Pencarian

Cinta Pembawa Maut 3

Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut Bagian 3


Hanya kebetulan aku tadi lewat, dan mendengar
teriakan. Untung kau masih mengenaliku. Kalau
tidak aku sudah jadi mayat," kata Murti sambil meringis. Murti lalu pura-pura
kaget ketika melihat mayat I Gusti Kastasudra.
"Hah..."! Bagaimana ini bisa terjadi" Bu-
kankah saudara seperguruanmu itu memiliki il-
mu yang cukup tinggi?" ujar Murti sambil berlari kecil mendekati I Gusti
Kastasudra. Wajahnya seketika dibuat sesedih mungkin.
"Semuanya bisa terjadi di dunia ini. Dewa
pun bisa binasa, kalau dia lengah. Dan itu sudah
takdir bagi semua manusia. Kalau Dewata meng-
hendakinya, tak dapat ditantang oleh kita," tutur I Gusti Kumala dengan suara
serak. Murti berpura-pura menangis, lalu bangkit
seraya berkata, "Kalau saja aku lebih cepat datang..., semua ini tak mungkin
terjadi." Suara Murti terdengar begitu sedih dan
lembut. Padahal dengan terbunuhnya I Gusti Kas-
tasudra, dia akan lebih ringan untuk menghabisi
I Gusti Kumada. Bahkan akan bisa merebut kitab
sakti itu dari tangan I Gusti Kumala.
"Siapa laki-laki itu..."!" tanya Murti ketika matanya melihat mayat Anjasmara
yang tak begitu jauh dari tempatnya.
"Bagaimana aku tahu" Aku orang asing di
Jawa Dwipa ini...," sahut I Gusti Kumala tegas.
Murti agak gugup mendengar jawaban I
Gusti Kumala. Bodoh benar aku ini" Kenapa ku-
tanyakan itu" Begitu pikiran Murti menyesali diri.
Sejenak suasana jadi hening. Keduanya di-
am membisu. Hanya perasaan mereka masing-
masing yang berbicara.
"Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di
pondokku. Aku tahu kau sedang mengalami ke-
sedihan yang mendalam...," kata Murti dengan lembut memecah keheningan itu.
I Gusti Kumala menatap wajah Murti yang
memang cantik dan menawan itu, sepertinya ten-
gah berpikir. Sebaiknya kuterima tawaran wanita
ini. Siapa tahu semua rahasia dari peristiwa yang kualami akan terbuka. Begitu
kata hati I Gusti
Kumala. "Kau baik sekali..,. Tapi, bagaimana kabar
saudara Bronto Widura...?" tanya I Gusti Kumala ingin tahu.
"Oh... panjang ceritanya. Nanti akan kuje-
laskan padamu. Ayo, sebaiknya kita cepat pergi
dari tempat ini sebelum ada orang lain yang da-
tang," ajak Murti.
"Baiklah." I Gusti Kumala mengangguk lalu melangkah mendekati mayat I Gusti
Kastasudra dan mengangkatnya.
Tak berapa lama kemudian muncul Mega-
nanda dan Pasurajiwo berlompatan dari balik se-
mak-semak. Rupanya mereka belum lama ber-
sembunyi di situ.
"Kita terlambat. Siapa sebenarnya wanita
itu?" tanya Megananda.
"Aku hanya mendengar nama Bronto Widu-
ra disebut laki-laki itu," jawab Pasurajiwo.
"Mungkin laki-laki itu salah satu Pendekar
Mata Dewa.... Lihat mayat-mayat itu!" ujar Megananda sambil menunjuk kedua mayat
yang terge- letak. "Kita ikut mereka, baru nanti kita lapor kepada Pendekar Gila atau Guru
Wanara Sakti,"
usul Pasurajiwo.
Lalu keduanya melesat ke arah Murti dan I
Gusti Kumala pergi.
*** 7 Megananda dan Pasurajiwo melaporkan
semua yang mereka dapatkan kepada Pendekar
Gila yang berada di kediaman Ki Wanara Sakti.
"Kami dengar hanya nama Bronto Widura
yang disebut oleh pendekar itu. Nama perempuan
itu kami tak tahu," kata Megananda.
"Benar. Dan ketika kami membuntuti, me-
reka sudah menghilang. Begitu cepat, padahal tak
berapa lama," sambung Pasurajiwo, "Namun saya masih sempat melihat pada rambut
wanita itu ada tusuk konde berupa bunga Mawar Merah.
Tertancap di sebelah kiri atas telinganya."
Mendengar itu Pendekar Gila tersentak ka-
get. "Hah..."! Benarkah apa yang kau lihat itu?"
tanya Sena pada Pasurajiwo.
"Benar. Sebelum keduanya pergi, aku sem-
pat melihat dari tempat persembunyian yang tak
jauh dari mereka. Wanita itu masih muda dan
pandangan matanya sedikit nakal," tutur Pasurajiwo menjelaskan.
"Siapa dia, Kakang Sena"! Cepat jelaskan!
Biar aku yang mencari tahu!" kata Mei Lie tak sabar. Sena menggaruk-garuk
kepala, lalu me-
mandang ke arah Mei Lie.
"Mungkinkah dia Murti..."!" gumam Sena
kemudian. Mei Lie mendengarnya. Seketika gadis itu
membelalakkan mata lebar.
"Apa..."! Murti..."! Murti Dewi"!" ulang Mei Lie dengan suara sedikit tertahan.
Sena menganggukkan kepala. Semua yang
ada di situ saling pandang. Supit Songong yang
duduk di sebelah Dogol pun ikut terbengong me-
lihat perubahan wajah Mei Lie dan Pendekar Gila.
"Kurang ajar...! Rupanya wanita jalang itu
masih mau mengusik peristiwa lama. Semestinya
aku bunuh saja wanita bejad itu!" kata Mei Lie dengan penuh kegeraman. Dia
berdiri dan mon-dar-mandir di situ, kemudian melesat keluar.
Pendekar Gila segera mengejarnya, diikuti
Supit Songong dan Dogol. Sementara Ki Wanara
Sakti, Megananda, dan Pasurajiwo hanya nampak
kebingungan. Ki Wanara Sakti memberi isyarat
dengan tangan pada kedua muridnya agar tetap
di situ. Mei Lie nampak berdiri di halaman pergu-
ruan itu memandang jauh ke depan. Sena meng-
hampirinya. Sementara Supit Songong dan Dogol
memandangi dari jarak tak begitu jauh.
"Jangan kau terbawa nafsu dan marah, Mei
Lie! Tenanglah sedikit!" ucap Sena, menasihati kekasihnya.
"Kakang Sena, aku merasa heran. Kenapa
Kakang masih menyembunyikan dan mengkha-
watirkan wanita itu"! Aku harus menemukannya.
Apakah Kakang tidak tahu kalau wanita itu telah
merusak nama baik kita, terutama Kakang?" kata Mei Lie dengan perasaan kesal dan
cemburu ber-campur dendam pada Murti. Sekilas Mei Lie te-
ringat kejadian beberapa tahun silam, ketika di-
rinya memergoki Murti mencoba menjerat Pende-
kar Gila. Dada Mei Lie berdetak cepat menahan
amarah dan dendamnya. Tidak biasanya gadis itu
bersikap begitu. Namun persoalan yang dihadapi
sekarang bukan soal sepele bagi seorang wanita
seperti dirinya. Dendam dan cemburu telah mem-
buat Mei Lie menjadi bersikap lain dari biasanya.
Seperti ada pepatah yang mengatakan:
Dendam Sama Kerasnya Dengan Cinta. Bedanya,
Cinta Mengkhayal Sesuatu Yang Indah, Sedang-
kan Dendam Membawa Bencana!
"Aku mengerti perasaanmu, Mei Lie. Tapi,
tolong bersabarlah, jangan terbawa perasaan...!"
kata Sena dengan lembut, mencoba mendingin-
kan hati Mei Lie yang sudah terbakar itu. Sena
yang biasanya bertingkah laku konyol dalam
menghadapi apa pun, saat ini berubah. Lebih te-
nang dan bijaksana.
Namun, Mei Lie tiba-tiba saja menepiskan
tangan Sena yang coba memegang bahunya. Lalu
gadis itu melesat pergi. Sena sangat kaget dengan sikap kekasihnya. Demikian
juga dengan Supit
Songong dan Dogol yang melihatnya dari jarak tak
begitu jauh. Keduanya nampak sedih. Namun tak
bisa ikut campur.
"Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena sambil melesat mengejarnya.
Mei Lie tak menghiraukan dan terus dia
meninggalkan Pendekar Gila dengan mengguna-
kan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dalam
sekejap dia sudah tak nampak. Namun Sena tak
tinggal diam, ia menggunakan lari 'Sapta
Bayu'nya. Bagai terbang Sena mengejar Mei Lie.
"Mei Lie...! Tunggu...!" seru Sena ketika sudah hampir mendapatkan Mei Lie.
Namun tanpa diduga tiba-tiba....
"Yeaaa...!"
Wut! Wuttt...! Mei Lie melancarkan pukulan jarak jauh,
membuat Sena membelalak. Namun masih un-
tung Sena dengan gerakan secepat kilat masih
dapat mengelakkan pukulan Mei Lie.
Glarrr! Pukulan Mei Lie menghantam batang po-
hon, hingga hancur berantakan.
