Pencarian

Gairah Sang Pembantai 2

Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai Bagian 2


cantikan yang menyeramkan.
"Badanku terasa panas semua"!" geram Selir Pamujan dalam hati. "Rupanya dia
berhasil menotok tenaga inti ku sehingga keadaan tenaga inti ku bekerja cepat
sekali sampai sepanas ini. Ooh... bisa-bisa tubuhku meledak sendiri jika tenaga
inti bekerja terlalu cepat"! Aku harus meredamnya dengan hawa murni
ku!" Selir Pamujan segera kendalikan hawa murninya secara diam-diam. Dengan
menarik napas pan-
jang-panjang tanpa kentara dan menyimpannya ke da-
lam dada, lalu menyalurkannya ke perut tepat di ba-
gian pusarnya, maka tenaga inti yang mendidih itu
mulai reda oleh siraman hawa murni yang menyejuk-
kan. Dalam sekejap saja kulit wajah yang merah mulai
berubah kuning langsat kembali. Bengkak di pergelangan tangannya pun mulai
mengempis. Soka Pura sengaja tidak lakukan serangan apa
pun, karena ingin melihat sejauh mana perempuan itu bisa mengendalikan kekuatan
tenaga intinya yang nyaris membakar seluruh tubuhnya Itu. Ternyata kurang
dari enam helaan napas, Selir Pamujan sudah mampu
mengembalikan keadaannya menjadi seperti semula.
"Hebat! Ia mampu mengatasinya dengan cepat.
Kuakui, ia memang hebat!" ujar Soka dalam hatinya.
Tanpa diketahui keduanya telah saling mengaku! ke-
hebatan masing-masing lawan, sehingga mereka saling hati-hati dalam bertindak,
tak ada yang mau menyerang secara gegabah.
Bahkan perempuan cantik berdada montok
kencang itu menjadi penasaran, mengapa si tampan
itu mencari Betina Rimba.
"Sebelum aku membalas kelancanganmu ini,
terlebih dulu aku ingin tahu alasanmu mencari Betina Rimba!" ujar Selir Pamujan.
"Aku akan mengirimnya ka neraka!"
Selir Pamujan terperanjat, pandangan matanya
kian dipertajam. Soka Pura tetap kalem, seakan uca-
pannya bukan hal yang perlu dikejutkan oleh siapa
pun. "Apakah kau sanggup menghadapi si Betina Rimba"!" Selir Pamujan sengaja
bernada meremehkan kemampuan Soka dalam mengadu ilmu dengan Betina
Rimba. Tapi yang diremehkan hanya tersenyum kalem,
tak berkesan konyol seperti tadi.
"Mampu atau tidak aku harus mengirimnya ke
neraka sebagai hukumannya yang telah membantai se-
luruh keluarga, bahkan seluruh tetanggaku juga di-
bantainya semua! Sekarang sudah tiba saatnya sang
pembantai itu menjadi penghuni neraka, biar dia ganti dibantai oleh Iblis-iblis
penghuni neraka! Dan satu hal lagi...," Soka Pura mendekati Selir Pamujan hingga
ja-raknya hanya satu langkah.
Dengan nada bisik ia menyambung kata-
katanya, "... aku tak mau ikut ke neraka. karena aku belum pernah kawin."
Soka Pura segera melangkah menjauhi perem-
puan itu seakan ingin meninggalkan pergi.
"Tunggu dulu!" sergah Selir Pamujan yang ikut melangkah bagai mengejar Soka.
Pemuda itu segera
berbalik dan mereka saling beradu pandang lagi.
"Jika benar keluargamu dibantai habis oleh Be-
tina Rimba, mengapa kau masih hidup" Betina Rimba
tak pernah menyisakan lawannya jika harus lakukan
pembantaian!"
"Waktu itu aku masih bayi, dan Betina Rimba
masih menjadi orang kepercayaan Ratu Cumbu Laras!
Sebelum Ratu Cumbu Laras tewas ia sempat beberkan
rahasia tersebut."
Selir Pamujan mulai curiga dan mundur dua
langkah dengan dahi. berkerut tajam, mats meman-
dang tak berkedip.
"Siapa yang membunuh Ratu Cumbu Laras?"
"Kami! Aku dan kakakku; Raka Pura!"
"Ooh... kalau begitu kau adalah Pendekar Kem-
bar"!" "Kau punya otak yang cerdas, Selir Pamujan!"
jawab Soka membenarkan pendapat perempuan itu.
Selir Pamujan sedikit tegang setelah menyadari
yang dihadapi itu adalah salah satu dari dua Pendekar Kembar. Padahal ketika
kabar kematian Ratu Cumbu
Laras menyebar dan sampai di telinganya, diam-diam
ia merasa salut dan kagum kepada orang yang mampu
kalahkan Ratu Cumbu Laras itu. Ia juga mendengar
nama Pendekar Kembar sebagai lawan yang mampu
tumbangkan Ratu Cumbu Laras dan rasa kagum serta
salut terhadap Pendekar Kembar pun terbit di hati sanubari Selir Pamujan. Oleh
karenanya, ketika bebera-pa anak buah Ratu Cumbu Laras mengajaknya berga-
bung dan menyerang Pendekar Kembar, ia menolak se-
cara halus, karena ia tak ingin bermusuhan dengan
Pendekar Kembar.
"Jika Ratu Cumbu Laras yang ilmunya hampir
sama dengan guruku saja bisa ditumbangkan, apalagi
aku!" ujarnya membatin ketika ia sedang menerima beberapa anak buah Ratu Cumbu
Laras. Kini tak disangka Selir Pamujan bertemu sendi-
ri dengan salah satu dari dua Pendekar Kembar itu.
Rasa percaya terhadap pengakuan itu timbul setelah ia merasakan sendiri
kehebatan totokan pemuda itu dan
kecepatannya menghadang langkah.
"Pantas kalau dia mampu menyusul ku dan
mendidihkan tenaga inti ku, rupanya dia adalah Pen-
dekar Kembar yang kukagumi dalam hati itu"!" Selir Pamujan sempat membatin
demikian ketika mereka
sama-sama bungkam.
Kejap berikutnya, Soka Pura perdengarkan su-
aranya yang bernada lembut membuai hati.
"Aku mendapat kabar dari seorang kenalan,
kau akan meminta bantuan kepada Betina Rimba un-
tuk menyerang Bukit Gamping, karena kau menyang-
ka Dewi Binal, cucu si Tabib Kubur itu, mencuri kipas pusaka milik mendiang
gurumu...."
"Juga membunuh guruku dengan racun sangat
mematikan itu!" sahut Selir Pamujan.
"Aku yakin bukan dia pelakunya! Aku tahu sia-
pa Dewi Binal itu dan siapa kakeknya."
"Apakah gadis itu kekasihmu"!" Selir Pamujan mulai sinis lagi.
"Sekalipun bukan kekasihku, tapi aku berani
bertaruh nyawa, bahwa Dewi Binal tak mungkin men-
curi pusaka milik mendiang gurumu Itu!"
"Aku sendiri yang melihat gadis itu berkelebat pergi di hutan sekitar gua tempat
guruku bersemadi."
"Itu bukan berarti dia yang membunuh guru-
mu! Bisa saja ia kebetulan lewat di dekat gua itu tanpa mengetahui persoalan apa
pun di dalam gua tersebut."
Perdebatan Itu terpaksa dihentikan, karena ti-
ba-tiba Soka melihat sekelebat cahaya pantulan sinar matahari yang berkelebat
menuju ke leher kanan Selir Pamujan. Dengan gerakan cepat yang sukar dilihat,
tangan Soka Pura berkelebat seperti ingin menghan-
tam wajah Selir Pamujan.
Wuuut...! Selir Pamujan kaget dan cepat menghindar
dengan memiringkan tubuh ke kiri. Saat itu pula tangan kanannya menyodok perut
Soka dengan telapak
tangan terbuka. Buuukh...!
"Heeegh...!" Soka mengejang dan terbungkuk.
Sodokan itu membuat isi perutnya terasa ingin di-
muntahkan semua.
"Kau tak bisa menipuku, Soka Pura! Aku tak
bisa kecolongan dengan jurus apa pun yang...."
Ucapan Selir Pamujan terhenti seketika setelah
Soka Pura tunjukkan tangan kirinya yang telah menjepit sekeping logam putih
mengkilat berbentuk bunga
cempaka. Logam itu terjepit di sela jemari Soka.
"Ooh..."!" Selir Pamujan terkejut dan segera mengerti apa maksud gerakan tangan
Soka yang berkelebat cepat seperti mau menghantamnya tadi.
Sambil menahan rasa mual Soka serahkan sen-
jata rahasia yang tak jadi menancap di leher Selir Pamujan. "Ada yang mau
membunuhmu!" suara Soka di-tekan berat seperti orang mau buang hajat.
"Oh, maafkan aku! Kusangka kau ingin memu-
kul ku! Maafkan aku, Soka!" Selir Pamujan tampak tegang, kecewa, dan malu
sekali. "Lain kali tak perlu meminta maaf kalau den-
gan cara memualkan perutku begini!"
"Aku tak tahu! Aku.!. oh, lihat senjata ini!" Ia menyodorkan telapak tangannya
tempat sekeping logam baja putih berbentuk bunga cempaka itu berada.
"Senjata inilah yang dipakai membunuh guru-
ku!" "O, ya.."!" Soka masih bersuara berat. "Kalau begitu, pembunuh gurumu ada
di sini!" "Keparat! Akan ku kejar dia!"
Blaasss...! Selir Pamujan pergi begitu saja tan-
pa pedulikan Soka lagi. Ia menerjang semak belukar
tempat datangnya senjata rahasia beracun ganas itu.
"Hoi, salah! Bukan dari sana datangnya, ke kiri sedikit!" seru Soka, akhirnya ia
menyusul Selir Pamujan untuk mencari si pemilik senjata rahasia berbentuk bunga
cempaka itu. * * * 5 PENCARIAN itu tak berhasil. Selir Pamujan
menjadi gusar karena gagal meremukkan orang yang
memiliki senjata rahasia berbentuk bunga cempaka
itu. Soka Pura menyarankan agar pencarian dihenti-
kan, karena ia yakin pemilik senjata itu telah lari sejauh mungkin dan mereka
tertinggal karena hanya
mencari si sekitar tempat Itu.
"Kurasa Dewi Binal melihat pertemuan kita tadi dan ia segera menyerangku
dengan...."
"Dewi Binal tak punya senjata seperti itu!" potong Soka Pura.
"Kau selalu membelanya!" sentak Selir Pamujan dengan berang. Soka Pura terpaksa
tersenyum agar tidak menimbulkan kegusaran yang tinggi pada pe-
rempuan cantik Itu.
