Pencarian

Dendam Darah Tua 1

Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Bagian 1


DENDAM DARAH TUA Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Dendam Darah Tua
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.6
1 PETI MAYAT dibawa masuk melalui pintu gerbang.
Kayunya terbuat dari jati glondongan berukir.
Warnanya coklat tua, mengkilap. Peti mayat itu
diletakkan di ruang paseban oleh orang-orang Griya
Teratai Wingit. Wajah-wajah mereka dilapisi duka
mendalam. Sementara di luar rumah besar itu, kabut
hitam merayap menutup jalan, dan langit mendung
bagai membungkus bumi dengan tebal.
Di kejauhan, tampak sesosok tubuh kekar milik
seorang pendekar sedang bergerak menuruni lereng,
menuju Griya Bukit Badai. Sosok pendekar muda yang
tampan itu sudah tidak mengenakan ikat kepala dari
kulit macan tutul lagi. Rambutnya yang panjang
mengenakan ikat kepala dari tali halus, bagai terbuat dari rajutan benang-benang
sutera berwarna ungu.
Sosok itu, tak lain dari sosok Lanangseta, yang berjuluk Pendekar Pusar Bumi,
dan menyandang gelar
pemberian gurunya sebagai Malaikat Pedang Sakti.
Ia berhenti di depan pintu gerbang, mencium bau
setanggi kematian. Bau itu menggerakkan hatinya
untuk bercuriga dan bertanya-tanya, siapa yang
meninggal" Debar-debar jantungnya begitu keras dan
cepat. Ia mulai dicekam kecemasan yang membuat
tangannya gemetar. Wajah menegang dan firasat buruk
mulai terasa jelas. Kepada kedua penjaga pintu gerbang Griya Teratai Wingit itu
ia bertanya, "Siapa yang meninggal?"
Dengan membungkuk dan memberi hormat, salah
seorang penjaga menjawab sopan, "Putri Bukit Badai, Tuan...!"
"Kirana..."!"
Lanangseta menjerit dalam hati. Jantungnya seperti
berhenti beberapa detik. Ia bergegas masuk, bahkan
dengan gerakan cepat yang tak terlihat oleh mata
sepasang penjaga pintu gerbang. Nafasnya terengah-
engah karena menahan kedukaan yang amat dalam.
Ketika berhadapan dengan Marwa, pelayan Kirana,
Lanangseta tak mampu melontarkan sepatah kata pun.
Ia terlanjur dibungkam oleh kesedihan yang meledak-
ledak di dalam dada. Tetapi dengan wajah murung,
dilapis kedukaan, Marwa berkata lirih:
"Kami sudah berupaya menghiburnya, tapi Putri
belum bisa menerima keadaan ini. Rindunya semakin
dahsyat dan telah merobah darahnya menjadi racun.
Dan... dan tadi malam ia menghembuskan nafas
terakhir sambil menyebutkan namamu, Mas Lanang...."
Merah mata Lanangseta mendengar penuturan itu.
Menggeletuk giginya, mengepal tangannya kuat-kuat.
Darah di dalam tubuh mendidih. Ia seakan ingin
memukul dirinya sendiri. Namun jiwa seorang pendekar
melarang dirinya rapuh dalam menerima kenyataan. Ia
harus tetap tegar, harus bisa tabah dan mampu
menguasai emosi dirinya.
Lanangseta belum masuk ke ruang paseban. Ia
sempat bertemu dengan ayah Kirana, Rama Sabdawana
di serambi samping. Lelaki berambut uban dan sedikit
gemuk itu memandang kehadiran Lanangseta yang
segera bersujud kepadanya. Wajah Sabdawana
menyimpan selaksa duka, sekalipun ia kelihatan
tenang. Matanya kemerah-merahan, perih. Ia
mengenakan jubah abu-abu menandakan masa duka
pada dirinya. Ia hanya mengusap rambut Lanangseta
yang berada di lututnya dengan perasaan haru
menghunjam-hunjam hati. Lalu ia berkata pelan setelah Lanangseta bangkit dan
berdiri dengan sopan di
hadapannya. "Dia telah pergi...." suara Sabdawana serak dan lirih sekali. "Dia menunggumu
untuk hidup bersama, tapi dia gagal. Kerinduan merupakan pantangan hidupnya,
yang apabila terjadi akan merubah darahnya menjadi
racun. Jika terlambat terobati, akan membunuhnya
sendiri. Dan ternyata, dia memang terlambat...."
Rasa-rasanya ada sebilah kulit bambu yang
mengiris-iris hati Lanangseta dengan pelan-pelan sekali.
Ia nyaris berteriak dalam ledakan dukanya begitu
mendengar kata-kata Sabdawana, ayah Kirana. Namun
semua itu ditahannya, mati-matian. Ia hanya berusaha
berkata dengan susah sekali, "Saya... yang terlambat...."
"Belum," jawab Sabdawana. "Waktumu masih memberi kesempatan untuk melihat
seperti apa jenazah
calon istrimu itu. Ia kami baringkan dalam peti, sebagai tempat penantian orang
yang dicintainya...."
Berulangkali Lanangseta mengerjapkan mata,
menahan rasa perih dan panas akibat rembasan air dari dalam kelopaknya. Ia
melangkah ke paseban bersama
Sabdawana dengan lutut gemetar. Baru sekarang ia
merasakan keharuan yang begitu menyiksa diri akibat
rasa sesal menghantuinya.
Di ruang paseban, tempat pertemuan antara
Sabdawana dengan para muridnya yang kini menjadi
pelayan dan pengawal di situ, ada beberapa orang yang telah berkumpul melingkari
peti mayat. Mereka
menggumamkan kidung puji-pujian dan doa untuk
arwah Kirana Sari. Lanangseta nyaris tak tahan
mengendalikan emosinya begitu melihat wajah orang-
orang yang berkidung menyayat hati itu dihiasi oleh
linangan air mata. Berulangkali Lanangseta menghela
nafas dalam-dalam, berulangkali juga nafas
dihempaskan panjang-panjang untuk memperoleh
ketenangan. Atas perintah Sabdawana, Lanangseta diizinkan
masuk dalam lingkaran asap setanggi yang mengelilingi peti mayat itu. Mulanya
Lanangseta sedikit ragu, tak
sampai hati. Ia hanya memandang peti mayat yang
masih belum ditutup. Namun akhirnya ia pun
melangkah, mendekat setelah Rama Sabdawana
berkata pelan, "Datanglah, dia menunggumu. Masih setia menunggumu, sekalipun dia
telah mati...."
Langkah yang berat berhenti di tepi peti mayat. Mata
Lanangseta membelalak dan mulai berkaca-kaca
digenangi cairan bening menghangat. Ia bagai tak
percaya kalau yang dilihatnya adalah Kirana. Ia nyaris menjerit melihat tubuh
itu kurus kering, kulitnya
membungkus tulang dan layu. Kecantikannya bagai
pudar dirongrong penyakit mengerikan.
Dulu Kirana cantik, menggairahkan. Badannya
padat, buah dadanya menonjol. Kulitnya bersih,
matanya sangat indah dalam lilitan maskara pada masa
itu. Bibirnya merekah segar dan sangat sensual. Tetapi kini, ia bagai mati dalam
ketuaan. Tubuhnya tak lebih dari sebatang bambu suling yang dibungkus kulit layu
dan pudar. Tulang-tulang rahang terlihat menonjol, juga tulang pipi dan
pundaknya. Sebegini parahkah kerinduan Kirana" Setragis inikah
cinta Kirana kepada Lanangseta" Jadi benarkah selama
ini Lanang telah termakan fitnah pemuda Prabima
Wardana, yang mengatakan bahwa Kirana telah berbuat
serong dengan pemuda itu" Sepahit inikah kenyataan
yang ada pada diri Kirana yang memendam kesucian
cintanya kepada Lanangseta, dan menelan racun
kerinduan atas datangnya Pendekar Pusar Bumi ini"
Lanangseta menggeletukkan giginya kuat-kuat.
Desakan duka semakin hebat, semakin menghentikan
pernafasan. Batinnya yang bertanya-tanya dan
berkecamuk sendiri itu meratap tak mampu dicegah
lagi. Lalu, dengan pelan dan penuh keharuan yang
membungkus jiwa, Lanangseta mengusap pipi jenazah
Kirana. Perlahan-lahan sekali ia merundukkan kepala
ke dalam peti, dan mencium kening Kirana dengan
sentuhan lembut dan menyayat hati. Ia ingin menahan
air mata kesedihan. Namun gagal. Ada setetes air mata yang menitik, jatuh di
kening Kirana. Ia buru-buru
mengangkat wajahnya, agar tidak terlalu dalam larut
dalam kesedihan yang meratap itu. Ia buru-buru
mengecapkan matanya, bagai ingin mengembalikan air
mata yang telah terlanjur menggenang di kelopaknya.
Namun pada saat itu, mata yang memerah itu tiba-
tiba membelalak kaget. Semua orang yang berkabung di
situ melihat perubahan wajah Lanangseta yang
terperanjat kaget. Semua orang saling bertanya-tanya
dalam hati, apa yang terjadi" Kenapa Lanangseta
terkejut sekali" Apa yang dilihat Lanangseta pada waktu itu" Maka mereka pun
bergegas bangun dari duduknya,
mereka bergerak membentuk beberapa kelompok dan
saling berkasak-kusuk. Sabdawana sendiri ikut merasa
heran melihat Lanangseta membelalakkan mata begitu.
Mayat Kirana Sari mengerjap-ngerjapkan mata pada
saat air mata Lanangseta menitik di keningnya. Mata itu semakin jelas terbuka.
