Pencarian

Dendam Mahesa Lanang 2

Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang Bagian 2


nampaknya lemah dan pelan. Namun, kalau saja me-
reka merasakan sendiri, akan mengalami kesulitan un-
tuk dapat menerobos pertahanan dan membuyar-kan
serangan Pendekar Gila. Hal itu dapat diketahui, dari kedua orang teman mereka
yang tersentak kaget dengan mata membelalak. Kedua lawan Pendekar Gila se-
pertinya tak percaya kalau gerakan yang seperti mena-
ri dan lemah ternyata sangat kuat dan cepat
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila terus me-
lancarkan serangannya dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat'. Sebuah jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila'
yang sangat dahsyat, meskipun kelihatan lemah dan
lamban. Gerakan Pendekar Gila yang seperti tak men-
gandung kekuatan membuat kedua lawan merasa pe-
nasaran. Mereka segera menggebrak dengan sabetan
clurit dan tendangan kaki ke tubuh lawan yang masih
bertangan kosong. Tubuh Pendekar Gila masih meliuk-
liuk seperti menari.
"Hancur kepalamu, Pendekar Gila!"
"Buntung lehermu!"
Wrt! Srt! Pendekar Gila menarik tubuh ke belakang, lalu
meliuk dan merendah mengelak dari serangan senjata
lawan. Dan ketika mendapat kesempatan agak luang,
segera tangannya ditepukkan ke dada lawan.
"Heaaa! Hi hi hi...! Hih...!"
Wsss! "Eit! Jurus edan!" maki salah seorang dari lawannya dengan mata terbelalak
kaget, ketika merasa-
kan tepukan tangan Pendekar Gila. Meski gerakan
tangan itu tampak pelan, tetapi angin yang ditimbul-
kan terasa kuat dan menyentak. Cepat-cepat kedua
lawannya melompat ke belakang, saling pandang den-
gan mata membelalak kaget
"Ilmu siluman!" maki temannya.
"Ya. Aneh sekali! Padahal gerakannya sangat
pelan dan lemah," gumam Kadri.
"Apa kita akan membiarkannya, Kadri?"
Kadri menghela napas berat. Lelaki itu seolah-
olah tengah berusaha mendalami apa sebenarnya yang
dilakukan pemuda bertingkah laku seperti orang gila
itu. Sementara Pendekar Gila malah tertawa terbahak-
bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Mata
Kadri menatap tajam wajah Pendekar Gila. Dia merasa
heran dan marah melihat gerak-gerik dan jurus pemu-
da itu. "Hi hi hi...! Kalian nampaknya seperti kelelawar yang ketakutan. Lucu
sekali, mengapa kalian menangis. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil menggaruk-garuk
kepala dengan mulut cengengesan. Sesekali pandangan
matanya ke atas, seakan memandang langit yang biru.
"Bocah edan! Jangan kira kami kalah olehmu!"
dengus Kadri semakin penasaran dan sengit, menyak-
sikan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol, dan
menjengkelkan. "Hi hi hi! Aha, kurasa aku tak menyuruh kalian
mengalah. Ah, kalian lucu sekali...!" ejek Sena sambil cekikikan.
"Kurang ajar! Mulutmu harus dibeset, Pendekar
Gila!" bentak Ranjani sengit.
"Hi hi hi, kalian minta kubeset mulutnya" Aha,
baiklah kalau itu yang kalian minta. Ayo...!" sahut Se-na.
"Kurang ajar! Heaaa...!"
Wut! "Yeaaa...!"
Kadri dan Ranjani yang sudah tak sabar meli-
hat tingkah laku Pendekar Gila, segera kembali mele-
sat dengan serangan yang lebih dahsyat. Kali ini keduanya mulai mengerahkan
jurus pamungkas yang di-
namakan jurus 'Sepasang Demit Menculik Perawan'.
Wrt! "Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera
menarik tubuh ke belakang. lalu meliuk ke samping
dengan tubuh agak merunduk, serta menarik kedua
tangan dengan telapak tangan membuka. Telapak tan-
gannya diletakkan ke sisi pinggang, lalu dengan cepat dan bergantian dihentakkan
ke arah kedua lawan. Itulah jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Wrt! "Akh!"
"Ukh! Ilmu setan...!" maki Ranjani, ketika tiba-tiba tubuhnya tak mampu bergerak
maju. Karena dari
kedua telapak tangan Pendekar Gila yang bergerak se-
perti melempar, keluar angin kencang yang menghan-
tam tubuh mereka.
Bugk, bugk...! "Aduh! Ilmu setan!" maki Kadri.
"Akh...!"
Kedua lawannya terdesak oleh lemparan-
lemparan aneh yang dilakukan Pendekar Gila. Hal itu
membuat Sena tertawa terbahak-bahak kegelian. Ke-
palanya yang tergeleng-geleng digaruk-garuk dengan
tangan kirinya.
Sementara itu, kedua orang yang menyerang
Kinanti turut terbelalak kaget, menyaksikan jurus
aneh yang dilakukan Pendekar Gila.
Dalam keadaan kedua lawannya lengah, Kinan-
ti bergerak cepat melakukan serangan. Dengan ganas
pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Wrt! "Hait! Awaaas...!" seru Gento mengingatkan
Sampian yang segera berkelit kemudian dengan cepat
pula Gento balas menyerang dengan sabetan senjata
cluritnya. "Heaaa...!"
Wrt! Trang! Dua senjata yang beradu, menimbulkan den-
tang nyaring yang diiringi percikan api. Kedua lelaki berselubung melompat ke
belakang. Kinanti merasakan tangannya agak gemetar. Hal itu membuat kedua
lawannya segera tahu sampai di mana kekuatan tena-
ga dalam gadis itu.
"Serang lagi, Gento!" ajak Sampian.
"Ayo! Rupanya gadis ini tak seberapa ilmunya
dibandingkan pemuda gila itu," sahut Gento.
"Heaaa!"
"Yeaaat..!"
Kedua lelaki berselubung hitam itu kembali me-
lesat menyerang Kinanti. Clurit di tangan mereka ber-
gerak cepat siap membabat Kinanti.
*** Kinanti yang tak menyangka kalau akan dis-
erang begitu cepat dan dahsyat secara bersamaan, ter-
sentak kaget. Matanya terbelalak, ketika clurit lawan berkelebat dengan cepat
dan mengarah ke bagian tubuh yang mematikan.
"Heaaa...!"
Wrt! "Celaka!" pekik Kinanti dengan mata terbelalak.
Hatinya mulai merasa tak bakal dapat bergerak leluasa mengelakkan serangan kedua
lawan. Dalam keadaan
yang membahayakan dan mengancam nyawa Kinanti,
tiba-tiba.... "Heaaa...!"
Sesosok bayangan berkelebat cepat, berjumpa-
litan di udara beberapa kali. Kemudian dengan ringan, sosok bertelanjang dada
itu menggerakkan tangan ke
clurit yang mengancam nyawa Kinanti.
Tep, tep! Begitu cepat tangan orang itu merenggut kedua
gagang clurit kedua lawan Kinanti.
Des! Ukh! "Akh!"
Dua orang yang menyerang Kinanti terpekik li-
rih. Tubuh mereka terhuyung beberapa langkah ke be-
lakang. Clurit mereka kini telah beralih ke tangan seorang pemuda bertelanjang
dada. Pemuda itu terse-
nyum, lalu dengan enaknya mematahkan kedua clurit
di tangannya bagaikan mematahkan sepotong kayu.
Trak! Trak! Semakin terbelalak saja mata kedua orang la-
wan Kinanti, saat menyaksikan pemuda bertubuh
tinggi tegap itu dengan mudah mampu mematahkan
clurit mereka. "Kakang Mahesa...!" seru Kinanti, setelah tahu
siapa lelaki yang menolongnya.
