Pencarian

Dendam Darah Tua 2

Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Bagian 2


mereka terdapat semacam topi keprajuritan warna biru
tua berhias lempengan emas. Di bagian tengah topi ada semacam besi meruncing juga berwarna kuning emas.
Sementara penutup dadanya yang berwarna tembaga
dan berbentuk bulat. Kedua orang ini sama-sama
bermata sipit dan berkulit kuning. Jelas mereka bukan dari bumi Nusantara,
melainkan dari tanah seberang
yang menurut dugaan Lanangseta, mereka dari negeri
Cina. "Tak salah lagi, inilah orangnya, Chang Hu," kata seorang dari mereka kepada
temannya. Temannya
manggut-manggut. Matanya yang sipit memandang
tajam kepada Lanangseta. Lalu ia menjawab, "Ya. Ini orangnya. Kita bicara baik-
baik, kalau dia tidak mau
bersikap baik, baru kita hajar dia, Yang Lung."
Kedua orang itu dapat diketahui namanya, yang satu
Chang Hu, yang satunya lagi Yang Lung. Untuk
menandai yang mana Chang Hu, ialah pada kumisnya.
Kumis Chang Hu tak begitu lebat, namun turun ke
bawah dan nyaris menjadi satu dengan jenggotnya yang
sedikit, mirip segenggam lumut hitam. Namun
keduanya sama-sama pedang lebar bertangkai panjang,
menyerupai sebuah tombak. Di antara pedang dan
tangkainya terdapat rumbai-rumbai halus berwarna
merah, saat ini mirip sejumlah rambut yang meriap-riap dihempas angin.
"Siapa kalian" Ada urusan apa denganku?" kata Lanangseta sambil semakin hati-
hati membawa bunga
teratainya. "Aku Chang Hu, kepala keamanan kapal, dan ini
wakilku yang bernama Yang Lung. Kami datang dari
negeri Cina...."
"Untuk keperluan apa?" tanya Lanang sambil alisnya berkerut tajam.
Yang Lung yang bertubuh sama besar dengan Chang
Hu, hanya sedikit lebih pendek itu, segera menyahut
jawaban, "Kami mendapat tugas dari Kaisar untuk
mengawal Laksamana Chou ke negeri ini dalam urusan
dagang. Dan seperti kau ketahui sendiri, Laksamana
Chou mempunyai seorang anak gadis yang bernama Yin
Yin. Selama ini kami sudah melarang kau berhubungan
dengan Nona Yin Yin. Tetapi keduanya sama-sama
nekad. Lalu, Laksamana Chou sudah hilang
kesabarannya sejak putrinya kau bawa lari tiga hari
yang lalu. Jadi, demi keselamatanmu, berikanlah
kepada kami Nona Yin Yin, dan jangan lagi
berhubungan dengannya. Dua hari lagi kapal kami
akan bertolak kembali ke negeri Cina, dan...."
"Tunggu sebentar!" sergah Lanangseta yang semakin tidak mengerti dengan kata-
kata kedua utusan dari
negeri Cina itu.
"Yin Yin itu siapa" Dan seperti apa ujudnya" Aku belum pernah mengenal Yin Yin!"
"Tak perlu berpura-pura begitu!" Chang Hu mulai menggertak dengan langkah maju
satu kali. "Semua orang kapal tahu kalau kau sering menunggu Yin Yin di pantai,
lalu mengajaknya ngobrol. Laksamana Chou
sendiri pernah melihat kalian saling bergandeng tangan.
Kau pikir, kau pantas berhubungan dengan Nona Yin
Yin"! Dia anak seorang Laksamana, tahu" Bukan anak
pelaut sembarangan!"
"Gawat!" pikir Lanangseta. Ini pasti salah alamat.
Lanang sendiri merasa tidak pernah mempunyai teman
gadis orang Cina, mengapa sekarang ia jadi terlibat
urusan dengan kedua pengawal Laksamana Chou ini"
Pasti ini ulah Prabima yang ingin menggagalkan
perkawinan Lanang dengan Kirana. Entah dengan cara
bagaimana, Prabima memanfaatkan tamu asing ini
untuk terlibat urusan dengan Lanangseta. Karenanya
Lanangseta segera berkata dengan tegas, "Chang Hu dan Yang Lung... kalian salah
alamat. Bukan aku orang yang kalian cari. Aku memang mempunyai musuh, dan
ia sangat licik. Mungkin kalian dimanfaatkan untuk
menyerang aku dengan caranya sendiri."
"Hayaa... jangan bohong! Kamu membawa bunga
teratai, bukan" Dan bunga itu adalah bunga kesukaan
Nona Yin!" kata Yang Lung. "Pasti bunga itu akan kau sampaikan kepada Nona Yin,
supaya dia bisa kamu
bujuk untuk mengikuti semua keinginanmu. Betul,
bukan?" "Bunga teratai..."!" Lanangseta memandang bunga teratai Wingit yang masih di
tangan kirinya, dekat
dengan dada. "Benar," sahut Chang Hu. "Kalau kamu tidak membawa bunga teratai, mungkin kami
bisa kamu bohongi. Tapi bunga teratai itu sudah menandakan
bahwa kamulah orang yang membawa lari Nona Yin.
Kamu pasti mau serahkan bunga itu kepadanya,
bukan?" "O, bukan! Kalian salah duga...!" bantah Lanangseta.
Sebenarnya ia ingin menerangkan keadaan sebenarnya,
tapi Chang Hu sudah terlanjur hilang kesabarannya.
"Yang Lung...! Serang...!" teriaknya sambil maju menyerang Lanangseta dengan
pedang jagalnya. Mau
tak mau Lanangseta melompat menghindar ujung
pedang yang menyerang ke arah dadanya. Namun pada
waktu bersamaan tahu-tahu kaki Yang Lung
menghentak ke atas, hampir membentuk sudut 180?.
Tendangan itu mengenai pinggul Lanangseta sehingga
Lanang menjadi limbung.
Lanang baru saja meletakkan kakinya ke tanah, dan
disambut oleh pedang Yang Lung yang menebas kepala
Lanang. Secepat kilat Lanang berguling ke depan.
Chang Hu melompat dan jatuh di depan Lanang,
sehingga Lanang tak jadi berdiri karena pedang itu
dikibaskan, bagai sebuah sapu yang sedang menghalau
kotoran. Sekali lagi Lanangseta koprol dan menggunakan
kesempatan untuk meletik bagai udang, lalu bersalto
dua kali dan mendarat dengan manis di tempat sepi.
Mereka berjarak antara 7 sampai 8 kaki dari kedua
belah pihak. "Tunggu sebentar, jangan keburu nafsu...!" teriak Lanangseta, maksudnya supaya
mereka menahan kemarahan. Tapi seruan itu tidak dihiraukan. Chang
Hu mengambil pisau belati dari balik punggungnya dan
dilemparkan dengan kecepatan luar biasa ke tubuh
Lanangseta. Lanangseta menghindar ke kiri, tapi
ternyata kepalanya itu disambut oleh pisau kecil yang meluncur dari tangan Yang
Lung. Pada saat itu bunga teratai hampir jatuh dari tangan
Lanangseta, sehingga pikiran Lanang terpusat untuk
menyelamatkan bunga tersebut agar tak jatuh dari
tangannya. Dan ia sempat tercengang melihat benda
kecil mengkilat itu meluncur di depan hidungnya. Tak
ada waktu dan kesempatan untuk menghindar. Hanya
saja, benda tersebut tiba-tiba berbelok arah karena
mendapat sentuhan benda kecil lainnya yang
menimbulkan suara "Ting...!" Ternyata benda yang menyentuh pisau kecil itu
adalah sebutir batu yang
melesat dari arah balik pohon. Kesempatan itu
digunakan oleh Lanangseta untuk bersalto ke belakang
dan berdiri tegak di samping pohon tersebut.
"Hei...!" sapa seorang pemuda berpakaian compang-camping yang bertubuh kurus
kerempeng. "Bego...! Kenapa ada di sini?"
"Aku sedang jalan-jalan. Habis di rumah, paman
Ludiro marah-marah terus padaku," kata Jaka Bego yang bersembunyi di balik
pohon. Lanangseta tak sempat ngobrol dengan Jaka Bego,
karena kedua utusan dari negeri Cina itu telah
menghampirinya dengan pedang bertangkai panjang
tertuju ke arah depan.
"Bawa bunga ini. Hati-hati, jangan sampai jatuh...!"
Setelah menyerahkan bunga teratai Wingit kepada
Jaka Bego, Lanang pun menyongsong serangan
lawannya dengan meloncat maju dan melewati atas
kepala dua lawannya. Kedua prajurit negeri Cina itu
berbalik arah. Mereka tetap menyerbu bersama dengan
senjata yang kembar. Rumbai-rumbai merah di pangkal
mata pedang itu berkelebat ketika Chang Hu
mengibaskannya dalam jarak tiga langkah di depan
Lanangseta. Lanang merundukkan badan dan mencoba
menangkap tangkai pedang, namun ia gagal. Yang Lung
telah mendahului meloncat dan bersalto ke arah Lanang dengan senjata panjang
ditusukkan ke dada
Lanangseta. Tapi Lanangseta mampu berkelit ke kiri
dan memukul lengan Yang Lung dengan keras. Hampir
saja senjata itu jatuh kalau tidak buru-buru diambil
alih oleh tangan kiri Yang Lung. Pada saat itu, Yang
Lung sempoyongan dan menyeringai kesakitan karena
pukulan Lanang. Hal itu digunakan sebaik mungkin
oleh Lanang untuk menendang punggung Yang Lung
sehingga lelaki itu tersungkur.
