Pencarian

Misteri Gadis Bisu 2

Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu Bagian 2


yang lainnya."
Ki Kalawuku yang semula benci pada Pendekar
Gila segera menurut membaca tulisan di surat itu. Ma-ta Ki Kalawuku semakin
membelalak, ketika kembali
membaca isi surat itu.
Jika kalian ingin tahu siapa aku, teruslah berjalan ke barat. Hati-hati, karena
bahaya tengah mengintai kalian. Khususnya para pendekar di Desa Kembang
Tebu. Ki Kalawuku benar-benar heran membaca tulisan itu. Ditatapnya Pendekar
Gila yang masih cen-
gengesan, sepertinya mengerti semua yang terjadi. Dan ketika lebih dalam lagi Ki
Kalawuku mengamati pemu-
da gila itu, seketika tuduhannya hilang.
Pemuda gila! Gumam Ki Kalawuku dalam hati.
Hm, siapakah pemuda ini" Mungkinkah dia yang ber-
juluk Pendekar Gila"
"Hi hi hi...! Aneh sekali! Masih ada juga orang yang baik hati pada para
pendekar, khususnya pendekar di Desa Kembang Tebu," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda, kaukah yang berjuluk Pendekar
Gila?" tanya Ki Kalawuku.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa dengan mulut nyengir. "Namaku Sena, Ki. Hi hi hi...!
Hanya orang-orang saja yang menyebutku gila. Ah, memang aku gila."
Terbelalak mata Ki Kalawuku mendengar pe-
muda bertingkah laku gila itu. Kini hatinya yakin, kalau Sena memang orang yang
dijuluki Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, kurasa kau mengerti apa mak-
sud tulisan ini. Bagaimana pendapatmu...?" tanya Ki Kalawuku.
"Hi hi hi...! Aha, mudah saja. Mengapa tak kita ikuti sarannya" Bukankah dengan
begitu kita akan ta-hu siapa orang yang telah mengirim surat itu?"
Sesaat Ki Kalawuku terdiam. Sepertinya dia
tengah memahami kata-kata dalam tulisan itu. Kalau
memang benar bahwa para pendekar Desa Kembang
Tebu dalam ancaman, berarti ada orang-orang yang
sengaja hendak menghancurkan Desa Kembang Tebu.
Gumam Ki Kalawuku dalam hati. Siapakah, dan apa
tujuan orang itu membuat keonaran di Desa Kembang
Tebu" "Baiklah, Pendekar Gila. Mari kita ikuti apa kemauannya!" ajak Ki Kalawuku
kemudian. "Aha, kurasa ada baiknya begitu," sahut Sena dengan mulut cengengesan dan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Ayolah! Kita harus segera tahu siapa sebenar-
nya orang yang mengirim berita ini!" ajak Ki Kalawuku.
"Aha, bagaimana dengan mayat-mayat itu?"
tanya Sena, seraya menunjuk sepuluh anak buah Ki
Kalawuku. "Biarkan saja," sahut Ki Kalawuku.
Keduanya segera melesat cepat meninggalkan
Hutan Waradas menuju arah barat, sesuai petunjuk
yang diberikan pembunuh gelap itu.
*** 6 Setelah tidak mendapatkan orang yang dica-
rinya, Ki Soma dan orang-orangnya kembali ke desa.
Mereka nampaknya tak berminat untuk meneruskan
pencariannya. Apalagi setelah mereka menemukan ke-
sepuluh mayat anak buah Ki Kalawuku di tengah hu-
tan. Ditambah lagi hilangnya Ki Kalawuku yang entah
ke mana, semakin membuat warga desa pengikut Ki
Soma ciut nyalinya.
Ki Soma akhirnya memutuskan kembali ke De-
sa Kembang Tebu yang letaknya tak jauh dengan Hu-
tan Waradas. Bahkan tepi hutan itu berdekatan den-
gan batas Desa Karang Tebu.
"Setan alas! Rupanya ada yang bermaksud
menggagalkan rencana kita, Diajeng...," dengus Ki So-ma sambil melangkah mondar-
mandir di depan is-
trinya yang masih duduk di atas pembaringan. Mata
Nyi Writampi tak lepas menatap suaminya yang tam-
pak gelisah serta marah.
Malam itu Ki Soma benar-benar marah, karena
akhir-akhir ini terdengar kabar ada dua orang anak
muda aneh. Yang satu seorang pemuda dengan ting-
kah laku gila, sedangkan lainnya seorang gadis bisu
dengan tingkah laku seperti gembel serta berbadan
bungkuk "Siapakah, Kakang?" tanya wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun dengan
rambut sasak lebar. "Entahlah. Ada orang yang selalu mendahului setiap maksud kita. Dia
seorang gadis muda bertubuh
bungkuk," jawab Ki Soma masih menunjukkan wajah penuh amarah. "Sepertinya dia
selalu tahu apa yang bakal kita rencanakan."
Nyi Writampi terdiam, hanya matanya saja yang
masih memandang lekat ke arah suaminya. Wajah wa-
nita itu pun melukiskan ketegangan, mendengar penu-
turan suaminya. Bibirnya digigit, seakan turut mera-
sakan kejengkelan suaminya.
"Kalau begini terus-menerus, bisa-bisa rencana
kita terbongkar, Diajeng," tukas Ki Soma cemas.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
Ki Soma terdiam, melangkah ke jendela kamar-
nya. Perlahan dibukanya jendela kamar, lalu ditatap-
nya rembulan yang tergantung di langit. Bulan itu
membentuk sabit, dengan cahaya redup.
"Malam ini mungkin akan leluasa kita bergerak,
Diajeng. Kita harus segera menyelesaikan semuanya
dengan cepat, sebelum orang-orang mengetahui," gumam Ki Soma sambil menoleh dan
menatap istrinya
yang masih duduk di atas tempat tidur. "Kita harus secepatnya menyingkirkan
Kakang Legok Menggo yang
dungu dan tak bisa apa-apa."
"Tapi, Kakang...."
"Ada apa, Diajeng" Kau sepertinya merasa ra-
gu...?" "Benar, Kakang. Apakah jika kita terburu-buru
tak akan membuat orang curiga" Bukankah lebih baik
kita menggunakan Srindi lebih dahulu" Dengan begitu, orang tentu tak akan
menyangka kalau kitalah pelaku
semuanya," saran Nyi Writampi.
Ki Soma tersenyum mendengar saran istrinya.
Kemudian dengan mengangguk-anggukkan kepala, is-
trinya dihampiri.
"Kau benar, Diajeng. Srindi memang telah ba-
nyak membantu kita. Dan orang-orang menyangka ka-
lau pelaku semuanya adalah orang lain. Hm, benar!
Sekarang ini, memang dialah yang pantas untuk me-
nyingkirkan satu persatu para pendekar di Desa Kem-
bang Tebu ini. Dengan begitu, orang akan menyangka
ini pembalasan arwah keluarga Gagar Blarak," ujar Ki Soma dengan bibir semakin
tersenyum lebar.
"Apakah malam ini pun dia akan kita utus, Ka-
kang?" "Ya! Malam ini giliran Anggastra. Bukankah ta-di sore telah diberikan
tanda silang merah?" tanya Ki Soma. "Benar, Kakang."
"Hm, semua orang akan semakin kebingungan.
Dan jika semua warga telah tak percaya lagi pada Ka-
kang Lenggok Menggo, maka akulah yang akan meng-
gantikan kedudukannya," gumam Ki Soma senang.
"Kalau begitu, kita harus menghubunginya,"
ujar Nyi Writampi.
"Ya. Cepatlah!"
Nyi Writampi mengendap-endap meninggalkan
rumahnya lewat pintu belakang untuk menghubungi
Srindi. *** Malam sudah jatuh menyelimuti Desa Kembang
Tebu. Kesunyian begitu terasa di desa ini. Tak seorang pun yang terlihat di
luar. Dan rumah-rumah tampak
tertutup rapat pintu dan jendelanya. Hanya cahaya redup dari pelita kecil yang
terlihat dari kisi-kisi pintu dan jendela setiap rumah. Namun, keadaan terang-
benderang terlihat di rumah Ki Anggastra. Bahkan be-
berapa obor terpancang di setiap sudut halaman ru-
mahnya. Suasana rumah Ki Anggastra seperti tengah
mengadakan suatu pesta, tapi hanya para pendekar
yang tampak di sana.
Sementara di dalam salah satu kamar, Ki Ang-
gastra belum juga bisa merebahkan tubuhnya. Hatinya
gelisah, setelah menerima tanda silang merah sore ta-di. Ketika dia tengah
duduk-duduk di serambi, tiba-
tiba melesat ke arahnya sebilah pisau kecil dengan gagang terdapat ikatan daun
lontar. Hampir saja pisau
itu membunuhnya, kalau Ki Anggastra tak cepat ber-
gerak mengelak. Ki Anggastra membuka lipatan daun
lontar yang ada di gagang pisau. Ternyata daun lontar itu bergambar tanda silang
merah! Ki Anggastra tak tahu isyarat apa tanda silang
merah itu. Tapi malam ini dia benar-benar gelisah, berjalan mondar-mandir di
dalam kamar. Beberapa kali
terdengar tarikan nafasnya yang panjang, disertai
hembusan napas yang terasa begitu berat.
"Hhh...!"
Bruk! "Heh..."!"
Tiba-tiba saja Ki Anggastra tersentak kaget, ke-
tika mendengar suara seperti orang terjatuh. Cepat-
cepat lelaki berusia empat puluh tahun dan bercam-
bang le-bat itu melompat ke jendela kamarnya. Tapi
belum juga sampai, mendadak sesosok bayangan biru
berkelebat cepat memasuki kamar melalui jendela yang
terbuka lebar. "Heii...!"
Hampir saja Ki Anggastra terlanda bayangan bi-
ru itu, kalau saja tak cepat-cepat melompat ke bela-
kang. Dua kali lelaki itu berputar di udara. Lalu dengan manis sekali mendarat
di lantai yang keras dan li-cin. Saat itu, seorang bertubuh ramping sudah
berdiri membelakangi jendela. Seluruh tubuhnya tertutup ba-ju biru yang ketat.
Sementara seluruh kepalanya juga terselubung kain biru pekat. Hanya dua lubang
kecil pada matanya yang terlihat.
"Siapa kau...?" bentak Ki Anggastra. Tangan kanan Ki Anggastra cepat menyambar
pedang yang tergeletak di atas meja, tak jauh di sebelah kanan. Begitu teraih, pedang itu
cepat dipindahkannya ke tan-
gan kiri. Sedangkan orang bertubuh ramping yang
mengenakan pakaian biru tetap berdiri tegap, tak bergeming sedikit pun. Dari dua
lubang di bagian mata,
terlihat sorot matanya yang begitu tajam, menusuk
langsung ke bola mata pendekar Desa Kembang Tebu
ini. Dari bentuk tubuhnya sudah dapat dipastikan ka-
lau dia seorang wanita.
