Pencarian

Durjana Berparas Dewa 1

Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa Bagian 1


DURJANA BERPARAS DEWA Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Durjana Berparas Dewa
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Pagi nampak cerah. Langit biru tak berawan ter-
hampar di atas Desa Swargadana. Di sebelah selatan
desa itu tampak membentang gunung yang membiru
indah dari timur sampai ke barat Di sebelah barat,
rimbun pepohonan yang menghijau menambah asri
pemandangan. Sedangkan di sebelah timur dan utara,
sejauh mata memandang tampak tanah persawahan
hijau yang luas.
Sungai kecil nampak meliuk-liuk seperti ular
raksasa, menghiasi Desa Swargadana. Membuat kea-
daan desa itu bertambah indah laksana surga bagi
penduduknya. Penduduk Desa Swargadana sebagian besar
mencari nafkah dengan berdagang dan bertani. Wajar
kalau desa itu cukup ramai dikunjungi para pelan-
cong. Di samping ingin melihat keadaan pemandangan
desa, biasanya mereka juga berdagang di desa itu.
Desa Swargadana dipimpin seorang kepala desa
yang cukup disegani. Berbudi pekerti luhur, adil da-
lam memutuskan segala perkara, juga tidak tamak.
Bahkan sikap rela berkorban bagi kepentingan desa
melekat erat dalam jiwanya.
Ki Baya Kitri, nama kepala desa itu. Seorang le-
laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bertubuh tinggi tegap dengan wajah yang
selalu mencerminkan kesabaran dan ketenangan jiwanya. Matanya tajam, seta-
jam mata burung elang. Penampilannya sederhana.
Ki Baya Kitri memiliki seorang anak gadis cantik
bernama Arum Sari. Kecantikan gadis itu sangat ter-
kenal di seluruh Desa Swargadana. Bukan hanya di
desa itu saja kecantikan Arum Sari terkenal, tapi bahkan sampai ke seluruh
Kadipaten Blambangkara yang
dipimpin Adipati Sepa Waroagung.
Pagi itu langit tampak cerah. Seorang pemuda
tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun berpa-
kaian ungu, melangkah menyelusuri jalanan di Desa
Swargadana. Saat itu telah ramai orang berjalan me-
nuju Desa Swargadana.
Hampir semua orang yang berpapasan dengan
pemuda tampan berpakaian ungu itu menghentikan
langkah. Mulut mereka berdecak kagum, melihat ke-
tampanannya. Namun, pemuda yang bernama Galapa-
ti itu terus melangkah, seolah tak menghiraukan ke-
kaguman semua orang yang melihatnya.
"Ck ck ck...! Tampan sekali pemuda itu," gumam seorang wanita setengah baya
berbaju kuning dengan
mulut berdecak kagum. "Kalau aku masih muda, ingin rasanya aku menjadi
kekasihnya."
"Iya, ya. Pemuda kok tampan begitu," sambung temannya, wanita berusia sekitar
empat puluh lima
tahun dengan kening lebar dan berpakaian merah
muda. Galapati tak menghiraukan suara orang-orang
yang membicarakan dirinya. Kakinya terus saja me-
langkah, menyelusuri jalan ranah di Desa Swargadana
yang indah dan berudara sejuk. Kini kakinya melang-
kah ke selatan, menuju rumah Kepala Desa Swarga-
dana. Tak lama kemudian, Galapati telah sampai di
depan halaman rumah Ki Baya Kitri. Tampak dua
orang berpakaian biru tua dengan wajah garang ten-
gah bercakap-cakap. Rambut mereka yang lebat ditu-
tup kain biru mirip blangkon.
Yang seorang berbadan besar, mukanya dihiasi
cambang bauk lebat. Sedangkan yang seorang lagi
hanya dihiasi kumis tebal melintang.
"Selamat pagi...!" sapa Galapati.
Kedua orang berbadan tinggi besar yang ten-
tunya pengawal Ki Baya Kitri seketika menghentikan
percakapan mereka. Keduanya langsung memandang
orang yang menyapa mereka. Kemudian dengan ken-
ing berkerut dan menatap tajam wajah Galapati, me-
reka mendekat "Selamat pagi...!" sahut keduanya hampir bersa-maan.
"Ada apa, Kisanak?" tanya lelaki bercambang bauk. Matanya masih menatap tajam
Galapati yang tampak tenang menghadapi kedua orang berwajah ga-
rang itu. "Saya mau bertemu kepala desa," sahut Galapati.
"Kisanak siapa" Dari mana dan ada urusan apa
ingin bertemu dengan kepala desa?" tanya Raparata, orang yang berkumis
melintang. Galapati tersenyum, masih menunjukkan kete-
nangan. Meski dua orang yang sedang dihadapi ber-
tampang sangar, nampaknya Galapati tak merasa ta-
kut sedikit pun. Sikapnya tenang, bahkan tetap tersenyum. Beruntung wajahnya
sangat tampan, sehingga
tak segera membuat kedua pengawal Ki Baya Kitri ma-
rah. Keduanya seakan terpesona melihat ketampanan
Galapati. "Aku ingin melamar kerja," jawab Galapati.
"Apa kepandaianmu, Kisanak?" tanya Rarapita, lelaki bercambang bauk. "Tak pantas
orang setampan dirimu melamar kerja kasar. Sedangkan di sini tak ada kerjaan
yang ringan."
"Apa pun pekerjaannya, aku sanggup. Meski
mencari rumput sekalipun, aku sanggup. Karena aku
memang sudah terbiasa melakukannya," jawab Galapati berusaha meyakinkan
keduanya. Dua orang pengawal Ki Baya Kitri mengerutkan
kening. Mata mereka memperhatikan dengan seksama
wajah Galapati, seperti tak percaya mendengar jawa-
ban Galapati. Bagaimana mungkin pemuda tampan
dengan tubuh yang tak begitu berotot mampu mela-
kukan pekerjaan kasar" Pikir keduanya, masih belum
yakin dengan apa yang dikatakan Galapati.
Galapati tersenyum, seperti mengerti apa yang
sedang dipikirkan kedua pengawal kepala desa itu.
"Kalian sepertinya menyangsikan tubuhku," gu-mamnya menyentakkan kedua pengawal
Ki Baya Kitri. "Ya. Kami tak yakin, kau akan sanggup bekerja
keras," tukas Raparata.
Galapati kembali tersenyum. Kepalanya digeleng-
gelengkan. Lalu setelah menghela napas panjang, den-
gan bibir masih mengurai senyum dia berkata,
"Kurasa, kalian memandang orang hanya dari
luar saja."
"Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Rarapita.
"Ya, kalian menganggap hanya kalian yang
mampu melakukan pekerjaan berat. Sedangkan
orang-orang sepertiku, kalian anggap lemah dan tiada daya untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat,"
sahut Galapati dengan tenang. Bahkan senyumnya
semakin mengembang di bibirnya.
"Ada apa, Rarapita?"
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara berat yang
sepertinya keluar dari mulut seorang lelaki tua. Tak lama kemudian, muncul
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, dan
bermata tajam. Namun raut wajahnya menggambarkan ke-
tenangan dan kesabaran. Tentunya lelaki berusia sekitar lima puluh tahun ini tak
lain Ki Baya Kitri, Kepala Desa Swargadana.
"Maaf, Ki. Ada seorang pemuda yang hendak me-
lamar pekerjaan di sini," sahut lelaki bercambang bauk yang bernama Rarapita.
"Hm, mana...?" tanya Ki Baya Kitri.
"Itu, Ki," sahut Rarapita sambil menunjuk Galapati yang masih berhadapan dengan
rekannya. Galapati tersenyum, kemudian membungkukkan
badannya ketika Ki Baya Kitri memandang dirinya. Hal itu membuat kepala desa itu
membalas tersenyum,
kemudian melangkah mendekati Galapati.
"Kau mau melamar kerja di sini, Bocah?" tanya Ki Baya Kitri.
"Benar, Ki."
"Apa kebisaanmu?"
"Saya tak bisa apa-apa, Ki. Maka itu, menjadi
tukang arit rumput pun mau," sahut Galapati. Tindak tanduknya yang penuh rasa
hormat, membuat Ki Baya
Kitri semakin mengerutkan kening. Lelaki muda itu
tampak heran melihat sikap yang ditunjukkan pemu-
da tampan itu. Tindak-tanduknya mencerminkan ka-
lau dirinya bukan orang bodoh, melainkan cermin jiwa seseorang yang memiliki
ilmu serta budi pekerti.
Hm, kurasa dia bukan pemuda sembarangan.
Dari sikap dan tindak tanduknya, jelas dia orang yang berpendidikan serta
berbudi pekerti baik. Gumam Ki
Baya Kitri dalam hati. Matanya masih memperhatikan
secara seksama pemuda tampan di hadapannya. Ke-
palanya manggut-manggut, seakan sedang mendalami
siapa sebenarnya pemuda itu.
"Benarkah kau mau menjadi tukang rumput?"
tanya Ki Baya Kitri belum percaya dengan kesanggu-
pan pemuda tampan yang berdiri dengan sikap hormat
di hadapannya. Mata lelaki tua itu masih memandang
penuh selidik terhadap pemuda itu. Tatapannya sea-
kan hendak memastikan siapa sesungguhnya pemuda
tampan itu. "Benar, Ki. Saya memang ingin bekerja demi
mendapatkan sesuap nasi guna melangsungkan kehi-
dupanku," jawab Galapati sambil membungkukkan
badan, berusaha meyakinkan Ki Baya Kitri.
Ki Baya Kitri masih memandangi dengan penuh
seksama, seperti masih berpikir siapa sebenarnya pe-
muda itu. "Hm, baiklah kalau itu yang kau inginkan. Siapa namamu, Anak Muda...?" tanya Ki
Baya Kitri. "Nama saya Galapati," jawab Galapati masih menunjukkan sikap hormat.
"Dari manakah asalmu, Anak Muda...?"
"Saya dari Parang Gumilar, Ki," jawab Galapati.
"Hm.... Baiklah, mulai saat ini kuterima kau
menjadi tukang rumput di sini."
"Terima kasih, Ki."
Tiga kali Galapati membungkukkan badan, men-
jura hormat dan mengucapkan terima kasih atas ke-
sediaan Ki Baya Kitri menerimanya sebagai tukang
rumput di rumahnya.
"Raparata dan Rarapita akan menunjukkan tem-
pat tinggalmu. Mereka juga akan memberitahukan pa-
damu aturan-aturan di sini," tutur Ki Baya Kitri.
"Baik, Ki," sahut Rarapita dan Raparata.
"Antar dia ke tempatnya!" perintah Ki Baya Kitri.
"Baik, Ki."
"Galapati, ikut kami!" ajak Rarapita.
Galapati pun menurut, mengikuti kedua pen-
gawal Ki Baya Kitri. Mereka akan menunjukkan di
mana pemuda itu harus tinggal dan segala macam ke-
biasaan, aturan, dan larangan yang berlaku. Pemuda
tampan itu tersenyum. Entah apa arti senyumnya.
Kakinya terus melangkah, mengikuti kedua pengawal
Ki Baya Kitri menuju belakang rumah.
"Kita tinggal di sini, Gala," ujar Rarapati sambil membuka pintu rumah yang ada
di belakang rumah Ki
Baya Kitri. Sebuah rumah yang cukup besar. Di samp-
ing itu, terdapat sebuah kandang kuda. Di dalamnya
ada tiga ekor kuda besar dan kekar.