"Kuminta kalian jangan membuang-buang nyawa di
sini!" geram Lanangseta memperingatkan lawannya.
"Aku tidak kenal dengan gadis yang kalian cari. Kalian salah duga!"
"Pencuri mana yang akan mengaku sebelum dihajar
sampai hancur...!" balas Chang Hu sambil menyerang Lanang. Tombak bermata pedang
itu diputar cepat di
depannya, membentuk sebuah perisai yang agaknya
sulit ditembus karena kecepatan putarnya. Lalu tiba-
tiba putaran itu berhenti dan tahu-tahu ujung pedang
telah melesat maju, nyaris menusuk leher Lanangseta
jika Lanang tidak bergerak memiringkan badan ke
samping kiri. Sambil mengelak, tangan Lanang berhasil memegang tangkai pedang
tersebut. Chang Hu mencoba
menariknya seketika, namun tak berhasil. Tetapi
tangan kiri Lanang telah berhasil menghantam bawah
ketiak Chang Hu, dan membuat Chang Hu meringis
kesakitan. "Kasihan mereka harus mati karena kesalah-
pahaman," pikir Lanangseta. Sebab itu ia segera melesat dalam satu hentakan
kaki, tinggi, dan berguling di
angkasa beberapa kali sehingga ia berhasil mencapai
dahan pohon. Di luar dugaan, Yang Lung telah
menyusulnya dengan satu kali hentakan badan, ia
seperti terbang lurus ke atas dan bertengger pada satu dahan, sama dengan dahan
yang diinjak Lanangseta. Ia
segera menyerang dengan pedangnya yang panjang itu.
Lanang mencoba mengelak dan menendang Yang Lung
dengan kaki kanannya yang lurus ke samping atas
dengan keras dan kaku. Yang Lung berteriak kesakitan
setelah pelipisnya berhasil ditendang Lanang sekuat-
kuatnya. Ia limbung dan jatuh dari atas pohon tanpa
mampu mengontrol keseimbangan tubuhnya.
Pada waktu Yang Lung jatuh, Jaka Bego ada di
bawahnya persis. Ia segera berlari takut kejatuhan
tubuh Yang Lung. Gerakan Jaka Bego yang ketakutan
itu sempat mematahkan dahan pada pohon kecil di
sampingnya. Patahannya membentuk keruncingan
sendiri sehingga pada waktu Yang Lung jatuh, kaki
Yang Lung sempat menghantam patahan dahan
tersebut. Di luar dugaan, kayu runcing itu telah
menusuk paha Yang Lung dan tembus sampai ke
atasnya. Yang Lung menjerit kesakitan. Salah satu
kakinya berhasil berdiri di tanah sedang kaki kirinya masih tersangkut pada
dahan pohon yang runcing itu.
Waktu itu, Chang Hu meloncat tinggi sekali dan
melesat ke arah Lanangseta. Gerakannya begitu cepat,
ia melewati atas kepala Lanangseta, tapi ternyata
kakinya bergerak ke belakang dan berhasil mengenai
punggung Lanang. Lanang terjatuh tapi masih bisa
mengatur keseimbangan tubuh. Lalu Chang Hu
melompat sambil bersalto dan mendarat di dekat
Lanangseta. Sementara itu Yang Lung masih berteriak-teriak
kesakitan dan menyumpah-nyumpah memakai bahasa
Cina. Jaka Bego memperhatikan dari arah depan Yang
Lung. Ia melongo sambil memandang wajah Yang Lung
yang menyeringai menahan sakit akibat pahanya
tertusuk dahan yang patah.
"Sakit, ya...?" tanya Jaka Bego dengan cemas. Yang Lung mengangguk. Ia menuding-
nuding pahanya yang
ditembus kayu sebesar tangkai pedangnya. Maksudnya
meminta bantuan Jaka Bego untuk melepaskan kayu
tersebut dari pahanya. Ia tak mampu melepas sendiri
sebab posisinya terbalik, di mana wajah dan bagian
dadanya menghadap ke tanah, sedangkan kayu itu
menembus dari paha depan sampai ke paha belakang.
Jaka Bego segera meletakkan bunga teratai Wingit di
atas kerimbunan semak. Lalu ia segera membantu Yang
Lung melepaskan kayu yang menusuk pahanya.
"Wooaaaoo...!" teriak Yang Lung kesakitan ketika Jaka Bego menggerak-gerakkan
kayu yang menancap di
paha itu dengan kasar. Maksudnya untuk mencari
kemudahan agar kayu bisa dicabut dengan gampang.
Tapi justru gerakan kayu yang seperti diputar-putar
itulah yang menambah rasa sakit Yang Lung.
Jaka Bego gugup, ia kembali ke depan wajah Yang
Lung dan bertanya, "Masih sakit, ya?" Dan Yang Lung hanya bisa mengangguk-angguk
tanpa bisa menjawab
dengan kata. Jaka Bego berlari mendekati pohon yang dahannya
menancap di paha Yang Lung, lalu dengan mengambil
posisi yang enak, tangan Jaka Bego memegangi dahan
tersebut Dipegang erat-erat dengan kedua tangan,
kemudian kakinya menendang selangkangan Yang Lung
kuat-kuat. Sekali, dua kali, kayu belum tercabut tapi teriakan Yang Lung semakin
kuat. Kemudian yang
ketiga kali, tendangan kaki Jaka Bego semakin kuat
menghentak selangkangan Yang Lung, dan tubuh
itupun terpental sampai beberapa meter dengan cepat
sekali. Di luar dugaan tubuh Yang Lung melesat cepat dan


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam pohon di depannya. Kepala Yang Lung
membentur batang pohon, di mana pada batang pohon
itu terdapat bekas tebangan dahan yang tersisa,
bentuknya meruncing. Maka tak aneh lagi jika ubun-
ubun Yang Lung menancap keras di bekas tebangan
dahan yang meruncing itu. "Crook...!"
Yang Lung tak sempat berteriak lagi. Kepalanya
berdarah. Ketika Jaka Bego mendekatinya, ia juga
melihat ada darah yang ke luar dari selangkangan Yang Lung. Agaknya 'telur' Yang
Lung pun pecah pada saat
hentakan kaki Jaka Bego begitu keras menendangnya.
Memang paha Yang Lung dapat terlepas dari kayu yang
menancapnya itu, tapi di sisi lain, Yang Lung pun
menemui ajalnya karena ubun-ubunnya tertancap pada
bekas potongan dahan yang meruncing, serta bagian
alat vitalnya rusak karena hentakan kaki Jaka Bego.
Melihat kenyataan itu, Jaka Bego terbengong-
bengong. Ia menggumam sendiri setelah memeriksa
Yang Lung ternyata tidak bernyawa lagi. "Kok bisa mati, ya" Padahal aku cuma
menolong melepaskan kayu itu,
tapi kenapa jadi melepaskan nyawanya sekalian, ya?"
Jaka Bego garuk-garuk kepala.
Jaka Bego segera berlari ke daerah pertarungan
antara Lanang dengan Chang Hu. Waktu itu, Chang Hu
sedang memainkan jurus pedang bertongkat yang dapat
melilit-lilit di sekujur tubuhnya. Lanangseta sedang
bersiap mencari kelengahan dan celah bagus untuk
menghantam Chang Hu. Tetapi Jaka Bego seperti orang
yang tidak tahu bahaya. Ia mencoba mendekati Chang
Hu dan tangannya meraih-raih dengan ngeri seraya
berkata, "Bah.... Bah...! Itu, tuh, temannya mati...! Bah, temannya mati di
sana...." Tangan Jaka Bego tak berhasil menyentuh tubuh
Chang Hu, sekali pun ia hanya bermaksud
mencoleknya. Lanang yang mengetahui ketololan Jaka
Bego jadi cemas.
"Bego! Jangan di situ nanti kau kena senjatanya...!"
Tapi Jaka Bego tidak mendengar seruan Lanangseta,
sebab desau angin permainan pedang bertangkai itu
cukup menutup gendang telinganya. Ia tetap berusaha
menyentuh dan mencolek lengan Chang Hu, tapi tanpa
sengaja colekan tangan Jaka Bego mengenai kepala
Chang Hu, sehingga kepala itu seakan didorong dan
disentakkan ke depan.
Chang Hu berhenti, tak jadi membuka jurus
permainan pedang melingkar. Ia melotot kepada Jaka
Bego, "Anak tak tahu sopan! Kepala orang tua dibuat mainan seenaknya...! Rasakan
hukumanku ini, hihh...!"
Chang Hu menebaskan tangkai pedangnya bagian
bawah untuk memukul Jaka Bego. Tapi Jaka Bego
berhasil menghindar dengan ketakutan dan tangan
dijulurkan ke depan. "Jangan...! Jangan marah sama saya. Maaf. Saya cuma mau
bilang kalau teman Babah
mati di sana tuh...!"
