Pencarian

Jago Jago Rogo Jembangan 2

Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan Bagian 2


Dan suasa- na kampung itu kembali sunyi.
"Jun, kau lihat serigala-serigala di atas bukit sana" Aneh ya! Biasanya kalau
terang bulan begini
mereka tidak menampakkan diri... Paling-paling hanya terdengar lolongannya
saja." kata salah seorang peronda itu. "Entahlah! Mungkin mereka kelaparan...
Hati-hati saja terhadap hewan peliharaan kita. Kalau sam-
pai mereka menyerbu ke sini repot!"
"Jangan takut, Jun... Semua serigala takut ter-
hadap api..." Orang itu melangkah ke arah api unggun yang meletup-letup di
samping gubuk ronda. Ia menambahkan beberapa batang ranting. Api itu menyala
bertambah besar menerangi sekitar gubuk.
"Sekalian kau bakar ini, Pri... Dari tadi perutku keroncongan." kata orang yang
berkerudung kain sa-
rung sambil melemparkan beberapa penggal singkong
yang masih mentah berlapis tanah. Orang yang berada
di dekat api unggun langsung memasukkan singkong-
singkong itu ke dalam bara api. "Kau dengar berita tadi pagi" Apa betul Raden
Mas Kinanjar Swantaka akan
membangun pertahanan darurat di kampung ini?"
"Itukan baru rencana! Mana mau Raden Mas
Kinanjar Swantaka berdiam di desa kotor seperti ini.
Enakan juga di pesanggrahan!"
"Bisa aja, Jun! Raden Mas Kinanjar Swantaka
itu masih bujangan! Siapa tahu ia akan mengambil sa-
lah satu kembang di kampung ini. Di sinikan banyak
gadis-gadis cantik."
"Sttt, Pri... Ada orang!" Sesaat percakapan mereka berhenti... Lolongan serigala
terdengar lagi. Kali ini saling bersahutan. Orang yang berada dekat api
unggun memicingkan mata memandang jauh ke arah
jalanan. Nampak jelas empat sosok berjalan beriringan menyusuri jalan itu.
Keempatnya berjalan tenang diterangi sinar rembulan. Hanya saja wajah mereka
tidak nampak jelas. "Siapa mereka?" bisik orang yang dekat api unggun mulai berdiri mengawasi
keempat orang itu.
Orang yang duduk di dalam gubuk ronda mengangkat
bahu. Ia pun ikut menatap empat orang yang berjalan
makin dekat ke arah mereka. Mereka mencium udara
berbau busuk. Dua orang peronda berdiri menanti kedatangan
mereka. Bau busuk makin menyengat ketika keempat
orang itu berjalan makin dekat ke arah kedua peronda.
Keduanya sempat terbelalak saat jarak mereka dalam
beberapa tombak. Keempat orang itu menatap liar ba-
gai serigala-serigala liar. Dua dari keempat orang itu melangkah ke depan dengan
kaku. Maka wajah yang
amat menyeramkan itu nampak jelas terlihat. Api un-
ggun menerangi mereka.
Para peronda malam itu tidak sempat berbalik
mundur. Dua sosok menyeramkan lebih dulu mener-
jang. Kuku-kukunya yang runcing bagai mata jarum
mencengkeram erat di tenggorokan mereka. Mereka
pun menjerit-jerit sambil berusaha beronta dari terka-man sosok yang menyebarkan
bau busuk. Jeritan me-
reka terhenti saat gigi-gigi hitam mengoyak robek perut.
Lolong serigala meraung mengerikan mengisi
kesunyian malam itu. Lingkaran bulan yang mengam-
bang di balik bukit mendadak gelap tertutup awan hi-
tam yang bergumpal. Sinar terang api unggun mene-
rangi dua sosok menyeramkan melahap dengan rakus
isi dari perut yang terkoyak itu. Manakala dua sosok tubuh lain tetap berdiri
menyaksikan dengan puas.
Mereka tidak lain Bala Tlenges dan Wadak Keling!
"Suiiiiiit" Wadak Keling memberi aba-aba dengan siulan nyaring. Tubuhnya yang
berkulit sangat hitam hampir tidak kelihatan. Bala Tlenges melangkah
meninggalkan mereka. Wadak Keling menyusul. Begitu
juga dengan kedua mayat hidup yang setelah menden-
gar siulan nyaring meninggalkan dua sosok tubuh
yang terkapar dengan mata melotot. Keduanya melom-
pat-lompat menyusul langkah-langkah Bala Tlenges
dan Wadak Keling berjalan di depan.
* ** Raden Mas Kinanjar Swantaka memijit-mijit
keningnya. Beberapa orang yang dalam tenda itu
memperhatikan. Tidak satu pun di antara orang-orang
itu berani mengeluarkan suara. Rata-rata mereka se-
mua menundukkan kepala. Raden Mas Kinanjar Swan-
taka menghela nafas. Lalu ia bangkit berdiri. Langkahnya yang cepat membawa
dirinya ke luar dari tenda.
Di luar tenda nampak puluhan orang tengah
mendirikan pagar dari bambu yang mengelilingi lapan-
gan luas. Nampaknya hampir selesai. Pintu pagar yang setinggi tiga tombak mulai
dipasang. Raden Mas Kinanjar Swantaka melirik ke tenda, lalu....
"Kalian ke mari semua!" Maka orang-orang yang berada di dalam tenda ke luar
semua. Mereka berdiri
berderet di belakang Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Mereka berjumlah delapan orang. Dua di antaranya
wanita kembar. "Berpencar menjadi empat bagian dan cari
sampai dapat Bala Tlenges!" ujar Raden Mas Kinanjar Swantaka. Kemudian ia
berbalik menghadapi mereka.
"Hamba rasa kematian dua orang peronda pada
malam itu bukan dilakukan oleh Bala Tlenges. Hamba
mendengar selentingan dari penduduk setempat, bah-
wa pada malam itu berdatangan segerombolan serigala
dari bukit tandus." kata salah seorang dari wanita kembar yang berderet pada
deretan ketiga.
"Jadi kalian berpendapat kedua peronda itu
diserang oleh serombongan srigala" Begitu..." Kalau
memang serigala yang menyerang mereka. Kedua pe-
ronda malam sudah tinggal tulang belulang...! Apa kalian masih ingat bagaimana
keadaan mayat ketiga te-
man kalian" Mogeni Kalpa" Dan dua orang teman ka-
lian lainnya... Luka-luka mereka sama! Pada leher mereka terdapat cakaran-
cakaran yang merobek kulit
tenggorokan!"
Kedelapan orang itu diam. Kata-kata Ra-den
Mas Kinanjar Swantaka memang masuk akal. Yang ja-
di pertanyaan pada diri mereka, mengapa Bala Tlenges jadi demikian sadisnya"
Sebelumnya ia memang sering
membantai orang-orang kampung juga orang-orang
pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tapi Bala
Tlenges tidak pernah melakukan hal yang tidak wajar!
Mogeni Kalpa bersama dua orang sahabatnya tergolong
orang paling tinggi ilmunya. Mereka masih saja bisa
tewas secara keji di tangan Bala Tlenges.
"Aku cukup menghargai pendapat kalian. Tapi
aku lebih menghargai lagi bila bisa membagi tugas dan dapat menyeret ke mari
Bala Tlenges hidup-hidup atau mati!" "Kalau begitu kami 'Cambuk Seriti Kembar'
Akan melacak ke Utara!" kata wanita kembar sembari mengacungkan cambuknya yang
melingkar bagai
ular... "Siapa pun yang ikut denganku terserah!
Aku Langkung Daro mengambil jalan ke Ti-
mur!" kata lelaki yang bersenjatakan sederetan pisau-pisau kecil menyerong di
dadanya. "Menurut hematku, Tangan Besi akan melang-
kah ke Tenggara! Siapa yang mau ikut denganku, Bala
Tlenges bakal hancur kepalanya!" Orang yang berdiri paling ujung menunjukkan
tinjunya tak mau kalah.
"Aku yang hanya mengandalkan gelang-gelang
ini, tak punya pilihan... Akan ku lacak ke mana pun
sampai Bala Tlenges ku dapat!" Gelang-gelang berge-merincingan di kedua lengan
lelaki bertubuh kekar telanjang dada. Raden Mas Kinanjar Swantaka menga-
mati kedelapan orang yang berdiri berderet di hada-
pannya. Lalu pandangannya beralih kepada puluhan
orang yang tengah menyelesaikan pagar benteng me-
lingkar tanah lapangan itu.
"Aku beri waktu tiga hari... Berhasil atau tidak,
kalian harus kembali ke sini. Aku tidak ingin gagal seperti Mogeni Kalpa yang
terlalu ceroboh."
Tanpa diperintah kapan mereka harus berang-
kat, kedelapan orang-orang pilihan Raden Mas Kinan-
jar Swantaka berpencar menjadi empat bagian. Sebe-
lum mereka mengambil kuda-kuda yang ditambatkan
di kandang, mereka menunjukkan sikap hormat ter-
hadap lelaki yang cukup berpengaruh itu. Lalu dua-
dua mereka berjalan ke kandang memilih kuda. Seriti
Kembar yang bersenjatakan cambuk telah menda-
patkan kuda pilihannya. Dan mereka berangkat lebih
dulu. * * * 10 Daerah yang dilalui wanita kembar itu menuju
ke perkampungan. Namun sebelum mencapai perkam-
pungan tersebut mereka harus menembus hutan yang
sangat lebat. Hutan itu membatasi tanah lapangan di
mana Raden Mas Kinanjar Swantaka membuat daerah
pertahanan bersama puluhan orang prajuritnya. Mere-
ka sempat pula menoleh ke belakang saat menembus
hutan. Yang mereka lihat hanyalah sederetan pagar
bambu yang sangat tinggi memanjang di seputar ta-
mah lapang. Setelah menghela kuda-kudanya mereka
hilang ditelan kegelapan dalamnya hutan.