"Hm...," gumam Galapati tak jelas. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu,
seperti ada sesuatu yang tengah dicarinya.
"Hal-hal yang tak boleh kau langgar antara lain, kau tak boleh masuk ke rumah
induk. Kedua, jangan
sekali-kali kau berusaha membuat keributan di sini.
Karena, jika hal itu terjadi, kau akan berhadapan dengan kami," sambung
Raparata. "Hm, baik," sahut Galapati.
"Mari masuk!" ajak Rarapita.
Mereka segera masuk ke rumah itu. Kemudian
membereskan barang-barang di rumah yang bakal di-
tempati Galapati dan kedua pengawal Ki Baya Kitri.
*** Galapati mengurusi ketiga kuda milik Ki Baya Ki-
tri. Pemuda itu sedang menyikat tubuh kuda dan
memberi makan, ketika seorang gadis cantik berusia
sekitar dua puluh dua tahun, bertubuh langsing den-
gan kulit bersih, keluar dari rumah induk. Gadis berpakaian serba hijau itu,
mengerutkan keningnya keti-
ka melihat seorang pemuda tampan sedang memberi
makan dan menyikat tubuh kuda milik ayahnya.
"Siapa pemuda itu?" tanya gadis cantik yang tak lain Arum Sari. Dengan wajah
tertegun, Arum Sari melangkah mendekati kandang kuda, berusaha melihat
dari dekat siapa pemuda tampan itu.
Mara Arum Sari menyipit ketika semakin dekat
dengan pemuda tampan itu. Wajah pemuda tampan
itu bagaikan wajah Dewa Kamajaya. Elok, bersih, dan
bercahaya terang. Seketika hati Arum Sari tergoda ingin berkenalan dengan pemuda
itu. "Hm...," gumam Arum Sari berusaha menarik
perhatian, dengan harapan pemuda itu akan meng-
hentikan pekerjaannya dan menoleh padanya. Namun
ternyata harapannya sia-sia. Pemuda berpakaian ser-


Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ba ungu yang di kepalanya tertutup kain ungu mem-
bentuk sudut ke atas itu, tetap melakukan pekerjaan-
nya tanpa menghiraukan orang yang menggumam.
Bahkan pemuda itu kini bekerja semakin giat.
Gerakan tangannya yang menyikat tubuh kuda, terli-
hat lincah. Hal itu membuat putri Ki Baya Kitri semakin terpesona melihat
ketampanan dan cara kerja pe-
muda itu. Hasrat hatinya ingin berkenalan dengan
pemuda itu kian menggebu. Namun Galapati masih te-
tap tak acuh. Seakan-akan tak melihat kehadiran
Arum Sari. "Ehem...!" Arum Sari mendehem lebih keras.
Galapati tersentak, seketika dia menghentikan
kerjanya. Lalu dengan tersipu-sipu sambil menunduk,
Galapati membungkukkan badannya menghormat
"Maaf, Den Putri! Hamba tidak tahu," ujar Galapati masih menunjukkan hormatnya.
Tangannya dis- atukan di dada. Kepalanya menunduk, seperti tak be-
rani beradu pandang dengan gadis berpakaian hijau di hadapannya.
"Ah, tak apa...," sahut Arum Sari sambil tersenyum. "Kau orang baru di sini?"
"Benar, Den Putri."
"Ah, mengapa kau memanggilku begitu" Panggil
saja namaku, Arum Sari!" ujar Arum Sari mulai mem-perkenalkan dirinya.
"Rasanya tidak pantas, Den Putri Arum Sari. Ba-
gaimanapun juga, Den Putri anak majikan saya. Ma-
nalah mungkin sebagai hamba saya berlaku tak so-
pan?" tutur Galapati, semakin membuat Arum Sari bertambah mengerutkan kening.
Mata lembut gadis
itu memandang tak berkedip pada Galapati. Seakan
tak percaya mendengar penuturan pemuda tampan
itu. Hm.... Dilihat dari rata caranya dalam berbicara dan bertindak-tanduk,
jelas dia bukan pemuda keba-nyakan. Tapi, mengapa dia mau menjadi tukang rum-
put" Gumam Arum Sari dalam hati dengan mata ma-
sih memperhatikan Galapati yang menundukkan ke-
pala. "Siapa namamu...?" tanya Arum Sari.
"Nama hamba yang bodoh ini Galapati, Den Pu-
tri." "Galapati, jangan kau panggil aku dengan sebutan Den Putri! Aku bukan anak
raja. Panggil saja na-
maku!" pinta Arum Sari dengan bibir masih mengurai senyum.
Ada sesuatu perasaan yang tiba-tiba muncul di
hati gadis itu, setelah melihat ketampanan pemuda
itu, serta tindak-tanduknya yang sopan dan santun.
Mata Arum Sari lebih jelas menatap penuh rasa ka-
gum pada Galapati. Tatapannya tidak sekadar tatapan
seorang majikan pada kacungnya. Tak jemu-jemunya
Arum Sari memandang penuh perhatian pada wajah
pemuda tampan di hadapannya. Sementara itu Gala-
pati pun tampak mulai mencuri-curi pandang.
"Galapati," desis Arum Sari memanggil nama pemuda tampan yang tanpa disadari
telah menyentuh
jiwanya. "Hamba, Den Putri."
"Galapati...," kembali Arum Sari memanggil.
"Hamba, Den Putri," sahut Galapati masih menundukkan kepala, menjadikan Arum
Sari gemas. Dia
ingin Galapati menatap wajahnya, tanpa membung-
kuk-bungkuk seperti itu.
"Galapati...," desis Arum Sari lebih keras.
"Hamba, Den Putri," jawab Galapati. Kali ini matanya memandang Arum Sari,
sehingga mata kedua-
nya saling bertatapan. Darah Arum Sari berdesir ha-
lus, ketika matanya bertatapan dengan mata Galapati.
Mulutnya terperangah, menyaksikan ketampanan wa-
jah pemuda berpakaian ungu itu.
Arum Sari terpaku, mematung dengan mata ber-
kedip, memandang Galapati yang berusaha terse-
nyum. Perlahan-lahan Arum Sari membuka mulutnya
tersenyum malu-malu. Malah kini kepalanya ditoleh-
kan, berusaha tidak melihat tatapan mata pemuda itu.
Ah! Tampan sekali! Bagaikan dewa yang baru tu-
run dari kahyangan! Desis hati Arum Sari dengan ma-
sih tersipu malu, membuang muka ke bawah.
Ketika kedua muda-mudi itu tengah terlibat da-
lam getaran aneh di hati mereka, tiba-tiba terdengar suara Ki Baya Kitri
berseru. "Galapati, siapkan kereta dan kudanya...!"
"Baik, Ki!" sahut Galapati tersentak.
"Arum, kenapa kau di situ" Ayo masuk...!" perintah Ki Baya Kitri memanggil
putrinya agar meninggal-
kan kandang kuda.
"Baik, Rama," sahut Arum Sari. "Galapati, ku-tunggu kau."
Usai berkata begitu, Arum Sari pun segera me-
ninggalkan kandang kuda.
Sementara Galapati hanya terbengong menden-
gar kata-kata Arum Sari. Kutunggu" Apa maksudnya"
Tanya Galapati dalam hati, berusaha memahami mak-
sud ucapan Galapati. Mungkinkah dia.... Ah, kurasa
begitu. Galapati tersenyum. Tangannya bergerak cepat,
melepaskan ikatan tali kuda yang diminta Ki Baya Ki-
tri. Pikirannya masih terus diliputi bayangan gadis
cantik anak Ki Baya Kitri yang baru saja mengatakan
hendak menunggu. Meskipun kata-kata itu tak jelas
maksudnya, Galapati sudah menduga-duga apa yang
sebenarnya dikehendaki gadis itu. Dan hal itulah se-
benarnya yang ditujunya. Kedatangannya ke Desa
Swargadana dan melamar kerja di rumah Ki Baya Kitri
pun sebetulnya hanya kedok belaka. Tujuannya hanya
satu, mengambil hati gadis cantik anak Ki Baya Kitri!
Setelah melepaskan tali-temali pengikat kereta
kuda, Galapati pun segera menuntun kereta kuda itu
menuju tempat Ki Baya Kitri berada.
"Ini, Ki."
"Hm, bagus. Tak percuma kau kuterima kerja di
sini, Galapati. Tapi perlu kau ketahui, jangan sesekali menggoda anakku. Karena
Arum tak pantas bersand-ing denganmu."
Ki Baya Kitri segera menggandeng istrinya, mem-
bawa naik ke kereta. Tak lama kemudian kuda-kuda
itu telah berjalan menghela kereta yang dinaiki tuannya. "Ck ck ck...!
Heaaa...!"
Galapati hanya tersenyum kecut mendengar an-
caman Ki Baya Kitri, kemudian dia melangkah kembali
ke rumah di belakang, tempat dirinya berteduh.
2 Pucuk dicinta ulam tiba, begitu pepatah menga-
takan. Hal itu pun terjadi pada diri Galapati. Kehadi-rannya di Desa Swargadana
sebenarnya hanya untuk
memikat anak Ki Baya Kitri yang terkenal cantik jelita.
Dan apa yang diharapkannya, kini terpenuhi. Meski
belum sepenuhnya. Namun tanda-tanda keberhasilan
telah mulai nampak.
Berawal dari pertemuan di kandang kuda, kedu-
anya merasakan getaran jiwa yang lain. Setiap kali
mereka berusaha mengadakan pertemuan dengan se-
cara sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui Ki Baya Kitri dan kedua pengawalnya
yang selalu menjaga ke-tat Arum Sari jika Ki Baya Kitri pergi.
Benih-benih asmara terus tumbuh. Di hati Arum
Sari benih-benih itu tulus dan agung. Sedangkan di
hati Galapati, hanyalah sebagai sandaran sementara.
Malam telah larut dengan kegelapan yang menye-
limuti bumi. Angin malam bertiup lembut, membisik-
kan kesyahduan. Bulan purnama bersinar terang,
menampakkan keindahan di langit biru yang cerah.
Sesosok tubuh mengendap-endap, keluar dari
rumah belakang. Matanya memandang liar ke sekeli-
lingnya yang sepi. Samar-samar terdengar suara orang bercakap-cakap di depan
rumah induk, tempat Arum
Sari tidur. Suara itu tentu berasal dari pengawal Ki Baya Kitri yang tengah
berjaga-jaga, karena kepala de-sa itu sedang pergi menghadiri perkawinan salah
seo- rang warga desa.
Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara
gamelan mengalun merdu, berasal dari pesta perkawi-
nan berlangsung. Dan ke tempat itulah Ki Baya Kitri
pergi untuk menghadiri dan memberi restu atas per-
kawinan salah seorang anak warga desanya.
Sosok bayangan ungu terus mengendap-endap,
memperhatikan ke tempat pengawal Ki Baya Kitri be-
rada. Kemudian setelah merasa aman, bayangan ungu
itu berlari dengan ringan menuju kamar tempat Arum
Sari berada. "Hm, kurasa mereka sedang asyik ngobrol," gumam bayangan ungu yang tak lain
Galapati. Matanya
diarahkan sesaat ke tempat kedua pengawal Ki Baya
Kitri tengah berjaga. Kemudian setelah yakin kedua-
nya tak melihat, Galapati mulai mendekat ke jendela
kamar Arum Sari.