Chang Hu menggeram, lalu hendak memukul Jaka
Bego lagi. Tapi Jaka Bego segera lari ketakutan seraya berseru minta tolong.
"Toloooong...!"
Chang Hu yang sudah naik pitam segera mengejar
Jaka Bego. Rupanya Jaka Bego dapat berlari lebih cepat dan lebih lincah. Bahkan
Jaka Bego berhasil segera
memanjat pohon dengan cepat seperti seekor beruk
hendak memilih kelapa.
Lanangseta segera menerjang Chang Hu setelah
dilihatnya lelaki bermata sipit itu hendak menggunakan ilmu peringan tubuh untuk
mendahului Jaka Bego
sampai di dahan pohon. Akibat terjangan kaki Lanang,
Chang Hu terpental dan terguling-guling.
Pada sat itu Jaka Bego berhasil sampai di sebatang
dahan. Ia berseru sambil jingkrak-jingkrak
bergelayutan. "Syukur...! Syukur...! Diberitahu baik-baik malah maraaah...!" Jaka Bego jatuh
karena dahan yang
dienjot-enjot itu patah seketika. Ia menjerit ketakutan.
Tepat pada saat itu, Chang Hu bergegas untuk
bangkit. Namun baru beberapa bagian, tahu-tahu ia
telah ditimpa dahan pohon bersama tubuh Jaka Bego.
Dahan pohon sebesar paha orang dewasa itu mengenai
kepala Chang Hu. "Trook...!" Terdengar keras suaranya.
Sementara itu, ternyata ada ranting kecil yang sempat menancap di leher Chang Hu
sehingga Chang Hu
menjerit kesakitan. Jaka Bego juga menjerit ketakutan, karena hampir saja
pundaknya terkena pedang Chang
Hu yang berdiri itu. Ia bergegas bangkit dan hendak
menyingkir dari atas tubuh Chang Hu yang meronta-
ronta sambil kesakitan. Tapi, Jaka Bego terpelanting
jatuh menindih bagian dahan yang kering. Chang Hu
menjerit ketakutan. O, ternyata masih ada ranting
sebesar ibu jari yang menusuk dalam lengan Chang Hu,
pantas ia menjerit makin keras.
Tangan Jaka Bego terjulur minta ditolong
Lanangseta agar tubuhnya bisa cepat ke luar dari
dahan dan ranting yang ruwet karena daun-daunnya
itu. Semakin Jaka Bego meronta bangun, semakin sakit
saja luka Chang Hu, sebab dahan itu bagai semakin
ditusukkan ke tubuh Chang Hu.
"Hoaaa...! Huuuh...! Aaaaoow...!" Chang Hu
berteriak-teriak tak karuan. Lanangseta segera
menggeret tangan Jaka Bego, dan pemuda kurus
kerempeng itu berhasil keluar dari keributan dahan dan ranting yang tak teratur
itu. "Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Lanangseta.
"Orang itu, bagaimana?" seraya Jaka Bego menuding Chang Hu, yang masih berusaha
melepaskan diri dari
rimbunan dahan yang patah menjatuhi dirinya.
"Biarkan saja! Ia bisa keluar dari kesulitannya!
Ayo...!" Lanangseta bergerak lari meninggalkan tempat tersebut. Jaka Bego sempat
berpamitan kepada Chang
Hu, "Bah... saya pergi dulu, ya" Tidak bisa menolong, habis.,, dia menyuruhku
cepat-cepat pergi.... Tuh, aku ditinggalnya kan?" Kemudian tanpa menunggu
jawaban dari Chang Hu, Jaka Bego menyusul Lanangseta.
"Untung kau datang dan bisa menyelesaikan
masalah itu," kata Lanang seraya berlari ke arah Griya Teratai Wingit.
"Hebat saya, ya" Bisa mengetahui ada pencuri gadis Cina," ujar Jaka Bego sambil
meringis. "Kau pikir benar-benar aku yang melarikan gadis
itu?" sanggah Lanang yang mengerti, bahwa Jaka Bego ternyata sejak tadi telah
mendengar pembicaraan
Lanang dengan dua utusan Laksamana Chou itu.
"Jadi, bukan kamu yang melarikan gadis Yin Yin
itu?" "Bukan!"
"Aku juga bukan kok...!" kata Jaka Bego takut dituduh.
Lari mereka begitu cepat. Dalam waktu beberapa
saat sudah hampir sampai rumah Kirana. Tapi tiba-tiba Lanang ingat sesuatu. Ia
berhenti dan memandang
tegang pada Jaka Bego. "Hei...!" serunya. "Di mana bunga teratai itu?"
"Hah..." Bunga itu" Astaga... kutinggalkan di atas semak sana tadi. Aku lupa
membawanya kembali...!"
"Bego! Tolol! Itu bunga berharga bagiku...!" Dengan tenang Jaka Bego menjawab,
"Aaah... hanya setangkai bunga saja kok harus marah. Nanti gampang cari lagi."
"Tolol...! Itu bukan sembarangan bunga" Aduuh...
Bego, Bego!" teriak Lanangseta sambil meringis geram dan dongkol.
*** 5 BERUNTUNG sekali teratai Wingit masih ada di
tempatnya, di atas dedaunan semak belukar.
Lanangseta segera memungutnya, mencium bunga itu
sekali, lalu mendekapnya dengan hati-hati.
"Sifatmu berubah, Lanang. Sudah mulai mendekati
kebanci-bancian," ujar Jaka Bego melihat Lanangseta seperti seorang perempuan
yang menyukai bunga.
Lanang tidak menghiraukan kata-kata itu. Baginya,
mendapatkan teratai Wingit sama saja mendapatkan
segalanya, tanpa harus peduli omongan orang.
"Hei, Lanang..." Ke mana mayat orang Cina tadi?"
Jaka Bego terkejut melihat keadaan di sekitar situ
sudah kosong. Hanya ada ceceran darah yang
menandakan bekas tergeletaknya mayat orang
berpedang panjang itu. Juga dahan-dahan pohon serta
rantingnya yang bagai menimbun Chang Hu itu sudah
berserakan. Ada bekas darah, tapi kedua orang itu tidak ada. Menghilang" Atau
dimakan binatang buas" Atau
bersembunyi di suatu tempat untuk menyerang dari
belakang" "Kurasa Chang Hu berhasil selamat dari timbunan
dahan, lalu ia membawa pulang mayat wakilnya itu,"
kata Lanangseta sambil menatap ke sekeliling.
"Akan kucari mereka...!" Jaka Bego hendak pergi.
"Hei, jangan berbuat bodoh, Bego! Kau bisa dihadang oleh teman-teman Chang Hu.
Mereka datang ke mari
satu kapal bersama Laksamana Chou. Sebaiknya mari
kita pulang ke Griya Teratai Wingit saja."
"Yaah... kalau kau mengkhawatirkan diriku, ya
sudah...."
Jaka Bego nyelonong pergi ke arah Griya Teratai
Wingit. Lanangseta mengikutinya dari samping. Sempat
pula Lanang menanyakan kedatangan Jaka Bego dan
Ludiro. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Mahani,
Bego?" "Mahani tetap saja seorang gadis cantik," jawab Jaka Bego seenaknya.
"Tak ada halangan sampai di Desa Tayub?"
"Tidak. Kami-kami memang tidak mencari halangan
kok. Pokoknya, kami sudah antar dia sampai di Desa
Tayub, lalu paman Ludiro mengajakku pulang ke
rumah Rama Sabdawana."
"Kapan kau sampai" Tadi pagi?"
"Maksudmu sampai di rumah Rama Sabdawana?"
"Ya."
"Kemarin lusa!" tegas Jaka Bego. "Tiga hari yang lalu kami sudah sampai di rumah
Rama Sabdawana."
"Tiga hari yang lalu"!" Lanang berkerut dahi.
"Iya! Kamu pikir kami mampir-mampir dulu setelah dari Desa Tayub" Uuh... paman
Ludiro yang tidak mau
diajak mampir nonton orang adu jago...."
Lanang membiarkan Jaka Bego berceloteh sendiri,
sementara Lanang memikirkan waktu yang ternyata
telah bergerak di luar kesadarannya. Jadi menurut
perkiraannya ia sudah ada tiga atau empat hari di
dalam Goa Malaikat itu.
"Mungkin terlalu asyik ngobrol dengan Gopo
sehingga lupa bahwa waktu telah berubah dengan
cepat. Tapi, ah... goa itu memang misterius. Aneh.
Perbedaan waktu di dalam goa dengan di luar goa
memang sangat menyolok. Baru saja berada di dalam
goa beberapa saat, ehh... tahu-tahu sudah beberapa
hari menurut perhitungan waktu di luar goa...."
Lanangseta juga berceloteh sendiri di dalam hatinya.
Kemudian ia segera mempercepat langkah, takut kalau-
kalau kepergiannya yang sudah beberapa hari itu
menimbulkan kerinduan di hati Kirana, dan membuat
racun dalam darah gadis itu. Oh, tidak. Lanang tidak
ingin Kirana menderita rindu seperti dulu lagi. Ia harus segera sampai di rumah
dan memeluk Kirana dengan
mesra. Tapi ketika mereka tiba di Griya Teratai Wingit,
keadaan cukup sepi. Tak terdengar suara Ludiro, atau
Rama, atau Kirana, dan bahkan suara para pengawal
pun tak ada. Mencurigakan sekali.