Memandang sayu kepada
Lanangseta. Lama-lama mata itu sendiri berair bagai
dihunjam keharuan yang dalam. Kemudian tangan
Kirana bergerak pelan, terangkat bagai minta disambut oleh Lanangseta. Lanang
merasa ragu. Tapi terdengar
dari mulut Kirana sepatah kata yang memanggil
kekasihnya, "Lanang...."
Suara itu lirih. Sangat pelan. Hampir tak terdengar
oleh Lanangseta. Bibir yang membiru itu bergerak-gerak dengan tangan yang
semakin tinggi terangkat. Lalu,
Lanang pun menyambutnya, membantu Kirana untuk
bangkit dan memeluk Lanangseta dalam satu tangis
yang nyata. Mereka yang turut berbela sungkawa di situ menjadi
mundur ketakutan. Ada yang berseru di luar
kesadaran, "Dia bangkit...! Mayat itu bangkit dan... dan hidup lagi..."!"
Erat sekali Kirana memeluk Lanangseta. Tangisnya
menghangat di hati Lanang. Ia belum mampu berkata
lebih banyak lagi kecuali sebaris kata yang terucap
dengan serak, "Kau telah kembali, Kasihku...."
"Cantik...." desah Lanangseta dalam pelukan kerinduan itu. Ketika itu Sabdawana
mendekat, dan Kirana buru-buru memeluk ayahnya juga dalam tangis
seorang perempuan polos.
"Ia telah kembali, Ayah... ia kembali...." Orang-orang masih bingung dan
diliputi rasa takut bercampur heran.
Wajah-wajah mereka menegang di dekat pintu. Yang tak
berada di ruang paseban menjadi berdesak ingin
melihat mayat hidup kembali. Sementara itu,
Lanangseta masih terbengong-bengong memikirkan
keanehan itu. Tapi kata-kata Sabdawana yang berwajah
cerah telah sedikit menetralkan keheranan hati Lanang.
"Kau telah menghidupkannya kembali, Lanangseta.
Air matamu kurasa telah menetes dan menyentuh
jasadnya. Air matamu itu... sesungguhnya air surgawi yang amat dibutuhkan untuk
menghidupkan suatu
kematian yang belum saatnya tiba. Dan, ternyata
kematian putriku adalah kematian yang mendahului
kodrat, sehingga mampu kau tawarkan dengan air
mata, walau hanya setetes...."
Ruang paseban itu cukup luas, sehingga suara
Sabdawana terdengar menggema. Setiap orang
mengangguk-angguk dalam keheranan yang memukau
mereka. Selain luas, ruangan itu juga berjendela lebar.
Ada empat jendela di sana, masing-masing di samping
kiri dan kanan. Dua jendela di samping kiri menjurus
ke pemandangan serambi samping, dan yang dua lagi di
bagian kanan menjurus pada pemandangan di luar
pagar rumah besar itu. Dari jendela kanan itu dapat
terlihat tanah lereng berpohon lebat.
Dan pada saat itu mereka semua dikejutkan oleh
meluncurnya sebatang anak panah yang datang dari
arah pohon di luar pagar rumah. Anak panah itu
berwarna kuning, berbulu merah. Anak panah itu
menancap tepat di sisi peti mayat sebelah kanan.
"Musuh datang...!" seru orang-orang yang hadir di situ. Mereka adalah para murid
Sabdawana yang tanpa
menunggu komando segera lari melesat ke luar dan
memburu ke tempat datangnya anak panah tadi.
Sementara itu, Kirana menghentikan tangisnya,
memandang anak panah yang masih menancap di peti
mayat. Lanangseta menemukan gulungan surat yang diikat
pada anak panah itu. Ia segera menyerahkan gulungan
surat tersebut kepada Sabdawana. Dengan dahi
berkerut, Sabdawana membuka dan membaca surat itu.
Kemudian ia menggeram gemas sambil menyerahkan
surat tersebut kepada Lanangseta. Kirana masih lemas
dan lesu, namun ia memaksakan diri untuk ikut
membaca bunyi surat tersebut:
Sudah saatnya kita menentukan nasib lama, siapa yang terkuat: Teratai Wingit
atau Pesanggarahan Maut.
Tepat waktu matahari di pucuk kepala kita. kutunggu kehadiranmu di Lembah
Berdarah. Kau atau aku yang harus mati di sana. Selamat jumpa lima hari lagi di
Lembah Berdarah.
Dari aku, musuh lamamu,
BEGAL DOGOL "Begal Dogol, Ayah..."!" Kirana bernada cemas.
"Ia masih penasaran dan mendesak untuk bertarung
denganku." kata Sabdawana dengan tenang dan
menyimpan kegelisahan. Lanangseta segera mohon diri
sebentar. Ia melompat melalui jendela dengan


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecepatan yang luar biasa, Mengejar si pengirim surat, walau sudah cukup lama
menghilang. Kemarahan Lanangseta meluap. Mungkin
dikarenakan suasananya dirusak oleh kehadiran suara
tantangan itu. Mungkin juga karena ia sejak tadi sudah memendam kemarahan
terhadap dirinya sendiri yang
nyaris membuat Kirana mati itu, sehingga kehadiran
surat tantangan itu bagaikan api yang membakar
darahnya. Tak peduli Kirana waktu itu berseru
memanggilnya, Lanangseta tetap melesat bagai sinar,
langsung melompati pagar yang tinggi, mendahului para pengejar lainnya.
Dari pohon ke pohon Lanangseta bergerak cepat. Ia
sengaja tidak melalui jalan darat. Kakinya sejak tadi tidak menyentuh tanah,
kecuali menyentuh dahan dan
daun-daun pohon. Matanya memandang nanar pada
setiap gerakan, mencari orang yang telah diutus oleh
Begal Dogol untuk menyampaikan surat tantangan.
Surat itu semacam penghinaan yang merendahkan
harga diri Sabdawana. Lanangseta merasa perlu
bertindak, karena Sabdawana sudah dianggap ayahnya
sendiri. Sekali pun kaki Lanangseta menginjak dahan dan
daun-daun pohon, namun sama sekali tidak
menimbulkan bunyi. Daun dan dahan tak satu pun ada
yang bergerak. Ini menunjukkan betapa sempurnanya
ilmu peringan tubuh Lanangseta sejak ia menjadi murid Tongkat Besi.
Dalam satu gerakan, Lanangseta tiba-tiba berhenti
terpaku. Ia melihat seorang lelaki bertudung daun
pandan, berselempang busur dan membawa dua anak
panah di punggungnya. Gerakan lelaki itu cukup gesit.
Langkahnya lebar dan mantap. Lelaki itu berpakaian
serba hitam dan menyelipkan sebilah golok di
pinggangnya. Menurut gerakannya yang terlihat luwes
dan ringan itu, Lanangseta dapat memastikan bahwa
lelaki itu tentu mempunyai ilmu silat yang tidak mudah dianggap ringan oleh
murid-murid Sabdawana. Tentu
saja para murid itu tertinggal jauh dan tak akan
mampu mengejarnya, karena lelaki itu setiap melompat
selalu diiringi dengan salto ke depan. Hanya beberapa langkah saja ia berhenti
bersalto, tapi selebihnya, ia selalu melayang dan berjumpalitan di udara.
Tudungnya amat kuat melekat di kepala. Bajunya yang
serba hitam itu seakan nyaris tidak bergerak sedikit
pun. Lelaki itu berhenti seketika dari gerakannya, karena
seorang lelaki bertubuh kekar dan tegap telah berdiri di depannya. Ia sedikit
kaget, karena kemunculan
Lanangseta itu sama sekali di luar dugaannya.
"Siapa kau" Apa alasanmu menghadangku"!" hardik lelaki bertudung itu.
"Kau utusan dari Begal Dogol"!" Lanangseta bahkan ganti bertanya. Lelaki itu
sedikit menggeragap.
"Apa urusanmu?"
"Aku ingin bertemu dengan Begal Dogol yang sok
jago itu. Seperti apa rupanya?" kata Lanangseta dengan tenang.
Lelaki itu menjadi gusar. Lanangseta sudah dapat
memperhitungkan kalau ketahanan lelaki bertudung itu
tidak seberapa, sebab ia masih mampu terpancing oleh
ejekan Lanang. "Jangan menyebut guruku sembarangan, Bangsat!"
"Aku toh tidak menyebut gurumu dengan julukan
Bangsat!" Lelaki itu menggeram. "Sekarang apa maumu"!"
"Menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan
dia"!"
"Akan kusampaikan."
Lanangseta menggeleng. "Aku sangsi gurumu yang
sok jago itu tidak mempercayai kata-katamu. Sebaiknya kau harus membawa tanda."
"Apa maksudmu...?"
Tanpa menjawab lagi, Lanangseta segera bergerak
dengan satu lompatan. Kaki Lanangseta meluncur ke
arah muka lelaki itu, tetapi lelaki itu dapat berkelit ke samping dan mencoba
menangkis kaki Lanangseta.
Lanangseta berdiri dan tersenyum. "Hanya segitu
kemampuanmu...." ujar Lanangseta. Kemudian ia
segera bergulung-gulung ke udara dengan satu kali
lompatan. Lelaki itu sempat kebingungan menentukan
arah pukulannya. Gerakan Lanangseta bagai mengitari
dirinya dengan cepat dan susah diawasi. Lelaki itu tidak tahu kalau Lanangseta
telah mencabut pedangnya.