"Minggat kalian dari sini, atau Mahesa Lanang
akan membunuh kalian!" bentak Mahesa Lanang den-
gan mata menatap tajam dua orang lawan Kinanti yang
dengan takut-takut bangun, lalu lari tunggang lang-
gang. Melihat kedua temannya lari, dua orang yang
mengeroyok Pendekar Gila seketika turut kabur keta-
kutan. "Husy..., husy...! Hua ha ha...! Lucu sekali kalian...!" seru Sena sambil
tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dengan cen-
gengesan tubuhnya berbalik, lalu memandang Kinanti
dan Mahesa Lanang. Lelaki bertubuh tegap itu me-
mandang dengan tersenyum-senyum pada Pendekar
Gila. Pendekar Gila melangkah mendekati Kinanti
yang masih berdiri di samping Mahesa Lanang. Mulut-
nya cengengesan, seperti orang tak waras. Hal itu
membuat Kinanti tersenyum-senyum kegelian.
"Aha, selamat berjumpa lagi, Mahesa Lanang!
O, terima kasih atas bantuanmu!" ujar Sena sambil membungkukkan tubuh, memberi
hormat. Sedangkan
tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Sehingga
nampak lucu gerakan menjura hormatnya di depan
Mahesa Lanang. Kinanti tersenyum, bahkan tertawa tawa ceki-
kikan menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Gadis
itu menggeleng-gelengkan kepala dengan mata berbi-
nar-binar. "Hm, kurasa guru memberi tanggung jawab pa-
da orang yang salah," gumam Mahesa Lanang. "Untuk melindungi diri sendiri saja
tak becus, apalagi melindungi adik seperguruanku?"
Pendekar Gila dan Kinanti tersentak mendengar
ucapan Mahesa Lanang. Mata mereka terbelalak, tak
percaya kalau Mahesa Lanang akan berkata begitu.
Meski ucapan Mahesa Lanang terasa menyakitkan,
Pendekar Gila malah tertawa terbahak-bahak.
"Ah ah ah, memang aku ini tolol! Melindungi di-
ri sendiri saja belum becus. Ah, dasar tolol...!" gumam Sena sambil cengengesan.
Kepalanya didongakkan ke
langit, sambil menggaruk-garuk kepala. "Tapi..., ah, kurasa kesombongan sangat
buruk akibatnya. Kesombongan seseorang akan membuat mata hati tak mam-
pu melihat kelemahannya."
Mahesa Lanang menarik napas dalam-dalam,
merasa ucapan Pendekar Gila telah menyindirnya.
Namun, pemuda bertelanjang dada itu nampak beru-
saha menahan amarahnya. Dia berusaha tersenyum,
meski senyumnya terasa datar dan terpaksa.
"Hm, kurasa aku tak angkuh dan merasa besar,
Pendekar Gila. Aku bicara atas dasar kenyataan," jawab Mahesa Lanang tegas.
"Aha, kurasa aku tak mengatakan kau angkuh
atau sombong. Tetapi, bagaimanapun juga, tak baik
orang terlalu merendahkan orang lain, yang akan me-
nimbulkan sikap sombong tadi...," sahut Pendekar Gila dengan cengengesan. "Jika
orang telah terkena pengaruh iblis, dia akan lupa segalanya. Lupa pada diri
sendiri, juga pada Hyang Widi."
"Hm, kau memang pintar bertutur kata, Pende-
kar Gila. Pantas, kalau adik seperguruanku dalam se-
kejap saja sudah jatuh cinta padamu," cibir Mahesa Lanang, yang membuat Kinanti
mendelik marah.
"Kakang Mahesa, jangan asal ngomong!" den-
gus Kinanti. "Kau kini berani padaku, Kinanti?"
"Ah ah ah, sudahlah...! Kenapa kalian mesti ri-
but-ribut! Kurasa tak baik seorang kakak beradik se-
perguruan bertengkar," ujar Sena berusaha melerai keduanya. "Mahesa, kurasa kami
harus melanjutkan perjalanan."
"Hendak kau ajak ke mana Kinanti?" tanya Mahesa Lanang. Nada suaranya
menunjukkan rasa tak
senang. Matanya menatap wajah Kinanti yang cembe-
rut diam. "Aha, seperti yang guru kalian katakan, Kinanti
akan ikut bertualang bersamaku," jawab Sena dengan cengengesan.
"Hm, begitu?" tanya Mahesa Lanang.
"Ya," tegas Kinanti. "Aku ingin mencari pengalaman hidup di rimba persilatan."
"Baiklah. Hati-hatilah kalian!" pesan Mahesa Lanang sambil melesat pergi,
membuat Kinanti dan
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudahlah, Sena. Tak usah kau pikirkan! Me-
mang begitu sifatnya," ujar Kinanti sambil melangkah mendekati Sena yang masih
cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Keduanya pun segera melan-
jutkan perjalanan.
*** Mahesa Lanang terus berlari menuju Hutan
Pengantin, tempat Catur Demit berada. Sampai di
tempat tujuan, dilihatnya hutan itu sangat sepi. Sea-
kan keempat Catur Demit telah pergi dari hutan itu.
Mereka merasa takut, kalau-kalau Mahesa Lanang
akan memburu mereka.
"Kurang ajar! Catur Demit, keluar kalian!" teriak Mahesa Lanang dengan geram.
Kakinya melang-
kah dengan tenang, memasuki Hutan Pengantin.
Tak ada jawaban yang terdengar. Mahesa La-
nang mendengus sengit, dengan mata merah meman-
dang penuh beringas ke sekeliling hutan itu. Dia be-
nar-benar marah, merasa dipermainkan Catur Demit.


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Catur Demit, keluar kalian! Atau kuobrak-
abrik tempat kalian"!" seru Mahesa Lanang sambil terus melangkah masuk ke Hutan
Pengantin. Srak! Terdengar suara kaki menginjak daun kering di
samping kanan dan kiri Mahesa Lanang. Seketika wa-
jahnya menoleh ke asal suara itu. Nafasnya menden-
gus laksana banteng terluka dan marah.
"Kurang ajar! Keluar kalian, cepat...!" bentak Mahesa Lanang. Suaranya
menggelegar, memecahkan
kesunyian Hutan Pengantin. Burung-burung yang ada
di hutan itu, seketika beterbangan.
"Ada apa kau berteriak-teriak begitu, Mahesa?"
tanya Ranjani, pimpinan Catur Demit.
Mahesa Lanang menoleh ke asal suara. Dilihat-
nya telah berdiri empat lelaki berwajah garang. Empat lelaki yang telah
diperintahnya agar membunuh Pendekar Gila, tetapi gagal.
"Cuih! Menghadapi pemuda edan saja kalian
tak becus! Kalian malah berani berlagak di hadapan-
ku!" dengus Mahesa Lanang sengit. Matanya menatap tajam keempat Catur Demit.
"Dia berilmu tinggi, Mahesa," sahut Ranjani.
"Cuih!" Mahesa Lanang kembali meludah. Ma-
tanya garang menatap keempat lelaki di depannya.
"Kalian lebih takut Pendekar Gila daripada padaku, heh"!" Keempat Catur Demit
menghela napas dalam-dalam, berusaha tenang dan menahan sabar.
"Kalian tak ubahnya kecoa busuk yang tak ada
gunanya!" ejek Mahesa Lanang sambil mencibir.
Mendengar ejekan itu, Catur Demit marah. Gi-
gi-gigi mereka bergemerutuk keras menahan geram.
Keempatnya merasa harga diri mereka telah dileceh-
kan, bahkan diinjak-injak Mahesa Lanang. Mereka
memang telah gagal menunaikan tugas, tapi mereka
tak rela kalau Mahesa Lanang terus menghina seperti
itu. "Mahesa Lanang, kami sudah sabar. Selama ini,
kami selalu menurut. Tetapi rupanya kau semakin
menginjak-injak harga diri kami," dengus Gento sengit.
Matanya tak kalah tajam menatap wajah Mahesa La-
nang. Mahesa Lanang mencibirkan bibirnya, menge-
jek mereka. "Masih juga kalian punya harga diri. Hm, harga
diri kalian sama dengan bangkai busuk bagiku! Dan
kalian tentunya sudah tahu, apa yang harus kalian la-
kukan, bukan?" dengus Mahesa Lanang masih menun-
jukkan kebengisannya.
"Tidak! Kami tak mau bunuh diri," sahut Gento, lelaki bertubuh gemuk dan
berwajah bulat ditumbuhi
cambang bauk lebat.
"Hm, jadi kalian menantangku"!"
"Terserah. Yang jelas, kami tak mau diperbudak
lagi, Mahesa!" sahut Kadri.