"Ke mana mereka" Kok sepi-sepi saja?" tanya Lanangseta kepada Sambu, pelayan
yang dulu tekun
menghidangkan makanan dan minuman ketika Lanang
dalam perawatan.
"Mereka pergi, Mas Lanang," jawab Marwa. Pada waktu itu Jaka Bego langsung masuk
ke dapur mencari
makanan. "Pergi" Pergi ke mana?" Lanang mulai cemas.
"Ke Lembah Berdarah, memenuhi panggilan sahabat
lama Rama Sabdawana, katanya."
"Astaga...!" Lanang kebingungan, ia mencari-cari seseorang yang diperkirakan
bersembunyi sengaja
mempermainkan dirinya, tapi memang tidak ada. Sepi
dan lenggang. Hanya ada dua pengawal di pintu
gerbang dan dua pelayan yang bernama Marwa serta
Sambu. "Siapa saja yang ke Lembah Berdarah"!" tanya Lanang kepada Sambu.
"Rama dan putri, serta... paman Ludiro. Hanya saja, murid-murid lainnya
mengikuti dari belakang secara
sembunyi-sembunyi. Mereka mengkhawatirkan
keselamatan Rama. Mereka tahu kalau hari ini, tepat
matahari di atas kepala manusia, Rama akan bertarung
melawan musuh lamanya: Begal Dogol. Para murid tak
sampai hati untuk membiarkan begitu saja, tanpa turut campur dalam urusan ini."
"Gawat...!" Lanang masih kebingungan, mondar-mandir sambil memegangi buah
teratai Wingit. Lanang
tak ingat kalau hari ini adalah hari penantangan Begal Dogol. Ini berarti ia tak
boleh diam begitu saja Ia harus menyusul ke Lembah Berdarah, apalagi calon
istrinya ada di sana, paling tidak Lanangseta harus melindungi Kirana dari keusilan
Prabima Wardana, bekas pemuda
yang ditolak cintanya oleh Kirana Sari.
"Marwa," panggil Lanangseta kepada pelayan itu.
"Tolong simpan bunga ini baik-baik, ya" Jangan sampai layu, dan jangan boleh ada
yang menyentuhnya
sebelum kami pulang dari Lembah Berdarah. Ngerti?"
"Baik, Mas Lanang," Marwa menerima dengan hati-hati. Ia memperhatikan takjub
kepada bunga itu,
kemudian membawanya ke dapur. Lanang sendiri
segera pergi setelah ia mendapat penjelasan dari kedua pengawal pintu gerbang
tentang letak Lembah


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berdarah. "Lanang...! Tunggu akuu...!" teriak Jaka Bego.
Lanang tidak peduli. Ia melesat cepat menuju Lembah
Berdarah. Jaka Bego sibuk mengambil daun pisang dan
membungkus beberapa potong singkong rebus yang
sudah dicampur dengan parutan kelapa. Dengan
tergesa-gesa ia membungkus singkong itu, lalu segera
lari ke luar halaman, dan ternyata Lanang sudah tidak kelihatan lagi.
"Brengsek...!" gerutunya dengan kesal.
Lanang memang lebih memikirkan keselamatan
calon istrinya. Memang Kirana dan Sabdawana dikawal
oleh Ludiro yang punya badan kebal senjata itu, namun bukan hal aneh lagi jika
Begal Dogol menggunakan
cara-cara yang licik untuk membunuh Sabdawana
beserta pengikutnya.
Kecemasan Lanang itu memang benar. Sebab pada
saat itu, di Lembah Berdarah yang tandus itu, ternyata Begal Dogol tidak hanya
sendirian. Begitu Sabdawana
dan Kirana yang didampingi terus oleh Ludiro itu
sampai di sebuah tonjolan batu cadas, tahu-tahu Begal Dogol muncul beserta empat
anak buahnya. Begal
Dogol di tengah, dikawal kanan kiri dengan masing-
masing sisi dua orang.
"Sabdawana...." sapa Begal Dogol dengan senyum sinis. "Kita berjumpa lagi.
Selamat datang di Lembah Berdarah, tempat kita dulu bertarung, dan tempat
istriku mati oleh pedangmu. Hei, di mana pedangmu
yang dulu itu, hah" Kau kelihatannya tidak membawa
apa-apa, Sabdawana" Bukankah lebih baik kita
bertarung dengan menggunakan pedang yang kau pakai
membunuh istriku dulu"!"
Sabdawana yang tenang dan berwibawa itu hanya
berkata, "Aku datang bukan untuk perang, Dogol. Aku datang untuk menyelesaikan
dendammu secara baik-baik. Jangan lagi ada pertumpahan darah di antara
kita. Kita ini sudah tua-tua, sudah waktunya masuk
liang kubur, janganlah akhir dari hidup diwarnai
dengan semburan darah dendam."
Begal Dogol tertawa, demikian juga kedua anak
buahnya di kiri, dan kedua yang di kanan.
"Belum-belum sudah takut duluan," kata Begal
Dogol kepada keempat pengawalnya. Kemudian ia
berseru, "Sabdawana, mungkin kamu tahu kalau
selama ini aku telah banyak menimba ilmu sehingga
kau takut menghadapiku. Baiklah.... kalau begitu, kau berhadapan saja dengan
anak buahku. Pilih salah satu
dari keempat muridku ini: Sargowi, Peot, si Bonyok,
atau Bujel...." Begal Dogol memperkenalkan keempat pengawal di kanan kirinya.
"Pilih salah satu, mana yang hendak kau lawan. Jika kau kalah, berarti aku akan
melupakan namamu, dan kalau kau menang, aku akan
melupakan almarhumah istriku. Pilih, yang mana yang
akan kau lawan...?"
"Tak seorang pun akan kulawan, Begal Dogol. Aku
merasa sudah tua, sudah sepatutnya menghindari
perkelahian."
"Kalau begitu aku harus memaksamu, ya?"
"Biar saya yang maju, Rama," bisik Ludiro.
Sabdawana berkata, "Jangan. Biarkan dia mati
dengan nafsunya sendiri."
Begal Dogol bersuit panjang. Tahu-tahu dari segala
penjuru muncul anak buah Begal Dogol, jumlahnya
lebih dari 50 orang. Masing-masing mempunyai senjata
beraneka ragam. Dan mereka serempak maju,
mengurung Sabdawana serta Ludiro dan Kirana. Suara
mereka bergemuruh seperti lebah yang siap menyengat.
Anehnya, dari sekian banyak orang yang mengepung,
tak terlihat wajah Prabima Wardana. Padahal, Kirana
sengaja ikut ke Lembah Berdarah hanya untuk
membunuh Prabima, yang telah mengacaukan
percintaannya dengan Lanangseta selama ini. Sayang
pemuda itu tidak menampakkan diri, dan sekarang
sekian banyak orang telah siap membunuh mereka
bertiga. Mereka membikin satu lingkaran yang
merupakan pagar betis di mana ketiga orang Griya
Teratai Wingit itu tidak akan bisa keluar dari kurungan
itu. Ludiro waktu itu hanya menggumam, "Licik...!" Dan matanya semakin liar.
Begal Dogol tertawa. "Kalau sudah begini apakah kau tetap tidak akan mau
bertarung melawan kami, hah?"
"Kau boleh bunuh aku, tapi jangan sentuh putriku!"
kata Sabdawana. Dan Begal Dogol hanya tertawa. Lalu
dari arah belakang Begal Dogol, muncul beberapa orang yang telah meringkus enam
murid Sabdawana.
Ternyata para murid itu telah berhasil diringkus
sewaktu mengikuti Sabdawana dengan diam-diam. Dan
kini Sabdawana terbelalak melihat keenam muridnya
menjadi tawanan mereka.
"Sabdawana..." Ini murid-muridmu, bukan?" kata Begal Dogol dengan angkuh.
Sabdawana tak menjawab,
Kirana dan Ludiro menjadi tegang. Ada Bonang dan
Lande di sana. Mereka berdua mempunyai ilmu yang
cukup bisa diandalkan, tapi nyatanya mereka masuk
dalam tawanan anak buah Begal Dogol. Berarti tak ada
apa-apanya Bonang dan Lande itu. Ludiro tak sabar
menunggu penyerangan, sayang Sabdawana tidak
segera memberi komando dan bahkan diam dengan
tenang. Malahan ketika Dogol menyeret salah seorang
murid Sabdawana, Ludiro menjadi tegang sekali. Murid
Sabdawana tersungkur di depan kaki Begal Dogol,
kemudian dengan kejam Begal Dogol menusukkan
tongkat berbentuk ular sanca di kepala murid tersebut.
Suara teriakan histeris berbarengan dengan tawa Begal Dogol dan orang-orangnya.
Kepala orang itu tembus
ditusuk tongkat Begal Dogol dan tubuh itu pun
berkelojot sebentar lalu tak bergerak lagi.
"Jahanaaam...!" geram Ludiro tak sabar lagi. Tetapi tangan Sabdawana merentang,
memberi isyarat agar
Ludiro tenang dan tidak bertindak apa-apa.
