riuh. Ada juga beberapa wanita penghibur
yang menjadi sasaran utama mereka. Yang lain me-
nyantap daging panggang atau menenggak arak. Obro-
lan mereka simpang siur tidak jelas terdengar.
Sementara itu dua sosok terus mengendap-
endap berjalan menyusuri dinding. Mereka menuju se-
buah ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka
tersekap. Untunglah tadi siang Wintara sempat melihat di mana Raden Mas Kinanjar
Swantaka dipisahkan.
Jadi mereka tidak perlu lagi susah-sudah
mencari. Mereka cepat menyelinap saat mende-
kati ruangan itu. Dua orang penjaga nampak berdiri di depan pintu ruangan.
Senjata-senjata mereka nampak
berkilat tertimpa sinar api. Begitu juga dengan kunci yang tergantung di
pinggang salah seorang itu. Dari
balik tembok Wintara sudah yakin pasti pintu ruangan terkunci. Manakala dua
penjaga itu terus mengawasi
setiap pelosok. Keduanya berjalan hilir mudik. Telapak tangan mereka siap
menggenggam gagang pedang.
Tidak ada cara lain. Wintara maupun Umbara
Komang harus menyingkirkan mereka. Maka dengan
tiba-tiba Wintara menghantam punggung Umbara Ko-
mang. Begitu kaget Umbara Komang memekik terta-
han. Tapi suara itu dapat didengar oleh dua penjaga
tawanan. "Hei! Siapa itu...!" Salah seorang dari mereka membentak. Ia mulai curiga dan
melangkah ke balik
dinding. Satu orang lagi mengikuti di belakang.
"Ah, paling-paling tikus berkelahi berebut
bangkai!" Orang yang berjalan belakangan berjalan santai. Tapi ia sempat
terbengong saat melihat temannya hilang be gitu cepat menyelinap ke balik
tembok. Rupanya Wintara cepat menarik dan memuntir leher
seorang penjaga. Umbara Komang siap menyambut
seorang lagi. Begitu kepala seorang penjaga itu me-
nyembul dari ujung tembok, ia melihat sosok teman-
nya sudah terlentang kaku, dan tahu-tahu... "Deeeos!"
Tinju Umbara Komang bersarang di tenggorokan.
Orang itupun ambruk tak sadarkan diri karena tulang
lehernya remuk!
Sigap sekali Wintara merampas kunci dari
pinggang orang yang sudah tak sadarkan diri itu. Lalu dengan hati-hati keduanya
berlari ke arah pintu.
"Raden...." Wintara berbisik sambil mengetuk pintu besi. Umbara Komang berjaga-
jaga mengawasi orang-orang yang berkumpul di halaman.
"Siapa...!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil bangkit dari tumpukan
jerami kering sebagai
alas tidur. Ia melangkah ke balik pintu membalas
mengetuk. "Aku! Wintara dan Umbara Komang! Ber-
siap-siaplah kita harus lari malam ini Wintara menyahut. Tangannya cepat membuka
gembok. Umbara Ko-
mang melihat beberapa orang akan melewati tempat
itu jadi serba salah!
"Waaaaah...! Siluman-siluman jahat keburu da-
tang...! Wei! Wei! Sana pergi...! Pergi...!" Umbara Komang teriak-teriak.
Suaranya kencang sekali. Keempat orang yang baru datang itu langsung menoleh.
Dan mereka pun segera berlarian menuju ke ruang taha-
nan. Semuanya mencabut senjata. Wintara belum juga
membuka gembok, karena kunci itu agak kaget sedikit.
"Ada orang...! Ada orang...!" Mereka berteriak. Orang-orang yang berada di
halaman kuil menoleh ke arah teriakan. Maka mereka semua bangkit. Mereka melihat
empat orang temannya menghadapi seorang berilmu
tinggi di depan ruang tawanan. Wintara masih juga
mengutak-atik gembok. Umbara Komang sigap me-
nyambut keempat penyerangnya yang bersenjata.
Pedang maupun golok berkelebat ke sana ke
mari ke setiap Umbara Komang menghindar. Kedua
lengannya berputar-putar menangkis serangan-
serangan mereka. Salah satu dari mereka berlarian ke arah Wintara yang masih
sibuk. Orang itu mengangkat
pedangnya siap mengarah ke punggung. Umbara Ko-
mang yang sempat melihat itu langsung melompat dan
menendang orang itu.... "Deeees!" Sampai terpental.