Tok, tok, tok...!
Pelan sekali suara ketukan jari tangan Galapati
ke daun jendela di kamar Arum Sari. Dengan harapan
tak terdengar telinga kedua pengawal Ki Baya Kitri.
Jendela terbuka pelan. Lalu nampaklah seraut
wajah cantik yang tak lain Arum Sari.
"Ayo masuk!" ajak Arum Sari sambil memben-
tangkan daun jendela lebar-lebar.
"Kau belum tidur?" tanya Galapati.
"Belum. Aku menunggumu, Gala," desis Arum
Sari lirih, kemudian membantu Galapati naik ke jen-
dela. Lalu setelah Galapati masuk, pelan-pelan Arum
Sari menutup jendela kamarnya.
"Bagaimana kalau ayahmu tahu, Arum?" tanya Galapati.
"Ayah biasanya pulang pagi kalau ada acara be-
gitu. Ayolah, jangan lama-lama!" ajak Arum Sari.
Gadis yang hatinya sudah dilanda gejolak itu
tampak tak sabar. Tangannya yang lembut segera
membuka pakaiannya. Hal itu membuat Galapati ter-
belalak, memandangi tubuh Arum Sari yang kini polos
tanpa tertutup sehelai benang pun.
Galapati pun segera mendekap tubuh Arum Sari,
kemudian dibimbingnya ke tempat tidur. Lalu dengan
penuh birahi, digelutinya tubuh Arum Sari.
Keduanya terus bergumul dengan napas membu-
ru dan tersengal-sengal. Desahan-desahan birahi pun
mulai terdengar dari kedua mulut mereka yang tu-
buhnya terus dibasahi peluh.
Sementara di luar, kedua orang penjaga rumah
Ki Baya Kitri nampak masih bercakap-cakap. Kedua-
nya masih belum menyadari apa yang sebenarnya kini
tengah terjadi di dalam kamar Arum Sari.
"Kalau saja tak ada bocah itu, tentunya kita bisa
ikut dengan Ki Baya Kitri, nonton hiburan," gumam Raparata.
"Iya. Padahal Tandak Ki Begol terkenal cantik-
cantik dan bahenol," sambung Rarapita.
"Ah, udara malam semakin dingin lagi," keluh Raparata.
"Ya, namanya tugas. Kita harus menjalankan
dengan sebaik mungkin. Eh, ngomong-ngomong, di
mana anak muda itu" Bukankah lebih baik kita ajak
ngobrol-ngobrol?"
"Ayo, kita ajak dia!" ajak Raparata.
Keduanya beranjak meninggalkan halaman de-
pan rumah Ki Baya Kitri untuk memanggil Galapati.
Namun, ketika keduanya melintas di samping kamar
Arum Sari, seketika keduanya menghentikan langkah.
Mata mereka terbelalak, ketika mendengar suara de-
sah napas dan rintihan-rintihan kenikmatan di dalam
kamar itu. "Hei, suara siapa itu?" gumam Raparata.
"Kurang ajar! Pasti pemuda itu," dengus Rarapita geram. "Kau periksa rumah
belakang! Biar aku menunggu di sini."
Raparata segera melesat cepat menuju rumah
belakang untuk memeriksa apakah Galapati masih
ada atau tidak. Seketika matanya membelalak ber-
campur marah, setelah tak mendapatkan Galapati di
sana. "Kurang ajar! Ditolong malah lancang memasuki kamar Arum Sari," dengus
Raparata. Raparata kembali berlari menghampiri Rarapita
yang menjaga di samping jendela kamar Arum Sari.
"Bagaimana?" tanya Rarapita.
"Dia tak ada."
"Kurang ajar! Galapati, keluar kau...!" bentak Rarapita gusar, setelah yakin
kalau yang ada di dalam
kamar Arum Sari tiada lain pemuda tampan yang ber-
nama Galapati. Dengan geram didobraknya jendela
kamar itu. Mata keduanya membelalak, menyaksikan dua
sosok tubuh telanjang bulat tengah bergumul di tem-
pat tidur. Seketika mendidih darah kedua pengawal Ki Baya Kitri yang sudah
ditugasi untuk menjaga rumah
dan melindungi Arum Sari.
"Kurang ajar! Lancang sekali kau, Galapati!" bentak Rarapita marah.
"Kubunuh kau, Pemuda Keparat!" dengus Raparata. Galapati dan Arum Sari tersentak
kaget. Kedua- nya buru-buru mengenakan pakaian. Kemudian Gala-
pati berusaha lari melalui jendela dengan melompati kedua orang penjaga rumah Ki
Baya Kitri. Wsss! "Bangsat! Kubunuh kau...!" maki Rarapita sambil merundukkan kepala agar tak
tersambar tendangan
kaki Galapati, yang melesat cepat. Dengan cepat Rarapita mencabut golok di
pinggangnya. Srt! Wrt! Rarapita membabatkan goloknya ke arah Galapa-
ti yang melesat di atas tubuhnya. Tapi gerakan pemu-
da itu sangat gesit dan cepat, sehingga luput dari babatan golok lawan.
"Hih!"
Galapati bersalto beberapa kali di atas kedua
penjaga rumah Ki Baya Kitri. Kemudian dengan terse-
nyum-senyum tenang, kakinya mendarat di tanah ber-
jarak lima tombak dari kedua pengawal Ki Baya Kitri.


Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...! Kalian rupanya ngiri, ya?" ejek Galapati sambil tertawa bergelak-
gelak, semakin mem-
buat Rarapita dan Raparata mendengus marah.
"Bedebah! Rupanya dugaanku selama ini benar.
Katakan, siapa kau sebenarnya, Bocah Keparat!" bentak Raparata.
Galapati hanya tersenyum sinis, lalu mencibir
bibir, mengejek kedua lelaki bertubuh tinggi besar
pengawal kepala desa itu.
"Ha ha ha...! Dasar orang-orang berotak kerbau!
Kini aku puas, kalianlah yang menanggung semuanya.
Nah, selamat tinggal," usai berkata begitu, Galapati bermaksud pergi
meninggalkan tempat itu, namun
dengan cepat kedua pengawal Ki Baya Kitri melesat
mengejar. "Hei, Keparat! Jangan harap kau bisa lari dari si-ni! Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dengan marah kedua pengawal Ki Baya Kitri me-
lesat mengejar Galapati yang masih tampak tenang. Di tangan keduanya golok
terhunus siap dibabatkan ke
tubuh pemuda tampan itu. Kini Raparata dan Rarapi-
ta telah menghadang, lalu dengan cepat pula kedua-
nya membabatkan golok ke tubuh Galapati.
Wrt! Wrt...! "Eits!"
Dengan gesit Galapati mengelak. Tubuhnya di-
rundukkan, lalu dengan cepat pula diegoskan ke
samping. Dan golok kedua lawan pun hanya menderu
di sampingnya. "Hih!"
Galapati yang sudah terlepas dari babatan golok
lawan, dengan cepat melancarkan tendangan keras
disertai membalik tubuh dengan cepat
"Heaaa...!"
Wrt! Rarapita dan Raparata tersentak menyaksikan
tendangan lawan yang sangat cepat. Mata mereka
membelalak lebar, dengan cepat mereka melompat
mundur mengelakkan tendangan lawan yang keras
dan cepat "Eits!"
"Kurang ajar! Rupanya kau memang bukan pe-
muda sembarangan, Bocah! Tapi jangan harap kau bi-
sa lolos dari Sepasang Golok Gerhana. Yeaaa...!"
"Yeaaa...!"
*** Setelah mengetahui kalau lawan mereka bukan
pemuda sembarangan, kedua pengawal Ki Baya Kitri
yang berjuluk Sepasang Golok Gerhana kini tak main-
main lagi. Dengan mengeluarkan jurus 'Golok Gerhana
Menyeka Mendung' mereka melesat menyerang Gala-
pati. Wut! Wut..!
Golok di tangan mereka menderu cepat melaku-
kan serangan dari dua arah. Rarapita menyerang dari
depan. Sedangkan Raparata menyerang dari belakang
lawan. "Buntung lehermu, Keparat!"
"Hih!"
Wut! Golok Rarapita menderu. Dengan cepat Galapati
mengelak ke samping, kemudian melancarkan satu
tendangan kaki kanannya ke lambung lawan.
"Hih!"
"Haits!"
Rarapita tersentak kaget, ketika merasakan an-
gin tendangan yang menderu keras ke arahnya. Dari
deru angin tendangannya, jelas kalau lawan bukan
pemuda berilmu rendah. Paling tidak lawan memiliki
tenaga dalam yang sempurna, setaraf dengannya.
Melihat Rarapita terdesak, Raparata pun tak
tinggal diam. Dirinya yang menyerang dari belakang
segera bergerak dengan tebasan goloknya ke kepala
lawan. "Pecah kepalamu, Bocah Iblis! Hiaaa...!"
Wrt! Galapati menarik mundur serangan terhadap Ra-
rapita. Kemudian dengan memutar cepat tubuhnya,
tendangan kaki kanan yang cepat dan keras berbalik
menyerang lawan di belakangnya. Tubuhnya dimiring-
kan ke samping kiri sambil menunduk, mengelakkan
babatan golok lawan.
Wut! Serangan golok luput, tak mengenai sasaran di
tubuhnya. Galapati cepat membalas dengan tendan-
gan keras, menggunakan jurus 'Jangka Maut'. Ka-
kinya menderu begitu cepat, memburu tubuh lawan.
Ke mana lawan lari, kakinya terus mengejar tiada hen-ti.
"Hiaaa...!"
Wrt! Raparata terkejut mendapatkan serangan begitu
gencar. Kaki lawan yang bergerak bagaikan tak men-
genal lelah, terus berkelebat begitu cepat dan keras memburu tubuhnya. Ke mana
tubuh Raparata mengelak, kaki Galapati terus memburu.
"Celaka! Ilmu setan...!" maki Raparata kaget sambil terus bergerak mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan Galapati yang terus mem-
buru diri-nya. Rarapita yang melihat saudara seperguruannya
terdesak, segera melesat menyerang. Golok di tangan-
nya digerakkan bagaikan baling-baling yang berputar
cepat, dengan jurus 'Golok Gerhana Mengebut Kabut'.
"Heaaa...!"
Wut! Wut! "Hancur tubuhmu, Bocah! Yeaaa...!"
Golok di tangan Rarapita berkelebat begitu cepat,
membabat dan menusuk ke tubuh lawan. Angin kebu-
tannya terasa menyentak dan menderu keras di atas
kepala Galapati.
"Hats! Hih...!"
Galapati merundukkan tubuhnya ke bawah, ber-
gerak membalik untuk mengelakkan serangan. Kemu-
dian dengan cepat pula Galapati balas menyerang
dengan pukulan tangan kanan. Sedangkan tangan ki-
rinya, kini bergerak memapak serangan yang datang
dari belakang. Itulah jurus 'Tarian Jigor Maut'. Sebuah jurus yang menyerupai
tarian jaipong. Namun, dari
pukulan tangan Galapati, menderu angin yang sangat
keras. "Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Hih!"
Kedua pengawal Ki Baya Kitri kini mengeluarkan
segenap kemampuan mereka untuk dapat mengalah-
kan pemuda tampan yang kini telah berlaku kurang
ajar terhadap tuannya. Golok di tangan mereka men-
deru keras. Silih berganti menyerang begitu cepat ke tubuh lawan yang terus
mengelak, memapak, dan sesekali balas menyerang.