"Kau masih tak mau bertanding denganku,
Sabdawana"!" kata Begal Dogol dengan suara dingin.
"Aku selalu menghindari perselisihan, Dogol."
"Bah!" geram Begal Dogol yang berambut panjang dan berjenggot panjang, sama
putihnya itu. Mata
tuanya yang keriput memandang nanar. Jubahnya yang
merah bergerak-gerak ditiup angin lembah.
"Sebagai seorang guru, kau tidak patut dihormati!
Kau biarkan muridmu mati, kau tak mempunyai
pembelaan sedikitpun kepada murid-muridmu ini! Guru
macam apa kau"!" Kakek tua itu menjadi dongkol
sendiri. Tapi Sabdawana menjawab dengan tenang, dan
masih berwibawa, "Muridku sudah siap mati untuk
gurunya. Karena mereka mencintai aku. Apakah kau
mempunyai murid seperti mereka" Kurasa mereka
hanya bisa pasang tampang modal badan, tapi tidak
mempunyai nilai pengabdian terhadap seorang guru.
Lihat, mereka... wajah-wajah mereka mulai cemas,
karena merasa takut hanya dijadikan umpan
kemarahanmu saja. Lihat, mana ada wajah mereka
yang tenang seperti murid-muridku" Semua wajah
sekarang tahu, bahwa sebentar lagi mereka akan
dijadikan umpan pertama untuk mencoba ilmuku...."
Terdengar suara kasak-kusuk dan gerutu tak jelas
dari orang-orang yang mengurung Sabdawana. Agaknya
kata-kata Sabdawana menjadi bahan pertimbangan
bagi mereka. Dan hal itu membuat Begal Dogol menjadi
tambah panas hatinya. Ia menarik salah seorang murid
Sabdawana, lalu orang itu dihantam dengan tongkat
ular, "blegaaar...!" Suara ledakan terdengar mencengangkan. Orang yang dihantam
tongkat itu hancur bagai serpihan daging mentah. Mengerikan
sekali. Ludiro menggeram dan Kirana menghela nafas
dalam-dalam. Tapi Sabdawana tetap tenang.
Begal Dogol semakin garang. "Lihat, lihat muridmu ini, kalau tidak kau bela,
maka mereka akan mati
hancur berkeping-keping seperti orang ini, tahu"! Akan
kubunuh mereka satu persatu untuk membuktikan
bahwa kau memang seorang guru yang banci! Penakut!
Dan tak pantas dihormati."
"Pikiranmu salah, Dogol," kata Sabdawana dengan tenang namun suaranya cukup
menggema di sela-sela
perbukitan itu. "Kau justru menambah semangat
murid-muridku untuk mati membela gurunya. Mereka
yang akan kau bunuh itu tahu betul, bahwa hidup itu
tidak harus saling mendendam, seperti ajaranku kepada mereka. Sekarang mereka
melihat buktinya bahwa aku
sendiri dapat bersikap sabar dan mengalah demi
kemenangan yang sebenarnya. Tetapi bagaimana
dengan murid-muridmu yang sebanyak ini" Apakah
mereka tidak akan menilai kau sebagai seorang guru
yang tak pantas menjadi panutan" Tindakanmu kejam
dan di luar batas kemanusiaan. Kurasa mereka mulai
cemas, kalau-kalau suatu saat mereka akan menjadi
korban kekejamanmu seperti itu. Barangkali mereka
hari ini bisa membunuh kami, tapi di kemudian hari,
mereka juga akan menjadi korbanmu, Dogol. Mereka
sekarang mulai tahu, bahwa kau selama ini hanya
bermanis muka, selama ini kau berusaha merebut
perhatian mereka, sehingga mereka tunduk kepada
perintahmu. Tetapi di balik kebaikanmu selama ini,
mereka sekarang mulai sadar bahwa mereka sengaja
dipersiapkan untuk acara seperti ini, yaitu sebagai
umpan dan sebagai percobaan ilmuku. Kalau ilmuku
lebih hebat dan bisa membunuh mereka lebih sadis dari kamu, kau akan lari
meninggalkan mereka. Kau akan
mencari ilmu lagi, sementara murid-muridmu itu akan
mati secara bersamaan di tanganku. Aku yakin, Dogol...
murid-muridmu sekarang ini sedang berfikir, mengapa
kau tidak berbuat sekejam itu. Aku yakin, mereka tahu kalau aku bisa membunuh
mereka dengan sekali
gebrak empat-lima orang akan mati seketika. Mereka
jangan dianggap bodoh, Dogol. Mereka itu tahu, kalau
orang diam itu ilmunya pasti tinggi, dan mereka mulai menyesal mengikuti orang
semacam kamu, Dogol.
Kurasa hati mereka saat ini sedang bertanya-tanya,
haruskah mereka menjadi korban urusan pribadimu"
Kau membela istri, tapi mereka..." Siapa yang membela istri mereka dan keluarga
mereka jika mereka mati di
sini" Apakah kau akan menjamin" Belum tentu.
Mungkin kau bilang akan menjamin keluarganya, tapi
jika mereka sudah terlanjur mati sia-sia dan kau tidak menjamin keluarganya,
apakah mereka bisa
menuntutmu" Kau pasti akan mengingkari janji kepada
mereka. Kalau orang yang bisa berbuat kejam terhadap
orang lain sepertimu, mengapa tak bisa berbuat kejam
terhadap mereka juga" Pasti bisa. Pasti suatu saat kau perlakukan mereka seperti
kau memperlakukan murid-muridku. Percayalah Dogol... saat ini mereka yang
mengurung kami sedang menimbang-nimbang, apakah
mereka harus menjadi korban urusan pribadimu,
sedangkan pribadinya sendiri tidak kau urusi, atau
mereka lebih baik mengikuti aku, menjadi orang-
orangku dan dapat hidup damai di Griya Teratai Wingit sana. Lihat, wajah-wajah
mereka itu menampakkan
suatu keinginan. Keinginan hidup dengan damai
bersama anak-istri dan keluarganya."
"Tutup mulutmu!" teriak Begal Dogol. Kemarahannya semakin meluap. Ia berseru
kepada orang-orang yang
mengurung Sabdawana. "Serang mereka...! Serang...!"
Sepi. Tak ada yang bergerak. Masing-masing saling
bertatap-tatapan, masing-masing menunggu temannya
berbuat. Orang-orang yang mengurung Sabdawana itu
menampakkan keragu-raguannya. Begal Dogol tegang.
"Serang mereka, lekas! Seraaang...!"
Mereka dalam kebimbangan. Salah seorang
membuang senjatanya ke tanah. Lalu di ujung sana
juga ada yang membuang senjatanya. Lalu disusul yang
lainnya. Senjata berjatuhan, berdenting ramai bagai
sedang dikumpulkan.
"Tolol...! Jangan mau terhasut oleh omongannya...!
Serang mereka"! Hei, hei... apa-apaan kalian membuang senjata" Goblok! Benar-
benar goblok...!" Begal Dogol kebingungan.
Orang-orang yang mengepung Sabdawana menjadi
loyo. Mereka pergi menyisih setelah membuang
senjatanya di tempat. Agaknya kata-kata Sabdawana
berhasil meresap dalam hati dan pikiran suci mereka.
Sampai-sampai tak seorang pun mau berdiri di
tempatnya semula. Oh, begitu hebat ilmu yang
digunakan Sabdawana. Dalam tempo beberapa saat ia
dapat menundukkan hati orang-orang sangar itu.
Rupanya ilmu Lebur Hati inilah yang menjadi andalan
Sabdawana. Bukan hanya sekedar bicara, namun ia
mampu menggerakkan hati mereka dengan kelembutan
tenaga dalamnya yang benar-benar mengagumkan.
Kini, orang-orang itu menepi, duduk memandang ke
arah arena pertempuran yang telah kosong, kecuali
Sabdawana beserta dua orangnya, dan Begal Dogol
dengan keempat pengawal setianya. Bahkan orang-
orang yang meringkus anak buah Sabdawana itu pun
menepi sambil melepaskan ikatan pada tangan
tawanannya. "Gila! Mengapa mereka jadi seperti buruh menunggu uang upah mingguannya"!"
teriak Begal Dogol.
Pada saat itu, seorang bertangan buntung ke luar
dari balik batuan cadas setinggi lima tombak. Melihat salah satu tangannya
buntung, tanpa telapak tangan,
Kirana jadi ingat Lanangseta. "Pasti orang itulah yang mengirimkan surat
tantangan dan akhirnya dipotong
tangannya oleh Lanangseta. Ah, tapi ke mana dan
sedang apa Lanang sekarang?" pikir Kirana saat itu.
"Biar aku yang menghadapi mereka lebih dulu,
Guru," ujar si tangan buntung.
"Serang mereka Braja...!" perintah Begal Dogol.
