Pencarian

Cinta Pembawa Maut 2

Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut Bagian 2


lalu ambruk. Mawar Merah menancap tepat di
dadanya. Wajah Rukmini mendadak membiru
dengan mata mendelik. Mati!
I Gusti Kumala menarik napas panjang.
Matanya yang bersih dan tajam menatap Rukmi-
ni. Nampak di wajah I Gusti Kumala ada sedikit
penyesalan. "Hyang Widhi..., maafkan aku...! Aku ter-
paksa membunuhnya," gumam I Gusti Kumala.
Dia memang merasa menyesal begitu tahu Ruk-
mini telah mati.
I Gusti Kastasudra melompat ke arah I
Gusti Kumala yang masih termenung, menatap
mayat Rukmini "Kenapa kau menyesali semua ini, Sauda-
raku" Mereka pantas mendapatkan itu. Hyang
Widhi juga tahu. Mereka orang-orang tak beri-
man!" ujar I Gusti Kastasudra.
"Ya. Tapi, siapa orang-orang ini..." Apa
maksud mereka menyerang kita, Kastasudra?"
tanya I Gusti Kumala.
"Entahlah.... Mungkin mereka orang-orang
bayaran," jawab I Gusti Kastasudra sambil menunjuk delapan tubuh yang berserakan
mati ter- geletak di tanah. "Dan, kedua wanita itu mungkin kaki tangan orang bercaping
yang menyerang kita
semalam di hutan...."
I Gusti Kumala hanya manggut-manggut
perlahan. Lalu matanya menyapu orang-orang
yang masih berkerumun di sekitar tempat perta-
rungan. Di salah satu sudut, sepasang mata men-
gamati I Gusti Kastasudra dan I Gusti Kumala.
Sepasang mata yang mengintip dari balik sebuah
kedai yang tak jauh dari tempat kedua pendekar
Pulau Dewata itu lalu menghilang.
4 Murti yang nama lengkapnya Murti Dewi
marah ketika mengetahui kedua murid andalan-
nya tewas dibunuh oleh kedua orang pendekar
dari Pulau Dewata, I Gusti Kumala dan I Gusti
Kastasudra. Saat itu Murti tengah melesat bagai ter-
bang di antara pepohonan di hutan jati.
"Bangsat...! Aku harus membalas. Kedua
orang asing itu harus kutaklukan!" Tak henti-hentinya wanita itu bersungut
marah. "Aku harus mendapatkan kitab yang ada di tangan mereka,
sebelum jatuh ke tangan Pendekar Gila!"
Tak berapa lama, karena menggunakan il-
mu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat tinggi, Murti sampai di pondok kecil di
pinggiran sebuah telaga. Tempat itu sunyi dan
jauh dari desa atau kota karena terlalu di tengah hutan. Murti langsung mengetuk
pintu pondok yang dindingnya terbuat dari tataan kayu dan be-
ratap dedaunan kering.
"Hhh... tak ada orang!" gumam Murti setelah kembali mengetuk lebih keras.
Wajahnya mu- lai muram ketika tak didengarnya sahutan dari
dalam. Sementara itu langit mulai memerah ka-
rena sang Surya sudah merasuk ke ufuk barat.
"Huh...! Ke mana orang itu...!" keluh Murti kesal.
Tiba-tiba pundak Murti ada yang meme-
gang dari belakang. Karena kaget, Murti langsung
menepis tangan itu lalu dengan cepat membalik
dan menyerang orang itu. Namun orang yang
mengejutkan Murti itu dapat menangkis serangan
dengan baik. Dan bahkan dapat menepuk pipi
Murti dengan ujung kipasnya.
Murti yang telah mengenai sosok itu cepat
menghentikan serangannya. Sesosok lelaki ber-
pakaian serba putih dengan lengan panjang.
Rambutnya yang panjang agak berombak diki-
baskan lepas begitu saja. Namun tetap tampan.
"Ha ha ha...!" Lelaki muda itu tertawa-tawa sambil mempermainkan kipas yang ada
di tangan kanan, dipukul-pukulkan di telapak tangan ki-
rinya. "Kau masih saja suka menggoda, Anjasma-ra...!" kata Murti Dewi, tanpa
memperlihatkan kemarahan, bahkan terdengar manja.
Anjasmara, termasuk salah satu lelaki
yang paling akrab dengan Murti. Kerap kali di-
rinya bercumbu memberikan kepuasan lahir ba-
tin pada Murti yang haus kehangatan pelukan le-
laki. "Kau hanya datang padaku, jika memerlukan bantuan. Dan selain itu aku tahu
kau butuh itu, kan...?" goda Anjasmara dengan senyum-
senyum nakal. Matanya memandangi Murti den-
gan tajam. Sambil membalas senyuman. Murti
melangkah mendekati lelaki muda itu.
"Kali ini aku benar-benar mendapat lawan
tangguh. Kuharap kau bisa membantuku. Berapa
pun kau minta, akan kuberi...!" kata Murti sambil mengeluarkan kantong berisi
uang, lalu menyo-dorkannya pada Anjasmara.
"He he he...! Kau ini seperti orang yang
bam kenal aku saja, Murti. Kau tahu aku, kan"
Bukan ini saja yang kuinginkan... Dan kau pasti
setuju...!"
Lalu Anjasmara membisikkan sesuatu di
telinga Murti. Wanita itu tersenyum genit. Belum
sempat dia menjawab, Anjasmara sudah memeluk
dan menciumi lehernya dengan lembut.
"Huh...!" keluh manja Murti, sambil mendorong pelan tubuh Anjasmara. "Kau
gila...! Nanti dilihat orang Anjasmara."
"Kau ini mimpi..."! Tak ada orang di sini.
Selain kita berdua," sahut Anjasmara kalem diiringi senyumnya. Lalu ditariknya
dengan lembut lengan Murti dan diajak masuk ke pondoknya.
"Jangan sekarang, Anjasmara...!" sentak Murti sambil melepaskan genggaman tangan
Anjasmara. "Aneh..."! Biasanya kau begitu berseman-
gat menerima ajakan ku, Murti. Ada apa ki-
ranya..."!" tanya Anjasmara, merasa heran dengan sikap Murti yang tidak seperti
biasanya. "Kali ini aku benar-benar mendapat kesuli-
tan untuk melawan kedua pendekar dari Pulau
Dewata itu. Selain berilmu tinggi, mereka tidak
mudah tergoda dengan rayuan perempuan....
Rukmini dan Lastri yang lebih muda dan cantik
dariku, tak sanggup meluluhkan hati kedua orang
itu," tutur Murti dengan muka murung. Lalu
mendengus keras.
"He he he.... Apakah kau sudah mencoba
untuk merayu salah satu dari mereka"!" tanya Anjasmara dengan tertawa terkekeh.
Kemudian melangkah mendekati Murti, sambil memper-
mainkan kipasnya.
"Belum. Tapi rasanya...."
"Jangan kalah sebelum perang, Murti! Aku
heran, kenapa kau kali ini nampak cemas dan
khawatir menghadapi kedua pendekar dari Pulau
Dewata itu," kata Anjasmara mencoba membang-
kitkan semangat Murti yang biasanya tak pernah
secemas dan setegang ini
"Aku bukan takut menghadapi keduanya.
Tapi, ada sesuatu yang membuatku cemas," ucap Murti, lalu membalikkan badan.
"Apa" Kau jatuh cinta pada salah satu dari
mereka"!" tanya Anjasmara menyelidik. Kemudian membalikkan tubuh Murti dengan
perlahan. Murti tak langsung menjawab. Ditatapnya
mata Anjasmara tajam. Lalu kembali dia memba-
likkan tubuh sambil melangkah dua tindak.
"Aku tak pernah jatuh cinta pada lelaki se-
lain pada Kakang Sena Manggala...! Tapi, aku ju-
ga membencinya! Hhh... aku ingin membalas sa-
kit hatiku...," tutur Murti dengan suara penuh penekanan pada setiap kata.
Anjasmara mengangguk-angguk kepala
tanda mengerti. Sementara itu Murti membalik-
kan badan dan menatap tajam wajahnya yang
tampan. "Aku mulai mengerti sekarang. Lantas, ke-
napa kau mau menghentikan langkah kedua pen-
dekar dari Pulau Dewata itu?" tanya Anjasmara ingin tahu.
"Mereka membawa kitab ajaran ilmu ke-
saktian yang luar biasa. Kitab itu akan diberikan pada Pendekar Gila atau Kakang
Sena. Ini yang sangat mencemaskanku. Aku inginkan kitab itu
jatuh ke tangan kita, dengan cara apa pun....
Dengan kitab itu aku akan dapat menambah ilmu
dan kekuatanku. Hhh... dengan begitu aku akan
terkabul untuk menghabisi gadis kekasih Kakang
Sena itu...," tutur Murti panjang lebar.
"He he he...! Kau memang wanita ulet dan
banyak akal. Namun, kurasa tanpa ajaran kitab
itu, kau pun bisa melawan gadis itu," kata Anjasmara meyakinkan Murti.
"Mungkin apa yang kau katakan benar!
Aku bisa mengalahkan Mei Lie. Tapi, bagaimana
dengan kitab itu. Apakah kau punya akal, Anjas-
mara?" Anjasmara berpikir sejenak sambil memegangi janggutnya, lalu manggut-
manggut. Sambil
tersenyum dia melangkah mendekati Murti.
"Rencanaku pasti berhasil! Tapi, kau harus
membantuku," kata Anjasmara.
"Apa rencanamu itu, Anjasmara...?" tanya Murti lembut setelah melepas kecupan
Anjasmara. "Bagaimana kalau aku menyamar sebagai
Pendekar Gila...?" usul Anjasmara setengah berbisik. Murti mengerutkan kening,
ditatapnya wa- jah Anjasmara lapat-lapat
"Apakah aku tak salah dengar?" gumam
Murti. "Tidak. Bagaimana, setuju..."!"
"Ternyata kau lebih pintar dan banyak akal
dariku. Rencanamu itu membuatku lega. Aku se-
tuju...!" kata Murti, lalu memeluk Anjasmara dan memberikan ciuman mesra.