Yang ia tahu seperti ada sinar merah yang menyertai
gerakan Lanangseta. Dan sinar merah itu tahu-tahu
berkelebat menyentuh tangannya. Lelaki itu mencoba
menghindar sambil bersalto ke arah samping. Ia tak
tahu kalau Lanangseta sudah memasukkan pedangnya
lagi ke sarungnya.
Lelaki bertudung itu berdiri tegak dengan kaki
terenggang kokoh. Lanangseta juga berdiri tegak dengan ketegapan badannya yang
begitu menakjubkan. Lelaki
bertudung itu tersenyum. Lanangseta juga membalas
senyuman sinis itu. Mereka berjarak antara enam atau
delapan langkah. Masing-masing menampakkan sikap
waspada dan ketegarannya.
Terdengar suara lelaki itu mengejek Lanangseta,
"Ilmumu masih cetek, Bung. Hanya bisa membuat
lawan menjadi pusing sebentar, dan tidak menghasilkan apa-apa."
"Mungkin benar dugaanmu, Kawan. Tapi... lihatlah
tanganmu yang kanan itu...."
Lelaki itu melihat tangan kanannya, dan ia terkejut
bukan kepalang tanggung, bahkan sempat menjerit
dengan mata terbelalak tegang. Tangan itu telah
buntung pada batas pergelangannya. Hebatnya lagi,
potongannya itu tidak mengucurkan darah, melainkan
hanya merembaskan darah sedikit demi sedikit.
"Setaaan...!" teriak lelaki itu kepada Lanangseta. Ia sempat mencari ke
sekeliling, di mana terjatuh
penggalan tangannya. Namun agaknya ia tidak
menemukan. "Kau mencari jari-jemarimu, Kawan...?"
Lelaki itu masih memandang sekeliling, tapi begitu
mendengar kata-kata Lanangseta, ia segera mengangkat
wajah. Tegang, sangar dan nafasnya terengah-engah.
Pada saat itulah tangan kanan Lanangseta yang sejak
tadi disembunyikan di belakang segera terulur ke depan dan memperlihatkan
potongan tangan lelaki itu yang
telah ada dalam genggaman Lanangseta.
"Mungkin ini yang kau cari, Kawan...!" Lanang tersenyum sinis. Lelaki yang jari
serta telapak tangannya utuh ada pada Lanangseta itu segera
menggeram sambil menyeringai marah. Ia ingin
bergerak maju, tapi Lanangseta telah melompat
mundur. Ia berhenti dengan nafas kemarahan meledak-
ledak. Lanang tersenyum sinis, mengejek, semakin
menjengkelkan. "Apa barang bekas ini masih kau butuhkan" Untuk
apa" Untuk makanan anjing?"
"Bangsaaat...!" Lelaki itu melayang, menebang dengan kaki.
Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto ke depan
beberapa kali, melampaui ketinggian lelaki itu.
Kemudian kaki Lanangseta menjejak ke bumi, melayang
lagi sampai ia berhenti di atas dahan pohon. Lelaki itu
kebingungan dalam geram nafsu kemarahan yang
hebat. Melalui tangan kirinya ia melancarkan pukulan
tenaga dalam yang membuat ranting pohon serta dahan
yang diinjak Lanangseta itu patah seketika. Tapi
Lanangseta telah berpindah tempat ke dahan yang lain.
"Katakan kepada gurumu, Si Bangsat Begal Dogol,
aku ingin bertemu dengannya kapan saja... aku ingin
membuat dia mati dengan memuaskan. Nah,
sampaikan salamku itu kepada Begal Dogol. Katakan
itu salam dari Malaikat Pedang Sakti, begitu. Jelas
kan"!"
Lanangseta segera melejit meninggalkan lelaki
bertudung. Lelaki itu berteriak, "Berikan potongan tanganku itu...!" Tapi
Lanangseta tidak menjawab sepatah pun. Ia menghilang, bagai masuk dalam
gumpalan awan di langit. Namun ia masih memegangi
potongan tangan kanan lelaki bertudung, yang tadi
melayangkan panah ke peti mati Kirana.
"Pulang semua, sudah kudapatkan dia...!" teriak Lanangseta kepada murid-mu rid
Sabdawana yang sibuk mencari pemanah gelap itu. Mendengar suara
Lanangseta, kendati tidak melihat ujud orangnya, maka murid-murid Sabdawana itu
pun segera pulang.
Lanangseta sampai ke Griya Teratai Wingit lebih dulu
dari mereka. Lanang langsung menghadap Sabdawana
yang masih berada di ruang paseban. Sementara itu ia
melihat Kirana sudah bisa duduk di sebuah bantal
berlapis sarung kain mengkilap, sejenis kain satin
putih. Ia tersenyum lega melihat kedatangan Lanang
kembali. "Bagaimana dengan orang itu" Kau apakan?" tanya Kirana dengan suara masih lemas.
Lanangseta segera
meletakkan potongan telapak tangan utusan Begal
Dogol. Potongan telapak tangan itu di letakkan di lantai
bertikar, di depan Sabdawana yang tengah duduk
bersila. "Surat itu kujawab dengan ini...!" kata Lanang, dan Sabdawana mengeluh dalam
desah yang panjang.
"Ini berarti aku harus memenuhi tantangan Begal
Dogol, Lanang. Padahal aku bermaksud tidak mau
menuruti nafsunya!" kata Sabdawana yang membuat
Lanangseta terbengong. Dalam hati Lanang bertanya,
"Kenapa tidak mau" Takut" Atau Apa...?"
*** 2 SABDAWANA termenung di bawah pohon rindang di
belakang rumah besar itu. Ia duduk pada sebuah
bangku dari batu cadas putih yang diukir motif
kelopak-kelopak teratai. Sore itu, Lanangseta tidak ingin mengganggu tidur
Kirana. Ia menyempatkan diri
mendesak ayah Kirana untuk mengatakan apa sebab
ayah Kirana tidak ingin memenuhi tantangan Begal
Dogol. Dalam renungannya itu, Sabdawana berkata
pelan seakan kepada dirinya sendiri, "Haruskah setiap tantangan berakhir dengan
pertarungan" Haruskah
harga diri terletak pada ujung senjata?"
Pendekar Pusar Bumi yang duduk tak jauh dari
Sabdawana itu juga ikut termenung, khususnya
merenungkan kata-kata orang tua berambut uban itu.
"Tapi saya ingin tahu apa alasan Rama, sehingga
Rama bermaksud tidak melayani Begal Dogol," ucap Lanangseta dengan suara penuh
kesopanan. "Apa alasannya?" Sabdawana berkerut dahi sambil memandang Lanangseta. "Apakah
aku juga harus mendesakmu, menanyakan apa alasanmu menghilang
selama ini?"
"Itu pertanyaan yang wajar, Rama. Dan sudah pasti saya akan menceritakan, apa
sebab saya menghilang."
Sabdawana manggut-manggut. "Baiklah.
Ceritakanlah sejujurnya, Lanang."
Tiba-tiba ada perasaan ragu yang menyelinap di hati
Lanangseta. Ada rasa takut dikatakan sombong jika ia
membeberkan siapa dirinya sekarang ini. Tapi
pertimbangan otaknya mengatakan lain: ia harus
bicara, ia tak ingin segalanya serba misterius.
"Rama... seseorang telah menculik saya, ketika saya pingsan dalam pengejaran
terhadap diri Prabima...."
(dalam kisah PEDANG SEMERAH DARAH).
Sabdawana kelihatan menyimak betul tiap ucapan
Lanang, sampai-sampai ia tidak bergerak sedikit pun.
"Orang itu juga memaksa saya untuk menjadi
muridnya. Ia membawa saya ke sebuah lereng gunung,
dan di sana saya dijejali ilmu-ilmunya. Ia cukup kuat, berilmu tinggi. Dan semua
itu hanya karena dia ingin
mati. Mulanya saya menolak, tapi tak terasa saya jadi menyukai ilmu orang itu.
Sampai pada akhirnya, saya
ditipu olehnya, diajak berlatih ilmu pedang yang
ternyata suatu jebakan untuk kematiannya. Dia mati
dengan pedang saya ini, Rama."
"Siapa orang itu?"
"Si Tongkat Besi...."
"Tongkat Besi?" Sabdawana berkerut dahi. "Kalau tak salah dulu kau pernah
mengatakan bahwa
pedangmu itu dicuri oleh seorang kakek yang bergelar
Si Tongkat Besi" Kalau tak salah waktu itu kau habis
menghancurkan Puri Tebing Neraka."
"Ya. Memang orang itulah yang akhirnya menjadi
guru saya, namun sekaligus yang menjadi musuh saya,
sekali pun itu musuh yang paling saya cintai."
"Apa kehebatan ilmunya?"
"Banyak, Rama. Dia mempunyai banyak ilmu dewa,
sebab dia memang seorang dewa yang terusir dari
Suralaya, tempat para dewa itu."
"Seorang dewa"!" Sabdawana menjadi kaget, lalu kelihatan tegang. Ada
kekhawatiran yang
disembunyikan dalam hatinya. Dan kekhawatiran itu
terbias lewat sorot matanya yang mencurigakan.
"Rama kelihatannya terkejut" Mungkin tidak
percaya?" Sabdawana gelisah dan menggeleng. "Ada sesuatu
yang kurasakan aneh. Setahuku, seorang yang dulu
bekas dewa hanyalah Eyang Pramban. Dia adalah guru
dari guruku, Lanang. Jadi, kalau sekarang kau
mengaku dididik oleh orang yang mengaku bekas dewa,
ah... kedengarannya janggal sekali. Jangan-jangan kau tertipu olehnya."
Lanangseta termenung sesaat. "Mungkinkah ia
menipu saya, Rama" Apa maksudnya kalau memang ia
menipu saya."