"Kurang ajar! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Mahesa Lanang mele-
sat menyerang Catur Demit. Kedua tangannya me-
layang, kemudian berusaha mencengkeram pundak
salah seorang Catur Demit itu.
"Heaaa...!"
"Awas!" seru Ranjani mengingatkan ketiga rekannya agar segera mengelakkan
serangan Mahesa
Lanang. Namun ternyata salah seorang di antara me-
reka kurang cepat dalam bergerak. Sehingga....
Trep! Tangan Mahesa Lanang mencengkeram pundak
Sampian. Kemudian dengan sekuat tenaga, mengadu-
kan kepalanya dengan kepala Sampian. Maka....
Prak! "Akh...!" Sampian menjerit keras. Dia tak mampu melakukan perlawanan, karena
gerakan Mahesa Lanang begitu cepat. Tubuhnya terpental ke belakang
dengan kepala pecah berantakan. Sesaat tubuhnya
mengejang sekarat, kemudian ambruk dan tewas.
Menyaksikan temannya tewas, tiga orang dari
Catur Demit segera menyerang Mahesa Lanang dengan
pukulan-pukulan sakti mereka yang dinamakan
'Sambar Warang Demit'. Tangan mereka merah mem-
bara seperti mengandung api.
"Heaaa!"
"Yeaaat..!"
"Mampus kau, Mahesa! Heaaa...!"
Tubuh mereka melesat dari tiga arah. Setelah
berjumpalitan, ketiganya menukik dan menghantam-
kan pukulan maut ke tubuh Mahesa Lanang.
"Hm...," Mahesa Lanang bergumam sambil
mencibir. Dia tak berusaha berkelit bahkan dadanya
dibusungkan, agar dihantam ketiga lawannya.
Bugk! Bugk...! Tiga pukulan sakti bergantian memukul tubuh
dan kepala Mahesa Lanang. Namun pemuda itu malah
tertawa terbahak-bahak. Sementara ketiga lawan ter-
pental ke belakang dengan darah meleleh dari mulut
mereka. "Ukh!"
"Benar-benar ilmu iblis!" dengus Gento. "Apa usaha kita, Kakang Ranjani?" tanya
Kadri putus asa.
"Kita serang lagi dengan aji 'Lebur Geni'," ajak Ranjani.
"Ayo! Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
"He he he...! Keluarkan seluruh kesaktian ka-
lian. Sebelum kalian mampus...!" seru Mahesa Lanang sambil tertawa terkekeh
dengan membusungkan dadanya. Degk! Degk! Bugk!
Tiga pukulan kembali mendarat telak di tiga
bagian tubuh Mahesa Lanang.
"Hah..."!"
Ketiga orang Catur Demit kembali terpental de-
ras ke belakang dengan menyemburkan darah dari
mulut. Mereka tak mampu menghancurkan tubuh
Mahesa Lanang dengan ajian 'Lebur Geni'. Malah kini
mereka terkena serangan balik dari ajian itu.
"Hoak...!"
"Ha ha ha...!"
Ketiga orang dari Catur Demit muntah darah
dengan wajah pucat pasi. Mereka belum percaya den-
gan apa yang baru saja dialami. Pukulan maut yang
mereka hantamkan ke tubuh Mahesa Lanang, bukan-
lah pukulan sembarangan. Pukulan itu mampu mele-
burkan gunung. Namun, Mahesa Lanang tak mempan.
Bahkan kini tertawa terbahak-bahak sambil melang-
kahkan kaki menghampiri Kadri yang semakin tegang.
"Jangan..., ampuni selembar nyawaku," ratap Kadri mengharap Mahesa Lanang mau
mengampuni. "Hm, kuberi kau ampun."
Trep! Mahesa Lanang mencengkeram pundak Kadri,
kemudian membangunkannya dari duduk. Hal ini
membuat lelaki itu semakin ketakutan.
"Jangan.... Ampun...."
Belum selesai ucapan Kadri, Mahesa Lanang te-
lah mendahului mengadukan kepala Kadri dengan ke-
palanya. Prak! "Aaakh...!"
Pekikan kematian melengking terdengar dari
mulut Kadri. Kepalanya pecah. Tubuhnya terpental ke
belakang dengan darah berhamburan dari mulut hi-
dung, dan telinga. Otaknya keluar, bersama dengan
darah. Sesaat tubuhnya mengejang sekarat, kemudian
mati. Melihat dua orang temannya telah tewas, tum-
buh semangat dalam jiwa Ranjani dan Gento. Dengan
sisa-sisa tenaga yang ada, keduanya bangun dan me-
nyerang. Mungkin mereka berpikir lebih baik melawan,
ketimbang merengek minta ampun yang pada akhirnya
juga mati di tangan Mahesa Lanang.
"Mahesa Lanang, kupertaruhkan nyawaku un-
tuk melawanmu. Heaaa...!" Ranjani melesat, diikuti Gento dengan pukulan 'Sambar
Warang Demit'nya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!" Mahesa Lanang menggeram. Kedua
tangannya digerakkan ke atas dengan jari-jari terbuka.
Kemudian dengan erangan keras, disertai dengusan
yang mengeluarkan angin dari hidung dan telinga,
Mahesa Lanang melesat memapaki serangan lawan.
"Heaaa!"
Wrt! Prak! Prak! "Aaa...!"
"Aaakh!"
Ranjani dan Gento menjerit, ketika tangan Ma-
hesa Lanang menghantam dada mereka sampai jebol.
Tubuh keduanya terpental deras ke belakang dengan
darah muncrat dari mulut. Tubuh mereka membentur
pohon, lalu ambruk dan tewas dalam keadaan menge-
rikan. Mahesa Lanang mencibir, lalu dengan senyum
dingin kakinya melangkah meninggalkan keempat
mayat Catur Demit yang terkapar dalam keadaan tu-
buh mengenaskan. Hutan Pengantin kembali sepi,
seakan turut berbelasungkawa atas kematian penghu-
ninya. *** 5 Malam menyelimuti Desa Bangkalan yang terle-
tak di sebelah utara Desa Cadas Putih. Dengan adanya
kematian Tarbiun, maka karapan sapi yang renca-
nanya dilakukan tadi pagi, terpaksa diundur. Hal itu
karena para pemilik sapi peserta karapan turut berbe-
lasungkawa atas kematian Tarbiun. Padahal Tarbiun
merupakan juara bertahan, yang harus mempertahan-
kan sapinya agar dapat memenangkan pertandingan.
Namun karena Tarbiun meninggal, kini pertan-
dingan karapan harus dimulai dengan perebutan juara
lagi. Hal itu juga harus dibicarakan para peserta yang akan mengikutsertakan
sapinya dalam karapan nanti.
Malam itu, Ki Jenar nampak gelisah. Lelaki tua
ini tak habis pikir, mengapa Tarbiun dan kelima jawa-
ranya dapat dibunuh dengan mudah. Padahal kelima
jawara Tarbiun bukan orang-orang sembarangan. Me-
reka merupakan jawara-jawara pilihan yang dibayar
cukup mahal. Bahkan pemilihannya pun tak tang-
gung-tanggung harus melalui persambungan nyawa.
Jadi kelima jawara itu merupakan para tokoh yang te-
lah mampu menghabisi nyawa para tokoh saingan me-
reka. Namun, centeng-centeng itu tak dapat berbuat
banyak menghadapi seorang pemuda yang mengaku
berjuluk Banteng Sumenep.
"Hm, siapa sebenar Banteng Sumenep itu?"
gumam Ki Jenar lirih. "Betapa hebat pemuda itu, hingga mampu mengalahkan lima
orang jawara Tarbiun."
Ki Jenar masih termangu dengan pikirannya.
Entah mengapa, semenjak kejadian yang menyangkut
masalah Tarbiun, hati dan pikirannya tak dapat te-
nang. Batinnya selalu disergap gelisah dan merasa
bersalah, karena pada waktu kejadian itu, dirinya
enak-enakan tidur bersama seorang wanita. Padahal
malam itu suasana pasti sangat ribut. Mungkin tu-
buhnya terlalu penat setelah bercumbu dengan seo-
rang penari ronggeng.