Yang terdengar dari luar hanyalah geletar-
geletar cambuk menghela laju kudanya. Bersamaan
dengan itu menyusul lagi beberapa orang menunggangi
kuda. Sebelum beberapa orang itu menembus hutan,
mereka berpisah dua-dua. Langkung Daro bersama
seorang temannya menuju ke arah Timur, Tangan Besi
pun berangkat berdua menerobos hutan mengambil ja-
lan ke Tenggara. Yang paling terakhir, seorang lelaki bersenjatakan gelang-
gelang di kedua lengannya. Ia
pun bersama seorang teman. Mereka berdua menung-
gangi kudanya perlahan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka memandangi
mereka dari kejauhan. Ia belum beranjak saat orang-
orang pilihannya hilang dari pandangan mata. Piki-
rannya masih membayang pada kedelapan wajah
orang-orang pilihannya. Ia berharap sekali kedelapan orang itu berhasil menyeret
Bala Tlenges ke bawah kakinya. Yang akan menjatuhkan hukuman mati atas
perbuatan terkutuk itu. Raden Mas Kinanjar Swantaka
melangkah masuk ke dalam benteng pertahanan. Pu-
luhan prajurit masih sibuk dengan pekerjaannya.
Dua wanita kembar mencambuki kudanya
kuat-kuat, maka kuda-kuda mereka berlari kencang
menerobos lebatnya semak dan pohon-pohon besar.
Cara mengemudikan kuda mereka memang aneh! Pa-
dahal kuda-kuda itu cukup dengan dihela saja sudah
dapat berlari kencang. Tapi mereka selalu mencambu-
ki. Kuda-kuda itu terus meringkik walaupun berlari
kencang. Sesekali juga mereka menemukan beberapa
gubuk terpencil dalam hutan itu. Tapi mereka tidak
perduli. Sekalipun beberapa penghuninya nampak ke-
luar gubuk memperhatikan mereka. Setelah melewati
gubuk-gubuk itu, barulah mereka menemukan jalan
yang melintas keluar dari hutan. Dengan melintasi jalan itu mereka tidak lagi
mendapatkan halangan-
halangan seperti dalam hutan tadi. Mereka menyusuri
jalan itu terus. Udara segar pun mulai berhembus me-
nerpa kulit mereka.
Dari kejauhan mereka sudah melihat titik-titik
berwarna warni rumah para penduduk. Rumah-rumah
penduduk nampak berderet. Membentuk suatu per-
kampungan. Selama melintasi jalan itu mereka sering
berpapasan dengan orang-orang yang menuju ke desa
tersebut. Kebanyakan dari orang-orang yang mereka
jumpai para pedagang. Sudah tentu mereka berdua
akan singgah di situ. Mengingat hari hampir gelap,
mungkin juga mereka akan mencari tempat pengina-
pan. "Seriti Wuni, kita tidak mungkin dapat meneruskan perjalanan. Aku rasa di
desa itu ada tempat
untuk kita bermalam... Paling tidak sebuah pengina-
pan tentunya...!"
"Aku ini tidak gila, Seriti Kuni. Aku pun sudah merasa lelah sejak tadi... Aku
lapar sekali..." Wanita yang satu ini memacu kudanya lebih cepat. Kembarannya
mengikuti. Asap debu mengepul saat kuda-
kuda mereka saling susul menyusul. Keduanya terta-
wa cekikikan. Ketika mereka mendekati mulut desa.
Kuda-kuda mereka berjalan perlahan beriringan. Desa
itu nampak ramai, tiap-tiap di depan rumah selalu ada orang yang tengah duduk-
duduk berbincang. Tidak segan-segan lagi kedua wanita kembar itu memasuki de-
sa tersebut. * ** Anak muda yang mengenakan pakaian bulu bi-
natang ini merasa risih saat semua mata memandang
ke arahnya. Di antara mereka ada juga yang menerta-
wakannya. Tapi Wintara tetap acuh. Tidak perduli
dengan orang-orang yang memandang lucu ke arah-
nya. Wintara sendiri merasa kalau orang-orang itu bukan menertawakan dirinya.
Tapi tertuju pada lelaki yang berjalan di sebe-
lahnya. Lelaki itu memang bertingkah aneh. Ia selalu menunjuk-nunjuk setiap
orang yang dijumpainya.
Wintara sudah melarang, namun lelaki itu tetap saja
bertingkah aneh.
Sudah jelas orang-orang itu menganggap lelaki
yang berjalan bersama Wintara lelaki berpenyakit sarap! Wintara yang berjalan di
sebelahnya sempat ter-
tawa melihat cara berjalan sahabatnya.
"Dewa... Hati-hati di sini banyak siluman berkeliaran! Aku khawatir mereka akan
menyerang kita...!"
Umbara Komang bertingkah bagai seorang pendekar
yang sedang waspada.
"Mereka bukan siluman, sobat. Mereka cuma
manusia seperti kita! Bersikaplah yang wajar... Coba lihat! Sedari tadi mereka


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan kamu." jawab Wintara. Umbara Komang cemberut. Sepertinya ia tidak
senang dengan ucapan Wintara.
"Apa" Mereka memperhatikan aku... Wuaaah!
Jangan-jangan mereka mau menerkam aku...! Hiiiiy!
Pasti mereka mata-mata siluman hitam!" Umbara Komang memeluk tubuh Wintara.
"Tenang... Mereka tidak akan berbuat apa-apa!"
kata Wintara sambil melangkah ke arah sebuah pohon
besar yang ada di sudut desa. Pohon itu cukup rin-
dang untuk berteduh. Setibanya pada pohon itu Win-
tara langsung duduk. Umbara Komang berdiri menga-
wasi rumah-rumah yang berderet di hadapannya.
"Duduklah di sini, sobat... Kita tidak pantas
memasuki rumah-rumah penginapan itu! Tempat kita
cukup di sini... Mudah-mudahan saja tidak turun hu-
jan." kata Wintara lagi sambil menarik lengan Umbara Komang sampai terjatuh
duduk di sampingnya. mata
Umbara Komang masih tertuju pada beberapa rumah
penginapan yang nampak ramai dikunjungi orang.
"Sssst! Aku yakin yang berderet di depan sana
pasti istana para siluman! Lihat, para siluman jahat mulai berdatangan. Aku akan
ke sana!" Umbara Komang bangkit berdiri, tapi Wintara cepat menahannya.
"Diamlah di sini, sobat.... Di sana bukan tempat kita!" Wintara menarik kembali
lengan Umbara Komang. Ia melotot! Dan duduk kembali di samping Win-
tara. "Kenapa tidak boleh ke sana" Dewa bilang mereka sama dengan kita! Kalau
mereka siluman, aku ju-
ga siluman! Atau aku yang bukan siluman!" kata Umbara Komang nyerocos.
"Kenapa semua orang tidak mengakui kalau di-
riku ini siluman... Dewa pun begitu! Tidak mengakui...
Oh! Kalau saja aku siluman, aku bisa membalas den-
dam terhadap siluman hitam yang selama ini menyiksa
hidupku..." Umbara Komang mengeluh dengan wajah yang sangat memelas. Wintara
makin risi manakala
semua orang menertawainya. Wintara tetap bersikap
acuh dan bersandar pada batang pohon besar itu.
Umbara Komang menangis tersedu-sedu di sebelah-
nya. Wintara jadi kesal.
"Baiklah kuakui bahwa kau siluman...!" kata Wintara sambil memalingkan muka.
"Apa?" Pendengaran Umbara Komang tidak je-
las. "Kau siluman!" Wintara membentak. Orang-
orang yang mendengar bentakan Wintara tertawa ter-
pingkal-pingkal. Wintara jadi malu.
"Benarkah aku siluman..." Benarkah...?" Tiba-
tiba saja tubuh Umbara Komang melesat ke atas. Ge-
rakannya cepat sekali. Wintara tersentak kaget. Ia tidak sempat lagi menahan
lesatan tubuh Umbara Ko-
mang yang begitu cepat. Orang-orang yang berada di
situ pun berhenti tertawa saat sebelah lengan Umbara Komang menghantam cabang
pohon yang cukup besar. Cabang pohon itu berderak patah dan jatuh ke
bawah bakal menimpa atap sebuah rumah yang bera-
da di bawahnya. Tubuh Umbara Komang jatuh lagi ke
tanah bagaikan daun kering. Wintara malah melesat
ke atas menyambar cabang pohon yang patah itu. Atap
rumah yang di duga pasti hancur tertimpa, sama seka-
li utuh. Semua orang berdecak kagum melihat keheba-
tan Wintara menyambar cabang pohon yang hampir
menghancurkan atap rumah. Sebelumnya orang-orang
itu memekik ngeri, karena di bawah atap itu nampak
beberapa anak kecil yang sedang bermain. Wintara me-
lemparkan cabang pohon itu ke tempat yang kosong.
Umbara Komang bersikap tenang.
"Hampir saja kau membunuh anak-anak kecil,
Siluman tolol!" Wintara memaki.
"Mereka bukan apa-apa, Dewa... Mereka me-
mang harus dimusnahkan sejak kecil! Nanti setelah
besar, bisa menghirup darah kita...! Sekarang aku tidak khawatir lagi! Aku
siluman yang hebat, lihat ini...
Hreaaaaaaa!" Umbara Komang melesat lagi, langkahnya cepat menuju batang pohon.
Lalu kedua telapak
tangannya mencakar-cakar habis kulit batang pohon
itu. Wintara tercengang melihatnya. Tiba-tiba saja Umbara Komang mendadak hebat.
Kenapa kehebatannya
itu selalu datang di saat-saat tertentu" Apalagi keadaannya yang demikian parah.
Memiliki ilmu yang de-
mikian akan berbahaya bila tak terkendali, Wintara ti-
dak habis pikir. Ia masih melihat ilmu cakaran Umba-
ra Komang yang menguliti habis kulit luar pohon itu.
Pastilah pada dasarnya lelaki berpenyakit saraf
itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Wintara datang menghampiri menahan
gerakan-gerakan Umbara Komang. Terhadap Wintara, Umbara Komang cukup pa-
tuh. Ia berhenti mencakar-cakar.
"Siluman hitam akan sama seperti ini... Lihat
saja nanti! Jangan menatap begitu, Dewa... Percayalah!
Aku siluman baik. Mereka juga siluman baik, kan?"
Umbara Komang nyengir.
* * * 11 Orang-orang yang berada di desa itu tidak me-
nyangka kalau kedua orang yang mereka tertawakan
ternyata memiliki ilmu demikian hebatnya. Sekarang
mereka tidak menertawakan lagi, kini mereka cukup
salut akan kehebatan kedua pendatang baru itu.
Hanya sayang seorang di antara kedua manusia itu
ada yang tak waras.
Peristiwa yang sangat mengagumkan itu tidak
hanya diketahui oleh orang-orang yang berada di luar.