"Aku bukan membelanya, tapi aku meluruskan
anggapan mu! Seperti halnya tadi, kau juga menuduh
Hantu Muka Tembok sebagai pembunuh dan pencuri
pusaka gurumu. Ternyata kau juga menganggap Dewi
Binal pelakunya. Lalu, menurutmu sendiri mana yang
benar dari kedua anggapan mu itu"!"
Selir Pamujan hembuskan napas kekesalan.
Wajahnya masih tampak cemberut menahan kemara-
han. Kedua tangannya bertolak pinggang dengan
mata memandang sekeliling.
"Semua orang pantas ku curigai!" tiba-tiba suaranya terdengar bagai orang
menggerutu. "Bahkan kau pun patut ku curigai!"
Soka Pura tertawa pendek. "Kalau begitu, tang-
kaplah aku jika kau mencurigaiku!"
"Aku bisa menangkapmu sekarang juga kalau
aku mau!" sentaknya dengan mata mendelik berang.
"Mengapa tak kau tangkap"! Silakan tangkap
aku!" kata Soka sambil sodorkan kedua tangannya pertanda menyerah. Tapi Selir
Pamujan hanya men-dengus dan berpaling wajah tak mau memandang So-
ka Pura yang sunggingkan senyum menawan Itu.
Sebelum Soka bicara lagi, tiba-tiba Selir Pamu-
jan kerutkan dahi dan menelengkan kepalanya per-
tanda sedang mendengarkan suara yang samar-samar.
tangannya terangkat memberi isyarat agar Soka tidak bicara dulu. Soka pun ikut
kerutkan dahi dan pertajam pendengarannya.
"Aku mendengar suara orang dan langkahnya
yang terhuyung-huyung," bisik Selir Pamujan.
"Aku tak mendengar apa-apa," kata Soka lirih sambil masih mencoba pertajam
pendengarannya.
"Ikut aku!" kata Selir Pamujan, lalu perempuan itu berkelebat pergi. Soka Pura
terpaksa mengikuti gerakan si cantik beraroma wangian mawar itu.
Lagi-lagi telinga Soka menangkap suara tawa
seseorang dari langkah kaki yang terhuyung-huyung.
Suara tawa itu berada di balik kerimbunan semak se-
berang sungai yang tak seberapa lebar. Ia buru-buru menahan langkah Selir
Pamujan setelah pemilik suara tawa itu muncul di atas tanggul seberang sungai.
"Huuaah, haaah, haaah, hahhh, haaah hiaah,
haah, haahh, haahh, haaaaahhh...!"
Soka Pura segera berkata ketika Selir Pamujan
ingin memprotes genggaman tangan Soka di lengan-
nya. "Orang itu bernama iblis Bangor! Tak perlu kau curigai, sebab dia terkena
totokan Paman Blang Tawa yang sengaja membuatnya tertawa terus tiada henti.
"Kau mengenalnya?" "Aku dulu melawannya, membantu seorang sahabat. Kemarin, dia
ingin menuntut balas, lalu diserang oleh Paman Biang Tawa
dengan...."
"Tunggul Biang Tawa..."l Sepertinya aku pernah dengar nama Biang Tawa sebagai
salah satu' pengikut
setianya Betina Rimba."
"Memang benar. Tapi saat itu dia belum tahu.
bahwa Betina adalah pembantai keluarga ayahku. Se-
dangkan Blang Tawa sebenarnya adalah saudara se-
perguruan dengan ayahku."
Selir Pamujan segera perhatikan Iblis Bangor
yang jalannya terhuyung-huyung akibat tertawa sejak kemarin sore. Sesekali Iblis
Bangor menyandarkan diri dl pohon sambil pegangi perutnya yang terasa kaku
karena tawa geli itu. Wajahnya menjadi merah kebiru-biruan, namun la belum bisa
menghentikan tawanya
dan tak ada orang yang menolong melepaskan totokan
aneh itu. "Kasihan dial Sebaiknya kulepaskan totokan itu dari sini," ujar Selir Pamujan
yang ingin melepaskan totokan jarak jauh dari seberang sungai..
Tetapi ketika hal itu ingin dilakukan, tiba-tiba
sepasang sinar hijau berbentuk seperti bola sebesar genggaman tangan orang
dewasa meluncur ke arah
mereka. Sinar hijau itu datang dari arah samping mereka dan berkecepatan tinggi.
Ekor mata Soka melihat gerakan sinar hijau
tersebut. Ia segera berpaling dan berseru, "Awasss...!"
Tubuh Soka Pura melambung ke atas, semen-
tara Selir Pamujan terlambat mengetahui datangnya
sinar hijau tersebut. Ketika kedua sinar itu berada dalam jarak lima langkah
dari Selir Pamujan, saat itu Soka Pura cepat hantamkan pukulan dari udara berupa
dua sinar merah seperti piring berputar yang me-
mercikkan bunga api. Jurus 'Mata Bum!' itu akhirnya menghantam kedua sinar hijau
hingga terjadilah ledakan beruntun yang mempunyai daya sentak cukup be-
sar. Blegaar, blaaaarr...!
Selir Pamujan terlempar cukup kuat. Tubuhnya
jatuh menggelinding ke bawah tanggul sungai. Soka


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pura tak sempat selamatkan tubuh perempuan itu, ka-
rena ia segera sibuk hadapi serangan seorang pe-
rempuan berjubah hijau muda yang rambutnya dl-
sanggul rapi itu. Perempuan tersebut menerjang Soka Pura dengan melepaskan
jarum-jarum berwarna merah yang sangat berbahaya.
Soka Pura segera hindari jarum-jarum itu de-
ngan gulingkan tubuh ke tanah. sambil bergerak maju.
Gerakan bergulingnya berhenti tepat di depan kaki perempuan berjubah hijau yang
baru saja turun dari sa-tu lompatan. Seketika itu juga Soka segera lepaskan
Jurus Totok Pikun' yang hanya dimiliki olehnya, sedangkan Raka Pura tak memiliki
jurus tersebut. Des, des...! Dua totokan pada betis dan mata kaki perempuan
berjubah hijau itu telah membuat perempuan
tersebut jatuh. terpuruk bagai cucian basah jatuh dari tali jemuran. Sementara
itu, di seberang sungai sana, Iblis Bangor tertawa semakin keras dan terbahak-
bahak seakan menertawakan pertarungan tersebut. .
"Huaaaah, hhaaah, haaahhh, haaahhh...!" Suara itu sampai terdengar sangat serak
dan sepertinya dipaksakan untuk terlontar dari kerongkongannya.
Tubuh Iblis Bangor jatuh terduduk sampai memukul-
mukul tanah seperti orang yang sangat kegelian.
"Sial!" geram Soka Pura sambil melirik Iblis Bangor. Kemudian ia pandangi
perempuan berjubah hi-
jau yang tak lain adalah Tandu Sangrai itu. ia adalah perempuan yang tergila-
gila oleh cumbuan mesra Soka yang pernah diperolehnya di balik semak-semak
beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode : "Gua Mulut Naga").
"Lagi-lagi kau cari penyakit, Tandu Sangrai! Bukan salahku Jika akhirnya kau
mengalami nasib se-
perti ini!" ujar Soka Pura ketika Tandu Sangrai masih terkulai lemas bagai tanpa
tulang dan urat sedikitpun.
Soka Pura segera menuruni tanggul sungai, ia
mencemaskan keadaan Selir Pamujan yang masih ter-
kapar tanpa gerakan sedikit pun. Tubuhnya mengala-
mi luka memar, membuat kulit tubuh kuning langsat
itu menjadi biru legam. Luka itu akibat sentakan gelombang ledak yang tak bisa
dihindarinya lagi.
"Oh, dia pingsan"! Celaka! Tubuhnya bisa bu-
suk kalau tak segera ku sembuhkan. Tapi... sebaiknya kubawa ke tempat sepi agar
tak ada yang mengganggu
saat kulakukan penyembuhan nanti!"
Soka Pura segera memondong tubuh Selir Pa-
mujan. Suara tawa Iblis Bangor masih terdengar keras, tapi tak dihiraukan oleh
Soka Pura. Ketika ia naik ke atas tanggul, Tandu Sangrai telah bangkit.dan
berdiri dengan wajah linglung, ia memandangi alam sekelilingnya seakan merasa
asing dengan keadaan tersebut.
Soka Pura sengaja pandangi Tandu Sangrai se-
bentar untuk melihat reaksi perempuan berjubah hijau itu. Ternyata perempuan itu
menatap dengan bingung
dan merasa asing dengan wajah Soka Pura.
"Kang, di mana aku ini" Mengapa aku ada di
sini, Kang?"
Soka tersenyum geli. "Kau dipanggil gurumu
untuk pulang selekasnya!"
"Guruku" Oh, siapa guruku itu, Kang?"
"Mana aku tahu"! Pokoknya pulanglah sana!"
"Pulang ke mana" Tinggalku di mana, Kang"
Kau siapa sebenarnya" Lho... perempuan yang kau
pondong itu siapa, Kang" Bukan aku, kan"!"
"Bukan. Itu sahabatku yang sedang sakit. Aku
harus segera sembuhkan dia."
"Oo... kasihan, ya" Kalau begitu, lekaslah sembuhkan dia sebelum dia mati!"
"Terima kasih atas saran mu!"
Sambil menahan geli melihat Tandu Sangrai
linglung; Soka Pura segera tinggalkan tempat Itu. Tandu Sangrai sempat berseru
dari tempatnya.
"Kalau sudah selesai cepatlah kemari, ya Kang!"
Tentu saja seruan itu tak dihiraukan. Soka Pu-
ra bergegas membawa Selir Pamujan ke tempat yang
aman dari gangguan siapa pun. Ia menemukan sebuah
gua yang tak seberapa dalam. Gua itulah yang digunakan untuk sembuhkan Selir
Pamujan. Sekalipun tak
seberapa dalam, namun gua itu tampak bersih pertan-
da sering dipakai singgah para pengelana dari berbagai penjuru.
Ilmu penyembuhan yang dinamakan jurus
'Sam-bung Nyawa' segera digunakan oleh Soka Pura.
Tangan kirinya menempel di kulit dada perempuan itu.
Gumpalan dada yang tampak kencang itu sempat ter-
sentuh tepian telapak tangan dan menimbulkan debar-
debar tersendiri dalam hati Soka Pura. Debar-debar itu segera disingkirkan,
bayangan ngeres berhasil dibuang untuk sesaat. Soka Pura memusatkan
konsentrasinya pada hawa murni dan kekuatan inti gaib agar tersalur melalui telapak tangannya.