Malam terus merangkak. Meskipun cahaya bu-
lan masih terang, suasana mencekam seakan hendak
membinasakan kehidupan di Desa Bangkalan. Suara
binatang malam, seperti turut menyemarakkan malam
di bawah temaram cahaya bulan. Angin malam juga
berhembus seakan-akan membisikkan suatu cerita
kehidupan. Ki Jenar masih gelisah. Nyi Awing, istrinya bu-
kan tak memperhatikan sikap suaminya. Kini matanya
menatap tajam wajah Ki Jenar. Rasa cemburu pun
menggeluti hati Nyi Awing. Dia sudah menduga apa
sebenarnya yang dipikirkan suaminya. Wanita itu juga
tahu benar bahwa suaminya seorang tua-tua keladi.
"Mikir perempuan lain ya, Kang...?" tanya Nyi Awing dengan tatapan mata penuh
curiga. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu bangun dari tidur-
nya, lalu duduk dengan mata masih memandangi sang
Suami. Ki Jenar mendesah lirih, lalu menatap wajah,
sang Istri dengan pandangan jengkel.
"Kamu itu, Nyi! Jangan suka berprasangka bu-
ruk!" bentaknya tak senang dituduh memikirkan gadis lain. "Aku berpikir, siapa
sebenarnya orang yang telah
mengalahkan kelima jawara Tarbiun" Padahal, keli-
manya bukan orang sembarangan."
"Lho, bukankah Kakang di sana waktu kejadian
itu?" tanya Nyi Awing dengan kening berkerut, mendengar ucapan suaminya yang
semakin membuatnya
curiga. Hatinya semakin curiga, kalau-kalau suaminya
kemarin malam bukan mencari nafkah, melainkan
hanya bersenang-senang dengan perempuan.
Ki Jenar tersentak kaget, mendengar perta-
nyaan istrinya. Dia tak menduga, kalau istrinya akan
bertanya seperti itu. Hampir saja terbongkar belang-
nya, kalau saja Ki Jenar tak segera memperbaiki uca-
pannya. "Maksudku, aku juga melihat kejadian itu.
Wuah, tak kusangka kalau masih muda begitu mampu
mengalahkan lima jawara sekaligus. Padahal kelima
jawara itu orang-orang pilihan," ujar Ki Jenar sambil menggeleng-gelengkan
kepala, sepertinya merasa kagum akan kehebatan pemuda itu.
Nyi Awing mengerutkan kening, matanya masih
menatap tajam Ki Jenar yang terduduk dengan helaan
napas panjang. Seakan-akan berusaha hendak me-
nunjukkan bagaimana perasaannya menyaksikan ke-
jadian kemarin malam itu, agar istrinya tak lagi menaruh perasaan curiga.
"Lalu mengapa kau gelisah?" tanya Nyi Awing masih belum juga percaya pada


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaminya. Seakan ra-sa curiga masih tetap membelit di hati wanita berpa-
kaian kebaya kuning itu.
"Gelisah" Ah, kurasa aku tak gelisah," kilah Ki Jenar berusaha menutupi
perasaannya. Dicobanya untuk tersenyum, walau sangat terpaksa. Pikirannya ma-
sih berkecamuk tentang pemuda yang mengaku berju-
luk Banteng Sumenep.
Nyi Awing menggeleng-gelengkan kepala dengan
bibir tersenyum tipis, menyaksikan tingkah laku sua-
minya. "Kalau tak memikirkan apa-apa, tidurlah! Sudah malam. Udara tak baik
untuk kesehatanmu,
Kang," ujar Nyi Awing, berusaha menasihati suaminya yang tampak masih gelisah.
Ki Jenar menghela napas, berusaha perlahan-
lahan hendak merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
Namun, tiba-tiba....
Brak! Terdengar suara pintu rumah Ki Jenar dido-
brak dari luar. Suami istri itu tersentak kaget. Ki Jenar yang semula hendak
membaringkan tubuh untuk tidur, terlonjak kaget. Begitu juga dengan Nyi Awing.
"Hei, siapa itu"!" teriak Ki Jenar seraya bangun dari tempat tidur. Disambarnya
tongkat bergagang
ular, kemudian diikuti istrinya Ki Jenar melangkah keluar untuk melihat apa yang
sebenarnya terjadi.
Mata Ki Jenar terbelalak, ketika seorang pemu-
da bertelanjang dada telah berdiri di dalam rumahnya.
"Selamat malam, Ki Jenar...!" sapa pemuda itu dengan senyum mengembang, seakan
menunjukkan keramahan. Namun, dilihat dari matanya yang merah
membara, jelas pemuda itu tengah diliputi perasaan
marah. Hal itu yang membuat Ki Jenar dan Nyi Awing
mengerutkan kening, memandang tajam pemuda yang
berdiri sekitar tiga tombak di hadapan mereka.
"Siapa kau, Anak Muda" Mengapa malam-
malam begini datang, dengan cara yang aneh?" tanya Ki Jenar agak marah. Anak
muda itu dianggapnya terlalu berani dan kurang ajar.
"Aku...?" pemuda bertubuh tegap dan bertelanjang dada itu balik bertanya, seakan
tak mendengar jelas apa yang ditanyakan Ki Jenar. "Aku Banteng Sumenep."
Terbelalak mata Ki Jenar dan Nyi Awing, sete-
lah tahu siapa pemuda yang berdiri di hadapan mere-
ka. Sedangkan Banteng Sumenep malah tersenyum-
senyum, seakan menghina dan mengejek lelaki tua itu.
"Jadi, kau...?"
Belum juga Ki Jenar habis berkata, pemuda
bertubuh tegap itu telah mendahului.
"Ya! Akulah Banteng Sumenep, yang akan men-
cabut nyawa busukmu!" bentak pemuda yang bernama asli Mahesa Lanang itu.
Semakin membelalak mata Ki Jenar, menden-
gar ucapan Mahesa Lanang. Apalagi Nyi Awing. Wanita
tua itu semakin pucat pasi wajahnya. Meskipun saat
itu sedang benci pada suaminya yang tua-tua keladi,
tapi mendengar ancaman pemuda itu, rasa kesetiaan
sebagai seorang istri tiba-tiba menyeruak dalam ha-
tinya. Bagaimanapun juga, hatinya merasa takut kalau
harus ditinggal mati Ki Jenar.
"Lancang sekali mulutmu, Bocah! Ada urusan
apa denganku"!" bentak Ki Jenar antara kaget dan marah. Mata lelaki tua yang
menjadi seorang dukun itu
melotot garang. Sepertinya tak merasa takut sedikit
pun pada Mahesa Lanang.
Mahesa Lanang atau Banteng Sumenep menci-
bir. Matanya yang merah, menatap tajam wajah Ki Je-
nar. Seolah-olah dengan tatapan itu Mahesa Lanang
ingin menusuk dada lelaki tua bertubuh bungkuk itu.
"Sudah kukatakan, aku datang untuk menca-
but nyawa busukmu, Orang Tua!"
"Apa urusan kita"!" bentak Ki Jenar masih belum mengerti alasan Mahesa Lanang
hendak membu- nuhnya. Padahal dia dan pemuda itu belum pernah
ada sangkut paut apa pun.
"Hm, masih saja kau tak ingat, Tua Bangka! Ti-
dak ingatkah kau dengan peristiwa dua puluh tahun
yang silam" Ketika terjadi pembunuhan terhadap seo-
rang lelaki di arena pertandingan karapan" Kejadian
itu telah menyebabkan seorang anak berusia lima ta-
hun hidup terlunta-lunta!" tutur Mahesa Lanang menjelaskan.
Ki Jenar dan Nyi Awing terdiam, tak berkata
sepatah kata pun. Tampaknya lelaki tua itu tengah be-
rusaha mengingat-ingat kejadian dua puluh tahun
yang silam. Namun Ki Jenar tak juga dapat mengingat
peristiwa yang dimaksud Mahesa Lanang. Dia merasa
tak pernah melakukan kekejian itu.
"Aku tak ingat. Siapa nama lelaki yang terbu-
nuh itu?" tanya Ki Jenar masih diliputi ketidakmengertian, serta rasa jengkel
pada pemuda yang mengaku
Banteng Sumenep.