Para pendatang yang berada di warung-warung mau-
pun di ruangan teras penginapan juga sempat me-
nyaksikan kehebatan yang sangat luar biasa itu. Bah-
kan di antara mereka banyak yang keluar untuk meli-
hat lebih jelas siapa kedua manusia yang berbeda wa-
tak di luar sana.
"Haaaait!" Tiba-tiba saja serentetan teriakan
menggelegar. Bersamaan dengan itu dua sosok tubuh
ramping beterbangan melesat di udara. Setelah berpu-
tar salto di udara kedua sosok ramping itu hinggap di hadapan Wintara dan Umbara
Komang. Wintara yang
berdiri tenang menatap mereka yang berwajah serupa.
Wanita kembar! Umbara Komang sendiri yang tidak
waras merasa heran. Dan kebingungan melihat keha-
diran mereka yang begitu mendadak muncul. Umbara
Komang melangkah ke hadapan Wintara menghadapi
kedua wanita kembar itu.
"Hati-hati, Dewa! Siluman kembar sangat ber-
bahaya dan berbisa! Hati-hati terhadap ular-ularnya!"
ujar Umbara Komang menatap dua gulung cemeti di
tangan mereka masing-masing. Wanita kembar itu
menatap garang.
"Kalau siluman kembar itu berani bertingkah di
hadapanku, biar ku cabik-cabik tubuhnya bagai pohon
itu." kata Umbara Komang dengan sikap yang acuh menatap langit. Sudah tentu
kedua wanita kembar ini
merasa tersinggung. Mereka nampak menyiapkan
cambuk-cambuknya. Sebelum mereka bereaksi, Winta-
ra mengeluarkan suara.
"Sabar, Nona-nona... Sabar... Harap di maklumi
saja ucapan sahabat saya yang rada tidak beres itu.
Semua orang pun tahu, dia itu berpenyakit saraf." ujar Wintara menenangkan
suasana. Tapi kedua wanita
kembar ini tidak mau mengerti.
"Maksudmu dia itu gila" Huh, siapa yang per-
caya dengan ocehanmu, Anak muda! Kalau dia gila
mana mungkin memiliki ilmu yang demikian hebat.
Kau lihat sendiri, keparat itu hampir membunuh bebe-
rapa anak kecil!" Salah seorang dari wanita kembar itu mendorong tubuh Wintara.
Wintara terhuyung beberapa langkah ke belakang. Melihat itu Umbara Komang
tidak tinggal diam. Mendadak saja tubuhnya maju me-
lancarkan serangan. Pukulannya menghantam lengan
wanita itu yang mendorong Wintara... "Plaaak!"
"Siluman kembar tak tahu penyakit! Berani kau
menyentuh dewa... Rasakan ini!" Umbara Komang menyerang lagi. Tapi wanita itu
cepat menyambut dengan cambuknya... "Cletaaar!" Cambuk itu melilit di lengan
Umbara Komang. Seorang kembarannya datang membantu. Ia pun menggunakan
cambuknya. Tapi sebelum
ujung cambuk itu menghantam tubuh Umbara Ko-
mang, Wintara melompat menyambar ujung cambuk
yang berbandul besi dengan tendangannya...
"Deeees!"
Ujung cambuk yang berbandul besi itu berbalik
dan hampir mengenai kepala wanita itu. Untung saja
ia cepat merunduk dan menangkap mata cambuk.
Umbara Komang masih tetap berdiri dengan sebelah
lengan terbelit cambuk salah seorang wanita kembar.
Keduanya saling tarik. Wintara melangkah ke situ berdiri di antara mereka. Tapi
wanita kembarannya itu
masih terus melancarkan cambuknya...
"Cletaaar!" Cambuk itu kini membelit di tubuh Wintara. Baju bulu binatangnya
sampai mengepul, ra-sa sakitnya pun bukan main. Wintara sengaja tidak
membalas. Ia hanya menoleh sebentar. Lalu....
"Kita hanya salah paham, Nona...! Semua yang
dilakukan olehnya di luar kesadarannya. Sekalipun dia berilmu tinggi, ada
perduli apa dengan kalian?" kata Wintara tenang.
"Kami adalah orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka. Kami cenderung kalian adalah
musuh-musuhnya... Pasti kalian juga yang membantai
habis teman-teman kami!" kata wanita tadi menarik cambuknya dari lengan Umbara
Komang. Kini tubuh-
nya melesat ke atas sambil tangannya menarik kuat
cambuk itu. Tubuh Umbara Komang ikut melesat ke
atas mengimbangi. Wintara yang pinggangnya terbelit
cambuk sempat melihat keduanya siap melancarkan
serangan. Maka ia pun segera melompat ke atas. Sebe-
lum Umbara Komang dan wanita itu saling melancar-
kan serangan, dalam keadaan melompat ke atas Win-
tara menghantam mereka...
"Des...! Des!" Keduanya berjatuhan di tanah.
Tapi Wintara tidak sempat menghindari serangan yang
dilancarkan oleh perempuan yang membelitkan cam-
buknya... "Bug!" Punggung Wintara berdenyut. Hampir saja ia tersungkur.
Dua wanita kembar itu maju berbareng menye-
rang Umbara Komang yang sudah bangkit. Lalu Umba-
ra Komang bergulingan menghindari sambaran-
sambaran cambuk mereka...
"Cletaaar...! Cletaaaar...! Cletaaar!" Melihat itu Wintara cepat bertindak,
sekali hentak kedua kakinya melayang ke atas. Lalu kedua tangannya tahu-tahu
menangkapi semua cambuk-cambuk mereka. Kedua
perempuan kembar itu pun tersentak.
"Sabarlah, Nona... Apa maksud kalian menu-
duh kami yang bukan-bukan! Aku memang pernah
mendengar nama Raden Mas Kinanjar Swantaka dari
ketiga orang yang pernah kujumpai di perjalanan.
Sayang mereka telah tewas semua... Akulah yang me-
naikkan mayat-mayat mereka ke atas kuda. Salah sa-
tunya dengan kepala putus. Tapi mengenai siapa pem-
bunuhnya aku sendiri tidak tahu...." kata Wintara sambil melepaskan cambuk-
cambuk itu. Dengan sekali
tarik cambuk-cambuk itu sudah bergulung di tangan
mereka. "Bagaimana pun kami tidak mempercayai kata-
katamu, Anak muda! Aku sendiri sudah melihat ilmu
cakaran si bangsat gila itu! Semua mayat-mayat yang
kami temukan dipenuhi dengan luka-luka cakaran pa-
da tenggorokan mereka! Apa lagi yang mau dipungki-
ri...?" ujar salah seorang wanita kembar itu.
"Siapa lagi kalau bukan dia pelakunya...!" jawab yang satunya.
"Jangan asal tuduh dulu... Aku pernah dengar
selentingan bahwa orang-orang pilihan Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka tengah mencari-cari seorang buro-
nan. Apakah betul demikian?"
"Betul! Dari mana kau tahu?" jawab wanita
kembar itu serempak.
"Soal dari mana selentingan itu kalian tidak
perlu tahu! Jawab dulu pertanyaanku. Apakah kalian
kenal betul dengan buronan itu?" tanya Wintara man-tap.
"Sekalipun ia telah menjadi abu, aku dapat
mengenali bangsat itu!" jawab wanita kembar itu sengit. Wintara tersenyum.
Lalu... "Kalian perhatikan baik-baik! Apakah wajah
buronan itu mirip dengan sahabatku ini?" Wintara menunjuk ke arah Umbara Komang
yang berdiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kedua wanita kembar
itu saling pandang. Jelas bukan! Yang mereka cari
adalah Bala Tlenges! Bukan seorang yang berpenyakit
gila seperti Umbara Komang. Keduanya diam.
"Selama ini dia selalu bersamaku, kalau tadi
dia mencakar-cakar batang pohon, itu karena emo-
sinya melonjak ke luar, dia sangat senang kalau di-
rinya disebut siluman. Jangan marah dulu. Aku pun
tidak tahu dia gila karena apa... Anehnya, semua yang di lihatnya dianggap
siluman..." Wintara menjelaskan.
"Bubar...! Bubar! Kalian semua siluman tengik!
Aku siluman baik jangan sampai meruntuhkan langit!
Atau bumi yang kalian pijak akan belah!" Tiba-tiba sa-ja Umbara Komang
berteriak-teriak mengusir orang-
orang yang memperhatikan mereka, maka orang-orang
itu pun segera berlarian menghindari.
"Siluman! Kembali ke sini...!" Wintara membentak. Umbara Komang merungkut, ia
takut menatap Wintara. Tapi ia tetap saja melangkah mendekat. Ia
bergidik saat melihat dua gulungan cambuk yang ma-
sih dikiranya dua ekor ular. Kedua wanita kembar itu tidak segarang tadi. Namun
mereka masih menunjukkan sikap angkuh.
"Kalau semua orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka diturunkan, berarti persoalan ini
tidak sepele... Bahkan mungkin juga jiwa Raden Mas
Kinanjar Swantaka sendiri pasti terancam. Aku punya
usul... Bagaimana kalau kami berdua ikut membantu
menangkap buronan itu" Aku harap kalian berse-
dia...!" Wintara menawarkan diri. Umbara Komang menatap salah seorang wanita
kembar itu. Tapi setelah


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka saling tatap. Umbara Komang menunduk sam-
bil nyengir. "Kau pikir mudah untuk menjadi orang-orang
pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka" Tidak semudah
itu, Anak muda... Boleh-boleh saja kalau mau ikut
membantu. Itu lebih bagus tapi kau harus tanggung
resikonya! Karena dalam hal ini tanpa sepengetahuan
Raden Mas Kinanjar Swantaka!"
"Sekalipun jadi budak kalian, aku bersama sa-
habatku ini rela! Daripada dituduh sebagai pembu-
nuh!" jawab Wintara sambil merangkul punggung Umbara Komang.
"Siluman baik pantang membunuh siluman
baik... Tapi kalau ada siluman jahat, jangan harap bisa
lewat di hadapanku." Umbara Komang ikut bicara.
Tingkah lakunya masih saja membuat orang tertawa.
