Pencarian

Cumbuan Menjelang Ajal 1

Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Bagian 1


1 AWAN HITAM di langit bukan sekumpulan kabut
yang disebut mendung. Bukan pula gumpalan mega
yang datang dari alam kegelapan. Tetapi, langit menja-di hitam karena malam
telah tiba. Rembulan belum
waktunya nampang di sana. Maka wajar saja jika lan-
git menjadi hitam karena suasana memang gelap pe-
kat. Di dalam gelap dan di dalam pekat itu, ternyata
ada seberkas sinar yang membias kecil di kedalaman
hutan. Sinar itu bukan sinar dari keris pusaka. Sinar itu juga bukan sinar dari
pukulan tenaga dalam. Tetapi sinar itu membias karena sebuah lampu minyak di-
nyalakan di dalam sebuah pondok. Pondok itu ber-
dinding kayu, mempunyai celah kecil yang membuat
bias sinar lampu minyak itu menerobos keluar, se-
hingga dapat dilihat dari kejauhan.
Di dalam pondok itu tidak hanya terdapat lampu
minyak saja. Di dalam pondok itu juga ada meja,
bangku, dipan dan perabot lainnya, termasuk dua so-
sok manusia; tua dan muda
Yang tua berusia sekitar tujuh puluh tahun,
rambutnya pendek dan putih, tumbuh di bagian ba-
wah sedang di tengah kepalanya gundul polos tanpa
hiasan apa pun. Tokoh tua berwajah panjang yang ge-
mar mengenakan jubah abu-abu itu tak lain adalah si
Hantu Muka Tembok alias Ki Gumarah. Sedangkan to-
koh muda yang mengenakan baju tanpa lengan warna
kuning emas itu tak lain adalah Wisnu Galang, murid
si murid si Hantu Muka Tembok itu.
"Perempuan," ujar Hantu Muka Tembok. "Sekali lagi, Perempuan...! Jangan
menjadikan sesuatu yang
amat berharga dan lebih tinggi dari pribadimu. Jika
kau telah mengistimewakan perempuan di dalam hi-
dupmu, maka tak lama lagi hidupmu akan hancur
olehnya. Sebab perempuan itu adalah madu dan racun
bagi seorang lelaki. Seorang lelaki adalah racun dan madu bagi seorang
perempuan. Mengertikah kau, Muridku?"
"Saya mengerti. Guru."
"Jadi masalahnya adalah, berapa harga madu di
pasaran sekarang ini?"
"Lho, Guru mau membeberkan tentang falsafah
hidup atau mau jualan madu?"
"O, ya. Aku salah omong. Maklum, semakin tua
semakin melantur bicaraku jika tak ada yang mengin-
gatkan." Sang murid tersenyum geli, tapi senyuman itu hi-
lang ketika sang guru memandang dengan dingin tan-
pa bicara sepatah kata pun. Sang murid takut, dan segera tundukkan kepala
kembali. Setelah sang murid
tundukkan kepala maka sang guru mulai perdengar-
kan suaranya kembali.
"Jadi sekali lagi ku ingatkan, ilmumu yang sudah bertambah itu jangan sampai
membuatmu tunduk di
telapak kaki seorang perempuan. Jika selama ini kau mudah tergiur oleh seorang
perempuan, mudah te-rangsang oleh paha mulus, walaupun itu paha sapi,
sekarang dengan bertambahnya ilmumu jangan sam-
pai kau seperti itu lagi, Wisnu Galang."
"Saya akan lebih hati-hati lagi, Guru."
"Bagus. Maksudmu, hati-hati bagaimana?"
"Hati-hati memilih perempuan dan hati-hati agar jangan sampai ketahuan siapa pun
jika saya sedang
mojok dengan seorang perempuan."
"Bukan itu maksudku, Tolol!" sentak sang guru.
"Yang ku kehendaki, jangan sampai kau mudah mengumbar nafsu, baik nafsu makan,
nafsu cinta, mau-
pun nafsu tidur. Banyak-banyaklah prihatin. Tahu ar-
tinya prihatin?"
"Perih di batin, Guru!"
"O, jadi prihatin maksudnya begitu, ya?"
"Lho, apa Guru belum tahu?"
"Kalau sudah tahu tak perlu kutanyakan pada-
mu!" ujar Hantu Muka Tembok, sepertinya tak serius dalam mewejang muridnya. Tapi
sebenarnya memang
begitulah karakter si Hantu Muka Tembok, sering ko-
nyol mendadak, namun juga cepat menjadi serius dan
penuh wibawa di depan muridnya.
"Seperti katamu tadi sore, kau ingin segera me-
nemui Betina Rimba. Itu tidak perlu lagi!"
"Tapi Betina Rimba bersedia menggantikan keka-
sih saya yang dibunuh itu, Guru."
"Tidak perlu. Jangan menggantungkan pera-
saanmu kepada satu perempuan saja. Nanti kau akan
terjerat sendiri."
"Tapi... tapi Betina Rimba pandai membawaku
terbang ke puncak kemesraan, Guru!"
"Jangan beranggapan begitu! Semua perempuan
bisa membawamu terbang ke puncak kemesraan asal
dia mau melayani gairah mu. Tetapi aku tidak ingin punya murid yang asmaranya
bergantung pada satu
orang perempuan saja. Sebarkan asmara mu ke selu-
ruh pelosok penjuru dunia. Dengan begitu, kau tidak
akan terikat oleh satu perempuan dan satu cinta saja.
Kau masih muda, jadi kau perlu begitu. Kelak jika sudah waktunya kau berumah
tangga, barulah tentukan
pilihan mu dan jatuhkan hatimu untuk satu perem-
puan, yaitu calon istrimu itu!"
"Jadi, saya tidak perlu mencari Betina Rimba lagi, Guru?"
"Tidak perlu! Sekali lagi, tidak perlu!"
"Hanya ingin bertemu sebentar saja apakah tak
boleh, Guru?" desak Wisnu Galang.
"Tidak boleh! Nanti kau akan kecewa!"
"Mengapa saya akan kecewa, Guru?"
"Karena Betina Rimba sudah mati!" jawab Hantu
Muka Tembok dengan ringan sekali mengucapkan ka-
limat itu. Wisnu Galang terkejut dengan membuka ma-
ta, memandang gurunya, dan mulutnya melongo se-
perti sapi ompong.
"Apakah kau ingin bertemu dengan sesosok
mayat?" Wisnu Galang menggelengkan kepala.
"Nah, karena itu ku larang kau menemui Betina Rimba lagi. Temui saja gadis lain
yang lebih baik dari Betina Rimba."
"Siapa yang membunuh Betina Rimba. Guru?"
"Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Kembar, ka-
rena Pendekar Kembar ingin membalas tindakan Beti-
na Rimba yang telah membantai seluruh keluarganya
ketika Raka Pura dan Soka Pura masih bayi."
"Kalau begitu saya harus menuntut balas kepada
Pendekar Kembar!"
"Kau harus berhadapan denganku! Aku berada di
pihak Pendekar Kembar, karena Raka Pura pernah se-
lamatkan nyawaku!"
"Jika begitu... saya tidak jadi membalas dendam kepada Pendekar Kembar!"
"Itu langkah yang bagus, Muridku!" sahut Hantu Muka Tembok yang merasa sangat
berterima kasih
atas tindakan Raka Pura dalam menyelamatkan nya-
wanya dari serangan jurus aneh si Selir Pamujan kala itu, ( Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gai-
rah Sang Pembantai" ).
"Sekarang Pendekar Kembar sedang mencari
pencuri Kipas Kedung Gairah," lanjut Hantu Muka Tembok. "Dulu aku dituduh oleh
Selir Pamujan sebagai pencuri kipas itu dan pembunuh mendiang gu-
runya, si Demit Selingkuh. Tetapi Raka Pura memihak
ku, walaupun sekarang ia memihak Selir Pamujan.
Aku tak sakit hati kepada Selir Pamujan, karena pertarungan ku dengannya
kuanggap karena salah paham
saja. Yang penting bagi kita adalah mencoba memban-
tu mereka untuk temukan si pencuri kipas pusaka itu.
Sebab jika kipas itu jatuh ke tangan manusia sesat beraliran hitam, maka dunia
ini akan dijungkirbalikkan olehnya. Kalau dunia sudah dijungkirbalikkan, maka
kita akan bertempat tinggal di mana. Coba bayang-
kan!" "Di kolong jembatan, Guru."
"Aku menyuruhmu membayangkan! Bukan men-
jawab!" bentak Hantu Muka Tembok. Sang murid jadi ketakutan dan tak berani
menatap sang guru lagi.
"Demit Selingkuh adalah sahabatku. Dulu dia
masuk dalam aliran hitam, makanya berjuluk Demit
Selingkuh. Tapi setelah bersahabat denganku, dia berhasil ku sadarkan dan kini
menjadi tokoh beraliran putih, sama dengan kita."
"Jadi apa maksud Guru sebenarnya"!"
"Bantu mereka dapatkan kembali Kipas Kedung
Gairah. Yang berhak memiliki kipas itu adalah Selir
Pamujan, sebagai murid tunggal mendiang Nyai Demit
Selingkuh. Jika kau tak berhasil merebut kipas itu, hancurkan saja kipas itu.
Kalau Selir Pamujan marah, biar aku yang menjelaskan maksud kita ini!"
"Baik, Guru! Kapan saya harus berangkat tunai-
kan tugas itu, Guru?"
"Tak perlu lama-lama. Sekarang juga kau harus
berangkat mencari kipas pusaka itu!"
"Sekarang kan sudah malam, Guru. Sudah ham-
pir tengah malam."
Hantu Muka Tembok memandang celah dinding
kayu pondoknya.
"O, iya... sudah malam, ya" Kalau begitu, tidur-lah dulu. Esok pagi kau harus
segera berangkat me-
nunaikan tugas itu!"
"Baik, Guru!" jawab Wisnu Galang dengan patuh.
"Jangan lupa, sebelum esok pagi kau berangkat,
penuhi dulu bak mandi!"
Wisnu Galang menjawab dengan pelan, "Baik,
Guru," sepertinya bernada sedih. Sebab bak mandi yang ada di belakang pondok itu
lebar dan luasnya seperti sebuah empang tempat beternak ikan. Belum-
belum Wisnu Galang membayangkan alangkah capek-
nya menimba air dari sumur untuk memenuhi bak
mandi sebesar itu.