"Simbar Kanginan.... Kau ingat dengan nama
itu, Orang Tua Keparat"!" dengus Mahesa Lanang. Matanya semakin tajam, menatap
lekat Ki Jenar. Sedang-
kan lelaki tua itu masih terpaku dengan kening berke-
rut, tengah berusaha mengingat-ingat apa yang dika-
takan Mahesa Lanang.
"Simbar Kanginan...?" desis Ki Jenar, berusaha mengingat-ingat nama itu.
"Ya! Simbar Kanginan, seorang juragan di Su-
menep yang kalian bantai pada saat pertandingan ka-
rapan sapi, dua puluh tahun silam," dengus Mahesa Lanang, berusaha mengingatkan
kejadian-kejadian
yang pernah terjadi dua puluh tahun silam, yang juga
mengakibatkan dirinya terkatung-katung hidup tanpa
orang tua. Semakin mengerut kening Ki Jenar, mendengar
penuturan Mahesa Lanang. Dia merasa tak pernah
melakukan semua itu, atau barangkali tidak ingat sa-
ma sekali. Namun Ki Jenar merasa tak pernah mela-
kukan tindakan biadab itu. Tak ada tindakan pemban-
taian yang melibatkan dirinya, pada dua puluh tahun
yang silam. Mengapa bocah ini datang-datang menuntut
balas" Hm, kurasa ada yang tak beres. Mungkin ada
yang bermaksud mengadu domba antara bocah ini
denganku, juga dengan Tarbiun! Gumam Ki Jenar da-
lam hati. Matanya masih menatap tajam pada Mahesa
Lanang. "Bagaimana, Ki" Apakah kau telah siap untuk
mati..." tanya Mahesa Lanang dengan suara penuh kebencian pada lelaki tua di
depannya. Matanya semakin
tajam, menatap bengis wajah Ki Jenar.
"Cuih, sombong! Jangan kira aku takut meng-
hadapimu, Anak Muda!" dengus Ki Jenar sengit, sementara istrinya masih diam. Ada
perasaan takut me-
nyelinap di benak Nyi Awing. Melihat tatapan mata
Mahesa Lanang, Nyi Awing sudah menduga kalau pe-
muda itu bukan pemuda sembarangan.
"Bagus kalau memang begitu," ujar Mahesa Lanang dengan suara sinis. "Bersiaplah!
Apakah kau akan menyerangku dulu, Ki" Silakan...."
"Sombong!" dengus Ki Jenar. "Kau kira dirimu dewa, terlalu besar kepala kau,
Anak Muda!"
"Aku tidak besar kepala, Ki. Jika aku yang me-
nyerang lebih dahulu, takkan ada kesempatan bagimu
membalas seranganku," ujar Banteng Sumenep den-
gan senyum sinis masih mengembang di bibir-nya.
"Huh, baik kalau itu maumu, Bocah! Bersiap-
lah!" *** Ki Jenar menyurut mundur tiga langkah, diiku-
ti istrinya yang khawatir terhadap nasib suaminya.
Meski dia tahu suaminya bukan orang sembarangan,
tetapi dibandingkan dengan usia lawannya, jelas tena-
ga suaminya berada jauh di bawah pemuda itu.
"Hati-hati, Kang! Kulihat hawa membunuh ter-
pancar dari matanya," bisik Nyi Awing, berusaha mengingatkan suaminya agar tidak
gegabah menghadapi
pemuda itu. "Hm, jangan khawatir, Nyi! Akan kurobek mu-
lut besarnya," dengus Ki Jenar sengit
"Hm, kenapa kau masih diam, Ki" Apa akan
kau biarkan nyawamu melayang...?" tanya Mahesa Lanang masih dengan senyum sinis
menghias di bibir-
nya. "Cuih! Kurang ajar! Bersiaplah! Heaaa...!"
Ki Jenar kemudian melesat menyerang Mahesa
Lanang dengan memutar tongkat berkepala ularnya.
Tongkat itu bergerak cepat, hingga mengeluarkan an-
gin yang menderu-deru dan terasa panas. Namun Ma-
hesa Lanang masih tetap tenang, dengan bibir masih
mengulas senyum. Pemuda itu sama sekali tak takut
menghadapi gebukan tongkat Ki Jenar.
"Heaaa...!"
Wrt! Tongkat di tangan Ki Jenar terus berputar, ke-
mudian dengan keras menghantam ke tubuh Mahesa
Lanang. Begk! Begk! "Ukh...!"
Ki Jenar tersentak kaget, dan segera melompat
ke belakang, ketika melihat apa yang terjadi. Mahesa
Lanang hanya tersenyum, seakan tak merasakan apa-
apa. Meskipun lelaki tua itu menghantamkan tongkat-
nya dengan tenaga dalam penuh. Padahal, dulu per-
nah sebuah batu karang sebesar kerbau dapat dihan-
curkan dengan tongkat kayu bergagang ular itu. Tapi
kini, Ki Jenar harus membuka mata lebar-lebar. Is-
trinya juga terperangah menyaksikan apa yang terjadi.
Dia seakan berada di alam mimpi, menyaksikan keja-
dian itu. Bocah itu tak mempan digebuk tongkat sak-
tinya! Nyi Awing tahu kehebatan tongkat suaminya,
namun kini tongkat itu tak berarti sama sekali. Tubuh pemuda itu seperti baja
yang sangat kuat tak mempan
dipukul tongkat kayu berwarna hitam itu.
"Kang...!" desis Nyi Awing menyaksikan sua-
minya limbung beberapa langkah ke belakang dengan
wajah pucat. Wanita tua itu segera menubruk tubuh
suaminya, takut kalau Ki Jenar mengalami hal-hal
yang tak diinginkan. "Kau tak apa-apa, Kang?"
"Tidak, Nyi. Hm, dia bukan pemuda sembaran-
gan, Nyi. Tubuhnya seperti kebal terhadap segala ma-
cam senjata," desis Ki Jenar dengan napas terengah, bagaikan habis berlari
kencang. "Bagaimana, Ki" Apakah kau masih ingin me-
nyerang lagi" Karena kuberi kau kesempatan tiga kali,"
ujar Mahesa Lanang dengan keangkuhannya.
"Cuih! Jangan dikira kau sudah menang, Bo-
cah! Bersiaplah menghadapi seranganku yang kedua.
'Wilang Waling'. Heaaa...!"
Tubuh Ki Jenar kembali melesat dengan tangan
bergerak cepat bagaikan berputar. Telapak tangannya
mendadak berubah hijau kekuningan.
"Hm, ilmu kuno kau gunakan, Ki," ujar Mahesa Lanang. Kemudian tenaga dalamnya
disalurkan ke seluruh tubuh.
"Heaaa...!"
Tubuh Ki Jenar semakin melesat dengan cepat,
memburu tubuh Mahesa Lanang. Tangannya yang me-
nyala dan berwarna hijau kekuningan telah terbuka,
lalu bergerak memutar begitu cepat laksana baling-
baling. "Heaaa...!"
Degk! Degk! "Ukh!" Ki Jenar kembali terpekik pendek, tubuhnya terlontar ke belakang. Meleleh
darah segar dari mulutnya. Matanya membelalak tegang, tak percaya
pada apa yang tengah dialami.
"Kakang...!"
Nyi Awing berseru kaget, menyaksikan tubuh
suaminya terpelanting ke belakang. Beruntung Ki Je-
nar masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuh-
nya, sehingga tak menghantam dinding rumahnya.
Dengan berjumpalitan beberapa kali, Ki Jenar menda-
rat di lantai. Sesaat tubuhnya terhuyung tiga langkah ke belakang.
"Kau...!"
Mahesa Lanang tersenyum kecut. Matanya ma-
sih menatap tajam wajah Ki Jenar. Wajah lelaki tua itu semakin pucat pasi,
seperti tanpa dialiri darah. Pukulan 'Wilang Waling'nya yang terkenal mampu
melebur- kan dan memporak-porandakan hutan, tak berarti
sama sekali bagi tubuh Mahesa Lanang.
"Bagaimana, Ki" Kau masih ada satu kesempa-
tan lagi untuk menyerangku," kata Mahesa Lanang
dengan senyum datar, menunjukkan kesombongan-
nya. Dadanya semakin dibusungkan, seakan hendak
menunjukkan kekokohan tubuhnya.
"Cuih! Kini giliranmu, Bocah! Aku telah siap!"
kata Ki Jenar marah, merasa direndahkan.