Gerak geriknya hampir mirip lutung kebakaran bun-
tut. * ** 12 Bagi Langkung Daro perjalanan ke Timur amat-
lah menyenangkan. Ia tidak menemukan rintangan
apa-apa selama dalam perjalanan. Setelah menerobos
hutan belukar Langkung Daro bersama seorang te-
mannya menyeberangi sebuah kali. Arus kali itu cukup deras. Dalam menyeberangi
kali itu mereka tidak perlu turun dari kudanya. Mereka sengaja menunggangi ku-
da-kudanya menyeberangi kali itu. Dan ternyata kali itu memang tidak dalam. Di
atas permukaan air banyak menghampar batu-batu yang tidak beraturan be-
sarnya. Sebentar saja mereka sudah berada di seberang kali. Di situ jarang
sekali ditumbuhi rerumputan. Tanah yang menghampar pada dataran itu nampak tan-
dus. Beberapa pohon besar yang telah mengering ber-
diri menghitam di sana sini. Juga batu-batu besar
yang mencuat ke atas nampak membentuk sebuah
bukit. Kedua kuda itu berjalan tenang.
Matahari hampir tenggelam menampakkan si-
narnya yang kemerahan di balik bukit. Langkung Daro
menghentikan langkah kudanya. Temannya yang ber-
jalan menunggangi kudanya beriringan ikut berhenti.
Ia baru menyadari kalau tanah yang mereka lewati ba-
nyak menghampar tulang belulang berserakan. Sekali-
pun di antara tulang belulang itu banyak terlihat jelas tulang kerangka manusia.
Mereka tidak gentar sedikit pun. Mereka pun tetap tenang ketika menyeberangi
sebuah jembatan kayu yang menghubungkan jurang
membentang di hadapan mereka. Meskipun jembatan
kayu itu nampak lapuk, tapi cukup kuat untuk mere-
ka mencapai dataran seberang. Dari kejauhan mereka
sudah dapat melihat sebuah bangunan yang hampir
roboh. Dan sudah dapat dipastikan mereka bakal me-
nuju ke sana Mengingat hari hampir gelap, mereka ti-
dak mungkin meneruskan perjalanannya. Kemana
lagi mereka mencari tempat untuk beristirahat, kalau bukan pada bangunan itu"
Dan mereka cukup lega ketika melihat sebuah
pelita menerangi ruangan dalam bangunan itu. Kedu-
anya menambatkan kuda-kudanya di depan bangu-
nan. "Siapa di luar...! Kaukah Wadak Keling?" Terdengar suara dari dalam
ruangan. "Bukan...! Kami orang-orang pilihan Raden Mas
Kinanjar Swantaka yang bermaksud menumpang ber-
malam di sini!" jawab Langkung Daro sambil mengikat tali kekang pada sebatang
tonggak. Tidak ada jawaban lagi dari dalam. Tiba-tiba lampu pelita yang
menerangi ruangan itu padam! Langkung Daro bersama temannya tidak jadi masuk.
Mereka berbalik curiga.
"Ki Sanak, bolehkah kami menumpang beristi-
rahat di sini...?" teriak Langkung Daro. Seorang temannya sudah selesai
menambatkan kudanya. Ia me-
langkah masuk ke pintu bangunan.
"Aneh! Tadi terdengar ada suara orang menegur
kita... Kenapa ia tidak menyahut, malah ia mematikan
pelitanya! Apakah ia tidak suka terhadap orang-orang Raden Mas Kinanjar
Swantaka...!" Ia memasuki ke arah ruangan yang gelap itu. Tiba-tiba saja...,
"Aaaaaaarght!" Orang yang melangkah masuk mendadak terlempar ke luar. Hampir
saja tubuh itu mena-
brak Langkung Daro yang berdiri tepat di depan pintu.
Tapi cepat ia merentangkan kedua lengannya menang-
kap tubuh yang masih terpental. Orang itu gelagapan, lalu menarik pedangnya dan
pinggang.... "Sudah masuk, kenapa keluar lagi?" Terdengar jawaban dari luar. Langkung Daro
dan temannya memandang ke arah ruangan gelap itu. Mereka tidak me-
lihat siapa-siapa. Orang yang memegang pedang me-
langkah masuk. Sebentar saja ia sudah hilang ke da-
lam kegelapan ruangan. Langkung Daro sengaja me-
nunggu di luar. Kedua lengannya siap-siap menarik pisau-pisau kecil yang
berderet di sepanjang dadanya.
"Traaak...! Deeeees...!" Terdengar suara dari ruangan gelap itu. Belum sempat
Langkung Daro memburu masuk, sesosok tubuh menabraknya lagi.
Keduanya bergulingan di tanah. Langkung Daro cepat
bangkit, tapi seorang temannya menggelepar-gelepar di tanah. Pedang dalam
genggamannya patah dua. Langkung Daro tersentak kaget melihat temannya kaku di-
am tak berkutik. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Langkung Daro kalap. Ia melemparkan pisau-
pisau kecil ke dalam ruangan gelap itu... "Zing... Zing!"
Terdengar pula suara orang bergerak-gerak menghin-
dari pisau-pisau kecil yang melesat bagai anak panah.
Langkung Daro makin gencar menghujani pisau-pisau
kecilnya. Namun ia masih belum berani masuk ke da-
lam ruangan itu. Gerakan-gerakan orang melompat-
lompat tambah jelas kedengaran... Dan pada anak pi-
sau yang terakhir... "Zing...! Zing!" Dua belah pisau ke-
cil meluncur deras! Maka... "Arrrrrght!" Terdengar pula sebuah jeritan.
Ruangan itu jadi sepi. Langkung Daro merasa-
kan kebisuan itu, ia pun melangkah perlahan mulai
memasuki ruangan itu. Ruangan itu betul-betul gelap.
Apalagi suasana di luar, sinar matahari sudah tidak
nampak lagi. Matanya nyalang mengawasi sekitar
ruangan. Darahnya terkesiap ketika tiba-tiba saja lampu
pelita menyala dan di hadapannya telah berdiri sosok tubuh dengan rambut putih
beruban tak terurus. Wajah itu menyeringai menunjukkan mulutnya terbuka
lebar tanpa sebutir gigi. Langkung Daro tidak sempat lagi memekik. Tahu-tahu
saja sebuah hantaman keras
melanda di tubuhnya sampai terlempar keluar melalui
pintu. Sebelum tubuh itu jatuh ke tanah, belasan pi-
sau-pisau kecil menyusul ke arah Langkung Daro. Be-
gitu tubuh Langkung Daro terkapar di tanah ia tidak
bergerak lagi. Sekujur tubuhnya telah menancap semua pi-
sau-pisau kecil miliknya.
Tak berapa lama keluarlah sosok tubuh beram-
but putih dari dalam ruangan gelap. Ia memandangi
kedua mayat yang terkapar di sekitar halaman bangu-
nan usang itu, Ki Rondo Mayit menyeringai lagi. Ram-
butnya yang putih kusut bergerak-gerak tertiup angin malam.
* ** Gelang-gelang besi bergemerincing saat kuda
yang ditungganginya melompati gundukan tanah. Be-
gitu juga dengan sahabatnya yang mengikuti perjala-
nan dalam mencari buronan Bala Tlenges. Dalam per-
jalanan itu sepertinya mereka tidak pernah habis me-
nerobos hutan belukar yang demikian gelap. Mereka
sendiri kebingungan mencari tempat untuk peristira-
hatan. Di tempat yang segelap itu bagaimana mereka
bisa memilih tempat yang nyaman. Bulan yang bersi-
nar terang memang nampak dari celah-celah lebatnya
dedaunan, mereka hanya melihat samar-samar kea-
daan di situ. Bagaimana pun mereka tidak akan men-
dapatkan tempat untuk bermalam, karena seluruh da-
taran hutan itu ditumbuhi dengan rumput alang-alang
setinggi betis. Akhirnya mereka memutuskan untuk
meneruskan perjalanan.
Dalam keremangan sinar bulan mereka nam-
pak duduk tegar di atas pelana kuda-kudanya. Suara-
suara binatang malam memenuhi suasana malam itu.
Beberapa pasang mata burung hantu nampak jalang
bertengger di atas batang-batang pohon. Mereka tidak tahu sampai di mana batas
hutan yang mereka lewati.
Mereka hanya mengikuti jalan yang diterangi sinar bulan.
Mendadak saja kuda-kuda mereka meringkik
meronta-ronta. Dua orang penunggangnya tetap
menghela. Namun kuda-kuda itu seperti tidak mau
meneruskan perjalanannya. Dua penunggang kuda ini
keheranan. Tiba-tiba saja burung-burung hantu beter-
bangan. Terdengar sekali kepak-kepak sayap mereka
beterbangan menjauh dari cabang-cabang pohon itu.
Membuat kuda-kuda itu semakin takut dan meringkik
keras. Di hadapan mereka telah berdiri sosok tubuh
berdiri tegak di balik semak-semak. Tubuh itu nampak jelas terkena sinar bulan
yang menerobos dari celah-celah dedaunan.
Bukan main mereka kagetnya. Karena yang di-
lihat di hadapannya itu tidak lain Bala Tlenges! Buronan mereka! Sosok Bala
Tlenges melangkah menerobos
semak-semak itu. Dua orang penunggang kuda itu
langsung turun.
"Sudah kuduga kau akan bersembunyi di sini,
Bala Tlenges! Menyerahlah...! Kau tidak bisa lolos dari kami!" kata orang yang
bersenjatakan gelang-gelang di lengannya
"Menyerah..." Ha-ha-ha-ha-ha...!" Bala Tlenges malah tertawa.
Dari atas pohon beberapa sosok tubuh terjun
ke bawah, serangan itu mendadak sekali. Salah seo-
rang penunggang kuda itu tidak sempat menghindari.
Tahu-tahu saja tubuhnya telah di rejam oleh kedua
mayat hidup. Ia menjerit-jerit saat kuku-kuku mereka yang laksana jarum menembus
di tenggorokan. Gigi-gigi hitam mereka pun mengoyak habis perutnya.
Orang yang bersenjatakan gelang pun tidak da-
pat menghindari sergapan sosok bertubuh hitam. Tapi
sekali ia menghentakkan kedua lengannya, tubuh so-
sok hitam itu terlempar jatuh ke tanah. Bala Tlenges yang melihat itu langsung
melesat ke arah orang itu.
Kedua telapak tangannya menghantam keras di bagian
dada. Orang bersenjatakan gelang itu pun ambruk.
Mayat-mayat hidup yang telah selesai membereskan
korbannya meluruk menerjang. Sebelum mereka da-
tang mendekat...
"Creb...! Creb...! Creeb... Creeb!"
