Pencarian

Dendam Mahesa Lanang 3

Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang Bagian 3


memandang tubuh Kinanti yang memang sintal.
"Kurang ajar! Rupanya bukan leher, melainkan
mulutmu yang harus kurobek dengan pedangku!" dengus Kinanti. Kemudian dengan
didahului pekikan ke-
ras, gadis cantik itu melesat menyerang Kumara Gupa.
"Kubunuh kau, Iblis! Heaaa...!"
Wrt! Dengan jurus 'Kembang Mayang' Kinanti mem-
babat dan menusukkan pedang ke tubuh lawan. Ku-
mara Gupa yang tidak menyangka kalau gadis cantik
itu memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi tersentak.
Dengan cepat tubuhnya berkelit ke samping kiri, sam-
bil melancarkan pukulan tangan kosong ke dada Ki-
nanti. "Yeaaat! Galak juga kau, Ni."
"Jangan banyak mulut! Kurobek mulutmu, Ib-
lis! Hih...!"
Kinanti menusukkan pedang ke wajah Kumara
Gupa, lalu dengan cepat dihentakkan ke samping. Di-
lanjutkan dengan sabetan ke kanan, kemudian di-
arahkan dari atas ke bawah. Sebuah gerak ilmu silat
yang lincah dan begitu cepat. Melihat gerakan pedang
yang berkelebat di depannya, Kumara Gupa kembali
tersentak. Wrt! "Haits! Boleh juga permainan pedangmu, Nisa-
nak...!" gumam Kumara Gupa sambil mengegoskan
kaki kanan ke samping, lalu menggerakkan kaki kiri
ke belakang. Sedangkan tangannya kini diletakkan
menyilang dengan telapak tangan terbuka lalu memu-
kul ke dada Kinanti. Inilah jurus 'Seling Belikat Iblis'.
"Yeaaa...!"
Wrt! Kinanti yang sudah marah terus berusaha me-
nyerang dengan gencar, bagaikan seekor macan betina
mengamuk. Pedang di tangannya terus berkelebat me-
nusuk dan membabat dengan keras dan mengarah pa-
da bagian-bagian yang mematikan.
Hm, ilmu pedang gadis ini bukan sembarangan.
Untung dia belum berpengalaman! Kalau saja dia su-
dah berpengalaman, celakalah aku! Gumam Kumara
Gupa dalam hati sambil terus berkelit mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan Kinanti.
"Heaaa...!"
Wrt! Kinanti terus bergerak, menyerang dengan sa-
betan dan babatan pedangnya. Namun karena terlalu
bernafsu, mengakibatkan serangannya tak terarah.
Kumara Gupa jelas melihat kelemahan itu. Sehingga
tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dia bergerak me-
nyerang ke dada Kinanti.
"Hih!"
Degk! "Akh!" Kinanti memekik tertahan. Tubuhnya
terpental deras ke belakang.
Melihat tubuh Kinanti melayang, Pendekar Gila
melompat. Lalu dengan cepat ditangkapnya tubuh ga-
dis itu. "Aha, kalian hanya berani dengan seorang wanita, Kecoa-kecoa Busuk!"
dengus Sena marah. "Pergi-lah kalian dari sini!"
"Cuih! Jangan kira kami takut denganmu, Bo-
cah Edan!" dengus Sarpajani sengit
"Hua ha ha...! Rupanya kalian kecoa-kecoa
yang sudah bosan hidup! Enyahlah kalian dari hada-
panku! Muak sekali aku melihat tampang kalian!" bentak Sena benar-benar marah,
ketika tahu kalau Kinan-
ti ternyata terluka dalam. Wajahnya tampak merah
dan bersinar-sinar, bagaikan diliputi api membara.
"Hah"!"
Semua yang ada di kedai tersentak kaget. Mata
mereka terbelalak heran melihat perubahan wajah
Pendekar Gila. Orang-orang tak mengira, kalau pemu-
da bertingkah laku gila itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Wajahnya bisa
berubah diselimuti bara api. Sebuah pemandangan yang aneh dan mengerikan.
Namun Lima Iblis dari Gempolan bagaikan tak
peduli pada perubahan wajah Pendekar Gila yang ber-
sinar merah membara. Bahkan kini dari ubun-ubun
pemuda bertingkah laku gila itu mengeluarkan asap
ungu. "Hua ha ha...! Rupanya kalian memang kecoa-kecoa busuk yang bandel! Cepat
minggat dari sini, se-
belum kesabaranku hilang!" bentak Sena masih me-
mondong tubuh Kinanti yang pingsan akibat ter-
hantam pukulan Kumara Gupa.
"Sudah kukatakan, kami tak akan pergi sebe-
lum membawa kepalamu, Pendekar Gila!" bentak Sarpajani. "Hua ha ha...! Lucu
sekali kalian, Kecoa-kecoa Busuk! Aneh. Rupanya kalian mencari penyakit," ujar
Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya semakin membara merah. Kini dengan
tenang kakinya me-
langkah mendekati kelima lawannya. Matanya yang
menyala merah, menyorot tajam Lima Iblis dari Gem-
polan. "Huh, jangan kira kami takut dengan ilmu sihirmu, Bocah Edan!" dengus
Kurutuma. Srt! Kurutuma mencabut cluritnya, lalu nekat mele-
sat dan menyerang Pendekar Gila. Cluritnya dis-
abetkan ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Clurit
Sambar Nyawa'. Wrt! Jleg! "Hei, dia menghilang!" seru Kurutuma, ketika tiba-tiba Pendekar Gila raib dari
pandangannya. Hal
itu membuatnya kebingungan. Begitu juga keempat
temannya, mereka kelabakan mencari Pendekar Gila.
"Dia bisa menghilang?" gumam Sarpajani keheranan. "Hua ha ha...! Aku ada di
sini! Lucu sekali kalian, mengapa kebingungan...?" ejek Sena sambil tertawa-
tawa. Di tangannya tak ada lagi tubuh Kinanti,
entah ditaruh di mana gadis itu. Hal itu membuat Li-
ma Iblis dari Gempolan semakin kebingungan.
Bukan hanya Lima Iblis dari Gempolan yang
tersentak kaget menyaksikan kejadian aneh itu. Se-
mua yang ada di kedai membelalak keheranan dan
seakan tak percaya pada apa yang baru dilihat. Pemu-
da bertingkah laku seperti orang gila itu menghilang, dan tiba-tiba muncul lagi
tanpa tubuh Kinanti.
"Ck ck ck...! Siapa sebenarnya bocah edan itu?"
tanya seorang pengunjung kedai berdecak kagum, me-
nyaksikan tingkah laku Pendekar Gila.
*** "Huh, ilmu sihir! Jangan kira kami seperti anak
kecil, Bocah Edan. Kami tak bisa ditakut-takuti ilmu
sihirmu!" dengus Sarpajani sengit
"Hi hi hi..., sihir" Ah, kalau kalian punya ilmu sihir, ingin sekali aku
menontonnya," ejek Sena seenaknya, yang membuat Lima Iblis dari Gempolan ber-
tambah marah. "Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Serang
dia...!" perintah Kurutuma.
Srt! Srt..! Lima Iblis dari Gempolan mencabut senjata
masing-masing. Sarpajani dengan senjata berupa ca-
kar. Kurutuma dengan cluritnya. Kumara Gupa den-
gan tongkat peraknya. Sedangkan kedua orang lainnya
menggunakan pedang dan golok.
"Aha, bahaya kalian bermain-main dengan sen-
jata. Bukankah sebaiknya kalian simpan...?" ujar Sena sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
"Cuih! Jangan banyak omong! Serang...!" perintah Sarpajani seraya melesat
menyerang Pendekar Gi-
la, diikuti keempat temannya.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
"Putus lehermu, Bocah Edan! Heaaa...!"