Beberapa saat kemudian, telapak tangan itu
memancarkan bias cahaya ungu. Makin lama tubuh
Selir Pamujan pun ikut memancarkan bias cahaya un-
gu, sampai akhirnya seluruh tubuh perempuan itu
bercahaya ungu. Pada saat tubuh Selir Pamujan sudah memancarkan cahaya ungu
secara rata, telapak tangan Soka segera ditarik dan cahaya ungu di tangan
Soka pun padam. Tapi cahaya ungu dl tubuh Selir
Pamujan masih berpendar-pendar.
Soka Pura meninggalkan tubuh yang meman-
carkan cahaya ungu berpendar-pendar itu. Jika luka
telah sembuh, kekuatan telah pulih kembali, maka cahaya ungu itu akan padam
dengan sendirinya. Jika
sudah begitu, maka Selir Pamujan akan segera siuman dan tak merasakan sakit atau
lemah sedikit pun.
Soka Pura memandang ke arah luar. Ia berdiri
tak jauh dari pintu gua. Tampak cahaya sore mulai
memancar dari langit, warna merah lembayung meng-
hiasi ufuk barat.
"Agaknya aku harus bermalam di sini. Sebaik-
nya aku mencari kayu bakar untuk penerangan nanti
malam. Hmmm... tapi, haruskah aku bermalam di sini
bersama Selir Pamujan" Bagaimana dengan kakak ku;
Raka dan Paman Biang Tawa" Mengapa mereka tidak
menyusul ku" Apakah mereka gagal selamatkan Hantu
Muka Tembok"!"
Soka Pura tak jadi bergegas mencari kayu ba-
kar. Ia khawatir usahanya akan sia-sia, karena harus segera tinggalkan gua itu.
Ia akan mencari kayu bakar jika Selir Pamujan tak keberatan untuk bermalam di
gua tersebut. Selir Pamujan segera siuman. Ia merasa tu-
buhnya menjadi segar, tak ada rasa sakit, tak ada kelelahan, tak ada luka perih
apa pun. Ia bahkan menggumam heran dalam hatinya.
"Mengapa badanku jadi sesegar ini" Sepertinya
aku tak pernah mengalami luka apa pun. Padahal
seingatku tadi aku seperti melihat cahaya yang meledak dan dadaku terasa jebol.
Setelah itu aku tak tahu lagi bagaimana nasibku. Hmmm... sekarang aku sudah
berada di dalam gua" Oh, Itu dia si tampan Soka. Past!
dia yang membawaku masuk ke gua ini dan... dan di-
akah yang menyembuhkan diriku?"
Pendekar Kembar muda sunggingkan senyum
ketika Selir Pamujan berdiri dan memandang ke arah-
nya. Perempuan itu sempat memeriksa pakaiannya se-
saat, sepertinya takut ada kenakalan yang dilakukan oleh si pemuda tampan itu.
"Aku hanya sembuhkan lukamu, tak sempat
menggagahi mu," ujar Soka yang mengetahui maksud kecurigaan Selir Pamujan itu.
la melangkah mendekati perempuan tersebut yang mencibir ketus setelah mendengar
kata-kata tadi.
"Siapa yang menyerang kita tadi?" tanyanya sambil melolos pedangnya untuk
mengencangkan selendang kuning yang menjadi Ikat pinggangnya itu.
"Kau kenal dengan nama Tandu Sangrai?"
"Hmm...! Diakah yang menyerang kita?"
Soka Pura anggukkan kepala.
"Keparat perempuan itu! Sekarang di mana dia"
Akan kuhajar sampai sekarat perempuan itu!" geram Selir Pamujan.
"Dia sudah pergi. Aku sudah berhasil mengu-
sirnya." "Aku akan mencarinya!"
"Tak perlu. Dia sudah lupa siapa dirinya, juga lupa pada diri kita. Ingatannya
akan pulih setelah tiga hari nanti."
"Tapi dia musuh lamaku! Aku muak dengan-
nya. Sayang mendiang guruku selalu tak izinkan aku
membunuhnya."
"Mengapa mendiang gurumu tak mengizinkan
kau membunuhnya?"
"Gurunya Tandu Sangrai adalah sahabat men-
diang guruku!" sambil berkata begitu, Selir Pamujan bergegas keluar dari gua.
"Hei, mau ke mana kau"!" sergah Soka sambil ikut keluar.
"Aku haus! Aku mau cari kelapa muda seben-
tar. Tetaplah di sini dan... carilah kayu bakar untuk nanti malam. Sebentar lagi
hari akan gelap, Soka!"
Pemuda berambut sebahu itu sunggingkan se-
nyum memandang! kepergian perempuan cantik yang
masih menenteng pedangnya di tangan kiri. Hatinya
ditaburi bunga-bunga indah saat mendengar perintah
mencari kayu bakar itu. Karena perintah itu menandakan bahwa Selir Pamujan ingin
bermalam di gua itu.
Maka Soka pun segera mencari kayu bakar
sambil berkata dalam hatinya, "Tentang Raka dan Paman Biang Tawa urusan nanti
saja! Pasti besok mere-
ka akan bertemu denganku. Raka tak mungkin me-
ninggalkan diriku jauh-jauh. Setidaknya dia akan menyusul ke arah kepergianku
dari tempat pertarungan
Hantu Muka Tembok dengan Selir Pamujan tadi. La-
ma-lama pasti sampai pula di sekitar tempat ini...."
Firasat Soka mengatakan bahwa dirinya akan,
menjadi lebih akrab lagi dengan Selir Pamujan. Sekalipun perempuan itu sering
bersikap ketus, tapi Soka
Pura yakin keketusan itu hanya sekadar lagak saja
agar tidak diremehkan oleh lawan Jenisnya.
Terbukti wajah cantik itu sudah mulai bisa ter-
senyum ketika mereka menikmati kelapa muda di da-
lam gua. Soka sempat tertegun kagum melihat senyum
Selir Pamujan yang memancarkan daya pikat sangat
kuat. Bahkan dengan polosnya Soka memuji senyu-
man itu tanpa rasa malu lagi.
"Senyuman mu sangat memikat. Hatiku berge-
tar kuat, Selir Pamujan. Kau memakai ilmu pelet, ya?"
"Enak saja! Kalau aku gunakan ilmu pelet, kau
tak akan diam saja seperti sekarang ini."
"Mengapa tak kau gunakan saja ilmu peletmu
itu" Biar aku tidak diam saja begini"!" pancing Soka.
Selir Pamujan hanya mencibir. Cibiran itu menggeli-
kan, membuat Soka tertawa dan Selir Pamujan menja-
di sunggingkan senyum mania. Hati Soka gemas, ingin mencubit pipi perempuan itu,
tapi ia berusaha menahan diri agar tidak dianggap kurang ajar.
"Jadi kau benar-benar tak tahu dl mana perem-
puan pembantai Itu?" Soka sengaja mengalihkan pembicaraan untuk menutupi hasrat
hatinya yang sebe-
narnya sudah tak sabar ingin mengecup bibir Selir
Pamujan yang mirip kue lapis legit itu.
"Aku benar-benar tak tahu di mana dia berada.
Memang aku ingin meminta bantuannya untuk me-
nyerang Bukit Gamping. Tapi kudengar Puri Cawan
Mesum telah hancur...."
"Aku dan kakakku yang menghancurkannya.
Tapi sang Pembantai itu melarikan diri entah ke ma-
na," potong Soka.
"Aku sendiri tak bisa memperkirakan ke mana
arah pelariannya. Yang jelas la belum tahu kalau guruku telah tewas. Sudah lama
kami tidak saling Jum-
pa." "Setidaknya kau punya kemungkinan kecil ten-
tang arah pelariannya, walau kemungkinan kecil itu
akan salah."
Selir Pamujan diam sesaat, sepertinya ia dilipu-
ti kebimbangan dalam mengambil sikap. Dl satu sisi, Betina Rimba adalah orang
yang pernah membuat-nya
bebas dari hukuman mati yang dijatuhkan oleh pemi-
lik puri itu sebelumnya, di satu sisi lain ia harus berhadapan dengan Soka Pura
yang tampan, gagah, dan
sering menghadirkan debar-debar indah dalam ha-
tinya. "Aku serba bingung jika begini. Sekalipun baru sehari kita bersama, tapi kau
sudah kuanggap seperti sahabat lamaku sendiri. Entah mengapa hatiku jadi
seperti itu, padahal biasanya aku tak mudah memper-
cayai seseorang dan menjalin persahabatan dengan
orang yang baru kukenal. Sedangkan Betina Rimba
adalah sahabatku juga dan aku berhutang budi pa-
danya. Ia pernah selamatkan nyawa ku walau hal itu
terjadi di luar kesengajaan."
Soka Pura mulai menyalakan api karena petang
telah datang. Sambil menyalakan api unggun, la ber-
kata bagai bicara pada dirinya sendiri.
"Seandainya dia tidak membantai seluruh ke-
luarga ayahku dan penduduk di pademangan itu,
mungkin aku dan kakakku tidak akan memburunya
sedemikian rupa."
"Aku bisa memahami perasaanmu," ujar Selir Pamujan saat Soka selesai menyalakan
api unggun dan duduk di sampingnya.
"Kalau memang kau tidak bisa membantuku,
ya sudahlah. Aku tak akan mendesak mu. Tapi aku
yakin dalam waktu singkat akan bisa bertemu den-
gannya dan mengirimnya ke neraka."
"Kau pasti kecewa padaku," ujar Selir Pamujan dengan suara lirih, tapi sambil
berpaling menatap So-ka. Pemuda itu pun memandangnya dan cepat-cepat
sunggingkan senyum agar tetap kelihatan ceria.
"Aku tak kecewa," ujarnya. "Hal yang membuat ku kecewa adalah jika kau pergi
meninggalkan diriku malam ini juga."
"Mengapa kau takut ku tinggalkan?"
Sambil tersenyum canda Soka menjawab, "Aku
takut tinggal di dalam gua sendirian pada malam hari.
Takut didatangi setan."
Selir Pamujan tertawa pelan sambil melengos
memandang nyala api unggun. Kejap kemudian ia ber-
paling lagi menatap Soka sambil berkata lirih.
"Bagaimana kalau ternyata setannya perempu-
an cantik" Apakah kau masih takut?"
"Asal secantik dirimu, aku tak akan pernah ta-
kut." "Dasar buaya!" Selir Pamujan menepak pelan pipi Soka, mirip sebuah colekan


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nakal. Soka justru
melebarkan senyum bersama tawanya yang mirip
orang menggumam. Tangan perempuan itu segera di-
genggamnya sebelum kembali ke tempatnya.
"Apakah kau akan meninggalkan aku di gua ini
sendirian?"