Empat buah gelang menancap tepat di tubuh
kedua mayat hidup itu, namun mayat-mayat hidup itu
masih saja datang menerjang seakan gelang-gelang
yang menembus di tubuh mereka tidak dirasakan sa-
ma sekali. Orang itu pun tidak sempat lagi menghin-
dar. Dirasakan rasa sakit di sekitar tenggorokannya
yang mengeluarkan darah. Begitu juga dengan tubuh-
nya. Sekali mencabik, kuku-kuku yang runcing mero-
bek pakaian serta kulit perutnya. Gelang-gelang di kedua lengannya
bergemerincing saat ia meronta-ronta.
* ** 13 "Suiiiiit...!" Mendengar aba-aba yang demikian kedua mayat hidup berhenti
menyerang meninggalkan
korbannya. Korbannya masih bergerak-gerak dan be-
rusaha bangkit. Seluruh tubuhnya telah berlumuran
darah. Bala Tlenges menatap puas.
"Kenapa cuma kalian berdua yang menyerbu ke
mari" Mana yang lain!" bentak Bala Tlenges. Orang itu tidak menjawab, hanya
gelang-gelangnya yang bergemerincing. Ketika Bala Tlenges melangkah mendekat,
orang itu melemparkan beberapa gelangnya...
"Zing...! Zing...!" Bala Tlenges yang selalu awas melompat ke atas, tubuhnya
bersalto di udara. Gelang-gelang itu meleset ke tempat yang kosong. Dan ketika
Bala Tlenges hampir menginjak tanah, tubuh
berlumuran darah itu melancarkan serangan
lagi. Kakinya bergerak menyapu bagian bawah, namun
tetap saja serangan itu gagal.
Bala Tlenges yang masih berada di udara me-
mutar kakinya ke depan... "Deeees!" Tendangan itu melempar tubuh berlumuran
darah itu semakin jauh.
Darah menyembur dari mulutnya. Namun ia masih sa-
ja dapat bangkit berdiri. Dua ekor kuda masih tetap
berdiri di situ sambil meringkik-ringkik ketakutan. Di
luar dugaan tubuh berlumuran darah itu melompat ke
atas pelana dan kuda itu cepat membawa pergi tuan-
nya dari tempat itu. Bala Tlenges sengaja tidak mengejarnya. Wadak Keling dan
dua mayat hidup masih ter-
paku melihat kepergian orang itu.
"Mengapa ia dibiarkan hidup, Bala Tlenges..."
Tanpa kau yang turun tangan, mayat-mayat hidup ini
bisa bekerja sendiri..." kata Wadak Keling. Dua mayat hidup di sampingnya
bergerak-gerak menyeramkan.
"Tolol! Orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar
Swantaka tidak berarti apa-apa bagi kita... Membunuh mereka sama mudahnya
membalikkan telapak tangan
...! Kalau dia mampus, mana bisa kita tahu di mana
Raden Mas Kinanjar Swantaka berada. Karena selama
ini hanya bangsat itu yang kita cari!
"Akal yang cerdik, Bala Tlenges! Aku tidak ber-
pikir sampai ke situ... Tentunya kita sekarang harus cepat membuntutinya....!"
ujar Wadak Keling. Bala Tlengas tidak menjawab. Ia membalikkan tubuh lalu
secepat kilat ia melesat. Melihat kepergian Bala
Tlenges, Wadak Keling memimpin kedua mayat hidup
itu berlari mengikuti. Maka terlihatlah empat sosok
bayangan hitam berlarian menembus kegelapan ma-
lam. Sementara itu di hadapan mereka terdengar derap langkah kuda yang sangat
cepat. Wintara bersama Umbara Komang tidak lagi
berteduh pada pohon yang rindang di depan pengina-
pan itu. Mereka kini berada di tempat yang lebih nyaman, dari pada udara di luar
yang mulai dingin. Mere-ka baru saja selesai makan malam, Umbara Komang
sengaja dipisahkan pada meja yang lain. Ia belum juga menyelesaikan santapannya.
Karena wanita kembar
itu sengaja membayarinya pesanan yang banyak untuk


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia gila itu. Mulutnya berdecak-decak saat men-
gunyah. Orang-orang yang kebetulan akan bermalam
di situ, menyaksikan sambil tertawa keheranan. Nasi
hampir sebakul munjung berpindah habis ke dalam
perutnya. Umbara Komang sendiri tersenyum-senyum ke
arah setiap pendatang yang ada di penginapan itu. Ketika ia minum ia tidak perlu
lagi menuang air ke dalam gelas bambu, ia langsung menenggaknya langsung dari
pundi. Semua orang pun tertawa ngakak melihat ting-
kahnya. Setelah air dalam pundi itu habis ia menyeka mulutnya dengan lengan
baju. Wintara bersama dua
wanita kembar masih duduk pada meja sebelah. Mere-
ka juga memperhatikan tingkah Umbara Komang yang
sangat lucu dan menggelikan.
Meskipun malam mulai merambat gelap. Desa
itu sangat ramai dan banyak diterangi lampu-lampu
pelita maupun obor sebagai penerang jalan. Orang-
orang masih banyak yang berseliweran di tiap-tiap
muka rumah. Beberapa orang yang berjalan beriringan
di tengah jalan segera menyingkir saat seekor kerbau penarik gerobak melewati
jalan itu. Di atas gerobak
beberapa anak kecil menjaga beberapa buntelan kain.
Kerbau itu di tuntun oleh seorang nenek keriput yang berjalan tanpa alas kaki.
Ia menghentikan kerbaunya di depan sebuah
penginapan yang cukup ramai. Melihat itu seorang pe-
layan keluar. Nenek itu langsung menghadap.
"Maaf, Den... Aku memang tidak punya uang,
tapi kami butuh tempat untuk bermalam. Besok kami
berangkat lagi..." kata nenek itu pelan tubuhnya nampak menggigil kedinginan.
"Maaf, Nek... Bukan saya tidak mengijinkan,
kamar-kamar di sini telah penuh semua. Coba saja
nenek cari tempat lain..." jawab pelayan itu. Wajah si
nenek memelas. Nampaknya ia telah lelah sekali.
"Seriti Wuni, coba kau lihat ke sana.. " Salah satu wanita kembar itu menunjuk
ke arah pelayan
yang tengah berbicara dengan seorang nenek. Wintara
ikut menoleh. "Bukankah mereka para penduduk yang tinggal
di dalam hutan sana" Ada apa nenek itu bersama cu-
cunya ke mari?" jawab salah seorang wanita kembar itu, ia bangkit berdiri
melangkah. Wanita satunya
mengikuti. Umbara Komang memperhatikan mereka,
tapi kembali ia asyik dengan santapannya. Wintara tetap duduk diam.
"Ada apa dengan nenek ini...?" tanya salah seorang wanita kembar.
"Nenek ini bersama cucu-cucunya akan berma-
lam di sini, tapi semua kamar telah penuh... Saya me-nyarankan agar ia mencari
tempat lain saja." kata pelayan penginapan ramah. Wanita kembar ini memper-
hatikan raut wajah yang nampak begitu letih. Lalu
pandangan mereka beralih ke belakang nenek itu, me-
reka melihat seekor kerbau penarik gerobak dengan
barang-barang berikut anak-anak kecil di atasnya.
"Bukankah nenek penduduk di hutan terpencil
itu... Aku masih ingat betul sewaktu melintasi daerah hutan sana!"
"Betul, Ndoro... Orang-orang kampung pedala-
man semua ngungsi malam ini. Kami semua ketaku-
tan. Empat orang berwajah seram tiba-tiba saja datang mengamuk membantai semua
laki-laki yang ada di keluarga kami...! Sekarang kami sudah terlalu lelah. Ka-mi
perlu istirahat malam ini... Kami rasa di sini
aman..." kata nenek itu memohon. Dua wanita kembar saling pandang begitu
mendengar penjelasan nenek
itu. "Lalu ke mana keempat orang yang menyeram-
kan itu, Nek..." Apakah sekiranya nenek mengeta-
huinya...?" tanya wanita itu tidak sabaran.
"Entahlah... di sana tidak ada perkampungan
lagi... yang nenek tahu mereka mengamuk saat pen-
duduk hutan terpencil tertidur pulas. Dua di anta-
ranya mayat hidup. Salah seorang di antaranya bertu-
buh hitam, lalu yang seorang lagi menyebut-nyebut
nama Raden Mas Kinanjar Swantaka...." Bagai tersam-bar petir kedua wanita kembar
itu mendengarnya. Lalu dengan cepat ia menarik lengan pelayan yang masih
berdiri di situ.
"Berikan dua kamar yang ku pesan tadi untuk
mereka. Dan tolong keluarkan kuda-kuda kami... Ce-
pat!" Setelah berkata begitu, salah seorang wanita kembar itu menoleh arah
Wintara yang sejak tadi
memperhatikannya. Pelayan itu dengan sigap berjalan
ke samping menuju kandang kuda. Salah seorang dari
wanita itu membawa masuk nenek yang menggigil ke-
dinginan, yang seorang lagi menuruni anak-anak kecil satu persatu dari atas
gerobak. Mereka membawa masuk keluarga itu ke dalam ruangan itu.
"Nanti barang-barang nenek diangkut oleh pe-
layan tadi, tenang saja di sini..." Perempuan itu mengeluarkan sekantong uang.
Lalu diberikannya pada ne-
nek itu. "Besok pagi kalau nenek mau berangkat, bayar pakai uang ini... Sisanya
ambil buat nenek, ya?" kata perempuan itu ramah. "Anak muda ke mari... Ajak
sekalian teman mu
ke mari...!" kata yang seorang lagi. Wintara
langsung bangkit dari bangku panjang. Sambil me-
langkah ia menepuk punggung Umbara Komang yang
telah selesai makan. Melihat Wintara bangkit berjalan,
Umbara Komang ikut bangkit meninggalkan mejanya
menyusul langkah-langkah Wintara.
Pelayan itu datang lagi membawa dua ekor ku-
da. Wanita kembar itu menerima kuda-kuda mereka.
Wintara dan Umbara Komang sudah berada di situ.
"Terima kasih. Antarkan keluarga ini ke kamar,
jangan lupa tolong bawakan barang-barang mereka...
Aku telah menitipkan sejumlah uang pembayaran ka-
mar dan makan kami tadi, kalau perlu beri mereka
makan dulu..." Perempuan itu langsung menaiki kudanya. "Ayo, Seriti Kuni... Kau
naik bersamaku di sini!
Biar anak muda itu bersama temannya dengan kuda
itu! Atau kau ingin bersama dengan lelaki gila itu?"