Kelima lelaki beringas itu serentak menyerang
dengan gerakan memutar cepat membentuk lingkaran.
Mereka mengitari tubuh Pendekar Gila yang masih ter-
tawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Heaaa...!"
Kurutuma membabatkan cluritnya ke tubuh
Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Pendekar Gila
berkelit ke samping. Kemudian berputar dengan jurus
'Si Gila Melepas Lilitan' sambil tangannya bergerak cepat menyerang dengan
tamparan dan hantaman.
"Yeaaa...!"
Wrt! "Hi hi hi...!"
Dengan masih cekikikan, Pendekar Gila terus
bergerak mengelitkan serangan kelima lawannya. Tu-
buhnya berputar bagai gasing ke arah kiri. Tangan dan kakinya tak diam, bergerak
menyerang lawan.
Wrt! Plak! "Aduh!" Sarpajani terpekik ketika pipinya merasakan hawa panas akibat tamparan
tangan Pendekar
Gila. Tubuh lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke
belakang dengan tangan kiri memegangi pipi yang me-
rah berbekas telapak tangan Pendekar Gila.
Keempat rekannya berusaha menyerang, tapi
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat' telah mendahului. Sambil meliuk-liuk tubuhnya
bergerak merangsek lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Wrt! "Haits! Hi hi hi.,..!"
Sena meliukkan tubuh, untuk mengelakkan se-
rangan. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak
menepuk dada Kurutuma.
"Celaka! Jurus siluman!" maki Kurutuma ter-
sentak kaget. Dia tak menyangka kalau jurus silat
yang dilakukan lawan ternyata sangat berbahaya. Ka-
rena gerakan yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan-
nya pelan dan lemah, tapi nyatanya mampu mengejar
tubuhnya. "Heaaa!"
Degk! "Wuaaa...!" Kurutuma terpekik, ketika telapak tangan Pendekar Gila mendarat di
dadanya. Gerakan
menepuk yang tampaknya pelan itu, seketika mampu
mendorong tubuh Kurutuma sampai terpental jauh.
Tubuh lelaki gagah itu terus melayang. Dan....
Brak! "Akh...!"
Tubuh Kurutuma menjebol dinding kedai. Jeri-
tan kematian menandai kematiannya. Tubuhnya re-
muk setelah menghantam pohon besar di belakang ke-
dai. Melihat Kurutuma tewas di tangan Pendekar
Gila, semakin memuncak kemarahan keempat orang
dari Lima Iblis dari Gempolan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!
Heaaa...!"
Sarpajani yang sudah merasakan tamparan
Pendekar Gila, kini nekat melakukan serangan. Ketiga
temannya pun tak tinggal diam, segera membantu.
Keempatnya serentak merangsek dengan ganas. Senja-
ta di tangan mereka berkelebatan cepat membabat dan
menusuk ke sekujur tubuh Pendekar Gila.
Mendapat serangan begitu cepat dan secara se-
rentak, tidak membuat Pendekar Gila merasa kewala-
han. Bahkan mulutnya terus tertawa mengejek lawan.
Tentu saja orang-orang yang ada di kedai terbengong-
bengong menyaksikan tingkah laku konyol itu. Meng-
hadapi keroyokan empat orang yang terkenal buas,
pemuda bertingkah laku gila itu masih sempat tertawa
terbahak-bahak. Seakan-akan tak menghiraukan se-
rangan lawan mengancam nyawanya.
"Hi hi hi...! Heit! Galak sekali kalian. Hi hi hi...!"
Pendekar Gila terus berkelebat, mengelakkan
serangan dengan jurus 'Kera Berayun Menyerang
Mangsa'. Tubuhnya melompat ke sana kemari bagai-
kan berayun, lalu disusul cengkeraman tangannya.
Gerakan itu dilakukan dengan tertawa-tawa, sambil
sesekali kakinya menendang ke belakang.
Dugk! "Ukh! Setan...!" maki Jalaparang, ketika bagian belakang kepalanya terkena
tendangan Pendekar Gila.
Tubuhnya tersuruk ke arah pengunjung kedai yang
segera berhamburan menghindar.
Brak! Akhirnya, tubuh Jalaparang menghantam meja.
Mulutnya berdarah setelah membentur tepi meja yang
terbuat dari kayu jati itu.
"Hi hi hi...! Kenapa kau makan meja, Kecoa!
Hua ha ha...!" Sena tertawa cekikikan sambil terus melompat, lalu mencengkeram
jenggot lawan di hadapan-
nya. Bret! "Wadauw...!" Kumara Gupa menjerit keras, ketika jenggotnya dihentakkan tangan
Pendekar Gila hingga tercabut. Darah mengucur keluar dari dagunya.
Kumara Gupa berputar-putar, sambil memegangi da-
gunya yang berdarah.
Membelalak mata Sarpajani dan Jarapala, me-
nyaksikan kedua temannya kini terluka parah hanya
karena tendangan dan cakaran pemuda bertingkah la-
ku gila. Seketika nyali keduanya ciut. Tanpa berkata
lagi mereka pun melesat meninggalkan kedai, tanpa
menghiraukan bagaimana nasib kedua temannya.
Pendekar Gila tertawa terkekeh-kekeh sambil
melangkah mendekati kedua musuhnya yang masih
mengerang-erang kesakitan. Sambil menggaruk-garuk
kepala, dipegangnya pundak Jalaparang.
"Aha, katakan siapa yang menyuruh kalian


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhku?"
Melihat Pendekar Gila hendak memaksa Jala-
parang agar menjawab, Kumara Gupa yang marah ka-
rena jenggotnya tercabut, segera melesat menyerang
Pendekar Gila dengan senjata terhunus.
"Mampus kau, Bocah Setan! Heaaa...!"
Pendekar Gila menggeser kakinya ke samping,
sambil menarik tubuh Jalaparang. Tak pelak lagi, tu-
buh Kumara Gupa menghantam meja. Dagunya yang
berdarah, membentur tepian meja.
Dugk! "Wadauw...!" Kumara Gupa menjerit keras, merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya
menggelepar- gelapar, lalu pingsan.
"Aha, lihat hasil ulah temanmu! Katakan, siapa
yang menyuruhmu"!" bentak Sena dengan wajah be-
ringas, memancarkan sinar merah membara.
"Banteng..., Sumenep," jawab Jalaparang. Matanya memandang ke sekeliling dengan
perasaan ta- kut, kalau orang yang menyuruhnya ada di tempat itu.
"Aha, sudah kuduga. Nah, kau boleh pergi. Ce-
pat bawa temanmu pergi dari hadapanku!" bentak Se-na garang, membuat mereka
semakin ketakutan. Tan-
pa dibentak dua kali, lelaki bertubuh besar itu segera memanggul tubuh temannya.
Lalu melesat meninggalkan kedai, diikuti gelak tawa Pendekar Gila.
Semua orang yang ada di kedai, kini menun-
dukkan kepala. Mereka sepertinya takut, setelah tahu
bagaimana pemuda bertingkah laku seperti orang gila
itu dapat mengalahkan Lima Iblis dari Gempolan.
"Aha, maafkan atas semuanya, Ki! Kalau boleh
kuganti, berapa semuanya?" tanya Sena, hendak
membayar semua kerusakan di kedai itu.
"O, tak usah, Tuan. Tak apa-apa. Biarlah se-
mua nanti saya yang menanggungnya. Tetapi, saya
mengharap cepatlah Tuan pergi. karena, kami takut
teman-teman mereka datang," ujar lelaki pemilik kedai.