Kalau saja waktu itu Lanang sudah ada di tempat,
tentu orang itu bagian Lanangseta. Pasti orang yang


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernama Braja itu akan menyerang Lanangseta lebih
dulu, karena ia ingin membalas dendam atas hilangnya
sebelah telapak tangannya. Sayang waktu itu
Lanangseta masih dalam perjalanan menuju Lembah
Berdarah. Lanang berlari dengan cepat menyusuri tepian
hutan, kemudian menembus hutan lagi, memotong
jalan cepat menuju Lembah Berdarah. Ia tak berhenti
berlari, karena ia merasa harus cepat sampai di Lembah Berdarah sebelum Kirana
yang kondisi tubuhnya masih
lemah itu jangan sampai terluka oleh kelicikan orang-
orangnya Begal Dogol.
Terdengar suara pedang beradu di kejauhan.
Lanangseta yakin, "Itulah pertarungan antara
Sabdawana dan Begal Dogol. Tapi kedengarannya hanya
dua pedang yang beradu. Berarti Begal Dogol tidak main keroyokan," pikir Lanang.
Ia mempercepat langkahnya, menggunakan ilmu peringan tubuh lagi.
Namun alangkah kagetnya Lanangseta ketika ia baru
saja akan sampai di tempat pertarungan itu, ternyata ia melihat Jaka Bego sedang
makan singkong dalam daun.
Jaka Bego agaknya sudah sejak tadi menyaksikan
pertarungan di daerah tandus itu. Pertarungan antara
Ludiro dengan lelaki bertangan buntung. Jaka Bego
menyaksikan dari atas cadas yang menjulang tinggi. Ia duduk dengan santai sambil
makan singkong dan
memandang pertarungan tersebut.
"Hei...!" sapa Lanangseta dengan terengah-engah.
Jaka Bego menengok, lalu bersungut-sungut, "Kamu jahat. Kau meninggalkan aku,
pergi sendiri tidak mau
ajak-ajak aku...."
"Tapi nyatanya kau datang lebih dulu kan?"
"Hah...?" Jaka Bego bingung. "Jadi, kau baru datang, ya?"
Lanangseta menghempaskan nafas. Kesal juga
mendengar lagak Jaka Bego.
"Wah, kalau begitu kau tidak melihat Rama Sabda
menggunakan ilmunya, ya?"
"Apa" Jadi, Rama Sabda sudah bertanding melawan
Begal Dogol?" Lanang agak terkejut dan was-was.
"Bukan melawan Begal Dogol, tapi melawan orang-
orang yang segitu banyak mengurungnya tadi. Hanya
dengan kata-kata, hebat kan" Dengan kata-kata saja
musuh jadi buang senjata dan sekarang malah menjadi
penonton setia. Itu, lihat mereka yang duduk di
pinggiran sana... itu tadi mereka sudah siap menyerang Rama Sabda, tapi dengan
kata-kata Rama Sabda,
mereka jadi luluh hatinya dan membuang senjatanya.
Huhh... kamu suka mampir-mampir kalau pergi, jadi
tidak sempat menyaksikan kekuatan ilmu Lebur Hati."
"Kekuatan ilmu Lebur Hati" Kok kamu tahu kalau
Rama Sabdawana menggunakan kekuatan ilmu Lebur
Hati?" "Aku mengarang sendiri," jawab Jaka Bego sambil menggigit singkongnya lagi.
"Habis aku tidak tahu namanya, maka kukarang sendiri saja. Ilmu Lebur
Hati...." Lanang tertegun beberapa saat. Dia ingat, dulu Kirana pernah bercerita
tentang ilmu Lebur Hati yang
dimiliki oleh leluhurnya, termasuk ayah Kirana. Tapi, mungkinkah hal semacam itu
juga diceritakan Kirana
kepada Jaka Bego" Jika tidak, dari mana Jaka Bego
mengetahui adanya ilmu Lebur Hati" Apakah benar ia
hanya asal ucap saja"
"Hei, lihat...!" seru Jaka Bego. "Sekarang dua orang menyerang putri
Sabdawana...! Tuh, lihat...! Ah, ah...
kasihan seorang perempuan harus dilawan dengan dua
orang...."
Ketika Jaka Bego melongok ke bawah, ternyata
Lanang sudah tak ada di tempatnya semula. Ia
menggerutu, "Sialan! Diajak ngomong capek-capek tidak tahunya sudah pergi...!
Eh, kok itu Lanang sudah
sampai sana...?"
Jaka Bego bergegas turun dari batuan cadas dan
berlari ke arah pertarungan itu. Ia dengan
membusungkan dada sambil membawa bungkusan
daun pisang masuk ke dalam arena. Ia mencolek
Lanang dan berkata, "Jangan turut campur. Biar aku dulu yang menghadapi mereka.
Tolong bawakan ini...."
Jaka Bego menyerahkan bungkusan singkong kepada
Lanang. Lanangseta menerima dengan terbengong
melompong, sedangkan Sabdawana yang tak jauh dari
Lanang hanya tersenyum tipis. Kemudian mereka
membiarkan Jaka Bego masuk dalam arena, melibatkan
diri dengan serangan-serangan dari anak buah Begal
Dogol yang masih setia itu.
"Berhenti...! Berhenti semua...!" teriaknya dengan sesekali menaikkan celananya
yang seakan mau
melorot. Semua jadi berhenti. Ludiro tetap memegang pedang
Jalak Pati, Kirana mundur, dan kedua musuh Kirana
juga berhenti, demikian pula si tangan buntung yang
ikut berhenti bagai terkejut oleh sesuatu yang
mengagetkan. "Semua pertarungan harap dibatalkan!" seru Jaka Bego.
"Apa-apaan kau anak ingusan!" bentak Begal Dogol.
Jaka Bego berlari sebentar mendekati Lanang dan
berbisik keras, "Aku juga punya ilmu Lebur Hati.
Lihat...."
Jaka Bego kembali ke tempat, sementara Sabdawana
terkejut mendengar ilmu itu disebutkan. Ia memandang
Lanang. "Siapa dia sebenarnya?"
Lanang angkat bahu. "Yang saya tahu, dia bocah
misterius, Rama...."
Mereka hanya bisa memandang tingkah Jaka Bego
yang sesekali membingungkan, sesekali menjengkelkan,
dan yang jelas sering mengherankan. Jaka Bego saat itu sedang bicara sambil
menghadap kepada orang-orang
yang duduk menjauh dari arena tersebut.
"Perkenalkan, namaku Jaka Bego. Pernah
membunuh sembilan pendekar dari berbagai negeri...!"
Orang-orang yang duduk menjauh itu bertepuk
tangan. Jaka Bego nyengir sambil menghormat seperti
petinju mau bertanding. Lalu ia berseru lagi, "Kuminta kalian semua tetap di
tempatnya masing-masing. Sebab
kalian harus merasa beruntung, bahwasanya... kalian
dapat menyaksikan pertarungan tingkat tinggi dengan
gratis, yaitu pertarungan Begal Dogol dengan Jaka
Bego, sebagai wakil dari Rama Sabdawana. Setuju...?"
"Setuju...! Akuuur...! Sikat saja...! Yang seru, ya..."!"
Mereka saling saur manuk, seperti burung di pagi hari.
Begal Dogol maju mendekati Jaka Bego dan
menampar pipi Jaka Bego. "Plak...plak...!"
"Minggir kau, Anak bawang...!"
"Sabar, Mbah... sabar... saya mau bertarung dengan yang namanya Begal Dogol."
kata Jaka Bego sambil mengusap-usap pipinya yang kesakitan ditampar itu.
"Kuminta, Mbah dukun jangan ikut campur. Biarkan saya menghadapi Begal Dogol
sendiri..."
"Aku Begal Dogol!" bentak Begal Dogol dengan sengit.
"Ah, masa' seorang begal kok sudah keriput begitu"!"
"Kurang ajar...!" geram Begal Dogol. "Aku ini yang bernama Begal Dogol."
"Ah...." Jaka mundur karena Begal Dogol maju
mendesaknya. "Ayo, lawan aku...!" sambil Begal Dogol menyodok-nyodokkan perutnya ke tubuh
Jaka Bego. "Ah, jangan main-main, Mbah...." Jaka Bego
kelihatan ketakutan.
"Aku tidak main-main. Ayo lawan aku...! Pukul...!"
Jaka Bego menggeragap dan terhuyung karena perut
Begal Dogol disodok-sodokkan ke tubuh Jaka Bego.
"Pukul aku...! Nih, pukul...! Katanya kau mau melawan Begal Dogol...!"
"Iya, tapi situ bukan Begal Dogol...! Aduh...!" Jaka tersandung dan nyaris
jatuh. "Jangan main-main,
Mbah... ini pertarungan tingkat tinggi lho, nanti
encokmu kumat!"
"Plak...! Plak...! Plookk...!"
Jaka Bego dipukul keras wajahnya sampai ia
terpejam-pejam dalam kesakitan. Ludiro hendak
bergerak, tapi Lanang segera menahan.
"Biarkan dulu dia. Tak perlu khawatir, memang
begitulah ilmu kebegoannya...." bisik Lanang, yang lain pun mendengar dan
manggut-manggut.
"Lawan, Begooo...!" teriak salah seorang di kejauhan.
"Plak...!"
"Ayo, lawanlah...! Lawan aku, cepat...!"
Sekali lagi tamparan keras dari Begal Dogol
mengenai pipi Jaka Bego. "Plook...!"
"Beraninya sama anak kecil...!" Jaka Bego mulai mau menangis.