"Hm, begitu...?"
"Ya! Aku siap!"
"Bagus! Bersiaplah untuk mati, Ki." Mahesa
Lanang menarik napas dalam-dalam, kemudian den-
gan tenang kakinya melangkah mendekati Ki Jenar
yang tegang. Begitu pula Nyi Awing, dicekam ketegan-
gan menyaksikan apa yang bakal terjadi pada sua-
minya. Mahesa Lanang terus melangkah, kemudian
kedua tangannya direntangkan. Telapak tangannya di-
buka saling berhadapan. Lalu dengan mengerahkan
tenaga dalam, Mahesa Lanang menghentakkan kedua
telapak tangannya.
"Heaaa!"
Prak! "Akh...!"
"Kakang...!" Nyi Awing menjerit, ketika menyaksikan kepala suaminya hancur
berantakan terhantam
telapak tangan pemuda itu. "Bajingan! Kubunuh kau, Bocah Edan!"
Mahesa Lanang tersenyum, lalu melesat pergi
tanpa menghiraukan kemarahan Nyi Awing yang se-
senggukan menangisi kematian suaminya.
*** 6

Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama setelah kepergian Mahesa Lanang da-
ri rumah Ki Jenar, tampak dua orang muda berjalan
menyelusuri keremangan malam. Kedua orang muda
itu tak lain Pendekar Gila dan Kinanti yang sejak ke-
marin mengikutinya. Malam itu mereka masih berjalan
dalam usaha mencari tempat penginapan. Tiba-tiba
keduanya tersentak kaget, ketika mendengar suara
isak tangis seorang wanita di tengah malam.
"Sena, suara apa itu?" keluh Kinanti seraya me-rapatkan diri ke tubuh Pendekar
Gila. Seakan-akan
gadis cantik itu merasa takut, mendengar suara rinti-
han tangis seorang wanita tua.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ah ah ah,
kenapa kau takut, Kinanti" Kurasa wanita itu sedang sedih. Ayo, kita cari dari
arah mana suara itu!"
"Tidak, Sena! Aku takut"
"Takut.." Aha, takut kenapa" Bukankah seha-
rusnya yang kau takuti justru seorang lelaki sepertiku.
Hi hi hi...!"
Sena tertawa cekikikan, membuat Kinanti cem-
berut. Lalu dengan gemas dicubitnya pinggang Pende-
kar Gila hingga bertambah cekikikan.
"Ah ah ah, sudahlah! Kita harus segera melihat,
apa yang terjadi pada wanita tua itu," ajak Sena sambil menggandeng tangan
Kinanti menuju ke tempat asal
suara tangisan.
Suara isak tangis Nyi Awing masih terdengar,
menunjukkan kesedihan. Namun tangisnya terhenti,
ketika terdengar suara Pendekar Gila menyapa.
"Selamat malam, Nyai. Kenapa Nyai menangis
di tengah malam begini?" tanya Sena.
Nyi Awing menatap tajam wajah Pendekar Gila.
Sepertinya hendak menyelidiki siapa pula pemuda ber-
tingkah laku seperti orang gila itu.
"Aha, kau tak perlu cemas, Nyai. Aku bukan
pemuda jahat..," ujar Sena ketika menyaksikan sorot mata ketakutan Nyi Awing.
"Siapa kalian?" tanya Nyi Awing masih mem-
perhatikan kedua muda-muda itu. "Apakah kalian teman pemuda yang telah membunuh
suamiku?" Pendekar Gila dan Kinanti mengerutkan ken-
ing, kemudian saling pandang. Mereka tampaknya be-
rusaha ingin tahu, siapa pemuda yang dimaksudkan
Nyi Awing. "Aha, apakah tadi memang ada seorang pemu-
da datang ke rumahmu, Nyai?" tanya Sena masih cen-
gengesan. Tiba-tiba Pendekar Gila membelalakkan ma-
ta, ketika melihat sesosok tubuh lelaki tua tergeletak di depan wanita berusia
sekitar lima puluh tahun itu.
Kepala lelaki tua itu pecah, sampai keluar otaknya
bercampur dengan darah.
"Ya, tadi seorang pemuda bertelanjang dada da-
tang. Dia mengaku berjuluk Banteng Sumenep. Dan...,
dia membunuh suamiku...! Hu hu hu...!" Nyi Awing menceritakan apa yang telah
terjadi dan menimpa suaminya. Pendekar Gila dan Kinanti kembali menge-
rutkan kening saling pandang.
"Banteng Sumenep...?" gumam Kinanti.
"Benar, Nini," tegas Nyi Awing.
"Aha, kau kenal nama itu, Kinanti?" tanya Se-na.
Kinanti mengulum bibir dalam-dalam, seper-
tinya hendak menahan perasaannya yang dalam. Dia
kenal betul siapa sebenarnya Banteng Sumenep, yang
tiada lain Mahesa Lanang. Kinanti tak habis pikir,
mengapa Mahesa Lanang harus membunuh orang"
Padahal setahunya, Mahesa Lanang bukan seorang
pembunuh. Dahulu kakak seperguruannya itu sangat
pengalah. "Ya," jawab Kinanti sambil menganggukkan kepala. "Siapa, Kinanti?" tanya Sena
penasaran. "Kakang Mahesa Lanang," jawab Kinanti. Pen-
dekar Gila tersentak kaget mendengar jawaban Kinan-
ti. "Aha, benarkah Banteng Sumenep itu kakak
seperguruanmu...?" tanya Sena belum yakin dengan yang dikatakan Kinanti. Matanya
memandang gadis
itu, dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya cengengesan, seakan merasa lucu. Itulah
tanda kalau Pendekar Gila tengah merasakan kebin-
gungan. "Ya. Kakang Mahesa Lanang memang mendapat
julukan Banteng Sumenep, karena dia berasal dari De-
sa Sumenep," tutur Kinanti berusaha meyakinkan
Pendekar Gila. Sena semakin nyengir dan menggaruk-garuk
kepala, mendengar keterangan Kinanti. Pikirannya ber-
tambah tak mengerti, mengapa murid Ki Windu Ajar
melakukan perbuatan sekeji itu" Apa alasan Mahesa
Lanang membunuh orang" Itu yang menjadi perta-
nyaan Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali dunia ini," gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Tan-
gannya kembali menggaruk-garuk kepala. Malah kini
garukannya semakin cepat. "Lucu, bagaimana mung-
kin Mahesa Lanang berbuat sekeji itu?"
"Itulah yang sedang kupikirkan, Sena," sahut Kinanti setengah bergumam. "Selama
ini, aku tak pernah melihat keganjilan-keganjilan Kakang Mahesa. Ta-
pi kini, sepertinya aku bagaikan mimpi."
Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil meng-
geleng-gelengkan kepala. Dia merasa dihadapkan pada
masalah yang aneh dan sulit untuk diselesaikan. Se-
hingga teringat kembali kejadian yang dialami di Kerajaan Telaga Emas. Di mana
Joko Galing pun mengala-
mi kesesatan. Padahal guru Joko Galing beraliran lu-
rus (Untuk lebih jelasnya, silakan ikuti serial Pendekar Gila dalam episode
"Pengkhianatan Joko Galing").
Ah ah ah, mungkinkah masalahnya sama den-
gan yang dialami Joko Galing" Gumam Sena dalam ha-
ti. Pendekar Gila belum mengerti, kenapa Ki Windu
Ajar yang terkenal bijaksana dan merupakan tokoh tua
yang disegani di Pulau Madura, mempunyai murid
durjana seperti Mahesa Lanang.
"Nyai, bisakah kau menunjukkan ciri-ciri pe-
muda itu yang lain?" tanya Kinanti, ingin meyakinkan dugaannya. Hal itu
dikarenakan banyak pemuda di
Pulau Madura yang bertubuh tegap dan bertelanjang
dada. Siapa tahu ada pemuda lain yang mengaku-aku
sebagai Mahesa Lanang.
"Ciri-cirinya, dia memakai kalung berbandul
bulat terbuat dari kayu," kata Nyi Awing menjelaskan apa yang sempat dilihatnya
pada pemuda itu.
"Apakah bandulnya ada gambar timbulnya,
Nyai?" tanya Kinanti lagi.