Sabdawana angkat bahu, "Entahlah. Tapi, kurasa itu sebuah tipuan."
"Kalau begitu, saya memang sudah terpengaruh dan terjerat dalam tipuannya.
Mungkin saya terlalu percaya kepadanya. Ia mengaku pernah hidup pada zaman


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu. Mengaku berusia antara 400 sampai 600 tahun,
dan sampai saat kemarin belum bisa mati-mati. Hanya
saja, yang saya herankan, ia dapat mengenal keluarga
Rama Sabda. Ia bahkan menyebutkan nama seorang
perempuan yang memakai nama ilmu leluhur Bukit
Badai ini. Menurutnya, perempuan itu bernama...
Syalindra...."
"Lanang..."!" Sabdawana terkejut sekali, sampai-sampai ia berdiri. Lanangseta
jadi takut menyinggung
perasaan Sabdawana, apalagi setelah Sabdawana
berkata, "Itu nama istriku...! Jangan sebut dengan sembarangan!"
"Maaf, Rama," kata Lanang penuh dengan nada penyesalan. "Tapi memang itulah
kata-kata guru Tongkat Besi yang berhasil saya bunuh. Saya tak tahu
persis, apakah dia dewa atau hanya mengaku-aku
sebagai dewa, yang jelas dia punya kesaktian yang luar biasa, Rama."
"Perlu kau ketahui, Lanang," kata Sabdawana masih tetap berdiri. "Zaman dulu,
memang ada orang yang mengaku bernama Eyang Pramban. Dia adalah bekas
dewa. Dia diusir dari kahayangan, dan menjelma
sebagai manusia. Dia mempunyai seorang murid, Ki
Pandan Wangi, yang kemudian menjadi guruku. Tapi
belum habis ilmu Eyang Pramban diturunkan kepada Ki
Pandan Wangi, guruku itu telah pergi darinya karena
suatu sebab yang tak dapat dikerjakan, yaitu harus
membunuh gurunya sendiri. Dan pada masa remajaku,
dunia persilatan pernah heboh karena sebuah
sayembara. Sayembara itu berbunyi: Barang siapa bisa
membunuh Eyang Pramban, maka ia akan diberikan
pusaka yang tiada duanya di dunia tentang
kehebatannya. Maka orang berlomba-lomba membunuh
Eyang Pramban. Tapi tak satu pun ada yang mampu
membunuhnya, sehingga pusaka yang dijanjikan itu
tidak berhasil dikuasi oleh siapa pun. Nah, sekarang
kau mengaku telah membunuh orang bekas dewa. Apa
buktinya, Lanang?"
Kemudian, setelah mempertimbangkan beberapa
saat, Lanang pun mencabut pedang Wisa Kobra dari
sarungnya seraya berkata, "Hanya ini bukti yang saya miliki, Rama...."
Sabdawana bagai orang melihat setan, matanya
membelalak lebar dan mulutnya ternganga, bukan
sekedar melompong, tapi ternganga lebar. Ia sepertinya
mau berteriak, tapi tak mampu. Wajah tuanya menjadi
pucat pasi, dan tangannya gemetar saat ia melihat
pedang Lanang bercahaya merah, seperti gumpalan
bara yang amat panas. Dan tiba-tiba, sangat di luar
dugaan Lanangseta, Sabdawana yang usianya jauh
lebih tua darinya itu bersimpuh di depan Lanangseta.
Bahkan kini bersujud menyembah Lanangseta dengan
perasaan takut sekali.
"Rama..." Rama..." Kenapa harus begini"!"
Lanangseta tak enak disembah Sabdawana. Apalagi
Sabdawana itu kan calon mertuanya" Masa' seorang
calon mertua sampai menyembah calon menantu" pikir
Lanang begitu. Tetapi nyatanya, Sabdawana bahkan
menangis dalam ketakutan. Lanang semakin bingung
lagi. Ia menyuruh Sabdawana bangun dan berdiri,
namun Sabdawana tetap bersujud menyembah
Lanangseta. "Wah, kacau ini kalau begini...!" pikir Lanangseta sambil memandang ke sana-
sini, takut ada murid
Sabdawana melihatnya. Untung keadaan sepi, sehingga
tak ada orang yang mengetahui betapa takutnya
Sabdawana ketika itu, dan betapa menghormatnya
Sabdawana kepada Lanang begitu ia melihat pedang
Wisa Kobra seperti bara api yang amat panas.
Lanangseta segera menyarungkan pedang itu.
Hatinya benar-benar kebingungan mengatasi hal itu. Ia membiarkan sampai beberapa
saat. Kemudian, setelah
dirasakan keterkejutan dan masa shock dari ayah
Kirana itu sudah reda, Lanangseta berkata dengan
lembut dan penuh kesopanan.
"Rama... bangkitlah. Saya Lanangseta, saya bukan...
bukan...." Lanangseta kebingungan. Tapi dengan hati-hati dan penuh rasa sungkan,
Lanangseta membantu
Sabdawana untuk bangun dan tidak bersujud terus
begitu. "Rama, kenapa Rama Sabdawana harus bersujud
dan menyembah saya. Saya ini apa" Saya ini kan calon
menantu Rama Sabdawana. Malu kalau rampai ada
yang tahu, Rama...."
"Ampunilah saya...." ucap Sabdawana dengan rasa takut, dan sepertinya menyimpan
perasaan bersalah.
"Saya merasa bersalah. Saya tidak tahu, ooh...
ampunilah saya...."
Lanangseta sebenarnya merasa jengkel, mengapa
jadi begini" Siapa yang gila sebenarnya" Dia, atau ayah Kirana"
"Rama, coba jelaskan, sejelas-jelasnya. Sungguh, saya mohon penjelasan dan
jangan membuat saya jadi
gila. Saya ingin Rama menjelaskan semua ini, seperti
seorang mertua menjelaskan kepada menantunya.
Silakan, Rama...."
"Seperti seorang mertua kepada menantunya?"
"Iya. Jelaskan begitu. Jangan ada pemisah
hubungan di antara kita. Saya bukan apa-apa. Rama
jangan salah duga. Saya Lanangseta, calon menantu
Rama. Jelaskanlah, tolong. Saya minta tolong betul,
Rama...." Lanangseta memohon, berharap-harap dengan kerendahan hati, sehingga
Sabdawana mulai berani
bersikap seperti tadi, walau sedikit kaku dan tak berani bicara dengan kasar.
"Pedang itu... oh, saya jadi ingat masa lalu...."
"Ceritakanlah masa lalu itu, Rama, supaya saya
tidak penasaran dan menjadi gila karenanya."
Sabdawana menelan liurnya sendiri. Ia masih
bersikap lebih rendah dari Lanangseta. Lalu ia bicara dengan hati-hati dan
seakan menghormati Lanangseta.
"Tadi sudah kukatakan... ada sayembara dari Eyang Pramban, yaitu dewa yang
menjelma menjadi manusia
karena diusir dari Suralaya. Banyak orang berusaha
membunuh Eyang Pramban untuk memperoleh pusaka
sakti yang bernama Pedang Malaikat. Sekian banyak
orang dari penjuru dunia mencoba, dan tak ada yang
berhasil. Ki Pandan Wangi, guruku itu, merasa tak tega melihat Eyang Pramban
dikejar-kejar banyak orang
hanya karena ingin membunuhnya dan ingin
mendapatkan Pedang Malaikat. Kemudian secara diam-
diam, saya diperintahkan untuk membayang-bayangi
Eyang Pramban. Disuruh melindungi beliau dari
kekasaran orang-orang yang hendak membunuhnya itu.
Salah satu orang yang bernafsu membunuhnya
adalah... sepasang suami-istri, yaitu Begal Dogol dan istrinya. Mereka berasal
dari Pesanggrahan Maut.
Waktu Begal Dogol dan istrinya hendak membokong
Eyang Pramban, aku menghalangi dan bahkan berhasil
membunuh istrinya. Dari situlah awal dendam Begal
Dogol terhadapku. Setiap kami jumpa, kami selalu
bertarung dan Begal Dogol selalu kabur lebih dulu...."
"Kemudian...?" desak Lanangseta karena Sabdawana berhenti beberapa saat.
"Kemudian... aku pernah mendapat cerita dari Ki
Pandan Wangi, bahwa barang siapa bisa membunuh
Eyang Pramban, selain ia akan mendapat Pedang
Malaikat, juga akan menjadi anak dewa. Siapa pun
orangnya. Ki Pandan Wangi sendiri sangat menghormati
Eyang Pramban, bahkan siapa pun orangnya yang
berhasil membunuh Eyang Pramban juga harus
dihormati, sebab secara tak langsung dia sudah menjadi anak dewa yang mampu
membuat merah hitamnya
dunia persilatan. Ki Pandan Wangi juga menjelaskan
ciri-ciri pusaka Pedang Malaikat yang ia peroleh dari Eyang Pramban semasa
menjadi muridnya. Ciri-ciri itu
seperti yang ada pada pedangmu, Merah bagai
membara, namun sebetulnya dingin bila disentuh
tangan. Pedang itu akan menjadi membara seperti
panasnya lahar, apabila sudah menyentuh atau sudah
basah oleh darah Eyang Pramban. Itulah Pedang
Malaikat. Dan orang yang berhasil membunuh Eyang
Pramban akan menyandang gelar dari Suralaya sebagai
Malaikat Pedang Sakti. Itu sudah menjadi ketentuan
para dewa sebelum Eyang Pramban terusir dari
Suralaya. Semua tokoh persilatan di jagad raya ini
harus tunduk kepada pemegang Pedang Malaikat,
sebab tak seorang pun akan dapat menandingi
kesaktian Malaikat Pedang Sakti. Dan... dan ternyata, orang itu adalah kau
sendiri, calon menantuku. Secara pribadi, aku adalah calon mertuamu. Tetapi dari
segi dunia persilatan, kau lebih unggul dariku, bahkan kau juga anak dari Eyang guru
yang patut kuhormati."