Selir, Pamujan diam sesaat, sengaja menatap
tanpa berkedip. Kemudian suaranya terdengar dengan
lirih. "Asal kau tak menjengkelkan diriku, aku tak mau meninggalkan dirimu."
"Kenapa begitu?"
"Aku butuh teman untuk mengusir duka di ha-
tiku atas kematian guruku."
Soka menempelkan tangan Selir Pamujan ke
pipinya, lalu sesekali bibirnya mengecup tangan itu dengan lembut dan mata masih
saling pandang. Suaranya semakin lirih dari yang tadi, .
"Apakah menurutmu aku pantas menjadi se-
orang teman penghibur hati?"
"Tergantung seberapa pandai kau menghibur-
ku." "Begitukah" Apakah kecupan ku di tanganmu ini adalah sesuatu yang
menghibur?"
Selir Pamujan anggukkan kepala sambil lebar-
kan senyum. "Bagaimana jika kecupan ini merayap sampai di
pipimu" Kau keberatan?"
Selir Pamujan gelengkan kepala.
"Kalau sampai ke bibirmu, kau bersedia?"
Perempuan itu anggukkan kepala sambil rasa-
kan kehangatan atas sentuhan bibir Soka di belakang telapak tangannya.
"Lakukan kalau kau merasa mampu menghibur
ku," ucap Selir Pamujan dengan suara seperti berbisik.
Soka Pura pun merayapkan kecupannya ke
lengan perempuan itu. Kecupan demi kecupan me-
rayap pelan-pelan dan hanya dipandangi Selir Pamu-
jan dengan jantung berdetak-detak. Ketika kecupan itu mendekati pundak, Selir
Pamujan sudah pejamkan
mata karena meresapi kehangatan yang terasa menja-
lar ke seluruh tubuh itu.
Akhirnya kecupan Soka mencapai leher dan Se-
lir Pamujan sengaja memiringkan kepala agar kecupan itu lebih leluasa lagi. Soka
Pura menggunakan kesempatan itu untuk memungut leher kuning langsat itu
dengan pagutan pelan. Bahkan lidahnya mulai menja-
lar seperti ular, menyapu permukaan leher hingga nyaris melingkari leher itu.
Kepala Selir Pamujan menggeliat membuka kesempatan agar kecupan indah itu me-
nyapu rata seluruh lehernya.
"Ouh, aaah... aaahmm...!"
Ciuman lembut itu semakin naik, menyusuri
tulang rahang dan merayap di pipi berkulit halus. Kemudian kecupan itu makin
bergeser sampai akhirnya
menyentuh bibir perempuan tersebut. Bibir itu dipagut pelan-pelan dengan tarian
indah yang menggelitik menimbulkan kenikmatan mendebarkan hati.
Selir Pamujan tak sanggup sebagai penerima
saja. Maka bibir dan lidah Soka pun dilumatnya de-
ngan penuh luapan gairah untuk bercumbu. Tangan-
nya mulai meraba dan meremas punggung Soka Pura
dengan napas terputus-putus karena kecupannya kian
memburu. Tangan Soka menelusup di balik baju perem-
puan itu. Kehangatan dari sepasang bukit sekal dan
montok itu mulai diraihnya. Tangan itu bermain den-
gan gerakan sangat lembut, seakan setiap sentuhan
membuat darah Selir Pamujan mengalir deras ke selu-
ruh tubuh. Soka Pura sengaja melepaskan kecupan bibir-
nya. Mulut itu merayap ke dagu, ke Leher, dan terus sampai ke belahan dada.
"Uuuuhhh...!" Selir Pamujan mengeluh panjang.
Tapi ia membiarkan tangan Soka mengeluarkan bukit
dari persembunyiannya. Selir Pamujan justru sandar-
kan punggung dan kepalanya ke batu dl belakangnya.
Ketika kecupan Soka menyapu perbukitan, Selir Pa-
mujan makin mengerang dengan menggigit bibir. Dan
ia, segera terpekik ditikam kenikmatan yang mengge-
tarkan jiwa sewaktu rasakan ujung bukitnya disantap oleh Soka Pura dengan
pagutan lembut yang seakan
ingin mencabut sukma.
"Ooouhhh...! Uuuuh...! Aaaah, nikmat sekali,
Soka.... Ssss, aaah...!"
Selir Pamujan semakin menggelinjang dibuat
kenikmatan. Ciuman Soka pun bertambah nekat,
sampai akhirnya Selir Pamujan lupa segala-galanya. Ia sudah telanjur hanyut
dalam pelayaran asmara yang
sangat indah yang membuatnya terbang ke puncak
berkali-kali. Kebahagiaan yang diperoleh-nya pada malam itu merupakan keindahan
yang tiada taranya. Tak heran jika Selir Pamujan akhirnya meminta Soka untuk
mengulang dan mengulangi lagi pelayaran itu.
Setelah memperoleh kebahagiaan sebegitu in-
dah dan besarnya, tiba-tiba hati Selir Pamujan merasa iba terhadap kegagalan
Soka mencari Betina Rimba.
Tiba-tiba juga hati Selir Pamujan merasa berada di pihak Soka Pura, sehingga
saat peluh mereka mengering dan sisa kelelahan masih menjalar di sekujur tubuh,
perempuan itu berkata dengan mata memandang lurus
ke langit-langit gua dan tubuhnya dibiarkan terpeluk oleh pemuda tampan itu.
"Tak ada salahnya Jika kau mencari Betina
Rimba ke Tebing Bencana!"
Soka Pura terkejut, apalagi ia pernah mendapat
penjelasan dari Biang Tawa tentang penguasa Tebing
Bencana. Soka segera melontarkan perasaan herannya
itu kepada Selir Pamujan.
"Mengapa tiba-tiba kau punya gagasan begitu?"
"Kenikmatan dan kepuasan yang kau berikan
padaku telah membuka ingatanku, bahwa Betina Rim-
ba kenal dengan Pangeran Laknat, si Penguasa Tebing Bencana itu. Siapa tahu dia
meminta bantuan kepada
Pangeran Laknat untuk menghadapimu, atau setidak-
nya minta perlindungan kepada Pangeran Laknat agar
bebas dari pengejaran mu."
Soka menggumam lirih sambil mulai berpikir
tentang buronannya lagi. Tetapi sebelum ia keluarkan pendapat, Selir Pamujan
lebih dulu berkata sambil
memiringkan badan, memeluk erat tubuh kekar ber-
dada bidang itu.
"Tapi sebaiknya jangan ke sana secara semba-
rangan. Bisa-bisa kau berhadapan dengan Pangeran
Laknat! Selidiki saja dulu secara rapi agar tidak membuat Pangeran Laknat murka
kepadamu."
Soka diam sambil bertanya dalam hati, "Benar-
kah dia ada di sana" Jika tidak ada di sana, lalu ke mana lagi si pembantai
itu?" * * * 6 RAKA PURA sempat merasa dongkol oleh adik-
nya. Seharian penuh ia dan Blang Tawa tak berhasil
temukan Soka, sampai akhirnya mereka bermalam da-
lam hutan. Esoknya, mereka meneruskan pencarian
sampai akhirnya bertemu dengan Tandu Sangrai.
"Lho, Kang... kau sudah ada di sini, Kang"!" tegur Tandu Sangrai kepada Raka
yang disangka Soka
Pura. Raka menjadi heran dan bingung sendiri. Blang Tawa menanyakan tentang
perempuan itu, Raka je-laskan bahwa perempuan itu pernah bertarung den-
gannya karena tindakannya yang keji, membunuh Ki
Mandura, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Gua Mulut Naga").
"Tapi dia mengenaliku dan tak pernah me-
manggilku dengan sebutan Kang"!"
Tandu Sangrai masih tampak seperti orang lin-
glung. Namun ia ingat tentang perempuan yang dipon-
dong Soka kemarin sore itu.
"Perempuan yang kau pondong Itu sudah sem-
buh, Kang?"
"Perempuan mana"!" tanya Raka.
"Ah, begitu saja lupa! Kau ini masih muda kok
sudah linglung, Kang" Itu lho... perempuan yang pakai baju ungu dan kau bilang
sedang sakit itu...! Bukankah kau membawanya pergi dan bilang mau mengoba-
tinya" Aku menunggumu di tanggul sungai sampai
malam tiba, tapi kau tidak kembali lagi, Kang."
Raka Pura semakin heran dan kecurigaannya
pun bertambah besar. la sempat mencoba mena-
nyakan dirinya.
"Kau kenal siapa aku?"
"Bagaimana mau kenal, habis kemarin kau tak
mau perkenalkan namamu. Mana aku kenal dengan-
mu, Kang?"
"Kau kenal dengan Soka Pura?"
"Soka Pura..."! Oh, itu makanan terbuat dari
singkong atau dari jagung, Kang?"
Blang Tawa menyahut dengan Jengkel, "Dari
batu!" "Ooh... dari batu?" Tandu Sangrai manggut-manggut.
Raka menahan senyum geli. Ia berbisik kepada
Biang Tawa, "Sepertinya ada yang tak beres pada dirinya. Ia bagai orang yang
kehilangan ingatannya."
Biang Tawa segera bertanya kepada Tandu
Sangrai, "Siapa namamu?"
"Namaku..." Hmmm... siapa, ya" Enaknya na-
maku siapa, Kang?"
"Jagung Rebus!" jawab Biang Tawa dengan
dongkol. "Jagung Rebus"! O, indah sekali nama itu,
Kang. Cocok untukku, ya"!"
"Wah, kacau...!" gumam Biang Tawa sambil
menjauh. Raka Pura dekati Biang Tawa.
"Paman, kurasa dia kemarin bertemu dengan
Soka, terbukti ia mengenaliku sebagai orang yang
membawa perempuan sakit berbaju ungu. Pasti aku
dianggapnya sebagai Soka."
"Perempuan berbaju ungu..." Bukankah si Selir
Pamujan berbaju ungu" Kalau begitu Selir Pamujan
sakit dan dibawa pergi oleh Soka untuk disembuh-
kan?" "Dugaanku mengatakan begitu, Paman. Dan...
sepertinya Soka sempat bentrok dengan Tandu San-
grai. Past! Soka menggunakan jurus 'Totok Pikun'.
Hanya dia yang memiliki jurus 'Totok Pikun'. Dan jurus itu membuat orang lupa
ingatan, bahkan lupa pa-
da dirinya selama tiga hari."
Setelah menggumam dan manggut-manggut,
Biang Tawa segera dekati Tandu Sangrai yang sedang
mengamati setangkai bunga liar di semak-semak, sea-
kan ia heran sekali melihat bunga berwarna kuning
kemerahan itu. "Hel, di mana kau bertemu dengan pemuda itu
kemarin?" sambil Biang Tawa menuding Raka yang dianggap Soka itu.