"Uuu...!" wanita itu berseru. Tiba-tiba saja wanita berbaju biru yang ternyata
bisu itu melompat secepat kilat, menerjang Ki Anggastra. Begitu cepat
gerakannya, sehingga membuat Ki Anggastra terhenyak se-
saat. Namun, dengan cepat pula lelaki setengah baya
itu melompat ke samping, sambil meliukkan tubuhnya,
menghindari pukulan yang melayang cepat itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu lepas dari serangan, Ki Anggastra cepat
melepaskan satu tendangan keras menggeledek, den-
gan tubuh agak miring ke kiri. Tendangannya yang be-
gitu cepat, mengarah langsung ke dada wanita ini.
"Uuu...!"
Tanpa diduga sama sekali, wanita bisu berbaju
biru itu malah menghentakkan tangan kirinya, mema-
pak tendangan Ki Anggastra. Hingga tak pelak lagi,
tangan dan kaki itu beradu keras.
Plak! "Uuu...!"
"Hup!"
Ki Anggastra terpekik kecil. Lalu dengan cepat
dia melompat beberapa langkah ke belakang. Sedang-
kan wanita bisu itu juga cepat melompat beberapa kali ke belakang. Mereka kini
kembali berdiri saling berha-dapan, berjarak beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
"Uuu...!"
Wanita berpakaian biru kembali melompat me-
nyerang dengan kecepatan luar biasa. Beberapa puku-
lan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, dilepaskan secara beruntun. Akibatnya, Ki Anggastra terpaksa
berjumpalitan menghindarinya. Maka
pertarungan di dalam kamar yang cukup luas ini pun
tak terelakkan lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Uuu...!"
Begitu memiliki kesempatan, Ki Anggastra ce-
pat melenting ke udara. Lalu, cepat sekali tangannya mengibas ke kepala wanita
yang terselubung kain biru dengan jurus 'Tepisan Dewa Mengebut Angin'. Dengan
gerakan kepala yang begitu manis, wanita bisu itu
mampu mengelakkan sambaran tangan lawan.
"Yeaaa...!"
"Uuu...!"
Dengan gerakan yang tak terduga dan cepat, Ki
Anggastra memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula di-
lepaskannya satu tendangan keras menggeledek den-
gan tubuh berputar cepat. Begitu cepatnya serangan
yang dilakukan Pendekar Kembang Tebu ini, sehing-
ga.... Begk! "Uuukh...!"
Wanita bisu itu terpekik keras agak tertahan.
Tendangan yang mendarat tepat di dadanya begitu ke-
ras, membuatnya terpental deras ke belakang. Lonta-
ran tubuhnya baru berhenti ketika menghantam dind-
ing kamar, hingga bergetar hendak roboh.
Brak! Wanita bisu itu cepat menguasai diri dan kem-
bali berdiri tegak, sambil memegangi dada yang terke-na tendangan keras lawan.
Matanya menyorot tajam ke
arah Ki Anggastra.
*** "Hiyaaa...!" Ki Anggastra langsung melompat menyerang, sambil mengayunkan
pedangnya dengan
jurus 'Gelar Babat Yudha'.
"Hih! Yeaaah...!" Wanita bisu itu segera mencabut senjata badiknya. Kemudian


Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secepat kilat dikebutkannya untuk menangkis sabetan pedang lawan.
Trang! Terdengar dua senjata berbenturan.
"Hiyaaa...!"
"Uuu...!"
Ki Anggastra langsung melompat menyerang,
sambil mengayunkan pedangnya yang tergenggam di
tangan kanan. Dan secepat itu pula pedangnya dike-
butkan ke arah kepala wanita aneh berbaju biru itu
dengan jurus 'Gelar Babat Yudha'.
"Hih! Yeaaah...!"
"Uuu...!"
Wanita bisu itu segera mencabut senjatanya
yang berupa pisau menyerupai badik dari pinggang-
nya. Kemudian secepat kilat dikebutkannya untuk
menangkis sabetan pedang lawan.
Trang! "Akh!"
Ki Anggastra tersentak kaget setengah mati.
Cepat-cepat pedangnya ditarik, lalu melompat ke belakang beberapa langkah.
Hampir dia tak percaya den-
gan apa yang terjadi barusan. Senjata menyerupai ba-
dik kecil di tangan gadis itu ternyata mampu menahan pedangnya yang besar dan
kuat. Bahkan tangannya
tadi sampai tergetar hebat.
"Hap!"
"Uuu...!"
Ki Anggastra cepat menyilangkan pedangnya di
depan dada. Perlahan kakinya bergeser beberapa lang-
kah ke samping. Kemudian cepat sekali tangan kirinya
bergerak mengebut ke depan. Saat itu juga, terlihat
beberapa benda bulat berwarna putih melesat cepat
dari tangan kiri Ki Anggastra.
"Hup!"
"Uuu...!"
Bersamaan dengan lompatan wanita berpa-
kaian biru dalam menghindari senjata-senjata rahasia itu, Ki Anggastra sudah
lebih cepat lagi melesat ke
udara. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan
ke lambung lawan. Tapi, wanita bungkuk itu cepat
menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga tubuhnya
agak ter-bungkuk. Dan pada saat itu, Ki Anggastra
mengibaskan tangan kirinya menyambar kepala lawan.
Bret! "Ukh...!"
Wanita bungkuk itu terpekik, ketika kain biru
penyelubung kepalanya terampas tangan kiri Ki Ang-
gastra. Cepat-cepat tubuhnya meluruk ke bawah sam-
bil berputaran beberapa kali. Tampak di balik selu-
bung, seraut wajah yang sangat menyeramkan. Tepat
pada saat kaki wanita itu menjejak lantai, Ki Anggastra juga mendarat manis
sekali. Namun saat itu juga matanya terbelalak tegang.
"Kau..."!"
"Uuu!"
Bet! Begitu cepat dan tiba-tiba wanita itu memba-
batkan senjatanya yang berupa pisau menyerupai ba-
dik ke leher Ki Anggastra. Sehingga....
Cras! "Aaakh...!"
Ki Anggastra terpekik keras. Darah langsung
muncrat dari lehernya. Hanya sebentar Ki Anggastra
masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan
ambruk menggelepar di lantai kamarnya. Lalu tak ber-
kutik. Mati! "Uuu...!"
Slap! Sambil meninggalkan suara lengkingan yang
mengerikan, wanita berpakaian biru itu melesat cepat meninggalkan kamar melalui
jendela yang masih terbuka. Begitu cepat kelebatannya, hingga dalam seke-
jap tubuhnya telah menghilang ditelan kegelapan ma-
lam. *** 7 Pendekar Gila dan Ki Kalawuku yang mengikuti
petunjuk dari seseorang penyerang gelap, akhirnya
menemui tempat yang mereka tuju. Sebuah gubuk be-
sar yang terletak di balik Bukit Candra Buana. Jarak antara bukit itu dengan
Desa Kembang Tebu sebenarnya tak terlalu jauh. Namun karena keadaannya sulit
untuk dicapai, menjadikan gubuk itu seperti tak per-
nah dikunjungi orang.
"Hm.... Nampaknya gubuk itulah tempatnya,"
gumam Ki Kalawuku.
"Aha, benar katamu, Ki. Aneh sekali, ada gubuk
di balik bukit. Hi hi hi...!" tawa Sena memecah kesunyian pagi itu.
"Ayo kita ke sana!" ajak Ki Kalawuku.
Keduanya dengan berlari-lari kecil menuju gu-
buk besar itu. Mereka harus menaiki bukit itu, agar
dapat leluasa melihat ke sekeliling kaki bukit, tempat gubuk besar itu berada.
"Aha, indah sekali suasana di sini!" gumam Se-na sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ya! Bukit ini indah, tapi tak seorang pun yang datang ke tempat ini," gumam Ki
Kalawuku. "Sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi di balik keindahan bukit
ini." Pendekar Gila cengengesan sambil masih
menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu pandang
ke bawah bukit, ke sekitar tempat gubuk itu berada.
Dari dalam gubuk besar itu tiba-tiba muncul Ki
Wulung dan istrinya yang langsung memandang ke
atas bukit di mana Pendekar Gila dan Ki Kalawuku be-
rada. "Aha, mereka ada di sini!" seru Sena.
"Hm, rupanya benar dugaanku, kalau Ki Wu-
lung dan istrinya mengenal pembunuh gelap itu," gumam Ki Kalawuku. "Tapi apa
maksud orang itu me-
manggil kita ke tempat ini?"
"Hi hi hi...! Apakah tak sebaiknya kita turun?"
ajak Sena. "Ya ya, mari!"
Keduanya segera melompat ke bawah dan tahu-
tahu telah berdiri di hadapan Ki Wulung dan istrinya yang tersenyum. Suami istri
itu sepertinya tak takut lagi menghadapi Ki Kalawuku.
"Selamat datang di tempat ini!" sapa Ki Wulung dengan bibir tersenyum dan
menjura hormat.
"Aha, di manakah orang yang mengundang ka-
mi, Ki?" tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol persis orang gila.
Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Sedangkan mulutnya masih cengengesan.
Dari dalam gubuk itu seketika keluar seorang
wanita cantik diikuti gadis berusia sekitar lima belas tahun. Pendekar Gila
mengerutkan kening melihat gadis berpakaian kumal dan bertubuh bungkuk itu.
"Aha, kita bertemu lagi!" seru Sena. "Tak kusangka, kalau akhirnya kita bertemu
di sini." "Selamat datang di gubuk kami, Pendekar Gila!"
sapa wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun perpakaian kuning yang tak
lain Suriwarni.
"Uuu uuu...!"
Gadis bisu yang bertubuh bungkuk dan berpa-
kaian biru kehitaman itu menggerak-gerakkan tan-
gannya, seperti hendak menyapa Pendekar Gila dan Ki
Kalawuku. "Terima kasih, Nini. Ada apa sebenarnya kami
dipanggil ke tempatmu?" tanya Ki Kalawuku.
"Masuklah dahulu! Kita bicara di dalam saja,"
ajak Suriwarni sambil merentangkan tangan kanannya
mempersilakan kedua tamunya masuk.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa tergelak-gelak. Kemudian diikuti Ki Kalawuku dia
melangkah masuk ke ru-
mah gubuk besar tempat tinggal gadis bungkuk dan
Suriwarni. Mereka duduk di atas tikar dari daun pandan
yang cukup lebar.
"Aha, seperti ada pertemuan penting," gumam Sena. Tangannya menggaruk-garuk
kepala dengan mulut masih cengengesan.
"Nini, ada perlu apa sebenarnya?" tanya Ki Kalawuku tak sabar.
"Sabarlah, Ki! Kita belum saling kenal satu sa-
ma lainnya. Apakah tak sebaiknya kita saling menge-
nai" Baru setelah itu kita menuju ke pokok masalah-
nya," sahut Suriwarni dengan bibir mengurai senyum.
Semakin menambah kecantikan wanita muda itu.
"Aha, memang benar apa yang kau katakan,
Nini. Baiklah, kami terima usulmu," kata Sena dengan cengengesan sambil
tangannya masih menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih atas kesabaran serta kedatangan
kalian! Baiklah, aku sebagai tuan rumah akan mem-
perkenalkan diri. Namaku Suriwarni, atau orang biasa memanggilku si Bayangan
Bidadari," kata Suriwarni memperkenalkan dirinya.