"Kalau begitu, kita berdiri dari segi pribadi saja, Rama. Jangan pandang saya
dari sudut dunia
persilatan?" kata Lanangseta menghindari hormat
Sabdawana. "Apakah harus begitu?" tanya Sabdawana masih dengan perasaan sungkan.
"Ya. Karena saya tak ingin hubungan saya dengan
putri Rama itu akan terganggu jika Rama memakai
kaidah hukum rimba persilatan. Saya... saya sangat
mencintai dia, dan tak ingin diganggu oleh siapa pun."
"Saya juga," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang mereka. Suara
perempuan yang masih parau.
"Kau...?" Lanang hanya menyebut Kirana begitu karena ia terkejut melihat Kirana
sudah berada di
belakangnya. Kata Kirana, "Apakah saya juga harus menghormat
kepada dia, Rama?"
Jawab Sabdawana, "Ya. Kau orang rimba persilatan, kau harus tunduk kepadanya.
Kalau tidak, kau bisa
binasa, bukan oleh kemarahannya, tapi oleh
kemarahan Pedang Malaikat itu...."
"Tidak!" sanggah Lanangseta. "Kau tidak perlu
seperti yang lain, Kir...." Lanang tak jadi menyebutkan nama Kirana, takut
terjadi amukan badai yang dahsyat.
"Kau tidak seperti yang lain. Kau adalah istimewa bagiku...."
Lanang menyambut tangan Kirana. Kirana
tersenyum, tampak segunung ketenangan dan bangga
diri telah dipeluknya dalam hati.
"Tapi kesehatanmu belum mengijinkan kau berdiri di sini, Cantik... kau masih
harus di kamar, jangan
mencuri pembicaraan."
"Aku tidak sengaja mendengar semua pembicaraan
itu." "Ya, tapi kau masih lemah. Jangan jadi pencuri tak sengaja dulu. Kau harus
banyak beristirahat supaya
cepat sehat seperti sediakala."
"Aku yakin, dalam waktu dekat aku pasti akan pulih, sehat seperti sediakala.
Darahku tidak beracun lagi.
Senyummu sudah menawarkan racun dalam darahku,
Lanang...."
Sabdawana tahu diri, ia menyingkir perlahan-lahan,
memberi kesempatan kepada sepasang remaja yang
sedang memadu kerinduan itu. Hanya saja ia tak habis
pikir, mengapa ia menjadi mertua dari Malaikat Pedang Sakti, yang konon menjadi
buah bibir setiap orang itu"
Nasib keberuntungan siapa yang singgah dalam
hidupnya ini"
Lanangseta membimbing Kirana agar duduk dan
bersandar dengan santai. Tubuhnya yang kurus itu
dengan hati-hati sekali dituntun Lanangseta dan
ditempatkan seenak mungkin.
"Apakah kau tidak merasakan kejang lagi di setiap ototmu?" tanya Lanangseta.
"Tidak. Mungkin selamanya penyakit itu tak akan
kuderita lagi," bisik Kirana.
"Kenapa kau yakin begitu?"
"Karena ada Malaikat Pedang Sakti di sampingku."
Lanangseta tersenyum dalam tawanya yang pelan
bagai tawa sebuah gumam.
"Kau tak akan meninggalkan aku lagi, bukan?" tanya Kirana dengan mencoba
bersandar di dada Lanangseta.
"Oh, masih sehangat yang dulu," pikir Kirana pada saat itu. "Kalau aku pergi,
kenapa?" goda Lanangseta.
"Mungkin akan sakit lagi."
"Kenapa harus sakit lagi?"
"Karena aku akan merindukan kamu."
"Kalau kau rindu, kenapa itu?"
"Darahku akan berubah menjadi racun lagi."
"Kalau begitu aku tak akan pergi, tapi bagaimana dengan tantangan Begal Dogol
itu" Aku harus
mengawal ayahmu, bukan?" kata Lanangseta seraya
mengusap rambut Kirana yang dibiarkan meriap
panjang. "Ayah belum tentu berangkat ke Lembah Berdarah,"
jawab Kirana dalam bisik.
"Kau tahu apa sebabnya?"
"Sebab...." Kirana melirik ayahnya. "Oh, tak kelihatan." Maka ia pun menjawab
pertanyaan Lanangseta. "Sebab, ia telah berjanji di depan roh ibu, ketika roh ibu menemui
ayah pada suatu malam."
"Berjanji bagaimana?" desak Lanangseta penasaran.
"Ayah berjanji tidak akan bertarung lagi dengan
siapa pun. Ia hanya akan menggunakan kekuatan
bahasanya dalam bicara. Kalau memang orang itu
nekad akan membunuhnya, ia hanya akan berdoa
supaya ibu segera menjemput ayah."
"Aneh. Kenapa harus begitu?"
"Ayah ingin mati dalam jemputan ibu. Bukan mati
konyol atau mati penasaran di tangan musuh dan
dendam." "Romantis sekali ayahmu itu, Cantik."
Kirana berbisik pelan, persis di depan mulut Lanang,
"Wajar kan kalau putrinya mengikuti sang ayah?"
"Apa kau juga romantis?" goda Lanang.
"Apa kau tidak suka, Lanang?"
"Kau pernah mendengar aku berkata begitu?"


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kirana menggeleng. "Yang kutahu...." Kirana berhenti.
"Yang kau tahu, apa?"
"Yang kutahu... kau sudah lama tidak
menciumku...." jawab Kirana dalam desah yang lembut.
Lanang tersenyum mesra. Lalu ia menggoda lagi,
"Aku lupa bagaimana cara menciummu... kau mau
ajarkan cara itu padaku?"
"Kau harus memanggilku guru kalau begitu."
"Baik, Guru Cantik...."
Kirana terkikik samar-samar, dan Lanangseta pun
tertawa terpendam. Kemudian Kirana yang sedang
meneguk dahaga kerinduannya itu pun semakin
romantis. "Pejamkan matamu kalau ingin mencium gadis,"
ujarnya. "Kenapa harus memejamkan mata, Bu Guru?"
"Untuk memusatkan perhatian dan pikiranmu pada
rasa." "Rasa apa itu" Mual, mulas, pahit...?"
"Kalau kau bercanda, pelajaran akan kututup
sampai di sini," Kirana berlagak mengancam.
"Silahkan kalau Bu Guru bisa menutupnya...."
Kirana mencubit lembut bibir Lanangseta. "Jangan nakal, Lanang. Nanti kuhukum
kau." "Asal aku pandai mencium gadis, aku rela dihukum Bu Guru...." Lanang masih
meladeni kegembiraan
Kirana. Pikir Lanang, barangkali dengan begini ia bisa membalut luka yang selama
ini diderita Kirana dan
nyaris membuatnya terkubur. Barangkali inilah obat
yang ditunggu-tunggu oleh Kirana sepanjang hari.
"Lanang...?"
"Ya, Bu Guru...."
"Pejamkan mata," bisik Kirana.
"Yang kiri atau yang kanan, Bu Guru?"
"Keduanya, Sayang...."
"Ah, nanti saya tidak bisa melihat kecantikan Bu Guru."
"Kecantikanku hanya ada dalam jiwa dan sukmamu,
Lanang. Carilah kecantikan itu di sana, dan kau akan
menemukannya lebih dari yang pernah kau lihat."
Lalu, Lanang menuruti permintaan Kirana yang
mesra itu. Ia memejamkan matanya dengan bibir masih
tersungging senyum.
"Tahan nafasmu, Lanang...." bisik Kirana.
"Sampai berapa lama, Bu Guru?"
"Jangan terlalu lama, nanti aku kehilangan kamu,"
rengek Kirana menyejukkan hati Lanang.
"Saya sudah menahan nafas, Bu Guru."
"Diamlah sebentar...."
"Tidak boleh bicara, Bu?"
"Tidak boleh...."
"Kenapa tidak boleh?"
"Karena kalau kau bicara bibirmu bergerak-gerak.
Kalau bibirmu bergerak-gerak aku sulit mengecupmu,
Sayang." "Kalau begitu pegang saja bibir saya, Bu Guru, biar gampang dikecup."
"Dalam berciuman, tangan tak boleh menyentuh
bibir." "Kalau begitu, tangan saya harus menyentuh apa, Bu Guru?"
Suara Kirana semakin lirih dan mendesah,
"Memelukku...."
Lalu Lanangseta memeluk Kirana dengan mesra, dan
Kirana menyentuhkan bibirnya tipis-tipis ke bibir
Lanangseta. Ia menggeser bibirnya perlahan-lahan dan
bagai mengambang di bibir Lanang, sehingga nafas-
nafas mereka terasa menghangat di wajah masing-
masing. Lanangseta masih mengikuti permainan ala Kirana.
Bibirnya dibiarkan disentuh-sentuh dengan lidah
Kirana tipis-tipis dan membuat tubuhnya merinding.
Hati Lanang berdesir-desir. Tapi Kirana masih
menyentuh-nyentuhkan ujung bibirnya dan lidahnya ke
mulut Lanangseta. Tangan Lanang meremas punggung
Kirana samar-samar. Kirana mendesah, kemudian
segera melumat bibir Lanang dengan tak sabar lagi.