"Chis! Siapa yang mau! Seriti Wuni kalau ngo-
mong seenaknya saja! Jangan-jangan kau yang naksir
sama dia..." jawab Seriti Kuni langsung melompat ke belakang Seriti Wuni
kembarannya. Wintara masih
berdiri terpaku memandangi mereka. Umbara Komang
menggaruk kepala.
"Cepat anak muda...! Kita harus segera ke ben-
teng! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bahaya...!"
Dengan tenang Wintara menaiki kuda itu. Umbara
Komang tetap diam. Tapi Wintara cepat menariknya ke
atas kuda. Umbara Komang nyengir ke arah wanita
kembar itu.... * * * 14 Tubuh berlumuran darah itu terkatung-katung
di atas seekor kuda yang ditungganginya. Gelang-
gelang yang ada di kedua lengannya bergemerincing
membisingkan. Kuda itu membawanya menuju ke se-
buah benteng. Dari kejauhan benteng itu nampak
tinggi menghitam, dengan tonggak-tonggak bambu
yang runcing. Sesampai di depan pintu gerbang yang terbuat
dari susunan bambu setinggi tiga tombak kuda itu
menyepak-nyepakkan kakinya ke pintu itu. Orang-
orang yang berada di balik pagar bambu itu mendadak
kaget. Beberapa tenda yang ada di sekitar tanah la-
pang itu nampak terang benderang. Raden Mas Kinan-
jar Swantaka sendiri belum tidur. Ia masih menatap
sinar rembulan yang bersinar penuh di luar tenda. Ia pun mendadak kaget setelah
mendengar suara pintu
gerbang berderak-derak.
Puluhan orang menuju ke arah pintu. Dari lu-
bang-lubang yang sengaja dibuat pada pintu gerbang,
mereka melihat sosok tubuh pendekar gelang paksi
terluka parah. Maka cepat mereka membuka pintu.
Seekor kuda masuk membawa tubuh berlumuran da-
rah. Sosok tubuh terluka itu merintih-rintih....
"Bala Tlenges...! Hhhh... Bala Tlenges...!" Sosok itu ambruk ke tanah tak
berkutik lagi. Semua orang
mengerumuni tubuh terlentang bersimbah darah. Da-
lam pada itu dua sosok bayangan menyebarkan bau
busuk melesat dari luar masuk ke dalam sambil me-
lancarkan serangan dengan cakaran-cakaran yang
mematikan. Mendadak saja tempat itu penuh dengan
jeritan kesakitan. Puluhan orang itu segera mengepung kedua orang yang datang-
datang mengamuk. Namun
kepungan mereka sia-sia! Dua sosok ini tidak perduli dengan orang-orang yang
demikian banyaknya menerjang. Dua sosok busuk itu makin liar melancarkan ca-
karan cakarannya. Sekali cakar, dua sampai tiga orang bergulingan.
Dalam keramaian itu datang lagi dua sosok dari
luar. Lesatan tubuhnya begitu cepat. Tahu-tahu saja
kedua orang itu berada di antara puluhan orang yang
tengah mengepung dua mayat hidup. Mereka pun sa-
ma brutal. Datang-datang langsung mengamuk mem-
bantai orang-orang itu. Hantaman-hantaman mereka
lebih parah. Sekali hantam ada yang kepalanya pecah, ada juga yang patah tulang!
Sungguh mengerikan!
Raden Mas Kinanjar Swantaka berlari ke arah
kekacauan itu. Dilihatnya para anak buahnya berpen-
talan satu demi satu. Matanya terbelalak melihat em-
pat sosok mengamuk menjatuhkan para prajuritnya.
Dan yang membuat dia tak percaya ketika melihat so-
sok Bala Tlenges di antara empat pengacau itu. Den-
gan geram ia melompat ke arah pertempuran itu.
"Hreaaaaaaaa!" Teriakannya menggelegar mengisi kegaduhan itu. Tubuhnya melesat
di udara dan turun langsung melancarkan serangan kepungan Bala
Tlenges... "Deeees!" Mendapat hantaman yang demikian keras, Bala Tlenges tidak
goncang sedikit pun.
Malah ia berbalik menoleh ke arah penyerangnya. Ia
pun menggeram sengit.
"Bagus, Bala Tlenges! Kau datang untuk men-
gantarkan nyawa! Hreaaat!" Raden Mas Kinanjar
Swantaka melancarkan tendangannya. Bala Tlenges
cepat menangkis.
"Aku justru datang untuk mengakhiri hidupmu,
Raden Terkutuk!" kata Bala Tlenges sambil membalas serangan. Raden Mas Kinanjar
Swantaka melompat
jauh memisahkan diri dari para prajuritnya yang ten-
gah menggempur dua sosok mayat hidup dan sosok
berkulit hitam. Bala Tlengas pun ikut melompat, kedua
lengannya berputar-putar menyambar tubuh Raden
Mas Kinanjar Swantaka... Beberapa hantaman hampir
saja mengenainya. Raden Mas Kinanjar Swantaka
membalas dengan sabetan lengan kirinya... "Weees!"
Bala Tlenges gelagapan menyambut! Ia tidak menyang-
ka Raden Mas Kinanjar Swantaka begitu hebat. Tinju
Bala Tlenges maju lagi, kali ini bergulung-gulung mencecar pada bagian yang
mematikan. "Mampus!" teriak Bala Tlenges, hantamannya menyerempet tubuh lawannya. Namun
cukup pedas terasa di pinggang Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia
pun segera membalas serangan dengan tendangan
memutar... "Blaaak!" Bala Tlenges menyambut dengan kedua telapak tangannya.
Benturan itu sangat keras.
Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka sampai terbant-
ing. Melihat lawannya kehilangan posisi, Bala Tlenges menerjang lagi... Tapi...
"Cletaaar...! Cletaaar!" Dua cambuk sekaligus melilit di tubuh Bala Tlenges
menahan gerakannya. Wanita kembar, Wintara dan Umbara
Komang sudah berada di situ.
Wintara berlari ke arah Raden Mas Kinanjar
Swantaka. Ia membantunya bangkit berdiri. Bala
Tlenges menatap geram terhadap dua wanita kembar
yang menahannya. Umbara Komang malah menyaksi-
kan pertempuran yang tengah berlangsung. Kedua ma-
tanya membelalak ketika ia melihat sosok bertubuh hitam menghantam jatuh para
prajurit Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka.
"Minggir...! Minggir...! Siluman hitam itu mu-
suhku! Biar aku yang menghirup darahnya...!" Tiba-tiba saja Umbara Komang
berlari ke arah pertempu-
ran. Kedua lengannya sibuk melemparkan orang-orang
yang menghalanginya. Wintara mendengar teriakan
Umbara Komang, maka ia pun menoleh ke arah saha-
batnya itu. Tanpa sengaja ia melihat dua sosok mayat hidup mengamuk. Ia sampai
terperanjat tak percaya.
Dalam kelengahan itu sebelah kaki Bala Tlenges
menghantam perut Wintara... "Bug!" Tubuhnya terpelanting jatuh. Wintara bangkit
lagi, ia tidak membalas serangan itu. Matanya masih tertuju pada kedua
mayat hidup yang mengamuk membabi buta. Bagai-
mana pun Wintara masih mengenali mereka. Mayat-
mayat itu tidak lain dari jasad Raden Sintoro Tinggil dan Gada Rencah. (Baca:
Tapak Hitam Rajawali Perak
& Tapis Ledok Membara). Yah jelas sekali wajah-wajah mereka. Sampai mati pun
Wintara tetap yakin! Yang
menjadi pertanyaan adalah, kenapa mereka bisa bang-
kit dari kubur" Tentunya ada yang membangkitkan-
nya. Pikirannya buyar saat ia mendengar teriakan dua wanita kembar.
Bala Tlenges menarik kuat kedua cambuk yang
melilit di tubuhnya. Maka kedua wanita kembar ini
terbanting bergulingan di tanah. Cambuk-cambuk itu
lepas dari belitan di tubuh Bala Tlenges. Ia tidak mem-perdulikan perempuan-
perempuan itu, langkahnya
menerjang deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swanta-
ka. Tapi mana mau wanita kembar itu membiarkan
junjungannya celaka. Hebatnya Raden Mas Kinanjar
Swantaka bisa mengatasi suasana. Saat Bala Tlenges
menerjang, Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambut
dengan sodokan kaki kirinya yang menghantam keras
ke perut Bala Tlenges.
Saat tubuhnya terbanting, Seriti Wuni dan Seri-
ti Kuni melancarkan cambuknya.
Cambuk-cambuk itu mendera di tubuh Bala
Tlenges. Raden Mas Kinanjar Swantaka datang ikut
mengeroyok. Mendapat serangan dari tiga orang la-
wannya yang berilmu tinggi, Bala Tlenges setengah


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati mengatasinya.
Wadak Keling telah menjatuhkan belasan
orang. Hantaman-hantamannya selalu saja memakan
korban. Teriakannya berbareng saat ia melancarkan
hantaman, begitu juga dengan pekikan kesakitan para
prajurit itu. Telah banyak bergelimpangan sosok-
sosok tubuh bersimbah darah. Wadak Keling tidak ta-
hu lagi kalau di tempat itu telah berdiri sosok manusia gila Umbara Komang. Saat
Wadak Keling menghantam
ke samping... "Deeeees!" Lengannya berdenyut! Terasa sekali ia membentur benda
yang sangat keras. Kiranya benturan itu akibat Umbara Komang yang menyambut
serangannya tadi dengan sebuah pukulan. Wadak Kel-
ing sendiri tidak menduga kalau Umbara Komang su-
dah berada di situ.
"He-he-he... Sekarang kita sama-sama siluman!
Aku tidak perlu takut lagi dengan mu... Ayo siluman
hitam kita bertempur sampai neraka ini hancur..."
ujar Umbara Komang. Wadak Keling langsung meng-
hadapinya. Melihat kedua orang ini saling berhadapan para prajurit segera
mundur. "Kebetulan kita bertemu di sini, Umbara Ko-
mang! Mari maju! Biar nyawamu yang gila dapat me-
layang!" gertak Wadak Keling sambil melancarkan beberapa hantaman. Sambil
nyengir Umbara Komang
merunduk, sebelah tangannya menyambar hantaman-
hantaman itu. "Aku bukan Umbara Komang. Tapi siluman
baik! Tidak seperti kau siluman yang hitam dan jahat!"
Tendangan Umbara Komang menjurus ke depan.