*** Pada saat ini ternyata Sena atau Pendekar
Gila dan Mei Lie, ditemani Dogol sedang berada di dalam sebuah pondok. Di sana
nampak seorang bocah lelaki berkulit sisik ular naga. Rambutnya
panjang kusut masai tak karuan. Anak itu hanya
memakai cawat Bocah itu duduk di pangkuan Pendekar Gi-
la. Di sisi kiri-kanan Pendekar Gila duduk Mei Lie dan Dogol. Sedangkan di depan
mereka nampak seorang lelaki tua berjenggot panjang sebatas da-
da, duduk di atas sebuah altar besar. Tangan ki-
rinya ditumpangkan di lutut kiri, sedangkan tan-
gan kanan mengusap-usap jenggotnya yang ber-
warna putih itu.
"Aku merasa senang melihat kalian bisa
berkumpul. Saat seperti ini sudah lama kita nan-
tikan...," tutur lelaki tua berambut digelung ke atas. Matanya yang tua, tapi
masih nampak tajam
memandang ke arah Sena dan Supit Songong.
(Tentang Supit Songong, silakan baca serial Pen-
dekar Gila dalam episode : "Perjalanan Ke Akherat"). "He he he...!" Sena tertawa
sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan, sedang-
kan tangan kirinya memeluk Supit Songong yang
duduk di pangkuannya, "Saya juga sudah lama
tak bertemu dengan adik Supit Songong dan
Eyang.... Naga Brahma," kata Sena dengan suara penuh kegembiraan.
"Ya, ya... aku senang kalau kalian bisa se-
lalu berkumpul. Apalagi aku mendengar berita,
bahwa ada dua pendekar dari Pulau Dewata yang
sedang dalam perjalanan kemari. Kini mereka
masih di tanah Pasundan...," tutur Naga Brahma yang berpakaian seperti resi,
berwarna ungu. Kulitnya bersisik, seperti Supit Songong. Kakek berjenggot putih
itu adalah ayah angkat Supit Son-
gong. Sudah tiga bulan lamanya Supit Songong
meninggalkan tempat asalnya, Pulau Ka-rang Api.
Karena dia mendapat firasat, bahwa Pendekar Gi-
la akan datang berkunjung ke Perguruan Naga
Wulung. "Aku sangat senang bisa bertemu dengan
Kakang Sena. Dan kuharap kita bisa terus ber-
sama menumpas orang-orang jahat...," kata Supit Songong.
Kemudian Supit Songong bergeser, duduk
di sisi Sena, sedangkan Dogol bergeser ke kiri.
"Tadi, Eyang berkata ada dua pendekar Pu-
lau Dewata sedang menuju kemari... Maksud
Eyang...?" tanya Mei Lie yang tiba-tiba membuka suara, ingin kejelasan.
Kakek bernama Naga Brahma itu menoleh,
lalu menatap Mei Lie sesaat. Kemudian lelaki ber-
badan penuh sisik seperti naga itu tersenyum
sambil manggut-manggut.
"Pertanyaanmu itu membuatku senang,
Mei Lie. Begini, dua pendekar dari Pulau Dewata
itu bermaksud baik, ada sesuatu yang akan dis-
ampaikan pada Sena. Tapi, ada orang ketiga yang
ingin menghalangi langkahnya di tanah Jawa
Dwipa ini. Dan kalau memang wangsit yang ku-
dapat semalam benar, petaka akan terjadi di Ja-
wa Dwipa ini," tutur Naga Brahma bernada ce-
mas. Pendekar Gila dan Mei Lie saling pandang.
Supit Songong dan Dogol pun nampak terkejut.
Anak bertubuh penuh sisik itu menggaruk-garuk
lengannya, seperti merasa gatal. Supit Songong
memang mempunyai kebiasaan, jika hatinya ce-
mas atau kaget, secara tiba-tiba menggaruk-
garuk lengannya. Ciri khas yang mirip Pendekar


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gila. Hanya saja Supit Songong tidak cengenge-
san. Dia nampak lebih tenang dan diam.
"Apa hubungannya denganku, Eyang..."!"
tanya Sena masih bingung sambil menggaruk-
garuk kepala. "Hem...! Aku belum tahu dengan pasti, Se-
na. Tapi, kalian semua harus waspada terhadap
orang-orang yang mencoba menghalangi maksud
baik kedua pendekar dari Pulau Dewata itu," jawab Naga Brahma penuh wibawa.
"Orang-orang jahat memang sepertinya in-
duk akar yang tidak bisa dihabisi. Selalu tumbuh, dan tumbuh lagi...!" sungut
Supit Songong dengan geram. "Biar aku yang menghabisi mereka, ji-ka nanti kita
dapat menemukan biang keladinya,"
lanjutnya. Bocah laki-laki bertubuh penuh sisik
ular itu menggereng dan mendengus seperti see-
kor ular naga. "Sabar Adik Supit..., tapi kau benar. Kita
harus mencari biang keladi yang ingin mencela-
kan kedua pendekar itu," sahut Sena sambil menepuk-nepuk bahu Supit Songong.
"Licik benar orang itu.... Siapa mereka kira-kira, Eyang...?" tanya Mei Lie
ingin tahu. Gadis cantik ini nampak seperti merasakan sesuatu
bakal terjadi terhadap Pendekar Gila dan dirinya.
Perasaan itu timbul begitu Naga Brahma menga-
takan bahwa ada orang ketiga ingin menghambat
perjalanan kedua pendekar dari Pulau Dewata,
yang akan memberikan sesuatu yang sangat ber-
harga untuk kekasihnya.
"Indra keenamku belum dapat melihat
dengan jelas. Tapi, kalian mulai saat ini harus
waspada...," jawab Naga Brahma tegas.
"Apakah kita perlu menjemput kedua pen-
dekar itu, Eyang?" tanya Supit Songong penuh samangat.
"Ya. Paling tidak kita harus menyelidiki dan membela kedua pendekar itu...,"
sahut Mei Lie tak kalah semangat.
Naga Brahma tidak langsung menjawab.
Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil
mengusap-usap jenggotnya.
"Aku lupa mengatakan pada kalian. Kedua
pendekar itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Mungkin sejajar dengan Sena. Dan yang kutahu
mereka bergelar Mata Dewa. Karena kedua mata
dan hati mereka mengandung kesaktian luar bi-
asa. Tapi mereka tak sembarangan menggunakan
ilmu itu, kecuali jika terluka atau disakiti hatinya.
Dan masih banyak ilmu tingkat tinggi lainnya
yang mereka miliki," tutur Naga Brahma menjelaskan pada mereka.
Mei Lie dan Sena menghela napas panjang,
demikian juga Supit Songong. Sedangkan Dogol
mengantuk sejak tadi. Air liurnya tampak mele-
leh. Perutnya yang gendut bergerak-gerak naik
turun. Tampangnya lucu dengan bibir tebal dan
pipi tembem. "Lantas, apa yang harus kita perbuat...?"
Sena mendadak bertanya dengan nada seperti
acuh dan nampak tenang-tenang saja. Lain den-
gan Mei Lie yang duduk di sebelah kanannya.
Gadis yang cantik bermata indah itu nampak ce-
mas dan tak tenang.
"Sebaiknya kalian untuk sementara tunggu
di sini. Bersabarlah untuk beberapa hari ini!" saran Naga Brahma.
Setelah bicara begitu lelaki tua itu perla-
han-lahan berubah wujud. Naga Brahma berubah
menjadi seekor naga berwarna keemasan dengan
mahkota di kepalanya yang juga berwarna emas.
"Ingat pesanku, jangan kalian mengikuti
hawa nafsu dan amarah...!"
"Baik, Eyang...," sahut mereka berbarengan. Sementara itu Dogol baru saja bangun
dari tidurnya, terkejut melihat wujud Naga Brahma
yang telah berubah menjadi seekor naga besar
keemasan. Dogol langsung menutup wajah den-
gan kedua telapak tangannya. Tubuhnya yang
gemetaran merapat ke badan Supit Songong.
Anak nada itu hanya tersenyum-senyum melihat
Dogol yang ketakutan.
Tiba-tiba Naga Brahma menghilang dari
pandangan mata. Sena, Mei Lie, dan Supit Son-
gong nampak agak lega. Sebab, kini mereka me-
rasa lebih bebas untuk merunding dan berbicara
secara gamblang.
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk mene-
mukan orang yang menghalangi maksud baik ke-
dua pendekar dari Pulau Dewata itu!" kata Mei Lie memperlihatkan kegeramannya.
"Benar. Aku pun bermaksud sama dengan
Nini Mei Lie. Tapi, Eyang Naga Brahma melarang
kita untuk meninggalkan tempat ini," sahut Supit Songong dengan nada agak
kecewa. "Sabarlah...! Nanti juga ada jalan untuk
menyelesaikan persoalan ini. Jangan langgar na-
sihat Eyang Naga Brahma...!" kata Sena kalem, lalu cengengesan. Mei Lie nampak
cemberut melihat sikap Sena yang tenang-tenang saja itu.
Sementara itu, Dogol nampak sudah terti-
dur lagi. Kini pemuda gendut itu sudah telentang
di tanah. Sena dan Mei Lie hanya bisa mengge-
leng-geleng kepala. Sedangkan Supit Songong ter-
tawa-tawa geli.
*** I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra kini
telah memasuki Jawa Dwipa bagian tengah, sete-
lah melalui lembah dan pegunungan di perbata-
san timur daerah Pasundan.
Di bawah matahari yang tidak terlalu pa-
nas, kedua sosok lelaki berjubah itu tampak me-
nyusuri padang ilalang yang sangat luas. Di ka-
nan dan kiri jalan setapak yang mereka lalui ba-
tang-batang ilalang tumbuh tinggi sampai sedada.
Namun tanpa diduga, dari balik ilalang
yang rapat dan tebal, tiba-tiba bermunculan lima
sosok lelaki berpakaian putih semua. Keenam so-
sok lelaki itu masing-masing memegang sebuah
kipas besar. "Hah..."! Rupanya ada lagi manusia-
manusia bodoh di sini...," gumam I Gusti Kastasudra dengan kalem. Kedua pendekar
Pulau De- wata itu nampak tenang menghadapi keenam
orang yang dalam sekejap telah mengurung mere-
ka. Tanpa basa-basi keenam lelaki berambut
panjang digelung ke atas itu langsung berpencar
menjadi dua bagian. Masing-masing telah melan-
carkan serangan secara cepat. Tiga orang menye-
rang I Gusti Kumala dan tiga lagi menyerang I
Gusti Kastasudra.