"Aha, sungguh beruntung sekali aku dapat ber-
temu dengan Bayangan Bidadari," gumam Sena. "Tak kusangka, kalau Bayangan
Bidadari masih muda dan
cantik." Suriwarni tersipu-sipu mendengar kata-kata Pendekar Gila. Sampai-sampai
kedua pipinya bersemu
merah! Perlahan kepalanya menunduk, dengan bibir
tersenyum malu-malu.
"Uh uh uh...!"
Gadis bisu terdengar berkata, tangannya berge-
rak memperagakan gerakan. Sepertinya dia ingin men-
jelaskan siapa dirinya.
"Oh, rupanya kau hendak memperkenalkan di-
ri, Dik," sahut Sena. "Katakanlah, aku mungkin bisa membantumu."
"Uh uh uh," gadis bisu dengan keadaan memelas itu kembali menggerak-gerakkan
tangannya, men-
gatakan dengan bahasa isyarat siapa dirinya.
"Aha, kau sebenarnya warga Desa Kembang Te-
bu. Kau anak dari salah seorang yang menjadi korban
kebiadaban seseorang yang kini tengah kau cari," Sena menterjemahkan setiap
gerakan yang dilakukan gadis
bisu itu. "Hm, jadi ayahmu tak salah" Ah, siapakah yang dimaksudkannya?"
"Itulah yang hendak kami bahas, Pendekar Gi-
la," sahut Suriwarni.
"Maksud dia, Ki Gagar Blarak?" tanya Ki Kalawuku. "Benar, Ki. Dia memang putri
Ki Gagar Blarak.
Sejak melihat kematian ayah, ibu serta kakaknya,
Murni langsung menjadi bisu," tutur Suriwarni.
"Jadi anak Ki Gagar Blarak masih ada yang hi-
dup?" tanya Ki Kalawuku dengan mata membelalak, seakan tak percaya dengan apa
yang didengarnya.
"Bukankah dulu seluruh keluarga Ki Gagar Blarak ma-ti terbakar?"
"Tidak, Ki. Hanya Ki Gagar Blarak dan istri ser-ta kakak Murni yang terbakar,
sedangkan Murni sen-
gaja kuselamatkan untuk menjadi saksi hidup," tutur Suriwarni.
"Saksi hidup...?" tanya Ki Kalawuku semakin berlipat keningnya.
"Ya, saksi hidup," jawab Suriwarni.
"Apa maksudmu...?" tanya Ki Kalawuku.
"Nanti akan kujelaskan, Ki. Kini, sepantasnya-
lah kita saling berkenalan lebih dahulu. Kalau Pendekar Gila, aku sudah kenal.
Siapakah kisanak sebenar-
nya...?" tanya Suriwarni pada Ki Kalawuku.
"Namaku Kalawuku, dan selama ini menjadi
jawara Ki Legok Menggo," jelas Ki Kalawuku memperkenalkan dirinya.
Bayangan Bidadari mengangguk-anggukkan
kepala mendengar penuturan Ki Kalawuku. Dihelanya
napas dalam-dalam. Matanya memandang lepas ke
atas. "Kita semua menjadi korban dari kebiadaban seseorang. Kita juga hendak
diadu domba olehnya,"
desah Suriwarni lirih dengan wajah masih menenga-
dah. Kening Ki Kalawuku mengerut, mendengar pe-
nuturan Suriwarni. Matanya membelalak, menatap ta-
jam wajah Bayangan Bidadari. Sepertinya, dia hendak
menegaskan betul tidaknya kata-kata itu.
"Maksudmu, Nini...?"
"Ya, tanpa kita sadari, selama ini kita telah diadu domba orang yang memiliki
hasrat besar menggu-
lingkan Ki Legok Menggo," desah Suriwarni.
"Aku semakin tak mengerti," tukas Ki Kalawu-ku.
"Aha, aku juga, Ki. Hi hi hi.... Kalau boleh ku tahu, bisakah Nini menjelaskan
apa yang sebenarnya
telah menimpa Desa Kembang Tebu?" pinta Sena dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Bayangan Bidadari menghela napas dalam-
dalam. Pandangannya kini beralih ke wajah Murni
yang hanya diam tenang duduk di sampingnya.
"Bocah malang inilah sebagai saksi utama. Tapi
baiklah, agar kalian tak bingung, aku akan menceritakan semua yang sebenarnya
terjadi...."
Semua terdiam menarik napas dalam-dalam.
Lalu Suriwarni pun membuka ceritanya.
Lima tahun yang silam, hiduplah keluarga yang
tenang dan damai. Keluarga Gagar Blarak dan istrinya yang bernama Dewi Gendri
Meni itu memiliki dua
orang anak. Yang satu lelaki bernama Trajusati dan
seorang lagi, gadis yang waktu itu berusia sekitar sepuluh tahun, bernama Murni.
Kebahagiaan keluarga Gagar Blarak, rupanya
membuat orang yang dengki berusaha menghancur-
kannya. Gagar Blarak tiba-tiba difitnah sebagai anggo-ta Gerombolan Bajul Ireng.
Padahal dia sebenarnya
pendekar yang gigih dalam menegakkan kebenaran
dan keadilan. Hanya saja Gagar Blarak tidak sombong, sehingga dalam bergerak
selalu sembunyi-sembunyi,
dengan harapan tak seorang pun tahu kalau dirinya
seorang pendekar.
Pada mulanya tak seorang pun tahu kalau Ga-
gar Blarak seorang pendekar. Hanya Bayangan Bida-
dari yang memang sebagai kerabat dekat mengeta-
huinya. Namun lama kelamaan, ternyata kependeka-
rannya tercium seorang yang sebenarnya anggota Ge-
rombolan Bajul Ireng.
Seorang anggota Gerombolan Bajul Ireng yang
perkumpulannya dibubarkan dan diobrak-abrik Gagar
Blarak, berusaha membalas dendam. Dengan usa-
hanya yang licik, Gagar Blarak akhirnya dapat difit-
nah. Semua orang menuduh Gagar Blarak anggota Ge-


Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rombolan Bajul Ireng. Keluarga Gagar Blarak dihukum
bakar. Beruntung Murni yang bersembunyi dapat dis-
elamatkan Bayangan Bidadari.
"Begitulah ceritanya," ujar Suriwarni mengenai Gagar Blarak dan gadis bisu
bertubuh bungkuk. "Apakah kalian sudah jelas?"
"Kurang ajar sekali," gumam Ki Kalawuku.
"Siapakah yang telah melakukan semuanya?"
"Itu yang sedang kami selidiki," sahut Suriwarni.
*** Keheningan melintas di antara mereka ketika
pembicaraan dihentikan sesaat. Hanya tingkah laku
Pendekar Gila yang menjadi perhatian kelima orang di ruangan gubuk itu. Tingkah
laku Pendekar Gila memang mengundang hati mereka tersenyum, karena lu-
cu dan konyol. "Aha, aku ada akal!" seru Sena tiba-tiba, menyentakkan semua yang ada di tempat
itu. Seketika mata mereka kembali menatap Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Kita harus memancing orang laknat
itu keluar dari Desa
Kembang Tebu."
"Hm, usul yang bagus," sambung Ki Wulung.
"Ya, hanya dengan cara itu kita bisa tahu siapa sebenarnya biang dari semua
kejahatan di Desa Kembang Tebu," sambung Ki Kalawuku. "Aku akan membantu. "
"Ya. Kau memang sangat diperlukan, Ki. Kare-
na menurut pengamatanku, kini jahanam itu hendak
bertujuan menggulingkan Ki Legok Menggo," tutur Suriwarni. Mata Ki Kalawuku
terbelalak, mendengar penuturan Bayangan Bidadari. Sama sekali tidak disang-
kanya kalau Ki Legok Menggo menjadi sasaran utama
pembunuhan di desanya.
"Benarkah apa yang kau katakan, Nini?" tanya Ki Kalawuku memastikan.
"Tak ada gunanya aku berdusta, Ki."
"Hm, kurang ajar sekali. Jelas ini tak boleh di-biarkan!" geram Ki Kalawuku
sambil mengepalkan tangan kanannya. "Kalau saja aku tahu siapa orangnya, ingin
rasanya lehernya kupuntir!"
Bayangan Bidadari tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala, mendengar ucapan Ki Kalawu-
ku. "Tak mungkin, Ki. Aku tahu bagaimana sak-
tinya Ketua Gerombolan Bajul Ireng. Sulit bagi orang seperti kita menghadapinya.
Entah jika Pendekar Gila turut serta," desis Suriwarni.
"Jadi, dia Ketua Gerombolan Bajul Ireng...?" Ki Kalawuku terkejut. Matanya
membelalak, memandang
wajah Suriwarni yang menganggukkan kepala.
"Itu sebabnya aku selalu berusaha mencari
Pendekar Gila. Bukannya aku merendahkan kepan-
daianmu, Ki. Tapi menurut kata-kata guruku; orang
yang sebanding dengan Ketua Gerombolan Bajul Ireng
hanyalah Pendekar Gila," tutur Suriwarni.
"Hi hi hi.... Kau terlalu menyanjung nama Pen-
dekar Gila, Nini Ah ah ah.... Kurasa tak sepantasnya aku menerima sanjungan yang
terlalu berlebihan itu.
Aku belum seberapa dibandingkan dengan kalian yang
namanya cukup kondang," kata Sena merendah.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Pendekar Gi-
la!" desah Suriwarni. "Namun aku berkata sejujurnya, sesuai dengan pesan
mendiang guruku yang mengatakan, bahwa satu-satunya orang yang mampu menan-
dingi ilmu Bajul Ireng hanyalah Pendekar Gila, yang
tentunya Kakang."
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan, ke-
mudian kepalanya menggeleng-geleng
"Baiklah, kini kita teruskan pembicaraan kita!"
ajak Sena mengalihkan pembicaraan ke pokok masa-
lah semula. Bayangan Bidadari menghela napas panjang.
Kemudian pandangan matanya diarahkan pada Ki Wu-
lung dan istrinya, membuat lelaki tua dan istrinya ter-tunduk.
"Perlu juga kuperkenalkan pada kalian, sebe-
narnya Ki Wulung dan Nyi Wulung ini teman-temanku.
Keduanya memang sengaja tinggal di Desa Kembang
Tebu untuk menyelidiki masalah Gerombolan Bajul
Ireng. Ki Wulung sebenarnya berjuluk Pendekar Lu-
tung Sakti. Sedangkan Nyi Wulung tiada lain Dewi Te-
ratai Ungu."
Pendekar Gila tersentak, apalagi Ki Kalawuku,
setelah mendengar siapa sebenarnya dua orang tua
yang tampaknya lemah dan tak berdaya itu. Mereka
ternyata dua orang tokoh persilatan yang cukup ter-
kenal dan disegani.
"Aha, sungguh mataku yang masih muda ru-
panya telah lamur," gumam Sena. "Ada gunung menju-lang tinggi di hadapanku,
sampai aku tak tahu. Teri-
malah hormatku, Pendekar Lutung Sakti."
"Ah, tak apa. Aku lebih suka dipanggil Ki Wu-
lung," sahut Ki Wulung dengan bibir mengurai senyum.
"Maafkan segala kesalahanku, Pendekar Lutung
Sakti," ujar Ki Kalawuku.
"Ah, semua telah ku maafkan. Semua memang
bukan salah kita. Seandainya tak ada si Bajul Ireng, tak mungkin kita akan dalam
keadaan seperti ini. Tapi selama ini, belum juga aku dapat menemukannya,"
gumam Ki Wulung.