Kipas pusaka milik mendiang Nyai Demit Seling-
kuh memang sedang menjadi bahan pembicaraan para
tokoh di rimba persilatan. Seperti telah dikisahkan dalam " Gairah Sang
Pembantai", Nyai Demit Selingkuh dibunuh seseorang pada saat lakukan semadi di
sebuah gua, tak jauh dari pesanggrahannya. Siapa pem-
bunuhnya, tak jelas. Tetapi orang itu bukan saja
membunuh Nyai Demit Selingkuh, melainkan mencuri
kipas pusaka yang selalu ada di pinggang Nyai Demit Selingkuh. Satu-satunya
tanda yang ditinggalkan oleh si pembunuh adalah senjata rahasia berupa sekeping
logam putih berbentuk bunga seroja. Logam putih itu
mengandung racun yang amat mematikan. Tiga hitun-
gan, lawan yang terkena senjata itu pasti mati. Pasti.
Tak bisa ditawar-tawar lagi, sebab dalam. kematian
memang tak ada sistem tawar-menawar.
Selir Pamujan, murid sang Nyai, pernah hampir
dibunuh juga oleh seseorang yang menggunakan sen-
jata rahasia tersebut. Tetapi kala itu Selir Pamujan bersama Soka Pura, si
Pendekar Kembar bungsu, dan
senjata rahasia tersebut berhasil ditangkap oleh Soka Pura. Mereka segera
mengejar orang yang melemparkan senjata tersebut. Tetapi mereka tidak berhasil
menangkap dan memergoki si pemilik senjata berbentuk
bunga seroja itu.
Kini kedua pemuda kembar berada di pesanggra-
han Nyai Demit Selingkuh. Setelah menewaskan Betina
Rimba, mereka diajak ke pesanggrahan tersebut oleh
Selir Pamujan untuk membicarakan tentang hilangnya
Kipas Kedung Gairah. Pihak lain yang ikut bersama
mereka adalah si Biang Tawa, bekas sahabat mendiang
ayah kandung Raka dan Soka. Dulu lelaki pendek
berkesan bulat itu menjadi pengikut Betina Rimba ka-
rena kepepet dan takut ancaman Betina Rimba. Kini
setelah bertemu Pendekar Kembar, lelaki berpakaian
abu-abu dan berusia sekitar lima puluh tahun itu
menjadi pengikut Pendekar Kembar dalam arti men-
dampingi kedua anak kembar keturunan sahabatnya.
Biang Tawa bukan orang yang berilmu tinggi, tapi
ia banyak akal dan pengetahuannya luas tentang du-
nia persilatan. Usulnya tidak selalu benar, namun kadang membuat sesuatu menjadi
benar secara kebetu-
lan saja. Dalam kasus hilangnya Kipas Kedung Gairah
itu, Biang Tawa mengusulkan agar Selir Pamujan
membuat suatu sayembara.
"Barang siapa bisa membunuh Pendekar Kembar
dengan menggunakan sebuah kipas. maka ia akan
mendapat hadiah besar, yaitu berhak menguasai wi-
layah kekuasaan mendiang Nyai Demit Selingkuh di
sekitar Bukit Bolong ini!"
"Usulmu mematikan teman sendiri, Paman!" ujar Soka Pura dengan bersungut-sungut.
"Mengapa harus kami yang kau jadikan korban untuk mendapatkan
pusaka tersebut?"
"Bukan dijadikan korban. Tapi sekadar buat um-
pan saja. He, he, he...."
"Jadi kami kau anggap cacing, buat umpan ikan
lele, begitu?" sela Raka Pura.
"Aku tidak setuju!" sahut Selir Pamujan. "Melawan orang yang bersenjatakan Kipas
Kedung Gairah adalah sangat berbahaya. Kipas itu dapat keluarkan
tiga sinar yang tidak bisa ditangkis oleh kekuatan apa pun, kecuali dihindari.
Jika sinar itu kenai tubuh Raka dan Soka, maka habislah riwayat mereka berdua.
Dan itu sama saja menyiksa batin ku lebih parah lagi."
Sambil berkata demikian, Selir Pamujan yang
cantik tapi tampak tegas itu melirik Soka Pura. Lirikan itu punya makna cukup
dalam. Raka dan Biang Tawa
mengerti maksud lirikan tersebut. Selir Pamujan tak ingin kehilangan Soka, sebab
agaknya perempuan itu
telah terpikat hatinya oleh ketampanan Soka Pura. Padahal Raka Pura juga sama
tampannya. Tapi karena
Selir Pamujan pernah rasakan cumbuan hangat Soka
Pura, maka ia cenderung memilih Soka Pura sebagai
pengisi hatinya yang selama ini sepi oleh jamahan tangan lelaki.
"Supaya kita tidak salah langkah, sebaiknya kita selidiki saja orang-orang yang
patut dicurigai," ujar Raka Pura.


Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana cara menentukan orang yang patut
dicurigai?" tanya Soka kepada kakak kembarnya.
"Siapa saja yang hadir di sini ketika sang Nyai
bersemadi di gua itu?"
"Para pengikut Ratu Cumbu Laras," jawab Selir Pamujan..
"Seperti yang pernah ku jelaskan kepada kalian, kala itu beberapa pengikut Ratu
Cumbu Laras datang
kepadaku dan mengajak bergabung, karena ratu me-
reka sudah tewas di tangan kalian berdua. Aku meno-
lak ajakan itu secara halus, karena aku memang tidak punya persoalan apa-apa
dengan kalian...."
"Siapa saja mereka itu?" sela Raka Pura.
"Antara lain: Wijanarti, Puspina, Cindawuri, kakaknya Cindawati yang kedua
tangannya di buntungi
oleh si Setan Cabul itu, lalu... Ruhasian, Sampurgina dan..." Selir Pamujan diam
sebentar, seperti ada yang dipikirkan sesaat, kemudian ia lanjutkan bicaranya
la-gi. "Tapi aku cenderung mencurigai Dewi Binal. Ku-
lihat Dewi Binal melintas di sekitar Bukit Bolong setelah kutemukan jenazah
guruku. la kukejar tapi tak
berhasil kutemukan."
Raka Pura segera berkata, "Aku dan Paman Bi-
ang Tawa akan pergi ke Bukit Gamping untuk temui
Dewi Binal. Jika memang kipas itu ada di sana, akan
ku paksa ia menyerahkannya padaku."
"Di mana para pengikut Ratu Cumbu Laras itu
sekarang?" tanya Soka Pura.
"Mereka membentuk kekuatan sendiri di Gua
Bangsal, di lereng Gunung Walu. Mereka sengaja mela-
rikan diri ke sana karena takut diserang Pendekar
Kembar. Mereka pikir Pendekar Kembar akan hancur-
kan seluruh pengikut Ratu Cumbu Laras."
"Kami tidak sekejam itu," gumam Soka.
"Itu pendapat mereka. Jangan menganggap seba-
gai pendapatku!" tukas Selir Pamujan sedikit cemberut.
"Kalau begitu aku akan selidiki mereka. Aku
akan ke Gua Bangsal di lereng Gunung Walu," kata Soka Pura.
"Tapi ada lagi yang perlu dicurigai, yaitu Nyai Keramat Malam. Dia dulu juga
pernah berusaha merebut
kipas itu dari tangan Guru, tapi gagal karena ilmunya kalah dengan Guru. Mungkin
saja Nyai Keramat Malam selalu mengincar kelemahan Guru untuk da-
patkan kipas tersebut."
"Siapa itu Nyai Keramat Malam?"
Biang Tawa menyahut, "Penguasa Pulau Sam-
bang" "Benar!" tegas Selir Pamujan.
Biang Tawa berkata lagi, "Dulu, aku pernah di-
ajak Betina Rimba untuk menyerang Pulau Sambang.
Tapi kami dipukul mundur oleh perempuan kurus
bermata cekung dan berambut putih yang bernama
Nyai Keramat Malam."
Untuk sejenak suasana menjadi hening. Pende-
kar Kembar sama-sama manggut-manggut semua ka-
ta-kata Selir Pamujan. Sesaat kemudian Soka Pura
berkata kepada kakak kembarnya.
"Aku akan selidiki Gua Bangsal, setelah itu akan menyeberang ke Pulau Sambang.
Itu jika ternyata kipas tersebut tidak ada di Gua Bangsal."
"Aku akan mendampingimu!" tukas Selir Pamujan.
"Jangan! Nanti penyelidikanku dapat ketahuan
jika bersamamu."
Setelah berpikir sesaat, Selir Pamujan pun berka-
ta, "Kalau begitu aku yang ke Pulau Sambang. Akan ku pancing Nyai Keramat Malam
agar murka padaku.
Jika ia keluarkan kipas tersebut, maka aku akan bu-
ru-buru lari mencari kalian!"
"Baik! Kurasa pembagian tugas ini cukup adil!"
kata Raka Pura.
Selir Pamujan berkata, "Tapi satu hal yang perlu kau ingat, Soka! Jangan sampai
kau tergiur oleh man-tan para pengikut Ratu Cumbu Laras. Mereka cantik-
cantik dan tubuhnya menggairahkan. Mereka pandai
menjerat hati seorang lelaki dan cukup piawai melaya-ni seorang lelaki hingga
lelaki itu ketagihan kehangatan mereka! Jika sampai kudengar kau begitu, maka
seluruh penghuni Gua Bangsal akan kuhancurkan
termasuk kau sendiri!"
Soka Pura hanya tertawa pendek sambil melirik
kakak kembarnya. Sang kakak kembar tersenyum ke-
cut dan melengos ke kiri sambil berbisik kepada Biang Tawa.
"Mampus dia! Begitulah akibatnya kalau suka
mengumbar cinta kepada perempuan. Akhirnya ia ter-
jerat oleh kecemburuan!"
"Mendingan kita, tak ada yang mencemburui
hingga bebas berbuat apa saja, ya?"
"Hemm...!" Raka menjawab dengan gumam me-
nahan rasa ingin tertawa. Soka Pura tampak menelan
kegetiran sambil berlagak tidak mendengar ucapan
mereka. * * * 2 DEWI BINAL yang masih dicurigai sebagai pencu-
ri Kipas Kedung Gairah itu sebenarnya masih mencari
Soka Pura. Hati gadis itu sudah telanjur jatuh dalam pelukan Soka Pura.