Menghadapi tendangan yang sangat cepat, Wadak Kel-
ing tidak dapat menghindar. Apalagi tendangan-
tendangan itu beruntun mencecar...
"Des! Des!" Dua tendangan sekaligus membuat
tubuh hitam itu bergulingan. Tapi dalam keadaan se-
perti itu Wadak Keling menghentakkan sebelah len-
gannya, maka tubuhnya melesat ke atas. Lalu menu-
kik menerjang ke bawah.
"Mampus kau, Gila!" Hantaman Wadak Keling
berkelebat menyambar. Umbara Komang menyambut
dengan menggeser tubuhnya ke samping,... Hantaman
itu meleset. kini berganti Umbara Komang yang memu-
tar lengannya...
"Des!" Wadak Keling ambruk ke tanah. Tubuhnya bergulingan ke arah para prajurit
yang masih berdiri di situ. Mereka yang sejak tadi menunggu kesem-
patan, tidak menyia-nyiakannya. Begitu tubuh Wadak
Keling berguling ke arah mereka, para prajurit itu
menghujami tubuh hitam itu dengan senjata-senjata
mereka. Maka terdengarlah jeritan Wadak Keling yang
menyayat. Beberapa saat kemudian para prajurit itu be-
terbangan terlempar. Wadak Keling berontak sekuat
tenaga. Para pengeroyoknya bergelimpangan. Ia berdiri terhuyung dengan tubuh
yang terkoyak bersimbah darah. Kedua matanya merah. Umbara Komang tidak
membiarkan Wadak Keling berdiri terlalu lama. Den-
gan gerakan yang sangat cepat ia menyambar sebilah
pedang yang tergeletak di tanah. Lalu pedang itu
membersit memisahkan kepala Wadak Keling dari le-
hernya... "Bet!" Tubuh hitam itu pun terbanting kelojotan dengan darah menyembur
di leher. * ** 15 Dengan sengit Umbara Komang menendang ke-
ras kepala Wadak Keling yang masih menggelinding di
tanah. Kepala itu melayang deras membentur pagar
bambu, membleduk! Lalu Umbara Komang menoleh
melihat kesibukan Wintara menghadapi dua mayat hi-
dup yang mengamuk memakan korban. Ia pun melihat
Wintara berhasil menghantam beberapa kali. Namun
kedua mayat hidup itu tetap saja masih sanggup me-
lawan. "Kalian semua menyingkir...! Kedua mahluk ini sangat berbahaya!
Menyingkir!" teriak Wintara sambil menghalangi serangan-serangan kedua mayat itu
yang liar mencakar-cakar setiap orang yang ada di hada-
pannya. Dalam pada itu tubuh Umbara Komang me-
lompat ke situ. Membentak-bentak semua para praju-
rit yang bersikeras menyingkirkan kedua mayat hidup
itu. Namun orang-orang itu masih saja terus mendesak menyerang.
"Siluman-siluman tolol tidak tahu penyakit...
Dua orang ini raja neraka! Ditambah sepasukan kera-
jaan lagi pun kalian tidak akan sanggup menyingkir-
kannya." Umbara Komang mendorong beberapa orang yang ada di hadapannya. Mereka
pun bergulingan.
"Tindakan kalian hanya merepotkan saja! Kalau
mau tetap tinggal di surga kalian menyingkir!" Umbara Komang melancarkan
tendangan menyingkirkan mereka. Orang-orang itu pun segera menyingkir. Semua
yang dikatakan laki-laki gila itu memang benar. Para prajurit itu cukup ngeri
setelah melihat belasan mayat bergelimpangan di sekitar tempat pertempuran. Hal
itu juga yang membuat beberapa orang lari terbirit-birit.
Seketika tempat itu menjadi leluasa. Yang nampak
hanya Wintara menghadapi kedua mayat hidup.
"Dewa...! Jangan gentar terhadap raja-raja ne-
raka itu! Aku datang membantu!" Umbara Komang melancarkan serangan terhadap
salah satu mayat hidup
itu. Adanya bantuan dari Umbara Komang, Wintara ti-
dak perlu tarik otot lagi menghadapi mayat hidup itu.
Wintara sendiri yakin sahabatnya itu pasti bisa mengatasinya. Sebagai pendekar
Pengelana Sakti tentunya
Wintara bisa mengukur kehebatan ilmu Umbara Ko-
mang. Dan ia tidak ragu-ragu lagi membiarkan laki-
laki gila itu menghadapi salah satu mayat hidup.
"Semasa hidupnya mereka musuh-musuhku,
siluman...! Yang kau hadapi adalah jasad Raden Sinto-ro Tinggil!" ujar Wintara,
tangannya menepiskan kedua cakaran yang hampir merobek tenggorokannya. Lalu
membalas menyerang dengan sebuah pukulan. Tin-
junya tepat mengena, bahkan lengan Wintara sampai
menembus di lambung mayat hidup itu. Ketika ia me-
narik lengannya isi perut yang bercampur dengan ra-
tusan belatung menghambur. Wintara bergidik.
"Pantas ia jadi raja neraka! Seorang raden ma-
na pantas jadi siluman!" jawab Umbara Komang yang juga berhasil menendang patah
tulang leher jasad Raden Sintoro Tinggil. Namun mayat hidup itu tetap berdiri
kokoh dengan kepala miring menyentuh bahu. Ke-
dua cakarnya yang runcing siap menerkam. Umbara
Komang berguling ke samping sambil mendorong ke-
dua telapak tangannya... "Deees!" Tenaga yang luar biasa itu melempar jauh jasad
Raden Sintoro Tinggil. Tubuh itu melambung jauh tinggi ke
udara. Di bawahnya menanti pagar bambu dengan
ujung-ujungnya yang runcing berderet.... "Jreeeees!"
Tubuh busuk itu jatuh tepat menancap di atas pagar.
Dengan seketika tubuh itu kaku tak bergeming.
Mengira akan bangkit lagi, Umbara Komang
melesat ke atas lalu kedua kakinya dengan kuat men-
ginjak tubuh busuk itu makin amblas tertancap pagar
bambu. Umbara Komang masih tetap berdiri di atas
tubuh itu. Kedua matanya tertuju pada Wintara meng-
hadapi jasad musuh lamanya. Hantaman-
hantamannya menggeledek mendera. Namun mayat
hidup itu selalu saja dapat bangkit dan menyerang la-gi.
Jasad Gada Rencah ini memang alot. Untuk
mengenal Gada Rencah, anda bisa mengikuti serial
Pendekar Kelana Sakti dalam 'Tapis Ledok Membara')
Wintara sudah melancarkan serangan dengan berbagai
cara. Bahkan selalu mengena telak. Tapi jasad ini tidak pernah roboh dan lumpuh.
Dalam pada itu Wintara
sempat melihat sosok tubuh kaku di atas pagar. Sosok itu tidak lain jasad Raden
Sintoro Tinggil. Umbara Komang berdiri menginjak tubuh itu. Selintas Wintara
mendapat satu cara. Tiba-tiba saja Wintara berlari
menjauh meninggalkan jasad Gada Rencah yang masih
mengejar melancarkan cakaran-cakarannya ke arah
Wintara. Sekali hantam pagar bambu itu berantakan.
Wintara menarik salah satu batang bambu itu. Ujung
bambu yang runcing diarahkan pada jasad Gada Ren-
cah yang datang menerjang. Umbara Komang segera
turun, ia pun mengikuti seperti yang dilakukan Winta-ra Sebilah bambu panjang
dengan ujung yang runcing
pula, siap mengarah. Keduanya sama-sama berlari
berbarengan menyambut terjangan Gada Rencah...
Maka... "Breeees...! Breeeees!" Kedua bilah bambu itu menembus di jasad
menyeramkan. Tubuh busuk itu
pun diam dengan seketika! Mereka mendorong terus
dua bilah bambu. Tubuh yang sudah kaku terkulai
dengan tubuh yang tertembus batang-batang bambu.
Jasad itu betul-betul sudah tak berkutik.
"Ayo siluman... Cepat kita bantu Raden Mas
Kinanjar Swantaka!" Wintara menarik Umbara Ko-
mang. Laki-laki gila itu mengikuti langkah Wintara.
"Siluman hitam telah mengganti nama ku...!"
Umbara Komang nyengir.
"Rasanya nama Umbara Komang sangat cocok
untukku, baguskan nama itu..." katanya lagi. Wintara berhenti melangkah.
"Nama itu lebih bagus daripada aku harus me-
nyebut mu siluman!"
"Asyiiiiik... Aku sekarang Umbara Komang...
Aku bukan siluman lagi! Kalian semua yang silu-
man...!" katanya kegirangan sambil menunjuk-nunjuk orang-orang yang berdiri
ketakutan. Ia bangga sekali dengan nama barunya.
* ** Tendangan Bala Tlenges yang dahsyat luar bi-
asa menjatuhkan dua wanita kembar dan Raden Mas
Kinanjar Swantaka. Ketiganya jatuh bergulingan. Ke-
dua wanita kembar itu menyemburkan darah. Raden
Mas Kinanjar Swantaka memegangi dadanya yang
memar. Bala Tlenges menatap garang saat mereka ber-
gulingan. Ia bukannya tidak tahu dengan kematian ke-
tiga orang temannya. Maka ia tidak tanggung-tanggung lagi melancarkan serangan
ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Namun kedua wanita kembar itu beru-
saha menghalangi dengan sabetan-sabetan cambuknya
yang mendera di tubuh Bala Tlenges.
Dengan sengit Bala Tlenges menangkapi cam-
buk-cambuk yang mendera di tubuhnya. Lalu kuat-
kuat ia menariknya sampai tubuh kedua wanita kem-
bar itu ikut terbawa. Bala Tlenges menyambarnya den-
gan hantaman yang membuat kedua tubuh ramping
itu terbanting. Sebelum Bala Tlenges datang menye-
rang Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit melancar-
kan tendangan. Bala Tlenges yang repot melancarkan hanta-
man ke arah wanita kembar itu tidak sempat meng-
hindari tendangan Raden Mas Kinanjar Swantaka ber-
sarang di pinggang. Umbara Komang yang ada di situ
langsung menghantamkan kedua lengannya ke tubuh
Bala Tlenges yang masih terhuyung. Kontan tubuh
Bala Tlenges terpelanting. Dengan sigap pula ia bangkit berdiri.
Kini di hadapannya telah berdiri lima orang.