Pertarungan terus berlangsung semakin seru.
Kedua orang pengawal kepala desa itu terus menye-
rang dengan sabetan-sabetan golok mereka yang cepat
dan mengarah pada bagian-bagian mematikan tubuh
lawan. "Heaaa!"
"Yeaaa...!"
Wrt! Wrt! "Aits! Hih...!"
Dengan cepat Galapati berkelit. Tubuhnya me-
runduk, lalu dengan meliuk cepat Galapati mengi-
baskan tangannya ke tubuh lawan. Serangkum angin
pukulan pun menderu, menyentakkan kedua lawan-
nya. "Hih!"
"Haits....!"
Keduanya melompat ke belakang, mengelakkan
pukulan Galapati. Kemudian kembali menyerang den-
gan gerakan yang lebih cepat dan keras dalam jurus-
jurus pamungkas andalan mereka.
"'Cinde Buana Purnama'. Heaaa....!"
"Yeaaa....!"
Dengan jurus 'Cinde Buana Purnama' keduanya
melesat cepat, membabatkan golok ke tubuh lawan
disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Menyaksikan kedua lawannya telah mengelua-
rkan jurus pamungkas, Galapati segera bergerak men-
cabut sesuatu dari batik bajunya.
Wrt! Sebuah kipas lebar berwarna ungu kini tergeng-
gam di tangan Galapati. Kemudian dengan jurus
'Kipasan Sayap Kumbang' Galapati memapaki seran-
gan kedua lawannya. Kipas mautnya yang bernama
Kipas Iblis Racun Kelabang Ungu digerakkan memben-
tuk putaran cepat.
Wrt! Prak, prak! "Akh...!"
"Heh"!"
Rarapita dan Raparata tersentak kaget, lalu me-
lompat mundur. Mata mereka terbelalak kaget, ketika
melihat golok di tangan mereka telah patah menjadi
dua. Keduanya menatap bengis pada lawan yang tam-
pak tersenyum dan mencibirkan bibir.
"Kini terimalah kematian kalian! Heaaa...!"
Wrt! Sring, sring! Kedua pengawal Ki Baya Kitri itu tersentak keti-
ka melihat dari kebutan kipas Galapati, melesat beberapa bilah pisau kecil
berkilatan putih memburu me-
reka. Pisau-pisau itu menyebarkan hawa beracun
yang sangat menyesakkan dada.
"Awas!"
"Celaka!"
Keduanya melenting dan berjumpalitan di udara,
mengelakkan serangan-serangan pisau kecil yang
mengandung racun ganas. Mata Rarapita dan Rapara-
ta terbelalak lebar, ngeri menyaksikan pisau-pisau kecil yang terus memburu
tubuh mereka. Sampai akhir-
nya.... Jlep, jlep! "Akh...!"
"Aaa...!"
Keduanya menjerit. Tubuh mereka terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata semakin terbelalak
lebar. Dua bilah pisau kecil menghunjam di paha dan
perut kedua pengawal kepala desa itu.
"Ha ha ha...! Mampuslah kalian!" Galapati tertawa terbahak-bahak. Kemudian tanpa
mengenal belas kasihan sedikit pun, pemuda tampan itu kembali
mengibaskan kipas mautnya ke arah kedua lawannya
yang sudah tak berdaya.
Wrt! "Kau! Akh...!" keduanya terpekik, lalu ambruk dengan leher tergores hampir
putus. Darah mengucur
deras, dari goresan di leher mereka.
Galapati tertawa terbahak-bahak, lalu dengan
tenang berlalu meninggalkan tempat itu.
"Kakang, tunggu...!" seru Arum Sari mengejar.
"Cuh! Pergi! Aku tak butuh kau lagi. Ha ha ha...!"
"Kakang...!"
Arum Sari berusaha memeluk kaki Galapati.
Namun, dengan kasar pemuda itu mendorong tubuh
Arum Sari hingga terjengkang dan menangis, meratapi
nasibnya yang malang. Kegadisannya telah diserahkan
pada Galapati, tapi dirinya kini dicampakkan begitu
saja. 3 Ki Baya Kitri yang tengah menikmati hiburan be-
rupa tandak tiba-tiba merasakan hatinya tak tenang.
Batinnya seketika gelisah. Pikiran lelaki berusia lima puluh tahun itu, tiba-
tiba tertuju ke rumahnya. Firasat hatinya mengatakan ada sesuatu kejadian buruk
di rumahnya. "Ada apa, Kakang?" tanya Sariti, istri Ki Baya Kitri, melihat kegelisahan
suaminya. Perhatian Sariti kini tertuju ke arah suaminya
yang semakin kelihatan gelisah. Padahal di tempat itu tandak masih terus main.
Goyangan pinggul para pe-nari tandak yang melenggak-lenggok, cukup menggi-
urkan. Namun, suaminya seperti tak bergairah sedikit pun untuk turun, menari
dengan tandak-tandak yang
bahenol. "Entahlah, Diajeng. Tiba-tiba pikiranku teringat di rumah. Firasatku mengatakan
ada sesuatu yang
terjadi di rumah," gumam Ki Baya Kitri.
"Apakah mau pulang, Kakang?" tanya Sariti.
"Ya. Pikiranku tak tenang. Tentu ada kejadian
yang tak menyenangkan di rumah."
"Kalau begitu, ayolah kita pulang!" ajak Sariti.
Keduanya segera berpamitan pada tuan rumah.
Keduanya bergegas menuju ke kereta. Tak lama ke-
mudian, keduanya telah meninggalkan tempat perka-
winan. Dengan kereta kuda, Ki Baya Kitri dan istrinya menembus keremangan malam
menjelang pagi menuju rumahnya.
"Hatiku benar-benar gelisah, Diajeng," kata Ki Baya Kitri sambil menghela tali
kuda-kudanya yang
terus melaju menembus kegelapan malam.
"Tenanglah, Kakang! Semoga tak terjadi apa-apa
di rumah!" kata istrinya berusaha menenangkan sang Suami.
Kuda-kuda itu terus berjalan menarik kereta,
menembus malam di bawah keremangan cahaya bu-
lan. Tiba-tiba kuda mereka meringkik, seperti melihat sesuatu di hadapannya. Hal
itu membuat Ki Baya Kitri mengerutkan kening. Kemudian dengan mata memandang ke
depan. Tampak sesosok tubuh mengenakan
pakaian ungu melangkah tenang. Mata Ki Baya Kitri
semakin terbelalak, ketika tahu siapa pemuda yang
tengah melangkah menyelusuri kegelapan malam.
"Galapati...! Hei, mau ke mana kau?" tanya Ki Baya Kitri dengan mata terbelalak.


Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha.... Apa yang kau tanyakan, Ki" Jelas
aku akan pergi sesuai kemauan langkah kakiku!" sahut Galapati tanpa rasa hormat
sedikit pun. Bahkan
kini sikapnya tampak angkuh. Bibirnya mencibir sinis, membuat Ki Baya Kitri
mendengus marah.
"Bocah tak tahu diuntung! Ditanya baik-baik,
malah menjawab dengan pongah. Minggat kau...!" bentak Ki Baya Kitri marah.
"Ha ha ha...! Itu memang yang kuinginkan,
Orang Tua Tolol! Aku memang ingin pergi. Muak aku
bersama kalian!"
"Bangsat! Lancang sekali mulutmu! Kau perlu
dihajar, Bocah! Yeaaa...!" Ki Baya Kitri yang muak me-
lihat sikap dan mendengar ucapan Galapati melompat
menyerang. Hal itu rupanya sudah diduga Galapati,
yang dengan cepat dan ringan bergerak mengelitkan
serangan. "Hih! Uts!"
"Kuhancurkan kepalamu yang keras kepala, Bo-
cah! Heaaa...!"
Ki Baya Kitri kembali bergerak menyerang. Tan-
gannya menyambar-nyambar dengan cepat ke arah
kepala Galapati. Sambaran tangannya mengeluarkan
angin pukulan yang keras. Dengan jurus 'Camar Laut
Memburu Ikan', Ki Baya Kitri terus menyerang. Lelaki tua itu berusaha tak
memberi kesempatan sekali pun
pada lawan untuk dapat membalas serangan.
"Yeaaa...!"
"Haits! Hih...!"
Setelah dapat melepaskan diri dari serangan Ki
Baya Kitri, dengan cepat Galapati balas menyerang.
Tangan dan kakinya bergerak cepat susul-menyusul,
menyerang Ki Baya Kitri. Lelaki tua itu tersentak.
"Eits! Celaka...!" pekik Ki Baya Kitri kaget dengan mata melotot, melihat
serangan yang dilancarkan pemuda tampan berpakaian ungu itu. Selama ini me-
mang telah diduganya kalau Galapati bukan pemuda
biasa. Namun kini Ki Baya Kitri harus membuka mata.
Dugaannya yang mengatakan Galapati bukan pemuda
sembarangan, terbukti sudah. Bahkan dirinya dibuat
kaget melihat serangan gencar pemuda itu. Gerakan-
gerakan menyerang yang dilancarkan Galapati ternya-
ta dengan jurus-jurus yang tak sembarangan.
"Heaaa...!"
"Haits! Bocah iblis! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Ki Baya Kitri setelah
berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Galapati.
"Ha ha ha...! Kini rupanya kau baru membuka
mata, Orang Tua Dungu! Siapa sebenarnya aku. Yang
jelas kau harus mampus di tanganku. Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tarian Jigor Maut', Galapati berge-
rak menyerang. Kedua tangannya bergerak laksana
menari, memapak sambil memukul dengan cepat ke
tubuh Ki Baya Kitri yang bergerak mengelakkan se-
rangan-serangan gencar itu.
Orang tua itu benar-benar tak mengira kalau
pemuda tampan berpakaian ungu itu memiliki jurus-
jurus yang membahayakan. Beruntung gerakannya
masih gesit, sehingga serangan lawan yang mematikan
dapat dielakkan. Nyawanya yang hampir terancam,
kini terlepas dari maut. Tapi bukan berarti jiwanya terus terbebas dari maut
yang kini memburunya. Seran-
gan Galapati tak berhenti, terus mendesak dan mem-
buru tubuhnya. "Heaaa...!"
"Haps!"
Pertarungan keduanya semakin seru. Malam
yang semula tenang, seketika berubah riuh karena
suara-suara jeritan mereka dalam menyerang.
Melihat suaminya kini tampak kewalahan meng-
hadapi lawan, Sariti berteriak-teriak memanggil pen-
duduk desa. Seketika warga desa berdatangan ke tem-
pat pertarungan.
"Tolong...! Tolooong...!"
Orang-orang desa yang tengah menonton tandak
pun seketika berlarian menuju tempat itu setelah
mendengar suara teriakan Sariti. Dengan membawa
senjata berupa golok, warga Desa Swargadana mem-
buru ke arah mereka.
"Ada apa, Nyi Lurah?"
"Tolong, Ki Lurah sedang berkelahi," jawab Sariti sambil menunjuk ke arah tempat
pertarungan. Seketika warga Desa Swargadana memburu ke asal suara
pertarungan itu.
"Tangkap pemuda itu!" seru Ki Baya Kitri setelah melihat warga desanya
berdatangan. "Heaaa...!"
"Cincang...!"
"Tangkap!"