"Kalau Kakang tetap melarangku mencari
wanita pengkhianat itu, lebih baik Kakang jangan
lagi mengenal diriku! Anggap saja aku telah ma-
ti...!" ancam Mei Lie dengan nada tinggi dan suara lantang. Gadis itu benar-
benar sangat marah dan
diselimuti rasa dendam yang luar biasa.
Selesai berkata begitu Mei Lie pun melesat
meninggalkan Pendekar Gila yang masih terjong-
kok di tanah, habis berjumpalitan mengelakkan
pukulan kekasihnya tadi. Sena nampak kecewa
pada tindakan Mei Lie. Dan bangkit dengan per-
lahan. Pada saat itu datang Supit Songong dan
Dogol. "Kau tidak apa-apa, Kakang Sena?" tanya Supit Songong begitu sampai. Anak
bersisik nada itu tampak risau sekali.
Sena hanya bergeleng. Kedua matanya ma-
sih menatap jauh ke arah perginya Mei Lie. Cu-
kup lama dia memandang, kemudian perlahan
menarik napas panjang. Lalu menoleh ke arah
Supit Songong dan Dogol.
"Supit, ikuti Mei Lie! Biar aku dan Dogol
mencari wanita itu!" kata Sena kemudian dengan kalem. Lalu menggaruk-garuk
kepala. "Baik, Kakang. Tapi, kenapa Kakang tidak
berusaha menahannya?" tanya Supit Songong ra-gu.
"Entahlah. Aku terlalu sayang dan mencin-
tainya. Kalau aku bertindak lebih keras untuk
mencegah... akibatnya akan berbahaya. Terus te-
rang aku tak mau kehilangan Mei Lie...," jawab Sena dengan penuh perasaan.
Setelah menjura, Supit Songong melesat
pergi. Sena dan Dogol memandang sejenak keper-
gian bocah itu.
"Kasihan Nini Mei Lie, Kakang. Saya kha-
watir dia akan mengalami sesuatu yang tidak kita
inginkan...," kata Dogol tiba-tiba dengan wajah sedih. "Aku pun demikian, Gol.
Ayo, kita amati Mei Lie dari jauh. Mudah-mudahan kita lebih du-lu menemukan
Murti...!" kata Sena seraya me-
langkah pergi, diikuti Dogol.
*** Malam itu suasana begitu tenang. Di dalam
Padepokan Mawar Merah suasana tampak terang
oleh kobaran api. I Gusti Kumala dan Murti du-
duk di dekat tumpukan kayu yang menyala ber-
kobar. I Gusti Kumala menatap mayat I Gusti
Kastasudra dengan perasaan remuk redam. Se-
mentara Murti hanya diam, dan pura-pura ikut
sedih dan terharu.
Beberapa saat kemudian I Gusti Kumala
mengangkat mayat I Gusti Kastasudra, kemudian
membawanya ke api yang berkobar besar itu. Dia
kelihatan begitu khusuk, tercenung menatap api
yang terus berkobar. Semua kejadian terkesan
begitu sakral dan hikmat. Sementara itu Murti
terdiam. Ikut melakukan upacara pembakaran
mayat I Gusti Kastasudra.
"Pada waktu sang Bhagawan mangkat.
Sang Hyang Sakka mengucapkan syairnya. Sung-
guh tak kenal semua unsur-unsur kehidupan ini, setelah timbul kemudian lenyap
kembali. Sungguh mulia dan bahagia orang yang mencapai ketenangan, yang telah
menghentikan semuanya, untuk
selama-lamanya...." Terdengar suara I Gusti Kumala penuh perasaan dan bergetar,
mengucapkan suatu doa. Suasana menjadi sangat hikmat dan
sakral. Setelah pembakaran mayat selesai, bebera-
pa saat kemudian I Gusti Kumala duduk terme-
nung masih dalam berduka, di pinggir pembarin-
gan di dalam sebuah kamar yang disediakan oleh
Murti. Lelaki berwajah tampan itu memandang
jauh melalui jendela. Dan ketika mendengar se-
suatu, ia menoleh. Dan dilihatnya Murti berdiri di pintu kamar. Wanita cantik
itu kini mengenakan
pakaian merah muda yang tipis. Mulutnya me-
nyunggingkan senyum penuh arti pada I Gusti
Kumala dengan penuh godaan. Kemudian ka-
kinya melangkah mendekat sambil berkata den-
gan suara serak dan lirih, "Aku bukan lagi istri Bronto Widura. Di Tanah
Pasundan kau boleh
menyebutku istrinya. Tapi di sini, panggil saja
aku Murti! Aku bukan istri siapa-siapa lagi...!"
I Gusti Kumala berdiri menghindar ketika
Murti duduk di bibir pembaringan dengan tubuh
merapat padanya.
"Sebaiknya aku tidur di luar saja...," kata I Gusti Kumala yang masih nampak


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heran dengan sikap Murti. Namun Murti cepat menggaet dan meme-
gangi tangan I Gusti Kumala.
"Udara di luar dingin sekali. Apa arti wani-
ta dalam kehidupanmu" Inilah aku... tubuh yang
bisa dicumbu... disentuh...."
Murti semakin memperlihatkan kegaira-
hannya, seperti tanpa sadar I Gusti Kumala men-
dorongnya. Murti terhempas, lalu jatuh ke lantai.
I Gusti Kumala jadi merasa bersalah. Apalagi ke-
tika Murti pura-pura merasa terpukul.
Murti Dewi malah membiarkan kainnya
yang terangkat ke atas hingga tersingkap. Paha
dan betisnya yang mulus kuning langsat itu begi-
tu menantang. I Gusti Kumala segera memalingkan muka,
lalu melangkah keluar dari kamar. Murti terse-
nyum nakal. Aku akan berusaha menaklukkan
orang yang berlaku seperti dewa ini. Kalau kali ini gagal, lain waktu aku pasti
berhasil. Begitu pikiran Murti saat itu. Lalu wanita muda yang cantik
dan menawan itu menghambur keluar mengejar I
Gusti Kumala. Ternyata yang dicari sudah menghilang.
Murti menjadi geram, marah, dan mulai menden-
dam pada I Gusti Kumala.
"Bangsat...! Ke mana lelaki yang sok suci
itu!" gumam Murti, "Hei...! Apa kerja kalian semua"! Goblok!"
Murti membentak murid-muridnya yang
berjaga-jaga di halaman tempat persembunyian.
Semuanya diam tak berani menjawab,
hanya menundukkan kepala. Murti berucap den-
gan lantang. Wajahnya nampak galak dengan ke-
dua matanya mendelik.
"Kalian semua seharusnya lebih waspada!
Kini tikus laki-laki yang sudah dalam cengkera-
man kita hilang...! Ini semua gara-gara kalian
yang bodoh! Percuma aku menghidupi kalian! Le-
bih baik kubunuh saja kalian sekarang juga...!"
seru Murti. Begitu selesai dengan kata terakhir-
nya, secepat itu pula Murti mengibaskan tangan
kanannya. Wesss! Jlep! Jlep! Jlep..,!
Jeritan kematian terdengar bersahutan
memecah keheningan malam. Lima orang murid
Murti seketika tewas tertancap senjata rahasia
berupa Mawar Merah.
Murid-murid lainnya yang tak berani ber-
tindak apa-apa, tetap diam di tempat,
"Ini semua sebagai contoh bagi kalian. Sia-
pa yang bodoh dan tidak menjalankan tugas den-
gan baik, aku tak segan-segan membunuh ka-
lian!" kata Murti dengan sangat marah.
Lalu Murti segera pergi meninggalkan pa-
depokannya, Di dalam kegelapan malam Murti
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh,
melesat cepat dan menghilang.
*** Kini Murti sudah sampai di Hutan Minto-
raga tempat kediaman Kala Bendono, Murti terus
melesat dengan gesit, tak mempedulikan suasana
gelap yang harus dilaluinya.
Murti yang kepalang basah, dia tak mau
berhenti sampai di situ. Oleh sebab itu dia me-
nemui Kala Bendono, gurunya yang mempunyai
ilmu sangat tinggi. Antara lain ilmu yang biasa
merubah wujud. Kala Bendono sendiri dijuluki si
Muka Seribu oleh kalangan persilatan, karena
kemahirannya merubah wajah.
Di kegelapan malam Murti menuruni lereng
bukit dan pegunungan yang sudah lama tak per-
nah dijamahnya.
"Sudah hampir dua tahun aku tak bertemu
dengan guru. Dia pasti marah sekali. Hhh... tapi
mengapa aku mesti khawatir. Aku harus mem-
bayar semua kesalahanku dengan tubuhku yang
biasa diminta guru.... Mudah-mudahan guru
ada...!" Selagi Murti masih berpikir seperti itu tiba-tiba telinganya menangkap
sesuatu di bawah po-
hon. Suara langkah-langkah kaki yang sangat
perlahan. "Guru...?" gumam Murti lirih. Lalu dia memandang ke bawah dan ke belakang.
Pada saat yang sama sesosok bayangan
berkelebat dalam kegelapan. Dan sekejap kemu-
dian bayangan itu berkelebat melayang ke atas
pohon yang ada di depan Murti. Walaupun di atas
pohon begitu gelap karena sangat dekat, Murti
masih bisa melihat orang yang berdiri di cabang
pohon itu. Seorang lelaki berumur tujuh puluhan.
Namun raut wajahnya masih nampak segar. Tu-
buhnya yang agak tinggi mengenakan pakaian
dari bulu-bulu binatang. Rambutnya panjang su-
dah hampir memutih semua. Tangan kanannya
menggenggam sebuah tongkat bercabang dua.