Terjadilah pertarungan yang cukup seru.
Gerakan-gerakan kedua pendekar yang berjuluk
Mata Dewa itu tampak tenang dan teratur,
meskipun menghadapi keroyokan. Keduanya me-
lompat dan melenting ke sana kemari di tengah
rumput ilalang itu.
Teriakan-teriakan keras terdengar, seakan
hendak memecah keheningan siang di padang ila-
lang itu. Seketika rerumputan dan ilalang yang
sedang berbunga itu tampak morat-marit diter-
jang pertarungan.
Dengan gerakan yang cepat dan indah ki-
pas-kipas berwarna putih itu berkelebatan di atas dedaunan ilalang yang serba
hijau, melancarkan
serangan. Sepintas terlihat bagaikan gerakan-
gerakan tarian. Apalagi ketika kipas-kipas ter-
kembang lebar dan dikibaskan dengan cepat, di-
iringi liukan tubuh pemiliknya.
Terpaksa I Gusti Kumala melenting ke uda-
ra dengan gerakan yang indah dan cepat. Lelaki
gagah berjubah putih itu kemudian menggunakan
senjatanya untuk menangkis dan menyerang.
"Modar kau orang asing! Heaaa...!" seru salah seorang yang menyerang I Gusti
Kumala den- gan sebuah tendangan, lalu disusul sabetan ki-
pasnya yang meliuk-liuk cepat.
Namun, I Gusti Kumala rupanya sudah
tanggap akan hal itu, hingga dengan mudah
mampu mengelak. Kemudian dengan gerakan ce-
pat, sambil melompat dia menghantarkan seran-
gan balik yang mematikan.
Salah seorang dari mereka menjerit keras
menyayat hati. Keningnya retak dan terdapat tan-
da dua jari tangan. Seketika lelaki gagah yang
masih memegang kipas itu ambruk dan tak ber-
nyawa lagi. "Kurang ajar...!" seru yang lain ketika melihat temannya begitu cepat tewas di
tangan lawan. Keduanya langsung menyerang berbaren-
gan. Sebuah gempuran dahsyat yang sulit diatasi
oleh I Gusti Kumala. Hingga....
Wuuut! Bret! "Ukh!"
I Gusti Kumala terpekik kaget, ketika kipas
lawan berhasil menggores lengan kirinya. Keja-
dian ini membuatnya semakin waspada dan me-
ningkatkan serangan. Gerakannya semakin cepat
dan ganas. Kainnya berkelebatan, menyerang dan
melakukan tangkisan terhadap kibasan senjata
lawan. Sementara itu I Gusti Kastasudra pun ma-
sih sibuk menghadapi lawan-lawannya. Lelaki
gemuk itu melompat sambil melepaskan selen-
dang ikat pinggangnya. Digunakannya selendang
itu sebagai senjata, ketika ketiga lawannya me-
nyerang berbarengan dari tiga arah.
I Gusti Kastasudra rupanya lebih ganas ka-
rena ingin menyelesaikan pertarungan lebih
cepat. Maka dengan serangan-serangan mautnya
I Gusti Kastasudra langsung menjulurkan selen-
dangnya. Selendang itu begitu cepat meluncur
memburu ketiga lawan yang masih melayang di
udara karena hendak melakukan serangan. Ba-
gaikan ular, selendang putih itu membelit ketiga
lelaki bersenjata kipas. I Gusti Kastasudra kem-
bali menarik selendangnya. Ketiga orang yang ter-
lilit itu tentu saja terbawa. Dan setelah dekat I Gusti Kastasudra langsung
menghantam dengan
tangan kirinya. Sebuah pukulan yang dilancarkan
dengan tenaga dalam.
Ketiga orang yang terlilit menjerit keras
memilukan. Kemudian tak terdengar lagi sua-
ranya. Secepat itu pula I Gusti Kastasudra meng-
hentakkan lagi selendangnya ke udara. Seketika
selendang yang melilit ketiga orang tadi terbuka.
Brak...! Ketiga lelaki bersenjata kipas itu jatuh ke
tanah setelah lebih dulu terlontar di udara.
"Aku terpaksa membunuh kalian! Itulah
ganjaran orang-orang licik macam kalian!" gumam I Gusti Kastasudra sambil
memakai selen- dangnya. Sesaat kemudian telah rapi.
Sementara itu, I Gusti Kumala baru saja
menyelesaikan pertarungan.
"Oh, Hyang Widhi..., aku terpaksa membu-
nuh orang-orang ini...," gumam I Gusti Kumala dengan wajah sedih penuh
penyesalan. Namun lain dengan I Gusti Kastasudra. Dia
nampak tersenyum puas. Lalu mendekati I Gusti
Kumala yang masih menatapi mayat-mayat yang
tergeletak di hadapannya.
"Sudahlah, Saudaraku. Tak usah disesal-
kan lagi! Semuanya sudah terjadi. Dan orang-
orang itu memang harus mendapat ganjaran...,"
kata I Gusti Kastasudra, setelah berada di sebelah I Gusti Kumala.
"Aku mengerti. Tapi, kenapa kita harus
membunuh orang di tanah Jawa Dwipa ini..." Kita
harus segera dapat menemukan biang keladi se-
mua ini...!"
I Gusti Kastasudra hanya menganggukkan
kepala, lalu menghela napas dalam-dalam.
Tanpa diketahui tak jauh dari tempat me-
reka di balik alang-alang yang tinggi dan rimbun, ada dua sosok tengah
mengintip. Kedua sosok
yang mengintip itu berjongkok di dalam ilalang,
sehingga tak jelas keadaan wajah maupun tu-
buhnya. "Aku mempunyai firasat mereka pasti men-
ginginkan kitab pusaka yang kita bawa ini," ujar I Gusti Kumala tiba-tiba. Kedua
matanya yang tajam mengawasi ke sekeliling tempat itu, meyakin-
kan bahwa tak ada yang melihat mereka.
"Kurang ajar, ini pasti orang-orang Pergu-
ruan Kumbang Emas! Yang kukalahkan dalam
pertarungan persahabatan tempo hari...," sahut I Gusti Kastasudra dengan kesal.
"Mungkin juga, tapi bagaimana mereka bi-
sa tahu" Sedangkan kita hanya bicara empat ma-
ta pada Bronto Widura...," kata I Gusti Kumala sambil menggeleng kepala
perlahan. "Pasti ada yang mendengar percakapan kita
itu, Saudaraku...! Tapi, siapa orang itu..."!" I Gusti Kastasudra nampak
berpikir keras.
"Sudahlah! Yang penting kita harus lebih
waspada. Harus kita hadapi, apa pun rintangan-
nya," tandas I Gusti Kumala.
Lalu keduanya melangkah pergi dari tem-
pat itu. Mereka sengaja mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat tinggi. Sehingga gera-


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan mereka yang begitu cepat bagai terbang. Da-
lam sekejap tubuh mereka telah lenyap. Namun
baru beberapa lama kedua pendekar dari Pulau
Dewata itu menghilang, muncul dua sosok
bayangan melesat menuju tempat pertarungan
itu. Setelah dekat, jelaslah kalau kedua sosok itu ternyata seorang wanita muda
berwajah cantik
dengan lelaki bertubuh tegap dan tampan. Wanita
itu mengenakan pakaian silat yang ringkas den-
gan kain diikatkan begitu saja tanpa celana pan-
jang. Hingga betis dan sebagian pahanya tampak
menantang. "Huh!" dengus si Wanita kesal. "Kau harus segera bertindak!" perintahnya
kemudian pada lelaki muda di sampingnya.
"Sabar, Murti...! Aku bisa mengatasi kedua
orang asing itu," jawab lelaki muda berpakaian putih yang memegang sebuah kipas
lebar. "Anjasmara, kau harus segera memulai pe-
nyamaranmu. Aku pun akan bertindak dengan
caraku sendiri. Aku tak ingin kau gagal. Kitab itu harus bisa kita kuasai...!"
kata Murti dengan nada tinggi. "Percayalah, jangan kau terburu nafsu!
Yang penting kita akan bertindak sesuai rencana
kita. Dan aku mohon kau jangan merubah renca-
na yang telah kita sepakati, Murti...," kata Anjasmara tegas.
"Pokoknya aku minta, kedua orang itu ha-
rus dapat kau tahan. Kalau sampai keduanya le-
bih dulu bertemu Pendekar Gila, kita akan cela-
ka!" Selesai berbicara begitu, Murti tanpa banyak bicara lagi melesat pergi
meninggalkan An-
jasmara. Lelaki muda itu hanya bergeleng kepala
melihat kepergian Murti.
"Dasar perempuan keras kepala!" gumam
Anjasmara. *** 5 Keadaan rimba persilatan semakin kacau
ketika muncul tokoh-tokoh aliran hitam mencari
kedua pendekar dari Pulau Dewata itu. Karena
seseorang telah menyebarkan berita bahwa kedua
pendekar yang berjuluk Mata Dewa itu membawa
kitab sakti mandraguna.
Seperti pada sore itu, terjadi sebuah perta-
rungan sengit di sebuah hutan. I Gusti Kumala
dan I Gusti Kastasudra harus berhadapan dengan
beberapa tokoh golongan hitam yang mencegat
mereka. Kedua pendekar dari Pulau Dewata itu
bertarung sekuat tenaga guna mempertahankan
diri. Mereka bertarung dengan ilmu-ilmu ting-
kat tinggi. Namun lima orang tokoh sesat berilmu
tinggi yang mengeroyok tak mampu mengalahkan
kedua pendekar itu. Hanya dalam waktu singkat,
kelima tokoh sesat itu terkapar, mati di tangan
sepasang Mada Dewa.
Crasss...! Plak! "Aaakh...!"