Salah satu kelebihan yang dimiliki Pendekar
Kembar bungsu alias Soka Pura adalah kehebatannya
dalam bercumbu. Cumbuan itu menyerupai sebuah
racun yang sukar dihindari. Siapa yang pernah ber-
cumbu dengan Soka Pura pasti akan terkenang dan
merindukan kemesraan itu. Karenanya, sekalipun dila-
rang oleh kakeknya; Tabib Kubur, si gadis cantik berjubah tanpa lengan warna
biru itu selalu ingin berada dalam pelukan Soka Pura.
Tetapi pencariannya sejak dari peristiwa matinya
Ratu Cumbu Laras, ternyata sampai sekarang masih
menemukan kegagalan. Dalam arti, si gadis tak pernah bertemu dengan Soka Pura.
Padahal kadang-kadang
selisih jarak mereka sangat dekat. Misalnya, Soka Pura ada di balik batu besar,
sementara Dewi Binal berlari ke arah lain memburu Soka Pura tanpa menyadari
bahwa pria itu ada di balik batu.
Kali ini perburuan cinta Dewi Binal terpaksa ber-
henti di kaki sebuah bukit. la bertemu dengan seorang perempuan yang pernah
menyerangnya karena rasa
cemburu melihat Dewi Binal bersama Soka Pura. Pe-
rempuan berjubah hijau itu tak lain adalah Tandu
Sangrai, ( Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Setan Cabul" ).
Tandu Sangrai yang kala itu terkena jurus 'Totok
Pikun' dari Soka Pura, kini mulai sadar kembali dan
mengetahui siapa dirinya. Jurus 'Totok Pikun' itu sempat membuat Tandu Sangrai
hilang ingatan selama ti-
ga hari. Ia tak mengenal Soka maupun Raka, bahkan
tak mengenali dirinya sendiri. ( Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Gairah Sang Pembantai" ) Seandainya Tandu Sangrai yang juga ingin memi-
liki Soka Pura itu masih dalam pengaruh 'Totok Pikun', maka ia tak akan ingat
siapa gadis yang berkutang
merah dengan kain bawahnya juga berwarna merah
itu. Tapi kini karena kesadarannya telah pulih kemba-li, maka ia pun segera
menghadang langkah Dewi Bi-
nal dengan sikap bermusuhan.
"Kita bertemu lagi, Gadis busuk!" geram Tandu Sangrai dengan matanya mengecil
menandakan menyimpan kebencian yang cukup dalam.
Dewi Binal tak merasa gentar berhadapan dengan
perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu.
Walaupun usia Dewi Binal masih dua puluh dua ta-
hun, namun ia merasa cukup berani bertarung mela-
wan Tandu Sangrai.
"Apa maumu sebenarnya, Perempuan jalang"!"
ujar Dewi Binal dengan sikap menantang.
"Kau telah membuat pemuda itu terpikat padamu
dan meninggalkan aku! Tak ada jalan lain untuk me-
rebut Soka Pura agar kembali ke pelukanku kecuali
dengan cara membunuhmu!"
Dewi Binal sendiri tak mau kalah gertak. Dengan
suara lantangnya ia berseru dalam jarak enam lang-
kah. "Aku sudah siap mati untuk mempertahankan
Soka Pura! Jika kau bermaksud merebutnya, maka
kau harus siap mati di tanganku juga, Perempuan
liar!" "Kau memang gadis jalang yang perlu ditumbuk
mulutnya! Hiaaah..!"
Tandu Sangrai melangkah satu kali dan tubuh-
nya segera melayang dengan kaki menendang lurus ke
wajah Dewi Binal.
Wuutt..! Pada saat itu Dewi Binal cukup siap
menghadapi serangan lawan. Maka dengan cepat tan-
gannya berkelebat menangkis tendangan Tandu San-
grai. Plaakk...! Tapi tanpa diduga-duga tubuh Tandu Sangrai ju-
stru berputar dan kaki yang satunya menyambar peli-
pis Dewi Binal.
Wees...! Plok...!
"Uuhk...!" Dewi Binal terpelanting akibat pelipis-nya terkena tendangan itu. la
jatuh bersimpuh dalam keadaan kepala terasa hilang. Seluruh darah yang
mengalir ke kepala bagaikan berhenti dalam sesaat.
Pandangan matanya sempat buram. Namun Dewi Bi-
nal mencoba atasi hal itu dengan menarik napas da-
lam-dalam. "Oh, gila betul tendangannya! Kepalaku seperti
dipenggal dan tak tahu menghadap ke mana ini"! Le-
herku menjadi seperti semutan dan tak memiliki kepa-
la lagi! Celaka! Aku harus menyerangnya dengan jurus yang langsung mematikan!"
ujar hati Dewi Binal.
Belum sempat keadaannya pulih, Tandu Sangrai
telah menyerangnya kembali dengan jurus tendangan
kaki beruntun. Weess...! Plok, plok...!
Tendangan telak itu menghajar kepala Dewi Binal
lagi. Tendangan tersebut berkekuatan tinggi dan mem-
buat Dewi Binal berjungkir balik di tanah dengan keadaan tak sadar atas seluruh
gerakannya. Tahu-tahu ia merasa tubuhnya terkapar di semak-semak dengan
pandangan mata semakin gelap. la pun tak sadar jika
telinganya mulai berdarah dan tulang pipinya menjadi memar kebiruan.
"Sekarang saatnya mengirimmu ke neraka, Gadis
busuk! Heeeaah...!"
Tandu Sangrai memang sudah tidak memiliki pe-
dang lagi. Tapi tangan kirinya masih bisa mengelua-
rkan jarum merah yang sangat mematikan. Jarum itu
pernah dipakai membunuh Ki Mandura dan ternyata
tokoh tua itu tak bisa diselamatkan oleh Raka Pura,
( Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga" ). Kini jarum
merah itu dilepaskan oleh Tandu Sangrai ke arah leher Dewi Binal.
Slaap! slaap...!
Dua jarum yang melayang itu tiba-tiba terhadang
oleh sepotong kayu berukuran sebesar lengan bayi.
Jrab, jrab...! Tandu Sangrai kaget melihat sepotong kayu me-
layang dan menghadang kecepatan jarumnya. Ia sege-
ra berpaling ke arah kiri, karena kayu itu datang dari arah kiri. Matanya kian
nanar beringas pada saat memandang sesosok tubuh lelaki berpakaian biru tua.
"Heh, heh. heh, heh...! Mengapa harus membu-
nuh gadis secantik dia, Nyai"! Dia masih bisa ku man-faatkan untuk bersenang-
senang! Heh, heh, heh...!"
"Keparat kau, Arya Semirang!" geram Tandu Sangrai yang sudah mengenal pemuda
itu. la tahu pemuda
itu adalah bekas kekasih Perawan Hutan. Sedangkan
gadis yang bernama Perawan Hutan adalah adik ti-
rinya sendiri, satu ayah lain ibu.
Tetapi kali ini Tandu Sangrai merasa heran meli-
hat penampilan Arya Semirang yang biasanya rapi na-
mun kali ini agak slebor itu. Baju biru Arya Semirang dalam keadaan terbuka,
celananya kedodoran, rambutnya yang bergelombang dan panjang setengkuk itu
dalam keadaan acak-acakan. Ikat kepalanya yang ber-
warna merah berhias benang emas itu dikalungkan di
leher. Wajahnya yang dulu penuh simpati kini menjadi berkesan lusuh. Bahkan
tawanya menyerupai seringai
iblis menggoda wanita.
"Tandu Sangrai, kusarankan agar kau tak perlu
membunuh gadis itu. Biarlah gadis itu kupakai sebagai pemuas gairah ku! Hah,
haaa, haaa, haa...!" Arya Semirang melangkah limbung dekati Tandu Sangrai.
"Apa maksudmu, Arya Semirang"!"
Arya Semirang tertawa-tawa seperti orang gila.
Tandu Sangrai tak pernah melihat Arya Semirang ber-
tingkah seperti itu. Bahkan ketika Arya Semirang lebih dekat lagi, Tandu Sangrai
undurkan diri karena merasa tak ingin dijamah pemuda yang sedang bertindak
aneh itu. "Aku membutuhkan pemuas dahagaku. Gadis itu
menarik minat ku dan aku ingin melepaskan gairah ku
kepadanya. Ku mohon jangan bunuh dia, Tandu San-
grai!" "Apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya, Arya
Semirang"! Mengapa sikapmu menjadi seperti itu"!"
"O, aku sedang kasmaran. kepada seorang pe-
rempuan cantik yang sangat menggairahkan."
Rasa ingin tahu Tandu Sangrai membuatnya
punya gagasan untuk membiarkan Arya Semirang ber-
tingkah. Oleh karenanya, Tandu Sangrai pun berkata
kepada Arya Semirang.
"Jika begitu keinginanmu, puaskanlah gairahmu
kepada gadis itu! Hancurkan sekalian 'kebanggaannya'
itu dengan kebuasanmu, setelah itu akan kukirim ke
neraka!" "Haah, hah, hah! Kau benar-benar baik hati padaku, Tandu Sangrai! O, ya...
apakah kau ingin me-
nyaksikan kehebatanku berlaga di atas kepasrahan-
nya" Aku tak keberatan! Lihatlah kehebatanku ini, Nenek cantik! Huah, hah, hah,
hah!" "Sial! Dia memanggilku nenek, Nyai, dan apa lagi
nanti" Ngacau sekali dia! Apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya"!" gumam hati
Tandu Sangrai sambil melangkah ke bawah pohon dan membiarkan Arya Semi-
rang dekati Dewi Binal.


Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita akan berbulan madu ke puncak kemesraan,
Sayang ku! Haah, hah, hah, hah, hah!"
Arya Semirang melepas bajunya dengan terburu-
buru, sepertinya ia tak sabar untuk segera melam-
piaskan hasratnya yang sudah menggebu-gebu itu.
Bahkan tanpa rasa malu sedikit pun, ia melepaskan
sisa pakaiannya hingga menjadi seperti bayi baru lagi.
Mata Tandu Sangrai tak berkedip pandangi seorang
pemuda bertubuh tegap dalam keadaan polos. Mata
Jalang si Tandu Sangrai terarah kepada sesuatu yang
siap menghujam tubuh Dewi Binal. Sesuatu itu ternya-
ta sempat membuat Tandu Sangrai berdebar-debar ka-
rena membayangkan kehangatannya dalam tikaman
'pusaka' kemesraan Arya Semirang itu.
Pemuda tersebut masih tertawa-tawa kegirangan.