"Kemarin kami bertemu di tanggul sungai."
"Di mana letak sungai?"
"Hmmm... kalau tak salah dl sebelah sana! Ta-
nyakan saja pada dia, atau suruh dia mengantarkan
kau ke sungai, dia pasti tahu letak sungai itu!"
Biang Tawa segera mengajak Raka tinggalkan
Tandu Sangrai. Mereka bergegas ke arah yang di tun-
jukkan Tandu Sangrai. Ternyata mereka memang me-
nemukan sungai bertanggul tinggi itu.
"Aneh," gumam Blang Tawa. "Jika perempuan itu terkena jurus 'Totok Pikun',
mengapa ia ingat tentang arah sungai dan perempuan sakit berbaju ungu
segala?" Jurus itu hanya menghapus Ingatan masa lalu.
Tapi peristiwa yang terjadi pada saat telah tertotok, tetap diingatnya."
"Oo, begitu"!" Blang Tawa manggut-manggut.
"Tak ada salahnya kalau kita coba mencari So-
ka menyusuri sungai ini, Paman!"
"Aku baru mau berkata begitu, kau sudah
mendahuluinya! Kau mencari di seberang sana, aku
mencari di seberang sini!"
Namun sebelum mereka berpencar, tiba-tiba
sekelebat bayangan meluncur dari atas pohon dan
menerjang Raka Pura. Weees...!
Tangan Raka Pura segera berkelebat menang-
kis, dan ternyata sebuah tendangan kuat hampir saja kenai kepalanya jika Raka
tidak cepat berpaling dan menangkisnya. Plaaak...! Sentakan tangan itu bertenaga
dalam cukup besar, sehingga tubuh yang melayang
itu terpelanting dan nyaris jatuh menggelinding ke bawah tanggul. Untung orang
tersebut cepat menangkap
sebatang akar pohon yang menjulur bagaikan tam-
bang, sehingga ia tak sampai menggelinding ke bawah tanggul.
Raka Pura kerutkan dahi tajam-tajam karena ia
merasa tak pernah kenal dengan lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang
mengenakan pakaian kuning
emas itu. Namun Blang Tawa cepat kenali lelaki itu
sehingga ia segera tampil lebih depan dari Raka dan menyapa lelaki bersenjata
cambuk itu. "Kalau tak salah kau adalah si Wisnu Galang,
murid Hantu Muka Tembok!"
"Ternyata mata tuamu belum rabun! Aku me-
mang murid Hantu Muka Tembok yang bernama Wis-
nu Galang!" jawabnya dengan tegas dan berapi-api, wajahnya memancarkan hasrat
untuk membunuh.
Bahkan ia segera mencabut cambuknya dari pinggang.
Namun tangan Biang Tawa segera ter-angkat untuk
menahan gerakan Wisnu Galang.
"Tunggu dulu! Apa persoalannya sehingga kau
menyerang kami, Wisnu Galang"!"
"Aku tidak menyerangmu, Onde-onde!" ejek
Wisnu Galang kepada Biang Tawa yang tampak gemuk
bundar mirip makanan onde-onde isi kacang hijau itu.
"Aku punya urusan sendiri dengan pemuda
berpakaian putih itu. Dia pasti si Pendekar Kembar
yang sering dibicarakan orang sesuai dengan ciri pakaian dan pedang kristalnya
Itu!" "Benar. Aku memang Pendekar Kembar; Raka
Pura, namaku!" sahut Raka tegas. "Tapi aku merasa baru kail Ini bertemu
denganmu, Wisnu Galang!"
"Tentu saja, karena kau pendekar yang bodoh,
tak bisa mengenali murid lawanmu ini! Sekarang aku


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak mau banyak bicara! Aku harus menuntut balas
padamu, Pendekar Kembar! Heeeeh...!"
Tiba-tiba Wisnu Galang lecutkan cambuknya ke
arah Raka Pura. Ctaar...! Ujung cambuk panjang itu
menyabet kepala Raka, namun pemuda tampan ber-
baju putih itu berhasil hindari cambuk tersebut de-
ngan merundukkan kepala serendah mungkin. Begitu
kepala tegak sedikit, Raka segera lepaskan pukulan
tenaga dalamnya dengan kedua tangan mengepal dan
menyentak ke depan. Dari kepalan kedua tangan itu
keluar tenaga dalam tanpa sinar yang dapat di pakal menumbangkan pohon.
Wuuuk...! Hawa padat itu
menghantam perut Wisnu Galang dengan kuat dan
membuat tubuh pemuda itu terlempar menggelinding
ke bawah tanggul. Wuuusss...!
"Aaakh...!" Wisnu Galang memekik kesakitan dengan suara tertahan Pernafasannya
menjadi sesak, perutnya seperti kejatuhan batu sebesar kerbau. Jurus Tangan Batu' itu memang
tidak membuat tewas lawan,
namun membuat tubuh lawan seperti ditimpa batu se-
besar kerbau. Lawan menjadi pucat karena nafasnya
sesak dan menahan rasa sakit dl sekujur tubuh.
"Tinggalkan saja dia, Raka! Jangan ladeni, nan-
ti kita berurusan Lagi dengan Hantu Muka Tembok.
Pertolonganmu kemarin menjadi sia-sia baginya."
Sebenarnya Raka setuju dengan saran Blang
Tawa. Tetapi tiba-tiba tubuh Wisnu Galang melambung ke atas dan berjungkir balik
dengan cepat, sehingga dalam waktu sekejap ia sudah mencapai tanah di atas
tanggul. Jleeeg...! Raka Pura dan Biang Tawa sedang melangkah tinggalkan tempat
itu. Rupanya Wisnu Galang berhasil kerahkan ha-
wa murninya sehingga dapat menahan rasa sakit aki-
bat jurus 'Tangan Batu'-nya Raka tadi. Kini kekuatannya pulih kembali dan segera
lecutkan cambuknya de-
ngan tenaga dalam tersalur pada cambuk tersebut.
"Berhenti kau, Jahanam!"
Ctaaar...! Pendekar Kembar itu segera memutar tubuh
sebelum terdengar suara lecutan. Ketika cambuk itu
keluarkan suara keras sambil memercikkan sinar kun-
ing, Raka Pura segera sentakkan telapak tangan ka-
nannya. Wuuut...! Dari telapak tangan itu keluar sinar merah bagai piringan
berputar yang memercikkan
bunga api. Craaap...! Maka jurus 'Mata Bumi itu pun menghancurkan sinar kuning
yang keluar dari ujung
cambuk tersebut.
Blegaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi, menggema ke mana-
mana, menggetarkan tanah tanggul dan pepohonan
sekitarnya. Tubuh Raka terdorong mundur oleh ge-
lombang ledakan yang menyentak kuat itu. Ia tak tahu di belakangnya ada Biang
Tawa, sehingga tubuhnya
menabrak Biang Tawa. Brrruk...!
"Kampreet...!" maki Biang Tawa yang segera terjungkal ke belakang dan
menggelinding jatuh ke ba-
wah tanggul. "Setan kurap kalian, aaaah...!" seru Biang Tawa pada saat menggelinding.
Sementara itu, Wisnu Galang sendiri terpelant-
ing nyaris jatuh jika tidak tertahan sebatang pohon yang tumbuh miring ke lereng
tanggul. "Wisnu Galang! Ku ingatkan padamu, jangan
bikin masalah denganku! Kita tak punya persoalan
apa-apa, mengapa harus bermusuhan"!"
"Pengecut!" seru Wisnu Galang, "Kau adalah pembunuh yang pengecut! Tak berani
mengakui tindakanmu dan bersembunyi di balik topeng kesucian!"
"Apa maumu sebenarnya"!" bentak Raka de-
ngan Jengkel. "Mencabut nyawamu sebagai ganti nyawa guru
ku!" balas Wisnu Galang berteriak.
"Siapa yang membunuh gurumu"! Gurumu be-
lum mati!" seru Biang Tawa setelah lakukan lompatan beberapa kali dan mencapai
tanah atas tanggul.
"Kalian tak perlu berpura-pura di depanku! Kau telah membunuh guruku, Pendekar
Kembar! Sekarang
aku menuntut bales atas kematian guruku. Nyawamu
harus ku cabut sebagai upah tindakanmu itu!"
"Tunggu dulu!" sergah Raka Pura. "Agaknya benar-benar ada salah paham di antara
kita!" Biang Tawa berseru dengan jengkel pula. "Siapa yang mengatakan bahwa Raka Pura
telah membunuh Hantu Muka Tembok"!"
"Betina Rimba yang memergoki tindakan keji
itu!" Raka terkejut, demikian pula Biang Tawa. Kini lelaki pendek bundar
berpakaian abu-abu itu justru
tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh, heh, heh, heh! Rupanya ini siasat licik si Betina Rimba!"
Raka Pura makin marah kepada Betina Rimba,
namun karena tak bisa dilampiaskan maka ia hanya
menarik napas dalam-dalam. Menyimpan kemarahan
itu di dadanya.
"Wisnu Galang, kita telah diadu domba oleh Be-
tina Rimba. Gurumu masih hidup. Kemarin kami ber-
temu dan segera berpisah karena Hantu Muka Tembok
ingin mencari muridnya. Mungkin kaulah yang dimak-
sud." "Omong kosong! Kau hanya ingin menghindari balas dendam ku, Keparat!
Sekarang terima saja ajal-mu melalui jurus 'Pecut Leak' ini! Hiaaaah...!"
Cambuk itu pun segera berkelebat tanpa dipu-
tar di atas kepala lebih dulu. Gerakan cambuk bukan menyamping tapi dari bawah
ke atas dan ke bawah La-gi.
Glegaarr...! Tujuh sinar merah keluar dari ujung cambuk.
Ketujuh sinar merah berbentuk panah itu menyerang
Raka Pura secara serempak dalam posisi melebar.
Weeerrs...! "Hindari...!" teriak Biang Tawa sambil ia sendiri lompat ke satu arah tapi
terpeleset hingga terguling-guling lagi ke bawah tanggul.
Raka Pura pergunakan ilmu peringan tubuhnya
yang dinamakan Jurus 'Badal Terbang'. Dengan me-
nyentakkan napas yang segera tertahan tubuhnya su-
dah dapat melambung sendiri ke atas dengan cepat,
melebihi kecepatan sinar merah itu sendiri. Wuuuus...!
Ketujuh sinar tersebut tiba-tiba hancur sebelum
menghantam pohon besar yang ada dl belakang Raka
Pura saat berdiri.