Warga desa yang patuh dan sangat menghormati
kepala desanya segera menyerbu Galapati. Hal itu
membuat Galapati kini harus menghadapi keroyokan
warga Desa Swargadana.
Pertarungan semakin seru. Penduduk Desa
Swargadana terus merangsek, berusaha menangkap
Galapati. Ketika pertarungan tengah berlangsung seru, tiba-tiba dari arah timur
tampak seorang gadis berpakaian hijau berlari-lari sambil menangis.
"Arum...! Ada apa...?" tanya Ki Baya Kitri.
"Rama....! Oh, Rama. Arum kini tak ada artinya lagi, Rama...," keluh gadis itu
masih menangis. "Ibu, maafkan Arum...."
"Ada apa, Anakku?" tanya Sariti sambil memeluk tubuh anaknya penuh kasih sayang.
Dibelai-belainya
rambut putri satu-satunya itu dengan lembut "Arum telah ternoda, Bu."
"Apa?" terbelalak mata Ki Baya Kitri dan Sariti mendengar pengakuan Arum Sari.
"Siapa yang telah lancang berani menodaimu,
Arum?" tanya Ki Baya Kitri dengan amarah yang bera-pi-api. Matanya membelalak
lebar penuh amarah. Gi-
ginya saling beradu, mengeluarkan suara gemerutuk
"Dia..., Galapati...."
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Galapati! Heaaa....!"
Ki Baya Kitri yang semakin kalap, melesat dengan ke-
ris terhunus. Keris yang mengeluarkan sinar jingga
bernama Ki Kebo Werda, berkelebat cepat dan mende-
ru memburu Galapati yang tengah sibuk menghadapi
keroyokan warga Desa Swargadana.
"Yeaaa....!"
"Bunuh bajingan itu!" teriak Ki Baya Kitri sambil melesat menyerang Galapati
dengan keris pusakanya.
"Heaaa...!"
"Hm...," Galapati yang sudah menduga lawan akan mengeluarkan senjata pusakanya,
tanpa sungkan-sungkan lagi segera mencabut kipas mautnya.
Wrt! Sing! Sing...! Jlep! Jlep! "Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Pekikan kematian seketika terdengar. Lima orang
warga desa tersungkur dengan dada tertancap pisau-
pisau maut itu. Tubuh mereka sesaat mengejang, ke-
mudian ambruk tanpa nyawa dengan mata melotot
mengerikan. "Bedebah! Kubunuh kau, Keparat!" maki Ki Baya Kitri semakin bertambah kalap,
menyaksikan bagaimana pemuda itu dengan seenaknya membunuh lima
warga desanya. "Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Trang! "Ukh!" Ki Baya Kitri terpekik kesakitan. Tubuhnya terdorong ke belakang dengan
mata melotot te-
gang. Tangannya tergetar hebat ketika kerisnya ber-
benturan dengan senjata Galapati. Keris sakti yang
bernama Ki Kebo Werda tak berarti menghadapi kipas
maut berwarna ungu di tangan pemuda tampan itu.
"Ha ha ha...! Percuma kalian menghadapiku!" teriak Galapati sombong.
Semuanya kini hanya terpaku diam, ketika me-
nyaksikan bagaimana Ki Baya Kitri hampir tergetar
menghadapi pemuda tampan itu. Nyali mereka seketi-
ka menciut, apalagi setelah melihat lima orang war-
ganya mati mengerikan.
*** "Hua ha ha...!"
Ketika semua warga Desa Swargadana terdiam
mematung, takut menghadapi Galapati, mendadak
mereka dikejutkan suara gelak tawa membahana.
Suara tawa itu bagaikan berada di sekitar tempat
itu. Pemilik suara seolah-olah ada di mana-mana. Se-
hingga suara tawa itu terdengar bersahut-sahutan.
"Hua ha ha...! Kasihan sekali, ada tikus tertangkap basah. Hi hi hi...!" suara
itu mirip ucapan orang gila, menyindir Galapati.
"Bedebah! Siapa kau"! Keluarlah, tunjukkan
mukamu!" bentak Galapati marah, merasa ucapan itu tertuju padanya. Matanya
memandang liar ke sekeliling tempat itu. Kipas maut masih tergenggam di tan-
gannya, siap untuk dikibaskan jika ada orang yang berani menyerang.
"Hua ha ha...! Rupanya seperti itu mukamu" Hi
hi hi...!"
"Setan! Keluar kau"! Tunjukkan mukamu, Pen-
gecut! Hih...!"
Wrt! Swing, swing...!
Puluhan pisau-pisau kecil meluncur ke pepoho-
nan di sekitar tempat itu, ketika kipas di tangan Galapati dikibaskan.
"Aha, percuma saja kau membuang-buang mai-
nanmu, Tikus Busuk! Aku ada di belakangmu."
Bukan hanya Galapati yang tersentak kaget den-
gan mata terbelalak, melainkan semua yang ada di
tempat itu merasa heran. Mereka benar-benar kaget,
karena tak melihat berkelebatnya tubuh pemuda ber-
pakaian rompi kulit ular yang bertingkah laku seperti orang gila.
"Pemuda gila! Siapa kau"!" bentak Galapati sengit, karena merasa pemuda
bertingkah gila itu telah
turut campur urusannya.
"Hi hi hi...!"
Pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak
lain Sena Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa cekikikan sambil menggaruk-
garuk kepala. Lalu dengan
mulut cengengesan, matanya membeliak.
"Aha, siapa diriku, kurasa tak jadi masalah. Yang pasti, penduduk desa ini
benar-benar muak dengan
tampangmu."
Terbelalak mata Galapati mendengar ucapan Se-
na. Nafasnya mendengus dengan gigi bergemerutuk
keras. "Jangan ikut campur urusanku, Pemuda Gila!"
dengus Galapati sengit.
"Aha, aku tak akan ikut campur, kalau tinda-
kanmu tak sewenang-wenang," sahut Sena sambil
cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk
kepala. Kemudian diambilnya bulu burung, lalu digu-
nakan untuk mengilik telinganya. Mulutnya semakin
nyengir, dengan mata terpejam.
"Benar! Dia harus dihukum...!" seru seorang penduduk desa.
"Dia telah membuat onar di desa ini...!" sambung yang lainnya.
Semakin marah Galapati mendengar penuturan
Pendekar Gila. Mulutnya mendengus geram. Dengan
mata terbelalak, pemuda tampan itu menatap liar pe-
nuh kebencian. Sementara itu Sena masih cengenge-
san sambil mengorek telinga dengan bulu burung.
"Kurang ajar! Kau mencari mampus, Pemuda Gi-
la! Heaaa...!"
Merasa lawan bukanlah orang sembarangan, Ga-
lapati kini tak tanggung-tanggung menyerang Pende-
kar Gila. Kipas mautnya dikibaskan-kibaskan mende-
ru keras, mengeluarkan racun yang sangat ganas.
Wrt! "Haits! He he he...!"
Pendekar Gila dengan cengengesan bergerak ce-
pat mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya meliuk-
liuk cepat seperti menari, sesekali tangannya menepuk ke dada lawan. Itulah
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Sebuah jurus 'Ilmu Silat Si Gila' yang
amat dahsyat. Gerakannya yang seperti orang menari, nam-
paknya lamban dan lemah. Namun ternyata cukup
mengejutkan lawan, maupun orang-orang desa.
"Gila! Jurus apa yang dilakukan pemuda itu?"
gumam Ki Baya Kitri dengan mata terbelalak, menyak-
sikan jurus silat aneh yang dilakukan Pendekar Gila.
"Gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi mampu mengejar gerakan lawan. Benar-
benar jurus hebat."
"Heaaa...!"
Wrt! Galapati kembali berusaha merangsek dengan
kibasan kipas mautnya yang mengandung racun kela-
bang ungu. Dari kibasan kipas itu, keluar gulungan
asap ungu yang memburu Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!"
Sena masih cengengesan sambil bergerak meli-
ukkan tubuh. Tangannya sesekali menepuk ke dada
lawan. Dia seperti tak terpengaruh sedikit pun oleh
asap racun kelabang ungu yang keluar dari kipas
maut Galapati. Hal itu membuat Galapati menge-
rutkan kening, merasa heran menyaksikan lawannya
tak terpengaruh asap beracun itu. Padahal kalau
orang lain, tentu sudah mati berdiri.
Hei, dia sepertinya tak mempan terhadap racun
kelabang ungu yang keluar dari kipas ku! Desis Gala-
pati dalam hati dengan mata melotot, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Mungkin kurang banyak. Akan
ku coba mengerahkan tenaga dalam.
"Heaaa...!"
Wrt, wrt...! Kipas maut itu kembali dikibaskan ke arah Pen-
dekar Gila. Kali ini semakin cepat. Asap ungu beracun pun semakin bertambah
banyak keluar. "Haits! He he he...!"
Pendekar Gila bergerak meliuk ke samping ka-


Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nan, dengan tubuh miring. Kemudian dengan cepat
tangannya menepuk ke arah dada lawan.
"Hih!"
"Edan!" maki Galapati kaget sambil melompat mundur, ketika angin tepukan tangan
lawan begitu keras menderu. Baru angin pukulan saja, Galapati te-
lah merasakan hentakan yang sangat keras dan terasa
panas. "Hi hi hi...! Kenapa diam, Tikus Busuk" Hi hi
hi..!" Sena tertawa cekikikan dengan mulut cengengesan. "Cuih! Jangan kira aku
akan kalah olehmu, Pemuda Gila! Heaaa...!"
Wrt, wrt! Galapati kembali mengebutkan kipas mautnya ke
arah Pendekar Gila. Membelalak mata warga desa me-
lihat kibasan kipas pemuda berparas seperti Dewa
Kamajaya itu. "Hei, dari kipasnya keluar pisau...!"
"Lihat, ada kabutnya...!"
"Awas serangan...!"
Warga Desa Swargadana tersentak kaget, mereka
berusaha mengelakkan serangan pisau-pisau kecil
yang keluar dari kipas maut di tangan Galapati.
Swing, swing...!
"Setan! Pengecut..!" maki Sena sambil bersalto mengelakkan puluhan pisau yang
meluncur ke tubuhnya. Pisau-pisau itu meleset, tak menerjang di-
rinya. Tapi, senjata-senjata tajam itu meluncur ke
arah warga desa yang tak sempat bergerak menghin-
dar. Hingga....
Jlep, jlep! "Wuaaa...!"
"Akh...!"
Jeritan-jeritan kematian seketika terdengar dari
sepuluh warga desa. Di dada dan leher mereka tertan-
cap pisau-pisau kecil beracun. Saat itu juga, pemuda berpakaian ungu melesat
cepat meninggalkan tempat
pertarungan, ketika warga desa sibuk mengelakkan
pisau-pisau beracunnya.
"Pemuda gila, tunggulah balasan ku!"
"Kurang ajar! Mau lari ke mana kau, Tikus Bu-
suk!" maki Sena sambil melesat mengejar. Namun
mendadak puluhan pisau berkelebatan dan menderu
ke arahnya. Swing, swing...!
"Hop! Setan...!
Dengan berjumpalitan ke atas, tangan Pendekar
Gila bergerak cepat, menangkapi pisau-pisau belati
yang meluruk cepat di depannya.
Tap, tap...! "Kurang ajar! Hi hi hi...! Mainan anak-anak," Se-na tertawa sambil menggeleng-
gelengkan kepala. "Ke mana kau pergi, Tikus"!"