"Guru...!" seru Murti ketika melihat tongkat di tangan kakek yang masih nampak
seperti lelaki berumur empat puluhan itu.
"Hi hi hi... he hehe...! Ada apa kau malam-
malam pekat begini ada di sini, Murti"!" tanya Ka-la Bendono atau si Muka
Seribu. Lalu melompat
turun dengan ringannya. Sekejap sudah berada di
bawah dan berdiri di hadapan Murti.
Murti segera menjura dua kali. Kala Ben-
dono dengan mata sipitnya menatap wajah Murti
yang nampak murung malam itu.
"Maafkan aku, Guru... karena lama tak
mengunjungi Guru...," kata Murti dengan kembali menjura.
"He he he...! Aku sudah tahu kau bakal da-
tang untuk minta bantuanku. Tak usah minta
maaf. Yang kuminta, kau masih tahu kesukaan-
ku. He he he...!" sahut Kala Bendono sambil terkekeh-kekeh. Lalu tanpa berkata-
kata lagi dia langsung menarik lengan Murti dan membawanya
pergi. Keduanya melesat bagai terbang.
Sekejap mereka sudah berada di suatu
tempat yang mirip goa. Kala Bendono membawa
Murti masuk. Sudah menjadi kebiasaan setiap Murti
yang menjadi murid tunggalnya datang, Kala
Bendono selalu menggauli dan menyetubuhinya.
Dan itu sudah menjadi keharusan, sesuai dengan
perjanjian keduanya, ketika Murti meminta ilmu
pada Kala Bendono.
Lelaki tua itu dengan sepuas-puasnya
menggeluti tubuh Murti yang mulus dan masih
kencang itu. Napas keduanya saling berkejaran
memburu kenikmatan dalam melepas rasa rindu.
Malam semakin sepi dan senyap. Angin
semilir berhembus. Suara lolongan anjing hutan
dan binatang lain bersahutan, menambah mence-
kam keadaan malam itu.
Setelah merasa puas, Murti menceritakan
maksudnya pada Kala Bendono. Mereka sudah
memakai pakaian masing-masing. Kala Bendono
duduk di atas sebuah ranjang yang alasnya dari
kulit-kulit binatang sambil memakan paha babi
hutan yang setengah matang.
"Aku mohon orang dari Pulau Dewata itu
dapat kukuasai. Dan kitab itu sangat berguna ba-
gi kita, Guru...," tutur Murti dengan suara serak.
Kala Bendono seakan tak mendengarkan
ucapan Murti. Lelaki itu masih nampak dengan
lahapnya menggigit daging babi hutan. Mulutnya
belepotan oleh daging.
"Sebab, jika dia sampai berhasil menemui
Kakang Sena, sepak terjang dan rencana den-
damku untuk membalas sakit hati pada Mei Lie
akan gagal lagi. Guru...," tutur Murti lagi.
Kali ini Kala Bendono menoleh ke arah
Murti yang pada saat itu melangkah mendekat la-
lu memijat-mijat bahunya.
"Jadi, maksudmu bagaimana?" tanya Kala
Bendono sambil mengunyah daging babi hutan.
"Aku serahkan pada Guru. Bagaimana cara
menghadapi Pendekar Pulau Dewata itu?"
"Hm...," gumam Kala Bendono pendek.
"Aku punya cara yang biasa kulakukan. Apakah kau lupa kalau aku dijuluki si Muka
Seribu...?"
kata Kala Bendono dengan suaranya yang besar
dan berat itu. Murti tersenyum nakal, dia nampak gembi-
ra dengan kesediaan gurunya untuk memban-
tunya. "Di mana kira-kira sekarang Pendekar Pulau Dewata itu?" tanya Kala
Bendono kemudian.
Lalu meneguk araknya yang tersimpan di tempu-
rung kelapa itu.
"Dia sudah menuju ke timur. Aku rasa be-
lum terlalu jauh untuk dapat menemukannya.
Guru," jawab Murti sambil terus memijat-mijat bahu dan tengkuk gurunya.
Kala Bendono manggut-manggut, lalu den-
gan gerakan cepat dia membanting tubuh Murti.
*** 8 Sang Surya kembali menampakkan diri
dengan sinar yang terang menerangi bumi. Angin
bertiup kencang menerpa daun-daun ilalang. Se-
buah padang ilalang yang luas. Bunga-bunganya
bergoyang ditiup angin. Dari kejauhan nampak
seorang lelaki dengan pakaian seperti resi berja-
lan dengan tegap dan cepat.
Namun tiba-tiba langkahnya yang cepat itu
terhenti, ketika dari arah berlawanan muncul seo-
rang lelaki muda berpakaian rompi kulit ular be-
rambut gondrong. Mulutnya cengengesan ketika
menghadang lelaki berpakaian resi yang memakai
kalung dari batu-batu alam.
"Ha ha ha...! Rupanya ada orang asing da-
tang ke tanah Jawa Dwipa ini...!" Tiba-tiba lelaki muda berpakaian rompi itu
berucap sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kirinya.
Sedangkan di tangan kanannya, menenteng kepa-
la seorang wanita.
Lelaki berpakaian resi yang melihat kepala
di tangan pemuda berpakaian rompi itu, membe-
lalakkan matanya lebar-lebar.
"Murti..."!" gumamnya kaget
"Aha, kau rupanya mengenal potongan ke-
pala yang kubawa ini orang asing!" sambar pemuda yang berpakaian rompi kulit
ular itu. "Ya...! Apa yang terjadi antara kau dan
dia?" tanya lelaki berpakaian resi yang tak lain I Gusti Kumala.
"Ha ha ha... kenapa" Kau heran aku dapat
mengalahkan dan memotong kepala wanita liar
itu..."! Ha ha ha...! Semua ini tak ada yang sulit bagiku.,.. Ha ha ha...!"
sahut pemuda itu sambil menggeleng-gelengkan kepala dan cengengesan.
"Hm, kalau boleh tahu siapakah kau..."!"
tanya I Gusti Kumala dengan suara kalem.
"Ha ha ha.... Akulah yang disebut Pendekar
Gila. Kau tentunya orang asing dari Pulau Dewata
itu, bukan"!" ujar pemuda yang ternyata Pendekar Gila.
"Jadi, kaulah Pendekar Gila itu"!" tanya I Gusti Kumala dengan wajah agak cerah.
"Kalau begitu kebetulan, tujuanku kemari tak lain ingin
menemuimu."
"Untuk apa kau ingin menemuiku" Cepat
katakan! Aku tak banyak waktu lagi untuk berbi-
cara banyak padamu. Kepala wanita liar ini akan
kutanam di Lembah Akherat!" jawab Pendekar Gi-la.
I Gusti Kumala tiba-tiba merasakan ada
kejanggalan pada diri orang yang mengaku Pen-
dekar Gila itu. I Gusti Kumala rupanya mulai in-
gat akan kata-kata Bronto Widura, yang menga-
takan Pendekar Gila pembela orang lemah dan
tak sembarangan membunuh lawan, kalau tidak
terpaksa. Dan dia juga ingat akan pesan gurunya.
Ciri-ciri Pendekar Gila, selain tingkahnya seperti orang gila, dia memiliki
sebuah senjata sakti berupa suling berkepala naga yang selalu terselip di
pinggangnya. Namun di pinggang pemuda yang
semuanya persis Pendekar Gila tak ada Suling
Naga Sakti itu.
"Kenapa kau diam dan menatapku begitu"
Apakah kau ingin cari gara-gara denganku?"
tanya pemuda yang mengaku Pendekar Gila itu.
Sementara itu di tempat yang tak jauh dari
situ, di balik semak, seorang wanita bercadar
mengintip dan mendengarkan pembicaraan mere-
ka. "Maaf Pendekar, tapi saya perlu bertanya.
Kenapa kau yang memiliki nama baik, begitu tega
membunuh wanita dengan memenggal kepalanya.
Bukankah itu perbuatan yang melampaui batas
dan hanya dilakukan oleh orang berilmu sesat.
Padahal yang aku dengar dari tokoh-tokoh, silat
aliran putih di Jawa Dwipa ini, Tuan adalah seo-
rang pendekar sejati dan tak mudah membunuh
lawan yang dianggap lemah...," tutur I Gusti Kumala yang mulai curiga dengan
pemuda segalanya
persis Pendekar Gila.
"Kau mau mempermainkan aku, ya! Perta-
ma kau bilang, tujuanmu datang ke Jawa Dwipa


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menemuiku, sekarang kau seakan ingin le-
bih banyak tahu tentang diriku. Apa maksudmu
sebenarnya"!" tanya pemuda yang mirip Pendekar Gila itu.
Kepala Murti yang tergenggam di tangan-
nya lalu dilemparkan begitu saja ke samping. Ke-
pala itu menggelinding di tanah. Pemuda yang mi-
rip Pendekar Gila itu mulai marah. Kedua ma-
tanya yang besar nampak menjadi merah memba-
ra. I Gusti Kumala melihat kepala itu tiba-tiba hilang. I Gusti Kumala semakin
yakin, kalau yang
dihadapi bukanlah Pendekar Gila sesungguhnya.
Karena hanya orang atau tokoh sesat dan aliran
hitam yang memiliki mata merah membara seperti
darah itu. Itu pertanda, kalau orang ini memiliki ilmu sesat yang luar biasa.