Jlegaaar...! Tanah dan pohon menjadi rompal. Pohon itu
rusak berat, tanahnya bagai menyembur ke atas akibat ledakan dahsyat itu.
Seberkas sinar biru panjang telah menghantam
ketujuh sinar merah tersebut yang mengakibatkan le-
dakan dahsyat tadi. Sementara itu, Raka Pura dalam
keadaan berdiri di atas dahan pohon dan memandang
ke bawah. Bukan Wisnu Galang yang dipandang, tapi
seseorang yang tiba-tiba muncul tak jauh dari tempat Raka berdiri tadi. Wisnu
Galang pun pandangi orang
yang baru datang dan menghancurkan ketujuh sinar
merahnya dengan sinar biru panjang itu. Orang tersebut tak lain adalah si tua
Hantu Muka Tembok.
"Guru..."!" Wisnu Galang berseru dengan sangat kaget. Bola matanya melebar,
seakan ingin loncat keluar karena kagetnya.
Wuuut, jleeg...! Raka Pura meluncur turun dari
pohon dan segera pandangi Wisnu Galang yang hampi-
ri gurunya dengan wajah tegang.
"Guru, kau masih...."
Plaaaak...! Tamparan keras diterima Wisnu Galang dari
tangan gurunya. Tamparan itu membuat Wisnu Ga-
lang melintir lalu jatuh berlutut di bawah pohon. Wajah Wisnu Galang menjadi
merah bagaikan kepiting
rebus akibat tamparan sang guru tadi.
"Murid bodoh!" bentak Hantu Muka Tembok.
"Mengapa kau menggunakan jurus maut itu untuk melawan Raka Pura"! Kau ingin
membunuh orang yang
telah berjasa selamatkan nyawa gurumu ini, hah"!"
"Mma... maaf, Guru...," Wisnu Galang mengge-ragap. "Kusangka Guru sudah tewas
di...." Plaaak...! Tamparan keras diterima lagi oleh
Wisnu Galang. "Murid lancang! Guru masih hidup dikatakan
sudah tewas! Kau menyumpahi diriku biar cepat ma-
ti"!"
"Ampun, Guru! Ampun...! Aku tidak menyum-
pai Guru, hanya mengharapkan agar Guru... eh, mak-
sudku... aku mendapat kabar bahwa Guru telah tewas
dibunuh oleh Pendekar Kembar. Maka aku terpaksa
memburu Pendekar Kembar untuk membalas den-
dam!" "Buka matamu lebar-lebar! Aku belum mati!"
"Iya, kok bisa belum, ya" Eh, anu... maksudku, kenapa Guru masih hidup?"
"Jadi seharusnya aku sudah mati"! O, rupanya
kau senang kalau gurumu cepat mati, ya?"
"Bukan begitu, Guru! Bukan begitu. Ampun,
Guru... maksudku, mengapa ada orang mengatakan
bahwa Guru sudah tewas, sehingga aku marah besar
kepada Pendekar Kembar itu!"
"Siapa yang mengatakan begitu"!"
"Betina Rimba, Guru!" jawab Wisnu Galang
sambil gemetaran walau nadanya dibuat tegas.
"Perempuan busuk dia itu!" geram Hantu Muka Tembok.
"Memang busuk sekali, Guru!"
"Siapa yang busuk"!"
"Guru, eh... perempuan itu! Hmmm, ya... pe-
rempuan itu busuk sekali mulutnya Guru! Tapi dia
hangat dan...."
"Hangat"!" sentak Hantu Muka Tembok yang
membuat Wisnu Galang segera menyadari kegugupan-
nya telah membuat rahasia kencan dengan Betina
Rimba. "Maksudku, eeeh, anu...."
"Jadi kau telah merasakan kehangatan gairah
sang Pembantai itu"!" kata Raka kepada Wisnu Ga-
lang. "Pantas kau percaya dengan fitnahnya, rupanya kau telah mendapatkan
kehangatan dari si Pembantai
itu!" ujar Biang Tawa menimpali nya. Wisnu Galang semakin salah tingkah
dipandangi gurunya dengan tajam. "Di mana kau jumpa dengannya, Wisnu?" tanya
Raka Pura. "Dia sedang menuju ke Tebing Bencana," jawab Wisnu Galang pelan, karena diliputi
rasa takut kepada sang guru. Tetapi jawaban itu mengejutkan Raka Pura dan Blang
Tawa. Keduanya saling pan-dang dengan
wajah menegang.
"Kurasa dia meminta bantuan Pangeran Laknat
untuk menghadapi kalian berdua, Pendekar Kembar!"
ujar Blang Tawa berani menyimpulkan dengan pasti.
"Raka Pura," ujar Hantu Muka Tembok.
"Sayang sekali aku tak bisa banyak membantu dalam perkara mu dengan Betina
Rimba! Ada sesuatu yang
harus segera kulakukan bersama muridku ini. Kuha-
rap kau mampu mengatasi segala kesulitan dan ba-
haya yang datang menyerangmu!"
"Terima kasih atas sikap baikmu, Hantu Muka
Tembok. Maafkan, aku tadi telah sempat menghajar
muridmu!" "Tak apa. Dia memang murid yang patut diha-
jar!" Jawab Hantu Muka Tembok, lalu ia berkata kepada muridnya.
"Wisnu Galang, kita harus pulang sekarang ju-
ga! Sebentar lagi purnama akan tiba. Kau harus ber-
siap menerima jurus baru dariku!"
"Balk, Guru!"
"Minta maaf dulu kepada Pendekar Kembar!
Lain kali jangan berlagak Jago. Ilmumu belum sebe-
rapa dibandingkan Pendekar Kembar!"
"Jangan berkata begitu, Hantu Muka Tembok.
Ilmuku dan ilmu muridmu sama tingginya. Hanya
mungkin hari ini aku memperoleh keberuntungan bisa
menghajar muridmu dengan jurus kecil-kecilan tadi!"
Setelah Wisnu Galang meminta maaf kepada
Raka Pura, ia pun pergi bersama gurunya. Raka Pura
sempat ajukan tanya kepada Biang Tawa yang selama
ini sering menjadi penasihat atau teman bertimbang
rasa. "Apakah kita perlu mencari Soka, atau langsung menuju ke Tebing Bencana,
Paman?" "Sudah kubilang, jangan gegabah memasuki wi-
layah Tebing Bencana! Sebaiknya kau rundingkan du-
lu dengan adikmu."
"Kalau begitu, kita cari dulu si bandel Soka Pu-ra itu!" Mereka tak jadi
melangkah, karena tiba-tiba mereka mendengar suara tawa di kejauhan sana.
"Huaaah, hhaah, haaahh, haaah, haaaaa...!
Huuah, haahh, haahhh, haahh, hhahh...!"
"Iblis Bangor! Itu past! suara si Iblis Bangor yang terkena Jurus totok 'Monyet
Gembira'-mu, Paman." "Memang. Tapi biarlah ia tertawa sepuas-puasnya
menertawakan nasib dirinya sendiri. Terlalu jauh untuk dihampiri. Cari dulu
adikmu dan berun-dinglah secepatnya sebelum Betina Rimba berhasil
mempengaruhi Pangeran Laknat!" ujar Biang Tawa yang agaknya merasa cemas jika
sampai Betina Rimba
berhasil pengaruhi si Pangeran Laknat. Dalam hati
Blang Tawa juga merasa takut Jika Pangeran Laknat
memihak Betina Rimba. Karena menurut perkiraan Bi-
ang Tawa, kedua pemuda tampan bergelar Pendekar
Kembar itu belum tentu mampu tumbangkan kesak-
tian Pangeran Laknat, karena mendiang guru si Biang Tawa sendiri; Resi
Pangkayon, pernah dikalahkan oleh Pangeran Laknat dalam suatu pertarungan
pribadi. Tetapi Raka Pura tak menampakkan rasa ce-
mas atau gentar sedikit pun. Bahkan ia sempat berka-ta kepada Blang Tawa sambil
mencari Soka Pura me-
nyusuri sungai.
"Jika memang Pangeran Laknat turun tangan
memihak Betina Rimba, adalah suatu hal yang sangat
kebetulan sekali bagiku dapat bertarung melawan
orang yang dikenal sebagai tokoh sakti beraliran hitam itu. Mudah-mudahan Betina
Rimba berhasil mempengaruhi Pangeran Laknat, sehingga kami bisa bertemu.
Soka akan disuruh habisi riwayat si Betina Rimba, aku akan habisi riwayat hitam
Pangeran Laknat itu!"


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan aku akan menonton pertarungan mu dari
kejauhan. Jauh sekali!" ujar Biang Tawa membuat Ra-ka tersenyum geli.
"Mengapa harus dari kejauhan?"
"Karena jurus-jurus maut si Pangeran Laknat
Jika melesat dari sasaran dapat mencelakakan orang
di sekitar tempat itu."
Raka Pura semakin lebarkan senyum. Ia justru
merasa mendapat semangat untuk melawan tokoh se-
sat itu, sehingga hatinya tak sabar ingin segera menuju ke Tebing Bencana.
* * * 7 BETINA RIMBA ternyata memang ingin meman-
faatkan kekuatan Pangeran Laknat untuk melawan
Pendekar Kembar. Mulanya ia diterima oleh Pangeran
Laknat sebagai tamu biasa. Betina Rimba pun utara-
kan maksudnya untuk meminta bantuan Pangeran
Laknat dalam melawan Pendekar Kembar.
"Urusanmu dengan Pendekar Kembar adalah
urusan pribadimu sendiri, Betina Rimba. Kurasa terla-lu sia-sia jika aku harus
ikut campur di dalam-nya,"
kata lelaki yang sudah tua tapi masih seperti berusia dua puluh tujuh tahun itu.
Rupanya Betina Rimba tak berhasil membujuk
Pangeran Laknat untuk ikut menghadapi Pendekar
Kembar. Akhirnya, perempuan itu berkata dengan se-
cara blak-blakan.
"Kalau begitu, dapatkah kau menolong untuk
hal lain, Pangeran Laknat"!"
"Pertolongan apa lagi yang kau inginkan?"
tanya lelaki berwajah tampan dengan alias tebal, hidung mancung dan bibir tampak
merah jambu menye-
garkan bag! ukuran bibir lelaki itu.
"Izinkan aku bersembunyi di sini untuk semen-
tara waktu."
"O, kalau soal itu tak jadi masalah bagiku. Kau boleh tinggal di sini, tapi
harus membantu orang-orangku dalam menghadapi tugas-tugasnya."
"Aku bersedia!" Jawab Betina Rimba.
Waktu itu hari telah malam, dan suasana sepi
makin mencekam. Betina Rimba segera tanyakan
ruang beristirahatnya.