"Aha, kenapa takut, Ki" Kalau kau benar, tak
perlu takut. Tapi baiklah, aku akan segera pergi. Izinkan aku mengambil teman
wanitaku yang kusembu-
nyikan di kamarmu," ujar Sena.
Pemilik kedai membelalakkan mata, tak per-
caya dengan apa yang dikatakan Pendekar Gila baru-
san. Hei, bagaimana mungkin pemuda ini menaruh
temannya di kamar" Tak kulihat tadi dia masuk! Gu-
mam pemilik kedai, dalam hati. Hatinya heran dengan
apa yang dilakukan Pendekar Gila. "Jadi...?"
"Ya. Terpaksa aku memasukkan temanku di
kamarmu, Ki. Aha, maafkan atas kelancanganku!"
"Tak apa. Ambillah!" sahut pemilik kedai.
"Aha, terima kasih, Ki."
Pendekar Gila segera melesat mengambil Kinan-
ti yang disembunyikan di kamar pemilik kedai. Sesaat
kemudian dia telah kembali keluar dengan memon-
dong tubuh Kinanti.
"Terima kasih, Ki!"
Pendekar Gila menjura, kemudian melesat me-
ninggalkan kedai itu. Semua mata yang ada di kedai,
menatap penuh kekaguman pada pemuda bertingkah
laku gila itu. *** 8 Sambil membawa tubuh Kinanti, Pendekar Gila
terus berlari dengan mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'.
Hal itu dilakukan, karena harus secepatnya sampai di
Padepokan Gedangan Lor, yang terletak di Desa Ka-
rang Tengah di lereng Pegunungan Blige. Sena harus
menjumpai Ki Windu Ajar untuk memberitahukan apa
yang kini terjadi di Pulau Madura. Pendekar Gila ingin menaruh Kinanti. Hatinya
merasa rikuh dan jengah,
kalau harus terus berjalan didampingi seorang gadis.
'"Sapta Bayu'. Heaaa...!"
Wsss! Pendekar Gila melesat melebihi kecepatan an-
gin, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya telah mele-
sat jauh meninggalkan Desa Wetan Progo. Kini jarak
Pegunungan Blige, tinggal beberapa ratus pal lagi.
"Hm, sebentar lagi sampai," gumam Sena. Lalu mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya, melesat
naik ke lereng Pegunungan Blige.
Ki Windu Ajar tersentak kaget ketika melihat
Pendekar Gila kembali dengan membawa Kinanti yang
terluka dalam. "Oh, apa yang terjadi, Sena?" tanya Ki Windu Ajar. "Maafkan aku, Ki! Ternyata
aku telah menunjukkan ketidakmampuanku menjaga Kinanti," sahut
Sena. "Ayo masuk," ajak Ki Windu Ajar. Dengan masih membopong tubuh Kinanti,
Pendekar Gila melang-
kah masuk mengikuti Ki Windu Ajar. Kemudian tubuh
Kinanti dibaringkan di atas sebuah tempat tidur.
Ki Windu Ajar segera memeriksa pukulan yang
mengena di dada muridnya. Sedangkan Pendekar Gila,
kini duduk di ruang depan menunggu sampai sele-
sainya pengobatan yang dilakukan Ki Windu Ajar.
Tidak lama kemudian, Ki Windu Ajar telah
kembali keluar dengan wajah kelihatan letih. Nampak-
nya orang tua itu telah mengerahkan tenaga dalam,
untuk menyembuhkan luka dalam muridnya. Ki Win-
du Ajar duduk di depan Pendekar Gila yang bersila.
"Apa yang telah terjadi dengan Kinanti, Sena?"
tanya Ki Windu Ajar pada Pendekar Gila yang mengga-
ruk-garuk kepala sambil cengengesan. Kemudian den-
gan masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila
menceritakan apa yang terjadi pada Kinanti.
Diceritakan pada Ki Windu Ajar, kalau mereka
telah bentrok dengan Lima Iblis dari Gempolan yang
diperintah seseorang untuk membunuhnya. Kinanti
bertarung, sampai akhirnya terkena pukulan.
"Kau tahu, siapa yang telah memerintah kelima
iblis itu, Sena?"
"Aha, entahlah. Aku tak berani menduga," sahut Sena. Kemudian terdiam dengan
wajah memen- dam sesuatu yang sepertinya hendak disampaikan. Hal
itu membuat Ki Windu Ajar mengerutkan keningnya.
"Sepertinya ada yang hendak kau tuturkan, Se-
na. Katakanlah!" pinta Ki Windu Ajar, setelah memperhatikan wajah Pendekar Gila
yang seakan memendam
sesuatu. "Aha, memang benar apa yang kau katakan, Ki.
Sebenarnya aku hendak menunggu sampai Kinanti sa-
dar. Biar dialah yang menceritakan semuanya," ujar Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. "Tetapi, tak apalah aku yang menceritakan semuanya."
Sena menggaruk-garuk kepalanya, kemudian
diambilnya Suling Naga Sakti. Dipandanginya suling
itu dengan pandangan mata seperti sendu.
"Suling ini sebagai tanda jiwaku. Apabila aku
salah, maka suling inilah yang akan menghukumku,"
ujar Sena sambil meletakkan Suling Naga Sakti di di-
pan. Hal itu membuat Ki Windu Ajar mengerutkan
kening, tak mengerti mengapa Pendekar Gila melaku-
kan sumpah di depan senjata pusakanya.
"Aha, mengapa kau bersumpah, Sena" Aku
percaya pada apa yang akan kau katakan. Simpanlah
suling saktimu itu," perintah Ki Windu Ajar.
"Aha, tidak mengapa, Ki. Soalnya hal ini me-
nyangkut kebenaran dan kejujuran. Juga menyangkut
masalah muridmu," kata Sena.
"Masalah muridku...?" tanya Ki Windu Ajar setengah bergumam dengan kening
berkerut "Katakan-
lah, apa yang sebenarnya terjadi, Sena?"
Pendekar Gila terdiam sesaat. Wajahnya keliha-
tan gelisah, seperti ada sesuatu yang sedang berkeca-
muk dalam dadanya.
"Sebenarnya ini masalahmu, Ki. Salah seorang
muridmu, yang bernama Mahesa Lanang."
"Mahesa Lanang" Apa yang telah terjadi dengan
Mahesa Lanang?" tanya Ki Windu Ajar. Matanya semakin tajam menatap wajah
Pendekar Gila. Seakan ingin
tahu, apa yang sedang dipikirkannya.
"Aha, itulah yang sedang kupikirkan, Ki. Aku
tak habis pikir, mengapa Mahesa Lanang berlaku keji,"
tukas Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Keji" Keji bagaimana?"
"Mahesa Lanang telah membunuh, Ki." Seketi-
ka Ki Windu Ajar tersentak kaget mendengar ucapan
Pendekar Gila. Bagaikan disengat kalajengking, tu-
buhnya terlonjak dengan mata menatap tajam Pende-
kar Gila. "Dia telah membunuh...?" gumam Ki Windu
Ajar seperti tak percaya.
"Benar, Guru. Kakang Mahesa telah membu-
nuh Ki Jenar dan Ki Tarbiun serta lima jawaranya,"
sahut Kinanti yang telah keluar dan langsung angkat
bicara. Hal itu membuat Ki Windu Ajar kembali tersen-
tak. Sedangkan gadis itu kini duduk di samping Pen-
dekar Gila yang masih tersenyum-senyum.