Lanangseta mengimbangi dalam kelembutan yang ada.
Dan Kirana semakin melumat bibir yang
menggairahkan itu. Sesaat mereka bercumbu, lalu
Kirana melepaskan ciumannya perlahan-lahan sekali.
Bibirnya ditarik mundur dengan amat pelan hingga
Lanangseta merasa berdesir-desir.
"Bagaimana, Lanang?" bisiknya setelah mengikik.
"Saya tidak merasa apa-apa, Bu Guru."
"Aku tadi sudah menciummu, masa' tak merasa?"
"Saya murid pelupa, Bu Guru. Coba diulangi sekali lagi, biar saya hafal
pelajaran ini."
"Ulangan akan diadakan nanti malam. Tidak
sekarang...!" Kirana terkikik geli, Lanang pun juga, lalu mereka saling
berpelukan dalam kasih dan kemesraan.
Namun, mendadak di benak Lanang teringat sesuatu:
bagaimana nasib Mahani"
*** 3 KEMESRAAN semakin membara, cinta telah
menuntut segalanya. Lanangseta sudah jelas, bahwa
selama ini rasa cemburunya telah dimanfaatkan
Prabima untuk memfitnah dan mematahkan percintaan
suci itu. Karenanya, Lanangseta tak ingin mengalami
kekejian fitnah dari pihak lain. Ia harus segera
mengawini Kirana Sari, putri dari Sabdawana. Namun
seperti syarat yang ditentukan dulu, yaitu mengalahkan orang-orang Tebing Neraka
dan sekuntum bunga teratai
dari Goa Malaikat sebagai mas kawinnya, mau tak mau,
Lanangseta harus melengkapi syarat tersebut. Orang-
orang Tebing Neraka telah berhasil dihancurkan, (dalam kisah GERHANA TEBING
NERAKA) dan kini Lanangseta
tinggal mencari kembang teratai dari Goa Malaikat.
"Aku akan menemui Sekar Pamikat untuk meminta
bunga teratai dari Goa Malaikat," kata Lanang. "Dia telah menjanjikannya tempo
hari sebelum aku
berangkat ke Tebing Neraka. Jadi, kurasa tak ada
masalah lagi, Cantik. Aku tinggal memintanya dan...."
"Dan kita akan segera menikah, bukan?" sambung Kirana dengan bersemangat.
Lanangseta hanya
mengerlingkan mata. Lalu keduanya tertawa dalam
pelukan. "Hati-hati, Lanang. Kali ini aku tak ingin kau gagal lagi," bisik Kirana.
"Jangan terlalu lama, nanti aku rindu. Aku tak bisa menahan rindu. Mungkin itu
kelemahanku dalam bercinta. Mungkin itu pula yang
menyebabkan dulu aku dilarang jatuh cinta kepada
seorang lelaki."
"Tunggulah sebentar. Hanya sebentar, Sayang...."
Goa Malaikat, sungguh merupakan suatu kenangan
manis bagi Lanangseta, namun juga kepahitan kisah
baginya. Di goa ini, ia berpisah dengan Putri Ayu Sekar Pamikat, yang kini telah
menjadi petapa cantik dalam
goa tersebut. Takdir telah menggaris kehidupan mereka, bahwa mereka harus
berpisah, sekalipun cinta sudah
terlanjur melekat erat.
Lanangseta tak mau banyak mengenang kisah lama.
Terlalu perih di hati jika dikenang. Ia menghela nafas dalam-dalam sebelum masuk
ke goa misterius itu. Ia
merangkak untuk masuk melalui mulut goa yang
sempit, seperti lubang sumur dalam posisi miring.
Lanang sudah sedikit tahu tentang rahasia goa
tersebut. Di antaranya, jika tak ada matahari pintu goa akan menutup sendiri.
Rapat, bagai tak pernah ada
pintu di situ. Namun jika goa itu terkena sinar
matahari, maka pintunya akan terbuka dengan
sendirinya, (kisah selengkapnya ada dalam cerita
MISTERI GOA MALAIKAT) demikian pula dengan lorong-
lorongnya yang dapat buntu mendadak jika pantulan
sinar matahari tidak lagi memasuki goa tersebut.
Bahkan Lanangseta masih ingat, pada dinding lorong
yang menuju ke kanan, tersimpan segudang emas bagai
bongkahan batu jika dindingnya terbuka oleh pantulan
sinar matahari. Tetapi Lanang tidak berminat untuk
memiliki emas yang ada di situ, karena selain
mempunyai resiko yang berbahaya, juga ia menganggap
bunga teratai yang harus diperolehnya dari goa tersebut lebih berharga ketimbang
bongkahan emas yang dapat
menjadi sumber bencana. Cintanya kepada Kirana,
lebih tinggi nilainya, lebih murni kadarnya ketimbang segunung emas Goa
Malaikat. Lanangseta menyusuri lorong yang ada di bagian kiri
dari arah dia masuk goa. Ia masih menemukan bekas
pakaian Gopo yang untuk alas tidur adik kembarnya:
Pendekar Maha Pedang, dulu ketika pendekar muda itu
terkena racun dari Sendang Bangkai, (dalam kisah
RAHASIA SENDANG BANGKAI)
Langkah Lanangseta yang telah menyusuri lorong
dengan tegap itu tiba-tiba terhenti. Ia sedikit ragu
melihat seorang pemuda berada di dalam goa tersebut.
Pemuda itu sedang berjalan masuk, sehingga ia tidak
tahu kalau di belakangnya Lanangseta berhenti
memperhatikan langkahnya. Siapa pemuda itu" Ini
yang menjadi pertanyaan Lanang pada saat terbengong
melompong memandang langkah pemuda itu.
Bukankah goa ini adalah goa larangan bagi siapa
saja" Kecuali keluarga leluhur Kirana, tak boleh seorang pun masuk ke dalam Goa
Malaikat. Mungkinkah
pemuda itu tersasar jalan seperti diri Lanang dulu"
Lanang mengikuti terus langkah pemuda tersebut. Ia
ingin tahu, apa dan siapa itu sebenarnya. Langkah yang begitu cepat, seakan ia
sudah hapal dengan liku-liku
lorong yang banyak terdapat dalam goa tersebut.
O, agaknya pemuda berpakaian necis, berwarna biru
muda itu memang sudah beberapa saat tinggal di dalam
goa tersebut. Buktinya ia menuju suatu tempat yang
lebih lega, di mana di situ terdapat lima obor pada
dinding goa. Obor itu cukup sederhana: potongan kain
dibungkuskan pada batang kayu, dan dinyalakan.
Begitu saja. Ada lima obor yang dikaitkan pada dinding goa. Pemuda itu dengan
santai mengambil sebilah
pedang bersarung emas yang diletakkan pada
tumpukan dedaunan kering. Agaknya tumpukan
dedaunan kering itulah tempat tidurnya.
Jika melihat bentuk dan potongan pakaiannya, ia
seperti keturunan bangsawan, setidaknya putra seorang demang yang punya pengaruh
kuat di tengah masyarakatnya. Tapi melihat wajahnya yang tampan,
bersih, dan bermata bulat membelalak indah itu,
sepertinya Lanang pernah melihat wajah tersebut. Tapi
kapan dan di mana, Lanangseta benar-benar tak
mampu mengingatnya. Ia mengintip dari satu celah
dinding yang berongga, dan memperhatikan semua
gerak-gerik pemuda itu sambil mengingat-ingat seraut
wajah. Tapi sampai begitu lama, Lanang bagai
menemukan kekusutan otak belaka. Ia tak mampu
mengingat apa-apa. Yang ia tahu, pemuda itu berusia
jauh lebih muda darinya. Mungkin seusia dengan Jaka
Bego. Pemuda itu pantas menjadi adiknya. Hidung dan
bulu mata yang tebal, semua persis dengan yang ada di wajah Lanangseta. Ganteng.
Lanang juga ganteng.
Tapi alas kakinya yang terbuat dari bahan halus,
berbulu indah warna merah, sungguh menampakkan
betul sebagai alas kaki anak seorang raja. Siapa dia
sebenarnya" Penasaran sekali Lanangseta dibuatnya. Ia bermaksud menampakkan
diri, tapi Lanangseta
tercengang sejenak oleh suara pemuda itu yang bagai
bicara sendirian, "Seorang tamu yang datang dengan sembunyi-sembunyi, tak lebih
dari seorang pencuri...."
Dahi Lanangseta berkerut. Dirinya itukah yang
dimaksud seorang tamu" Pemuda itu berkata lagi,
"Sesuatu yang tersembunyi, biasanya mempunyai
kebusukan. Tapi kebusukan itu cepat atau lambat akan
ketahuan. Jadi buat apa bersembunyi di sana, Kawan?"
Lanangseta yakin, pemuda itu berbicara kepada
dirinya. Memang mata pemuda berpakaian biru muda
yang indah itu tertuju kepada pedangnya yang
bersarung kuning emas. Tetapi dari nada bicaranya,
Lanangseta yakin betul bahwa dialah yang sedang
diajak bicara pemuda itu.
Sambil berkerut dahi, akhirnya Lanangseta pun ke
luar dari tempat persembunyiannya. Pemuda itu
bergegas bangkit ketika Lanangseta berkata, "Kau bicara denganku, Kawan?"
Pemuda itu berjalan mendekati Lanangseta sambil
tertawa lepas. Lagi-lagi Lanangseta harus berpikir, di mana ia pernah mendengar
suara tawa yang khas
seperti itu"
Pemuda itu menggenggam pedang sarung emasnya
di tangan kiri, dan menjabat tangan Lanangseta dengan senyum yang mempesona.