Jeritan yang panjang terdengar bersahutan
dari lima tokoh sesat yang di antaranya Barong
Porwa. Pimpinan Perguruan Kumbang Merah
yang pernah dipecundangi I Gusti Kastasudra da-
lam pertarungan persahabatan di perguruan
Bronto Widura. "Aku merasa ada sesuatu yang tak beres.
Entah apa sebenarnya yang telah terjadi. Sejak
kedatangan kita ke Jawa Dwipa, sepertinya ada
yang ingin menghalang-halangi perjalanan kita,"
tutur I Gusti Kumala, setelah menghela napas.
"Sepertinya ada sesuatu yang salah. Sulit
dipercaya, kita diserang tanpa alasan," sahut I Gusti Kastasudra. Kemudian
membersihkan pakaiannya yang kotor.
"Tidak setiap tindakan punya alasan...,"
ujar I Gusti Kumala.
Sementara itu Murti atau si Mawar Merah
mulai menjalankan siasatnya. Murti mulai mem-
bunuh orang-orang Perguruan Karang Jati se-
buah perguruan silat yang dipimpin oleh Ki Wa-
napati. Setelah itu dengan cara menyamar Murti
bersama beberapa orang bayarannya menyebar-
kan berita, bahwa semua pembantaian terhadap
Perguruan Karang Jati adalah perbuatan kedua
pendekar dari Pulau Dewata bersama orang-
orangnya. "Hi hi hi...! Jika Sena atau pengikutnya
mendengar berita ini, pasti akan marah. Dan...
aku akan melihat pertarungan orang-orang sakti
itu. Aku dapat ambil kesempatan untuk membu-
nuh kedua tokoh dari Pulau Dewata itu. Hi hi
hi...!" Murti sangat gembira, karena merasa akan berhasil mengadu domba antara
Pendekar Gila dan kedua pendekar dari Pulau Dewata itu.
Pada saat itu Sena dan Mei Lie, yang bera-
da di kediaman Naga Brahma. Tiba-tiba dike-
jutkan oleh datangnya Supit Songong bersama
Dogol. "Ada apa" Dari mana kalian" Kalau Eyang Naga Brahma tahu, beliau akan
marah... Bukankah Eyang sudah pesan bahwa kita harus me-
nunggunya?" ujar Sena pada Supit Songong dan Dogol.
"Maafkan aku, Kakang," jawab Supit Son-
gong. Sedangkan Dogol hanya bisa melongo den-
gan napas engos-engosan, seperti orang habis
berlari jauh. "Kenapa kalian nampak murung...?" tanya Mei Lie kemudian.
"Tadi kami bermaksud ingin membeli ma-
kanan di desa. Sampai di kedai mendengar pem-
bicaraan orang-orang, bahwa Perguruan Karang
Jati dihancurkan deh kedua pendekar dari Pulau
Dewata bersama pengikutnya.... Dan malah
menurut kabar keduanya juga menantang Kakang
Sena," tutur Supit Songong dengan tegas. Wajahnya nampak masih murung.
"Apa..."!" teriak Mei Lie yang tersentak mendengar keterangan itu. "Kurang
ajar...! Kenapa mereka bisa begitu. Bukankah menurut Eyang
Naga Brahma, mereka datang untuk bersahabat
dan akan saling menimba ilmu, bahkan ingin
memberikan sebuah kitab suci pada Kakang Se-
na..."!" tambah Mei Lie dengan nada agak tinggi karena kesal.
Sena sendiri nampak bergeleng kemudian
menggaruk-garuk kepalanya. Mulutnya cengenge-
san seakan tak ada rasa cemas dan kaget.
"Aneh...! Hi hi hi..., sungguh lucu memang
dunia ini. Kenapa orang selalu berubah pikiran,"
gumam Sena seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Bagaimana tindakanmu, Kakang" Bukan-
kah Perguruan Karang Jati milik Ki Wanapati?"
tanya Mei Lie dengan wajah nampak mulai geram.
"Ya. Ki Wanapati orang yang bijak. Dia
saudara seperguruan paling muda Eyang Guru
Singo Edan!" jawab Sena dengan mengangguk-
anggukkan kepala.
"Lantas, bagaimana" Apakah Kakang
hanya akan diam saja?" Kembali Mei Lie mendesak Pendekar Gila.
"Kita sebaiknya menyelidikinya, Kakang
Sena. Menurut firasatku, bukan kedua pendekar
berjuluk Mata Dewa itu yang memporak-
porandakan Perguruan Karang Jati," kata Supit Songong mengutarakan perasaannya.
Sena menoleh ke arah Supit Songong. Pada
saat itu tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang
didahului dengan asap putih, disusul dengan su-
ara desisan. Sinar dan asap itu pun sekejap be-
rubah menjadi seekor naga bersisik emas.
Sena, Mei Lie, Supit Songong langsung
menjura. Begitu juga Dogol. Dogol menjura, tapi
kakinya gemetaran. Bibirnya pun bergetar, takut
melihat sosok naga besar di hadapannya.
"Zzzt...!" Naga bersisik keemasan itu mendesis. Lidahnya menjulur menjilati
Sena, Mei Lie, Supit Songong dan terakhir Dogol.
Dogol semakin gemetar ketakutan. Tubuh-
nya yang gendut dan bundar basah keringat,
menggigil seperti orang kedinginan. Namun hanya
berlangsung sekejap, karena perlahan-lahan wu-
jud naga besar itu berubah menjadi lelaki tua berjenggot panjang.
"Sembah kami, Eyang...." Terdengar suara
mereka berempat
"Hm...!" gumam lelaki itu pendek.
"Eyang, kami mendapat persoalan yang
sangat rumit... Perguruan Karang Jati milik Pa-
man Wanapati, menurut orang-orang dihancur-
kan oleh kedua pendekar dari Pulau Dewata itu.
Bukankah itu sama saja menginjak-injak kita se-
mua, Eyang.... Karena perguruan itu masih ada
hubungan dengan kita, menurut Kakang Sena,"
kata Mei Lie tiba-tiba dengan wajah menampak-
kan kekesalan. "Hm. He he he...! Jangan terbawa amarah-
mu, Mei Lie. Tapi, aku tidak menyalahkanmu.
Sudah kuketahui semua itu. Rupanya memang
ada orang ketiga yang ingin mengacaukan semua
maksud baik kedua pendekar itu." Sejenak Naga Brahma menghentikan ucapan, lalu
mengelus-elus jenggotnya yang putih bersih itu. "Seorang wanita yang pernah kau
kenal, ingin membalas
dendamnya pada kalian berdua...!" lanjutnya
sambil menunjuk Pendekar Gila dan Mei Lie.
Kontan saja Sena dan Mei Lie tersentak ka-
get. Terutama Mei Lie. Namun kemudian Pende-
kar Gila tampak cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. "Siapa perempuan licik itu, Eyang..."! Ra-
sanya kami tak pernah berbuat jahat pada seseo-
rang," kata Mei Lie dengan nada cemas.
"Memang. Tapi, aku tak bisa menjelaskan
lebih dari itu. Nanti kalian sendiri yang akan
mengetahui siapa wanita itu...," tutur Naga
Brahma dengan suara penuh wibawa dan besar.
Mei Lie menghela napas panjang, lalu meli-
rik ke arah Pendekar Gila yang tampak tenang-
tenang saja. "Lantas, apa yang harus kami lakukan,
Eyang?" tanya Sena dengan kalem.
"Aku serahkan pada kalian semua. Asalkan
kalian memang yakin dapat membuka tabir yang
masih terselubung dalam peristiwa pelik ini. Doa-
ku bersama kalian. Sekarang kuijinkan kalian
pergi. Agar tempat ini tidak menjadi ajang perta-
rungan orang-orang yang ingin merusak kesucian
tempat ini...," tutur Naga Brahma.
"Terima kasih, Eyang. Kami mohon doa
restu Eyang...," sahut Sena sambil menjura, diikuti yang lain.
Naga Brahma hanya menganggukkan kepa-
la perlahan. Sena, Mei Lie, Supit Songong, dan Dogol
segera beranjak dari tempat itu, meninggalkan
Naga Brahma. Lelaki tua bertubuh penuh sisik
seperti layaknya ular naga itu kemudian meli-
patkan kedua tangan di dadanya. Matanya terpe-
jam rapat, melakukan semadi.
*** "Ke mana kita harus mencari pengacau itu,
Kakang?" tanya Mei Lie dengan nada yang terdengar sudah tak sabar lagi.
Gadis itu berjalan di sisi kiri Sena, sedang-
kan Supit Songong berada di depan bersama Do-
gol. Terkadang anak bersisik naga itu melompat
ke pundak Dogol dan tertawa-tawa menggoda.
Tangannya yang hitam memegang pentil Dogol
yang gemuk. Pemuda bertubuh bulat itu tertawa-
tawa kegelian. "Siapa kira-kira perempuan yang mengin-
ginkan kematian kita itu, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie dengan wajah cemberut
"Entahlah, aku belum bisa berpikir. Aneh!
Ada saja manusia macam itu! Memangnya nyawa
orang kaya ayam!" kata Sena berseloroh. Lalu menggaruk-garuk kepala dan tertawa
kecil sambil menatap ke arah Mei Lie. Gadis itu juga bertam-
bah kesal. "Jangan bercanda, Kakang! Ini bukan se-
pele. Kita bisa celaka nanti...!" kata Mei Lie dengan nada kesal. Namun Sena
tetap nampak cen-
gengesan. Tiba-tiba Pendekar Gila menghentikan
langkahnya. Mei Lie pun mengikutinya.
"Supit..!"
Supit Songong yang sudah berjalan di sisi
Dogol pun berhenti sambil menoleh ke belakang.
Diikuti Dogol, yang memegangi perutnya. Supit
Songong segera menghampiri Sena dan Mei Lie.
"Ada apa, Kakang Sena?" tanya Supit
"Kita nampaknya harus bersiasat. Kita ha-
rus berpencar. Kau dan Dogol mencari dan me-
nyelidiki keadaan tempat-tempat yang mencuri-
gakan. Biar aku dan Mei Lie menyelidiki di tempat
lain. Sebelum malam tiba, kalau bisa kita harus
sudah berkumpul kembali di Perguruan Kera Pu-
tih, tempat Paman Wanara Sakti...!" usul Sena pada bocah bersisik naga itu.