Ia mulai merangkak di atas tubuh Dewi Binal. Pada
saat itu Dewi Binal mulai sadar dan penglihatannya
yang kabur menjadi normal kembali. la memang mera-
sakan sakit di kepala dan telinganya, tapi tenaganya mulai pulih kembali serta
menyadari apa yang akan terjadi pada dirinya.
Begitu wajah Arya Semirang ingin mendekati wa-
jahnya, Dewi Binal segera menyentakkan tangannya
dengan kuat ke dagu Arya Semirang.
Beet! Plook...!
"Aaoow...!" Arya Semirang terdongak seketika sambil memekik kesakitan. Dewi
Binal cepat-cepat
sentakkan kakinya hingga menjejak perut Arya Semi-
rang. Buuhk...!
Weesss..! Gusraak...!
"Aaaooww...!"
Arya Semirang mengerang kesakitan di semak-
semak seberang. Tubuhnya sempat melayang dan ter-
banting di sana karena jejakan kaki yang bertenaga
cukup besar itu.
Dengan cepat kedua kaki Dewi Binal melengkung
sampai melewati kepalanya dan satu sentakan tangan
membuat Dewi Binal berhasil melejit tinggi lalu da-
ratkan kakinya dengan tegak setelah lakukan jungkir balik satu kali tadi.
Wuutt, jleeg...!
Tandu Sangrai terkejut dan mulai berang lagi.
Tapi Dewi Binal segera lepaskan tendangan ke bela-
kang dengan menyalurkan tenaga dalamnya ke kaki
itu. Wuuttt...! Tepat pada saat itu Tandu Sangrai ingin mener-
jangnya dari belakang. Maka tak ayal lagi dada Tandu Sangrai terkena telak
tendangan tersebut.
Beehk...! "Haagh...!" Tandu Sangrai melayang mundur dan punggung membentur pohon yang
berjarak lima langkah dari tempatnya tertendang tadi.
Brruuk...! "Aku harus lari!' pikir Dewi Binal. "Kepalaku terluka dan sangat sakit. Tak
mungkin aku mampu men-
galahkan dia jika rasa sakit ini mengganggu sekali.
Aku harus sembuhkan lukaku dulu dengan hawa
murni!" Blaass...! Dewi Binal pun melesat pergi tanpa permisi lagi.
Tandu Sangrai yang merasa dadanya seperti ingin jebol itu segera bangkit dari
jatuhnya. Nafasnya ditarik dalam-dalam untuk menekan rasa sakit dalam dadanya.
Tapi ia hanya bisa memandang dengan liar terhadap
lawannya yang sudah jauh dari jangkauan.
"Jahanam! Jangan lari kau, Gadis mesum!" teriak Tandu Sangrai, lalu bergegas
untuk mengejarnya. Tetapi langkah dan niatnya terhenti oleh seruan Arya
Semirang yang sudah keluar dari semak-semak dalam
keadaan seperti bayi kuda baru lahir itu.
"Tandu Sangrai! Jangan pergi dulu, Sayang...!"
"Hmmm...!" Tandu Sangrai menggeram sambil
lemparkan pandangan tajam kepada Arya Semirang.
Pada saat itu, sekelebat bayangan hinggap di atas
sebuah pohon tak jauh dari mereka. Bayangan itu
sengaja bersembunyi di sana dan memperhatikan me-
reka dengan tanpa suara. Semula bayangan putih yang
hinggap di atas pohon ingin lanjutkan langkahnya.
Namun begitu mendengar nama Tandu Sangrai dilon-
tarkan oleh seorang pemuda, maka bayangan putih itu
sengaja hentikan langkah dan ingin mengetahui apa
yang terjadi di bawah sana. Bayangan putih itu tak
lain adalah Soka Pura yang sedang dalam tujuan ke
Gua Bangsal. "Oh, rupanya Tandu Sangrai habis memperkosa
Arya Semirang"!" pikir Soka Pura, karena ia melihat keadaan Arya Semirang tanpa
selembar benang pun.
"Tapi kelihatannya Tandu Sangrai sedang marah! Kepada siapa perempuan itu
marahnya" Kepada Arya
Semirang atau kepada orang lain" Hmmm... Tak ada
orang lain di antara mereka. Jadi kurasa Tandu San-
grai sedang marah kepada Arya Semirang. Tapi men-
gapa Arya Semirang berani mendekatinya dalam kea-
daan berbugil ria begitu"!"
Hati yang berkecamuk akhirnya sengaja di bung-
kam setelah Soka Pura mendengar Arya Semirang bi-
cara kepada Tandu Sangrai.
"Tak perlu terburu-buru mengejarnya, Tandu
Sangrai. Ada sesuatu yang perlu kita lakukan selain
mengejarnya. Heh, heh, heh, heh!"
"Menjauhlah, Arya Semirang! Cepat menjauhlah
dariku!" bentak Tandu Sangrai. Tapi pemuda itu justru merentangkan kedua
tangannya sambil melangkah
limbung dan tertawa terbahak-bahak.
Tandu Sangrai diam bagai terpaku di tempat Ma-
tanya tak berkedip pandangi wajah Arya Semirang
yang sudah diliputi gairah yang membara itu. Apalagi sekarang ia telah merapat
di salah satu pohon.
Soka Pura berdebar dan kakinya mulai gemetar
karena hanyut dalam rasa yang dipandangnya. Sema-
kin keras pekikan Tandu Sangrai, semakin menyentak-
nyentak jantung Soka Pura, karena ia ingat saat-saat menerima sentuhan indah
seperti itu bersama Tandu
Sangrai. Sekalipun tak sampai sejauh yang dilakukan
Arya Semirang, tetapi Soka Pura merasa seperti sudah pernah menikmati kehangatan
yang lebih dalam lagi
bersama Tandu Sangrai. Bahkan saat itu ia merasa
seperti sedang bercumbu dengan Tandu Sangrai, se-
hingga nafasnya pun terengah-engah dan keringat din-
ginnya mengalir cukup deras.
"Aduh, celaka! Kenapa celana ku basah sendiri?"
ujar Soka dalam hati. "Oh, ternyata keringat ku mengucur deras sampai membasah
di celana. Kukira ba-
sah karena lain! Ah, sebaiknya ku tinggalkan saja mereka. Aku bisa jatuh dari
atas pohon karena menahan
lutut yang gemetaran ini!"
Tetapi dalam hati Soka Pura menyimpan kejang-
galan begitu melihat gairah Arya Semirang. Gairah pemuda itu dianggap Soka
sebagai gairah yang berlebi-
han dan tidak wajar. Hal itu yang membuat Soka me-
nahan niatnya untuk pergi dari atas pohon.
Arya Semirang mencumbu dengan kasar sekali.
makin lama kekasarannya semakin menegangkan So-
ka Pura. Erangan pemuda itu seperti erangan binatang yang sangat buas dan liar,
demikian pula cengkeraman tangan Arya Semirang yang sangat kuat dan menya-kitkan
Tandu Sangrai. "Aaaoow...!"
Tandu Sangrai menjerit keras-keras. Soka Pura
terbelalak lebih tegang lagi karena kini ia melihat sendiri Arya Semirang
menggigit dada Tandu Sangrai den-
gan ganas. Gigitan itu sempat melukai dada Tandu
Sangrai yang telah terkapar di tanah bersama Arya
Semirang. Ada sesuatu yang putus dari dada itu. Se-
cuil daging dari dada Tandu Sangrai dikunyah dan di-
makan habis oleh Arya Semirang.
Tandu Sangrai meronta sambil memekik keras-
keras. Tapi Arya Semirang bagaikan mempunyai keku-
atan iblis yang sukar dikalahkan. la pun menyeringai dengan erangan mengerikan,
kemudian menggigit leher
Tandu Sangrai. Crass...! "Aaaaa...!"
Pekikan memandang dan sangat keras dari Tan-
du Sangrai benar-benar tak dipedulikan oleh Arya Se-
mirang. Pemuda itu tetap menghajar Tandu Sangrai
dengan kemesraannya yang kasar sekali itu. Bahkan
mulutnya masih mencoba menggigit leher Tandu San-
grai lagi bersama kedua tangan mencengkeram tubuh
perempuan itu hingga kuku-kukunya menembus ma-
suk ke tubuh mulus Tandu Sangrai.
Craaas...! Gigitan pada leher tengah kali ini membuat Tan-
du Sangrai mendelik dan tak bisa berteriak lagi. Arya Semirang mengerang
bagaikan makhluk haus darah.
Dengan sekali kibas, leher perempuan itu pun koyak
dan darahnya membasahi wajah Arya Semirang. Yang
lebih mengerikan lagi, daging yang berhasil digigit oleh Arya Semirang itu
sekarang dikunyah dan ditelan.
Arya Semirang menjadi manusia buas pemakan daging
manusia. "Iblis keparat! Kurasa dia sudah bukan manusia
lagi!" geram Soka Pura. Kemudian ia segera meluncur turun dari atas pohon bagai
seekor burung perkasa
yang terbang ke arah pergumulan itu.
Weees...! "Hiaaah...!"
Teriakan Soka Pura itu dilakukan untuk menghi-
langkan rasa ngeri melihat perlakuan buas Arya Semi-
rang. Lompatan yang bagaikan terbang dengan cepat
itu menerjang kepala Arya Semirang. Kepala tersebut
sedang mendongak dengan mata liar dan mulut men-
ganga keluarkan erangan iblis menyeramkan.
Brrrus...! Terjangan kaki Soka Pura membuat Arya Semi-
rang terpisah dari tubuh Tandu Sangrai. Namun ia se-
gera bangkit dan melompat bagai seekor singa yang
ganas. Lompatan yang tertuju ke arah Soka Pura itu
segera disambut dengan tendangan berputar yang
amat cepat. Wees, plook...!
"Aaahkkr...!"
Arya Semirang memekik keras, menyerupai mak-
hluk ganas yang mengerang kesakitan. Tapi ia segera
bangkit dan matanya menjadi putih. Tanpa menghi-
raukan keadaannya yang polos, tanpa memikirkan da-
rah berlumuran di wajahnya. Arya Semirang mener-
kam Soka Pura lagi bagai orang yang tak mengerti ba-
haya Karena Soka Pura dalam keadaan siaga. maka
terkaman itu segera disambut dengan pukulan berte-
naga dalam tinggi yang dinamakan jurus 'Tangan Ba-
tu'. Beet, wuut...! "Aaahkkrr...!"