Pendekar Gila pun segera berkelebat, memburu
Galapati. Tak lama kemudian seorang gadis berbaju
hijau yang tak lain Arum Sari melesat dengan isak
tangis. "Galapati, tunggulah pembalasanku!"
Malam semakin gelap, ketika Ki Baya Kitri dan
istrinya serta warga Desa Swargadana mengejar Arum
Sari. "Arum, Anakku! Tunggu...!" seru Sariti.
4 Pagi yang cerah. Matahari bersinar menerangi
bumi. Cahayanya terasa hangat di tubuh. Semilir an-
gin pagi menghembuskan hawa yang menambah sejuk
suasana. Sementara kicau burung-burung di pepo-
honan semakin menambah tenteram dan damai Hutan
Jalarak. "Hoa...!" seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular menggeliat dari tidurnya di
atas sebuah cabang
pohon. "Huh, ke mana perginya tikus itu" Cepat sekali." Pendekar Gila
menggeliat, bangun dari tidurnya.
Lalu duduk di cabang pohon. Mulutnya nyengir, ke-
mudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Dibenar-
kan ikat kepalanya yang juga terbuat dari kulit ular.
"Wua! Pulas sekali aku tidur," gumam Sena.
Baru saja hendak turun dari cabang pohon, keti-
ka dilihatnya dari kejauhan lima orang lelaki tua berpakaian jubah warna-warni
melangkah ke arahnya.
Wajah mereka menggambarkan ketegangan. Tampak-
nya ada sesuatu yang tengah mereka masalahkan.
"Aha, ada apa orang-orang tua itu?" tanya Sena pada diri sendiri sambil
cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang
ke arah lima lelaki tua yang membisu dengan wajah
menggambarkan ketegangan.
"Kita tentukan di sini!" lelaki berpakaian merah tua membuka suara. Lelaki ini
berusia sekitar tujuh
puluh tahun. Rambutnya sudah memutih dengan ikat
di atas kepala. Jenggotnya yang panjang telah putih.
"Heh! Kau kira gampang mengatur pertarungan,
Gondra!" dengus lelaki berjubah biru yang bernama Ki Gendala. Lelaki ini juga
berusia sekitar tujuh puluh tahun. Rambutnya terurai lurus. Dan hidungnya yang
mancung berhias kumis putih. Matanya hampir tertu-
tup alis panjang dan lebat
"Benar! Menurut perjanjian, kita tak boleh me-
nentukan sendiri-sendiri. Kita harus mencari orang
lain untuk dijadikan penilai," sambut lelaki berjubah coklat. Lelaki ini berusia
sekitar enam puluh delapan tahun. Rambutnya masih banyak yang hitam.
"Hm.... Bagaimana mungkin di hutan sepi seperti ini kita bisa mencari manusia?"
gumam lelaki tua bernama Gondra, yang di tangannya tergenggam senjata
berupa sapu lidi bertangkai kayu cendana hijau. Dia
lebih dikenal dengan julukan Sapu Buana.
"Hm.... Benar juga. Mana ada manusia di Hutan
Jalarak ini?" sambung lelaki berjubah abu-abu yang menggenggam senjata berupa
cambuk berekor lima.
Itu sebabnya dia lebih terkenal dengan julukan Cam-
buk Panca Geni. Kelima ekor cambuknya dapat men-
geluarkan api jika dilecut dengan kekuatan tenaga dalam yang sempurna.
"Hm.... Lalu bagaimana kalau tak ada orang yang dijadikan penilai?" tanya lelaki
berusia sekitar enam puluh enam tahun yang berpakaian jubah warna loan-ing
keemasan. Di tangan lelaki ini tergenggam sebilah pedang yang memiliki tiga
lekukan. Pedang itu bernama Pedang Weling Giling.
Melihat kelima lelaki tua itu kebingungan men-
cari penilai, Pendekar Gila yang sejak tadi memperha-
tikan tingkah laku mereka segera melompat turun dari atas pohon.
"Hop! Hi hi hi...!"
Kelima lelaki tua itu tersentak ketika tiba-tiba
seorang pemuda bertampang gila dengan baju rompi
kulit ular telah berada di antara mereka.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya lelaki berjubah merah.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian. Kalian sudah tua seharusnya tinggal memikirkan
akherat. Mengapa masih memikirkan hal-hal duniawi" Hi hi hi... Lucu seka-li,"
gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan
seenaknya kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut masih cen-
gengesan. "Bocah, apa urusanmu" Kami memang sedang
mencari penilai. Kalau kau mau, kami akan mengang-
katmu menjadi penilai," ujar lelaki tua berjubah coklat. Kening lelaki ini
berkerut, begitu juga kawan-
kawan-nya. Mereka heran melihat tingkah laku pemu-
da di hadapannya yang seperti orang gila.
"Penilai..." Hi hi hi.... Penilai apa?" tanya Sena masih konyol. Matanya
dipelototkan. Kemudian nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, Bocah Edan! Jelas pengawas pertarungan
yang akan kami lakukan, Tolol!" sentak lelaki berjubah abu-abu.
"Tolol" Hi hi hi..." Kalian rupanya tolol" Ah, kurasa kalian bukan tolol, tapi
pikun. Hua ha ha...!" Se-na makin menjadi-jadi konyolnya. Sambil berjingkra-
kan yang membuat mata kelima lelaki tua itu melotot
dengan kening berkerut, Sena menggaruk-garuk kepa-
la. "Bocah gendeng!" maki lelaki berjubah biru. "Kalau kau tak mau, pergilah!"
"Pergi" Aha, enak sekali kau mengusirku, Ki. Hi hi hi...! Sejak kapan kau
menyewa hutan ini" Hi hi
hi...!" Kelima lelaki tua itu kembali mengerutkan kening, menyaksikan kekonyolan
pemuda di hadapannya.
Mereka semakin bertambah heran, dan berusaha
menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah
laku seperti orang gila itu
"Bocah sinting, kaukah yang berjuluk Pendekar
Gila?" akhirnya lelaki tua berjubah biru tua bertanya, ketika pikirannya
teringat ciri-ciri Pendekar Gila.
"Hi hi hi..! Gila" Ah, rupanya kalian gila. Kasihan, pantas sekali sudah tua
kalian mau berkelahi.
Padahal kalian tinggal menunggu ajal. Seharusnya ka-
lian mengabdi pada Hyang Widhi."
"Dasar bocah sinting!" dengus lelaki tua berjubah merah, jengkel. "Pendekar
Gila, bagaimanapun juga kami telah tahu siapa kau sebenarnya. Nah, maukah
kau menjadi penilai?"
Pendekar Gila nyengir, kemudian dengan tangan
menggaruk-garuk kepala mulutnya cengengesan. Ke-
palanya digeleng-gelengkan, seakan-akan tak percaya
kalau orang-orang tua yang seharusnya sudah tak
memikirkan keduniawian, masih saja bertingkah se-
perti orang muda.
"Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya lelaki berjubah coklat.
"Aha, baiklah. Tapi, aku mau bertanya dulu pada kalian."
"Tentang apa?" tanya lelaki berjubah biru.
"Apakah kalian melihat pemuda berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun mengenakan pakaian serba
ungu" Kepalanya terikat kain ungu pula?" tanya Sena.
Kelima lelaki tua itu mengerutkan kening. Mulut
mereka seperti terbungkam mendengar pertanyaan
Pendekar Gila. Mata mereka menatap wajah Pendekar
Gila. Hal itu menjadikan Pendekar Gila turut menge-
rutkan kening. Kemudian cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Aha, kenapa kalian diam?"
"Maksudmu, Galapati?" tanya lelaki berjubah abu-abu.
"Aha, aku tak tahu siapa namanya. Tapi mung-
kin dia," sahut Sena.
"Kalau Galapati yang kau cari, kami pun sedang
mencarinya. Justru karena anak itu kami hendak sal-
ing bertarung," tutur Ki Gondra.
"Aha, kenapa kalian hendak saling bertarung?"
tanya Sena seraya membelalakkan mata.
"Di antara kami berlima saling menyalahkan."
"Saling menyalahkan" Hi hi hi...! Lucu sekali!"
"Ya. Kami merasa murid kami salah," tutur Ki Gondra yang berjubah merah" "Kami
senantiasa merasa, kalau semua tindakan Galapati disebabkan keti-
dakbecusan kami mendidiknya."
"Benar. Kami selalu salah-menyalahkan, karena
merasa di antara kami berlima ada yang bersalah da-
lam mendidiknya," sambung Ki Gendala.
Pendekar Gila bengong, mendengar penuturan
orang tua itu. Kemudian mulutnya kembali cengenge-
san sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hi hi hi.... Lucu sekali kalian. Mengapa hanya karena tikus busuk itu kalian
hendak saling bunuh?"
tanya Sena, tertarik ingin tahu.
"Karena kami tak mau dituduh sembarangan,"
sahut lelaki berjubah abu-abu yang terkenal dengan
julukan Cambuk Panca Geni.
"Aha, kalau boleh ku tahu, siapa sesungguhnya
kalian ini" Dan ada hubungan apa dengan tikus bu-
suk itu?" tanya Sena.
"Aku Gendala," lelaki tua berjubah biru memper-kenalkan diri.
"Aku Gondra," kata lelaki berjubah merah.
"Aku Sandika," tambah lelaki berjubah abu-abu.
"Aku Wilakupa," sambung yang berjubah coklat
"Dan aku Karadena," terakhir lelaki berjubah kuning emas.
"Baiklah, tentunya kalian telah mengenal nama-
ku," kata Sena. "Kini aku ingin tahu, ada hubungan apa kalian dengan Galapati?"
"Kami adalah gurunya," sahut Gendala.
"Aha, jadi kalian gurunya" Kebetulan sekali, aku harus menangkap kalian," kata
Sena. "Sabar, Pendekar Gila. Memang kami gurunya.
Tapi justru kamilah yang kini tengah disibukkan oleh tingkah lakunya. Kami
mendidik Galapati dengan il-mu-ilmu yang baik," tutur Sandika. "Tapi, rupanya
watak anak itu sangat buruk. Dia telah membuat semua pendekar menganggap kami
tak ada artinya.
Bahkan melebihi sampah!"
"Ya! Semua pendekar menuduh kami yang salah.
Mereka meminta kami agar menyerahkan bocah kepa-
rat itu," sambung Karadena.
"Aha, lalu apa maksud kalian hendak saling bu-
nuh?" tanya Sena.
Sesaat kelima lelaki tua itu diam dan saling ber-
pandangan. Napas mereka terasa sangat berat. Wajah
mereka seketika berubah muram, seakan merasakan
beban dalam batin. Beban jiwa sebagai guru, yang te-
lah membuahkan murid laknat. Mereka sebenarnya
sebagai tokoh tua sakti berhaluan lurus. Tapi murid
mereka justru bertindak durjana dan menimbulkan
petaka. *** "Hm...! Baiklah, Pendekar Gila. Kami akan men-
ceritakan padamu siapa sebenarnya Galapati," akhirnya Ki Gendala, orang tertua
di antara kelima lelaki tua itu membuka suara.
"Aha, kalau kau memang berkenan, ceritakan-
lah," pinta Sena.