"Terus terang aku berubah pikiran. Aku in-
gin menantangmu Pendekar Gila...!" kata I Gusti Kumala dengan tegas. Lalu segera
dia menggeser kaki kanannya ke samping, dan membuat kuda-
kuda. "Hua ha ha...! Rupanya kau sudah bosan hidup! Aku akan ladeni keinginanmu.
Huh...!" sambut pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Kemudian dia bergerak dan membuka jurus aneh.
Kedua tangannya bergerak dengan cepat, bahkan
berubah menjadi banyak.
I Gusti Kumala yang ingin cepat-cepat
membuka tabir rahasia yang selalu dihadapi itu,
tanpa basa-basi lagi melepas kain pengikat ping-
gangnya. Kain Ikat pinggang itu memang meru-
pakan salah satu senjata andalan I Gusti Kumala.
Dengan cepat dia menghentakkan kainnya ke de-
pan, hingga meluncur dan menyambar ke arah
wajah lawan. Walau hanya kain biasa terbuat dari
sutera, namun di tangan I Gusti Kumala kain itu
berubah menjadi sekeras tongkat besi. Sesaat lagi ujung kain siap menghancurkan
wajah pemuda yang mirip Pendekar Gila. Namun dengan gerakan
secepat kilat pemuda itu tahu-tahu sudah lebih
dulu melompat ke arah I Gusti Kumala dan lang-
sung menendang dengan kaki kanannya.
Wuttt! Gelombang angin yang sangat kencang
menerpa tubuh I Gusti Kumala. Pendekar tampan
itu terkejut ketika merasakan bagai didorong se-
buah tembok yang tidak kelihatan. Bukan saja
ujung kainnya terhempas ke samping, namun tu-
buhnya ikut terguncang hebat. Hingga kedua ka-
kinya bergetar. Namun mengandalkan ilmu me-
ringankan tubuhnya, I Gusti Kumala dengan ce-
pat mengimbangi diri dan balas menghantam
dengan tangan kanan. Serangkum angin dahsyat
menderu ke arah pemuda yang mengaku Pende-
kar Gila. Setengah jalan, I Gusti Kumala menjen-
tikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.
Angin serangannya secara aneh mendadak me-
mecah dua. Satu menyambar perut, satu lagi me-
nyambar kepala. Itulah jurus sakti yang disebut
'Angin Dewa Membelah Mega'.
Glarrr! Serangan I Gusti Kumala ternyata meng-
hantam tempat kosong. Karena secepat kilat la-
wannya dapat mengelakkan serangan itu dengan
menghilang. Dan tiba-tiba muncul di belakang I
Gusti Kumala. Rupanya pemuda yang mengaku
Pendekar Gila menggunakan ilmu tanpa wujud
yang disebut 'Ilmu Pangilunan'.
"Ha ha ha...! Kau tak akan bisa mengalah-
kanku, Orang Asing! Aku masih sanggup melade-
ni dua orang macam kau...!" seru pemuda itu
dengan sombong.
I Gusti Kumala dengan cepat membalikkan
badannya sambil menyiapkan serangan lagi.
Tiba-tiba pemuda yang mengaku Pendekar
Gila membuka suatu gerakan aneh, kedua telun-
juk tangannya dihentakkan ke samping kiri. Se-
kejap keluar asap mengepul ke udara. Asap itu
perlahan-lahan berubah menjadi wujud manusia
yang sama dengan wujudnya. Baik pakaian mau-
pun wajahnya. I Gusti Kumala terkejut melihat bayangan
itu. "Ilmu iblis ini harus segera kuhancurkan! Kini aku bertambah yakin kalau
dia bukan Pendekar
Gila," gumamnya seperti bicara pada diri sendiri, Sementara itu salah satu
pemuda yang kini
ada dua itu melompat ke atas bahu lawannya.
Pada saat itu I Gusti Kumala sudah menyiapkan
serangan lagi. "Heaaa...!"
I Gusti Kumala dengan cepat mengantar-
kan. Namun apa yang dilihatnya kemudian,
membuat terkejut. Sesaat lagi serangannya akan
menghantam dada lawan, tiba-tiba orang yang di
bawah menjatuhkan diri ke kiri. Tubuh pemuda
yang ada di bahu ikut miring ke kiri. Kini dua sosok tubuh mendadak kaku seolah
berubah jadi kayu. Tiba-tiba kedua tubuh yang kaku itu ber-
putar kencang bagai gangsing. Dua sosok tubuh
kaku yang berputar deras itu mengeluarkan deru
angin membadai.
"Gila...!" gumam I Gusti Kumala kehera-
nan. Dia terkesiap melihat apa yang dilakukan
kedua lawannya.
Selagi I Gusti Kumala terkesiap melihat apa
yang dilakukan kedua lawannya, tubuh yang ber-
putar kencang itu tiba-tiba berpisah. Satu mele-
sat ke kiri, satu lagi ke kanan.
I Gusti Kumala dengan secepat kilat me-
lenting ke udara sambil menghentakkan kain ikat
pinggang ke arah kedua lawannya. Kain itu
menggelembung lebar kemudian menjadi keras.
Secepat itu pula kain tersebut diputarnya, lalu
kembali dihentakkan ke depan. Kain itu melilit
kedua lawannya. Namun itu tak berlangsung la-
ma, karena kedua orang yang terlilit dapat mele-
paskan diri dan langsung menyerang I Gusti Ku-
mala. Bagai macan terbang kedua pemuda yang
mirip Pendekar Gila itu menerkam I Gusti Kumala
sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar.
I Gusti Kumala memapaki serangan itu.
Akibatnya.... Glarrr! Terjadi ledakan akibat benturan tangan-
tangan bertenaga dalam tinggi, hingga mengelua-
rkan api. Tubuh mereka terpental ke belakang
dan jatuh ke tanah dengan keras.
Seketika sosok pemuda jelmaan hancur ja-
di abu. Sedangkan yang asli berubah menjadi so-
sok kakek berambut panjang yang tak lain Kala
Bendono. Tubuhnya berantakan. Kepalanya terpi-
sah dari tubuh. Tangan kiri dan kaki kanannya
putus. Namun dalam beberapa saat kepala tangan
dan kaki itu kembali menyatu dengan tubuhnya.
"Ha ha ha...!" Kala Bendono tertawa terba-hak-bahak. Lalu bangkit berdiri.
"Ilmu Rawe Rontek...!" seru I Gusti Kumala yang nampak meringis menahan rasa
sakit di dadanya. Segera lelaki gagah berjubah putih itu
membuat gerakan untuk mengembalikan tenaga
dalamnya. Tubuhnya berasap dan bergetar.
Rupanya kedua orang berilmu tinggi itu
terlempar jauh sampai ke dekat sebuah danau
yang tak begitu luas.
Sementara itu sosok bayangan berkelebat
menuju danau dan bersembunyi di balik pepoho-
nan rindang. Sosok bayangan itu mengintip dari
tempat persembunyiannya, memperhatikan Kala
Bendono dan I Gusti Kumala yang kembali akan
melanjutkan pertarungan.
"Kau ini akan merasakan keampuhan
tongkatku ini, Orang Asing!" seru Kala Bendono.
Kala Bendono dengan cepat melontarkan
tongkatnya ke arah I Gusti Kumala sambil berte-
riak menggelegar.
Wesss! Tongkat itu meluncur deras dan berputar
cepat ke arah I Gusti Kumala yang dengan cepat
mengibaskan kain ikat pinggangnya.
Wret! Trak! Kain itu beradu dengan tongkat Kala Ben-
dono. Dengan cepat pula I Gusti Kumala meng-
hentakkannya, lalu melontarkan hingga tongkat
yang berputar itu meluncur kembali ke pemilik-
nya. "Ha ha ha.... Permainan anak kecil!" serunya dengan nada mengejek.
Secepat kilat Kala Bendono menghentak-
kan kedua telapak tangan ke depan. Seketika
tongkat yang kembali ke arahnya berubah arah,
berbalik memburu I Gusti Kumala.
Pada saat bersamaan I Gusti Kumala telah
mengeluarkan ilmu andalannya yaitu 'Salju Seja-
ti'. Dia meletakkan tangan kiri di atas permukaan air danau. Sejenak udara
menjadi dingin, di beberapa tempat muncul butir-butir air. Kini dari sela-sela
jari I Gusti Kumala mengepul kabut tipis dan dingin. Sedang tangan kanannya
kemudian menghentak air danau. Ketika tangan kanan itu
diangkat kembali, telah menggenggam sebuah pe-
dang kristal es. Secepat itu pula I Gusti Kumala
melesatkan pedang es kristalnya.
Wesss! Pedang es menghantam tongkat Kala Ben-
dono. Jglarrr! Ledakan keras terjadi disertai kilatan api
dan sinar keperakan. Tongkat Kala Bendono han-
cur berkeping-keping. Sedangkan Pedang Kristal
Es terus meluncur memburu Kala Bendono.
"Hah..."!" Kala Bendono terkejut bukan
main. Kedua matanya membelalak lebar.
Glarrr! Kala Bendono menjerit panjang, lalu hi-
lang. Tubuh Kala Bendono terbelah empat. Kepa-
la, kaki, dan tubuhnya kembali terpisah. Pada
saat itu pula berkelebat sesosok bayangan bersal-
to di udara, lalu cepat menyambar kepala dan ka-
ki Kala Bendono. Kemudian dengan cepat sosok
itu melempar kepala dan kaki Kala Bendono ke
udara. Lalu dengan pukulan jarak jauh orang
bercadar itu menghantarkan pukulannya ke arah
kepala dan kaki yang masih melayang di udara.