Di kejauhan ada yang berseru, "Yaaah... nangiiis...!"
"Kau yang menghentikan pertarungan ini, sekarang kau yang harus bertanggung-
jawab. Aku ingin melihat
sampai di mana kesaktianmu, Bocah sinting"! Ayo,
lawan aku...!" teriak Begal Dogol.
"Jangan begitu, Mbah... aku kan tadi hanya bilang kalau mau melawan Begal Dogol!
Bukan melawan kamu!" "Iya, tapi aku ini Begal Dogol...!"
"Bukan! Kamu bukan Begal Dogol...!" Jaka Bego semakin ingin menangis, mulutnya
sudah mewek-mewek sambil melangkah mundur.
Begal Dogol bicara kepada Braja, "Ini anak sinting benar-benar
menjengkelkan...."
"Cekek saja!" kata Braja. Seketika itu Jaka Bego memegangi lehernya dengan rasa
takut dicekek. "Jangan, Mbah... jangan cekek aku...."
Dengan geram dan dongkol sekali, Begal Dogol
menendang Jaka Bego sekeras-kerasnya.
"Huhhgh...!" Jaka Bego tak sempat mengaduh, tubuhnya yang kurus kerempeng itu
melayang dengan
cepat dalam posisi tangan terbuka. Tak sengaja tangan kanannya menghantam kening
seorang pengawal yang
tadi menyerang Kirana: si Bonyok. Tahu-tahu si Bonyok menjerit kesakitan terkena
hempasan tangan Jaka
Bego. Dan ia buru-buru menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan sambil berguling-guling dan
berteriak-teriak. Ternyata kening itu menjadi pecah dan darah segar tersembur
dari kening itu. Semua mata jadi memandang tegang, melotot menyaksikan adegan di
luar dugaan itu.
Tubuh si Bonyok berkelojotan beberapa saat,
kemudian ia tak tertolong lagi karena ada darah putih yang keluar dan ternyata
itu adalah otak. Tentu saja
banyak orang yang mengucek-ngucek matanya sendiri
karena menganggap sesuatu yang mustahil telah
dilihatnya. Masa' hanya tersenggol tangan yang
melayang akibat tendangan Begal Dogol bisa
mengakibatkan separah itu. Sementara Jaka Bego
sendiri tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia
jatuh dengan kepala duluan. Ia meringis dan mengaduh
sambil memegangi kepalanya. Wajahnya seakan ingin
segera menangis, tanpa mempedulikan mata tiap orang
terheran-heran melihat si Bonyok yang benar-benar
menjadi bonyok itu.
"Kau telah membunuh saudaraku, Kunyit...!" teriak Peot yang bertubuh sepadan
dengan Jaka Bego, namun
lebih gemuk lagi. Ia segera menyerang Jaka Bego
dengan mencabut goloknya, Jaka Bego lari ketakutan.
Ia lari sambil menengok ke belakang sampai tak sadar
kalau dia menabrak tubuh Begal Dogol. "Monyet...!"
geram Begal Dogol sambil memegang kedua pipi Jaka
Bego. Kedua pipi itu ditekannya kuat-kuat sampai
mulut Jaka Bego monyong ke depan dan tak bisa bicara
kecuali kesakitan.
Begal Dogol mendekatkan wajah dengan gemas dan
berkata, "Kau apakan si Bonyok, h ah"! Kau apakan dia..."!"
"Uuf... uuf... uuuff...." Jaka Bego hanya bisa bicara begitu. Namun Peot yang
sudah marah karena
saudaranya mati terbunuh oleh kibasan tangan Jaka
Bego itu tak sabar lagi. Ia segera menendang tubuh
Jaka Bego dari belakang. Akibat tendangan itu, sudah
tentu Jaka Bego kesakitan dan ludahnya sempat
muncrat ke wajah Begal Dogol. "Crot...!" Ludah itu mengenai mata Begal Dogol.
Dan tiba-tiba Begal Dogol
melemparkan Jaka Bego kuat-kuat lalu menjerit
kesakitan. Ia memegangi matanya sambil menyumpah-
nyumpah. Orang mengira, Begal Dogol marah karena
merasa dihina dengan diludahi Jaka Bego. Namun di
balik semua itu, mereka merasa heran karena Begal
Dogol berjalan dengan meraba-raba dan berseru,
"Bangsat...! Mataku buta! Anak itu membuat mataku menjadi butaaaa...!" Semua
pengawal Begal Dogol
mencabut senjata. Mata mereka membelalak tegang
memandang Jaka Bego yang menggeliat kesakitan
pinggangnya. Sabdawana dan Lanangseta saling
pandang. Heran. Demikian juga Ludiro dan Kirana,
sama-sama tertegun.
"Ilmu yang langka sekali...." gumam Sabdawana.
"Jangan...! Jangan bunuh aku...." Jaka Bego ketakutan. Ia jadi gemas sendiri
karena pinggangnya
terasa sakit untuk berdiri, akibatnya ia tak dapat lari.
"Jangan bunuh aku. Aku cuma ingin bertarung dengan Begal Dogol. Sungguh, cuma
dengan Begal Dogol...!
Begal Dogol, Begal Dogol, Begal Dogoooolll...!" seraya Jaka Bego memukul-mukul
tanah karena jengkelnya
terhadap pinggangnya. Namun di luar dugaan, pada
saat itulah dari beberapa balik batuan cadas muncul
enam bayangan serupa. Keenam bayangan itu melesat
dan mendarat di dalam arena. Semua mata terperanjat
kaget. Bahkan Sabdawana sendiri sempat mundur
selangkah, seperti halnya Lanangseta, Kirana dan
Ludiro. Keenam orang itu sama persis dengan Begal Dogol.
Pakaiannya juga kembar dengan Begal Dogol yang
matanya buta itu. Tongkatnya juga sama persis, tak ada bedanya sedikit pun.
Hanya ada satu orang yang


Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbeda dalam hal pakaian. Kalau yang enam lainnya
berpakaian serba merah, seperti juga Begal Dogol yang matanya buta, tapi satu
orang itu berpakaian putih
bersih, sama putihnya dengan rambut dan jenggotnya
yang panjang. "Gila! Begal Dogol ternyata telah memecah diri
menjadi tujuh sosok kembar. Ini rupanya yang menjadi
andalan Begal Dogol dalam menantangku," kata
Sabdawana. Yang lain masih terbengong. Bahkan para
pengawalnya bersama si tangan buntung itu juga
terbengong-bengong melihat Begal Dogol ada tujuh
orang. Sama persis. Tak berbeda sedikit pun.
"Rupanya Jaka Bego sejak tadi mengetahui bahwa
yang diludahi itu bukan Begal Dogol yang asli. Dan ia
menyebut-nyebut nama Begal Dogol tiga kali sambil
memukulkan tangannya ke tanah, itu adalah kunci
memanggil Begal Dogol yang asli," bisik Sabdawana.
"Sekarang tergantung kita untuk menentukan, mana Begal Dogol yang asli," sahut
Ludiro dengan mata memandang cermat ke setiap wajah Begal Dogol.
Lanang menambahkan kata, "Kalau sudah begini, ini adalah tugas saya, Rama.
Kuminta jangan ada yang
bertindak kecuali saya dengan... paman Ludiro."
"Hati-hati, Lanang," pesan Kirana yang semakin menambah semangatnya hati
Lanangseta. Lanang dan Ludiro maju beberapa langkah. Ludiro
berseru lebih dulu kepada pengawal Begal Dogol yang
hendak menyerang Jaka Bego, "Jangan sentuh anak
itu!" Namun Peot dan Sargowi tetap nekad hendak
membacok Jaka Bego. Dengan cepat Ludiro mengambil
Cambuk Naga dari punggungnya dan memecutkan dua
kali ke arah Peot dan Sargowi. Kedua orang itu menjerit kuat-kuat karena bahunya
bagai terpotong benda tajam
dan nyaris putus, sedangkan Jaka Bego malahan
menjerit ketakutan dan ngeri melihat bahu kedua orang itu seperti paha sapi
dipotong hidup-hidup. Kedua
orang itu terguling-guling dalam kesakitan yang amat
sangat. Lalu dua orang Begal Dogol menyerang Ludiro
dengan tongkat berbentuk ular sanca. Ludiro berguling pada saat kedua kaki dan
tongkat lawannya
menyerangnya dengan cepat. Ludiro lolos dari serangan itu, sementara Cambuk
Naganya melecut ke belakang
dan mengenai kedua sosok Begal Dogol. Kedua
punggung itu robek bagai tanah yang retak di musim
kemarau. Tepat pada saat rubuhnya kedua orang itu,
Lanangseta segera mencabut pedang Wisa Kobranya.
Karena di depannya telah bergerak dua sosok Begal
Dogol sambil menghunjamkan tongkatnya. Pertama-
tama kedua tongkat itu ditebas dengan gerakan cepat
oleh pedang Wisa Kobra yang membara seperti besi
sedang dipanggang itu. Kedua tongkat tersebut hancur
beberapa bagian. Lalu tubuh kedua pemilik tongkat itu ditebas pula oleh pedang
tersebut, namun keduanya
berhasil bergulir ke samping kanan-kiri dalam keadaan melayang, sehingga mereka
selamat. "Pedang Malaikat..."!" seru seorang Begal Dogol yang mengenakan jubah putih.