Sesaat orang tua itu terdiam sambil menghela
napas panjang-panjang. Kemudian dengan menun-
dukkan kepala sebentar, lalu mendongakkannya ke
atas, Ki Gendala mulai menceritakan siapa Galapati
sebenarnya. "Lima belas tahun yang lalu, kami menemukan
seorang anak berusia sekitar dua belas tahun. Bocah
itu ditemukan ketika kami sedang melakukan perjala-
nan melintas Bukit Kapuran Kuning. Bocah itu kami
temukan bersama seorang mayat wanita yang kea-
daannya mengenaskan. Nampaknya wanita itu habis
diperkosa. Di tempat itu juga kami menemukan kereta
dengan dua ekor kuda yang sudah mati. Kami tak ta-


Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hu, siapa ayah bocah itu. Namun, akhirnya kami ke-
tahui kalau bocah itu tiada lain bocah hasil hubungan gelap. Dan yang telah
membunuh ibunya ternyata si
bocah itu sendiri yang tak ingin masalahnya terbong-
kar...." "Hm, menarik sekali. Lalu, mengapa Galapati
bertabiat buruk seperti itu?" tanya Sena.
"Itu yang tidak kami mengerti," sahut Ki Gendala dengan menarik napas panjang.
"Mungkin Galapati dendam" Kami tak tahu. Tapi kalau dendam, sekarang
ayahnyalah yang dijadikan pelampiasan dendam.
Hm..., kini dia justru menjadi durjana pemetik bunga,"
desah Ki Gendala, setengah mengeluh.
"Mulanya Galapati hanya mengatakan ingin ker-
ja. Secara diam-diam dia mencuri sebuah kipas besar,
sebuah senjata sakti," tutur Ki Gandra menambahkan.
"Benar. Sungguh kami tak menyangka kalau il-
mu yang kami berikan, digunakan untuk kejahatan,"
sambung Ki Wilakupa.
Pendekar Gila terdiam. Hanya mulutnya yang
cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk
kepala. Kemudian kepalanya didongakkan ke atas,
menatap langit pagi yang bening.
"Pendekar Gila, kalau boleh kami tahu, mengapa
kau mencari murid durjana itu?" tanya Ki Karadena.
"Aha, seperti apa yang kalian katakan. Dia telah membuat petaka di Desa
Swargadana. Galapati telah
menghancurkan masa depan putri Kepala Desa Swar-
gadana...," tutur Sena.
"Kurang ajar! Jelas bocah itu tak boleh dibiar-
kan. Celakalah kalau Galapati masih gentayangan!"
dengus Ki Sandika. Wajahnya nampak memerah kare-
na marah. Nafasnya tersengal-sengal. "Jelas, ini salah kalian!"
"Enak saja kau ngomong!" dengus Ki Wilakupa.
"Kaulah yang tidak becus mendidiknya."
"Huh, kau yang memanjakannya!" bantah Ki
Sandika. "Hi hi hi...! Lucu kalian ini. Bagaimana kalian akan menyelesaikan masalah ini,
kalau malah saling bertengkar?" tanya Sena.
"Karena dia yang telah memanjakan bocah lak-
nat itu!" dengus Ki Sandika sambil menuding Ki Wilakupa. "Kurang ajar! Bukankah
kau yang selalu membelanya, sehingga anak itu keras kepala!" dengus Ki Wilakupa
tak mau kalah. "Aha, kalian benar-benar seperti anak kecil. Hi hi hi...! Lucu sekali dunia ini.
Semakin tua, kalian malah semakin lucu. Kalian persis anak-anak kecil. Saling
menyalahkan," gumam Sena dengan masih cengenge-
san sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kurasa, ini bukan cara yang baik
menyelesaikan masalah."
Kedua lelaki tua yang semula bersitegang dan
bahkan telah siap untuk melakukan pertempuran, se-
ketika menghentikan perselisihan itu.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Ki Karadena.
"Aha, kenapa kalian seperti orang bodoh" Jelas
kita harus mencarinya," sahut Sena.
"Ya ya ya.... Kau benar, Pendekar Gila. Kita harus segera mencarinya," sambut Ki
Wilakupa. "Memang benar. Bagaimanapun juga, bocah itu
harus mendapat hukuman yang setimpal," dengus Ki Sandika.
"Baiklah, Kisanak sekalian. Kini tak ada waktu
lagi Kita harus secepatnya mencari Galapati. Kuharap kalian mau membuang
perselisihan itu. Carilah murid
kalian! Aku pun akan mencarinya. Nah, sampai kete-
mu lagi." Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera mele-
sat meninggalkan kelima lelaki tua berjubah itu untuk melanjutkan perburuannya
mencari Galapati.
"Bagaimana dengan kita?" tanya Ki Gendala ingin tahu. "Kita pun harus
mencarinya," sahut Ki Wilakupa
"Ayo!" ajak Ki Gendala.
Kelima lelaki tua itu pun segera meninggalkan
Hutan Jalarak guna mencari murid mereka yang telah
murtad. *** 5 Kadipaten Blambangkara yang berbatasan den-
gan Gunung Bromo dan Desa Kates Kemba di sebelah
timur serta Hutan Barumba di sebelah barat, sore itu tampak tenang. Di depan
kadipatenan tampak empat
orang penjaga pintu gerbang tengah mondar-mandir.
Keempat penjaga pintu gerbang itu memegang senjata
berupa tombak. Sore itu, Adipati Sepa Woroagung sedang mene-
rima seorang tamu. Tamunya tak lain mertua dan istri keduanya yang bernama Getri
Anitia. Di sebuah ruangan besar tempat yang biasa di-
gunakan Adipati Sepa Woroagung untuk menjamu ta-
mu, nampak seorang lelaki berusia sekitar enam pu-
luh tahun berpakaian jingga. Lelaki tua berwajah te-
nang dan sabar itu tak lain Ki Kayaputaka, mertua
Adipati Sepa Woroagung. Wajah lelaki tua itu terhias kumis dan jenggot putih
yang tak terlalu tebal. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, Kayaputaka tentunya
orang dari rimba persilatan.
Duduk di hadapan Ki Kayaputaka, seorang lelaki
bertubuh gemuk dengan kepala agak botak di atasnya.
Hidungnya besar dan bercambang bauk lebat. Dialah
Adipati Sepa Woroagung Sang Adipati berusia sekitar
lima puluh tahun. Sorot mata yang tajam, mencer-
minkan kewibawaannya.
Di samping kiri sang Adipati, duduk seorang wa-
nita muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun.
Wajah wanita itu cantik. Matanya yang bening terhias bulu-bulu mata lentik dan
alis tipis. Wanita berkulit mulus yang mengenakan kain setinggi dada atau ang-
kin berwarna hijau tua berhias kuning emas itu, tak
lain Getri Anitia. Istri kedua sang Adipati, putri Ki
Kayaputaka. "Bagaimana keadaan di perguruan, Rama?"
tanya Adipati Sepa Woroagung penuh rasa hormat
"Baik Atas doa restu Kanjeng Adipati, kami selalu dalam keadaan sehat, tak
kurang satu apa pun...," sahut Ki Kayaputaka.
"Syukurlah kalau begitu, Rama! Kami merasa
senang, jika Perguruan Lembah Barada tenang dan
maju," ujar Adipati Sepa Woroagung.
"Tentunya Rama datang kemari karena ada ke-
perluan, Kakang," selak Getri Anitia.
"Benarkah begitu, Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
Ki Kayaputaka tersenyum mendengar ucapan
anaknya. Sebentar letak duduknya dibetulkan, kemu-
dian setelah menghela napas dalam-dalam, Ki Kayapu-
taka berkata. "Apa yang dikatakan istrimu benar, Kanjeng."
"Kalau boleh aku tahu, apakah yang menjadi ke-
perluan Rama?"
Kembali Ki Kayaputaka terdiam. Sepertinya ada
keraguan di hati lelaki tua itu untuk mengutarakan
maksud kedatangannya ke kadipaten. Melihat kera-
guan mertuanya, Adipati Sepa Woroagung kembali
berkata, "Katakanlah, Rama! Dalam keadaan ini, aku ada-
lah menantumu, bukan Kanjeng Adipati," ujar Adipati Sepa Woroagung berusaha
meyakinkan sang Mertua.
"Maaf sebelumnya, kalau nanti ucapanku salah,"
pinta Ki Kayaputaka.
"Tidak apa, Rama. Katakanlah!"
"Baiklah. Sebenarnya aku hanya ingin memohon
kesediaan Kanjeng Adipati untuk menerima murid
saya bekerja di kadipaten ini saja," kata Ki Kayaputaka seraya menundukkan
kepala. "O, hanya itu. Kukira apa. Baiklah, Rama. Aku
akan menerimanya. Kapan murid Rama akan datang?"
tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Mungkin lusa," jawab Ki Kayaputaka.
"Baiklah, aku akan menyambut dan meneri-
manya." "Terima kasih, Kanjeng. Kalau begitu, aku permi-si." "Apa tak sebaiknya Rama
menginap barang satu malam" Sekalian lusa menyambut kedatangan murid
Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"O, terima kasih. Tentunya dia tak akan datang, kalau belum kuberi kabar. Rama
permisi pulang."
"Hati-hati, Rama!" pesan Getri Anitia,
"Apakah perlu prajurit, Rama" Untuk mengawal
Rama," kata Adipati Sepa Woroagung menawarkan.
"Ah, tidak usah. Terima kasih."
Orang tua itu pun berlalu, meninggalkan bangsal
kadipaten diiringi anak dan menantunya.
Tak berapa lama setelah keberangkatan Ki Kaya-
putaka, nampak seorang pemuda berpakaian serba
ungu dengan kepala diikat kain membentuk sudut ke
atas segitiga berwarna ungu pula melangkah menuju
Kadipaten Blambangkara.
Wajah pemuda itu sangat tampan, elok bagaikan
wajah seorang dewa yang baru turun dari kahyangan.
Matanya yang bening menambah ketampanan pemuda
itu. Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Galapati, semakin dekat dengan pintu
gerbang Kadipaten Blambangkara. Di bibir Galapati tersungging senyuman.
Dengan mantap dan tenang kakinya terus melangkah.
"Siapa kau" Dan ada keperluan apa datang ke-
mari"!!" bentak salah seorang dari prajurit jaga di pintu gerbang kadipaten.
"Namaku Galapati. Aku murid Ki Kayaputaka,"
jawab Galapati.
"Apa maksud kedatanganmu?" tanya prajurit
yang lain. Suaranya tak setajam prajurit pertama, karena mendengar jawaban bahwa
pemuda tampan itu
murid Ki Kayaputaka.
"Aku hendak menyusul guru." Keempat prajurit jaga itu saling pandang, mendengar
jawaban pemuda tampan di hadapan mereka. Mereka tak habis pikir.
Bukankah Ki Kayaputaka baru saja berlalu" Bagaima-
na mungkin pemuda tampan ini tidak bertemu dengan
gurunya" "Anak muda, Ki Kayaputaka baru saja pulang.
Apakah kau tak bertemu di jalan?" tanya prajurit yang berkumis lebat
"Ah, benarkah?" tanya Galapati pura-pura kaget.
"Ya!",sahut prajurit berkumis lebat.
"O, rupanya aku berselisih jalan dengan guruku,"
keluh Galapati.
"Ada apa, Raka?"
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara Adipati Se-
pa Woroagung. "Ampun, Kanjeng! Ada seorang anak muda men-
gaku murid Ki Kayaputaka!" sahut prajurit berkumis lebat yang dipanggil Raka.
"Apa"! Murid Rama"!"