Jglarrr! Kepala dan kaki Kala Bendono hancur le-
bur. Kemudian orang bercadar itu membalik
menghadap I Gusti Kumala yang sempat terluka
di dadanya, akibat beradu ilmunya dengan Kala
Bendono. Kemudian dia membuka cadarnya.
"Kau.... Murti...!" seru I Gusti Kumala serak, sambil menahan rasa sakit di
dadanya. Murti hanya tersenyum manis, lalu me-
langkah mendekati I Gusti Kumala dengan wajah
dibuat seramah mungkin.
"Kenapa kau lakukan itu...?" tanya I Gusti Kumala sambil memegangi dada kirinya.
"Aku pun sudah lama mencari dan dendam
pada manusia iblis itu. Ilmu Rawe Rontek harus
dihancurkan dengan cara itu. Tentunya kau juga
paham akan ilmu itu, bukan?" kata Murti dengan kalem, "Lukamu nampaknya
parah...," tambah-nya dengan muka berubah sedih.
"Kau mengenal lawanku tadi...?" tanya I Gusti Kumala menyelidik. Dia mengerutkan
kening menatap Murti.
"Ya. Dia pernah berkhianat pada Kakang
Bronto Widura. Selain itu dia telah mencuri benda pusaka milik Kakang Bronto
Widura...," jawab Murti dengan wajah dibuat sesedih mungkin.
Bahkan kemudian mulai menangis.
I Gusti Kumala menghela napas panjang.
Sebenarnya dia kurang percaya akan cerita Murti.
Namun karena luka dalamnya yang dirasa cukup
berat, terpaksa memperlakukan ketenangan dan
istirahat yang cukup.
Murti yang dapat menangkap keadaan itu,
cepat berucap dengan lemah lembut.
"Kau perlu istirahat cukup," kata Murti sambil memeriksa luka di dada kiri I
Gusti Kumala dengan wajah ham, "Kalau kau masih memper-cayaiku.... Sebaiknya
tinggal di tempatku semen-
tara waktu. Percayalah, aku tak akan menggoda-
mu! Maafkan atas segala tingkahku tempo hari...!
Aku merasa malu. Terus terang aku sangat ka-
gum dengan sikapmu yang seadanya itu...," lanjutnya dengan wajah dibuat
sedemikian sedih.
"Baiklah...," ucap I Gusti Kumala perlahan.
Lalu Murti segera membantu I Gusti Kuma-
la untuk berdiri. Sebenarnya luka I Gusti Kumala
sudah mulai membaik. Dan tenaganya sudah mu-
lai pulih. Dia telah menyatukan kembali tenaga
dalamnya, ketika Murti berkata panjang tadi. Dan
I Gusti Kumala sengaja menyetujui tawaran Mur-
ti, hanya karena tak mau menyakiti hati wanita
cantik itu. Selain itu dia ingin tahu siapa biang keladi orang-orang yang
berniat menghalangi per-jalanannya untuk menemui Pendekar Gila.
*** 9 Pendekar Gila dan Dogol kehilangan jejak
Mei Lie. Keadaannya kini berada di suatu tempat
yang asing bagi mereka. Sena mengangguk-
angguk kepala, hatinya merasa kesal.
"Bagaimana bisa aku kehilangan jejak...!
Aneh!" gumamnya perlahan, seperti bicara pada diri sendiri


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dogol nampak engos-engosan napasnya,
terus menggaruk-garuk perutnya yang buncit itu.
Mata yang agak sipit menoleh ke sana kemari
mencari-cari sesuatu. Lalu bergidik sendiri. Kare-
na tempat itu nampak seram sekali. Dan tak jauh
dari tempat mereka terdapat kuburan tak berna-
ma. "Hiiihhh...!" seru Dogol ketakutan lalu mendekati Sena.
"Ayo, kita cepat pergi dari sini...!" ujar Sena lalu segera melangkah setengah
berlari. Karena
ketinggalan, Dogol menjerit perlahan karena ke-
takutan. Suasana di tempat itu memang menyeram-
kan. Tampak asap mengepul seperti embun. Do-
gol berlari di belakang Sena. Wajah Dogol sema-
kin memble, tegang, dan tak karuan. Perutnya
yang besar terus bergoyang-goyang nampak lucu.
"Wadowww...! Bisa mati aku...!" gumam
Dogol sambil terus lari dengan napas terengah-
engah. Keringat sudah membasahi seluruh tu-
buhnya yang tambun dan bulat.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan
yang disusul sosok lain. Dan beberapa saat ke-
mudian, muncul dua orang bertubuh gendut ber-
kepala botak, hanya di bagian belakang yang
tumbuh rambut. Tubuhnya hanya terbalut pa-
kaian berbentuk rompi dari bulu binatang dan ce-
lana cawat. Kedua orang kembar itu sama-sama
mengenakan kalung berbandul tengkorak.
"Ha ha ha... hari ini kita dapat makanan le-
zat, Kakang...!" kata orang yang memegang paha daging rusa sambil menaikkan
alisnya yang tebal.
"Benar, jangan berbasa-basi lagi! Ayo, kita
cincang kedua manusia ini. Ha ha ha...!"
Selesai bicara begitu dua manusia menggi-
riskan itu langsung menerkam Sena dan Dogol.
"Grrr...!"
Pendekar Gila cepat berkelit lalu melenting
ke udara dan hinggap di cabang pohon. Sementa-
ra Dogol melompat-lompat menghindari terkaman
lawan. Tampaknya kedua orang itu tak memiliki
ilmu silat. Pendekar Gila yang tak ingin berlama-lama
berhadapan dengan kedua orang itu, cepat mela-
kukan tendangan dahsyat ke kepala lawan.
Bugkh! Terdengar geraman keras dari mulut mak-
hluk aneh itu. Tubuhnya yang besar tak ber-
goyang sedikit pun. Malah dia sempat menangkap
kaki Pendekar Gila. Lalu memutarnya dan me-
lemparkan tubuh Pendekar Gila ke pohon. Na-
mun Pendekar Gila dengan cekatan dapat men-
guasai keadaan dengan bersalto. Hingga kepa-
lanya yang mengarah ke batang pohon berbalik
arah. Kedua kakinya menyentuh batang pohon
dan meluncur ke arah lawan, sambil melancarkan
tendangan. Dugkh! "Akh...! Grrr...!" Kali ini lawan terhuyung setombak ke belakang. Pada saat itu
Sena dengan cepat mengeluarkan 'Ajian Inti Bayu'. Seketika
dari telapak tangan Sena keluar deru angin lak-
sana badai menerbangkan tubuh si Manusia Tu-
runan Jin itu. Tubuh yang besar itu melayang di
udara lalu terbanting dengan keras.
Sementara itu satu lagi yang sedang men-
gejar menjadi kaget ketika melihat saudaranya
terkapar tak berkutik lagi. Dia marah. Lalu me-
nyerang Sena. Namun belum sempat mendekat,
Pendekar Gila sudah melancarkan serangan 'Ajian
Inti Bayu'nya kembali, hingga tubuh orang itu
melayang seperti yang pertama. Lalu jatuh keras
ke tanah dan tak bergerak lagi.
Dogol yang melihat itu segera keluar dari
balik pohon, sambil menggaruk-garuk perutnya.
"Mereka tak apa-apa. Hanya pingsan. Ayo,
cepat pergi...!" kata Sena, kemudian melesat. Dogol yang ketakutan berlari
sekuat tenaga menge-
jar Sena. "Kakang Sena tunggu...!" seru Dogol dengan wajah ketakutan. Pendekar Gila
akhirnya berhenti. Dan ketika Dogol tiba, Sena kembali
berlari. Dogol pun terpaksa lari pula mengejar
Sena. Maksud Pendekar Gila hanya ingin membe-
rikan pelajaran pada Dogol, agar menjadi kuat
dan tidak cengeng.
*** Sudah dua hari I Gusti Kumala tinggal di
padepokan Murti. Dan selama itu tidak terjadi
hal-hal yang aneh atau janggal.
Sore itu I Gusti Kumala sedang istirahat di
kamarnya, tiba-tiba Murti muncul dengan se-
nyum manis. Dihampirinya I Gusti Kumala yang
sedang rebahan di atas pembaringan.
"Bagaimana" Kau kerasan tinggal di sini?"
tanya Murti dengan lembut.
I Gusti Kumala segera bangun dan duduk
di pinggir ranjang.
"Ya, begitulah," jawab I Gusti Kumala agak malas. Lalu keduanya diam, suasana
menjadi hening sesaat. Tiba-tiba I Gusti Kumala membuka
suara. "Aku masih merasa heran akan kejadian dua hari yang lalu. Orang itu
mengaku Pendekar
Gila. Siapa sebenarnya orang itu" Begitu keras
dia ingin membunuhku. Dan ilmunya cukup ting-
gi. Apakah kau tahu, siapa dalang semua ini...?"
tanya I Gusti Kumala memancing Murti.
"Siapa lagi kalau bukan kaki tangan Pen-
dekar Gila" Karena dia mungkin tak ingin berta-
rung atau takut denganmu. Dan orang yang me-
miliki Ilmu Rawe Rontek itu pasti tangan kanan
Pendekar Gila. Mungkin ada sesuatu yang ingin
direbut darimu...," tutur Murti kembali membuat kebohongan. Lalu wanita cantik
itu duduk di pinggir ranjang dekat I Gusti Kumala. Sengaja
kainnya yang memang pendek dibiarkan terang-
kat hingga paha dan betisnya yang mulus jelas
terpampang di hadapan mata I Gusti Kumala.