"Baik, Kakang Sena. Kami segera pergi...,"
sambut Supit Songong sambil menjura lalu pergi.
Dogol nampak ragu. Namun Pendekar Gila
mengisyaratkan dengan anggukan kepala. Lelaki
gemuk itu pun melangkah setelah mengangguk-
kan kepala pada Sena dan Mei Lie.
"Sebenarnya aku mengkhawatirkan Dogol
dan Supit Songong. Tapi mereka harus dilatih un-
tuk berani. Seperti Eyang Guru Singo Edan mela-
tihku sejak masih kecil seumur Supit Songong.


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata manfaatnya sangat banyak dan berarti
sekali bagiku," kata Sena seakan bicara pada diri sendiri. Mei Lie hanya
menganggukkan kepala
perlahan tanda mengerti.
Sejenak Sena menghela napas panjang, la-
lu menoleh ke arah Mei Lie yang sedang meman-
danginya. Pandangan mata kedua muda mudi itu
beradu, Mei Lie tersenyum, mukanya agak merah.
"Lantas kita bagaimana, Kakang Sena...?"
tanya Mei Lie untuk sekadar menghilangkan rasa
malu. "Sebaiknya kita cepat melakukan penyeli-dikan...," jawab Sena, lalu
melangkah diikuti Mei Lie
*** Siang itu di Perguruan Panca Ungu yang
beraliran putih sedang diporak-porandakan oleh
lima orang berpakaian serba merah dengan muka
sebagian tertutup kedok kain. Rambut kelima
orang yang panjang dibiarkan lepas tergerai begi-
tu saja. Jeritan-jeritan keras dan panjang terdengar
memecah suasana siang. Kelima orang itu dengan
ganasnya membakar dan membunuh orang-orang
Perguruan Panca Ungu yang tak sempat melaku-
kan perlawanan berarti. Sebab serangan itu da-
tang secara mendadak.
"Kurang ajar! Kalian berani mengganggu
kami. Rasakan ini...!"
Ki Kidang Ungu, Pimpinan Perguruan Pan-
ca Ungu dengan cepat menyerang salah satu dari
kelima orang berseragam merah itu.
Keduanya dengan ganas saling pukul dan
tendang. Ki Kidang Ungu mengibas-ngibaskan
tombaknya menyerang kaki lawan. Namun orang
berkedok merah itu dengan mudah dapat menge-
lak. Bahkan dengan cepat dia melompat lalu me-
lancarkan serangan balik yang cukup dahsyat
Slats! Slats! Tanpa diduga, lawan melontarkan senjata
rahasia berua bunga-bunga Mawar Merah. Ki Ki-
dang Ungu terkejut dengan mata terbelalak. Sege-
ra dia menangkis dengan tombaknya yang diputar
cepat Trak! Trak!
Mawar Merah yang keras bagai besi itu be-
radu. Ki Kidang Ungu berhasil melompat menge-
lakkan serangan. Namun tanpa diduga dari arah
belakang meluncur pula dengan derasnya Mawar
Merah yang dilontarkan lawan yang lain.
Slats! Slats! Jlep! Jlep! Ki Kidang Ungu menjerit. Dua Mawar Me-
rah menancap tepat di tengkuk dan punggung-
nya. Beberapa saat kemudian Ki Kidang Ungu ro-
boh dan tak bergerak lagi.
Sementara di sana-sini semakin banyak
murid Perguruan Panca Ungu yang tewas. Darah
berceceran di tanah halaman perguruan ini.
"Ha ha ha...! Kita telah melaksanakan tu-
gas dengan baik. Cepat kita tinggalkan tempat ini, sebelum ada yang melihat
kita!" seru salah satu dari kelima orang berkedok merah.
Namun, baru saja mereka akan meninggal-
kan halaman Perguruan Panca Ungu, tiba-tiba...
"Berhenti...!" Terdengar suara bentakan keras dari belakang mereka.
Kelima sosok berkedok merah itu kaget lalu
berbalik. Mata mereka terbelalak melihat sosok
bocah berkulit sisik ular tengah menatap dengan
kedua matanya yang bersinar kemerahan.
Kemudian muncul lelaki muda berperawa-
kan pendek dan berperut gendut yang tak lain
Dogol. Pemuda itu tertawa sambil menggaruk-
garuk perutnya.
Kelima orang berpakaian serba merah itu
saling pandang sejenak. Lalu orang yang paling
depan berseru. "Hei... kau anak setan dan kau gendut!
Jangan coba-coba melawan kami, jika ingin lebih
lama hidup di dunia! Cepat pergi sebelum kami
bertindak kasar pada kalian...!"
Bocah kecil berkulit sisik ular yang tak lain
Supit Songong. Mulutnya menyeringai memperli-
hatkan gigi-gigi taringnya yang mengkilat. Kedua mata anak naga itu menyala
merah ketika lidahnya yang bercabang bagai ular menjulur keluar.
Kelima orang berpakaian serba merah itu
kaget melihat sosok bocah aneh itu. Mereka kem-
bali saling pandang. Lalu tanpa berkata-kata, se-
mua bergerak serentak mengurung Supit Songong
dan Dogol. Dogol mengerutkan kening dan menelan
ludah sambil terus menggaruk-garuk perutnya.
"Supit.. apa yang harus kuperbuat.." Mere-
ka nampaknya berilmu tinggi," kata Dogol dengan suara perlahan.
"Zzrf...! Kau harus berani menghadapi me-
reka. Jangan bikin malu Kakang Sena!" jawab Supit Songong sambil mendesis.
Kelima orang berpakaian serba merah itu
terus bergerak cepat mengintari Supit Songong
dan Dogol. "Rupanya kalian yang membuat kekacauan
dan merusak nama baik Kakang Sena...! Akan
kuhabisi kalian...! Zzzttt... Gmr...!"
Supit Songong terus menjulurkan lidahnya
yang bercabang dan mengandung racun ganas
itu. "Tiba-tiba....
Wret! Wret! Serentak kelima orang berpakaian serba
merah itu melesat melancarkan serangan cepat
sekali. Namun dengan gerakan tak kalah cepat
Supit Songong dan Dogol melompat ke udara dan
bersalto lalu mendarat di tempat lain dengan
sempurna. Kelimanya lalu memencar jadi dua ba-
gian. Dua menghadapi Dogol dan tiga menghadapi
Supit Songong. Pertarungan menjadi seru. Supit Songong
yang mulai marah dengan ganas menyerang. Ke-
dua tangannya bergerak mencengkeram dan
mencakar. Bagai seekor naga yang sedang men-
gamuk. "Grrr... zzzttt..!"
Suara geraman dan desisan yang mengge-
tarkan terus terdengar dari mulut kecil si Bocah
Ular itu. Tangannya yang hitam dan bersisik
mencengkeram ke sana kemari memburu tiga la-
wannya. Sehingga ketiga orang berkedok merah
itu tampak kewalahan menghadapi gerakan yang
cepat dan menggiriskan.
Sementara itu Dogol dengan gaya yang lu-
cu terus bergerak mencoba menghadapi gempu-
ran kedua lawannya. Dari gerakan-gerakan yang
lucu, tampak pemuda bertubuh gemuk itu tengah
mengerahkan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Sa-
lah satu jurus andalan yang dimiliki oleh Pende-
kar Gila. Dari gerakan itu, keluar serangkum an-
gin yang mampu menahan gerakan lawan.
Kedua lelaki berkedok itu terkejut melihat
jurus aneh yang dimiliki Dogol. Walaupun agak
kaku, namun sudah bisa membuat kedua lawan-
nya berpikir dua kali untuk menyerang pemuda
berperut buncit itu. (Untuk mengetahui lebih jelas tentang Dogol, baca serial
Pendekar Gila dalam
episode : "Serikat Serigala Merah")
"Edan! Orang gendut ini ternyata mempu-
nyai jurus aneh yang belum pernah kulihat..!"
gumam salah seorang lawan Dogol sambil melent-
ing menghindari serangan angin itu.
Sedangkan yang satu lagi terlambat untuk
mengelak. Pukulan telapak tangan Dogol yang
tampak lamban dan tak bertenaga mendarat di
tengkuknya. Dogol ternyata menggunakan jurus
'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang didapat dari
Pendekar Gila, selama mengikuti pengembaraan
pendekar kesohor itu.
Plak! Lelaki berkedok merah itu terpekik keras.
Tubuhnya langsung terpental ke samping dan
bergulingan di tanah.
"He he he...! Mampus kau!"
Dogol tertawa-tawa. Namun salah seorang
lagi mendadak dengan cepat melancarkan seran-
gan kilat ke arah Dogol yang tengah merasa bang-
ga. Dogol tersentak kaget melihat lawannya
melompat ke udara dengan melancarkan tendan-
gan keras. Dugkh! "Aduuuh...!"
Dogol memekik. Tubuhnya yang tambun
terhuyung ke belakang beberapa tindak lalu ro-
boh. Sambil memegangi dadanya dia meringis-
ringis kesakitan.
Supit Songong marah saat tak sengaja me-
lihat Dogol ambruk. Tubuhnya melesat bagai ter-
bang ke arah orang yang menyerang Dogol. Den-
gan gerakan kilat Supit Songong menerkam orang
itu lalu menjilatinya.
Seketika orang berkedok itu menjerit Tu-
buhnya kejang-kejang lalu ambruk dan mati!
"Dogol..., menyingkirlah! Biar orang-orang
ini aku hadapi...!" seru Supit Songong. Lalu kembali dia menyerang lawannya yang
tinggal empat orang. Dogol segera menjauh. Satu orang yang
kena tepukan Dogol nampak telah bangkit dan
ikut menyerang Supit Songong. Pertarungan se-
makin seru. Keempatnya dengan ganas menye-
rang bocah bersisik ular itu dengan melancarkan
senjata-senjata rahasia mereka yang berupa Ma-
war Merah. Slats! Slats! Supit Songong kaget. Namun bocah bersi-
sik yang berasal dari Pulau Karang Api itu masih
sempat mengelak. Tubuhnya yang kecil melenting
dan berputaran di udara guna mengelakkan se-
rangan Mawar Merah yang mengandung racun
ganas itu. Supit Songong akhirnya hinggap pada se-
batang cabang pohon tak jauh dari tempat perta-
rungann. Sementara Dogol masih nampak merin-
gis menahan sakit. Tapi tak parah.