"Oh, celakalah dia!" desah Ki Windu Ajar marah, setelah mendengar kalau muridnya
telah melaku- kan sebuah kekejian. Mata lelaki tua itu memandang
ke atas. Dihelanya napas panjang-panjang, seakan be-
rusaha menyabarkan hatinya. "Hhh...! Aku tak pernah menduga, kalau dia akan
terpengaruh pamannya."
"Maksud, Guru...?" tanya Kinanti.
"Mahesa Lanang datang ke padepokan ini dian-
tar seorang bernama Supramarta. Dia pimpinan Bajak
Laut Selat Madura. Orang itu memang punya hubun-
gan kekerabatan dengan ayah Mahesa Lanang. Su-
pramarta dan ayah Mahesa Lanang memang bersikap
baik terhadapku. Mereka senantiasa berusaha meng-
hormati. Itu sebabnya Supramarta datang ke Padepo-
kan Gedangan Lor mengharapkan agar Mahesa Lanang
dapat dididik di sini."
Ki Windu Ajar menceritakan riwayat Ki Windu
Ajar. "Sebelumnya, antara Supramarta denganku te-
lah terjadi kesepakatan perjanjian. Perjanjian itu berisi bahwa Supramarta tak
boleh mengganggu-gugat Mahesa Lanang. Dia juga tak boleh memberi tahu siapa
sebenarnya orangtua anak itu...."
"Aha, apakah benar ayah Mahesa Lanang di-
bantai ketika pertandingan karapan sapi itu, Ki?" selak Sena ingin tahu.
"Sebenarnya itu salah, Sena. Ayah Mahesalah
yang mendahului membuat keributan. Entah menga-
pa, tiba-tiba dia mengamuk, setelah sapinya kalah. Dia membunuh banyak orang.
Karapatra, Tarbiun, Ki Jenar yang juga berada di tempat itu akhirnya berusaha
menenangkan Ki Simbar Kanginan, ayah Mahesa," tutur Ki Windu Ajar. Dihelanya
napas panjang-panjang,
seakan hendak menenangkan perasaan.
"Ah ah ah....! Kalau begitu, tentunya ada hal
lain tentang Kakang Mahesa, Ki?"
Sena semakin ingin tahu banyak tentang siapa
sebenarnya Mahesa Lanang dan mengapa pemuda itu
membunuh Tarbiun dan Ki Jenar.
Ki Windu Ajar akhirnya menuturkan semua
yang pernah terjadi sekitar dua puluh tahun silam.
Simbar Kanginan yang tak dapat ditenangkan, akhir-
nya mati di tangan Tarbiun, Ki Jenar, dan Karapatra.
Mungkin itulah yang menjadi alasan Mahesa membu-
nuh mereka. Dendam. Ya, dendam kesumat atas ke-
matian orangtuanya.
"Hm.... Tapi, kurasa ada yang tak beres. Mung-
kin Supramarta bermaksud mempengaruhi kemena-
kannya...," ujar Ki Windu Ajar mengakhiri ceritanya.
"Ini tak bisa dibiarkan, Sena!"
"Siapakah yang telah memberi tahu Mahesa
tentang kematian ayahnya...?" tanya Sena setelah terdiam mendengar cerita Ki
Windu Ajar. Ki Windu Ajar sesaat terdiam. Dihelanya napas
dalam-dalam. kemudian pandangannya dilayangkan
ke halaman padepokan.
"Memang dulu aku pernah memberitahukan
padanya, tentang kejadian yang dialami keluarganya.
Tetapi aku pun menegaskan, bahwa semua adalah sa-
lah orangtuanya. Aku juga menekankan, agar dia tidak
menyimpan dendam," kata Ki Windu Ajar.
"Aha, apakah Mahesa menurut?" tanya Sena
semakin ingin tahu.
"Ya. Mahesa sangat penurut padaku. Itu pula
yang membuatku sayang padanya. Sehingga tanpa ra-
gu-ragu aku menurunkan aji 'Kepala Baja' pada-nya,"
tutur Ki Windu Ajar.
Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam, se-
telah mendengar semuanya.
Mungkinkah pamannya yang mempengaruhi"
Menurut Ki Windu Ajar, pamannya seorang bajak laut.
Hm, bisa jadi. Tetapi, mungkin ada yang lainnya yang
mempengaruhi dia" Tanya Sena dalam hati, bimbang
untuk menuduh siapa yang berhak disalahkan dalam
hal ini. "Aha, kalau begitu, mungkinkah pamannya yang mempengaruhi, Ki?" tanya
Sena. "Mungkin juga," gumam Ki Windu Ajar. "Tetapi kini yang lebih penting, kita harus
segera menyadar-kan Mahesa. Kalau dia menuruti kata-kata pamannya,
tentunya semua orang di Madura ini menjadi musuh-
nya. Karena saat itu, hampir semua orang menonton
karapan sapi. Dan pada waktu itu, memang semua tu-
rut serta menyerang Simbar Kanginan yang mengamuk
membabi-buta."
Sena nyengir dengan tangan menggaruk-garuk
kepala, mendengar penuturan Ki Windu Ajar. Seper-
tinya Pendekar Gila merasa bingung dengan semua
yang terjadi. Jelas kalau masalah dendam, siapa pun
akan senantiasa terbakar hatinya. Sulit bagi orang
yang mendendam melupakan dendamnya. Malah ter-


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kadang dendam akan terbawa sampai mati.
"Kita harus segera mencegahnya, Sena," usul Ki Windu Ajar.
"Aha, memang itu yang sedang kupikirkan, Ki.
Bagaimanapun juga dia muridmu. Kaulah yang lebih
bertanggung jawab akan semuanya," ujar Pendekar Gi-la. Mulutnya masih nyengir
dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala.
Ki Windu Ajar mengangguk-anggukkan kepala,
membenarkan apa yang dikatakan Pendekar Gila; Ba-
gaimanapun juga, dialah yang paling bertanggung ja-
wab atas tindakan yang dilakukan muridnya.
"Ya ya, aku mengerti maksudmu, Sena. Me-
mang akulah yang harus bertanggung jawab atas se-
mua perbuatan muridku. Marilah kita cari Mahesa!
Sudah tiga hari dia tak pulang," ajak Ki Windu Ajar seraya bangkit dari
duduknya. Kemudian mereka bertiga
pun melangkah meninggalkan padepokan.
*** Sementara itu, di Hutan Ganggang Palang
nampak Mahesa Lanang tengah mendamprat keempat
orang suruhannya yang tergolong dalam kelompok Li-
ma Iblis dari Gempolan. Lima Iblis dari Gempolan tak
mampu membunuh Pendekar Gila. Bahkan salah seo-
rang di antara mereka tewas di tangan Pendekar Gila.
"Bodoh! Menghadapi seorang pemuda gila saja
kalian tak becus...!" maki Mahesa Lanang marah.
"Mengapa kalian tidak ikut mampus saja bersama Kurutuma"!"
Keempat lelaki bertampang garang dengan
cambang bauk tebal, terdiam menundukkan kepala.
Mereka tak berani menjawab bentakan Mahesa La-
nang. Bahkan beradu pandang pun mereka tak berani.
Mahesa Lanang menarik napas dalam-dalam.
Kakinya melangkah memutari keempatnya yang ter-
tunduk diam. Matanya menatap tajam keempat orang
anggota Lima Iblis dari Gempolan yang diam membisu.
"Kenapa kalian hanya diam"! Kenapa kalian la-
ri" Tidak ikut saja mampus bersama Kurutuma"!" bentak
Mahesa Lanang sengit, dengan mata melotot
penuh kebencian. "Percuma kalian hidup, karena kalian sudah tahu apa hukuman
bagi kalian."