Murti seperti acuh.
I Gusti Kumala menghela napas dalam-
dalam. Matanya melirik sejenak ke betis dan paha
Murti. Hampir saja lelaki itu tergoda oleh setan
betina itu. "Apa yang mau direbut dariku" Aku tidak
menyimpan apa-apa untuk diperebutkan," kata I Gusti Kumala tiba-tiba dengan nada
menyindir. Seketika Murti tersentak kaget. Wajahnya
mendadak berubah. Namun segera dihilangkan,
takut kalau I Gusti Kumala curiga. Dia sudah
berbuat terlalu jauh. Kalau Kala Bendono gu-
runya sendiri dengan tega dilenyapkan. Kali ini
dia tak mau gagal.
"Aku dengar kau...!"
Murti tak meneruskan ucapannya. Dia
sengaja merapatkan dadanya yang membusung
ke badan I Gusti Kumala. Lelaki itu seketika ge-
metaran, lalu berdiri dan melangkah ke dekat
jendela. Murti tersenyum-senyum simpul, lalu
menggigit bibirnya sendiri. I Gusti Kumala meno-
leh ke arah Murti yang masih duduk di pinggir
ranjang. Lalu berkata kalem,
"Maafkan aku, Murti...!"
"Aku yang harus minta maaf. Bukan mak-
sudku..., aku hanya ingin menghiburmu. Tam-
paknya kau sangat terpukul oleh kematian sau-
dara seperguruanmu. Kupikir..."
Murti tak melanjutkan ucapannya. Dia
hanya mengerlingkan mata penuh arti.
I Gusti Kumala kembali duduk di pemba-
ringan, termenung menatap keluar. Sementara
pikirannya berada di tempat lain. Ia saudara se-
perguruanku. Bertahun-tahun kami mengelana
bersama-sama. Sudah seperti kakak-beradik yang
tak terpisahkan. Begitulah perasaan hati I Gusti
Kumala mengenang I Gusti Kastasudra yang telah
tiada. Murti pada saat itu berjalan mengambil sebuah cawan berisi air minum dan
memberikan- nya pada I Gusti Kumala.
"Minumlah! Air ini akan menenangkan pi-
kiranmu...." Suara Murti terdengar lemah lembut.
I Gusti Kumala berpikir sejenak. Ditatap-
nya wajah Murti beberapa saat, lalu mengambil
cawan di tangan wanita itu. Diikuti tatapan mata
Murti yang genit penuh arti, I Gusti Kumala me-
neguk minuman di cawan. Sesaat suasana hen-
ing. Namun kemudian I Gusti Kumala menge-
rutkan kening. Ada sesuatu yang tak terelakkan.
Ditatapnya Murti dengan tajam. Wanita itu tam-
pak memberikan senyuman manis.
"Kau... Perempuan li... cik...!" seru I Gusti Kumala dengan suara tertahan.
Sadar dirinya dijebak, I Gusti Kumala me-
lompat berdiri hendak keluar. Bersamaan dengan
itu pula, Murti langsung menyerang dengan kiba-
san kain. Namun dengan suatu gerakan yang ce-
pat I Gusti Kumala melompat ke samping, sehing-
ga kibasan kain Murti hanya mengenai sebuah
kayu. Sesaat kayu itu kelihatan masih utuh, na-
mun tak lama kemudian jatuh, terpotong oleh ki-
basan kain Murti.
Murti masih mencoba menyerang sambil
berteriak, tetapi I Gusti Kumala mampu meng-
hindar dan melompat keluar lewat jendela.
Di luar, malam semakin larut. Meskipun
keadaan tubuhnya telah payah, I Gusti Kumala
melenting ke udara. Ketika menjejakkan kaki di
tanah, ternyata ia sudah disambut empat murid
Murti, yang berdiri membentuk setengah lingka-
ran. Salah seorang di antaranya yang bernama
Asri. Dia memegang tombak dengan bendera kecil
berlambang perguruan Murti. Gambar Mawar Me-
rah. "Ha ha ha... hi hi hi...!"
Asri tertawa-tawa mengejek.
I Gusti Kumala menatap tajam ke arah em-
pat wanita itu. Sesaat suasana hening. Kemudian
secara serempak, para murid Murti melontarkan
senjata-senjata rahasia.
Zing, zing, zing...!
Senjata-senjata bernama Mawar Merah itu
mendesing dan meluncur deras ke arah I Gusti
Kumala. Namun lelaki itu masih dapat mengelak,
dengan cara melenting ke udara dan bersalto be-
berapa kali. Pada saat itu Murti muncul di pintu. Dili-
hatnya betapa I Gusti Kumala harus melenting
beberapa kali menghindari senjata-senjata raha-
sia yang berlesatan beruntun, seolah tak ada ha-
bis-habisnya. Murid-murid Murti tak mau mem-
biarkan I Gusti Kumala mempunyai waktu untuk
beristirahat, atau melakukan serangan balik pada
mereka. Pendekar Pulau Dewata menjejak ke pa-
gar untuk kembali melenting kian kemari untuk
menghindari serangan Mawar Merah yang terus
menghujaninya. "Heaaa...! Jurus 'Kibar Langit'!" seru Murti
memberikan perintah pada murid-muridnya. Dan
dalam suatu gerakan yang amat cepat, serempak
mereka melontarkan Mawar Merah yang luar bi-
asa banyaknya. Senjata-senjata itu melesat dan
mengalir terus tanpa ada habisnya.
I Gusti Kumala terkejut melihat serangan
berbahaya itu. Tak ada pilihan lain baginya. I
Gusti Kumala secepat kilat merenggut kain di
pinggangnya. Dalam suatu gerakan yang manis
tapi cepat sekali, ia mengibas-ngibaskan kain itu untuk menyongsong puluhan
senjata rahasia
yang melesat cepat mengancam jiwanya.
"Heaaa...!"
I Gusti Kumala dengan cepat menghentak-
kan kain itu. Akibatnya luar biasa. Secepat itu
pula puluhan Mawar Merah beracun terlempar
membalik ke pemiliknya.
Hal ini tentunya tak terduga sama sekali,
baik oleh Murti maupun murid-muridnya sendiri.
Beberapa Mawar Merah melesat ke arah Murti
yang terkejut. Di saat itu pula Asri dengan cepat melenting, menghadangkan diri
pada senjata-senjata yang mengarah ke Murti, tepat pada saat
Murti juga melenting menghindar. Pada waktu
yang sangat gawat itulah Asri berhasil menyela-
matkan Murti, membiarkan tubuhnya tertancap
senjata-senjata rahasia yang hampir menewaskan
pimpinannya. Begitu setianya Asri pada Murti,
hingga jiwanya pun dikorbankan.
Jlep, jlep! "Aaakh...!"
Jeritan yang menyayat terdengar bersahu-
tan. Bukan hanya Asri yang terkena senjata raha-
sianya sendiri. Namun murid-murid Murti yang
lain pun terkapar mati terkena Mawar Merah.
Senjata makan tuan!
Ketegangan mereda. Sementara itu kea-
daan Asri pun sudah mengenaskan, tubuhnya


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh senjata rahasianya sendiri. Meskipun de-
mikian ia masih mencoba berdiri. Namun itu tak
berlangsung lama. Tubuh Asri melorot, ambruk.
Darahnya membasah sepanjang tombak yang
menancap tegak di tanah.
Melihat semua kejadian ini, Murti marah
bukan kepalang. Dengan cepat ia membuat suatu
gerakan, menyorongkan telapak tangannya ke de-
pan sambil berteriak 'Ajian Cipta Dewa'! Yeaaa...!"
Dalam waktu sekejap I Gusti Kumala mele-
sat lalu melenting dalam kekuatan puncak sisa-
sisa tenaganya. Tubuhnya berkelebat laksana ki-
lat, menghilang di balik pepohonan.
Jlegar...! 'Jurus Cipta Dewa' itu menghantam tempat
kosong. Akibatnya memang luar biasa. Benda-
benda yang terkena semua terhempas dan hancur
berkeping-keping. Pepohonan roboh seketika.
Murti tercenung karena serangannya tak
mengenai sasaran. Dia kembali berdiri dalam po-
sisi siaga, mencari-cari arah hilangnya I Gusti
Kumala. Sementara tak jauh dari tempat itu sesosok
bayangan berkelebat. Lalu berhenti, ketika men-
dengar suara pohon roboh. Kemudian melesat ke
arah datangnya suara. Begitu ringan sosok itu
melompat-lompat di antara pepohonan hutan.
Murti yang masih mencari-cari arah hi-
langnya I Gusti Kumala, tiba-tiba terkejut men-
dengar adanya suara. Belum sempat dia menge-
tahui siapa gerangan pemilik suara itu tiba-tiba
melesat sesosok bayangan dan berhenti di depan-
nya. Murti tersentak kaget melihat sosok yang
berdiri di depannya. Sesosok wanita cantik ber-
pakaian putih longgar dengan sebilah pedang
panjang tersampir di pundaknya.
Belum sempat Murti menyapa, tiba-tiba
wanita cantik yang tak lain Mei Lie itu langsung
melancarkan serangan.
Bukkk! "Aaakh!"
Murti memekik keras. Tubuhnya terpental
beberapa tombak ke belakang.