"Di mana aku tidur?"
"Terserah! Kau kubebaskan memilih ruang ti-
durmu sendiri."
"Bagaimana jika di kamarmu?" pancing Betina Rimba. Pangeran Laknat yang bermata
kebiru-biruan itu memandang dengan sorot pandangan mata dingin.
Senyumnya sangat tipis, berkesan sinis. Rambutnya
yang panjang punggung bergelombang tetap diikat ke
belakang mirip perempuan. Kumisnya yang tipis den-
gan cambang samar-samar berkesan halus dan lem-
but, sempat diusapnya sesaat sebelum akhirnya ia
menjawab pertanyaan Betina Rimba tadi.
"Kau boleh tidur di kamarku, tapi kau harus tidur di lantai. Tak boleh satu
ranjang denganku."
"Kurasa memang seharusnya begitu," Jawab
Betina Rimba merendahkan diri, tapi ia punya rencana lain dalam benaknya.
Di kamar itu, Betina Rimba yang hanya menge-
nakan penutup dada dan cawat kecil bertali rantai
emas imitasi itu benar-benar tidur di lantai beralaskan tikar. Tapi ia sengaja
tidur dengan merentang-kan kedua kakinya yang menghadap ke arah ranjang Pange-
ran Laknat. Lelaki berjubah merah itu telah melepaskan ju-
bahnya, ia tidur dengan hanya mengenakan penutup
bawah yang terbuat dari kain halus.
Pandangan mata lelaki itu sebentar-sebentar
tertuju kepada tubuh sekal dan montok yang tergolek di lantai. Betina Rimba
sengaja menggodanya dengan
berlagak tertidur tapi kedua kakinya terbuka.
Pangeran Laknat tak tahan menghadapi godaan
tersebut, akhirnya ia memanggil Betina Rimba, Satu
kali panggilan saja Betina Rimba telah bangun dan paham betul apa yang
diinginkan Pangeran Laknat.
"Tidurlah di ranjang ku."
"Aku tak pantas tidur di ranjang," Jawab Betina Rimba. "Dekatlah kemari,
Betina!" Betina Rimba mendekati ranjang, Pangeran
Laknat masih berbaring di tepi ranjang. Tangannya segera meraih kain kuning
pembungkus 'mahkota' Beti-
na Rimba itu. "Kalau kau bisa memuaskan jiwaku malam ini,
aku mau membantumu menghadapi Pendekar Kem-
bar!" ujar Pangeran Laknat sambil tangannya dibiarkan menelusup di balik kain
kuning kecil itu.
"Kecuplah aku, Betina...."
Senyum perempuan itu mekar dengan ceria. Ia
pun segera mencium wajah Pangeran Laknat. Lumatan
bibir Betina Rimba dibuat sedemikian lembut dan
nikmatnya supaya Pangeran Laknat merasa puas.
Bahkan Betina Rimba rela menjadi seekor kuc-
ing yang memandikan anaknya. Sekujur tubuh Pange-
ran Laknat disapu habis oleh lidahnya, membuat Pan-
geran Laknat bagai diterbangkan ke awang-awang
"Oh, nikmat sekali sentuhan lidahmu Betina.
Teruskan di situ. Jangan ke mana-mana dulu. Oouh,
yaaah...!"
Betina Rimba akhirnya menjadi pelayan cinta.
Malam itu ia kerahkan seluruh kemampuan bercin-
tanya hingga sang Pangeran benar-benar merasa di-
manjakan oleh Betina Rimba. Kelincahan lidah Betina Rimba selalu menyerang
tempat-tempat peka di tubuh
Pangeran Laknat. Kemampuan goyang pinggulnya dis-
ajikan seindah mungkin, sehingga Pangeran Laknat
terbeliak-beliak sambil menghamburkan desah napas
kenikmatan. Bahkan Betina Rimba mampu mener-
bangkan Pangeran Laknat ke puncak keindahan ber-
cumbu sampai beberapa kali. Hal itu membuat Pange-
ran Laknat benar-benar merasa puas dan terkagum-
kagum oleh kepiawaian Betina Rimba dalam menga-
rungi samudera cinta.
Pangeran Laknat tak tahu, bahwa Betina Rimba
menggunakan aji 'Mantra Birahi' pemberian Ratu
Cumbu Laras dulu, di mana setiap aji 'Mantra Birahi'
diucapkan dalam hati, maka pria yang ada tertarik untuk bercumbu, gairahnya
terbakar kembali dan me-
nuntut puncak keindahan.
Hanya saja, dulu ketika Betina Rimba merayu
Raka agar mau diajak bercumbu, aji 'Mantra Birahi' itu tak mempan dan gagal
menggugah birahi Raka. Sehingga ia sempat menyangka aji 'Mantra Birahi' telah
sirna dari dirinya. Ia tidak tahu bahwa Raka mempunyai kekuatan penolak aji dan
mantra seperti itu, berupa pengendalian inti gaib yang disalurkan ke pusat
kejantanannya. "Baru sekarang ada perempuan yang dapat
membuatku sangat bahagia dalam bercinta. Kaulah
perempuan itu, Betina!" ujar Pangeran Laknat. "Kurasa, gairah ku tak akan dapat
timbul lagi di depan perempuan mana pun, selain di depanmu!" "Kau suka,
Pangeran?"
"Sangat suka!" jawab Pangeran Laknat. "Rasa-rasanya aku perlu melindungimu dari
ancaman si Pendekar Kembar itu."
"Lenyapkan mereka, maka aku bersedia men-
jadi budak cinta mu, Pangeran. Aku akan selalu slap melayanimu kapan saja kau
membutuhkan kehangatan tubuhku!"
"Keparat! Akan kuhancurkan si Pendekar Kem-
bar itu untuk mendapatkan kenikmatan yang tiada
bandingnya ini! Esok akan kucari mereka dan kau ha-
rus Ikut agar dapat, melihat kepala mereka mengge-
linding di depan kakimu!"
"Jangan kecewakan aku, Pangeran. Gairah ku
akan lenyap jika kau gagal membantai mereka!"
"Aku tidak akan gagal selama kau ada di de-
panku dan menjadi pemacu semangatku dalam me-
menggal kepala Pendekar Kembar!"
Betina Rimba sunggingkan senyum kegembi-
raan. Hatinya merasa lega, karena ia telah berhasil menjerat Pangeran Laknat
dengan kepandaian bercinta nya. Rasa-rasa saat itu juga ia ingin segera bertemu
dengan Pendekar Kembar dan melihat kedua pemuda
kembar itu tumbang di tangan Pangeran Laknat.
"Tak ada ruginya aku menjadi pendamping hati
Pangeran Laknat, gagal ataupun tidak, kurasa menjadi pendamping Pangeran Laknat
merupakan suatu ke-banggaan dan kebahagiaan tersendiri" pikir Betina Rimba.
Esoknya, Pangeran Laknat perintahkan beberapa orangnya untuk ikut mencari
Pendekar Kembar.
Sang Pangeran sendiri ikut mencari dengan menggu-
nakan kuda hitam yang tampak kekar dan perkasa.
Betina Rimba sendiri menunggang kuda yang selalu
bersebelahan dengan Pangeran Laknat.
Pencarian mereka bagaikan harapan yang ter-
kabul. Pada waktu itu, Raka Pura tiba di perbatasan Tebing Bencana. Kehadirannya
diketahui oleh penjaga yang bertugas mengintai keadaan perbatasan. Ia segera
melaporkan kemunculan dua orang sebelum Pange-
ran Laknat tinggalkan Istananya yang dibangun di lereng terjal itu.
"Seorang pemuda berpakaian serba putih, de-
ngan rambut panjang tanpa ikat kepala, wajah tam-
pan, ikat pinggang merah berpedang indah, telah me-
masuki wilayah perbatasan kita, Pangeran!"
Betina Rimba segera menyahut, "Itu ciri-ciri
Pendekar Kembar!"
"Pucuk di cinta ulam pun tiba!" gumam Pangeran Laknat dengan wajah dinginnya.
"Kepung mereka dan jangan ada yang menyerang. Biar aku yang menanganinya!"
Raka Pura sendiri sudah diingatkan oleh Biang
Tawa, "Kita telah memasuki wilayah Tebing Bencana.
Hati-hati, jangan terlalu dekat Istananya."
"Bukankah tujuan kita memang menemui Pan-
geran Laknat" Mengapa tak boleh mendekati ista-
nanya"!"
"Aku... terus terang saja, aku deg-degan seka-
rang ini, Raka! Bagaimana kalau aku menunggumu di
luar batas wilayah saja?"
"Mengapa kau tiba-tiba jadi pengecut, Paman"
Bukankah kau punya jurus 'Monyet Gembira'" Serang
saja para cecunguk Pangeran Laknat dengan jurusmu
itu biar mereka tertawa semua!"
"Tak semudah ucapanmu, Raka. Sebab...." Biang Tawa hentikan ucapannya karena
tiba-tiba dari atas beberapa pohon meluncurlah sosok-sosok manu-
sia berpakaian hitam dan berwajah tampan. Mereka
masih tampak muda, seusia dengan Raka Pura dan
berbadan kekar. Gerakan mereka tampak lincah dan
gesit. Lebih dari sepuluh orang yang turun dari beberapa pohon itu, langsung
mengepung Raka dan Biang
Tawa. "Berhenti!" sentak salah seorang dari mereka.
"Wah, celaka! Belum sempat selesai mengatur siasat sudah terkepung!" gumam Biang
Tawa dengan hati dongkol.
"Apakah mereka orangnya Pangeran Laknat?"
"Benar! Ini berarti bencana akan segera datang menimpa kita," bisik Biang Tawa
dengan hati berdebar-debar. Raka Pura segera berseru, "Mau apa kalian"!"
Tak satu pun pengepung bersenjata aneka ma-
cam itu yang lontarkan jawaban kepada Raka. Mereka
hanya memandang penuh kewaspadaan dengan sikap
siap hadapi serangan lawan.
Suara derap kaki kuda terdengar mendekati
mereka. Biang Tawa segera memandang ke arah dua
ekor kuda yang menuju ke tempatnya terkepung.
Blang Tawa cepat berbisik tegang.
"Raka, lelaki berjubah merah itulah yang berna-ma Pangeran Laknat! Gawat! Dia
langsung turun ta-
ngan dan... hei, kelihatannya ia bersama Betina Rim-ba!"
"Benar! Paman tak perlu khawatir. Aku akan
menghadapinya dengan Pedang Tangan Malaikat ini!"
Namun sebelum Pangeran Laknat dan Betina
Rimba tiba di tempat pengepungan, tiba-tiba seberkas cahaya merah bagai piringan
berputar melesat dan
menghantam Betina Rimba. Ciaaap, weerrs...!