Keempat lelaki berwajah garang itu tersentak
kaget. Mata mereka terbelalak ketakutan, mendengar
ancaman Mahesa Lanang. Mereka tahu siapa Mahesa
Lanang. Setiap ucapannya tak pernah main-main. Jika
Mahesa Lanang mengatakan hukuman, sudah barang
tentu mereka akan menerima hukuman yang sangat
berat. Tak ada pilihan bagi mereka, kecuali kematian yang mengerikan. Percuma
saja mereka melawan, karena Mahesa Lanang tak mempan pukulan atau senja-
ta apa pun. "Ampunilah kami, Mahesa. Biarkan kami beru-
saha sekali lagi," ratap Sarpajani mencoba mengharap ampunan dari Mahesa Lanang.
Dia berpikir, lebih baik
mati bertarung melawan pemuda bertingkah laku gila,
daripada harus mati dihukum Mahesa Lanang.
Mahesa Lanang mencibir, mendengar ratapan
Sarpajani. Matanya menatap tajam wajah Sarpajani,
yang seketika kembali menundukkan kepala, tak be-
rani beradu pandang dengannya.
"Siapa lagi yang mau meminta ampunan?"
tanya Mahesa Lanang dengan suara pelan. Seakan-
akan ampunan itu akan diberikan pada mereka be-
rempat. "Kami, Mahesa...!" sahut ketiga teman Sarpajani bersamaan.
"Hm, bagus!" kata Mahesa Lanang dengan bibir menyunggingkan senyum sinis.
Kakinya melangkah
mendekati keempat anggota Lima Iblis dari Gempolan
itu. Lalu.... "Ini ampunan untukmu, Sarpa!"
Trep! Mahesa Lanang merenggut pundak Sarpajani,
lalu dengan segenap kekuatan, kepalanya diadu den-
gan kepala Sarpajani. Maka....
Prak! "Aaa...!" Sarpajani memekik keras, ketika kepalanya diadu dengan kepala Mahesa
Lanang. Dalam se-
kali adu saja, kepalanya hancur berantakan. Dan keti-
ka tangan Mahesa Lanang melepas cengkeraman-nya,
tubuh Sarpajani terhuyung dengan kepala hancur. Da-
rah dan otak berhamburan keluar.
Bruk! Tubuh Sarpajani jatuh, kemudian mengejang
sesaat sebelum diam dan mati. Hal itu membuat ketiga
temannya terbelalak semakin ketakutan.
"Ampunilah kami!" ratap mereka seraya bersu-jud dan menyembah di kaki Mahesa
Lanang. Ketiganya
menangis, mengharap ampunan.
Mahesa Lanang tersenyum sinis, menunjukkan
keangkuhan dan kesombongannya. Matanya masih
menatap tajam tiga lelaki bercambang bauk yang ma-
sih meratap tangis sambil mencium kakinya. Tangan
Mahesa Lanang kini menangkap pundak Kumara Gu-
pa. Trep! "Ampun..., ampunilah nyawaku!" ratap Kumara Gupa dengan tangis ketakutan.
Matanya menatap pe-
nuh ketakutan ke wajah Mahesa Lanang yang masih
tersenyum sinis.
"Aku ampuni kau, Kumara Gupa. Ini ampunan
dariku...!"
Wrt! Prak! "Aaakh...!" jerit Kumara Gupa melengking tinggi, ketika kepalanya dibenturkan ke
kepala Mahesa Lanang. Darah muncrat bersamaan dengan otaknya.
Tubuhnya terhuyung mundur jatuh ke tanah, berkelo-
jotan sesaat sebelum sampai ajalnya.
Kedua orang rekannya yang menyaksikan hal
itu, tak kuasa lagi melihatnya. Keduanya segera lari
untuk menyelamatkan diri.
"Mau lari ke mana kalian, Bangsat"!" dengus Mahesa Lanang seraya melesat
mengejar keduanya.
Mahesa Lanang semakin marah melihat kedua orang
itu lari. Dengan segenap tenaga, terus dikejarnya ke-
dua lelaki yang ketakutan setengah mati itu.
Bruk! Kedua orang anggota Lima Iblis dari Gempolan
itu tersentak kaget, ketika tubuh mereka menabrak se-
sosok tubuh yang sedang melangkah dan hendak me-
nuju ke arah yang berlawanan dengan mereka.
"Aduh! Kau..."!"
Membelalak mata Karasenta ketika melihat sia-
pa yang ditabraknya. Seorang pemuda bertingkah laku
seperti orang gila yang tak lain Pendekar Gila. Di sam-pingnya, seorang lelaki
tua berusia tujuh puluh tahun dengan jubah seperti resi yang tiada lain Ki Windu
Ajar. Satu lagi gadis cantik yang tak lain Kinanti, tengah melotot sengit
menatap keduanya. Dan yang te-
rakhir dan berdiri di belakang adalah seorang lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah bengis.
Namun, matanya menggambarkan ketenangan
dan kesabaran. Lelaki berpakaian rompi biru laut ini
tak lain paman Mahesa Lanang. Dialah pimpinan Ba-
jak Laut Selat madura, yang bernama Supramarta.
"Hi hi hi.... Mengapa kalian seperti cecurut di-
kejar kucing" Sampai tak melihat ada orang...?" tanya Sena sambil tertawa
cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Di mana Mahesa"!" bentak Supramarta, pa-
man Mahesa Lanang.
Rupanya sebelum menuju ke Hutan Ganggang
Palang, Pendekar Gila dan Ki Windu Ajar serta Kinanti menuju kediaman
Supramarta. Supramarta yang merasa tidak mempengaruhi Mahesa Lanang dan merasa
malu, langsung marah mendengar cerita dari Ki Windu
Ajar. Pemimpin Bajak Laut Selat Madura itu sengaja
datang hendak menghajar kemenakannya.
"Dia sedang mengejar kami," jawab Karasenta dengan wajah masih ketakutan.
"Aha, mengapa kalian dikejarnya" Ah ah ah...!
Mungkin kalian mencuri. Hi hi hi...!" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tidak. Kami tak mencuri apa-apa. Dia marah,
setelah kami tak berhasil membunuh Tuan," jawab Karasenta sambil memandang wajah
Pendekar Gila, yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hm, jadi selama ini kau diburu kecoa-kecoa
ini, Sena?" tanya Supramarta dengan mata membelalak marah. Merasa malu atas
tindakan kemenakannya,
Supramarta hendak menghajar kedua orang itu. Na-
mun dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya.
"Aha, sudahlah! Kurasa mereka pun tak akan
melakukannya jika tak ada yang menyuruh."
"Ampunilah kami! Kami benar-benar takut, ka-
rena Mahesa hendak membunuh kami," kata Karasen-
ta. "Dua orang teman kami telah dibunuhnya."
"Hm...," gumam Supramarta tak jelas. Dihe-
lanya napas dalam-dalam. "Apa yang sebenarnya dike-hendaki Mahesa?"
"Dia bermaksud mendirikan kerajaan, untuk
memberontak pada Kerajaan Banyuwangi," tutur Karasenta. "Dia merasa tahu kalau
masih ada Pendekar Gi-la, usahanya akan terhalang. Untuk itu, dia selalu
berusaha menyingkirkan Pendekar Gila."
"Kurang ajar! Dasar anak setan! Di mana dia
sekarang"!" bentak Supramarta. Dia hendak berlari memburu ke Hutan Ganggang
Palang, ketika Ki Windu
Ajar mencegahnya.
"Sabar, Supramarta. Menghadapi Mahesa, kita
tak boleh gegabah. Apalagi kini dia memiliki aji
'Banteng Kranda' yang membuat tubuhnya kebal dari
senjata dan pukulan sakti," tutur Ki Windu Ajar.