Ganteng, bak senyum
seorang pangeran. Ia berkata dengan suaranya yang
empuk, "Selamat datang ke Goa Malaikat lagi,
Lanangseta...."
"Hai"!" Lanangseta semakin heran. "Kau mengenal namaku?"
"Tentu," jawabnya, lalu tertawa lagi. "Aku tak pernah melupakan kamu, Pendekar
tampan. Aku tak pernah
melupakan sepasang pendekar kembar. Lanangseta
yang bergelar Pendekar Pusar Bumi, dan Ekayana, yang
bergelar Pendekar Maha Pedang. Kalian berdua sama
hebatnya."
Pusing sekali kepala Lanang menghadapi masalah
itu. Pemuda itu enak sekali bicara, merasa sudah
mengenal lama dan akrab. Pemuda itu tidak asing lagi
dengan Lanangseta. Tapi Lanangseta mengapa belum
bisa mengingat-ingat siapa pemuda tersebut. Sikapnya
yang ramah dan suka tertawa sering menggoda hati
Lanang untuk semakin mengorek ingatannya. Siapa" Di
mana" Kapan" Ah... kacau!


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu banyak tentang aku?" Lanang bertanya heran.
"Ya," jawabnya sambil tertawa pendek.
"Tapi aku tidak tahu, siapa kamu"! Aneh."
"Ya," jawab pemuda itu, seakan mengajak bercanda.
"Ya, bagaimana" Apanya yang 'Ya'?"
"Kebingunganmu, Lanang." Ia tersenyum-senyum, matanya yang membelalak dan
berbulu lentik itu
mengawasi Lanang dengan kesan kerinduan yang kini
telah terpenuhi.
"Siapa namamu, Kawan?" tanya Lanangseta.
"Wijaya."
"Wijaya..."!" Lanang mengingat-ingat.
"Wijaya Buana."
"Wijaya Buana"!" kerutan dahi Lanang kian tajam.
"Rasa-rasanya aku belum pernah berkenalan dengan orang yang bernama Wijaya
Buana. Sungguh!"
Dengan berani dan bersikap sok akrab, pemuda itu
memegang kedua pundak Lanang dengan kedua
tangannya. Mata mereka saling tatap, tapi berbeda sorot hati yang ada. Wijaya
Buana memandang dengan
perasaan gembira, dan Lanang dengan tatapan heran
penuh selidik. "Goa ini penuh keanehan," gumam Lanang.
"Benar. Dan aku ini sebagian dari keanehan itu."
"Sebagian" Dari keanehan" Apa maksudmu?"
Pemuda itu tertawa, lalu meredakan tawanya.
"Pernah mendengar tawa itu?"
Lanang manggut-manggut bagai orang tolol.
"Sepertinya aku memang pernah mendengar suara tawa itu."
"Tidak ingat siapa pemiliknya?"
"Aku lupa. Sungguh. Bukan aku sombong, tapi aku
benar-benar lupa. Maafkan aku...."
Pemuda itu tertawa lagi, kemudian dengan
merangkul Lanang ia mengajak Lanang berjalan. Akrab
sekali. Sedangkan Lanang... bingung sekali.
"Barangkali karena memandang wajahku, kau lupa
dengan suara tawaku. Coba pejamkan mata dan
dengarkan sekali lagi. Aku akan tertawa, dan kau
memusatkan ingatanmu."
Mereka berhenti melangkah di dekat obor. "Tidak.
Sebutkan saja siapa kamu sebenarnya dan di mana kita
pernah bertemu" Aku tak punya waktu."
"Tidak, tidak, tidak...!" sergah Wijaya. "Aku ingin
membuat kau terkejut. Atau, sekarang sebaiknya kau
terkejut dulu baru kuberitahu siapa aku dan di mana
kita pernah bertemu. Bagaimana...?" Pemuda itu
tertawa lagi dengan girang. Lanangseta seperti orang
tolol yang sedang dipermainkan.
"Ayo, pejamkanlah mata dan simaklah tawaku...."
Akhirnya Lanangseta pun memejamkan mata.
Pemuda itu tertawa lagi. Kali ini tawanya agak panjang dan tubuh Lanangseta
merasa gemetar jadinya.
Lanangseta buru-buru membuka mata, lalu menatap
tak berkedip pada pemuda itu.
"Bagaimana, sudah kau temukan siapa aku?"
Lanangseta terbengong lama. Dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki pemuda tampan itu diperhatikan
dengan teliti. Lalu ia menggumam dengan ragu,
"Mustahil...."
"Bukan...!" pemuda itu tertawa geli. "Namaku bukan Mustahil. Hei, jangan ngacau
kamu...." "Ya, aku tahu namamu bukan Mustahil. Tapi sekilas nama yang melintas dalam
ingatanku itu yang
mustahil."
"O, ya" Nama siapa itu" Sebutkanlah, Lanang.
Sebutkanlah. Ayo...."
"Seperti... seperti tawanya... Tongkat Besi?"
"Tongkat Besi" Wouw... bukan!"
"Jadi, siapa kamu. Aku sudah menyerah."
Pemuda yang mengaku bernama Wijaya itu
menepuk-nepuk pundak Lanangseta yang
dirangkulnya. "Kau pernah diculik Peri Sedang Bangkai?"
Lanang mengangguk dengan sangsi dan curiga. Ia
memasang kewaspadaan.
"Kau pernah diselamatkan oleh putri Ayu Sekar
Pamikat?" Lanang mengangguk lagi, makin curiga.
"Dan... kau pernah mendengar nama Gopo?"
Lanang mengangguk lagi, tanpa komentar.
"Itulah aku... Go-po..." Kemudian pemuda itu tertawa melihat Lanangseta
terperanjat kaget seraya
menatapnya tanpa berkedip. Tawanya itu kini telah
mengingatkan otak Lanangseta, bahwa ia pernah
mempunyai teman yang tertawa seperti itu, dan
bernama Gopo. Maka, tak ragu lagi Lanang segera
memeluk pemuda itu dalam satu keharuan tersendiri.
"Gopo...! Kau gila...! Kau bisa jadi seperti pangeran!"
"Memang aku calon raja," kata Gopo yang berubah ujud dan nama menjadi Wijaya
Buana. "Sungguh aku tak habis pikir, bagaimana bisa kau seperti ini" Dulu badanmu
besar, mirip raksasa,
wajahmu kasar dan...."
"Cukup, cukup...!" sergah Gopo. "Jangan mengungkit masa lalu. Aku suka malu
sendiri." "Jadi bagaimana kau bisa menjadi begini?" tanya Lanang sambil duduk di tumpukan
daun kering. Ia
kelihatan gembira sekali setelah sekian lama
meninggalkan Goa Malaikat dan berpisah dengan Gopo,
sekarang dapat bertemu lagi dalam keadaan yang
sangat di luar dugaan. Bahkan terlalu khayal baginya.
"Lanang, kisahku panjang sekali. Terutama diawali dengan kisah Ludiro yang
menggiurkan hatiku. Kisah
tentang Lumut Bercahaya yang dimakannya itu dan
membuat tubuhnya menjadi kebal senjata. Aku ingin
menyusuri goa itu dan ingin memakan lumut itu,
tapi...." Gopo alias Wijaya Buana itu terkekeh sendiri.
"Aku tersasar di suatu tempat, Lanang. Aku hampir menangis karena tidak bisa
menemukan jalan menuju
tempat kalian berkumpul itu. Lalu, aku menemukan
sebuah telaga, yang menurutku hanya sebuah kolam
yang terjadi secara alam, tanpa dibuat seseorang. Telaga
itu ada di dalam goa ini. Airnya bening dan segar. Aku nekad mandi dan beberapa
kali meminum air telaga itu, walau sebenarnya aku tidak haus. Nah, waktu aku
menyelam di kedalaman telaga itu, tiba-tiba aku jadi
seperti bisa bernapas. Aneh kan" Aku bermain lama
sekali di dalam air telaga itu, melihat dinding-dinding telaga yang bergambar
relief. Ternyata gambar relief
dalam dinding telaga itu adalah sebuah rangkai jurus-
jurus silat kuno. Aku berhasil mempelajarinya dalam
waktu singkat, dan tanpa menghirup udara dulu ke
atas telaga. Aku tetap berada di dalam air telaga. Lalu, ketika aku muncul di
permukaan air, kulihat tubuhku
telah berganti ujud, dan leherku terkelupas sedikit.
Kukira aku terluka ternyata... itu adalah insang
pernapasanku selama aku belajar ilmu silat kuno di
kedalaman air telaga...." Kemudian Gopo membuka
krah leher bajunya dan memperlihatkan kulitnya yang
bagai robek beberapa senti.
Kulit yang robek seperti diiris itu berdenyut-denyut
bagai mengisap sesuatu. Lalu, Gopo pun berkata,
"Inilah insang yang dapat kupakai bernapas di dalam air. Dan beginilah gerakan
insangku jika sedang
bernapas."
"Ajaib sekali...!"
"Memang. Memang sangat ajaib perjalanan hidup ini.
Dan waktu aku melihat tubuhku sudah berubah ujud
seperti ini, lalu aku menangis. Menangis dalam
keharuan. Tetapi, tiba-tiba, Nang... aku melihat Sekar Pamikat menghampiriku dan
membawakan pakaian ini.
Aku bertanya kepada Sekar Pamikat, apakah dia masih
ingat padaku" Ternyata dia masih ingat, Nang. Terus...
ia menjelaskan, bahwa semua ini terjadi karena
memang sudah seharusnya terjadi. Jadi bukan secara
kebetulan. Memang beginilah nasib dan takdir hidupku.