Saat itupun Wintara sudah berhasil membuka pintu.
Dan orang yang terpental itu langsung masuk ke da-
lam menimpa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman
meluruk menerjang ke arah itu. Senjata-senjata mere-
ka mencereng siap men jemput maut. Umbara Komang
mempercepat gerakannya melancarkan serangan ke
arah tiga orang itu. Kakinya menendang keras...
"Deees!" Gerakan tubuhnya lentur menghindari babatan pedang. Lalu tangannya
bergerak ke atas meng-
hantam kepala. Wintara juga melancarkan serangan menjatuh-
kan satu demi satu orang-orang yang mulai berdatan-
gan menyerbu. Raden Mas Kinanjar Swantaka keluar
dari ruangan. Ia melihat betapa semrawut pemandan-
gan di hadapannya. Ia pun melihat Wintara bersama
Umbara Komang dengan gigih menghadapi para pe-
rampok itu. "Raden...! Cepat tinggalkan tempat ini! Biar
kami berdua yang menghadapi mereka...!" teriak Wintara. Lengannya menghantam
batok kepala salah seo-
rang musuhnya "Cepat, Raden...!" Wintara berteriak lagi, kali ini tendangannya
menjatuhkan dua
orang sekaligus. Umbara Komang tidak kalah
gesit! Orang-orang yang berdatangan itu dibuatnya
bergelimpangan. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka
masih tetap diam di tengah-tengah pintu. Bagaimana
ia harus pergi dari situ" Semua jalannya tertutup oleh pertempuran mereka.
Sebenarnya ia pun sudah gatal
ingin ikut membantu menghabisi para perampok itu.
Namun setiap orang yang berusaha mendekatinya,
Wintara lebih dulu memberinya sebuah hantaman. Ti-
dak memberi kesempatan untuk Raden Mas Kinanjar
Swantaka menunjukkan kebolehannya.
"Hematlah tenagamu, Raden. Dan cepat pergi
dari sini!" Wintara bergeser hampir saja kepalanya ter-belah oleh babatan
pedang, tapi ia cepat membalas serangan itu dengan tendangan. Dalam pada itu,
Raden Mas Kinanjar Swantaka menerjang menerobos gempu-
ran itu. Semua yang dikatakan Wintara memang be-
nar. Ia mesti pergi dari situ. Dan ia percaya kalau Wintara bersama Umbara
Komang dapat mengatasi seran-
gan-serangan itu, meskipun jumlah mereka lebih ba-
nyak dan tak dapat dihitung dengan jari.
Untuk menerobos ke luar tidaklah mudah. Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka harus menerjang sambil
melancarkan serangan. Dari tangan sampai kaki terus
bergerak menyingkirkan orang-orang yang menghalan-
gi jalan. Ia tidak perduli lagi senjata-senjata mereka berkelebat ke sana ke
mari memburunya. Menghadapi
dengan tangan kosong amatlah berbahaya. Maka se-
waktu Raden Mas Kinanjar Swantaka berhasil me-
nangkis babatan pedang, ia cepat meraih pedang itu
dari tangan lawannya.
Maka seleret sinar putih berputar berkilat men-
jatuhkan beberapa orang dengan bergelimangan darah.
Teriak kesakitan mereka menggelegar. Begitu juga te-
riakan-teriakan Wintara dan Umbara Komang yang
berbarengan dengan gerakan-gerakan mereka di saat
melancarkan serangan. Mereka berdua sama sekali ti-
dak merasa kesulitan menghadapi para pengeroyok
yang demikian banyaknya. Setiap babatan senjata me-
reka dapat dengan mudah dihindari.
Benturan-benturan senjata terdengar nyaring
di saat Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar pe-
dangnya melindungi diri. Puluhan orang yang membu-
runya dapat terdorong menyingkir. Ada juga yang ter-
guling dan terkena pedang teman sendiri. Sampai
betul-betul di hadapannya tidak ada lagi yang
menghalangi. Pada gerakan yang terakhir Raden Mas
Kinanjar Swantaka memutar pedangnya ke belakang...
"Breeeeert!" Lima orang yang masih mengejarnya di belakang ambruk kelojotan
dengan masing-masing perut
mereka robek! Setelah itupun Raden Mas Kinanjar Swantaka
melesat melarikan diri dari kepungan orang-orang
penghuni kuil. Namun orang-orang itu masih saja te-
Pedang Kunang Kunang 11 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bentrok Para Pendekar 8
^