Arya Semirang terlempar keras, ia seperti dilem-
par dengan batu sebesar kerbau. Tubuh itu segera
menjadi memar dan nafasnya tersendat-sendat.
Soka Pura membiarkan Arya Semirang tersengal-
sengal dalam keadaan terkapar sekarat. la segera de-
kati Tandu Sangrai, namun perempuan itu ternyata
sudah tidak bernyawa lagi.
"Sial! Akhirnya mati juga perempuan ini!" geram Soka Pura. Hatinya sedikit kesal
karena ia tak berhasil selamatkan nyawa perempuan itu. Bukan karena Soka
menaruh hati kepada perempuan itu, tapi karena ka-
sihan melihat keadaannya yang tak berdaya dalam
cengkeraman Arya Semirang tadi.
Wuuut, jleeg...!
Pendekar Kembar bungsu terkejut ketika seseo-
rang tahu-tahu muncul di depannya. Ia yang semula
jongkok di samping mayat Tandu Sangrai segera bang-
kit dan memandang kemunculan seorang wanita can-
tik berpakaian serba ungu yang tak lain adalah Selir Pamujan. Rupanya Selir
Pamujan tak jadi menuju ke
Pulau Sambang sendirian. la punya rasa cemas mele-
pas Soka Pura ke Gua Bangsal sendirian. la pun ak-
hirnya mengikuti Soka sampai akhirnya bertemu di
tempat itu. "Perempuan ini tewas secara mengerikan!" ujar Soka Pura.
"Aku sempat melihatnya sendiri dari balik pohon seberang sana! Aku pun tahu kau
mengintainya dari
pohon itu."
Soka Pura hanya nyengir masam, merasa malu
karena intaiannya diketahui Selir Pamujan. Tetapi So-ka Pura segera terkejut
ketika Selir Pamujan lanjutkan katanya.
"Pemuda yang kau hantam dan sekarang sedang
sekarat itu pasts telah terkena jurus 'Asmara Laknat'
Dan jurus atau kekuatan dari 'Asmara Laknat' hanya
bisa dilakukan oleh orang yang memegang Kipas Ke-
dung Gairah."
"Oh. kalau begitu, berarti Arya Semirang telah
bertemu dengan orang yang mencuri kipas itu!"
"Aku yakin begitu. Sebaiknya sadarkan dia dan
kita korek keterangan dari mulutnya, siapa si peme-
gang Kipas Kedung Gairah itu!" ujar Selir Pamujan dengan tegas. Soka Pura
bergegas temui Arya Semirang.
* * * 3 WAJAH TAMPAN itu menjadi murung, seperti
gadis ingin dipaksa kawin oleh orang tuanya. Soka Pu-ra meninggalkan tubuh Arya
Semirang yang ingin dis-
embuhkan dengan jurus 'Sambung Nyawa' itu. Ia
kembali temui Selir Pamujan yang memperhatikan lu-
ka-luka mengerikan tubuh jenazah Tandu Sangrai.


Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kehadiran Soka, wanita cantik berpa-
kaian ungu itu mulai berkerut dahi. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres di hati
Soka. Tapi ia berlagak tidak mengetahui hal Itu.
"Bagaimana" Sudah kau sembuhkan pria itu?"
tanyanya. "Aku bukan dewa!" jawab Soka Pura sambil me-nyandarkan tangannya ke sebuah pohon
di depan Selir Pamujan. "Apa maksudmu?" Selir Pamujan mendekatinya.
"Bukankah kau punya ilmu pengobatan yang sangat dahsyat itu" Jika pemuda itu
segera kau sembuhkan
maka kita bisa tanyakan, siapa orang yang membuat-
nya menjadi gila cumbu begitu!"
"Percuma!" sambil Soka menghembuskan napas, tampak memendam rasa sesal dalam
hatinya. "Percuma bagaimana"!"
"Dia sudah mati! Tanyalah sendiri padanya siapa yang membuatnya gila cumbu
begitu!" "Sudah mati"!" Selir Pamujan berkerut dahi.
"Aku tak sengaja membunuhnya. Pukulanku
mengenai jantungnya. Kurasa jantungnya yang berde-
bar-debar diburu gairah itu terhenti seketika atau pecah begitu jurus 'Tangan
Batu'-ku mengenainya! Aah...
seharusnya aku tak perlu gunakan jurus itu. seharus-
nya kugunakan jurus 'Totok Pikun' saja, sehingga
nyawanya masih awet sampai sekarang!"
Selir Pamujan hembuskan napas. "Sudah, tak
perlu disesali lagi! Semuanya sudah telanjur."
"Aku akan memakamkan kedua mayat ini!"
"Ah, kau terlalu peka terhadap kesalahan diri
sendiri, Soka! Biarkan saja mayat mereka. Kita menuju
ke Gua Bangsal saja!"
Namun Pendekar Kembar bungsu itu tetap ingin
memakamkan kedua mayat tersebut sebagai penebus
tindakannya yang menewaskan Arya Semirang.
Mau tak mau Selir Pamujan akhirnya membantu
Soka menggali lubang kubur dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Kedua tangan Selir Pamujan disentakkan ke
tanah dalam keadaan tetap berdiri. Tanah pun ter-
dongkel ke atas bagaikan digali dengan skop besar. Hal itu mempercepat proses
penggalian, sehingga dalam
waktu singkat kedua mayat pun segera terkubur da-
lam satu liang. Dengan begitu, rasa sesal Pendekar
Kembar bungsu itu mulai terobati.
"Mengapa kau tak jadi menuju ke Pulau Sam-
bang?" tanya Soka Pura sambil mereka meninggal kan kuburan itu.
"Aku takut kau ditundukkan oleh sisa-sisa pen-
gikut Ratu Cumbu Laras! Sebab mereka sangat men-
dendam kepadamu, juga kepada kakak kembar mu!"
Soka Pura tersenyum dengan tawa kecil meng-
gumam. "Kau pikir aku mudah ditumbangkan oleh mere-
ka?" "Kesaktianmu mungkin tak bisa ditumbangkan.
Tapi aku takut kau terkena jurus 'Malam Pengantin'
yang dimiliki beberapa orang dari mereka."
Senyum dan tawa Soka Pura semakin melebar. Ia
menertawakan kecemburuan Selir Pamujan. Padahal
di hati Soka sendiri tak punya kecemburuan apa-apa
terhadap perempuan yang berusia dua puluh lima ta-
hun itu. Agaknya Soka tak bisa melarang niat Selir
Pamujan untuk ikut ke Gua Bangsal. Usaha melarang
akan membuat perselisihan saja, dan Soka enggan
berselisih dikarenakan masalah itu.
Benak Soka Pura masih dililiti keanehan yang
terjadi pada diri mendiang Arya Semirang itu. Bahkan ia tampak sangsi dengan
kesimpulan Selir Pamujan
tadi. "Benarkah Arya Semirang terkena kekuatan Ki-
pas Kedung Gairah"! Jangan-jangan ia menjadi gila
dan ganas seperti itu karena hal lain?"
"Setahuku, Kipas Kedung Gairah memang mam-
pu membuat seorang lawan menjadi gila cumbu dan
sangat buas, menyukai darah dan doyan memakan
daging manusia yang dicumbunya. Biasanya orang ter-
sebut terkena sinar biru yang keluar dari Kipas Ke-
dung Gairah. Dulu aku pernah melihat mendiang guru
melakukannya terhadap seorang lawannya di Gunung
Balada." "Apakah setiap orang bisa menggunakan Kipas
Kedung Gairah itu"!"
"Kurasa bisa. Karena kipas itu mengubah kekua-
tan tenaga dalam seseorang menjadi tenaga inti maut!"
tutur Selir Pamujan menjelaskan.
Ia berkata lagi, "Ada tiga kekuatan inti maut yang bisa dikeluarkan melalui
Kipas Kedung Gairah itu.
Semua tergantung besar-kecilnya tenaga yang dikelua-
rkan oleh si pemegang kipas tersebut."
"Misalnya bagaimana?"
"Misalnya, orang itu mengeluarkan tenaga dalam
kecil-kecil saja, maka kipas itu akan memancarkan sinar kuning yang dapat
melumpuhkan seseorang atau
membuat orang tidur terus selama empat puluh hari."
"Aneh juga?" ujar Soka sambil tertawa pelan.
"Jika tenaga dalam yang disalurkan agak besar,
maka kipas itu akan keluarkan sinar biru yang mem-
buat gairah seseorang terbakar dan selalu ingin bercumbu. Orang itu akan
menderita gila cumbu dan be-
lum puas jika belum memakan daging atau meminum
darah pasangan kencannya, seperti yang dialami Arya
Semirang tadi! Tapi jika orang itu dilayani oleh pemegang kipas, maka seketika
itu juga kekuatan yang da-
pat membuatnya gila cumbu akan sirna."
"Mengapa bisa begitu?"
"Dalam sinar biru yang dikeluarkan kipas terse-
but mengandung darah kemesraan si pemilik kipas.
Jadi jika darah kemesraan si pemilik kipas telah me-nyatu dalam diri orang yang
terkena Sinar biru itu
maka kekuatan gila cumbunya akan sirna."
"Benar-benar aneh kipas itu," gumam Soka sepertinya bicara sendiri.
"Dan satu lagi," lanjut Selir Pamujan. "Jika orang pemegang kipas itu kerahkan
tenaga dalamnya cukup
tinggi, maka dari kipas itu akan keluar sinar merah
yang dapat menghancurkan lawan. Bahkan pintu baja
setebal apa pun bisa dihancurkan dengan sinar merah
dari Kipas Kedung Gairah itu!"
Soka Pura manggut-manggut, dalam hatinya me-
nyimpan rasa kagum terhadap kehebatan Kipas Ke-
dung Gairah itu. Hati kecilnya sempat ngeri jika ia berhadapan dengan pemegang
kipas pusaka itu.
"Sinar birunya itu yang ku takuti, bisa bikin aku gila cumbu dan iih... sangat
memalukan sekali kalau
aku sampai gila cumbu seperti yang diderita Arya Se-
mirang," ujar Soka Pura dalam hatinya.
Selir Pamujan berkata lagi, "Repotnya lagi, semua sinar dari kipas Itu tidak
bisa ditangkis dengan apa pun kecuali dihindari. Dan kipas Itu sendiri terbuat
dari serat baja yang mempunyai kekuatan inti sakti
tersendiri, sehingga selama ini tak pernah ada yang bi-sa menghancurkan kipas
tersebut. Senjata apa pun
tak pernah berhasil membuat kipas itu hancur, bah-
kan lecet pun tidak."