"Be..., benar. Kau begitu tahu, Nisanak. Hm,
kau temannya, ya?" tanya Nyi Awing kembali merasa takut kalau-kalau kedua anak
muda itu teman pemuda yang telah membunuh suaminya.
"Aha, jangan takut, Nyai. Bagaimanapun juga,
orang yang telah membunuh suamimu harus ditang-
kap," tukas Sena berusaha menenangkan hati wanita setengah baya itu.
"Benar, Nyai. Meski teman kami, tetapi dia ber-
salah. Kami harus menangkapnya," sambung Kinanti, membuat Nyi Awing nampak agak
tenang. "Aha! Kami rasa, kami harus segera mengejar-
nya, Nyai. Ah, maafkan kami kalau tak bisa membantu
untuk mengubur mayat suamimu," ujar Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Nyai. Kami harus cepat mengejarnya,"
sambung Kinanti. "Tapi, apa alasan Banteng Sumenep membunuh suamimu, Nyai?"
Nyi Awing tidak menyahut, kepalanya mengge-
leng karena tak tahu mengapa Banteng Sumenep me-
musuhi suaminya.
"Jadi Nyai tak tahu?" desak Kinanti.
"Tidak. Aku hanya mendengar, Banteng Sume-
nep mengatakan tentang kejadian dua puluh tahun
yang silam di pertandingan karapan sapi. Menurutnya
Ki Jenar terlibat," tutur Nyi Awing.
"Apa" Ki Jenar"!" tanya Kinanti kaget "Jadi suami Nyai ini bernama Ki Jenar...?"
"Benar, Nini. Kau seperti kaget, kenapa?" tanya Nyi Awing ingin tahu, ketika
mendengar suara Kinanti
yang nampaknya kaget mendengar nama suaminya.
"Hm, Ki Jenar yang menjadi dukun itu?" tegas Kinanti. "Ya, lihatlah sendiri,
Nisanak!" Kinanti mendekati mayat lelaki tua yang tergeletak dengan kepala
pecah. Matanya terbeliak, setelah tahu kalau lelaki tua agak bungkuk itu benar
Ki Jenar. "Heran, mengapa Kakang Mahesa membunuh Ki Jenar?" gumam Kinanti.
Seakan pertanyaan itu ditujukan pada diri sendiri.
Sementara Pendekar Gila hanya cengengesan
mendengar gumaman Kinanti. Dia pun tak habis pikir
mengapa Mahesa Lanang yang dididik Ki Windu Ajati
melakukan perbuatan keji. Padahal gurunya bukan
orang bodoh dan sesat.
Ah! Manusia memang aneh! Gumam Sena da-
lam hati. Jadi semua tergantung dari jiwanya. Sehebat apa pun guru mendidik,
kalau orang itu memang ber-jiwa sesat tak akan mungkin bisa dirubah!
Pendekar Gila cengengesan sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Dia masih tak habis pikir. Mahesa
Lanang pernah menunjukkan keangkuhannya. Namun
tak tampak di wajahnya gambaran seseorang yang
membunuh secara keji.
"Mungkin Juragan Tarbiun dan kelima jawa-
ranya juga dibantai Mahesa Lanang, Kinanti," tukas Sena. "Tentunya begitu,
karena kudengar pelakunya juga Banteng Sumenep. Sayang, aku belum melihat
dengan mata kepalaku sendiri," gumam Kinanti. "Ka-
lau saja melihat secara langsung, aku tak akan tinggal diam." Pendekar Gila
tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang ke atas ru-
mah. Genteng rumah tampak samar-samar dalam ke-
gelapan. Kemudian tatapan matanya dialihkan pada
sosok Ki Jenar.
"Aha, kalau benar semua ini perbuatan Mahesa
Lanang, kita harus segera ke padepokanmu, Kinanti,"
usul Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Untuk apa, Sena?"
"Hi hi hi...! Kau ini lucu sekali, Kinanti. Jelas kita harus segera memberi tahu
Ki Windu Ajar tentang
kejadian ini. Bukan begitu, Anak Manis?" seloroh Pendekar Gila yang membuat
Kinanti cemberut. Mulutnya
bersungut-sungut. Melihat hal itu Pendekar Gila se-
makin menjadi-jadi menggodanya.
"Ayo Sena, kita harus segera ke padepokan!"
ajak Kinanti sambil menggandeng tangan Sena. "Nyai, kami permisi."
Kedua muda-mudi itu pun melesat, meninggal-
kan rumah Ki Jenar. Tak lama kemudian warga Desa
Bangkalan berdatangan ke rumah Ki Jenar.
*** Pagi yang sejuk dihembus angin semilir basah.
Desa Wetan Progo yang berada di sebelah timur Desa
Bangkalan nampak ramai. Sudah banyak orang yang
berlalu lalang untuk melakukan tugas mereka sehari-
hari. Sebuah kedai yang terletak di sebelah selatan
Desa Wetan Progo dibuka dan nampak telah ada satu
dua pengunjungnya. Tak lama kemudian, kedai itu
ramai dikunjungi para pengunjung yang mungkin
bermaksud sarapan pagi.
Pendekar Gila dan Kinanti yang dalam perjala-
nan ke Pegunungan Blige kini nampak melangkah dari
arah barat. Keduanya baru saja keluar dari perbatasan antara Desa Wetan Progo
dan Desa Bangkalan.
"Wuah, kurasa kita harus istirahat dulu, Kinan-
ti. Perutku lapar sekali," usul Sena sambil menepuk-nepuk perutnya yang terasa
lapar. Semua mata orang yang lewat di jalanan Desa
Wetan Progo, segera tertuju pada Pendekar Gila dan
Kinanti. Mereka sepertinya heran, melihat seorang wa-
nita muda dan cantik berjalan dengan seorang pemuda
gila. Bahkan hampir semua orang yang berpapasan
dengan Pendekar Gila tersenyum-senyum melihat
tingkah laku Sena yang persis orang gila.
"Kok mau-maunya ya, gadis cantik jalan sama
pemuda tak waras," celoteh seorang lelaki muda berpakaian kuning loreng hijau.
"Iya, ya" Seperti tak ada pemuda lain. Yang wa-
ras dan gagahkan banyak," sahut temannya yang
mengenakan baju rompi coklat kehitaman. "Atau dengan aku...."
Mereka tertawa-tawa, membuat Kinanti tersing-
gung dan hampir marah. Beruntung Pendekar Gila se-
gera menasihati agar Kinanti menahan diri.
"Aha, biarkan apa kata mereka! Hi hi hi..., me-
mang dunia ini gila," ujar Sena dengan tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Tapi mereka kurang ajar, Sena."
"Aha, sudahlah! Perutku sudah sangat lapar,"
ajak Sena sambil menggandeng tangan Kinanti. Gadis
itu hanya menggerendeng. Masalahnya, Kinanti masih
jengkel mendengar ucapan orang-orang tadi.
"Kau terlalu halus, Sena!" rungut Kinanti.
"Orang-orang seperti itu harus dihajar."
"Aha, mengapa kau yang marah, Kinanti" Ah,
sudahlah...! Yang penting mereka tak menginjak-injak
harga diri, bukan?" tukas Sena sambil terus menggandeng tangan gadis itu,
menjauhi orang-orang yang ma-
sih tertawa-tawa memperhatikan tingkah lakunya.
Dengan masih bersungut-sungut, Kinanti me-
nuruti Pendekar Gila. Keduanya menuju ke kedai.
Kinanti dan Sena sampai di kedai. Keduanya la-
lu masuk dan mencari tempat duduk. Seperti di luar
tadi, semua mata orang di dalam kedai pun kini tertu-
ju pada Sena dan Kinanti. Mereka juga bergumam ke-
tika melihat wanita cantik yang bergandeng tangan
dengan orang gila. Namun berbeda dengan orang-
orang di luar, mereka hanya berani menggerendeng pe-
lan, khawatir kedua muda-muda itu tersinggung lalu
menimbulkan keributan di dalam kedai.
Seorang pelayan mendatangi tempat duduk
Pendekar Gila dan Kinanti. Pelayan itu pun menge-


Pendekar Gila 18 Dendam Mahesa Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rutkan kening, melihat tingkah laku pemuda yang per-
sis orang gila.