"Ya, mereka memang sengaja berpura-pura se-
perti orang tak waras dan lemah. Hal itu untuk mena-
rik perhatian Bajul Ireng, sehingga tak merasa dimata-matai. Namun rupanya Bajul
Ireng sangat cerdik dan
licik, dia mampu melihat keadaan...," gumam Suriwarni.
"Aha, aku ada pendapat. Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan.
"Apakah itu?" serentak mereka bertanya.
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Mengapa kita tiba-tiba menjadi orang bodoh...?" tanya
Sena, membuat semua mata kembali memperhatikannya. "Kita benar-benar bodoh,
melebihi kerbau! Hua ha ha...!"
Kening kelima orang yang berada di tempat itu
berkerut mendengar kata-kata Pendekar Gila. Mata
mereka menyipit, tak mengerti maksud ucapan Pende-
kar Gila. "Pendekar Gila, katakanlah apa maksudmu?"
selak Suriwarni, mengharap Pendekar Gila mau menje-
laskan maksud ucapannya.
Pendekar Gila tertawa cekikikan. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Selama ini kalian memang telah di-perdaya dan hendak diadu domba
Bajul Buntung. Eh,
Bajul Ireng. Hi hi hi.... Lucu sekali."
Kelima orang yang hadir di tempat itu semakin
mengerutkan kening. Mereka belum juga memahami
apa maksud Pendekar Gila sebenarnya.
"Apakah kalian tak ingat, kejadian yang telah
melanda Desa Kembang Tebu akhir-akhir ini...?" tanya Sena sungguh-sungguh.
"Hei, benar...!" seru Ki Wulung.
"Ya ya, aku ingat," sambut Ki Kalawuku.
"Aha, syukurlah! Nah, kematian demi kematian
terus melanda Desa Kembang Tebu. Dan selalu saja
kalian tak dapat menangkap pelakunya, bukan?"
"Benar," jawab Ki Kalawuku. "Bukankah pelakunya yang selalu menolong Ki Wulung?"
"Aha kurasa tidak. Kupikir ada orang yang
memperalat seseorang untuk melakukan semuanya...,"
tutur Sena. "Ah, benar!" seru Nyi Wulung atau Dewi Teratai Ungu. "Kudengar pelaku pembunuhan
itu gadis bungkuk dan bisu yang mengenakan pakaian sama dengan
yang dipakai Murni. Aku pun sempat bingung juga
dengan apa yang kudengar, karena kukira Murni pela-
kunya." "Hi hi hi..... Lucu...!" gumam Sena. "Aha, kita kini telah menemukan
jalannya. Kita tinggal memancing gadis bisu yang kurasa diperalat seseorang.
Kalau kita bisa menangkapnya, kurasa rahasia gadis bisu
akan tersingkap."
Semua mengangguk-anggukkan kepala, seperti
membenarkan gagasan Pendekar Gila. Memang mereka
pun mendengar kalau pelaku dari semuanya tak lain
seorang gadis bisu bertubuh bungkuk.
"Bagaimana kalau nanti malam kita mengada-
kan penyelidikan?" tanya Ki Kalawuku.
"Tepat!" sambut Suriwarni. "Ki Kalawuku sebi-sanya menjaga Ki Legok Menggo dari
ancaman maut Bajul Ireng. Aku dan Murni akan berusaha mengha-
dang gadis bisu. Sedangkan Pendekar Gila dan Ki Wu-
lung serta Nyi Wulung, kami harap kalian bersiap-
siap!" "Aha! Tanpa diminta, aku telah siap. Hi hi hi...!
Nanti malam kita akan pesta memburu Bajul Buntung.
Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ya! Kita harus cepat, agar jangan sampai Bajul Ireng mendahului kita. Korban
kekejiannya sudah cukup banyak," gumam Ki Wulung.
"Aku tak habis pikir, mengapa masih saja ada
orang yang bermaksud buruk pada Ki Legok Menggo.
Padahal Ki Legok Menggo baik dan bijaksana. Hanya
sayang, dia dapat dipengaruhi adik sepupunya."
Tersentak semuanya mendengar penuturan Ki
Kalawuku. Lebih-lebih Pendekar Gila.
"Aha, kini sudah jelas!"
"Apa maksudmu, Pendekar Gila?" tanya Suri-
warni. "Tentunya Bajul Buntung itu tak lain adik sepupu Ki Legok Menggo."
"Maksudmu Soma...?" hampir serentak mereka menegaskan.
"Hi hi hi.... Ternyata otak kalian masih encer, tidak seperti kerbau. Hua ha
ha...!" Semua mata terbelalak, kemudian saling pan-
dang mendengar penuturan Pendekar Gila. Lalu mere-
ka turut tertawa, setelah membenarkan apa yang dika-
takan Pendekar Gila.
"Hm, kita harus hati-hati menghadapi Soma,"
ujar Ki Kalawuku. "Pantas.... pantas kalau dia selalu berusaha mengatur
semuanya."
"Nanti malam, kita harus bergerak. Ingat apa
yang telah kukatakan," tegas Suriwarni.
"Ya!" sahut semuanya, hampir bersamaan.
*** 8 "Celaka, Diajeng. Kita tak mungkin terus-
menerus menahan sabar...," ujar Ki Soma dengan
langkah cepat masuk ke rumahnya. Wajahnya diliputi
amarah. Nafasnya mendengus bagaikan banteng terlu-
ka. "Ada apa lagi, Kakang?" tanya Nyi Writampi yang baru keluar dari dalam rumah
ketika mendengar
suara suaminya.
"Kudengar kabar, kalau Ki Kalawuku hilang.
Hm, ini sangat berbahaya, Diajeng. Rencana kita bisa gagal," desis Ki Soma masih
kelihatan gelisah. "Terpaksa kita harus melakukannya sekarang."
"Sabar, Kakang! Memang tak ada orang yang
bisa mengalahkan kita. Namun apakah tindakan kita
tak membuat orang tahu kalau kita yang telah meren-
canakan semua ini?" tanya Nyi Writampi berusaha menyabarkan suaminya.
Wanita berusia empat puluh tahun yang masih
tampak cantik itu mencoba tersenyum. Dia berusaha
menenangkan kegelisahan dan kemarahan suaminya.
Hatinya memang membenarkan apa yang dikatakan Ki
Soma. Dengan lenyapnya Ki Kalawuku, bukan tak
mungkin rahasia mereka dapat terbongkar. Hal itu jika Ki Kalawuku memang masih
hidup dalam sandera pihak yang tak menyukai mereka.
"Apakah kau sudah yakin kalau Ki Kalawuku
masih hidup?" tanya Nyi Writampi dengan tangan ber-gelayut di pundak suaminya.
Matanya yang lentik,
memandang penuh arti ke wajah Ki Soma.
"Ya."
"Kau sudah menyelidikinya?"
"Ya. Di hutan tak kutemukan mayatnya. Yang
ada hanya sepuluh pengikutnya," jawab Ki Soma.
Nyi Writampi terdiam, dengan mata masih me-
natap tajam wajah suaminya. Kemudian dihelanya na-
pas panjang. Kakinya melangkah meninggalkan sua-
minya, lalu duduk di kursi ruang tamu. Matanya kem-
bali menatap pada Ki Soma.
"Kurasa dia tak akan sepintar itu, Kakang," ka-tanya setengah bergumam.
"Maksudmu...?" tanya Ki Soma seraya memba-
likkan tubuh dan melangkah mendekati kursi tempat
istrinya duduk dan tersenyum manis. Senyum yang
membuat Ki Soma mabuk kepayang. Lelaki berusia se-
tengah baya itu pun segera menarik kursi di depan istrinya, lalu duduk. Wajahnya
tampak masih belum te-
nang. Nyi Writampi tersenyum lebar. Kepalanya dige-
leng-gelengkan, seakan mengatakan kalau dirinya tak
yakin Ki Kalawuku mengetahui rahasia mereka. Sebab
Ki Kalawuku merupakan orang baru di Desa Kembang
Tebu. "Kau harus ingat, Kakang. Dia orang baru di Desa Kembang Tebu ini.
Bagaimana mungkin Ki Kalawuku tahu semuanya?" ungkap Nyi Writampi dengan bibir
tersenyum dan kepala menggeleng-geleng, tak yakin dengan pendapat suaminya.
Ki Soma terdiam, dia pun berpikiran begitu.
Namun entah mengapa dari pagi hatinya gelisah. Se-
pertinya ada sesuatu yang ditakutkan.
"Yang perlu kita pikirkan sekarang, Ki Anom
Purbo. Dialah yang telah mengetahui siapa kita, Ka-
kang." "Hm...," gumam Ki Soma tak jelas. Kepalanya manggut-manggut, seperti
memahami ucapan istrinya.
"Memang benar, dialah yang tahu semuanya. Aku pun mengkhawatirkan Ki Anom Purbo
akan membuka ra-
hasia kita."
"Bukankah dia telah kita ancam" Lagi pula, an-
tara kita dengannya masih ada sangkut paut yang tak
mungkin dilepaskan begitu saja. Kau ingat, Ki Anom
Purbo bersumpah pada leluhur kita untuk tak saling
menjatuhkan...?" ujar Nyi Writampi berusaha menenangkan hati suaminya.
"Hhh...! Namanya manusia, Diajeng. Manusia
tak bisa dipercaya," dengus Ki Soma.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
"Kita singkirkan Ki Anom Purbo, sebelum raha-
sia kita terbongkar!"
"Kau takut rahasia kita terbongkar?"
"Takut..." Hua ha ha...! Bajul Ireng tak pernah takut pada siapa pun, Diajeng."
"Kalau memang tak takut, mengapa kau geli-
sah" Empat orang pendekar yang memihak pada Legok
Menggo telah kita singkirkan. Kini tinggal bagaimana kita menyusun rencana
selanjutnya," tutur Nyi Writampi. "Hm, benar apa yang kau katakan, Diajeng. Ki-


Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ta tinggal menyusun rencana selanjutnya. Dan satu
orang lagi yang harus kita singkirkan, tinggal Ki Anom Purbo," dengus Ki Soma.
"Bagaimana kalau secepatnya saja, Kakang?"
saran Nyi Writampi.
"Maksudmu?"
"Kita bagi kerja kita. Kau bereskan Ki Legok
Menggo, dan aku bersama Srindi menyingkirkan Ki
Anom Purbo! Bagaimana, Kakang?" tanya Nyi Writampi masih dengan senyum
mengembang di bibirnya.
"Benar juga pendapatmu, Diajeng. Itu memang
cara yang paling baik. Kita memang harus segera me-
nyingkirkan mereka. Aku setuju dengan pendapatmu,"
sahut Ki Soma tersenyum bangga, merasa istrinya
memiliki pikiran yang pintar.
"Kalau begitu, sebaiknya kita persiapkan semu-
anya, Kakang!"
"Ya! Panggil Srindi," perintah Ki Soma. Nyi Writampi segera berlalu meninggalkan
ruang tamu, me-
langkah masuk ke sebuah kamar yang pintunya tertu-
tup rapat. Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar. Se-
ketika bau kemenyan dan aroma kayu cendana me-
nyengat hidungnya...