Semua mata membelalak, mendengar penutu-
ran Ki Windu Ajar. Hanya Pendekar Gila yang tampak
tenang. Bahkan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Walau Sena tahu kehebatan ajian yang dimiliki Mahesa Lanang, tapi
sehebat apa pun manusia, tentu
ada kelemahannya.
"Lalu apa yang harus diperbuat, Guru?" tanya Kinanti. Ki Windu Ajar menghela
napas panjang, sepertinya dia pun dalam kebimbangan.
"Memang aku yang salah, memberinya ajian
itu. Tetapi, bagaimanapun juga kita harus bisa menji-
nakkan Mahesa. Sangat berbahaya jika dia dibiarkan
dengan cita-citanya itu," gumam Ki Windu Ajar setengah mengeluh, merasa berdosa
atas tindakan murid-
nya. "Apakah tidak ada kelemahannya, Ki?" tanya Supramarta.
"Aha, Hyang Widi menciptakan manusia atas
kelebihan dan kekurangannya, Ki Supra," sahut Sena.
"Bagaimanapun juga, semua manusia memiliki keku-
rangan." "Benar apa yang kau katakan, Sena. Tetapi, dia
hanya bisa dikalahkan dengan ajian yang aneh saja.
Sebuah jurus yang mungkin tidak masuk di akal," kata Ki Windu Ajar setengah
bergumam, sepertinya dirinya
tak yakin kalau ajian itu masih ada di dunia ini.
"Aha, ajian apa itu, Ki?" tanya Sena.
"Ajian itu dimiliki bangsa kera. Sedangkan kera
yang memiliki pukulan itu, sering disebut Kera Sak-
ti...." "Kera Sakti..,?" tanya Sena dengan kening berkerut "Ya," sahut Ki Windu
Ajar. "Aha, apakah nama ajian itu, Ki?"
'"Tamparan Sukma'," sahut Ki Windu Ajar.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu
membuat semua yang ada di tempat itu memandang dengan penuh ke-
tidakme-ngertian.
"Ada apa, Sena" Apakah kau tahu pukulan
itu?" tanya Ki Windu Ajar.
"Aha, sedikit, Ki. Ah, tapi akan kucoba dengan
cara yang baik. Bagaimanapun juga, kita sama-sama
manusia. Kita harus saling sayang-menyayangi," ujar Sena yang membuat semuanya
mengerutkan kening,
tak percaya kalau pemuda gila itu bisa bertutur kata
bagus. Ada rasa kagum tergambar di wajah mereka
pada Pendekar Gila.
"Kau benar, Sena. Hyang Widi mencipta kita,
memang untuk mengasihi satu sama lain. Tetapi jika
orang yang hendak dikasihi tak mau dan malah mela-
wan, apa salahnya kita bertindak?" tanya Ki Windu Ajar.
"Ayo, kita ke tempatnya!" ajak Ki Supramarta.
Belum juga mereka melangkah, terdengar suara
Mahesa Lanang berseru menyuruh mereka jangan ikut
campur urusannya.
"Jangan bergerak! Kuharap kalian tak perlu tu-
rut campur urusanku, kalau tak ingin mampus!" ancam Mahesa Lanang, yang
menjadikan semuanya ter-
sentak kaget. Hanya Sena yang tertawa terbahak-
bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala.
*** 9 "Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Mahesa. Kami
masih hidup, bagaimana mungkin tak bergerak"!" seru Sena sambil menggeleng-
gelengkan kepala dengan mulut masih cengengesan.
Mahesa Lanang yang memang sudah tak suka
pada Pendekar Gila mendengus sengit Matanya mena-
tap tajam penuh kebencian.
"Huh, rupanya kau hanya seorang pengecut,
Pendekar Gila! Apa kau kira aku takut dengan kau
panggil mereka" Hm, jangan harap aku akan takut!"
dengus Mahesa Lanang dengan mata semakin tajam,
diliputi hawa permusuhan dan kebencian yang menda-
lam. Seakan-akan dirinya tak senang melihat kehadi-
ran Pendekar Gila di Pulau Madura.
Ki Windu Ajar, Kinanti, dan Ki Supramarta
mendengus marah mendengar ucapan Mahesa Lanang.
Bagaimanapun juga, ucapan pemuda itu pada Pende-
kar Gila sangat keterlaluan. Mahesa Lanang seakan ti-
dak memandang sebelah mata pun pada Sena, yang
namanya sangat disegani di rimba persilatan.


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lancang sekali mulutmu, Mahesa!" bentak Ki Supramarta marah.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
tangannya menggaruk-garuk kepala. Seakan-akan di-
rinya tak tersinggung atau marah dihina seperti itu.
Bahkan tingkah lakunya yang konyol, semakin menja-
di-jadi. Kini tubuhnya bagaikan seekor kera, ber-
jingkrak-jingkrak sambil menggaruk kepala dan tubuh.
Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat.
"Ah ah ah...! Kurasa bukanlah aku yang penge-
cut. Aha, mungkin kau yang pengecut, Mahesa.
Sayang sekali kau berilmu tinggi, kalau besar kepala
seperti itu," ujar Sena yang membuat Mahesa Lanang semakin bertambah marah.
"Cuih! Kuperingatkan padamu, cepat pergi dari
sini, sebelum hilang kesabaranku!" bentak Mahesa Lanang dengan wajah membara.
Dari hidung dan telin-
ganya, keluar angin, layaknya seekor banteng marah.
"Aha, rupanya kaulah Banteng Sumenep itu,
Mahesa! Ah ah ah...! Sepantasnya kau bukan banteng,
tetapi seekor kerbau sombong," ejek Sena sambil tersenyum-senyum dengan tangan
masih menggaruk-
garuk kepala. Hal itu membuat Mahesa Lanang sema-
kin marah, mendengus dengan mengeluarkan angin
semakin keras dari hidung dan telinganya.
"Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!"
Mahesa Lanang segera bergerak menyerang ke
arah mereka. Sambil menyeruduk dengan kepala, tan-
gannya bergerak memukul.
"Aha, kau mirip seekor kerbau! Hi hi hi...!"
"Awas...!" seru Kinanti mengingatkan pada semuanya untuk mengelak. Seketika
semuanya berlom-
patan, mengelitkan serangan Mahesa Lanang dengan
jurus 'Banteng Ketaton Menanduk'.
Wrt! Brak! Kepala Mahesa Lanang membentur sebatang
pohon. Pohon itu ambruk terseruduk kepala Mahesa
Lanang. Sedangkan kepalanya bagaikan tak mengala-
mi apa-apa. Sesaat kemudian pemuda berjuluk Ban-
teng Sumenep itu kembali mendengus dan menatap
penuh kebencian pada Pendekar Gila.
"Kuhancurkan tubuhmu, Pendekar Gila!
Heaaa...!"
"Aha, lucu sekali kau, Mahesa! Ah ah ah, pan-
tas namamu Kerbau Dungu. Tak tahunya kau memang
dungu...!" ejek Sena sambil bergerak mengelitkan serangan yang dilancarkan
Mahesa Lanang. Tubuhnya
melompat ke atas dengan jurus 'Si Gila Terbang Men-
cengkeram Mangsa'.
Wsss! Tubuh Mahesa Lanang yang menyerang, me-
nyuruk maju ke depan. Dengan cepat Pendekar Gila
mengelak dengan lompatan ke atas. Kemudian secara
cepat pula, ditendangnya pantat lawan.
Begk! "Heaaa...!"
Tangan Pendekar Gila mendorong tubuh lawan,
yang membuat Mahesa Lanang terus melaju dan tak
mampu berhenti. Dan....