"Aha, kenapa kau diam, Ki?" tanya Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. Kemudian
diliriknya Kinanti yang hanya terdiam menundukkan
kepala. Mungkin hatinya tak enak melihat orang-orang
di kedai itu memperhatikan dirinya.
"Pesan apa Tuan?"
"Aha, kami pesan makanan apa saja yang ada
di sini," jawab Sena.
Pelayan kedai mengerutkan kening, mendengar
permintaan Pendekar Gila. Begitu pula dengan Kinanti, hatinya terkejut mendengar
permintaan itu.
"Aha, mengapa masih diam, Ki" Cepatlah sedi-
kit! Aku sudah lapar sekali," ujar Sena dengan suara agak membentak, membuat
pelayan kedai bertambah
mengkerut. Cepat-cepat lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun itu langsung bergegas pergi untuk men-
gambilkan pesanan tamunya yang seperti orang gila
itu. Tidak lama kemudian, pelayan kedai telah
muncul dengan membawa senampan besar makanan
yang dipesan. Kinanti terbelalak melihat makanan itu.
"Hei, siapa yang mau makan sebanyak itu"!"
tanya Kinanti kaget seraya menoleh ke wajah Pendekar
Gila yang tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, tak apa. Bukankah hari ini kita mau pes-
ta" Hua ha ha.... Aha, ayo kita makan!" ajak Sena. "Taruh di meja, Ki!"
Pelayan kedai yang masih heran melihat ting-
kah laku Pendekar Gila, hanya mampu bengong dan
menuruti apa yang diperintahkan.
Setelah meletakkan semua makanan pesanan,
pelayan kedai pun berlalu meninggalkan kedua ta-
munya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan ter-
senyum. "Dasar bocah edan," gumam pelayan kedai itu seraya melangkah meninggalkan
Pendekar Gila dan
Kinanti yang mulai menyantap makanan. Semua yang
ada di kedai kini memperhatikan Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menyantap makanan.
"Hi hi hi...! Aha, nikmat sekali. Hm, kenyang
perutku!" gumam Sena seraya mengusap-usap perut-
nya. Sementara Kinanti semakin melotot, gemas meli-
hatnya. Tiba-tiba dari pintu luar, masuk lima sosok lelaki berwajah garang.
Kelima lelaki berusia sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun itu mengenakan
pakaian merah saga. Wajah mereka dihiasi dengan cam-
bang bauk, dan rata-rata hampir sama garang serta je-
leknya. Mereka terkenal dengan sebutan Lima Iblis da-
ri Gempolan. Semua orang yang ada di kedai seketika mem-
belalakkan mata tegang, melihat kehadiran mereka.
Hanya Sena dan Kinanti yang kelihatan tenang, sea-
kan-akan tak peduli dengan kehadiran kelima lelaki
berwajah garang itu.
"Lima Iblis dari Gempolan...!" desis orang-orang di kedai dengan mata melotot
tegang. *** 7 Orang-orang di dalam kedai seperti dihantui pe-
rasaan takut, melihat Lima Iblis dari Gempolan. Semua telah kenal benar siapa
kelima lelaki itu. Kelimanya
terkenal sangat garang dan bengis. Lima Iblis dari
Gempolan juga sering melakukan pemerasan terhadap
siapa saja, tak pandang bulu.
"Jangan pergi! Kami tak akan membiarkan seo-
rang pun pergi dari kedai ini!" seru Sarpajani, atau lebih dikenal dengan
sebutan Iblis Bersenjatakan Cakar.
Karena dia memang menggunakan senjata berbentuk
cakar terbuat dari baja murni.
Beberapa orang yang semula hendak angkat
kaki dari kedai itu seketika kembali duduk. Tak seo-
rang pun yang berani bangun dari bangkunya.
Lima Iblis dari Gempolan melangkah masuk,
mata mereka menatap garang ke sekeliling ruangan
kedai. Sepertinya ada seseorang yang sedang dicari.
"Siapa di antara kalian yang dikenal dengan se-
butan Pendekar Gila"!" tanya Sarpajani dengan suara ditekan berat.
"Hua ha ha...! Lucu sekali, pagi-pagi begini ada kecoa berkoar. Ah ah ah,
membuat perutku yang ke-
nyang jadi mual," gumam Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Kemudian tubuhnya
berbalik dan tetap
duduk sambil menatap Lima Iblis dari Gempolan.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!" bentak Sarpajani.
"Hi hi hi..." Kau gila! Ah ah ah, mengapa kau
gila masuk-masuk ke kedai?" sahut Sena sambil tertawa cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala. Lalu
dengan cengengesan, kepalanya digeleng-gelengkan.
Matanya masih menatap tajam lima lelaki berwajah ga-
rang yang kini melangkah mendekat ke tempat duduk-
nya. "Rupanya pemuda sinting ini yang kita cari,"
tukas Sarpajani pada keempat rekannya.
"Benar, tak salah lagi," sahut Kurutuma. "Ciri-ciri yang dikatakan pimpinan kita
memang sama."
"Ya. Tak salah lagi," sambung Karasenta.
"Hm, Bocah Sinting. Bersiaplah untuk mam-
pus!" dengus Sarpajani, membuat Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-menggeleng
kepala. Lalu dengan cengengesan, rambut di belakang
telinganya digaruk-garuk.
"Ah, mengapa kalian minta mampus cepat-
cepat...?" tanya Sena, membalikkan kata-kata mereka.
Lima Iblis dari Gempolan membelalakkan mata,
mendengar jawaban konyol Pendekar Gila. Napas me-
reka mendengus, menahan geram.
"Bocah edan! Rupanya kau belum kenal siapa
Lima Iblis dari Gempolan. Sehingga mulutmu lancang
sekali!" dengus Karasenta dengan mata memerah karena marah.
"Hi hi...! Bukankah kalian kecoa-kecoa busuk
yang suka mengganggu ketenangan orang. Hi hi...!"
Sena tertawa cekikikan, sementara Kinanti telah ban-
gun dari duduknya. Matanya menatap marah pada Li-
ma Iblis dari Gempolan yang menunjukkan kebengi-
san. "Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila"!" bentak Sarpajani, salah seorang anggota
Lima Iblis dari Gempolan. "Hi hi..." Kau gila" Ah ah ah, mengapa orang gila
masuk-masuk ke kedai"!" sahut Sena cekikikan. Sambil berkata demikian, matanya
terus menatapi lima lelaki berwajah garang yang melangkah mendekatinya.
"Hei, Bajingan! Jangan sembarangan bicara!"
bentak Kinanti tak kalah garang. "Siapa yang menyuruh kalian" Katakan cepat,
sebelum pedangku berbica-
ra!" Lima Iblis dari Gempolan tertawa terbahak-
bahak mendengar bentakan Kinanti. Kinanti tentu saja
bertambah sengit melihat sikap kelima lelaki di hada-
pannya. "Kurang ajar! Kubunuh kalian!" dengus Kinanti semakin marah, merasa diremehkan.
Tangannya bergerak, meraba ke gagang pedang.
Cring! "Aha, tenang dulu, Kinanti! Biarkan kecoa-
kecoa busuk itu pergi dulu!" kata Sena, menyabarkan Kinanti. "Hi hi hi...!
Kuperintahkan pada kalian, pergi-lah! Wuah, mual perutku melihat tampang
kalian." "Cuih! Jangan kira kami akan pergi sebelum
membawa kepalamu, Bocah Edan!" dengus Sarpajani
sengit. "Hm, atau kau berikan saja gadis itu pada ka-mi! Maka nyawa busukmu yang
tak ada artinya akan
kami lepaskan," sambung Kumara Gupa.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar permintaan Kumara Gupa. Kemudian sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, diliriknya
Kinanti yang melotot marah.
"Aha, mereka menginginkanmu, Kinanti."
"Cuih! Jangan bermimpi di siang bolong, Ku-
nyuk! Cepat angkat kaki dari sini, atau terpaksa pe-
dangku membabat leher kalian!" bentak Kinanti garang. "Ah, galak sekali kau,
Nisanak. Semakin membuatku penasaran. Apa di atas tempat tidur kau juga
galak begitu?" sahut Kumara Gupa. Matanya nakal,
Dendam Empu Bharada 7 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Guntur 14
^