Sama seperti dirinya yang menjadi petapa di dalam goa
ini, untuk selanjutnya menjadi milik goa ini. Kemudian, aku diberi pakaian
seperti ini, Nang. Bagus ya?"
"Sangat bagus," jawab Lanang. "Lalu, kenapa kau tidak segera ke luar dari goa
ini?" "Sekar Pamikat melarangku ke luar dari goa ini,
sampai pada suatu saat nanti, ada seorang putri raja
yang tersasar ke mari dan mengenalku. Putri raja itulah calon istriku, dan aku
akan menjadi raja di suatu
tempat menggantikan kedudukan ayahnya. Tapi aku
tidak tahu raja mana dan putrinya cantik atau tidak...
aku tidak tahu." Gopo tertawa. Lanjutnya, "Kemudian aku diberi nama baru...
Wijaya Buana. Gusti Ayu yang
memberiku nama itu."
"Siapa Gusti Ayu itu?"
Wijaya berbisik, "Bekas kekasihmu dulu. Sekar
Pamikat. Masa' lupa..." Dialah penunggu dan penguasa
segala kekayaan goa ini."
"Oooh..." Lanangseta manggut-manggut. Ia
memperhatikan Gopo yang sudah berubah menjadi
pemuda ganteng dan punya kelainan, yaitu di kedua
lehernya terdapat insang pernapasan jika ia berada di kedalaman air.
"Nah, sekarang apa tujuanmu ke mari?" tanya Wijaya.
"Aku akan menikah dengan seorang gadis, dan mas
kawinnya adalah bunga teratai dari dalam goa ini."
Wijaya Buana tertawa, "Aku tahu, aku tahu...! Itu yang namanya teratai Wingit."
Lanangseta terperanjat sedikit, nama teratai itu
sama persis dengan nama rumah Kirana. Lalu apa
sebenarnya hubungan antara bunga teratai yang ada di
goa tersebut dengan rumah kediaman Kirana itu"
Lanang tak sempat berpikir panjang lebar karena Gopo
telah menggeret tangannya seraya berkata, "Mari
kutunjukkan tempatnya...! Bunga teratai itu adalah
satu-satunya bunga yang tumbuh di dalam goa ini.
Letaknya di tengah telaga yang kuselami dulu itu. Nah, mari kubawa kau ke sana.
Tapi, o, ya... sebaiknya kau tetap harus meminta ijin kepada Sekar Pamikat lebih
dulu, sebab ia pernah melarangku mengambil bunga
tersebut sekalipun aku kagum terhadap keindahan
bunga itu."
Gopo yang tampan, Gopo yang tidak sekasar dulu,
hanya gaya candanya yang masih kelihatan itu, dengan
gembira mengantar Lanangseta menuju ruangan
khusus di bawah goa. Mereka menuruni tangga yang
terdiri dari 100 anak tangga.
"Aku pernah masuk ke sini, ketika aku harus
meminta restu kepada Sekar sebelum aku berangkat
mengalahkan orang-orang Tebing Neraka," kata
Lanangseta. Gopo melepaskan pegangan tangannya.
"Huhh... kalau begitu buat apa aku menuntunmu ke mari. Kukira kau belum tahu
tempat pertapaan Gusti
Ayu!" "Sebagai teman baik, ada perlunya kau menyertaiku, Gopo. Eh, aku memanggilmu
bagaimana" Gopo atau
Wijaya?" "Kalau sedang sepi, tak ada orang lain, yaah...
panggil saja Gopo. Tapi kalau sedang ada orang, apalagi gadis calon istriku
nanti, jangan panggil Gopo, ah! Malu aku. Panggil saja Wijaya. Manis kan...?"
Lanangseta tidak menyahut kecuali hanya mencibir
dan menuruni tangga sejumlah 100 anak tangga itu.
Lalu, tak berapa lama mereka tiba di depan sebuah
ruangan khusus yang tertutup pintu batu berbentuk
lengkung atasnya. Ruangan itu ada di dalam sebuah
ruangan yang lebar, konon tempat para leluhur Kirana
bertemu. Di depan pintu batu berbentuk lengkung
atasnya itu, Lanang diam sesaat, menjernihkan hati dan pikirannya.
Lanang masih ingat bagaimana cara membuka pintu
tersebut. Dengan kelembutan.
Maka ia mengetuk pintu itu tujuh kali dengan
lembut, dan tak lama pintu pun bergerak perlahan.
Gerakan pintu ke samping dan sangat pelan. Kemudian
tampaklah seorang perempuan dengan rambut terurai
mengenakan jubah putih bening seperti dari bahan
satin, dan begitu lembutnya sehingga bagian bawah
gaun yang menyentuh ke tanah itu seperti busa-busa
salju berserakan. Perempuan itu tak lain dari Sekar
Pamikat, yang dulu pernah melekat di hati Lanangseta.
Maka, begitu melihat kecantikan Sekar yang semakin
mirip bidadari itu, hati Lanangseta bagai teriris pilu, ingat masa-masa
perempuan cantik itu ada dalam
pelukannya. Sayang ia sekarang sudah menjadi petapa
suci yang... Pikiran Lanang tak sempat berlanjut karena ia melihat suatu
kejanggalan pada diri Sekar Pamikat.
Perempuan cantik yang bersih, lembut bagai bidadari
dan termasuk orang suci itu, kini berlutut di depan
Lanangseta. Ia berlutut dan membungkukkan badan
dengan kepala tertunduk sebentar.
"Apa-apaan ini" Aku ke mari mau minta ijin untuk mengambil bunga teratai," kata
Lanang seperti bicara pada diri sendiri.
"Sekar... bangunlah." kata Lanang lagi.
"Sepantasnya saya memberi sembah dan hormat
kepada Putra Dewa yang agung...." ucap Sekar Pamikat lirih. Tapi justru membuat
Lanang kebingungan. Ia
memandang Wijaya maksudnya hendak minta
pertimbangan dan sedikit komentar tentang apa yang
harus dilakukannya dalam keadaan begini. Tapi, tiba-
tiba Wijaya sendiri bagai penuh ketakutan. Ia jadi
berlutut, membungkukkan badan dan menundukkan
kepala. "Ampunilah saya... saya tidak tahu kalau Putra Dewa
adalah orang yang pernah saya kenal dulu...." kata Wijaya yang bagai kehilangan
candanya dan menjadi
takut sekali. "Sekar, apa maksud semua ini"!"
Jawab Sekar Pamikat sambil masih berlutut, "Saya mencium bau wangi darah dewa.


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya yakin, darah itu
membekas di pedangmu. Dan saya harus tunduk,
menyembah kepadamu, karena kau sudah menjadi
Putra Dewa. Dan saya sudah siapkan setangkai teratai
Wingit buatmu, semoga bahagia kau bersama putri
Bukit Badai, semoga rukun selalu dengannya...."
Lanangseta bingung, apa yang harus dilakukannya"
Betulkah dia lebih agung dari pada petapa suci Goa
Malaikat ini"
*** 4 TERATAI Wingit, ternyata nama setangkai bunga
teratai berwarna jingga. Besarnya seukuran piring
makan, mengabarkan bau harum yang lembut, lain
daripada yang lain. Tangkainya ada satu jengkal
berwarna merah tua. Memang cukup aneh dan
menarik, tapi lebih dari itu, teratai Wingit seakan
merupakan kunci perkawinan Lanangseta dengan
Kirana. Di sanalah ada cinta. Dalam teratai itu
tersimpan segenggam cinta suci penuh pengorbanan.
Terserah pandangan yang memandang, Cinta Sekar
Pamikat, atau cinta Lanang kepada Kirana"
Yang jelas, perasaan Lanangseta terbagi menjadi dua
bagian ketika membawa pulang teratai Wingit itu,
Antara bangga dan suka karena sebentar lagi ia akan
mempersunting Kirana, serta haru karena ia telah
melepas cintanya kepada Sekar Pamikat, bahkan Sekar
Pamikat sendiri yang memetikkannya dan memberikan
teratai itu kepada Lanangseta. Simbol suatu kemurnian cinta kasih yang diberikan
dengan kerelaan dan
pengorbanan. Waktu meninggalkan Goa Malaikat, Lanangseta
sempat diantar oleh Gopo dengan suatu penghormatan
melebihi seorang panglima yang hendak berangkat
bertempur. Gopo mengantar sampai di luar pintu goa, ia berdiri terus di samping
lobang goa sampai Lanangseta menghilang di balik kerimbunan pohon lembah Bukit
Badai. Sepanjang perjalanan menuju Griya Teratai Wingit,
hati Lanangseta tak henti-hentinya berdebar. Sesekali ia tersenyum membayangkan
masa-masa indah yang akan
dilaluinya bersama Kirana Sari. Sesekali Lanangseta
sengaja mengendus bau harumnya teratai Wingit itu.
Tapi pada suatu langkah, ia terpaksa harus berhenti
dengan gerutu di dalam hati.
Dua orang berpakaian seragam menghadang
Lanangseta. Mereka sama-sama mengenakan baju lapis
logam yang dirajut sedemikian rupa sehingga
menyerupai penutup dada. Kilatan cahaya matahari
yang memantul dari baju anti senjata itu membuat
mata Lanangseta mengerjap silau. Seragam celananya
warna merah dari bahan halus dan mahal. Pada bagian
tepi celana terdapat garis lurus dari pinggang ke mata kaki. Garis itu berwarna
kuning gading. Demikian juga dengan baju lengan panjang yang rapat sampai
pergelangan tangan mereka. Sedangkan di kepala
Amanat Marga 8 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Bayar Nyawa 2
^