Mei Lie berdiri tegak menatap Murti yang
bergulingan di tanah. Murti marah. Cepat wanita
itu berdiri tegak, juga menatap ke arah orang
yang menyerangnya.
"Kau..."! Mei Lie..."!" gumam Murti. Seketika wajahnya bertambah merah karena
marah. "Kita bertemu lagi, Perempuan Jalang! Tak
kusangka kau begitu berani mempermainkan aku
dan Kakang Sena, mengadu domba dengan pen-
dekar dari seberang itu...!" seru Mei Lie dengan lantang.
Murti mencabut pedangnya, demikian juga
Mei Lie dengan penuh dendam segera dicabut Pe-
dang Bidadari-nya.
"Ha ha ha... hi hi hi...! Inilah saat yang ku-tunggu-tunggu! Sudah lama aku
ingin bertarung
denganmu Mei Lie. Kau boleh bangga memiliki
Kakang Sena. Siasatku ternyata berhasil untuk
mendatangkan kau kemari. Sebentar lagi kau
akan kukirim ke neraka sana...! Ha ha ha...!" ujar Murti dengan nada mengejek
Mei Lie. Mei Lie yang sudah mendendam, langsung
menyerang Murti. Pertarungan sengit penuh den-
dam itu pun tak terelakkan, karena keduanya te-
lah sama-sama menyimpan amarah yang terta-
han. Teriakan-teriakan keras seketika memecah
suasana hening di hutan itu.
Mei Lie membabatkan Pedang Bidadari-nya
ke arah Murti. Namun Murti sudah siaga, berkelit
dan menangkis serangan Mei Lie dengan pedang-
nya. Trang, trang!
Kedua pedang itu beradu, menimbulkan
suara keras dan nyaring. Percikan api keluar
mengiringi dentangan itu. Kedua wanita muda itu
berkelebat cepat, melenting dan bertarung di uda-
ra. Gerakan cepat mereka menimbulkan dentin-
gan-dentingan yang cepat pula, ditingkahi teria-
kan. Lalu keduanya mendarat dengan ringan.
Namun hanya sekejap menjejakkan kaki, mereka
kembali melesat. Dua ilmu pedang sakti saling
bertarung. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang
satunya Pedang Panca Iblis.
Dengan berteriak keras, Mei Lie membuka
jurus 'Tarian Bidadari Membelah Langit'! Pedang
di tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas,
seakan berusaha membelah langit.
Sementara Murti tidak mau tinggal diam.
Segera digunakan jurus yang tidak kalah hebat-
nya. Pedangnya bergulung cepat menerbitkan si-
nar ungu, sesaat menutupi tubuhnya.
Trang, trang! Denting dua pedang kembali terdengar
nyaring. Tubuh keduanya melompat ke belakang,
kemudian dengan sigap kembali menyerang. Pe-
dang di tangan mereka bagai memiliki mata, ber-
gerak ke sana kemari, memburu tubuh lawan.
*** Sementara itu di tempat lain, yang tak be-
gitu jauh dari tempat pertarungan, tampak I Gus-
ti Kumala yang terkena racun dalam minuman
tengah terhuyung-huyung dengan wajah pucat.
Keringat membasahi seluruh tubuhnya yang mu-
lai lemas. Sesaat kemudian lelaki berjubah itu roboh ke tanah dengan tubuh
sangat lemas. Bersa-
maan dengan itu muncul Supit Songong yang
bermaksud mengejar Mie Lie. Supit Songong yang
melihat sosok I Gusti Kumala tergeletak, segera
mendekati dan menolongnya.
"Celaka, dia terkena racun...!" seru Supit Songong. "Aku harus menolongnya.
Karena dia pernah menyelamatkan jiwaku.... Ini pasti perbu-
atan si Wanita itu."
Supit Songong segera menolong I Gusti
Kumala untuk bangkit. Lalu didudukkannya, ber-
sandarkan batang pohon. Rupanya I Gusti Kuma-
la masih bisa bertahan. Perlahan-lahan dia men-
gatur kedudukannya untuk mengerahkan tenaga.
Supit Songong membantu sebisanya. Mu-
lutnya membaca mantera sambil kedua telapak
tangannya menekan punggung I Gusti Kumala
dengan mengerahkan tenaga dalam. I Gusti Ku-
mala pun berusaha pula dengan sisa-sisa tenaga
untuk mengeluarkan racun yang bersarang pada
tubuhnya. Tubuh Supit Songong berasap. Asap itu
menjalar ke telapak tangan Supit Songong, terus
ke tubuh I Gusti Kumala.
Dan sesaat kemudian mendadak I Gusti
Kumala terbangun. Mulutnya langsung menyem-
protkan darah kehitaman. Darah kotor yang ter-
campur racun ganas, ramuan Murti. Dedaunan
yang terkena semprotan darah beracun itu men-
dadak layu! I Gusti Kumala yang tenaganya mulai pulih
kembali, menghela napas dalam-dalam. Dia du-
duk bersila mengambil sikap bersemadi dengan
kedua mata terpejam rapat
Supit Songong sudah berdiri di hadapan I
Gusti Kumala, menatap dengan perasaan lega.
Lalu menggaruk-garuk lengan dan dadanya, sea-
kan merasa gatal.
Perlahan I Gusti Kumala membuka ma-
tanya. Sesaat itu memandangi Supit Songong.
"Kau...?" gumam I Gusti Kumala.
Supit Songong tersenyum lugu.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan
jiwaku...!" Terdengar suara I Gusti Kumala dengan diiringi senyuman. Lalu
keduanya berjabat
tangan, tanda persahabatan.
I Gusti Kumala perlahan berdiri. Kemudian
menggerakkan kedua tangan ke depan dada,
mengumpulkan kembali tenaga dalamnya. Se-
mentara Supit Songong hanya memandanginya
dengan tersenyum.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya I Gusti Kumala pada Supit Songong
ingin tahu. "Kita ini sama-sama dijebak oleh seorang
wanita berhati iblis. Dan aku kemari sedang men-
gikuti Nini Mei Lie yang ingin mencari wanita
itu...," tutur Supit Songong.
I Gusti Kumala jadi mulai mengerti. Ia
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kurang ajar! Rupanya semua kejadian
yang menimpaku dan sampai Kastasudra mene-
mui ajalnya, adalah rencana si Murti Keparat
itu...!" gumam I Gusti Kumala geram.
Pada saat itu terdengar teriakan dan suara
pedang beradu di kejauhan.
"Mungkin Nini sedang bertarung dengan
wanita itu. Celaka...!" kata Supit Songong, lalu melompat dan menghilang. I
Gusti Kumala segera
menyusul. Mei Lie dan Murti ternyata masih berta-
rung. Semakin ganas keduanya membabat dan
menusukkan pedang masing-masing.
"Perempuan macam kau, hanya akan
membawa aib bagi semua orang!" seru Mei Lie
dengan geram. "Cemburu sering menumbuhkan dendam
tanpa alasan...!" sahut Murti tak kalah lantangnya, sambil mengelak dari tebasan
pedang Mei Lie. "Tak ada gunanya cemburu pada perem-
puan macam kau! Tapi, kau telah berani merusak
kebaikanku dan Kakang Sena. Kau mencoba un-
tuk merayu, menjebak Kakang Sena waktu itu....
Apa kau tak ingat...!" seru Mei Lie dengan kema-rahannya. Karena, sekejap dia
teringat peristiwa
beberapa tahun silam.
"Ha ha ha... hi hi hi...! Jadi kau masih in-
gat juga... bagus! Kini akan aku buktikan bahwa
Kakang Sena akan menjadi milikku...!"
Selesai bicara begitu tiba-tiba Murti cepat
mencabut tusuk kondenya yang berupa Mawar
Merah. Secepat itu pula dia melontarkan ke arah
Mei Lie. Zing! Mei Lie kaget, namun gadis ini secepat kilat
melenting dan bersalto di udara, sambil menang-
kis dengan pedangnya.
Trak! Tusuk konde itu kembali melesat ke arah
pemiliknya. Mata Murti membelalak, tapi cepat
menghindar. Tusuk konde menghantam pohon.
Mei Lie secepat itu pula menebaskan pe-
dangnya, dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang
yang terkena babatan pedang itu akan mengalami
keanehan. Tubuhnya tak menampakkan luka, ta-
pi jika tertiup angin, tubuhnya akan lebur menja-
di debu. Murti tersentak menyaksikan jurus aneh
dan terkenal itu. Agak tegang dia menyaksikan-
nya. Untung dia cepat melenting ke belakang. Se-
hingga terlepas dari ancaman maut mengerikan
jurus 'Pedang Tebasan Batin'!
Keduanya kembali melenting dan saling
membabat Bret! Lengan Murti sempat tergores sedikit oleh
pedang Mei Lie. Bajunya robek sejengkal. Darah
segar mulai bercucuran. Murti jadi geram. Wanita
jalang itu malah mempercepat serangannya.
Namun Mei Lie yang lebih unggul dalam
ilmu pedang akhirnya dapat mendesak Murti,
yang sudah mulai melemah akibat goresan Pe-
dang Bidadari Mei Lie tadi.
Kembali pedang keduanya beradu keras.
Trang! Trang! Pedang Murti patah jadi dua. Murti kaget,
dibuangnya pedang itu dan mengeluarkan jurus
'Cipta Dewa'nya. Dengan cepat Murti membuat
gerakan menyorongkan telapak tangannya ke de-
pan, sambil berseru, "Ajian 'Cipta Dewa'...!"