Brak! Suasana Hutan Ganggang Palang seketika riuh.
Banyak pohon hancur terkena serangan-serangan Ma-
hesa Lanang. Namun kepala pemuda itu bagaikan tak
mengalami sakit atau luka. Padahal pohon-pohon be-
sar itu bertumbangan terseruduk kepalanya.
"Kurang ajar! Heaaa...!"
"Aha, kau seperti kerbau dungu yang kian tolol
Mahesa!" seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tingkah lakunya kian konyol, membuat kemarahan
lawan semakin memuncak. Banteng Sumenep menye-
rang dengan membabi-buta. Tangannya bergerak ce-
pat, menghantam ke sana kemari.
"Awas! Mundur...!" seru Ki Windu Ajar, mengingatkan pada Kinanti dan Ki
Supramarta agar mundur.
Lelaki tua itu tahu kehebatan serangan Mahesa La-
nang. Hal itu dapat dilihat dari pohon-pohon yang
hancur dan tumbang.
Mereka benar-benar mengkhawatirkan Pende-
kar Gila yang kelihatannya masih tenang-tenang saja.
Padahal serangan yang dilancarkan Mahesa Lanang
sudah mencapai puncaknya.
"Heaaa...!"
Mahesa Lanang kembali menyerang dengan
pukulan-pukulan mautnya yang mampu menghancur-
kan pohon besar. Namun, dengan cepat Pendekar Gila
bergerak mengelit ke samping. Sehingga serangan la-
wan kembali lolos. Hampir saja tubuh Mahesa Lanang
kembali menubruk pohon, kalau saja tak segera mem-
balik. "Bedebah! Jangan hanya bisa mengelak saja, Kunyuk!" maki Mahesa Lanang
dengan geram, karena sejak tadi Pendekar Gila hanya bergerak menghindar.
Seakan-akan tak berani beradu dengannya secara ksa-
tria. "Aha, jadi apa maumu, Kerbau Dungu" Hi hi hi...!" "Pengecut! Ternyata
namamu hanya kecoa busuk!" dengus Mahesa Lanang.
"Hi hi hi...! Kau ingin aku menyerangmu, Mahe-
sa"!" "Ya! Kita buktikan, siapa yang kuat!" tantang Mahesa Lanang dengan mata
membelalak tajam, menatap penuh kebengisan pada Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Mahesa! Ah ah
ah, kesombongan itu yang akan mencelakakanmu."
"Cuih! Jangan banyak omong. Mari kita berta-
rung secara ksatria!" bentak Mahesa Lanang menantang. "Aha, boleh."
Pendekar Gila melangkah mendekati Mahesa
Lanang dengan masih cengengesan. Tangannya kem-
bali menggaruk-garuk kepala, seperti tak merasa takut sama sekali. Hal itu
membuat Ki Windu Ajar dan Ki
Supramarta serta yang lainnya terbelalak kaget. Mere-
ka benar-benar tak mengerti, mengapa Pendekar Gila
malah menerima tantangan Mahesa Lanang.
"Celaka Sena!" desis Kinanti dengan wajah cemas. Matanya tak berkedip memandang
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil melangkah mendekati
Mahesa Lanang. "Guru, kita harus membantu Sena!"
"Tenanglah, Kinanti! Kita lihat saja apa yang
akan dilakukan Sena...," ujar Ki Windu Ajar berusaha menenangkan muridnya yang
kelihatan sangat gelisah,
takut kalau-kalau Pendekar Gila mendapat celaka.
"Apakah itu tak membahayakan dirinya, Ki?"
tanya Ki Supramarta. "Aku khawatir akan keselamatan Pendekar Gila."
"Tenanglah, Ki! Kalaupun Pendekar Gila kalah,
itu berarti kita pun akan mengalami nasib yang sama,"
tutur Ki Windu Ajar dengan mencoba tersenyum, beru-
saha menenangkan keadaan orang-orang di sekeliling-
nya. Semua menarik napas panjang-panjang, kemu-
dian menghentikannya ketika melihat Pendekar Gila
semakin bertambah dekat dengan Mahesa Lanang.
Pendekar Gila masih saja cengengesan sambil berting-
kah laku konyol, seakan tak takut sama sekali. Hal itu membuat Mahesa Lanang
bertambah geram.
"Hi hi hi...! Apa yang kau inginkan, Mahesa?"
tanya Sena. "Kita tentukan dengan cara ksatria."
"Maksudmu...?"
"Jangan pura-pura bodoh! Kita tentukan den-
gan sepuluh kali pukulan. Jika dalam sepuluh kali
pukulan kau bisa menahannya, maka aku kalah," ujar Mahesa Lanang menunjukkan
kejantanannya. Matanya menatap tajam penuh kebencian pada Pendekar
Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Aha, baiklah. Siapa yang akan memulai, Mahesa?" tanya Sena dengan
tingkah laku konyol. Mulutnya masih cengengesan. Tangan kanannya mengga-
ruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek
telinga. "Kita bergantian," sahut Mahesa Lanang tegas.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa. "Aha, baiklah. Lalu siapa yang akan mendahului?"
"Kau!"
"Aku" Aha, baiklah. Kuharap kau siap, Mahe-
sa." "Huh, sombong! Lakukanlah...!" tantang Mahesa Lanang.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kakinya
bergerak mundur selangkah. Matanya masih menatap
tajam Mahesa Lanang.
Aku tahu, dia kebal terhadap pukulan. Tapi
akan kucoba dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'. Gumam Sena dalam hati dengan mata masih
menatap lekat wajah Mahesa Lanang.
"Lakukanlah, Pendekar Gila! Aku ingin tahu,
seberapa hebat pukulanmu!" tantang Mahesa Lanang.
"Baik. Bersiaplah! Heaaa...!"
Wrt! Degk! Sena membelalakkan mata, menyaksikan apa
yang terjadi. Pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'
yang dahsyat tak berarti sama sekali bagi lawan. Tu-
buh Mahesa Lanang jangankan hancur lebur, luka pun
tidak. Mahesa Lanang hanya tergontai tiga langkah ke
belakang dengan mulut menyungging senyum.
"Ha ha ha...! Ternyata hanya segitu kemam-
puanmu, Pendekar Gila! Hua ha ha...!" Mahesa Lanang tertawa mengejek.
"Hua ha ha...!"
Sena turut tertawa sambil berjingkrakan den-
gan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat
semua yang ada di tempat itu bengong keheranan, tak
mengerti dengan tingkah lakunya yang konyol. Mahesa
Lanang pun seketika terdiam. Sejenak memeriksa tu-
buhnya. Sepertinya takut kalau-kalau ada yang luka.
"Diam!" bentak Mahesa Lanang marah, setelah melihat tubuhnya tak mengalami apa-
apa. "Kini gili-ranku, Pendekar Gila!"
"Hi hi hi...! Aha, kurasa pukulanmu pun serin-
gan kapas!" ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Terimalah 'Laksa Gempa'ku.
Heaaa...!"
Wrt! Degk! "Ukh...!" Sena mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Darah meleleh di
bibirnya. Ma- tanya terasa berkunang-kunang. Namun meski dalam
keadaan luka, mulutnya masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Celaka, Guru! Kita harus mencegahnya!" sentak Kinanti tak sabar. Gadis itu
hendak melompat, tapi dengan cepat Ki Windu Ajar mencegahnya.
"Jangan, Kinanti! Ku yakin Sena tak apa-apa."
"Tapi dia kelihatannya luka dalam, Guru," ban-
tah Kinanti. "Tenanglah, Kinanti! Kita lihat saja. Kau lihat, Sena masih cengengesan. Itu
tandanya dia belum parah." "Apakah harus menunggu parah?" tanya Kinanti cemas.