"Grrrr.... Zzzttt...!"
Supit Songong mendadak terbang dan
meluncur ke arah keempat lawan yang melompat
ke udara, bermaksud menyerangnya dengan me-
lontarkan senjata-senjata Mawar Merah. Namun
Supit Songong lebih cepat menyemburkan bola-
bola api ke arah keempatnya. Keempat orang ber-
kedok yang masih di udara kaget, hingga tak da-
pat mengelak lagi. Seketika terdengar suara jeri-
tan keras bersahutan dari keempatnya karena tu-
buh mereka terterjang bola api yang ganas dan
sulit dipadamkan.
Keempat orang berpakaian serba merah itu
berpentalan jatuh ke tanah dengan keras. Mulut
mereka mengerang-erang sambil mencoba mema-
damkan api. Namun api semakin membesar. Sete-
lah berkelojotan sebentar keempatnya tewas den-
gan tubuh hangus terbakar.
Supit Songong yang sudah kembali menda-
rat segera melompat mendekati salah seorang
yang tak terlalu parah. Dibukanya tutup wajah
orang itu. Dan... ternyata seorang wanita. Wajah-
nya pucat karena sudah tak bernyawa lagi.
"Hah..."! Wanita..."!" gumam Supit Son-
gong. "Dogol cepat kemari...!" serunya kemudian, memanggil si Gendut Dogol.
Dogol pun mcnghampirinya. Dia tampak
mengerutkan kening ketika mengetahui bahwa
lawan-lawannya tadi ternyata wanita.
"Siapa kiranya mereka ini, Supit.."!" tanya Dogol dengan mata membelalak dan
mulut melongo, persis orang bloon.
"Aku tak tahu. Sebaiknya kita cepat beri
kabar Kakang Sena...," kata Supit Songong dengan geram. Matanya mencari-cari
sesuatu di tu- buh orang yang ada di dekatnya.
"Mawar Merah..."!" gumam Supit Songong
perlahan ketika melihat Mawar Merah yang ter-
genggam di tangan kanan mayat wanita itu.
"Kita bawa saja Mawar Merah ini pada Ka-
kang Sena...!" usul Dogol tiba-tiba sambil mengulurkan tangan kanannya bermaksud
mengambil senjata berupa bunga mawar itu.
"Jangan... tunggu! Kau akan mati kena ra-
cun Mawar Merah itu. Jangan sentuh!" cegah Supit Songong cepat sambil menahan
tangan Dogol. Supit Songong berpikir sejenak, lalu segera
berdiri dan berkata pada Dogol.
"Ayo, kita cepat pergi dari tempat ini...!"
Supit Songong melesat pergi diikuti Dogol
yang nampak susah payah mengimbangi gerakan
bocah ular itu.
Dalam perjalanan, Supit Songong dan Do-
gol bertemu Pendekar Gila yang juga sedang me-
nyelidik bersama Mei Lie.
"Hah..."! Kakang Sena...!" serunya kemudian sambil menghambur ke arah Sena dan
Mei

Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lie. Disusul Dogol yang nampak terengah-engah.
"Aku khawatirkan keselamatan kalian ber-
dua," ujar Sena, memandang wajah Supit Son-
gong dan Dogol nampak cemas.
"Kakang jangan khawatir! Aku dapat men-
gatasinya, Kakang," sahut Supit Songong polos.
"Aku tahu, kau memiliki ilmu yang cukup,
Supit. Tapi, semestinya aku yang menghadapi
semua bencana ini...," kata Sena sambil memegang bahu Supit Songong, lalu
melihat Dogol yang
masih nampak terengah-engah kecapean. Apa
yang kalian temukan" Kelihatannya kalian habis
menghadapi...?"
"Kami baru saja menghadapi orang-orang
pengacau itu, Kakang. Nampaknya memang ada
dalangnya dalam semua kejadian itu," tutur Supit Songong tegas.
"Maksudmu...?" tanya Mei Lie sambil mendekati Supit Songong. Nampak di wajah
gadis itu adanya ketidaksabaran dan rasa penasaran di ha-
tinya. Supit Songong tak langsung menjawab, dia
memandang wajah gadis yang juga berjuluk Bida-
dari Pencabut Nyawa itu. Lalu menggaruk-garuk
lengannya, seperti merasa kegatalan.
"Bagaimana kalau kita bicarakan di tempat
Paman Wanara Sakti?" usul Supit Songong ke-
mudian dengan polos.
Pendekar Gila memandang ke arah Mei Lie
sejenak. Gadis itu mengangguk dan menghela na-
pas pendek "Usulmu cukup beralasan Supit. Ayo, kita
segera ke sana! Siapa tahu Paman Wanara Sakti
bisa memberikan saran pada kita," sambut Sena lalu segera melangkah, diikuti Mei
Lie, Supit Songong, dan Dogol.
*** Malam yang sepi menyelimuti bumi. Em-
bun turun bersama hawa dingin yang menusuk
tulang. Bulan yang hampir purnama bersinar te-
rang di langit biru tanpa awan. Di dalam bangu-
nan utama Perguruan Kera Putih nampak Sena,
Mei Lie, Supit Songong, Dogol, dan Ki Wanara
Sakti. Selain itu ada pula dua murid andalan Ki
Wanara Sakti, yaitu Megananda dan Pasurajiwo.
Mereka tengah membicarakan persoalan Mawar
Merah dan kedua pendekar dari Pulau Dewata.
"Sudah empat perguruan aliran putih di-
hancurkan oleh orang yang belum jelas, siapa se-
benarnya mereka," kata Ki Wanara Sakti.
Meskipun telah berusia enam puluh lima
tahunan, lelaki itu nampak seperti masih beru-
mur tiga puluh tahunan. Rambutnya yang sudah
dua warna tertutup oleh kain putih. Pakaiannya
pun serba putih berupa jubah panjang.
"Tapi rasanya bukan kedua pendekar yang
bergelar Mata Dewa itu. Yang perlu kita cari, sia-pa pemilik Mawar Merah yang
coba ingin mem-
bunuh aku dan Dogol tadi," kata Supit Songong yang duduk di dekat Pendekar Gila.
"Benar. Perasaanku pun semakin yakin,
bahwa orang ketiga sengaja ingin mengadu dom-
ba antara kita dengan kedua pendekar itu. Agar
maksud dan tujuan si Pemilik Mawar Merah ter-
wujud," tambah Mei Lie tegas.
Sementara Sena tampak mengerutkan ken-
ing, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. Pe-
muda berpakaian rompi kulit ular itu menggaruk-
garuk kepala sejenak sambil cengengesan. Sikap
dan tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan
bagi murid Singo Edan itu.
"Aha... aku baru teringat sekarang.... Ra-
sanya aku pernah mengenal bahkan menghadapi
orang yang memiliki senjata rahasia semacam
itu...," seru Pendekar Gila tiba-tiba menggeleng-geleng kepala dan cengengesan.
"Siapa kiranya orang itu, Kakang?" tanya Mei Lie yang sejak awal sudah merasakan
penasaran sekali di hatinya. Sebenarnya si Bidadari Pencabut Nyawa itu pun sejak
tadi terus berusaha mengingat orang yang pernah memiliki senjata
Mawar Merah. Namun dia sendiri belum berhasil
menemukannya. Itulah yang membuat hatinya
bertambah kesal.
Sejenak suasana berubah hening. Masing-
masing sedang memikirkan sesuatu untuk meme-
cahkan persoalan pelik itu.
"Sebelum keadaan semakin kacau dan me-
rajarela, kalian harus segera mencari dalangnya.
Kalau orang yang memiliki Mawar Merah itu seo-
rang wanita, barangkali ada hubungannya dengan
masa lalumu. Mungkin dia pernah merasa sakit
hati terhadapmu, hingga menyimpan dendam.
Coba kau ingat-ingat, siapa kiranya orang itu" Ini hanya firasatku saja...,"
tutur Ki Wanara Sakti.
Suaranya besar dan berwibawa.
Sena tersentak mendengar tutur kata Ki
Wanara Sakti. Seketika wajahnya berubah. Ma-
war Merah membuatnya teringat akan seseorang
wanita. Yah, seorang wanita! Sena menoleh ke
arah kekasihnya yang masih berpikir dan men-
gingat-ingat sesuatu.
"Masa lalu"! Siapa yang pernah disakiti
oleh Kakang Sena"! Hhh... aku merasakan sesua-
tu. Wanita" Siapa wanita yang pernah disakiti
Kakang Sena?" Begitulah pikiran Mei Lie terus berkecamuk. Gadis itu nampak
semakin murung dan kesal. Sena nampak menggaruk-garuk kepala.
Wajahnya nampak cemas. Meskipun ada pula se-
nyum cengengesan di mulutnya tapi cepat beru-
bah "Mungkinkah dia Murti..."!" gumam Sena lirih sekali. Takut akan kedengaran
Mei Lie. "Ah...! Tak mungkin, tapi...."
Sena nampak semakin gelisah dan tak te-
nang. Itu membuat Mei Lie kaget dan mulai sedi-
kit curiga pada kekasihnya.
"Mungkin Kakang Sena merahasiakan se-
suatu padaku...?" kata Mei Lie dalam hati.
"Semuanya kuserahkan pada kalian yang
muda-muda. Aku hanya mendukung dari jauh.
Lebih cepat kalian bertindak itu lebih baik. Agar nama baikmu kembali harum,
Sena...," tutur Pe-
mimpin Perguruan Kera Putih itu dengan suara
besar dan berwibawa, memecah keheningan.
Sementara di luar, malam semakin sunyi
dan sepi. Rembulan tampak tertutup awan. Lo-
longan anjing hutan dan suara binatang lain ber-
sahutan di antara desau angin menerpa dedau-
nan. Beberapa murid perguruan nampak berjaga-
jaga penuh siaga.
*** 6 Malam itu di tepi sebuah hutan I Gusti
Kumala sedang duduk menghadapi api unggun.