Kamar itu gelap, sehingga sulit untuk melihat
apa yang di dalam. Namun Nyi Writampi tampaknya
sudah terbiasa masuk ke dalam kamar itu. Perempuan
berusia hampir setengah baya ini tahu persis letak setiap benda yang ada di
kamar itu. Itu sebabnya Nyi
Writampi tak menabrak sesuatu apa pun, walau me-
langkah dalam keadaan gelap gulita, tanpa setitik cahaya. "Srindi...!" desis Nyi
Writampi memanggil seseorang. "Uuu...!"
Terdengar suara keluhan panjang dari dalam
kamar itu, yang tampaknya berasal dari tempat tidur.
Kemudian nampak kilatan sepasang mata menatap
wajah Nyi Writampi.
"Srindi, kau bersiaplah! Nanti malam kita akan
melakukan semua rencana kita. Kau dan aku me-
nyingkirkan Ki Anom Purbo. Sedangkan Kakang Soma
akan menyingkirkan Legok Menggo tolol itu. Dan se-
bentar lagi kita pun akan menjadi orang yang bebas.
Kita akan dapat berbuat sesuka hati...."
"Uuu...!"
Belum habis ucapan Nyi Writampi, tiba-tiba
Srindi melolong.
"Ada apa, Srindi?" tanya Nyi Writampi.
"Uuu! Ha ha...! Uuu...!"
Blug, blug, blug!
Sosok yang dipanggil Srindi menepuk dadanya,
seolah-olah bermaksud mengatakan sesuatu.
"Oh, maaf. Aku lupa, Srindi! Aku tak ingat ka-
lau kau bukan manusia," pinta Nyi Writampi.
"Uh uh uh...!"
Kembali terdengar suara makhluk yang dipang-
gil Srindi. Matanya yang berkilatan bagaikan menyim-
pan api dari neraka, kini berbinar-binar.
"Ya ya ya...! Meskipun kau bukan manusia,
kami menganggapmu sebagai kerabat, Srindi. Kaulah
yang telah banyak membantu kami. Maka itu, kami
begitu menyayangimu. Kau bersiaplah, nanti sore kita harus siap!"
"Uuu...!"
Setelah memberitahukan pada makhluk yang
dipanggil Srindi, Nyi Writampi ke luar. Ditutupnya pintu kamar itu rapat-rapat,
lalu melangkah ke ruang depan, menemui suaminya.
"Bagaimana, Diajeng?" tanya Ki Soma.
"Dia siap, Kakang."
"Bagus! Kita memang harus secepatnya menye-
lesaikan tugas kita."
Suami istri itu tertawa-tawa senang, mem-
bayangkan apa yang kelak akan terjadi. Membayang-
kan bagaimana mereka akan menjadi Kepala Desa
Kembang Tebu yang ditakuti dan disegani penduduk.
"Tercapailah cita-cita kita. Dengan begitu, bu-
kankah kita akan terlepas dari pengejaran pihak kerajaan?" gumam Ki Soma dengan
wajah ceria. "Benar, Kakang. Akhirnya kita dapat terbebas
dari kejaran pihak kerajaan. Legok Menggo tolol, sejak kapan kita jadi adik
sepupunya" Hi hi hi...!" tawa Nyi Writampi mengikik menyeramkan.
*** Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa,
malam telah menggantikan siang. Suasananya pun be-
rubah, terik mentari yang terang-benderang berganti
dengan kegelapan yang disertai hawa dingin.
Di tengah kegelapan, melesat cepat tiga sosok
tubuh. Satu menuju selatan, sedangkan dua lainnya
melesat ke timur Desa Kembang Tebu. Ketiga bayan-
gan yang tak lain Ki Soma dan istrinya serta Srindi itu bermaksud menjalankan
rencana mereka.
Ki Soma kini melesat ke rumah Ki Legok Meng-
go. Sedangkan Nyi Writampi dan Srindi berlari ke ru-
mah Ki Anom Purbo.
Sementara itu, Pendekar Gila dan rekan-
rekannya pun telah mempersiapkan diri. Pendekar Gila telah siap dengan Ki Wulung
berjaga di sekitar rumah Ki Legok Menggo. Sebelumnya Ki Kalawuku telah kembali
dan memberitahukan pada Ki Legok Menggo agar
waspada. Malam ini udara terasa sangat dingin. Dan pen-
jaga rumah Ki Legok Menggo menggigil, merasakan
hawa dingin yang terasa menusuk tulang sumsum.
Di dalam rumah, Ki Legok Menggo dan Ki Kala-
wuku belum tidur. Keduanya kini tengah berbincang-
bincang di ruang depan.
"Tak kusangka, kalau Soma akan berbuat keji,"
gumam Ki Legok Menggo setelah mendengar penutu-
ran Ki Kalawuku. Matanya memandang dengan tata-
pan sendu. "Jadi Soma itu Ketua Gerombolan Bajul Ireng?" "Benar, Ki," sahut Ki
Kalawuku. "Dari mana kau tahu, Kalawuku?"
"Pendekar Gila yang memberitahukan padaku."
"Pendekar Gila?" pekik Ki Legok Menggo kaget.
"Benar, Ki."
"Jadi Pendekar Gila ada di sini...?" tanya Ki Legok Menggo dengan kening
berkerut. "Benar, Ki."
"Untuk apa...?" tanya Ki Legok Menggo belum mengerti.
"Mulanya hanya lewat. Tapi setelah mengetahui
di desa ini ada sesuatu yang tak beres, Pendekar Gila pun menyelidiki dan
berusaha mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya dia melihat se-
buah bayangan gadis bungkuk yang habis membunuh
Ki Prastabu," tutur Ki Kalawuku.
"Bukankah pelakunya orang yang menjadi sa-
habat Ki Wulung?"
"Bukan, Ki. Ki Wulung dan Nyi Wulung ternyata
Pendekar Lutung Sakti dan Dewi Teratai Ungu."
"Apa"! Mereka ada di sini"! Jadi mereka tokoh-
tokoh persilatan?" gumam Ki Legok Menggo dengan mata semakin membelalak, setelah
mendengar penuturan Ki Kalawuku. "Tak kusangka kalau Bajul Ireng berada di desa
ini. Pantaslah kalau tokoh-tokoh persilatan banyak yang datang ke desa ini."
"Begitulah keadaannya, Ki."
"Di mana mereka?" tanya Ki Legok Menggo.
"Mereka sedang berjaga di sekitar rumah ini,
Ki." "Hm...," gumam Ki Legok Menggo seraya menganggukkan kepala.
Tiba-tiba keduanya tersentak ketika terdengar
suara jeritan menyayat dari dua orang penjaga.
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!"
Mata Ki Legok Menggo membelalak tegang,
mendengar jeritan kematian dari dua penjaga rumah-
nya. "Dia datang, Ki!"
"Siapa...?" tanya Ki Legok Menggo dengan mata masih membelalak.
"Soma," jawab Ki Kalawuku.
"Bangsat! Rupanya dia mencari mati!" dengus Ki Legok Menggo sambil melesat
keluar hendak menemui Ki Soma, diikuti sang Jawara.
"Ha ha ha...! Akhirnya semuanya akan berak-
hir, Legok Menggo! Malam ini, kau harus kusingkirkan ke akherat!" kata Ki Soma
dengan pongah dan sombong. Matanya memandang tajam wajah Ki Legok
Menggo dan Ki Kalawuku yang mendengus sengit.
"Keparat! Rupanya kaulah iblis busuk itu!"
dengus Ki Legok Menggo marah. "Jangan kira semudah itu kau menyingkirkanku,
Siluman Busuk!"
"Ha ha ha...! Apa susahnya menyingkirkanmu,
Orang Tua Tolol! Seperti membalikkan telapak tangan
saja, bukan"!" seru Ki Soma dengan suara angkuh.
"Hua ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggema,
mengiringi habisnya perkataan Ki Soma, membuat Ki
Soma tersentak kaget.
Kemudian terdengar lagi ucapan mengejek.
"Jadi, inikah orangnya yang berjuluk Bajul Buntung itu" Hua ha ha...!"
Ki Soma tersentak kaget, lalu membalikkan tu-
buh menatap ke asal suara itu. Dari pepohonan yang
tumbuh di sekeliling rumah Ki Legok Menggo, melom-
pat dua sosok bayangan yang dalam sekejap telah ber-
diri di hadapan Ki Soma.
"Selamat datang, Pendekar Gila," sapa Ki Kalawuku setelah melihat Sena dan Ki
Wulung yang sejak
tadi sore telah berjaga-jaga dan mengawasi sekeliling rumah Ki Legok Menggo.
"Kau..."!" membelalak mata Ki Soma menden-
gar sapaan Ki Kalawuku, karena tahu kalau Pendekar
Gila ada di tempat itu. Matanya menatap dua orang
yang telah berada di hadapannya. Seorang lelaki tua
bertubuh kecil pendek dengan kumis lebat. Sedangkan
yang satu seorang pemuda tampan dengan pakaian
rompi kulit ular, yang bertingkah laku seperti orang gi-la.
"Hi hi hi...! Lucu sekali wujudmu, Bajul Bun-
tung! Mengapa tidak berekor" Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan
badan terbungkuk-
bungkuk. Tangannya menunjuk wajah Ki Soma yang
kian me-merah. "Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!"
bentak Ki Soma marah. Matanya semakin lebar melo-
tot sengit menatap Pendekar Gila yang masih tertawa-
tawa dengan suara yang menggema di sekeliling tem-
pat itu. "Hua ha ha...! Aneh..., aneh sekali! Ada bajul buntung yang berbentuk
manusia. Padahal dari dulu,
yang namanya bajul bentuknya seperti buaya! Hi hi
hi...!" Sena berusaha memancing amarah Ki Soma agar benar-benar marah. Tangannya
menggaruk-garuk kepala sambil berjingkrakan seperti seekor kera kegirangan.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Kubunuh kalian!
Heaaa...!"
Sambil menggemerutukkan gigi karena marah,
Ki Soma merangsek Pendekar Gila. Kedua tangannya
terangkat dengan kuku membentuk cakar yang kuat.
"Hi hi hi...! Minggir, Ki!"
Sambil cekikikan, Pendekar Gila bergerak men-
gelakkan serangan yang dilancarkan Bajul Ireng. Tu-
buhnya melenting ke udara, berjumpalitan sebentar,
kemudian mendarat ringan di tanah.
Ki Wulung pun melakukan hal yang sama, ber-
jumpalitan seperti seekor lutung, kemudian dengan
enak dan ringan mendarat di tanah.
"Hi hi hi..!" Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala. "Hati-hati, Ki."
"Oho, izinkan aku main-main sebentar dengan
Bajul Ireng ini, Pendekar Gila!" pinta Ki Wulung.
"Aha! Silakan, Ki!" sahut Sena.
"Bajul Ireng, akulah lawanmu!" seru Ki Wulung seraya melompat menghadang di
depan Ki Soma. *** Merasa diremehkan Ki Wulung dan Pendekar
Gila, Ki Soma semakin bertambah marah. Dengan
mendengus marah, Ki Soma pun melesat menyerang Ki
Wulung. "Orang tua edan! Kau harus kubunuh!
Heaaa...!"