"Kita harus menolongnya, Guru!"
"Sudah kukatakan, percuma kau menolongnya.
Mahesa bukan lawan kita. Kalau sampai Sena tewas,
akulah yang akan menyerang Mahesa lebih dahulu,
untuk menebus dosa-dosaku," sahut Ki Windu Ajar berusaha menenangkan muridnya.
Kinanti menurut diam, memperhatikan apa
yang bakal terjadi dengan hati gelisah dan berdebar-
debar. *** Sementara Sena kini dengan masih cengenge-
san berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya.
Sedangkan Mahesa Lanang semakin tergelak tawanya,
merasa telah menang dan mampu membuat Pendekar
Gila luka dalam.
"Ha ha ha...! Itu belum seberapa, Pendekar Gi-
la!" seru Mahesa Lanang.
"Hua ha ha...! Aku juga belum merasakan sebe-
rapa, Mahesa," balas Sena tertawa terbahak-bahak tak kalah keras. Lalu melangkah
mendekati Mahesa Lanang yang mendengus marah.
"Kini giliranmu!" dengus Mahesa Lanang.
"Aha, menyenangkan sekali! Bersiaplah...!"
Sena melangkah setindak ke belakang. Ditarik-
nya kedua tangan ke belakang, kemudian digerakkan
ke atas. Itulah jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Mulut-
nya dimonyongkan, seirama dengan gerakan kedua
tangan. Kemudian kembali kedua tangannya ditarik
dan diletakkan di pinggang
"Heaaa...!"
Bleg! Pukulan Pendekar Gila tak berarti sama sekali.
Mahesa Lanang tertawa terbahak-bahak, seperti kege-
lian. Hal itu membuat semua yang melihat membela-
lakkan mata kian lebar. Namun Pendekar Gila malah
ikut-ikutan tertawa keras.
"Bersiaplah, Pendekar Gila! Kini kau harus
mampus di tanganku!"
Usai berkata begitu, Mahesa Lanang segera
mencengkeram pundak Sena. Hal itu membuat semua
yang melihat tersentak kaget. Mahesa Lanang kini te-
lah mempersiapkan serangan mautnya dengan ajian
'Kepala Baja'nya yang mampu menghancurkan batu
karang. "Celaka, Guru!" pekik Kinanti tegang, menyaksikan Mahesa Lanang telah
mengeluarkan ajian pa-
mungkasnya yang sangat berbahaya.
Sena yang telah melindungi seluruh bagian tu-
buhnya dengan tenaga inti gabungan, 'Inti Salju', 'Inti Api', dan 'Inti Bayu'
nampak melangkah tenang. Sepertinya Pendekar Gila kini merasa percaya diri akan
ke- mampuannya. Matanya memandang dengan tajam ke
arah Mahesa Lanang, yang mendengus laksana ban-
teng terluka. Ki Windu Ajar dan Ki Supramarta hanya mam-
pu menggigit bibir. Mereka pun merasakan ketegangan
yang mendera jiwa, takut kalau kepala Pendekar Gila
akan pecah. Namun Pendekar Gila malah kelihatan
masih tenang, bahkan tertawa-tawa.
"Heaaa!"
"Heaaa...!"
Brak! Dua kepala itu saling berbenturan dengan ke-


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ras, menjadikan keduanya terlontar beberapa tombak
ke belakang, dan membentur pohon. Beberapa batang
pohon besar bertumbangan terhantam tubuh Mahesa
Lanang dan Pendekar Gila.
Glarrr! Brakkk! Terdengar ledakan keras diiringi tumbangnya
beberapa pohon besar. Semua mata membelalak, tak
percaya kalau Pendekar Gila mampu menahan diri.
Kepalanya tak pecah, seperti apa yang mereka
takutkan. Bahkan Mahesa Lanang yang kini nampak
meringis-ringis, menahan sakit.
"Hua ha ha...! Bagaimana, Mahesa" Masihkah
kau akan meneruskan sampai sepuluh kali"!" tanya Sena sambil tertawa terbahak-
bahak, dengan tangan
menggaruk-garuk kepala yang agak pusing akibat ben-
turan dengan kepala Mahesa Lanang.
"Huh! Kau pun tak akan mampu membunuh-
ku, Pendekar Gila!" dengus Mahesa Lanang sengit.
"Aha, kau terlalu sombong, Mahesa! Kusaran-
kan, lebih baik kau menyerah pada gurumu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
"Cuih! Jangan mengguruiku, Pendekar Gila!
Ayo, kita tentukan siapa yang harus melayang ke akhi-
rat!" tantang Mahesa Lanang dengan sengit.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar tantangan Mahesa Lanang yang sombong itu.
Lalu kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut cen-
gengesan. "Aha, kau terlalu sombong dan takabur, Mahe-
sa. Baiklah kalau itu yang kau inginkan."
Setelah berkata begitu, Pendekar Gila pun me-
langkah beberapa tindak ke belakang. Matanya terpe-
jam, dicabutnya Suling Naga Sakti yang terselip di
pinggang. Ditiupnya suling itu, mengalunkan suara
yang mendayu-dayu. Sedangkan kakinya bergerak
dengan langkah-langkah yang teratur. Itulah jurus
'Tamparan Sukma'.
Semua mata terbelalak, menyaksikan apa yang
dilakukan Pendekar Gila.
"Jurus 'Tamparan Sukma'!" seru Ki Windu Ajar kaget. "Dia menguasai jurus
itu...!" "Heaaa...!"
Dengan mengandalkan sukmanya, Pendekar
Gila bergerak menyerang tubuh Mahesa Lanang. Tan-
gan kanannya menampar pelan, sementara tangan ki-
rinya masih memegang Suling Naga Sakti yang ditiup
dengan suara melengking tinggi.
Mahesa Lanang tersentak. Tubuhnya hendak
mengelit, namun terlambat. Tanpa ampun lagi....
Glarrr...! "Wuaaa...! Tobaaat...!"
Glarrr! Tubuh Mahesa Lanang meledak dan hancur-
lebur. Orang-orang terbelalak kaget bukan kepalang
Pendekar Gila terdiam sesaat, kemudian kem-
bali bertingkah konyol dengan kepala menggeleng-
geleng. Lalu dengan pelan, duduk bersila, meniup Sul-
ing Naga Sakti dengan irama yang sedih, menuturkan
betapa malangnya kehidupan manusia.
"Sena...!" seru Kinanti sambil berlari mendekati Pendekar Gila yang duduk sambil
meniup Suling Naga
Sakti yang berirama duka. Seakan dirinya merasa se-
dih, atas kemungkaran Mahesa Lanang.
Mentari perlahan-lahan merangkak semakin
tinggi, menandakan hari telah siang. Ketika terik mentari memanggang bumi,
Pendekar Gila dengan diiringi
tatapan sendu Kinanti berlalu meninggalkan Hutan
Ganggang Palang.
"Sena...!" seru Kinanti.
Sesaat Sena menghentikan langkahnya, terse-
nyum sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian me-
lambaikan tangan dan meneruskan langkah untuk
mengembara. "Semoga dia senantiasa dalam lindungan Hyang
Widi!" gumam Ki Windu Ajar. "Sudahlah, Kinanti! Dia memang bukan milikmu. Kau
harus rela berpisah dengannya."
Kinanti hanya mengangguk dan menurut, keti-
ka gurunya mengajak meninggalkan tempat itu. Kaki
gadis cantik itu melangkah lesu meninggalkan Hutan
Ganggang Palang dengan perasaan haru.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Anak Pendekar 21 Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es 1
^