Lelaki gagah berpakaian jubah putih itu sedang
duduk termenung menikmati hangatnya nyala
api. Sementara I Gusti Kastasudra sesekali me-
lemparkan kayu-kayu kering agar tetap menyala.
"Aku merasa ada sesuatu yang tak beres.
Di Jawa Dwipa yang kuimpikan, ternyata banyak
orang yang tidak bersahabat. Semestinya kita
kemarin menanyakan pada bocah bersisik ular
itu. Aku melihat bocah itu bukan bermaksud ja-
hat. Dan kita telah terjebak oleh sekelompok
orang-orang serakah," tutur I Gusti Kumala tanpa menoleh sedikit pun pada I
Gusti Kastasudra.
Matanya memperhatikan bara-bara api yang ber-
terbangan ke atas.
"Ya. Mereka rupanya tidak senang kalau
kita bertemu dengan Pendekar Gila. Dan bocah
itu menyerang kita, karena Perguruan Karang Jati
kita yang menghancurkan. Aneh! Kita jadi kamb-
ing hitam," tambah I Gusti Kastasudra. Lalu melemparkan sebuah kayu ke api
unggun, membuat
api memercik dan menimbulkan kobaran yang le-
bih besar. "Belum pernah kujumpai tanah yang ra-
mah. Bahkan Jawa Dwipa yang menurut berita
merupakan tempat ramah dan bersahabat ternya-
ta tidak!" kata I Gusti Kumala sambil menggeleng-geleng kepala.
"Sepertinya ada sesuatu yang salah. Sulit
dipercaya, kita diserang tanpa alasan!"
"Tidak setiap tindakan harus punya ala-
san!" sahut I Gusti Kumala.
Keduanya bicara sampai larut malam. Ke-
mudian tertidur. Malam semakin sepi dan dingin.
Kedua pendekar berpenampilan seperti pendeta
itu tidur lelap.
Tak terasa pagi pun mulai datang. Kicau
burung membangunkan kedua pendekar dari Pu-
lau Dewata itu. Cahaya matahari pagi membuat
mereka berdua bangkit dan semadi beberapa
saat. Baru keduanya melanjutkan perjalanan.
Kini I Gusti Kumala dan I Gusti Kastasudra
sampai di hutan lain. Belum sempat keduanya
memasuki hutan itu, tiba-tiba dikejutkan oleh
suara yang mencurigakan. Mereka menghentikan
langkah sambil memasang kewaspadaan guna
menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.
Ternyata benar! Dari balik semak-semak berlom-
patan keluar dua sosok bayangan meng-hadang
kedua pendekar dari Pulau Dewata itu.
"Ha ha ha...! Ini rupanya pendekar yang
bergelar si Mata Dewa! Terus terang saja, aku
menginginkan kitab itu...!" kata lelaki berpakaian serba putih dengan sebuah
kipas di tangan kanannya.
"Ya. Biar kami berdua yang menyampaikan
kitab itu pada Pendekar Gila...!" tambah kawannya yang berpakaian kuning dengan
ikat kepala merah. Tangan kanannya menggenggam sebatang
tongkat kayu hitam. Pada kedua ujungnya ada
besi runcing menyerupai tombak.
"Aku belum mengerti arah pembicaraan ka-
lian. Kitab apa yang kalian maksudkan tadi..."
Kalau pun ada, kami sendiri yang akan serahkan
pada Pendekar Gila!" jawab I Gusti Kumala tenang, bahkan tampak tersenyum.
"Benar apa yang dikatakan saudaraku. Ka-
rena kedatangan kami berdua hanya mencari per-
sahabatan, bukan permusuhan," tambah I Gusti Kastasudra.
"Ha ha ha...! Rupanya kalian berdua terlalu
bangga akan ilmu yang kalian miliki. Tapi, buat
aku tak sedikit pun takut menghadapi kalian!"
bentak lelaki bersenjata kipas yang ternyata An-
jasmara. "Aneh, dari mana orang-orang ini tahu ka-
lau kitab itu ada pada kita..."!" gumam I Gusti Kumala lirih sekali, seperti
berbisik. "Sebaiknya serahkan kitab itu, lalu kalian
boleh pergi! Kan enak. Ha ha ha...!" kata lelaki yang berdiri di samping
Anjasmara. "Lagoa...! Kita tak boleh gegabah melawan
dua orang ini," kata Anjasmara pada kawannya.
Lagoa adalah tokoh sesat dari seberang.
Selain bersenjatakan tongkat, dia masih memiliki
senjata pusaka berupa badik, terselip di ping-
gangnya. I Gusti Kastasudra mengingsut selangkah,
sehingga membuat Anjasmara dan Lagoa siaga.
Sedangkan I Gusti Kumala masih tampak tenang-
tenang saja. "Biar aku yang menghadapinya...!" kata Lagoa dengan mendelik ke arah kedua orang
di de- pannya. "Kita bertarung satu lawan satu!"
Sejenak suasana hening. Hingga akhirnya
berteriak keras, melompat melancarkan serangan
dahsyat, sepertinya tak mau membuang kesempa-
tan. I Gusti Kastasudra melompat mengelak,
tapi sambil melancarkan serangan pula. Terjadi-
lah pertempuran seru antara I Gusti Kastasudra
dan Lagoa. Ilmu keduanya nampak seimbang.
Makin lama mereka meningkat ilmu masing-
masing yang kian dahsyat
I Gusti Kumala dan Anjasmara hanya me-
nyaksikan pertempuran karena terikat perjanjian.
Satu lawan satu!
Tak jauh dari arena pertarungan, Murti
menyaksikan pertarungan itu dari balik rimbunan
pepohonan. Wanita muda itu tampak tersenyum
puas, karena siasatnya terlaksana.
Pertarungan kian lama kian sengit Gera-
kan-gerakan mereka berkelebat sulit diikuti pan-
dangan mata. Lambat laun keadaan meningkat sampai
pada ilmu-ilmu andalan.
Keheningan siang di hutan itu pun terpe-
cah oleh teriakan-teriakan keras dan panjang dari pertarungan. Semak-semak dan
pepohonan tampak morat-marit terterjang kaki dan serangan me-
reka yang dahsyat.
Lagoa dengan gesit dan cepat menghantam
dan menusukkan tongkat bermata dua itu ke tu-
buh I Gusti Kastasudra.
Wrrrt! "Huh...!"
I Gusti Kastasudra melompat, berjumpali-
tan di udara mengelakkan serangan. Hantaman
tongkat Lagoa menerjang pohon.


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jlegarrr! Brak! Cabang pohon itu hancur dan ambruk ke
tanah. Sedangkan I Gusti Kastasudra langsung
membuka jurus lain. Dengan cepat menggerak-
kan kedua tangannya.
Lagoa pun tak mau kalah, dia mengelua-
rkan jurus yang lebih ampuh. Lalu sambil teriak
dilemparkan tongkatnya ke arah I Gusti Kastasu-
dra. Wuttt! Prak! I Gusti Kastasudra dengan cekatan mem-
babatkan tangan kanannya untuk menangkis se-
rangan. Tongkat itu patah jadi dua. Kemudian se-
cepat kilat lelaki botak berjubah kuning itu
menghantarkan serangan balik berupa pukulan
jarum berwarna keemasan.
Lagoa membelalak kaget. Namun dengan
cepat dia sempat melenting ke udara sambil ber-
salto beberapa kali untuk mengelakkan senjata-
senjata rahasia itu.
Lagoa lalu mendaratkan kakinya dengan
ringan di tanah. Dan secepat itu pula dia menca-
but badiknya. "Huh! Kali ini kau akan mati di ujung ba-
dikku.... Heaaa...!"
Lagoa langsung melancarkan serangan. Se-
telah membuka sebuah jurus dengan badiknya
dia melompat ke udara.
Melihat itu I Gusti Kastasudra pun melom-
pat ke atas, hingga pertarungan terjadi di udara.
Lagoa menusukkan badik ke arah mata I Gusti
Kastasudra. Namun dengan cepat pendekar dari
Pulau Dewata itu menangkis dan malah dapat
menyarangkan pukulan telak ke dada Lagoa.
Buk! Lagoa memekik panjang. Lalu tubuhnya ja-
tuh bergulingan ke tanah.
Sementara itu I Gusti Kastasudra menda-
ratkan kakinya dengan ringan di tanah. Lagoa ce-
pat bangkit dan mengerahkan seluruh tenaga da-
lam untuk memulihkan keadaannya. Wajahnya
yang berhias cambang tipis berubah semakin ga-
rang. Tiba-tiba badik di tangannya mengeluarkan
asap biru. I Gusti Kastasudra yang melihat itu, segera
membuka jurus andalannya yaitu 'Topan Sejati'.
Seketika dedaunan dan debu berterbangan. Pe-
pohonan pun meliuk-liuk bagai terhempas badai.
Tubuh Lagoa nampak bergoyang tertiup angin to-
pan itu. Namun dengan tenaga dalamnya yang
tak kalah ampuh, dia mampu menahan. Bahkan
dia tiba-tiba melesat, melompat ke udara sambil
berteriak dan menghunus badiknya.
I Gusti Kastasudra agak tersentak melihat
Lagoa ternyata dapat menahan 'Topan Sejati'. Ce-
pat dia pun melompat ke udara. Kini keduanya
telah mengerahkan puncak ilmu masing-masing.
I Gusti Kumala dan Anjasmara menjadi te-
gang, tetapi tak bisa berbuat banyak.
Terjadilah benturan dua kekuatan dari il-
mu yang sangat dahsyat. Dua jari I Gusti Kasta-
sudra menusuk tepat pada leher Lagoa. Sedang
badik Lagoa menghujam di perut lelaki botak ber-
jubah kuning itu. Keduanya menjerit. Lalu ter-
lempar jauh dan terhempas ke tanah. Mereka sa-
ma-sama diam tak bergerak lagi.
Buru-buru I Gusti Kumala dan Anjasmara
bergegas, menolong lawan masing-masing. I Gusti
Kumala mencoba untuk menyelamatkan I Gusti
Kastasudra dengan melakukan totokan pada
tempat-tempat tertentu. Namun usahanya gagal.