Dengan jurus 'Bajul Membuka Mulut Mener-
kam Lawan' Ki Soma melesat menyerang Ki Wulung.
Kedua tangannya yang membentuk cakar, bergerak
susul-menyusul, berusaha mencakar dan mengoyak-
ngoyak tubuh Ki Wulung.
Wut! "Ets!"
Dengan cepat Ki Wulung melompat ke samping
kiri, kemudian dengan mengegoskan tubuh, kaki ka-
nannya diangkat dan menendang dada lawan. Gerakan
kaki Ki Wulung sangat cepat, menimbulkan desisan
angin yang terasa menyentak.
Wrt! "Hups!"
Ki Soma tersentak kaget. Dengan cepat dia me-
lompat mundur, lalu segera memburu Ki Wulung. Tan-
gan kanannya kini membentuk pukulan, sedangkan
tangan kirinya dengan jari-jari menyatu membentuk
tusukan yang keras. Itulah jurus 'Grah Brada', sebuah jurus yang mengandalkan
kekuatan pukulan dan tusukan jari-jari tangan.
"Heaaa...!"
Susul-menyusul gerakan tangan Ki Soma me-
nyerang ke bagian tubuh Ki Wulung. Pukulan dan tu-
sukan tangannya begitu cepat dan beruntun. Hal itu
membuat Ki Wulung harus melompat dan berjumpali-
tan di udara untuk mengelakkan serangan-serangan
yang dilakukan Ki Soma. Dengan menggunakan jurus
'Lutung Mabuk' Ki Wulung terus bergerak mengelak-
kan serangan-serangan gencar yang dilancarkan Ki
Soma. "Hancur tubuhmu, Tua Bangka Edan! Hih...!"
Ki Soma semakin bernafsu untuk segera mem-
bunuh Ki Wulung. Pukulan-pukulan serta tusukan jari
tangannya deras menghunjam ke tubuh lawan dengan
tenaga dalam yang tinggi. Angin pukulan dan tusukan
tangannya terdengar menderu, menyentakkan Ki Wu-
lung yang seketika membelalakkan mata.


Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wrt! "Edan!" maki Ki Wulung sambil melompat ke
belakang. Namun Ki Soma yang sudah gelap mata dan
marah tak mau melepaskan lawannya begitu saja. Se-
rangannya terus memburu Ki Wulung yang tampak
semakin kewalahan.
Baru angin pukulannya saja, Ki Wulung mera-
sakan hawa panas yang menyengat. Apalagi jika terke-
na pukulan atau tusukan tangan Ki Soma. Tentunya
tubuh Ki Wulung yang kecil dan kurus itu dapat re-
muk tulang-belulangnya.
"Heaaa...!"
"Heits!"
9 Ki Wulung semakin terdesak hebat menghadapi
gempuran-gempuran beruntun yang dilancarkan Ki
Soma. Orang tua itu kini hanya bisa berkelit ke samping atau bersalto ke
belakang. Tidak ada kesempatan
baginya untuk dapat membalas serangan-serangan
yang dilancarkan Ki Soma.
"Tamatlah riwayatmu, Orang Tua Gila!" dengus Ki Soma sambil memburu tubuh Ki
Wulung yang kian
bertambah terdesak. Tangan kanannya memukul den-
gan kekuatan tenaga dalam penuh ke tubuh Ki Wu-
lung. "Celaka!" pekik Ki Wulung dengan mata melotot, menyaksikan pukulan lawan
yang deras dan cepat.
"Mati aku...!"
Wrt! Ki Wulung benar-benar dalam ancaman maut.
Keadaannya semakin tak menguntungkan lagi untuk
mengelak. Serangan Ki Soma begitu gencar dan susul-
menyusul, tak memberi kesempatan sedikit pun kepa-
da Ki Wulung. Jangankan untuk membalas serangan,
mengelak pun kini rasanya semakin sulit bagi Ki Wu-
lung. "Heaaa...!"
"Mati aku!"
Pukulan yang dilancarkan Ki Soma menderu
keras ke arah Ki Wulung. Ketika pukulan itu hampir
saja menghantam dada Ki Wulung. Tiba-tiba....
"Heaaa...!"
Pendekar Gila melesat cepat memapak seran-
gan tangan Ki Soma.
Wut! Plak...! Benturan keras terjadi, ketika tangan Ki Soma
yang hampir mendarat di dada Ki Wulung dipapak
tangan Pendekar Gila. Tubuh Ki Soma seketika terdo-
rong beberapa langkah ke belakang. Nafasnya men-
dengus geram menyaksikan serangannya yang hampir
saja menewaskan Ki Wulung digagalkan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Kau benar-benar mencari mam-
pus, Bocah Gila!" dengus Ki Soma sengit.
"Hua ha ha...! Begitu marahnya kau, Bajul
Buntung!" ejek Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. "Bedebah! Kau memang
harus secepatnya kuki-rim ke akherat, Bocah Edan! Yeaaa...!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa-tawa Pendekar Gila berkelit ke samping, tubuhnya
meliuk laksana menari.
Kemudian tangannya bergerak menepuk ke dada la-
wan. "Hih...!"
"Eits! Yeaaa...!"
Ki Soma semakin beringas. Gempurannya se-
makin cepat dengan disertai tenaga dalam yang kuat,
menimbulkan angin menderu dan menyentak keras.
Melihat serangan maut itu, Pendekar Gila bergerak cepat mengelak.
"Hea!"
"Hits! Hi hi hi...! Tidak kena, Bajul Buntung!"
ledek Sena sambil terus bergerak mengelakkan seran-
gan-serangan yang dilancarkan Ki Soma.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan-
serangan gencar dan cepat yang dilancarkan Ki Soma.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali kedua tangannya bergantian
menepuk ke dada Ki So-ma.
"Yeaaa...!"
Wrt! "Heits!" Ki Soma mengegos ke samping, kemudian kaki kiri diangkat dan
ditendangkan ke tubuh
Pendekar Gila disertai tenaga dalam penuh.
"Eits! Hi hi hi...!"
Pendekar Gila meliuk-liukkan tubuhnya, men-
gelakkan serangan-serangan Ki Soma yang cepat. Te-
lapak tangannya menepuk ke dada lawan, sedangkan
kakinya menyapu dengan cepat ke kaki Ki Soma.
"Yeaaa...!"
"Eits!"
Ki Soma melompat ke atas, kemudian dengan
agak menunduk tangannya mencakar ke wajah Pende-
kar Gila. Gerakan yang tak terduga itu, membuat Pen-
dekar Gila tersentak kaget
"Edan!" maki Sena dengan mata membelalak.
Segera dia melompat mundur, lalu dengan berputar
cepat kaki kirinya menendang ke arah lawan. Kemu-
dian disusul dengan tepukan keras ke dada lawan.
Plak! Degk! Pendekar Gila tersentak kaget. Kakinya menyu-
rut dua tindak ke belakang dengan mata membeliak.
Hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat
itu. "Hah"!"
Mulut Sena melongo bengong. Kepalanya dige-
leng-gelengkan, tak percaya dengan pandangannya.
Tepukan tangannya yang mampu memecahkan kepala
banteng, kini bagaikan tak berarti sama sekali. Ki So-ma masih berdiri tegak,
bahkan kini tersenyum me-
nyeringai menunjukkan kesombongannya.
Bukan hanya Pendekar Gila yang kaget me-
nyaksikan pukulannya tak mempan, tapi semua yang
melihat pun turut terperangah dengan mata membe-
liak. Pukulan Pendekar Gila yang terkenal sakti dan
mampu menerbangkan orang, kini bagaikan tak berarti
apa-apa bagi Ki Soma.
"Ha ha ha...! Masih adakah ilmumu yang lebih
hebat Bocah Gila...?" tanya Ki Soma sombong.
"Huh! Hua ha ha...!" Sena ikut tertawa dengan tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Hebat! Hebat kau, Bajul Buntung! Kurasa kau melebihi seekor kerbau. Hi hi
hi..!" "Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah
Edan!" dengus Ki Soma marah. Nafasnya mendengus marah. Kemudian dengan cepat
kembali menyerang.
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila bergerak cepat mengelakkan se-
rangan yang dilancarkan lawan. Tubuhnya berputar ke
kiri. Kedua tangannya bergerak mencakar ke tubuh
lawan. Gerakannya yang cepat, disertai angin pukulan keras. Itulah jurus 'Si
Gila Melepas Lilitan'.
"Yeaaa...!"
Wrrr! "Haps!"
Ki Soma langsung merundukkan kepala, ketika
kedua tangan Pendekar Gila berkelebat cepat mende-
kat. Kemudian dengan cepat pula dia balas menye-
rang. Tangannya digerakkan memukul ke dada Pende-
kar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini mencengke-
ram ke wajah Pendekar Gila.
Dengan jurus 'Amukan Bajul Melanda Bumi', Ki
Soma terus menyerang gencar Pendekar Gila. Tubuh-
nya agak merunduk, memukul serta mencengkeram
dengan cepat dan susul-menyusul. Kakinya pun berge-
rak liar, menendang dan menyapu ke kaki Pendekar
Gila. "Heaaa...!"
"Yeaaa....!"
Ki Soma melontarkan pukulan keras ke dada
Pendekar Gila, disusul dengan cakaran tangan kirinya.
Dengan cepat Pendekar Gila bergerak memutar bagai-
kan melepaskan lilitan tambang. Tangannya bergerak
menyambar kepala dan dada lawan.
Trap! "Uts!"
"Hih!"
Tangan mereka saling berpegangan, bergerak
cepat ke samping kiri dan saling menyerang. Tapi tetap saja tangan lawan mampu
menangkap. Ki Soma tiba-tiba melakukan cakaran ke wajah Pendekar Gila. Na-
mun dengan cepat pula Pendekar Gila menangkapnya.
Bergantian keduanya saling serang dan tangkis dengan tangan bergenggaman.
"Heaaa!"
"Hih!"
Trap! Bukan hanya tangan yang saling serang dalam
jarak dekat. Tapi kedua kaki mereka pun bergerak ce-
pat, berusaha menyapu kaki lawan.
"Hea!"
Prak! "Hih!"
Trap! Tiga lelaki yang menyaksikan jalannya perta-
rungan antara Pendekar Gila dan Ki Soma hanya dapat
melongo bengong. Mata mereka membelalak lebar. Ke-
tiganya berusaha ingin membuktikan dan meyakinkan
dengan apa yang mereka lihat. Selama ini belum per-
nah mereka menyaksikan pertarungan dalam jarak ra-
pat dan cepat "Benar-benar bukan pendekar sembarangan,"
gumam Ki Legok Menggo dengan mata melotot me-
nyaksikan bagaimana Pendekar Gila dengan lincah
bergerak mengimbangi serangan yang dilakukan Ki
Soma. Keduanya kini tampak bukan manusia, melain-
kan seperti seekor buaya dan monyet yang bertarung!
Tubuh keduanya terus bergerak semakin cepat
ke kiri, dengan tangan dan kaki saling bergantian menyerang dan mengait kaki
lawan. Sedangkan tangan
mereka yang berpegangan dan saling kait, kini berge-
rak menyikut dan menangkis setiap serangan. Sebuah
gerakan ilmu silat tingkat tinggi kini mereka tunjukkan di hadapan Ki Legok
Menggo, Ki Kalawuku, dan Ki Wulung, yang hanya mampu bengong menyaksikan perta-
rungan kedua orang itu.