Seketika itu ia melejit hendak melarikan diri, tapi Cambuk Naga telah mendahului
melecut leher orang berjubah putih. Rupanya orang itu cukup tangkas. Ia berhasil
menggenggam Cambuk Naga
itu tanpa tergores sedikit pun tangannya. Ludiro dan
orang berjubah putih saling bertahan, tarik menarik
melalui Cambuk Naga yang terentang kuat. Pada saat
itu, seorang pengawal yang bernama Bujel
mengeluarkan golok pendeknya dan hendak memotong
tali Cambuk Naga. Tetapi ia terjegal kaki Jaka Bego
yang bermaksud hendak bangkit. Bujel jatuh
tersungkur dalam keadaan limbung, ia bertahan untuk
tidak menyentuh tanah. Tetapi pada waktu ia bangun
hendak berdiri tegak, tahu-tahu tali cambuk yang
terentang itu dikibaskan oleh Ludiro ke samping. Tak
sengaja tali itu mengenai leher Bujel, dan orang itu pun berkelojotan bagai
kambing disembelih, sebab tali
Cambuk Naga telah memotong lehernya.
Jaka Bego berguling dengan terpaksa karena
tubuhnya terkena tendangan tangan buntung yang
sedang melawan Lanangseta. Akibatnya, tubuh Jaka
menyentuh kaki Begal Dogol yang buta tadi.
"Mampus kau sekarang, Bocah edaaan...!" geram Begal Dogol yang buta, ia segera
mengangkat kakinya
dan menginjak wajah Jaka Bego kuat-kuat. Injakan itu
tepat di mulut Jaka Bego. Tentu saja Jaka Bego
berkelojot kesakitan. Dengan berusaha sedapat
mungkin, Jaka Bego akhirnya bisa menggigit jari
kelingking kaki lawannya yang masuk ke mulut Jaka
Bego. Kelingking itu digigit dengan gemas dan Begal
Dogol yang buta itu menjerit sekuat-kuatnya. Lalu,
mendadak tubuhnya menjadi membiru, dan rubuh.
Badan itu menjatuhi Jaka Bego sehingga Jaka Bego
menjerit minta tolong. Ia berusaha menyingkirkan
tubuh yang telah membiru dan mengerikan baginya.
Begitu ia berhasil lolos dari tumpukan tubuh itu, ia
memandang dengan heran, sebab tubuh itu kini
menjadi kaku dan biru bagai terkena bisa ular beracun yang amat ganas.
Di lain tempat, Lanangseta menghadapi tiga
lawannya sekaligus. Mereka adalah dua Begal Dogol
dan si tangan buntung. Dalam satu kesempatan,
mereka berposisi berjajar ke belakang. Paling depan
Braja, atau si tangan buntung dan di belakangnya tepat dua Begal Dogol berdiri
hendak mengatur gerak.
Seketika itu Lanangseta menggerakkan pedangnya
dengan cepat, menusukkan ke dada Braja, namun tidak
sampai menembus, melainkan hanya ujung pedang saja
yang menyentuh dada Braja. Setelah itu Lanangseta
bersalto ke belakang dua kali, menjauhi lawannya.
Ketiga lawannya bergerak menyerang dengan tendangan
layang. Namun sebelum mereka sampai di tanah, tahu-
tahu Braja meliuk seperti gedebong pisang yang telah
dipotong. Tubuhnya terbelah menjadi tiga bagian. Ia tak sempat berteriak kecuali
menganga lebar. Sedangkan
tak berapa lama, kedua tubuh Begal Dogol yang ikut
melayang itu juga menjadi terpotong tiga bagian, yaitu bagian dada, serta bagian
pusar. Mereka juga tidak
berkutik lagi, tak mampu berteriak.
Kini tinggal tiga sosok Begal Dogol yang harus
mereka tumbangkan. Satu orang sedang menyerang
Ludiro yang sedang adu kekuatan dengan Begal Dogol
berjubah putih, satu lagi sedang menyerang Jaka Bego
dengan tongkat yang dilemparkan.
Jaka Bego ketakutan diserang tongkat itu. Ia
bukannya lari atau menghindar, tapi malahan
berteriak-teriak sambil menutup wajahnya dengan
kedua lengan. Lanangseta segera menggerakkan tangan
kirinya, dan keluarlah semacam sinar merah yang
menjurus ke tongkat tersebut, sehingga tongkat itu pun melesat menuju ke tempat
lain. Lanang segera
melambungkan tubuh, bersalto dan jatuh di belakang
Begal Dogol yang menyerang Jaka Bego. Orang itu
berbalik arah hendak menyerang Lanangseta, tapi
Lanangseta melayang dan bersalto lagi melalui atas
kepalanya, lalu mendarat di depan Begal Dogol
berjubah putih. Pada saat itu Begal Dogol yang hendak menyerang Jaka Bego itu
telah menjerit satu kali dan
tahu-tahu kepalanya telah terbelah.
Lanangseta menggerakkan kakinya ke arah Begal
Dogol berbaju putih. Kaki itu menghantam rahang
lawannya, sehingga orang berjubah putih itu terpental.
Pegangan Cambuk Naga terlepas, tepat pada saat itu
Ludiro kebingungan mengatasi serangan satu lawannya.
Namun ketika ia hendak disabet tongkat ular, Ludiro
sempat berguling ke tanah. Sambil berguling, ia berhasil mengibaskan cambuknya
dan mengenai perut orang
itu. Kontan orang itu berjumpalitan dalam erang
kesakitan. Perutnya bodol, ususnya keluar. Dan ia
menggelepar-gelepar di tanah.
Saat itu juga Lanang berhasil merobek lengan orang
berjubah putih yang diperkirakan Begal Dogol yang asli.
Namun orang itu sempat melayang dan menyemburkan
asap hitam dari mulutnya. Lanangseta berguling-guling menghindari asap hitam
yang diduga adalah racun
berbahaya. Orang itu jatuh menindih tubuh Jaka Bego,
namun pada saat itu, Jaka Bego sedang memegang
sebilah golok pendek milik Bujel. Ia sedang terheran-
heran melihat golok begitu pendek, dan tahu-tahu
tubuh orang berjubah itu menjatuhi dirinya. Tak
sengaja Jaka Bego telah menggenggam erat tangkai
golok itu, lalu orang berjubah putih mengerang panjang.
Jaka Bego membelalakkan mata melihat orang itu
mengerang dan berusaha bangkit.
Jaka Bego berseru, "Tolong.... tarikan orang ini.
Golok yang kupegang ini menancap di punggungnya....
Kasihan dia tidak bisa bernapas tuh... tuh lihat...!"
Ludiro mengibaskan Cambuk Naga, dan cambuk itu
membelit di kedua kaki orang tersebut. Lalu dia
menariknya dengan satu sentakan, dan orang itu
melayang dengan kaki dililit Cambuk Naga. Pada saat
itu, Lanangseta melepaskan pedang membaranya.
Pedang itu melesat sendiri bagai sinar api merah.
Pedang itu menembus tubuh yang sedang melayang.
Jebol sampai ke bagian depan, dan pedang itu pun
segera kembali lagi ke tangan Lanangseta.
Orang berjubah putih jatuh tak sempat bernafas lagi.
Jaka Bego segera melompat dan berdiri di atas perut
Begal Dogol berjubah putih. Ia mengangkat kedua
tangannya bagai memperoleh kemenangan yang
gemilang. Lalu orang-orang bersorak. "Horeee...! Hidup Jaka Bego...!" Dan mereka
pun segera menyerbu Jaka Bego. Mereka mengangkat tubuh Jaka Bego ke atas
dengan sorak kemenangan. Mereka berseru, "Hidup
Jaka Bego...! Hidup Bego, Bego...! Bego, Bego kok hidup!
Hidup Bego, Bego...!"
"Hei, hei... turunkan aku...! Aduuh... pinggangku patah, tahu"! Adduuhh...
celaka kalau begini...!"
Lanangseta dan Ludiro tertawa menyaksikan sorak-
sorai itu. Kirana segera meninggalkan ayahnya dan
memeluk Lanangseta. Tetapi ketika Lanangseta
mendekati Sabdawana, orang itu bersujud dan berkata,
"Terima kasih atas bantuanmu, Putra Dewa...."
"Sudahlah, Rama... sekarang aku akan mengurus
perkawinanku dengan gadis angkuh ini," ujar
Lanangseta. Sabdawana dan Kirana tertawa lepas.
Tapi Ludiro segera bertanya, "Hei, apakah kalian ada yang melihat di mana pemuda
yang bernama Prabima
itu. Bukankah dia juga murid Begal Dogol?"
"Iya, ya..." Di mana dia...?" tanya Kirana. "Dan, siapa sebenarnya Jaka Bego
itu" Agaknya ia punya ilmu yang
aneh." Lanang hanya mendesah, "Ah, itu soal nanti. Yang penting sekarang kawin dulu."
SELESAI Scan by Clickers
Juru edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** 2 *** 3 *** 4 *** 5 SELESAI Pendekar Bodoh 10 Keturunan Pendekar Karya Rajakelana Rahasia Ciok Kwan Im 4
^