Demikian pula dengan Anjasmara yang menua-
ngkan cairan dari sebuah bambu kecil yang dis-
impan di ikat pinggangnya. Namun juga sudah
terlambat I Gusti Kastasudra dan Lagoa mati setelah
sama-sama mengerahkan seluruh kekuatan tena-
ga dalam yang dimiliki.
I Gusti Kumala dan Anjasmara saling ber-
pandangan. Sorot mata keduanya tajam dan sea-
kan menusuk kalbu. Kemudian tanpa basa-basi
lagi, keduanya melenting ke udara. Seketika per-
tarungan sengit pun terjadi.
Anjasmara dengan kipas saktinya menye-
rang secara ganas, tak memberikan sedikit pun
pada I Gusti Kumala untuk melancarkan seran-
gan balik. "Heaaa...! Mampus kau orang asing!" hardik Anjasmara dengan sombong, sambil
menya- betkan kipas saktinya ke arah kepala lawan. Na-
mun I Gusti Kumala dapat mengelak dengan me-
nundukkan kepala, serta mengibaskan pakaian-
nya. Wuttt! Deru angin kibasan jubah I Gusti Kumala
membuat Anjasmara kehilangan keseimbangan.
Angin keras itu menerpa wajahnya. Pada saat itu-
lah I Gusti Kumala dengan cepat melancarkan
tamparan tangan kanannya ke kepala lawan.
Plak! Anjasmara memekik. Namun lelaki muda
itu cepat melompat mundur sambil bersalto un-
tuk menjauhi lawannya. Kemudian dengan gera-
kan cepat dia kembali membuka serangan. Tu-
buhnya terbang bagai anak panah meluncur
sambil memutar-mutar kipasnya. Seketika kipas
besar itu menjadi banyak.
Teriakan keras terdengar mengiringi seran-
gan dahsyat itu. Kipas-kipas di tangan Anjasmara
terbuka lebar dan berputar menyambar-nyambar.
I Gusti Kumala terpaksa harus melenting dan
bersalto beberapa kali di udara sambil mengi-
baskan jubahnya. Dan pada satu kesempatan, le-
laki gagah berjubah putih itu melakukan seran-
gan balik yang tak terduga sama sekali. Hal itu
sempat membuat Anjasmara kaget. Hampir saja
kepalanya kena pukulan tanpa wujud I Gusti
Kumala, kalau saja dia terlambat sekejap melom-
pat ke samping sambil bersalto. Kemudian pemu-
da berpakaian serba putih itu hinggap pada rant-
ing pohon besar.
Melihat itu, I Gusti Kumala dengan cepat
melompat ke udara bermaksud hendak melancar-
kan serangan susulan. Namun Anjasmara dengan
cepat pula melontarkan kipas saktinya ke arah I
Gusti Kumala. Kipas itu seketika menjadi ada tiga buah memburu tubuh lawan.
Melihat itu, I Gusti
Kumala kaget. Dengan bersalto ke belakang bebe-
rapa kali dia mencoba mengelakkan kipas Anjas-
mara yang ternyata menjadi tiga buah. Kipas-
kipas itu meluncur dan menyambar-nyambar I
Gusti Kumala. Wret! Wret! I Gusti Kumala terpaksa harus terus me-
lenting ke udara, sambil mencoba membuka se-
rangan balik. Namun kipas-kipas itu seperti me-
miliki mata mengejarnya dari tiga arah. Anjasma-
ra tertawa-tawa senang, dia merasa di atas angin.
Namun dia mendadak membelalak ketika kipas
itu ternyata membalik ke arahnya.
I Gusti Kumala pada satu kesempatan da-
pat menarik ikat pinggang dan segera menghen-
takkannya. Ikat pinggang lalu dihentakkan ke de-
pan. Maka meluncurlah kipas-kipas itu ke arah
Anjasmara. Wut! Wut! Anjasmara kaget. Namun dia masih sempat
melompat ke udara dan berjumpalitan. Kipas-
kipas itu pun menghantam tempat kosong. Ter-
nyata Anjasmara masih memiliki sebuah kipas la-
gi. Dan kipas terakhir inilah yang paling ampuh.
Angin dari kipas yang disabetkan mengandung
racun sangat berbahaya.
Anjasmara yang sudah berdiri tegak den-
gan kuda-kuda di hadapan I Gusti Kumala dalam
jarak enam tombak, segera membuka jurus
mautnya, 'Kipas Pencabut Nyawa'. Tangannya
bergerak seperti orang sedang mengipas, keliha-
tannya pelan, tapi sebenarnya sangat cepat I Gus-
ti Kumala tak mau kalah. Dia pun melakukan ge-
rakan indah bagai orang menari. Kedua kakinya
bergerak begitu lincah dibarengi gerakan kedua
tangannya yang melebar ke samping sambil me-
rundukkan tubuh ke depan. Jari-jari tangannya
mengepal kuat-kuat
Anjasmara sendiri telah mencapai gerakan
aneh yang siap melancarkan serangan. Dengan
pengerahan kekuatan tenaga dalam, tubuhnya
berputar cepat sekali, hingga menyerupai gasing.
Putaran yang menimbulkan angin keras itu, tiba-
tiba bergeser menyerbu I Gusti Kumala.
Wusss! Werrr...!
Suara putaran tubuh dan kipas Anjasmara
menderu-deru. Namun I Gusti Kumala yang il-
munya masih di atas lawan, nampak dengan te-
nang menanti serangan ilmu pamungkas dari
pemuda gagah bersenjata kipas itu.
Ketika sudah saling mendekat mendadak
Anjasmara menghentikan putaran. Secepat itu
pula dibabatkan dengan keras kipas saktinya ke
arah leher I Gusti Kumala. Ketika kipas yang ber-
warna putih bersih itu terbuka lebar berhembus-
lah hawa mengandung racun.
Wes! Wesss...! "Heit!"
I Gusti Kumala ternyata dapat mengelak.
Direbahkan tubuhnya ke belakang, dengan gera-
kan meliuk begitu lentur seperti karet. Kemudian
berguling-guling ke samping dengan cepat, meng-
hindari serangan Anjasmara yang susul-
menyusul. Pemuda itu tak memberi kesempatan
sama sekali pada lawannya untuk membalas.
"Heee...! Akan kubuat perkedel tubuhmu,
Resi Gadungan...!" seru Anjasmara, karena yakin akan mampu membunuh lawannya
itu. Namun sampai sekian banyak jurus yang
dikeluarkan, serangannya selalu dapat dipatah-
kan oleh I Gusti Kumala. Hingga akhirnya Anjas-
mara nampak mulai kelelahan dan seperti putus
harapan. "Mampus kau.... Heaaa...!" Kembali Anjasmara berseru dengan geram. Dibabatkan
dengan keras kipasnya ke arah dada lawan.
Sudah kesekian kalinya hawa beracun ber-
hembus. Hal itu tidak hanya membuat I Gusti
Kumala cemas, bahkan mulai terasa mual hendak
muntah. Terpaksa dia melenting ke udara untuk
menjauhi serangan lawan. Setelah itu secepat ki-
lat dia melakukan gerakan aneh. Dua jari tangan
kanannya yang menyatu kuat dan keras bagai be-
si berputar cepat.
Sementara tak jauh dari tempat mereka
bertarung, di balik semak dan pepohonan, Murti
terus mengamati pertarungan itu. Dia sangat
menginginkan agar Anjasmara segera mati. Atau
dapat dikalahkan oleh I Gusti Kumala. Dengan
begitu dia bisa lebih bebas, dan akan memiliki kitab sakti itu. Murti telah
menyiapkan segala ma-
cam cara untuk menaklukkan I Gusti Kumala.
Kembali pada pertarungan I Gusti Kumala
dan Anjasmara yang semakin seru dan ganas.
Bret! Celana I Gusti Kumala robek kena sabetan
kipas Anjasmara, tembus ke daging pahanya. Se-
ketika pendekar dari Pulau Dewata itu membela-
lak. Dia mulai marah. Diusapnya luka itu dengan
telapak tangannya, dan seketika itu juga sembuh.
Anjasmara yang melihat I Gusti Kumala
yang dikiranya lengah, segera melakukan seran-
gan lagi dengan melompat cepat. Namun rupanyalawannya itu telah siap menghadapi serangan.
Hal itu tak diduga sama sekali oleh Anjasmara. I
Gusti Kumala dengan ilmu 'Mata Dewa'nya,
mampu melihat serangan secepat apa pun. Ma-
tanya mendadak memancarkan kilauan berwarna
keperakan. Sinar dari matanya menghantam tu-
buh lawan. Dengan putaran kipasnya pemuda itu
mampu menangkisnya. Namun sia-sia, ilmu 'Mata
Dewa' itu menembus dada Anjasmara, hingga ter-
pental jauh. Pemuda berpakaian serba putih itu
menjerit keras kesakitan. Tubuhnya melayang,
dan.... Brakkk!
Anjasmara terbanting setelah menghantam
pohon besar, lalu tewas dengan dada berlubang.
Seketika tubuhnya mengering kaku. Pada saat itu
Murti tiba-tiba melompat, keluar dari persembu-
nyiannya. "Ukh...!"
Murti terpekik keras. Ternyata dengan ke-
mampuan penglihatannya yang tajam si Mata
Dewa melihat serangan Murti. Dia melompat me-


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mapakinya. Keduanya lalu sama-sama mendaratkan
kaki di tanah dengan ringan. I Gusti Kumala
nampak terkejut begitu melihat Murti.
"Ohhh..."! Maafkan aku...!" kata I Gusti Kumala yang masih terheran-heran
memandangi wanita bertubuh menggairahkan itu.
"Tidak... tidak apa-apa...," sahut Murti sambil berpura-pura merasakan sakit di
dadanya. I Gusti Kumala menatap Murti dengan pe-
nuh tanda tanya. "Kenapa dia tiba-tiba muncul.
Apakah ada hubungannya dengan semua peristi-
wa yang kuhadapi?" pikir I Gusti Kumala dalam hati. Matanya menatap ke arah
Murti yang masih
mengusap-usap dadanya.
"Bukan maksudku ikut campur urusanmu.
Rajawali Lembah Huai 3 Golok Halilintar Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 33
^