"Wah, bukan main! Baru kali ini kulihat jurus-
jurus silat yang hebat dengan gerakan-gerakan yang
lincah dan cepat," gumam Ki Wulung sambil menggeleng-gelengkan kepala, merasa
kagum. Kedua orang yang bertarung kini bergulingan di
tanah dengan tangan masih saling kait. Hanya kedua
kaki mereka yang bergerak saling tendang dan tangkis.
Tanah di halaman rumah Ki Legok Menggo se-
ketika beterbangan tersapu kaki Ki Soma dan Pende-
kar Gila. Pepohonan banyak yang tumbang. Malam
yang semula sepi, kini riuh oleh pekikan dan teriakan-teriakan membelah
kesunyian. *** Sementara itu, di rumah Ki Anom Purbo pun
tengah berlangsung pertarungan seru antara Ki Anom
Purbo yang dikeroyok dua wanita. Yang satu wanita
cantik berusia sekitar empat puluh tahun, sedangkan
satunya lagi makhluk mengerikan berwajah buaya dan
bertubuh agak bungkuk.
"Uuu...!"
"Yeaaa...!"
Dua makhluk itu melesat cepat, bergerak me-
nyerang Ki Anom Purbo dengan sengit. Sementara Ki
Anom Purbo yang tak mau mati sia-sia, dengan cepat
berkelit. Lalu dengan cepat pula lelaki tua itu balas menyerang dengan pukulan
dan babatan pedangnya
dalam jurus 'Menyapu Gelombang'.
"Yeaaa...!"
Wrt! Pedang di tangan Ki Anom Purbo bergerak ce-
pat, membabat dan menusuk dua lawannya. Tapi ge-
rakan kedua lawannya sangat cepat, sehingga seran-
gan yang dilancarkan Ki Anom Purbo hanya membabat
tempat kosong. Malah ketika keduanya balas menye-
rang, Ki Anom Purbo tampak kelabakan.
"Yeaaa!"
"Uuu...!"
Wrt! "Hih!"
Ki Anom Purbo berusaha mengelakkan seran-
gan-serangan kedua lawannya. Tubuhnya yang agak
gemuk bergerak melompat sambil merunduk, kemu-
dian balas menyerang dengan pukulan tangan kiri
yang disusul dengan sabetan pedangnya.
"Hih!"
Wrt! Meski Ki Anom Purbo telah mengerahkan selu-
ruh kepandaiannya, tapi menghadapi dua orang lawan
yang ilmunya setingkat di atasnya membuat lelaki be-
rusia sekitar lima puluh tahun itu kewalahan. Bahkan serangan-serangannya tak
satu pun yang menemui sasaran, semua dengan mudah dielakkan kedua lawan-
nya. "Heaaa...!"
"Uuu...!"
Wrt, wrt...! Kedua lawan Ki Anom Purbo semakin beringas
menyerang. Keduanya bergerak serentak, dengan tan-
gan membentuk cakar menyerang dari depan dan be-
lakang. Hal itu membuat Ki Anom Purbo semakin ke-
walahan menghadapinya. Dan....
Wrt! Dugk! "Ukh...!"


Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Anom Purbo mengeluh pendek ketika da-
danya terkena pukulan telak tangan Nyi Writampi. Tu-
buhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan bibir
meleleh-kan darah. Matanya membeliak, nafasnya ter-
sengal-sengal. "Terimalah kematianmu, Orang Tua Tolol!
Heaaa...!"
Nyi Writampi dan Srindi bergerak bersamaan
hendak mencengkeram Ki Anom Purbo yang masih
terhuyung-huyung merasakan sakit di dadanya.
"Hyang Widhi, mungkinkah malam ini kema-
tianku...?" desis Ki Anom Purbo setengah mengeluh.
Dadanya masih terasa sakit, sehingga sulit baginya
untuk bergerak selincah tadi.
"Heaaa!"
"Uuu...!"
Dua lawannya terus melesat cepat dengan ju-
rus 'Bajul Ireng Menghantam Karang' Sebuah pukulan
maut yang siap merenggut nyawa Ki Anom Purbo. Tan-
gan keduanya bergerak semakin cepat. Sesaat lagi
nyawa Ki Anom Purbo tentunya melayang terkena pu-
kulan-pukulan maut yang dilancarkan kedua lawan-
nya. Tapi.... Sesosok bayangan melesat cepat memapaki se-
rangan yang dilancarkan kedua anggota Gerombolan
Bajul Ireng itu.
"Heaaa...!"
Prak, prak! "Uuu...!"
"Aaakh...!"
Nyi Writampi dan Srindi terpekik seraya me-
lompat mundur menarik serangannya, ketika tiba-tiba
sesosok bayangan memapaki serangan mereka. Mata
keduanya terbelalak, menatap penuh kebencian pada
sesosok wanita cantik yang ternyata Suriwarni alias
Bayangan Bidadari. Sosok wanita itu berdiri di samp-
ing Ki Anom Purbo.
"Menyingkirlah, Ki! Biar aku yang menghajar
kedua makhluk iblis itu," kata Suriwarni sambil menarik pedang dari warangkanya.
Srrrk! "Akulah lawan kalian!" dengus Suriwarni.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus Nyi Writampi dengan penuh amarah. Matanya
melotot merah, seperti diliputi api membara.
"Uuu...!"
Srindi yang makhluk buaya pun nampaknya
marah, merasa ditantang perempuan cantik yang telah
menggagalkan serangan mereka. Matanya memerah,
menyorotkan sinar api yang menyilaukan.
"Heaaa...!"
"Uuu...!"
"Yeaaat...!"
Menyaksikan kedua lawannya menyerang, Su-
riwarni tak tinggal diam. Dengan cepat, tangannya
bergerak menyerang dan memapaki serangan kedua
lawannya. Pedang di tangan kanannya digerakkan
dengan cepat, membabat dan menusuk ke tubuh ke-
dua lawannya. Wuttt! Glarrr! "Heaaa.,.!"
Ledakan-ledakan dahsyat menggelegar terden-
gar, ketika jurus-jurus sakti mereka keluarkan. Diikuti suara yang membisingkan
telinga. Malam itu di halaman rumah Ki Anom Purbo bagaikan membara karena
hawa panas yang mengurung.
*** Sementara itu, di halaman rumah Ki Legok
Menggo pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ki
Soma semakin seru. Tampak tubuh keduanya melent-
ing ke udara, melayang bagai terbang. Jurus-jurus
tingkat tinggi telah mereka keluarkan untuk menja-
tuhkan lawannya.
"Heaaa...!"
"Hih! Yeaaah...!"
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Terbang
Menyambar Ayam' menukik. Kedua tangannya mem-
buat cengkeraman sekuat baja. Tubuhnya melayang
dari atas dengan kepala di bawah, menukik memburu
lawan. "Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan menyerang dari atas, Ki
Soma pun tak tinggal diam. Dia segera melesat ke atas menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Tangannya
membentuk sebuah cakaran yang tak kalah kerasnya.
Bergerak saling bergantian menyerang, mencakar ke
arah Pendekar Gila.
Dengan jurus 'Bajul Sakti Meremukkan Tulang'
Ki Soma berusaha mendahului menyerang. Kedua tan-
gannya direntang lebar-lebar, kemudian dengan men-
gerahkan tenaga dalam, jari-jarinya menghentak ke
tubuh Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
Wut! "Ikh! Setan!" maki Sena sambil menarik tubuhnya ke belakang. Serangan Ki Soma
pun hanya men- genai angin kosong.
Glarrr! Ledakan yang disertai kilatan cahaya merah ke-
luar dari kedua telapak tangan Ki Soma. Bergidik se-
mua orang yang menyaksikan kejadian itu. Mata ketiga lelaki yang menonton,
terbelalak tegang dan ngeri. Mereka tak dapat membayangkan, bagaimana jika tubuh
manusia yang terkena sasarannya. Pasti tubuh manu-
sia akan hancur menjadi debu. Mengerikan sekali!
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Bajul Buntung!
Kenapa nyamuk kau tepuk...?" ejek Sena, membuat Ki Soma bertambah marah.
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu menjadi
debu, Bocah Gila! Yeaaa...!"
Dengan amarah meluap-luap, Ki Soma kembali
melesat menyerang Pendekar Gila dengan jurus yang
sama. Jurus yang dikerahkan dengan tenaga dalam
tinggi, sehingga mampu mengeluarkan ledakan dah-
syat dan kilatan api.
"Yeaaa...!"
"Hi hi hi...!"
Dengan masih tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila pun bergerak memapaki seran-
gan lawan. Kali ini dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', Pendekar Gila
menyerang. "Hiaaa...!"
Tubuh keduanya melesat cepat, semakin lama
semakin dekat. Pendekar Gila merentangkan kedua
tangannya ke atas, kemudian menariknya ke dalam
dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
Ki Soma pun tak tinggal diam. Tangannya dige-
rakkan membentuk lingkaran di atas kepalanya. Ke-
mudian dengan jari-jari terbuka, kedua tangannya di-
letakkan di pinggang.
"Yeaaa...!"
"Hiaaa...!"
Tubuh keduanya bergerak semakin cepat dan
bertambah dekat. Kemudian setelah dekat, dengan
mengerahkan tenaga dalam mereka menghentakkan
kedua tangannya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa!"
Wusss...! Kedua tangan mereka yang mengerahkan tena-
ga dalam tingkat tinggi kini melesat maju, berusaha
saling dorong dengan kekuatan tenaga yang mereka
miliki. Prak! Glarrr! "Ukh...!"
"Akh!"
Baik Pendekar Gila maupun Ki Soma kini ter-
lempar ke belakang. Lalu keduanya bersalto di udara
beberapa kali sebelum mendarat dengan tubuh agak
terhuyung ke belakang. Mata mereka saling pandang,
seperti berusaha mengukur kekuatan lawan masing-
masing. "Ukh!"
Ki Soma mengeluh lirih, dadanya terasa sakit
akibat benturan tenaga dalam tadi. Sementara Pende-
kar Gila tergetar sesaat.
"Pendekar Gila, kini ajalmu akan tiba! Bersiap-
lah...!" seru Ki Soma.
"Hua ha ha...! Enak sekali kau bicara, Bajul
Buntung! Hi hi hi...! Kau kira mudah mencabut nyawa
orang?" ejek Sena.
"Bersiaplah untuk mampus, Pendekar Gila!
Ghrrr...!"
Ki Soma terdiam dengan telapak tangan dile-
takkan menyatu di depan dada. Matanya terpejam,
dengan mulut komat-kamit membaca sesuatu mante-
ra. Wusss! Perlahan-lahan tubuh Ki Soma berubah wujud.
Mulanya dari pantatnya keluar ekor yang pendek. Ke-
mudian semakin lama bertambah panjang. Ekornya
berduri-duri. Lalu kedua kakinya perlahan-lahan dipenuhi sisik-sisik tebal dan
keras. Kini wujud Ki Soma benar-benar telah berubah
menjadi Bajul Ireng. Wujud buaya menyeramkan!
"Heh"!"
"Ah! Ilmu siluman!" pekik Ki Wulung.