"Apa warna kipas itu?"
"Coklat kehitaman," jawab Selir Pamujan dengan polos.
"Apakah hanya kaum wanita saja yang boleh
memegang kipas itu?"
"Tidak! Kaum lelaki juga bisa! Karena itulah tem-po hari aku mencurigai Hantu
Muka Tembok."
Ingatan Soka sempat melayang pada pertarungan
Selir Pamujan dengan Hantu Muka Tembok, ( Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gairah sang Pembantai" ). Tetapi kini
batin Soka bertanya-tanya tentang kelemahan kipas tersebut. Karena menurutnya,
setiap kekuatan pasti punya kelemahan. Demikian pu-
la halnya dengan Kipas Kedung Gairah.
"Apa kelemahan kipas tersebut, Selir Pamujan?"
Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Selir
Pamujan. la diam beberapa saat, sepertinya ada sesua-tu yang perlu
dipertimbangkan. Soka Pura mulai tak
enak hati. Selir Pamujan dianggap sangsi memberikan
rahasia kelemahan Kipas Kedung Gairah.
"Kalau aku tak tahu kelemahannya, aku tak akan
bisa melawan pemegang kipas itu. Kurasa kau tak per-
lu sangsi padaku, katakan saja dimana letak kelema-
han pusaka tersebut, Selir Pamujan?"
"Aku bukannya sangsi kepadamu, Soka. Tapi aku
sedang mengingat-ingatnya. Sebab setahuku, selama
ini guruku tak pernah sebutkan kelemahan kipas pu-
saka itu. Atau mungkin aku lupa" Ini yang sedang
kuingat-ingat!"
"Apa jadinya jika kipas itu tanpa kelemahan"!
Mungkin si pemilik Kipas Kedung Gairah bisa meraja-
lela dan bertindak semena-mena di permukaan bumi
ini! Kita pun akan menjadi korbannya, cepat atau pun lambat!"
"Memang. Tapi..., aku tak yakin kalau kipas itu tak mempunyai kelemahan. Pasti
ada. Hanya saja aku
tak tahu di mana letak kelemahannya itu. Sebab...."
Kata-kata Selir Pamujan terhenti bagai tersumbat
di tenggorokan. Hal yang membuat kata-kata itu ter-
henti adalah sebuah pemandangan yang mengejutkan
mereka. Di depan langkah mereka, tampak seorang lelaki
berbadan gemuk berpakaian serba hitam dengan baju
tak dikancingkan sedang duduk di tanah bersandar
sebatang pohon. Lelaki besar dan gemuk itu mempu-
nyai rambut yang dikonde dengan wajah bundar lucu
tanpa kumis. "Soma Gaok"!" panggil Soka Pura yang mengenal lelaki itu dan pernah singgah di
rumahnya bersama
Dewi Binal, ( Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Setan Cabul").
Wajah bundar gemuk seperti bola berkonde itu
memandang Soka dengan malas-malasan. Matanya
tampak redup, gerakannya pelan sekali, kentara dalam keadaan lemas.
"Hai...," sapa Soma Gaok yang mirip pemain su-mo dari Jepang itu. Suaranya lemah
dan lirih sekali. la tampak mengantuk. Mungkin karena hembusan angin
yang membawa suasana teduh itulah yang membuat
Soma Gaok terkantuk-kantuk.
Tetapi luka memar di rahang Soma Gaok sangat
mencurigakan Selir Pamujan. Goresan luka yang ada
di dekat mata kaki Soma Gaok juga memancing kecu-
rigaan Selir Pamujan, sehingga perempuan itu. terpak-sa berbisik kepada Soka
Pura. "Ada sesuatu yang tak beres padanya."
"Badannya yang terlalu besar memang lekas
membuatnya tertidur dalam suasana teduh dan sejuk
seperti ini," ujar Soka Pura sambil melangkah lebih dekat lagi. la segera
menegur Soma Gaok sambil jongkok.
"Hei, Soma Gaok, mengapa kau ada di sini"!"
Dengan mata kian kecil dan sayu karena men-
gantuk, Soma Gaok menjawab pelan sekali. Suaranya
parau dan sedikit datar.
"Ngantuk...."
"Hei. kenapa pipimu" Kau terluka, Soma Gaok"!"
"He, eh...!" jawabnya malas-malasan.
"Kau habis bertarung dengan siapa?"
"Hmm... perempuan," jawabnya bertambah pelan lagi. Soka Pura juga melihat luka
goresan yang menga-lirkan darah. Darah itu sudah lembut, sebentar lagi
akan mengering.
"Perempuan siapa" Soma Gaok..."! Hei, jangan
tertidur dulu, Soma!"
Plok, plok, plok...! Pendekar Kembar bungsu me-
nepuk-nepuk pipi gemuk itu. Bibir Soma Gaok berki-
bar bagai sarung basah saat ditepuk pipinya. la makin meredupkan mata pertanda
ingin segera tertidur.
"Kurasa ia terkena Kipas Kedung Gairah juga!"
ujar Selir Pamujan dengan pelan sambil berdiri di belakang Soka Pura.
"Dari mana kau tahu"!" tanya Pendekar Kembar bungsu.
"Lukanya tak akan mungkin membuatnya men-
gantuk seberat itu, kecuali jika ia terkena sinar kuningnya Kipas Kedung
Gairah." Soka Pura menjadi cemas. "Oh, celaka kalau be-
gitu!" Soka menepuk-nepuk pipi Soma Gaok lagi. Plok,
plok, plok...! "Soma Gaok! Hei, hei... jangan tidur dulu! Soma, siapa yang bertarung melawanmu"
Perempuan mana"
Siapa namanya"!"
Setiap tepukan pipi membuat mata Soma Gaok
melebar lagi dan terperanjat, namun sekejap kemudian menjadi layu kembali dan
ingin tertidur. Soka Pura berusaha membangunkan Soma Gaok dengan tamparan
keras. Plaaakkk...! "Hah, hoooh, hhmmm... ada... ada apa ini"!" So-ma Gaok menggeragap, matanya
melek. Namun belum
sampai Soka ajak bicara sepasang mata orang gemuk
itu mulai layu kembali.
"Siapa perempuan yang bertarung melawanmu,
Soma"!"
"Dee... Dee...."
"Dede..."!"
"Bukan," Soma Gaok menjawab dengan tunduk-
kan kepala. "Dee... Dewi...."
"Dewi siapa"!" desak Soma Gaok. "Hei, hei... bangun! Sebutkan dulu, Dewi siapa
maksudmu...!"
"Zzzzz...!"
Soma Gaok tak tertolong lagi. Bukan nyawanya
yang tak tertolong, tapi rasa kantuknya tak bisa ditahan lagi. la tertidur
dengan dengkuran halus dan kepala tertunduk lunglai. Bibirnya melambai-lambai,
sebentar lagi pasti akan meneteskan liur yang menjijikkan.
Plak, plak, plak, plak...!
"Percuma saja! Biar kau tampar sekeras itu ia tetap akan tertidur jika memang ia
benar-benar terkena sinar kuning Kipas Kedung Gairah!" kata Selir Pamujan.


Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata tamparan Soka itu memang tak bisa
membuat Soma Gaok terbangun lagi. Lelaki gemuk
berkulit gelap itu justru semakin mendengur. Ngiler!
Tentu saja Soka tak mau menampar pipi Soma Gaok
lagi, karena tak ingin terkena percikan liur yang meng-gelikan itu.
"Sialan! Dia seperti kebo! Tak bisa dibangunkan lagi"!"
"Selama empat puluh hari dia akan tertidur dan
tak akan bangun-bangun."
"Benarkah"!" Soka Pura tampak cemas, dan segera berdiri memandang Selir Pamujan
yang masih me- mandang Soma Gaok dengan kedua tangan bersidekap
di dada. "Luka di kakinya itu beracun, walau tak ganas,"
ujar Selir Pamujan. "Tentunya ia tak akan sempat tertidur dalam keadaan menahan
luka begitu. Satu-
satunya penyebab adalah sinar kuning dari Kipas Ke-
dung Gairah!"
Soka Pura menarik napas, mulai percaya dengan
penjelasan Selir Pamujan. Namun ia penasaran karena
ingin mengorek keterangan dari mulut Soma Gaok.
Maka ia segera menempelkan telapak tangannya ke
tengkuk Soma Gaok yang tidurnya menunduk itu.
Tangan itu memancarkan cahaya ungu kemi-
lauan. Lama-lama cahaya ungu itu menguasai tubuh
Soma Gaok. Tubuh lelaki gemuk itu menjadi seperti
beling yang di dalamnya ada bolam ungunya. Itulah jurus penyembuhan yang
dinamakan jurus 'Sambung
Nyawa', dimiliki oleh Soka maupun Raka.
"Semoga jurus 'Sambung Nyawa'ku dapat menga-
lahkan hawa kantuknya!" gumam Soka sambil me-
nunggu cahaya ungu padam dari tubuh Soma Gaok.
"Aku tak yakin," ucap Selir Pamujan dengan suara gumam pula.
Beberapa saat kemudian, cahaya ungu itu telah
redup. Tubuh Soma Gaok kembali dalam keadaan se-
mula, tanpa cahaya apa pun. Luka di kakinya menger-
ing dan lenyap seperti tanpa bekas, seperti tak pernah terluka. Memar di pipinya
yang membiru itu juga lenyap bersama hilangnya cahaya ungu tadi. Tetapi So-
ma Gaok masih tetap tertidur dan suara dengkurannya
semakin kuat. "Grrr... zzzz.... gggrrrww... zzzz...!"
"Edan!" geram Pendekar Kembar bungsu. "Ternyata jurus 'Sambung Nyawa'-ku tak
bisa mengatasi rasa kantuk itu!"
Selir Pamujan tersenyum kecut. "Tepat sekali dugaanku!"
Soka Pura akhirnya tertegun pandangi Soma
Gaok. Selain hatinya mengakui kebenaran kesimpulan
Selir Pamujan, sang hati pun bertanya-tanya, "Siapa orang yang memegang kipas
pusaka itu" Persoalan apa
yang membuatnya bentrok dengan Soma Gaok"!"
Selir Pamujan berkata dengan kalem, "Kipas itu
jelas ada di tangan seorang perempuan!"