"Benar, Kanjeng."
"Suruh dia masuk!"
Kembali terdengar suara Adipati Sepa Woroagung
memerintah prajuritnya agar memberi jalan pada Ga-
lapati. "Silakan masuk!" kata Raka.
"Terima kasih."
Dengan bibir mengurai senyum, Galapati me-
langkah masuk. Seketika matanya tertumbuk pada
sepasang mata lembut milik seorang wanita berparas
cantik. Wanita itu tak lain Getri Anitia.
Hm.... Inikah yang bernama Getri Anitia" Tanya
Galapati dalam hati. Sungguh cantik wajahnya. Tak
kusangka, akhirnya kutemukan juga wanita secantik
ini. "Anak muda, apakah benar kau murid Rama
Kayaputaka?" tanya Adipati Sepa Woroagung, menyentakkan Galapati dari
lamunannya. Sesaat Galapati terdiam. Matanya mencuri pan-
dang ke wajah Getri Anitia yang juga tengah meman-
dang dirinya dengan kening berkerut. Sepertinya wani-ta cantik itu tengah
berpikir, mencoba mengingat-
ingat para murid ayahnya.
Dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui
Adipati Sepa Woroagung, Galapati berusaha memberi
isyarat agar wanita cantik itu menganggukkan kepala
jika nanti ditanya suaminya.
"Benar, Kanjeng."
"Siapa namamu, Anak Muda?"
"Galapati, Kanjeng."
"Hm...," gumam Adipati Sepa Woroagung sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian wajahnya
menoleh dan memandang istrinya. "Diajeng, apa benar murid Rama ada yang bernama
Galapati?"
Getri Anitia terdiam sesaat. Matanya melirik Ga-
lapati yang mengedipkan mata. Hal itu membuat Getri
Anitia nampak bingung. Darahnya berdesir halus, ke-
tika beradu pandang dengan pemuda itu.
Getri Anitia masih terdiam bimbang. Dia ingin
mengatakan tidak. Tapi entah mengapa, setelah mena-
tap wajah pemuda tampan itu, tiba-tiba hatinya terlekat rasa belas kasihan.
Bahkan Getri Anitia merasa
takut kalau pemuda itu akan mendapat hukuman.
Bahkan mungkin dihukum gantung.
Kembali Getri Anitia mencuri pandang ke arah
Galapati yang menganggukkan kepala.
"Bagaimana, Diajeng" Apakah kau ingat kalau di
perguruan Rama ada nama Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Ya. Hamba ingat Kangmas."
"Jadi ada?"
"Benar, Kangmas."
"Hm...," kembali Adipati Sepa Woroagung bergumam tak jelas. Lalu pandangannya
kembali tertuju
pada Galapati yang masih berdiri menunggu keputu-
sannya. "Galapati, Rama baru saja pulang. Kedatangannya ke sini, semata-mata
untuk meminta padaku
agar kau diterima bekerja di sini. Tapi aku belum ta-hu, jabatan apa yang
sekiranya cocok untukmu."
"Ampun, Kanjeng Adipati...! Kalau memang di-
perkenankan, hamba ingin menjadi ketua prajurit di
kadipaten ini," kata Galapati, menyentakkan Adipati Sepa Woroagung. Sungguh di


Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar dugaannya kalau
pemuda tampan yang kelihatannya pemuda biasa dan
berilmu tidak begitu tinggi, meminta jabatan begitu
tinggi. Sedangkan Ki Kayaputaka saja belum tentu
sanggup menjabat pimpinan prajurit kadipaten.
"Apakah kau tidak bergurau, Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung dengan
kening berkerut dan
mata menyipit. Hatinya sungguh bingung dan tak
mengerti mendengar permintaan pemuda tampan itu.
"Tidak, Kanjeng."
"Kau tahu, bagaimana beratnya tugas pimpinan
prajurit?"
"Sendika, Kanjeng," jawab Galapati seraya menganggukkan kepala.
"Hm...."
Adipati Sepa Woroagung kembali bergumam tak
jelas mendengar ucapan Galapati. Matanya masih me-
natap tajam wajah Galapati, seperti berusaha meya-
kinkan hatinya akan kemampuan pemuda tampan di
hadapannya. "Galapati...."
"Daulat, Kanjeng."
"Sesungguhnya di sini telah ada pimpinan praju-
rit. Namun, jika kau mampu mengalahkannya, aku
akan menerima permintaanmu," ujar Adipati Sepa Woroagung.
Sebenarnya maksud Adipati Sepa Woroagung
hanyalah mau menyingkirkan pemuda ini. Hatinya tak
suka dengan apa yang ditunjukkan pemuda itu.
Hanya saja karena Adipati Sepa Woroagung meman-
dang pada mertuanya, maka hanya dengan cara halus
bisa menyingkirkan pemuda tampan ini.
Kalau Adipati Sepa Woroagung menyingkirkan
Galapati dengan kekerasan, jelas dia tak ingin mertuanya marah. Tapi jika dengan
adu tanding melawan
Kebo Wulung, bukankah dia bisa bertanggung jawab
pada mertuanya" Adipati Sepa Woroagung akan men-
gatakan kalau Galapati mati dalam ujian. Itu sebabnya dia bermaksud mengadu
Galapati dengan Kebo Wulung. "Bagaimana, Galapati?"
"Hamba sanggup, Kanjeng."
"Hm, begitu...?"
"Daulat, Kanjeng,"
"Baik Bersiaplah di pelajaran!" perintah Adipati Sepa Woroagung.
"Sendika...!"
Galapati sekali lagi mencuri pandang ke wajah
Getri Anitia yang menjadikan wanita cantik istri Adipati Sepa Woroagung kembali
berdesir dadanya. Sesaat
kemudian pemuda itu melangkah dengan mantap me-
nuju pelataran. Tenang sekali pemuda itu melangkah.
Sementara itu, hati Getri Anitia semakin bergetar
hebat. Wanita itu bingung dan tak mengerti mengapa
getaran itu terus melanda hatinya. Tiba-tiba pula ada rasa takut, kalau-kalau
pemuda tampan itu akan
mengalami kekalahan.
Getri Anitia tahu persis siapa Kebo Wulung. Seo-
rang tokoh persilatan yang sakti dan kejam. Kebo Wu-
lung tak pernah melepaskan lawannya dalam keadaan
hidup. Itu sebabnya selama puluhan tahun, Kebo Wu-
lung masih memegang pimpinan prajurit dan belum
terkalahkan. Di samping itu, Kebo Wulung juga teman dekat
Adipati Sepa Woroagung. Tentunya sang Adipati akan
membelanya, jika keadaan memang mendesak.
Kini, seorang pemuda yang kelihatannya tak
memiliki kepandaian tinggi dan mengaku murid Ki
Kayaputaka telah dengan berani menantang Kebo Wu-
lung. Bukankah pemuda itu hanya mencari mati saja"
Pikir Getri Anitia, antara cemas dan berharap
pemuda itu segera membatalkan kesanggupannya.
Galapati tak mencabut ucapannya. Bahkan se-
makin bertambah mantap melangkah ke pelataran Hal
itu membuat hati Getri Anitia bertambah was-was. En-
tah mengapa, sejak pandangan pertama, hatinya me-
rasakan sesuatu keanehan. Getri Anitia begitu terpe-
sona melihat ketampanan pemuda itu.
Adipati Sepa Woroagung dan Getri Anitia serta
dua dayang melangkah menuju tempat duduk yang
disediakan khusus untuk menyaksikan pertarungan.
"Prajurit...!" seru Adipati Sepa Woroagung memanggil para prajuritnya yang
tengah berkumpul di
bangsal prajurit
Seketika dari bangsal sisi kanan bangunan uta-
ma kadipaten, bermunculan puluhan prajurit lengkap
dengan senjata. Mereka langsung menghadap Adipati
Sepa Woroagung dan menyembah. "Buat lingkaran!"
"Daulat, Kanjeng!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan prajurit itu
langsung membuat lingkaran. Sedangkan Kebo Wu-
lung kini berdiri di samping tempat duduk Adipati Se-pa Woroagung. Lelaki
bertubuh tinggi tegap dan ber-
mata tajam itu bersidekap. Wajahnya yang garang
dengan cambang bauk dan hidung besar menatap pe-
nuh kebencian pada Galapati. Napas Kebo Wulung
mendengus keras. Mulutnya menyeringai sinis.
"Kuremukkan batok kepalamu, Bocah Sombong!"
dengus Kebo Wulung sambil memukul-mukulkan ke-
palan tangannya ke telapak tangan yang lainnya. "Kau rupanya mencari mampus!"
"Kebo Wulung, seperti apa yang tadi kukatakan,
jika pemuda itu mampu mengalahkanmu, maka dialah
pengganti mu. Kau mengerti, Kebo Wulung?" tanya Adipati Sepa Woroagung sambil
mengedipkan mata
pada Kebo Wulung memberi isyarat
Getri Anitia yang mengerti isyarat suaminya, se-
makin berdebar jantungnya. Rasa cemas dan takut
kalau Galapati tewas di tangan Kebo Wulung, mem-
buatnya gelisah. Bahkan keringat dingin kini telah
membasahi keningnya.
"Daulat, Kanjeng. Akan kuremukkan batok kepa-
lanya yang sombong itu!" dengus Kebo Wulung murka.
"Kau telah siap, Galapati?" tanya Adipati Sepa Woroagung.
"Hamba telah siap sejak tadi, Kanjeng. Ingin sekali hamba melabrak kerbau dungu
itu," ujar Galapati sinis dengan suara sombong.
Kebo Wulung tentu saja bertambah geram. Tak
sabar menunggu pertarungan dimulai.
"Sombong kau, Bocah! Bersiaplah untuk mam-
pus!" geram Kebo Wulung. Matanya semakin tajam,
penuh bara api amarah terhadap Galapati.
"Kalian tak perlu sesumbar yang tidak-tidak.
Yang penting, kalian harus bisa mengalahkan lawan.
Karena siapa yang menang, dialah yang akan menjadi
pimpinan prajurit," ujar Adipati Sepa Woroagung.
"Nah, mulailah!"
Mendengar perintah itu, Kebo Wulung yang su-
dah marah sejak mendengar ejekan dan tingkah laku
Galapati langsung melesat, menggebrak dengan seran-
gan dahsyat "Jaga kepalamu, Bocah! Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tanduk Kerbau Menjegal Nyawa',
Kebo Wulung bergerak menyerang. Kedua tangannya
mengepal, bagaikan sepasang tanduk Kemudian silih
berganti menyerang dengan pukulan-pukulan keras
disertai tenaga dalam. Deru angin pukulannya saja
mampu menyentakkan lawan.
"Haits! Hih...!"
"Yeaaa!"
Melihat lawan menyerang dengan jurus andalan,
tanpa sungkan-sungkan Galapati pun langsung me-
mapaki serangan lawan dengan jurus andalan yang
bernama 'Tan Jidor Maut'.
"Yeaaa...!"
Kedua tangannya bergerak laksana menari. Satu
di belakang, satunya menyerang ke depan begitu cepat dan beruntun. Tubuhnya agak
merendah dengan salah satu kaki setengah ditekuk. Gerakannya mirip ta-
rian jaipongan. Namun hentakan-hentakan tangannya
yang menyerang ke depan diikuti tenaga dalam yang
Pedang Ular Mas 8 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Jodoh Si Mata Keranjang 6
^