Paling tengah berdiri sosok Raden Mas Kinanjar Swan-
taka. Wintara paling ujung di samping Umbara Ko-
mang. "Hukum sudah tidak berlaku lagi untuk ku, Raden... Hayo, kalian lima-
limanya maju semua! Kalian pikir aku gentar?" kata Bala Tlenges sambil mengikat
kencang ikat pinggangnya. Perut serta dadanya
nampak kencang. Pada tenggorokannya masih terbalut
dengan belitan kain usang. Ia melangkah maju. Kedua
wanita kembar, Seriti Wuni dan Seriti Kuni menyerang lebih dulu. Cambuknya
berkelebat ke sana ke mari bagai ekor naga. Raden Mas Kinanjar Swantaka mener-
jang melancarkan dua tinjunya sekaligus. Umbara
Komang melesat ke atas menghantam bagian kepala.
Bala Tlenges tidak mundur selangkah pun. Se-
belah tangannya dapat menangkapi cambuk-cambuk
wanita kembar itu, lalu sebelah lengannya lagi me-
nyambut tinju Raden Mas Kinanjar Swantaka yang
berturut-turut. Benturan hantaman itu membuat Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka terpelanting ke tanah.
Wanita kembar itu memekik kesakitan saat tendangan
keras Bala Tlenges mendarat di perut mereka. Umbara
Komang yang masih di udara melancarkan pukulan-
nya ke kepala Bala Tlenges... "Der!" Jelas sekali kepala itu pecah! Darah mulai
menghambur dari batok kepalanya. Namun Bala Tlenges masih tetap berdiri tegar.
Umbara Komang hinggap di tanah tanpa bersuara. Ia
tidak tahu dari arah belakang Bala Tlenges melancar-
kan tendangannya...
"Plaak!" Wintara datang menepis tendangan itu, tapi dengan cepat pula Bala
Tlenges membalas. Dan
Wintara tidak mengira akan mendapat hantaman telak
di dadanya. Setelah menghantam dada Wintara, Bala
Tlenges memutar kakinya ke belakang...
"Des!" Salah seorang wanita kembar memekik.
Kembali dari mulutnya menyembur darah. Melihat itu,
Wintara melompat menerjang. Hantaman siap mere-
mukkan kepalanya. Namun belum sempat Wintara
melancarkannya, Bala Tlenges berbalik menghantam
pinggangnya... "Bug!" Wintara jatuh terbanting. Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak tinggal diam.
Cepat ia meraih
pedang dari salah seorang prajurit yang berada di dekat situ. Lalu dengan sekuat
tenaga ia membabatkan
ke arah perut...
"Brwweeeek!" Perut itu nampak menghambur-
kan darah. "Ha-ha-ha-ha-ha... Kalian pikir mudah mem-
bunuh ku..." Jangan harap Raden..!" Bala Tlenges malah tertawa. Mendadak
lengannya berputar menghan-
tam Raden Mas Kinanjar Swantaka...
"Deeeeer!" Menghantam keras di dada. Tubuhnya terlempar ke arah bambu-bambu yang
sangat runcing. Wintara cepat menyanggah tubuh itu. Bam-
bu-bambu runcing diam di samping mereka. Kalau ta-
di Wintara tidak cepat menyanggah tubuh Raden Mas


Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kinanjar Swantaka, mungkin tubuh itu telah menjadi
sate manusia. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah
terkulai lemas tak berkutik. Dari mulutnya berkali-kali menyembur darah segar.
"Raden... Bala Tlenges memiliki ilmu membaca
pikiran orang. Satu-satunya orang yang mampu men-
gatasinya cuma Umbara Komang, karena pikiran dia
selalu simpang siur..." bisik Wintara. Raden Mas Kinanjar Swantaka menarik
nafas. "Tangkap dia...!" perintah Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Pendekar kembar menyingkirlah..." teriak Wintara. Maka kedua wanita kembar yang
nampak terluka parah itu menggeser tubuhnya menjauh. Namun Bala
Tlenges masih terus melancarkan serangan kepada
pendekar kembar itu. Wintara dan Umbara Komang
menerjang menghalangi serangan-serangan itu...
"Deeeeer!" Bala Tlenges menyambut Wintara dengan tendangan! Tapi untuk Umbara
Komang, ia berhasil
menghantam punggung Bala Tlenges. Sosok berlumu-
ran darah itu tersungkur namun hanya dalam sekejap
ia bangkit lagi. Kedua tangannya sibuk membetulkan
ikat pinggangnya yang hampir terlepas.
Seriti Kuni menyambar pedang dari tangan Ra-
den Mas Kinanjar Swantaka. Pedang itu dilemparkan-
nya kuat-kuat, maka...
"Jreeeeeb!" Pedang itu menembus di dada
samping ke tulang punggung. Tubuh itu hanya tersen-
tak sebentar, sesaat kemudian ia terus melancarkan
serangan ke arah Umbara Komang.
Kini hanya Umbara Komang sendiri yang
menghadapi Bala Tlenges. Umbara Komang berkelit ge-
sit menghindari serangan-serangan itu. Gerakan-
gerakan aneh Umbara Komang sukar untuk dihindari.
Tubuh yang tertancap pedang itu mendadak mencelat
saat Umbara Komang mendorong kakinya ke depan!
Ternyata tendangan itu sangat keras dan berisikan tenaga penuh.
Semua yang dikatakan Wintara benar! Bala
Tlenges memiliki ilmu membaca pikiran orang. Meng-
hadapi laki-laki gila yang pikirannya semerawut dalam bertindak, Bala Tlenges
betul-betul terkecoh. Ia tidak dapat mengira setiap hantaman yang dilancarkan
oleh Umbara Komang. Bala Tlenges meraung-raung dengan kedua te-
lapak tangan yang siap mencakar. Umbara Komang
hanya nyengir, lalu ia pun mengikuti gerakan-gerakan itu. Mereka sama-sama
mengeluarkan cakaran-cakaran. Sudah tentu Bala Tlenges merasa dipermain-
kan. Maka ia pun menerjang dengan geram... Di luar
dugaan Umbara Komang cepat merunduk sambil ca-
karnya menyambar bagian perut...
"Brweeeeek!" Tanpa sengaja pula ikat pinggang Bala Tlenges ikut tertarik dalam
cakaran Umbara Komang. Sesaat kemudian Bala Tlenges berkelojotan ke-
jang. Jeritannya menggelegar membisingkan tempat
itu. Para prajurit beringsut minggir. Mereka tinggal se-paruh. Separuh lagi
telah berserakan terkapar meme-
nuhi dataran itu. Ada yang tewas ada juga yang luka-
luka berat. Jeritan Bala Tlenges melengking tinggi. Matanya membeliak-beliak
menahan sakit. Tubuh yang berlumuran darah dengan pedang
yang menembus ke punggung itu bangkit terhuyung,
kedua matanya liar menatap ke arah Raden Mas Ki-
nanjar Swantaka. Langkah-langkahnya gontai mende-
kat. Semua mata memandang kepadanya. Rata-rata
mereka menatap ngeri.
Lalu mereka semua yang berada di situ meme-
kik saat Bala Tlenges menerjang deras ke arah Raden
Mas Kinanjar Swantaka yang masih lemas terluka di
samping Wintara. Tentu saja Wintara tidak membiar-
kan Bala Tlenges melancarkan serangan terhadap
orang yang terluka di sebelahnya. Dengan cepat pula
Wintara menendang ke depan... menggagalkan seran-
gan Bala Tlenges... "Deeeeer!" Bala Tlenges ambruk terlentang bersimbah darah
tak berkutik lagi.
Umbara Komang masih memegangi ikat ping-
gang Bala Tlenges. Ikat pinggang itu sudah koyak tak karuan terkena cakaran
tadi. Sambil memonyongkan
bibirnya Umbara Komang melemparkan ikat pinggang
itu. Wintara kagum dengan apa yang dilakukan oleh
Umbara Komang. Lalu ia melangkah mendekati Winta-
ra yang membantu Raden Mas Kinanjar Swantaka
bangkit. "Dewa... Aku lupa dengan nama baruku tadi...
Siapa ya... Kalau tidak salah... Combro eh, bukan...
Bukan Combro... Aduh apa ya...?" Umbara Komang
menggaruk-garuk kepalanya. Wintara dan Raden Mas
Kinanjar Swantaka tertawa. Begitu juga dengan pen-
dekar wanita kembar, meskipun dadanya terasa sakit
ia sempat tersenyum mendengar omongan Umbara
Komang. "Aduuuuh... Kenapa jadi blo'on..." Apa sih tadi nama baruku...?" Umbara Komang
masih mikir. Lalu ia duduk sambil menopangkan telapak tangannya ke
dagu. "Sudah namamu 'siluman' saja! Agar mudah di-ingat...!" kata Wintara
memapah Raden Mas Kinanjar
Swantaka melangkah menuju tenda. Para prajurit mu-
lai berdatangan membantu menggantikan Wintara. Me-
reka segera membawa masuk Raden Mas Kinanjar
Swantaka ke dalam tenda dan merawatnya.
"Tidak, aku tidak mau punya nama 'siluman'!
Tadi yang diberikan oleh siluman hitam sangat bagus
dan aku sendiri pernah mendengarnya! Tapi sekarang
aku lupa!" jawab Umbara Komang. Ia masih duduk
termangu. Dua wanita kembar mendekatinya. Mereka
ikut duduk menghadapi Umbara Komang. Begitu juga
dengan Wintara, ia melangkah ke arah mereka...
"Namamu: Umbara Komang!" kata Wintara se-
telah mendekat.
"Ya! Betul...! Namaku Umbara Komang... Horee!
Aku Umbara Komang!" Laki-laki sinting itu ber-
jingkrak-jingkrak kegirangan. Wintara dan dua pende-
kar wanita kembar tertawa.
Malam makin larut, suasana masih beranta-
kan. Di mana-mana berserakan tubuh-tubuh prajurit
Raden Mas Kinanjar Swantaka. Beberapa prajurit yang
masih hidup mulai membereskan mayat-mayat itu.
Tenda-tenda sudah diterangi lampu-lampu obor. Bulan
di atas sana ikut menerangi dataran itu. Nampak so-
sok Umbara Komang berjingkrak-jingkrak kegiran-
gan... Dengan tingkahnya yang tidak waras!
TAMAT E-Book by Abu Keisel Bende Mataram 16 Pendekar Pemanah Rajawali Sia Tiauw Eng Hiong Karya Jin Yong Lembah Nirmala 27
^