"Ya. Perempuan itu bernama Dewi... tapi Dewi
siapa?" "Hmm...!" senyum sinis Selir Pamujan seakan mencemooh kebingungan Soka Pura.
Pemuda tampan berpakaian putih dan berambut sebahu tanpa ikat ke-
pala itu menjadi tak enak hati menerima senyuman si-
nis itu. Ia segera alihkan pandangan mata bertepatan dengan Selir Pamujan
berkata dingin.
"Siapa lagi kalau bukan Dewi Binal! Apakah kau
masih tak yakin bahwa pencuri kipas itu adalah Dewi
Binal"!"
Pendekar Kembar bungsu menjadi resah dan ke-
bingungan. Hati kecilnya tetap mengatakan bukan
Dewi Binal pencurinya. Tapi ia tak punya alasan kuat untuk membantah tuduhan
Selir Pamujan. Kata-kata
sepotong yang diucapkan Soma Gaok membuat Soka
Pura menjadi seperti terpojok.
"Kita cari Dewi Binal!" tegas Selir Pamujan.
"Nanti dulu!" cegah Soka Pura membuat Selir Pamujan menaruh curiga melalui
pandangan matanya.
Soka Pura sempat menggeragap sedikit dipandang de-
mikian. "Maksudku... maksudku selidiki saja dulu kebe-
narannya. Jangan main tuduh dulu!"
Selir Pamujan maju selangkah dan semakin sinis
memandang Soka.
"Sebenarnya ada hubungan apa kau dengan Dewi
Binal"!"
"Sebagai seorang sahabat saja!!'
"Aku tak percaya! Kau pasti ada hubungan batin
dengan Dewi Binal, sehingga kau selalu ngotot jika aku
menuduh Dewi Binal pelakunya!"
Soka Pura salah tingkah. "Hmm... hmmm... baik-
lah! Daripada kau menyangka diriku yang bukan-
bukan, kita cari Dewi Binal saja dan kita buktikan, anggapan siapa yang benar,
kau atau aku!"
"Bagaimana jika anggapan ku yang benar, bahwa
kipas itu ada di tangan Dewi Binal"!"
"Hmm... hmmm... apa maksudmu"!"
"Kau berani membunuhnya"!"
"Mengapa harus dibunuh jika kipas itu bisa direbut atau dibujuk agar
dikembalikan padamu"!"
"Hmm...!" Selir Pamujan mencibir. "Kurasa kau memang punya hubungan pribadi
dengan Dewi Binal!"
"Bukan begitu, maksudku...."
"Kau tak akan berani membunuhnya jika terbukti
dia bersalah?"
"Kalau memang...."
"Aku akan mencarinya sendiri! Aku tak butuh
bantuanmu lagi!"
"Selir Pamujan, dengar dulu pendapatku...!"
Blaasss...! Selir Pamujan pergi secepatnya dengan langkah
kilat. Soka Pura menjadi bingung, sebab ia tahu Selir Pamujan pergi sambil
membawa dendam dan kecemburuan yang membahayakan bagi Dewi Binal.
Mau tak mau Soka pun tetap mengikutinya
"Jika sampai terjadi pertarungan di antara kedua
wanita itu, aku harus mencegahnya!" ujar hati Soka Pura, karena ia memang tak
kehendaki salah satu dari kedua wanita cantik itu cedera atau terbunuh gara-gara
kipas pusaka itu.
* * * 4 PERJALANAN RAKA Pura yang mendampingi Bi-
ang Tawa itu terhenti di sebuah lembah sebelum men-
capai Bukit Gamping. Seseorang telah menyerang Raka
Pura dengan melemparkan pisau terbang berkecepatan
tinggi. Zingng...! Pisau terbang itu melesat dari balik pohon sebe-
lah kiri si Pendekar Kembar sulung.
Ketajaman mata Raka membuat pemuda tampan
berbadan tegap dan gagah itu segera sentakkan tu-
buhnya ke samping. Tangannya berkelebat cepat dan
berhasil menangkap pisau terbang itu.
Zaab...! Namun bersamaan dengan itu gerakan pundak
Raka mendorong punggung Biang Tawa, sehingga lela-
ki bundar itu tersentak ke darat dan jatuh tersungkur.
Bruukk...! "Kucing sunat! Mengapa kau mendorongku sam-
pai jatuh begini, Raka"! Kau pikir aku tukang me-
nangkap kodok"!" omel Biang Tawa.
"Maaf, Paman. Demi keselamatan kita, terpaksa
Paman menangkap kodok sebentar!" ujar Raka Pura sambil memperlihatkan sebilah
pisau yang terselip di antara ke dua jarinya.
"Oh, ada kiriman rupanya"!"
Raka Pura anggukkan kepala sambil tersenyum.
"Kukembalikan atau ku buang, Paman?"
"Kembalikan saja, sambil kepingin tahu siapa
pengirimnya. Jangan-jangan salah alamat"!"
Pendekar Kembar sulung segera kibaskan tan-
gannya. Wuuuss...! Maka pisau terbang itu melesat ke arah datang-
nya tadi. Zingng...!
Tapi pisau itu tidak kenal pohon yang dipakai
bersembunyi si pelempar pisau. Pisau tersebut melesat melewati pohon tersebut
dan gagangnya kenal pohon
seberangnya. Duuk...! Pisau pun memantul balik dan mengarah ke po-
hon yang dipakai bersembunyi oleh seseorang. Zaaabb, crraass...!
"Aaow...!" suara pekikan itu terdengar dari balik pohon. Rupanya si pelempar
pisau tak menyangka ka-
lau pisau yang telah melewatinya itu akan memantul
balik setelah menghantam pohon seberangnya. Ia ter-
lambat menghindar, akibatnya ujung pundak orang itu
tergores pisau yang segera menancap di pohon atas
pundaknya itu. "Boleh juga lemparan pisaunya! Gila! Ini na-
manya senjata makan tuan! Setan kuntet banget itu
anak!" gerutu si pelempar pisau dalam hatinya. Akhirnya ia tampakkan diri sambil
pegangi luka di ujung pundaknya. Sambil memegangi luka itu, ia salurkan
tenaga dalam sebagai penangkal racun pada lukanya
melalui telapak tangan, sebab pisau terbangnya tadi
mengandung racun yang berbahaya bagi jiwa manusia.
Raka Pura dan Biang Tawa memperhatikan ke-
munculan orang itu. Ternyata orang yang muncul itu
berperawakan agak pendek, seperti Biang Tawa dan
berusia sekitar empat puluh tahun. Mengenakan rompi
hitam dan celana abu-abu. Badannya cukup gempal
dengan kumis sedikit lebat. Orang itu mengenakan sa-
buk hitam yang penuh dengan pisau terbang. la be-
rambut pendek dan jabrik. Helai rambutnya lurus ke
atas seperti dari seekor landak.
"Apakah kau mengenal orang itu, Paman?" bisik Raka Pura kepada Biang Tawa.
"Aku belum pernah jumpa dengannya. Tapi meli-
hat rambutnya yang mirip sapu lidi dan pisau-pisau
terbang di pinggangnya, aku mengenali ciri-ciri itu. Dia
orang dari Tebing Bencana yang kalau tak salah ber-
nama Batara Jabrik. Biar aku yang bicara padanya!"
Biang Tawa pun maju dua langkah berhadapan
dengan si rambut jabrik.
"Apa benar kau yang bernama Batara Jabrik"!"
"Tidak salah lagi. Akulah si Batara Jabrik dari Kedai Iblis!"
"Kedai Iblis"! Bukankah kau adalah orangnya
Pangeran Laknat dari Tebing Bencana"!"
"Itu dulu, lima tahun yang lalu. Tapi sejak aku diusir dari Tebing Bencana, aku
sudah menjadi orang
Kedai Iblis!" jawab Batara Jabrik dengan auaranya yang bulat, mantap sekali
kedengarannya. Raka Pura maju selangkah dekati Biang Tawa
yang segera menjelaskan secara singkat, bahwa Kedai
Iblis itu tempat bersarangnya para pembunuh bayaran
yang merupakan saingan bagi orang-orang Tebing
Bencana. Lalu Biang Tawa ajukan tanya kepada Batara Ja-
brik, "Apa maksudmu menyerang kami dengan pisau dapur seperti itu"!"
"Ini bukan pisau dapur, Tolol!" bentak Batara Jabrik dengan wajah tampak
menyimpan kedongkolan.
"Ini pisau keramat yang dapat merenggut nyawamu sewaktu-waktu. Kalau tak
percaya, terimalah"
Wut, ziing...! "Edan!" pekik Biang Tawa sambil melompat ke
atas dan berjungkir balik satu kali di udara. Jika hal itu tidak dilakukan, maka
sebilah pisau yang tak diketahui kapan dicabut dari tempatnya itu akan meng-
hunjam dada atau perut Biang Tawa. Tapi karena Bi-
ang Tawa cepat lakukan gerakan melambung maka pi-
sau itu lolos dari tubuhnya dan menancap di sebatang pohon belakangnya.
Jruub...! Diam-diam Pendekar Kembar sulung mengagumi
kecepatan gerak tangan Batara Jabrik dalam menca-
but pisau dan melemparkannya. Gerakan itu nyaris
tak terlihat oleh lawan jika sang lawan bukan orang
yang benar-benar jeli atau kebetulan memperhatikan
tangan si Batara Jabrik. Raka Pura hanya melihat tangan Batara Jabrik
berkelebat. Ia sangka akan lepaskan pukulan tenaga dalam, tak tahunya
melemparkan pisau terbang yang nyaris merenggut nyawa Biang Tawa
itu. Raka Pura segera lakukan lompatan menyerang
Batara Jabrik. Ia menggunakan jurus 'Jalur Badai'
yang mampu bergerak cepat seperti hembusan badai
paling cepat itu.
Wuuuzz...! Brreess...!
Kejap kemudian terdengar suara benda jatuh
berdebam di tanah sejauh delapan langkah.
Buuuhk...! "Aaoohh...!" pekikan panjang itu jelas pekikan
Batara Jabrik. Ia terbanting akibat tubuhnya terpental bagai disambar sapi
terbang. Dadanya terasa seperti
remuk, karena terjangan Raka Pura tadi melepaskan
tendangan yang tepat kenal dada Batara Jabrik. Orang itu pun mengerang kesakitan
di tempatnya jatuh. Raka Pura dan Biang Tawa segera menghampirinya dengan
langkah santai.