Blegaaarr..!. Ledakan besar terjadi ketika Pangeran Laknat
melihat kelebatan sinar merah itu dan langsung dihantam dengan sinar biru yang
keluar dari ujung telun-
juknya. Mereka berdua segera turun dari atas kuda.
Para pengepung terkejut dan menjadi semakin tegang.
Raka Pura hanya sunggingkan senyum, kemudian
berbisik kepada Biang Tawa, .
"Ternyata Soka baru saja datang. ia ada di se-
belah sana!"
"Dari mana kau tahu kalau si penyerang itu
adik kembar mu?"
"'Sinar merah itu tadi adalah jurus 'Mata Bumi"
yang kami miliki! Seperti yang kugunakan menghan-
tam sinar dari cambuk Wisnu Galang tadi pagi itu,
Paman!" Dugaan Raka memang benar. Soka Pura mun-
cul bersama Selir Pamujan. Soka Pura segera melesat dan menerjang Betina Rimba.
Wuuus...! Tetapi sebelum menyentuh Betina Rimba, Pangeran Laknat lebih
dulu lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar bi-ru seperti tadi. Claaap...!
Sinar biru yang melesat hendak menghantam
Soka itu segera dihantam dari jauh oleh Raka meng-
gunakan jurus 'Cakar Matahari' yang berupa sinar putih berbentuk pisau runcing
itu. Claap...! Jlegaarrr...!
Ledakan Itu menggelegar dengan dahsyat,
membuat Soka terpental sendiri dan Pangeran Laknat
terdesak mundur nyaris jatuh menimpa Betina Rimba
yang telah lebih dulu jatuh karena sentakan gelom-
bang ledak tadi.
Wuuuzzz...! Raka Pura tiba-tiba sudah ada di
samping adiknya. Para pengepung segera berpindah
tempat, meninggalkan Biang Tawa yang diang-gap tak
membahayakan Itu.
Kini Raka Pura dan Soka Pura sama-sama ber-
diri bersebelahan menghadap Betina Rimba dan Pan-
geran Laknat. Di sisi lain, dl luar kepungan, Biang Ta-wa segera bergabung
dengan Selir Pamujan.


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betina Rimba, sudah saatnya kau berhadapan
dengan kami; keturunan dari orang-orang yang telah
kau bantai sekian tahun yang lalu!" seru Raka Pura dengan suara lantang.
Betina Rimba melirik Pangeran Laknat. Lelaki
berjubah merah itu hanya diam memandang dengan
wajah menyimpan keraguan. Karena pada saat itu,
Pangeran Laknat memandang pedang kristal
yang ada di pinggang Pendekar Kembar itu. Seketika
itu pula suara mendiang gurunya terngiang di telin-
ganya. "Hindari pertarungan dengan seseorang yang mempunyai pedang kristal! Kau
akan tumbang dan ke-saktianmu lenyap jika tergores pedang kristal itu!"
Pangeran Laknat berdebar-debar. Hatinya ber-
kata, "Celaka! Ternyata Pendekar Kembar bersenjata pedang kristal. Jika aku
tetap melawannya, pasti aku akan tumbang dan kesaktian ku akan hilang. Tapi...
bagaimana. dengan janji ku kepada Betina Rimba"!"
Perempuan di sampingnya segera berbisik, "Dia
menantangku. Apakah kau hanya diam saja seperti
ini?" Setelah diam sesaat, Pangeran Laknat menjawab, "Aku ingin melihat dulu
permainan jurusnya. Hadapilah dulu dan pancinglah agar mereka keluarkan
jurus pedangnya. Setelah itu mundurlah dan aku akan maju mematahkan jurus
pedangnya."
"Baik. Tapi jagalah aku, jangan sampai mereka
berhasil mencuri kelengahan ku!"
"Aku siap menghancurkan dari sini!"
Pangeran Laknat akhirnya bermain siasat. Ia
lebih baik mengorbankan Betina Rimba daripada kehi-
langan seluruh kesaktiannya atau tewas di ujung pe-
dang kristal itu. Tapi karena Betina Rimba tak tahu rencana busuk Pangeran
Laknat, maka ia pun segera
menghadapi Pendekar Kembar dengan mencabut pe-
dangnya sendiri. Sraaang...!
"Majulah kalian berdua! Gunakan pedang ka-
lian jika kalian tak ingin ku sebut bocah ingusan!
Soka Pura berkata kepada kakaknya setelah
mereka saling pandang sebentar.
"Biar aku yang menanganinya. Mundurlah!"
Sreet...! Pedang Tangan Malaikat segera dicabut
Soka Pura. Mata pedang yang terbuat dari ka-ca kristal itu mulai memancarkan
bias cahaya ungu menakjub-kan. "Pembantai Jahanam! Tunjukkan keganasanmu
kepadaku sekarang juga!" tantang Soka Pura dengan suara lantang.
"Kau benar-benar bocah ingusan perlu pelaja-
ran dariku! Hiaaaah...!"
Betina Rimba melompat sambil tebaskan pe-
dangnya dari atas ke bawah. Ia ingin membelah kepala Soka Purr. Namun pemuda itu
menggerakkan pedangnya dengan cepat, menangkis datangnya pedang lawan
dari bawah ke atas. Traaang...! Praaak...!
Pedang Betina Rimba patah terpotong oleh pe-
dang kristal bercahaya ungu itu. Betina Rimba terperangah melihat pedang bajanya
bisa patah rapi bagai agar-agar teriris pisau.
Saat Betina Rimba terperangah, Soka Pura me-
nebaskan pedangnya dari kanan ke kiri. Wuuut...! ia ingin menyambar perut dan
dada lawan. Tapi lawan
segera, sentakkan kaki dan melayang mundur.
Wuuus...! Hanya saja, karena Soka menggunakan Jurus
pedang yang bernama Jurus 'Nenek Petir', maka angin tebasan pedang itu pun
mempunyai ketajaman yang
sama tajamnya dengan mata pedang sebenarnya.
Craaas...! "Aaaah...!" Betina Rimba terpekik. Dari perut sampai pundak tergores pedang dan
mengucurkan darah segar. Ia mulai panik, memandang Pangeran Lak-
nat dengan maksud minta bantuan.
"Pangeran...!"
Tapi Pangeran Laknat segera naik ke punggung
kuda dengan wajah dingin. Ia tak mau ambil resiko
melawan pemuda berpedang kristal.
"Pangeran, Jangan tinggalkan aku!" seru Betina Rimba dengan suara bergetar
karena menahan luka.
Sementara itu, Raka bergegas ingin menyerang
Pangeran Laknat, tapi Soka menahannya sambil ber-
kata, "Biarkan dulu dia lewat. Lain kali kita tangani.
Kita selesaikan dulu urusan ini." Maka Raka pun tak jadi menghadang Pangeran
Laknat. Melihat kuda Pangeran Laknat melangkah pe-
lan, dan sang Pangeran memberi isyarat kepada para
pengepung agar meninggalkan tempat itu, Betina Rim-
ba segera menyadari bahwa ia telah ditipu. Sang Pangeran ternyata tak berani
hadapi Pendekar Kembar.
"Pengecut kau, Jahanaaaam...!"
Setelah berteriak begitu, Betina Rimba segera
berbalik arah karena dengan menggeram penuh mur-
ka. Kedua tangannya digerakkan dalam satu sentakan
ke langit. Tangan itu mulai menyala merah bagaikan
bara. "Hrrmm...! Kuhancurkan seluruh tubuhmu sekarang juga, Bocah ingusan!
Heeeaaahh...!"
Baru saja Betina Rimba ingin sentakkan kedua
tangannya, tiba-tiba Soka Pura melesat dan pedangnya dikibaskan menyamping dalam
jarak tiga langkah. Angin tebasan itu berkelebat membawa ketajaman ter-
sendiri dan, craaas...! Leher Betina Rimba menjadi sasaran angin tebasan Pedang
Tangan Malaikat itu.
Jleeg...! Soka Pura tapakkan kakinya kembali
ke tanah dengan mata melirik lawan dan pedang ter-
genggam dua tangan. Pada saat itu pula, Soka Pura
melihat kepala Betina Rimba menggelinding, disusul
kemudian raganya yang tumbang ke depan setelah
bergerak-gerak seperti ingin melangkah. Bruk...!
Pendekar Kembar sama-sama hembuskan na-
pas Sega. Dendam kesumat mereka telah terlam-
piaskan. Pembalasan atas kekejaman sang Pembantai,
itu telah dilakukan. Kini tak ada lagi dendam separah itu di hati Pendekar
Kembar. Mereka tinggal menyusuri hidup, menegakkan kebenaran dan membela pihak
yang lemah. Pangeran Laknat hanya memandang dari keja-
uhan, lalu teruskan langkah dengan tenang, seakan ia menyatakan dirinya tidak
ikut campur dalam urusan
itu, walau sebenarnya ia telah kehilangan sebentuk
kebahagiaan pribadi, yaitu gairah sang Pembantai keluarga Panji Pura itu.'
Selir Pamujan hanya bisa hembuskan napas
pula, sambil palingkan wajah karena tak tega melihat kematian Betina Rimba.
Namun kejap berikutnya ia
segera temui Soka sebagai orang yang diharapkan da-
pat selalu dekat dengannya sejak ia merasakan keindahan kencan pemuda tersebut.
"Persoalanmu telah selesai. Sekarang tinggal
persoalanku untuk mengetahui, siapa pembunuh gu-
ruku dan siapa pencuri Kipas Kedung Gairah itu,"
ujarnya kepada Soka.
"Kami akan membantumu menyingkapkan tabir
rahasia kematian gurumu! Jangan khawatir kakak ku
juga akan ikut membantumu. Bukankah begitu, Ra-
ka?" Raka Pura hanya angkat bahu sambil tersenyum sebagai tanda pasrah terhadap
keputusan adik-
nya. Sementara itu, di kejauhan mereka mendengar
suara tawa samar-samar, yang tak lain adalah suara
tawa Iblis Bangor akibat terkena totokan Biang Tawa itu.
"Kuat juga orang itu"! Rupanya ilmu tenaga da-
lamnya cukup tinggi, sehingga dia kuat tertawa selama ini," gumam Biang Tawa.
"Akan kulihat sampai di ma-na kekuatan tawanya!"
Biang Tawa segera melesat ke arah suara tawa
itu, sementara Raka dan Soka berjalan mendampingi
Selir Pamujan. SELESAI Segera terbit!!!
CUMBUAN MENJELANG AJAL
E-Book by Abu Keisel Pendekar Elang Salju 11 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Badai Laut Selatan 18
^