"Iblis! Rupanya dia iblis!" seru Ki Legok Menggo dengan mata terbelalak,
menyaksikan Ki Soma kini telah berbentuk seekor buaya.
"Uaaa...!"
Dengan mengeluarkan suara yang menyeram-
kan, Bajul Ireng kini melesat menyerang Pendekar Gi-
la. Tangannya yang berkuku runcing mencakar. Mu-
lutnya membuka lebar, menunjukkan gigi-giginya yang
runcing dan tajam. Ekornya bergerak, menyabet ke
sana kemari, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat.
Wuttt! Glarrr! Suasana di halaman rumah Ki Legok Menggo
seketika berubah panas. Dari lecutan-lecutan ekor Bajul Ireng, mengeluarkan hawa
panas yang menyengat
"Ilmu iblis!" rutuk Ki Kalawuku.
"Kita harus menjauh!" ajak Ki Wulung.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila...?" tanya Ki Kalawuku cemas.
"Jangan khawatirkan dia! Yang penting kita ha-
rus segera menjauh dari sini," ajak Ki Wulung sambil melompat menjauh dari
halaman rumah Ki Legok
Menggo. "Hm, ilmu iblis!" gumam Sena masih berusaha tenang menghadapi makhluk jejadian
itu. Sudah berapa kali Pendekar Gila menghadapi lawan seperti itu.
Kelelawar Iblis Merah juga merupakan lawannya yang
memiliki ilmu siluman. Kini dia tak gentar sama sekali menghadapi hal semacam
itu. "Hi hi hi...! Lucu sekali wujudmu, Bajul Buntung! Hua ha ha..!"
"Ghrrr! Ku makan tubuhmu, Pendekar Gila!
Ghrrr...!"
Bajul Ireng menyerang dengan sabetan ekor
dan cakaran tangannya ke tubuh Pendekar Gila. Na-
mun, dengan cepat Pendekar Gila melesat, mengelak-
kan serangan lawan. Kemudian dengan cepat balas
menyerang dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung
Karang' "Heaaa...!"
Glarrr! Ledakan dahsyat menggelegar, menghantam
tubuh makhluk jejadian yang menyeramkan itu. Tu-
buh Bajul Ireng terpental ke belakang, namun tak
mengalami luka-luka. Bahkan kini semakin garang
menyerang. "Ghrrr...!"
"Setan! Ilmu setan...!" maki Sena.
Sret! Pendekar Gila mengeluarkan Suling Naga Sakti
dari ikat pinggangnya, setelah merasa ilmu-ilmunya
tak mempan sama sekali menghadapi Bajul Ireng.
Dengan melompat laksana terbang, Pendekar Gila me-
nyerang Bajul Ireng. Suling Naga Saktinya bergerak
memukul ke arah lawan.
"Heaaa...!"
"Ghrrr...!"
Pletak! Bajul Ireng semakin marah, merasakan sakit
akibat gebukan Suling Naga Sakti. Geramannya sema-
kin keras. Cakaran dan sabetan ekornya pun kian
mengganas. "Ghrrr...!"
Bajul Ireng kini kian membabi-buta menyerang.
Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika porak-
poranda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana kema-
ri, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat menggele-
gar. Glarrr...! Brak! Bummm...! "Heit! Setan...!" maki Pendekar Gila sambil mengelakkan serangan ekor Bajul
Ireng. Glarrr...! Brak! Bummm...! Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika po-
rak-poranda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana kemari, menimbulkan suara
menggelegar! Pepohonan banyak yang roboh terkena sabetan
ekor Bajul Ireng. Sedangkan Pendekar Gila terus me-
lompat ke sana kemari, mengelakkan sabetan-sabetan
ekor lawan. Namun ekor Bajul Ireng bagaikan memiliki mata. Ke mana Pendekar Gila
melesat, ke situ pula


Pendekar Gila 14 Misteri Gadis Bisu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ekor Bajul Ireng memburu.
Celaka aku kalau begini terus! Keluh Sena da-
lam hati. Tak ada jalan lain. Hanya Suling Naga Saktilah lawannya. Ilmuku tak
mampu menghadapi Bajul
Ireng itu. Pendekar Gila kembali melompat mengelakkan
serangan ekor Bajul Ireng yang menghantam ke tu-
buhnya. "Heit! Setan....!" maki Sena.
Pletak! Brak! Bummm...! Rumah Ki Legok Menggo hancur, terkena han-
taman ekor Bajul Ireng.
"Bajul Buntung! Aku di sini!" tantang Pendekar Gila sambil melompat ke depan,
agar dapat berhada-pan dengan Bajul Ireng yang semakin garang menye-
rang. "Ghrrr...!"
Ketika Bajul Ireng hendak kembali melompat,
Pendekar Gila segera meniup Suling Naga Sakti dan
mengarahkan mata kepala naganya ke mata lawan.
Suara Suling Naga Sakti melengking. Dan saat
itu pula dari kedua mata Naga Sakti keluar dua larik sinar merah dan melesat ke
mata Bajul Ireng.
Slarts! Crot! "Wuaaa...!"
Lolongan kematian seketika terdengar dari mu-
lut Bajul Ireng. Tubuh makhluk jejadian itu menggelepar-gelepar dengan asap
hitam mengepul keluar dari
tubuhnya. Kemudian tubuh Bajul Ireng diam tanpa
nyawa. Perlahan-lahan berubah menjadi onggokan de-
bu yang membentuk sosok manusia!
*** Bertepatan dengan musnahnya Bajul Ireng, di
halaman rumah Ki Anom Purbo tampak Nyi Writampi
dan Srindi mengalami kejadian yang aneh. Tiba-tiba
tubuh mereka lemah. Gerakan silat mereka kacau. Hal
itu cukup menguntungkan bagi Suriwami, yang tak
menyia-nyiakan keadaan.
"Heaaa...!"
Wrt! Cras! Cras! "Aaakh...!"
"Uuukh...!"
Jeritan-jeritan kematian melolong dari mulut
Nyi Writampi dan Srindi, ketika pedang Suriwarni
membabat leher mereka.
Sesaat keduanya terhuyung meregang nyawa,
lalu ambruk dengan darah hitam membanjir keluar
dari goresan di leher mereka.
Tidak terasa pagi telah datang kembali men-
jemput alam persada. Pendekar Gila, Ki Legok Menggo,
Ki Wulung dan Ki Kalawuku segera berangkat ke ru-
mah Ki Anom Purbo. Mereka khawatir dengan kesela-
matan Suriwami. Namun seketika wajah mereka kem-
bali cerah, ketika melihat Suriwarni dan Nyi Wulung
serta Murni yang bisa kembali berbicara masih dalam
keadaan selamat.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar
Gila, " kata Murni yang telah kembali bisa berbicara.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!"
Pagi yang masih buta, seketika terpecahkan
oleh suara gelak tawa Pendekar Gila. Sedangkan Murni hanya tersipu-sipu malu.
Tubuh gadis itu tak bungkuk lagi, bahkan kecantikannya semakin jelas.
"Sebenarnya Murni memang dalam pengaruh-
ku. Sengaja dia kubuat bisu, agar orang tak curiga padanya," tutur Suriwami
menjelaskan pada Pendekar Gila dan lainnya.
"Aha, pintar sekali!" gumam Sena.
"Nisanak, tentunya kau tahu siapa sebenarnya
Ki Soma" Dan dari mana asalnya?" tanya Ki Legok Menggo.
"Masalah itu, Ki Anom yang tahu," Suriwarni melemparkan pertanyaan itu pada Ki
Anom Purbo. "Baiklah, akan kuceritakan siapa mereka sebe-
narnya, termasuk gadis bisu dan bungkuk itu," ujar Ki Anom Purbo. Kemudian,
setelah terbatuk-batuk kecil,
Ki Anom Purbo pun menceritakan siapa sebenarnya Ki
Soma dan istrinya.
"Ki Soma dan istrinya tak lain Siluman Bajul
Ireng. Sebetulnya adik sepupu Ki Legok Menggo telah
tewas di tangan Ki Soma dan istrinya. Keduanya juga
yang memimpin Gerombolan Bajul Ireng, yang diburu
pihak Kerajaan Sempangga. Untuk menghindari keja-
ran pihak kerajaan, keduanya menjelma menjadi Soma
dan Writampi yang telah hilang dibantai mereka."
Ki Anom Purbo menghentikan ceritanya sesaat
untuk menghela napas. Keningnya berkerut, seolah-
olah tengah mengingat kejadian yang cukup lama itu.
"Kedua anggota Gerombolan Bajul Ireng itu
menggunakan ilmu 'Pangling Rupa' yang mereka pero-
leh dari seorang lelaki tua renta bernama Angkara Se-ta. Mereka mendapat ilmu
itu ketika menuntut ilmu di Goa Lawa di Pantai Selatan. Sedangkan gadis bungkuk
dan bisu berwajah buaya itu masih tetap seperti wu-
judnya. Dia tak bisa mengubah wujudnya menjadi ma-
nusia, karena ilmunya belum setinggi ilmu 'Pangling
Rupa' yang dimiliki Soma dan Writampi."
Kembali Ki Anom Purbo menghentikan ceri-
tanya. Ditatapnya wajah-wajah yang ada di depannya
untuk, mengetahui tanggapan mereka.
"Karena Soma tahu kalau Ki Gagar Blarak
orang kerajaan dan banyak membunuh anggota ge-
rombolannya, dia memfitnah dan menuduh Ki Gagar
Blarak sebagai pimpinan Gerombolan Bajul Ireng. Se-
dangkan aku diancam. Karena aku memang pernah
berhutang budi pada Bajul Biru, orangtua Soma dan
Raja Bajul. Itu sebabnya aku tak dapat menolong ayah Murni. Begitulah
ceritanya," desah Ki Anom Purbo dengan mata berkaca-kaca, mengingat penderitaan
yang dialami Murni. Kalau kau mau, biarlah kau kua-
ngkat menjadi anakku, Murni!"
"Terima kasih, Paman," jawab Murni. "Aku sudah bersama Bibi Suriwarni."
"Ah, syukurlah kalau begitu! Yang penting, se-
muanya kini telah berlalu," gumam Ki Legok Menggo.
"Aku sangat berterima kasih pada kalian. Entah dengan apa aku kelak dapat
membalas. Tanpa bantuan
kalian, mungkin desa ini akan menjadi desa yang di-
huni iblis-iblis."
"Aha! Bagiku bukan masalah, Ki. Semua yang
kulakukan untuk membela kebenaran dan keadilan.
Kini, yang paling utama bagaimana membangun desa
ini kembali."
"Pintar juga pikiranmu, Pendekar Gila," sahut Ki Kalawuku.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak menyak-
sikan keceriaan di wajah mereka. Terlebih-lebih Murni, gadis cantik berusia lima
belas tahun itu tersipu malu, ketika Pendekar Gila memandang wajahnya. Begitu
pun Suriwarni alias si Bayangan Bidadari.
Samar-samar dari arah timur nampak cahaya
kuning kemerahan membias, pertanda pagi telah da-
tang. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tamu Dari Gurun Pasir 17 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik Three Lives Three Worlds Ten Miles Of Peach Blossoms Karya Tangqi Gongzi Tangan Berbisa 5
^