"Hati-hati, kecepatan tangannya dalam melempar
pisau cukup tinggi dan diakui oleh para tokoh di rimba persilatan," ujar Biang
Tawa kepada Raka Pura.
"Ya, aku tahu, Paman. Aku pun mengakui kehe-
batannya dalam melemparkan pisau perenggut nyawa
itu. Tapi kurasa jurus 'Jalur Badai'-ku pun mampu
melebihi kecepatan pisau terbangnya!" ujar Raka sambil melangkah dekati Batara
Jabrik yang sedang meng-
geliat bangun sambil menyeringai.
"Batara Jabrik! Apa maumu sekarang" Mene-
ruskan permainan ini, atau menjawab pertanyaanku
tadi"!" Biang Tawa berkata tegas dengan bertolak pinggang. Tentu saja ia berani
bertolak pinggang di depan Batara Jabrik yang ilmunya lebih tinggi darinya itu,
sebab ia berada di samping Pendekar Kembar sulung.


Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

la yakin jika terjadi sesuatu pasti Raka Pura akan bertindak lebih dulu sebelum
pisau si Batara Jabrik me-
renggut nyawanya.
Dalam hati si Batara Jabrik pun berkata, "Kurang ajar bocah muda itu! Rupanya la
bukan bocah semba-
rangan. Terjangannya begitu cepat dan membuatku
bagai disambar badai. Kurasa dia lahir dari rahim petir perempuan! Cepatnya
bukan main! Busyet...! Kumis
ku rontok lima, helai kalau begini. Uuuh...! Dadaku seperti bilik yang mau jebol
saja. Ini harus segera ku atasi kalau tak ingin sekujur tubuhku menjadi sakit
semua!" Sambil pegangi dadanya dengan telapak tangan
kanan, mengobati luka dalam dada, Batara Jabrik
bangkit menatap Raka Pura.
"Seseorang telah mengupah ku untuk membu-
nuhmu, Anak muda!" katanya dengan suara masih tegas dan pandangan matanya cukup
tajam. "Siapa yang mengupah mu"!"
"Tak bisa kusebutkan!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu bicara!" ka-ta Raka Pura, kemudian ia segera
mengangkat kedua
tangannya membuka kuda-kuda siap serang. Tapi tan-
gan Biang Tawa merentang di depan Raka.
"Biar aku saja yang memaksanya bicara!"
Biang Tawa segera maju. Baru satu langkah su-
dah diserang Batara Jabrik dengan pukulan menyeru-
pai cakar harimau.
Bet, bet, bet...! Plok...!
Biang Tawa tidak tercakar tapi tersodok dagunya.
Deees...! "Oufh...!" Biang Tawa terlempar empat langkah.
Tubuhnya melayang. dan jatuh terduduk dengan tung-
gir membentur tonjolan akar menyerupai batu.
Duuuhk...! "Aaaow...!" Ia memekik sakit. Tulang ekornya terasa lebih sakit daripada sodokan
tangan Batara Ja-
brik. Tetapi bagi Raka Pura justru dagu Biang Tawa
yang lebih berbahaya, karena dagu itu segera menjadi memar membiru dan tumbuh
bintik-bintik merahnya.
Butiran darah keluar dari pori-pori dagu tersebut.
Batara Jabrik segera lakukan lompatan untuk
menerjang Biang Tawa. Tetapi Raka Pura merasa bah-
wa serangan Batara Jabrik meski kelihatannya sepele
dan ringan tapi mengandung tenaga dalam yang cukup
berbahaya. Karenanya ketika Batara Jabrik melayang-
kan tendangannya dengan kaki lurus ke arah wajah
Biang Tawa, kaki Raka segera melayang sambil tubuh-
nya memutar cepat dalam satu lompatan kecil.
Wees...! Beehk...!
"Heegh...!" Batara Jabrik terpelanting jatuh dengan mulut ternganga dan mata
mendelik. Nafasnya ba-
gai terhenti tepat di ulu hati karena tendangan tersebut kenal ulu hati dengan
telak. "Uhk, gawat! Mampus aku kalau begini! Aaahk...!
Napas ku..."! Napas ku kenapa ini" Kemana napas ku"
Heehk...!" Batara Jabrik kebingungan mencari nafasnya. Ia tersengal-sengal dan
repot sendiri kendalikan pernafasannya.
Sementara itu, Biang Tawa bangkit dan meme-
gangi pantatnya sambil menyeringai menahan sakit.
Matanya memandang Raka Pura dan mengadukan sa-
kitnya seperti anak kecil.
"Pantat ku jebol...! Sakit sekali, Raka!"
"Tidak apa-apa, Paman."
"Tidak apa-apa bagaimana" Pantat jebol kok ti-
dak apa-apa"!" gerutu Biang Tawa.
"Dagu Paman yang lebih berbahaya!" kata Raka Pura sambil dekati orang itu. la
memeriksa dagu Biang Tawa. Ternyata bintik-bintik merahnya semakin banyak dan
mulai kehitam-hitaman. Raka yakin darah
yang keluar dari pori-pori dagu itu sudah bercampur
racun. Hanya saja, racun itu tidak membuat orang me-
rasakan sakit atau panas, bahkan sepertinya sehat-
sehat saja. Namun dalam beberapa waktu racun itu
akan menjalar ke jantung dan mengakibatkan kema-
tian. "Paman, dagu mu harus segera diobati!" cemas Raka.
"Minggir dulu!" sentak Biang Tawa sambil me-nyingkirkan tubuh Raka dengan kasar,
hingga Raka Pura terpelanting nyaris jatuh.
Rupanya saat itu Batara Jabrik sudah berhasil
kuasai pernafasannya kembali. la hendak lemparkan
pisau terbangnya ke arah Raka Pura. Maka dengan ce-
pat tangan Biang Tawa menyentak ke depan dengan
dua jari mengeras, sedangkan tangan kiri ke belakang bersama kaki kiri terangkat
ke belakang, mirip seperti orang menari balet. Saat itulah gelombang padat telah
melesat dari dua jari yang mengeras itu dan mengenai dada kiri Batara Jabrik.
Dees...! Jurus 'Monyet Gembira' yang berupa totokan ja-
rak jauh telah kenal dada Batara Jabrik dan sukar dihindari.
Batara Jabrik diam saja seperti patung. Matanya
memandang sangar ke arah Raka Pura dan Biang Ta-
wa. Beberapa kejap kemudian, Batara Jabrik mulai
tersenyum. Makin lama senyumnya makin lebar. Lalu
disusul dengan suara tawa seperti orang menggumam,
dan akhirnya suara tawanya pun terlepas tanpa basa-
basi lagi. "Hhhmm, hhmm... haah, haah... haaa, haa, haaa,
haaa...!" Jurus 'Monyet Gembira' membuat orang tertawa
tanpa bisa menghentikan tawanya. Biasanya jurus itu
membuat orang tertawa terus sampai akhirnya akan
mati lemas karena kehabisan tenaga dan napas untuk
tertawa. Batara Jabrik berusaha menahan tawanya,
sampai menutup mulut dengan kedua tangan. Tapi
tawa itu masih tetap terlepas hingga terbahak-bahak.
Seakan apa yang dilihatnya serba lucu dan menggeli-
kan. Saraf tawanya telah dibuka dan sukar terkatup
lagi. "Tertawalah sepuasmu dan tak akan kuhentikan
sebelum kau sebutkan siapa yang menyuruhmu mem-
bunuh keponakanku ini!" ujar Biang Tawa yang menganggap Raka dan Soka seperti
keponakannya sendiri.
"Paman, dagu mu semakin membusuk!" ujar Ra-ka semakin cemas. Biang Tawa segera
sadar setelah ia memegang dagunya dan ternyata ada cairan lendir
yang menempel di tangannya. Lendir itu berwarna
abu-abu dan baunya sangat busuk.
"Celaka! Kenapa dagu ku ini!"
"Diamlah dulu, Paman! Akan kutawarkan racun
yang masuk ke dagu mu itu"
Sementara itu, Batara Jabrik masih tertawa terus
sampai terbungkuk-bungkuk dan pegangi perutnya
yang kaku. "Huaaah, haaa, haaa, haaa, haaa...! Hiaah, hiah hiaaa, haaa, haaa, haaa...!"
Raka Pura dan Biang Tawa tak pedulikan suara
terbahak-bahak itu. Raka segera lakukan pengobatan
menggunakan jurus 'Sambung Nyawa' yang meman-
carkan cahaya ungu dari telapak tangannya! Dalam
beberapa kejap saja, dagu Biang Tawa segera pulih
kembali, tanpa luka busik ataupun memar. Bahkan
dagu itu seperti tak pernah mengalami luka sedikit
pun. "Sekarang saatnya memaksa dia untuk mengaku,
Raka! Biar ku tangani saja!"
Biang Tawa maju dekati Batara Jabrik. Orang be-
rompi hitam tebal seperti dari kulit binatang itu menuding-nuding Biang Tawa,
seperti ingin mengancam
tapi yang terlontar dari mulutnya hanya sebaris tawa berhamburan.
"Huaah, haaa, haaa, haaa, haaa...! Awas kau,
haah, haaa, haaa...!,"
"Kalau kau tak sebutkan siapa yang mengupah
mu, maka kau akan mati dengan lemas, Batara Ja-
brik!" "Haah, hahh, haah...!"
"Siapa yang menyuruhmu! Cepat katakan!" bentak Biang Tawa.
"Haah, haah, haah, haah...!"
"Ditanya malahan tertawa! Kampret bodong!
Plakk...!" Biang Tawa menampar keras wajah Batara Jabrik. Orang itu jatuh
terjengkang. Berhenti tertawa sebentar, lalu serukan tawa lagi sambil menuding-
nuding Biang Tawa.
"Huaaah, haaah, haaah, haaah, haa...! Kubunuh
kau, kubunuh kau, huaah, haah,. haah, haah...!"
Batara Jabrik sampai menggelosor di tanah se-
perti anak kecil kegirangan. Perutnya dipegangi dan
tawanya terpingkal-pingkal hingga nyaris tak terdengar lagi. Matanya mengucurkan
air sebagai curahan keba-hagiaan yang terpaksa keluar tanpa terkendali.
"Hentikan, hah, hah, hah...! Hentikan tawaku ini, haah, haah, haah...!"
"Akan kuhentikan jika kau mau sebutkan!"
"Dwi... Dewwi... huah, haah, haah, haah...!"
Patung Dewi Kwan Im 8 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Keris Pusaka Nogopasung 1
^