Mei Lie yang melihat itu segera dengan ce-
pat mengangkat Pedang Bidadari-nya untuk me-
nangkis serangan Murti yang merubah larikan si-
nar. Wuttt! Trang! Glarrr! Terjadilah ledakan dahsyat, akibat bentu-
ran larikan sinar dan Pedang Bidadari Mei Lie.
Sinar itu membalik ke arah Murti. Murti membe-
lalak kaget. Dia berusaha menghindar, tapi ter-
lambat. Glarrr..! Murti menjerit panjang. Tubuhnya terpen-
tal dan terbakar oleh ajian 'Cipta Dewa'nya sendi-ri. Lalu jatuh ke tanah dan
tewas seketika.


Pendekar Gila 35 Cinta Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Mei Lie terpental enam tombak
ke belakang dan membentur pohon dengan keras.
Di bagian dadanya tampak luka sedikit akibat
percikan api. Tubuh Mei Lie nampak lemah.
Supit Songong mendekati dengan panik.
Tak tahu apa yang harus dikerjakan. I Gusti Ku-
mala segera mengobati Mei Lie. Dengan hanya
mengusap telapak tangan kanannya. Sementara
kedua matanya yang tajam bercahaya memancar-
kan hawa aneh. Sekejap luka dalam Mei Lie hi-
lang. Supit Songong senang dan mulai bisa ter-
tawa. Lalu merangkul Mei Lie. Mei Lie pun mem-
balas pelukan bocah bersisik naga itu dengan pe-
nuh kasih sayang.
Lalu keduanya berdiri dan menghampiri I
Gusti Kumala yang memandang mereka dengan
tatapan mata mengandung kedamaian dan kesa-
baran. I Gusti Kumala memberi hormat pada Mei
Lie dengan menganggukkan kepala.
"Dialah salah satu pendekar dan Pulau
Dewata itu Nini Mei Lie," ujar Supit Songong memperkenalkan I Gusti Kumala pada
Mei Lie. "Terima kasih, Saudara telah menyembuh-
kanku...!" kata Mei Lie dengan lemah.
"Ah... semua itu sudah biasa. Tugas dan
ajaran Hyang Wisnu harus kujalankan. Kita ha-
rus saling mengasihi pada sesama umat. Tapi
ternyata orang-orang picik dan sesat seperti wani-ta itu masih banyak di bumi
ini...," kata I Gusti Kumala sambil menunjuk mayat Murti yang telah
menjadi hangus itu.
Lalu mereka mendekati mayat Murti. Mei
Lie nampak menyesal dengan semua yang terjadi.
Hati wanitanya tak bisa menahan rasa sedih dan
kasih melihat mayat Murti yang telah hangus itu.
"Bukan maksudku untuk membunuhmu,
Murti. Tapi, semua itu kau yang membuat jadi
begitu.... Maafkan aku Murti...!"
Mei Lie bergumam. Matanya berlinang. Pe-
nyesalan terlukis di raut wajah gadis cantik itu.
"Semua ini sudah kehendak sang Pencipta.
Orang jahat harus mendapat hukuman yang se-
timpal. Karena keserakahan dan maksud buruk-
nya ingin memiliki kitab sakti mandraguna itu.
Padahal, kitab itu telah kubakar bersama mayat
saudara seperguruanku, I Gusti Kastasudra, yang
mati karena rencana busuk Murti...."
"Kenapa kau bakar kitab itu" Bukankah
tujuanmu yang utama memberikannya pada Ka-
kang Sena?" tanya Supit Songong tiba-tiba.
"Siapa Sena itu...?" tanya I Gusti Kumala.
"Kakang Sena adalah Pendekar Gila yang
ingin kau temui itu," jawab Mei Lie mendahului Supit Songong.
I Gusti Kumala mengangguk-anggukkan
kepala. Pada saat itu tiba-tiba muncul Sena ber-
sama Dogol dari arah belakang mereka.
"Mei Lie..."!" seru Sena, lalu menghambur ke arah kekasihnya.
I Gusti Kumala kaget dan memperhatikan
Sena, lalu menjura memberi hormat, ketika Sena
memandangnya. "Maafkan aku Mei Lie...!" ucap Sena penuh perasaan.
"Tidak, Kakang Sena. Akulah yang terlalu
menuruti dendam amarah, serta rasa cemburu....
Tapi semua ini kulakukan karena cinta kasihku
pada Kakang...," tutur Mei Lie tulus, air matanya kembali mengembang.
Keduanya berpelukan sejenak. Lalu Supit
Songong memperkenalkan Pendekar Gila pada I
Gusti Kumala. Sena menatap I Gusti Kumala agak lama,
demikian juga I Gusti Kumala. Sepasang mata
mereka saling bertemu. Lalu Sena dengan terse-
nyum mengulurkan tangan. I Gusti Kumala me-
nyambutnya, menjabat tangan Sena dengan erat.
"Maafkan aku, Tuan Pendekar. Karena
akulah tempat ini menjadi ajang pertarungan.
Aku merasa berdosa telah membunuh mereka.
Termasuk Murti yang tak kuduga sama sekali, di-
alah dalang dari semua peristiwa itu," tutur I Gusti Kumala dengan penuh
perasaan sedih.
"Kau tidak bersalah, Sobat. Dan aku telah
mengerti maksud kedatanganmu kemari untuk
menemuiku," kata Sena dengan kalem, penuh
bersahabat "Ya, benar. Tapi, selain itu aku juga ingin
memberikan sesuatu untukmu dari Maha Guru
kami...," kata I Gusti Kumala sambil mengeluarkan sebuah kitab suci berukuran
kecil dari saku
bajunya. Dan memberikan pada Sena.
Semuanya kaget dan saling pandang.
"Lho..."! Katamu kitab itu sudah kau bakar
bersama jenazah saudara seperguruanmu...?"
tanya Mei Lie tiba-tiba merasa heran.
"Aku sengaja mengatakan padamu begitu,
agar hatiku tenang. Dan terus terang saja sejak
kematian Kastasudra, aku tak lagi mempercayai
siapa pun. Termasuk dirimu, Nini Mei Lie...!" kata I Gusti Kumala lalu tersenyum
pada Mei Lie. Mei
Lie tersenyum dan menganggukkan kepala, lalu
merangkul Supit Songong.
"Kau telah menjalankan tugasmu dengan
penuh rintangan, Sobat. Aku sebenarnya tak pan-
tas menerima kitab ini," ujar Sena kemudian.
"Maha Guru kami mengharapkan kau bisa
berkunjung ke tempat kami bersamaku nanti...,"
kata I Gusti Kumala lagi.
"Mudah-mudahan! Aku senang menden-
garnya, tapi untuk saat ini belum bisa. Masih ba-
nyak tugas yang harus kulakukan di Jawa Dwipa
ini, I Gusti Kumala," jawab Sena dengan kalem.
Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Kakang, sebaiknya kita kuburkan jasad
Murti. Biar bagaimanapun, dia pernah bersama
dengan kita. Perbuatannya itu hanya karena den-
dam dan ilmu sesat yang dianutnya...," kata Murti menyela pembicaraan mereka.
"Sungguh mulia hatimu, Nini Mei Lie. Aku
pun sependapat denganmu. Semoga Hyang Widhi
memberikan tempat yang layak baginya!" kata I Gusti Kumala.
Mereka segera menguburkan jasad Murti
yang telah hangus itu. Sena nampak sedih sekali.
Kenapa kau berbuat terlalu jauh Murti" Kenapa
kau masih menyimpan dendam padaku dan Mei
Lie. Seandainya aku tak terlambat bertindak,
mungkin tak begini jadinya. Begitulah kata-kata
yang ada dalam hati Pendekar Gila. Rupanya dia
sangat menyesal, karena tidak sempat mengatasi
sendiri atau turun tangan untuk mencari Murti.
Tapi Sena secara tidak langsung melimpahkan
pada Mei Lie, karena khawatir kekasihnya itu
cemburu dan punya pikiran berbeda dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara Murti, setelah
beberapa saat penguburan selesai. "Kakang Se-
na... maafkan aku...! Semua ini salahku. Aku me-
nyimpan dendam asmara padamu yang tak mau
menerimaku.... Aku sangat mencintaimu, Kakang
Sena. Tapi..., aku merasa berdosa padamu, pada
Mei Lie, dan guruku Kala Bendono.... Untukmu
Mei Lie, maafkan aku! Kini aku merasa lebih te-
nang di alam baka... selamat tinggal...!"
Suara itu terdengar begitu lemah penuh
penyesalan, membuat semua yang mendengar
merasa terharu. Mei Lie meneteskan air mata.
Demikian pula Sena, I Gusti Kumala, Supit Son-
gong, dan Dogol. Wajah mereka nampak sedih.
Namun semuanya sudah kehendak Maha Pencip-
ta. Bahwa yang jahat selalu tak akan menang me-
lawan yang baik.
Kemudian mereka mulai bangkit berdiri.
"Kita semua memaafkanmu, Murti....
Hanya karena dendam asmaramu padaku dan
Mei Lie membuat banyak tokoh yang terbunuh.
Semoga Hyang Widhi mengampunimu...!" ujar
Sena lirih seperti berbisik.
Langit di ufuk timur mulai memerah ketika
mereka meninggalkan tempat itu dengan pera-
saan lega. Kegelapan telah pergi, kini datang ca-
haya terang mengantarkan mereka....
SELESAI Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Hamukti Palapa 10 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Sejengkal Tanah Sepercik Darah 9
^